PENGARUH SUPLEMENTASI TERHADAP KONSUMSI DAN KINETIKA PENCERNAAN SERAT PADA SAPI BALI I Gusti N. Jelantik dan D. Kana Hau Fakultas Peternakan Undana Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTT ABSTRAK. Lima ekor sapi Bali betina dewasa tidak bunting yang dilengkapi dengan fistula rumen digunakan dalam suatu penelitian yang bertujuan untuk mengkaji pengaruh suplementasi level urea dan tepung ikan terhadap konsumsi dan kinetika pencernaan NDF hay rumput tropik berkualitas rendah (PK=3,53%). Pada penelitian yang mengikuti desain bujur sangkar latin 5 x 5, ternak tersebut diberikan hay secara adlibitum (G) atau diberikan suplemen urea setiap harinya masing-masing 38 g (GU38) dan 74 g (GU74), atau dua level tepung ikan masing-masing 156 g (GFM156) and 312 g (GFM312). Parameter yang diukur antra lain konsumsi NDF, kecernaan NDF in vivo, pool DNDF dan INDF di dalam rumen, dan laju aliran NDF keluar dari rumen. Konsumsi NDF meningkat secara sangat nyata (P<0.01) setelah pemberian suplemen. Peningkatan konsumsi tersebut terutama berhubungan dengan meningkatnya pool NDF di dalam rumen. Sementara itu laju aliran dan kecernaan NDF tidak dipengaruhi (P>0,05) oleh pemberian kedua suplemen. Dengan demikian suplementasi sumber protein mampu meningkatkan suplai nutrisi (energi) bagi ternak sapi Bali. Kata kunci: sapi Bali, hay berkualitas rendah, kinetika NDF PENDAHULUAN Rendahnya konsumsi dan kecernaan rumput tropika yang telah tua terutama disebabkan oleh defesiensi protein (nitrogen) yang tercerna di dalam rumen (Leng, 1990). Rumput tua mengandung sangat sedikit nitrogen (protein) dan jika ternak mengkonsumsi hanya rumput tua, konsentrasi ammonia di dalam rumen mungkin hanya berkisar antara 20-40 mg/l (Abdullah et al., 1987; Bonsi et al., 1995). Sementara itu, konsentrasi ammonia antara 50 - 80 mg/l dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan pertumbuhan dan aktivitas mikroba di dalam rumen khususnya yang bertanggung jawab terhadap pencernaan serat. Untuk pakan berkualitas rendah seperti rumput tua, konsentrasi ammonia yang lebih tinggi dibutuhkan yaitu mencapai 200 mg/l (Leng, 1990). Dengan demikian, jika ransum terdiri dari rumput tua, maka perlu supplementasi dengan sumber protein atau nitrogen yang tercerna di dalam rumen. Urea adalah suplemen yang paling banyak digunakan karena konsentrasi notrogennya yang sangat tinggi dan yang penting murah dan mudah didapat. Namun demikian, peningkatan konsumsi dan suplai nutrisi kepada ternak sebagai dampak suplementasi urea sering tidak cukup tinggi untuk mendukung tingkat produksi yang diharapkan (McAllan dan Griffith, 1987). Secara umum, suplementasi protein murni khususnya tepung ikan pada ternak yang mengkonsumsi rumput berkualitas rendah meningkatkan nilai nutrisi pakan pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan urea. Leng (1993) berpendapat bahwa perbedaan tersebut disebabkan tepung ikan mengandung fraksi bypass protein yang tinggi yang secara langsung meningkatkan aliran nitrogen bukan ammonia (NAN) ke duodenum. Namun demikian, pengaruh tersebut mungkin juga disebabkan oleh peningkatan kecernaan dan konsumsi pakan basal sebagai dampak peningkatan proses fermentasi setelah suplementasi tepung ikan (Stritzler et al., 1994). Selain nitrogen, pemecahan protein murni juga menghasilkan asam lemak berantai cabang, peptida, asam amino dan mineral yang dibutuhkan untuk memaksimalkan pertumbuhan mikroba rumen (McAllan dan Griffith, 1987; Nocek dan Russel, 1988). Laju degradasi dan pelepasan nitrogen dari protein murni juga jauh lebih lambat dibandingkan dengan urea. Dengan demikian, suplai ammonia menjadi dipertahankan lebih seimbang dalam waktu yang lebih lama (Stern et al., 1992) dan menghindarkan kelangkaan sementara seperti jika urea digunakan sebagai suplemen (Stritzler et al., 1994). Penelitian ini didisain untuk mengkaji bagaimana pemanfaatan NDF rumput tua oleh sapi Bali dipengaruhi oleh aras dan sumber protein yang terdegradasi di dalam rumen. Setiap peningkatan dalam konsumsi dan kecernaan mungkin dapat dijelaskan melalui peningkatan kinetika pencernaan serat selama di dalam saluran pecernaan. Dengan demikian sangat penting untuk mempelajari pengaruh
suplementasi terhadap kinetika pencernaan serat terutama di dalam rumen dimana proses pencernaan (fermentasi) sebagian besar berlangsung. MATERI DAN METODE Ternak, Pakan dan Perlakuan Sebanyak lima induk sapi Bali yang tidak bunting dengan berat rata-rata 189 kg yang dilengkapi dengan fistula rumen permanen digunakan dalam penelitian ini. mereka diberikan lima macam pakan perlakuan masing-masing hay rumput alam (G) atau disuplementasi dengan dua tingkat urea masingmasing 38 and 74 gh-1 (GU38 dan GU74) dan dua level tepung ikan, yaitu 156 and 312 gh -1 (GFM156 and GFM312). Hay dibuat dari rumput alam yang didominasi oleh Botriochloa spp. yang dipotong sekitar satu bulan setelah berbunga dan mengandung protein kasar 3,53%. Level suplementasi urea dimaksudkan untuk meningkatkan imbangan protein di dalam rumen (PBV) dari sekitar –180 pada pakan yang tidak disuplementasi menjadi –90 and 0 g per hari pada pakan yang disuplementasi. Suplementasi tepung ikan dibuat isonitrogen dengan suplementasi urea. Pada ternak yang menerima suplementasi urea, pakan juga disuplementasi dengan Na2SO4 dengan jumlah yang memberikan rasio N:S sebanyak 13:1. Hay rumput alam diberikan dua kali sehari yaitu setiap jam 08 00 dan 1600 sebanyak yang memberikan sisa sekitar 10 to 15 %. Pakan suplemen diberikan pada saat yang sama. Urea dilarutkan dengan 200 sampai 300 milliliter air dan kemudian disemprotkan pada sekitar sepertiga hay yang disediakan dan diberikan pada ternak. Dua per tiga hay lainnya diberikan setelah hay yang bercampur urea tersebut habis yaitu sekitar 1 jam setelah pemberian. Air disediakan dalam ember plastik dan diberikan berulang kali siang dan malam. Tabel 1. Komposisi pakan Pakan (kg BK)
G
GU38
GU74
GFM156
GFM312
Hay rumput alam Ad Libitum* Ad libitum Ad libitum Ad libitum Ad libitum Tepung ikan 0.156 0.312 Urea 0.038 0.074 Sodium sulphate 0.0028 0.0057 * Kuantitas hay yang diberikan adalah sekitar 10-15% lebih tinggi dari kapasitas konsumsi yang diukur selama dua minggu periode penyesuaian ketika semua ternak mendapatkan ransum suplemen yang sama yaitu GFM156
Tabel 2. Komposisi kimia pakan yang digunakan dalam penelitian Komposisi kimia (% BK)
Hay rumput alam
Tepung ikan
Urea
CP EE CF Ash NFE OM NDF
3.53 1.39 26.8 7.8 60.5 92.2 72.6
63.7 5.97 0.1 19.5 10.7 80.5 0
288.0 100 -
Penelitian dirancang menurut rancangan bujur sangkar latin 5 x 5 dengan dua minggu periode penyesuaian dan dua minggu periode koleksi data. Dari 2 minggu koleksi data, 1 minggu (minggu ketiga) digunakan untuk pengukuran kecernaan yang diakhiri dengan pengambilan cairan rumen. Selama minggu keempat dilakukan evakuasi rumen yang dilakukan selam tiga hari pada hari yang berbeda (Senin, Rabu dan Jumat) pada waktu yang berbeda masing-masing 800, 1400 dan 2000 . Parameter, Pengukuran dan Kalkulasi Metode sederhana yang hanya membutuhkan sapi berfistula rumen digunakan seperti dideskripsikan oleh Dado dan Allen (1995) untuk memprediksi laju fraksi serat yang keluar dari rumen.
Besarnya pool rumen untuk NDF dapat dicerna (DNDF) dan NDF tak tercerna (INDF) diperoleh menggunakan teknik evakuasi isi rumen. Digesta rumen dikeluarkan secara manual lewat fistula rumen selama minggu keempat pada tiga waktu yang berbeda (0800, 1400 dan 2000) di tiga hari yang berbeda (Senin, Rabu dan Jumat) pada setiap periode penelitian. Isi rumen yang dikeluarkan langsung dimasukkan ke dalam plastik wadah nasi di atas baskom plastik besar untuk memisahkan bagian padat dan cair. Cairan rumen yang tertampung di dalam baskom plastik kemudian ditimbang dan diaduk serta diambil sampel sebanyak 0,5 liter. Sisa cairan segera dikembalikan ke dalam rumen sehingga rumen dalam keadaan tanpa cairan hanya beberapa menit. Bagian padat (solid) dari digesta selanjutnya ditimbang, dicampur dan diambil sampel (sekitar 2,5%) untuk selanjutnya dikembalikan ke dalam rumen. Tiga sampel berukuran 500 g dibuat dengan mencampurkan kembali bagain padat dan cairan rumen secara proporsional sesuai dengan beratnya. Satu sampel dikeringkan pada temperatur rendah (40 oC) di dalam oven yang dilengkapi dengan aliran udara (forced air oven) selama 48 jam. Sementara itu dua sampel lainnya dikeringkan di dalam oven dengan temperatur 105oC selama minimal 20 jam untuk menentukan bahan kering sampel. Kandungan DNDF dan INDF diestimasi sebagai NDF dari hay, isi rumen dan feses yang tersisa setelah diinkubasi selama 21 hari di dalam rumen 2 ekor sapi Bali yang berfistula yang diberikan pakan yang terdiri dari 2/3 hay dan 1/3 konsentrat pada level pemenuhan energi untuk hidup pokok. Data kemudian dikorekasi untuk kehilangan partikel (particle losses), yaitu kehilangan selama proses pencucian. Kecernaan dan laju alir DNDF dan INDF diestimasi menggunakan rumus Weisbjerg (2000): Ki (laju konsumsi, per jam) DNDF dan INDF = (konsumsi DNDF atau INDF (kg/hari)/ DNDF rumen atau INDF rumen (kg))/24 (h/d) Kp(laju alir per jam) = (INDF feses (kg/hari)/ INDF rumen (kg))/24 (jam/hari) Kd (laju kecernaan per jam) = Ki DNDF - Kp DNDF Kecernaan NDF dalam rumen (RDDNDF) = fd x (Kd/(Kd + Kp)), dimana fd adalah bagian DNDF relatif terhadap NDF Kalkulasi tersebut mengasumsikan bahwa besarnya NDF rumen dan laju keluar masuk rumen adalah konstan dan inkubasi selama 21 hari di dalam rumen adalah akurat dalam memprediksi bagian NDF yang tidak terdegradasi secara in vivo. Analisis Kimia Ransum, komponen ransum, sisa pakan, feses dan digesta rumen dianalisis kandungan nutrisinya. Sampel tersebut dikeringkan di dalam oven berfentilasi pada 40 oC selama 48 hours, digiling menggunakan willey mill (saringan 1 mm) dan dianalisis kandungan NDFnya. Kandungan NDF ditentukan menggunakan analisis detergen (Van Soest et al., 1991) tanpa menggunakan enzym alpha-amylase. Analisis Statistik Seluruh data secara statistik dianalisis menggunakan Proc. GLM (SAS Institute, 2000). Model yang digunakan konsisten dengan model rancangan Bujur Sangkar Latin: Y = µ + C + P + T + E or Y= µ + C + P + Urea + FM + E, where µ : rataan umum, P : pengaruh periode, C : pengaruh ternak, T : pengaruh perlakuan, Urea: pengaruh linier urea, FM: pengaruh linier tepung ikan, and E: sisa error. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi DNDF dan INDF meningkat secara linier sesuai dengan level pemberian urea. Pada pemberian tepung ikan, peningkatan yang signifikan diperoleh setelah pemberian pada level pemberian 156 gram per hari. Namun demikian, konsumsi DNDF dan INDF tidak menigkat lebih lanjut ketika level pemberian tepung ikan ditingkatkan menjadi 312 g (lihat tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian tepung ikan sebanyak 156 gram per hari merupakan level optimal untuk meningkatkan konsumsi NDF pada ternak sapi Bali yang mengkonsumsi rumput berkualitas rendah. Pengaruh signifikan suplementasi terhadap konsumsi NDF pada penelitian ini sejalan dengan penelitian lainnya (Kempton, 1982; Kabre and Petit, 1989; Silva et al., 1989; Saadullah et al., 1983; Campling et al.,1962; Dias-da-Silva and Sundstøl, 1986; McLennan et al.,1981; and Kellaway and Leibholz,1983) dimana hijauan berkualitas
rendah yang mengandung protein kasar kurang dari 7% (Minson, 1990) disuplementasi pakan kaya protein. Hasil penelitian ini mendemonstrasikan bagaimana pemanfaatan pakan tropik berkualitas rendah dapat secara signifikan ditingkatkkan hanya dengan menyiramkan urea sebelum diberikan pada ternak. Peningkatan konsumsi setelah suplementasi urea sebelumnya dilaporkan oleh Campling et al. (1962), Kempton (1982), Dias-da-Silva and Sundstøl (1986), and Kellaway and Leibholz (1983). Namun demikian, suplementasi dengan tepung ikan secara signifikan lebih tinggi dalam meningkatkan konsumsi dibandingkan dengan suplementasi urea. Pada sapi perah laktasi Oldham et al. (1985) mencatat peningkatan konsumsi bahan organik yang signifikan ketika urea digantikan dengan tepung ikan. Peningkatan konsumsi NDF tersebut dapat dijelaskan oleh peningkatan kuantitas NDF (rumen NDF pool) yang ada dalam rumen. Hal ini disebabkan karena kuantitas NDF, INDF dan DNDF dalam rumen meningkat setelah pemberian urea dan tepung ikan (tabel 3). Untuk menjelaskan hasil penelitian ini, dua spekulasi mungkin dapat dijukan. Pertama, konsumsi pada ternak yang tidak disuplementasi dibatasi oleh kapasitas fisik rumen (physical fill), i.e. pengaturan fisik konsumsi yang paling mungkin terjadi pada ternak yang mengkonsumsi hijauan (Forbes, 1995). Dalam teori ini, ternak akan berhenti makan ketika rumen telah secera fisik penuh dengan pakan, kemudian sapi Bali mampu memperbesar rumennya untuk mempertahankan sekitar 25% lebih tinggi NDF sebagai respons terhadap suplementasi, suatu hasil yang jarang dilaporkan dalam literatur dan jelas menyimpang dari teori fill. Fenomena yang sama sebelumnya dilaporkan oleh by Lechner-Doll et al. (1990) dan selanjutnya dibahas dalam sebuah artikel kajian oleh Schlecht et al. (1999) terjadi pada sapi zebu dan juga pada domba sebagai respons terhadap penurunan kualitas padang penggembalaan. Dilaporkan bahwa sapi dan domba mampu memperbesar rumen untuk memberikan kesempatan waktu retensi pakan di dalam rumen sehingga konsumsi bahan organik tercerna dapat dipertahankan konstant. Namun demikian temuan mereka nampaknya bertolak belakang dengan hasil penelitian ini. Pada penelitian ini, kapasitas rumen meningkat sebagai respons terhadap peningkatan kualitas pakan dan bukann sebaliknya. Sebaliknya hasil penelitian kita ini nampaknya lebih sejalan dengan laporan Hennessy et al. (1995) yang mencatat sapi Brahman back-cross meningkatkan volume rumen dari 63 menjadi 87 litter ketika konsumsi meningkat sebagai respons suplementasi nitrogen. Hal ini menunjukkan bahwa rumen pool mungkin tidak konstant teetapi bervariasi pada tingkatan tertentu menurut berbagai faktor. Pada penelitian ini misalnya, rumen pool bervariasi sesuai dengan waktu. Rumen pool mungkin juga bervariasi menurut status fisiologi ternakk dan faktor lainnya. Table 3. Konsumsi, pool rumen dan feses NDF pada sapi Bali yang mengkonsumsi rumput berkualitas rendah yang disuplementasi dengan dua level urea atau tepung ikan Parameter
SEM Perlakuan
P Urea*
0.12 0.09 0.05 0.04
<.01 <.01 <.01 <.01
<.01 <.01 <.01 <.01
<.01 <.01 <.01 <.01
5.63 3.94 1.69 2.25
0.21 0.15 0.10 0.11
.02 .02 .2 .03
.04 .03 .1 .1
.01 .01 .02 .05
1.79 1.13 0.36 0.77
1.75 1.14 0.39 0.76
0.06 0.04 0.02 0.04
<.01 <.01 <.01 .01
.01 <.01 .01 .01
<.01 <.01 <.01 .01
48.9 71.6 18.1
47.1 69.2 17.1
2.2 1.98 4.08
0.8 0.4 0.9
0.7 0.4 0.9
0.5 0.4 0.9
2.75 1.97 1.14 0.83
3.07 2.21 1.28 0.94
3.19 2.21 1.27 0.94
3.32 2.18 1.26 0.92
Pool Rumen (kg) DM 4.15 NDF 3.11 DNDF 1.36 INDF 1.74
5.07 3.74 1.47 2.27
4.91 3.65 1.62 2.02
4.96 3.61 1.63 1.98
1.23 0.81 0.25 0.56 Semu
1.52 1.01 0.34 0.67
1.67 1.09 0.33 0.77
49.6 73.1 17.7
49.0 70.7 19.4
50.9 74.5 18.6
Feses (kg) DM NDF DNDF INDF Kecernaan (%) NDF DNDF INDF
GU38
Perlakuan GU74 GFM156
G Konsumsi (kg) : DM 2.16 NDF 1.57 DNDF 0.90 INDF 0.66
GFM312
FM*
* pengaruh linier DNDF: NDF yang terdegradasi yang diestimasi sebagai bagian yang hilang setelah diikubasi di dalam rumen selama 21 hari INDF: NDF yang tidak terdegradasi yang diestimasi sebagai bagian yang tersisa setelah diikubasi di dalam rumen selama 21 hari Kedua, kapasitas fisik rumen mungkin belum terpenuhi secara maksimal pada ternak yang tidak disuplementasi. Dengan kata lain, konsumsi tidak diregulasi oleh kapasitas fisik rumen dan ternak sapi berhenti makan sebelum rumennya penuh. Pada ternak ruminan yang diberikan pakan dengan kualitas pakan ‘terlalu rendah’, faktor-faktor seperti rasa (palatabilitas) dan terbatasnya waktu yang tersedia untuk makan dan ruminasi mungkin menjadi dominan dalam mengontrol konsumsi. Menurut Preston and Leng (1987) ternak ruminan mempunyai batas waktu memakan dan ruminasi sekitar 13 jam per hari. Spekulasi lainnya adalah karena ketidak cukupan nitrogen terutama untuk fermentasi didalam rumen telah memicu laju pelepasan panas yang tinggi di dalam rumen dan produksi panas metabolik yang tinggi (Leng et al., 1993), sehingga sapi Bali yang diberikan hay rumput alam saja akan terekspos terhadap stress panas sehingga konsumsi menurun. Menurut Preston and Leng (1987) salah satu alasaan ternak ruminan berhenti makan pada saat temperatur lingkungan panas adalah karena ternak kesulitan membuang panas. Ketika stress panas diturunkan misalnya dengan meningkatkan absorsi asam amino sehingga rasio protein/energi (P/E) meningkat dengan suplementasi maka konsumsi dapat ditingkatkan. Sementara itu, laju alir dan kecernaan NDF tidak menunjukkan peningkatan sesuai dengan kecenderungan peningkatan konsumsi sebagai dampak dari pemberian suplemen (tabel 4). Ukuran keluaran NDF, DNDF and INDF dalam feses secara signifikan meningkat dengan pemberian suplemen sejalan dengan trend peningkatan konsumsi. Oleh karena volume INDF rumen meningkat lebih besar didanbingkan dengan keluarannya dalam feses maka laju alir fraksional (kp INDF) menjadi kurang dipengaruhi oleh suplementasi. Secara empiris, terdapat sedikit peningkatan yang dicatat berturut turut pada level pemberian urea yang kedua dan level pemberian tepung ikan yang pertama. Hal yang sama juga berlaku untuk kecernaan DNDF. Laju kecernaan DNDF (kd DNDF) tidak meningkat setelah pemberian suplemen protein (table 5). Oleh karena baik kp dan kd tidak dipengaruhi oleh suplementasi, akibatnya kecernaan di dalam rumen menjadi tidak berbeda (P>0,05) di antara perlakuan. Table 4. Pengaruh levell dan sumber potein terhadap laju alir dan kecernaan NDF dalam rumen Parameters G Laju alir, /jam NDF 0.010 DNDF 0.009 INDF 0.014
GU38
Treatment GU74 GFM156
0.010 0.014 0.011 0.009 0.012 0.016
0.013 0.011 0.016
SEM GFM312 0.013 0.011 0.014
0.001 0.001 0.002
Perlakuan
P Urea*
FM*
0.4 0.2 0.3
0.3 0.7 0.4
0.2 0.2 0.4
Kecernaan dalam Rumen (%) NDF2 35.7 38.1 35.6 34.9 35.3 1.52 0.5 0.3 0.9 DNDF3 61.9 66.1 61.7 60.5 61.2 2.64 0.6 0.3 0.9 * pengaruh linier 1 dikalkulasi sebagai : (DNDF yang hilang dari rumen /volume DNDF rumen)/24 jam 2 dikalkulasi sebagai: ((konsumsi DNDF/konsumsi NDF) x kd DNDF))/(kd DNDF + kp INDF) 3 dikalkulasi sebagai: kd DNDF/(kd DNDF + kp INDF)
Amatlah jelas dari penelitian ini bahwa konsumsi NDF tercerna telah dimaksimalkan pada level pertama suplementasi tepung ikan. Dengan demikian peningkatan selanjutnya tidak dapat diharapkan. sebaliknya, konsumsi belum dimaksimalkan pada level pertama suplementasi urea sehingga konsumsi masih meningkat pada level kedua pemberian urea. Hal ini cukup mengindikasikan superioritas tepung ikan dibandingkan dengan urea.
KESIMPULAN Suplementasi baaik urea maupun tepung ikan pada sapi Bali yang mengkonsumsi hay rumput tropis berkualitas rendah secara signifikan meningkatkan konsumsi NDF tanpa berdampak negatif terhadap kecernaan NDF. Tepung ikan merupakan suplemen yang lebih baik dibandingkan urea dalam hal meningkatkan konsumsi NDF. Respons konsumsi paling baik dijelaskan dengan peningkatan rumen pools karena laju alir dan laju degradasi NDF tidak dipengaruhi oleh suplementasi. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, W. Y. W. Ho, M. Mahyudin and S. Jallaludin. 1990. Studies in fibre digestion and urea kinetics in cattle and buffaloes. Proc. 5th AAAP Animal Sci. Congr. 1990. Taipei, Taiwan, Republic of China. Pp. 39. Bonsi, M. L. K., P. O. Osuji, A. K. Tuah. 1995. Effect of supplementing teff straw with different levels of leucaena or sesbania leaves on the degradabilities of teff straw, sesbania, leucaena, tagasatse and vernonia and certain rumen and blood metabolites in Ethiopian Munz sheep. Anim. Feed Sci. Technol. 52: 101-129. Campling, R. C., M. Freer, and C. C. Balch. 1962. Factors affecting voluntary intake of food by cows. 3: the effect of urea on the voluntary intake of oat straw. Br. J. Nutr. 16: 115-124. Dado, R. G. and M. S. Allen. 1995. Intake limitations, feeding behaviour and rumen function of cows challenged with rumen fill from dietary fibre or innert bulk. J. Dairy Sci.: 188-133. Dias-da-Silva, A. A. and F. Sundstøl. 1986. Urea as a source of ammonia for imrpving the nutritive value of wheat straw. Anim. Feed. Sci. Technol. 14: 67-79. Forbes, J. M. 1995. Voluntary feed intake and diet selection in farm animals. CAB International. Hennessy, D. W., P. J. Kohun, P. J. Williamson, D. A. Brown and J. V. Nolan. 1995. The effect of nitrogen and protein supplementation on feed intake, growth and digestive functiion of steers with different Bos indicus, Bos taurus genotypes when fed a low quality grass hay. Australian J. Agric. Res. 46(6): 1121-1136. Kellaway, R. C. and J. Leibholz. 1983. Effects of nitrogen supplements on intake and utilization of lowquality forages. Kempton, T. J. 1982. Role of feed supplements in the utilisation of low protein roughage diets by sheep. World Rev. Anim. Prod. 2:7-14. Lechner-Doll, M., T. Rutagwenda, H. J. Schwartz, W. Schultka and W. v. Engelhard. 1990. Seasonal changes of ingesta mean retention time and forestomach fluid volume in indigesnous camels, cattle, sheep and goats grazing a thornbush savannah pasture in Kenya. J. Agric. Sci., Cambridge, 115: 409-420. Leng, R. A. 1990. Factors affecting the utilization of ‘poor quality’ forages by ruminants particularly under tropical conditions. Nut. Res. Rev. 3: 277-303. Leng, R. A. 1993. Quantitative ruminant nutrition- a green science. Aust. J. Agric. Res. 44(3):363-381. Leng, R. A., N. Jessop, J. Kanjanapruthipong and D. J. Farrel. 1993. Control of feed intake and the efficiency of utilisation of feed by ruminants. Recent Advances in Animal Nutrition in Australia. 70-88.
Lipke, H., W. C. Ellis, and B. F. Jacobs. 1986. Recovery of indigestible fibre from feces of sheep and cattle on forages diets. J. Dairy Sci. 69: 403-412. McAllan, A. B. and Griffith, E. E., 1987. The effect of different sources of nitrogen supplementation on the digestion of fibre componenis in the rumen of steers. Anim. Feed Sci. Technol., 17:65-73. Nocek, J. E. and J. B. Russell. 1988. Protein and energy as integrated system: relationship of ruminal proteina nd carbohydrates availability to microbial protein synthesis and milk production. J. Dairy Sci. 71: 2070-2107. Oldham, J. D., D. J. Naper, T. Smith, and R. J. Fulford. 1985. Performance of dairy cows offered isonitrogenous diets containing urea or fishmeal in early and mid lactation. Br. J. Nutr. 53(2):337-345. Preston, T. R. and R. A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production Systems with Feed Resources in The Tropics and Substropics. Penambul Books, Armidale, NSW, Australia. Schlecht, E., M. Blummel and K. Becker. 1999. The influence of the environemnt on feed intake of cattle in semi arid Africa. In: D. van der Heide, E. A. Huisman, E. Kanis, J. W. M. Osse and M. V. A. Verstegen. Proc. 5th Zodiac Symposium 22-24 April 1998, Wageningen, The Netherlands. Silva, A. T. and E. R. Orskov. 1988. The effect of five different supplements on the degradation of straw in sheep given untreated barley straw. Anim. Feed Sci. Technol. 19: 289-298. Singh, B., J. Kishan, and Deb. 1996. Review on nutrients utilisation due to supplementation in ruminants. Int. J. Anim. Sci. 11: 161-166. Stensig, T. 1996. Digestion and Passage of Fibre in Dairy Cows. PhD. Thesis. The Royal Veterinary and Agricultural University, Copenhagen. Stern, M. D., S. Calsamiglia, M. I. Endres. 1994. Dynamics of ruminal nitrogen metabolism and their impact on intestine protein supply. Proc. Cornell Nut. Confr. Feed Manufact. 56th meeting, Rechester, NY. 105-116. Stritzler, N. P., Wolstrup, J., Eggum, B. O. and Jensen, B. B., 1992. Factors affecting degradation of barley straw in sacco and microbial activity in the rumen of cows fed fibre-rich diets. I. The source of supplemental nitrogen. Anim. Feed Sci. Technol. 38:263-280.
Tolkamp. B. J. 1999. Limitations on the use of constratints for intake predictions. In: D. van der Heide, E. A. Huisman, E. Kanis, J. W. M. Osse and M. V. A. Verstegen. Proc. 5 th Zodiac Symposium 22-24 April 1998, Wageningen, The Netherlands. Pp. 151-166. Van Soest, P. J., J. B. Robertson and B. A. Lewis. 1991. Methods for dietary fibre, neutral detergent fibre and non-starch polysaccharides in relation to animal nutrition. J. Dairy Sci. 74:3583-3597.