Prosiding Seminar Lignoselulosa 2016 Cibinong, 6 Oktober 2016
Pengaruh prehidrolisis asam asetat terhadap komposisi kimia bambu duri (Bambusa blumeana J.A. and J.H. Schultes) Kanti Dewi Rizqiani*, Eka Novriyanti, Dodi Frianto Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan, Kuok-Riau Indonesia *email korespondensi:
[email protected] Abstrak Bambu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang memiliki banyak potensi untuk dikembangkan, diantaranya sebagai bahan baku alternatif pembuatan serat. Prehidrolisis digunakan sebagai pra-perlakuan dissolving pulp untuk memproduksi viscose pulp. Pada penelitian ini,bambu duri (Bambusa blumeana) dihidrolisis dengan asam asetat 0%; 2,5%; dan 5% dan dimasak pada suhu maksimum ±100 oC dengan menggunakan ketel pemasak. Sedangkan untuk pengamatan dan pengukuran serat dilakukan maserasi serat dengan metode FPL (Forest Product Laboratory). Berdasarkan hasil penelitian, bambu duri memiliki panjang serat, diameter serat, diameter lumen berturut-turut sebesar 2621,49 µm; 18,48 µm; dan 6,20 µm. Berdasarkan klasifikasi kualitas pulp, secara keseluruhan nilai turunan dimensi serat bambu duri berada pada kelas II. Berdasarkan kandungan kimia, bambu dengan prehidrolisis asam asetat 2,5% menunjukkan hasil yang terbaik dengan nilai holoselulosa, alfa-selulosa, dan lignin berturut-turut sebesar 82,23%; 49,26%; dan 9,09%. Kata kunci: asam asetat; bambu duri; prehidrolisis; pulp Effect of acetic acid prehydrolysis on chemical composition of thorn bamboo (Bambusa blumeana J.A. and J.H. Schultes) Bamboo is one of non timber forest products which has so many potential to develop, such as an alternative raw material for pulping production. Prehydrolysis was used as first treatment of dissolving pulp for producing viscose pulp. In this research, thorn bamboo (Bambusa blumeana) was hydrolysed in 0%; 2.5%; and 5% acetic acid and cooked at max 100 oC by stainless steel kettle. Observation and measurement of the fiber were studied by fiber maceration with FPL (Forest Product Laboratory) method. The results showed that the length fiber, the fiber width and the lumen width were 2621.49 µm; 18.48 µm; and 6.20 µm, respectively. Based on classification of pulp quality, the derived value of thorn bamboo fiber was in the class II. Based on chemical composition, the thorn bamboo which was hydrolysed by 2.5% acetic acid had the best result with the amount of holocellulose, alpha-cellulose, and lignin was 82.23%; 49.26%; and 9.09%, respectively. Keywords: acetic acid; prehydrolysis; pulp; thorn bamboo Pendahuluan Dewasa ini, kayu menjadi bahan baku dalam produksi pulp dan kertas di dunia, faktanya 90-95% hasil pulp dihasilkan oleh bahan baku kayu. Perkembangan industri pulp di Indonesia telah menimbulkan tingkat permintaan yang tinggi terhadap serat kayu. Penggunaan kayu sebagai bahan baku utama pembuatan pulp telah membuat persediaan kayu menipis dan menyebabkan deforestasi besarbesaran sehingga terjadi ketidakseimbangan ekologi (Behin et al., 2008). Bagaimanapun, persediaan kayu yang tidak dapat mencukupi produksi menyebabkan industri harus mencari alternatif sumber serat dari tumbuhan non kayu. Serat tumbuhan non kayu biasanya mengandung lignin yang lebih rendah dibandingkan dengan serat tumbuhan berkayu. Bambu merupakan salah satu hasil hutan non kayu dari jenis tanaman rumputrumputan yang memiliki karakteristik dasar yang tidak jauh berbeda dengan kayu, bahkan dalam 29
Prosiding Seminar Lignoselulosa 2016 Cibinong, 6 Oktober 2016
beberapa hal memiliki keunggulan dan karakteristik yang khas yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku alternatif dalam industri pengolahan berbasis kayu. Di Indonesia, pemanfaatan bambu masih terfokus kepada pemenuhan kebutuhan furnitur, konstruksi, serta berbagai kerajinan tangan. Dengan mengarah kepada morfologi bambu, dapat diindikasikan bahwa bambu memiliki serat yang panjang dan dinding sel yang tebal (Fatriasari & Hermiati, 2008). Kekuatan serat bambu telah dimanfaatkan untuk pembuatan kertas berharga dan produk bernilai tinggi lainnya seperti selulosa ester, selulosa ether, dan serat tekstil (Christov et al., 1998). Besarnya potensi bambu di Indonesia dan tingginya kualitas serat bambu telah mendorong penelitian untuk memanfaatkan potensi bambu ini. Salah satu jenis bambu yang pemanfaatannya masih kurang optimal padahal ketersediaannya di alam cukup melimpah adalah bambu duri (Bambusa blumeana). Mengingat potensi yang cukup besar dari bambu duri sebagai bahan baku pulp, maka penelitian ini dilakukan. Prehidrolisis dilakukan untuk memproduksi dissolving pulp dalam proses kraft yang efisien untuk menghilangkan hemiselulosa. Selama proses prehidrolisis tersebut, hemiselulosa, lignin, dan organik lainnya akan terlarut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi perlakuan prehidrolisis terbaik yang akan digunakan untuk proses dissolving pulp bambu duri selanjutnya. Bahan dan Metode Penelitian ini dilakukan di beberapa lokasi yaitu Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan-Kuok, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan-Bogor, dan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini meliputi persiapan bahan baku (bambu duri), prehidrolisis, morfologi serat bambu duri, serta pengujian sifat kimia serpih. Bahan yang digunakan adalah bambu duri yang diambil dari Bukittinggi, Sumatera Barat. Sedangkan bahan kimia yang dibutuhkan yaitu aquades, asam asetat glacial (CH3COOH), hidrogen peroksida (H2O2), dan safranin o dan bahanbahan pengujian sifat kimia pulp. Adapun peralatan yang digunakan adalah peralatan potong, ketel stainless steel, holander beater, mikroskop, object dan cover glass serta peralatan pengujian sifat kimia pulp. Persiapan serpih bambu Sebanyak 7 buluh bambu duri yang diperkirakan telah berumur lebih dari 3 tahun dengan diameter hampir seragam ditebang. Batang bambu dibuat sortimen dengan membuang buku sehingga yang tersisa hanya ruasnya saja. Ruas tersebut dikuliti dan dibuang bagian empulur yang lunak kemudian dibuat serpih dengan ukuran ±2,5 x 2,5 x 0,5 cm. Serpih ini kemudian dikeringkan dan dicatat kadar airnya. Serpih bambu kemudian disimpan dalam kantong plastik hingga saat akan dimasak agar kadar airnya tidak berubah. Perlakuan hidrolisis serpih Serpih bambu duri yang telah dipersiapkan sebelumnya diberi perlakuan awal yaitu: tanpa prehidrolisis (asam asetat 0%), prehidrolisis dengan asam asetat 2,5%, dan 5,0%. Perlakuan prehidrolisis dilakukan dengan kondisi sebagai berikut: rasio serpih dan cairan adalah 1:5, pemasakan dilakukan dengan menggunakan ketel stainless steel di atas kompor gas sehingga suhu maksimum adalah kurang lebih 100 oC, waktu pemasakan adalah 60 menit pada temperatur maksimum tersebut (modifikasi Li et al., 2015). Serpih kemudian digiling dengan menggunakan beater selama 10-15 menit atau hingga serat dinilai cukup terpisah. Maserasi serat bambu Preparat maserasi dibuat dengan menggunakan metode FPL (Forest Product Laboratory) yang disitir dalam Rulliaty (2014). Serpih bambu sebesar batang korek api dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi larutan hidrogen peroksida 35% dan asam asetat glasial 60% dengan perbandingan 30
Prosiding Seminar Lignoselulosa 2016 Cibinong, 6 Oktober 2016
1:1, kemudian dipanaskan di dalam waterbath pada temperatur 60 oC. Serat yang sudah terpisah kemudian dicuci dengan air suling hingga bebas asam, lalu diwarnai dengan pewarna safranin o. Serat yang telah diwarnai didiamkan selama 24 jam kemudian didehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat (10%, 30%, 50%). Serat kemudian dimuat ke dalam gelas objek dan disebarkan merata lalu ditutup dengan cover glass. Pengukuran dimensi serat dilakukan dengan menggunakan mikroskop berskala. Pengukuran panjang serat dilakukan pada perbesaran 4x dengan skala 500µm sedangkan pengukuran diameter serat dan diameter lumen dilakukan pada perbesaran 10x dengan skala 50µm. Jumlah serat yang diukur adalah sebanyak 50 serat. Data hasil pengamatan dan pengukuran dimensi serat diolah dan disajikan secara deskriptif. Kualitas serat dinilai berdasarkan dimensi serat bambu duri meliputi panjang serat, diameter serat, diameter lumen, tebal serat, serta turunan dimensi serat (runkel ratio, felting power, muhlsteph ratio, flexibility ratio, dan coefficient of rigidity). Pengujian sifat kimia serpih Komposisi kimia bambu hasil hidrolisis ditentukan dengan sifat kimia serpih, yaitu meliputi kandungan selulosa, lignin, holoselulosa, kadar abu, dan silika. Metode pengujian sifat kimia serpih merujuk kepada standar TAPPI (1996). Dari hasil analisis kimia, dipilih satu perlakuan yang paling baik, yakni kandungan selulosa tertinggi, lignin dan kadar abu terendah. Hasil dan Pembahasan Rendemen bambu berdiri Bagian yang digunakan meliputi batang diluar buku, kulit dan empulurnya yang lunak yang dapat dibuat menjadi serpih berukuran kurang lebih 2,5 x 2,5 x 0,5 cm (Gambar 1). Dari satu batang bambu duri diperoleh rata-rata 66,01% bagian yang dapat digunakan (Tabel 1). Jenis bambu duri ini merupakan jenis bambu yang jarang dimanfaatkan karena memiliki duri pada cabang-cabangnya dan membentuk rumpun padat sehingga menyulitkan untuk pemanenannya seperti yang disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Proses pembuatan serpih bambu Tabel 1. Rendemen batang bambu duri berdiri No 1 2 3 4
Berat Total (gram) 1215,38 1267,39 1277,92 1148,61
Bongkol (gram) 140,42 128,99 199,27 193,71
Kulit (gram) 137,10 134,89 136,30 151,69 Rerata
Empulur (gram) 94,32 88,64 96,18 76,96
Bambu (gram) 822,85 875,02 818,81 726,25
Rendemen (%) 67,70 69,04 64,07 63,23 66.01
31
Prosiding Seminar Lignoselulosa 2016 Cibinong, 6 Oktober 2016
Gambar 2. Rumpun bambu duri (Bambusa blumeana) Dimensi serat bambu dan turunannya Bambu merupakan tumbuhan monokotil yang berbuku-buku. Rata-rata panjang serat bambu berada diantara 1,5-2,5 mm dimana lebih pendek jika dibandingkan dengan serat kapas dan serat kayu daun jarum tetapi memiliki panjang serat yang hampir sama dengan kayu daun lebar. Serat bambu termasuk ke dalam kelompok serat panjang dan dikategorikan ke dalam kelas mutu I untuk pulp. Salah satu hasil pengukuran dimensi serat dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil dimensi serat dari bambu duri diperlihatkan pada Tabel 2. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa bambu duri memiliki panjang serat sebesar 2621,49 µm. Panjang serat bambu duri termasuk ke dalam rentang serat kelas I yakni 2340 µm3240 µm. Serat panjang dari kayu maupun non kayu dapat menghasilkan kadar dan kekuatan selulosa yang tinggi. Diameter serat dan tebal serat pada bambu duri adalah 18,48 µm dan 6,14 µm. Jika dibandingkan dengan enam jenis bambu lainnya (bambu tali, hitam, kuning, andong, betung dan ampel) pada Fatriasari & Hermiati (2008), bambu duri memiliki diameter serat dan ketebalan serat yang paling kecil. Serat berdinding tipis akan lebih mudah untuk menghasilkan pulp dan lembaran kertas dengan kekuatan jebol yang lebih baik dibandingkan dengan serat berdinding tebal. Sebaliknya, serat berdinding tebal akan menghasilkan lembaran dengan kekuatan sobek yang tinggi dan kekuatan tarik yang kecil (Ma et al., 2011; Nurrahman & Silitonga, 1972).
(a) (b) Gambar 3. Pengukuran dimensi serat (a) panjang serat perbesaran 4x (b) diameter serat dan diameter lumen perbesaran 10x. Skala (a) 500 µm, (b) 50 µm. Selain dimensi serat (panjang serat), persyaratan serat untuk bahan baku pulp dan kertas juga ditentukan berdasarkan nilai turunan dimensi serat Nilai turunan dimensi serat (bilangan Runkel, perbandingan Muhlsteph, perbandingan fleksibilitas, daya tenun, dan koefisien kekakuan) dan nilai kelas untuk bambu duri dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2, nilai Runkel ratio bambu duri sebesar 2,19 dan berada pada kelas IV. Hal ini diduga karena bambu temasuk kelompok non kayu sehingga memiliki sifat anatomi dan kriteria tersendiri yang untuk beberapa sifat berbeda dengan kriteria penilaian pada kayu (Fatriasari & Hermiati, 2008). Nilai daya tenun yang dimiliki bambu duri adalah sebesar 147,47 dan termasuk ke dalam kelas I. Dengan nilai daya tenun yang besar, maka akan semakin tinggi kekuatan sobek dan daya tenun seratnya. Bambu duri memiliki Muhlsteph, perbandingan 32
Prosiding Seminar Lignoselulosa 2016 Cibinong, 6 Oktober 2016
fleksibilitas, daya tenun, dan koefisien kekakuan pada kelas III dengan nilai berturut-turut 0,89; 0,34; dan 0,33. Nilai perbandingan fleksibilitas menyebabkan serat memiliki kekuatan panjang putus (kekuatan tarik) yang baik dan tidak kaku (Fatriasari & Hermiati, 2008). Berdasarkan hasil turunan dimensi serat, bambu duri berada pada kelas II dengan total nilai 275. Tabel 2. Klasifikasi kualitas dan kelas serat bambu duri Dimensi dan Turunan Serat
No
Klasifikasi Kualitas Pulp LPHH I II III (100) (50) (25)
Rata-Rata
Nilai
Kelas
2621,49 ± 179,10
100
I
1
Panjang Serat (µm)
>2000
1000-2000
2
Diameter Serat (µm)
-
-
-
18,48 ± 4,14
-
-
3
Diameter Lumen (µm)
-
-
-
6,20 ± 2,47
-
-
4
Tebal Dinding (µm)
-
-
-
6,14 ± 1,16
-
-
5
Runkle Ratio
<0,25
0,25-0,5
>0,5-1
2,19
-
-
6
Felting Power
>90
50-90
<50
147,47
100
I
7
Muhlsteph Ratio
<30
30-60
>60
0,89
25
III
8
Fleksibility Ratio
>0,8
0,5-0,8
<0,5
0,34
25
III
9
Coefficient of Rigidity
<0,1
0,1-0,15
>0,15
0,33
25
III
450-600
225-449
<225
Interval
<1000
Bambu Duri
275 (Kelas II)
(LPHH, 1976)
Tujuan dari proses prehidrolisis ini adalah untuk memperoleh kadar selulosa yang tinggi dan menghilangkan lignin serta hemiselulosa untuk menghasilkan dissolving pulp dengan kualitas yang diinginkan sebelum bambu dimasak secara kraft (Palme et al., 2016). Bilangan kappa dapat digunakan untuk menduga kandungan lignin di dalam pulp, semakin kecil bilangan kappa, maka diduga kandungan lignin di dalam pulp akan semakin sedikit. Jika dilihat pada Tabel 3, perlakuan prehidrolisis mempengaruhi rendemen dan bilangan kappa serat. Semakin tinggi kadar asam asetat yang digunakan, bilangan kappa dan rendemen yang dihasilkan akan semakin kecil. Perlakuan asam asetat 5% menghasilkan bilangan kappa dan rendemen terkecil. Tabel 3. Rendemen dan bilangan kappa serpih bambu duri setelah prehidrolisis Asam Asetat 0% 2,5% 5,0%
Rendemen (%) 81,94 77,80 67,08
Bilangan Kappa 78,72 77,25 69,29
Hasil analisis kimia yang disajikan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa perlakuan prehidrolisis efektif dalam menurunkan kadar abu, ekstraktif, dan lignin meskipun kadar alfa-selulosa pada bambu yang diberi perlakuan prehidrolisis lebih rendah dibandingkan dengan bambu tanpa perlakuan prehidrolisis. Kandungan lignin terendah dihasilkan oleh perlakuan asam asetat 0%. Sedangkan kandungan alfa-selulosa tertinggi dan kadar abu terendah dihasilkan oleh perlakuan 2,5%, walaupun kandungan holoselulosa lebih tinggi. Kandungan ekstraktif pada perlakuan 2,5% tidak jauh berbeda dengan perlakuan 5%. Oleh karena itu perlakuan prehidrolisis 2,5% menunjukkan hasil yang baik dalam penelitian ini.
33
Prosiding Seminar Lignoselulosa 2016 Cibinong, 6 Oktober 2016
Tabel 4. Komponen kimia serpih bambu duri tanpa dan terhidrolisis asam asetat
Bambu Asetat 0% Asetat 2,5% Asetat 5,0%
Kadar Air (%)
Kadar Abu (%)
5,55 ± 0,36 7,91 ± 0,05 7,43 ± 0,02 7,52 ± 0,03
5,13 ± 0,21 3,15 ± 0,08 2,18 ± 0,15 2,68 ± 0,06
(Benzen) (%) 4,32 0,93 1,37 1,23
Ekstraktif (Air Panas) (%) 9,26 ± 0,32 4,92 ± 0,06 5,03 ± 0,03 5,07 ± 0,08
(Air Dingin) (%) 6,23 ± 0,28 3,68 ± 0,07 3,74 ± 0,08 3,86 ± 0,21
Holoselulosa (%) 79,59 ± 0,66 84,76 ± 0,13 82,23 ± 0,63 79,87 ± 0,25
Alpha Selulosa (%) 51,28 ± 0,49 48,28 ± 0,40 49,26 ± 0,47 48,55 ± 0,42
Lignin (%) 17,57 ± 0,75 6,61 ± 0,29 9,09 ± 0,32 11,53 ± 0,06
Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Ma et al. (2011), penelitian ini menghasilkan kandungan rendemen pulp coklat dan kandungan lignin yang lebih tinggi serta kandungan alpha selulosa yang lebih rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh jenis bambu dan temperatur pemasakan yang berbeda. Selain itu, penggunaan rotary digester pada proses prehidrolisis penelitian Ma et al. (2011) memungkinkan lebih meratanya proses prehidrolisis pada seluruh serpih bambu serta lebih stabilnya temperatur yang dicapai dibandingkan dengan penggunaan ketel stainless steel pada penelitian ini. Kesimpulan Berdasarkan pengujian komponen kimia, perlakuan prehidrolisis 2,5% memberikan hasil yang terbaik untuk serpih bambu duri dan secara keseluruhan nilai turunan dimensi serat berdasarkan klasifikasi kualitas pulp, bambu duri berada pada kelas II dengan nilai total 275. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok, P3HH Bogor, dan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Daftar Pustaka Behin, J., Mikaniki, F., Fadaei, Z. (2008). Dissolving pulp (alpha cellulose) from corn stalk by kraft process. Iranian Journal of Chemical Engineering, 5(3): 14-28. Christov, L. P., Akhtar, M., Prior, B. A. (1998). The potential of biosulfite pulping in dissolving pulp production. Enzyme and Microbial Technology, 23: 70-74. Fatriasari, W. & Hermiati, E. (2008). Analisis morfologi serat dan sifat fisis-kimia pada enam jenis bambu sebagai bahan baku pulp dan kertas. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan, 1(2): 67-72. Li, G., Fu, S., Zhou, A., Zhan, H. (2015). Improved cellulose yield in the production of dissolving pulp from bamboo using acetic acid in prehydrolysis. BioResources, 10(1): 877-886. LPHH. 1976. Dimensi Serat Jenis Kayu di Indonesia. Laporan LPHH 75. Ma, X., Huang, L., Cao, S., Chen, Y., Luo, X., Chen, L. (2011). Preparation of dissolving pulp from bamboo for textile application. Part 2. Optimation of pulping conditions of hydrolized bamboo and its kinetics. Bioresources, 6(2): 1428-1439. Nurrahman, A. & Silitonga, T. (1972). Dimensi serat beberapa jenis kayu sumatera selatan. Laporan No. 2. Bogor: LPHH. Palme, A., Theliander, H., Brelid, H. (2016). Acid hydrolysis of cellulosic fibres: comparison of bleached kraft pulp, dissolving pulps and cotton textile cellulose. Carbohydrate Polymer, 136: 1281-1287. TAPPI. (1996). TAPPI Test Methods 1996-1997. The Technical Association of the Pulp and Paper Industry. Atlanta.
34