PENGARUH SLAG (AgriPower) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SERTA EMISI GAS RUMAH KACA (CH4 DAN N2O)
ESTASIA PARETTA A14051635
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN ESTASIA PARETTA. Pengaruh slag (AgriPower) terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi serta Emisi Gas Rumah Kaca (CH4 dan N2O). Dibimbing oleh ISWANDI ANAS dan RAHAYU WIDYASTUTI. Pemanasan global (global warming) disebabkan oleh peningkatan gas rumah kaca, seperti CH4, N2O, dan CO2. Salah satu sumber emisi gas rumah kaca, adalah lahan sawah. Kebutuhan beras terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk, oleh karena itu diperlukan upaya untuk menekan emisi gas rumah kaca dari lahan sawah tanpa menurunkan produksi padi. Salah satu upaya mitigasi pada lahan sawah adalah dengan penambahan Fe3+ yang berperan sebagai agen oksidasi (penerima elektron) untuk menekan emisi metan dan dapat pula digunakan sebagai soil amendment untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi (Ali et al., 2008). Pada penelitian ini digunakan slag (AgriPower) sebagai amelioran. Slag (AgriPower) adalah hasil samping dari pabrik pengolahan baja yang mengandung besi (Fe) tinggi dan beberapa unsur hara (makro dan mikro) lain terutama silikat (Si). Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pengaruh penambahan slag terhadap pertumbuhan dan produktivitas padi serta emisi metan (CH4) dan nitrous oksida (N2O) pada dua jenis tanah yang berbeda kandungan Fe3+-nya. Penelitian ini merupakan percobaan pot dengan empat perlakuan, yaitu kontrol atau tanpa tambahan apapun (T0), penambahan slag (T1), penambahan NPK (T2), dan penambahan NPK + slag (T3). Penetapan gas CH4 dan N2O dilakukan dengan alat Gas Chromatograph (GC). Penelitian dirancang berdasarkan rancangan acak lengkap (RAL). Analisis data dengan menggunakan Analysis of Variances (ANOVA) dengan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%, menggunakan program SPSS versi 13.0. Dari data dilapangan yang telah di analisis, pengaruh slag terhadap pertumbuhan dan produksi padi tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%, namun berpotensi meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi pada tanah Atang Sendjaja, tetapi tidak pada tanah Cihideung Ilir. Perlakuan slag (T1) mengurangi emisi CH4 sebesar 283.05% dan N2O sebesar 73.35% dari kontrol (T0), sedangkan perlakuan NPK + slag (T3) tidak mampu mengurangi emisi CH4 namun mampu mengurangi emisi N2O hingga 372.2% dari perlakuan NPK (T2) pada tanah Atang Sendjaja, sedangkan pada tanah Cihideung Ilir, perlakuan slag (T1) mengurangi emisi CH4 sebesar 125.25% namun meningkatkan emisi N2O dari kontrol (T0) dan perlakuan NPK + slag (T3) mengurangi emisi CH4 37.27% dan N2O hingga 344.6% dari perlakuan NPK (T2), namun menurut uji lanjut DMRT taraf 5%, slag (AgriPower) tidak berpengaruh nyata terhadap emisi CH4 dan N2O.
Kata kunci: metan, nitrous oksida, slag, produksi padi.
SUMMARY ESTASIA PARETTA. The effects of slag (AgriPower) on the growth and production of rice and greenhouse gas emissions (CH4 and N2O). Supervised by ISWANDI ANAS and RAHAYU WIDYASTUTI. Global warming is caused by the increase of green house gas, such as CH4, N2O, and CO2. One of the source of green house emission is from the rice fields. The need of rice increases stably according to the human growth, therefore it needs an effort to decrease the greenhouse gases without the decrease of rice production. One of the mitigation effort on the rice field is the addition of Fe3+ which acts as oxidizing agent (electron acceptor) to lower methane emissions and can also be used as a soil amendment to increase the productivity of rice crop (Ali et al., 2008). On this research, slag (AgriPower) is used as an ameliorant. Slag (AgriPower) is a byproduct of steel-processing industry that contains high iron (Fe) and several other nutrients (macro and micro), particularly silicates. This research was aimed at studying the effects of the addition of slag to methane (CH4) and nitrous oxide (N2O) emission and productivity of rice in two different soil types with different Fe3+ contents. This research was a pot experiment with four treatments, namely the control or without any addition (T0), the addition of slag (T1), the addition of NPK (T2) and the addition of NPK + slag (T3). The statement of CH4 and N2O was done by using Gas Chromatograph (GC). This research was designed based on a Complete Randomized Design (CRD). The data analysis used Analysis of Variances (ANOVA) with further testing of Duncan Multiple Range Test (DMRT) at the level of 5%, using SPSS program of version 13.0. According to the data in the field,, slag treatment (T1) reduced the emissions CH4 by 283.05 % and N2O by 73.35 % from the control (T0). In the meantime, the treatment of NPK + slag (T3) was not able to reduce CH4 emissions but was able to reduce N2O emissions by 372.2% from the treatment NPK (T2) in Atang Sendjaja soil, on the other side, in Cihideung Ilir soil, slag treatment could reduce methane emissions by 125.5%, but N2O emissions increased compared to the control (T0) and the treatment NPK + slag (T3) reduced emissions of CH4 by 37.27 % and N2O by 344.6 % of the NPK treatment (T2). However, further DMRT at the level of 5%, slag (AgriPower) did not have a significant effect on CH4 and N2O emissions. The effect of slag on the growth and production of rice was not significantly different according to DMRT at the level of 5%, but had the potensial to improve rice growth and production in the soil of Atang Sendjaja, but not on the soil of Cihideung Ilir.
Keywords : methane, nitrous oxide, slag, paddy production.
PENGARUH SLAG (AgriPower) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SERTA EMISI GAS RUMAH KACA (CH4 DAN N2O)
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
ESTASIA PARETTA A14051635
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi
: Pengaruh Slag (AgriPower) terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi serta Emisi Gas Rumah Kaca (CH4 dan N2O)
Nama
: Estasia Paretta
NRP
: A14051635
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
(Prof. Dr. Iswandi Anas, M. Sc.) NIP. 19500509 197703 1 001
(Dr. Rahayu Widyastuti, M. Sc.) NIP. 19610607 199002 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen
(Dr. Ir. Syaiful Anwar, M. Sc.) NIP. 19621113 198703 1 003
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Karawang pada tanggal 20 September 1987. Penulis merupakan anak keenam dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Willy Duma Brordus Paretta dan Ibu Caesilia Supriyati. Penulis mengikuti pendidikan SD hingga SMU di D.K.I. Jakarta. Penulis memulai pendidikan pada tahun 1992 di SD Negeri 16 Rawamangun, Jakarta Timur dan lulus pada tahun 1999. Tahun 2002 penulis menyelesaikan pendidikan dari SLTP Fransiskus II, Kampung Ambon, Jakarta Timur, Kemudian tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikannya di SMU Negeri 21 Jakarta. Tahun 2005 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Program Studi Ilmu Tanah melalui jalur SPMB. Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum Bioteknologi Tanah (2009).
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan pimpinan-Nya, skripsi berjudul ‘Pengaruh slag (AgriPower) terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi serta Emisi Gas Rumah Kaca (CH4 dan N2O)’ dapat terselesaikan. Dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu dan mendukung, yaitu : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M. Sc., selaku pembimbing I atas bimbingan, saran, motivasi, biaya dan penyediaan alat-alat penelitian serta Ibu Dr. Rahayu Widyastuti, M. Sc. selaku pembimbing II atas bimbingan, saran dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. 2. Orang Tua dan kakak-kakak, atas doa, nasehat, dukungan dan semangat yang tak ternilai. 3. Rekan-rekan kerja: Tri Bakti Oktavianti, Fitri Ardi, SP., Bapak Yayat, Aditya H. Nugraha, Bapak Ir. Fakhrur Razie, M. Si., Bapak Togi R. Hutabarat, SP., Ridwan S. Putra, Indri Hapsari, Sitta Nurlifah, Charlos Togi, M. A. Yusuf, Arief A. Pradana, Fitryana Budiwati, Annisa K. dan semua rekan dari tim S.R.I, atas bantuannya dilapangan serta dukungannya. 4. Seluruh staf Laboratorium Bioteknologi Tanah: Ibu Asih Karyati, Bapak Sarjito, Dian Nareswari, dan Ibu Julaeha, atas bimbingan, arahan serta bantuannya selama bekerja di Laboratorium Bioteknologi Tanah. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan pahala dan Karunia atas kebaikan mereka. Semoga skripsi ini bermakna dan bermanfaat bagi pembacanya. Terimakasih.
Bogor, Oktober 2009
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ………………………………………………………............
viii
DAFTAR TABEL …………………………………………………............
x
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………............
xiii
I.
II.
PENDAHULUAN …………………………………………………..
1
1.1.
Latar Belakang ……………………………………………….
1
1.2.
Tujuan …………………………………………………….…..
3
1.3.
Hipotesis ……………………………………………………...
3
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………….
4
2.1.
Tanah Sawah …………………………………………………
4
2.1.1. Redoks Potensial (Eh) dan pH Tanah ………………..
4
2.2.
Emisi CH4 dan N2O pada Lahan Sawah ……………………..
5
2.3.
Tanaman Padi dan Hubungannya terhadap Emisi CH4 dan N2O …………………………………………………………..
8
Mitigasi GRK melalui Penambahan Slag (AgriPower)……....
9
BAHAN DAN METODE …………………………………………...
11
3.1.
Tempat dan Waktu Percobaan ……………………………….
11
3.2.
Bahan dan Alat …………………………………….…………
11
3.3.
Rancangan Penelitian …………………………………….…..
11
3.4.
Pelaksanaan Penelitian …………………………….…………
12
3.5.
Pengamatan …………………………………………………..
13
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………..
16
4.1.
16
2.4. III.
IV.
Pertumbuhan Tanaman ………………….................................
viii
4.2.
4.3.
4.4.
4.1.1. Tinggi Tanaman pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir ……………………………………
16
4.1.2. Jumlah Anakan pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir …………………………………...
18
4.1.3. Biomassa pada Tanah Atang Latosol Sendjaja dan Cihideung Ilir ………………………………..............
20
4.1.4. Perbandingan Pertumbuhan Padi pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir …………………..
21
Produksi Padi ………………………………………………...
23
4.2.1. Tanah Latosol Atang Sendjaja ………………………
23
4.2.2
Tanah Latosol Cihideung Ilir ………………………..
24
Emisi CH4 dan N2O ………………………………………….
26
4.3.1. Emisi CH4 pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir ………………………………………..
27
4.3.2. Emisi N2O pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir ………………………………………..
31
Kondisi Tanah ………………………………………………..
34
4.4.1. Potensi Redoks (Eh) pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir ………………………….
34
4.4.2
Nilai pH pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir ………………………………………..
37
KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………..
40
5.1.
Kesimpulan……………………………………………………
40
5.2.
Saran ………………………………………………………….
40
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….
41
VII. LAMPIRAN …………………………………………………………
45
V.
VI.
ix
DAFTAR TABEL NO.
2.1.
Teks
Halaman
Metabolisme Bakteri pada Lahan Tergenang (Takai, 1990 dalam Effendy, 1997) ……………………..................................................
7
Pengaruh Perlakuan terhadap Tinggi Tanaman (cm) pada Tanah Latosol Atang Sendjaja …………………………………………….
16
Pengaruh Perlakuan terhadap Tinggi Tanaman (cm) pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ……………………………………………
17
Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Anakan (batang/pot) pada Tanah Latosol Atang Sendjaja ……………………………………..
18
Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Anakan (batang/pot) pada Tanah Latosol Cihideung Ilir …………………………………….
19
Pengaruh Perlakuan terhadap Biomassa pada Tanah Latosol Atang Sendjaja …………………………………………………………….
20
Pengaruh Perlakuan terhadap Biomassa pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ………………………………………………………
21
Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Anakan Produktif, Panjang Malai, Jumlah Gabah Per Malai, Jumlah Gabah Isi, Jumlah Gabah Hampa, dan Bobot 1000 Butir pada Tanah Latosol Atang Sendjaja……………………………………………………………
24
Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling pada Tanah Latosol Atang Sendjaja ………...
24
Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Anakan Produktif, Panjang Malai, Jumlah Gabah Per Malai, Jumlah Gabah Isi, Jumlah Gabah Hampa, dan Bobot 1000 Butir pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ..
25
4.10. Pengaruh Perlakuan Terhadap Bobot Gabah Kering Panen dan Bobot Gabah Kering Giling pada Tanah Latosol Cihideung Ilir …..
26
4.11. Pengaruh Perlakuan terhadap Emisi CH4 (mg C m-2 jam-1) pada Tanah Latosol Atang Sendjaja ……………………………………..
28
4.12. Total Emisi CH4 selama 5x Pengukuran (3-59) HST pada Kedua Tanah ……………………………………………………………….
29
4.1.
4.2.
4.3.
4.4.
4.5.
4.6.
4.7.
4.8.
4.9.
x
4.13. Pengaruh Perlakuan terhadap Emisi CH4 (mg C m-2 jam-1) pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ………………………………………
30
4.14. Pengaruh Perlakuan terhadap Emisi N2O (µg N m-2 jam-1) pada Tanah Latosol Atang Sendjaja ……………………………………..
31
4.15. Total Emisi N2O selama 4x Pengukuran (17-59 HST) pada Kedua Tanah ……………………………………………………………….
32
4.16. Pengaruh Perlakuan terhadap Emisi N2O (µg N m-2 jam-1) pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ………………………………………
33
4.17. Pengaruh Perlakuan terhadap Eh Tanah Latosol Atang Sendjaja ….
34
4.18. Pengaruh Perlakuan terhadap Eh Tanah Latosol Cihideung Ilir …...
35
4.19. Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai pH Tanah Latosol Atang Sendjaja …………………………………………………………….
37
4.20. Pengaruh Perlakuan terhadap pH Tanah Latosol Cihideung Ilir…………………………………………………………………...
38
Lampiran 1.
Pengukuran Eh Tanah Latosol Atang Sendjaja menggunakan platinum electrode ………………………………………………….
47
2.
Pengukuran Eh Tanah Latosol Cihideung Ilir menggunakan platinum electrode ………………………………………………….
47
3.
Sidik Ragam Tinggi Tanaman pada Tanah Latosol Atang Sendjaja……………………………………………………………..
48
Sidik Ragam Jumlah Anakan pada Tanah Latosol Atang Sendjaja……………………………………………………………..
48
5.
Sidik Ragam Produksi pada Tanah Latosol Atang Sendjaja ………
49
6.
Sidik Ragam Biomassa pada Tanah Latosol Atang Sendjaja ………
49
7.
Sidik Ragam Fluks CH4 pada Tanah Latosol Atang Sendjaja ……..
50
8.
Sidik Ragam Fluks N2O pada Tanah Latosol Atang Sendjaja ….....
50
9.
Sidik Ragam Eh Tanah Latosol Atang Sendjaja ……………………
51
10.
Sidik Ragam pH Tanah Latosol Atang Sendjaja ……………….......
51
4.
xi
11.
Sidik Ragam Tinggi Tanaman pada Tanah Latosol Cihideung Ilir………………………………………………………………..….
52
Sidik Ragam Jumlah Anakan pada Tanah Latosol Cihideung Ilir………………………………………………………………..….
52
13.
Sidik Ragam Produksi pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ……...…
53
14.
Sidik Ragam Biomassa pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ………..
53
15.
Sidik Ragam Fluks CH4 pada Tanah Latosol Cihideung Ilir …….....
54
16.
Sidik Ragam Fluks N2O pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ……….
54
17.
Sidik Ragam Eh Tanah Latosol Cihideung Ilir ……………………..
55
18.
Sidik Ragam pH Tanah Latosol Cihideung Ilir ………………….....
55
19.
Hasil Analisis Slag di Balai Penelitian Tanah (Bogor) ……………..
56
20.
Hasil Analisis Slag di SUCCOFINDO ……………………………..
57
21.
Hasil Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah Sebelum Tanam (Balai Penelitian Tanah, Bogor) ……………………………………………
58
Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah Sebelum Tanam (Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB) …………….
58
Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah Dua Minggu setelah Tanam (Balai Penelitian Tanah, Bogor) ……………………………………………
59
24.
Hasil Analisis Tanaman (Balai Penelitian Tanah, Bogor) …………..
60
25.
Karakteristik Varietas Ciherang (Lesmana et al., 2004)…………….
62
12.
22.
23.
xii
DAFTAR GAMBAR NO.
2.1.
Teks
Halaman
Dinamika produksi dan emisi gas CH4 dari lahan padi sawah (Setyanto et al., 2004) ………………………………………..……..
6
3.1.
Skema sungkup penangkap gas CH4 dan N2O ……………………...
14
4.1.
Pertumbuhan padi saat 52 HST pada kedua tanah: (a) tinggi tanaman, (b) jumlah anakan (AS : Atang Sendjaja dan CI : Cihideung Ilir)………………………………………........................
22
4.2.
Emisi CH4 pada Tanah Latosol Cihideung Ilir selama 59 HST …...
28
4.3.
Emisi CH4 pada Tanah Latosol Cihideung Ilir selama 59 HST …...
30
4.4.
Emisi N2O pada Tanah Latosol Cihideung Ilir selama 59 HST …...
32
4.5.
Emisi N2O pada Tanah Latosol Cihideung Ilir selama 59 HST …...
33
4.6.
Rata-rata Eh Tanah Latosol Cihideung Ilir dan Cihideung Ilir pada 3, 17, 31, 45 dan 59 HST dengan alat ORP-meter ………………….
36
Rata-rata Eh Tanah Latosol Cihideung Ilir dan Cihideung Ilir pada 32, 45, 59 dan 66 HST dengan alat platinum electrode …………….
36
Rata-rata pH Tanah Latosol Cihideung Ilir dan Cihideung Ilir pada 3, 17, 31, 45 dan 59 HST …………………………………………...
38
4.7.
4.8.
Lampiran 1.
Pertumbuhan padi pada Tanah Latosol Atang Sendjaja …...........….
45
2.
Pertumbuhan padi pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ……..............
46
3.
Layout posisi pot di dalam net house setelah di acak ………………
61
4.
Tahap persiapan sebelum tanam ……………………………………
63
5.
Pengaturan Air: (a) Tanah Latosol Atang Sendjaja, (b) Tanah Latosol Cihideung Ilir ………………………………………………
64
xiii
6.
7.
8.
Tanaman padi setiap perlakuan: (a) Padi pada Tanah Latosol Cihideung Ilir (76 HST), (b) Padi pada Tanah Atang Sendjaja (79 HST) ………………………………………………………………...
65
Panen pada Tanah Latosol Cihideung Ilir: (a) padi umur 93 HST, (b) setelah tanaman di panen, (c) pengeringan biomassa, (d) menghitung jumlah malai …………………………………………..
66
Panen pada Tanah Latosol Atang Sendjaja: (a) persiapan pemotongan tanaman, (b) setelah tanaman dipotong ……………….
67
xiv
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Global warming atau pemanasan global merupakan isu dunia yang menjadi bahan pembicaraan utama belakangan ini. Pemanasan Global disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK), khususnya karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O) di atmosfer. Dampak pemanasan global adalah perubahan iklim akibat peningkatan suhu yang diprediksi mencapai 1 - 3°C. Kondisi ini merugikan bagi dunia, termasuk Indonesia yang merupakan negara agraris. Sektor pertanian sangat tergantung pada iklim, pergeseran musim dan perubahan pola hujan yang tidak menentu menyebabkan turunnya produksi akibat rusaknya tanaman dan puso (Budiastuti, 2008). Konsentrasi CH4 global di atmosfer mencapai 1720 ppbv dengan laju peningkatan konsentrasi 10-20 ppbv per tahun (Duxbury dan Mosier, 1997), sedangkan konsentrasi N2O sekitar tahun 1990-an mencapai 310 ppbv dengan laju peningkatan sebesar 0.6 – 0.9 ppbv per tahun (Whalen, 2000). Peningkatan konsentrasi gas tersebut diduga berhubungan erat dengan makin meningkatnya aktivitas mikroba dari sumber (source) serta terjadinya penurunan rosot (sink) GRK, yang berarti telah terjadi ketidakseimbangan antara sumber dan rosot (Bouwman, 1990). Sawah terutama dengan sistem irigasi menyediakan kondisi ideal untuk pembentukan metana (metanogenesis). Hal ini akibat dari tingginya input karbon mudah terlapuk, kondisi akibat tergenang dan suhu optimum menguntungkan untuk bakteri penghasil metana (metanogen). Lingkungan sawah irigasi menguntungkan bagi fluks metana juga dikarenakan adanya efek chimney dari tanaman padi (Wihardjaka, 2006). Menurut Bouwman (1989), CH4 dibentuk selama proses dekomposisi bahan organik secara anaerob. Dengan demikian, tanah-tanah yang tergenang atau tanah-tanah yang terhalang drainasenya merupakan sumber potensial metana. Total luas lahan sawah di Indonesia pada tahun 2005 sebesar 7,885 juta hektar, dan sawah irigasi teknis merupakan yang terluas berdasarkan jenis pengairannya, yaitu 28% dari total lahan sawah Indonesia (BPS, 2006).
2
Berdasarkan data luas sawah, scalling factor berbagai jenis tanah dan faktor koreksi emisi berdasarkan jenis irigasinya, kemudian dihitung emisi CH4 pada tahun 2005 adalah sebesar 1.72 juta ton CH4 atau setara dengan 39.63 juta ton CO2e (Pawitan et al., 2008). Produksi pertanian di Indonesia harus terus berlangsung untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Seiring dengan pertambahan penduduk, tingkat kebutuhan akan beras ikut meningkat, yang mendorong kultivasi padi secara intensif maupun ekstensif. Usaha pemenuhan kebutuhan akan beras menyebabkan peningkatan produksi metana. Untuk itu diperlukan upaya untuk menekan emisi metana tanpa mengurangi produksi tanaman pertanian. Beberapa mitigasi emisi GRK dari lahan sawah telah dilakukan dengan berbagai parameter, yaitu: pengelolaan air, penggunaan varietas padi, pemberian bahan amelioran matang, penambahan material Fe, dan lain-lain. Tidak hanya pada lahan sawah, lahan gambut juga berkontribusi terhadap emisi metana, dan telah dilakukan percobaan dengan penambahan kation Fe3+ sebagai bahan amelioran untuk menekan emisi metana pada lahan gambut (Sulistyono, 2000) Penambahan nitrat atau Fe3+ menghalangi pembentukkan metana (Situmorang dan Untung, 2001). Untuk aplikasi di lapangan, kation Fe3+ dapat diperoleh dari hasil sampingan dari pabrik pengolahan baja yang mengandung besi tinggi (slag) atau bahan-bahan lain yang mudah didapatkan. Pada penelitian ini, digunakan slag (AgriPower) yang merupakan pupuk silikat (Si) berbentuk granul yang mengandung besi oksida. Kandungan unsur silikat mudah larut dapat membuat tanaman padi menjadi kuat dan berdiri kokoh selama pertumbuhan, tahan terhadap serangan penyakit dan memberikan rasa beras yang lebih lezat (Nippon Steel Corp., 2009). Furukawa dan Inubushi (2004) menyebutkan penggunaan RFS (revolving furnace slag) dapat menurunkan emisi CH4 hingga 23-25% pada tanah dengan kandungan besi rendah dan menurunkan emisi CH4 sebesar 8% pada tanah dengan kandungan besi yang tinggi tanpa harus kehilangan produktivitas padi.
3
Berdasarkan uraian di atas, kiranya perlu dilakukan percobaan untuk mengetahui seberapa efektif-kah AgriPower untuk menekan emisi metana dan meningkatkan produktivitas tanaman padi?
1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mempelajari pengaruh penambahan slag (AgriPower) terhadap emisi metan dan nitrous oksida pada tanah sawah yang mempunyai kadar Fe-tersedia rendah dan sedang. 2. Mempelajari pengaruh penambahan slag (AgriPower) terhadap pertumbuhan dan produksi padi.
1.3. Hipotesis 1. Penambahan slag (AgriPower) pada tanah berkadar Fe-tersedia rendah dan sedang mengurangi emisi gas metan yang dihasilkan dari tanah sawah maupun tanaman padi. 2. Penambahan
slag
(AgriPower) pada
tanah
sawah
meningkatkan
pertumbuhan dan produksi padi. 3. Penambahan slag lebih berpengaruh pada tanah Fe rendah baik untuk meningkatkan
pertumbuhan
dan
menurunkan emisi gas rumah kaca.
produksi
padi,
maupun
dalam
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanah Sawah Sawah adalah tanah yang dibatasi oleh pematang yang digunakan untuk penanaman padi dan diairi dengan pengairan teknis atau tadah hujan (Situmorang dan Untung, 2001). Jika tanah digenangi, air mendesak udara dari ruang pori dan rongga tanah, kecuali pada lapisan tipis di permukaan, dan kadang-kadang suatu lapisan di bawah lapisan olah, dimana oksigen dapat berdifusi, sehingga lapisan olah terbagi menjadi sebuah lapisan atas yang tipis yaitu lapisan teroksidasi (tebal 1 – 2 mm) dan sebuah lapisan tereduksi di bawahnya (De Datta, 1981). Tanah yang digenangi mengalami perubahan kimia. Perubahan-perubahan kimia yang penting adalah : (1) kehilangan oksigen, (2) turunnya potensi reduksioksidasi (Eh), (3) peningkatan pH pada tanah masam dan penurunan pH pada tanah alkaline atau tanah kapur, (4) reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ dan Mn4+ menjadi Mn2+, (5) reduksi NO3- dan NO2- menjadi NH4+, N2 dan N2O, (6) peningkatan ketersediaan fosfat, silikon, dan molibdenum, (7) merangsang terbentuknya CO2, CH4 dan senyawa beracun, seperti asam organik dan sulfida (De Datta, 1981). Di Indonesia tanah sawah berasal dari jenis-jenis tanah yang cukup beragam antara lain: Entisol, Inceptisol, Vertisol, Alfisol, Utisol dan Histosol yang tersebar luas terutama di Jawa, Bali, Lombok, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan (Situmorang dan Untung, 2001). 2.1.1. Redoks Potensial (Eh) dan pH Tanah Redoks potensial (Eh) merupakan parameter untuk mengukur intensitas reduksi tanah dan mengidentifikasi reaksi-reaksi utama yang terjadi (Sanchez, 1976). Menurut Ponnamperuma (1978), nilai Eh yang tinggi dan positif menunjukkan kondisi oksidatif, sebaliknya nilai Eh yang rendah bahkan negatif menunjukkan kondisi reduktif. Selama beberapa minggu setelah penggenangan, pH pada tanah masam meningkat dan pada tanah alkali atau tanah kapur menurun. Dengan demikian, umumnya pH tanah mineral baik pada tanah masam maupun alkali akhirnya
5
menjadi 6-7 setelah penggenangan (Ponnamperuma et al., 1966 dalam De Datta, 1981). Menurut De Datta (1981), laju dan tingkat perubahan pH tergantung pada sifat tanah dan suhu. Kandungan bahan organik dan Fe2+ menentukan perubahan pH pada tanah masam. Kemasaman pada tanah berkadar bahan organik atau Fe2+ tinggi atau berkadar cadangan asam yang tinggi, misalnya sulfat masam tidak dapat mencapai 6,0 meskipun digenangi berbulan-bulan. Pada tanah alkali, bahan organik menurunkan pH. Suhu rendah memperlambat perubahan pH, baik pada tanah masam maupun alkali. Nilai pH tanah tergenang umumnya bertahan mendakati 7,0 dengan kisaran lebih sempit.
2.2. Emisi CH4 dan N2O pada Lahan Sawah Sumber utama emisi gas metan berasal dari aktivitas manusia (sumber antropogenik). Hampir 70% total emisi metan berasal dari sumber antropogenik dan sisanya (sekitar 30%) berasal dari sumber-sumber alami (Murdiyarso dan Husin, 1994). Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam proses produksi gas metan. Sebagian dari metan yang diproduksi akan dioksidasi oleh bakteri metanotrof yang bersifat aerobik di lapisan permukaan tanah dan di zona perakaran. Bakteri ini menggunakan metan sebagai sumber energi untuk metabolisme. Sisa metan yang tidak teroksidasi dilepaskan atau diemisikan dari lapisan bawah tanah ke atmosfir melalui tiga cara, yaitu: (1) proses difusi melalui air genangan ; (2) gelembung gas yang terbentuk dan terlepas ke permukaan air genangan melalui mekanisme ebulisi; dan (3) gas metan yang terbentuk masuk kedalam jaringan perakaran tanaman padi dan bergerak secara difusi dalam pembuluh aerinkima untuk selanjutnya terlepas ke atmosfir (Rennenberg et al., 1992). Proses produksi dan emisi gas metan pada lahan sawah dapat dilihat pada Gambar 2.1.
6
CH4 5% - 20%
CH4
emisi
0.2% - 2.4%
CO2
gelembung
CH4 0.01% - 0.06%
CH4 100% CO2
Daerah sekitar perakaran yang mengoksidasi CH4
CO2
CH4 0.1%-4%
Pemakaian air tanah
CO2
CH4 0.03% - 1.1% Tercuci oleh air tanah
Gambar 2.1.
Dinamika produksi dan emisi gas CH4 dari lahan padi sawah (Setyanto, 2004).
Pada awal musim tanam, CH4 terutama diemisikan melalui mekanisme ebulisi sekitar 49-70% dari total fluks (Crill et al., 1988 dalam Budiastuti, 2008). Pada fase perkembangan tanaman, mekanisme ini menurun dan proses emisi melalui jaringan aerenkima lebih dominan. Menurut Holzapfel-Pschorn et al. (1986), CH4 yang diemisikan ke atmosfer melalui jaringan aerenkima tanaman padi memberikan kontribusi yang terbesar, dan mencapai puncaknya pada fase reproduktif yaitu sekitar 90% dari total fluks. Selama musim tanam, emisi CH4 melalui mekanisme difusi sebesar 1-5% dari total fluks. Faktor – faktor yang mempengaruhi emisi metan, adalah sebagai berikut: 1. pH tanah, sebagian besar bakteri metanogen bersifat neutrofilik, yaitu hidup pada kisaran pH antara 6 – 8 (Setyanto, 2004).Pembentukkan CH4 maksimum terjadi pada pH 6.9 hingga 7.1 (Wang, 1993), pH di bawah 5.75 dan di atas 8.75 menghambat pembentukkan CH4. 2. Potensi redoks (Eh) tanah, produksi CH4 terjadi pada kisaran nilai Eh -150 mV (Hou et al., 2000) hingga – 190 mV (Neue, et al., 1990) (Tabel 1), karena
7
aktivitas optimal bakteri metanogen pada Eh kurang dari -150 (Setyanto, 2004).
Tabel 2.1. Metabolisme Bakteri pada Lahan Tergenang (Takai, 1990 dalam Effendy, 1997) Redoks Potensial (Eh) Perubahan Senyawa Metabolisme Mikroba (mV) Kehilangan O2 +600 s/d +300 Respirasi O2 Kehilangan NO +400 s/d 0 Reduksi Nitrat 2+ Pembentukan Mn +400 s/d -100 Reduksi Mn3+ dan Mn4+ +200 s/d -200 Reduksi Fe3+ Pembentukan Fe2+ 0 s/d -200 Reduksi SO42Pembentukkan S2Pembentukan CH4 -200 s/d -300 Fermentasi CH4 3. Suhu tanah, sebagian besar bakteri metanogen bersifat mesofilik yang beraktivitas optimal pada suhu 30-40 °C (Vogels et al., 1988), 4. Varietas padi, pembuluh aerenkima pada daun, batang dan akar padi merupakan media pelepasan CH4 dari tanah ke atmosfer, varietas padi mempunyai bentuk, kerapatan dan jumlah pembuluh aerenkima yang berbeda. Perbedaan ini akan mempengaruhi kemampuan tanaman padi meneruskan metan. Pada fase awal pertumbuhan tanaman padi banyak eksudat akar yang dilepas ke rizosfir sebagai hasil samping metabolisme karbon oleh tanaman (Setyanto, 2004). Makin banyak eksudat akar yang terbentuk maka emisi metan akan semakin tinggi. Jumlah anakan juga berpengaruh, semakin banyak jumlah anakan maka kerapatan dan jumlah pembuluh aerenkima meningkat (Wihardjaka, 2001). 5. Bahan organik tanah, ketersediaan substrat organik mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam tanah karena bertindak sebagai sumber energi. Eh tanah akan rendah jika tersedia karbon organik tanah dalam jumlah yang cukup dan memungkinkan terbentuknya CH4 (Hou et al., 2000). Pembentukkan N2O dapat terjadi pada tanah tergenang karena adanya lapisan oksidatif yang tipis di bawah genangan air, yang apabila pupuk nitrogen yang diaplikasikan kedalam lapisan reduktif naik ke lapisan oksidatif, maka akan segera ternitrifikasi menjadi nitrat yang mobil, kemudian nitrat yang mobil
8
mencapai lapisan reduktif dan mengalami denitrifikasi. Transformasi N melalui proses denitrifikasi sangat dipengaruhi oleh pH, pada kondisi netral hasil akhir berupa N2, sedangkan pada kondisi masam akan mengemisikan N2O (De Datta, 1981). Ketersediaan bahan organik memacu aktivitas mikroba metanogen dan denitrifier sehingga memacu dekomposisi secara anaerobic dan denitrifikasi yang membebaskan CH4 dan N2O (Wihardjaka, 2001). Ketersediaan bahan organik dapat memacu aktivitas bakteri denitrifier, penambahan bahan organik berupa jerami segar akan menstimulir suasana reduktif sehingga memacu dekomposisi secara anaerobik dan denitrifikasi yang membebaskan CH4 dan N2O. Kehilangan N melalui emisi N2O terutama terjadi pada tanah-tanah yang subur, beririgasi dan kaya bahan organik. Kehilangan N dalam bentuk N2O ini selain berpotensi meningkatkan efek GRK juga mengurangi efisiensi pupuk N (Suprihati, 2005). Gas N2O merupakan salah satu gas rumah kaca yang dihasilkan oleh jasad renik di lahan sawah, yang terdiri atas persenyawaan hara nitrogen dan oksigen (Wihardjaka,2006). Intensitas dan besarnya emisi N2O dari tanah ditentukan oleh sejumlah faktor yaitu suhu, curah hujan yang berkenaan dengan kelembaban tanah, kandungan karbon mudah termineralisasi yang berjumlah atom karbon rendah sebagai donor elektron pada proses reduksi. Emisi N2O dipengaruhi oleh jenis pupuk N yang diaplikasikan. Pupuk N yang cepat menyediakan nitrat berpeluang besar menyumbang kehilangan N melalui emisi N2O (Arcara et al., 1999).
2.3. Tanaman Padi dan Hubungannya dengan Emisi CH4 dan N2O Padi terdiri dari beberapa bagian tanaman, yang meliputi akar, batang, dan daun. Akar tanaman memberikan andil yang sangat besar dalam proses pembentukkan CH4 oleh bakteri metanogen, sebab akar tanaman dalam metabolisme menghasilkan semacam substrat (eksudat akar) yang mempercepat proses pembentukkan CH4. Eksudat akar tersusun atas senyawa karbohidrat, asam-asam organik dan asam amino. Kapasitas pengoksidasi akar yang baik menyebabkan konsentrasi oksigen di sekitar akar meningkat dan CH4 teroksidasi
9
secara biologis oleh bakteri metanotrof. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, CH4 yang diemisikan ke atmosfer melalui jaringan aerenkima tanaman padi memberikan kontribusi yang terbesar, dan mencapai puncaknya pada fase reproduktif yaitu sekitar 90% dari total fluks. Ada tiga fase pertumbuhan tanaman padi, yaitu fase vegetatif aktif, generatif dan pemasakan. Fase vegetatif aktif dimulai dari perkecambahan sampai inisiasi primordia malai, fase reproduktif dimulai dari inisiasi primordia malai sampai rampak, dan fase pemasakan dimulai dari rampak sampai masak (Yoshida, 1981). Setiap varietas padi yang berbeda, mempunyai umur dan aktivitas akar yang berbeda yang erat kaitannya dengan volume emisi CH4 & N2O. Varietas yang tepat diharapkan dapat mengurangi emisi CH4 & N2O. Varietas Ciherang merupakan hasil persilangan antara varietas IR64 dengan varietas/galur lain. Varietas ini merupakan salah satu varietas dengan emisi CH4 rendah, dengan produksi padi tinggi (Wihardjaka, 2006).
2.4. Mitigasi GRK melalui Penambahan Slag (AgriPower) Slag (AgriPower) merupakan hasil sampingan pabrik pengolahan baja yang dapat digunakan sebagai pupuk Silikat (Si) dengan kandungan besi tinggi dan beberapa unsur lain (makro dan mikro). Dengan penambahan slag (AgriPower) yang mengandung besi tinggi diharapkan dapat mengurangi emisi CH4 dan N2O pada pembudidayaan padi serta meningkatkan produksi padi. Berdasarkan percobaan Murnita (2001), pertumbuhan tanaman lebih baik dengan adanya penambahan bahan amelioran Fe3+ pada tanah gambut pantai saprik hingga dosis 2.5% erapan maksimum Fe3+ yg ditunjukkan oleh bobot kering tanaman tertinggi 13.73 g/pot. Produksi CH4 terjadi ketika bahan organik didegradasi dalam lingkungan dengan kondisi kebutuhan akan cahaya dan beberapa bahan organik sebagai penerima elektron seperti O2, Fe3+, Mn2+, nitrat dan sulfat memiliki jumlah yang terbatas (Boone, 2000). Dari percobaan Saragih (1996) diketahui bahwa kation Fe3+ mempunyai urutan ikatan kation paling kuat dibandingkan dengan kation –
10
kation lain yang dicobakan, dan ikatan Fe3+ mempunyai kestabilan paling tinggi berdasarkan urutan kestabilan kompleks antara kation logam dengan organik. Oleh karena itu, Fe3+ dapat mengikat asam-asam organik yang merupakan sumber energi dari bakteri penghasil metan (metanogen). Semakin kaya kandungan oksidan (termasuk Fe3+) dalam tanah, CH4 semakin lama dibentuk (Setyanto, 2004). Untuk aplikasi di lapangan, beberapa penelitian menggunakan slag sebagai bahan amelioran, slag merupakan pupuk silikat (Si) berbentuk granul yang mengandung besi oksida. Menurut percobaan Ali et al. (2008), penambahan pupuk silikat yang mengandung besi, berpengaruh nyata menurunkan emisi CH4 pada lahan sawah, yaitu 16 – 20% dibandingkan kontrol, dan secara nyata meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi, yaitu 13 – 18% pada dosis 4 Mg/ha. Penambahan Fe3+ yang terdapat di dalam slag berperan sebagai agen oksidasi (penerima elektron) untuk menekan emisi metan dan dapat pula digunakan sebagai soil amendement untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi (Ali et al., 2008). Pada percobaan pot Huang et al. (2009), digunakan larutan pupuk yang mengandung 10.50 Ferrihydrite-Fe pada tiga kilogram tanah (BKM) untuk menekan emisi CH4, hasilnya nyata menurunkan emisi CH4 setelah pengeringan tanah, namun tidak nyata terhadap produksi padi. Pada penelitian ini, digunakan slag (AgriPower) yang merupakan pupuk silikat (Si) berbentuk granul yang mengandung besi oksida. Selain Fe, slag (AgriPower) mengandung unsur-unsur bawaan lainnya, seperti N, P, Ca, Si, Mg, Mn, Cu, Zn dan beberapa unsur lain, sehingga selain mengurangi emisi GRK, aplikasinya juga dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi. Kandungan silikat terlarut pada slag (AgriPower), dapat membuat tanaman menjadi kuat dan tegak, resisten terhadap patogen, dan memberikan rasa yang lebih enak. Sedangkan kandungan kapur (lime) menyediakan komponen alkalis (Nippon Steel Corp., 2009). Namun, dari sekian teknologi tersebut, belum ada yang di adopsi oleh petani. Bagi petani, keuntungan yang langsung dapat dinikmati, yaitu peningkatan hasil merupakan prioritas.
III.
BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian ini merupakan percobaan pot yang dilaksanakan di lahan yang terletak di Kompleks IPB Baranang Siang II Lampiri, Kelurahan Baranang Siang, Kecamatan Bogor Timur (105°36.337’ S, 106°48.788’ E). Penelitian dilaksanakan Maret hingga Agustus 2009.
3.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan tanah sawah dengan kandungan Fe-tersedia rendah (Latosol Atang Sendjaja) dan Fe-tersedia sedang (Latosol Cihideung Ilir), yang diambil dari lokasi yang berada di sekitar Kampus IPB Dramaga, Bogor dan merupakan lokasi penghasil padi. Benih yang digunakan adalah varietas padi Ciherang. Pupuk yang digunakan yaitu N dalam bentuk
Urea, P dalam bentuk SP-18, dan K dalam bentuk KCl, serta slag
(AgriPower) yang diproduksi oleh Nippon Steel Corporation. Alat yang digunakan diantaranya: sungkup, syringe, vial, Eh-meter dan pH-meter merk TOA, platinum electrode tipe EP-201, dan GC (Gas Chromatography) merk Shimadzu Seri 17A untuk penetapan gas CH4 dan GC merk Shimadzu seri 14A untuk penetapan gas N2O.
3.3. Rancangan Penelitian Penelitian dirancang berdasarkan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan pada masing – masing jenis tanah. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak empat kali, sehingga ada 4 perlakuan x 4 ulangan x 2 tanah = 32 satuan percobaan. Posisi pot setelah diacak ditunjukkan pada Gambar lampiran 3. Analisis data dengan menggunakan Analysis of Variances dengan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Perlakuan yang diujikan adalah:
12
1. Kontrol (T0): 25 kg tanah (BKM) tanpa ditambahkan pupuk Urea, SP-18, KCl, maupun slag (Agripower). 2. Penambahan slag (T1): 25 kg tanah (BKM) ditambahkan slag (AgriPower) dengan dosis 25 gram/pot (2000 kg/ha). 3. Penambahan NPK (T2): 25 kg tanah (BKM) ditambahkan pupuk Urea 5 gram/pot (400 kg/ha), SP-18 7.5 gram/pot (600 kg/ha), dan KCl 2.5 gram/pot (200 kg/ha). 4. Penambahan NPK + Slag (T3): 25 kg tanah (BKM) ditambahkan pupuk Urea 5 gram/pot (400 kg/ha), SP-18 7.5 gram/pot (600 kg/ha), dan KCl 2.5 gram/pot (200 kg/ha)dan slag (AgriPower) dengan dosis 25 gram/pot (2000 kg/ha).
3.4.
Pelaksanaan Penelitian Percobaan ini menggunakan pot dari kayu yang berukuran panjang 40 cm,
lebar 40 cm dan tinggi 50 cm. Pot diletakkan di atas meja bambu di dalam net house. Penghalusan dan pengeringan tanah yang dilakukan di lahan, pengukuran kadar air tanah untuk mendapatkan 25 kg tanah (BKM). Pupuk yang digunakan telah dianalisis kandungan N, P, dan K di Balai Penelitian Tanah, Bogor dan Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB. Penyemaian benih padi dilakukan selama 19 hari pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan 20 hari pada Tanah Latosol Cihideung Ilir, kemudian ditanam di tiap pot dengan lima bibit per lubang per pot yang ukurannya relatif sama. Pupuk yang diberikan pada saat tanam 50% Urea, 100% SP-18, dan 50% KCl. Sedangkan untuk slag (AgriPower) 100% (dosis dijelaskan pada rancangan penelitian). Pencampuran dilakukan satu hari sebelum tanam dan saat tanah masih kering. Pemupukan berikutnya dilakukan pada minggu keempat setelah tanam dengan 50% Urea dan 50% KCl. Tanaman ditempatkan di dalam net house yang dilindungi dengan net untuk mencegah serangga masuk, dan atap mika supaya air hujan tidak masuk, sehingga tinggi air dapat diatur sesuai dengan perlakuan
13
pengelolaannya, yaitu 3 cm pada 1-2 MST, 5 cm pada 3-4 MST, 8 cm pada 5-12 MST, dan tanpa penggenangan setelah 12 MST hingga saat panen.
3.5. Pengamatan 1. Fluks CH4 & N2O : pengambilan contoh gas dilakukan pada setiap pot setiap dua minggu pada pukul 08.00 – 14.00 WIB dengan menggunakan sungkup terbuat dari bahan akrilik tebal 5 mm, ukuran alas 35 cm x 35 cm dan tinggi 100 cm, dilengkapi dengan termometer dan kipas angin kecil untuk mengaduk udara dalam sungkup agar homogen (Gambar 3.1.). Pengukuran pertama pada 3 HST dan berakhir pada 59 HST, sehingga ada 5 kali pengukuran selama pertumbuhan tanaman. Setiap kali pengukuran, pengambilan contoh gas dari sungkup sebanyak 35 ml dengan syringe. Pengambilan contoh gas dilakukan empat kali dengan selang waktu 5, 15, 25, dan 35 menit setelah sungkup ditutup. Total contoh gas = 5 kali pengukuran x 16 satuan percobaan x 4 waktu pengambilan = 320 contoh gas pada satu jenis tanah, sehingga ada 640 contoh gas untuk dua jenis tanah. Ketinggian efektif sungkup dicatat, suhu dicatat 1 menit sebelum pengambilan kemudian menyalakan kipas. Penetapan konsentrasi gas CH4 dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB dengan alat Gas Chromatografi (GC) merk Shimadzu seri 17A yang dilengkapi dengan Flame Ionization Detector (FID) dengan gas pembawa helium (He), suhu kolom 60°C, injector 100°C, detector 100°C, kecepatan aliran gas 47 ml/menit, dan waktu retensi CH4 1.92 ± 0.02 menit. Konsentrasi CH4 dari contoh gas masing-masing pot didapat dengan bantuan kurva standart (peak area) gas metana. Sedangkan untuk penetapan N2O diukur dengan mengirimkan sampel ke Balai Penelitian Tanah dan Lingkungan di Jakenan, Pati. Penetapan konsentrasi N2O menggunakan alat Gas Chromatografi (GC) merk Shimadzu seri 14A, pada suhu kolom 100OC, suhu injektor 150OC, dan suhu detektor 320OC. Penetapan fluks CH4 ditetapkan menurut Hou et al. (2000). Fluks (F)= ρ dc/dt H, yang dirumuskan sebagai berikut:
14
F= (12/16 x 16/22.4) x dc/dt x H x {273/(273+T)} Dimana: F
= Fluks metana (mg CH4-C m-2 jam-1)
ρ
= kerapatan CH4-C (g dm-3)
dc/dt
= perubahan konsentrasi CH4 antar waktu dari (ppm menit-1) dikonversi ke (ppm jam-1)
H
= tinggi efektif sungkup (m)
T
= rata-rata suhu dalam sungkup (°C)
Nilai F yang positif menunjukkan adanya pelepasan CH4 ke atmosfer, sedangkan nilai negatif menunjukkan terjadi serapan CH4 oleh tanah yang dilakukan oleh aktifitas metanotrof.
Keterangan: 1. Sungkup penangkap gas 2. Jarum suntik 3. Kipas angin 4. Termometer H. Ketinggian efektif Gambar 3.1. Skema sungkup penangkap gas CH4 dan N2O.
15
2. Penetapan Eh dan pH tanah : penetapan Eh dan pH tanah dimulai pada 3 HST yang dilakukan setiap satu minggu dengan menggunakan ORP-meter RM-20P merk TOA DKK dan pH-meter HM-20P merk TOA DKK. Pengukuran dilakukan dengan cara memasukkan elektroda pada kedalaman 10 cm. Pengukuran dua kali ulangan pada setiap pot. Data dicatat pada form pengamatan yang telah disiapkan sebelumnya. 3. Pengamatan pertumbuhan vegetatif tanaman : dilakukan pada setiap tanaman dalam pot per minggu mulai dari 10 HST. Komponen tanaman yang diamati adalah tinggi tanaman dan jumlah anakan. Tinggi tanaman diukur mulai dari permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi, sedangkan pengukuran jumlah anakan dengan menghitung jumlah anakan yang ada pada setiap rumpun/pot. 4. Pengamatan komponen hasil : pengamatan ini dilakukan pada semua tanaman saat dan setelah panen. Parameter yang diamati pada tanaman dari tiap pot, adalah jumlah malai (jumlah anakan produktif), panjang malai, jumlah gabah/malai. Jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, bobot seribu butir (gram/pot), bobot gabah kering panen (gram/pot), dan bobot gabah kering giling (gram/pot). 5. Pengamatan biomassa : komponen yang diamati untuk pengamatan biomassa, adalah bobot akar (gram/pot), bobot bagian atas (gram/pot), panjang akar (cm), dan panjang bagian atas (cm). 6. Analisis tanah : dilakukan pada sebelum tanam dan dua minggu setelah tanam yang meliputi C-organik, N-total, P-total, P-tersedia, K-total, KTK, Cu, Zn, dan Fe.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pertumbuhan Tanaman 4.1.1. Tinggi Tanaman pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir Pengamatan vegetatif (tinggi tanaman dan jumlah anakan) dilakukan setelah 10 HST, karena pada awal pertumbuhan tanaman masih menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hasil fotosintesis belum digunakan seluruhnya untuk pertumbuhan, sebagian digunakan untuk perbaikan dan pertumbuhan akar, sehingga peningkatan tinggi tanaman belum terlalu besar dan anakan padi segera terbentuk setelah proses pemulihan akar tanaman (Farhan, 1999). Pola peningkatan tinggi tanaman secara umum sama pada kedua jenis tanah dan perlakuan yang diujikan. Dua minggu pertama (17 HST) peningkatan tinggi tanaman tidak terlalu besar, antara 24 HST – 52 HST, laju peningkatan tinggi tanaman cukup besar, periode ini disebut fase vegetatif aktif. Grafik tinggi tanaman mulai menurun pada 59 HST – 66 HST (Gambar Lampiran 1 dan 2), yaitu ketika tanaman mulai memasuki fase reproduktif dimana hasil fotosintesis dominan digunakan untuk pembentukkan dan perkembangan malai serta pengisian biji. Setelah memasuki fase pematangan secara umum tidak terjadi pertambahan tinggi tanaman. Pertambahan tinggi tanaman pada fase reproduktif didominasi oleh pertumbuhan panjang malai (Sabaruddin, et al., 1995 dalam Farhan, 1999).
Tabel 4.1. Pengaruh Slag terhadap Tinggi Tanaman (cm) pada Tanah Latosol Atang Sendjaja. Perlakuan
Umur Tanaman (HST) 10
24
38
52
66
Kontrol
28.5ab
44.45ab
57.07a
77.47b
85.975b
Slag
25.50a
41.27a
58.90a
72.35a
80.15a
NPK
32.50b
50.10bc
67.20b
82.65c
91.92c
NPK + Slag
34.35b
51.60c
67.97b
85.77c
93.15c
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.
17
Pengaruh slag terhadap tinggi tanaman pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dapat dilihat pada Tabel 4.1. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa perlakuan slag memiliki tinggi tanaman yang lebih rendah dibandingkan kontrol dan berdasarkan uji lanjut DMRT taraf 5%, perlakuan slag berbeda nyata terhadap kontrol. Sedangkan antara perlakuan NPK dengan perlakuan NPK + slag tidak berbeda nyata, namun penambahan NPK + slag (T3) mempunyai tanaman yang lebih tinggi daripada penambahan NPK saja (T2). Berdasarkan hasil penelitian Huang et al. (2009), penambahan 10.50 Ferrihydrite-Fe pada tiga kilogram tanah (BKM) menghambat pertumbuhan padi pada awal tanam hingga empat minggu setelah tanam, selanjutnya juga tidak memberikan pengaruh yang nyata tehadap pertumbuhan padi.
Tabel 4.2. Pengaruh Slag terhadap Tinggi Tanaman (cm) pada Tanah Latosol Cihideung Ilir. Perlakuan
Umur Tanaman (HST) 10
24
38
52
66
Kontrol Slag NPK
27.50a 28.55a 33.33b
41.00a 43.03a 48.53b
61.93a 67.18b 71.58c
89.45a 90.85a 100.35b
95.60a 99.98ab 109.30b
NPK + Slag
32.73b
48.53b
73.35c
101.68b
108.33b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji lanjut DMRT taraf 5%.
Pengaruh slag terhadap tinggi tanaman pada Tanah Latosol Cihideung Ilir dapat dilihat pada Tabel 4.2. Perlakuan slag nyata meningkatkan tinggi tanaman pada 38 HST dibandingkan kontrol, namun perlakuan NPK + slag tidak berbeda nyata dengan perlakuan NPK pada semua pengukuran. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa saat 66 HST perlakuan slag memiliki tanaman yang lebih tinggi dibandingkan kontrol, dan perlakuan NPK memiliki tinggi tanaman yang paling tinggi. Berdasarkan uji lanjut DMRT taraf 5%, perlakuan slag tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, perlakuan NPK + slag tidak berbeda nyata dengan perlakuan NPK, namun penambahan NPK (perlakuan T2 dan T3) berbeda nyata terhadap kontrol. Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa tanaman sangat memerlukan tambahan unsur hara untuk pertumbuhan yang lebih baik, namun
18
untuk jumlahnya harus disesuaikan dengan kebutuhan masing – masing tanaman, sehingga dapat menghasilkan pertumbuhan yang optimum.
4.1.2. Jumlah Anakan pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir Pertambahan anakan terjadi setelah proses pemulihan akar tanaman. Secara umum, jumlah anakan terus bertambah hingga 66 HST, setelah itu tanaman memasuki periode reproduktif, dimana pertumbuhan malai dan pengisisan gabah mulai terjadi (Robertson, 1975 dalam Farhan, 1999). Anakan padi berkurang pada fase reproduktif dikarenakan persaingan dalam memperoleh unsur hara yang pada fase ini dominan digunakan untuk pembentukkan malai dan pengisian biji, persaingan penyinaran menyebabkan anakan yang lebih kecil dan lemah mati (Vergara, 1970 dalam Farhan, 1999).
Tabel 4.3. Pengaruh Slag terhadap Jumlah Anakan (batang/pot) pada Tanah Latosol Atang Sendjaja. Perlakuan Kontrol Slag NPK NPK + Slag
10 5a 5a 5a 5a
Umur Tanaman (HST) 24 38 52 5.50a 11.50a 23.00a 5.75a 11.00a 21.25a 8.75b 16.75ab 33.75b 9.75b 11.50b 36.75b
66 21.00a 29.25a 40.75b 44.25b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.
Anakan padi pada Tanah Latosol Atang Sendjaja mulai tumbuh setelah 24 HST, kecuali perlakuan NPK + slag, anakan sudah tumbuh pada waktu pengukuran 17 HST (Tabel 4.3). Penambahan NPK dan slag pada Tanah Latosol Atang Sendjaja memacu pertumbuhan anakan yang lebih cepat. Sedangkan pada Tanah Latosol Cihideung Ilir, anakan padi tumbuh setelah 17 HST pada semua perlakuan (Tabel 4.4). Hal ini menunjukkan penambahan slag lebih berpengaruh mempercepat pembentukkan anakan pada Tanah Latosol Atang Sendjaja, yaitu tanah dengan kandungan Fe rendah. Pengaruh slag terhadap jumlah anakan pada Tanah Latosol Atang Sendjaja tidak nyata pada semua pengukuran (Tabel 4.3). Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa perlakuan slag memiliki jumlah anakan yang lebih banyak
19
dibandingkan kontrol, dan perlakuan NPK + slag mempunyai rata – rata jumlah anakan yang paling banyak dibanding perlakuan lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan slag
memiliki kecenderungan untuk meningkatkan
pertumbuhan padi, walaupun berdasarkan uji lanjut DMRT taraf 5% tidak berbeda nyata. Berdasarkan percobaan Ali et al. (2008), penambahan pupuk silikat yang mengandung besi dengan dosis 4 Mg/ha, berpengaruh nyata meningkatkan jumlah anakan padi.
Tabel 4.4. Pengaruh Slag terhadap Jumlah Anakan (batang/pot) pada Tanah Latosol Cihideung Ilir. Umur Tanaman (HST) 10 24 38 52 66 5.00a 9.75a 19.25a 25.00a 28.25a Kontrol 5.00a 10.00a 21.75a 26.75a 27.50a Slag 4.75a 15.00b 37.00c 46.75b 50.50b NPK 5.00a 14.00b 30.00b 40.50b 44.25b NPK + Slag Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%. Perlakuan
Pengaruh slag terhadap jumlah anakan pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ditunjukkan pada Tabel 4.4. Berdasarkan uji lanjut DMRT taraf 5%, penambahan slag tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan. Dapat dilihat pada Tabel 4.4, perlakuan slag memiliki jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan kontrol, dan perlakuan NPK merupakan tanaman yang memiliki jumlah anakan terbanyak. Tidak seperti pada Tanah Latosol Atang Sendjaja, perlakuan NPK + slag memiliki rata – rata jumlah anakan yang paling banyak. Hal ini menunjukkan penambahan slag cenderung meningkatkan pertumbuhan anakan padi pada tanah dengah kandungan Fe rendah, yaitu Tanah Latosol Atang sendjaja. Perbedaan yang nyata terdapat pada perlakuan NPK (perlakuan T2 dan T3) terhadap kontrol, senada dengan hasil analisis pengukuran tinggi tanaman, diketahui bahwa tanaman sangat memerlukan tambahan unsur hara melalui pemupukkan yang sesuai dengan kebutuhan hara optimum yang diserap tanaman. Penambahan slag (AgriPower) tidak berpengaruh nyata meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah anakan dapat dikarenakan penambahan NPK dengan dosis yang diberikan pada perlakuan sudah mencukupi kebutuhan hara tanaman.
20
4.1.3. Biomassa Padi Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir Komponen biomassa yang digunakan adalah bobot dan panjang batang, serta bobot dan panjang akar. Pengaruh slag terhadap komponen biomassa pada Tanah Latosol Atang Sendjaja ditunjukkan pada Tabel 4.5, dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa perlakuan slag berbeda nyata dengan kontrol pada rata – rata panjang batang, namun perlakuan kontrol memiliki rata – rata biomassa batang yang lebih panjang dibandingkan perlakuan slag, sesuai dengan data pertumbuhan tinggi tanaman (Tabel 4.1), sedangkan perlakuan NPK + slag merupakan perlakuan yang memiliki rata – rata bobot dan panjang biomassa tertinggi, hal ini juga berkorelasi positif dengan data tinggi tanaman (Tabel 4.1). Penambahan NPK + slag dapat meningkatkan panjang dan bobot akar, hal ini disebabkan karena unsur P, K dan Si yang selain terdapat pada pupuk, tetapi juga pada slag (AgriPower). Pertumbuhan dan metabolisme akar pada padi dipengaruhi oleh kandungan P, K dan Si dalam tanah (Dobermann dan Fairhust, 2000).
Tabel 4.5. Pengaruh Slag terhadap Bobot dan Panjang Akar Padi pada Tanah Latosol Atang Sendjaja. Perlakuan
Bobot (gram)
Panjang(cm)
Batang
Akar
Batang
Akar
Kontrol
215.00a
115.14a
90.58b
35.55a
Slag
197.50a
102.70a
86.40a
38.38a
NPK
333.75b
139.25ab
94.00c
33.65a
NPK + Slag
347.50b
175.27b
94.95c
38.80a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.
Pengaruh slag pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ditunjukkan oleh Tabel 4.6, dapat dilihat bahwa perlakuan slag tidak berbeda nyata dengan kontrol pada semua komponen biomassa, perlakuan slag memiliki bobot dan panjang total tanaman yang lebih tinggi dibandingkan kontrol, sedangkan perlakuan NPK + slag memiliki bobot dan panjang batang yang lebih rendah dibandingkan perlakuan NPK namun tidak berbeda nyata menurut uji lanjut DMRT taraf 5%. Hal ini berkorelasi positif dengan data jumlah anakan. Perkembangan akar akan mempengaruhi perkembangan keseluruhan tanaman termasuk tinggi tanaman dan
21
jumlah anakan, karena kondisi akar yang lebih baik akan menyerap unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dengan lebih baik.
Tabel 4.6. Pengaruh Slag terhadap Bobot dan Panjang Akar Padi pada Tanah Latosol Cihideung Ilir. Perlakuan
Bobot (gram)
Panjang(cm)
Atas
Bawah
Atas
Bawah
Kontrol
243.75a
56.25a
95.83a
24.40a
Slag
265.00a
60.00a
98.85a
27.10a
NPK
455.00b
143.75b
110.25ab
24.85a
NPK + Slag
442.50b
146.25b
102.75b
26.73a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.
Data biomassa atas pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih besar dibandingkan Tanah Latosol Atang Sendjaja, namun tidak pada biomassa bawah. Biomassa bawah pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih kecil daripada Tanah Latosol Atang Sendjaja. Hal ini belum tentu mencerminkan keadaan sebenarnya, karena pada waktu pengambilan biomassa bawah pada Tanah Latosol Cihideung Ilir telah dilakukan kekeliruan yang menyebabkan akar putus, sehingga panjang dan bobotnya berkurang dari yang sebenarnya. Pada pengamatan pertumbuhan vegetatif, perlakuan NPK adalah yang tertinggi, seharusnya memiliki biomassa atas yang lebih besar dari perlakuan yang lain. Berdasarkan percobaan Ali et al. (2008), penambahan pupuk silikat yang mengandung besi dengan dosis 4 Mg/ha, berpengaruh nyata meningkatkan pertumbuhan akar adalah biomassa akar, volume akar, dan porositas akar.
4.1.4. Perbandingan Pertumbuhan Padi pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir Kondisi awal tanah (sebelum tanam) telah dianalisis untuk mengetahui kandungan unsur-unsur yang ada. Berdasarkan hasil analisis, baik yang dilakukan di Balai Penelitian Tanah (Tabel Lampiran 21) maupun di Laboratorium Departemen ITSL (Tabel Lampiran 22), Tanah Latosol Cihideung Ilir
22
mengandung unsur P dan K lebih banyak, sedangkan Tanah Latosol Atang Sendjaja mengandung unsur Cu dan Zn lebih banyak.
(a)
(b) Gambar 4.1. Pertumbuhan padi saat 52 HST pada kedua tanah: (a) tinggi tanaman, (b) jumlah anakan. (AS : Atang Sendjaja dan CI : Cihideung Ilir) Pertumbuhan tanaman pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih baik dibandingkan pada Tanah Latosol Atang Sendjaja, terlihat dari tinggi tanaman yang lebih tinggi dan jumlah anakan padi yang lebih banyak pada semua perlakuan (Gambar 4.1). Hal ini dapat dijelaskan dengan perbedaan kondisi kedua tanah. Berdasarkan hasil analisis, kandungan unsur P dan K pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih tinggi dibandingkan Tanah Latosol Atang Sendjaja (Tabel Lampiran 21 dan 22), unsur tersebut merupakan unsur makro yang berperan
23
penting dalam perkembangan akar, mempercepat panen, pembentukan bunga dan buah, karbohidrat, mempercepat tumbuhnya tanaman, dan memperkuat batang (Sumartono, 1977). Pada pengamatan di lapangan juga sangat terlihat perkembangan tanaman pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih cepat dibanding tanaman pada Tanah Latosol Atang Sendjaja. Umur panen padi pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih cepat, yaitu 113 hari, sedangkan pada Tanah Latosol Atang Sendjaja 122 hari.
4.2. Produksi Padi Parameter yang digunakan untuk melihat produktivitas padi adalah jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah per malai, jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, bobot 1000 butir gabah, bobot gabah kering panen dan bobot gabah kering giling. Anakan produktif adalah anakan yang menghasilkan organ reproduktif berupa malai. Perkembangan fase generatif dipengaruhi oleh unsur N yang dibutuhkan untuk pengisian bulir (Dobermann dan Fairhust, 2000) dan P yang mempengaruhi perkembangan malai.
4.2.1. Tanah Latosol Atang Sendjaja Berdasarkan uji lanjut DMRT taraf 5%, penambahan NPK (perlakuan T2 dan T3) berpengaruh nyata meningkatkan jumlah anakan produktif (Tabel 4.7), bobot gabah kering panen dan kering giling (Tabel 4.8) terhadap kontrol dan perlakuan slag, namun antara kontrol dengan perlakuan slag tidak berbeda nyata, begitu juga antara perlakuan NPK dengan perlakuan NPK + slag. Data tersebut menunjukkan bahwa penambahan NPK memang dibutuhkan tanaman untuk meningkatkan hasil, sedangkan slag tidak mampu secara nyata meningkatkan produksi lebih dari produksi yang diperoleh tanpa slag. Pernyataan ini dapat dihubungkan dengan kombinasi dosis NPK dan slag yang belum tepat. Pada percobaan Ali et al. (2008), penambahan slag dengan dosis 4 Ton/ha nyata meningkatkan produksi 13 – 18%, namun pada percobaan Huang et al. (2009),
24
penambahan 10.50 Ferrihydrite-Fe pada tiga kilogram tanah (BKM) tidak mampu meningkatkan produksi padi.
Tabel 4.7. Pengaruh Slag terhadap Jumlah Anakan Produktif, Panjang Malai, Jumlah Gabah Per Malai, Jumlah Gabah Isi, Jumlah Gabah Hampa, dan Bobot 1000 Butir pada Tanah Latosol Atang Sendjaja. Jumlah Anakan Produktif
Panjang Malai (cm)
Jumlah Gabah Per Malai
Jumlah Gabah Isi
Jumlah Gabah Hampa
Bobot 1000 Gabah (gram)
Kontrol
28.50a
22.20a
112.33a
100.33a
12.00ab
24.34a
Slag
29.00a
22.22a
108.83a
101.50a
7.33a
24.48a
NPK NPK + Slag
40.00b
21.61a
116.83a
109.75a
7.08a
24.07a
41.50b
22.61a
126.58a
108.33a
18.25b
24.30a
Perlakuan
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.
Tabel 4.8. Pengaruh Slag terhadap Bobot Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling pada Tanah Latosol Atang Sendjaja. Perlakuan
Bobot Gabah (gram/pot) GKP
GKG
Kontrol
84.46a
74.11a
Slag
81.28a
71.11a
NPK
120.91b
107.03b
NPK + Slag
128.72b
114.91b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.
Dalam beberapa komponen produksi, perlakuan NPK + slag merupakan tertinggi, yaitu pada rata-rata jumlah anakan produktif, rata-rata panjang malai, rata-rata jumlah gabah per malai (Tabel 4.7), bobot gabah kering panen dan kering giling (Tabel 4.8). Pada data bobot 1000 gabah, perlakuan slag lebih bernas dibandingkan kontrol, dan perlakuan NPK + slag juga lebih bernas dibandingkan perlakuan NPK (Tabel 4.7).
4.2.2. Tanah Latosol Cihideung Ilir Berdasarkan hasil analisis dengan uji lanjut DMRT taraf 5%, pengaruh slag terhadap beberapa komponen produksi ditunjukkan oleh Tabel 4.9, perlakuan slag tidak berbeda nyata dengan kontrol, yang berarti bahwa penambahan slag
25
saja tidak mampu meningkatkan produksi, sedangkan penambahan slag bersama NPK (T3) nyata meningkatkan produksi, namun peningkatan produksi ini lebih disebabkan oleh penambahan pupuk NPK daripada slag yang dibuktikan pada perbandingan perlakuan NPK dengan perlakuan NPK + slag yang tidak berbeda nyata menurut uji lanjut DMRT taraf 5%. Dari Tabel 4.9, dapat dilihat bahwa perlakuan slag lebih tinggi dalam semua komponen produksi dibandingkan kontrol, sedangkan perlakuan NPK + slag memiliki jumlah gabah per malai, gabah isi dan bobot seribu butir yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan NPK (T2), namun pada data jumlah malai dan panjang malai perlakuan NPK + slag lebih kecil dibanding perlakuan NPK. Hal ini berkorelasi positif dengan tinggi tanaman (Tabel 4.2) dan jumlah anakan (Tabel 4.4) pada fase vegetatif.
Tabel 4.9. Pengaruh Slag Terhadap Jumlah Anakan Produktif, Panjang Malai, Jumlah Gabah Per Malai, Jumlah Gabah Isi, Jumlah Gabah Hampa, dan Bobot 1000 Butir pada Tanah Latosol Cihideung Ilir. Jumlah Anakan Produktif
Panjang Malai (cm)
Jumlah Gabah Per Malai
Jumlah Gabah Isi
Jumlah Gabah Hampa
Bobot 1000 Butir (gram)
Kontrol
25.50a
21.67a
120.25a
109.84a
10.42a
23.53a
Slag
27.75a
22.54a
133.08ab
116.25a
15.17a
23.87a
NPK
47.25b
24.24a
158.17bc
132.42a
25.75a
24.09a
NPK + Slag
44.25b
24.10a
174.50c
144.08a
30.42a
24.55a
Perlakuan
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.
Pengaruh slag terhadap bobot gabah kering panen dan gabah kering giling pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ditunjukkan pada Tabel 4.10, bobot gabah kering panen merupakan bobot gabah yang ditimbang ketika panen, sedangkan bobot gabah kering giling adalah bobot yang ditimbang setelah dikeringkan hingga kadar air ± 14%. Berdasarkan uji lanjut DMRT taraf 5%, perlakuan slag tidak berbeda nyata dengan kontrol, dan perlakuan NPK merupakan bobot gabah tertinggi, hasil ini berkorelasi positif dengan jumlah anakan produktif (Tabel 4.9), dan juga data jumlah anakan pada fase vegetatif (Tabel 4.4). Bobot gabah berkaitan dengan jumlah malai, panjang malai, dan jumlah gabah per malai,
26
semakin banyak jumlah malai, semakin panjang malai, dan semakin banyak jumlah gabah per malai, maka semakin berat juga bobot gabah yang diperoleh. Tabel 4.10. Pengaruh Slag Terhadap Bobot Gabah Kering Panen dan Bobot Gabah Kering Giling pada Tanah Latosol Cihideung Ilir. Perlakuan
Bobot Gabah (gram) GKP
GKG
Kontrol
69.25a
67.51a
Slag
75.25a
73.08a
NPK
159.25b
155.81b
NPK + Slag
131.75b
129.39b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.
Berdasarkan pengamatan di lapangan dan data GKG pada masing-masing jenis tanah, terlihat bahwa hasil panen lebih banyak pada Tanah Latosol Cihideung Ilir, hal ini juga terlihat ketika fase vegetatif aktif, dimana pertumbuhan tanaman pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih cepat dan lebih besar dibandingkan tanaman pada Tanah Latosol Atang Sendjaja. Hal ini dikarenakan Tanah Latosol Cihideung Ilir memiliki beberapa unsur yang lebih tinggi dibanding Tanah Latosol Atang Sendjaja, yaitu kandungan P dan K (Tabel Lampiran 21 dan 22). Unsur tersebut berperan dalam pertumbuhan tanaman, khususnya jumlah anakan, mempercepat pembungaan dan pemasakkan, memperluas daun (untuk fotosintesis) (Dobermann dan Fairhust, 2000). Sedangkan pengaruh penambahan slag
bersama NPK lebih berpotensi
meningkatkan pertumbuhan serta hasil pada Tanah Latosol Atang Sendjaja, hal ini dapat disebabkan sudah terpenuhinya cakupan hara yang dibutuhkan tanaman pada Tanah Latosol Cihideung Ilir, sehingga penambahan slag tidak memberikan pengaruh yang besar dan juga kaitannya dengan dosis yang belum tepat.
4.3. Emisi CH4 dan N2O Dengan pemberian slag yang mengandung besi (Fe3+) diharapkan dapat mengurangi emisi CH4 dan N2O dari budidaya padi. Pada penelitian ini, penambahan Fe3+ berpotensi mengurangi emisi CH4 & N2O, namun menurut uji lanjut DMRT taraf 5% tidak berpengaruh secara nyata. Seperti yang telah
27
dijelaskan sebelumnya, berdasarkan percobaan Ali et al. (2008), penambahan pupuk silikat yang mengandung besi, berpengaruh nyata menurunkan emisi CH4 pada lahan sawah, yaitu 16 – 20% dibandingkan control pada dosis 4 Mg/ha, sedangkan pada percobaan pot Huang et al. (2009), digunakan larutan pupuk yang mengandung 10.50 Ferrihydrite-Fe pada tiga kilogram tanah (BKM) untuk menekan emisi CH4, hasilnya nyata menurunkan emisi CH4 setelah pengeringan tanah.
4.3.1. Emisi CH4 pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir Menurut Suprihati (2007), padi sawah merupakan sumber emisi metan terbesar diantara tanaman pertanian lainnya. Hal ini disebabkan oleh pola tanam budidaya padi yang tergenang. Pembentukkan CH4 terjadi pada potensial redoks yang sangat rendah, penggenangan pada lahan sawah menyebabkan kondisi anaerob dan menstimulir populasi dan aktivitas bakteri metanogen penghasil CH4. Berdasarkan Tabel 4.11, dapat dilihat bahwa pada awal penanaman, yaitu 3 HST belum terbentuk gas CH4, dan pada 17 HST konsentrasi CH4 bernilai negatif. Nilai negatif mengindikasikan tanah mampu berperan sebagai perosot (sink) (Inubushi et al., 2003 dalam Suprihati, 2007), kemudian pada 31 – 59 HST sudah terbentuk gas CH4, nilai konsentrasi yang positif menunjukkan terjadinya pelepasan CH4 ke atmosfer (Hou et al., 2000). Adanya proses pengeringan dan penghalusan tanah sebelum tanam mengakibatkan masih adanya udara didalam tanah atau telah terjadi oksidasi (Hardjowigeno, 2007). Pengaruh slag terhadap emisi CH4 juga ditunjukkan oleh Tabel 4.11. Pada empat kali pengamatan (3-45 HST) tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan, baik perlakuan slag dengan kontrol maupun perlakuan NPK + slag dengan perlakuan NPK, sedangkan pada pengamatan terakhir (59 HST), perlakuan NPK secara nyata lebih menyerap emisi dibandingkan dengan perlakuan NPK + slag. Hal ini dapat disebabkan karena perkembangan akar pada tanaman dengan perlakuan NPK + slag (T3) lebih baik dibanding perlakuan NPK (T2), seperti yang telah disebutkan, tanaman padi sebagai media transportasi CH4 dapat meningkatkan aktivitas biologi melalui pembentukkan eksudat akar, maka semakin banyak biomassa akar, semakin banyak pula CH4 yang terbentuk.
28
Tabel 4.11. Pengaruh Slag terhadap Emisi CH4 (mg C m-2 jam-1) pada Tanah Latosol Atang Sendjaja. Perlakuan Kontrol Slag NPK NPK + Slag
3 0 0 0 0
Umur Tanaman (HST) 17 31 45 -1.487a 0.164a 0.284a -1.610a 0.232a 0.154a -2.169a 0.525a -0.004a -0.491a -0.116a 0.378a
59 0.428ab 0.423ab -0.262a 0.623b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.
Gambar 4.2. Emisi CH4 pada Tanah Latosol Atang Sendjaja selama 59 HST. Total emisi CH4 pada Tanah Latosol Atang Sendjaja setelah lima kali pengukuran ditunjukkan pada Tabel 4.12, total pengurangan emisi metan pada perlakuan slag terhadap perlakuan kontrol yaitu sebesar 23.44%, sedangkan perlakuan NPK + slag tidak mampu mengurangi emisi CH4 dibandingkan dengan perlakuan NPK maupun kontrol dan slag. Hasil ini diperoleh dari luas area pada kurva yang menggambarkan jumlah emisi dalam lima kali pengukuran (Gambar 4.2).
29
Tabel 4.12. Total Emisi CH4 selama 5x Pengukuran (3-59) HST pada Kedua Tanah. Perlakuan Kontrol Slag NPK NPK + Slag
Total Emisi CH4 (mg C m-2 jam-1) (Tanah Latosol Atang Sendjaja) (Tanah Latosol Cihideung Ilir) -2.436 9.160 -3,007 -2.053 -5.272 4.279 -0.532 4.210
Pengaruh slag terhadap emisi CH4 pada Tanah Latosol Cihideung Ilir disajikan pada Tabel 4.13. Pada lima kali pengamatan (3-59 HST) tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan, baik perlakuan slag dengan kontrol maupun perlakuan NPK + slag dengan perlakuan NPK. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan slag
dengan dosis 25 g/25 kg tanah tidak mampu
menurunkan emisi metana secara signifikan. Namun pada penelitian lain, penambahan material Fe dengan dosis yang berbeda dapat menurunkan CH4 secara nyata. Berdasarkan percobaan Ali et al. (2008), penambahan pupuk silikat (mengandung Fe) dengan dosis 4 Ton/ha secara nyata menurunkan emisi CH4 sebesar 16 – 20%. Penyebab lain diduga berkaitan erat dengan waktu pencampuran slag (AgriPower) dengan tanah yang hanya satu hari sebelum tanam. Slag memiliki sifat lambat urai (slow release), pengaruhnya akan lebih baik jika dicampurkan 15 hari sebelum tanam. Total emisi CH4 pada Tanah Latosol Cihideung Ilir setelah lima kali pengukuran ditunjukkan pada Tabel 4.12, total pengurangan emisi metan pada perlakuan slag terhadap kontrol yaitu sebesar 122.41% dan perlakuan NPK + slag mengurangi emisi CH4 terhadap perlakuan NPK sebesar 1.61%. Hasil ini diperoleh dari luas area pada kurva yang menggambarkan jumlah emisi dalam lima kali pengukuran (Gambar 4.3.). Berdasarkan data jumlah anakan (Tabel 4.4), perlakuan NPK + slag
memiliki anakan yang lebih sedikit dibandingkan
perlakuan NPK, hal ini mempengaruhi pelepasan gas CH4 ke atmosfir. Tanaman padi yang memiliki biomassa dan anakan rendah dapat menekan emisi CH4 (Setyanto, 2004). Maka, semakin banyak anakan padi, semakin banyak jumlah aerenkima, akan semakin besar CH4 yang diemisikan.
30
Tabel 4.13. Pengaruh Slag terhadap Emisi CH4 (mg C m-2 jam-1) pada Tanah Latosol Cihideung Ilir. Perlakuan Kontrol Slag NPK NPK + Slag
3 0.000a 0.000a 0.565a 0.000a
17 0.000a -1.454a 0.000a -0.026a
Umur Tanaman 31 0.243a 0.028a 0.197a 0.140a
45 2.298a 0.314a 0.287a -0.541a
59 1.128a 0.858a 1.368a 3.720a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.
Gambar 4.3. Emisi CH4 pada Tanah Latosol Cihideung Ilir selama 59 HST. Berdasarkan total emisi yang diperoleh dari perhitungan luas area pada masing-masing kurva, dapat dilihat bahwa emisi pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih besar dibandingkan emisi pada Tanah Latosol Atang Sendjaja, hal ini dipengaruhi oleh pertumbuhan tanaman pada Tanah Latosol Cihideung Ilir yang lebih baik. Nouchi (1992) dalam Sulistyono, (2000) menunjukkan bahwa laju emisi dari tanaman padi dengan anakan sembilan lebih besar dari tanaman padi dengan anakan tiga. Holzapfel-Pschorn et al. (1986) menyatakan bahwa CH4 yang diemisikan ke atmosfer melalui jaringan aerenkima tanaman padi memberikan kontribusi yang terbesar, dan mencapai puncaknya pada fase reproduktif yaitu sekitar 90% dari total fluks. Emisi CH4 tertinggi pada Tanah Latosol Cihideung
31
Ilir adalah pada saat 59 HST, hal ini dipengaruhi Eh tanah yang rendah pada 59 HST mencapai -210 mV (Tabel 4.18).
4.3.2. Emisi N2O pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir Selain menghasilkan CH4, pertanaman padi juga menghasilkan gas N2O pada kondisi teroksidasi. Adanya perlakuan penggenangan didapat berbagai lapisan pada profil tanahnya yaitu lapisan oksidatif yang tipis di bawah genangan air lalu diikuti lapisan reduktif yang tebal dibawahnya. Apabila pupuk urea diaplikasikan ke dalam lapisan reduktif, denitrifikasi bisa dihambat. Namun, sebagian pupuk urea berada di lapisan oksidatif segera ternitrifikasi menjadi nitrat yang mobil, kemudian nitrat yang mobil mencapai lapisan reduktif mengalami denitrifikasi (De Datta, 1981). Tabel 4.14. Pengaruh Slag terhadap Emisi N2O (µg N m-2 jam-1) pada Tanah Latosol Atang Sendjaja. Perlakuan Kontrol Slag NPK NPK + Slag
17 -15.76a -351.86a 4.92a 22.41a
Umur Tanaman (HST) 31 45 -92.81a 220.60a 123.93a 10.30a -14.08a 169.78a -37.36a -183.09a
59 70.96a 178.43a -34.50a 34.41a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.
Pengaruh slag terhadap emisi N2O pada Tanah Latosol Atang Sendjaja disajikan pada Tabel 4.14. Pada empat kali pengamatan (17-59 HST) tidak ada perbedaan yang nyata antar semua perlakuan, baik perlakuan slag dengan kontrol maupun perlakuan NPK + slag dengan perlakuan NPK. Total emisi N2O setelah empat kali pengukuran dapat dilihat pada Tabel 4.15, total pengurangan emisi N2O pada perlakuan slag terhadap perlakuan kontrol yaitu sebesar 71.43%, dan pada perlakuan NPK + slag mampu mengurangi emisi CH4 sebesar 238.73% terhadap perlakuan NPK (Gambar 4.4).
32
Gambar 4.4. Emisi N2O pada Tanah Latosol Atang Sendjaja selama 59 HST. Tabel 4.15. Total Emisi N2O selama 4x Pengukuran (17-59 HST) pada Kedua Tanah. Perlakuan Kontrol Slag NPK NPK + Slag
Total Emisi N2O (µg N2O-N m-2 jam-1) (Atang Sendjaja) (Cihideung Ilir) 596.7 -1185.415 170.464 -1042.85 537.447 331.935 -745.587 915.708
Pengaruh slag terhadap emisi N2O pada Tanah Latosol Cihideung Ilir disajikan pada Tabel 4.16. Menurut uji lanjut Duncan taraf 5%, pada pengamatan 45 HST perlakuan NPK berbeda nyata dengan perlakuan NPK + slag dan nilai emisi pada perlakuan NPK + slag lebih tinggi, sedangkan pada tiga waktu pengukuran lain (17, 31, dan 59 HST) tidak ada perbedaan yang nyata antar semua perlakuan, baik perlakuan slag dengan kontrol maupun perlakuan NPK + slag dengan perlakuan NPK. Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan slag tidak berpengaruh nyata menurunkan emisi N2O pada Tanah Latosol Cihideung Ilir.
33
Tabel 4.16. Pengaruh Slag terhadap Emisi N2O (µg N m-2 jam-1) pada Tanah Latosol Cihideung Ilir. Perlakuan Kontrol Slag NPK NPK + Slag
17 -399.02a -434.26a 48.10a 254.19a
Umur Tanaman (HST) 31 45 -84.43a -12.36a 27.46a 70.12ab -90.36a -31.50a -17.94a 290.77b
59 -23.22a -301.43a 25.88a -322.20a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.
Gambar 4.5. Emisi N2O pada Tanah Latosol Cihideung Ilir selama 59 HST. Total emisi N2O pada Tanah Latosol Cihideung Ilir setelah empat kali pengukuran ditunjukkan pada Tabel 4.15, perlakuan slag tidak dapat mengurangi emisi N2O dibanding kontrol, dan perlakuan NPK + slag tidak mampu mengurangi emisi N2O terhadap perlakuan NPK maupun perlakuan slag dan kontrol. Hasil ini diperoleh dari perhitungan luas area pada kurva
yang
ditunjukkan oleh Gambar 4.5. Pembentukan N2O dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya kandungan ammonia dan nitrat dalam tanah, status aerasi tanah dan kandungan air tanah, bahan organik mudah terdegradasi, pH dan suhu tanah (Wihardjaka, 2004). Emisi
34
N2O pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih besar dibandingkan emisi pada Tanah Latosol Atang Sendjaja, hal ini dapat berkaitan dengan pertumbuhan padi pada Cihideung Ilir yang lebih baik, terutama jumlah anakan yang lebih cepat tumbuh. Menurut Suratno et al. (1998) dalam Suprihati (2005), emisi N2O berbanding lurus dengan pertumbuhan tanaman.
4.4. Kondisi Tanah 4.4.1. Potensi Redoks (Eh) pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir Redoks potensial atau Eh merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur intensitas reduksi tanah dan mengetahui reaksi-reaksi utama yang terjadi (Sanchez, 1976). Menurut Ponnamperuma (1978), nilai Eh yang tinggi dan positif menunjukkan kondisi oksidatif, sebaliknya nilai Eh yang rendah bahkan negatif menunjukkan kondisi reduktif.
Tabel 4.17. Pengaruh Slag terhadap Eh (mV) Tanah Latosol Atang Sendjaja. Perlakuan Kontrol Slag NPK NPK + Slag
Umur Tanaman (HST) 3
17
31
45
59
253.50ab 264.50b 255.25ab 230.13a
-76.25a -94.88a -24.00a -66.38a
30.75a 25.13a 31.38a -5.00a
-94.13a -82.13a -47.63a -67.75a
-92.25a -85.75a -53.88a -133.38a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.
Pengaruh slag terhadap nilai Eh Tanah Latosol Atang Sendjaja ditunjukkan pada Tabel 4.17. Dapat dilihat bahwa perlakuan dengan penambahan slag memiliki nilai Eh yang relatif lebih rendah dibandingkan tanpa penambahan slag baik perlakuan slag dengan kontrol maupun perlakuan NPK + slag dengan perlakuan NPK. Namun, berdasarkan uji lanjut DMRT pada taraf 5%, penambahan slag pada Tanah Latosol Atang Sendjaja tidak berpengaruh nyata terhadap Eh tanah. Eh merupakan faktor pembatas pembentukkan CH4, penambahan slag seharusnya dapat meningkatkan Eh tanah. Kandungan besi di dalam slag menggantikan posisi oksigen sebagai akseptor elektron setelah oksigen
35
habis akibat penggenangan. Namun, pada penelitian ini, slag tidak berpengaruh meningkatkan nilai Eh pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan berdampak pada emisi GRK yang juga tidak berkurang dengan penambahan slag karena dosis yang belum tepat.
Tabel 4.18. Pengaruh Slag terhadap Eh (mV) Tanah Latosol Cihideung Ilir. Perlakuan Kontrol Slag NPK NPK + Slag
3 330.13a 326.75a 322.00a 326.88a
Umur Tanaman (HST) 17 31 45 57.75b 87.38b -44.88b 27.88ab 62.88b -34.63b 28.25ab 6.50a -110.75a -27.25a -6.13a -121.00a
59 -157.38ab -141.50b -219.75a -210.25ab
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.
Pengaruh slag terhadap nilai Eh Tanah Latosol Cihideung Ilir ditunjukkan pada Tabel 4.18. Seperti pada Tanah Latosol Atang Sendjaja, perlakuan dengan penambahan slag memiliki nilai Eh yang relatif lebih rendah dibandingkan tanpa penambahan slag baik perlakuan slag dengan kontrol maupun perlakuan NPK + slag dengan perlakuan NPK, dan berdasarkan uji lanjut DMRT pada taraf 5%, pengaruh perlakuan terhadap Eh Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir tidak nyata. Grafik Eh pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Eh Tanah Latosol Cihideung Ilir ditunjukkan pada Gambar 4.6. Dapat terlihat pada 3 HST dan 10 HST nilai Eh tanah masih tinggi, karena sebelumnya tanah dikeringkan dan dihaluskan, sehingga masih ada oksigen yang tersisa. Hal ini menyebabkan nilai Eh tinggi dan positif yang menunjukkan kondisi tanah masih oksidatif (Hardjowigeno, 2007). Setelah 17-31 hari penggenangan, nilai Eh cenderung turun hingga mencapai nilai negatif, hal ini menunjukkan bahwa kondisi tanah telah reduktif akibat penggenangan. Pada 59 HST, Eh Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih rendah dibandingkan Tanah Latosol Atang Sendjaja. Hal ini mempengaruhi total emisi GRK pada kedua tanah. Emisi GRK pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih besar dibandingkan Tanah Latosol Atang Sendjaja, karena hubungan Eh dan pembentukkan CH4 berkorelasi negatif, semakin rendah Eh maka pembentukkan CH4 akan semakin tinggi.
36
Gambar 4.6. Rata-rata Eh Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir pada 3, 17, 31, 45 dan 59 HST dengan alat ORP-meter.
Gambar 4.7. Rata-rata Eh Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir pada 32, 45, 59 dan 66 HST dengan alat platinum electrode. Untuk pengukuran Eh, juga digunakan alat lain, yaitu platinum electrode yang dimasukkan pada kedalaman 5 – 10 cm selama masa pengukuran. Berdasarkan alat ini, perbandingan Eh kedua tanah ditunjukkan pada gambar 4.7., dapat dilihat bahwa Eh pada Tanah Latosol Atang Sendjaja lebih rendah daripada Tanah Latosol Cihideung Ilir. Hal tersebut juga ditunjukkan pada pengukuran dengan Eh-meter digital (Gambar 4.7.), tetapi pengukuran dengan platinum
37
electrode lebih reduktif, yaitu sekitar -250 sampai -470 mV (Tabel Lampiran 1 dan 2).
4.4.2. Nilai pH pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir Selama beberapa minggu setelah penggenangan, pH pada tanah masam meningkat dan pada tanah alkali menurun. Dengan demikian, umumnya pH tanah mineral baik pada tanah masam maupun alkali akhirnya menjadi 6-7 setelah penggenangan (Ponnamperuma et al., 1966 dalam De Datta, 1981). Menurut hasil analisis tanah sebelum tanam, diketahui bahwa pH pada Tanah Latosol Cihideung Ilir sebesar 4.9 dan pada Tanah Latosol Atang Sendajaja sebesar 5.6, maka kedua tanah ini termasuk tanah masam. Tanah masam yang digenangi akan mengalami peningkatan pH, hal ini disebabkan oleh reduksi Fe3+ menjadi Fe2+. Pengaruh pelakuan terhadap nilai pH Tanah Latosol Atang Sendjaja ditunjukkan pada Tabel 4.19. Pada saat 59 HST, nilai pH pada perlakuan NPK adalah pH yang paling rendah dibanding perlakuan lainnya, sedangkan perlakuan slag memiliki pH tertinggi dibanding perlakuan lain. Menurut uji lanjut DMRT taraf 5%, antara perlakuan NPK dengan NPK + slag
memilki beda nyata,
perlakuan NPK + slag memiliki nilai pH lebih tinggi. Hal tersebut berkaitan dengan ketersediaan Fe3+ pada slag (AgriPower).
Tabel 4.19. Pengaruh Slag terhadap Nilai pH Tanah Latosol Atang Sendjaja. Perlakuan Kontrol Slag NPK NPK + Slag
3 5.44a 5.45a 5.50a 5.50a
17 5.82a 5.81a 5.69a 5.78a
Umur Tanaman (HST) 31 45 5.89a 6.09ab 5.89a 6.11ab 6.03ab 6.03a 6.14b 6.15b
59 6.08b 6.13b 5.93a 6.05b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.
Pengaruh slag terhadap nilai pH Tanah Latosol Cihideung Ilir ditunjukkan pada Tabel 4.20. Pada saat 59 HST, nilai pH pada perlakuan kontrol merupakan pH yang paling rendah dibanding perlakuan lainnya, sedangkan perlakuan NPK + slag merupakan nilai tertinggi. Perlakuan slag memiliki pH yang cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hal tersebut berkaitan dengan kandungan Ca dan Fe
38
di dalam slag. Namun, secara statistik slag tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai pH pada Tanah Latosol Cihideung Ilir.
Tabel 4.20. Pengaruh Slag terhadap pH Tanah Latosol Cihideung Ilir. Perlakuan Kontrol Slag NPK NPK + Slag
3 4.63a 4.71a 4.73a 4.72a
Umur Tanaman (HST) 17 31 45 4.94a 5.29a 5.67a 5.16b 5.37a 5.83a 4.89a 5.76b 5.88a 5.13b 5.78b 6.24b
59 5.18a 5.38ab 5.33ab 5.45ab
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.
Nilai pH pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir selama 59 HST ditunjukkan pada Gambar 4.8, dapat dilihat pada grafik tersebut, pH awal pada Tanah Latosol Atang Sendjaja adalah 5.44 – 5.50, kemudian pH naik hingga mencapai 6.27 pada 52 HST pada perlakuan slag. Sedangkan pada Tanah Latosol Cihideung Ilir, pH awal berkisar 4.63 – 4.73, setelah penggenangan selama 45 hari pH meningkat hingga 6.24 pada perlakuan NPK + slag.
Gambar 4.8. Rata-rata pH Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir pada 3, 17, 31, 45 dan 59 HST. Jika dibandingkan antara Tanah Latosol Atang Sendjaja dengan Tanah Latosol Cihideung Ilir, nilai pH awal Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih rendah
39
dibandingkan Tanah Latosol Atang Sendjaja. Hal ini sesuai dengan hasil analisis tanah awal, pH tanah awal Tanah Latosol Cihideung Ilir yaitu 4.9, sedangkan pH awal Tanah Latosol Atang Sendjaja yaitu 5.6 (Tabel Lampiran 21 dan 22). Meningkatnya pH tanah setelah penggenangan terjadi karena reaksi reduksioksidasi, seperti reduksi besi (Fe3+ menjadi Fe2+) dan peningkatan kelarutan besi yang menyertai proses tersebut (Rykson S. dan Untung S., 2001).
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 1. Penambahan slag (AgriPower) tidak berpengaruh nyata meningkatkan pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman dan jumlah anakan) menurut uji lanjut DMRT taraf 5%. Aplikasi slag bersama pupuk N, P dan K cenderung meningkatkan pertumbuhan pada Tanah Latosol Atang Sendjaja (Fe lebih rendah) daripada Tanah Latosol Cihideung Ilir. 2. Pengaruh slag (AgriPower) terhadap produksi padi tidak nyata menurut uji lanjut DMRT taraf 5%, namun memiliki kecenderungan meningkatkan produksi padi pada Tanah Latosol Atang Sendjaja, tetapi tidak pada Tanah Latosol Cihideung Ilir. 3. Pengaruh slag (AgriPower) terhadap emisi CH4 dan N2O tidak nyata menurut uji lanjut DMRT taraf 5% baik pada Tanah Latosol Atang Sendjaja maupun Cihideung Ilir, namun ada kecenderungan mengurangi emisi CH4 pada Tanah Latosol Cihideung Ilir, dan emisi N2O pada Tanah Latosol Atang Sendjaja.
5.2. Saran 1. Diperlukan
penelitian
lanjutan
dengan
prosedur
berbeda,
yaitu
pencampuran slag (AgriPower) dengan tanah sekurang-kurangnya 15 hari sebelum pindah tanam. 2. Diperlukan perlakuan dengan berbagai dosis slag (AgriPower) dan pupuk NPK yang berbeda yang memperhitungkan kandungan unsur hara makro dan mikro di dalam slag (AgriPower) dengan kebutuhan tanaman akan hara tersebut untuk mengetahui kombinasi yang tepat, sehingga memberikan pengaruh optimum terhadap pertumbuhan, produksi, dan emisi GRK, serta dengan mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan, yaitu tidak melebihi biaya yang biasa dikeluarkan petani untuk pemakaian NPK saja.
VI.
DAFTAR PUSTAKA
Arcara, P. G., C. Gamba, D. Bidini and R. Marchettl. 1999. The Effect of Urea and Pig Slurry Fertilization on Denitrification, Direct Nitrous Oxide Emission, Volatile Fatty Acids, Water-Soluble Carbon and Anthronereactive Carbon in Maize-cropped Soil from the Po Plain (Modena Italy). Biol. Fertil. Soils 29: 270 – 276. Ali, M. A., J. H. Oh and P. J. Kim. 2008. Evaluation of Silicate Iron Slag Amendment on Reducing Methane Emission from Flood Water Rice Farming. Agriculture, Ecosystem and Environtment 128 : 21 – 26. Boone. D. R. 2000. Biological Formation and Consumption of Methane. In: M. A. K. Khalil (ed). Athmospheric Methane: Its Role in The Global Environment. Berlin Heidelberg. Springer-Verlag. Bouwman, A. F. 1989. The Role of Soils and Landuse in the Greenhouse Effect. Neth. J. Agr. Sci. 37 : 13 – 19. Bouwman, A. F. 1990. Exchange of Greenhouse Gases between Terrestrial Ecosystems and the Atmosphere. In: A. F. Bouwman (ed). Soil and the Greenhouse Effect. John Wiley and Sons. Chichester. BPS. 2006. Statistik Indonesia 2005/2006. Badan Pusat Statistik, JakartaIndonesia. Hal 169-177. Budiastuti, M. J. T. 2008. Simulasi Laju Emisi Metan pada Lahan Padi Sawah dengan Model Denitrifikasi-Dekomposisi (DNDC) (Studi Kasus di Kabupaten Tasikmalaya). Tesis. IPB. De Datta, S. K. 1981. Principles and Practices of Rice Production. John Wiley and Sons. New York. Duxbury, J. M. and A. R. Mosier. 1997. Status and Issues Concerning Agricultural Emissions of Greenhouse Gases. In: Kaiser, H. M. and T. E. Drennen (eds). Agricultural Dimensions of Global Climate Change. CRC Press LLC. Effendy, S. 1997. Analisis Simulasi Upaya Mitigasi Gas Metana pada Padi Sawah di Indonesia. Tesis. IPB. Farhan, A. 1999. Kinerja Pendistribusian Air Irigasi serta Pengaruh Lokasi dan Takaran Pupuk N terhadap Hasil Padi. Tesis. IPB.
42
Furukawa, Y. and K. Inubushi. 2004. Effect of Application of Iron Materials on Methane and Nitrous Oxide Emissions from Two Types of Paddy Soils. Soil Sci. Plant Nutr. 50 : 917 -924. Hardjowigeno, H. S. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Hou, A. X., G. X. Chen, Z. P. Wang, O. Van Cleemput and W. H. Patrick, Jr. 2000. Methane and Nitrous Oxide Emissions from a Rice Field in Relation to Soil Redox and Microbial and Microbiological Processes. Soil Sci. Soc. Amer. J. 64 : 2180 – 2186. Huang, B., K. Yu and R. P. Gambrell. 2008. Effects of Ferric Iron Reduction and Regeneration on Nitrous Oxide and Methane Emissions in a Rice Soil. Chemosphere 74 : 481 – 486. Lesmana, O. S., H. M. Toha., I. Las dan B. Suprihatno. 2004. Varietas Unggul Padi. Balai Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Murdiyarso D. and Y. A. Husin. 1994. Modelling and Measuring Soil Organic Matter Dynamics and Greenhouse Gas Emissions after Forest Conversion. Report of Workshop/Training Course. Bogor. ASB-Indonesia Report 1. Murnita. 2001. Peranan Bahan Amelioran Besi (Fe3+) dan Zeolit terhadap Perilaku Kalium dan Produksi Padi pada Tanah Gambut Pantai dan Peralihan Jambi. Disertasi. IPB. Neue, H. U. and P. A. Roger. 1991. Methane Formation and Fluxes in Rice Fields, Principles and Prospects. A Paper Presented at the NATO Advanced Research Workshop on Atmosphereic Methane Cycle: Source, Sinks, Distribution and Role in Global Change. October 6-11, 1991. Portland, Oregon, USA. Neue, H. U., P. B. Heidmann and H.W. Scharpenseel. 1990. Organic Matter Dynamics, Soil Properties, and Cultural Practices in Rice Lands and their Relationship to Methane Production. In: A. F. Bouwman (ed). Soils and the Greenhouse Effect. John Wiley and Sons. Chichester. Nippon Steel Corporation. 2009. AgriPower Granular Silicate Fertilizer with Iron Oxide, pp. 1-21. Japan. Pawitan, H., A. K. Makarim, A. Iswandi, P. Setyanto, I. Amien, Wahyunto, E. Surmaini, H. L. Susilawati dan P. Muchsin. 2008. Laporan Akhir Update dan Penajaman Data Emisi dan Penyerapan Gas Rumah Kaca (GRK) Sub Sektor Tanaman Pangan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
43
Ponnamperuma. 1978. Electrochemical Changes in Submerged Soils and The Growth of Rice. In: IRRI. Soils and rice. Los Banos. Philippines. Pschorn, H., A., R. Conrad and W. Seiler. 1986. Effects of Vegetation on the Emission of Methane from Submerged Paddy Soil. In: Plant and Soil 92 92 : 223 – 233. Rennenberg, H., Wassmann R., Papen H. and Seiler W. 1992. Trace Gases Exchange in Rice Cultivation. Acol. Bull. Copenhagen 42 : 164 – 173. Sanchez, P. A. 1976. Properties and Management of Soils in Tropics. John Wiley and Sons, Sydney. Saragih, E. S. 1996. Pengendalian Asam-asam Organik Meracun dengan Penambahan Fe (III) pada Tanah Gambut dari Jambi, Sumatera. Tesis. IPB. Setyanto, P. 2004. Mitigasi Gas Metan dari Lahan Sawah. Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Setyanto, P., A. B. Rosenani, N. J. Khanif, C. J. Fauziah and R. Boer. 2004. Methane Emission and Its Mitigation in Rice Fields Under Different Management Practices in Central Java, Ph.D.Thesis, Universiti of Putra Malaysia. Setyanto, P. 2005. Varietas Padi Rendah Emisi Gas Rumah Kaca. http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/wr284067.pdf. [2 Oktober 2009] Situmorang, R., dan U. Sudadi. 2001. Tanah Sawah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian. IPB. Sulistyono, N. B. E. 2000. Peranan Kation Fe(III) terhadap Produksi Karbon Dioksida dan Metana dari Gambut Tropika pada Inkubasi Aerob dan Anaerob. Tesis. IPB. Sumartono. 1977. Padi Sawah. PT. Bumirestu. Jakarta. Suprihati. 2005. Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca dari Lahan Sawah dengan Pengelolaan Air. Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702). IPB. Suprihati. 2007. Kajian Mikroba dan Fluks Metana (CH4) serta Nitrous Oksida (N2O) pada Tanah Sawah: Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk Nitrogen Lepas Terkontrol. Disertasi. IPB. Tan, K. H. 1993. Principles of soil chemistry. Marcell Dekker, Inc. New York.
44
Vogels, G. D., J. T. Keltjens and C. Van der Drift. 1998. Biochemistry of methane production biology of and aerobic microorganism. Nature 350: 406 – 409. Wang, Z. P., R. D. DeLaune, P. H. Masscheley, and W. H. Patrick. 1993. Soil Redox and pH Effects of Methane Production in a Flooded Rice Soil. Soil Sci. Soc. Amer. J. 57: 382-385. Whalen, S. C. 2000. Nitrous Oxide Emission from an Agricultural Soil Fertilized with Liquid Swine Waste or Constituents. Soil Sci. Soc. Amer. J. 64: 781789. Wihardjaka, A. 2001. Emisi Gas Metan di Tanah Sawah Irigasi dengan Pemberian beberapa Bahan Organik. Agrivita 23(1) : 43 – 51. Wihardjaka, A. 2004. Mewaspadai Emisi Gas Nitro Oksida dari Lahan Persawahan. http://www.litbang.deptan.go.id/artikel/one/87/pdf. [6 Oktober 2009] Wihardjaka, A. 2006. Varietas Padi Unggul dengan Emisi Gas Metana Rendah. http://www.litbang.deptan.go.id/artikel/one/127/pdf. [6 Oktober 2009] Yoshida, S. 1981. Fundamental of Rice Crop Science. IRRI. Los Banos, Philippines.
LAMPIRAN
45
Gambar Lampiran 1. Pertumbuhan padi pada Tanah Latosol Atang Sendjaja.
46
Gambar Lampiran 2. Pertumbuhan padi pada Tanah Latosol Cihideung Ilir.
47
Tabel Lampiran 1. Pengukuran Eh Tanah Latosol Atang Sendjaja menggunakan platinum electrode. Eh Tanah Latosol Atang Sendjaja (mV) PERLAKUAN 32 HST 45 HST 59 HST 69 HST Kontrol
-368
-238
-455.5
-451.5
Slag
-362
-315.5
-453
-453.5
NPK
-279.5
-307
-462
-393.5
NPK+Slag
-392.5
-319
-460.5
-461
Tabel Lampiran 2. Pengukuran Eh Tanah Latosol Cihideung Ilir menggunakan platinum electrode. Eh Tanah Cihideung Ilir (mV) PERLAKUAN 31 HST 45 HST 59 HST 66 HST Kontrol
-276.5
-364.5
-457
-461
Slag
-336
-301.5
-327.5
-339.5
NPK
-282
-373.5
-364
-400.5
NPK+Slag
-343
-440.5
-439
-439
48
Tabel Lampiran 3. Sidik Ragam Tinggi Tanaman pada Tanah Latosol Atang Sendjaja. Parameter Tinggi Tanaman 10 HST Tinggi Tanaman 24 HST Tinggi Tanaman 38 HST Tinggi Tanaman 52 HST Tinggi Tanaman 66 HST
Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
Jumlah Kuadrat 189.968 164.07 14958.76 279.862 182.318 35590.31 376.503 104.215 63557.04 418.023 123.215 101824.3 429.965 88.615 123860.02
db 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16
Kudrat Tengah 63.323 13.673
F-hitung
Pr > F
4.631
0.023
Rsquared 0.537
93.287 15.193
6.14
125.501 8.685
14.451
139.341 10.268
13.571
143.322 7.385
19.408
0.009 0.606 0 0.783 0 0.772 0 0.829
Tabel Lampiran 4. Sidik Ragam Jumlah Anakan pada Tanah Latosol Atang Sendjaja. Parameter Jumlah Anakan 10 HST Jumlah Anakan 24 HST Jumlah Anakan 38 HST Jumlah Anakan 52 HST Jumlah Anakan 66 HST
Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
Jumlah Kuadrat 0 0 400 54.688 33.25 973 306.5 160.5 4188 713.188 242.25 14123 1368.188 552.25 20213
db 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16
Kudrat Tengah 0 0
F-hitung
Pr > F
0
0
Rsquared 0
18.229 2.771
6.579
102.167 13.375
7.639
237.729 20.188
11.776
456.063 46.021
9.91
0.007 0.622 0.004 0.656 0.001 0.746 0.001 0.712
49
Tabel Lampiran 5. Sidik Ragam Produksi pada Tanah Latosol Atang Sendjaja. Parameter Gabah Kering Panen Gabah Kering Giling Jumlah anakan produktif Panjang malai Jumlah gabah hampa Jumlah gabah isi Bobot 1000 gabah Jumlah Gabah per Malai
Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
Jumlah Kuadrat 7180.634 1282.724 180987.29 6028.038 1105.805 141929.29 581 62 19964 2.03 7.347 7865.541 329.062 367.838 2692.309 270.877 4146.553 180743.94 0.354 6.118 9450.182 709.688 2830.343 219374.6
db 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16
Kudrat Tengah 2393.545 106.894
F-hitung
Pr > F
22.392
0
Rsquared 0.848
2009.346 92.15
21.805
193.667 5.167
37.484
0.677 0.612
1.105
109.687 30.653
3.578
90.292 345.546
0.261
0.118 0.51
0.231
236.563 235.862
1.003
0 0.845 0 0.904 0.385 0.217 0.047 0.472 0.852 0.061 0.873
0.055 0.425
0.2
Tabel Lampiran 6. Sidik Ragam Biomassa pada Tanah Latosol Atang Sendjaja. Parameter Bobot Akar Bobot Batang Panjang Akar Panjang Batang
Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
Jumlah Kuadrat 12252.241 6635.22 302291.969 73217.188 4268.75 1273775 71.182 275.948 21772.77 180.067 57.378 134138.55
db 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16
Kudrat Tengah 4084.08 552.935
F-hitung
Pr > F
7.386
0.005
Rsquared 0.649
24405.729 355.729
68.608
23.727 22.996
1.032
60.022 4.781
12.553
0 0.945 0.413 0.205 0.001 0.758
50
Tabel Lampiran 7. Sidik Ragam Fluks CH4 pada Tanah Latosol Atang Sendjaja. Parameter CH4 3 HST CH4 17 HST CH4 31 HST CH4 45 HST CH4 59 HST
Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
Jumlah Kuadrat 0 0 0 5.853 103.559 142.552 0.416 0.536 1.275 0.165 0.365 0.859 0.904 0.32 1.957
db 3 12 16 3 12 16 3 4 8 3 4 8 3 4 8
Kudrat Tengah 0 0
F-hitung
Pr > F
0
0
Rsquared 0
1.951 8.63
0.226
0.139 0.134
1.036
0.055 0.091
0.604
0.301 0.08
3.769
0.876 0.053 0.467 0.437 0.646 0.312 0.116 0.739
Tabel Lampiran 8. Sidik Ragam Fluks N2O pada Tanah Latosol Atang Sendjaja. Parameter N2O 17 HST N2O 31 HST N2O 45 HST N2O 59 HST
Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
Jumlah Kuadrat 191261.861 260528.169 509688.672 50928.663 125661.255 176796.166 198568.221 136009.742 358248.491 47419.083 136916.023 215409.104
db 3 4 8 3 4 8 3 4 8 3 4 8
Kudrat Tengah 63753.954 65132.042
F-hitung
Pr > F
0.979
0.486
Rsquared 0.423
16976.221 31415.314
0.54
66189.407 34002.436
1.947
15806.361 34229.006
0.462
0.68 0.288 0.264 0.593 0.724 0.257
51
Tabel Lampiran 9. Sidik Ragam Eh Tanah Latosol Atang Sendjaja. Parameter Eh 3 HST
Eh 17 HST Eh 31 HST Eh 45 HST Eh 59 HST
Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
Jumlah Kuadrat 2568.922 5160.438 1014490 10805.625 22741.125 101929 3579.813 6468.125 16813 4803.797 9731.813 99580.75 12810.563 38094.875 184313
db 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16
Kudrat Tengah 856.307 430.036
F-hitung
Pr > F
1.991
0.169
Rsquared 0.332
3601.875 1895.094
1.901
1193.271 539,010
2.214
1601.266 810.984
1.974
4270.188 3174.573
1.345
0.183 0.322 0.139 0.356 0.172 0.33 0.306 0.252
Tabel Lampiran 10. Sidik Ragam pH Tanah Latosol Atang Sendjaja. Parameter pH 3 HST pH 17 HST pH 31 HST pH 45 HST pH 59 HST
Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
Jumlah Kuadrat 0.012 0.12 480.289 0.043 0.131 534.246 0.181 0.174 574.377
db 3 12 16 3 12 16 3 12 16
Kudrat Tengah 0.004 0.01
F-hitung
Pr > F
0.384
0.767
Rsquared 0.087
0.014 0.011
1.313
0.06 0.014
4.162
0.315 0.247 0.031 0.51
0.029 0.06 594.778
3 12 16
0.01 0.005
1.932
0.087 0.033 584.55
3 12 16
0.029 0.003
10.692
0.178 0.326 0.001 0.728
52
Tabel Lampiran 11. Sidik Ragam Tinggi Tanaman pada Tanah Latosol Cihideung Ilir. Parameter Tinggi Tanaman 10 HST Tinggi Tanaman 24 HST Tinggi Tanaman 38 HST Tinggi Tanaman 52 HST Tinggi Tanaman 66 HST
Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
Jumlah Kuadrat 102.925 84.185 15095.52 168.753 81.645 51530 412.582 83.498 96208.97 479.407 194.638 146846.45 526.385 641.175 171901.8
db 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16
Kudrat Tengah 34.308 7.015
F-hitung
Pr > F
4.89
0.019
Rsquared 0.55
56.251 6.804
8.268
137.527 6.958
19.765
159.802 16.22
9.852
175.462 53.431
3.284
0.003 0.674 0 0.832 0.001 0.711 0.058 0.415
Tabel Lampiran 12. Sidik Ragam Jumlah Anakan pada Tanah Latosol Cihideung Ilir. Parameter Jumlah Anakan 10 HST Jumlah Anakan 24 HST Jumlah Anakan 38 HST Jumlah Anakan 52 HST Jumlah Anakan 66 HST
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
db
Kudrat Tengah
Perlakuan Galat Total Perlakuan
0.188 0.75 391 87.687
3 12 16 3
Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
34.75 2499
12 16
2.896
786.5 215.5 12666
3 12 16
262.167 17.958
14.599
1344.5 240.5 20906
3 12 16
448.167 20.042
22.362
1600.25 369.5 24620
3 12 16
533.417 30.792
17.323
F-hitung
Pr > F
0.063 0.063
1
0.426
29.229
10.094
Rsquared 0.2
0.001 0.716 0 0.785 0 0.848 0 0.812
53
Tabel Lampiran 13. Sidik Ragam Produksi pada Tanah Latosol Cihideung Ilir. Parameter Gabah Kering Panen Gabah Kering Giling Jumlah anakan produktif Panjang malai Jumlah gabah hampa Jumlah gabah isi Bobot 1000 gabah Jumlah Gabah per Malai
Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
Jumlah Kuadrat 23046.75 4135 21682 22373.486 4297.517 207961.74 1491.188 245.25 22689 18.649 35.875 8620.49 1024.092 2258.22 9966.191 2895.986 5632.585 261117.74 2.236 3.972 9229.889 7156.889 4271.222 354824.1
db 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16
Kudrat Tengah 7682.25 344.58
F-hitung
Pr > F
22.294
0
Rsquared 0.848
7457.829 358.126
20.825
497.063 20.438
24.321
6.216 2.99
2.079
341.364 188.185
1.814
965.329 469.382
2.057
0.745 0.331
2.251
2385.63 355.935
6.702
0 0.839 0 0.859 0.156 0.342 0.198 0.312 0.16 0.34 0.135
0.36 0.007
0.626
Tabel Lampiran 14. Sidik Ragam Biomassa pada Tanah Latosol Cihideung Ilir. Parameter Bobot Akar Bobot Batang Panjang Akar Panjang Batang
Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
Jumlah Kuadrat 30229.688 11056.25 206325 152342.188 22043.75 2151925 21.617 289.278 10935.35 466.607 441.838 167107.35
db 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16
Kudrat Tengah 10076.563 921.354
F-hitung
Pr > F
10.937
0.001
Rsquared 0.732
50780.729 1836.979
27.644
7.206 24.106
0.299
155.536 36.82
4.224
0 0.874 0.826 0.07 0.03 0.514
54
Tabel Lampiran 15. Sidik Ragam Fluks CH4 pada Tanah Latosol Cihideung Ilir. Parameter
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
db
CH4 3 HST
Perlakuan Galat Total
0.959 3.837 5.117
3 12 16
CH4 17 HST
Perlakuan Galat Total
6.268 22.755 31.214
CH4 31 HST
Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
CH4 45 HST CH4 59 HST
Kudrat Tengah
F-hitung
Pr > F
0.32 0.32
1
0.426
3 12 16
2.089 1.896
1.102
0.052 0.055 0.291
3 4 8
0.017 0.014
1.251
8.729 3.562 15.071 10.413 0.578 36.018
3 4 8 3 4 8
2.91 0.89
3.267
3.471 0.144
24.032
Rsquared 0.2
0.386 0.216 0.403 0.484 0.141 0.71 0.005 0.947
Tabel Lampiran 16. Sidik Ragam Fluks N2O pada Tanah Latosol Cihideung Ilir. Parameter
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
db
Kudrat Tengah
Fhitung
Pr > F
N2O 17 HST
Perlakuan Galat Total
688466.966 481663.16 1311107.175
3 4 8
229488.989 120415.79
1.906
0.27
N2O 31 HST
Perlakuan Galat Total
19082.743 154595.405 187335.235
3 4 8
6360.914 38648.851
0.165
N2O 45 HST
Perlakuan Galat Total
130966.441 38890.845
43655.48 9722.711
4.49
220108.127
3 4 8
Perlakuan Galat Total
N2O 59 HST
198962.484 1403176.478 1794934.622
3 4 8
66320.828 350794.119
0.189
Rsquared 0.588
0.915 0.11 0.09 0.771 0.899 0.124
55
Tabel Lampiran 17. Sidik Ragam Eh Tanah Latosol Cihideung Ilir. Parameter Eh 3 HST Eh 17 HST Eh 31 HST Eh 45 HST Eh 59 HST
Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
Jumlah Kuadrat 134.313 2606.125 1707723.5 15106.922 18193.938 40804.75 23981.797 5127.563 51797.25 31040.563 9239.875 118540.5 17878.297 23955.188 573092.25
db 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16
Kudrat Tengah 44.771 217.177
F-hitung
Pr > F
0.206
0.89
Rsquared 0.049
5035.641 1516.161
3.321
7993.932 427.297
18.708
10346.854 769.99
13.438
5959.432 1996.266
2.985
0.057 0.454 0 0.824 0 0.771 0.074 0.427
Tabel Lampiran 18. Sidik Ragam pH Tanah Latosol Cihideung Ilir. Parameter pH 3 HST pH 17 HST pH 31 HST pH 45 HST pH 59 HST
Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
Jumlah Kuadrat 0.022 0.038 353.265 0.22 0.114 405.701 0.825 0.353 497.019 0.649 0.442 563.019 0.087 0.253 509.97
db 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16 3 12 16
Kudrat Tengah 0.007 0.003
F-hitung
Pr > F
2.318
0.127
Rsquared 0.367
0.073 0.009
7.727
0.275 0.029
9.343
0.216 0.037
5.87
0.029 0.021
1.376
0.004 0.659 0.002 0.7 0.01 0.595 0.297 0.256
56
Tabel Lampiran 19. Hasil Analisis Slag di Balai Penelitian Tanah (Bogor) Parameter Unit Hasil 1:1 pH H2O 10.96 C-organik % 2.66 N-organik % 0 NH4 % 0.13 NO3 % 0.24 N-Total % 0.37 P2O5 % 2.07 % 0.19 K2O Belerang (S) % 0.41 Boron (B) % 437 Kobalt (Co) % td Nikel (Ni) ppm 13 Kromium (Cr) ppm 674 Molybdenum (Mo) ppm td Perak (Ag) ppm 1.2 Timbal (Pb) ppm 4.96 Kadmium (Cd) ppm td Arsenik (As) ppm td Merkuri (Hg) ppm 0.03 Eks H2O 1:5 Cr% 0.03 Kadar Air % 1.15 Keterangan: td = Tidak Terdeteksi
57
Tabel Lampiran 20. Hasil Analisis Slag di SUCCOFINDO. Parameter Unit Hasil Nitrogen % 0.12 P205 % 3.4 K20 % 0.27 Besi (Fe) % 8 Tembaga (Cu) ppm 7 Kalsium (Ca) % 28.6 Magnesium (Mg) % 1.54 Perak (Ag) ppm < 0.03 Seng (Zn) ppm 89 Kalium (K) % 0.22 Boron (B) % 0.02 Kadmium (Cd) ppm 1 Timbal (Pb) % 0.05 Mangan (Mn) % 2.31 Molybdenum (Mo) ppm 72 Nikel (Ni) ppm 12 Kromium (Cr) % 0.05 Arsenik (As) ppm 1.45 Merkuri (Hg) ppm 0.05 Kelembaban % 0.86 pH 10 % solution at 11 25,0oC C-Organik % 1 Ratio C/N 8.33 Klorida (Cl) % 0.01 Belerang (S) % 0.6 Escherichia Coli Salmonella Sp.
MPN/g
< 3.0
Koloni/25 g
negatif
Metode SNI 02-2803-2000 957.02 & 958.01 955.06* 965.09* 965.09* 965.09* 965.09* 965.09* 965.09* 965.09* ICP ICP ICP ICP ICP ICP ICP AAS AAS 950.01* 994.16* Kurmies Hasil Perhitungan 928.02* 980.02* BAM Chapter 4,2002 BAM Chapter 5,2005
58
Tabel Lampiran 21. Hasil Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah Sebelum Tanam (Balai Penelitian Tanah, Bogor). Hasil Parameter Unit Atang sendjaja Cihideung Ilir Pasir % 2 5 Debu % 41 27 Liat % 57 68 1:5 pH H2O 5.6 4.9 1:5 pH KCl 4.7 4.1 C-organik % 1.23 1.3 N-organik % 0.09 0.09 Rasio C/N 14 14 P2O5 ppm 50 49.7 Ca cmol(+)/kg Mg cmol(+)/kg K cmol(+)/kg Na cmol(+)/kg KTK cmol(+)/kg 14.89 14.26 KB % Tabel
Lampiran 22. Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah Sebelum Tanam (Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB). Hasil Parameter Unit Atang sendjaja Cihideung Ilir 2.15 2.23 C-organik % 4.6 9.3 P ppm me/100g 0.33 0.3 K ppm 0.54 10.22 Fe ppm 50.92 50.92 NH4+ 3+ ppm 1461.65 1461.65 NO
59
Tabel Lampiran 23. Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah Dua Minggu setelah Tanam (Balai Penelitian Tanah, Bogor). EKSTRAK 1:5 TERHADAP CONTOH KERING 105°C PERLAKUAN pH DHL BAHAN ORGANIK Olsen Bray I Morgan DTPA Abu Silikat Kasar H2O KCl C N C/N P2O5 P2O5 K2O Fe AT0 17 5.8 4.9 1.39 0.11 13 43 37 60 88.7 74.2 AT0 18 5.9 4.9 1.36 0.11 12 45 36 60 84.02 71.8 AT1 21 5.9 4.9 1.36 0.12 11 53 38 60 78.07 69.34 AT1 22 5.9 4.9 1.51 0.12 13 39 37 58 85.79 72.13 AT2 25 5.9 5 1.34 0.1 13 47 39 58 79.03 67.57 AT2 26 5.9 5 1.39 0.11 13 45 38 57 77.72 68.93 AT3 29 5.9 4.9 1.44 0.11 13 48 36 56 79.28 71.21 AT3 30 5.9 5 1.42 0.11 13 55 36 59 84.2 73.87 CT0 01 CT0 02 CT1 05 CT1 06 CT2 09 CT2 10 CT3 13 CT3 14
5.2 5.2 5.2 5.3 5.2 5.2 5.2 5.3
4.1 4.1 4.2 4.2 4.2 4.2 4.3 4.3
1.28 1.26 1.35 1.3 1.27 1.32 1.26 1.39
0.09 0.09 0.1 0.11 0.11 0.11 0.09 0.11
14 14 14 12 12 12 14 13
22 26 33.6 33.1 36.1 36.7 36.3 39.3
37 36 38 37 38 39 39 38
148 153 146 148 152 149 153 143
78.99 86.41 80.09 82.33 77.4 87.25 88.1 78.12
68.02 71.59 66.08 69.43 70.12 73.46 71.53 65.43
60
Tabel Lampiran 24. Hasil Analisis Tanaman (Balai Penelitian Tanah, Bogor). Terhadap Contoh Kering 105°C Jenis / Asal Kode Perlakuan Tanah P (%) Si Kasar (%) Fe (ppm) C1 T0 0.07 29.54 203 C3 T0 0.10 24.05 640 C5 T1 0.13 21.30 186 Latosol C7 T1 0.13 27.61 634 Cihideung C9 T2 0.11 33.65 264 Ilir C11 T2 0.10 21.67 663 C13 T3 0.10 17.90 306 C15T3 0.09 27.32 638 A17 T0 0.07 21.61 665 A19 T0 0.07 16.83 501 A21 T1 0.05 16.04 794 Latosol A23 T1 0.05 18.18 811 Atang A25 T2 0.05 14.68 801 Sendjaja A27 T2 0.07 15.44 667 A29 T3 0.08 16.14 641 A31 T3 0.07 13.44 597
61
PINTU MASUK
A32
A30
A20
A28
C7
C4
C5
C16
T3
T3
T0
T2
T1
T0
T1
T3
A19
A23
A17
A18
C10
C14
C3
C6
T0
T1
T0
T0
T2
T3
T0
T1
A21
A26
A31
A24
C1
C15
C12
C2
T1
T2
T3
T1
T0
T3
T2
T0
A22
A25
A27
A29
C13
C9
C8
C11
T1
T2
T2
T3
T3
T2
T1
T2
Keterangan:
Pot berisi tanah dari Cihideung Ilir Pot berisi tanah dari Atang Sendjaja
Gambar Lampiran 3. Layout posisi pot di dalam net house setelah di acak.
62
Tabel Lampiran 25. Karakteristik Varietas Ciherang (Lesmana et al., 2004). No.
Karakteristik Asal persilangan :
1.
IR18349-53-1-3-1-3/IR19661-131-3-1//IR19661-131-3-1///IR64////IR64
2.
Umur tanaman : 116-125 hari
3.
Bentuk tanaman : tegak
4.
Tinggi tanaman : 107-115 cm
5.
Anakan produktif : 14-17 batang
6.
Warna kaki : hijau
7.
Warna batang : hijau
8.
Warna daun telinga : putih
9.
Warna lidah daun : putih
10.
Warna daun : hijau
11.
Muka daun : kasar pada sebelah bawah
12.
Posisi daun : tegak
13.
Daun bendera : tegak
14.
Bentuk gabah : panjang ramping
15.
Warna gabah : kuning bersih
16.
Kerontokkan : sedang
17.
Kerebahan : sedang
18.
Tekstur nasi : pulen
19.
Kadar amilosa : 23%
20.
Bobot 1000 butir : 27-28 ton/ha
21.
Ketahanan terhadap hama : tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan 3
22.
Ketahanan terhadap penyakit : tahan terhadap bakteri hawar daun (HDB) strain III dan IV
23.
Anjuran tanam : cocok ditanam pada musim hujan dan kemarau dengan
24.
ketinggian dibawah 500m dpl
63
(a)
(b)
(c)
(e)
(d)
(f)
Keterangan: (a) Tanah Latosol Atang Sendjaja, (b) Tanah Latosol Cihideung Ilir, (c) Pot untuk Tanah Latosol Cihideung Ilir; (d) & (e) Penghancuran Tanah, (f) Tanam.
Gambar Lampiran 4. Tahap persiapan sebelum tanam.
64
3 cm
5 cm
8 cm
(a)
3 cm
5 cm
8 cm
(b)
Gambar Lampiran 5. Pengaturan Air: (a) Tanah Latosol Atang Sendjaja, (b) Tanah Latosol Cihideung Ilir.
65
T0
T0
T1
(a)
T1
T2
T2
T3
T3
(b) Keterangan : T0Tanpa Tambahan T1Slag T2NPK T3NPK+Slag
Gambar Lampiran 6. Tanaman padi setiap perlakuan: (a) Padi pada Tanah Latosol Cihideung Ilir (76 HST), (b) Padi pada Tanah Atang Sendjaja (79 HST).
66
(a)
(b)
(c)
(d) Gambar Lampiran 7. Panen pada Tanah Latosol Cihideung Ilir: (a) padi umur 93 HST, (b) setelah tanaman di panen, (c) pengeringan biomassa, (d) menghitung jumlah malai.
67
(a)
T0
T1
T2
T3 (b)
Gambar Lampiran 8. Panen pada Tanah Latosol Atang Sendjaja: (a) persiapan pemotongan tanaman, (b) setelah tanaman dipotong.