LAPORAN PRAKTIKUM PENGANTAR KIMIA MEDISINAL SEMESTER GANJIL 2016 - 2017
PENGARUH pH DAN pKa TERHADAP IONISASI DAN KELARUTAN OBAT Hari / Jam Praktikum
: Kamis, 07.00 – 10.00
Tanggal Praktikum
: 13 Oktober 2016
Kelompok
:5
Asisten
: 1. Masayu Puji maharani 2. Ayu Brillany Firsty 3. Hazrati Ummi
SINTHA NUR FITRIANI 260110160081
LABORATORIUM KIMIA MEDISINAL FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2016
PENGARUH pH DAN pKa TERHADAP IONISASI DAN KELARUTAN OBAT I.
Tujuan 1.1.
II.
Mengamati pengaruh pH terhadap ionisasi obat.
Prinsip 2.1.
pH pH merupakan acuan untuk dapat menetukan sifat suatu larutan asam atau basa. Larutan dengan pH kecil (pH < 7) berarti sifatnya asam, sedngkan jika pHnya lebih besar (pH > 7) maka lartan bersifat basa. pH dapat dinyatakan dengan rumus pH = - log [ H+ ] (Harmita, et al., 2011).
2.2.
pKa Suatu reaksi kimia mempunyai tetapan kesetimbangan K yang menggambarkan
seberapa
jauh
reaksi
berlangsung
sampai
berkesudahan. Tetapan untuk ionisasi dari suatu asam dalam air disebut tetapan keasaman Ka (Fessenden dan Joan, 1982). 2.3.
Persamaan Henderson-Hasselbach pH = pKa + log pOH = pKb + log pH buffer bergantung pada Ka asam lemah atau Kb basa lemah dan perbandingna konsentrasi asam dengan konsentrasi basakonjugasinya atau konsentrasi basa lemah dengan asam konjugasinya (Purba, 1994).
2.4.
Ionisasi Ionisasi merupakan peristiwa pelepasan electron yang terikat paling lemah dari suatu atom. Ionisasi dipengaruhi oleh muatan positif, dan jumlah electron dalam jari-jari atom (Rufiati,2011).
2.5.
Kelarutan Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut bergantung pada sifat fisika dan kimia zat terlarut dan pelarutnya. Juga bergantung pada suhu, tekanan, dan pH. Kelarutan merupakan besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat terlarut dalam larutan pada temperature tertentu (Martin,1993).
III.
Reaksi
IV.
Teori Dasar Daya kelarutan suatu zat berkhasiat memegang peranan penting dalam formulasi suatu sediaan farmasi lebih dari 50% senyawa kimia baru yang ditemukan saat ini bersifat hidrofbik. Secara klinik kegunaan obat-obat hidrofbik menjadi tidak efisien dengan rendahnya daya kelarutan, dimana akan mengakibatkan kecilnya penetrasi obat tersebut di dalam tubuh. Kelarutan suatu zat berkhasiat yang kurang dari 1 mg/ml mempunyai tingkat disolusi obat tersebut sangat berkaitan (Jufri,dkk.2004). Kebanyakan obat pada umumnya dapat bersifat basa lemah atau asam lemah yang diketahui melalui ion-ionnya. Ion-ion ini lah yang mampu masuk ke dalam sel-sel, karena kemampuannya untuk melewati membran-membran yang sangat bergantung pada pH dan pKa. Alas an digunakannya asam lemah atau basa lemah dikarenakan basa kuat atau asam kuat apabila dalam tubuh ia akan sukar untuk mengabsorbsi karena asam kuat dan basa kuat pasti akan terionisasi sempurna (seluruhnya). Oleh karena itu obat-obat yang dibuat cenderung bersifat asam lemah atau basa lemah pada umumnya. Ketika obat melewati lambung dengan pH asam, maka sifat basa akan terprotonasi dan saat obat melewati usus dengan pH basa, maka sifat asam yang akan terprotonasi. Basa didalam media basa akan tetap pada molekulnya namun apabila berada dalam media asam maka akan terprotonasi, begitupun sebaliknya (Raharjo, 2008). Sebagian besar obat merupakan elektrolit lemah, yaitu asam atau basa lemah. Besarnya ionisasi dari elektrolit lemah tergantung dari pH dan pKa lingkuangan obat tersebut. Nilai pKa adalah logaritma negatif (log-) dari tetapan ionisasi asam (Ka). Molekul obat yang terionisasi, lebih larut dalam air sedangkan molekul obat yang tidak terionisasi, lebih larut dalam lemak. Membran biologis lebih permeabel terhadap bentuk molekul yang tidak terionisasi daripada bentuk ion. Dengan mengetahui nilai pKa obat dan pH tempat obat terlarut maka akan diketahui jumlah obat yang tidak terionisasi, dengan menggunakan persamaan Henderson-Hasselbalch sebagai berikut :
Persen terionisasi =
(Aryani,et al,2005)
Parasetamol atau asetaminofen atau N-asetil-para-aminofenol adalah obat analgesik dan antipiretik yang populer digunakan. Parasetamol tergolong obat yang agak sukar larut dalam air, kelarutannya dalam air 1:70. Sediaan parasetamol dapat dijumpai dalam bentuk kapsul dan kaplet karena kelarutannya sangat kecil. Suatu obat harus mempunyai kelarutan dalam air agar manjur secara terapi sehingga obat masuk ke sistem sirkulasi dan menghasilkan efek terapeutik. Untuk obat-obat yang akan dibuat dalam sediaan berbentuk larutan harus diperhatikan kelarutannya karena dapat mempengaruhi absorbsinya. Penambahan surfaktan dan pelarut atau kosolven merupakan salah satu upaya peningkatan kelarutan suatu obat yang mempunyai
kelarutan
kecil
atau
praktis
tidak
larut
dalam
air
(Noviza,dkk.2015). Asam asetil salisilat atau yang lebih dikenal dengan asetosal atau aspirin merupakan senyawa yang memiliki khasiat sebagai analgesik, antipiretik, dan anti inflamasi pada penggunaan dosis besar. Asetosal termasuk produk Over The Counter (OTC) yang dapat diperoleh tanpa resep dokter dan telah digunakan secara luas di masyarakat. Beberapa dekade terakhir ini, asetosal bukan lagi merupakan pilihan utama sebagai analgesik dikarenakan efek sampingnya yang dapat mengiritasi lambung. Untuk mengurangi efek iritasi lambung ini, asetosal biasanya dibuat dalam bentuk tablet biasa (plain uncoated), buffered tablets, enteric coated tablets, dispersible tablets, suppositoria dll (Sweetman., 2002). Khasiat lain yang dimiliki asetosal pada penggunaan dosis kecil adalah sebagai anti platelet yang dapat mengurangi kemungkinan terjadinya infark miokard pada orang dengan resiko tinggi stroke atau ischemia cerebral, sehingga asetosal diproduksi dengan dosis sediaan 80 dan 160 mg/tablet dengan aturan pakai (Annuryanti,2013).
1 tablet/hari
V. 5.1.
Alat dan Bahan Alat a. GelasUkur b. Pipa kapiler c. Pipet Tetes d. Silika gel HF254 nm e. Tabung reaksi f. UV Viewing Cabinet
5.2.
Bahan a. Asamasetilsalisilat b. EtilAsetat c. Larutan Buffer (1 ml 0,2 M NaH2PO4 + 19 ml 0,2 M Na2H2PO4) d. Larutan HCl pH 1
5.3.
Gambar Alat
Gelas Ukur
Silika gel HF254 nm
VI.
Pipa Kapiler
Tabung reaksi
Pipet tetes
UV Viewing Cabinet
Prosedur Bahan-bahan yang akan di gunakan di timbang terlebih dahulu
menggunakan timbangan analitik, timbang KH2PO4 lalu tambahkan aquades kemudian timbang Na2HPO4 lalu tambahkan aquades setelah itu dilakukan pembuatan larutan buffer pH 8 dengan campuran 1 mL 0,2 mol/L NaH2PO4 dan 19 mL 0,2 mol/L Na2HPO4. Pembuatan HCl dilakukan dengan metode pengenceran dimana larutan HCl ditambahkan aquades. Sediakan 4 tabung reaksi, beri label pada setiap tabung. Tabung 1 dan tabung 2 diisi dengan asam asetil salisilat sebanyak ± 30 mg lalu tabung 3 dan tabung 4 diisi dengan paracetamol sebanyak ±20 mg. Tabung 1 dan tabung 3 ditambahkan HCl pH 1 sebanyak 3 mL, lalu kocok. Tabung 2 dan 4 ditambahkan dengan larutan buffer pH 8 sebanyak 3 mL lalu kocok. Kemudian tambahkan larutan etil asetat pada masing-masing tabung reaksi sebanyak 3 mL, campurkan. Pisahkan dua lapisan selama beberapa menit, ambil dan totolkan menggunakan pipa kapiler beberapa bagian etil asetat pada lapisan silika gel HF254 lalu keringkan kemuadian lihat dibawah cahaya ultraviolet 254 nm
menggunakan UV viewing cabinets. Catat konsentrasi obat dalam etil asetat sebagai cahaya dengan intensitas yang tinggi atau rendah. VII.
Data Pengamatan
No.
Perlakuan
1.
Hasil
Ditimbang senyawa asam asetil salisilat dan pasarasetamol kedalam tabung reaksi. Untuk masingmasing senyawa dimasukkan kedalam 2 tabung reaksi.
-
-
-
2.
3.
Pembuatan larutan buffer Na2HPO4 ditimbang dan dilarutkan dalam aquades 142,5 mL KH2PO4 ditimbang dan dilarutkan dalam aquades 7,5 mL Untuk
tabung
-
-
Asam asetil salisilatsebanyak 3,11 gram Asam asetil salisilat sebanyak 3,21 gram Paracetamol 2,2 gram Paracetamol 2,03 gram
Na2HPO4 sebanyak 4,45 gram KH2PO4 sebanyak 0,204 gram
1 Aspirin larutannya keruh,
ditambahkan larutan sedikit larut HCl pH 1 sebanyak 3 ml, kocok
Gambar
Asam etil salisilat tidak 4.
Untuk
tabung
2
ditambahkan larutan
larut dalam larutan buffer pH 8
buffer pH 8 sebanyak 3 ml untuk semua senyawa lalu kocok 5.
Untuk
tabung
3
-
Parasetamol tidak
ditambahkan larutan
larut dalam HCl
HCl pH 1 sebanyak 3
pH 1
mL, kocok tuk tabung 3
6.
7.
Untuk
tabung
4
-
Parasetamol tidak
ditambahkan larutan
larut
buffer pH 8 sebanyak
larutan buffer pH
3 ml lalu kocok.
8
Kemudian ditambahkan
etil
dalam
Asetosal + HCl pH
1
maupun
asetat sebanyak 3 ml
asetosal + buffer
kedalam
semua
pH 8 larut dalam
tabung,
semua
etil asetat. Setelah
senyawa yang sudah
beberapa
diberi larutan HCl pH
terpisah menjadi
1
2 lapisan.
maupun
buffer pH 8
larutan -
menit
Parasetamol
+
HCl
1
maupun
pH
parasetamol
+
buffer pH 8 larut dalam etil asetat. Setelah beberapa menit
terpisah
menjadi 2 lapisan.
8.
Diambil bagian etil
-
Parasetamol
asetat dan ditotolkan
memiliki
pada lapisan silika gel
perubahan warna
HF254
yang lebih gelap
dengan
menggunakan
pipa
dibanding
kapiler.
asam
asetil salisilat.
Dikeringkan. Kemudian
dilihat
dibawah
cahaya
ultraviolet 254 nm.
No.
Senyawa (g)
HCl pH 1
Buffer pH 8
Etil Asetat
Hasil (Tinggi/rendah)
1.
Asam asetil
3 ml
-
3 ml
Rendah
-
3 ml
3 ml
Sedang
3 ml
-
3 ml
Tinggi (Lebih
salisilat 3,11 g 2.
Asam asetil salisilat 3,21g
3.
Parasetamol 2,2 g
Gelap)
4.
Parasetamol
-
3 ml
3 ml
Tinggi
2,03g
VIII.
Perhitungan
Perhitungan Pembuatan Buffer Na2HPO4 19 mL
KH2PO4 1 mL
Perhitungan Pembuatan HCl
IX.
Pembahasan Percobaa kali ini bertujuan untuk meengamati pengaruh pH terhadap ionisasi dengan menggunakan obat asam asetil salisilat dan parasetamol. Digunakan asam asetil salisilat atau aspirin karena aspirin merupakan suatu jenis obat yang sering digunakan sebagai analgesik, antipiretik dan anti inflamasi di kalangan masyarakat sehingga perlu diketahui ionisasi dan kelarutannya di dalam tubuh. Begitupula dengan parasetamol yang memiliki khasiat meredakan sakit atau nyeri dan menurunkan demam. Aspirin dan parasetamol mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik yang sama, namun parasetamol tidak mempunyai daya kerja anti radang seperti pada aspirin.
Pengaruh pH terhadap ionisasi obat dilakukan dengan penambahan HCl pH 1 atau penambahan larutan buffer pH 8 pada asam asetil salisilat dan parasetamol, tujuannya untuk melihat perbandingan antara pH rendah dengan pH tinggi. karena derajat ionisasi dan tidak terionisasinya ditentukan oleh nilai pKa dan pH. Setelah ditambahkan larutan HCl pH 1, terlihat bahwa semua sampel tidak tercampur. Hal tersebut menandakan bahwa sampel obat tersebut memiliki kelarutan yang rendah pada pH asam. Berdasarkan teori bahwa kelarutan berbanding lurus dengan tingginya pH. Pada perlakuan kedua yaitu dengan penambahan larutan buffer pH 8 didapatkan hasil bahwa pada aspirin tidak larut dalam larutan tersebut, namun larut pada parasetamol. Hal tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kelarutan berbanding lurus dengan tingginya pH. Parasetamol tidak larut pada saat penambahan HCl pH 1
hal ini
dikarenakan parasetamol baru akan menunjukan katalis asam spesifiknya dengan stabilitas maksimumnya pada jarak pH 4 sampai pH 7 menurut Farmakope Indonesia jilid III namun parasetamol larut saat penambahan buffer pH 8 hal ini sesuai dengan teori bahwa parasetamol larut dalam larutanlarutan alkali (Farmakope Indonesia III) dari hasil pengamatan didapatkan hasil bahwa aspirin sedikit larut dalam suasana asam, namun seharusnya aspirin larut dalam kondisi asam karena aspirin bersifat asam lemah sehingga mudah menembus membran sel pada suasana asam dan terionisasi dalam suasana basa. Hal ini mungkin dikarenakan aspirin yang digunakan dalam percobaan ini sudah tidak terlalu reaktif lagi atau dalam masa kadaluarsa sehingga hanya sedikit yang larut dalam suasana asam. Begitupula saat aspirin ditambahkan larutan buffer, ia tidak larut karena memang aspirin hanya larut dalam kondisi asam, penambahan larutan buffer ini mengakibatkan absospsi aspirin melambat karena obat-obat yang bersifat basa realatif tidak terionisasi tapi mudah diabsorpsi di usus halus. Setelah itu dilakukan penambahan etil asetat sebagai pelarut organik kedalam semua tabung reaksi. Pada saat ditambahkan, kedua campuran
terlihat tidak menyatu, hal tersebut terjadi karena aspirin dan parasetamol memiliki kelarutan yang rendah dalam etil asetat sehingga terjadi perbedaan fase yaitu fase organik dengan fase anorganik. Namun disebutkan juga bahwa etil asetat tidak stabil apabila dalam air yang mengandung basa atau asam. Kemudian dilakukan pengocokkan pada campuran tersebut. Berdasarkan hasil pengocokkan semua sampel pada tabung reaksi bahan sampel terlarut sempurna. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa mayoritas obat memiliki kelarutan yang tinggi apabila dilarutkan pada pelarut organik. Fungsi dari pengocokkan juga agar larutan ber-pH dengan bahan sampel dapat terdistribusi dengan etil asetat. Kemudian didiamkan selama beberapa menit. Terlihat dua lapisan pada campuran tersebut, hal tersebut memang membuktikan bahwa perbedaan fase akan sangat sukar untuk menyatu. Kemudian diambil bagian etil asetat menggunakan pipa kapiler kemudian ditotolkan pada lapisan silika gel HF254. Alasan menggunakan pipa kapiler karena kecilnya lapisan silika gel, sehingga tidak memungkinkan untuk menggunakan alat lain seperti pipet tetes. Silika gel HF254 nm berfungsi sebagai pengering yang memiliki pori-pori rata-rata 2,4 nanometer dan memiliki afinitas yang kuat untuk molekul air dan agar bisa dideteksi menggunakan cahaya UV 254 nm. Setelah ditotolkan tunggu hingga kering kemudian taruh dibawah cahaya ultraviolet 254 nm. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui intensitas dari larutan tersebut apakah intensitasnya tinggi atau rendah. Berdasarkan pengamatan, campuran larutan dengan HCl pH 1 memiliki intensitas yang tinggi. Intensitas yang tinggi ditentukan dari perubahan warna yang terlihat lebih gelap.
X.
Kesimpulan Pada praktikum ini dapat disimpulkan bahwa pH berpengaruh terhadap
ionisasi obat, hal ini dapat dilihat dari data hasil percobaan asam asetil salisilat (pKa =4,5) dapat larut dalam kondisi asam dan trionisasi dalam kondisi basa. Parasetamol (pKa=10) dapat larut dalam kondisi basa, saat ditambahkan larutan buffer pH 8 terionisasi dalam suasana asam. Obat asam asetil salisilat dan parasetamol memiliki kelarutan yang rendah dalam etil asetat sehingga terbentuklah dua fase, dimana fase tersebut adalah fase atas obat yang telah dipengaruhi pH dan fase bawah adala larutan etil asetat.
DAFTAR PUSTAKA Aryani, Ni Luh Dewi, et al. 2005. Penetapan Nilai Tetapan Keasaman (pKa) Asam Pipemidat Secara Spektrofotometri Lembayung Ultra. Artocarpus Media Pharmaceutica Indonesia. ISSN 1411- 8734. 5 (1),33-3. Departemen Kesehatan RI. 1979.Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta. Fessenden dan Joan. 1982. Kimia Organik Edisi Ketiga. Jakarta : Erlangga. Harmita, Kd., et al. 2011. Kimia Medisinal. Jakarta : EGC. Hickman, J.1997. Chemical Education. 74,855. Jufri, Mahdi, dkk. 2004.Formulasi Gameksan dalam Bentuk Mikroemulsi. Jurnal Volume 1 Nomor 3. Halaman :160 – 174. ISSN :1693- 9883. Martin, et al. 1993. Farmasi Fisik. Jakarta: UI Press. Noviza, Deni, Et Al. 2015. Solubilsasi Parasetamol dengan Ryoto Sugar Ester dan Propilen Glikol. Jurnal Sains Farmasi Dan Klinis (e-ISSN: 24425435. 1 (2), 132-139. Purba, dkk. 2012. Kimia. Jakarta : Erlangga. Raharjo. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Rufiati, Etna. 2001. Kecenderungan Energi Ionisasi Pertama. tersedia online di http://skp.uair.ac.id/repository/guruindonesia/kecenderunganenergiionisa sietnarufiati16546.pdf (diakses tanggal 24 September 2016 Pukul 2012). Sweetman, C.S. 2002. Martindale The Complete Drug Reference, 33th Edition, London: Pharmaceutical Press.