Prosiding Seminar Nasional Teknologi Lingkungan XI – ITS, Surabaya, 3 Desember 2014 ISBN No.978-602-95595-9-0
Pengaruh pH dan Kecepatan Pengadukan Terhadap Proses Kristalisasi Fosfat Berkonsentrasi Rendah Dalam Air Limbah Anita Dwi Anggrainy1*, Arseto Yekti Bagastyo2, dan Joni Hermana2 Mahasiswa Program Studi Magister Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya1* Email:
[email protected] Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya2
Abstrak Kristalisasi merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan kembali (recovery) fosfat yang terkandung dalam air limbah, karena dengan recovery ketersediaan mineral fosfat di alam serta keseimbangan nutrien di dalam badan air dapat terjaga. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh pH dan kecepatan pengadukan terhadap proses kristalisasi fosfat berkonsentrasi rendah (< 14 mg/L). Fosfat yang terkandung dalam 1 L air limbah buatan dianalisa dengan sistem batch pada skala laboratorium. Beberapa variabel penelitian yang digunakan, antara lain pH (7-9) dan kecepatan pengadukan (100 dan 150 rpm). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada kecepatan 100 rpm, persentase penyisihan fosfat dapat mencapai 23%, 73%, dan 91% untuk masing-masing pH 7, 8, dan 9 selama 150 menit waktu pengadukan. Sedangkan pada kecepatan 150 rpm, fosfat yang berhasil disisihkan sebesar 28% (pH 7), 82% (pH 8), dan 92% (pH 9). Ditinjau dari presipitatnya, mayoritas jenis kristal yang berhasil direcovery dari penelitian ini adalah whitlockite dan hydroxyapatite. Katakunci: Air Limbah, Fosfat, Kristalisasi, Recovery
1. Pendahuluan Fosfat adalah salah satu elemen penting kehidupan yang tersedia dalam jumlah terbatas. Namun dari tahun ke tahun, peningkatan produksi tambang fosfat terus terjadi di seluruh dunia. Tercatat hingga tahun 2013, produksi tambang sudah meningkat sebesar 45% dari produksi tahun 2001(USGS, 2014). Konsumsi fosfat dalam jumlah besar tersebut pada umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri pupuk, makanan, deterjen, ataupun industri-industri lainnya. Pemanfaatan mineral fosfat yang tidak terkendali, secara langsung akan mengurangi ketersediaan dan keberlanjutan sumber fosfat yang ada di alam. Di sisi lain, terdapat banyak kandungan fosfat dalam air limbah yang belum termanfaatkan. Fosfat-fosfat tersebut masuk ke badan air dan dapat menimbulkan eutrofikasi saat terakumulasi hingga konsentrasi tinggi, kemudian mengendap menjadi lumpur dan sedimen di badan air. Untuk mengantisipasi kedua hal tersebut, maka proses mendapatkan kembali (recovery) fosfat dari air limbah salah satu alternatif pilihan pengelolaan. Secara umum proses kristalisasi fosfat terdiri atas 3 (tiga) tahap, yaitu supersaturasi, nukleasi, dan pertumbuhan kristal. Pertumbuhan kristal akan terjadi apabila terjadi kombinasi antara proses nukleasi dari ikatan ion-ion kristal dan pertumbuhan nukleus secara bertahap. Dari beberapa penelitian terdahulu, efisiensi penyisihan fosfat akan meningkat seiring dengan meningkatnya pH larutan (Song et al., 2002). Ariyanto et al. (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya proses nukleasi akan berkurang seiring dengan meningkatnya pH larutan, temperatur, dan tingkat supersaturasi. Demikian halnya dengan proses nukleasi, pertumbuhan kristal yang sangat dipengaruhi oleh parameter fisik kimia, seperti pH larutan, tingkat supersaturasi, pengadukan, ukuran kristal, temperatur, dan adanya ion-ion pengganggu dalam larutan (Myerson, 2002). Pengadukan menjadi salah satu poin penting dalam proses kristalisasi, karena peningkatan kecepatan pengadukan akan mempengaruhi cepatnya reaksi pembentukan kristal yang terjadi pada sistem, meningkatkan ukuran partikel, kecepatan pengendapan, dan efisiensi penyisihan fosfat (Ohlinger et al., 1999; Wang et al., 2006; Kim et al., 2009). 23
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Lingkungan XI – ITS, Surabaya, 3 Desember 2014 ISBN No.978-602-95595-9-0
Berbagai penelitian tentang recovery fosfat dari air limbah telah banyak dilakukan di seluruh dunia, baik dalam skala laboratorium maupun skala pilot (Ueno & Fujii, 2001; Song et al., 2002; Adnan et al., 2003; Berg et al., 2006; Mehta & Batstone, 2013). Berdasarkan penelitianpenelitian tersebut, pada umumnya recovery fosfat dapat berupa pembentukan kalsium fosfat, hydroxyapatite, dicalcium phosphate (monetite), ataupun struvite. Kalsium fosfat ataupun hydroxyapatite mempunyai bentuk dan unsur yang hampir sama seperti batuan mineral fosfat yang ada di alam, sehingga dapat digunakan kembali untuk bahan baku industri (Yi, 2003). Sedangkan struvite dengan unsurnya yang terdiri atas Magnesium Ammonium Fosfat, tergolong slow release fertilizer yang dapat digunakan langsung sebagai pupuk tanaman (Ueno & Fujii, 2001). Hampir seluruh penelitian terdahulu menggunakan air limbah dengan konsentrasi fosfat tinggi, yang ditambahkan ion kalsium atau magnesium dengan rasio tertentu untuk mempercepat terjadinya proses presipitasi. Namun, belum banyak yang membahas mengenai proses penyisihan fosfat dengan konsentrasi kecil dan kesadahan Ca dan Mg yang cukup tinggi. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini menekankan tentang pengaruh pH dan kecepatan pengadukan terhadap air limbah dengan karakteristik yang tersebut di atas.
2. Metode yang diterapkan 2.1 Material Jenis air limbah yang digunakan dalam penelitian ini adalah air limbah buatan dengan karakteristik seperti yang terlihat pada Tabel 1. Komponen-komponen dalam air limbah tersebut dibentuk dengan cara mencampurkan masing-masing sebanyak 250 ml KH2PO4 1,79 mmol/L, NH4Cl 15,92 mmol/L, CaCl2. 2H2O 12,42 mmol/L, dan MgCl2 16,67 mmol/L. Di dalam seluruh eksperimen, perubahan pH akan terus dicatat setiap 20 detik dan dimonitor dengan menggunakan software data logger SW-U801-WIN. Nilai pH tersebut dijaga konstan dengan menambahkan beberapa tetes NaOH 1 M ataupun HCl 1 M. Seluruh material yang digunakan, kecuali MgCl2, menggunakan bahan kimia analis. Tabel 1. Karakteristik Air Limbah Buatan Parameter Satuan Nilai pH 4,89 PO43+ mg/L 13,97 NH4+ mg/L 71,64 Ca2+ mg/L 121,43 Mg2+ mg/L 100,00
2.2 Prosedur Penelitian Proses pengadukan dilakukan dengan menggunakan jartest single blade. Reaktor yang digunakan untuk keseluruhan eksperimen adalah beker glass ukuran 1 L. Selama proses pengadukan, kecepatan pengadukan diatur konstan pada 100 rpm dan 150 rpm dalam suhu ruangan laboratorium. Sebanyak 15 mg seed material ditambahkan ke dalam 1 L sampel untuk mempercepat terjadinya proses nukleasi. Selanjutnya, pH probe terus dipasang di dalam reaktor untuk mencatat terjadinya perubahan pH pada sampel. Pengaruh pH dan kecepatan pengadukan terhadap penyisihan konsentrasi fosfat dipantau dengan cara melakukan pengambilan sampel pada menit ke 10, 30, 60, 90, 120, dan 150. Sebanyak 10 ml sampel diambil dari fase terlarut dengan menggunakan spuit (syringe), kemudian disaring dengan menggunakan 0,22 µm membran filter (Millipore). Presipitat yang terbentuk dari masing-masing perlakuan selanjutnya disaring dengan menggunakan 0,45µm membran filter (Sartorius Stedim), lalu dikeringkan pada udara terbuka selama beberapa jam hingga presipitat benar-benar kering.
24
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Lingkungan XI – ITS, Surabaya, 3 Desember 2014 ISBN No.978-602-95595-9-0
2.3 Metode Analisa Analisa perubahan pH diamati dengan menggunakan software SW-U801-WIN yang kompatibel dengan pH meter yang digunakan (Lutron YK-2005WA). Sedangkan konsentrasi fosfat dalam sampel dianalisis dengan menggunakan metode Stannous Chloride (SnCl2), lalu diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 690 nm (APHA et al., 1998). Efisiensi penyisihan fosfat yang terjadi selama proses pengadukan dihitung dengan menggunakan persamaan α (t) = (Co – Ct)/Ct x 100%, dimana Ct = konsentrasi fosfat pada waktu reaksi t, dan Co = konsentrasi awal fosfat dalam larutan (Song et al., 2002). Struktur kristal yang terbentuk dianalisa dengan menggunakan scanning electron microscopy (SEM, Zeiss EVO MA10) yang dilengkapi dengan energy-dispersive X-ray analysis (EDX, Bruker).
3. Pembahasan Hasil 3.1 Perubahan pH Selama Proses Presipitasi Fosfat Selama proses presipitasi terjadi, penambahan NaOH 1 M selalu dilakukan untuk menjaga agar nilai pH tetap konstan. Penurunan nilai pH dengan rata-rata sebesar 0,01-0,02 selama proses, mengindikasikan terbentuknya presipitat yang diikuti oleh terlepasnya ion H+. Dengan semakin cepatnya reaksi pembentukan presipitat, maka semakin cepat pula penurunan nilai pH yang terjadi pada larutan. Pada proses kristalisasi, terjadinya penurunan nilai pH pertama kali disebut dengan waktu induksi primer. Selama menuju ke waktu induksi tersebut terjadi beberapa perbedaan warna pada larutan, yaitu yang awalnya jernih menjadi agak putih keruh akibat terbentuknya nukleusnukleus kristal fosfat. Semakin lama waktu pengadukan, maka nukleus-nukleus yang terbentuk akan sangat banyak dan larutan sampel menjadi semakin keruh. Pada kondisi ini apabila nilai pH tidak dikontrol dengan menggunakan larutan buffer, maka pH akan terus turun hingga mencapai titik stabil saat presipitat tidak lagi terbentuk. Fluktuasi pH dari masing-masing kecepatan pengadukan dapat dilihat pada Gambar 1. Pada 4 menit pertama pengadukan, penurunan pH 9 dalam kecepatan 150 rpm mencapai 0,05, sedangkan pada kecepatan 100 rpm penurunannya hanya sebesar 0,02. Berbeda dengan pH 9, nilai penurunan pH yang terjadi pada pH 7 dan 8 dengan kecepatan 150 rpm, sedikit lebih kecil. Dalam jangka waktu yang sama (4 menit), terjadi penurunan pH sebesar 0,02 (pH 7) dan 0,01 (pH 8).
(a)
25
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Lingkungan XI – ITS, Surabaya, 3 Desember 2014 ISBN No.978-602-95595-9-0
(b) Gambar 1. Fluktuasi pH Selama Durasi Pengadukan Pada Kecepatan (a) 100 rpm, (b) 150 rpm
3.2 Pengaruh pH dan Kecepatan Pengadukan Terhadap Penyisihan Fosfat Terlarut Pengaruh pH dan kecepatan pengadukan terhadap penyisihan fosfat dapat dilihat pada Gambar 2. Dapat dilihat bahwa penyisihan fosfat akan meningkat seiring dengan meningkatnya pH dan kecepatan pengadukan pengadukan. Pada pH 7 dan kecepatan 100 rpm, efisiensi penyisihan fosfat tidak terlalu besar pada 10 menit pertama pengadukan. Pada menit tersebut, persentase penyisihan hanya sekitar 7%, namun nilai tersebut terus bergerak perlahan hingga mencapai 23% pada menit ke 150. Dengan meningkatnya nilai pH, efisiensi penyisihan terus bertambah. Bahkan dapat dilihat bahwa kemungkinan terjadi reaksi presipitasi yang sangat cepat pada pH 8 dan 9 di awal-awal proses pengadukan (10 menit), hingga efisiensinya mencapai 61% (pH 8) dan 83% (pH 9). Hal Selanjutnya, prosentase penyisihan pada pH 8 dan 9 meningkat perlahan dengan kisaran antara 0,3% - 5,2%, hingga mencapai efisiensinya masing-masing mencapai 73% dan 91% pada akhir waktu pengadukan.
Gambar 2. Pengaruh pH dan Kecepatan Pengadukan Terhadap Penyisihan Fosfat
26
Prosiding Seminar Nasional Teknologi ologi Lingkungan XI – ITS, Surabaya, 3 Desember 2014 ISBN No.978-602-95595-9-0
Sementara itu pada kecepatan 150 rpm, peningkatan efisiensi penyisihan fosfat sedikit lebih besar dibandingkan pada kecepatan 100 rpm, yaitu sebesar 28% (pH 7), 82% % (pH 8), dan 92% (pH 9). Rata-rata rata peningkatan penyisihan fosfat dari kecepatan 100 rpm menj menjadi 150 rpm pada pH 7, 8, dan 9, masing-masing masing sekitar 46%, 16%, dan 1%. Peningkatan penyisihan fosfat akibat meningkatnya kecepatan pengadukan disebabkan oleh adanya transfer massa antara partikel terlarut dengan kristal yang terbentuk dalam sistem (Kim et al., 2009). Dengan meningkatnya transfer massa, maka pembentukan dan pertumbuhan nukleus kristal akan semakin meningkat pula (Jones, 2002). 3.3 Identifikasi Struktur Presipitat Pada penelitian ini, pengamatan struktur kristal hanya dapat dilakukan untuk presipitat dari pH 9 (Gambar 3). Hal tersebut dikarenakan jumlah presipitat yang terbentuk dari pH 7 dan 8 sangat sedikit dan tidak memungkinkan dianalisa morfologinya. Berdasarkan analisa mela melalui teknik EDX, kristal-kristal kristal yang terbentuk dari proses kristalisasi sebagian besar mengandung komponen Ca, Mg, P dan O dengan persentase yang beragam. Tingginya [Ca2+] dalam sampel menyebabkan mayoritas jenis kristal yang terbentuk berupa whitlockite (Ca9Mg(PO4)6(HPO4)) dan hydroxyapatite (Ca5(PO4)3(OH)). Sesuai dengan teori Ostwald Rule of Stage, hydroxyapatite h merupakan fase yang paling stabil dari kristal kalsium fosfat (Feenstra & Bruyn, 1981).. Dalam tubuh manusia, kristal hydroxyapatite dapat ditemukan dalam tulang, gigi, dan tendon untuk menjaga kestabilan, kekerasan, dan fungsi organ (Dorozhkin & Epple, 2002). Sedangkan whitlockite whitlockite, walaupun unsurnya tidak murni akibat masuknya Mg dalam komponen kalsium fosfat, fosfat whitlockite banyak pula ditemukan di struktur tulang manusia (Jang et al., 2014). Adanya persamaan unsur tersebut, menyebabkan kristal hydroxyapatite dan whitlockite sering digunakan untuk perbaikan tulang,, pembuatan tulang prostetik, dan lain sebagainya (Jarcho Jarcho & Rossetti, 1979 1979; Ito & Onuma, 2003). Di sisi lain, kristal struvite te hampir tidak dapat teridentifikasi dalam struktur presipitat presipitat. Berdasarkan Warmadewanthi and Liu (2009), (2009) proses presipitasi struvite tergantung pada pH, konsentrasi Mg2+, PO43-, dan NH4+ serta ion-ion ion terlarut lain yang ada di dalam sampel. Selain itu, pembentukan kristal struvite memerlukan ion [Mg2+], [NH4+], dan [PO43-] dengan rasio molaritas yang sama (1:1:1). Foto SEM yang terlihat pada Gambar 3 sesuai dengan penelitian yang dilakukan LeCorre et al. (2005), dimana saat di dalam larutan rasio [Ca2+] sama atau lebih tinggi daripada [Mg2+], maka Ca2+ tersebut akan cenderung berikatan dengan ion fosfat dan menghambat pembentukan kristal struvite. Kondisi tersebut sesuai pula dengan pernyataan Mekmene et al. (2009),, yang menyebutkan bahwa presipitasi dan pembentukan kristal merupakan proses yang sangat kompleks, karena jenis kristal yang terbentuk tergantung pada kondisi eksperimen.
Gambar 3. Gambar SEM-EDX EDX Pada Presipitat Kristal Fosfat (pH 9 dan Kecepatan Pengadukan 150 rpm)
27
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Lingkungan XI – ITS, Surabaya, 3 Desember 2014 ISBN No.978-602-95595-9-0
4. Kesimpulan Proses kristalisasi fosfat berkonsentrasi rendah yang terkandung dalam air limbah dikaji melalui pengaruh pH dan kecepatan pengadukan. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa: Kecepatan pengadukan mempengaruhi transfer massa antara partikel terlarut dan kristal yang terbentuk di dalam reaktor Proses pembentukan kristal dipengaruhi oleh pH, jenis, dan konsentrasi ion-ion terlarut. Semakin tinggi pH dan semakin cepat kecepatan pengadukan, maka efisiensi penyisihan fosfat akan lebih besar. Pada pH 9 dan kecepatan 150 rpm, efisiensi penyisihan fosfat dapat mencapai 92%. Sedangkan pada pH 7 dan 8, efisiensinya turun hingga masing-masing mencapai 28% dan 82%. Apabila kecepatan pengadukan diturunkan menjadi 100 rpm, maka efisiensi penyisihan fosfat untuk pH 7, 8, dan 9 menjadi 23%, 73%, dan 91%. Adanya ion Ca2+ atau Mg2+ dalam sampel dapat menjadi penghambat terbentuknya jenis kristal tertentu. Semakin besar [Ca2+], maka pertumbuhan kristal struvite akan terhambat. Sebaliknya semakin besar [Mg2+], maka kecenderungan terbentuknya kristal whitlockite akan semakin besar. 5. Pustaka Adnan, A., Koch, F.A. & Mavinic, D.S., (2003). Pilot-Scale Study of Phosphorus Recovery Through Struvite Crystallization — II: Applying in-Reactor Supersaturation Ratio as a Process Control Parameter. Journal of Environmental Engineering and Science, 2: p. 473–483. APHA, AWWA & WEF (1998). Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater 21st edition, USA. Ariyanto, E., Sen, T.K. & Ang, H.M., (2014). The Influence of Various Physico-Chemical Process Parameters on Kinetics and Growth Mechanism of Struvite Crystallisation. Advanced Powder Technology, 25: p. 682–694. Berg, U., Donnert, D., Weidler, P.G., Kaschka, E., Knoll, G. & Nuesch, R., (2006). Phosphorus Removal and Recovery from Wastewater by Tobermorite-Seeded Crystallisation of Calcium Phosphate. Water Science and Technology, 53(3): p. 131-138. Dorozhkin, S.V. & Epple, M., (2002). Biological and Medical Significance of Calcium Phosphates. Angewandte Chemie International Edition, 41: p. 3130 - 3146. Feenstra, T.P. & Bruyn, P.L.d., (1981). The Ostwald Rule of Stages in Precipitation from Highly Supersaturated Solutions: A Model and Its Application to the Formation of the Nonstoichiometric Amorphous Calcium Phosphate Precursor Phase. Journal of Colloid and Interface Science, 84(1): p. 66-72. Ito, A. & Onuma, K., (2003). Growth of Hydroxyapatite Crystals. Crystal Growth Technology, (eds. Byrappa, K & Ohachi, T). William Andrew Publishing, New York. Jang, H.L., Jin, K., Lee, J., Kim, Y., Nahm, S.H., Hong, K.S. & Nam, K.T., (2014). Revisiting Whitlockite, the Second Most Abundant Biomineral in Bone: Nanocrystal Synthesis in Physiologically Relevant Conditions and Biocompatibility Evaluation. ACS Nano, 8(1): p. 634-641. Jarcho, M. & Rossetti, M., (1979). Ceramic Forming Process. (ed. Patent, USU). Sterling Drug Inc. United States. Jones, A.G. (2002). Crystallization Process Systems. Butterworth Heinemann, Oxford. 28
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Lingkungan XI – ITS, Surabaya, 3 Desember 2014 ISBN No.978-602-95595-9-0
Kim, D., Kim, J., Ryu, H.-D. & Lee, S.I., (2009). Effect of Mixing on Spontaneous Struvite Precipitation from Semiconductor Wastewater. Bioresource Technology, 100: p. 74-78. LeCorre, K.S., Valsami-Jones, E., Hobbs, P. & Parsons, S.A., (2005). Impact of Calcium on Struvite Crystal Size, Shape and Purity. Journal of Crystal Growth. 283: p. 514-522. Mehta, C.M. & Batstone, D.J., (2013). Nucleation and Growth Kinetics of Struvite Crystallization. Water Research, 47: p. 2890-2900. Mekmene, O., Quillard, S., Rouillon, T., Bouler, J.-M., Piot, M. & Gaucheron, F., (2009). Effects of pH and Ca/P Molar Ratio on the Quantity and Crystalline Structure of Calcium Phosphates Obtained from Aqueous Solutions. Dairy Science Technology. 89: p. 301-316. Myerson, A.S., (2002). Handbook of Industrial Crystallization. 2nd edition. ButterworthHeinemann, USA. Ohlinger, K.N., Young, T.M. & Schroeder, E.D., (1999). Kinetics Effects on Preferential Struvite Accumulation in Wastewater. Journal of Environmental Engineering. 125: p. 730-737. Song, Y., Hahn, H.H. & Hoffmann, E., (2002). The Effect of pH and Ca/P Ratio on the Precipitation of Calcium Phosphate. Chemical Water and Wastewater Treatment VII (eds. Hahn, HH, Hoffmann, E & Odegaard, H). IWA Publishing, London. Ueno, Y. & Fujii, M., (2001). Three Years Experience of Operating and Selling Recovered Struvite from Full Scale Plant. Environmental Technology, 22(11): p. 1373-1381. USGS (2014). Phosphate Rock Statistic and Information. United States Geological Survey (USGS), Washington DC. Wang, J., Burken, J.G. & Zhang, X.J., (2006). Effect of Seeding Materials and Mixing Strength on Struvite Precipitation. Water Environment Research, 78(2): p. 125-136. Warmadewanthi & Liu, J.C, (2009). Recovery of Phosphate and Ammonium as Struvite from Semiconductor Wastewater. Separation and Purification Technology, 64: p. 368-373. Yi, W., (2003). Phosphorus Recovery from Source‐Separated Urine through the Precipitation of Struvite. Master Thesis. Department of Chemical and Biological Engineering. The University of British Columbia, Canada.
29