PROFESI, Volume 13, Nomor 1, September 2015
PENGARUH TASK ORIENTED APPROACH (TOA) TERHADAP TINGKAT KEMAMPUAN AKTIVITAS BERPAKAIAN PADA PASIEN PASCA STROKE EFFECT OF TASK ORIENTED APPROACH (TOA) ON DRESSING OF ABILITY ACTIVITIES THE POST- STROKE PATIENTS Erna Ariyanti Kurnianingsih dan Wawan Ridwan Mutaqin Poltekkes Surakarta Jurusan Okupasi Terapi
[email protected] dan
[email protected]
Abstrak Stroke adalah suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba terganggu. Stroke dapat menyebabkan gangguan-gangguan antara lain kelumpuhan anggota gerak, perubahan mental, seperti gangguan daya pikir, kesadaran, konsentrasi, kemampuan belajar, mem-baca dan fungsi intelektual lainnya, gangguan komunikasi, gangguan emosional, dan kehilangan indra rasa. Jika kondisi ini dibiarkan, maka pasien tidak hanya akan mengalami kecacatan tetapi juga akan mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas fungsional sehari-hari seperti aktivitas berpakaian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh task oriented approach (TOA) terhadap kemampuan aktivitas berpakaian pada pasien pasca stroke. Penelitian ini termasuk peneli-tian eksperimen dengan metode nonrandomized control group pretest-posttest design. Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling. Jumlah sampel 50 pasien stroke di Kabupaten Boyolali, yang terdiri dari 25 sampel kelompok perlakukan dan 25 sampel kelompok kontrol. Analisis data dilakukan dengan uji Wilcoxon diketahui bahwa nilai signifikansi 0.000 (p<0.05), sehingga terdapat perbedaan kemampuan aktivitas berpakaian yang bermakna antara sebelum dan sesudah perlakuan responden kelompok perlakuan. Sedangkan nilai signifikansi responden kelompok control 0.649 (p>0.05), sehingga tidak terdapat perbedaan kemampuan aktivitas berpakaian yang bermakna antara sebelum dan sesudah perlakuan responden kelompok kontrol. Simpulan hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan pemberian task oriented approach (TOA) terhadap kemampuan aktivitas berpakaian pada pasien pasca stroke. Kata Kunci : Pasca stroke, task oriented approach, kemampuan aktivitas berpakaian Abstract Stroke is a condition that occurs when the blood supply to a part of the brain is suddenly interrupted. Stroke cause disturbances among others paralysis, mental changes, such as power thought disorders, awareness, concentration, learning ability, reading and other intellectual functions, communication disorders, emotional disorders, and loss of sense of taste. If condition is unchecked, then patients will experience a disability not only but would have difficulty doing everyday functional activities such as dressing activity. The aim of this study is to determine the effect of task-oriented approach (TOA) on the ability of activity post-stroke patients to dress on. This research included experiments with research methods randomized control group pretest-posttest design. Sampling was conducted with purposive sampling. The tumber of samples was 50 Stroke Patients in Boyolali, consisting of 25 samples treated group and 25 samples control group. Data analysis was performed Wilcoxon known that the significance value of 0.000 (p <0.05), so the differences were significant ability dressing activities before and after treatment respondents treatment group. While the significance of respondents value 0.649 The control group (p> 0.05), so the differences are not significant ability dressing activities before and after treatment responder control group. Conclusion the findings of this study indicate a significant influence approach the task-oriented approach (TOA) the ability of activity post-stroke patients to dress on. Keywords: Post-stroke, task-oriented approach, the ability of dressing activity
24
PROFESI, Volume 13, Nomor 1, September 2015 kan aktivitas sehari-harinya. Hambatan-hambatan yang seringkali muncul akibat serangan stroke antara lain adalah hambatan pada area: 1) perawatan diri, orang yang mengalami serangan stroke pada umumnya akan mengalami kesulitan melakukan aktivitas kesehariannya (makan, berpakaian, merias diri, dan toileting), orang mungkin tidak dapat manahan diri, mengalami kesulitan menelan (dysphagia), sulit mengucapkan kata-kata (dysarthria); 2) produktivitas, kebanyakan masalah terjadi karena kelumpuhan yang terjadi baik di sisi kanan maupun sisi kiri, penderita tidak mampu melibatkan tangan yang mengalami gangguan; dan 3) pemanfaatan waktu luang, penderita tidak mampu terlibat dalam aktivitas leisure karena permasalahan gerak dan sensoris yang dialaminya, kehilangan minat untuk melakukan aktivitas leisurenya karena masalah kognitif yang dialaminya (Reed, 2001). Studi dari 494 pasien stroke setelah enam bulan mengalami serangan stroke menunjukkan bahwa 47% dapat mandiri, 9% ketergantungan penuh dalam aktivitas (Barthel Index skor kurang dari 45), dan 44% mengalami ketergantungan ringan (Barthel Index skor 50-95), kemudian 2 sampai 5 tahun setelah serangan, 40%-60% mandiri dalam aktivitas fungsional dan 10%-25% ketergantungan sedang, sedangkan sisanya ketergantungan penuh (Trombly, 2008). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka okupasi terapis mempunyai peran yang sangat penting pada penanganan pasien pasca stroke. Pelayanan okupasi terapis bertujuan untuk meningkatkan kemandirian dan mengembalikan peran pasien pada aktivitas kehidupan sehariharinya self care, productivity dan leisure (Trombly, 2002). Okupasi terapis juga melakukan pemeriksaan terhadap aktivitas yang penting bagi pasien, serta melakukan penilaian terhadap gangguan yang dialami pasien, seperti gangguan sensorimotor, perubahan musculoskeletal (biomechanical), kognitif, persepsi serta aspek psikososial, kemudian membuat perencanaan untuk melakukan intervensi. Selain itu okupasi terapis juga harus mampu memberikan alternatif/adaptasi baik alat, cara, maupun lingkungan yang dapat dilakukan oleh pasien agar dapat membantunya dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Dengan meningkatnya kemandirian pasien dalam melakukan aktivitas sehari-harinya, maka kualitas hidup pasien dapat meningkat (Rowland, 2008).
PENDAHULUAN Setiap tahun, kurang lebih 15 juta orang di seluruh dunia terserang stroke. Di Amerika Serikat sekitar 5 juta orang pernah mengalami stroke. Sedangkan di Inggris sekitar 250.000 orang. Di Indonesia, stroke menyerang 35,8% pasien usia lanjut dan 12,9% pada usia yang lebih muda. Jumlah total penderita stroke di Indonesia diperkirakan 500.000 setiap tahun. Dari jumlah itu, sekitar 2,5% atau 250.000 orang meninggal dunia, dan sisanya cacat ringan maupun berat (Anggarini, 2009). Diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke, sekitar 2,5 % atau 125.000 orang meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun berat (Yastroki, 2003). Stroke menduduki posisi ketiga di Indonesia setelah jantung dan kanker. Sebanyak 28.5% penderita stroke meninggal dunia, sisanya menderita kelumpuhan sebagian maupun total hanya 15% saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke atau kecacatan. Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki) pada tahun 2007 menyebutkan bahwa 63,52 per 100.000 penduduk Indonesia berumur di atas 65 tahun ditaksir menderita stroke. Bahkan saat ini Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia, karena berbagai sebab selain penyakit degeneratif, dan terbanyak karena stres (Hernowo, 2007). Penderita stroke di Indonesia ditemukan sebesar 8,3 per 1000 penduduk serta yang telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 6 per 1000 penduduk. Hal ini menunjukkan sekitar 72,3% kasus stroke di masyarakat telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan. Prevalensi stroke tertinggi dijumpai di NAD (16,6%) dan terendah di Papua (3,8%). Terdapat 13 provinsi dengan prevalensi stroke lebih tinggi dari angka nasional (Riskesdas, 2007). Stroke dapat menyebabkan gangguangangguan antara lain: 1) kelumpuhan anggota gerak, 2) perubahan mental, seperti gangguan daya pikir, kesadaran, konsentrasi, kemampuan belajar, membaca dan fungsi intelektual lainnya, 3) gangguan komunikasi, 4) gangguan emosional, dan 5) kehilangan indra rasa (Farida & Amalia, 2009). Begitu banyaknya manifestasi yang muncul akibat penyakit stroke sehingga secara langsung maupun tidak langsung stroke juga akan berpengaruh terhadap munculnya hambatan-hambatan yang dialami penderita stroke dalam melaku-
25
PROFESI, Volume 13, Nomor 1, September 2015 Menurut Latham, dkk (2006) dalam jurnal Occupational Therapy Activities and Intervention Techniques for Clients With Stroke in Six Rehabilitation Hospitals Stroke pada Juli-Agustus Tahun 2006, menjelaskan bahwa kemajuan yang signifikan telah dibuat dalam perawatan stroke selama 30 tahun yang lalu dan sebagai hasilnya proporsi orang yang bertahan hidup karena stroke meningkat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perbedaan dalam perawatan paska stroke dan rehabilitasi memiliki pengaruh yang signifikan pada hasil, yaitu pasien yang menerima perawatan di unit stroke lebih mungkin untuk hidup mandiri dan Okupasi terapis memainkan peran penting dalam rehabilitasi paska stroke. Informasi terbaru bahwa pelayanan okupasi terapi pasca stroke meningkatkan kinerja dari beberapa tugas fungsional dan mengurangi beberapa gangguan yang terjadi pada pasien stoke. Pelayanan okupasi terapi pada pasien stroke tidak hanya dilakukan di rumah sakit, tetapi juga dilakukan di rehabilitasi bersumberdaya masyarakat (RBM). RBM merupakan strategi dalam pengembangan masyarakat untuk rehabilitasi, dan pemerataan kesempatan (mendapatkan kesempatan yang sama). RBM dimplementasikan melalui gabungan dari orang-orang cacat itu sendiri, keluarga dan masyarakat, dan kesehatan yang sesuai, pendidikan, kejuruan, dan pelayanan sosial (Moller & Huschka, 2009). Berdasarkan data awal di lahan RBM, Kecamatan Ngemplak, Kabupatan Boyolali, setiap pasien stroke yang sudah mendapatkan penanganan medis di rumah sakit ketika mendapat serangan stroke pertama kali, setelah pulang dari rumah sakit rata-rata pasien melanjutkan pengobatan dengan pijat saraf dan pengobatan alternatif, tetapi belum pernah mendapatkan penanganan dari tim rehabilitasi medis (fisioterapi, okupasi terapi, terapi wicara). Padahal penanganan rehabilitasi yang berorientasi pada kegiatan/aktivitas (task oriented) sangat penting untuk melatih kemampuan pasien pasca stroke dalam okupasi sehingga dapat meningkatkan kemandirian pasien. Sejauh ini, belum ditemukan studi mengenai terapi dengan menggunakan task oriented approach (TOA) dalam meningkatkan kemampuan occupation pasien stroke khususnya aktivitas berpakaian. Berdasarkan permasalahan tersebut maka terapi dengan menggunakan TOA sangat
penting dalam mendukung proses terapi sehingga dapat diperoleh hasil terapi yang maksimal. METODE PENELITIAN Desain penelitian dilakukan menurut rancangan nonrandomized control group pretestposttest design. Dalam rancangan dilakukan pemilihan sampel, kemudian dilakukan pretest (O1), diikuti intervensi (X), dan posttest (O2). Sampel diberikan latihan aktivitas berpakaian dengan TOA. Populasi dalam penelitian adalah semua pasien stroke di Kecamatan Ngemplak Boyolali. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling, dengan jumlah sampel 50 responden yang terdiri dari 25 responden kelompok perlakuan dan 25 responden kelompok kontrol. Kriteria inklusi sampel adalah: 1). pasien pasca stroke yang mendapatkan pelayanan di Puskesmas Ngemplak, 2). mengalami ganggu-an aktivitas berpakaian, 3). tidak mengalami gangguan kognitif, dan 4). dapat memahami instruksi. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Karakterisitik Responden Penelitian Rerata umur responden kelompok perlakuan adalah 57,6 tahun dan paling banyak pada umur responden 71-80 tahun yaitu sebanyak 9 responden. Pada kelompok kontrol rerata usia 54,44 tahun, dengan responden terbanyak pada usia sama 61-70 tahun dengan jumlah 9 orang. Dari 25 responden pada kelompok perlakuan 72% berjenis kelamin laki-laki dan 28% perempuan, sedangkan pada kelompok kontrol 52% responden berjenis kelamin laki-laki dan 48% perempuan. Jenis pekerjaan terbanyak baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol adalah petani yaitu 48% atau 12 orang responden. Diagnosis penyakit pada kelompok perlakuan 13 responden mempunyai diagnosis klinis hemiparese dekstra dan 12 responden hemiparese sinistra, sedangkan pada kelompok kontrol 12 responden hemiparese dekstra dan 13 responden hemiparese sinistra. Lamanya menderita stroke pada kelompok perlakuan lama menderita stroke terbanyak 40% atau 10 responden masing-masing selama 0-1 tahun dan 1-2 tahun, sedangkan pada kelompok kontrol, lama menderita stroke didominasi oleh sampel yang mengalami stroke selama 2-3 tahun sebanyak 36% atau 9 responden.
26
PROFESI, Volume 13, Nomor 1, September 2015 Tingkat kemandirian aktivitas berpakaian pada kelompok perlakuan sebelum dilakukan terapi/treatmen kepada responden, diketahui bahwa dari 25 responden, 11 responden mengalami ketergantungan dalam aktivitas berpakaian dan 14 responden mengalami ketergantungan hanya pada bantuan lisan. Sesudah perlakuan terdapat peningkatan kemampuan aktivitas berpakaian responden, yaitu 13 responden mandiri, 6 responden ketergantungan hanya pada bantuan lisan, dan 6 responden mengalami ketergantungan. Sedangkan pada kelompok control sebelum pemberian treatmen, 12 responden mengalami ketergantungan aktivitas berpakaian dan 13 responden ketergantungan hanya pada bantuan lisan dalam melakukan aktivitas berpakaian. Sesudah treatmen, ada sedikit peningkatan kemampuan aktivitas berpakaian, 3 responden menjadi mandiri dalam aktivitas berpakaian dan 10 responden ketergantungan hanya pada bantuan lisan. Sementara responden yang mengalami ketergantungan tidak ada perubahan. Hasil uji disteibusi normal menggunakan uji Wilcoxon Rank Test dengan hasil sebagai berikut:
tidak terdapat responden yang mempunyai nilai NSDA lebih rendah sesudah perlakuan. Berdasarkan data pada tes statistik responden kelompok perlakuan diketahui bahwa nilai signifikansi 0.000 (p<0.05) dengan demikian disimpulkan terdapat perbedaan kemampuan aktivitas berpakaian yang bermakna antara sebelum dan sesudah treatmen pada kelompok perlakuan. Hal ini berarti treatmen task oriented approach tersebut mampu meningkatkan kemam-puan aktivitas berpakaian responden pada kelom-pok perlakuan. Pada kelompok kontrol, uji statistik menunjukkan hasil sebagai berikut: Tabel 2. Hasil Uji Perubahan Kemampuan Aktivitas Berpakaian pada Responden Kelompok Kontrol N NSDA akhir – NSDA awal
Mean Rank
NSDA sesudah NSDA sebelum perlakuan
Negative Ranks Positive Ranks Ties Total
0a 17b
.00
3a 8b 14c
Total
25
9.33 4.75
Sum of Ranks 28.00 38.00
a. NSDA akhir < NSDA awal b. NSDA akhir > NSDA awal c. NSDA akhir = NSDA awal
Tabel 1. Hasil Uji Wilcoxon Perubahan Kemampuan Aktivitas Berpakaian pada Responden Kelompok Perlakuan N
Negative Ranks Positive Ranks Ties
Mean Rank
Berdasarkan hasil di atas diketahui bahwa dari 25 responden, 3 responden pada kelompok kontrol yang mempunyai nilai NSDA di akhir penelitian lebih rendah daripada di awal penelitian yang berarti terdapat penurunan kemampuan aktivitas berpakaian, 8 responden mempunyai nilai NSDA di akhir penelitian lebih besar daripada di awal penelitian yang artinya ada peningkatan kemampuan aktivitas berpakaian diakhir penelitian dan 14 responden mempunyai nilai NSDA yang sama di awal dan di akhir penelitian (ties) artinya tidak terjadi perubahan kemampuan aktivitas berpakaian. Berdasarkan tes statistik responden kelompok kontrol diketahui bahwa nilai signifikansi 0.649 (p> 0.05) dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna kemampuan aktivitas berpakaian di awal dan akhir penelitian.
Sum of Ranks .00
9.00 153.00
8c 25
a. NSDA sesudah perlakuan < NSDA sebelum perlakuan b. NSDA sesudah perlakuan > NSDA sebelum perlakuan c. NSDA sesudah perlakuan = NSDA sebelum perlakuan
Berdasarkan hasil uji tersebut diketahui bahwa pada kelompok perlakuan terdapat 17 responden yang mempunyai nilai NSDA lebih tinggi sesudah perlakuan yang berarti ada peningkatan kemampuan aktivitas berpakaian setelah pemberian treatmen, 8 responden mempunyai nilai NSDA yang sama (ties) sebelum dan sesudah perlakuan yang berarti tidak terdapat perubahan kemampuan aktivitas berpakaian. Serta
Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan task oriented approach terhadap kemampuan aktivitas berpakaian pada
27
PROFESI, Volume 13, Nomor 1, September 2015 pasien pasca stroke. Artinya treatmen dengan menggunakan task oriented approach dapat diandalkan sebagai salah satu metode yang baik untuk melatih pasien dalam meningkatkan kemampuan aktivitas berpakaian pasien stroke. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan secara nyata pada kelompok perlakuan, dimana pada evaluasi awal hasil menunjukkan bahwa dari 25 responden, 11 responden mengalami ketergantungan dalam aktivitas berpakaian dan 14 responden mengalami ketergantungan hanya pada bantuan lisan, dan setelah diberi terapi/ treatmen dengan TOA meningkat menjadi 13 responden mandiri, 6 responden ketergantungan hanya pada bantuan lisan, dan 6 responden mengalami ketergantungan. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Khader Almhdawi (2011) yang meneliti tentang efek TOA pada pemulihan ektremitas atas pada rehabilitasi stroke, yang dilakukan terhadap 20 sampel dan hasilnya menunjukkan peningkatan yang signifikan. Lynn Leggs dkk. (2007) melakukan studi systematic review of randomised trials terhadap 1258 responden. Pasien diberikan treatmen okupasi terapi dengan aktivitas keseharian (activity of daily living). Hasil studi menunjukkan adanya peningkatan kinerja okupasional aktivitas keseharian dan penurunan ketergantungan. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Trombly (1995), bahwa Task Oriented Approach merupakan pendekatan yang berorientasi pada aktifitas, sedangkan terapi okupasi merupakan bentuk terapi yang berpusat pada aktifitas keseharian klien, dalam hubungannya dengan orang, lingkungan, bentuk aktifitas di masyarakat, serta aktifitas fungsional seseorang. Tujuan yang akan dicapai pada TOA adalah: 1) mampu mandiri dalam aktifitas keseharian, 2) mampu menciptakan makna hidup dan produktif dengan melaksanakan perannya di kehidupan, 3) analisis aktifitas digunakan sebagai dasar untuk mencapai tujuan (Trombly & Radomski, 2002) Pendekatan ini mempunyai asumsi bahwa: 1) aktifitas fungsional akan membantu mengorganisasi perilaku motor, 2) occupational performance muncul dari interaksi berbagai macam sistem sehingga memiliki karakteristik yang unik pada tiap individu dan lingkungannya, 3) setelah kerusakan central nerve system (CNS) atau perubahan perilaku personal maupun lingkungan, klien akan berusaha melakukan perubahan ting-
kah laku untuk mencapai kemampuan fungsional, 4) praktik secara aktif menggunakan strategi dan konteks yang bervariasi untuk mencapai solusi yang optimal. Prinsip terapi (strategi dan teknik) pada TOA yang digunakan pada proses terapi ini, yaitu: 1) client centered focus, 2) occupation based focus, 3) person and environment, 4) practice and feedback, 5) general treatment goals (Trombly & Radomski, 2002). Caugh, dkk. (2005) menambahkan bahwa aktivitas dapat menurunkan inhibisi interhemisfer karena adanya aktivasi kedua hemisfer secara simultan. K. Lin, dkk. Menambahkan bahwa efektifitas pemakaian TOA karena (1) anggota gerak saling berpasangan, (2) hemisfer yang mengalami lesi difasilitasi (rebalanced interhemisphereic activation & inhibition), dan (3) praktek secara pengulangan (repetitifve practice). Latimer (2010) mnengatakan bahwa setelah terjadi stroke, stimulasi magnetik transkranial mengalami putus inhibisi transkallosal yang mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara kedua hemisfere. Keadaan ini dapat menyebabkan over-excitation pada hemisfere sisi sehat dan meningkat inhibisi ipsilateral hemisfere sisi lesi. Dengan aktivitas mampu memperbaiki keseimbangan kedua hemisfere dan mempercepat berfungsinya sisi hemiplegi. Pada dasarnya intervensi okupasi terapi melalui empat tahapan, yaitu: 1). adjunctive methode (metode penunjang), pemberian latihan dengan teknik fasilitasi dan inhibisi dengan stimulasi sensori, menggerakan lingkup gerak sendi secara pasif dan lain-lain; 2). enabling activities, pemberian aktivitas bertujuan seperti menyusun kerucut, aktivitas di meja; 3). purposeful activity (aktivitas bertujuan), seperti latihan aktivitas berpakaian, makan, minum; dan 4). occupation (okupasi), melaksanakan tugas-tugas aktivitas kehidupan sehari-hari (Pedretti & Early, 2001). Melalui ke empat tahapan ini TOA dapat diaplikasikan sehingga dapat meningkatkan kemampuan fungsional pasien. Ismanto, Wignyosumarto & Sumarni (2003), mengemukakan bahwa terapi/treatmen oleh responden kepada penderita yang dilakukan secara terus menerus maka penderita akan: (1) mempunyai inisiatif sendiri, (2) mempunyai perasaan puas terhadap apa yang telah dikerjakannya, (3) bersikap obyektif, dan (4) mampu menjalankan kewajiban dengan dirinya sendiri tanpa perintah orang lain (Fikriyah, 2005). Pada akhirnya akan mampu meningkatkan kemampuan
28
PROFESI, Volume 13, Nomor 1, September 2015 fungsional kemampuan penderita stroke.
aktivitas
berpakaian
Legg,
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan penelitian ini adalah terdapat pengaruh task oriented approach terhadap kemampuan aktivitas berpakaian pada pasien pasca stroke dengan nilai p=0,000. Saran untuk penelitian ini adalah lingkup penelitian tidak terbatas hanya pada satu kecamatan saja, tetapi lingkup lokasi lebih luas dengan sampel yang lebih banyak sehingga bisa mewakili kuantitas dan kualitas penelitian yang pada akhirnya hasil penelitian dapat digeneralisasi. Pemberian terapi sebaiknya lebih lama sehingga dapat membawa dampak yang signifikan.
L., Drummod, A., Leonardi-Bee,J., Gladman, J. R. F., Corr, S., Donkervoort, M., Edmans, J., Gilbertson, L., Jongbloed, L., Logan, P., Sackley, C., Walker,M., Langhorne., P. (2007). Occupational Therapy for Patients with Problems in Personal Activities of Daily Living after Stroke: Systematic Review of Randomised Trials. BMJ.online.
Moller and Hunscha (2009). Quality of Life and the Millennium Challenge. Berlin: Springer Publisher. Pedretti (2001). Practice Skills for Physical Dysfunction, ( 5rd ed). California: Mosby. Reed, K.L. (2001). Quick Reference to Occupational Therapy. Texas: Aspen Publishers. Rowland, T (2008). Role of Occupational Therapy After Stroke. Retrieved November 25, 2013. http:www.annalsofian.org
DAFTAR RUJUKAN Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2007). Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Trombly, C. A. & Radomsky M. V. (2002). Occupational Therapy for Physical Dysfunction. (5 ed). Baltimore: Williams and Walkins.
Farida, I,N. & Amalia,N. (2009). Mengantisipasi stroke. Yogyakarta: Buku Biru.
Trombly, C. A. (1989). Occupational Therapy for Physical Dysfunction. (3rd ed). Baltimore: Williams and Walkins.
Latham (2006), Occupational Therapy Activities and Intervention Techniques for Clients with Stroke in Six Rehabilitation Hospitals stroke, American Journal of Occupational Therapist.
Yastroki. (2007). Angka Kejadian Stroke Meningkat Tajam. Retrieved November 23, 2013 http://www.yastroki.or.id
29