23
PENGARUH SEBELUM DAN SETELAH ADOPSI INTERNATIONAL FINANCIAL REPORTING STANDAR (IFRS) TERHADAP MANAJEMEN LABA (STUDI EMPIRIS PADA PERUSAHAAN JASA YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2010-2014) YASMI UNIVERSITAS FAJAR
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti empiris mengenai pengaruh sebelum dan setelah adopsi Internasional Financial Reporting Standar (IFRS) terhadap manajemen laba pada perusahaan jasa yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode (BEI) 2010-2014. Penelitian ini berargumen bahwa ada perbedaan manajemen laba antara perusahaan yang belum mengadopsi IFRS dan peruasahaan yang mengadopsi IFRS, dengan mengadopsi IFRS dipercaya dapat menurunkan manajemen laba. Berdasarkan kriteria purposive sampling, sampel penelitian yang digunakan sebanyak 103 perusahaan jasa yang terdafatar di BEI 2010-2014 dengan total pengamatan 206 sampel 103 untuk perusahaan yang belum mengadopsi IFRS dan 103 untuk perusahaan yang telah mengadopsi IFRS. Berdasarkan hasil penelitian tidak ditemukan variabel yang menyimpang dari pengujian seperti normality shapiro-wilk dan homogeneity of variances, sehingga data yang digunakan telah memenuhi syarat untuk menggunakan model Independent Sampel Test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara perusahaan yang belum mengadopsi IFRS dan perusahaan yang telah mengadopsi IFRS terdapat perbedaan manajemen laba yang signifikan 0,014, dimana tingkat manajemen laba lebih tinggi sebelum adopsi IFRS dibandingakan manajemen laba setelah adopsi IFRS, dengan kata lain IFRS terbukti dapat meminimalisir manajemen laba. Kata Kunci: Manajemen Laba, dan Adopsi IFRS. PENDAHULUAN Dalam era globalisasi yang ditandai dengan banyak munculnya perusahaan multinasional kebutuhan akan standar akuntansi internasional memang mutlak diperlukan agar menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas dan bisa dipercaya merupakan sesuatu hal yang sulit diukur. Salah satu cara yang digunakan peneliti untuk mengukurnya dengan melihat apakah terdapat praktek manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen di dalam penyusunan laporan keuangannya, yang diproksi dengan akrual diskresioner (Xie et.al. dalam Debby, 2007). Perusahaan yang go public diwajibkan untuk menyampaikan laporan keuangan yang telah disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan dan telah diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di Badan Pengawas Pasar Modal. Standar Akuntansi yang berkualitas sangat penting dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan yang mengantar kepada terciptanya sistematis informasi keuangan yang akurat dan dapat dipercaya, sehingga dapat membantu para penentu keputusan dalam mengambil keputusan yang tepat bagi kelangsungan suatu usaha. Sementara itu dalam pengambilan keputusan investasi, investor memerlukan informasi ekonomi dari perusahaan terkait (Dian & Titik, 2012). International Financial Reporting Standards (IFRS) menjawab tantangan bagaimana pelaporan keuangan harus dilakukan. Arus besar dunia sekarang ini sedang menuju ke dalam satu standar pelaporan (Dian & Titik, 2012). Satu standar pelaporan akuntansi yang berlaku
24
secara internasional, yaitu IFRS. Isu mengenai adopsi IFRS, diawali sejak keluarnya Statement of Membership Obligation (SMO) di tahun 2004 dari IFAC (International Federation of Accountant) sebagai organisasi federasi akuntan internasional, bahwa setiap asosiasi profesi masing-masing negara anggotanya wajib melakukan upaya terbaiknya dalam mewujudkan konvergensi IFRS. Indonesia yang masuk ke dalam keanggotaan G20 wajib untuk melakukan konvergensi IFRS. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah memutuskan IFRS mulai berlaku di Indonesia pada tahun 2012. Adopsi standar akuntansi internasional ke dalam standar akuntansi domestik bertujuan menghasilkan laporan keuangan yang memiliki tingkat kredibilitas tinggi, persyaratan akan item-item pengungkapan akan semakin tinggi sehingga nilai perusahaan akan semakin tinggi pula, manajemen akan memiliki tingkat akuntabilitas tinggi dalam menjalankan perusahaan, laporan keuangan perusahaan menghasilkan informasi yang lebih relevan dan akurat, dan laporan keuangan akan lebih dapat diperbandingkan dan beban perusahaan (Petreski, 2005). Penerapan IFRS sebagai standar global akan berdampak pada semakin sedikitnya pilihan-pilihan metode akuntansi yang dapat diterapkan, sehingga akan meminimalisir praktik-praktik kecurangan akuntansi (Prihadi dalam Dian & Titik, 2012). Fleksibilitas ketika memilih metode akuntansi kadang-kadang memotivasi manajer untuk memilih metode akuntansi atau untuk mengubah yang digunakan dalam rangka meningkatkan, menurunkan, atau meratakan angka pendapatan dari tahun ke tahun (Dian & Titik, 2012). Dengan kata lain, manajemen dapat dengan mudah memanfaatkan kelonggaran penggunaan metode dan prosedur akuntansi untuk menaikkan dan menurunkan laba. Ini disebut dengan earning management yang merupakan intervensi dari pihak manajemen untuk mengatur laba. Selain itu, manajemen juga cenderung untuk mengambil tindakan untuk meningkatkan pendapatan bila pendapatan relatif rendah dan untuk mengurangi pendapatan bila pendapatan relatif tinggi. Ini sering dikaitkan dengan praktek income smoothing, yaitu merepresentasikan usaha manajer untuk menggunakan keleluasaan dalam pelaporan untuk dengan sengaja meredam fluktuasi realisasi pendapatan perusahaan (Beidleman dalam Dian & Titik, 2012). Income smoothing adalah cara perusahaan untuk meratakan laba yang dilaporkan, sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar. Income smoothing merupakan salah satu bentuk dari manajemen laba. Scott dalam Nata (2014) mendefinisikan manajemen laba sebagai pilihan yang dilakukan oleh manajer dalam menentukan kebijakan akuntansi untuk mencapai beberapa tujuan tertentu. Manajemen laba dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya dengan discretionary accrual yang tidak memiliki pengaruh terhadap arus kas secara langsung yang disebut dengan manipulasi akrual (Roychowdhury, 2006). TINJAUAN PUSTAKA Teori Keagenan Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan merupakan suatu kontrak antara manajer (agent) dan investor (principal) yang memberikan wewenang kepada manajer untuk mengelolah perusahaan tersebut. Teori keagenan (agency theory) menjelaskan adanya pemisahan atara pemilik dan pengelolah perusahaan dapat menimbulkan konflik antara agent dan principal karena kepentingan yang berbeda. Agen yang memiliki informasi dan akses yang lebih, dibandingkan dengan principal memungkinkaa agen untuk berbuat
25
sesuai dengan kepentingan kepentingan diri sendiri bukan kepentingan pemilik yang biasa disebut asymetri information atau ketidakseimbangan informasi antara agen dan investor. Asimetri informasi dapat dimanfaatkan oleh agen untuk berperilaku menyimpang dan memberikan informasi yang bukan sebenarnya kepada investor, apalagi jika ada hubungannnya dengan kinerja. Agen akan memberikan informasi yang mengambarkan kinejanya bagus dengan melakukan manajemen laba karena investor biasaya akan berfokus pada laporan laba rugi untuk menilai kinerja manajemen, sehingga memicu investor untuk mengeluarkan biaya keagenan (agency cost). International Financial Reporting Standart (IFRS) International Financial Reporting Standart (IFRS) merupakan standar penyusunan pelaporan keuangan dan menjadi faktor utama dalam pembahasa akutansi di seluru dunia. Lebih dari 100 negara saat ini yang mendukung dan mengizinkan pelaksanaan IFRS untuk mengganti GAAP lokal. Laporan keuangan yang telah mengadopsi IFRS dapat dipahami secara global sehingga dapat bersaing atau dibandingkan di tingkat internasional dan mempermudah bank dalam mencari akses untuk ke pasar dunia. Penerapan standar akuntansi yang bertaraf internasional dapat meningkatkan komparabilitas laporan keuangan sehingga laporan keuangan akan lebih berkualitas (Aljifri & Khasharmeh dalam Wardhani, 2009). Oleh karena itu, kebutuhan akan harmonisasi standar akuntansi dan penggunaan standar akuntansi yang berlaku secara internasional semakin besar. Pada tahun 2000, International Accounting Standards Committee (IASC), yang pada tahun 2001 berubah menjadi International Accounting Standards Board (IASB), berusaha melakukan harmonisasi standar-standar yang berbeda dengan menerbitkan International Accounting Standards (IAS), yang sekarang dikenal dengan International Financial Reporting Standards (IFRS). IFRS telah diterapkan oleh sejumlah negara di dunia, dengan tingkat adopsi yang berbeda-beda. Adopsi IFRS dapat dilakukan dalam lima tingkatan (Media Akuntansi dalam Panggabean, 2007): 1. Full adoption. Suatu negara mengadopsi seluruh standar IFRS dan menerjemahkan IFRS sama persis ke dalam bahasa yang negara tersebut gunakan. 2. Adopted. Program konvergensi PSAK ke IFRS telah dicanangkan IAI pada Desember 2008. Adopted maksudnya adalah mengadopsi IFRS, namun disesuaikan dengan kondisi di negara tersebut. 3. Piecemeal. Suatu negara hanya mengadopsi sebagian besar nomor IFRS yaitu nomor standar tertentu dan memilih paragraf tertentu saja. 4. Referenced (konvergence). Sebagai referensi, standar yang diterapkan hanya mengacu pada IFRS tertentu dengan bahasa dan paragraf yang disusun sendiri oleh badan pembuat standar. 5. Not adopted at all. Suatu negara sama sekali tidak mengadopsi IFRS. Adopsi IFRS sebagai standar akuntansi internasional menjamin kualitas pelaporan yang tinggi, karena dibuat berdasarkan standar internasional yang didukung oleh IASB sebagai standard setter kelas dunia yang kompeten. Namun di sisi lain, adopsi IFRS tersebut belum tentu dapat mengakomodasi karakteristik khusus suatu negara. Hal ini terjadi karena IASB sebagai standard setter dari IFRS memiliki anggota yang sebagian besar adalah negara maju. Oleh karena itu, IFRS belum tentu sepenuhnya sesuai apabila diimplementasikan di negara
26
yang memiliki karakteristik berbeda dengan negara maju, sehingga pengadopsian IFRS harus disesuaikan dengan karakteristik suatu negara agar proses harmonisasi dapat mengakomodasi perbedaan karakteristik negara tersebut (Wardhani, 2009). Perbedaan IFRS dan GAAP Ada beberapa perbedaan penggunaan standar akuntansi internasional (IFRS) dengan GAAP (Generally Accepted Accounting Principles), yaitu: 1. Nilai wajar Sebelum menggunakan standar akuntansi internasional (IFRS), akuntansi menggunakan historical cost untuk pengukuran transaksinya. Historical cost merupakan jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan atau nilai wajar imbalan lain yang diserahkan untuk memperoleh aset pada saat perolehan atau konstruksi, atau jika dapat diterapkan jumlah yang dapat diatribusikan langsung ke aset pada saat pertama kali diakui sesuai dengan persyaratan tertentu didalam PSAK lain (PSAK 19, revisi 2009). Kelemahan dari historical cost kurang mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Keunggulan dari historical cost adalah historical cost lebih objektif dan lebih verifiable karena didasarkan pada transaksi. Namun demikian, pihak manajemen bisa memanfaatkan kelemahan historical cost untuk melakukan manajemen laba, misalnya pada saat kinerja perusahaan sedang buruk apabila nilai wajar aset pada tanggal pelaporan lebih besar dari nilai tercatatnya maka pihak manajemen akan menjual aset tersebut sehingga ada keuntungan yang terjadi diakui di dalam laporan laba rugi (Ari, 2011). Pada saat menggunakan standar akuntansi internasional (IFRS), akuntansi menggunakan nilai wajar (fair value). Nilai wajar (fair value) adalah suatu jumlah yang dapat digunakan sebagai dasar pertukaran asset atau penyelesaian kewajiban antara pihak yang paham (knowledgeable) dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar (arm’s length transaction) (IAI, 2009). Keuntungan digunakan nilai wajar adalah pos-pos aset dan liabilitas yang dimiliki lebih mencerminkan nilai yang sebenarnya pada saat tanggal laporan keuangan. Namun, terdapat argumen yang menolak penggunaan nilai wajar yang menyatakan bahwa penggunaan nilai wajar menyebabkan volatilitas dalam laporan keuangan dan mengurangi prediksi dari laba. Jika penggunaan nilai wajar menyebabkan volatilitas yang tinggi hal tersebut sebenarnya hanya mengungkapkan realitas ekonomi yang sebenarnya (Siregar dalam Ari, 2011). 2. Principal based Sebelum konvergensi ke IFRS, FASB merumuskan US GAAP yang merupakan standar akuntansi yang digunakan di Indonesia. US GAAP merupakan standar yang rules based (berbasis aturan). Standar yang berbasis aturan akan meningkatkan konsistensi dan keterbandingan antar perusahaan dan antarwaktu, namun di sisi lain mungkin kurang relevan karena ketidakmampuan standar merefleksi kejadian ekonomi entitas yang berbeda antar perusahaan dan antar waktu. Semakin banyak aturan, maka aturan tersebut akan semakin memiliki banyak celah untuk dilanggar. Hal ini mengakibatkan aturan akan semakin banyak untuk menutup celah-celah yang lain. Standar yang detail juga menyediakan insentif bagi manajemen untuk mengatur transaksi sesuai hasil yang diharapkan berdasarkan aturan dalam standar. Auditorpun menjadi lebih sulit untuk menolak manipulasi yang dilakukan oleh manajemen ketika ada aturan detail yang menjustifikasinya. Disamping itu, standar yang detail tidak dapat memenuhi tantangan perubahan kondisi keuangan yang kompleks dan cepat. Standar yang detail juga
27
menyajikan dengan aturan, tapi tidak merefleksi kejadian ekonomi yang mendasarinya secara substansial (Ari, 2011). Sedangkan, standar akuntansi IFRS berbasis prinsip (principal based). Principal based merupakan pengaturan pada tingkat prinsip yang akan meliputi segala hal dibawahnya. Kelemahan principal based yaitu basis ini akan membutuhkan penalaran, judgement dan pemahaman yang cukup mendalam dari pembaca aturan dalam menerapkannya. Keunggulan basis ini yaitu dalam hal kemungkinan manajer memilih perlakuan akuntansi yang merefleksikan transaksi atau kejadian ekonomi yang mendasarinya, meskipun hal sebaliknya dapat terjadi (Ari, 2011). 3. Persyaratan pengungkapan yang lebih banyak dan lebih rinci IFRS mensyaratkan pengungkapan berbagai informasi tentang risiko, baik kualitatif maupun kuantitatif. Pengungkapan dalam laporan keuangan harus sejalan dengan data/informasi yang dipakai untuk pengambilan keputusan yang diambil oleh manajemen. Tingkat pengungkapan yang makin mendekati pengungkapan penuh (full disclosure) akan mengurangi tingkat asimetri informasi (ketidakseimbangan informasi). Ketidakseimbangan informasi antara manajer dengan pihak pengguna laporan keuangan. Asimetri informasi adalah kondisi dimana manajer mempunyai informasi superior dibandingkan dengan pihak lain (Ari, 2011). Oleh karena itu, disfunctional behavior akan dilakukan dengan melakukan manajemen laba oleh manajer terutama jika informasi tersebut terkait dengan pengukuran kinerja manajer. Manajemen Laba Manajemen laba (earning management) merupakan suatu kemampuan untuk ‘memanipulasi’ pilihan-pilihan yang tersedia dan mengambil pilihan yang tepat untuk dapat mencapi tingkat laba yang diharapkan (Belkaoui, 2004). Manajemen laba terjadi ketika para manajer menggunakan pertimbangan mereka dalam pelaporan keuangan dan struktur transaksi untuk mengubah laporan keuangan dengan tujuan menyesatkan beberapa pemangku kepentingan mengenai kondisi kinerja ekonomi perushaan atau untuk mempengaruhi hasilhasil kontraktual yang bergantung pada angka akuntansi yang dilaporkan. Earnings management sebagai intervensi dari pihak manajemen untuk mengatur laba yaitu dengan menaikkan atau menurunkan laba akuntansi dengan memanfaatkan atau kelonggaran penggunaan metode dan prosedur akuntansi (Ari, 2011). Karena standar akuntansi memperbolehkan perusahaan untuk memilih metode akuntansi. Tindakan manajemen untuk melakukan manajemen laba didorong oleh motivasi berikut (Watts & Zimmerman, 1990): 1. Bonus scheme motivation (bonus hypothesis) Kompensasi atau bonus yang didasarkan pada besarnya laba dilaporkan memotivasi manajemen mengatur laba secara oportunistik untuk memaksimalkan bonus mereka. Manajemen akan memilih prosedur akuntansi yang dapat melaporkan laba yang lebih tinggi (income increasing) guna memaksimalkan imbalan atau bonus yang akan diterimanya. 2. Debt covenant hypothesis Lending contracts yaitu kontrak pinjaman jangka panjang yang memiliki kewajiban (covenants) untuk memproteksi kreditor dari tindakan manajemen yang dapat merugikan mereka, seperti pembagian dividen yang berlebihan, pinjaman tambahan, dan tindakan lainnya yang membahayakan kepentingan kreditor. Oleh karena ini pelanggaran atas debt
28
3.
4.
5.
6.
7.
covenant dapat menimbulkan biaya yang besar bagi perusahaan, sehingga memotivasi untuk melakukan earnings management untuk menghindari pelangaran tersebut. Political atau size hypothesis Motivasi earnings management biasanya terjadi juga pada perusahaan yang sangat besar karena aktivitasnya berkaitan langsung dengan publik. Disamping itu, dapat juga terjadi pada perusahaan-perusahaan yang merupakan industri strategi seperti minyak dan gas, serta public utility lainnya, terutama yang erat kaitanya dengan isu monopoli. Perusahaanperusahaan tersebut cenderung menggunakan kebijakan dan prosedur akuntansi yang bertujuan untuk menurunkan laba (income decreasing). Hal ini dilakukan untuk mengurangi sorotan publik. Perpajakan (taxation) Aspek perpajakan merupakan motivasi yang paling jelas untuk melakukan earnings management. Manajemen berupaya mengatur laba untuk memperoleh tax saving. Meskipun demikian, otoritas pajak cenderung untuk menerapkan aturan akuntansi mereka dalam perhitungan pendapatan kena pajak, sehingga mengurangi ruang bagi perusahaan untuk melakukan earnings management. Pergantian Chief Executive Officer (CEO) Motivasi earnings management juga terjadi pada saat perhentian atau penggantian CEO. Para CEO yang akan berhenti bekerja (pension) memiliki insentif untuk meningkatkan laba yang dlaporkan guna memaksimalkan bonus terakhirnya. Sedang, bagi CEO yang memiliki kinerja buruk berusaha melakukan earnings management dengan meningkatkan laba agar mencegah atau menunda untuk diberhentikan. Alternatif lainnya adalah dengan melakukan pembebanan yang besar (taking a bath) untuk meningkatkan kemungkinan laba di masa mendatang pada saat CEO tersebut menjabat. Motivasi ini juga berlaku untuk CEO baru, khususnya bila write-off dalam jumlah yang besar dapat dilakukan dengan menyalahkan CEO sebelumnya. Initial Public Offering (IPO) Penggunaan secara luas informasi akuntansi oleh investor dan analisis keuangan untuk membantu menilai saham dapat menciptakan insentif bagi manajemen untuk memanipulasi laba dalam usaha mempengaruhi harga saham. Regulatory motivations Beberapa industri yang terikat dengan peraturan pengawasan yang ketat seperti bank dan asuransi seperti pemenuhan Capital Adequacy Ratio (CAR) dan Solvency Margin Ratio (SMR) dapat menciptakan insentif bagi manajemen untuk melakuan earnings management demi kepentingan pihak regulator.
Teknik dan pola manajemen laba dapat dilakukan dengan: 1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgement (perkiraan) terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi dan lain-lain 2. Mengubah metode akuntansi Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh: merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus. 3. Menggeser periode biaya atau pendapatan Contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan, antara lain: mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai pada periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode berikutnya,
29
mempercepat atau menunda pengiriman produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tak dipakai. Kerangka Pemikiran Standar akuntansi merupakan pedoman dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan. Indonesia sebagai negara yang berkembang membutuhkan standar akuntansi yang baik dan berkualitas yang dapat bersaing di pasar global, sehingga pengadopsian IFRS merupakan salah satu solusi terbaik dibandigkan dengan standar akuntansi Amerika (US GAAP). Ini dilihat dari beberapa negara Afrika dan lainnya yang terlebih dahulu telah mengadopsi IFRS. Pedekatan principel based yang diusung oleh IFRS dipercaya dapat lebih meningkatkan kualitas informasi dalam laporn keuangan karena pedekatan ini akan mempersempit ruang manajer untuk melakukan tindakan manajemen laba. Berdasarkan landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya, berikut disajikan kerangka pemikiran teoritis yang dituangkan dalam penelitian seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut ini. Gambar 1. Kerangka Pemikiran Sebelum Adopsi IFRS Manajemen Laba
Setelah Adopsi IFRS
Pengembangan Hipotesis Standar akuntansi internasional bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan komparabilitas pelaporan keuangan negara. Terdiri dari satu set berkualitas tinggi standar pelaporan keuangan, IFRS menghilangkan banyak alternatif akuntansi yang diijinkan, dan diharapkan untuk membatasi manajemen keleluasaan untuk memanipulasi laba, sehingga meningkatkan kualitas laba (Cai et.al., 2008). Adanya batasan manajemen, maka semakin sedikit pula pilihan-pilihan metode akuntansi yang diterapkan, sehinga dapat meminimalisir kemungkinan manajemen untuk melakukan manajemen laba yang sebelumnya manajer mempunyai fleksiblitas dalam memilih metode akuntansi, sehingga manajemen mempunyai peluang untuk memilih metode akuntansi yang dapat digunakan untuk meninkatkan, menurunkan atau meratakan laba. Dengan kata lain, manajemen dapat memanfaat peluang tersebut untuk melakukan manajemen laba yang bisa menguntungkan dirinya sendiri. Dengan demikian, perusahaan yang mengadopsi IFRS akan menurunkan tindakan manajemen laba karena terdapat pembatasan pertimbangan kebijakan manajemen dalam memilih metode akuntansi yang semakin sedikit ketika perusahaan telah mengadopsi IFRS.
30
Berdasarkan teori mengenai perbedaan IFRS dan GAAP juga dijelaskan bahwa penerapan IFRS juga berdampak pada persyaratan pengungkapan yang lebih banyak dan lebih rinci. Pengungkapan dalam laporan keuangan harus sejalan dengan data atau informasi yang dipakai untuk pengambilan keputusan. Tingkat pengungkapan yang semakin mendekati pengungkapan penuh (full disclousure) akan mengurangi tingkat asimetri informasi (ketidakseimbangan informasi). Asimetri informasi merupakan ketidakseimbangan informasi antara manajer (agent) dan investor (principal), dimana manajer memiliki lebih banyak informasi dibandingkan dengan investor dikarenakan manajer memiliki akses yang lebih (Ari, 2011). Asimetri informasi memberikan peluang kepada manajer untuk memberikan informasi keuangan yang tidak sesungguhnya, apalagi jika informasi tersebut berhubungan dengan pengukuran kinerja. Manajer tentu ingin memperlihatkan kinerja yang bagus pada investor agar investor percaya dan tetap menanam modalnya pada perusahaan, namun investor tidak begitu saja percaya informasi yang diberikan oleh manajer, sehingga investor perlu untuk mengeluarkan biaya tambahan. Dengan mengadopsi IFRS, asimentri informasi dapat dikurangi karena IFRS mengharuskan untuk memberikan pengungkapan yang lebih banyak dan lebih rinci, sehingga manajer mempunyai peluang sedikit untuk melakukan manajemen laba. Hipotesis: Terdapat perbedaan manajemen laba antara perusahaan sebelum dan setelah mengadopsi IFRS. METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah pendekatan ilmiah terhadap pengambil keputusan manajerial dan ekonomi. Pendekatan kuantitatif berasal dari data yang diperoleh dari laporan keuangan. Data kuantitatif adalah data yang diukur dalam suatu skala numeric (angka). Kesesuaian dalam menggunakan metode kuantitatif ini biasanya menghasilkan solusi yang tepat, ekonomis, dapat diandalkan, cepat, mudah untuk digunakan dan dimengerti. Metode analisis data menggunakan model independent sample t-test untuk menguji perbedaan tingkat manajemen laba sebelum dan sesudah adopsi (penerapan) IFRS dengan menggunakan uji beda t-test. Menggunakan bantuan program SPSS 16.0 for windows. Hasil penelitian berupa analisis statistik deskriptif dan teknik pengujian hipotesis. Populasi dan Sampel Populasi penelitian dalam penelitian ini adalah perusahaan sektor jasa yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dimulai pada tahun 2010-2014. Sampel adalah bagian dari populasi yang dinilai dapat mewakili karakteristiknya. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode purposive sampling, yaitu pengambilan sampel sesuai dengan kriteria tertentu. Adapun kriteria pengambilan sampel sebagai berikut.
31
Tabel 1. Kriteria Pengambilan Sampel No 1 2 3 4
Keterangan Perusahaan terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang termasuk kategori perusahaan sektor jasa dan mempublikasi laporan keuangan pada tahun 2010-2014 Perusahaan yang tidak menyampaikan laporan keuangan dan data yang lengkap pada tahun 2010- 2014 Perusahaan yang tidak Menyajikan laporan keuangan dalam jumlah rupiah pada tahun 2010-2014 Perusahaan yang belum mengadopsi IFRS dalam menyajikan laporan keuangan pada tahun 2014 Total
Jumlah 158 (35) (14) (6) 103
Pengukuran Variabel Dependen Manajemen laba dalam penelitian ini menggunakan proksi discretionary accruals. Beberapa model dari discretionary accruals telah dikembangkan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Discretionary accruals dalam penelitian ini menggunakan model yang dikembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976) yaitu menghitung discretionary accruals dengan melakukan regresi secara cross-sectional. Penggunaan discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba dihitung dengan menggunakan model: Tat = NI - CFO…………………………..(1) Nilai Total Accrual (TAt) yang diestimasi dengan persaman regresi OLS sebagai berikut.
Dengan menggunakan koefisien regresi diatas nilai Non-Discretionary Accruals (NDAC) dapat dihitung dengan rumus.
Selanjutnya Discretionary Accrual (DAt) dapat dihitung sebagai berikut.
Keterangan: DAt = Discretionary Accruals perusahaan i pada periode t. NDAt = Non-Discretionary Accruals pada tahun t TAt = Total accruals perusahaan i pada periode t NI = Laba bersih perusahaan i pada periode t CFO = Arus kas dari aktivitas perusahaan i pada periode t At-1 = Total aset untuk sampel perusahaan i pada akhir tahun t-1 REVt = Perubahan pendapatan perusahaan i dari tahun t-1 ke tahun t RECt = Perubahan piutang perusahaan i dari tahun t-1 ke tahun t PPEt = Aktiva tetap (gross property plant and equipment) perusahaan tahun t
32
Pengukuran Variabel Independen Variabel independen dalam penelitian ini adalah adopsi IFRS yang proksikan dengan menggunakan variabel dummy dengan kategori 1 untuk laporan keuangan yang adopsi IFRS, dan 0 untuk laporan keuangan yang tidak adopsi IFRS. Analisis Data Analisis data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh responden atau sumber data lain terkumpul. Kegiatan dalam analisis data adalah mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variabel seluruh responden, menyajikan data setiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah dan melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan. Dalam penelitian ini, untuk mengukur manajemen laba digunakan model Jones Selanjutnya perbedaan manajemen laba sebelum dan sesudah adopsi IFRS akan dibandingkan dengan uji beda (independent sample t-test) dengan alat bantu SPSS, sehingga dapat diketahui apakah terdapat perbedaan manajemen laba sebelum dan sesudah mengadopsi IFRS. Uji Normalitas Shapiro-Wilk Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel penganggu atau residual memiliki distribusi normal (Ghozali, 2011). Uji normalitas yang digunakan yaitu Shapiro-Wilk dengan menggunakan taraf signifikan 0,05. Dasar penarikan kesimpulan adalah data dikatakan berdistribusi normal apabila ρ-shapiro-wilk test > 0,05 (Ghozali, 2011). Uji Homogenitas of Variance Test Sebelum melakukan uji beda t-test, harus dilakukan uji kesamaan varians atau homogenitas of variance test dengan menggunakan SPSS. Jika varians populasi kedua sampel sama, maka analisis uji beda t-test harus menggunakan asumsi equal variance assumed. Sebaliknya, jika varians populasi kedua sampel tidak sama, maka analisis uji beda t-test harus menggunakan asumsi equal variance not assumed. Berikut ini langkah-langkah homogenitas of variance tes. a. Menentukan hipotesis H0: varians populasi antara manajemen laba sebelum dan setelah adopsi IFRS adalah tidak sama. H1: varians populasi antara manajemen laba sebelum dan setelah adopsi IFRS adalah sama. b. Pengambilan keputusan 1. Jika sig > 0,05 maka H0 diterima, jadi varians sama. 2. Jika sig < 0,05 maka H0 ditolak, jadi varians berbeda.
33
Uji Beda Rata-Rata Dua Sampel Independen (Independent Sample t-test) Setelah diketahui apakah varians populasi kedua sampel sama atau tidak, langkah kedua adalah menentukan apakah terdapat perbedaan nilai rata-rata secara signifikan. Berikut ini langkah-langkah uji beda rata-rata dua sampel independen (independent sample t-test) . a. Menentukan hipotesis H0: tidak terdapat perbedaan yang signifikan manajemen laba sebelum dan setelah adopsi IFRS. H1: terdapat perbedaan yang signifikan manajemen laba sebelum dan setelah adopsi IFRS. b. Menentukan taraf signifikansi Uji hipotesis menggunakan uji dua pihak (two tail test) dengan taraf signifikansi α = 5%. Bila peluang kesalahan α = 5%, maka taraf kepercayaannya 95%. Artinya kesalahan pengambilan keputusan dalam menolak hipotesis yang benar adalah maksimal 5%. c. Menentukan t tabel Tabel distribusi t dicari pada a = 5% : 2 = 2,5% (uji 2 sisi) dengan derajat kebebasan (df) n-2 atau 20-2 = 18. Dengan pengujian 2 sisi (signifikansi = 0,025) lalu membandingkan thitung dengan t-tabel dan probabilitas. HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitan Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh perusahaan Jasa yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dari tahun 2010 dan 2014. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu perusahaan jasa yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan periode pengamatan dalam penelitian dari tahun 2010 dan 2014 dan tidak melakukan delisting selama periode tersebut. Perusahaan yang dijadikan sampel dalam perusahaan ini dikumpulkan dengan menggunakan metode purposive sampling. Berdasarkan metode purposive sampling, maka kriteria perusahaaan yang dijadikan sampel dalam penelitian ini yaitu perusahaan jasa yang memiki data lengkap sesuai dengan variabel yang digunakan dalam penelitian ini, perusahaan-perusahaan jasa yang telah menerapkan IFRS pada tahun 2014 dan perusahaan-perusahaan jasa yang pada tahun 2010 yang belum menerapkan IFRS serta dipilih perusahaan yang menggunakan pelaporan dengan menggunakan mata uang Rupiah. Dengan kriteria yang telah ditetapkan di awal penelitian, jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 103 perusahaan dengan jumlah observasi sebanyak 206 observasi. Statistik deskriptif merupakan analisis data yang menggambarkan data atau variabel yang akan digunakan dalam suatu penelitian. Pada penelitian ini, statistik deskriptif yang digunakan meliputi, nilai rata-rata (mean), maksimum, minimum dan standar deviasi (Ghozali, 2011). Deskriptif statistik dalam penelitian ini digunakan untuk menggambarkan seluruh variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Variabel tersebut meliputi variabel dependen yaitu manajemen laba yang diukur dengan Discretionary Accruals (DAt) dan variabel independen yaitu IFRS yang diukur dengan menggunakan variabel dummy, dimana nilai 1 untuk perusahaan yang telah mengadopsi IFRS dan nilai 0 untuk perusahaan yang belum mengadopsi IFRS. Deskriptif statistik pada penelitian ini disajikan pada tabel berikut.
34
Tabel 2. Statistik Deskriptif Variabel Penelitian N Minimum Maximum Mean Std. Deviation -.8793 .9459 . 012969 . 1880485 sebelum adopsi IFRS 103 -.9306 .9625 . 184667 . 2924782 setelah adopsi IFRS 103 Valid N (listwise)
103
Sumber: data diolah. Dari tabel statistik deskriptif, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata kualitas laba sebelum adopsi IFRS adalah 0,0129 dan setelah adopsi IFRS 0,1846. Selisih nilai rata-rata discretionary accrual antara sebelum dan sesudah adopsi IFRS berkisar 0,1717. Nilai discretionary accrual yang semakin mendekati angka 0 menandakan bahwa kualitas laba semakin baik. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa rata-rata kualitas laba sebelum adopsi IFRS lebih baik dibandingkan sesudah adopsi IFRS. Sebelum adopsi IFRS, nilai kualitas laba terendah adalah -0,879 dan kualitas laba tertinggi adalah 0,945. Sedangkan, sesudah adopsi IFRS, nilai kualitas laba terendah adalah -0,930 dan tertinggi adalah 0,962. Uji normalitas yang dilakukan adalah dengan menguji seluruh variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Untuk menguji apakah suatu data terdistribusi secara normal menggunakan Shapiro-Wilk, dimana data dikatakan memiliki distribusi normal jika nilai Sig. 5% atau 0,05 (Ghozali, 2011). Hasil pengujian normalitas untuk seluruh variabel disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 3 Hasil Uji Normalitas Data Shapiro-Wilk IFRS Statistic Df Sig. manajemen laba sebelum adopsi IFRS .979 103 .157 setelah Adopsi IFRS .977 103 .535 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
Sumber: data diolah. Berdasarkan dari tabel hasil uji normalitas data, nilai signifikansi untuk prusahaan yang telah mengadopsi IFRS sebesar 0.535 dan 0.157 untuk perusahan yang belum mengadopsi IFRS. Karena nilai signifikan sebelum dan setelah adopsi IFRS lebih besar dari 0.05 atau 5%, maka data dalam penelitian dianggap telah terdistribusi normal dan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji beda rata-rata dua sampel independen (independent sample t-test) dalam penelitian ini dapat dilakukan. Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah beberapa varian populasi adalah sama atau tidak. Uji ini dilakukan sebagai prasyarat dalam analisis independent sample t-test. Asumsi yang mendasari dalam analisis varians adalah bahwa varians dari populasi adalah sama. Sebagai kriteria pengujian, jika nilai signifikansi lebih dari 0,05 maka dapat dikatakan bahwa varians dari dua atau lebih kelompok data adalah sama. Hasil pengujian homogenitas untuk seluruh variabel disajikan pada tabel berikut.
35
Tabel 4 Hasil Uji Homogenitas Data Levene Statistic df1 df2 Sig. .097 1 206 .756
Sumber: data diolah. Berdasarkan hasil uji homogenitas data, dimana nilai sinifikan < 0,05 yang berarti bahwa populasi variabel yang digunakan dalam penelitian ini tidak sama, sehingga H1 ditolak dan H0 diterima. H0: Varians populasi antara manajemen laba setelah dan sesudah adopsi IFRS adalah sama. H1: Varians populasi antara manajemen laba setelah dan sesudah adopsi IFRS adalah berbeda. Jika dilihat dari nilai levene statistic sebesar 0.097 cukup kecil , dimana semakin kecil nilai levene statistic maka semakin kecil homogenitas antara variabel, karena uji homogenitas menunjukkan varians populasi sama, maka analisis uji beda t-test harus menggunakan asumsi equal variance assumed. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan manajemen laba sebelum dan setelah adopsi IFRS terhadap. Untuk membuktikan hal tersebut, terdapat beberapa hipotesis yang dikembangkan. hipotesis akan diuji dengan menggunakan uji beda rata-rata dua sampel independen (independent sample t-test) Hasil pengujian dapat dilihat dari tabel berikut ini. Tabel 5 Hasil Independent sample t-test untuk Pengujian Hipotesis Group Statistics Variabel DAt
N Mean Std. Deviation Std. Error Mean .927353801 sebelum adopsi IFRS 103 4.84426165 3.277610761 .116202106 setelah adopsi IFRS 103 .29146298 1.179322569 Independent Samples Test Manajemen Laba Equal variances Equal variances not assumed assumed
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means Mean Difference
5.495
F
.020
Sig. T Df Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the Difference
Sumber: data diolah.
Lower
-2.482 204 .014 -.296307240 .119378222 -.531680611
-2.482 113.270 .015 -.296307240 .119378222 -.532810937
Upper
-.060933870
-.059803543
36
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan independent sample t-test menyatakan bahwa H1 terdapat perbedaan yang signifikan manajemen laba pada perusahaan yang telah mengadopsi IFRS dan perusahaan yang belum mengadopsi IFRS diterima dengan tingkat Sig. (2-tailed) equal variances assumed sebesar 0.014 < 0.05. Sedangkan, H0 tidak terdapat perbedaan yang signifikan manajemen laba pada perusahaan yang belum mengadopsi IFRS dan perusahaan yang telah mengadopsi IFRS ditolak. Pembahasan Dari hasil paparan sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan perilaku manajemen laba sebelum dan setelah adopsi International Financial Reporting Standard (IFRS). Dari hasil variabel sebelum dan setelah adopsi IFRS dapat disimpulkan bahwa sebelum dan setelah adopsi IFRS memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini tebukti pada nilai t-hitung equal variances assumed (-2.482) lebih kecil dari t-tabel (1,972) akan tetapi nilai Asymp. Sig. (2-tailed) (0.014) lebih kecil dari (0,05). Karena nilai Sig (2-tailed) yang lebih kecil dari 0,05, maka keputusan yang dapat diambil adalah adalah H0 ditolak. Hasil uji hipotesis dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan manajemen laba yang signifikan antara sebelum dan setelah adopsi IFRS. Nilai rata-rata (mean diference) sebelum adopsi IFRS 4.844, sedangkan nilai rata-rata setelah adopsi IFRS adalah 0.291 dengan kisaran perbedaan 4.553. Karena nilai t-hitung menunjukkan tanda negatif yang berarti bahwa rata-rata manajemen laba setelah adopsi IFRS lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata manajemen laba sebelum adopsi IFRS. Perbedaan rata-rata adalah (mean diference) sebesar 4.553 dan perbedaan berkisar antara -0.53 sampai -0.06 ini terlihat dari lower dan upper. Perbedaan ini kemungkinan karena perubahan setelah adopsi IFRS menjadi bersifat principle based, lebih banyak menggunakan nilai wajar, dan pengungkapan yang lebih banyak (full disclosure) diduga menjadi penyebab perbedaan kualitas laba. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa suatu standar yang diterapkan dapat menjadi salah satu penyebab perbedaan kualitas laba perusahaan di Indonesia. Hasil penelitian ini telah mendukung hipotesis yang telah dikembangkan dalam penelitian ini. Dapat dikatakan bahwa suatu standar yang diterapkan dapat menjadi salah satu penyebab perbedaan manajemen laba yang terjadi pada perusahaan jasa di Indonesia. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa terbukti ada perbedaan yang signifikan manajemen laba pada perusahaan yang telah mengadopsi IFRS dan perusahaan yang belum mengadopsi IFRS. Perbedaan ini kemungkinan karena perubahan setelah adopsi IFRS menjadi bersifat principle based, lebih banyak menggunakan nilai wajar, dan pengungkapan yang lebih banyak (full disclosure) diduga menjadi penyebab perbedaan kualitas laba. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa suatu standar yang diterapkan dapat menjadi salah satu penyebab perbedaan kualitas laba perusahaan di Indonesia. Hasil penelitian ini telah mendukung hipotesis yang telah dikembangkan dalam penelitian ini, dapat dikatakan bahwa suatu standar yang diterapkan dapat menjadi salah satu penyebab perbedaan manajemen laba yang terjadi pada perusahaan jasa di Indonesia.
37
DAFTAR PUSTAKA Ari, D.C. 2011. Peluang Manajemen Laba Pasca Konvergensi IFRS: Sebuah Tinjauan Teoritis dan Empiris. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, 2 (1). Cai, L., Rahman, A., & Courtenay, S. 2008. The Effect of IFRS and it’s Enforcement on Earnings Management: An International Comparison. Massey University. Http://Ssrn.Com/Abstract=1473571. Diakses pada 13 Februari 2105. Debby, F. 2007. Pengaruh Aktivitas Dan Financial Literacy Komite Audit Terhadap Jenis Manajemen Laba. Simposium Nasional Akuntansi X. Makassar. Dian & Titik. 2012. Pengaruh Konvergensi IFRS Terhadap Income Smoothing Dengan Kualitas Audit Sebagai Variabel Moderasi. Simposium Nasional Akuntansi XV. Banjarmasin. Ghozali, I. 2011. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. IAI. 2009. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat. Jensen, M.C & Meckling, W.H. 1976. Theory of the Firm, Managerial Behavior, Agency Costs & Ownership Structure. Journal of Financial Economics, 3 October: 305-360. Nata, Y.O. 2014. Pengaruh Adopsi IFRS dan Hubungan Antara Adopsi IFRS dan Kualitas Audit Terhadap Manajemen Laba. Skripsi. Bengkulu: Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Jurusan Akuntansi Universitas Bengkulu. Petreski. 2005. The Impact of International Accounting Standards on Firms. Http://Spicaalmilia.Files.Wordpress.Com. Diakses pada 13 Februari 2015. Panggabean, R.R. 2007. Studi Banding PSAK Dengan IFRS: Menghadapi Penerapan IFRS Secara Menyeluruh di Indonesia. Tesis. Jakarta: Program Studi Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Roychowdhury, S. 2006. Earnings Management Through Real Activities Manipulation. Journal of Accounting and Economics. 42: 335-370. Wardhani, R. 2009. Pengaruh Proteksi Bagi Investor, Konvergensi Standar Akuntansi, Implementasi Corporate Governance, dan Kualitas Audit Terhadap Kualitas Laba: Analisis Lintas Negara di Asia. Disertasi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Program Pasca Sarjana Ilmu Akuntansi Universitas Indonesia. Watts, R.L., & Zimmerman, J.L. 1990. Positive Accounting Theory: A Ten Year Perspective. The Acounting Review, 65(1): 131–156.