TUGAS AKHIR
KAPASITAS LENTUR BALOK BETON BERTULANG DENGAN MENGGUNAKAN STYROFOAM
DISUSUN OLEH : A.BESSE ANUGRAH D111 11 903
JURUSAN SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016
ABSTRAK Berbagai macam inovasi telah dilakukan untuk medapatkan beton ringan, antara lain dengan menggunakan styrofoam sebagai pengganti sebagian agregat beton. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kapasitas lentur balok dengan penambahan 30% styrofoam terhadap volume beton normal. Balok beton styrofoam (SFC) akan dibandingkan dengan balok beton bertulang biasa (BN). Metode yang digunakan yaitu metode pembebanan monotonik yang menggunakan Two Point Load pada kecepatan Ramp Actuor Konstan sebesar 0.1 mm/dt sampai balok runtuh. Pengujian dilakukan terhadap dua variasi benda uji dengan total 4 (empat) benda uji. Benda uji I terdiri atas 2 (dua) buah beton normal,benda uji II terdiri atas 2 (dua) buah balok styrofoam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas beban balok normal styrofoam lebih tinggi 11,21 % dibandingkan balok normal. Kata kunci : Beton styrofoam, Kapasitas beban. ABSTRACT There is a lot of innovation that has been done in order to find hight weight concrete, such as using styrofoam as partial replacement of concrete aggregate. This research was intended to analyze, flrxurel capacity of concrete beam by adding 30% styrofoam by the volume of normal concrete, styrofoam concrete bean (SFC) will be compared with a normal reinforced concrete beam. The specimens was loaded by monotonic loading (two point load) with constant speed 0.1 mm/dt until the concrete be a failure. The testing was conductedon two variant specimens, with total 4 (four) specimens. First specimet consist of two normal concretes,second specimen consist of two styrofoam concretes, The result show that the load capacity of styrofoam concrete higher 11,21 % than normal concrete. Key words : Styrofoam concrete, Load capacity .
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Kapasitas Lentur Balok Beton Bertulang dengan menggunakan Styrofoam ”, sebagai salah satu syarat yang diajukan untuk menyelesaikan studi pada Fakultas Teknik Jurusan Sipil Universitas Hasanuddin. Tugas akhir ini disusun berdasarkan hasil penelitian di Laboratorium Struktur dan Bahan Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selesainya tugas akhir ini berkat bantuan dari berbagai pihak, utamanya dosen pembimbing : Pembimbing I : Dr. Rudi Djamaluddin, ST.M.Eng Pembimbing II : Dr. Eng. Rita Irmawaty, ST. MT. Dengan segala kerendahan hati, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1.
Ayahanda dan Ibunda tercinta atas kasih sayang, pengorbanan dan doanya.
2.
Bapak Dr. Ing Ir. Wahyu H. Piarah, MS, ME., selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
3.
Bapak Dr.Ir.H. Muhammad Arsyad Thaha, selaku ketua Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
4.
Bapak Dr. Rudi Djamaluddin, ST.M.Eng., selaku dosen pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan mulai dari awal penelitian hingga selesainya penulisan ini.
5.
Ibu Dr. Eng. Rita Irmawaty, ST. MT. selaku dosen pembimbing II, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan mulai dari awal penelitian hingga selesainya penulisan ini.
6.
Bapak Dr. Rudi Djamaluddin, ST.M.Eng.,selaku kepala Laboratorium Struktur dan Bahan Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
7.
Bapak Dr. Ir. H. Mubassirang Pasra , selaku penasehat akademik Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
8.
Ibu Dr. Eng. Rita Irmawaty, ST. MT., yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaga untuk bimbingan dan pengarahan dalam penelitian ini.
9.
Ibu Wa Ode Amala ST. selaku Mahasiswa S2 , Bapak Sudirman Sitang ST, selaku staf Laboratorium Struktur dan Bahan Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin atas segala bimbingan dan pengarahan selama pelaksanaan penelitian di Laboratorium.
10.
Seluruh dosen, staf dan karyawan Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
11.
Rekan-rekan mahasiswa Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin khususnya Mizwar,Sabrina dan Kawan-kawan serta teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang senantiasa memberikan semangat dan dorongan. Serta adik-adik angkatan 2012,2013 Jurusan Sipil Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddi dan teman-teman angkatan yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang membantu dan mendukung dalam penyelesaian tugas akhir ini. 12.
Kakanda Wawa ST, kak Erwin ST, terkhusus Kak Rifaat, Atas segala dukungan, doa, dan tenaga dalam membantu selama proses penelitian hingga akhir penyusunan laporan ini serta sahabatku Zulkaidah S.Sos dan Sumarni Usman calon SP. Semoga cepat nyusul, yang selalu mendukung, membantu dan mendoakan
Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kepada para pembaca, kiranya dapat memberikan sumbangan pemikiran demi kesempurnaan dan pembaharuan tugas akhir ini.
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita, dan Tugas Akhir ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Makassar,
Penulis
Januari 2016
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL .................................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ...........................................................................................
iii
DAFTAR ISI .........................................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. viii DAFTAR TABEL..................................................................................................
x
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .......................................................................................
I-1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................
I-3
1.3. Tujuan Penelitian.....................................................................................
I-4
1.4. Manfaat Penelitian ...................................................................................
I-4
1.5. Ruang Lingkup/Batasan Masalah.............................................................
I-4
1.6. Sistematika Penulisan ..............................................................................
I-5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hasil penelitian sebelumya ...................................................................... II-1 2.2. Material Penyusun Beton Ringan Styrofoam ........................................... II-2 2.2.1 Semen Portland Komposit ............................................................. II-3 2.2.2 Agregat ......................................................................................... II-5 2.3.3 Air ................................................................................................ II-8 2.2.4 Styrofoam...................................................................................... II-9 2.2.5 Kuat Tekan ................................................................................... II-14
v
2.2.6 Kuat Lentur.................................................................................... II-16 2.3 Hubungan Beban dan Lendutan.... ............................................................ II-18 2.4. Retak pada Balok...................................................................................... II-20 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian dan Desain Penelitian ..................................................... III-1 3.1.1 Jenis Penelitian ............................................................................... III-1 3.1.2 Desain Benda Uji ......................................................................... III-2 3.1.3 Rancangan Benda uji untuk Penelitian Karakteristik Lentur ......... III-3 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................... III-5 3.3. Alat dan Bahan Penelitian........................................................................ III-5 3.4. Prosedur Penelitian .................................................................................. III-6 3.5. Kerangka Prosedur Penelitian .................................................................. III-9 3.6. Varibel Penelitian .................................................................................... III-10 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengujian Agregat .......................................................................... IV-1 4.1.1 Agregat Halus ............................................................................... IV-1 4.1.2 Agregat Kasar ............................................................................... IV-2 4.1.3 Komposisi Mix Design ................................................................. IV-3 4.1.4 Metode Pengecoran Balok Beton Beton Bertulang...........................IV-3 4.1.5 Karakteristik Beton Normal dan Styrofoam Fil Concrete............... IV-5 4.2. Pola Sebaran Butiran Styrofoam.................................................................. IV-8 4.3. Pengujian Tarik Baja Tulangan....................................................................IV-9 4.4. Hasil Analisis Beton Bertulang dengan menggunakan
vi
Styrofoam Fill Concrete .................................................................................. IV-10 4.4.1 Kapasitas Momen .......................................................................... IV-12 4.4.2 Hubungan Beban dan Lendutan..................................................... IV-14 4.4.3 Hubungan Beban, Regangan dan Tegangan dan Lendutan............. IV-19 4.4.4 Analisis Momen - Kurvatur ......................................................... IV-26 4.4.5 Analisa Retak dan Lebar Retak ..................................................... IV-29 4.4.6 Pola Retak...................................................................................... IV-31 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ............................................................................................. ..V-1 5.2. Saran ....................................................................................................... V-1 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ LAMPIRAN ..........................................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Semen PCC
Gambar 2.2
Pasir Sungai
Gambar 2.3
Batu Pecah (Chipping)
Gambar 2.4
Styrofoam
Gambar 2.5
Analisis Balok Bertulangan Rangkap
Gambar 2.6
Hubungan antara Beban dan Lendutan
Gambar 3.1
Desain Balok dan Penampang Balok untuk Pengujian Lentur
Gambar 3.2
Kerangka Prosedur Penelitian
Gambar 3.3.
Penepatan Strain Gauge beton dan Penempatan Strain Gauge baja
Gambar 4.1
Bagan Alir dan Proses pengecoran Balok beton bertulang
Gambar 4.2
Pengujian Silinder Beton umur 28 hari
Gambar 4.3
Pola Sebaran Styrofoam
Gambar 4.4
Alat Static Frame Loading untuk pengujian lentur
Gambar 4.5
Perbandingan Grafik Beban Lendutan
Gambar 4.6
Hubungan Beban dan Regangan Tekan Beton pada Balok Normal
Gambar 4.7
Hubungan Beban dan Regangan Tarik Beton pada Balok Normal
Gambar 4.8
Hubungan Beban dan Regangan Tekan Beton
Gambar 4.9
Hubungan Beban dan Regangan Tarik Beton pada Balok SFC
Gambar 4.10 Hubungan Tegangan dan Reagangan Tekan Beton pada Balok Normal
viii
Gambar 4.11 Hubungan Beban dan Tegangan Beton pada Balok Normal Gambar 4.12 Hubungan Tegangan dan Regangan Tekan Beton pada Balok Styrofoam Gambar 4.13 Hubungan Beban dan Regangan Tekan Beton pada BAlok Styrofoam Gambar 4.14 Momen kurvatur BN dan BSFC Gambar 4.15 Distribusi Tegangan dan regangan Teori pada Balok Normal Gambar 4.16 Distribusi Tegangan dan regangan pada hasil uji laboratorium Gambar 4.17 Retak Lentur BN Gambar 4.18 Retak Lentur BSFC Gambar 4.19 Pola Retak Lentur BN 1 Gambar 4.20 Pola Retak Lentur BN 2 Gambar 4.21 Pola Retak Lentur BSFC 1 Gambar 4.22 Pola Retak Lentur BSFC 2
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Spesifikasi Semen Portland Komposit
Tabel 2.2
Spesifikasi expanded polystyrene/styrofoam
Tabel 3.1
Variabel Benda Uji
Tabel 4.1
Rekapitulasi Hasil Pengujian Agregat Halus
Tabel 4.2
Rekapitulasi Hasil Pengujian Agregat Kasar
Tabel 4.3
Komposisi Kebutuhan Bahan Campuran Beton 1 m3
Tabel 4.4
Karakteristik Beton Normal dan SFC
Tabel 4.5
Hasil Perhitungan Kuat Tekan Beton (MPa)
Tabel 4.6
Hasil Pengujian Baja Tulangan
Tabel 4.7
Beban – Lendutan Pada Balok
Tabel 4.8
Hasil Analisa Momen pada Balok Normal
Tabel 4.9
Hasil Analisa Momen pada Styrofoam
Tabel 4.10
Analisa Beban Lendutan BN
Tabel 4.11
Analisa Beban Lendutan Balok SFC
Tabel 4.12
Hubungan beban dan lendutan pada Balok BN dan pada Balok SFC
Tabel 4.13
Persentase Peningkatan Kapasitas Beban
Tabel 4.14
Persentase Peningkatan Kapasitas Momen
Tabel 4.15
Analisa Momen – kurvatur rata-rata pada balok Normal
x
Tabel 4.16
Analisa Momen – kurvatur rata-rata balok SFC
Tabel 4.17
Panjang dan Lebar Retak Hasil Uji Lentur
Tabel 4.18
Analisa Lebar Retak
xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Beton sebagai bahan bangunan sudah lama diketahui dan digunakan secara
luas oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena beton mempunyai kelebihan dibandingkan dengan bahan lainnya, diantaranya harganya yang relatif murah, mudah dalam pengerjaan, dan perawatannya, mudah dibentuk sesuai kebutuhan, tahan terhadap cuaca, tahan terhadap korosi, dan lebih tahan api. Oleh karena itu, beton sebagai bahan bangunan memiliki peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat dan seringkali mempengaruhi suasana hidup bagi setiap individu. Sebagian besar dari hidup manusia berada di sekitar atau di dalam bangunan,seperti; perumahan, kantor-kantor, pabrik-pabrik, rumah sakit, jembatan dan sebagainya. Pengaruh yang sedemikian luas itu mengakibatkan sektor bangunan memegang peranan penting dalam meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian suatu negara. Beton terbentuk dari campuran semen, air dan agregat yang akan mengeras melalui proses kimiawi. Semen dan air akan membentuk pasta yang mengikat agregat halus (pasir) dan agregat kasar (kerikil). Seiring perkembangan infrastruktur yang pesat, material beton seringkali banyak diambil dari alam secara berlebihan tidak melihat dan lupa akan dampak yang timbul, jika terjadi pengambilan berlebihan akan terjadi kerusakan lingkungan dan ekosistem alam. Mengingat sumber daya agregat kasar yang terbatas dan biasanya mempunyai berat jenis yang besar, maka perlu adanya alternatif agregat halus
I-1
maupun kasar dari bahan lain untuk menggantikan agregat halus dan kasar alami yang mempunyai berat jenis yang relatif kecil. Disamping itu, saat ini mulai banyak dikembangkan agregat - agregat buatan dari bahan non-alami dan limbah. Perkembangan industri yang sangat pesat ini menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan diantaranya semakin banyak limbah yang akan dihasilkan oleh industri - industri tersebut. Untuk memperkecil dampak negatif dari banyaknya limbah yang akan dihasilkan terhadap lingkungan, maka diupayakan untuk mempergunakan salah satu dari sekian banyak limbah menjadi lebih bermanfaat bagi kehidupan kita terutama dalam dunia teknik sipil. Penggunaan material ringan sebagai bahan pembentuk struktur akan mengurangi berat total dari suatu bangunan. Seperti diketahui bahwa penggunaan bahan bangunan dengan massa rendah akan menjadikan berat struktur menurun yang akan membawa berbagai macam keuntungan. Beton ringan adalah beton yang mempunyai berat satuan tidak lebih dari 1900 kg/m2 (SNI 03-2847-2002). Pemakaian beton ringan pertama kali diperkenalkan di Amerika pada Perang Dunia I (1917) oleh perusahaan Emergency Fleet Bulding dengan memakai aggregate axpanded shale, dan dipakai untuk konstruksi kapal serta perahu. Beton ringan bertulang tersebut mempunyai kekuatan 34,4 Mpa dan berat isi 1760 kg/m3. Penggunaan beton ringan dalam berbagai konstruksi berkembang dengan cepat. Dalam pembuatan beton
ringan
salah
satu
bahan
yang
digunakan
adalah
Styrofoam.
Styrofoam biasa dikenal sebagai gabus putih yang umumnya digunakan sebagai
I-2
sebagai gabus putih
pembungkus
barang - barang elektronik. Styrofoam
merupakan salah satu bahan material yang memiliki berat jenis yang rendah. Selain harganya yang relatif murah, styrofoam atau expanded polystyrene yang terbuat dari polisterin atau yang lebih dikenal dengan gabus putih kerap menjadi limbah industri maupun limbah rumah tangga yang menjadi masalah lingkungan karena sifatnya yang tidak dapat membusuk dan susah terurai di alam. Dengan digunakannya styrofoam pada campuran beton, maka secara total berat beton akan lebih ringan serta nilai guna styrofoam akan bertambah, namun hal ini akan berpengaruh pada kekuatan beton tersebut seiring dengan penambahan styrofoam pada campuran beton. Pada penelitian ini dipakai beton styrofoam ringan pada balok beton bertulang untuk diteliti sifat mekanikanya. Sifat mekanika beton yang dimaksud adalah kapasitas lentur balok, dan pola retak pada balok. Berdasarkan uraian di atas maka disusunlah tugas akhir dengan judul “Kapasitas Lentur Balok Beton Bertulang dengan menggunakan Styrofoam ”
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, maka
dirumuskanlah permasalahan penelitian ini sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh penambahan Styrofoam 30%, terhadap kapasitas lentur balok ?. 2. Bagaimana pola retak balok pada penambahan Styrofoam sebanyak 30% ?.
I-3
1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penilitian ini adalah: 1. Untuk menganalisis pengaruh penambahan Styrofoam pada kekuatan lentur balok normal dan balok beton Styrofoam. 2. Untuk membandingkan pola retak antara balok beton normal dengan balok beton ringan styrofoam.
1.4
Manfaat Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penilitian ini adalah: 1. Memberi informasi mengenai kapasitas lentur balok beton bertulang menggunakan styrofoam. 2. Dapat dijadikan bahan referensi mengenai persentase styrofoam yang baik digunakan dalam campuran beton. 3. Mengurangi pencemaran lingkungan dengan memanfaatkan limbah sebagai bahan pengganti agregat yang akan bernilai ekonomis.
1.5
Ruang Lingkup/ Batasan Masalah Dalam penelitian yang dilakukan, ada beberapa lingkup masalah yang
dibatasi untuk mencapai maksud dan tujuan yaitu : 1. Desain tulangan yang digunakan tulangan utama 3D13 (tulangan bawah), 2ɸ8 (tulangan atas). 2. Styrofoam yang digunakan berdiameter 3 mm-5mm. 3. Berupa agregat halus (pasir) dari bili bili.
I-4
4. Air yang digunakan dalam penelitian adalah air tanah. 5. Cetakan benda uji kuat lentur balok terbuat dari pelat baja dengan ukuran lebar 15 cm, tinggi 25 cm dan panjang 310 cm. Semen yang digunakan adalah Semen Portland Pozolan produksi PT. Semen Tonasa. 6. Kondisi styrofoam yang digunakan dalam adukan beton adalah kondisi kering. 7. Benda uji terdiri dari 2 balok normal, 2 balok SFC. 8. Mutu beton yang direncanakan yaitu fc’ 25 MPa dan penambahan styrofoam 30% terhadap volume beton. 9. Nilai faktor air semen digunakan dari nilai mix design yang didapatkan dari perhitungan metode DOE. 10. Pengujian beton dilakukan setelah beton berumur 28 hari. 11. Pencampuran bahan dilakukan dengan menggunakan alat mixer agar tercampur secara homogen. 12. Uji eksperimental dilakukan dengan beban vertikal berupa beban terpusat ganda (two points load) simetris secara monotonik.
1.6
Sistematika Penulisan Untuk mempermudah penulisan tugas akhir ini, sistematika yang digunakan
adalah dengan membagi kerangka penulisan dalam bab dan sub bab dengan maksud agar lebih jelas dan mudah dimengerti. Terdapat 5 (Lima) pokok bahasan berturut-turut yaitu :
I-5
BAB I. PENDAHULUAN Bab ini menyajikan tentang gambaran umum mengenai latar belakang pemilihan judul tugas akhir, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, serta sistematika penulisan yang mengurai secara singkat komposisi bab yang ada pada penulisan.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menguraikan teori secara singkat dan gambaran umum mengenai karakteristik beton, kapasitas lentur balok, dan Styrofoam atau expanded polystyrene.
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menyajikan bahasan mengenai tahapan, pengumpulan data, bahan penelitian, lokasi penelitian, dan pengujian yang dilakukan.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini menyajikan hasil analisis perhitungan data-data yang diperoleh dari hasil pengujian serta pembahasan dari hasil pengujian yang diperoleh.
BAB V. PENUTUP Merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari hasil analisis masalah dan disertai dengan saran-saran yang diusulkan.
I-6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Hasil Penelitian Sebelumnya Beton normal merupakan bahan yang cukup berat, dengan berat sendiri
mencapai 2400 kg/m3. Untuk mengurangi beban mati pada suatu struktur beton maka telah banyak dipakai jenis beton ringan. Menurut Standar Nasional Indonesia 03-2847 tahun 2002, beton dapat digolongkan sebagai beton ringan jika beratnya kurang dari 1900 kg/m3. Dalam membuat beton ringan tentunya dibutuhkan material yang memiliki berat jenis yang ringan pula. Pada umumnya berat jenis yang lebih ringan dapat dicapai jika berat beton diperkecil yang berpengaruh pada menurunnya kekuatan beton tersebut. Pembuatan beton ringan pada prinsipnya adalah membuat rongga di dalam beton. Semakin banyak rongga udara dalam beton semakin ringan beton yang dihasilkan. Ada 3 macam cara membuat rongga udara dalam beton, yaitu : a. Yang paling sederhana yaitu dengan memberikan agregat ringan. Agregat itu bisa berupa batu apung, styrofoam, batu alwa, atau abu terbang (fly ash) yang dijadikan batu. b. Menghilangkan agregat halus (agregat halus disaring, contohnya debu/abu terbangnya dibersihkan). c. Meniupkan atau mengisi udara di dalam beton. Cara ketiga ini terbagi lagi menjadi secara mekanis dan secara kimiawi. Bahan campuran antara lain
II - 1
pasir kwarsa, semen, kapur, sedikit gypsum, air, dan dicampur alumunium pasta sebagai bahan pengembang secara kimiawi. Secara umum kandungan udara mempengaruhi kekuatan beton. Kekuatan beton berkurang 5.5% dari kuat tekan setiap pemasukan udara 1% dari volume campuran. Beton dengan bahan pengisi udara mempunyai kekuatan 10% lebih kecil daripada beton tanpa pemasukan udara pada kadar semen dan workabilitas yang sama (Murdock & Book, 1999). Pada beton dengan kekuatan menengah dan tinggi, tiap 1% peningkatan kandungan udara akan mengurangi kekuatan tekan beton sektar 5% tanpa perubahan air semen (Mehta, 1986). Pada penelitian ini material tambahan yang digunakan adalah styrofoam.
2.2
Material Penyusun Beton Ringan Styrofoam Pada umumnya, beton mengandung rongga udara sekitar 1% - 4%, pasta
semen (semen dan air) sekitar 25% - 40%, dan agregat (agregat halus dan agregat kasar) sekitar 60% - 75% . Pencampuran bahan – bahan tersebut menghasilkan suatu adukan yang mudah dicetak sesuai dengan bentuk yang diinginkan, karena adanya hidrasi semen oleh air maka adukan tersebut akan mengeras dan mempunyai kekuatan untuk memikul beban. Material penyusun beton yang digunakan pada penelitian ini yakni Semen PCC, agregat kasar dan halus, air, serta styrofoam dengan perbandingan variasi yang berbeda - beda yakni 30% dan terhadap volume beton keseluruhan.
II - 2
2.2.1 Semen Portland Komposit Semen Portland Komposit (semen PCC), cocok untuk bahan pengikat serta direkomendasikan untuk penggunaan konstruksi umum dan bahan bangunan. Semen PCC memenuhi kriteria SNI 15-7064-2004.
Gambar 2.1 Semen PCC
Semen adalah suatu jenis bahan yang memiliki sifat adhesi (adhesive) dan kohesif (cohesive) yang memungkinkan melekatnya fragmen - fragmen mineral menjadi suatu massa yang padat. Semen portland komposit merupakan bahan pengikat hidrolis hasil penggilingan bersama - sama terak semen portland dan gipsum dengan satu atau lebih bahan anorganik. Bahan anorganik tersebut antara lain terak tanur tinggi (blast furnace slag), pozolan, senyawa silikat, batu kapur, dengan kadar total bahan anorganik 6-35% dari massa semen portland komposit. Semen portland komposit dikategorikan sebagai semen ramah lingkungan dan digunakan untuk hampir semua jenis konstruksi. Adapun Spesifikasi Semen Portland Komposit II - 3
dapat dilihat pada tabet 2.1. Tabel 2.1 Spesifikasi Semen Portland Komposit Semen Tonasa Jenis Pengujian
Satuan
SNI 15 – 7064 - 2004 (PCC)
Pengujian Kimia SO3
Max 4.0
2.16
MgO
Max 6.0
0.97
Hilang Pijar
Max 5.0
1.98
Pengujian Fisika Kehalusan Dengan Alat Belaine
m2/kg
Min 280
365
Sisa di atas ayakan 0.045 mm
%
-
9.0
-
Waktu Pengikatan (Alat Vicast) -
Setting awal
Menit
Min. 45
120
-
Setting akhir
Menit
Max. 375
300
Pemuaian
%
Max. 0.8
-
Penyusutan
%
Max. 0.2
0.02
Kekekalan dengan Autoclave -
Kuat Tekan -
3 hari
Kg/cm2
Min. 125
185
-
7 hari
Kg/cm2
Min. 200
263
-
28 hari
Kg/cm2
Min. 250
410
Max. 12
2.75
Panas Hidrasi -
7 hari
Cal/gr
-
65.00
-
28 hari
Cal/gr
-
72.21
%
Max. 12
5.25
Kandungan Udara Mortar (Sumber : PT. Semen Tonasa)
II - 4
Keunggulan dari semen PCC (Portland Composite Cement) yaitu lebih mudah dikerja, suhu beton lebih rendah sehingga tidak mudah retak, permukaan acian dan beton lebih halus, lebih kedap air, mempunyai kekuatan yang lebih tinggi dibanding OPC (Ordinary Portland Cement). Hasil pengujian kimia dan pengujian fisika dapat dilihat pada tabel 2.1.
2.2.2 Agregat Mengingat bahwa agregat menempati 70-75% dari total volume beton maka kualitas agregat sangat berpengaruh terhadap kualitas beton. Dengan agregat yang baik, beton dapat dikerjakan (workable), kuat, tahan lama (durable), dan ekonomis. Agregat yang digunakan dalam campuran beton dapat berupa agregat alam atau agregat buatan (artificial aggregates). Secara umum, agregat dapat dibedakan berdasarkan ukurannya, yaitu agregat kasar dan agregat halus. Agregat yang baik dalam pembuatan beton harus memenuhi persyaratan, yaitu (PBI, 1971) : 1. Harus bersifat kekal, berbutir tajam dan kuat. 2. Tidak mengandung lumpur lebih dari 5 % untuk agregat halus dan 1 % untuk agregat kasar. 3. Tidak mengandung bahan-bahan organik dan zat-zat yang reaktif alkali. 4. Harus terdiri dari butir-butir yang keras dan tidak berpori.
A. Ageregat Halus Dalam penelitian ini digunakan agregat halus yang berasal dari Sungai Jeneberang, Sulawesi Selatan. Agregat halus dapat berupa pasir alam, pasir olahan II - 5
atau gabungan dari kedua pasir tersebut. Ukurannya bervariasi antara No. 4 dan No. 100 saringan standar Amerika.
Gambar 2.2 Pasir sungai
Agregat halus dapat digolongkan menjadi 3 jenis (Wuryati Samekto 2001:16): 1. Pasir Galian Pasir galian dapat diperoleh langsung dari permukaan tanah atau dengan cara menggali dari dalam tanah. Pada umumnya pasir jenis ini tajam, bersudut, berpori, dan bebas dari kandungan garam yang membahayakan. 2. Pasir Sungai Pasir sungai diperoleh langsung dari dasar sungai. Pasir sungai pada umumnya berbutir halus dan berbentuk bulat, karena akibat proses gesekan yang terjadi sehingga daya lekat antar butir menjadi agak kurang baik. 3. Pasir Laut Pasir laut adalah pasir yang dipeoleh dari pantai. Bentuk butiran halus dan bulat, karena proses gesekan. Pasir jenis ini banyak mengandung garam, II - 6
oleh karena itu kurang baik untuk bahan bangunan. Garam yang ada dalam pasir ini menyerap kandungan air dalam udara, sehingga mengakibatkan pasir selalu agak basah, dan juga menyebabkan pengembangan setelah bangunan selesai dibangun. Agregat halus yang baik harus bebas bahan organik, lempung, partikel yang lebih kecil dari saringan No. 100 atau bahan-bahan lain yang dapat merusak campuran beton. (Edward G. Nawy hal : 14 )Agregat halus merupakan pasir alam sebagai hasil disintegrasi ( alami ) batuan atau pasir yang dihasilkan oleh industri pemecah batu dan mempunyai ukuran butir terbesar 5,0 mm. (SK SNI 03-28472002).
B. Agregat Kasar
Gambar 2.3 Batu pecah (chipping)
Dalam penelitian ini digunakan agregat kasar yang berasal dari Sungai Jeneberang, Sulawesi Selatan dengan ukuran diameter maksimum 20 mm. Agregat kasar diperoleh dari alam dan juga dari proses memecah batu alam. Agregat alami dapat diklasifikasikan ke dalam sejarah terbentuknya peristiwa
II - 7
geologi, yaitu agregat beku, agregat sediment dan agregat metamorf, yang kemudian dibagi menjadi kelompok - kelompok yang lebih kecil. Agregat pecahan diperoleh dengan memecah batu menjadi berukuran butiran sesuai yang diinginkan dengan cara meledakan, memecah, menyaring dan seterusnya. Agregat disebut agregat kasar apabila ukurannya sudah melebihi ¼ in ( 6 mm ). Sifat agregat kasar mempengaruhi kekuatan akhir beton keras dan daya tahannya terhadap disintegrasi beton, cuaca, dan efek-efek perusak lainnya. Agregat kasar mineral ini harus bersih dari bahan-bahan organik, dan harus mempunyai ikatan yang baik dengan gel semen. (Nawy 1998 : 13).
2.2.3 Air Air adalah bahan dasar pembuatan beton. Berfungsi untuk membuat semen bereaksi dan sebagai bahan pelumas antara butir-butir agregat. Pada umumnya air minum dapat dipakai untuk campuran beton. Air yang mengandung senyawasenyawa yang berbahaya, yang tercemar garam, minyak, gula atau bahan kimia lainnya, bila dipakai untuk campuran beton akan sangat menurunkan kekuatannya dan dapat juga mengubah sifat-sifat semen. Selain itu air yang demikian dapat mengurangi afinitas antara agregat dengan pasta semen dan mungkin pula mempengaruhi kemudahan pengerjaaan. (Nawy 1998 : 12) Air yang diperlukan dipengaruhi faktor-faktor yaitu : 1. Ukuran agregat maksimum : diameter membesar, maka kebutuhan air menurun. 2. Bentuk butir : bentuk bulat, maka kebutuhan air menurun (batu pecah perlu banyak air). II - 8
3. Gradasi agregat : gradasi baik, maka kebutuhan air menurun untuk kelecakan yang sama. 4. Kotoran dalam agregat : makin banyak silt, tanah liat dan lumpur, maka kebutuhan air meningkat. 5. Jumlah agregat halus (dibandingkan agregat kasar) : agregat halus lebih sedikit, maka kebutuhan air menurun. (Paul Nugraha 2007:74). Adapun air yang digunakan pada penelitian ini adalah air PDAM yang berada di Laboratorium Struktur dan Bahan Teknik Sipil Universitas Hasanuddin, Gowa.
2.2.4
Styrofoam
Gambar 2.4 Styrofoam
Styrofoam yang memiliki nama lain polystyrene, begitu banyak digunakan oleh manusia dalam kehidupannya sehari hari. Begitu Styrofoam diciptakan pun langsung marak digunakan di Indonesia. Styrofoam pada umumnya digunakan sebagai pembungkus barang elektronik dan makanan karena sifatnya yang tidak mudah bocor, praktis dan ringan. II - 9
Polystyrene ini dihasilkan dari styrene (C6H5CH9CH2) yang mempunyai gugus phenyl yang tersusun secara tidak teratur sepanjang garis karbon dari molekul. Styrofoam ini memiliki berat jenis sampai 1050 kg/m3, kuat tarik sampai 40 MN/m2, dan modulus lentur sampai 3 GN/m2, modulus geser sampai 0,99 GN/m2, angka poison 0,33 (Dharmagiri, I.B, dkk, 2008). Dalam bentuk butiran (granular) expanded polystyrene mempunyai berat satuan sangat kecil yaitu 13-22 kg/m3. Sehingga expanded polystyrene dalam campuran beton sangat cocok digunakan untuk mendapatkan berat jenis beton yang ringan. Pada penelitian ini digunakan styrofoam dengan ukuran butir 3 mm – 5 mm. Persentase penggunaan styrofoam sebesar 30% dari volume beton. Penetapan persentase styrofoam berdasarkan penelitian variasi persentase styrofoam terhadap volume beton normal untuk mendapatkan beton jenis beton ringan. (Agung, 2015) dalam penelitiannya terhadap variasi persentase styrofoam 10%, 20%, 30% dan 50% yang mendapatkan berat jenis 1881 kg/m3 pada persentase styrofoam 30%. Penelitian lainnya (Satyarno, 2006) menyatakan bahwa penambahan 30% styrofoam meningkatkan kuat tarik lentur sebesar 1,21% terhadap kuat tarik lentur pada penambahan 20% styrofoam. Sifat– sifat Styrofoam : 1. Mempunyai berat jenis yang relatif ringan. 2. Tahan terhadap asam, basa, dan zat korosif. 3. Mempunyai titik leleh pada suhu 1020 - 1060 C. 4. Mampu menahan panas. 5. Dapat memperlambat timbulnya panas hidrasi. II - 10
6. Dapat mengurangi beban gempa yang berkerja pada struktur.
Tabel 2.2 Spesifikasi expanded polystyrene/styrofoam Spesifikasi Ukuran butiran Styrofoam
3 mm – 5 mm
Berat jenis styrofoam (density)
13 – 22 kg/m3
Modulus young’s (E)
3000 – 3600 MPa
Kuat tarik styrofoam (tensile strength)
40 – 60 MPa
Specific heat styrofoam (c)
1,3 kJ/(kg.K)
Thermal conductivity styrofoam (k)
0,08 W/(m.K)
Sumber : Susanto, Ricki (2011)Analisis penambahan fly ash dalam campuran beton dengan expanded polystyrene sebagai agregat ringan.
Penggunaan styrofoam dalam beton dapat dianggap sebagai rongga udara. Namun keuntungan menggunakan styrofoam dibandingkan dengan rongga udara dalam beton berongga adalah styrofoam mempunyai kuat tarik. Kerapatan atau berat jenis beton dengan campuran styrofoam dapat diatur dengan mengontrol jumlah campuran styrofoam dalam beton (Dharmagiri, I.B, dkk, 2008). Menurut Tjokrodimulyo (1996) beton yang baik adalah jika beton tersebut memiliki kuat tekan tinggi. Dengan kata lain bahwa mutu beton ditinjau hanya dari kuat tekannya saja. Beton ringan berdasarkan varian aggregatnya memiliki berbagai kekuatan tekan yang berbeda-beda. Kuat tekan beton ringan berkisar antara 20 – 50 MPa, sedang untuk beton normal berkisar antara 20 – 70 MPa. Beton ringan dapat dibagi lagi dalam tiga golongan berdasarkan tingkat kepadatan dan kekuatan
II - 11
beton yang dihasilkan dan berdasarkan jenis aggregat ringan yang dipakai, beton ringan dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: 1. Beton insulasi (insulating concrete) yaitu beton ringan dengan berat (density) antara 300 kg/m3 - 800 kg/m3 dan berkekuatan tekan berkisar 0,69 - 6,89 Mpa, yang biasanya dipakai sebagai beton penahan panas (insulasi panas) disebut juga low density concrete. Beton ini banyak digunakan untuk keperluan insulasi, karena mempunyai kemampuan konduktivitas panas yang rendah, serta untuk peredam suara. 2. Beton ringan dengan kekuatan sedang (Moderate Streng th Concrete) yaitu beton ringan dengan berat (density) antara 800 kg/m3 - 1440 kg/m3, yang biasanya dipakai sebagai beton struktur ringan atau sebagai pengisi (fill concrete). Beton ini terbuat dari aggregat ringan buatan seperti: terak (slag), abu terbang (fly ash), lempung, batu sabak (slate), batu serpih (shale), dan aggregat ringan alami, seperti pumice, skoria, dan tufa. Beton ini biasanya memiliki kekuatan tekan berkisar
6,89 - 17,24 Mpa.
3. Beton Struktural (Structural Concrete) yaitu beton ringan dengan berat (density) antara 1440 kg/m3 - 1850 kg/m3 yang dapat dipakai sebagai beton struktural jika bersifat mekanik (kuat tekan) dapat memenuhi syarat pada umur 28 hari mempunyai kuat tekan berkisar > 17,24 Mpa Untuk mencapai kekuatan sebesar itu, beton ini dapat memakai aggregat kasar seperti expanded shale, clays, slate, dan slag. Pada penelitian ini digunakan expanded polystyrene yang memiliki ukuran butiran sebesar 3 mm – 5 mm. Persentase penggunaan expanded polystyrene pada
II - 12
campuran beton bervariasi yaitu sebesar 30%, dan dari volume beton. Penetapan persentase expanded polystyrene yang bervariasi dimaksudkan untuk mengetahui sifat mekanik beton (kuat tekan, kuat tarik belah, serta kuat lentur) terbaik dalam campuran beton. Styrofoam pada penelitian ini diperoleh dari pabrik P.T Kemasan Cipta Nusantara Makassar yang merupakan salah satu produsen kemasan dari styrofoam yang berada di wilayah Makassar, Sulawesi Selatan. Sifat-sifat utama beton yang berhubungan dengan kepentingan praktisnya adalah mengenai kekuatan, karakteristik, tegangan-regangan, penyusutan dan deformasi, respon terhadap suhu, daya serap air, dan ketahanannya. Diantara sifatsifat beton yang paling mendapat perhatian adalah kekuatan beton, karena hal tersebut yang merupakan gambaran umum mengenai kualitas beton. I Gusti Ketut Sudipta dan Ketut Sudarsana (2009) bahwa koefisien permeabilitas beton mengalami peningkatan akibat meningkatnya persentase penambahan butiran styrofoam dalam campuran beton. Giri I.B.D., I Ketut S., & Ni Made T (2008) tentang “Kuat Tekan dan Modulus
Elastisitas
Beton
Dengan Penambahan
Styrofoam
(Styrocon)”
menyimpulkan bahwa penambahan butiran styrofoam pada campuran beton dapat menambah kelecakan (workability); penambahan butiran styrofoam membuat beton lebih ringan dibandingkan dengan beton normal dan pada penambahan 40% butiran styrofoam, berat isi beton sebesar 1838,267 kg/m3 (tergolong beton ringan); kuat tekan beton dan modulus elastisitas beton mengalami penurunan dengan bertambahnya butiran styrofoam.
II - 13
Yasser (2014) tentang Pengaruh tulangan sistem rangka terhadap kekuatan lentur pada balok beton berlapis styrofoam, hasil uji lentur salah satu jenis sampelnya menunjukkan bahwa penambahan styrofoam 30 % pada daerah tarik dan tulangan vertikal (BSC) menyebabkan peningkatan kekuatan lentur balok sebesar 0,98 % atau relatif sama terhadap balok normal. Dan pada tulangan sistem rangka (BSCTR) kekuatan lentur meningkat sebesar 24,4% terhadap balok normal. Yoppi Juli Priyono (2014) pada penelitiannya menyimpulkan bahwa pada penambahan 1% stryofoam akan menurunkan berat volume beton rata-rata sebesar 12% dengan rincian campuran 1% (turun 13%) , 2% (turun 22%) , 3% (turun 32%). Selain hal tersebut penambahan stryofoam pada beton menurunkan kuat tekan beton normal. Subhan, Tengku Fitriani L. (2005) dalam penelitiannya tentang Compressive and Tensile Strength of Expanded Polystyrene Beads Concrete menyimpulkan bahwa peningkatan kadar butiranpolystyrene akan mengurangi kuat tekan dan kuat tarik beton.
2.2.5 Kuat Tekan Kuat Tekan merupakan suatu parameter yang menunjukkan besarnya beban persatuan luas yang menebabkan benda uji hancur oleh gaya tekan tertentu. Kuat tekan menjadi parameter untuk menentukan mutu dan kualitas beton yang ditentukan oleh agregat, perbandingan semen, dan perbandingan jumlah air. Pembuatan beton akan berhasil jika dalam pencapaian kuat tekan beton telah
II - 14
sesuai dengan yang telah direncanakan dalam mix design. Adapun hal-hal yang mempengaruhi kuat tekan beton yaitu : 1. FAS atau faktor air semen, hubungan fas dengan kuat tekan beton adalah semakin rendah nilai fas maka semakin tinggi nilai kuat tekan beton. Tetapi pada kenyataannya pada suatu nilai fas tertentu semakin rendah nilai fas maka kuat tekan beton akan rendah. Hal ini terjadi karena jika fas rendah menyebabkan adukan beton sulit dipadatkan. Dengan demikian ada suatu nilai optimal yang menghasilkan kuat tekan beton yang maksimal. 2. Umur beton, kekuatan beton akan bertambah sesuai dengan umur beton tersebut. Kecepatan bertambahnya kekuatan beton dipengaruhi oleh fas dan suhu perawatan. Semakin tinggi fas, maka semakin lambat kenaikan kekuatan betonnya, dan semakin tinggi suhu perawatan maka semakin cepat kenaikan kekuatan betonnya. 3. Jenis Semen, kualitas pada jenis-jenis semen memiliki laju kenaikan kekuatan yang berbeda. 4. Efisiensi dari perawatan (curing), kehilangan kekuatan sampai 40% dapat terjadi bila terjadi pengeringan terjadi sebelum waktunya. Perawatan adalah hal yang sangat penting pada pekerjaan dilapangan dan pada pembuatan benda uji. 5. Sifat agregat, dalam hal ini kekerasan permukaan, gradasi, dan ukuran maksimum agregat berpengaruh terhadap kekuatan beton.
II - 15
2.2.6 Kuat Lentur Kuat lentur beton adalah kemampuan beton untuk menahan gaya dengan arah tegak lurus sumbu memanjang serat ditengah-tengah balok yang disangga kedua ujungnya. Pada setiap penampang terdapat gaya-gaya dalam yang dapat diuraikan
menjadi
komponen-komponen
yang
saling
tegak
lurus
dan
menyinggung terhadap penampang tersebut. Komponen-komponen yang tegak lurus terhadap penampang tersebut merupakan tegangan-tegangan lentur (tarik pada salah satu sisi di daerah sumbu netral dan tekan pada sisi penampang lainnya). Fungsi dari komponen ini adalah untuk memikul momen lentur pada penampang. Kuat lentur balok beton terjadi karena berlangsungnya mekanisme tegangan-regangan yang timbul di dalam balok, pada keadaan tertentu dapat diwakili oleh gaya-gaya dalam. Kuat lentur balok dikenal sebagai modulus runtuh (modulus of rupture). Seperti tampak pada gambar 2.3, di mana ND merupakan resultan gaya tekan dalam dan merupakan resultan gaya tekan pada daerah yang berada diatas garis netral. Sedangkan NT adalah merupakan resultan gaya tarik dalam dan merupakan seluruh gaya tarik yang direncanakan untuk daerah yang berada di bawah garis netral. Resultan gaya tekan dalam dan resultan gaya tarik dalam arah garis kerjanya sejajar, sama besar namun berlawan arah dengan jarak z sehingga membentuk kopel momen tahanan dalam, dimana nilai maksimumnya disebut sebagai kuat lentur (Istimawan; 1996).
II - 16
Gambar 2.3 Analisis Balok Bertulangan Rangkap
Langkah-langkah analisis balok persegi bertulangan rangkap: a. Anggap bahwa tulangan tarik dan tulangan tekan telah leleh sehingga : fs = fs’ = fy .................................................................. (2.1) b. Dengan menggunakan persamaan pasangan kopel beton tekan dan tulangan baja tarik dan tekan, tinggi balok tekan a dihitung dengan : T = Cc + Cs …………………………………………………..(2.2) As fy = (0.85f’c)ab + As’fy ........................................... (2.3) a = (As - As ' ) fy = As1fy 0,85 fc’ b 0,85 fc’b…………………………...(2.4) c. Tentukan letak garis netral c = a β1…………………………………………...(2.5) d. Periksa regangan yang terjadi pada tulangan baja tekan dan baja tarik dengan menggunakan diagram regangan. ε’s = c – d’ . 0,003………………………………………(2.6) c
II - 17
εs = d – c . 0,003………………………………………...(2.7) c Dengan menganggap ε s ≥ ε y, yang berarti tulangan baja tarik telah leleh, akan timbul salah satu dari kedua antara kondisi I dan kondisi II. a. Kondisi I : εs’ ≥ εy, menunjukkan bahwa tulangan baja tekan leleh. b. Kondisi II : εs’ ≤ εy, menunjukkan bahwa tulangan baja tekan belum leleh.
2.3 Hubungan Beban dan Lendutan Hubungan beban - defleksi balok beton bertulang pada dasarnya dapat diidealisasikan menjadi bentuk trilinier sebelum terjadi rupture seperti pada diagram gambar 2.4 (Nawy, 2003): II
III
Beban (kN)
I
lendutan Gambar 2.4 Hubungan antara Beban dan Lendutan(Nawy, 2003)
II - 18
Daerah I : Taraf praretak, dimana batang-batangnya strukturalnya bebas retak. Segmen praretak dari kurva beban - defleksi berupa garis lurus yang memperlihatkan perilaku elastis penuh.Tegangan tarik maksimum pada balok lebih kecil dari kekuatan tariknya akibat lentur atau lebih kecil dari modulus rupture ( fr) beton. Daerah II : Taraf beban pascaretak, dimana batang-batang struktural mengalami retak-retak terkontrol yang masih dapat diterima, baik distribusinya maupun lebarnya. Balok pada tumpuan sederhana retak akan terjadi semakin lebar pada daerah lapanga, sedangkan pada tumpuan hanya terjadi retak minor yang tidak lebar. Apabila sudah terjadi retak lentur maka kontribusi kekuatan tarik beton sudah dapat dikatakan tidak ada lagi. Ini berarti pula kekakuan lentur penampangnya telah berkurang sehingga kurva beban –defleksi didaerah ini akan semakin landai dibanding pada taraf praretak. Momen inersia retak disebut
Icr.
Daerah III : Taraf retak pasca-serviceability, dimana tegangan pada tulangan tarik sudah mencapai tegangan lelehnya. Diagram beban defleksi daerah III jauh lebih datar dibanding daerah sebelumnya. Ini diakibatkan oleh hilangnya kekuatan penampang karena retak yang cukup banyak dan lebar sepanjang bentang. Jika beban terus ditambah, maka regangan εs pada tulangan sisi yang tertarik akan terus bertambah melebihi regangan lelehnya εy tanpa adanya tegangan tambahan. Balok yang tulangan tariknya telah leleh dikatakan telah runtuh secara struktural. Balok ini akan terus mengalami defleksi tanpa adanya penambahan beban dan retaknya semakin terbuka sehingga garis netral terus mendekati tepi yang tertekan. Pada akhirnya terjadi keruntuhan tekan sekunder
II - 19
yang mengakibatkan kehancuran total pada beton daerah momen maksimum dan segera diikuti dengan terjadinya rupture.
2.4
Retak pada Balok Retak terjadi pada umumnya menunjukkan bahwa lebar celah retak
sebanding dengan besarnya tegangan yang terjadi pada batang tulangan baja tarik dan beton pada ketebalan tertentu yang menyelimuti batang baja tersebut. Meskipun retak tidak dapat dicegah, namun ukurannya dapat dibatasi dengan cara menyebar atau mendistribusikan tulangan. Apabila struktur dibebani suatu beban yang menimbulkan momen lentur masih lebih kecil dari momen retak maka tegangan yang timbul masih lebih kecil dari modulus of rupture beton maka : = 0,70√f’c ………………………………………………. (2.8) Apabila beban ditambah sehingga tegangan tarik mencapai
, maka retak
kecil akan terjadi. Apabila tegangan tarik sudah lebih besar dari
, maka
penampang akan retak. Ada tiga kasus yang dipertimbangkan dalam masalah retak yaitu : a. Ketika tegangan tarik
< , maka penampang dipertimbangkan untuk tidak
terjadi retak. Untuk kasus ini maka: =1/12b.h³……………………………………………….. (2.9) b. Ketika tegangan tarik
= , maka retak mulai timbul. Momen yang timbul
disebut momen retak dapat ditulis :
=
……………………………………….. (2.10)
Dimana : c= h/2 II - 20
c. Apabila momen yang bekerja sudah lebih besar dari momen retak, maka retak penampang sudah meluas. Untuk perhitungan digunakan momen inersia retak ( dari tulangan n.
), transformasi balok beton yang tertekan dan transformasi .
Pada dasarnya ada tiga jenis keretakan pada balok (Gilbert, 1990): 1. Retak lentur (flexural crack), terjadi di daerah yang mempunyai harga momen lentur lebih besar dan gaya geser kecil. Arah retak terjadi hampir tegak lurus pada sumbu balok. 2. Retak geser (flexural shear crack), terjadi pada bagian balok yang sebelumnya telah terjadi keretakan lentur. Retak geser lentur merupakan perambatan retak miring dari retak lentur yang sudah terjadi sebelumnya. 3. Retak geser pada bagian balok (web shear crack), yaitu keretakan miring yang terjadi pada daerah garis netral penampang dimana gaya geser maksimum dan tegangan aksial sangat kecil. Beton hanya mampu memikul regangan tarik yang relatif rendah sebelum retak, setelah retak beton mengalami perpanjangan (elongation) dengan melebarnya retakan dan pertambahan retakan yang baru. Dengan mengabaikan regangan elastis yang kecil antar retakan, maka hubungan antara lebar retak (crack width) dan regangannya dapat ditulis :
W m cf . S m
.…………………………………………(2.11)
dimana : Wm = lebar retak rata-rata εcf = regangan tarik
II - 21
Sm = spasi rata-rata retakan Retak utama (primary crack) terbentuk setelah tegangan tarik pada serat tepi beton mencapai kuat tarik beton, dan pada daerah sekitar retakan beton akan bebas dari tegangan (stress-free-zone). Bila jarak maksimum dari tulangan ke serat tepi luar dinyatakan sebagai Cmaks, maka :
S m 3.C maks . ………………………………………….......... (2.12) Ada beberapa ketentuan untuk menentukan lebar dan spasi retak yaitu : a. Lebar retakan berdasarkan SKSNI T-15-1993-03 b. Lebar dan spasi retakan menurut CEB-FIP Code (1978) c. Lebar retak menurut Gergely – Lutz d. Spasi retakan menurut Collins dan Mitchell (1991) Adapun lebar menurut SK SNI T-15-1991-03 lebar retakan dapat dihitung seperti pada persamaan 14.
W 11h. fs 3 dc.A
……………………………………………… (2.13)
dimana : W = lebar retak dalam mm x 10 -6 βh = perbandingan lebar retak pada penampang tak bertulang terhadap lebar retak penampang bertulang, mulai dari lubang retak ke garis netral. SKSNI menetapkan nilai βh = 1,2 fs = tegangan pada tulangan, diambil sebesar fs = 0,6 fy dc = jarak antara titik berat tulangan utama sampai ke serat tarik terluar
II - 22
A = penampang potongan tarik efektif yang berada disekeliling tulangan, dimana letak dari tulangan sentris terhadap penampang tersebut. Untuk pada persamaan 15. balok nilai A diambil :
A
2d c .b n …………………………………………………... (2.14)
n = jumlah batang tulangan perlebar balok (b)
II - 23
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian dan Desain Penelitian 3.1.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini selain kajian pustaka, juga dilakukan uji eksperimental tentang kapasitas lentur balok styrofoam. Untuk mencapai tujuan penelitian ini, maka perlu direncanakan tahapan pelaksanaan. Tahapan - tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : 1. Uji material dan mix design beton Pengujian ini terdiri dari pemeriksaan aggregat halus, aggregat kasar, air dan semen. Mix desain beton f’c = 25 MPa dengan perhitungan sesuai SNI 03-3449-2002 tentang tata cara pembuatan campuran beton ringan dengan agregat ringan. 2. Uji karakteristik baja tulangan Pengujian ini meliputi pengujian kuat tarik tulangan ∅8 dan D13 yang akan digunakan sebagai tulangan memanjang.
Adapun tulangan geser
menggunakan tulangan ∅8. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui tegangan leleh dan modulus elastisitas baja. 3. Uji kuat tekan Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kuat tekan beton yang telah mengeras dengan benda uji berbentuk selinder.
III-1
4. Uji kuat lentur Untuk mengetahui kuat lentur beton (modulus of rupture) dengan benda uji balok berdimensi lebar 15 cm, tinggi 25 cm dan panjang 310 cm. Pembebanan dilakukan pada ½ bentang atau 1/3 bentang agar diperoleh lentur murni (tanpa gaya geser). 5. Pengujian balok utama Dimensi dan tulangan balok dianalisa dengan metode kekuatan batas (ultimate strength design) dan pengujian balok dilakukan dengan instrumen standar pengujian balok eksperimental. Sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengetahui kapasitas lentur balok mbeton bertulang dengan mengguankan Styrofoam sebanyak 30% dari volume beton normal maka untuk mencapai tujuan tersebut akan dilakukan pengujian lentur.
3.1.2 Desain Benda Uji Diketahui: 1. Kuat tekan beton 2. Tegangan leleh bajaa.
3. Modulus elastisitas baja
f’c = 25
MPa
D13 = 460
MPa
θ 8 = 349
Mpa
Es = 200.000 MPa
4. Berat jenis beton
= 24
kN/m3
5. Selimut beton (SNI-03-2847-2002, 7.7)d’
= 25
mm
= 20
kN
6. Beban satuan
P
III-2
3.1.3
Rancangan Benda Uji untuk Penelitian Karakteristik Lentur
1. Untuk mencapai keruntuhan lentur, maka balok dibuat menjadi balok panjang. 2. Keruntuhan yang diinginkan adalah keruntuhan lentur lebih dahulu terjadi sebelum keruntuhan geser. 3. Untuk memastikan bahwa keruntuhan geser tidak terjadi maka dipasang tulangan geser lebih banyak ( beban keruntuhan geser 2 x beban keruntuhan lentur). Untuk keperluan pengujian karakteristik lentur balok, digunakan balok panjang dengan dimensi : Tinggi balok
b = 150 mm.
Lebar balok
h = 250 mm.
Tinggi efektif
d = 175 mm.
Panjang balok
L = 310 mm.
Digunakan tulangan longitudinal: As = 324,03 mm2 ===> 3 D 13 = 339,12 mm2 > 324,03 mm2 . As’ = 54,20 mm2 ===> 2 8 = 56,52 mm2 > 54,20 mm2. Vu = 2(1/2 qL + P) = 41,8 kN. Digunakan Sengkang : ∅ 8 – 8,5 cm. ∅ 8 – 17,5 cm (pada tengah bentang).
III-3
8 – 8,5 28 8 – 17,5
3 D13 A
B 12,5 12,5
A 0.95
0.3
B 0.95
0.6
0.3
310
(a) Desain balok untuk pengujian lentur.
28
15
15
Beton normal f’c=25 MPa
12,5
8–17,5
8–8,5 22,5 25
3 D13 12,5 perletakan potongan A-A potongan B-B
(b) Penampang balok untuk pengujian lentur. Gambar 3.1 Desain balok dan penampang balok untuk pengujian lentur.
III-4
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Bahan dan Struktur Gowa,
Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin. Waktu penelitian berlangsung selama kurang lebih 5 bulan dari tanggal 5 Mei sampai tanggal 18 Oktober.
3.3
Alat dan Bahan Penelitian Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah :
- Universal testing Machine kapasitas 1000 KN untuk uji tekan dan tarik belah menggunakan standar ASTM C39-94. dan uji modulus elastisitas beton menggunakan standar ASTM C469-94. - Alat uji lentur. Balok yang akan dilakukan pengujian lentur diletakkan pada loading frame.
Pada
tengah bentang diletakkan seperangkat alat
pembebanan balok : a. Actuator yaitu alat untuk memberi beban dengan kapasitas 80 kN b. Load cell kapasitas 500 kN c. Hydraulic ram berfungsi sebagai jack pemberi beban. d. Data logger dan seperangkat komputer yaitu alat untuk merekam data yang diukur oleh strain gauge, lvdt dan load cell. - Alat ukur regangan baja. Strain gauge tipe FLA-2-11 (gauge factor 2,12 ± 1%) dipasang pada tulangan longitudional daerah tarik tengah bentang. - Alat ukur regangan beton. Strain gauge tipe PFL-60-11( gauge factor 2,09 ± 1%).
III-5
- Alat ukur lendutan. LVDT
(Linier Variable Displacement Tranducer)
dengan ketelitian 0,01 mm. - Alat pendeteksi lebar retak. - Cetakan silinder ukuran 10 cm x 20 cm. - Cetakan balok ukuran 10 cm x 10 cm x 40 cm. - Cetakan balok ukuran 15 cm x 25 cm x 310 cm. Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu : - Semen Portland Komposit (Portland Composite Cement, PCC) - Agregat halus dan kasar berasal dari Bili-Bili. - Tulangan ulir D13 dan polos 8 produksi PT. Barawaja. - Styrofoam 3 mm – 5 mm.
3.4
Prosedur Penelitian Prosedur penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Uji material dan mix design beton Pengujian ini terdiri dari pemeriksaan aggregat halus, aggregat kasar, air dan semen. Mix desain beton f’c = 25 MPa dengan perhitungan sesuai metode DOE. 2. Uji karakteristik baja tulangan Pengujian ini meliputi pengujian kuat tarik tulangan polos ∅8 dan ulir D13 yang akan digunakan sebagai tulangan memanjang. Adapun tulangan geser
III-6
juga menggunakan tulangan polos ∅8. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui tegangan leleh dan modulus elastisitas baja. 3. Uji kuat tekan Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kuat tekan beton yang telah mengeras dengan benda uji berbentuk selinder.
f ' ci
P A n
f ' f '
2
i
1
S
cr
N 1
………………………………….. (3.1)
f 'c f 'cr 1.64 S
dimana: P
= beban maksimum (N)
A = luas penampang selinder (mm2) S
= standar deviasi
f’ci = kuat tekan setiap sampel (MPa) f’cr = kuat tekan rata-rata (MPa) f’c
= kuat tekan beton yang disyaratkan (MPa)
4. Uji kuat tarik belah Pengujian tarik belah (splitting test) ini dilakukan untuk mengetahui kuat tarik belah (ft) beton yang telah mengeras dengan benda uji berbentuk selinder.
ft
2P LD . …………………………………………………. (3.2)
dimana: III-7
ft
= kuat tarik belah (MPa)
D = diameter selinder (mm) L
= panjang selinder (mm)
5. Uji Modulus Elastisitas Dengan semakin berkembangnya penggunaan beton ringan, dipandang perlu untuk menyertakan kerapatan ( density ) pada penetapan Modulus Elastisitas bahan beton. Sesuai dengan SNI-03-1726-2002 dan SNI-03-2847-2002 di gunakan rumus – rumus nilai modulus elastisitas beton yaitu : Ec = 0,043Wc1,5 √fc’` ............................................ (3.3) Di mana : Ec = Modulus Elastisitas beton tekan ( Mpa ) Wc = Berat isi beton tekan ( Mpa ) fc’
= Kuat tekan beton ( Mpa )
Untuk beton kepadatan normal dengan berat isi ± 23 KN/m3 Ec boleh di ambil sebesar 4700 √f’c.6. 6. Uji kuat lentur untuk mengetahui kuat lentur beton (modulus of rupture) dengan benda uji balok berdimensi lebar 15 cm, tinggi 25 cm dan panjang 310 cm.
III-8
3.5
Kerangka Prosedur Penelitian Mulai
Kajian Pustaka Teori Dasar dan Jurnal Persiapan Desain, Bahan dan Alat Pengujian
Beton Normal f’c 25 Mpa dan Styrofoam
Baja Tulangan Menentukan : fy, Es.
Uji karakteristik material, Mix design / buat sampel
Uji kuat tekan benda uji
tidak f’c ≥ 25 MPa
Desain / Pembuatan Balok dan Perawatan
ya
Pengujian Lentur Balok -
Setting-Up Instrumen Pengukuran Lendutan dan Lebar Retak
Hasil Tes dan Pengolahan Data
Pembahasan dan Kesimpulan
Selesai
Gambar 3.2 Kerangka Prosedur Penelitian
III-9
3.6
Variabel Penelitian Variabel balok lentur (15 cm x 25 cm x 310 cm) yang akan diteliti bisa
dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Variabel Benda Uji
NO. KODE
PROFIL BALOK
Balok 1. Normal
Balok 2. Styrofoam
III-10
Adapun penempatan strain gauge untuk mengukur regangan beton, baja tulangan dan C seperti pada Gambar 3.3
(a). Penempatan strain gauge beton
(b). Penempatan strain gauge baja
(c). Penempatan LVDT Gambar 3.3 Penempatan strain gauge beton,strain gauge baja, dan LVDT
III-11
1
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Hasil pengujian Agregat Pengujian agregat dilakukan di Laboratorium Struktur dan Bahan Jurusan
Sipil Fakutas Teknik Universitas Hasanuddin. Pengujian agregat didasarkan.pada standar ASTM. Hasil rekapitulasi pengujian agregat dapat dilihat pada Tabel 4.1.
4.1.1 Agregat Halus Pengujian karakteristik agregat didasarkan pada SNI. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Rekapitulasi Hasil Pengujian Agregat Halus NO
KARAKTERISTIK
INTERVAL
HASIL
AGREGAT
SPESIFIKASI
PENGAMATAN
KETERANGAN
1
Kadar lumpur
Maks 5 %
3.00%
Memenuhi
2
Kadar organic
< NO. 3
NO. 1
Memenuhi
3
Kadar air
2% - 5%
2.04%
Memenuhi
4
Berat volume 1.6 - 1.9 kg/liter
1.46
Memenuhi
1.6 - 1.9 kg/liter
1.51
Memenuhi
Maks 2%
1.01%
Memenuhi
a. Bj. Curah
1.6 - 3.3
2.40
Memenuhi
b. Bj. Kering Permukaan
1.6 - 3.3
2.43
Memenuhi
c. Bj. Semu
1.6 - 3.3
2.46
Memenuhi
Modulus kehalusan
1.50-3.80
2.56
Memenuhi
a. Kondisi lepas b. Kondisi padat 5 6
7
Absorpsi Berat jenis spesifik
4.1.2 Agregat Ket : Agregat dicuciKasar terlebih dahulu sebelum diuji IV-1
4.1.2 Agregat Kasar Pengujian karakteristik agregat didasarkan pada SNI. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Rekapitulasi Hasil Pengujian Agregat Kasar KARAKTERISTIK AGREGAT
NO.
INTERVAL SPESIFIKASI
HASIL PENGAMATAN
KETERANGAN
1
Kadar lumpur
0.2% - 1%
0.30%
Memenuhi
2
Kadar air
0.5% - 2%
1.01%
Memenuhi
3
Berat volume a. Kondisi lepas
1.6- 1.9 kg/liter
1.63
Memenuhi
b. Kondisi padat
1.6- 1.9 kg/liter
1.67
Memenuhi
maks 4%
3.31%
Memenuhi
a. Bj. Curah
1.6 - 3.3
2.49
Memenuhi
b. Bj. Kering Permukaan
1.6 - 3.3
2.58
Memenuhi
c. Bj. Semu
1.6 - 3.3
2.72
Memenuhi
Modulus kekasaran
6.0 - 7.1
6.72
Memenuhi
4
Absorpsi
6
Berat jenis spesifik
7
Agregat dicuci terlebih dahulu sebelum diuji
Pada Tabel 4.2 menunjukkan hasil pengujian karakteristik agregat kasar yang diperoleh melalui tahap pengujian berdasarkan pada SNI. Hasil pengujian karakteristik agregat kasar telah memenuhi spesifikasi 4.1.3 Komposisi Mix Design.
IV-2
4.1.3 Komposisi Mix Design Dari hasil pemeriksaan material dan hasil perhitungan mix design beton, diperoleh komposisi agregat dan faktor air semen dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Komposisi kebutuhan bahan campuran beton untuk 1 m3 No
Jenis Beton
1
Beton Normal
2
Beton styrofoam 30%
Kerikil 911.91
Pasir 535.80
689.79
326.59
Berat (Kg) Semen 489.38 489.38
Air 230.69
Styrofoam -
230.69
2.474
Sumber: Hasil Pengujian- Laboratorium Struktur & Bahan
4.1.4 Metode Pengecoran Balok Beton Bertulang
Langkah-langkah pembuatan benda uji 1. Alat-alat yang akan digunakan dibersihkan terlebih dahulu,
kemudian
menimbang bahan-bahan yang akan digunakan sesuai dengan
komposisi
hasil mix design. 2. Menyiapkan molen yang bagian dalamnya sudah dilembabkan.
Kemudian
pertama-tama tuangkan agregat kasar, agregat halus, dan semen. Aduk hingga ketiga bahan tersebut tercampur merata. 3. Setelah ketiga bahan tersebut tercampur rata, masukkan air sedikit
demi
sedikit (untuk beton normal), dan styrofoam (untuk beton styrofoam) secara bergantian sesuai dengan variasi yang telah ditentukan. 4. Setelah tercampur rata, dilakukan uji slump untuk mengukur tingkat workability adukan.
IV-3
5. Apabila nilai slump telah memenuhi spesifikasi, selanjutnya adukan beton dituangkan ke dalam cetakan.Agar beton menjadi padat, metode yang dilakukan dengan vibrator untukbalok normal, sedangkan pada balok styrofoam pemadatan dilakukan secara manual dengan tongkat pemadat diameter 16 mm dan panjang 600 mm. 6. Diamkan selama 24 jam. 7. Setelah 24 jam, cetakan dibuka kemudian dilakukan perawatan beton. Adapun Bagan alir metode pengecoran balok beton bertulang dapat dilihat pada Gambar 4.1 (a). serta proses pengecoran pada Gambar 4.2 (b). Melakukan Mix/ mencampur alat dan bahan dengan menggunakan molen
Persiapan alat dan bahan
Tidak
Ya
Uji Slump test
Memenuhi Spesifikasi
Diamkan selama 24 jam, setelah itu cetakan dibuka
Adukan beton dituangkan ke dalam cetakan dengan cara dipadatkan.
Perawatan Beton ≥ 28 hari Balok beton bertulang siap diuji
(a). Bagan alir metode pengecoran balok beton betulang
IV-4
(b). Proses pengecoran balok beton bertulang
Gambar 4.1 Bagan Alir Proses pengecoran balok beton bertulang
4.1.5 Karakteristik Beton Normal dan Styrofoam Fill Concrete Benda uji silinder dan balok beton diuji pada umur 28 hari.Pada gambar berikut adalah pengujian silinder beton BN dan SFC menggunakan Universal Testing Machine.
IV-5
Gambar 4.2 Pengujian silinder beton umur 28 hari
Adapun karakteristik beton normal dan styrofoam fill concrete (SFC) dalam penelitian ini seperti ditampilkan pada Tabel 4.4.
IV-6
Tabel 4.4. Karakteristik Beton Normal dan SFC. Parameter
Beton Normal
Kuat tekan (f’c)
27,74 MPa
SFC 13,12
Reduksi MPa
52,5 %
Kg/m3
17,7 %
Berat Jenis (Wc)
22,86
Kg/m3
Kuat Tarik Belah (ft)
3,74
MPa
2
MPa
46,0 %
Kuat lentur (fr)
6,13
MPa
4,24
MPa
30,0 %
14967,9 MPa
33,4 %
Modulus elastisitas (Ec)
22467,8 MPa
1881
Poison ratio (μ) 0.20 0.19 Sumber: Hasil Pengujian- Laboratorium Struktur & Bahan Jurusan Sipil
5
%
Dari Tabel diatas terlihat bahwa kuat tekan SFC mengalami reduksi sebesar 52,5 % dibandingkan dengan BN karena semakin ringan berat jenis beton maka kuat tekannya juga semakin kecil, penggunaan 30% styrofoam mengurangi berat jenis beton sampai 17,7% dari berat jenis beton normal. Begitu pula dengan kuat tarik belah turun sebesar 46 % dari beton normal karena styrofoam merupakan bahan kedap air dan permukaan bahan yang licin sehingga lekatannya dengan pasta beton kurang baik. Kuat lentur turun sebesar 30 % dan modulus elastisitas 33,4 %. Hal ini berarti penambahan styrofoam sebesar 30 % dapat menyebabkan terjadinya penurunan kekuatan atau mutu beton dengan kata lain dapat diketahui bahwa penurunan berat jenis beton diikuti oleh penurunan kekuatan beton. Turunnya nilai modulus elastisitas SFC dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kuat tekan beton. Makin rendah kuat tekannya maka modulus elastisitasnya juga makin kecil, dimana perubahan panjang yang terjadi akibat pembebanan tekan akan makin besar. IV-7
Pengujian kuat tekan beton menggunakan mesin UTM kapasitas 1000 KN. Adapun hasil perhitungan kuat beton rata-rata dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Kuat Tekan Beton(MPa) Volume Styrofoam (%)
0
30
Umur Pengujian (Hari)
Kuat Tekan Beton Rata-Rata (Mpa)
7
20.94
14
24.25
28
27.74
7
8.21
14
11.03
28
13.12
Sumber: Hasil Pengujian- Laboratorium Struktur & Bahan
Dari Tabel 4.5 menunjukkan bahwa kuat tekan beton meningkat seiring dengan bertambahnya umur beton. Hal ini disebabkan karena proses hidrasi pada pasta semen yang terus meningkat dan memperkuat ikatan antara material. Namun penambahan volume styrofoam akan menurunkan kuat tekan beton secara signifikan yang disebabkan bobot styrofoam yang sangat ringan, sehingga styrofoam dianggap sebagai rongga udara pada beton.
4.2
Pola Sebaran Butiran Styrofoam Adapun pola sebaran styrofoam dalam beton dapat dilihat pada hasil core
drill balok SFC seperti tampak pada Gambar 4.3.
IV-8
Gambar 4.3 Pola sebaran styrofoam dalam beton
Pada Gambar 4.3 terlihat butiran styrofoam tersebar merata pada balok, dan tidak mengalami perubahan bentuk butiran (tidak menyusut). Beton styrofoam terlihat padat tanpa rongga walaupun metode pemadatannya tidak menggunakan vibrator. Untuk itu perlu juga diketahui bagaimana selanjutnya kekuatan balok SFC apabila diaplikasikan pada beton bertulang dengan perencanaan tulangan under reinforced menggunakan baja ulir. Diharapkan ada pengaruh yang signifikan terhadap perilaku lentur balok SFC pada saat dikombinasikan dengan tulangan baja ulir.
4.3
Pengujian Tarik Baja Tulangan Hasil Pemeriksaan kuat tarik baja tulangan dapat dilihat pada Tabel 4.6.
IV-9
Tabel 4.6 Hasil pengujian tarik baja tulangan Es
Diameter Sampel
Fy (MPa)
fs maks (MPa)
Regangan ԑs
MPa
θ8
349
469
0,0025
187,77
D13 460 Sumber : Hasil olahan data
606
0.0021
288,72
4.4
Hasil Analisis Kapasitas Beton Bertulang dengan Menggunakan Styrofoam Fill Concrete
Pengujian balok beton dilakukan saat umur beton 28 hari. Pengujian balok ini dilakukan dengan meletakan balok diatas 2 tumpuan dan dibebani 2 beban terpusat. Pembebanan dilakukan secara bertahap sampai balok runtuh. Adapun data-data yang diambil pada penelitian ini adalah beban saat terjadi retakan pertama, beban pada saat tulangan mengalami leleh, beban ultimit dan lendutan pada beton. Nilai lendutan diperoleh dari pembacaan LVDT yang diletakkan di bawah specimen balok seperti terlihat pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Alat Static Frame Loading untuk pengujian lentur
IV-10
Balok mempunyai karakteristik utama yaitu lentur.Dengan sifat tersebut, balok merupakan elemen bangunan yang dapat diandalkan untuk menangani momen lentur. Pengujian balok lentur pada penelitian ini dibuat benda uji dengan dimensi balok: lebar 150 mm, tinggi 250 mm dan panjang 3.100 mm, tulangan utama tarik dan tekan 2 Ø 8 mm dan 3 D13 mm, tulangan sengkang Ø 8 – 100 mm sebanyak 4 buah balok dengan 2 variasi. Balok beton bertulang tersebut diletakkan pada loading frame yang kuat dan ditumpu sendi – rol pada kedua ujungnya.Bentang bersih balok 2500 mm, dan dibebani secara simetris pada titik sejauh 950 mm dari masing-masing tumpuan. Pembebanan statik dilakukan dengan hydraulic jack, secara bertahap dengan interval kenaikkan beban sebesar 1 kN dan kecepatan pertambahan beban 0,1 kN/detik sampai beban maksimum. LVDT untukmengukur defleksi dipasang pada tiga titik dibawah balok tepatnya pada titik two point loading dan tengah bentangnya. Data hasil pengujian kemampuan balok normal
dan balok SFC dalam
menahan beban dan besarnya lendutan yang terjadi dapat dilihat dalam Tabel 4.7
Tabel 4.7 Beban – lendutan pada balok Balok
Retak awal (kN)
Beban leleh (kN)
Ultimit (kN)
BN 1 BN 2 Rata-rata BSFC 1 BSFC 2 Rata-rata
12,66 10,00 11,33 15,17 24,50 19,88
55,34 55,84 55,59 63,51 64,84 64,18
56,67 59,51 58,09 64,34 66,51 65,43
Sumber: Hasil olahan data
Lendutan tengah bentang cr (mm) 1,58 1,06 1,32 1,91 3,99 2,95
cr (mm) 10,15 11,28 10,71 12,88 11,38 12,14
cr (mm) 10,48 12,84 11,66 16,42 15,51 15,97
IV-11
Dari Tabel 4.7 terlihat kekuatan ultimit rata-rata balok terhadap uji lentur menunjukkan terjadinya peningkatan kekuatan balok SFC sebesar 11,21% terhadap balok normal.
4.4.1 Kapasitas Momen A.
Kapasitas Momen pada balok Normal Pada Tabel 4.8 ditampilkan perbandingan besarnya kapasitas momen yang
terjadi pada kondisi awal retak, kondisi tulangan leleh dan kondisi ultimit antara perhitungan desain dan hasil penelitian laboratorium pada balok normal. Kapasitas momen pada balok normal terdapat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Hasil analisa momen pada balok normal Hasil Penelitian BN rata-rata
Teori Kondisi P(kN)
Awal retak (Mcr) Awal Leleh (My) Beban Ultimit (Mu)
9,32 54,28 74,46
Momen (kNm) 5,468 26.82 36,413
P (kN) 11,336 55,595 58,095
Momen (kNm) 6,424 27,586 27,636
Sumber : Hasil olahan data
Pada Tabel 4.8 analisa kapasitas momen balok BN pada pengujian kapasitas lentur balok. Kondisi retak awal terjadi pada beban 11,336kN dengan kapasitas momen sebesar 6,424 kNm, hasil ini kurang lebih sesuai dengan hasil perhitungan teoritis. Demikian pada kondisi kapasitas momen pada saat terjadi kondisi beban leleh.Hasil ini sedikit berbeda dengan analisa desain yang menghasilkan beban lebih tinggi yaitu 74,46 kN, dan Mu sebesar 36,41 kNm.Sedangkan Nilai Mu pada hasil uji 58,095 dan Mu sebesar 27,636 kNm.
IV-12
Secara garis besar, momen kapasitas pada kondisi awal retak dan tulangan leleh data analisa desain dan hasil pengujian penelitian relatif sesuai.
B.
Kapasitas Momen Pada Balok Styrofoam Pada Tabel 4.9 perbandingan besarnya kapasitas momen yang terjadi pada
kondisi awal retak, kondisi tulangan leleh dan kondisi ultimit antara perhitungan desain dan hasil penelitian laboratorium pada balok dengan Penambahan Styrofoam sebesar 30%.
Tabel 4.9 Hasil analisa momen pada balok Styrofoam Hasil Penelitian BN rata-rata
Teori P
Momen
P
Momen
(kN)
(kNm)
(kN)
(kNm)
Awal retak (Mcr)
5,39
3,82
19,88
9,534
Awal leleh baja (My)
32,77
29,31
64,180
31,309
Beban ultimit (Mu)
62,24
30,389
65,430
31,902
Kondisi
Sumber: Hasil olahan data
Pada Tabel 4.9 analisa kapasitas momen balok Styrofoam pada pengujian kapasitas lentur balok. Kondisi retak awal terjadi pada beban 19,88 kN dengan kapasitas momen sebesar 9,534 kNm, hasil ini kurang lebih, sesuai dengan hasil perhitungan teoritis. Demikian pada kondisi kapasitas momen pada saat terjadi kondisi beban leleh dan kondisi pada beban ultimit
IV-13
4.4.2 Hubungan Beban dan Lendutan A. Hubungan Beban dan Lendutan pada Balok Normal Pada Tabel 4.10 perbandingan besarnya beban, lendutan dan yang terjadi pada kondisi awal retak, kondisi tulangan leleh dan kondisi ultimit antara hasil perhitungan desain dan hasil penelitian laboratoriump ada balok normal.
Tabel 4.10 Analisa beban lendutan BN Hasil Penelitian BN rata-rata
Teori Kondisi
Awal retak (Mcr)
P (kN)
δ(mm)
P (kN)
δ(mm)
9,32
1,20
11,336
1,32
2,00
55,595
10,715
4,17
58,095
11,66
Awal leleh baja 54,28 (My) Beban ultimit 74,46 (Mu) Sumber : Hasil Olahan Data
Pada Tabel 4.10 analisa beban-lendutan balok BN pada pengujian kapasitas lentur balok, kondisi retak awal terjadi pada beban 11,336 kN, Hasil ini lebih besar dari analisa desain yaitu 9,322 kN dengan lendutan kurang lebih mendekati antara desain dan hasil uji yaitu 1,32 mm. Pada kondisi tulangan leleh, hasil pengujian diperoleh beban 55,595 kN kurang lebih sesuai dengan hasil analisa desain yaitu 54,28 kN. Demikian juga lendutan sesuai dengan hasil perhitungan teoritis. Pada kondisi ultimit, hasil pengujian diperoleh beban puncak 58,095 kN, lendutan 11,66 mm. Secara garis besar, beban pada kondisi awal retak dan tulangan leleh data analisa desain dan hasil pengujian penelitian relatif sesuai, hanya pada beban
IV-14
ultimit yang berbeda, dimana hasil uji BN hanya mencapai 71,83 % dari hasil beban desainnya.
B. Hubungan Beban dan Lendutan pada Balok Styrofoam Pada Tabel 4.11 perbandingan besarnya beban, lendutan dan yang terjadi pada kondisi awal retak, kondisi tulangan leleh dan kondisi ultimit antara perhitungan desain dan hasil penelitian laboratorium pada balok dengan penambahan Styrofoam sebanyak 30% dari volume beton.
Tabel 4.11 Analisa beban lendutan balok SFC Hasil Penelitian Teori SFC rata-rata Kondisi P (kN) Awal retak (Mcr)
5,39
Awal leleh baja 32,77 (My) Beban ultimit 62,24 (Mu) Sumber : Hasil Olahan data
Δ (mm)
P (kN)
Δ (mm)
0,63
19,838
2,95
3,24
64,180
12,14
6,05
65,430
15,97
Pada Tabel 4.11 pengujian kerakteristik lentur balok SFC kondsi retak awal terjadi pada beban rata-rata 19,838 kN, atau persentase kenaikan terhadap beban desain sebesar 72.412 %.Pada kondisi tulangan leleh, hasil pengujian diperoleh beban 64,180 kN lebih besar 95,8 % dari hasil analisa desain yaitu 32,770 kN dan lendutan lebih besar dari teori yaitu 12,14 mm . Pada kondisi ultimit, hasil pengujian menunjukkan kesesuaian antara hasil uji dan hasil desain. IV-15
C. Perbandingan Balok Styrefoam dan Balok Normal Dari tabel tiap - tiap variasi balok yang terlihat pada Gambar 4.10 dan Gambar 4.11 maka diperoleh data seperti pada Tabel 4.12.
Tabel 4.12 Hubungan beban dan lendutan pada Balok BN dan Balok SFC
Beban (kN)
Lendutan (mm)
Tipe Pcr
Py
Pu
Δcr
Δy
Δu
BN
11,336
55,595
58,095
1,32
10,715
11,66
BSFC
19,838
64,180
65,430
2,95
12,14
15,97
Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium Struktur dan Bahan
Tabel 4.12 menjelaskan peningkatan kapasitas beban seiringan dengan penambahannStyrofoam sebanyak 30%. Dimana pada Balok normal kapasitas beban maksimumnya yaitu sebesar 58,095 kN dengan lendutan sebesar 11,66 mm. Setelah diberi penambahan 30% Styrefoam yaitu pada Balok SFC, kapasitas beban maksimal meningkat sebesar 65,430kN dengan lendutan sebesar 15,97 mm. Hubungan kapasitas beban dan lendutan pada penambahan Styrofoam sebesar 30% dari volume beton terlihat juga pada gambar 4.5.
IV-16
70
60
beban(kN)
50
40 BN 30
SFC
20
10
0 0
5
10
15
lendutan(mm)
Gambar 4.5 Perbandingan grafik beban-lendutan
Pada Gambar 4.5 kuat lentur rata-rata BN pada saat retak awal lebih rendah dari balok SFC.Karena sifat BN yang lebih getas bila dibandingkan dengan SFC sehingga BN lebih cepat mengalami retak. Kemudian pada saat tulangan leleh, BN juga menunjukkan kekuatan lentur yang lebih rendah. Pada saat beban ultimit, kuat lentur balok Normal sebesar 58,095 kN dengan lendutan 11,66 mm sedangkan beban ultimit balok SFC sebesar 65,430 kN dengan lendutan sebesar 15,97 mm, lebih besar dari balok normal kemungkinan karena penggunaan styrofoam dan tulangan baja ulir menjadikan struktur balok lebih daktail sehingga meningkatkan kekuatannya dalam menahan lentur. Dari kurva tersebut dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu : jika mutu beton lebih IV-17
tinggi, maka modulus elastisitasnya akan semakin besar sehingga beton bersifat lebih getas (brittle); sedangkan beton dengan kekuatan lebih rendah lebih ductile (ulet) daripada beton berkekuatan lebih tinggi, artinya beton tersebut akan mengalami regangan yang lebih besar sebelum mengalami kegagalan (failure). Presentase Peningkatan kapasitas beban balok normal terhada balok Styrofoam dapat lebih detail dilihat pada Tabel 4.13.
Tabel 4.13 Persentase Peningkatan Kapasitas Beban Beban (kN)
Persentase Peningkatan
Tipe Pcr
Py
Pu
Pcr
Py
Pu
BN
11,336
55,595
58,095
-
-
-
BSFC
19,838
64,180
65,430
42,85%
13,376%
11,21%
Sumber: Hasil Pengujian- Laboratorium Struktur & Bahan
Dari Tabel 4.13 menjelaskan persentase peningkatan kapasitas beban balok BN dan balok SFC seiring dengan penambahan Styrofoam sebanyak 30%. Pada beban ultimit pada tabel 4.9 diperoleh momen ultimit dan persentase peningkatan momen ultimit terhadap balok kontrol yang dapat dilihat pada tabel 4.14.
Tabel 4.14 Persentase Peningkatan Kapasitas Momen
Tipe
Beban Ultimate (kN)
Momen Ultimate (kNm)
% kekuatan balok terhadap balok kontrol
BN
58,095
27,636
-
BSFC
65,180
31,902
13.372%
Sumber: Hasil olahan data
IV-18
Dari Tabel 4.14 menjelaskan persentase peningkatan kapasitas beban seiring dengan penambahan styrofoam sebanyak 30%.
4.4.3 Hubungan Beban, Regangan dan Tegangan A. Hubungan Beban dan Regangan pada Balok Normal Hubungan beban dan regangan yang ditinjau,adalah regangan tekan beton dan regangan tarik baja pada kondisi awal retak,kondisi tulangan leleh dan kondisi ultimit.
70 60
Beban (kN)
50 40 30 20 10 0 0
-50 -100 -150 Regangan tekan beton pada balok normal (10-6)
-200
Gambar 4.6 Hubungan Beban dan Regangan tekan Beton Pada Balok Normal
IV-19
Pada Gambar 4.6 menjelaskan hubungan beban dan regangan tekan beton Balok Normal. Pada kondisi retak awal 11,336 kN, regangan yang terjadi sebesar 31 x 10 -6 sedangkan pada kondisi leleh 55,595 kN regangannya sebesar 173 x 10-6 dan regangan yang terjadi pada kondisi ultimit 58,095 kN sebesar 180 x 10 -6. Sedangkan hubungan beban dan regangan tarik beton pada Balok Normal dapat dilhat pada Gambar 4.7.
70 60
Beban (kN)
50 40 30 20 10 0 0
100
200
300
400
500
600
700
Regangan tarik baja pada balok normal (10-6)
Gambar 4.7 Hubungan Beban dan Regangan Tarik Beton pada Balok Normal
Gambar 4.7 menjelaskan hubungan beban dan regangan tarik Balok Normal. Pada kondisi retak awal 11.336 kN regangan yang terjadi sebesar 39 x 10 -6 sedangkan pada kondisi leleh 55,595 regangan yang terjadi sebesar 575 x 10-6 dan regangan yang terjadi pada kondisi ultimit 58,095 sebesar 635 x 10-6.
IV-20
B. Hubungan Beban dan Regangan pada Balok Styrofoam Hubungan beban dan regangan yang ditinjau,adalah regangan tekan beton dan regangan tarik baja pada kondisi awal retak,kondisi tulangan leleh dan kondisi ultimit.
70 60
Beban (kN)
50 40 30 20 10 0 0
-20
-40
-60
-80
-100
-120
Regangan tekan beton pada balok SFC
-140
-160
-180
(10-6)
Gambar 4.8 Hubungan Beban dan Regangan Tekan Beton pada Balok Styrofoam
Pada Gambar 4.8 menjelaskan hubungan beban dan regangan beton pada balok Styrofoam. Pada kondisi retak awal 19,838 kN regangan yang terjadi sebesar 78 x 10 -6 sedangkan pada kondisi leleh 64,180 kN regangan yang terjadi sebesar 157 x 10 -6 dan regangan yang terjadi pada kondisi ultimit 65,430 kN sebesar 166 x 10-6.. Hubungan beban dan regangan tarik pada baja dapa dilihat pada Gambar 4.9. IV-21
70 60
Beban (kN)
50 40 30 20 10 0 0
200
400 600 800 Regangan tarik baja pada balok SFC (10-6)
1000
1200
Gambar 4.9 Hubungan Beban dan Regangan Tarik Beton pada Balok SFC
Pada Gambar 4.9 menjelaskan hubungan beban dan regangan beton SFC. Pada kondisi retak awal 19,838 kN regangan yang terjadi sebesar 393 x 10-6 sedangkan pada kondisi leleh 64,180 kN regangan yang terjadi sebesar 980 x 10-6 dan regangan yang terjadi pada kondisi ultimit 65,430 kN sebesar 1008 x 10-6.
C. Hubungan Tegangan dan Regangan pada Balok Normal Hubungan tegangan dan regangan yang terjadi pada beton balok normal dapat dilihat pada Gambar 4.10.
IV-22
1.8
1.6
1.4
Tegangan (Mpa)
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0 0
-50
-100
-150
-200
Regangan tekan beton pada balok normal (10-6))
Gambar 4.10 Hubungan Tegangan dan Regangan Tekan Beton pada Balok Normal
Gambar 4.10 menjelaskan regangan sebesar 31 x 10-6 memiliki tegangan sebesar 0,302 MPa. Sedangkan pada regangan sebesar 173 x 10-6 , tegangan yang diperoleh sebesar 1,482 MPa dan pada saat regangan 180 x 10-6 tegangan yang dihasilkan sebesar 1,549 MPa. Gambar 4.11 menjelaskan hubungan beban dan tegangan yang terjadi pada Balok Normal.
IV-23
70
60
Beban (kN)
50
40
30
20
10
0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
Tegangan pada beton ( MPa)
Gambar 4.11 Hubungan Beban dan Tegangan Beton pada Balok Normal
Pada gambar 4.11 mejelaskan hubungan antara beban dan tegangan pada kondisi awal retak, kondisi leleh, dan kondisi ultimit berbanding lurus. Dimana semakin besar beban maka tegangan yang diperoleh juga semakin besar.
D. Hubungan Tegangan dan Regangan pada Balok SFC Hubungan tegangan dan regangan yang terjadi pada beton Balok SFC dapat dilihat pada Gambar 4.12.
IV-24
2 1.8 1.6
Tegangan ( Mpa)
1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
-20
-40
-60
-80
-100
-120
-140
-160
-180
Regangan tekan beton pada balok SFC (10-6)
Gambar 4.12 Hubungan Tegangan dan Regangan Tekan Beton pada Balok Styrofoam
Gambar 4.12 menjelaskan regangan sebesar 78 x 10 -6 memiliki tegangan sebesar 0,529 MPa. Sedangkan pada regangan sebesar 130 x 10-6 tegangan yang diperoleh sebesar 1,471 MPa dan pada saat regangan 166 x 10-6 tegangan yang dihasilkan sebesar 1,744 MPa.Gambar 4.13 menjelaskan hubungan beban dan tegangan yang terjadi pada Balok Styrofoam.
IV-25
70 60
Beban (kN)
50 40 30 20 10 0 0
0.2
0.4
0.6
0.8 1 1.2 Tegangan pada beton (MPa)
1.4
1.6
1.8
2
Gambar 4.13 Hubungan Beban dan Regangan Tekan Beton pada Balok Styrofoam
Pada gambar 4.13 mejelaskan hubungan antara beban dan tegangan pada kondisi awal retak, kondisi leleh, dan kondisi ultimit berbanding lurus. Dimana semakin besar beban maka tegangan yang diperoleh juga semakin besar.
4.4.4 Analisis Momen - kurvatur A. Momen- Kurvatur pada Normal (BN) Tabel 4.15. Analisa momen - kurvatur rata-rata balok BN Mcr Kriteria Desain
(kNm)
Фcr 1/mm (105 )
My
Фy -5
Mu
Фu
(kNm)
1/mm (10 )
(kNm)
1/mm (10-5)
5,469
0,119
15,26
2,58
33,57
5,13
Aktual 6,425 Sumber : Olahan data
0,218
27,467
2,324
28,636
4,93
IV-26
Dari Tabel 4.15 di atas dapat dilihat hubungan momen kurvatur pada pengujian lentur balok BN bahwa hasil perhitungan desain maupun hasil pengujian pada saat awal retak tidak nampak perbedaan yang signifikan, kecuali momen lentur pada kondisi tulangan leleh ada perbedaan pada momen desain dan hasil pengujian dimana momen balok hasil uji melampaui momen desain sebesar 79,99% . Kemudian pada kondisi beban ultimit, momen lentur hasil uji yang dicapai hanya 82,77% dari momen lentur desain.
B. Momen- kurvatur pada Balok SFC Tabel 4.16. Analisa momen - kurvatur rata-rata balok SFC Mcr
Фcr
My
Фy
Mu
Фu
(kNm)
1/mm (10-5)
(kNm)
1/mm (10-5)
(kNm)
1/mm (10-5)
Desain
3,961
0,118
14,920
2,77
28,403
4,26
Aktual
9,751
0,227
31,526
2,80
32,119
3,00
Kriteria
Sumber : Olahan Data
Dari Tabel 4.16 di atas menunjukkan hubungan momen kurvatur pada pengujian lentur balok SFC bahwa hasil perhitungan desain sesuai dengan hasil pengujian laboratorium, kemudian kurvatur pada kondisi ultimit berkurang 42% dari kurvatur desain. Untuk jelasnya ditunjukkan pada Gambar 14 berikut menunjukkan perbandingan momen kurvatur antara BN, SFC dan hasil penelitian.
IV-27
35
30
Momen (kNm)
25
20 Bn
15
SFC
10
5
0 0
1E-09
2E-09 3E-09 4E-09 Kurvatur (rad/mm)
5E-09
6E-09
Gambar 4.14. Momen kurvatur BN dan BSFC
Adapun Perbedaan blok tegangan antara BN dan SFC dapat dilihat pada gambar 4.15 dan gambar 4.16. Secara analisis
blok tegangan dihitung berdasarkan
persamaan 2.1 hingga persamaan 2.7. Ɛc=0,003 As'
d = 211 mm
BN
21.3 136928.00
a=42.9579
46244
c= 50.538 189.5
As Ɛs=0,00953
136928.00
46244
Gambar 4.15 Distribusi Tegangan-regangan Teori pada balok normal.
IV-28
Ɛc=0,00104 As'
d = 211 mm
BN
23.6 136928.00
a=38,72
46244
c= 45,55 191.6
As Ɛs=0,002
136928.00 Ɛc=0,002053
As'
d = 211 mm
SFC
11.2 C=136928
c=96,3
46244
46244
a=81,85 z=170,07
As Ɛs=0,00214
T=136928
46244
Gambar 4.16 Distribusi Tegangan-regangan pada hasil uji laboratorium. 4.4.5 Analisa Retak dan Lebar Retak A. Analisa Retak Analisa lebar retak dilakukan dengan 3 cara sesuai perolehan data, yaitu : a. Perhitungan lebar retak berdasarkan data perencanaan balok (desain). b. Pengukuran retak secara langsung pada pengujian lentur balok (hasil). c. Perhitungan berdasarkan hasil pengujian lentur balok, dimana besarnya beban saat retak awal dihitung kembali untuk memperoleh pusat transformasi penampang, yaitu nilai yb dan ya. B. Panjang dan Lebar Retak Panjang dan lebar retak yang diperoleh pada hasil uji terdapat pada Tabel 4.16.
IV-29
Tabel 4.16 Panjang dan lebar retak hasil uji lentur Awal Retak
Awal Leleh Baja
Beban Ultimit
Balok P (mm)
L (mm)
P (mm)
L (mm)
P (mm)
L (mm)
BN
50,20
0,23
100,00
0,52
170,80
0,61
SFC
30,00
0,04
90,60
0,39
160,50
1,13
Sumber: Hasil Pengujian- Laboratorium Struktur & Bahan Jurusan Sipil
Tabel 4.16 memperlihatkan panjang (P) dan lebar retak (L) pada masing masing balok setelah pengujian.Panjang dan lebar retak terjadi pada beban yang berbeda-beda, setiap balok mempunyai besaran beban disaat kondisi crack, leleh dan ultimit. Retak tertinggi terjadi pada balok normal dibandingkan dengan balok SFC.Pada awal retak, lebar retak balok normal lebih besar 15% dari balok SFC, artinya balok normal bersifat lebih getas sebaliknya balok SFC lebih fleksibel dalam menahan retak yang terjadi akibat pembebanan. Pada saat beban ultimit, tinggi retak pada balok normal lebih besar namun lebar retaknya masih lebih kecil 0,24% dari balok SFC. Tetapi hal itu disebabkan karena balok SFC menanggung beban ultimit yang lebih besar.
Tabel 4.17 Analisa lebar retak Balok
Lebar retak
BN1
Desain 0,27
Hasil 0,4
BN2
0,27
0,82
SFC1
0,26
1,11
SFC2 0,26 1,15 Sumber: Hasil Pengujian- Laboratorium Struktur & Bahan Jurusan Sipil
IV-30
Pada Tabel 4.17 analisa lebar retak pada balok berdasarkan data hasil pengujian dan data desain.
4.4.6 Pola Retak Pengamatan pola retak dilakukanterhadap benda uji pada saat beban retak pertama sampai beban retak maksimum. Pengamatan pola retak hanya pada satu sisi balok dengan asumsi bahwa pola retak yang terjadi sama setiap sisinya. Adapun pola retak yang terjadi pada balok normal dan balok Styrofoam bisa dilihat pada Gambar 4.17 hingga Gambar 4.18.
Terjadi retak lentur
Gambar 4.17 Retak lentur balok BN
Terjadi retak lentur
Gambar 4.18 Retak lentur balok BSFC
Gambar 4.19 Pola retak balok BN 1
IV-31
Gambar 4.20 Pola retak balok BN 2
Gambar 4.21 Pola retak balok BSFC 1
Gambar 4.22 Pola retak balok BSFC 2
Menurut Mccromac (2001), retak lentur adalah retak vertikal yang memanjang dari sisi tarik dan mengarah keatas sampai daerah sumbu netral. Pola retak yang terjadi pada semua benda uji balok pengujian ini adalah pola retak lentur, hal ini dilihat dengan adanya retak-retak yang arah rambatannya vertical dari sisi tarik menuju ke garis netral balok.
IV-32
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan :
1. Perilaku lentur balok pada semua benda uji mengalami retak lentur pada 1/3 bentang. Retak Pertama pada balok BN terjadi lebih lambat dibandingkan pada balok BSFC. Namun kapasitas memikul beban pada balok BN lebih rendah dibandingkan balok BSFC. 2. Pengaruh penambahan Styrofoam 30% dari volume beton terhadap lentur balok mampu meningkatkan kapasitas beban sebesar 11.21 %. 3. Pola retak pada seluruh benda uji menunjukkan pola retak lentur (flexural crack). Hal ini ditunjukkan dengan arah retakan vertikal dari daerah tarik balok menuju ke daerah tekan.
5.2
Saran Berdasarkan kesimpulan diatas maka diajukan beberapa saran berikut :
1. Diperlukan penelitian lanjutan, balok beton bertulang Styrofoam dengan variasi penambahan Styrofoam untuk memperbaiki sifat - sifat yang lain, seperti : ketahanan terhadap api, zat kimia dan, lain sebagainya. 2 . Untuk menghindari terjadinya cacat beton antara tulangan, penggunaan vibrator harus dilakukan secara tepat.
V-1
Daftar Pustaka Akkas, Abdul Majid, 1996, Rekayasa Bahan / Bahan Bangunan, Jurusan Sipil, Makassar Departemen Pekerjaan Umum, 1971, Peraturan Beton Bertulang Indonesia (PBI 1971), Departemen Pekerjaan Umum, Bandung. Departemen Pekerjaan Umum, 2002, Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung dengan Standar SK SNI 03-2487-2002, Badan Standarisasi Nasional Dharmagiri, I.B, dkk. 2008. Kuat Tekan dan Modulus Elastisitas Beton dengan Penambahan Styrofoam (Styrocon), Jurnal Ilmiah Teknik Sipil, Vol 12 No. 1 Giri I.B.D., I Ketut S., dan Ni Made T. 2008. Kuat Tekan dan Moduus Elastisitas Beton dengan Penambahan Styrofoam (Styrocon). Jurnal Ilmiah T.Sipil Vol.12, No.1,Jan 2008. I Gusti Ketut Sudipta dan Ketut Sudarsana.2006.Permeabilitas Beton dengan Penambahan Styrofoam. Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Vol. 13, No. 2, Juli 2009. Istimawan Dipohusodo. 1999, Struktur Beton Bertulang Berdasarkan SK SNI T-151991-03 Departemen Pekerjaan Umum RI. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Murdock, L.J, Brook,K.M. Concrete Material and Practice, Edward Arnold, 5thed.,1984.
Nawy,E.G. 1998, Beton Bertulang Suatu Pendekatan Dasar, Refika Aditama, Bandung. Paul Nugraha, Antoni. 2007. Teknologi Beton. Penerbit C.V Andi Offset, Yogyakarta Samekto, Wuriyati dan Rahmadianto, Candra. 2001, Teknologi Beton, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Lampiran Dokumentasi
Persiapan pengujian benda Uji
Proses saat pengujain berlansung
Setalah Pengujian
Alat Pengujian