PENGARUH TERAPI INFRA RED TERHADAP KEMAMPUAN MOBILITAS FISIK LANSIA Irawan Danismaya*
[email protected] ABSTRAK Terapi infra red bagi lansia dalam keperawatan dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk baru terapi komplementer dengan menggunakan radiasi elektromagnetik yang memiliki panjang gelombang diantara 0,7 dan 300 mikrometer. Meningkatnya kelompok lansia membentuk cara pandang yang berbeda dalam memberikan asuhan keperawatan ketika implikasi dari bertambahnya usia ternyata berdampak terhadap timbulnya masalah kesehatan lansia seperti menurunnya kemampuan mobilisasi fisik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi Infra Red terhadap kemampuan mobilitas fisik pada lansia di Kota Sukabumi.Jenis penelitian yang digunakan untuk penelitian ini adalah experiment research yaitu pre-test dan post-test grup. 36 lansia sebagai pengunjung baru di klinik Infra Red dijadikan responden yang akan diberikan terapi selama 12 kali dalam 12 hari berturut-turut. Variabel tingkat mobilitas fisik lansia diukur dalam 3 aspek yaitu luas gerak sendi / Range of Motion (ROM), kekuatan otot, dan keseimbangan gerakan. Hasil pengukuran mendapatkan mean skor kemampuan mobilitas fisik pada Lansia sebelum terapi adalah 60,4% yang termasuk dalam kategori immobilitas fisik berat. Sedangkan mean skor sesudah terapi yaitu 83,6% yang termasuk kategori immobilitas fisik sedang. Diperoleh besar selisih kemampuan mobilitas fisik 23,2 % dengan nilai p 0,000 dalam tingkat kepercayaan 95% sehingga diperoleh kesimpulan bahwa ada pengaruh terapi Infra Red terhadap kemampuan mobilitas fisik lansia.Merujuk hasil penelitian ini, manager keperawatan dapat mempertimbangkan terapi infra red menjadi salah satu jenis Standar Operasional Prosedur (SOP) bagi lansia yang mengalami penurunan kemampuan gerak. Kata Kunci : Terapi infra red, terapi komplementer, Lansia, Mobilitas fisik.
InfraredTherapyEffectonPhysicalMobilityCapabilitiesInElderly ABSTRACT Infrared therapy for the elderlies in nursery can be categorized as one of new forms of complementary therapy that uses the medium of electromagnetic radiation at wavelength between 0,7 and 300 micrometer. The increasing numbers of elderly form a new perspective in the application of nursing care plan when the implication of the aging process undeniably affects the emergence of elderly health problems such as the decreasingrate of physical mobility. The purpose of this research is to reveal the effects of infrared therapy to physical mobility of elderlies in Sukabumi. The method used in this research is an experiment research, applying pre-test and post-test group research methods. 36 new elderly visitors in an infrared clinic are made respondents, all of whom are given 12 times therapy in 12 subsequent days. The elderlies physical mobility were measured in three variables, i.e. Range of Motion (ROM), muscular strength, and motion balance. The test results indicates mean score of elderlies physical mobility prior to the therapy at 60,4%, categorized in heavy physical immobility, while the mean score post of therapy application at 83,6%, categorized in medium physical immobility. A 23,2% physical mobility capability differential rate, obtained by subtracting the medium with the heavy category, with p 0,000 value indicates 95% rate of trust supports the conclusionthat Infrared therapy affects elderlies’ physical mobility. By referring to this research, the nursery manager may consider infrared therapy as one of SOP for elderlies with physical mobility degradation. Keywords: Infrared Therapy, complementary therapy, Elderly, Physical mobility.
PENDAHULUAN Terapi komplementer dalam dunia kesehatan termasuk keperawatan kini semakin berkembang seiring dengan semakin jelasnya efek samping dari penggunaan terapi farmakologis.Satu terapi tersebut disebut terapi komplementer (tambahan) ketika terapi itu diberikan bersamaan dengan pengobatan konvensional.Atau dapat juga digolongkan sebagai alternative healing ketika secara murni dipakai untuk menggantikan terapi medis.Ketika perawat melakukan asuhan kepada kliennya, perawat dapat memilih salah satu terapi metode alternative healing yang telah dikenal dan telah teruji sebelumnya ataupun yang belum diuji sepanjang berlandaskan pada aspek legal dan etis yang mantap.Dengan kata lainnya bahwa implementasi keperawatan harus terwujud sebagai praktek keperawatan yang berbasis bukti (evidence base practice) demi tercapainya asuhan yang mempunyai akontabilitas tinggi. Terapi Infra Red (IR) telah dikenal cukup lama sebagai terapi komplementer atau alternatif yang bermanfaat seperti dilaporkan dalam Journal of American Medical Association tahun 1981 yaitu dapat meningkatkan fungsi jaringan kolagen, mengurangi kekakuan sendi, membantu dalam meresolusi infiltrat inflamasi, edema, dan eksudat, mempengaruhi cedera jaringan lunak, dan terapi kanker. Terapi Infra Red (IR) yang dilakukan bagi upaya penyembuhan biasanya menggunakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang antara 0,7 dan 300 mikrometer. Hani (2010) menyatakan terapi IR ini lazim disebut Far Infrared Terapi (FIR) karena memakai jenis sinar dengan panjang gelombang jarak jauh yaitu 10 – 100 µm. Terapi Infra Red di Indonesia telah diperkenalkan secara terbuka berupa klinik-klinik Ceragem yang tersebar hampir di semua kota-kota besar atau kecil. Dalam situs resmi dari Ceragem Company dijelaskan bahwa sebuah alat yang disebut Ceragem Compact dipakai sebagai sarana pemancar gelombang inframerah jarak jauh yang dipadukan dengan batu giok di lapisan bagian luar yang berfungsi sebagai alat pijat untuk menekan titik-titik meridian dan melancarkan Chi. Mudahnya menemukan klinik Ceragem di setiap kota di pulau Jawa khususnya cukup memberikan gambaran nyata betapa terapi alternatif ini cukup dipercaya oleh masyarakat yang menjadi kliennya. Hasil pemantauan oleh peneliti di Kota Sukabumi saja terdapat 3 titik lokasi pelayanan Ceragem dengan jumlah pasien rata-rata sekitar 30 orang perhari. Di satu klinik terbesar di kota tersebut diketahui jumlah pasien sepanjang tahun 2010 mencapai angka 80.277 orang dengan 80% pengunjungnya didominasi oleh kelompok lansia. Jumlah pengunjung baru dalam 3 bulan terakhir yaitu bulan Desember tercatat 245 orang, bulan Januari 237 orang dan bulan Februari 246 orang. Lebih dari 50 % klien berusia lebih dari 45 tahun dengan berbagai keluhan yang menjadi alasan berkunjung seperti gangguan pencernaan, pernafasan, mobilitas fisik, demam, pusing, karena alasan untuk kebugaran dan keluhan lainnya. Manusia lanjut usia yang dalam penelitian ini selanjutnya disebut “lansia” adalah seseorang yang sedang menjalani tahap akhir dari daur kehidupan manusia, dan disebutkan dalam Pasal 1 UU No.13 Tahun 1998 tentang kesehatan yaitu jika telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. WHO memprediksi bahwa penduduk
lansia tiap tahunnya akan terus meningkat dan pada tahun 2025 di Indonesia dapat mencapai 41,1% dari jumlah penduduk keseluruhan. Kemungkinan ini dipertegas dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa lansia di tahun 2010 akan mencapai 9,77%. Saat ini jumlah lansia tercatat 20.547.541 jiwa dengan penyebaran 11 provinsi terbesar yaitu 7% yang termasuk di dalamnya adalah Provinsi Jawa Barat. Meningkatnya jumlah kelompok lansia ini membentuk cara pandang yang berbeda dalam memberikan asuhan keperawatan ketika implikasi akibat dari bertambahnya usia ternyata berdampak terhadap penurunan kesehatan mental dan fisik lansia. Nugroho (2000) berpendapat bahwa masalah kesehatan lansia merupakan konsekwensi logis akibat dari terjadinya aging proses yang ditandai dengan hilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak mampu bertahan ketika mengalami cedera, infeksi atau agen penyebab lainnya. Namun demikian kondisi alamiah akibat proses menua ini hendaknya tidak menjadikan kehidupan masa tua ini sebagai periode kehidupan yang tidak berkualitas dengan tingkat ketergantungan tinggi lansia kepada orang lain. Bagaimana cara pandang keperawatan tentang lansia dapat terwakili dalam teori model keperawatan Parse yang menyatakan bahwa, “ the goal of the discipline from the human becoming perspective is quality of life “ (Parker, 2001). Dengan arti lain bahwa seseorang dikatakan telah menjadi manusia seutuhnya jika perjalanan hidupnya berkualitas. Keyakinan inilah yang akan selalu menempatkan perawat menjadi partner lansia untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggitingginya selama mengadaptasi aging process yang terus berlanjut. Perawat harus senantiasa berupaya melakukan intervensi keperawatan terbaik untuk mengoptimalkan tingkat kemampuan fisik yang dimiliki lansia. Perawat sebagai praktisi kesehatan di masyarakat dapat mengambil peran aktif sebagai mitrapemerintah daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan kualitas hidup lansia di wilayahnya. Dengan motto menjadi kota santun lansia, mencerminkan bahwa pemerintah Kota Sukabumi mempunyai komitmen tinggi untuk memberikan pelayanan jasa dan kesehatan yang terbaik bagi lansia. Di sini Perawat dapat menjadi mediator bagi terciptanya kemitraan yang sinergis antara unsur swasta dengan pemerintah dalam penyelenggaraan program pembinaan kesehatan lansia. Beragam metode terapi komplementer dan alternative healing dapat dipilih oleh perawat sebagai satu upaya meminimalkan keluhan-keluhan fisik lansia.Lansia harus dibantu agar tetap mampu melakukan aktivitas kehidupan sehari-harinya secara mandiri yang tentunya didukung dengan sistem gerak tubuh yang optimal.Intervensi keperawatan yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan gerak ini biasanya dilakukan dengan latihan kontraksi otot, latihan kekuatan, latihan aerobik dan latihan rentang gerak.Sedangkan bentuk intervensi lain seperti disebutkan Stanley (2007) dapat berupa terapi komplementer yaitu metode akupuntur, akupresure, moksibusi, atau terapi radiasi/diatermi (pemanasan) dengan menggunakan cahaya infrared. Penelitian dengan judul “ Pengaruh Terapi Infra Red Terhadap Kemampuan Mobilitas Fisik Lansia ” ini bertujuan mengidentifikasi ada
tidaknya efek terapi Infra Red jika dipakai sebagai satu terapi komplementer bagi lansia yang mengalami gangguan pergerakan fisik. Penelitian ini menjadi sangat penting dilakukan mengingat upaya terapi kesehatan alternatif ini telah mulai diperhitungkan secara positif dalam tatanan sistem pelayanan kesehatan. Jika terapi Infra Red dalam penelitian ini dapat membuktikan mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan keluhan fisik para lansia, maka hasil penelitian ini akan menjadi sumbangsih yang bermakna bagi pengembangan metode terapi komplementer dalam praktek keperawatan bagi klien dewasa di masyarakat. RUMUSAN MASALAH & HIPOTESIS Meningkatnya umur harapan hidup sebagai cerminan keberhasilan pembangunan kesehatan ditunjukan dengan bertambahnya jumlah lansia.Namun demikian aging process yang dialami lansia menimbulkan akibat susulan dengan munculnya beragam keluhan fisik yang sebenarnya lazim terjadi pada lansia.Kualitas hidup setinggi-tingginya harus selalu diupayakan melalui beragam metode alternative healing non farmakologis. Terapi Infra Red diyakini akan mampu mengurangi penurunan kemampuan fisik pada lansia, sehingga rumusan masalah adalah ;“Apakah terapi Infra Red berpengaruh terhadap kemampuan mobilitas fisik lansia yang berkunjung ke Klinik Ceragem Kota Sukabumi ? “ Ho : Tidak ada pengaruh terapi IR terhadap kemampuan mobilitas fisik Lansia H1 : Ada pengaruh terapi IR terhadap kemampuan mobilitas fisik Lansia TUJUAN PENELITIAN A. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi Infra Red terhadap kemampuan mobilitas fisik pada lansia di Klinik Ceragem Kota Sukabumi. B. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik lansia yang menjalani terapi Infra Red di Klinik Ceragem Kota Sukabumi. 2. Mengidentifikasi tingkat mobilitas fisik lansia sebelum menjalani terapi Infra Red di Klinik Ceragem Kota Sukabumi. 3. Mengidentifikasi tingkat mobilitas fisik lansia sesudah menjalani terapi Infra Red di Klinik Ceragem Kota Sukabumi. 4. Mengidentifikasi pengaruh Infra Red terhadap tingkat mobilitas fisik lansia yang menjalani terapi di Klinik Ceragem Kota Sukabumi. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah experiment researchseperti yang dijelaskan Notoatmodjo (2005) yaitu jenis kegiatan percobaan yang bertujuan untuk mengetahui suatu gejala atau pengaruh yang timbul sebagai akibat dari adanya perlakuan tertentu.Eksperimen yang digunakan adalah quasi experimentatau pre eksperimen karena menurut Arikunto (2006) belum mampu memenuhi persyaratan seperti cara eksperimen yang dapat dikatakan ilmiah. Design pre eksperimen yang diambil dalam penelitian ini adalah pre-test dan posttest grup. Pre-test dilakukan dengan mengukur tingkat mobilitas fisik lansia sebelum diterapi Infra Red sedangkan Post-test adalah mengukur tingkat
mobilitas fisik lansia setelah diterapi Infra Red selama 12 kali terapi dalam 12 hari berturut-turut. Variabel tingkat mobilitas fisik lansia diukur dalam 3 komponen, yaitu luas gerak sendi / Range of Motion (ROM), kekuatan otot, dan keseimbangan dengan menggunakan intrumen yang telah dibuat untuk melakukan pemeriksaan fisik dan observasi. Setiap hari sebelum dan sesudah diberikan perlakuan terapi IR, setiap responden diukur kemampuan mobilitas fisiknya. Semua sesi perlakuan dilakukan secara perorangan oleh seorang terapis yang diobservasi langsung oleh peneliti. Lansia calon responden pada tahap awal diseleksi melalui pemeriksaan fisik untuk memastikan adanya gangguan mobilitas fisik. Wawancara tentang aktivitas harian juga dilakukan untuk menyakinkan sesuai dengan kriteria Sampel. Setelah informed consent ditanda tangani, selanjutnya dilakukan kontrak tempat dan waktu ekperimen untuk memastikan responden bersedia melakukan terapi IR setiap hari 1 kali sehariselama 12 hari berturut-turut tanpa terputus dengan dipantau oleh peneliti.Pada tahap Pre Test dilakukan pemeriksaan fisik untuk mengukur luas gerak sendi, kekuatan otot, dan keseimbangan tubuh lansia termasuk keluhannya. Akhirnya pada tahap post test, pemeriksaan fisik diulang kembali setelah menjalani terapi infrared selama 12 kali. Populasi dalam penelitian ini adalah lansia yang merupakan pasien baru yang akan menjalani terapi Infra Red di Klinik Ceragem Kota Sukabumi. Ukuran sampel diperoleh berdasarkan jumlah rata-rata kunjungan pasien dalam 3 bulan terakhir yaitu 39 orang, lalu dihitung menurut rumus Slovin (Notoatmodjo, 2005) dan didapatkan jumlah sampel 36 orang. Ukuran sampel ini juga memadai untuk penelitian ekperimen seperti pendapat Dempsey & Dempsey (2002) yang menyatakan bahwa lima belas subjek pada setiap kelompok dianggap minimum untuk penelitian eksperimental dan sepuluh sampai dua puluh subjek per kelompok dianggap minimum untuk studi yang simpel dengan kontrol eksperimental yang kuat. Responden didapatkan secara Accidental Sampling dengan kriteria responden yaitu pasien baru yang berusia lanjut dan sedang mengalami gangguan mobilisasi. Penelitian ini berpijak pada prinsip-prinsip etika penelitian seperti yang dijelaskan Polit dan Hungler (1999) yaitu Self determination, Privacy, Anonimity,Confidentialityand Protection from discomfort. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Mayoritas usia responden yang melakukan terapi infrared berada pada rentang usia middle age yaitu 45-59 tahun sebanyak 20 orang (55,55 %). Sedangkan 15 orang (41,67 %) lainnya berusia antara 60-74 dan 1 orang (2,78 %) sisanya berusia dalam rentang 75-90 tahun. Jika dikaitkan dengan batasan lanjut usia yaitu 60 tahun dari UU No.13 Tahun 1998 pasal 1 tentang kesehatan, maka kondisi ini setidaknya dapat memberikan gambaran bahwa gangguan mobilitas fisik dapat dialami oleh seseorang yang belum dikatakan lansia. Gaya hidup
seperti diet tinggi purin seringkali menjadi faktor penting yang berhubungan dengan timbulnya penyakit gangguan gerak. Responden yang berkunjung dengan tujuan untuk memperoleh terapi infra red sebagian besar berjenis kelamin perempuan yaitu 28 orang (77,8 %). Kemungkinan sebab gangguan pergerakan pada mereka sepertinya berhubungan erat dengan kejadian menopause yang disebutkan oleh Brunner & Suddarth (2002) dapat menimbulkan perubahan metabolik termasuk penurunan kadar estrogen yang memicu hilangnya masa tulang. Seluruh responden menyatakan masih mampu melakukan aktivitas harian yang rutin dilakukannya secara mandiri, meskipun 83,61%merasa kesulitan melakukannya dan 16,32% sisanya menyatakan mudah. Aktivitas rutin tersebut beragam yakni sebagai ibu rumah tangga 19 orang (52,8 %), PNS 2 orang (5,6 %), buruh 6 orang (16,7 %) dan wiraswasta sebanyak 9 orang (25,0 %). Keterbatasan gerak yang dialami 19 orang (52,8 %) yaitu pada ekstremitas kanan bawah dan pada ektremitas kiri bawah 11 orang (30,6 %). Sedangkan yang lainnya mengatakan sulit menggerakkan kedua ektremitas bagian atas. Tingkat Kemampuan Mobilitas Fisik Hasil pengukuran tingkat kemampuan mobilitas fisik Lansia yang meliputi Range of Motion (ROM), kekuatan otot dan keseimbangan, yang diukur sebelum dan sesudah diberikan terapi Infra Red terlihat dalam tabel 1 dan 2. Jumlah Lansia dalam kategori kedua (26-50%) dan Ketiga (51-75%) terlihat menurun pada tabel hasil setelah terapi IR. Mean Skor juga berubah dari 60,44 % menjadi 83,6 % ini berarti kemampuan mobilitas fisik lansia secara rata-rata meningkat setelah terapi IR.
Tabel 1 Tingkat Mobilitas Fisik Sebelum Terapi InfraredN 36 Skor Tingkat Mobilitas Fisik Jumlah Prosentase (%) 0-25 0 0% 26-50 4 11,1 % 51-75 30 83,3% 76-100 2 5,6 % Jumlah
36
100%
Mean Skor 60,44
Tabel 2 Tingkat Mobilitas Fisik Setelah Terapi InfraredN 36 Skor Tingkat Mobilitas Fisik Jumlah Prosentase (%) 0-25 0 0 26-50 0 0 51-75 5 13,8 76-100 31 86,2 Jumlah
36
Mean Skor 83,60
100%
Pengaruh Terapi Infra Red terhadap kemampuan mobilitas Fisik Lansia Efek terapi Infra Red terhadap kemampuan mobilitas fisik Lansia secara perhitungan statistik didapatkan melalui Uji T berpasangan dilakukan untuk menyimpulkan ada tidaknya pengaruh terapi. Tabel 3 menunjukan hasil analisis bivariat antara skor tingkat mobilitas fisik sebelum dan sesudah terapi IR. Tabel 3 Analisis Pengaruh Terapi IR terhadap Tingkat Mobilitas Fisik Lansia N 36 Tingkat Mean P-value Mobilitas SD SE (%) fisik Pre 60,44 9,095 1.515 test Post 0,000 83,60 7,477 1,246 test Selisih 23,16 1,618 0,269 Selisih skor kemampuan mobilitas Fisik Lansia sebelum dan sesudah terapi IR adalah 23,2 %. Didapatkan nilai p 0,000 dengan tingkat kepercayaan 95%. Didapatkan Nilai p < 0,05 sehingga Ho ditolak yang artinya bahwa ada pengaruh terapi Infra Red terhadap kemampuan mobilitas fisik lansia. Adanya efek Terapi infraredterhadap kemampuan mobilitas fisik Lansia dapat dijelaskan berdasarkan prinsip fisika dan fisiologistubuh. Cahaya Infrared mampu diserap oleh tubuh setelah menembus jaringan kulit dan lalu diserap oleh jaringan di bawahnya. Cahaya ini menembus sekitar 4 cm atau sekitar 1 sampai 1,5 inci. Cahaya yang masuk tersebut disertai dengan energi panas yang dapat menggetarkan molekul cairan dalam tubuh dan akan beresonansi dengan frekuensi seluler.Resonansi ini menyebabkan ionisasi air yang terurai menjadi ion Hidrogen dan ion Hidroksida pada kecepatan yang sangat tinggi yaitu 10 sampai 12 detik.
Ionisasi ini disebut dengan ”aktivitas air”, jika aktivitas air terjadi pada seluler manusia maka metabolisme sel dan ekskresi residu dari sel dan nutrisi yang ada pada tubuh akan ditingkatkan. Selain beresonansi, energi panas yang dipancarkan oleh infrared dapat menimbulkan pelebaran pada pembuluh darah. Melebarnya pembuluh darah dan dengan adanya gerakan molekul air menyebabkan peredaran darah dalam tubuh menjadi lancar sehingga pengangkutan oksigen dalam darah pun akan meningkat.Transportasi nutrisi danpengangkutan sisa metabolisme dalam tubuh termasuk di area persendian akan menjadi lebih maksimal. SIMPULAN Penelitian tentang efek terapi Infrared terhadap kemampuan mobilitas fisik Lansia ini jika dikaitkan dengan pelayanan asuhan keperawatan, dapat dikategorikan sebagai satu bentuk terapi komplementer (tambahan) karena perlakuannya diberikan pada kelompok responden yang mengalami keterbatasan gerak tetapi masih mampu beraktivitas secara mandiri. Artinya masih terdapat faktor lain yang dapat membantu meningkatkan kemampuan fisik lansia seperti kegiatan bekerja, olah raga nutrisi dan obat, yang tetap dilakukan sehari-hari oleh Lansia di rumah bersamaan dengan diberikannya terapi Infrared itu. Namun demikian hasil penelitian ini mampu menunjukan bahwa terapi Infrared terbukti dapat membantu meningkatkan kemampuan mobilitas fisik lansia dengan tanpa menimbulkan keluhan baru sebagai akibat efek samping terapi. SARAN 1. Pelayanan Keperawatan Manager keperawatan hendaknya dapat mempertimbangkanterapi infra reduntuk diaplikasikan pada klien terutama Lansia yang mengalami masalah keterbatasan gerak. Sebelumnya dapat dilakukan kajian secara mendalam dan penelitian ulang terhadap kemungkinan penerapan terapi tersebut sebelum dijadikan protap baku di tempat pelayanan keperawatan akan dilaksanakan. Selanjutnya hasil yang didapat harus didokumentasikan sehingga menjadi data dasarunit kerja bagi pengembangan pelayanan keperawatan yang berbasis pembuktian (evidence based practice) 2. Penelitian Berikutnya Banyaknya faktor-faktor yang dapat dikaitkan karena diyakini berkontribusi terhadap kemampuan gerak lansia seperti aktivitas harian rutin di rumah termasuk olah raga, umur,nutrisi dan obat yang memerlukan penelitian lanjutan dengan karakteristik sampel yang lebih homogen dan menggunakan desain riset dengan kelompok kontrol.
DAFTAR PUSTAKA Abbate, S. 2006. Advanced Techniques In Oriental Medicine.Hamburg: Thieme. Anastasia, Y. 2009. Pustaka Kesehatan Populer. Jakarta: Gramedia. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Budiarto, E. 2002. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. Cree & Rischmiller. 2006. Sains dalam Keperawatan. Jakarta: EGC. Creswell, John W. (2003). Research Design ;Qualitative & Quantitaive Approaches. Alih bahasa KIK-Universitas Indonesia Angkatan III & IV. Jakarta. KIK Press Dempsey A.D. & Dempsey P.A. 2002.Riset Keperawatan. Jakarta .EGC. Dong, Zhang Jian.2011. http://www.pranaproducts.com/fir_info.htm.Mekanisme Kerja Terapi Infrare. dikutip 10 Maret 2011. Efendi, F.M. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Garrison, S.J. 2001. Dasar-dasar Terapi & Rehabilitasi Fisik. Jakarta: Hipokrates. Kasjono, S. 2009. Teknik Sampling Untuk Penelitian Kesehatan. Jakarta: Graha Ilmu. Hani, A. R. 2010. Teori Dan Aplikasi Fisika Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika. Machfoedz, I. 2008. Statistika Induktif Biostatistik Bidang Kesehatan, Keperawatan, Kebidanan, Kedokteran. Yogyakarta: Fitramaya. Maryam, R.et. al. 2008.Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika. Mason, R.D.& Lind, D.A. 1996. Teknik Statistika Untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Erlangga. Morgental, AP. 2001. http://www.scribd.com. The Age Related Challenge of Posture and Balance. Dikutip 22 Oktober 2010. Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nugroho, W. 2008. Keperawatan Gerontik Dengan Geriatrik Edisi 3. Jakarta: EGC. Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. --------. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Edisi Revisi. Jakarta : Salemba Medika. Parker, M.E. 2001.Nursing theories and nursing practice. Philadelphia : Davis Company Polit, D.F., & Hungler, B.P. (1999).Nursing Research Principles and Methods. (6thed). Philadelphia. Lippincot Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi IV. Jakarta: EGC.
Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi IV. Jakarta: EGC. Schoonover, K. L. 2003. Pain Free With Far Infrared Mineral Theraphy. Lincoln: universe. Smeltzer, S.C.& Brenda, G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta: EGC. Stanley, M. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi II. Jakarta: EGC. Strong, J. U.et.al. 2002.Pain : A Textbook For Therapists. Philadelphia: Churchill Livingstone. Sudoyo, W.et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta : FKUI. Watson, R. 2003. Perawatan Pada Lansia. Jakarta: EGC.