PENGARUH STEEL FIBER PADA SIFAT MEKANIS BETON DAN KAPASITAS BALOK BETON BERTULANG PASCA KEBAKARAN EMILIA KADRENI, S.T., M.T. Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Untuk mengurangi sifat getas dan meningkatkan ketahanan retak awal (first crack) beton dapat ditempuh dengan jalan menambahkan serat baja dalam campuran beton. Serat yang ditambahkan dapat dari berbagai tipe, bentuk permukaan, panjang serat dan persentase jumlah serat (fiber volume fraction,Vf) . Ada berbagai macam bahan fiber yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat-sifat beton seperti yang telah dilaporkan oleh ACI Committee 544 (1982) dan Soroushian & Bayasi (1987). Bahan – bahan fiber tersebut antara lain berupa serat baja (steel fiber), kaca (glass fiber), plastik (polypropylene) dan karbon (carbon). Suhendro (1991) menunjukkan penambahan serat bendrat dengan panjang 60 mm dan diameter 1 mm sebagai alternatif pemakaian beton serat lokal dapat meningkatkan kuat tekan dan tarik belah berturut – turut sekitar 12 % dan 52 % terhadap beton normal. Penelitian Iskandar (1996), menunjukkan bahwa pengaruh temperatur lingkungan yang tinggi terhadap sifat mekanis beton dapat mengakibatkan kuat tekan beton semakin rendah berbanding terbalik dengan suhu yang semakin tinggi. Dengan pertimbangan – pertimbangan tersebut diatas timbul pemikiran untuk mengadakan suatu penelitian terhadap pengaruh penambahan serat baja (steel fiber) pada perilaku struktural dan kapasitas balok beton bertulang pasca kebakaran., yang diharapkan dapat meningkatkan kuat ultimit dan kekakuan balok beton bertulang pada berbagai variasi suhu yang pernah di alaminya. II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Steel Fiber Reinforced Concrete Steel fiber didefenisikan sebagai bagian kecil yang rata atau ber gelombang baja dingin; bagian rata atau bergelombang potongan baja; leburan ekstrak serat atau serat baja lainnya yang sangat kecil tersebar merata dalam campuran beton segar, dengan aspek rasio, yaitu panjang serat dibagi dengan diameter serat, l/d antara 12,7 mm sampai 63,5 mm (ACI 544.3R-84) dengan tegangan tarik rata–rata fu, tidak kurang dari 345 MPa ( ASTM-A820 ). Berdasarkan ASTM-A820, terdapat empat tipe umum serat baja yang digunakan sebagai material, yaitu tipe I kawat dingin; tipe II potongan tipis; tipe III leburan ekstrak serta tipe IV serat jenis lainnya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Dalam ACI 544.1R (1982) disebutkan bahwa hasil penelitian pembebanan statis (static strength) dengan menggunakan serat baja sampai 4 % terhadap volume beton dapat meningkatkan retak awal sebanyak 2,5 kali pada benda uji under reinforced dan sedikit meningkatkan kuat tekan; meningkatkan kuat tarik belah sebanyak 2,5 kali untuk kandungan serat 3 % dan sebanyak 2 kali untuk
2002 digitized by USU digital library
1
kandungan serat 2 %. Secara umum serat dapat meningkatkan daktilitas beton bertulang, tergantung dari bentuk dan jumlah kandungan serat.
Gambar 1. Beberapa type serat yang terbuat dari baja (J Hannant, 1978) II.2. Beton Pasca Bakar Neville (1975) menyatakan terdapat tiga sifat yang sangat mempengaruhi perilaku beton dalam jangka panjang dengan berbagai kondisi, yaitu daya antar panas (thermal conductivity) yang merupakan rasio dari perubahan panas terhadap temperatur; penyebaran panas (thermal diffusivity) yang merupakan luasan perubahan temperatur yang dapat terjadi pada suatu benda; kalor jenis (specific heat) yang dinyatakan sebagai kapasitas panas beton, bertambah sejalan dengan bertambahnya kandungan air pada beton. Malhotra (1982) menyatakan bahwa akibat temperatur yang tinggi akan menyebabkan turunnya berat jenis beton karena terjadinya pengurangan kandungan kelembaban dalam beton. Tetapi karena besarnya pengurangan kecil maka untuk keperluan praktis dapat diabaikan. Kekuatan tekan dari beton akan menurun dengan kenaikan temperatur,pada temperatur 200oC, 400oC dan 550oC secara berturut-turut besarnya sisa kekuatan tekan adalah 95%, 62% dan 25%. III. LANDASAN TEORI III.1. Sifat Baja Pada Temperatur Tinggi Baja dan juga material metal lainnya, merupakan material yang mempunyai sifat penghantar panas yang baik/tinggi (high thermal conductivity). Kekuatan ultimit struktur baja meningkat sampai suhu 300oC, dan makin lama makin menurun. Pengaruh temperatur yang terpenting adalah penurunan bertahap titik leleh yang sebenarnya dan batas banding ini juga mengacu pada peningkatan dari modulus elastis secant. Sedangkan modulus elastisitas pada baja tulangan (Anderberg,1978) dapat dilihat pada Gambar 2
2002 digitized by USU digital library
2
Gambar 2. Pengaruh Temperatur Pada Modulus Elastisitas Baja Tulangan (Anderberg,1978) III.2. Sifat Beton Pada Temperatur Tinggi Pada suatu struktur bangunan beton yang mengalami kebakaran, kekuatan beton dipengaruhi oleh variasi temperatur dan tingkat pemanasan; durasi pemanasan, jenis dan perilaku pembebanan, yaitu terkekang dan bebas; jenis dan ukuran agregat; persentasi pasta semen serta rasio air semen (Al-Muthairi - Al Shaleh,1997).
Gambar 3. Pengaruh Temperatur Pada Kuat Tekan Beton ( f’c ) Gambar 3 yang menunjukkan bahwa kuat tekan beton mempunyai nilai konstan pada temperatur normal sampai dengan 1000oF (± 500oC), dan pada temperatur diatas 1000oF (± 500oC), kuat tekan beton (fc’) akan berkurang ± 50 % dari kekuatan awalnya (Gustaferro,1985). Modulus elastisitas beton (Ec) akan berkurang seiring dengan bertambahnya temperatur, pada 1000oF (± 500oC), modulus elastisitas beton tinggal ±50 % dari modulus elastisitas pada temperatur normal (Gustaferro,1985), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.
2002 digitized by USU digital library
3
Gambar.4. Modulus Elastisitas Beton Pada Suhu Tinggi III.3. Pengaruh Penambahan Steel Fiber Pada Balok Beton Bertulang Penambahan serat bertujuan untuk memberi tulangan pada beton yang disebar merata ke dalam adukan beton dengan kandungan tertentu, sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya retak pada daerah tarik beton akibat pengaruh pembebanan, pengaruh susut pada beton atau pengaruh panas hidrasi. Kuat tarik beton dipengaruhi oleh bentuk dan kandungan serat yang digunakan, fiber yang mempunyai bengkokkan (hooked end fiber) dapat meningkatkan kuat tarik beton bila dibandingkan dengan dengan fiber lurus (straigth fiber). Serat dengan ujung yang dibengkokkan juga lebih efektif dalam menahan pengaruh lentur dan tekan dalam perilaku beton (Balguru & Shah, 1992). III.4. Kapasitas Balok Beton Serat Kekuatan momen lentur balok beton bertulang dengan penambahan serat 0,003
0,85 f’’cf c
d
0,85 c
garis netral
(h-c) εs
Dc
Tc Ts
Gambar 5. Distribusi Regangan – Tegangan Lentur a. Usulan Swamy dan Al Ta’an (1981) Distribusi tegangan dianggap linier, dengan regangan maksimum di serat beton terdesak sebesar 0,0030. Diagram tegangan yang telah di idealisasikan dengan bagian desak digunakan diagram berbentuk segitiga. Momen ultimate yang dapat didukung oleh tampang tersebut, yaitu :
(h − c ) Mu = Tc.0,575 c + + Ts (d − 0,425 c ) ……………………………..1) 2
2002 digitized by USU digital library
4
b. Usulan Jindall ( 1983 ) Distribusi tegangan dianggap linier, dengan regangan maksimum di serat beton terdesak sebesar 0,0040. Diagram tegangan yang telah di idealisasikan dengan bagian desak digunakan diagram berbentuk empat persegi panjang ekivalen Momen ultimate yang dapat didukung oleh tampang tersebut, yaitu :
Mu = Tc.[0,575 c + 0,575 (h − c )] + Ts (d − 0,425 c ) …………………………..2)
c. Usulan Suhendro (1991) Distribusi tegangan dan regangan yang terjadi, dapat dilihat pada gambar berikut : ε = 0,0035
d’
fcf Cs Cc garis netral
ε’s d h c
Tc0,85(h - c) 0,85 ftf
b
0,075(h- c ) 0,075(h- c )
T
Gambar 6. Distribusi Regangan – Tegangan Lentur Pada Balok Serat Bertulang (Suhendro,1991) Momen Lentur Nominal
M n = Ts . (d − c) + Tcf .
(h − c) + C c . 5 8 .c + Cs .(c − d) ………………..……..3) 2
III.5. Kapasitas Balok Beton Normal Kekuatan momen lentur balok beton bertulang berdasarkan SK SNI T-15ε 1991-03 0 85 f 'c = 0.003 a= β 1cb 0 85 f c' c d
h
Z (d – c ) ε
b (a)
Ts
s (b)
(c)
Gambar 7 Distribusi Regangan – Tegangan Lentur Pada Balok Beton Bertulang (Anonim,1991) Momen Lentur Nominal Mu fy = ρ .0,8. fy.1 − 0.588.ρ . ………………………………………………..4) 2 b.d fc'
IV. CARA PENELITIAN Bahan yang dipergunakan antara lain PC tipe I, pasir dan kerikil (diameter butir maksimall 20 mm) dari sungai Krasak. Bahan tambah berupa steel serat Harex SF dengan Vf = 0,635 % (50 kg/m3) dan superplasticizer. Baja tulangan polos berdiameter 12 mm dengan tegangan luluh baja (fys) = 3900 kg/cm2).
2002 digitized by USU digital library
5
Proporsi campuran beton (mix design), dari hasil pemeriksaan specific gravity bahan penyusun beton dilakukan perhitungan berat bahan penyusun beton (Suhendro,1991) pada Tabel 1. Tabel 1. Bahan Susun Adukan Beton ( Suhendro,1991)
Jenis Beton Normal Serat
Jumlah Yang Dibutuhkan ( kg/m3) untuk Vf = 0,635 % Semen Pasir Kerikil Serat Air Superplasticizer (kg) Tipe I Grad. II (kg) (kg) (kg) 461,3694 922,738 738,190 207,616 71,491 942,982 754,386 50 212,171 4,715
Sedangkan jumlah dan tipe benda uji beton tersaji dalam Tabel 2. Tabel 2. Tipe dan Jumlah Benda Uji
Benda Uji Temperatur Silinder Balok Model Balok Bertulang Σ
Jenis Beton Beton Normal Beton Serat, Vf= 0,635 % 250C 4000C 8000C 250C 4000C 8000C 3 bh 3 bh 3 bh 3 bh 3 bh 3 bh 2 bh 2 bh 2 bh 2 bh 2 bh 2 bh 2 bh 2 bh 2 bh 2 bh 2 bh 2 bh 7 bh 7 bh 7 bh 7 bh 7 bh 7 bh
IV.1. Pembakaran Untuk benda uji dengan kode BN-400; BF-400; BN-800 dan BF -800 mencapai umur 150 hari , benda uji di masukkan ke dalam tungku pembakaran dan di bakar dengan dua macam variasi suhu berbeda yaitu 4000 C dan 8000 C selama ± 3 jam (ASTM E -119). Untuk satu kali pembakaran, benda uji yang dibakar terdiri dari 3 buah silinder ; 2 buah balok plain concrete; 2 buah balok skala penuh pada satu jenis beton V. HASIL DAN PEMBAHASAN V.1. Kelecakan (Workability) Untuk mengetahui tingkat kemudahan adukan beton untuk diaduk, diangkut, dituang dan dipadatkan, perlu adanya pengukuran tingkat kelecakan (keenceran) adukan beton, dengan menggunakan uji nilai slam (Slump). Hasil pengujian nilai slam dan perhitungan nilai VB-time dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Pengujian Nilai Slam Beton (Balaguru dan Ramakrishnan, 1987)
No.
Benda Uji
Kode
1
2 balok tulangan + 3 silinder normal 2 balok tulangan + 3 silinder serat 2 balok tulangan + 3 silinder normal 2 balok tulangan + 3 silinder serat
2 3 4
BN-25
Nilai slam (cm) 10
Nilai Slam ( inchi ) 3,94
VB Time *) (detik) 2,2
BF-25
15
5,9
2,27
BN-400
9,5
3,74
2,35
BF-400
14,5
5,7
2,41
2002 digitized by USU digital library
6
5 6
2 balok tulangan + 3 silinder normal 2 balok tulangan + 3 silinder serat
BN-800
8,5
3,34
2,68
BF-800
5
1,96
0,86
*) log10 (V-B) = 1,112 – 0,128 (slump ) untuk beton serat log10 (V-B) = 0,902 – 0,142 (slump ) untuk beton normal Penambahan serat dapat menambah nilai slam beton. Perhitungan VB – time dengan menggunakan rumus Balaguru dan Ramakrishnan (1987) ini tidak dapat diadopsi pada hasil penelitian, karena beberapa faktor yang berbeda yaitu bentuk serat (lurus dan pipih), faktor air semen, jumlah kandungan serat dibandingkan benda uji yang digunakan pada penelitian. V.2. Kurva Pembakaran Benda Uji Pembakaran benda uji sesuai dengan peraturan ASTM E 119 – 95a tentang ”Standard Test Methods for Fire Tests of Building Construction and Materials”. Derajat suhu pembakaran benda uji kedua jenis beton dan temperatur dapat dilihat pada Gambar 8.
Temperatur (o C )
1200
BN-400
1000
BN-800
800
BF-400
600
BF-800
400
ASTM E 119-95a
200 0 0
50
100
150
200
250
300
Waktu (menit) Gambar 8. Kurva Pembakaran Benda Uji V.3. Sifat – sifat Mekanis Beton a. Kuat tarik beton ( T ) Pengujian kuat tarik dilakukan dengan menggunakan uji belah tarik silinder beton yang mengacu pada ASTM C 496 –90 tentang ”Standard Test Method for Splitting Tensile Strength of cylindrical concrete specimens”. Hasil pengujian kuat tarik belah pada silinder dapat dilihat pada Gambar 10. Dengan adanya penambahan serat pada silinder beton , terjadi peningkatan nilai kuat tarik belah yang cukup signifikan pada temperatur 25o C ,400o C dan 800o C berturut - turut sebesar 32,19 %; 24,13 % serta 159 % . Hal ini disebabkan perilaku serat yang dapat menambah lekatan antara agregat dengan pasta semen serta retak – retak yang terjadi dapat ditahan olerh serat yang tersebar merata secara random sehingga bersifat lebih daktail serta lebih tahan terhadap benturan dan lenturan. Pertambahan temperatur pada silinder beton akan terjadi penurunan nilai kuat tarik belah beton dari rerata tiga benda uji pada temperatur 400oC dan 800oC untuk beton serat dan non serat berturut - turut sebesar 61,31 %; 58,79 %; 89,73
2002 digitized by USU digital library
7
% dan 94,76 % dibandingkan dengan beton pada temperatur ruang, baik beton serat maupun beton non serat.
Kuat Tarik Belah Rerata (MPa)
7 5.93
6 5
4.49 BETON NORMAL
4
BETON FIBER
3 1.85
2
2.29
1
0.24
0.61
0 25
400 Temperatur (oC)
800
Gambar 9. Degradasi Kuat Tarik Belah Silinder Beton Pada saat mencapai beban maksimum, perilaku beton serat secara umum tidak terjadi patah atau terbelah, masih menyatu hanya terdapat retak perlahan di sisi lingkaran tanpa adanya terdengar suara retak kecuali pada temperatur 800o C benda uji hancur pada sisi memanjang tanpa terbelah. Hal ini terjadi karena pada permukaan benda uji telah terjadi retak rambut sebelum dilakukan pengujian. Untuk beton normal, kerusakan terbesar terjadi pada benda uji yang dibakar dengan temperatur 800o C yaitu patah dengan suara keras dan tiba – tiba yang disebabkan beton sudah tidak bersifat daktail, sedangkan untuk temperatur 400o C terjadi retak di sisi atas silinder tanpa terbelah baik beton normal maupun serat. b. Kuat Lentur (flexural strength) Balok Ukuran 15 cm x 15 cm x 60 cm Kuat lentur didapat dari hasil pengujian lentur (flexural test), berdasarkan ASTM C 78 - 94 dengan tiga titik pembebanan menggunakan benda uji berupa balok berukuran 15cm x 15cm x 60 cm. Beban runtuh pada saat benda uji runtuh disebut juga modulus of rupture (MoR) dengan menggunakan persamaan
MoR =
Pl bd 2
Modulus of rupture (MoR). Secara empiris hubungan antara kuat tekan dan MOR dinyatakan dengan rumus MoR = 12
2002 digitized by USU digital library
f 'c
8
180
Perhitungan MoR Rerata (MPa)
160
156.34 145.03
140
BN-EKSP
120
BN-TEORI
98.60
100 79.34 80
BF-EKSP
84.53
BF-TEORI
66.20 61.12
56.10
60 39.42 40
26.07 12.57
20 2.55 0 25
400 Temperatur (oC)
800
Gambar 10. Perhitungan MoR Eksperimen dan Teoritis Dari hasil pengujian kuat lentur yang disajikan pada Gambar 10. terlihat bahwa terjadi perbedaan yang cukup signifikan antara nilai MoR ekperimen dengan nilai MoR teoritis berturut – turut sebesar 36,94 % ; 45,29 %; 38,29 %; 60,61 %; 77,60 % dan 93,54 % untuk beton serat temperatur kamar; beton normal temperatur kamar; beton serat temperatur 400o C; beton normal temperatur 400o C; beton serat temperatur 800o C serta beton normal temperatur 800o C. Dengan nilai terendah terdapat pada benda uji tanpa serat yang di bakar pada temperatur 800o C. Terjadi degradasi MoR pada temperatur 400o C dan 800o C untuk kedua jenis beton berturut –turut sebesar 82,02 % dan 98,24 % untuk beton normal, serta 60,90 % dan 91,96 % untuk beton serat, yang disebabkan terjadi degradasi berat volume dan kuat tekan beton pasca bakar. Untuk perhitungan MoR antar temperatur, terlihat bahwa pada temperatur 25o C, MoR hasil eksperimen lebih besar dari MoR teoritis sedangkan pada temperatur 400o C dan 800o C , MoR hasil eksperimen lebih kecil dari MoR teoritis dan 800o C,yang disebabkan pada beton pasca bakar telah terjadi degradasi modulus elastisitas dan kuat tekan beton (Nurrahmah,2000). Teori MoR adalah untuk beton tanpa dibakar, sehingga untuk beton pasca bakar teori tersebut tidak dapat diadopsi 100 %, tetapi harus diadakan penelitian lebih lanjut untuk beton pasca bakar. Secara umum, dari pengamatan dapat terlihat bahwa benda uji dengan penambahan serat dapat mempengaruhi mekanisme keruntuhan, yaitu waktu pembebanan yang relatif lebih lama dengan rata – rata lama pembebanan untuk beton serat 1,081 menit dan beton non serat 0,913 menit (kecepatan pembebanan 2,540 mm/ menit) serta benda uji tidak terbagi menjadi dua. c. Kuat tekan beton (fc’) Dalam penelitian ini benda uji yang digunakan berbentuk kubus yang merupakan bagian dari balok tanpa tulangan (plain concrete) yang telah patah, berdasarkan ASTM C 116 – 90 tentang “Standard Test Method For Compressive Strength of Concrete Using Portions of Beams Broken in Flexure”. Rerata dari tiga buah hasil pengujian kuat tekan benda uji tersebut pada berbagai temperatur dapat dilihat pada Gambar 11.
2002 digitized by USU digital library
9
Rerata fc' Konversi (MPa)
80 70
67.51
60 50
49.62
BN
43.71
BF
40
30.43
30
21.86
20
10.79
10 0 25
400 Temperatur (oC)
800
Gambar 11. Rerata fc’ konversi (MPa) Dari hasil pengujian dapat terlihat, temperatur sangat mempengaruhi kuat tekan beton, sehingga mengalami penurunan yang cukup berarti yaitu pada temperatur 400o C dan 800o C berturut – turut sebanyak 30,379 % dan 75,316 % untuk beton normal, serta 26,502 % dan 67,623 % untuk beton serat dibandingkan pada suhu ruang (25o C) baik beton normal maupun beton serat. Dari pengamatan visual terlihat untuk beton serat, pada saat terjadinya beban maksimum, runtuh yang terjadi hanya pada sisi samping kubus, tidak demikian halnya dengan beton normal, runtuh terjadi pada semua sisi kubus. V.4. Analisa Penampang Balok Beton Serat Karena sifat serat baja (steel fiber) yang getas (brittle) dalam mendukung tegangan tekan pada komposit balok beton bertulang serta meningkatkan kuat tarik yang bekerja pada baja tulangan, dapat mempengaruhi distribusi tegangan pada saat runtuh dan kuat batas (ultimate strength) pada balok beton bertulang sehingga terjadi beberapa perbedaan anggapan dan usulan dalam menganalisa kuat batas penampang beton seperti yang telah dijelaskan dalam landasan teori. Pada Tabel 4., terlihat bahwa usulan–usulan dari Swamy & Al-Taan dan Jindall untuk analisa tampang balok beton serat berada sangat jauh dari hasil percobaan model skala penuh, dibandingkan dengan usulan Suhendro yang memberikan hasil cukup dekat dengan hasil percobaan. ( terdapat perbedaan 21 % ), sehingga usulan–usulan dari Swamy & Al-Taan dan Jindall tidak dapat diadopsi dengan tepat.
2002 digitized by USU digital library
10
Tabel 4. Hasil Analisis Kuat Batas Balok Beton Dengan Dan Tanpa Serat
Beton Serat Metode
25
Swamy & Al - Taan ( 1981 )
400
Beton Normal
800
25
400
800
-
-
-
-
-
-
-
-
-
15,87 10,63 7,13 3,96
Jindall ( 1983 )
2,65 1,78
14,59 10,44 8,17
Suhendro ( 1991 )
3,64
2,61 2,04
9,95
9,58 7,03
2,48
2,39 1,75
SK SNI T - 15 - 1991 - 03
-
6,8 1,7
7,8 *) 1,95 **)
Hasil percobaan model skala penuh
-
7,65 7,55 6,79
6,4 1,6
1,94 1,92 1,72 7,4 6,6 1,85 1,65 6,2 1,55
*) Nilai P ( ton ) **) Nilai M ( ton.meter ) V.5. Kapasitas Model Balok Skala Penuh Retak awal (first crack) terjadi pada bagian tengah balok dengan beban yang dicapai berturut – turut sebesar 3,2 ton ; 3,6 ton ; 1,4 ton ; 2,2 ton ; 1,2 ton dan 1,8 ton atau terjadi peningkatan retak awal berturut – turut sebesar 12,5 %; 57,14 %; 50 % untuk temperatur 25oC ; 400oC dan 800oC antara beton normal di bandingkan beton serat. seperti terlihat pada Gambar 12. Pada Gambar 13. terlihat bahwa terjadi peningkatan beban maksimum yang dapat ditahan balok beton bertulang berturut – turut sebesar 5,41 % ; 3,03 %; 3,22 % antara beton serat dibandingkan dengan beton normal pada temperatur 25oC ; 400oC dan 800oC atau terjadi degradasi beban maksimum berturut – turut sebesar 12,12 % ; 19,35 % ; 14,71 % dan 21,88 % untuk beton normal dan beton serat terhadap balok pengontrol (temperatur 25oC), yang disebabkan terjadi perubahan kimia dalam beton akibat temperatur tinggi sehingga beton menjadi sangat lemah dan rapuh (brittle).
Beban Maksimum (ton)
4 3.5
3.6 3.6
3.2
3.6
3.2 3.2
3 2.4
2.5
2.2 2
2
1.8 1.8
1.6 1.4
1.5
1.2
1.2 1.2 1.2
1.8
BN-1 BN-2 BN-rerata BF-1 BF-2 BF-rerata
1 0.5 0 25
400 Temperatur (oC)
800
Gambar 12. Hubungan Temperatur – Beban Pada First Crack 2002 digitized by USU digital library
11
9 7.87
8 Beban Maksimum (ton)
7
7.447
7.308
7.72
7.589
7.24
7.196
6.95
6.704 6.146
6.44
6.76
6.518
6.4
6.42
6.46
5.813
6
5.108
5 4 3
BN-1 BN-2 BN-rerata BF-1 BF-2 BF-rerata
2 1 0 25
400 Temperatur (oC)
800
Gambar 13. Hubungan Temperatur – Beban Maksimum V.6. Daktilitas Balok Dari kurva hubungan beban – lendutan hasil percobaan dapat dihitung nilai daktilitas untuk balok BN-25 ; BF- 25 ; BN- 400 ; BF– 400 ; BN– 800 ; dan BF– 800 berturut – turut sebesar 1,89 ; 2,72 ; 1,71 ; 1,77 ; 1,59 ; 1,64. seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14. Atau adanya peningkatan daktilitas beton serat pada temperatur 25o C, 400o C dan 800o C berturut – turut sebesar 43,92 %; 3,51 %; dan 3,14 %, yang dipengaruhi oleh sifat serat baja yang berfungsi mengurangi atau menghambat retakan melebar setelah first crack; meningkatkan beban retak pertama (first crack) balok beton bertulang; serta meningkatkan daktilitas dengan peningkatan penyerapan energi (energy dissipation) terhadap pembebanan. 3 2.72
Daktilitas Balok Beton Bertulang
2.5
BETON NORMAL BETON FIBER
2
1.89 1.71
1.77 1.59
1.64
1.5
1
0.5
0 25
400 Temperatur (oC)
800
Gambar 14. Daktilitas Balok Beton Bertulang Perbandingan antar temperatur, terjadi penurunan daktilitas balok beton normal dan balok beton serat pada temperatur 400o C dan 800o C sebesar berturut – turut 10,52 % ;18,87 % ; 53,67 % dan 65,85 %. Adanya fenomena penurunan daktilitas balok beton serat yang mendekati sebesar 0,95 untuk temperatur 400o C dan 1,08 untuk temperatur 800o C , yang disebabkan perilaku serat yang masih bekerja sebagai tulangan tambahan pada beton.
2002 digitized by USU digital library
12
V.7. Kekakuan Balok
Kekakuan kT/kN ( kN/mm )
1.2 1
1.00
BF
0.8
BN 0.63
0.6
0.53
0.4
0.48 0.37
0.2 0 0
200
400 600 Temperatur ( C )
800
Gambar 15. Kurva Hubungan Beban – Regangan Dari Gambar 15. terlihat,kekakuan yang terjadi semakin berkurang sejalan dengan bertambah temperatur. Untuk temperatur 25oC tidak ada perbedaan kekakuan yang cukup signifikan antara beton serat maupun beton normal, dengan penurunan terbesar terjadi pada temperatur 800oC pada beton serat maupun beton normal sebesar satu setengah kali dibandingkan balok pengontrol V.8. Pola dan Propagasi Retak Karena balok direncanakan dengan tulangan longitudinal 2d12 dan tulangan geser d6-100, serta panjang bentang geser (a/d) berkisar antara 0,5-2,5 ( Chu Kia Wang dan Charles Salmon,1985), maka kegagalan atau pola retak yang terjadi adalah gagal lentur, yaitu gagal lentur yang diikuti dengan geser Retak pada benda uji balok terjadi pada daerah lentur dengan pola mengikuti atau meneruskan retak rambut yang telah ada akibat panas api. Hal ini disebabkan karena terjadinya degradasi kuat tekan beton, modulus elastis sehingga beton menjadi porous (Ngudiyono,2001). Dengan penambahan serat dapat meningkatkan retak awal pada balok, kecuali pada balok yang dibakar pada temperatur 800oC, kenaikan retak awal tidak terlalu berarti. Propagasi atau penyebaran retak pada beton serat lebih sedikit dibandingkan pada beton normal dengan dan tanpa dibakar, hal ini disebabkan adanya tahanan dan perilaku retak dari beton serat (Leung,1996) yang dipengaruhi oleh • “Crack-tip fracture toughness”, keliatan beton betambah dengan adannya efek perangkap retak (crack trapping) yaitu retak yang terpaksa menyebar dengan permukaan melengkung diantara serat yang berdekatan. • “Fiber briding stress”, perilaku serat yang menyerupai “jembatan “ yang menghubungkan tepian sungai, retak yang terjadi pada daerah tarik beton, dengan adanya serat dapat menimbulkan tegangan tarik dan menghambat penyebaran retak.
2002 digitized by USU digital library
13
VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI.1. Kesimpulan Dari hasil pengujian dan pembahasan terhadap benda uji dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Penambahan serat pada campuran beton segar dapat menambah nilai slam beton dan dapat meningkatkan nilai kuat tarik belah berturut-turut pada temperatur 25o C ,400o C dan 800o C sebesar 24,35 % ; 19,44 % serta 61,41 % . 2. Dengan adanya pertambahan temperatur pada silinder beton akan terjadi penurunan nilai kuat tarik belah beton sebesar 61,31 % untuk beton serat dan 58,79 % untuk beton non serat pada temperatur 400o C serta 89,73 % untuk beton serat dan 94,76 % untuk beton non serat pada temperatur 800o C terhadap temperatur kamar serta penurunan kuat tekan beton pada temperatur 400o C dan 800o C berturut – turut sebanyak 30,379 % dan 75,316 % untuk beton normal, serta 26,502 % dan 67,623 % untuk beton serat dibandingkan pada suhu ruang ( 25o C ) baik beton normal maupun beton serat. 3. Terjadi perbedaan yang cukup signifikan antara nilai MoR ekperimen dengan nilai MoR teoritis berturut – turut sebesar 36,94 % ; 45,29 %; 38,29 %; 60,61 %; 77,60 % dan 93,54 % untuk beton serat temperatur kamar; beton normal temperatur kamar; beton serat temperatur 400o C; beton normal temperatur 400o C; beton serat temperatur 800o C serta beton normal temperatur 800o C. Dengan nilai terendah terdapat pada benda uji tanpa serat yang di bakar pada temperatur 800o C. 4. Retak awal (first crack) pada beton serat bertambah 12,5 % dibanding dengan beton normal untuk temperatur 25o C ; 57,14 % untuk temperatur 400o C dan 50 % untuk temperatur 800o C. 5. Beban maksimum yang dapat ditahan dari rerata 2 buah model balok beton bertulang sebesar 5,46 %;13,13 %; 10,79 % pada temperatur 25oC ; 400oC dan 800oC atau terjadi degradasi sebesar 12,44 % ; 23,79 % ; 4,82 % dan 17,84 % 6. Pada kurva hubungan tegangan – regangan dapat diketahui bahwa kekakuan balok berkurang dengan adanya pertambahan temperatur. VI.2. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disarankan sebagai berikut: 1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap serat baja dengan berbagai tipe, bentuk permukaan, panjang serat dan persentase jumlah serat yang ditambahkan terhadap volume semen (fiber volume fraction,Vf) lainnya. 2. Agar dihasilkan campuran beton yang diinginkan, perlu adanya pengawasan yang seksama terhadap workability beton. 3. Pada saat pembakaran, perlu diperhatikan setting up benda uji di dalam tungku agar tidak terkena lidah api secara langsung.
2002 digitized by USU digital library
14
VII. DAFTAR PUSTAKA Al-Mutairi, M., N., and Al-Shaleh, S., M., 1997, “Assesssment of Fire-Damaged Kuwaiti Structures”, Journal of Material in Civil Engineering, February, pp. 7-14. Anonymous, 1982, ACI 544.2R – 82, “State of The Art Report on Fiber Reinforced concrete International”, May , pp. 9-25. Anonymous, 1990, ASTM C 116 – 90, “Standard Test Methode for Compressive Strength of Concrete Using Portiions of Beams Broken in Flexure”, Volume 04.02 Concrete and Aggregates, American Society for Testing and Material, Philadelphia, pp. 54-56. Anonymous, 1995, ASTM E 119 – 95a, “Standard Test Methods for FireTests of Building Construction and Material”, Volume 04.06 Concrete and Aggregates, American Society for Testing and Material, Philadelphia. Anonim, 1991, “Standar SK-SNI T-15-1991-03 : Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung”, Yayasan LPMB Departemen Pekerjaan Umum, Bandung. Malhotra, H., L., 1982, ”Design of Fire Resisting Structure”, Surrey University Press, New York. Neville, A., M., 1975, ”Properties of Concrete”, The English Language Book Society & Pitman Publishing, London. Rahmah, N., S., 2000, “Analisis Material Beton Pasca Bakar”, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Suhendro, B., 1991, ”Pengaruh Fiber Kawat Lokal Pada Sifat – sifat Beton”, Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian UGM, Yogyakarta. Suhendro, B., 1991, ”Pengaruh Pemakaian Fiber Secara Parsial Pada Balok Beton Bertulang”, Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian UGM, Yogyakarta. Swamy, N., R., and Al-Ta’an, A., S., 1981, ”Deformation and Ultimate Strength in Flexure of Reinforced Concrete Beams Made with Steel Fiber Concrete”, ACI Materials Journal, September-October, pp. 395-405.
2002 digitized by USU digital library
15