ISSN: 1978 - 3116
VOL. 5, NO. 3, NOVEMBER 2011
JEB VOL. 5, NO. 3, NOVEMBER 2011: 191-264
PENGARUH PERBANDINGAN ECONOMIC VALUE ADDED DAN RASIO PROFITABILITAS TERHADAP RETURN SAHAM Priska Ika Setiyorini STRUKTUR MODAL DAN PREDIKSI KEGAGALAN PERUSAHAAN: TEORI DAN APLIKASI Rowland Bismark Fernando Pasaribu MODEL DINAMIS PERTUMBUHAN EKONOMI, INFLASI, DAN PENGANGGURAN DI INDONESIA Endang Setyowati PENGARUH PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN SUKARELA, LEVERAGE, DAN SET KESEMPATAN INVESTASI TERHADAP MANAJEMEN LABA Henggar Watiningsih PENGARUH KEPUASAN KERJA TERHADAP PRESTASI KERJA KARYAWAN DEPARTEMEN PRODUKSI PT X (PERSERO), SURABAYA Sri Langgeng Ratnasari HUBUNGAN ANTARA PENDAPATAN PER KAPITA DAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) Algifari
JEB
VOL. 5
NO. 3
Hal 191-264
NOVEMBER 2011
ISSN: 1978-3116
JURNA L
Vol. 5, No. 3, November 2011
EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
JURNAL EKONOMI & BISNIS (JEB) EDITOR IN CHIEF Djoko Susanto STIE YKPN Yogyakarta EDITORIAL BOARD MEMBERS Baldric Siregar STIE YKPN Yogyakarta
Soeratno Universitas Gadjah Mada
Dody Hapsoro STIE YKPN Yogyakarta
Wisnu Prajogo STIE YKPN Yogyakarta MANAGING EDITORS Sinta Sudarini STIE YKPN Yogyakarta EDITORIAL SECRETARY Rudy Badrudin STIE YKPN Yogyakarta
PUBLISHER Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STIE YKPN Yogyakarta Jalan Seturan Yogyakarta 55281 Telpon (0274) 486160, 486321 ext. 1406 Fax. (0274) 486155 EDITORIAL ADDRESS Jalan Seturan Yogyakarta 55281 Telpon (0274) 486160, 486321 ext. 1332 Fax. (0274) 486155 http://www.stieykpn.ac.id e-mail:
[email protected] Bank Mandiri atas nama STIE YKPN Yogyakarta No. Rekening 137 – 0095042814
Jurnal Ekonomi & Bisnis (JEB) terbit sejak tahun 2007. JEB merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara (STIE YKPN) Yogyakarta. Penerbitan JEB dimaksudkan sebagai media penuangan karya ilmiah baik berupa kajian ilmiah maupun hasil penelitian di bidang ekonomi dan bisnis. Setiap naskah yang dikirimkan ke JEB akan ditelaah oleh MITRA BESTARI yang bidangnya sesuai. Daftar nama MITRA BESTARI akan dicantumkan pada nomor paling akhir dari setiap volume. Penulis akan menerima lima eksemplar cetak lepas (off print) setelah terbit. JEB diterbitkan setahun tiga kali, yaitu pada bulan Maret, Juli, dan Nopember. Harga langganan JEB Rp7.500,- ditambah biaya kirim Rp12.500,- per eksemplar. Berlangganan minimal 1 tahun (volume) atau untuk 3 kali terbitan. Kami memberikan kemudahan bagi para pembaca dalam mengarsip karya ilmiah dalam bentuk electronic file artikel-artikel yang dimuat pada JEB dengan cara mengakses artikel-artikel tersebut di website STIE YKPN Yogyakarta (http://www.stieykpn.ac.id).
ISSN: 1978-3116
JURNA L
Vol. 5, No. 3, November 2011
EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
DAFTAR ISI
PENGARUH PERBANDINGAN ECONOMIC VALUE ADDED DAN RASIO PROFITABILITAS TERHADAP RETURN SAHAM Priska Ika Setiyorini 191-208 STRUKTUR MODAL DAN PREDIKSI KEGAGALAN PERUSAHAAN: TEORI DANAPLIKASI Rowland Bismark Fernando Pasaribu 209-220 MODEL DINAMIS PERTUMBUHAN EKONOMI, INFLASI, DAN PENGANGGURAN DI INDONESIA Endang Setyowati 221-235 PENGARUH PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN SUKARELA, LEVERAGE, DAN SET KESEMPATAN INVESTASI TERHADAPMANAJEMEN LABA Henggar Watiningsih 237-244 PENGARUH KEPUASAN KERJATERHADAP PRESTASI KERJA KARYAWAN DEPARTEMEN PRODUKSI PT X (PERSERO), SURABAYA Sri Langgeng Ratnasari 245-251 HUBUNGANANTARAPENDAPATAN PER KAPITA DAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA(IPM) Algifari 253-264
ISSN: 1978-3116
JURNA L
Vol. 5, No. 3, November 2011
EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
MITRA BESTARI
JURNAL EKONOMI & BISNIS (JEB) Editorial JEB menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada MITRA BESTARI yang telah menelaah naskah sesuai dengan bidangnya. Berikut ini adalah nama dan asal institusi MITRA BESTARI yang telah melakukan telaah terhadap naskah yang masuk ke editorial JEB Vol. 5 tahun 2011 (Vol. 5, No. 1, Maret 2011; Vol. 5, No. 2, Juli 2011; dan Vol. 5, No. 3, Nopember 2011).
Agus Suman Universitas Brawijaya
HM. Wahyuddin Universitas Muhammadiyah Surakarta
Akhmad Makhfatih Universitas Gadjah Mada
J. Sukmawati Sukamulja Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Catur Sugiyanto Universitas Gadjah Mada
Lincolin Arsyad Universitas Gadjah Mada
Didin Fatihudin Universitas Muhammadiyah Surabaya
Ritha Fatimah Dalimunthe Universitas Sumatra Utara
Edy Suandi Hamid Universitas Islam Indonesia
R. Maryatmo Universitas Atma Jaya Yogyakarta
FX. Sugiyanto Universitas Diponegoro
Wasiaturrahma Universitas Airlangga
ISSN: 1978-3116 PENGARUH PERBANDINGAN ECONOMIC VALUE ADDED DAN............... (Priska Ika Setiyorini)
Vol. 5, No. 3, November 2011 Hal. 191-208
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
PENGARUH PERBANDINGAN ECONOMIC VALUE ADDED DAN RASIO PROFITABILITAS TERHADAP RETURN SAHAM Priska Ika Setiyorini E-mail:
[email protected]
ABSTRACT
PENDAHULUAN
The measurement of company performances mostly based on financial ratios during certain period. Financial ratios based measurement depends on the method or accounting treatment used in making financial statements so that company performances seem good and increase eventhough it is not increased or decreased. Financial performance measurement using ecomomic value added (EVA) can be more accurate because EVA accounts for expenses capital by calculating net income after tax (NOPAT) less capital expense. Economic value added is very relevant because it can measure management performances based on value added that is created during some period.This study aims are 1) examining the impact of economic value added, cash flow from operation, earnings per share, operating income, return on assets, return on equity on stock return and 2) examining whether economic value added have the most significant impact on stock return. The samples of this study are manufacturing companies that consist of 427 companies. The result of this sudy shows that only cash flow from operations that positively impact stock return whereas earnings per share, operating income (IO), return on asset (ROA), return on equity (ROE) don’t have impact on stock return.
Situasi perekonomian dan bisnis terus berkembang selama beberapa tahun terakhir ini. Manajemen dihadapkan pada situasi bisnis yang semakin kompetitif dan kompleks, sehingga membutuhkan alat pengukuran kinerja yang lebih handal. Kinerja perusahaan pada akhir periode harus dievaluasi untuk mengetahui perkembangan perusahaan. Evaluasi ini merupakan kegiatan yang penting karena melalui evaluasi kinerja, perusahaan dapat mengetahui sasaran ataupun target perusahaan berhasil dicapai atau tidak. Usaha memaksimumkan keuntungan dapat diwujudkan dengan memaksimalkan nilai perusahaan (Husnan dan Pudjiastuti, 1993; Tandelilin, 2000). Menurut Tandelilin (2000), pada perusahaan yang telah go public, nilai perusahaan akan tercermin dari harga perusahaan tersebut. Secara umum dikatakan bahwa nilai perusahaan yang meningkat menunjukkan kinerja perusahaan yang tinggi, sedang untuk shareholder, peningkatan nilai atau kinerja perusahaan tercermin dari return yang dihasilkan oleh saham tersebut yang berupa deviden dan capital gain (loss) atau dapat kita sebut sebagai return saham. Dalam suatu pengambilan keputusan investasi, investor memerlukan informasi kinerja keuangan yang dapat diandalkan. Informasi laba dan arus kas operasi merupakan informasi keuangan yang utama dalam mengukur kinerja keuangan suatu perusahaan. Informasi laba merupakan indikator utama yang umum digunakan untuk mengukur profitabilitas perusahaan.
Keywords: economic value added, cash flow from operations, earnings per share, operating income, return on assets, return on equity, stock returns
191
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 191-208
Apabila informasi laba tidak cukup informatif, maka investor akan berusaha untuk mencari informasi keuangan lain yang lebih relevan untuk mendukung proses pengambilan keputusan investasinya. Informasi arus kas operasi merupakan alternatif informasi keuangan yang dapat melengkapi kebutuhan akan informasi kinerja keuangan perusahaan (Susanto dan Siregar, 2005). Selain itu, rendahnya kepercayaan investor terhadap laba akuntansi yang disebabkan adanya manipulasi laba menyebabkan investor mengutamakan arus kas operasi daripada laba (Healy dan Wahlen, 1999 dalam Afrinaldi, 2003) Penelitian Bowen et al. (1996) dalam Susanto dan Siregar (2005) juga membuktikan bahwa arus kas merupakan indikator keuangan yang lebih baik dibandingkan dengan laba karena arus kas relatif lebih sulit dimanipulasi oleh manajemen dibandingkan dengan laba. Karena laba ekstrim tidak informatif dan arus kas operasi tersedia dalam laporan keuangan, maka arus kas operasi menjadi indikator kinerja utama. Perusahaan dapat menggunakan berbagai cara untuk mengevaluasi kinerja perusahaannya yang disesuaikan dengan kepentingan perusahaan tersebut, di antaranya menggunakan rasio profitabilitas. Banyak indikator atau alat ukur (analisis fundamental) yang dapat digunakan dalam penilaian seperti return on assets (ROA), return on equity (ROE), earnings per share (EPS), residual income (RI) (Agus dan Kusdianto, 1999). ROA dan ROE merupakan rasio profitabilitas dan merupakan alat ukur dalam menilai kinerja perusahaan dalam menghasilkan profit. Rasio profitabilitas adalah sekelompok rasio yang memperlihatkan pengaruh gabungan dari likuiditas, manajemen aktiva, dan hutang terhadap hasil operasi (Jogiyanto dan Chendrawati, 1999) Menurut Prober (2000) dalam Afrinaldi (2003), penilaian terhadap kinerja perusahaan yang berbasis pada akuntansi tradisional banyak memunculkan respon yang menyatakan ketidakpuasan. Masalah tersebut bermula dari adanya kelemahan penting dalam laporan keuangan yaitu perhitungan rugi laba. Laba yang dilaporkan tidak memasukkan biaya modal ekuitas sehingga pengukuran kinerja yang mempergunakan laporan rugi laba mengandung distorsi. Untuk mengatasi kelemahan tersebut muncul alat penilaian kinerja alternatif yaitu economic value added (EVA). EVA mengukur pertambahan nilai yang dihasilkan oleh manajemen berkaitan dengan usaha
192
manajemen untuk meningkatkan kemakmuran pemegang sahamnya. EVA telah banyak digunakan di berbagai perusahaan besar di Amerika Serikat seperti Coca-cola, Quaker Oats. Berbeda dengan pengukuran kinerja akuntansi tradisional, EVA mencoba mengukur nilai tambah yang dihasilkan dengan cara mengurangi biaya modal yang timbul dari investasi yang dilakukan oleh perusahaan. Di Indonesia, perusahaan yang telah menerapkan metoda EVA yaitu Unilever. Perusahaan lain seperti PT HM Sampoerna Tbk, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, dan PT Astra International Tbk tidak secara khusus menerapkan metoda EVA, hanya saja strategi pengelolaan perusahaan yang benar membuat perusahaan mampu mencapai Economic Profit – istilah lain dari EVA (Djawahir, 2006). Penilaian kinerja keuangan dengan metoda EVA dapat lebih akurat, karena EVA memperhitungkan biaya modal dengan cara mengurangkan laba bersih operasi setelah pajak dengan biaya modal. Menurut Djawahir (2006) prinsip pendekatan ini adalah tak ada modal gratis. Semua modal yang digunakan untuk operasional perusahaan dihitung biayanya termasuk setoran modal dari pemegang saham. Dengan menghitung semua biaya modal akan terlihat kemampuan riil perusahaan dalam menciptakan nilai tambah. Perusahaan yang laba bersihnya tampak bagus, belum tentu memiliki nilai tambah dari kegiatan operasionalnya. Hal ini dapat disebabkan adanya sebagian besar modal kerjanya yang bersumber dari pemegang saham yang dalam penghitungan kinerja keuangan konvensional dianggap sebagai modal gratis. Sebaliknya, perusahaan yang mencatat EVA bagus, dipastikan laba bersihnya bagus pula. Dalam hal ini, EVA diakui dapat memberi nilai tambah bagi para pemegang saham. Menurut Young dan O’Byrne (2001), agar perusahaan dapat menghasilkan return, pendapatan perusahaan tersebut haruslah cukup, tidak hanya untuk menutupi semua cost operasi tetapi juga semua capital cost termasuk cost of equity .Menurut Biddle et.al (1998), earnings per share dan peningkatan earnings adalah ukuran menyesatkan dari kinerja perusahaan. Apabila dibandingkan antara EVA dan rasio profitabilitas, kedua alat ukur ini memiliki perbedaan. EVA adalah metode baru untuk mengukur kinerja perusahaan, sementara rasio profitabilitas merupakan alat ukur konvensional. Apabila EVA merupakan metode baru, maka seharusnya memberikan hasil yang lebih
PENGARUH PERBANDINGAN ECONOMIC VALUE ADDED DAN............... (Priska Ika Setiyorini)
akurat dibandingkan metode yang lainnya. Hasil yang akurat akan membantu perusahaan maupun investor dalam melihat posisi perusahaan dalam industrinya. Para investor dalam melakukan pengambilan keputusan investasi dapat menggunakan berbagai alat untuk membantu menilai saham-saham yang layak dapat dibeli. Pengambilan keputusan investasi tersebut dapat dilakukan dengan memperhatikan berbagai faktor di antaranya adalah analisis fundamental yang menunjukkan kinerja internal perusahaan dan kinerja eksternal perusahaan yang didasarkan pada karakteristik perusahaan. Beberapa penelitian empiris mengenai pengukuran kinerja mana dalam menjelaskan hubungannya dengan return saham telah banyak dilakukan di luar negeri. Penelitian Lehn dan Makhija (1996) terhadap 241 perusahaan di Amerika Serikat selama kurun waktu 1987-1993 menghasilkan kesimpulan bahwa EVA berkorelasi positif dengan tingkat pengembalian investasi dalam saham (stock return). Hubungan EVA tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan return on asset (ROA), return on equity (ROE), dan return on sales (ROS) dengan return saham. Hartono dan Chendrawati (1999) melakukan penelitian dengan menggunakan sampel perusahaan-perusahaan yang masuk dalam ILQ 45 dengan periode penelitian 1994-1996. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukuran kinerja ROA lebih berkorelasi secara signifikan dengan rate of return on shares baik secara cross sectional regression maupun pooled data regression dibandingkan dengan EVA. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa EVA secara statistik tidak berhubungan dengan rate of return on shares sehingga hasilnya dapat dikatakan bertentangan dengan hasil penelitian baik oleh Lehn dan Makhija (1996) maupun Dodd dan Chen (1996). Penelitian Biddle et.al (1998) lebih menekankan pada apakah EVA mempunyai kandungan dan peningkatan informasi relatif dibandingkan dengan residual income (RI), cash flow from operations (CFO), earnings (earnings before extraordinary item). Hasil penelitian menunjukkan bahwa EVA tidak secara signifikan mendominasi terhadap earnings atas kandungan informasi relatif dalam hubungannya dengan return saham Alat ukur yang digunakan untuk menilai kinerja perusahaan seharusnya mempunyai hubungan langsung dengan return yang diterima oleh para
pemegang saham. Sebagai tolok ukur kinerja yang baik, EVA juga seharusnya mempunyai hubungan yang signifikan terhadap return yang diterima oleh pemegang saham, sebagaimana tolok ukur kinerja yang lain. Hal inilah yang membuat peneliti ingin menguji kembali penelitian yang dilakukan oleh Lehn dan Makhija (1996); Biddle et.al (1998); Hartono dan Chendrawati (1999). Tujuan penelitian ini untuk menguji secara empiris apakah terdapat pengaruh positif antara economic value added, earnings, cash flow from operations, operating income, return on assets, return on equity terhadap return saham serta untuk menguji apakah economic value added memiliki pengaruh yang paling signifikan terhadap return saham. MATERI DAN METODE PENELITIAN Economic Value Added (EVA) merupakan salah satu alat pengukuran kinerja perusahaan yang dipopulerkan oleh G. Bennet Stewart dan Joel M. Stern. EVA mengukur nilai tambah perusahaan dengan menghitung seluruh biaya modal baik setoran modal yang berasal dari pemegang saham maupun dari pinjaman atau risiko yang dihadapi perusahaan dalam melakukan investasi. Perusahaan baru bisa dikatakan mampu memberikan nilai tambah bagi pemegang saham bila keuntungan (return) yang dihasilkan lebih tinggi dari biaya modal (cost of capital) Chen dan Dodd (2001). Berdasarkan hasil penelitian Stewart (1993) dalam Afrinaldi (2003), EVA adalah nilai tambah ekonomis yang diciptakan perusahaan dari kegiatan atau strateginya selama periode tertentu. Prinsip EVA memberikan sistem pengukuran yang baik untuk menilai suatu kinerja dan prestasi keuangan manajemen perusahaan karena EVA berhubungan langsung dengan nilai pasar sebuah perusahaan. Konsep utama EVA adalah pengurangan biaya modal (cost of capital) dari net operating profit after tax (NOPAT) yang dapat mendorong manajemen perusahaan untuk lebih memperhatikan kebijaksanaan struktur modalnya. EVA secara eksplisit memperhitungkan biaya modal atas ekuitas dan mengakui bahwa modal atas ekuitas memiliki tingkat resiko yang lebih tinggi. Anggapan ini disebabkan tidak diperhitungkannya biaya modal atas ekuitas dalam laporan laba rugi sehingga seolah-olah dana ekuitas tersebut adalah gratis. Secara sederhana EVA didefinisikan sebagai laba operasi bersih setelah
193
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 191-208
pajak atau NOPAT dikurangi dengan biaya modal dari seluruh modal yang dipergunakan untuk menghasilkan laba tersebut (Rousana, 1997). Kenaikan laba operasi setelah pajak belum tentu menaikkan nilai EVA karena kenaikan laba operasi dapat mengakibatkan kenaikan risiko bisnis yang dihadapi perusahaan apabila kenaikan tersebut bukan berasal dari efisiensi internal melainkan hasil investasi pada bidang-bidang bisnis yang baru. Kenaikan risiko akan membawa konsekuensi pada kenaikan tingkat pengembalian yang diharapkan yang pada akhirnya akan menaikkan biaya modal. Selain itu, EVA masih tergantung pada struktur modal yang kemudian akan menentukan tingkat risiko keuangan dan biaya modal (Mirza, 1997) Metode EVA yang berhasil diciptakan perusahaan adalah faktor yang paling relevan dalam pembentukan nilai perusahaan yang akhirnya berpengaruh pada harga saham. Apabila hasil pengukuran EVA positif menandakan adanya peningkatan nilai perusahaan. Peningkatan nilai suatu perusahaan dicerminkan melalui harga saham yang diterbitkan oleh emiten dan terdaftar di bursa saham. Umumnya, fluktuasi nilai pasar saham disebabkan adanya perubahan laba perusahaan yang tercermin dalam laporan kinerja perusahaan. Hal ini menyebabkan nilai perusahaan menjadi ukuran yang sangat penting bagi investor dalam mengambil keputusan pembelian suatu saham (Dwiyanti, 2005) Brigham dan Houston (2001), menyatakan bahwa EVA merupakan sisa laba setelah semua biaya modal yang digunakan untuk menghasilkan laba tersebut dibebankan. Nilai EVA sama dengan laba bersih setelah pajak (NOPAT), setelah dikurangkan dengan biaya-biaya modal yang ditanamkan (capital charges). Dengan demikian, unsur-unsur pembentuk EVA terdiri dari laba bersih setelah pajak dan biaya modal rata-rata tertimbang (WACC). Salah satu unsur pembentuk EVA adalah laba bersih setelah pajak (NOPAT). Laba bersih setelah pajak sering digunakan perusahaan sebagai salah satu indikator yang menunjukkan baik buruknya kinerja suatu perusahaan. Untuk mengukur kinerja perusahaan, laba bersih setelah pajak belum dapat dijadikan sebagai ukuran baik tidaknya kinerja perusahaan. Hal itu terkait dengan biaya modal yang belum dapat dipertimbangkan dalam memperoleh laba bersih setelah pajak (Young dan O’Bryne, 2001).
194
Cost of Capital atau biaya modal mempunyai dua makna, tergantung dari sisi investor atau perusahaan. Berdasar sisi investor, Cost of capital adalah opportunity cost dana yang ditanamkan investor pada suatu perusahaan, sedang berdasar sisi perusahaan, cost of capital adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk memperoleh sumber dana yang dibutuhkan (Keown, 1999 dalam Iramani, 2005) Menurut Meilani dan Ardhanova (2006), WACC merupakan rata-rata tertimbang biaya hutang dan modal sendiri yang menggambarkan tingkat pengembalian investasi minimum untuk mendapatkan tingkat pengembalian yang diharapkan oleh penyedia dana. Biaya hutang (Kd) adalah sebesar tingkat keuntungan yang diminta oleh investor baru (pemilik dana) atau tingkat bunga yang harus dibayar perusahaan di dalam pasar sekarang untuk mendapatkan hutang jangka panjang yang baru oleh (Hartono dan Chendrawati, 1999). Biaya hutang dapat juga diartikan sebagai biaya yang ditanggung perusahaan akibat pemakaian dana pinjaman (Pradhono dan Christiawan, 2004). Semakin besar biaya hutang, maka biaya modal (WACC) yang ditanggung perusahaan juga semakin tinggi. Dengan biaya modal (WACC) yang tinggi, maka akan mempengaruhi EVA yang dihasilkan perusahaan yakni semakin kecil. Hal itu terkait dengan penggunaan metode EVA yang memasukkan biaya modal sebagai unsur biaya dalam perhitungan. Biaya modal saham merupakan tingkat hasil pengembalian atas saham biasa yang diinginkan oleh para investor. Menurut Weston dan Copeland (1992) dalam Iramani, (2005), salah satu metode yang dapat digunakan dalam perhitungan biaya modal laba ditahan, yaitu pendekatan Capital Asset Pricing Model (CAPM), dimana biaya modal laba ditahan adalah tingkat pengembalian atas modal sendiri yang diinginkan oleh investor yang terdiri dari tingkat bunga bebas resiko dengan premi resiko pasar dikalikan dengan resiko saham perusahaan. Untuk menghitung biaya modal sendiri (Ke) digunakan pendekatan CAPM. Para ahli ekonomi mendefinisikan laba sebagai aliran kas ditambah dengan perubahan nilai pasar asset tersebut. Sementara itu para akuntan mendefinisikan laba sebagai kombinasi pendapatan yang diperoleh dan perubahan nilai pasar dari sebuah asset (Elton dan Gruber, 1995). Jika investor
PENGARUH PERBANDINGAN ECONOMIC VALUE ADDED DAN............... (Priska Ika Setiyorini)
memfokuskan pada earnings per share perusahaan sebagai variabel kritis dalam analisis sekuritas, sebaiknya investor memahami bagaimana fungsi EPS itu dan bagaimana EPS itu dihasilkan. Peran EPS dalam laporan keuangan perusahaan dipandang sebagai informasi utama bagi investor. Selain neraca dan laporan arus kas, laporan rugi laba merupakan salah satu laporan keuangan yang sering digunakan investor tidak hanya untuk menilai kinerja manajemen saat ini tetapi juga menjadi pedoman bagi investor untuk melihat profitabilitas perusahaan dimasa yang akan datang. Pos kunci bagi investor dalam laporan laba rugi adalah laba bersih setelah pajak (net income), yang dibagi dengan jumlah saham beredar menghasilkan Earnings per Share (EPS). Laba operasi adalah laba yang diperoleh sebagai kelebihan pendapatan atas harga pokok penjualan dan beban operasi (Chen dan Dodd, 2001). Laba usaha ini juga sering disebut earnings before interest and tax (EBIT) atau laba tingkat kedua dalam laporan laba rugi yang mengukur kinerja kegiatan perusahaan secara keseluruhan, laba kotor dikurangi dengan beban usaha. Angka laba usaha dapat digunakan sebagai satu dasar bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengukur kesuksesan terpisah dari kegiatan pembelanjaan dan kegiatan investasi dan terpisah dari status pajak. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Biddle et.al (1995) dalam Handayani, (2004), yang mengatakan bahwa laba usaha merupakan laba yang diperoleh perusahaan dari aktivitas usaha atau operasinya (sesuai dengan maksud didirikannya perusahaan), belum dikenai biaya atau beban pinjaman dana dari kreditor, baik berupa bunga dari obligasi atau hutang jangka panjang. Informasi tentang arus kas suatu perusahaan berguna bagi para pemakai laporan keuangan sebagai dasar untuk menilai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan kas dan setara kas dan menilai kebutuhan perusahaan untuk menggunakan arus kas tersebut. CFO adalah jumlah kas yang diterima dari aktivitas operasi normal perusahaan (Kieso et al, 2001). Menurut PSAK (No.2/2004), jumlah arus kas yang berasal dari aktivitas operasi merupakan indikator yang menentukan apakah dari operasinya perusahaan dapat menghasilkan arus kas yang cukup untuk melunasi pinjaman, memelihara kemampuan operasi perusahaan, membayar dividen dan melakukan investasi baru tanpa mengandalkan pada sumber pendanaan dari luar. Informasi mengenai
unsur tertentu arus kas historis bersama dengan informasi lain, berguna dalam memprediksi arus kas operasi masa depan. CFO sebagai pengukur kinerja, arus kas operasi tidak mengalami distorsi dibandingkan dengan angka laba bersih. Hal ini terjadi karena sistem akrual yang menghasilkan angka laba tergantung pada akrual, alokasi dan penilaian yang semuanya melibatkan subyektivitas yang tinggi. Sehubungan dengan itu, para analis lebih suka mengaitkan arus kas operasi dengan laba bersih sebagai alat untuk memeriksa terhadap angka laba bersih tersebut (Chen dan Dodd, 1997). Return on asset merupakan salah satu rasio keuangan yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja keuangan suatu perusahaan. ROA merupakan alat ukur efisiensi dari suatu perusahaan dalam menciptakan laba dari total aktiva yang dimiliki perusahaan (Hartono dan Chendrawati, 1999). Sama halnya dengan metode tradisional lainnya, metode ROA cenderung hanya memperhatikan laba. Menurut Pedoman Standar Akuntansi dan Keuangan (PSAK), model rasio berhenti pada laba yang diperoleh perusahaan tanpa mengurangkan biaya modal yang terjadi sebagaimana yang diperhitungkan dalam metode EVA. Dengan metode ROA, akan diketahui tingkat kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba yang dilihat dari rasio ROA yang diperoleh (Poeradisastra, 2001). Semakin tinggi rasio yang diperoleh, maka semakin tinggi pula tingkat kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba atas aktiva yang dimilikinya, dan sebaliknya. Return on equity merupakan salah satu rasio keuangan yang biasa digunakan untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan. ROE adalah rasio antara laba bersih setelah pajak terhadap penyertaan modal sendiri yang berarti juga merupakan ukuran untuk menilai seberapa besar tingkat pengembalian dari saham sendiri yang ditanamkan dalam bisnis yang bersangkutan (Widayanto, 1993 dalam Handayani, 2004). Beberapa analisis menggunakan rasio ini sebagai evaluasi akhir di dalam perusahaan. Saham suatu perusahaan bisa dinilai dari pengembalian yang diterima pemegang saham dari perusahaan yang bersangkutan. Return bagi pemegang saham dapat berupa penerimaan dividen tunai atau adanya perubahan harga saham pada suatu periode
195
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 191-208
(Ross, 2002). Biddle, et al (1997) menguji pernyataan bahwa EVA mempunyai pengaruh yang lebih nyata terhadap return yang diterima oleh pemegang saham dibandingkan dengan residual income, arus kas operasi, serta mengevaluasi komponen unik EVA yang mana mempunyai pengaruh terhadap return. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ternyata earnings memiliki pengaruh yang lebih nyata dibandingkan dengan EVA, residual income dan arus kas operasi. Dasar utama orang melakukan investasi adalah mendapatkan keuntungan. Keuntungan dalam investasi ini disebut sebagai return. Secara lebih spesifik bila seseorang berinvestasi pada sebuah saham perusahaan, dia akan memperoleh deviden dalam setiap periodenya dan bila saham itu dijual maka investor ini akan memperoleh keuntungan atau kerugian sebagai akibat dari selisih harga pada saat membeli saham dengan harga pada saat saham tersebut dijual capital gains(loss) (Tandelilin, 2000). Sesuatu yang wajar apabila seseorang investor menuntut tingkat keuntungan tertentu terhadap dana yang diinvestasikan. Konsep dasarnya adalah semakin tinggi return yang diharapkan investor umumnya akan semakin tinggi juga resiko yang dihadapi investor (Tandelilin, 2000). Investor akan memilih saham yang memiliki tingkat resiko rendah dengan tingkat return semaksimal mungkin. Kemampuan perusahaan satu dengan lainnya adalah berbeda. Perbedaan ini dapat dipengaruhi oleh ukuran perusahaan. Informasi mengenai ukuran perusahaan dapat dijadikan pertanda bagi investor untuk memprediksi return saham. Perusahaan besar dipandang memiliki kemampuan yang lebih baik dalam operasinya sehingga pertumbuhan perusahaan dalam jangka panjang akan stabil, sedang perusahaan kecil memiliki dana yang sedikit untuk mendanai investasinya, sehingga dianggap tidak dapat menjanjikan keuntungan yang tinggi dalam jangka panjang. Beberapa satuan yang dapat dijadikan proksi bagi ukuran perusahaan yaitu market value, total assets, book value of equity, dan sales (Afrinaldi, 2003) Penelitian yang dilakukan oleh Banz (1981) dalam Purnomo (2003) menghasilkan temuan bahwa saham perusahaan kecil cenderung menghasilkan return yang lebih tinggi. Elton dan Gruber (1995) menghasilkan kesimpulan yang berbeda, yaitu bahwa perusahaan dalam ukuran besar menghasilkan return yang lebih
196
baik dibanding perusahaan kecil karena perusahaan besar lebih akurat dibanding perusahaan kecil dalam memperoleh informasi. Penelitian ini menggunakan total asset sebagai ukuran perusahaan. Total asset diprediksi mempunyai hubungan yang negatif dengan risiko. Ukuran total asset dipakai sebagai pengukur besarnya perusahaan. Perusahaan yang besar dianggap mempunyai risiko yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil karena perusahaan besar dianggap memiliki akses ke pasar modal sehingga dianggap mempunyai beta yang lebih kecil (Elton dan Gruber, 1995) Metode pengukuran kinerja keuangan yang digunakan selama ini adalah menggunakan rasio keuangan. Metode rasio tersebut dapat dikatakan belum ada yang cukup akurat dan komprehensif yang mampu memberikan penilaian kinerja secara wajar (Mirza, 1997). Hal tersebut juga didukung Harjanti (2002) yang menyatakan bahwa model yang lazim digunakan untuk mengukur kinerja keuangan adalah dasar angka rasio. Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Purnomo (1998) menyatakan bahwa pengukuran kinerja keuangan dengan rasio dapat menjelaskan kinerja keuangan secara lebih fundamental baik mengenai kekuatan maupun kelemahannya. Rasio keuangan yang dibandingkan dengan rasio keuangan perusahaan pada periode-periode sebelumnya dapat memberikan informasi tentang arah trend (kecenderungan) dari posisi keuangan apakah tetap, meningkat atau menurun (Munawir, 2002). Penelitian Pradhono dan Christiawan (2004) menunjukkan bahwa variabel earnings dan arus kas operasi signifikan secara statistik atau berpengaruh terhadap return yang diterima oleh pemegang saham. Penelitian mengenai hubungan antara alat penilai kinerja keuangan dengan return saham, telah dilakukan oleh beberapa penelitian terdahulu. Hasil-hasil yang diperoleh diantara penelitian tersebut bervariasi. Penelitian Lehn dan Makhija (1996) yang melakukan penelitian mengenai kaitan antara berbagai pengukur kinerja seperti EVA, return on assets (ROA) dan return on equity (ROE), return on sales (ROS) terhadap tingkat pengembalian saham (stock returns), yang secara umum dianggap sebagai pengukur kinerja terbaik dari kinerja perusahaan. Hasil penelitian mereka menyatakan bahwa variabel-variabel seperti EVA, ROA, ROE, ROS mempunyai pengaruh positif terhadap stock returns. Akan tetapi pengaruh EVA terhadap stock re-
PENGARUH PERBANDINGAN ECONOMIC VALUE ADDED DAN............... (Priska Ika Setiyorini)
turns lebih tinggi dibandingkan dengan variabel lainnya yaitu ROA, ROE, ROS. Penelitian yang dilakukan oleh Biddle et.al (1998) lebih menekankan pada apakah EVA mempunyai kandungan dan peningkatan informasi relatif dibandingkan dengan residual income (RI), cash flow from operations (CFO), earnings (earnings before extraordinary item). Hasil penelitian menunjukkan bahwa EVA tidak secara signifikan mendominasi terhadap earnings atas kandungan informasi relatif dalam hubungannya dengan return saham. Hal ini ditunjukkan nilai R2 EBEI sebesar 9% dibandingkan dengan nilai R2 dari CFO dan RI masing-masing sebesar – 2,4% dan 6,2% untuk relative information content, dan nilai untuk incremental information content masing-masing adalah nilai R2 EBEI sebesar -24,66%, R2 CFO sebesar -11,55%, R2 EVA sebesar -9,81% dan R2 RI sebesar -2,31%. Peixoto (2001) melakukan penelitian mengenai perbandingan pengaruh EVA dan tolok ukur keuangan yang lain yaitu net income dan operating profit terhadap equity market value, serta mengambil sampel perusahaan publik di Portugal. Selain itu penelitian ini juga membandingkan hubungan antara EVA dan market value added (MVA) dengan hubungan antara MVA dan net income atau operating profit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel net income adalah satusatunya variabel yang signifikan secara statistik. Penelitian Chen dan Dodd (2001) menunjukkan bahwa EVA tidak memiliki kandungan informasi relatif yang lebih baik atau tinggi dibandingkan dengan RI dan OI terhadap stock returns. EVA hanya mampu menjelaskan variasi return saham sebesar 0,006; sedangkan untuk residual income sebesar 0,078 dan untuk operating income sebesar 0,094. serta mengambil sampel perusahaan publik di USA. Uyemura dan Petit (1996) dalam Pradhono dan Christiawan (2004) menganalisis lima ukuran kinerja yaitu earnings per share, net income, return on equity. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa EVA memiliki korelasi paling tinggi dengan MVA dan juga dengan harga saham. Penelitian Ramana (2003) menguji hubungan antara market value added (MVA) dan EVA pada perusahaan go publik di Indian. Fokus penelitian ini adalah hubungan antara MVA dan EVA dan hubungan antara MVA dan alat ukur akuntansi lain seperti net
operating profit after tax (NOPAT), profit after tax (PAT), profit before interest and tax (PBIT) dan cash flow from operations (CFO). Hasil penelitian ini menunjukkan EVA bukanlah alat ukur yang superior dibandingkan dengan alat ukur konvensional terhadap MVA serta variabel NOPAT dan PAT memiliki korelasi tertinggi terhadap MVA. Hal yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah menguji kemampuan economic value added dibandingkan dengan rasio profitabilitas perusahaan seperti earnings, cash flow from operations, operating income. return on asset ,return on equity. Dipilihnya pengukur tersebut didasarkan pada peranannya dalam laporan keuangan yang sangat penting dalam menentukan perolehan laba yang dapat dicapai oleh perusahaan. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengukur-pengukur tersebut dapat memberikan informasi yang lebih akurat dan lebih kuat dibandingkan dengan EVA. Pada penelitian ini juga dikembangkan kriteria-kriteria pemilihan sampel perusahaan. Hal itu dimasudkan agar informasi yang diperoleh melalui hasil perhitungan dari masing-masing alat pengukuran kinerja keuangan yang akan diteliti dapat lebih akurat. Penilaian kinerja keuangan dengan metoda EVA dapat lebih akurat, karena EVA memperhitungkan biaya modal dengan cara mengurangkan laba bersih operasi setelah pajak dengan biaya modal. Semua modal yang digunakan untuk operasional perusahaan dihitung biayanya termasuk setoran modal dari pemegang saham. Dengan menghitung semua biaya modal, perusahaan yang laba bersihnya tampak bagus belum tentu memiliki nilai tambah dari kegiatan operasionalnya. Sebaliknya, perusahaan yang mencatat EVA bagus, dipastikan bahwa laba bersihnya bagus pula. Dalam hal ini, EVA diakui dapat memberi nilai tambah bagi para pemegang saham, sehingga akan terlihat kemampuan riil perusahaan dalam menciptakan nilai tambah. Penelitian yang dilakukan oleh Lehn dan Makhija (1996) mengenai hubungan antara enam pengukuran kinerja dengan stock returns menunjukkan bahwa korelasi EVA dengan Stock Returns yang tertinggi dibanding korelasi EVA dengan market value added. Hasil penelitian Worthington (2004) menunjukkan bahwa varian dari residual income yang juga dikenal sebagai EVA mempunyai hubungan yang lebih tinggi terhadap stock returns dibandingkan dengan pengukuran berdasarkan akuntansi.
197
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 191-208
Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis yang dikembangkan adalah: Ha1: Economic value added berpengaruh positif terhadap return saham Cash flow from operations menunjukkan hasil operasi yang dananya telah diterima tunai oleh perusahaan serta dibebani dengan beban yang bersifat tunai yang benar-benar sudah dikurangi oleh perusahaan. Dalam laporan rugi laba menunjukkan angka penjualan dan laba usaha yang tinggi tetapi ternyata bersifat semu karena dibebani dengan biaya bersifat non tunai misalnya beban penyusutan dan amortisasi (Tulasi, 2006). Manajemen maupun investor menyadari bahwa arus kas operasi positif lebih menjamin kemampuan perusahaan dalam menjalankan aktivitas usahanya di masa yang akan datang. Perusahaan yang mampu membayar dividen kepada pemegang saham adalah perusahaan yang memiliki earnings tinggi dan dana tunai yang cukup (Pradhono dan Christiawan (2004). Penelitian Pradhono dan Christiawan (2004) menemukan bahwa variabel earnings dan arus kas operasi signifikan secara statistik atau berpengaruh terhadap return yang diterima oleh pemegang saham. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis yang dikembangkan adalah: Ha2: Cash flow from operations mempunyai pengaruh positif terhadap return saham. Earnings sebagai salah satu analisis intrinsik perusahan sangat penting bagi investor, karena earnings dapat memberikan gambaran arus kas yang diperlukan perusahaan untuk membayar dividen yang akan diterima investor. Earnings berdampak nyata terhadap kinerja saham. Earnings disusun berdasarkan standar akuntansi dan nampak langsung pada laporan laba rugi. Publikasi earnings seringkali langsung memberikan dampak positif terhadap perkembangan harga saham, earnings positif juga memungkinkan perusahaan membagi dividen kepada pemegang sahamnya. (Pradhono dan Christiawan, 2004). Pendapat tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Liu dan Thomas (1998) yang menunjukkan bahwa accounting earning masih mempunyai explanatory power yang cukup baik dalam menjelaskan return saham perusahaan. Penelitian Biddle et. al (1997) menunjukkan bahwa ternyata earnings memiliki pengaruh yang lebih nyata dibandingkan dengan EVA, residual income dan cash flow from operations.
198
Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis yang dikembangkan adalah: Ha3: Earnings per share mempunyai pengaruh positif terhadap return saham. Operating Income atau laba operasi adalah laba yang diperoleh sebagai kelebihan pendapatan terhadap harga pokok penjualan dan beban operasi (Chen dan Dodd, 2001). Laba usaha ini juga sering disebut EBIT atau laba tingkat kedua dalam laporan laba rugi yang mengukur kinerja kegiatan perusahaan secara keseluruhan, laba kotor dikurangi dengan beban usaha. Berdasarkan penelitian Chen dan Dodd (1998) dalam Chen dan Dodd (2001), relevansi nilai operating profit (OP), residual income (RI), dan EVA yang didasarkan pada model Easton dan Harris (1991) menyimpulkan operating profit lebih memiliki explanatory power dan kandungan informasi tertinggi terhadap stock returns dibandingkan dengan EVA dan RI. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis yang dikembangkan adalah: Ha4: Operating income mempunyai pengaruh positif terhadap return saham ROE adalah rasio antara laba bersih setelah pajak terhadap penyertaan modal sendiri yang berarti juga merupakan ukuran untuk menilai seberapa besar tingkat pengembalian (%) dari saham sendiri yang ditanamkan dalam bisnis yang bersangkutan (Widayanto, 1993 dalam Handayani, 2006). ROA merupakan alat ukur efisiensi dari suatu perusahaan dalam menciptakan laba dari total aktiva yang dimiliki perusahaan (Hartono dan Chendrawati, 1999). Semakin tinggi rasio ROA yang diperoleh, maka semakin tinggi pula tingkat kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba atas aktiva yang dimilikinya, sehingga dengan adanya peningkatan laba akan berdampak pada kenaikan return saham. Lehn dan Makhija (1996) melakukan penelitian mengenai kaitan antara berbagai pengukur kinerja seperti EVA, return on asset (ROA) dan return on equity (ROE), return on sales (ROS) terhadap tingkat pengembalian saham (stock returns), yang secara umum dianggap sebagai pengukur kinerja terbaik dari kinerja perusahaan. Hasil penelitian menyatakan bahwa variabel-variabel seperti EVA, ROA, ROE, ROS mempunyai pengaruh terhadap stock returns. Penelitian yang dilakukan oleh Dodd dan Chen (1996) dalam Peixoto meneliti korelasi antara stock returns dan EVA, residual income, ROA, ROE, dan EPS. Hasil
PENGARUH PERBANDINGAN ECONOMIC VALUE ADDED DAN............... (Priska Ika Setiyorini)
penelitian menunjukkan ROA memiliki korelasi paling tinggi dengan stock returns dibandingkan pengukur kinerja yang lain. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis yang dikembangkan peneliti adalah: Ha5: Return on assets mempunyai pengaruh positif terhadap return saham. Ha6: Return on equity mempunyai pengaruh positif terhadap return saham. EVA merupakan nilai tambah ekonomis yang diciptakan perusahaan dari kegiatan atau strateginya selama periode tertentu. Prinsip EVA memberikan sistem pengukuran yang baik untuk menilai suatu kinerja dan prestasi keuangan manajemen perusahaan karena EVA berhubungan langsung dengan nilai pasar sebuah perusahaan (Utomo, 1999). Jika perusahaan berhasil membukukan EVA positif maka menghasilkan laba bersih yang bagus, maka EVA diakui memberi nilai tambah bagi para pemegang saham (Hartoyo, 2006). Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis yang dikembangkan adalah: Ha7: Economic value added paling berpengaruh terhadap return saham. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis economic value added, earnings, cash flow from operations, operating income, return on assets, return on equity terhadap return saham pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Periode pengamatan yang ditetapkan adalah selama 5 tahun yakni tahun 2001-2005. Batasan pengamatan periode tersebut didasarkan pertimbangan bahwa dalam periode tersebut keadaan tingkat inflasi di Indonesia menunjukkan angka yang tidak terlalu berbeda dan kondisi perekonomian Indonesia relatif stabil dan membaik. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan tersebut diharapkan memiliki kondisi keuangan yang lebih baik. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada tahun 2001-2005. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) dengan periode pengamatan tahun 2001–2005. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan non probability sampling dengan metode purposive sampling dengan kriteria tertentu 1) perusahaan go public yang termasuk ke dalam kategori industri manufaktur, 2) perusahaan menerbitkan laporan keuangan setiap tahun berturut-
turut selama periode tahun 2001-2005 dengan tahun buku yang berakhir pada 31 Desember. Hal ini untuk menghindari adanya pengaruh waktu parsial dalam perhitungan, dan 3) mencantumkan beban bunga dalam laporan keuangan. Berdasarkan hasil proses penyampelan dengan menggunakan metode purposive sampling diperoleh sampel sebanyak 109 perusahaan setiap tahunnya seperti terlihat pada Tabel 1 berikut ini: Tabel 1 Prosedur Pemilihan Sampel
No. Kriteria 1 2 3 4
5
6
Perusahaan terdaftar di BEJ tahun 2001-2005 Perusahaan yang termasuk kategori non manufaktur Perusahaan yang termasuk kategori manufaktur Perusahaan yang belum menerbitkan laporan keuangannya sampai dengan tanggal 31 Desember 2005 Perusahaan yang menerbitkan laporan keuangan berturutturut selama periode 2001-2005 Perusahaan yang terpilih sebagai sampel selama periode tahun 2001-2005
Jumlah Perusahaan 339 (173) 166
(57)
109
109
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pooling selama tahun 2001-2005. Data tersebut berupa data sekunder yang meliputi 1) data biaya bunga, hutang, laba operasi dan laba sebelum pajak, laba setelah pajak perusahaan yang diperoleh dari laporan keuangan perusahaan, 2) data tingkat suku bunga bebas resiko yang didasarkan pada tingkat bunga SBI, dan 3) data harga saham perusahaan sampel yang diperlukan untuk menentukan harga saham perusahaan sampel. Harga saham adalah closing price pada periode pengamatan. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Pojok Bursa Efek Jakarta, UGM, dan International Capital Market Directory (ICMD)
199
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 191-208
Metode yang digunakan untuk menguji hipotesis dilakukan dengan menggunakan metode regresi linier berganda. Dalam metode ini akan menggunakan metode analisis kuantitatif yang menggunakan uji statistik untuk membuktikan hipotesis yang ada. Dalam model ini digunakan variabel total asset sebagai deflasi dengan tujuan agar dapat memenuhi uji asumsi klasik .Model umum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
Rt a b1
EVAt CFOt OI b2 b3EPSt b4 t TAt TAt TAt
b5 ROAt b6 ROEt b7 Log Total Asset Keterangan: Rt : Return Saham periode t a : intersep regresi b : koefisien regresi : Economic Value Added pada periode t EVAt TAt : Earnings (EPS) pada periode t EPS t : Cash Flow from Operations periode t CFOt TAt : Operating Income pada periode t OIt TA ROAtt : Return on Asset pada periode t
ROEt l
: Return on Equity pada periode t : Error term
HASIL PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh positif economic value added, cash flow from operation, earnings per share, operating income, return on asset, return on equity sebagai pengukur kinerja keuangan yaitu return saham. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar di BEJ selama tahun 2001-2005. Data awal adalah data semua perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ. Data awal yang digunakan sebanyak 109 perusahaan untuk periode pengamatan selama 5 tahun. Cara yang digunakan untuk menganalisis data yaitu dengan pooled data regression. Data bersih yang diperoleh merupakan data awal yang dikurang data yang tidak lengkap dan outliers. Outliers diperoleh setelah melakukan uji asumsi klasik, sehingga setelah mengeluarkan outliers data sampel akhir yang dihitung adalah sebanyak 427 sampel. Penelitian ini menggunakan model regresi linier berganda. Untuk mengetahui tepat tidaknya penggunaan model tersebut, maka terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap variabel-variabel penelitian yakni melalui uji asumsi klasik. Dalam melakukan uji
Tabel 2 Statistik Deskriptif Descriptive Statistics N ReturnSaham EVATA CFOTA EPS OITA ROA ROE LogTotalAsset Valid N (listwise)
427 427 427 427 427 427 427 427 427
Minimum -.042110000 -1522.38640 -.419354924 -277069.000 -10.0082463 -1.26182030 -2.67836644 9.802165766
Sumber: Hasil penelitian. Data diolah.
200
Maximum .10000000000 5896.238891 1.480093389 6958.000000 1.007340533 9.999999846 28.98050926 13.71235427
Mean -.00024023419 10.4189573235 .068301992584 -382.60208220 .039575673066 .264662572661 .449771237496 11.8128631952
Std. Deviation .0134138011208 296.3697475459 .1302369152377 13453.25578009 .5059883119942 .9014915841726 1.848540839342 .6688113493824
PENGARUH PERBANDINGAN ECONOMIC VALUE ADDED DAN............... (Priska Ika Setiyorini)
asumsi klasik, case number harus dihilangkan yaitu muncul pada tabel casewise diagnostic, kemudian satupersatu mengubah data dengan menghilangkan case number yang mengandung error. Uji asumsi klasik meliputi uji heteroskedastisitas, uji autokorelasi, uji multikolinearitas, dan uji normalitas. Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut Homoskedastisitas dan jika berbeda disebut Heterokedastisistas (Ghozali, 2005:105). Untuk mengetahui ada atau tidaknya heteroskedastisitas dilakukan dengan Uji White yaitu dengan meregresikan residual kuadrat (res2) dengan variabel independen (Ghozali, 2005:109). Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, dalam model regresi tersebut terjadi kesamaan varians dari residual pengamatan yang satu ke pengamatan yang lain atau terjadi heteroskedastisitas. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka dilakukan pengobatan terhadap variabel yang nilainya lebih rendah daripada 5% (CFO/TA) dengan mengeluarkan outliers sehingga tidak terjadi kesamaan varians residual atau terbebas dari heterokedastisitas. Hal tersebut menunjukkan bahwa varians residual dalam model regresi tersebut homokedastistas setelah mengeluarkan outlier dari sampel awal 545 sampel hingga menjadi 427 sampel akhir. Uji multikolineartitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel independen (Ghozali, 2005:109). Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas dalam persamaan regresi yaitu menggunakan nilai tolerance (TOL) dan Variance Inflation Factor (VIF). Jika nilai tolerance<0.10, maka terdapat multikolinearitas, sedangkan jika nilai VIF<10, maka tidak terdapat multikolinearitas (Ghozali, 2005:91). Adanya multikolinearitas mengakibatkan koefisien regresinya tidak tertentu atau standard error nya tidak terhingga, dan nantinya menimbulkan bias dalam spesifikasi. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan menunjukkan tidak ada korelasi antar variabel sehingga tidak terjadi multikolinearitas pada variabel EVA/TA, CFO/TA, EPS, OI/TA, ROA, ROE, log total asset.
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linier ada korelasi antara kesalahan penggangu pada periodet dengan kesalahan penggangu pada periode t-1 (periode sebelumnya). Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi (Ghozali, 2005:95). Untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi yaitu melakukan uji Durbin Watson (DW). Apabila nilai DW terletak di antara dU dan (4 – dU), maka koefisien korelasi sama dengan nol yang berarti tidak ada autokorelasi. Untuk menentukan nilai batas atas atau upper bound (dU )dan batas bawah (dL) diperoleh dari tabel DW berikut. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan menunjukkan bahwa nilai DW sebesar 1.971, dengan n=200 dan k=7 pada tingkat signifikansi 5% diperoleh nilai dL=1.697; dU=1.841, 4dU=2.159 Dengan demikian, nilai DW terletak di antara dU< d <4- dU atau 1.841< 1.971 <2.159 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat autokorelasi di dalam model regresi. Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Uji normalitas dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Uji ini terdapat pada non-parametic statistic. Pada uji Kolmogorov-Smirnov jika probabilitas (asymp sig) lebih besar daripada signifikansi 0.05 maka data residual berdistribusi normal dengan demikian asumsi normalitas terpenuhi (Ghozali, 2005:112). Berdasarkan perhitunganyang dilakukan menunjukkan bahwa nilai probabilitas (asymp sig) kurang dari nilai signifikansi 0.05 atau 0.000<0.05 maka data residual tidak berdistribusi normal. Dengan demikian, asumsi normalitas tidak terpenuhi. Untuk mengatasi masalah normalitas, maka dilakukan pengobatan dengan menghilangkan data outlier. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai probabilitas (asymp sig) kurang dari nilai signifikansi 0.05 atau 0.000 < 0.05 maka data residual tidak berdistribusi normal dengan demikian asumsi normalitas tidak terpenuhi. Menurut teori Central Limit Theorem (CLT) apabila data sampel berjumlah lebih dari 30 dan data residual tidak berdistribusi normal maka pengujian terhadap model regresi dapat dilakukan. Hasil analisis regresi linier berganda ditunjukkan pada Tabel 3 berikut ini:
201
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 191-208
Tabel 3 Hasil Uji Regresi Linier Berganda Model Summaryb Model 1
R .392a
R Square .154
Adjusted R Square .140
Std. Error of the Estimate .0124416016652
DurbinWatson 1.971
a. Predictors: (Constant), LogTotalAsset, ROE, EVATA, EPS, ROA, OITA, CFOTA b. Dependent Variable: ReturnSaham ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares .012 .065 .077
df 7 419 426
Mean Square .002 .000
F 10.882
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), LogTotalAsset, ROE, EVATA, EPS, ROA, OITA, CFOTA b. Dependent Variable: ReturnSaham
Coefficientsa
Model 1
(Constant) EVATA CFOTA EPS OITA ROA ROE LogTotalAsset
Unstandardized Coefficients B Std. Error .011 .011 .000 .000 .015 .006 .000 .000 -.010 .001 -.001 .001 .000 .000 -.001 .001
Standardized Coefficients Beta -.003 .143 -.090 -.369 -.059 .050 -.051
t 1.036 -.068 2.598 -2.005 -7.777 -1.079 1.095 -1.116
Sig. .301 .946 .010 .046 .000 .281 .274 .265
a. Dependent Variable: ReturnSaham
Sumber: Hasil penelitian. Data diolah.
PEMBAHASAN Berdasarkan Tabel 3, tampak angka adjusted R2 adalah 0,140, Hal ini berarti 14% variabel return saham dapat dijelaskan oleh variasi dari keenam variabel independen EVA/TA, CFO/TA, EPS, OI/TA, ROA, ROE, sedang sisanya 86% dijelaskan oleh faktor-faktor lain. Berdasarkan uji ANOVA atau F test yang dilakukan diperoleh nilai Fhitung sebesar 10.882 dengan tingkat signifikansi 0,000. Karena probabilitas 0,000 jauh lebih
202
kecil daripada 0,05, maka model regresi dapat digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan uji signifikansi parameter individual atau t test tampak variabel independen EVA/TA memiliki nilai signifikansi sebesar 0.946 dan nilai koefisien korelasi -0.003. Dengan menggunakan level alpha 5%, nilai EVA/TA lebih besar dari tingkat signifikansinya atau 0.946 > 0.05. Untuk nilai t hitung adalah -0.068 lebih kecil dari nilai t tabel sebesar 1.960 pada level alpha 5%, menunjukkan bahwa economic
PENGARUH PERBANDINGAN ECONOMIC VALUE ADDED DAN............... (Priska Ika Setiyorini)
value added tidak mempunyai pengaruh positif terhadap return saham. Dengan demikian penelitian ini tidak berhasil membuktikan hipotesis alternatif pertama (Ha1) yang menyatakan bahwa economic value added mempunyai pengaruh positif terhadap return saham. Hasil ini tidak mendukung hipotesis pertama. Hal ini disebabkan karena salah satu unsur pembentuk EVA yaitu laba operasi setelah pajak (NOPAT). Adanya kenaikan laba operasi setelah pajak belum tentu menaikkan nilai EVA karena kenaikan laba operasi dapat mengakibatkan kenaikan risiko bisnis yang dihadapi perusahaan apabila kenaikan tersebut bukan berasal dari efisiensi internal melainkan hasil investasi pada bidang-bidang bisnis yang baru. Kenaikan risiko akan membawa konsekuensi pada kenaikan tingkat pengembalian yang diharapkan yang pada akhirnya akan menaikkan biaya modal. Selain itu, dalam perhitungan EVA, beban bunga hutang masih harus ditambah dengan beban ekuitas. Untuk menanggung beban bunga dari hutang saja, banyak perusahaan hanya mampu menghasilkan menghasilkan laba yang minimum atau rugi, sebagaimana tampak dalam laporan laba rugi., apalagi jika harus memperhitungkan beban ekuitas. Inilah yang menyebabkan banyak perusahaan akhirnya menghasikan nilai EVA yang negatif. Hal lain yang dapat dikaitkan yaitu kenyataan mengenai kerumitan perhitungan EVA. Angka EVA tidak langsung tersedia di laporan keuangan perusahaan, berbeda dengan arus kas operasi, laba operasi dan earnings yang bisa langsung diperoleh dari laporan laba rugi dan laporan arus kas. Sebagai akibat ini para pelaku pasar modal menghadapi kendala waktu untuk mengambil keputusan investasi berdasarkan EVA. EVA hanya menggambarkan penciptaan nilai pada satu tahun tertentu. Nilai suatu perusahaan merupakan akumulasi EVA selama umur perusahaan. Dengan demikian, dapat saja suatu perusahaan mempunyai EVA pada tahun yang berjalan positif tetapi nilai perusahaan rendah karena EVA dimasa datangnya negatif. Sebaliknya, untuk kegiatan perusahaan yang memerlukan pengembalian yang cukup lama, EVA awal tahun operasi adalah negatif sedang EVA masa akhir proyek adaah positif. Dengan demikian, penggunaan EVA untuk menilai kinerja harus melihat EVA masa kini dan masa mendatang (Utama, 1997). Selain itu konsep ini sangat tergantung pada transparansi internal dalam
perhitungan EVA secara akurat. Variabel CFO/TA memiliki nilai signifikansi sebesar 0.010 dan nilai koefisien korelasi 0.143. Dengan menggunakan level alpha 5%, nilai CFO/TA lebih kecil dari tingkat signifikansinya atau 0.010 < 0.05. Untuk nilai t hitung adalah 2.598 lebih besar dari nilai t tabel sebesar 1.960 pada level alpha 5%, menunjukkan bahwa cash flow of operations mempunyai pengaruh positif terhadap return saham. Dengan demikian, penelitian ini berhasil membuktikan hipotesis alternatif kedua (Ha2) yang menyatakan bahwa cash flow from operations mempunyai pengaruh positif terhadap return saham. Hasil ini mendukung hipotesis penelitian kedua. Hal ini disebabkan karena cash flow from operations menunjukkan hasil operasi yang dananya telah diterima tunai oleh perusahaan serta dibebani dengan beban yang bersifat tunai yang benar-benar sudah dikurangi oleh perusahaan. Dalam laporan rugi laba menunjukkan angka penjualan dan laba usaha yang tinggi tetapi ternyata bersifat semu karena dibebani dengan biaya bersifat non tunai misalnya beban penyusutan dan amortisasi (Tulasi, 2006). Manajemen maupun investor menyadari bahwa arus kas operasi positif lebih menjamin kemampuan perusahaan dalam menjalankan aktivitas usahanya di masa yang akan datang. Perusahaan yang mampu membayar dividen kepada pemegang saham adalah perusahaan yang memiliki earnings tinggi dan dana tunai yang cukup. Variabel EPS memiliki nilai probabilitas signifikansi sebesar 0.046 dan nilai koefisien korelasi 0.090. Dengan menggunakan level signifikansi alpha 5%, nilai EPS lebih kecil dari tingkat signifikansinya atau 0.046 < 0.05. Untuk nilai t hitung adalah -2.005 lebih kecil dari nilai t tabel sebesar 1.960 pada level alpha 5%, menunjukkan bahwa earnings per share mempunyai pengaruh negatif terhadap return saham. Dengan demikian, penelitian ini tidak berhasil membuktikan hipotesis alternatif ketiga (Ha3) yang menyatakan bahwa earnings per share mempunyai pengaruh positif terhadap return saham. Hasil ini tidak mendukung hipotesis penelitian ketiga. Hal ini disebabkan karena earnings berdampak nyata terhadap kinerja saham. Earnings disusun berdasarkan standar akuntansi dan nampak langsung pada laporan laba rugi. Publikasi earnings seringkali langsung memberikan dampak positif terhadap perkembangan harga saham, earnings positif juga memungkinkan perusahaan membagi
203
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 191-208
deviden kepada pemegang sahamnya. (Pradhono dan Christiawan, 2004). Apabila dikaitkan dari sisi kas maka dengan memiliki kas besar, perusahaan dapat menyelesaikan hutangnya macetnya, karena kreditor akan langsung memberikan potongan tertentu (cash settlement). Di sisi lain, banyaknya perusahaan yang mengalami kesulitan likuiditas, mengakibatkan termin penjualan menjadi lama, padahal perusahaan harus terus-menerus memproduksi dan menjual barangnya. Berdasarkan kondisi tersebut, dapat dipahami oleh investor bahwa earnings yang tinggi belum tentu mencerminkan kondisi yang menguntungkan pada periode berikutnya. Adanya tingkat kepercayaan yang rendah dari para investor terhadap laba akuntansi yang disebabkan adanya manipulasi laba. Hal itu disebabkan kelemahan dalam laporan keuangan yaitu laba yang dilaporkan tidak memasukkan biaya modal ekuitas sehingga pengukuran kinerja yang mempergunakan laporan rugi laba mengandung distorsi. Variabel OI/TA memiliki nilai probabilitas signifikansi sebesar 0.000 dan nilai koefisien korelasi 0.369. Dengan menggunakan level alpha 5%, nilai OI/ TA lebih kecil dari tingkat signifikansinya atau 0.000 < 0.05. Untuk nilai t hitung adalah -7.777 lebih kecil dari nilai t tabel sebesar 1.960 pada level alpha t 5%, menunjukkan bahwa operating income mempunyai pengaruh negatif terhadap return saham. Dengan demikian, penelitian ini tidak berhasil membuktikan hipotesis alternatif keempat (Ha4) yang menyatakan bahwa operating income berpengaruh positif terhadap return saham. Hasil ini tidak berhasil membuktikan hipotesis penelitian keempat. Hal ini disebabkan karena operating income atau laba operasi adalah laba yang diperoleh sebagai kelebihan pendapatan (revenue) atas harga pokok penjualan (cost of goods sold) dan beban operasi (operating expenses). Laba usaha ini merupakan laba yang diperoleh perusahaan dari aktivitas usaha atau operasinya belum dikenai biaya atau beban pinjaman dana (cost of funding) dari kreditor, baik berupa bunga dari obligasi atau hutang jangka panjang. Jadi laba usaha ini belum mencerminkan kinerja perusahaan yang sesungguhnya, karena walaupun laba operasi mengalami kenaikan belum tentu laba bersih akhir juga mengalami kenaikan, dan jika laba bersihnya tinggi pun belum tentu berpengaruh pada return karena jika perusahaan memperoleh laba yang negatif maka perusahaan tidak membagi dividen maka cenderung
204
akan menurunkan harga saham, atau laba yang dilaporkan perusahaan kemungkinan tidak sebenarnya karena ada indikasi manipulasi laba. Variabel ROA memiliki nilai probabilitas signifikansi sebesar 0.281 dan nilai koefisien korelasi – 0.059. Dengan menggunakan level alpha 5%, nilai ROA lebih besar dari tingkat signifikansinya atau 0.281>0.05. Untuk nilai t hitung adalah -1.079 lebih kecil dari nilai t tabel sebesar 1.960 pada level alpha t 5%, menunjukkan bahwa return on asset mempunyai pengaruh negatif terhadap return saham. Dengan demikian, penelitian ini tidak berhasil membuktikan hipotesis alternatif kelima (Ha5) yang menyatakan bahwa return on asset mempunyai pengaruh positif terhadap return saham. Hasil ini berhasil membuktikan hipotesis kelima. Variabel ROE memiliki nilai probabilitas signifikansi sebesar 0.274 dan nilai koefisien korelasi 0.050 Dengan menggunakan level signifikansi alpha 5%, nilai ROE lebih besar dari tingkat signifikansinya atau 0.274 > 0.05. Untuk nilai t hitung adalah 1.095 lebih kecil dari nilai t tabel sebesar 1.960 pada level alpha 5%, menunjukkan bahwa return on equity mempunyai pengaruh positif terhadap return saham akan tetapi dilihat dari nilai probabilitas tidak signifikan. Dengan demikian, penelitian ini tidak berhasil membuktikan hipotesis alternatif keenam (Ha6) yang menyatakan bahwa return on equity berpengaruh positif terhadap return saham. Hasil ini tidak berhasil membuktikan hipotesis keenam. Hal ini disebabkan karena metode ROA cenderung hanya memperhatikan laba. Hal ini mengakibatkan tingkat laba yang diperoleh dengan menggunakan rasio ROA sering kurang akurat karena tidak memasukkan semua unsur dalam laporan laba rugi dan neraca perusahaan (Poeradisastra, 2001). Jika suatu perusahaan memiliki aktiva yang besar, namun tidak dapat memanfaatkan aktiva tersebut untuk memaksimalkan laba maka perusahaan cenderung akan memperoleh laba yang minimum. Selain itu metode ROA tersebut tidak dapat mengukur kinerja perusahaan secara akurat. Hal ini disebabkan data yang digunakan adalah data akuntansi yang tidak terlepas dari estimasi yang dapat mengakibatkan timbulnya berbagai distorsi sehingga kinerja keuangan perusahaan tidak terukur secara tepat dan akurat. Begitu pula dengan ROE, adanya rasio yang rendah mengindikasikan bahwa kinerja manajemen tidak efisien atau menunjukkan berjalannya bisnis yang
PENGARUH PERBANDINGAN ECONOMIC VALUE ADDED DAN............... (Priska Ika Setiyorini)
mengeluarkan modal sangat banyak dengan sedikit utang jangka panjang. Menurut Utama (1997), menambahkan bahwa pengukur akuntansi tradisional seperti ROA dan ROE memiliki kelemahan sebagai pengukur penciptaan nilai karena mengabaikan adanya biaya modal, sehingga sulit untuk mengetahui apakah perusahaan menciptakan nilai atau tidak. Variabel kontrol log total asset yang merupakan proksi dari size perusahaan, memiliki nilai probabilitas signifikansi sebesar 0.265 dan koefisien korelasi -0.051. Dengan menggunakan level signifikansi alpha 5%, nilai log total asset lebih besar dari tingkat signifikansinya atau 0.265 > 0.05. Hal ini berarti size perusahaan yaitu log total asset tidak berpengaruh terhadap return saham. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan memperlihatkan bahwa economic value added tidak memiliki pengaruh positif dibandingkan dengan cash flow from operations, earnings per share, operating income, return on asset, return on equity. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Lehn dan Makhija (1996), Biddle et.al (1998), Hartono dan Chendrawati (1999), Chen dan Dodd (2001), Pradhono dan Christiawan (2004) yang menyatakan bahwa ukuran kinerja tradisional seperti arus kas operasi, return on asset, return on equity, earnings per share dan net income lebih baik dalam menjelaskan pengaruhnya terhadap return saham.
tunai yang benar-benar sudah dikurangi oleh perusahaan dan cash flow from operation tidak mengalami distorsi dibandingkan dengan angka laba bersih, 3) adanya pengaruh negatif earnings per share terhadap return saham karena investor memiliki tingkat kepercayaan yang rendah terhadap laba akuntansi yang disebabkan adanya manipulasi laba, 4) operating income memiliki pengaruh negatif terhadap return saham karena operating income atau sering disebut laba usaha (EBIT) merupakan laba yang diperoleh perusahaan dari aktivitas usaha atau operasinya belum dikenai biaya atau beban pinjaman dana dari kreditor, baik berupa bunga dari obligasi atau hutang jangka panjang, 5) return on asset tidak memiliki pengaruh positif terhadap return saham karena metode ROA cenderung hanya memperhatikan laba namun tidak memperhitungkan biaya modal yang terjadi pada perusahaan sehingga mengakibatkan tingkat laba yang diperoleh dengan menggunakan rasio ROA sering kurang akurat karena tidak memasukkan semua unsur dalam laporan laba rugi dan neraca perusahaan, 6) ROE tidak memiliki pengaruh positif terhadap return saham karena ROE mempunyai hubungan langsung dengan risiko besar dan memiliki keuntungan yang besar. Modal pemegang saham dalam hal ini adalah selisih antara aktiva dan kewajiban, dan 7) size (ukuran perusahaan) menunjukkan tidak berpengaruh terhadap return saham.
SIMPULAN DAN SARAN Saran Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik simpulan, yaitu 1) hasil pada pengujian hipotesis pertama menunjukkan bahwa economic value added tidak memiliki pengaruh positif terhadap return saham. Economic value added ternyata tidak mampu memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan metode yang lainnya, karena kelemahan economic value added yaitu hanya menggambarkan penciptaan nilai pada satu tahun tertentu dan EVA hanya mengukur hasil akhir dengan tidak mengukur aktivitas-aktivitas penentu seperti loyalitas dan tingkat retensi konsumen, 2) CFO memiliki pengaruh positif terhadap return saham, karena cash flow from operations menunjukkan hasil operasi yang dananya telah diterima tunai oleh perusahaan serta dibebani dengan beban yang bersifat
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi manajer perusahaan agar pengukuran kinerja keuangan tidak hanya diukur dari angka-angka rasio keuangan yang belum secara akurat dalam memberikan informasi yang relevan bagi para investor melainkan juga harus memperhitungkan biaya modal sehingga terlihat kemampuan riil yang dimiliki perusahaan.Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, penelitian selanjutnya disarankan memilih topik yang sama agar perusahaan-perusahaan yang sudah menerapkan EVA dalam laporan keuangannya secara periodik serta menambahkan variabel lain di luar ukuran angka akuntansi sehingga memberikan hasil yang lebih nyata. Disarankan dalam menilai kinerja keuangan perusahaan, para pemegang saham atau investor perlu mempertimbangkan untuk menerapkan
205
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 191-208
EVA, mengingat bahwa EVA memiliki kandungan informasi yang lebih dibandingkan alat pengukur kinerja keuangan yang lainnya. Sampel dalam penelitian ini hanya memilih perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ selama 5 tahun berturut-turut yakni tahun 2001-2005 sehingga menyebabkan hasil penelitian kurang memberikan manfaat secara maksimal. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya perlu menambah jumlah kategori perusahaan yang dijadikan sampel peneltian dan juga perlu menambah periode waktu data yang digunakan sehingga memberikan manfaat bagi investor dan pihak-pihak yang terkait lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Afrinaldi. 2003, “Pengaruh Akuisisi Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan: Analisis EVA “. Thesis. Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta. Agus, S.R. dan Kusdhianto, S. 1999. “Apakah Pengaruh EVA terhadap Nilai Perusahaan dan Kemakmuran Pemegang Saham pada Perusahaan Publik”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Oktober. Biddle, G.C. Seow, G.S. and Siegel, A.F. 1995. “Relative Versus Incremental Information Content “, Contemporary Accounting Research, Vol.12. No.1. Biddle, G.C. Bowen R.M. and Wallace, J.S. 1998.”Does EVA Beat Earnings? Evidence On Associations With Stock Returns And Firm Values”. Managerial Finance. Brigham, E.F. Gapenski L.C. and Daves, P.R. 1999. Intermediate Financial Management. Sixth Edition. The Dryden Press. United States Of America. Brigham, Eugene F. and Joel F. Houston. 2001. Fundamentals of Financial Management. Harcourt College Publisher. Philadelphia. Chen, S. and Dodd J.L. 1997. “Economic Value Added (EVA): An Empirical Examination of A New Cor-
206
porate Performance Measure”. Journal of Managerial Issues. Vol. 9. No. 3: 318-333 Chen, S. and Dodd, J.L. 2001. “Operating Income, Residual Income And EVA: Which Metric Is More Relevant?” Journal Of Managerial Issues, Vol. XIII. No. 1 Spring 2001: 65-86. Djawahir, K. 2006. “Tak Henti Memperkenalkan EVA”. SWA No. 25:29. Dodd, J. L. and Chen, S. 1996. “EVA: A New Panacea?” Business And Economic Review. (July – September):26 – 28. Dwitayanti, Y. 2005. “Analisis Pengaruh Economic Value Added (EVA) terhadap Market Value Added (MVA) pada Industri Manufaktur di Bursa Efek Jakarta”. Jurnal Manajemen dan Keuangan. Vol.3. No. 1: 59-73. Elton, Edwin J. and Gruber, Martin J. 1995. Modern Portofolio Theory and Investment Analysis. Fifth Edition. John Wiley and Sons. Inc. Handayani. P.E 2004. “Analisis Terhadap Kandungan Informasi Relative EVA dan Superioritasnya sebagai Pengukur Kinerja Keuangan”. Thesis. Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta. Harjanti, D.S. 2002. “Analisis Manfaat EVA dalam Pengukuran Nilai Perusahaan dan Kesejahteraan Pemegang Saham pada Perusahaan Publik di Bursa Efek Jakarta”. Sinergi.Vol. 4. No.2. Hartono, Jogiyanto. 2000. Teori Portofolio dan Analisis Investasi. BPFE. Yogyakarta. Hartoyo, F.Y. 2006. “Antara EVA dan Saham”, SWA No. 25: 54. Helfert, Erich A. 2000. Techniques Of Financial Análisis: A Guide To Value Creation. Mc Graw Hill Book Co.
PENGARUH PERBANDINGAN ECONOMIC VALUE ADDED DAN............... (Priska Ika Setiyorini)
Husnan, S. dan Enny Pudjiastuti 1993. Dasar–Dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas. UPP– AMP YKPN. Yogyakarta. Husnan, S. 1997. Manajemen Keuangan Teori dan Penerapan (Keputusan Jangka P e n d e k) . BPFE. Yogyakarta. Iramani, Rr. dan E. Febrian 2005. “Financial Value Added: Suatu Paradigma dalam Pengukuran Kinerja dan Nilai Tambah Perusahaan”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 7 No. 1:1-10. Jogiyanto, H.M. 1999. Teori Portofolio dan Analisis Investasi. BPFE Yogyakarta. Jogiyanto, H.M. dan Chendrawati. 1999. “ROA and EVA: A Comparative Empirical Study”. Gadjah Mada International Journal of Business. Vol. 1: 45 – 54. Jones, Charles P. 2002. Investment: Analysis and Management. Eighth Edition. John Wiley and Sons. Inc. Kieso, Donald E. Weygant Jerry J. and Warfield, Terry D. 2001. Intermediate Accounting. Tenth Edition. Lehn, K. and A.K Makhija 1996. “EVA and MVA as Performance Measures and Signals for Strategic Change”. Strategy And Leadership Magazine. June: 34-38. Liu, J. and J. Thomas. 1998. Stock Returns and Accounting Earnings, Working Paper. Columbia Business School. New York. Lev, B. and S.r Thiagarajan. 1993. “Fundamental Information Analysis”. Journal of Accounting Research (Autumn):190-215. Martidyawati, I. 2006. “Pengaruh EVA terhadap MVA dan Kandungan Informasi Relatif serta Superioritas EVA sebagai Pengukuran Kinerja Perusahaan”. Tesis. Program Pasca Sarjana STIE YKPN. Yogyakarta.
Meilany & Ardhanova S. 2006. “Perhitungan SWA 100”. SWA. No. 25::33. Mirza, Teuku. 1997. “EVA sebagai Alat Penilai”. Usahawan. No.4: 68. Munawir, S. 2002. Analisis Informasi Keuangan. Penerbit Liberty. Yogyakarta Peixoto, S. 2001. Economic Value Added Application to Portuguese Public Companies. Poeradisastra, T. 2001. “Menelanjangi Kinerja Manajemen”. SWA. No.20/XVII. Pradhono dan Christiawan, Y.J. 2004. “Pengaruh Economic Value Added, Residual Income, Earnings, dan Arus Kas Operasi terhadap Return yang Diterima oleh Pemegang Saham (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta)”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol.6. No. 2: 140-166. PSAK. 2004. Cash Flow from Operating. No.2. Purnomo, Y. 1998. “Keterkaitan Kinerja Keuangan dengan Harga Saham.” Usahawan, No.12. Purnama, D.G.I. 2006. “Analisis Pengaruh Rasio PER, Market To Book Ratio dan EVA terhadap Return Saham”. Tesis. Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta. Ramana, D.V. 2003. Market Value Added and Economic Value Added: Some Empirical Evidences. Xavier Institute of Management. Bhuabneswar. Ross, S.A. Randolph, W.W. and Jeffrey J. 2002. Corporate Finance, 6th Edition. New York: McGrawHill Rousana, Mike. 1997. “Manfaat EVA untuk Menilai Perusahaan di Pasar Modal I n d o n e s i a ” . Usahawan. April. Solihah, N.R dan Trisnawati, R. 2003. “Perbandingan Economic Value Added dan Profitabilitas
207
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 191-208
Perusahaan-Perusahaan Rokok di Bursa Efek Jakarta”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol. 2. No. 1:1-14. Sartono, R. Agus dan S. Kusdhianto. 1999.”Adakah Pengaruh EVA terhadap Nilai Perusahaan dan Kemakmuran Pemegang Saham pada Perusahaan Publik”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol 14. No.4. Susanto, D. dan Baldric Siregar. 2005. “Peran Saling Melengkapi Laba dan Arus Kas Operasi dalam Menjelaskan Variasi Return Saham”. Jurnal Akuntansi dan Manajemen. Vol. 16. No. 2: 93106. Stewart, G. Bennet. 1993. The Economic Value Added: The Quest for Value, A Guide for Senior Manager. Harper Collins. Tandelilin, E. 2000. Teori Portofolio dan Manajemen Investasi. BPFE Yogyakarta. Tulasi, Daniel. 2006. “Cash Flow Ratios Analysis sebagai Metode Pengukuran Kinerja Keuangan Perusahaan”. Usahawan. Vol. XXXV. No. 10. Utama, Sidharta. 1997. “Economic Value Added: Pengukuran dan Penciptaan Nilai Perusahaan, Manajemen Perusahaan, Jurnal Akuntansi dan Keuangan”. Vol. 1. No. 1: 28-41. Utomo, L.L. 1999. “Economic Value Added sebagai Ukuran Keberhasilan Kinerja Manajemen Perusahaan”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol. 1 No.1: 28-42. Worthington, A.C. and Tracey. W. 2004. “Australian Evidence Concerning The Information Content Of Economic Value Added”, Australian Journal Of Management. Vol. 29. No.2: 201 – 223. Weston J., Fred and Thomas E. Copeland. 1992. Managerial Finance. Nineth Edition, USA: Dryden Press.
208
Young, S. David, Stephen F. O’ Byrne. 2001. EVA and Value–Based Management: A Practical Guide To Implementation, Irwin, McGraw-Hill.
ISSN: 1978-3116 STRUKTUR MODAL DAN PREDIKSI KEGAGALAN PERUSAHAAN:............... (Rowland Bismark Fernando Pasaribu)
Vol. 5, No. 3, November 2011 Hal. 209-220
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
STRUKTUR MODAL DAN PREDIKSI KEGAGALAN PERUSAHAAN: TEORI DAN APLIKASI Rowland Bismark Fernando Pasaribu ABFI Institute Perbanas Jakarta E-mail:
[email protected]
ABSTRACT This paper addresses the theoretical foundations of corporate failure prediction, using the neo-classical theory of capital structure as a starting point. The paper intends to demonstrate the feasibility of such an approach in a simple setting, i.e. by using a simple theoretical model and a limited empirical analysis. A model of optimal capital structure is constructed and rewritten as a model of default probability. Its empirical implications are derived and tested on a sample of Indonesian data. It is concluded that this approach clearly has its limitations, but also that it may be a valuable contribution compared to the multitude of theory-less empirical studies and a useful alternative to the default theory. Keywords: default probabilities, capital structure, corporate failure, logistic regression
PENDAHULUAN Kebangkrutan yang dialami oleh banyak perusahaan global semakin menegaskan akan pentingnya prediksi gagal-bayar baik dalam konteks akademis dan aplikasi riil. Saat ini nampaknya semakin sangat penting saja urgensi membentuk sistem peringatan dini yang dapat membantu menghindari perusahaan dalam kondisi gagal-bayar di satu sisi dan memfasilitasi pemilihan
emiten untuk dijadikan nominator ketika akan berinvestasi terhadap perusahaan tersebut di sisi lain. Penelitian mengenai prediksi gagal-bayar telah mengalami perjalanan yang cukup panjang sejak awal dicetuskan melalui karya Beaver (1966, 1968) dan Altman (1968). Pendekatan yang ada untuk memprediksi kegagalan perusahaan sebagian besar adalah aplikasi teknik klasifikasi statistik (biasanya analisis diskriminan) terhadap sampel yang terdiri perusahaan gagal dan non-gagal. Contoh penelitian tersebut telah dilakukan Deakin (1972) dan Altman et al. (1977). Setelah itu terjadi pergeseran penggunaan teknik analisis yakni dengan analisis probit atau logit. Martin (1977) dan Ohlson (1980) adalah yang pertama dalam mengaplikasikan teknik ini diikuti oleh Wiginton (1980), Zmijewski (1984), Zavgren (1985), Aziz dan Lawson (1989), Lennox (1999), serta Westgaard dan Van der Wijst (2001). Teknik statistik lainnya yang juga telah diperkenalkan adalah partisi rekursif (Frydman et.al, 1985); teori katastrophi (Gregory et.al, 1991); penskalaan multidimensi (Mar Molinero dan Ezzamel, 1991); neural networks (Tam dan Kiang, 1992); model multinominal logit (Johnsen dan Melicher, 1994); metodologi bantuan keputusan multi-kriteria (Zopounidis dan Doumpos, 1999), dan cara penetapan langsung (Dimitras et al., 1999). Simpulan umum dari usaha penelitian yang ekstensif ini terlihat menjadikan tiap studi yang dilakukan menghasilkan diskriminasi yang beralasan antara perusahaan yang gagal dan non-gagal, tetapi juga dan mungkin lebih signifikan bahwa beragam
209
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 209-220
penelitian berusaha keras menunjukkan suatu persetujuan mengenai faktor yang penting untuk prediksi kegagalan. Faktanya, dapat dikatakan bahwa kurang lebih 40 tahun penelitian mengenai topik ini belum berhasil menghasilkan variabel mana dan mengapa, sebagai prediktor yang baik. Ketidaksepakatan kesimpulan tersebut tentu saja, secara parsial dapat ditujukan pada fakta bahwa penelitian-penelitian tersebut mengacu pada periode, negara, dan industri yang berbeda-beda. Faktor lainnya mungkin pada praktiknya, seluruh penelitian tersebut tidak memiliki kerangka kerja teoritis untuk mengarahkan usaha penelitian empiris. Dalam ketiadaan teori yang menyediakan hipotesis yang dapat diuji, maka hasil empiris harus dievaluasi kualitasnya dan hanya berharap bahwa muncul suatu pola dari sejumlah besar hasil empiris. Kondisi seperti ini menimbulkan persepsi yang kurang elegan dalam positioning topik penelitian prediksi kegagalan karena tidak memiliki acuan teori dasar apabila dibanding topik-topik lainnya dalam ilmu manajemen keuangan. Penelitian ini mencoba mendirikan tiang penyanggah teoritis pada prediksi kegagalan dengan mendayagunakan teori neo-klasik struktur modal sebagai titik awal. Demikian selanjutnya teori ini mengikuti pendekatan alternatif yang dibandingkan model Merton yang telah terkenal didasarkan teori penetapan harga opsi dan kemudian dielaborasikan k edalam model KMV. Asal struktur modal yang mendasari teori gagal-bayar di satu sisi terdapat pada model yang menghubungkan risiko kejatuhan kepada penilaian klaim perusahaan (Gordon, 1971; Scott, 1977; dan Vinso, 1979). Elaborasi yang terakhir dapat ditemukan dalam Scott (1981). Di sisi lain, teori ini juga terdapat dalam model struktur modal optimal yang dikembangkan pada kebangkitan teorema irelevansinya Modigliani-Miller (Modigliani dan Miller, 1958, 1963), Baxter (1967), Kraus dan Litzenberger (1973), Scott (1976), dan Kim (1978). Pada pelaksanaannya, seluruh model struktur modal optimal menggunakan kondisi gagal-bayar dalam derivasi struktur modal optimal. Kondisi ini menangkap esensi keputusan gagal-bayar terjadi pada saat nilai beragam arus kas yang tersedia untuk perusahaan tidak memadai untuk melunasi kewajiban utangnya. Berdasarkan hal tersebut, dihasilkan teori kepemilikkan pada struktur modal optimal dalam keseimbangan komparatifnya sebagai dasar untuk analisis empiris.
210
Anehnya, model ini jarang, jika sekiranya ditulis ulang dan secara tegas menyatakan kemungkinan kegagalan perusahaan dan karakteristiknya, yaitu bagaimana model tersebut dipengaruhi oleh faktor penentu struktur modal optimal. Sejak awal delapan puluhan, garis penelitian teoritis ini nampak sepenuhnya lebih baik dengan opsi yang didasarkan teori default. Berdasarkan uraian singkat di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengklarifikasi kapasitas dari konsep teori struktur modal sebagai prediktor probabilitas kegagalan perusahaan MATERI DAN METODE PENELITIAN Model yang digunakan adalah model struktur modal optimal periode tunggal. Model ini memungkinkan ketidaksempurnaan pasar -pajak dan biaya kegagalandan memadai untuk menangkap esensi teori trade-off, di mana struktur modal optimal ditetapkan sebagai trade-off antara keunggulan pajak dan ekspektasi biaya kegagalan. Model ini diadopsi dari teorema Van der Wijst (1989) yang dielaborasi. Asumsi utama model adalah pasar modal diasumsikan tidak berbiaya dan kompetitif. Pajak laba perusahaan adalah konstan dan menurut sistem pajak penghasilan yang memungkinkan deduksi seluruh pembayaran kreditur, termasuk pembayaran kembali pokok utang dari pajak penghasilan perusahaan. Meski demikian, tidak terdapat item pengurangan pajak dan pajak individual. Seluruh pelaku pasar diasumsikan greedy dan bertindak secara rasional. Jumlah pendapatan yang dihasilkan perusahaan diasumsikan tetap, yakni seluruh keputusan investasi telah dibuat tetapi keputusan pendanaan belum. Perusahaan hanya menggunakan ekuitas dan utang. Utang tidak hanya merupakan subyek terhadap risiko gagal bayar. Investor diasumsikan berposisi netral terhadap risiko dan memiliki kewajiban terbatas. Dalam penetapan asumsi ini, arus kas perusahaan hanyalah sumber dana yang dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban terhadap kreditur. Akibatnya, kalau kewajiban ini melebihi arus kas perusahaan, maka terjadi gagal-bayar dan perusahaan mendeklarasikan kebangkrutan. Oleh karena itu, kondisi kebangkrutan b adalah: b=ζ
STRUKTUR MODAL DAN PREDIKSI KEGAGALAN PERUSAHAAN:............... (Rowland Bismark Fernando Pasaribu)
arus kas perusahaan sebelum bunga dan pajak (EBIT) dan R adalah pembayaran terhadap kreditur. Nilai ζ diasumsikan berdistribusi normal dengan rata-rata μx dan standar deviasi σx. Kalau di akhir periode, terjadi kondisi b, para pemilik saham dilindungi dengan kewajiban terbatas dan tidak menerima apaapa. Selanjutnya pemilik saham menerima arus kas setelah pajak dan bunga. Nilai pada akhir periode, Ye adalah: Ye = 0 kalau ζ < b (2) Ye = (1-τ)(ζ-R) kalau ζ < b di mana ô adalah tingkat pajak perusahaan. Untuk investor risiko-netral keseimbangan nilai ekuitas, Ve adalah nilai diskonto saat ini pada tingkat suku bunga bebas risiko, pada ekspektasi Ye, yaitu:
Sejak didefinisikan sebagai fungsi kumulasi densitas, probabilitas kegagalan akan selalu memiliki nilai antara 0 dan 1. Nilai total perusahaan diperoleh dengan menambahkan Ve dan Vd setelah menyusun ulang terminologi, yaitu: . b f ( )d f ( )d B ( ) f ( )d R(1 F ) V
0
b
0
(1 r )
(6) Struktur modal optimal dan kapasitas hutang diperoleh dengan mendiferensiasikan V dan Vd dengan mengacu kepada R: MV τ (1− F) − B (R) f (R) MR = (1 + r)
(7)
MVd τ (1− F) − B (R) f (R) = MR (1 + r)
(8)
Ve
E (Ye) (1 r )
(1 ) ( R ) ( ) d b
(3)
(1 r )
di mana r adalah tingkat suku bunga bebas risiko. Nilai kreditur pada akhir periode, Yd diperoleh dengan cara yang sama. Kalau terjadi kondisi kebangkrutan, perusahaan dialihkan kepada kreditur yang berarti kreditur menerima arus kas minus biaya kegagalan. Terbatasnya nilai kewajiban menghindarkan kreditur menerima arus kas negatif. Jadi nilai utang pada akhir periode adalah: Yd = 0 Yd = ζ-B(ζ) Yd =R
kalau ζ d” 0 kalau 0 < ζ < b kalau ζ > b (b=R)
(4)
di mana B(x) adalah jumlah biaya kegagalan sebagai fungsi pada arus kas ζ. Nilai keseimbangan hutang adalah present value dari ekspektasi Yd: b
Vd
( B( )) ( )d R(1 F ) 0
(1 r )
di mana F adalah probabilitas kegagalan: b
F
f ( )d .
(5)
di mana B(R) dan f(R) adalah fungsi biaya kegagalan dan probabilitas kegagalan arus kas. Keduanya dievaluasi pada titik struktur modal optimal. Dengan menetapkan persamaan 8 sama dengan nol, memberikan jumlah utang maksimum kreditur yang akan dikucurkan, atau kapasitas utang perusahaan. Persamaan 7 ditetapkan sama dengan nol, memberikan jumlah hutang yang memaksimalkan nilai perusahaan yakni struktur modal optimal. Hal ini ditunjukkan bahwa untuk arus kas berdistribusi normal pada kondisi order kedua untuk persamaan 7 dan 8 terpenuhi. Karena tingkat pajak perusahaan t, memiliki nilai antara 0 dan 1, jumlah utang dalam struktur modal optimal adalah lebih kecil daripada jumlah utang yang akan dicairkan kreditur. Ini berarti persamaan 8 tidak membatasi jumlah utang yang dapat diterima perusahaan yaitu struktur modal optimal tercapai sebelum kapasitas utang. Perumusan kembali persamaan 7 memberikan persamaan berikut:
τ (1− F) B (R) f (R) = (1 + r) (1 + r)
(9)
Persamaan sisi kiri merepresentasikan nilai saat ini pada marjin penghematan pajak, sementara di sisi kanan merepresentasikan nilai saat ini pada marjin biaya
211
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 209-220
kegagalan. Oleh karena itu, struktur modal tercapai saat marjin keuntungan pendanaan utang sama dengan biaya marjin. Diskusi yang lebih ekstensif dan kalkulasi detail selanjutnya dapat dilihat pada Van der Wijst (1989). Pada penjelasan ini model struktur modal diformulasi ulang sebagai model probabilitas kegagalan dan selanjutnya dianalisis. Persamaan 9 merepresentaikan pilihan optimal pada struktur modal sebagai fungsi tingkat pajak, biaya kegagalan, dan distribusi kepemilikan arus kas termasuk probabilitas gagal bayar: F = 1−
B (R) f (R) τ
(10)
di mana seluruh variabel telah dijelaskan sebelumnya. Persamaan 10 merefleksikan konsekuensi probabilitas gagal bayar pada keputusan untuk maksimisasi nilai perusahaan dengan menggunakan struktur modal sebagai instrumennya. Probabilitas gagal-bayar itu sendiri bukanlah variabel tujuan (untuk diminimalisir atau dioptimalkan) atau instrumen langsung. Probabilitas gagal-bayar tentu saja dimanipulasi secara tidak langsung dengan memilih tingkat R. Dalam persamaan 10 probabilitas gagal-bayar tergantung pada tingkat pajak, biaya kegagalan, dan distribusi kepemilikan arus kas. Untuk menganalisis model, selanjutnya dikalkulasi perbandingan statisnya. Ini menunjukkan pengaruh pada probabilitas gagal-bayar, F terhadap perubahan dalam variabel di model. Komparasi statis pada model dideskripsikan berikut di mana beberapa kalkulasi yang lebih detail ditambahkan, yaitu: Probabilitas gagal bayar, F, tergantung pada ukuran hutang dengan cara berikut: f ( R) B( R )( x R) F B' ( R ) R 2x 0 kalau x R
F B( R) f ( R) 0 2
(12)
Kedua biaya kegagalan, yakni f(R) dan ô, tingkat pajak perusahaan adalah positif. Hal ini berarti suatu kenaikan dalam tingkat pajak akan meningkatkan probabilitas gagal-bayar. Hal tersebut membuat pendanaan utang lebih menarik marjin, akan mengarah pada semakin besarnya jumlah utang dalam struktur modal optimal dan probabilitas gagal-bayar yang semakin tinggi. Derivasi F terkait dengan biaya kegagalan, yaitu:
F f ( R) 0 ( R)
(13)
karena f(R) dan ô keduanya positif, maka persamaan 13 menjadi negatif. Di mana kenaikan dalam biaya kegagalan membuat pendanaan utang kurang menarik marjin. Hal ini akan mengarah pada semakin kecilnya jumlah utang dalam struktur modal optimal serta mengurangi probabilitas gagal-bayar. Perubahan dalam standar deviasi arus kas akan mempengaruhi probabilitas gagal bayar sebagai berikut: F x
B ( R)
f x
f ( R ) B( R) 1 ( R x ) 2 (14) 3x x
kompleks, f(R), B(R), ô dan óx, ketiganya adalah positif. Jadi persamaan dalam bagian kudrat akan menentukan tanda pada persamaan 14 dan dibatasi hanya sampai: (11)
Karena f(R), tingkat pajak perusahaan, biaya kegagalan, varian arus kas, dan derivasi pertama pada biaya kegagalan semuanya adalah positif (persamaan 11) akan negatif kalau ì x e” R. Tanda tersebut tergantung pada ukuran relatif variabel lainnya dan tidak dapat ditentukan secara definitif. Hal ini berarti
212
pengaruh leverage terhadap probabilitas gagal-bayar tidak dapat ditentukan secara definitif dan dalam rentang yang dapat ditentukan secara definitif pengaruhnya karena keduanya bertentangan terhadap prediksi kebijaksanaan konvensional. Perubahan pada F terkait dengan perubahan dalam tingkat pajak adalah:
ó²x – (R- ìx)² < 0 kalau R- ìx > óx = 0 kalau R- ìx = óx > 0 kalau R- ìx < óx
(15)
Oleh karena itu, komparasi statis pada standar deviasi arus kas tergantung pada perbedaan antara ekspektasi earning dan kewajiban hutang, lebih besar
STRUKTUR MODAL DAN PREDIKSI KEGAGALAN PERUSAHAAN:............... (Rowland Bismark Fernando Pasaribu)
atau lebih kecil daripada standar deviasi earning. Perubahan pada ekspektasi arus kas mendatang, ìx, pada F adalah:
F x
B ( R)
f x
f ( R) B( R)
2 x
( x R) 0
kalau ìx > R
(16)
= 0 kalau ìx = R < 0 kalau ìx < R Oleh karena f(R), biaya kegagalan B(R), tingkat pajak, dan varian arus kas semuanya positif, tanda persamaan 6 tergantung pada hubungan antara ekspektasi arus kas dan ukuran utang. Komprasi statis pada model probabilitas gagal-bayar diringkas pada Tabel 1 Berikut ini: Tabel 1 Pengaruh Variabel dalam Model Terhadap Probabilitas Gagal-Bayar
Kompaasi Statis
F
R, Hutang t, Tingkat Pajak B(R ), Biaya Kegagalan ó, St.Dev Arus Kas ì, Ekspektasi Arus Kas
Ekspektasi Penngaruh terhadap F Positif atau tidak ditentukan Positif. Negatif Positif atau Negatif Positif atau Negatif
Aspek yang sangat menarik perhatian pada Tabel 1 adalah tidak hanya struktur modal atau distribusi kepemilikan arus kas (ekspektasi dan varian) memiliki pengaruh secara langsung terhadap probabilitas gagalbayar. Simpulan yang dapat dikomparasi tercapai dalam analisis statis komparatif menyangkut model struktur modal optimal (probabilitas gagal bayar memiliki pengaruh yang ambigu atas struktur modal optimal, Van der Wijst, 1989). Hal ini menantang kebijaksanaan konvensional peningkatan probabilitas gagal-bayar, ceteris paribus, dengan varian arus kas dan leverage dan penurunan dengan ekspektasi arus kas. Karenanya, tidaklah logis menyusun asumsi mengenai R, ìx, dan óx yang membawa seluruh komparatif statis
sejalan dengan kebijakan konvensional. Jika leverage dan ekspektasi arus kas memiliki efek kebijakankonvensional, maka harus diasumsikan bahwa ìx
213
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 209-220
analisis adalah utang: DTA; pajak: TAX/EBIT; ekspektasi arus kas (ìx); CF = (net profit + depreciation)/ total assets; standar deviasi arus kas (óx): dan biaya kegagalan B(x) : diaproksimasi dengan ukuran perusahaan (ln(sales). Oleh karena variabel tersebut adalah transformasi ini secara langsung dari angka-angka akuntansi maka tidak memerlukan banyak diskusi mengenainya. Variabel arus kas dan leverage dimasukkan dalam analisis tanpa hipotesis yang tegas atau eksplisit mengenai pengaruhnya. Tarif pajak dihipotesiskan berhubungan positif terhadap probabilitas gagal-bayar. Biaya kegagalan biasanya diasumsikan berhubungan terbalik terhadap ukuran perusahaan, yaitu biaya kegagalan sebagai bagian dari nilai perusahaan yang mengurangi ukuran perusahaan. Di dalam model penelitian ini, biaya kegagalan berpengaruh negatif terhadap probabilitas gagal-bayar. Oleh karena itu, hal ini mengarahkan pada hipotesis bahawa ukuran perusahaan berhubungan positif terhadap probabilitas gagal-bayar. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kondisi kegagalan perusahaan sebagai variabel kategori; 0 untuk perusahaan yang mengalami kegagalan dan 1 untuk perusahaan nongagal. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasio keuangan dari utang, pajak, ekspektasi arus kas, standar deviasi arus kas, dan biaya kegagalan.
Dalam penelitian untuk melihat apakah variabel bebas X berpengaruh terhadap variabel tidak bebas Y yang berbentuk kategori, model logistik yang digunakan adalah: P (Y 1 X 1 , X 2 , , X k ) P ( X )
1 1 e
( iXi )
atau logit P(X) = á+ÓâiXi dimana Y = 1 jika kejadian yang diamati sebagai variabel tidak bebas dan variabel Xi sebagai variabel bebas. Untuk uji keberartian/kecocokan model digunakan uji statistik Hosmer dan Lemeshow dengan hipotesis: Ho = Tidak ada perbedaan nyata antara klasifikasi prediksi dan klasifikasi observasi. Ha = Terdapat perbedaan nyata antara klasifikasi prediksi dan klasifikasi observasi. dengan kriteria tolak Ho untuk á yang ditetapkan jika
sig . 2 , n k 1 0 .05 Ho = Koefisien regresi tidak signifikan Ha = Koefisien regresi signifikan. dengan kriteria tolak Ho untuk á yang ditetapkan jika
HASIL PENELITIAN
Tabel 2 Hasil Uji Signifikansi Simultan
214
Sampel
Aneka Keseluruhan
Industri Dasar Industri
Industri Barang dan Kimia
Industri Kunsumsi
Perdagangan
Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Model 5 Model 6 Model 7 Model 8 Model 9
0.000 0.363 0.866 0.296 0.500 0.283 0.347 0.197 0.558
0.005 0.274 0.978 0.118 0.021 0.554 0.154 0.291 0.389
0.638 0.708 0.582 0.038 0.083 0.703 0.550 0.217 0.466
0.337 0.745 0.496 0.201 0.885 0.726 0.389 0.261 0.089
0.000 0.856 0.634 0.142 0.240 0.170 0.414 0.650 0.286
STRUKTUR MODAL DAN PREDIKSI KEGAGALAN PERUSAHAAN:............... (Rowland Bismark Fernando Pasaribu)
Pembahasan detail dilakukan berdasarkan hasil uji signifikansi simultan model dalam mendikriminasi sampel. Berdasarkan sampel data agregat, hanya dua model yang terbukti signifikan perihal penggunaan konsep struktur modal terhadap prediksi kegagalan perusahaan, yaitu model 1 (sig.H&L= 0.000) dan model 8 (sig.H&L= 0.044). Sementara untuk sampel aneka industry, model 1 (sig.H&L= 0.005) dan model 5 (sig.H&L= 0.021). Pada industri dasar dan kimia hanya model 4 (sig.H&L= 0.038) yang signifikan, begitu juga dengan industri perdagangan, hanya model 1 (sig.H&L= 0.000) yang terbukti signifikan. Sementara untuk industri barang konsumsi tidak satupun model yang ada memiliki pengaruh signifikan. Hal ini berarti konsep struktur modal tidak berpengaruh signifikan dalam mengidentifikasi kegagalan perusahaan. Berdasarkan nilai koefisien Nagelkerke dapat diketahui kemampuan konsep struktur modal menjelaskan variasi model yang terbentuk. Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa model 1 memiliki nilai tertinggi baik secara klasifikasi industri atau diantara model yang ada. Secara data agregat, rentang nilai nagelkerke berkisar 1,34%-32,85%. Pada aneka industri rentang nilai ini 9,7%-66,07%. Pada industri dasar dan kimia nilai koefisien berkisar antara 1,21%-73,53%. Pada industri barang konsumsi 1,36%-41%. Pada industri
perdagangan, rentang nilai Nagelkerke berkisar antara 1,59%-64,15%. Tabel 4 berisikan data daya klasifikasi model yang terbentuk. Daya klasifikasi ini adalah kemampuan model dalam mengklasifikasi secara benar sampel penelitian yang digunakan. Dilihat baik secara pendekatan industri atau jumlah model yang ada, dapat diketahui bahwa model 1 superior pada keduanya. Hal ini berarti penggunaan kriteria laba sebelum hak minoritas atas laba bersih anak perusahaan sebagai klasifikasi awal kegagalan perusahaan dengan konsep struktur modal memiliki reliabilitas yang cukup memadai secara statistik. Namun apabila dilihat berdasarkan pendekatan industri, nilai maksimal daya klasifikasi seluruh model yang terbentuk terdapat pada aneka industri (meski signifikansi simultan hanya model 1 dan model 5). PEMBAHASAN Pembahasan hasil uji parsial dilakukan mengacu pada model yang signifikan secara simultan, yaitu pada keseluruhan industri (model 1); aneka industri (model 1 dan model 5); industri dasar dan kimia (model 4) dan; industri perdagangan (model 1). dan industri secara keseluruhan.
Tabel 3 Koefisien Nagelkerke
Sampel
Keseluruhan Industri
Aneka Industri
Industri Dasar dan Kimia
Industri Barang Kunsumsi
Industri Perdagangan
Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Model 5 Model 6 Model 7 Model 8 Model 9
32.85% 8.80% 1.34% 3.73% 4.91% 8.78% 4.69% 2.28% 6.59%
66.07% 27.88% 10.67% 9.70% 11.15% 21.08% 11.94% 26.23% 23.00%
73.53% 4.84% 3.07% 17.53% 10.53% 9.34% 7.44% 6.73% 1.21%
41.00% 34.48% 10.05% 1.36% 7.26% 15.85% 12.43% 7.68% 13.33%
64.15% 13.58% 1.59% 11.78% 4.50% 8.72% 3.14% 2.31% 6.38%
215
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 209-220
Tabel 4 Daya Klasifikasi Model (%)
Sampel
Aneka Keseluruhan
Industri Dasar Industri
Industri Barang dan Kimia
Industri Kunsumsi
Perdagangan
Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Model 5 Model 6 Model 7 Model 8 Model 9
82.37 72.12 67.81 64.75 72.30 58.09 59.71 62.59 65.29
87.50 74.04 75.96 70.19 82.69 69.23 71.15 75.96 69.23
88.13 72.50 64.38 68.13 71.25 60.63 65.00 65.63 66.88
84.82 83.93 69.64 58.93 81.25 61.61 62.50 63.39 58.93
92.22 70.56 66.67 66.67 62.22 58.89 56.11 57.78 64.44
Tabel 5 Uji Parsial Industri Agregat - Model 1 Variabel Independen
B
DTA -2.00403 TxEBIT 0.010984 CF 6.309301 STDEV_CF 1.6E-06 Bx 0.378749 Constant -3.59989 Sig. Hosmer & Lemeshow Test Nagelkerke 0.328491 Daya Klasifikasi Σ Observasi Gagal Non-Gagal Total
97 361 458
Sig. 0.000 0.508 0.000 0.311 0.000 0.001 0.000 % 54.19 95.76 82.37
Nilai Nagelkerke model 1 ini sebesar 0,3285 yang berarti variabilitas variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabilitas variabel independen sebesar 32,85%. Secara keseluruhan model ini memiliki daya klasifikasi sebesar 82,37%. Berdasarkan nilai Nagelkarke tersebut dapat dikatakan bahwa penggunaan laba sebelum hak minoritas atas laba bersih anak perusahaan yang digunakan belum cukup memadai dalam menjelaskan variasi kegagalan perusahaan yang akan terjadi, meski model yang terbentuk memiliki daya klasifikasi yang tinggi bila dikaitkan dengan struktur modal emiten. Secara parsial, kecuali penyimpangan
216
arus kas dan pajak variabel lainnya berpengaruh signifikan terhadap probabilitas kegagalan perusahaan. Tetapi dalam hal ini hasil empiris menunjukkan bahwa biaya kegagalan (Bx) ternyata berpengaruh signifikan positif terhadap probabilitas kegagalan perusahaan. Dengan kata lain, semakin tinggi prediksi biaya kegagalan yang dihasilkan, ceteris paribus mengindikasikan probabilitas kegagalan yang juga tinggi. Sementara leverage berpengaruh signifikan negatif terhadap probabilitas kegagalan. Dengan kata lain, semakin tinggi leverage yang dimiliki emiten, ceteris paribus justru semakin rendah probabilitas kegagalannya. Berdasarkan pendekatan laba sebelum hak minoritas atas laba bersih anak perusahaan daya klasifikasi model yang terbentuk mengklasifikasikan secara benar emiten gagal sebesar 54,2% dan perusahaan non-gagal sebesar 95,76% . Nilai Nagelkerke untuk model 1 ini sebesar 0,6606 yang berarti variabilitas variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabilitas variabel independen sebesar 66,06%. Secara keseluruhan model ini memiliki daya klasifikasi sebesar 87,5%. Berdasarkan nilai Nagelkarke tersebut dapat dikatakan bahwa penggunaan laba sebelum hak minoritas atas laba bersih anak perusahaan yang digunakan sebagai diskriminator awal belum cukup memadai dalam menghasilkan kemampuan menjelaskan variasi kegagalan perusahaan yang akan terjadi pada emiten aneka industri, meski model prediksi yang terbentuk memiliki daya klasifikasi yang tinggi. Secara parsial, hanya arus kas operasional
STRUKTUR MODAL DAN PREDIKSI KEGAGALAN PERUSAHAAN:............... (Rowland Bismark Fernando Pasaribu)
Tabel 6 Uji Parsial Model Aneka Industri Model 1 Variabel Independen
Sig.
Variabel Independen
-2.31 0.44 32.08 0.00 0.07 -1.13 0.005 0.6606
0.168 0.428 0.000 0.115 0.835 0.802
DTA -1.61 TxEBIT -0.45 CF 0.78 STDEV_CF 0.00 Bx -0.22 Constant 5.17 Sig. Hosmer & Lemeshow Test Nagelkerke 0.1115302
Ó Observasi
%
41 50 91
87.23 87.72 87.50
DTA TxEBIT CF STDEV_CF Bx Constant Sig. Hosmer & Lemeshow Test Nagelkerke Daya Klasifikasi Gagal Non-Gagal Total
Model 5 B
yang berpengaruh signifikan terhadap probabilitas kegagalan perusahaan. Berdasarkan pendekatan laba sebelum hak minoritas atas laba bersih anak perusahaan daya klasifikasi model yang terbentuk mengklasifikasikan secara benar emiten gagal sebesar 87,23% dan perusahaan non-gagal sebesar 87,22%. Nilai Nagelkerke untuk model 5 sebesar 0,1115 yang berarti variabilitas variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabilitas variabel independen sebesar 11,15%. Secara keseluruhan model ini memiliki daya klasifikasi sebesar 82,69%. Berdasarkan nilai Nagelkarke tersebut dapat dikatakan bahwa penggunaan laba sebelum hak minoritas atas laba bersih anak perusahaan yang digunakan sebagai diskriminator awal yang digunakan belum cukup memadai dalam menghasilkan kemampuan menjelaskan variasi kegagalan perusahaan yang akan terjadi pada emiten aneka industri, meski model yang terbentuk memiliki daya klasifikasi yang tinggi. Secara parsial, hanya biaya kegagalan (Bx) yang berpengaruh signifikan negatif terhadap probabilitas kegagalan perusahaan. Dengan menggunakan pendekatan perubahan leverage sebagai indikasi kegagalan perusahaan, semakin tinggi prediksi biaya kegagalan yang dihasilkan, ceteris paribus justru menekan probabilitas kegagalan perusahaan. Berdasarkan pendekatan perubahan leverage, daya klasifikasi model yang terbentuk mengklasifikasikan secara benar emiten gagal sebesar 5,26% dan
B
Daya Klasifikasi Gagal Non-Gagal Total
Sig. 0.208 0.044 0.814 0.476 0.420 0.143 0.021
Ó Observasi
%
1 85 86
5.26 100.00 82.69
perusahaan non-gagal sebesar 100% atau secara agregat memiliki daya klasifikasi sebesar 82,69%. Tabel 7 Uji Parsial Industri Dasar dan Kimia Model 4 Variabel Independen
B
DTA 0.48 TxEBIT 0.02 CF -6.96 STDEV_CF -0.00001 Bx 0.16 Constant -0.98 Sig. Hosmer & Lemeshow Test 0.038 Nagelkerke 0.17533 Daya Klasifikasi Σ Observasi Gagal Non-Gagal Total
13 96 109
Sig. 0.445 0.863 0.005 0.110 0.433 0.712
% 25.00 88.89 68.13
Nilai Nagelkerke untuk model 4 sebesar 0,1753 berarti variabilitas variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabilitas variabel independen sebesar 17,53%. Secara keseluruhan model ini memiliki daya klasifikasi sebesar 68,13%. Berdasarkan nilai Nagelkarke tersebut dapat dikatakan bahwa penggunaan komparasi
217
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 209-220
arus kas operasional terhadap laba sebelum hak minoritas atas laba bersih anak perusahaan yang digunakan belum cukup memadai dalam menghasilkan kemampuan menjelaskan variasi kegagalan perusahaan yang akan terjadi pada emiten industri dasar dan kimia. Secara parsial, hanya arus kas operasional yang berpengaruh signifikan terhadap probabilitas kegagalan perusahaan. Berdasarkan pendekatan komparasi arus kas operasional terhadap laba sebelum hak minoritas atas laba bersih anak perusahaan daya klasifikasi model yang terbentuk mengklasifikasikan secara benar emiten gagal sebesar 25% dan perusahaan non-gagal sebesar 88,89%. Tabel 8 Uji Parsial Industri Perdagangan Model 1 Variabel Independen
B
Sig.
0.27 0.01 35.07 0.00 0.27 -3.30 0.000 0.6415
0.745 0.450 0.000 0.639 0.085 0.092
© Observasi
%
39 12 51
76.47 98.45 92.22
DTA TxEBIT CF STDEV_CF Bx Constant Sig. Hosmer & Lemeshow Test Nagelkerke Daya Klasifikasi Gagal Non-Gagal Total
Nilai Nagelkerke untuk model 1 sebesar 0,6415 berarti variabilitas variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabilitas variabel independen sebesar 64,15%. Secara keseluruhan model ini memiliki daya klasifikasi sebesar 64,15%. Berdasarkan nilai Nagelkarke tersebut dapat dikatakan bahwa penggunaan indikator laba sebelum hak minoritas atas laba bersih anak perusahaan sebagai diskriminator awal cukup memadai dalam menghasilkan kemampuan menjelaskan variasi kegagalan perusahaan yang akan terjadi pada emiten industri perdagangan, hal ini juga ditunjukkan oleh tingginya daya kalsifikasi model. Secara parsial, hanya arus kas operasional yang berpengaruh signifikan
218
terhadap probabilitas kegagalan perusahaan. Berdasarkan pendekatan laba sebelum hak minoritas atas laba bersih anak perusahaan daya klasifikasi model yang terbentuk mengklasifikasikan secara benar emiten gagal sebesar 76,47% dan perusahaan non-gagal sebesar 98,45%. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan sembilan pendekatan yang digunakan sebagai model klasifikasi awal, kriteria laba sebelum hak minoritas atas laba bersih anak perusahaan terbukti superior dalam mengidentifikasi probabilitas kegagalan emiten dihubungkan dengan struktur modalnya. Berdasarkan perhitungan empiris, secara parsial variabel arus kas memang terbukti memiliki pengaruh yang fleksibel (negatif dan positif). Demikian juga halnya dengan variabel struktur modal yang lain juga tidak memiliki pengaruh absolut tertentu terhadap probabilitas kegagalan. Implementasi konsep terhadap data beberapa industri bertujuan menunjukkan adanya variasi pada struktur modal emiten yang secara tidak langsung mencirikan karakteristik industri itu sendiri. Hal inilah yang menjadi kemungkinan timbulnya tanda positif dan negatif pada tiap koefisien variabel struktur modal. Saran Walau secara empiris terkesan kontradiksi dengan semangat teori struktur modal, bukan berarti teori tersebut tidak berlaku di Indonesia karena hasil perhitungan statistik banyak menggunakan simplifikasi fakta yang ada, di sisi lain konsep teoritis penelitian juga masih belum memadai dalam penggunaan asumsiasumsinya. Oleh karena itu, untuk penelitian selanjutnya dapat dikembangkan konsep teoritis struktur modal perusahaan pada proksi lainnya yang relevan sebagai prediktor kegagalan perusahaan, misalnya proksi distribusi informasi yang diasumsikan seluruh pelaku pasar sama seperti apa yang dimiliki internal emiten, seberapa besar asimetris informasi yang terjadi, aksi korporat yang dilakukan dalam mengkomunikasikan kualitas dan nilai perusahaan, dan lain-lain.
STRUKTUR MODAL DAN PREDIKSI KEGAGALAN PERUSAHAAN:............... (Rowland Bismark Fernando Pasaribu)
DAFTAR PUSTAKA Altman, Edward I. 1968. “Financial Ratios, Discriminant Analysis and the Prediction of Corporate Bankruptcy.” Journal of Finance 23 (4): 589609. Altman, Edward I., R. Haldeman dan P. Narayaman. 1977. “ZETA analysis: A New Model to Identify Bankruptcy Risk of Corporations.” Journal of Banking and Finance June: 29-54. Altman, Edward I. 1984b. “The Success of Business Failure Prediction Models.” Journal of Banking and Finance 8: 171-198. Aziz, A, dan G.H. Lawson, 1989, Cash Flow Reporting and Financial Distress Models: Testing of Hypotheses, Financial Management, Vol. 18. no. 1, 55-63 Baxter, N. D. 1967. “Leverage, the Risk of Ruin and the Cost of Capital.” Journal of Finance 22 (3): 395403. Beaver, W. 1966. “Financial Ratios as Predictors of Failure.” Journal of Accounting Research 5: 71111. Beaver, W. 1968. “Market Prices, Financial Ratios and Prediction of Failure.” Journal of Accounting Research 6 (2), 179-192 Deakin, Edward B. 1972. “A Discriminant Analysis of Predictors of Business Failure.” Journal of Accounting Research 10 (1): 167-179. Dimitras, A. I., S. H. Zanakis dan C. Zopounidis. 1996. “A Survey of business Failures with an Emphasis on Prediction Methods and Industrial Applications.” European Journal of Operational Research 90: 487-513. Dimitras, A.I., Slowinski, R., Susmaga, R., Zopounidis, C., 1999. Business failure prediction using rough sets. European Journal of Operational Research, 114, pp.263-280
Eisenbeis, R.A., 1977, Pitfalls in the application of discriminant analysis in business, finance and economics, Journal of Finance, Vol. 22 no. 3, 875900 Frydman, Halina, Edward I. Altman and Duen-Li Kao. 1985. “Introducing Recursive Partitioning for Financial Classification: The Case of Financial Distress.” Journal of Finance 40 (1): 269-291 Gordon, M.J., 1971, “Towards a Theory of Financial Distress”, Journal of Finance, Vol. 26 issue 2,347-356 Greene, H.W., 1993, Econometric Analysis, PrenticeHall, Englewood Cliffs NY. Gregory, A., B. Russell dan G.V. Henderson. 1991. “A Brief Review of Catastrophe Theory and a Test in Corporate Failure Context.” Financial Review 26 (2): 127-155. Johnsen, Thomajean dan Ronald W. Melicher. 1994. “Predicting Corporate Bankruptcy and Financial Distress: Information Value Added by Multinomial Logit Models.” Journal of Economics & Business 46: 269-286. Jones, Frederick L. 1987. “Current Techniques in Bankruptcy Prediction.” Journal of Accounting Literature 6: 131-164. Karels, G.V. dan A.J.Prakash. 1987. “Multivariate Normality and Forecasting of Corporate Bankruptcy.” Journal of Business Finance and Accounting, Vol. 14 no. 4, 573-592. Kim, E.H., 1978, A mean-variance theory of optimal capital structure and corporate debt capacity, Journal of Finance, Vol. 23 no. 1, 45-63 Kinnear, Paul R. and Colin D. Gray. 2001. SPSS for Windows made simple, release 10. Hove, East Sussex: Psychology Press Ltd. Kraus, Alan danRobert H. Litzenberger. 1973. “State Preference Model of Optimal Financial Lever-
219
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 209-220
age.” Journal of Finance 28 (4): 911-922. Lennox, C., 1999, Identifying failing companies: A reevaluation of the logit, probit and DA approaches, Journal of Economics and Business, Vol. 51 issue 4, 347 364. Mar Molinero, M. dan M. Ezzamel. 1991. “Multidimensional Scaling Applied to Corporate Failure.” Omega International Journal of Management Science 19 (4): 259-274. Martin, D., 1977, “Early warnings of bank failure: A logit regression approach”, Journal of Banking and Finance, 1, 249-276. Merton, R., 1974, “On the Pricing of Corporate Debt: The Risk Structure of Interest Rates”, The Journal of Finance, Vol. 29 issue 2, 449-470 Modigliani, Franco dan Merton H. Miller. 1958. “The Cost of Capital, Corporation Finance and the Theory of Investment.” The American Economic Review 48 (3): 261-297.
Silberberg, E., 1981, The structure of economics: a mathematical analysis, (McGraw-Hill, NewYork). SPSS Inc./Marija J. Norusis. 2008. SPSS Regression models 14.0. Chicago: SPSS Inc. Tam, K.Y. and M.Y. Kiang. 1992. “Managerial Applications of Neural Networks: the Case of Bankfailure Predictions.” Management Science 38 (7): 926-947. Vinso, J.D., 1979, “A Determination of the Risk of Ruin”, Journal of Financial and Quantitative Analysis, Vol. 14 issue 1, 77-100 Westgaard, Sjur dan Nico van der Wijst. 2001. “Default Probabilities in a Corporate Bank Portfolio: A Logistic Model Approach.” European Journal of Operational Research, Vol. 135 no. 2: 338349. Wiginton, J.C., 1980, A note on the comparison of logit and discriminant models of consumer credit behavior, Journal of Financial and Quantitative Analysis, Vol. 15 no. 3, 757-770.
Modigliani, Franco dan Merton H. Miller. 1963. “Corporate Income Taxes and the Cost of Capital: A Correction.” The American Economic Review 53 (3): 433-443.
Wijst, D van der. 1989. Financial Structure in Small Business: Theory, Tests and Applications. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag.
Ohlson, James A. 1980. “Financial ratios and Probabilistic Prediction of Bankruptcy.” Journal of Accounting Research 18 (1): 109-131.
Zavgren, Christine V. 1983. “The Prediction of Corporate Failure: The State of the Art.” Journal of Accounting Literature 2: 1-38.
Scott, J.H., 1976. “A Theory of Optimal Capital Structure” Bell Journal of Economics, Vol. 7 issue 1, 33-54
Zmijewski, M. E. 1984. “Methodological Issues Related to the Estimation of Financial Distress Prediction Models.” Journal of Accounting Research 20 (0): 59-82.
Scott, James H. Jr. 1977. “Bankruptcy, Secured Debt, and Optimal Capital Structure.” Journal of Finance 32 (1): 1-19. Scott, J., 1981. “The Probability of Bankruptcy, A Comparison of Empirical Predictions and Theoretical Models.” Journal of Banking and Finance, Vol. 5, 317-344
220
Zopounidis, C., Doumpos, M., 1999. A Multicriteria Aid Methodology for Sorting Decision Problems: The Case of Financial Distress, Computational Economics, 14, pp. 197-218.
ISSN: 1978-3116 MODEL DINAMIS PERTUMBUHAN EKONOMI, INFLASI, DAN.............. (Endang Setyowati)
Vol. 5, No. 3, November 2011 Hal. 221-235
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
MODEL DINAMIS PERTUMBUHAN EKONOMI, INFLASI, DAN PENGANGGURAN DI INDONESIA Endang Setyowati Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN Yogyakarta Jalan Seturan Yogyakarta 55281 Telepon +62 274 486160, 486321, Fax. +62 274 486155 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT This research has purpose to provide empirical evident about causal relationship between inflation, economic growth, and unemployment in Indonesia. Using annual data covering the period from 1980 to 2010, vector autoregressive (VAR) model, and Granger causality test for VAR Multivariate model, the empirical result indicated that unemployment has impact to inflation and economic growth in Indonesia. Economic growth has weak impact to inflation and has no impact to unemployment in Indonesia. Inflation has no impact to economic growth, nor unemployment in Indonesia. Keywords: inflation, economic growth, unemployment, VAR, granger causality test
PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi bagi negara sedang berkembang ditujukan untuk mencapai kemakmuran masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan distribusi pendapatan yang merata. Beberapa dasawarsa terakhir berbagai kebijakan pemerintah secara aktif ditujukan untuk mendorong perekonomian dan lapangan kerja agar laju pertumbuhan ekonomi berada pada tingkat potensial. Kadang sutu perekonomian harus dihadapkan pada kondisi tertentu yang tidak diinginkan dari upaya pencapaian
perekonomian yang lebih baik. Pada tahun 1958, Phillips menemukan hubungan negatif antara pengangguran dengan perubahan tingkat upah dan meyakini bahwa dalam jangka panjang terdapat trade off antara pengangguran dan inflasi. Artinya, dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi dapat dicapai dengan mengorbankan inflasi pada tingkat tertentu. Kondisi yang berbeda dari temuan Philip adalah pengalaman dari krisis moneter yang dihadapi Indonesia pada pertengahan tahun 1997 yang telah mengakibatkan ketidakstabilan perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi terhenti, bahkan mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif, tingkat pengangguran meningkat, dan tingkat inflasi meningkat tajam pada tahun 1998 yaitu mencapai 58% (Setyowati, 2011). Pengalamam krisis moneter tersebut menimbulkan suatu pertanyaan sampai seberapa hubungan dan pengaruh antara pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, dan pengangguran. Selama ini, tolok ukur untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi sering dilihat dari pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan tingkat pengangguran. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan perubahan secara riil produksi domestik bruto. Produksi domestik bruto menyatakan nilai pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa. Sedangkan produksi domestik bruto riil menyatakan nilai pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa setelah disesuaikan dengan tingkat inflasi. Inflasi merupakan kenaikan harga barang dan jasa yang diukur dari perubahan indeks harga
221
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 221-235
konsumen, sedang tingkat pengangguran menunjukkan banyaknya penduduk yang termasuk ke dalam angkatan kerja yang tidak bekerja (Mankew, 2007). Suatu negara yang melakukan pembangunan ekonomi selalu berupaya mencapai pertumbuhan ekonomi. Bahkan, pemerintah dengan berbagai kebijakan ekonomi sering mentargetkan pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai. Suatu negara yang dapat mencapai pertumbuhan ekonomi berarti ada peningkatan kegiatan ekonomi di negara tersebut, baik kegiatan produksi maupun kegiatan konsumsi. Peningkatan kegiatan ekonomi akan meningkatkan investasi yang selanjutnya peningkatan investasi akan membuka lapangan kerja atau mengurangi pengangguran. Perekonomian Indonesia menunjukkan bahwa setiap satu persen terciptanya pertumbuhan ekonomi akan dapat menyerap tenaga kerja baru sebanyak 548.000 orang (Setyowati, 2011). Upaya pemerintah tidak hanya pencapai pertumbuhan ekonomi dan penurunan pengangguran saja, tetapi juga berupaya perekonomian pada kondisi tingkat inflasi yang rendah, karena tingkat inflasi yang rendah menunjukkan harga barang dan jasa di negara tersebut stabil. Inflasi yang tinggi berdampak negatif pada terhadap pertumbuhan ekonomi. Tingkat inflasi yang tinggi menyebabkan ketidakpastian, sehingga investor cenderung melakukan investasi finansial jangka pendek yang bersifat spekulatif dari pada melakukan investasi proyek riil yang bersifat produktif. Perekonomian Indonesia dalam periode 19861997 (sebelum krisis moneter tahun 1998) mengalami pertumbuhan yang positif dari tahun ke tahun, pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 6,65%. Namun pada saat perekonomian Indonesia mengalami krisis moneter pada tahun 1998, perekonomian Indonesia mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) sebesar 13,1% dan setelah krisis moneter tahun 1998 (tahun 1999-2010) perekonomian Indonesia tumbuh rata-rata per tahun hanya sebesar 4,89%. Jika dilihat dari besaran pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun, maka dapat diketahui bahwa perekonomian Indonesia pada masa sebelum krisis moneter tahun 1998 mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi daripada masa sesudah krisis moneter tahun 1998. Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi pada masa sebelum krisis moneter tahun 1998 menempatkan Indonesia
222
sebagai salah satu macan Asia. Harga-harga barang dan jasa pada perekonomian Indonesia beberapa tahun sebelum krisis moneter tahun 1998 relatif stabil. Hal ini ditunjukkan oleh laju inflasi pada masa itu relatif konstan, yaitu 7,92% rata-rata per tahun selama periode tahun 19861997. Pada saat krisis moneter tahun 1998 laju inflasi Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 58%. Inflasi yang tinggi ini dipicu dari kondisi perekonomian pada masa krisis moneter nilai rupiah terhadap mata uang asing merosot tajam, dari US$ 1 sekitar Rp2.400,menjadi sekitar Rp17.000,- Menghadapi kondisi ketidakstabilan harga yang tinggi ini, Bank Indonesia menerapkan kebijakan moneter uang ketat yang berakibat pertumbuhan uang beredar melambat dan tingkat suku bunga simpanan di perbankan meningkat tajam, sehingga tekanan depresiasi rupiah berangsur surut. Inflasi mulai terkendali pada tahun 1999. Memasuki tahun 2002 dan seiring dengan membaiknya kondisi sosial-politik di Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap US$ menjadi relatif stabil dan inflasi mengalami penurunan yang cukup tajam. Laju inflasi di Indonesia yang terjadi dalam periode 1999-2010 (periode setelah krisis moneter 1998) cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan dalam periode sebelum krisis, yaitu sebesar 9,31$ rata-rata per tahun. Namun laju inflasi dalam periode tahun 19992010 lebih berfluktuasi dibandingkan dengan laju inflasi dalam periode tahun 1986-1997. Perbedaan laju inflasi antara masa sebelum krisis moneter tahun 1998 dan masa setelah krisis moneter tahun 1998 mencerminkan bahwa harga-harga barang dan jasa dalam periode sebelum krisis moneter lebih stabil daripada harga-harga barang dan jasa setelah krisis moneter tahun 1998. Stabilitas harga yang terjadi pada periode sebelum krisis moneter tahun 1998 disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah keberhasilan Indonesia dalam melaksanakan program swasembada pangan. Pergolakan pada harga pangan yang terjadi pada periode sesudah krisis moneter tahun 1998 pemberi kontribusi yang signifikan dalam menciptakan inflasi pada periode tersebut. Faktor lain yang menyebabkan harga-harga relatif stabil pada periode setelah krisis adalah harga bahan bakar minyak (BBM) dan kurs valuta asing juga relatif stabil. Harga BBM merupakan salah satu unsur penting pembentuk biaya produksi. Kenaikan harga BBM direspon produsen
MODEL DINAMIS PERTUMBUHAN EKONOMI, INFLASI, DAN.............. (Endang Setyowati)
dengan menaikkan harga. Stabilitas nilai tukar valuta asing memberikan kontribusi yang baik pada hargaharga barang dan jasa di Indonesia yang struktur produksinya banyak menggunakan bahan baku dan bahan penolong dari barang-barang impor. Stabilitas nilai tukar valuta asing disebabkan pada periode tersebut pemerintah menganut rezim kontrol devisa yang mengambang terkendali. Kurs valuta asing ditentukan dengan rentang kendali. Ketika kurs mempunyai kecenderungan melampaui rentang kendali yang telah ditetapkan oleh pemerintah, Bank Indonesia melakukan intervensi dengan membeli atau menjual valuta asing. Perkembangan tingkat pengangguran di Indonesia dalam periode tahun 1986-2010 mengalami meningkat dari waktu ke waktu. Namun sejak tahun 2006 tingkat pengangguran di Indonesia menurun hingga tahun 2010. Penurunan tingkat pengangguran ini lebih banyak disebabkan oleh perubahan pada kriteria yang digunakan untuk menentukan seseorang termasuk ke dalam kelompok bekerja, yaitu dari minimal 35 jam per minggu melakukan kegiatan ekonomi menjadi hanya dua hari dalam per minggu. Definisi penduduk bekerja yang digunakan saat ini adalah penduduk usia kerja yang melakukan kegiatan ekonomi dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja yang tidak dibayar yang membantu dalam usaha atau kegiatan ekonomi. Tingkat pengangguran di Indonesia dalam periode 1986-1997 sebesar 3,54% rata-rata per tahun. Pada saat Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1998 tingkat pengangguran mencapai 5,5%. Dalam periode tahun 1999-2010 tingkat penganggguran di Indonesia sebesar 6,58% rata-rata per tahun. Dalam literatur ekonomi terdapat banyak teori yang menjelaskan hubungan antara pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran. Bukti empiris hubungan antara ketiga statistik ekonomi tersebut juga sudah banyak diperoleh dari hasil penelitian. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap perekonomian Inggris yang dilakukan Phillips menggunakan data tahun 1865-1956 memperoleh bukti empiris adanya hubungan negatif antara tingkat pengangguran dengan tingkat inflasi. Artinya, pada saat tingkat pengangguran
rendah, tingkat inflasi tinggi. Sebaliknya tingkat inflasi rendah terjadi pada saat tingkat pengagguran tinggi. Hasil temuan ini menimbulkan implikasi bagi pengambil kebijakan, yaitu tujuan pengelolaan perekonomian untuk mencapai tingkat inflasi rendah dan tingkat inflasi yang rendah menjadi sulit. Karena adanya trade-off antara tingkat inflasi dan tingkat pengagguran. Okun menggambarkan secara grafik hubungan antara tingkat pengangguran dengan persentase perubahan PDB riil perekonomian Amerika Serikat tahun 1951-2003. Persentase perubahan PDB riil adalah tingkat pertumbuhan ekonomi. Sebaran titik-titik persentase perubahan PDB riil dan perubahan tingkat pengangguran membentuk pola yang menurun. Pola ini menggambarkan hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pengangguran. Hukum Okun menyatakan pada tingkat pengangguran yang tinggi akan terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi (Mankew, 2007). Tingkat inflasi mempunyai hubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi. Pada masa tingkat inflasi yang tinggi, kebijakan investasi masyarakat lebih benyak kepada investasi yang tidak produktif, seperti logam mulia dan tanah. Rendahnya investasi yang produktif pada masa inflasi tinggi menyebabkan produksi nasional menurun (Setyowati, 2007). Simaremare (2006) melakukan penelitian untuk mengetahui berlakunya hukum Okun pada perekonomian Indonesia. Penelitian tersebut menggunakan data time series tahunan 1985-2005. Dengan metode Ordinary Least Square (OLS) diperoleh simpulan bahwa hukum Okun berlaku bagi perekonomian Indonesia, yaitu pada tingkat pengangguran di Indonesia tinggi, pertumbuhan ekonomi Indonesia rendah. Amir (2008) melakukan penelitian tentang pengaruh inflasi dan pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran di Indonesia. Dengan menggunakan data tahun 1980-2005 tidak memperoleh bukti adanya pengaruh tingkat inflasi terhadap pengangguran pada perekonomian Indonesia, baik secara statistik maupun secara grafik. Namun hasil penelitian tersebut memperoleh bukti adanya hubungan yang signifikan antara pengangguran dengan pertumbuhan ekonomi. Berdasar besaran statistik yang diperoleh dapat diketahui bahwa setiap terjadi pertumbuhan ekonomi sebesar 1% akan menurunkan tingkat pengangguran
223
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 221-235
sebesar 0,46%. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran merupakan topik yang masih menarik untuk diteliti hingga saat ini. Salah satu alasannya adalah beberapa penelitian yang pernah dilakukan, baik di negara yang sama atau negara yang berbeda, tetapi menggunakan data dan/atau metode analisis yang berbeda, dapat menghasilkan simpulan yang berbeda pula. Alasan lain adalah bahwa pengetahuan tentang hubungan di antara ketiga variabel ekonomi makro tersebut diperlukan oleh para pengambil keputusan agar mampu memperoleh informasi yang lebih lengkap untuk dijadikan dasar dalam merancang kebijakan ekonomi. Kebijakan ekonomi pemerintah dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu kebijaan ekonomi mikro dan kebijakan ekonomi makro. Kebijakan ekonomi mikro bertujuan memperbaiki kinerja ekonomi melalui regulasi aktivitas ekonomi di tingkat rumahtangga dan perusahaan secara individu, sedang tujuan kebijakan ekonomi makro pemerintah untuk memperbaiki kinerja perekonomian dengan cara menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, laju inflasi yang rendah, dan tingkat pengangguran yang rendah. Pemerintah dapat merancang kebijakan ekonomi makro secara lebih baik perlu pengetahuan tentang bentuk hubungan antara pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran di Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan pengaruh antara pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran di Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan merancang model dinamis antara pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan penggangguran Indonesia. MATERI DAN METODE PENELITIAN Produksi domestik bruto menunjukkan nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perekonomian pada satu periode tertentu. Tingkat pertumbuhan ekonomi adalah tingkat di mana produksi domestik bruto meningkat (Dornbusch et. al., 2008). Inflasi yang tinggi berdampak negatif terhadap perekonomian, yaitu 1) mendorong masyarakat untuk berinvestasi pada kegiatan-kegiatan yang bersifat spekulatif, 2) tingkat bunga cenderung meningkat, 3) menimbulkan ketidakpastian mengenai keadaan ekonomi di masa
224
yang akan datang, dan 4) menimbulkan masalah pada neraca pembayaran (Setyowati, 2007). Tingginya investasi masyarakat pada kegiatan-kegiatan yang bersifat spekulatif, seperti membeli emas dan tanah menyebabkan rendahnya kegiatan investasi yang produktif. Kenaikan tingkat bunga yang disebabkan oleh kebijakan bank sentral yang kontraktif (mengurangi jumlah uang beredar di masyarakat) juga akan mengurangi daya tarik pengusaha melakukan kegiatan investasi yang bersifat produktif. Ketidakpastian kondisi perekonomian di masa yang akan datang sebagai akibat dari tingginya laju inflasi akan menyulitkan pengusaha untuk membuat perencanaan, sehingga dorongan para pengusaha untuk berinvestasi akan rendah. Rendahnya investasi masyarakat/ pengusaha kepada kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi akan rendah. Hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dengan inflasi dijelaskan dalam teori Tobin yang dikenal dengan istilah Efek Tobin. Menurut Efek Tobin, inflasi menyebabkan individu-individu mengubah kekayaan dari uang menjadi kekayaan yang menghasilkan bunga, yaitu investasi. Kenaikan investasi menyebabkan kegiatan produksi menjadi lebih padat modal. Kegiatan produksi yang cenderung lebih padat modal akan mendorong meningkatnya produksi nasional dan terjadi pertumbuhan ekonomi. Pandangan ekonom klasik tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi berbeda dengan pandangan Keynes dan Tobin. Ekonom klasik berpendapat tidak terdapat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan inflasi. Menurut pandangan klasik, penawaran agregatif jangka panjang adalah konstan (Gartner, 2006). Kenaikan permintaan agregaif tidak dapat mengubah pendapatan nasional. Kenaikan permintaan agregatif hanya dapat meningkatkan harga, namun tidak mengubah output (pendapatan nasional). Dengan demikian, tidak terdapat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Harga umum naik, tetapi output tidak berubah. Pandangan klasik tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi didukung oleh teori netralitas (neutrality theory). Teori netralitas menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan keterkaitan antara sektor moneter dengan sektor riil. Kebijakan pengendalian laju inflasi melalui kebijakan
MODEL DINAMIS PERTUMBUHAN EKONOMI, INFLASI, DAN.............. (Endang Setyowati)
moneter, baik ekspansif maupun kontraktif tidak berpengaruh terhadap siklus bisnis (pertumbuhan ekonomi). Hasil pengamatan terhadap perekonomian Amerika Serikat menunjukkan bahwa penurunan tingkat output dan kesempatan kerja terjadi setelah bank sentral Amerika melakukan kebijakan moneter yang ekspansif (Mankew, 2007). Hasil pengujian kausalitas satu arah dari pertumbuhan ekonomi ke inflasi. Mallik dan Chowdhury (2001) meneliti hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan inflasi di empat negara Asia Selatan, yaitu Bangladesh, India, Pakistan, dan Sri Langka. Periode penelitian: Bangladesh 1974-1997; India 1961-1997; Pakistan 1957-1997; dan Sri Lanka 1966-1997. Model yang digunakan adalah model kointegrasi dan model koreksi kesalahan. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dengan inflasi. Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1: Terdapat hubungan kausal antara pertumbuhan ekonomi dengan inflasi di Indonesia Penyediaan lapangan pekerjaan yang tinggi bagi masyarakat merupakan salah satu tujuan penting dari kebijakan ekonomi oleh pemerintah, baik di negara sedang berkembang maupun di negara maju. Ketersediaan lapangan kerja merupakan syarat untuk mengurangi jurang kemiskinan (Sodipe, 2011). Lapangan kerja dapat ditingkatkan melalui kegiatan investasi di sektor produktif oleh perusahaan. Investasi perusahaan akan terjadi pada perekonomian yang memiliki pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan investasi dalam perekonomian, sedangkan investasi perusahaan dapat menciptakan lapangan kerja. Kesempatan kerja yang meningkat berarti tenaga kerja yang terlibat dalam produksi nasional meningkat, sehingga barang dan jasa yang dihasilkan juga akan meningkat. Semakin tinggi lapangan pekerjaan yang tersedia dalam suatu perekonomian, semakin rendah tingkat pengagguran dalam perekonomian tersebut. Uraian tersebut menunjukkan adanya hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan pengangguran. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan pengangguran dapat dijelaskan dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh Okun terhadap perekonomian Amerika Serikat. Dengan menggunakan data pertumbuhan ekonomi dan pengangguran Amerika
Serikat tahun 1948-2003 nampak terlihat adanya hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dan pengangguran. Tenaga kerja yang dipekerjakan bertujuan untuk menghasilkan barang dan jasa, sementara tenaga kerja yang tidak bekerja tidak menghasilkan apa-apa. Oleh karena itu, pengangguran berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi. Hukum Okun menjelaskan tingkat pengangguran yang tinggi terjadi pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah. Lebih jauh lagi hasil temuan Okun pada perekonomian Amerika Serikat menunjukkan bahwa setiap satu persen terjadi perubahan pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran berubah sebesar 0,4 kalinya. Misalnya terjadi penurunan produksi nasional sebesar 5%, tingkat pengangguran naik sebesar 0,4 kali 5%, yaitu 2% (Gordon, 1987). Banyak penelitian empiris telah dilakukan di beberapa negara untuk mengetahui hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan pengangguran. Hussain at. al. (2010) meneliti hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengangguran pada perekonomian Pakistan. Penelitian tersebut menggunakan data pertumbuhan ekonomi dan pengangguran Pakistan dari 1972 sampai dengan 2006. Analisis terhadap hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengagguran dilakukan dengan menggunakan model Vector Error Correction (VECM). Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan pengaruh antara pertumbuhan ekonomi dengan pengangguran, baik dalam periode jangka pendek maupun periode jangka panjang. Simaremare (2006) telah melakukan penelitian terhadap hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengangguran di Indonesia. Dengan data tahun 19852005 menggunakan model Ordinary Least Square (OLS) diperoleh simpulan bahwa hukum Okun berlaku pada perekonomian Indonesia, di mana koefisien Okun bernilai negatif. Artinya, pada saat pertumbuhan ekonomi tinggi, pengangguran cenderung rendah. Penelitian tersebut tidak dapat membuktikan adanya hubungan pengaruh antara kedua variabel tersebut. Amir (2008) melakukan penelitian tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran di Indonesia menggunakan data tahun 1980 sampai dengan tahun 2005. Dengan metode OLS diperoleh simpulan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara pertumbuhan ekonomi dan pengagguran. Model regresi estimasi yang diperoleh menunjukkan setiap
225
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 221-235
kenaikan satu persen pertumbuhan ekonomi akan menurunkan tingkat pengganguran sekitar 0,46%. Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2: Terdapat hubungan kausal antara pertumbuhan ekonomi dengan pengangguran di Indonesia Untuk menjelaskan hubungan antara inflasi dan pengangguran banyak di kalangan professional ekonomi menggunakan hasil pengamatan yang dilakukan Phillips pada tahun 1958 dengan menggunakan data perekonomian Inggris tahun 18611957 terhadap pengangguran dan perubahan tingkat upah. Phillips menemukan hubungan negatif antara pengangguran dengan perubahan tingkat upah. Pada saat tingkat pengangguran rendah, upah tenaga kerja tinggi. Sebaliknya pada tingkat pengangguran tinggi, upah tenaga kerja rendah. Sebaran titik yang menggambarkan hubungan antara persentase pengangguran dengan persentase kenaikan upah tenaga kerja membentuk pola yang menurun. Phillips membuat suatu kurva yang mengikuti pola sebaran dari titik-titik tersebut dan menemukan bentuk kurva yang menurun dan disebut kurva Phillips. Kurva Phillips adalah sebuah kurva yang menunjukkan hubungan terbalik (berlawanan arah) antara tingkat pengangguran dengan kenaikan upah tenaga kerja. Tingkat pengangguran yang cenderung tinggi, laju inflasi cenderung rendah (Dornbusch et. al., 2008). Tingkat pengangguran yang naik akibat menurunnya laju inflasi sering dianggap sebagai biaya yang harus diterima dari suatu kebijakan pemerintah dalam rangka menekan laju inflasi. Biaya menekan laju inflasi merupakan topik yang sering diperdebatkan di kalangan ahli ekonomi. Kurva Phillips merupakan pandangan standar tentang hubungan antara inflasi dengan pengangguran dalam jangka pendek. Pandangan standar menyatakan bahwa menekan laju inflasi membutuhkan periode output yang rendah (pertumbuhan ekonomi rendah) dan pengangguran yang tinggi. Biaya menekan laju inflasi diukur oleh rasio pengorbanan, yaitu persentase output nasional yang harus dikorbankan (menurunnya pertumbuhan ekonomi) dan kenaikan pengangguran untuk menekan laju inflasi sebesar satu persen (Sachs dan Larrain, 1993). Fisher (1973) melakukan pengamatan terhadap hubungan antara perubahan tingkat harga dengan
226
tingkat pengangguran di Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan negatif antara perubahan tingkat harga dan pengangguran. Jika perubahan tingkat harga adalah inflasi, maka inflasi mempunyai hubungan negatif dengan pengangguran. Fisher berhasil menemukan kurva Phillips pada perekonomian Amerika Serikat. Pada saat perekonomian mengalami resesi, tingkat pengangguran sangat tinggi karena perekonomian memiliki kelebihan tenaga kerja. Ketika perekonomian mulai membaik, permintaan agregatif akan meningkat dan kesempatan kerja juga akan meningkat, sehingga penduduk yang bekerja akan meningkat. Peningkatan kesempatan kerja akan sedikit mendorong kenaikan upah tenaga kerja. Jika peningkatan kegiatan ekonomi berlanjut dan penduduk yang bekerja semakin banyak, maka hal ini akan mendorong upah tenaga kerja meningkat. Kenaikan upah tenaga kerja akan meningkatkan biaya produksi dan produsen akan cenderung menaikkan harga. Oleh karena itu, penurunan pengangguran akan mengakibatkan kenaikan inflasi, dan sebaliknya. Pandangan lain tentang biaya yang harus ditanggung dari suatu kebijakan menekan laju inflasi adalah teori histeresis yang menyatakan bahwa resesi (menurunnya kegiatan ekonomi nasional) sebagai akibat dari kebijakan menekan laju inflasi akan meningkatkan pengangguran alamiah. Penurunan kegiatan ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan menekan laju inflasi tidak hanya bersifat temporer, tetapi juga mengakibatkan tingkat pengangguran yang lebih tinggi (Mankew, 2007). Pandangan tradisional tentang hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran seperti yang digambarkan dengan kurva Phillips berbeda dengan pandangan Friedman yang menyatakan bahwa inflasi memiliki pergerakan yang searah dengan pengangguran. Ketika harga barang dan jasa meningkat, pengangguran juga akan naik. Inflasi yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi akan mendorong perusahaan untuk mengurangi barang dan jasa yang diproduksi untuk mencapai tingkat produksi yang efisien. Pengurangan tingkat produksi ini menyebabkan penggunaan faktor produksi, termasuk tenaga kerja yang digunakan dalam kegiatan produksi akan berkurang. Hal ini akan meningkatkan pengangguran. Jadi kenaikan harga barang dan jasa
MODEL DINAMIS PERTUMBUHAN EKONOMI, INFLASI, DAN.............. (Endang Setyowati)
akan meningkatkan pengangguran. Hubungan antara pengangguran dan inflasi juga banyak diperoleh dari hasil penelitian empiris di beberapa negara. Amir (2008) melakukan penelitian tentang pengaruh inflasi terhadap pengangguran di Indonesia menggunakan data tahun 1980 hingga tahun 2005. Dengan metode OLS hasil penelitian tersebut tidak berhasil memperoleh bukti adanya pengaruh inflasi terhadap pengangguran. Kitov (2007) meneliti hubungan antara inflasi dan pengangguran di Jepang menggunakan data pengangguran dan indeks harga konsumen Jepang tahun 1982-2006. Dengan model regresi linear diperoleh koefisien regresi yang bernilai negatif sebesar -0,94 dengan konstanta 0,0041. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan negatif antara inflasi dan penganguran pada perekonomian Jepang. Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H3: Terdapat hubungan kausal antara inflasi dengan pengangguran di Indonesia Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan kausal antara pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran di Indonesia. Setelah diketahui pola hubungan antara ketiga variabel tersebut kemudian dilanjutkan dengan membuat model dinamis antara pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, dan tingkat pengangguran di Indonesia tahun 1980 hingga tahun 2010 yang diperoleh dari Statistik Indonesia tahun 19802010 dan Nota Keuangan dan RAPBN 1979/1980 hingga 2010. Pertumbuhan ekonomi adalah persentase perubahan produksi domestik bruto (PDB) atas dasar harga konstan tahun 2000. Laju inflasi diukur dari persentase perubahan indeks harga konsumen Indonesia (IHKI). Tingat pengangguran adalah persentase penduduk yang menganggur terhadap angkatan kerja. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran digambarkan ke dalam suatu model dinamis yang disebut vector autoregressive (VAR Model) atau model vector error correction (VEC Model). Jika tingkat pertumbuhan ekonomi diberi simbol PDBR, laju inflasi diberi simbol INF, dan tingkat pengangguran diberi simbol TP, maka spesifikasi model VAR atau model VEC antara ketiga variabel tersebut adalah sebagai berikut:
k
PDBRt= α +
Σ j=1
k
βj PDBRt-j+
k
INFt = α +
Σ
j=1
k
βj PDBRt-j+
Σ
j=1
Σ
j=1
k
TPt = α +
Σ
j=1
k
βj PDBRt-j+
Σ
j=1
k
Σ
γj INFt-j+ δjTPt-j +μ1t j=1
k
Σ
γj INFt-j+ δjTPt-j +μ1t j=1
k
Σ
γj INFt-j+ δjTPt-j +μ1t j=1
Keterangan: PDBRt adalah tingkat pertumbuhan ekonomi pada periode t dan PDBRt-j adalah tingkat pertumbuhan ekonomi pada periode sebelumnya. INFt adalah laju inflasi pada periode t dan INFt-j adalah laju inflasi pada periode sebelumnya. TPt adalah tingkat pengangguran pada periode t dan TPt-j adalah tingkat pengangguran pada periode sebelumnya. µ merupakan stochastic error terms atau di dalam istilah model VAR atau VEC disebut impuls atau inovasi, atau shok (Gujarati, 2003). Pemilihan model VAR atau model VEC tergantung dari kondisi data yang diamati. Jika data yang diamati stasioner pada level, maka model yang digunakan adalah model VAR, sedang jika data yang diamati tidak stasioner, namun memiliki hubungan kointegrasi, maka model yang digunakan adalah model VEC. Sebelum melakukan pencarian model VAR atau model VEC, data mengenai pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran terlebih dahulu dilakukan pengujian stasioneritas data tersebut. Suatu data time series dikatakan stasioner jika data tersebut memiliki rata-rata dan varians yang konstan sepanjang waktu dalam time series. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam penggunaan model VAR adalah bahwa data yang diamati harus stasioner. Jika terdapat variabel yang tidak stasioner, langkah berikutnya adalah melakukan pengujian terhadap hubungan kointegrasi di antara semua variabel yang diamati. Penggunaan model VEC mensyaratkan variabel yang diamati memiliki hubungan kointegrasi. Penelitian yang menggunakan data time series diperlukan informasi tentang stasioneritas data. Penggunaan data yang tidak stasioner dalam model regresi estimasi menyebabkan kesalahan standar koefisien regresi menjadi bias. Pengujian dengan
227
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 221-235
pengaruh menggunakan cara konvensional terhadap data yang tidak stasioner menjadi tidak valid. Dengan kata lain, model regresi yang menggunakan variabel yang memiliki unit roots (tidak stasioner) mengakibatkan koefisien regresi estimasi menjadi tidak efisien. Identifikasi terhadap stasioneritas data dilakukan melalui statinary stochastic process. Melalui proses ini akan diketahui apakah stasioner atau tidak. Penelitian ini menggunakan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF Test) untuk menguji stasioneritas data (unit root). Formulasi umum Uji ADF adalah sebagai berikut:
arah. Namun, jika X menyebabkan Y dan Y menyebabkan X, maka hubungan kausal antara X dan Y adalah dua arah. Penelitian ini menggunakan Granger Causality Test untuk menguji hubungan kausalitas antara variabel yang diamati. Bentuk umum persamaan regresi estimasi yang menunjukkan hubungan kausal antara variabel X dan variabel Y adalah sebagai berikut: m
Yt =
i=1
m
PYt = β1 + β2t + δYt-l +
Σ
Yt adalah variabel yang diamati pada periode t, Y t-1 adalah nilai variabel Y pada satu periode sebelumnya. b1 adalah konstanta, b2 adalah koefisien tren, ai adalah koefisien variabel lag Y, m adalah panjangnya lag, dan et adalah white noise error terms. Hipotesis nol menyatakan bahwa d = 0. Artinya Yt memiliki unit roots. Jika data suatu variabel memiliki unit roots, maka dapat disimpulkan bahwa data variabel tersebut tidak stasioner. Variabel dalam model VAR harus stasioner. Jika terdapat variabel tidak stasioner perlu dilakukan uji hubungan kointegrasi. Kointegrasi merupakan kombinasi hubungan linear dari variabel-variabel yang nonstasioner dan semua variabel tersebut harus terintegrasi pada derajat yang sama. Variabel-variabel yang terintegrasi mempunyai trend stokastik yang sama dan mempunyai arah pergerakan yang sama dalam jangka panjang. Dalam penelitian ini menguji hubungan kointegrasi menggunakan metode Johansen’s Multivariate Cointegration Test. Tujuan uji kausalitas adalah untuk menguji hubungan kausal antara dua variabel. Misalnya pengujian dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan kausal antara variabel Y dan variabel X. Analisis dimulai dengan membuat rumusan hipotesis nol yang menyatakan bahwa X tidak menyebabkan Y. Hubungan kausal antara dua variabel dapat berupa hubungan kausal satu arah dan hubungan kausal dua arah. Jika X menyebabkan Y, tetapi Y tidak menyebabkan X, maka hubungan kausal antara X dan Y adalah satu
Yt =
Σ i=1
Σ βX
t-j
+ ε1t
t-j
+ ε2t
i
j=1
m
αi Yt-i + εt
i-l
228
Σ
n
αt Yt-l +
n
γt Yt-i +
Σ δX j
j=1
Hipotesis nol pada uji kausalitas menggunakan Granger Causality Test menyatakan bahwa X tidak menyebabkan Y atau Y tidak menyebabkan X. HASIL PENELITIAN Hasil pengolahan data deskriptif menunjukkan rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun selama periode peneliti adalah 5,15%, laju inflasi pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu sebesar 10,45% per tahun, dan pengangguran pada tingkat 5,36%. Deskripsi perkembangan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran selama periode penelitian dibagi ke dalam periode sebelum krisis moneter 1988, yaitu 19801997, pada saat krisis moneter tahun 1998, dan setelah krisis moneter tahun 1998, yaitu 1999-2010 seperti pada Tabel 1. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun pada periode sebelum krisis moneter Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan pada periode setelah krisis moneter. Perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 6,31% per tahun, sedangkan pertubuhan ekonomi rata-rata pada periode setelah krisis moneter mengalami perlambatan, yaitu sebesar 4,74% per tahun. Perekonomian Indonesia mengalami kontraksi (pertumbuhan ekonomi negatif) sebesar 13,1% pada masa krisis moneter tahun 1998.
MODEL DINAMIS PERTUMBUHAN EKONOMI, INFLASI, DAN.............. (Endang Setyowati)
Tabel 1 Pertumbuhan Ekonomi dan Laju Inflasi Indonesia 1980-2010 (%)
Indikator Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi Laju Inflasi Tingkat Pengangguran
Periode 1980-1997 1998 1999-2010 6,31 8,58 3,11
-13,10 58,00 5,50
4,88 9,31 8,71
Laju inflasi di Indonesia cukup tinggi selama periode penelitian 1980-2010, yaitu sebesar 10,45% ratarata per tahun. Laju inflasi tertinggi terjadi masa periode krisis moneter tahun 1998, yaitu seberar 58%. Laju inflasi pada periode sebelum krisis moneter tahun 1998 relatif lebih rendah dibandingkan dengan pada periode setelah kritis. Laju inflasi pada masa sebelum krisis moneter pada tingkat 8,58% rata-rata per tahun, sedang pada periode setelah krisis sebesar 9,31% rata-rata per tahun. Pengangguran di Indonesia selama periode penelitian mengalami peningkatan sebesar 5,36% rata-rata per tahun. Tingkat pengangguran pada periode sebelum krisis moneter (1980-1997) relatif rendah, yaitu sebesar 3,11%. Namun pada periode setelah krisis moneter (1999-2010) tingkat pengangguran di Indonesia cukup tinggi, yaitu sebesar 8,71% rata-rata per tahun. Tingkat pengangguran di Indonesia pada saat mengalami krisis moneter adalah sebesar 5,5%. Perkembangan pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi selama periode penelitian dapat dilihat dari grafik seperti pada Gambar 1. Nampak pada Gambar 1 pertumbuhan ekonomi relatif stabil selama periode penelitian, sedang laju inflasi sedikit berfluktuatif. Namun pada masa krisis moneter tahun 1998 pergerakan pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi berlawanan arah. Pada masa krisis moneter tahun 1998 pertumbuhan ekonomi anjlok menjadi minus 13,1%, sementara hargaharga melonjak sebesar 58% sebagai laju inflasi tertinggi selama periode penelitian.
Gambar 1 Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi, 1980-2010 Perkembangan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran selama periode penelitian dapat dilihat dari grafik seperti pada Gambar 2 berikut ini.
Gambar 2 Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran, 19802010
Grafik pada Gambar 2 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi relatif stabil selama periode penelitian dan mengalami pertumbuhan negatif pada tahun 1998. Pergerakan tingkat pengangguran cenderung meningkat dari tahun 1980. Namun mulai tahun 2006 hingga sekarang tingkat pengangguran
229
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 221-235
mengalami perlambatan, sedangkan laju inflasi sedikit berfluktuatif. Perkembangan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran selama periode penelitian dapat dilihat dari grafik pada Gambar 3. Nampak laju inflasi cenderung mengalami menurunan, sedang tingkat pengangguran cenderung mengalami peningkatan.
Gambar 3 Inflasi dan Pengangguran, 1980-2010 Untuk mengetahui ada tidaknya akar unit pada data pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi di Indonesia dalam penelitian ini menggunakan Uji Augmented Dickey-Fuller (ADF). Angka pada Tabel 2 menunjukkan hasil perhitungan terhadap data penelitian. Hasil perhitungan terhadap data laju inflasi Indonesia selama periode tahun 1980-2010 dengan uji ADF diperoleh nilai hitung t sebesar -4,74459 dengan probabilitas sebesar 0,0007. Nilai uji ADF untuk data pertumbuhan ekonomi pada periode penelitian diperoleh nilai t hitung sebesar -4,153688 dengan nilai
probabilitas 0,0030. Nilai uji ADF untuk data tingkat pengagguran pada periode yang sama diperoleh nilai t hitung sebesar -1,14344 dengan nilai probabilitas 0,6850. PEMBAHASAN Uji Augmented Dickey-Fuller dilakukan untuk mengetahui pola distribusi data sepanjang masa periode penelitian. Model yang digunakan untuk mengetahui hubungan pengaruh antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi adalah model VAR. Model ini dapat digunakan untuk data yang memiliki rata-rata dan varians yang konstan selama periode penelitian dan disebut stasioner. Hipotesis nol pada uji ADF menyatakan bahwa data yang dianalisis memiliki akar unit. Sebuah data yang memiliki akar unit menunjukkan bahwa data tersebut tidak stasioner. Dengan menggunakan tingkat signifikansi 5%, nilai probabilitas untuk data pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi lebih kecil dibandingkan dengan tingkat signifikansi yang digunakan, sedang untuk uji ADF terhadap data tingkat pengangguran memiliki probabilitas lebih besar daripada tingkat signifikansi yang digunakan. Pengujian akar unit untuk data pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi menolak hipotesis nol. Dengan demikian, dapat disimpulkan data pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi selama periode penelitian adalah stasioner, sedang pengujian akar unit untuk data tingkat pengangguran memutuskan menerima hipotesis nol. Dengan demikian, dapat disimpulkan data tingkat pengangguran selama periode penelitian tidak stasioner. Data pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi stasioner pada level datanya selama periode penelitian, sedangkan data tingkat pengangguran tidak stasioner pada level datanya.
Tabel 2 Uji ADF Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi, dan Tingkat Pengangguran Variabel Inflasi (INF) Pertumbuhan Ekonomi (PDBR) Pengangguran (TP)
230
t-Statistik
Prob. (MacKinnon)
t-Kritis (5%)
-4,74459 -4,15368 -1,14344
0,0007 0,0030 0,6850
-2,96397 -2,96397 -2,96397
MODEL DINAMIS PERTUMBUHAN EKONOMI, INFLASI, DAN.............. (Endang Setyowati)
Data yang tidak stasioner pada level dilanjutkan pengujian untuk mengetahui apakah data tersebut pada first difference. Uji ADF untuk data tingkat pengangguran pada first difference diperoleh hasil tstatistik 4,94342 dengan nilai probabilitas 0,0004. Jika pengujian ini menggunakan tingkat signifikansi 5%, nilai kritis t adalah -2,9678. Pengujian tersebut menolak hipotesis nol yang menyatakan bahwa data tingkat pengangguran memiliki unit root. Dengan demikian, dapat disimpulkan data tingkat pengangguran stasioner pada first difference. Hasil uji unit root diperoleh informasi bahwa data yang diamati tidak stasioner pada tingkatan yang sama. Pengujian selanjutnya dilakukan untuk mengetahui apakah variabel yang diamati terkointegrasi. Dalam penelitian ini, pengujian hubungan kointegrasi menggunakan metode Johansen’s Multivariate Cointegration Test. Hipotesis nol pada uji Johansen menyatakan bahwa semua variabel yang diamati tidak berkointegrasi. Tabel 3.a dan Tabel 3.b berikut ini berisi nilai statistik hasil perhitungan uji kointegrasi mutivariat Johansen. Nilai Trace Statistic dan nilai Maximum Eiginvalue Statistic uji kointegrasi multivariat
Johansen pada r = 0 seperti yang terlihat pada Tabel 3.a dan Tabel 3.b lebih besar daripada nilai kritis pada tingkat signifikansi 5%. Jika pengujian menggunakan nilai probabilitas juga nampak nilai probabilitas r = 0 adalah 0,0252 lebih kecil daripada tingkat signifikansi yang digunakan dalam pengujian ini. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa hipotesis nol yang menyatakan bahwa laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat pengangguran tidak berkointegrasi ditolak. Dengan demikian, hasil pengujian kointegrasi multivariat Johansen menyimpulkan bahwa terdapat kointegrasi antara laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat pengangguran di Indonesia. Dengan kata lain, laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat pengangguran di Indonesia memiliki pergerakan yang sama (stabil) dalam jangka panjang. Hasil pengujian unit root menunjukkan bahwa laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat pengangguran di Indonesia berkointegrasi. Oleh karena itu model estimasi dinamis yang digunakan adalah model VEC (Ender, 2004). Berdasarkan hasil pengujian menggunakan model VAR menggunakan beberapa tingkat kelambanan (lag) diperoleh simpulan model VEC yang paling baik adalah VEC dengan tingkat
Tabel 3.a Hasil Uji Kointegrasi Johansen (Trace Statistic) Hipotesis Nol
Eigenvalue
Trace Statistic
Nilai Kritis (5%)
Prob.
r=0 r<1 r<2
0,550743 0,346248 0,039960
36,71305 13,50841 1,182642
29,79707 15,49471 3,841466
0,0068 0,0974 0,2768
Tabel 3.b Hasil Uji Kointegrasi Johansen (Maximum Eigenvalue Statistic) Hipotesis Nol
Eigenvalue
Max-Eigin Statistic
Nilai Kritis (5%)
Prob.
r=0 r<1 r<2
0,550743 0,346248 0,039960
23,20464 12,32577 1.,82642
21,13162 14,26460 3,841466
0,0252 0,0990 0,2768
231
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 221-235
kelambanan 3. Tabel 4 berikut ini estimasi model VEC dengan kelambanan 3. Tabel 4 Hasil Estimasi Model VEC
Persamaan 1: D(PDBR) = - 0,19103*( PDBR(-1) - 0,85591*INF(-1) + 0,18256*TP(-1) ) - 0,043965*D(PDBR(-1)) 0,069924*D(PDBR(-2)) + 0,07618*D(PDBR(-3)) 0,09818*D(INF(-1)) - 0,06755*D(INF(-2)) 0,02730*D(INF(-3)) + 0,03944*D(TP(-1)) + 1,42411*D(TP(-2)) - 2,65275*D(TP(-3))
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
PDBR(-1) INF(-1)
1.000000 -0.855910 (0.28522) [-3.00090] 0.182563 (0.53392) [ 0.34193]
TP(-1)
Error Correction: CointEq1
D(PDBR(-1))
D(PDBR(-2))
D(PDBR(-3))
D(INF(-1))
D(INF(-2))
D(INF(-3))
D(TP(-1))
D(TP(-2))
D(TP(-3))
D(PDBR)
D(INF)
D(TP)
-0.191029 (0.10537) [-1.81296] -0.043965 (0.42481) [-0.10349] -0.069924 (0.41258) [-0.16948] 0.076184 (0.34616) [ 0.22008] -0.098183 (0.15215) [-0.64531] -0.067555 (0.14761) [-0.45766] -0.027296 (0.12503) [-0.21831] 0.039442 (0.71157) [ 0.05543] 1.424106 (0.67711) [ 2.10322] -2.652750 (0.72088) [-3.67986]*
0.662806 (0.21798) [ 3.04069] -2.292548 (0.87882) [-2.60867] -1.547739 (0.85350) [-1.81339] -0.746255 (0.71611) [-1.04209] -0.552823 (0.31475) [-1.75636] -0.462082 (0.30536) [-1.51321] -0.128228 (0.25866) [-0.49575] 1.948235 (1.47205) [ 1.32349] -3.666643 (1.40075) [-2.61763]* 6.895736 (1.49131) [ 4.62395]*
-0.045799 (0.03588) [-1.27640] -0.038640 (0.14466) [-0.26710] -0.014333 (0.14050) [-0.10202] -0.059024 (0.11788) [-0.50072] -0.050020 (0.05181) [-0.96541] -0.053990 (0.05027) [-1.07409] -0.028087 (0.04258) [-0.65967] 0.060166 (0.24231) [ 0.24830] -0.053581 (0.23058) [-0.23238] 0.090967 (0.24548) [ 0.37056]
Persamaan error correction pada model VAR adalah sebagai berikut:
232
Estimation Proc: EC(A,1) 1 3 PDBR INF TP VAR Model - Substituted Coefficients:
Persamaan 2: D(INF) = 0,66281*( PDBR(-1) - 0,85591*INF(-1) + 0,18256*TP(-1) ) - 2,29255*D(PDBR(-1)) 1,54774*D(PDBR(-2)) - 0,74625*D(PDBR(-3)) 0,55282*D(INF(-1)) - 0,462082*D(INF(-2)) 0,12823*D(INF(-3)) + 1,94823*D(TP(-1)) 3,66664*D(TP(-2)) + 6,89574*D(TP(-3)) Persamaan 3: D(TP) = - 0,04580*( PDBR(-1) - 0,85591*INF(-1) + 0,18256*TP(-1) ) - 0,03864*D(PDBR(-1)) 0,014333*D(PDBR(-2)) - 0,05902*D(PDBR(-3)) 0,05002*D(INF(-1)) - 0,05399*D(INF(-2)) 0,028087*D(INF(-3)) + 0,06017*D(TP(-1)) 0,05358*D(TP(-2)) + 0,09097*D(TP(-3)) Ketiga persamaan VEC tersebut memiliki variabel independen yang sama. Hasil pengujian berdasarkan ketiga persamaan tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dipengaruhi oleh laju inflasi pada semua tingkat kelambanan. Namun, tingkat pengangguran berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi pada kelambanan 3. Artinya, penurunan tingkat pengangguran tahun ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi 3 tahun yang akan datang. Laju inflasi tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, namun dipengaruhi oleh tingkat pengangguran pada tingkat kelambanan 2 dan tingkat kelambanan 3. Tingkat pengangguran saat ini akan berdampak negatif pada laju inflasi 2 tahun kemudian dan berdampak positif pada laju inflasi 3 tahun kemudian, sedang tingkat pengangguran tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi pada semua tingkat kelambanan.
MODEL DINAMIS PERTUMBUHAN EKONOMI, INFLASI, DAN.............. (Endang Setyowati)
Uji kausalitas terhadap pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, dan tingkat pengangguran menggunakan model multivariat VAR. Uji pengaruh variabel yang diamati dilakukan menggunakan persamaan regresi berganda dengan membuat tiga persamaan regresi. Setiap persamaan regresi memiliki nilai statistik c2 Wald dan nilai probabilitas. Untuk mengetahui apakan variabel independen, baik secara parsial maupun secara simultan berpengaruh terhadap variabel dependen, nilai c2 Wald dibandingkan dengan nilai nilai c2 tabel. Jika nilai c 2 Wald lebih besar daripada nilai c 2 tabel menunjukkan bahwa variabel independen tersebut berpengaruh terhadap variabel dependen. Pengujian dapat pula dilakukan dengan membandingkan nilai probabilitas dengan tingkat signifikansi yang digunakan dalam pengujian tersebut. Jika nilai probabilatas c2 Wald lebih kecil daripada tingkat signifikansi yang digunakan dalam pengujian menunjukkan bahwa variabel independen tersebut berpengaruh terhadap variabel dependen. Hasil pengujian kausalitas Granger terdpat pada Tabel 5 berikut ini. Persamaan pertama dibuat dengan pertumbuhan ekonomi sebagai variabel dependen, sedangkan variabel independennya adalah laju inflasi dan tingkat pengangguran. Tabel 5 Hasil Pengujian Kausalitas Granger Variabel dependen: D(PDBR) Excluded
Chi-sq
df
Prob.
D(INF) D(TP)
0.439025 16.80435
3 3
0.9321 0.0008
All
17.70572
6
0.0070
df
Prob.
Variabel dependen: D(INF) Excluded Chi-sq D(PDBR) D(TP)
7.087241 27.54852
3 3
0.0692 0.0000
All
44.44950
6
0.0000
Variabel dependen: D(TP) Excluded D(PDBR) D(INF)
Chi-sq 0.287398 1.308265
df 3 3
Prob. 0.9624 0.7272
All
4.476659
6
0.6125
Nilai probabilitas c2 Wald untuk laju inflasi adalah 0,9321 dan tingkat pengangguran 0,0008. Dengan tingkat signifikansi 5% dapat disimpulkan bahwa secara parsial laju inflasi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, sedang tingkat pengangguran berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengujian pengaruh laju inflasi dan tingkat pengangguran secara simultan terhadap pertumbuhan ekonomi diperoleh nilai probabilitas c2 Wald adalah 0,007. Dengan tingkat signifikansi 5% dapat disimpulkan bahwa laju inflasi dan tingkat pengangguran berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Persamaan kedua merupakan persamaan regresi dengan laju inflasi sebagai variabel dependen, sedangkan variabel independennya adalah pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran. Nilai probabilitas c2 Wald untuk pertumbuhan ekonomi adalah 0,092 dan tingkat pengangguran adalah 0,000. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap laju inflasi pada tingkat signifikansi 10%. Namun jika pengujian menggunakan tingkat signifikansi 5%, pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap laju inflasi. Tingkat pengangguran berpengaruh terhadap laju inflasi pada tingkat signifikansi 5%. Pengujian pengaruh pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran secara simultan terhadap laju inflasi diperoleh nilai probabilitas c2 Wald adalah 0,000. Dengan tingkat signifikansi 5% dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran berpengaruh terhadap laju inflasi. Persamaan ketiga menggambarkan hubungan pengaruh antara laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan pengangguran. Persamaan regresi pada persamaan ketiga menggunakan tingkat pengangguran sebagai variabel dependen, sedangkan variabel independennya adalah pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi. Nilai probabilitas c2 Wald untuk pertumbuhan ekonomi adalah 0,9624 dan laju inflasi adalah 0,7272. Pada tingkat signifikansi 5% pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi tidak berpengaruh terhadap tingkat pengangguran. Pengujian pengaruh pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi secara simultan terhadap tingkat pengangguran diperoleh nilai probabilitas c2 Wald adalah 0,6125. Dengan tingkat signifikansi 5% dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi tidak berpengaruh terhadap tingkat pengangguran.
233
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 221-235
Hasil pengujian kausalitas c2 Wald antara pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran dapat digambarkan hubungan pengaruh antara pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan penggangguran di Indonesia ke dalam bagan seperti pada Gambar 4 berikut ini:
Pertumbuhan Ekonomi
Pengangguran
Inflasi
Gambar 4 Bagan Hubungan Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi, dan Pengangguran Tanda panah pada bagan menunjukkan arah pengaruh suatu variabel terhadap variabel lain. Berdasarkan bagan pada Gambar 4 tersebut dapat dilihat hubungan antara pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran di Indonesia. Pengangguran berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap inflasi, namun tidak berpengaruh terhadap pengangguran. Inflasi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi maupun terhadap pengangguran. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dengan menggunakan model dinamis vector autoregressive (VAR), Uji Kointegrasi Johansen, dan uji kausalitas Granger untuk VAR multivariat menghasilkan beberapa simpulan, yaitu 1) hasil pengujian kointegrasi Johansen menunjukkan bahwa terdapat kointegrasi antara laju inflasi, pertumbuhan
234
ekonomi, dan tingkat pengangguran, 2) hubungan dinamis antarvariabel yang terintegrasi dianalisis menggunakan model vector error correction (VEC) yang menunjukkan bahwa pada kelambanan ketiga, pertumbuhan ekonomi dan inflasi dipengaruhi oleh pengangguran. Inflasi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi maupun pengangguran. Pertumbuhan ekonomi juga tidak berpengaruh terhadap inflasi dan pengangguran, 3) hubungan antarvariabel yang digambarkan dengan model VEC kemudian diuji dengan uji kausalitas Granger multivariate dengan hasil inflasi dan pengangguran secara simultan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun mengujian secara parsial menunjukkan bahwa inflasi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, sedang pengangguran berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil pengujian secara simultan menunjukkan inflasi dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dan pengangguran. Hasil pengujian secara parsial menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh yang lemah pada inflasi, sedang pengangguran berpengaruh kuat terhadap inflasi. Pengujian secara simultan maupun secara parsial menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan inflasi tidak berpengaruh terhadap pengangguran. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dirumuskan saran untuk pemerintah dan bagi penelitian berikutnya sebagai berikut 1) bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk merancang kebijakan ekonomi untuk memperbaiki kinerja perekonomian Indonesia pada masa yang akan datang melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi, laju inflasi yang stabil, dan penurunan tingkat pengangguran yang sebaiknya dilakukan dengan cara menciptakan lapangan kerja (menurunkan tingkat pengangguran) karena hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengangguran dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi. Pemerintah sebaiknya tidak menempuh cara melalui pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi untuk menciptakan kinerja perekonomian Indonesia yang baik karena hasil penelitian ini menunjukkan bahwa inflasi dan pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap pengangguran, 3) bagi peneliti, penelitian berikutnya
MODEL DINAMIS PERTUMBUHAN EKONOMI, INFLASI, DAN.............. (Endang Setyowati)
dilakukan menggunakan model rergesi untuk mengkonfirmasi pengaruh pengangguran terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Kemudian juga dilakukan analisis pengaruh pertumbuhan ekonomi dan pengangguran terhadap inflasi menggunakan model Two-Stage Least Square (2-SLS).
DAFTAR PUSTAKA Amir, Amri. 2008. “Pengaruh Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Pengangguran di Indonesia”, download tanggal 5 Juni 2011 di http:// downloads.ziddu.com/ di upload tanggal 20 Mei 2009. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 2008. Analisis Hubungan Kointegrasi dan Kausalitas serta Hubungan Dinamis Antara Aliran Modal Asing, Perubahan Nilai Tukar, dan Pergerakan IHSG di Pasar Modal Indonesia. Departemen Keuangan RI.
Gujarati, D. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. Mc.Grow-Hill. New York. Hussain, et al. 2010. “A Coherent Relationship between Economic Growth and Unemployment: An Empirical Evidence from Pakistan”. International Journal of Human and Social Sciences 5:5. Kitov, Ivan. 2007. “Inflation and Unemployment in Japan”. Working PaperSeries, Russian Academy of Sciences (RAS) - Institute for the Geospheres Dynamics. Mallik, Girijasankar dan Chowdhury, Anis. 2001. “Infaltion and Economic Growth: Evidence from Four South Asia Countries”. Asia-Pacific Development Journal Vol. 8. No. 1. Mankiw, N, Gregory, (2007), Macroeconomics, Sixth Edition, Worth Publishers, New York. Sachs, Jeffrey D. dan Larrain Felipe B. 1993. Macroeconomics In The Global Economy. Harvester Wheatsheaf.
Badan Pusat Statistik. Statistik Indonesia. 1970 – 2010. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Nota Keuangan dan RAPBN. 1970 – 2010. Dornbusch, Rudiger, et. al. 2008. Macroeconomics, Tenth Edition. Mc. Graw-Hill International Edition. Setyowati. 2011. “Analisis Empiris Netralitas Uang di Indonesia”. Jurnal Akuntasi dan Manajemen. Vol. 22. No. 2. Agustus 2011. Fisher, Irving. 1973. “I Discovered the Phillips Curve: A Statistical Relation between Unemployment and Price Changes”. The Journal of Political Economy. Vol. 81. No. 2. Part 1 (Mar. - Apr.,1973).
Setyowati, Endang dkk. 2007. Ekonomi Mikro Pengantar, Edisi 2. BP STIE YKPN Yogyakarta. Simaremare, R. Januar. 2006. “Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Tingkat Pengangguran di Indonesia: Aplikasi Hukum Okun”. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Sodipe, Oluyomi Ayoyinka dan Ogunrinola, Oluranti Isaiah. 2011. “Employment and Economic Growth Nexus in Nigeria”. International Journal of Business and Social Science. Vol. 2. No. 11.
Gartner, Manfred. 2006. Macroeconomics. Second Edition. Prentice Hall. Gordon, Robert J. 1987. Macroeconomics. Fourth Edition. Little Brown and Company.
235
ISSN: 1978-3116 PENGARUH PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN SUKARELA,............... (Henggar Watiningsih)
Vol. 5, No. 3, November 2011 Hal. 237-244
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
PENGARUH PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN SUKARELA, LEVERAGE, DAN SET KESEMPATAN INVESTASI TERHADAP MANAJEMEN LABA Henggar Watiningsih E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Management manage their earnings by increasing or descreasing it, for certain purpose, by choosing suitable accounting. This research explains the influence of voluntary disclosure level, firm’s leverage and investment opportunity set as independent variables on earnings management as a dependent variable, with firm’s size as a control varible. Leverage variable is divided into two variables, namely operating leverage and financial leverage. This study uses a sample that consists at 109 manufacturing companies at Indonesian Stock Exchange, which published financial report from 2002-2006. The method of analysis of this research used multiple regression analysis. The results of this study show that (1) voluntary disclosure level has a significant negative influence on earnings management, (2) operating leverage has a significant positive influence on earnings management, (3) financial leverage has a significant positive influence on earnings management, (4) investment opportunity set has a significant positive influence to earnings management. Keywords: earnings management, voluntary disclosure, operating leverage, financial leverage, investment opportunity set
PENDAHULUAN Laporan keuangan merupakan sarana untuk memberikan informasi kepada pemakai laporan
keuangan agar dapat memahami aktivitas ekonomi dari suatu perusahaan. Oleh karena itu, laporan keuangan dapat dijadikan sebagai alat penyedia informasi bagi para penggunanya. Pemakai laporan keuangan suatu perusahaan dapat dibedakan menjadi beberapa pihak, yaitu pihak internal dan pihak eksternal. Pihak internal antara lain adalah manajemen dan karyawan perusahaan, sedang pihak eksternal antara lain adalah investor, kreditur, pemerintah, dan pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan perlu dikomunikasikan kepada pihak eksternal perusahaan untuk mendapatkan penilaian sehingga dapat digunakan sebagai media untuk menyampaikan Informasi tentang kinerja manajemen perusahaan. Manajemen sebagai pihak internal berkewajiban menyusun laporan keuangan karena manajemen merupakan pengelola perusahaan secara langsung, sehingga berkewajiban memberikan laporan yang mencerminkan kinerja keuangan perusahaan terhadap pemilik. Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan pada masa mendatang dibandingkan dengan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan, tetapi informasi yang disampaikan terkadang diterima tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya. Kondisi seperti ini biasa disebut dengan asimetri informasi yang terjadi karena manajer lebih superior dalam menguasai informasi dibanding pihak lain (pemilik atau pemegang
237
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 237-244
saham). Jika pada suatu kondisi pihak manajemen ternyata tidak berhasil mencapai target laba yang ditentukan, maka manajemen akan memanfaatkan fleksibilitas yang diperbolehkan oleh standar akuntansi dalam menyusun laporan keuangan untuk memodifikasi laba yang dilaporkan. Manajemen termotivasi untuk memperlihatkan kinerja yang baik dalam menghasilkan nilai atau keuntungan maksimal bagi perusahaan sehingga manajemen cenderung memilih dan menerapkan metode akuntansi yang dapat memberikan informasi laba lebih baik. Adanya asimetri informasi memungkinkan manajemen untuk melakukan manajemen laba (Halim, Meiden dan Tobing, 2005). Menurut Scott (2006), manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan-kebijakan akuntansi tertentu oleh manajemen perusahaan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Manajemen laba merupakan suatu intervensi manajer terhadap proses pelaporan keuangan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan, baik bagi manajer maupun perusahaan. Terdapat dua cara berfikir tentang manajemen laba yaitu pertama adalah perilaku opportunistic yang dilakukan oleh manajer untuk memaksimumkan utilitas manajer dalam hubungannya dengan kontrak kompensasi, debt covenant dan political cost. Kedua adalah perilaku efisien yang dilakukan oleh manajer untuk melindungi dirinya dan perusahaan dalam menghadapi situasi atau kondisi yang tidak diantisipasi sebelumnya, yang bermanfaat melindungi semua pihak yang terlibat kontrak dengan perusahaan. Manajamen laba adalah campur tangan manajemen dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri. Perusahaan yang melakukan manajemen laba akan mengungkapkan informasi lebih sedikit dalam laporan keuangan sehingga setiap tindakannya tidak mudah terdeteksi. MATERI DAN METODE PENELITIAN Hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara manajer (agen) dengan investor (prinsipal). Konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan kepentingan prinsipal, sehingga menimbulkan biaya keagenan. Sebagai agen, manajer secara moral bertanggungjawab untuk mengoptimalkan keuntungan
238
para pemilik (prinsipal) dan sebagai imbalannya akan memperoleh kompensasi sesuai dengan kontrak (Jensen dan Meckling, 1976). Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori keagenan menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia, yaitu 1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri, 2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang, dan 3) manusia selalu menghindari risiko. Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia akan bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya. Manajemen laba merupakan area yang kontroversial dan penting dalam akuntansi keuangan. Menurut Healy dan Wahlen (1998), Manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan pertimbangan dalam pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk mengubah laporan keuangan, dengan tujuan memanipulasi besaran laba kepada beberapa stakeholders tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil perjanjian (kontrak) yang tergantung pada angka-angka yang dilaporkan. Dalam positive accounting theory terdapat tiga hipotesis yang melatarbelakangi terjadinya manajemen laba (Watt dan Zimmerman, 1986 dalam Scott, 2006), yaitu 1) The Bonus Plan Hypothesis, yaitu manajer perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan earnings lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan,. 2) The Debt Covenant Hypothesis, yaitu semakin dekat suatu perusahaan untuk menyimpang pada perjanjian utang yang dibuat berdasarkan laba akuntansi maka semakin besar kemungkinan manajemen perusahaan memilih prosedur akuntansi yang menggeser laba akuntansi dari periode yang akan datang ke periode sekarang. Ini berlaku untuk semua perusahaan yang mempunyai utang. Perjanjian ini untuk menjaga likuiditas perusahaan, 3) The Political Cost Hypothesis, yaitu semakin besar biaya politik yang dihadapi oleh suatu perusahaan maka semakin besar kemungkinan manajemen untuk memilih prosedur akuntansi yang menangguhkan laba dari periode current ke periode yang akan datang. Pada perusahaan besar lebih memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut disebabkan oleh pemerintah yang akan mengambil tindakan seperti menaikkan pajak pendapatan pada perusahaan yang mempunyai laba tinggi. Menurut Setiawati dan Na’im (2000), teknik
PENGARUH PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN SUKARELA,............... (Henggar Watiningsih)
untuk merekayasa laba dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi, mengubah metode akuntansi, dan menggeser periode biaya atau pendapatan. Terdapat empat pola manajemen laba yang dapat dilakukan, yaitu 1) Taking a Bath, pola ini dapat terjadi selama periode reorganisasi dan juga pada periode penempatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa datang, 2) Income Minimization, pola minimisasi laba dipilih untuk alasan politis perusahaan selama perusahaan mengalami periode kenaikan laba yang cukup drastis. Contoh, penghapusan lebih cepat atas aktiva tetap berwujud dan tidak berwujud, pengakuan sebagai biaya atas pengeluaran research and development dan iklan, 3) Income Maximization, hal ini biasa dilakukan manajer saat laba perusahaan di bawah bogey dengan tujuan memperoleh bonus. Selain itu, perusahaan yang dekat dengan pelanggaran perjanjian utang mungkin juga melakukan maksimisasi laba, 4) Income Smoothing, dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil (Scott, 2006). Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan, laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan, catatan, dan laporan lain serta materi penjelasan sebagai bagian integral dari laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan alat untuk mengetahui posisi dan kemajuan perusahaan dipandang dari sudut keuangan. Laporan keuangan menunjukkan sampai seberapa efisien pelaksanaan kegiatan serta perkembangan perusahaan yang telah dicapai oleh manajemen perusahaan. Perusahaan menggunakan operating dan financial leverage dengan tujuan agar keuntungan yang diperoleh lebih besar dari pada biaya aktiva dan sumber dananya. Dengan demikian, akan meningkatkan keuntungan pemegang saham. Sebaliknya, leverage juga meningkatkan variabilitas keuntungan, karena jika perusahaan ternyata mendapatkan keuntungan yang lebih rendah dari biaya tetapnya maka penggunaan leverage akan menurunkan keuntungan pemegang saham. Set kesempatan investasi (SKI) adalah proksi yang digunakan untuk melihat peluang tumbuh
perusahaan. SKI merupakan keputusan investasi dalam bentuk kombinasi aktiva yang dimiliki dan growth option pada masa yang akan datang (Myers, 1976). Ukuran perusahaan dapat dinyatakan dalam total aktiva, penjualan dan kapitalisasi pasar. Semakin besar total aktiva, penjualan dan kapitalisasi pasar, maka semakin besar pula ukuran perusahaan tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: H1 : Tingkat pengungkapan laporan keuangan sukarela berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. H2 : Leverage operasi berpengaruh positif terhadap manajemen laba H3 : Leverage keuangan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. H4 : Set kesempatan investasi berpengaruh positif terhadap manajemen laba Penelitian ini tergolong sebagai penelitian hypothesis testing. Menurut Sekaran (2006), hypoteshis testing merupakan suatu penelitian yang sudah memiliki kejelasan dan gambaran. Pengujian hipotesis dimaksudkan untuk menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel penelitian. Jenis penelitian hypothesis testing juga berusaha mengidentifikasi fakta atau peristiwa sebagai variabel yang dipengaruhi (variabel dependen) dan melakukan penyelidikan terhadap variabel yang mempengaruhi (variabel independen). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang listing di Bursa Efek Jakarta periode 2002 - 2006. Alasan digunakan perusahaan manufaktur sebagai sampel penelitian karena jumlah perusahaannya paling banyak dibandingkan dengan industri lain sehingga dianggap cukup representatif dalam mewakili kondisi BEJ. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi data laba bersih, arus kas operasi, total aktiva, aktiva tetap, piutang usaha, total modal, laba operasi yang diperoleh dari laporan keuangan perusahaan, laba per lembar saham dan indeks pengungkapan. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Pojok Bursa Efek Jakarta, UGM, dan International Capital Market Directory (ICMD)
239
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 237-244
Tabel 1 Prosedur Pemilihan Sampel
No. 1 2 3 4 5 6
Perusahaan terdaftar di BEJ tahun 2002-2006 Perusahaan yang termasuk kategori non manufaktur Perusahaan yang termasuk kategori manufaktur Perusahaan yang belum menerbitkan laporan keuangannya sampai dengan tanggal 31 Desember 2006 Perusahaan yang menerbitkan laporan keuangan berturut-turut selama periode 2002-2006. Perusahaan yang terpilih sebagai sampel selama periode tahun 2002-2006
HASILANALISIS Tujuan penelitian ini adalah menguji pengaruh pengungkapan sukarela laporan keuangan, leverage perusahaan yang terdiri atas leverage operasi dan leverage keuangan, dan set kesempatan investasi terhadap manajemen laba (earnings management) dengan variabel kontrol ukuran perusahaan. Penelitian ini menggunakan model regresi linier berganda. Untuk mengetahui tepat tidaknya penggunaan model tersebut, maka terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap variabel-variabel penelitian yakni melalui uji asumsi klasik. Uji asumsi klasik dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui ada tidaknya pelanggaran asumsi klasik pada penelitian yang menggunakan dua atau lebih variabel independen yang akan diamati. Dengan demikian, dapat diketahui ada tidaknya nilai prediktor yang tidak bias dari model persamaan regresi linier berganda yang digunakan. Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Hasil pengujian heteroskedastisitas menunjukkan bahwa dalam model regresi yang digunakan tidak terjadi ketidaksamaan variance dari residual dari pengamatan yang satu dengan pengamatan lainnya. Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai tolerance variabel IP, DOL, DFL, CAPBVA dan Size adalah lebih dari 0,10 sedangkan
240
Jumlah Perusahaan
Kriteria
339 (173) 166 (57) 109 109
nilai VIF nya lebih kecl dari 10. Hal ini berarti bahwa variabel IP, DOL, DFL, CAPBVA dan Size tidak memiliki korelasi antarvariabel sehingga tidak terjadi multikolinearitas pada variabel IP, DOL, DFL, CAPBVA dan Size. Uji autokorelasi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui ada tidaknya korelasi dalam suatu model regresi antara kesalahan pengganggu pada periode tertentu dengan kesalahan periode sebelumnya (Ghozali, 2005). Berdasarkan hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai DW sebesar 1.972, dengan n=200 dan k=7 pada tingkat signifikansi 5% diperoleh nilai dL=1.697; dU=1.841, 4-dU=2.159 Dengan demikian, nilai DW terletak diantara dU< d <4- dU atau 1.841< 1.972 <2.159 sehingga tidak terdapat autokorelasi di dalam model regresi. Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Uji normalitas dilakukan dengan uji KolmogorovSmirnov. Uji ini terdapat pada non-parametic statistic. Pada uji Kolmogorov-Smirnov jika probabilitas (asymp sig) lebih besar daripada signifikansi 0.05 maka data residual berdistribusi normal dengan demikian asumsi normalitas terpenuhi. Hasil uji asumsi klasik di atas menunjukkan bahwa data yang akan diolah dalam penelitian ini bebas dari masalah multikolinearitas, autokorelasi, heteroskedastisitas, dan normalitas. Hasil pengujian menunjukkan bahwa data yang digunakan sebagai variabel independen memenuhi syarat untuk memprediksi variabel dependen (manajemen laba). Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda dengan
PENGARUH PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN SUKARELA,............... (Henggar Watiningsih)
taraf signifikansi (a) sebesar 5%. Berikut disajikan pada Tabel 2 hasil analisis regresi linier berganda.
accruals. Dengan demikian, penelitian ini berhasil membuktikan hipotesis pertama (H1) yang menyatakan bahwa pengungkapan laporan keuangan sukarela berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Hubungan antara indeks pengungkapan dengan discretionary accruals memperlihatkan korelasi negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa pada saat perusahaan mengungkapkan laporan keuangan sukarela berkurang maka manajemen laba akan meningkat. Variabel DOL sebagai proksi leverage operasi memiliki nilai probabilitas signifikansi sebesar 0,025 dan nilai koefisien korelasi sebesar 1,173. Dengan menggunakan level alpha 5%, nilai signifikansi variabel DOL lebih kecil dari level alpha atau 0,025 < 0,05, sedang nilai t hitung adalah 2,242 lebih besar dari nilai t sebesar 1,960 pada level alpha 5%. Hal ini tabel menunjukkan bahwa DOL (degree of operating leverage) mempunyai pengaruh positif terhadap discretionary accruals. Dengan demikian, penelitian ini berhasil membuktikan hipotesis kedua (H2) yang menyatakan bahwa leverage operasi berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Operating leverage menunjukkan proporsi biaya perusahaan sebagai biaya tetap. Semakin besar proporsi biaya tetap perusahaan maka akan diikuti oleh peningkatan risiko operasional perusahaan. Apabila
PEMBAHASAN Berdasarkan Tabel 2 tampak besarnya angka adjusted R2 adalah 0,247. Hal ini berarti 24,7% variabel discretionary accruals (proksi manajemen laba) dapat dijelaskan oleh variasi dari keempat variabel independen utama yaitu IP, DOL, DFL, dan CAPBVA serta variabel kontrol yaitu SIZE, sedang sisanya 75,3% dijelaskan oleh faktor-faktor lain. Berdasarkan uji ANOVA atau F test yang dilakukan menghasilkan nilai Fhitung sebesar 3,752 dengan tingkat signifikansi 0,002. Oleh karena probabilitas 0,002 jauh lebih kecil dari 0,05, maka model regresi dapat digunakan dalam penelitian ini. Tabel 2 juga menyajikan hasil uji signifikansi parameter individual atau t test yang menunjukkan bahwa variabel idependen IP memiliki nilai probabilitas signifikansi sebesar 0,037 dan koefisien korelasi sebesar -7,566. Dengan menggunakan level alpha 5%, nilai signifikansi variabel IP lebih kecil dari level alpha atau 0,037 < 0,05, sedangkan nilai t hitung adalah -0,633 lebih kecil dari nilai t tabel sebesar 1,960 pada level alpha 5%. Hal ini menunjukkan bahwa indeks pengungkapan mempunyai pengaruh negatif terhadap discretionary
Tabel 2 Hasil Uji Regresi Berganda ANOVA b Model 1
Sum of Squares 1366204 39257111 40623316
Regression Residual Total
df 5 539 544
Mean Square 273240,860 72833,231
F
Sig. 3,752
,002a
a. Predictors: (Constant), Size, DFL, CAPBVA, DOL, IP b Dependent Variable: DA Coefficients a
Model 1
(Constant) IP DOL DFL CAPBVA Size
Unstandardized Coefficients B Std. Error 939828.418 651913.835 -7.566 3.620 1.173 .523 -940530.864 651914.075 .897 .325 52.108 16.663
Standardized Coefficients Beta -.633 .223 -.006 .117 .133
t 1.442 -2.090 2.242 -.144 2.762 3.127
Sig. .150 .037 .025 .885 .006 .002
a. Dependent Variable: DA
241
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 237-244
biaya tetap perusahaan meningkat, maka laba bersih yang dihasilkan perusahaan akan menurun. Variabel DFL sebagai proksi dari leverage keuangan memiliki nilai probabilitas signifikansi sebesar 0,885 dan nilai koefisien korelasi sebesar -940530,864. Dengan menggunakan level alpha 5%, nilai signifikansi variabel DFL lebih besar dari level alpha atau 0,885 > 0,05, sedang nilai t hitung adalah -0,144 lebih kecil dari nilai t sebesar 1,960 pada level alpha 5%. Berdasarkan tabel hasil pengujian terhadap hipotesis ketiga, penelitian ini gagal membuktikan adanya pengaruh financial leverage terhadap tingkat manajemen laba perusahaan. Penggunaan financial leverage yang besar mempunyai implikasi yang sama dengan penggunaan operating leverage yang besar, yaitu meningkatkan total leverage perusahaan. Perusahaan yang memiliki tanggungan beban bunga yang tinggi berarti menggunakan utang yang tinggi. Secara logika konsekuensinya akan ditemukan pengaruh positif antara besarnya financial leverage dengan tingkat manajemen laba perusahaan. Penelitian ini berhasil membuktikan hipotesis keempat (H4) yang menyatakan bahwa set kesempatan investasi berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Set kesempatan investasi adalah proksi yang digunakan untuk melihat peluang tumbuh perusahaan. Perusahaan pada peluang tumbuh yang rendah akan mempunyai peluang assets in place yang tinggi, sedang perusahaan dengan peluang tumbuh tinggi mempunyai assets in place yang rendah. Dalam kaitannya dengan manajemen laba, perusahaan yang mempunyai peluang tumbuh tinggi akan cenderung melakukan manajemen laba. Pihak manajemen cenderung memberikan informasi seminimal mungkin kepada pihak luar atau menggeser laba yang diperoleh tahun ini ke tahun depan agar laba tahun ini terlihat kecil sehingga para pemegang saham tidak menuntut adanya pembagian dividen. Adapun dividen yang tidak dibagikan tersebut merupakan dana yang tersedia bagi manajemen untuk melakukan pengembangan investasi. Variabel kontrol Size sebagai log total asset perusahaan memiliki nilai probabilitas signifikansi sebesar 0,002 dan koefisien korelasi 52,108. Dengan menggunakan level signifikansi alpha 5%, nilai Size lebih kecil dari tingkat signifikansinya atau 0,002 < 0,05, sedang t hitung 3,127. Hal ini berarti Size perusahaan berpengaruh negatif terhadap discretionary accruals. Logika yang
242
mendasari hasil penelitian yaitu semakin tinggi ukuran perusahaan, semakin terdapat kecenderungan untuk menurunkan discretionary accruals. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik simpulan, yaitu berdasar hasil estimasi yang telah dilakukan atas model regresi yang dibentuk guna menguji Indeks pengungkapan, Degree of Operating Leverage, Degree of Financing Leverage, CAPBVA, dan ukuran perusahaan untuk mengetahui kecenderungan tindakan manajemen laba pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta selama periode 2001-2006, diketahui bahwa terdapat empat variabel yang secara signifikan berpengaruh terhadap manajemen laba, yaitu indeks pengungkapan, Degree of Operating Leverage, CAPBVA, dan ukuran perusahaan. Keempat variabel tersebut dapat menjelaskan tindakan manajemen laba sebesar 24,7% pada tingkat signifikansi 5% sedangkan sisanya yaitu sebesar 75,3% tindakan manajemen laba dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Saran Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan model pengukuran manajemen laba yang lebih akurat, misalnya per industri. Pengembangan model per industri ini dapat mengidentifikasi perbedaan pola manajemen laba di setiap industri.
DAFTAR PUSTAKA Bapepam. 1996. Himpunan Petunjuk Pelaksanaan Undang-undang Pasar Modal. Jakarta. Novindo Pustaka Mandiri. Dechow, Patricia M., Sloan, Richard G., and Sweeney, Amy P. 1995. “Detecting Earning Management”. The Accounting Review. Vol.70. No.2.
PENGARUH PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN SUKARELA,............... (Henggar Watiningsih)
Dewi, M. 2007. Pengaruh Leverage Perusahaan, Ukuran Perusahaan, dan Corporate Governance terhadap Manajemen Laba. Skripsi Universitas Brawijaya. Malang. Eisenhardt, Kathleem M. 1989. “Agency Theory: An Assesment and Review”. Academy of management Review. No. 4:57. Fanani, Z. 2006. “Manajemen Laba: Bukti dari Set Kesempatan Investasi, Utang, Kos Politik, dan Konsentrasi Pasar pada Pasar yang sedang Berkembang”. Makalah SNA IX:1-26. Ghozali, Imam. 2001. Aplikasi Multivariate dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Goyal, Vidhan K. dan Adam Tim. 2006. “The Investment Opportunity Set and its Proxy Variables: Theory and Evidence”. Working Paper. Gujarati, Damodar. 2003. Ekonomi Dasar. Jakarta. Erlangga. Gul, Ferdinand A., Sidney Leung, and Bin Srinidhi. 2003. “Informative and Opportunistic Earnings Management and the Value Relevance of Earnings: Some Evidence on The Role of IOS”.Working Paper. Gulo, Y., 2000. “Analisis Efek luas Pengungkapan Sukarela dalam Laporan Tahunan Terhadap Cost of Capital Perusahaan”. Jurnal Bisnis dan dan Akuntansi. Vol. 2. No.1: 45-62. Hanafi, M. Mamduh. 2004. Manajemen Keuangan. BPFE. Yogyakarta. Halim J., Carmel M. and Rudolf L.T. 2005. “Pengaruh Manajemen Laba Pada Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan pada Perusahaan Manufaktur yang Termasuk Dalam Indeks LQ45. Makalah SNA VIII. 2005:117-135. Healy, Paul M. and Wahlen James M. 1998.”Review of The Earnings Management Literature and Its
Implications for Standard Setting”.Working Paper. Herawati, Nurul dan Baridwan, Zaki. 2007. “Manajemen Laba pada Perusahaan yang Melanggar Perjanjian Utang”. SNA X:1-20. Ikatan Akuntan Indonesia. 2002. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta. Salemba Empat. Jogiyanto, H. 2007. Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan Pengalaman-Pengalaman. BPFE.Yogyakarta. Jensen, M. and W. Meckling. 1976. “The Theory of The Firm: Managerial Behaviour, Agency Cost, and Ownership Structure”. Journal of Financial Economics. Vol. 3. No. 4:305-360. Kallapur, S. and M. Trombley. 1999. “The Assosiation Between Investment Opportunity SetProxies and Realized Growth”. Journal of Business Finance and Accounting. Vo.l. 26: 505-519. Kusuma, Hadri. 2006. “Dampak Manajemen Laba terhadap Relevansi Informasi Akuntansi: Bukti Empiris dari Indonesia”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol. 8. No. 1: 1-12. Kusuma, Hadri dan Sari Wigiya A.U. 2003. “Manajemen Laba oleh Perusahaan Pengakuisisian Sebelum Merger dan Akuisisi di Indonesia”. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia. Vol. 7. No.1: 21-34. Kusumawati, A.A. dan Sasongko N. 2005. “Analisis Perbedaan Pengaturan Laba (Earning Management) pada Kondisi Laba dan Rugi pada Perusahaan Manufaktur di Indonesia”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol 4. No.1:1-20. Lobo G.J. and Jian Zhou. 2001 “Disclosure Quality and Earnings Management”. Social Science Research Network Electronic Paper Collection: h t t p : / / p a p e r s . s s r n . c o m / p a p e r. taf?abstract_id=265550.
243
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 237-244
Makmun. 2006. “Efisiensi Kinerja Asuransi Pemerintah”. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 6. No. 1: 81-98.
tary Disclosure Laporan Keuangan Tahunan”. Proceeding Pesat, Vol. 2. ISSN. 1858-2559. Agustus: A53-A61.
Mardiyah, A.A. 2002. “Pengaruh Informasi Asimetri dan Disclosure terhadap Cost of Capital”. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 5. No. 2: 229256.
Sugiri, Slamet dan Syukri Abdullah. 2003. “Pengaruh Free Cash Flow, Set Kesempatan Investasi, dan Leverage Financial terhadap Manajemen Laba”. Kajian Bisnis. No. 28: 11-20.
Marwata. 2000. “Hubungan antara Karakteristik Perusahaan dan Kualitas Ungkapan Sukarela dalam Laporan Tahunan Perusahaan di Indonesia. Tesis. Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Sunardi. 2005. “Set Kesempatan Investasi (IOS)”. Jurnal Ekonomi Janavisi. Vol. 8. No. 3: 355349.
Myers, Stewart C. 1976. “Determinants of Corporate Borrowing”. Journal of Financial Economics. Vol. 5: 47-175.
Suwito, Edi dan Arleen Herawaty. 2005. “Analisis Pengaruh Karakteristik Perusahaan terhadap Tindakan Perataan Laba yang dilakukan Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta”. Makalah SNA VIII:136-145.
Nurim, Yavida. 2005. “Deteksi Earnings Management”. Jurnal Ekonomi Janavisi. Vol. 8. No. 3: 350362.
Van Horne, J.M. and J.M. Wachowich. 1995. Financial Market Rates and Flows. Edisi Empat. Englewood Cliffs. NJ. Prentice Hall.
Rahmawati, Suparno, Yacob, dan Nurul Qomariyah. 2006. “Pengaruh Asimetri Informasi Terhadap Praktik Manajemen Laba pada Perusahaan Perbankan Publik yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta”. Makalah SNA IX: 1-28.
Widyaningdyah, A.U. 2001. “Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Earnings Management Pada Perusahaan Go Public di Indonesia”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol. 3. No. 2: 89-101.
Scott, William R. 2006. Financial Accounting Theory. New Jersey. Prentice Hall. Inc. Sekaran, U. 2006. Metode Penelitian untuk Bisnis. Edisi 4. Penerbit Salemba Empat. Setiawati, Lilis dan Ainun Na’im. 2000. “Manajemen Laba”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol. 15. No. 4: 424-441. Skinner, D.J. 1993. “The Investment Opportunity Set and Accounting Procedure Choice: Preliminary Evidence”. Journal of Accounting and Economics. Vol.16: 407-445. Sudarmadji dan L. Sularto. 2007. “Pengaruh Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, Leverage, dan Tipe Kepemilikan Perusahaan terhadap Luas Volun-
244
ISSN: 1978-3116 PENGARUH FAKTOR-FAKTOR KEPUASAN KERJA TERHADAP PRESTASI............... (Sri Langgeng Ratnasari)
Vol. 5, No. 3 November 2011 Hal. 245-251
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
PENGARUH KEPUASAN KERJA TERHADAP PRESTASI KERJA KARYAWAN DEPARTEMEN PRODUKSI PT X (PERSERO), SURABAYA Sri Langgeng Ratnasari Fakultas Ekonomi Universitas Batam Jalan Abulyatama Nomor 5 Batam 29400 Telepon +62 778 7485055, Fax. +62 778 7485054 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT This research objective is to find out the impact of job satisfaction to performance. Performance functions as a dependent variable on this research. Job satisfaction is variable functions as independent variable. The sample of this research is included fifty permanent worker at Production Departement of PT. X (Persero) Surabaya, acquired by survey or sensus. Data is collected through questionnaire method and analyzed by Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) technique. Keywords: Job Satisfaction and Performance
PENDAHULUAN Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang menentukan sukses tidaknya suatu perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan harus mengelola sumber daya manusia yang dimilikinya dengan baik, sehingga menjadi penopang kelangsungan hidup dan kemajuan perusahaan. Mengelola sumber daya manusia dengan baik bukanlah suatu hal yang mudah, karena masingmasing individu mempunyai kepentingan pribadi dan
latar belakang yang berbeda yang bertindak dan berperilaku karena dorongan serangkaian kebutuhan sebagai pernyataan untuk mencapai tujuan. Untuk mencapai tujuan bersama tanpa mengorbankan kepentingan pribadi dan kepentingan perusahaan maka perlu suatu usaha khusus yang biasanya dilakukan dengan memberikan sistem imbalan yang sesuai dengan tingkat pengorbanan karyawan dan kemampuan perusahaan. Imbalan yang sesuai merupakan salah satu faktor yang dapat menciptakan kepuasan kerja dan dengan kepuasan kerja akan berpengaruh pada prestasi kerja karyawan. Kepuasan kerja menurut Luthans (2006: 137) adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau sikap positif yang berasal dari penilaian kerja seseorang dalam arti pengalaman-pengalaman kerjanya. Seseorang yang memiliki pengalaman kerja dapat menimbulkan keadaan emosional yang menyenangkan. Hal ini mengindikasikan adanya tingkat kepuasan kerja yang tinggi. Keadaan emosional yang menyenangkan ini dapat terjadi sebaliknya. Hal ini berarti kepuasan kerja adalah kondisi di mana terpenuhinya beberapa kebutuhan sebagai kompensasi dan harapan melalui kegiatan kerjanya. Kompensasi itu dapat berbentuk ekstrinsik dan intrinsik. Analog dengan hal itu, kepuasan kerja dapat berbentuk ekstrinsik dan intrinsik. Perbedaan kepuasan kerja dapat disebabkan oleh perbedaan sta-
245
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 245-251
tus sosial di dalam masyarakat. Jika status sosialnya tinggi, maka kepuasan kerjanya juga tinggi tingkatannya. Prestasi kerja menurut Gomes (2000: 195) adalah ungkapan seperti output, efisiensi, dan efektivitas yang sering dihubungkan dengan produktivitas. Dengan demikian, kepuasan kerja merupakan masalah yang sangat penting dalam perusahaan. Ketidakpuasan atau tingkat kepuasan yang rendah pada karyawan dapat mengakibatkan ketidaklancaran perusahaan dan proses produksi. Hal ini disebabkan tingginya tingkat keterlambatan dan kemangkiran (kesengajaan atau sakit), turnover pegawai, tindakan sabotase, dan kesengajaan memperlambat kerja. Sebaliknya orang yang memperoleh kepuasan dalam bekerja akan menimbulkan motivasi diri untuk bertindak mencapai prestasi yang lebih besar daripada orang yang tidak terpuaskan. Banyak ilmuwan perilaku melaksanakan studi terhadap kepuasan kerja karena kepercayaan bahwa kualitas pengalaman dalam bekerja mempunyai implikasi penting terhadap kesehatan mental serta penyesuaian psikologis dan kepuasan kerja mempunyai konsekuensi-konsekuensi langsung maupun tidak langsung terhadap efektifitas organisasi. Dengan demikian, perusahaan harus lebih memperhatikan kepuasan kerja karyawannya, karena hal ini sangat penting bagi perusahaan itu sendiri. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini akan mengkaji pengaruh faktor-faktor kepuasan kerja terhadap prestasi kerja karyawan. Persaingan di dunia industri manufaktur yang semakin ketat dengan fenomena globalisasi juga dialami oleh bidang usaha atau industri lainnya. Oleh karena itu, hasil penelitian dapat menjadi model untuk organisasi bisnis lain di luar industri manufaktur. Tujuan penelitian ini untuk menguji dan menganalisi pengaruh faktor-faktor kepuasan kerja yang terdiri dari gaji, pekerjaan itu sendiri, promosi, pengawasan, kelompok kerja, dan kondisi kerja terhadap prestasi kerja karyawan serta untuk menguji dan menganalisis faktor kepuasan kerja manakah yang mempunyai pengaruh dominan terhadap prestasi kerja karyawan. MATERI DAN METODE PENELITIAN Kepuasan kerja secara etimologis berasal dari dua kata bahasa Inggris job berarti kerja dan satisfaction berarti
246
kepuasan, sehingga jika digabung dua kata itu berarti kepuasan kerja adalah sikap seseorang terhadap pekerjaannya (Gibson et al. 2004). Sikap pekerja dalam suatu organisasi merupakan persepsi para anggota organisasi terhadap pekerjaannya. Seseorang dapat relatif puas dengan suatu aspek atau lebih dari pekerjaannya dan tidak puas dengan salah satu atau lebih aspek yang lain. Hal ini berarti kepuasan seseorang sangat tergantung sikapnya terhadap satu atau lebih aspek pekerjaan yang dihadapinya. Menurut Davis dan Newstrom (2001:110). “Job satisfaction is part of life satisfaction. The nature of one’s environment of the job influences one’s feelings on the job. Similar since a job is an important part of life, job satisfaction influences one’s general life satisfaction”. Kepuasan kerja menjadi bagian dari kepuasan hidup. Sifat alami lingkungan seseorang bahwa pekerjaan mempengaruhi perasaan seseorang untuk berhati-hati, karena suatu pekerjaan adalah suatu bagian penting dari hidup, kepuasan kerja mempengaruhi kepuasan hidup seseorang secara umum. Handoko (2001:193) menjelaskan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaannya. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Hal ini nampak dalam sikap positip karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Kepuasan kerja sangat penting untuk aktualisasi diri dan karyawan yang tingkat kepuasannya rendah tidak pernah mencapai kematangan psikologis dalam bekerja dan pada akhirnya menjadi frustrasi. Menurut Wexley and Yukl (2005: 127), kepuasan kerja adalah cara seorang pekerja merasakan pekerjaannya. Kepuasan kerja merupakan generalisasi sikap-sikap terhadap pekerjaannya yang didasarkan terhadap aspek-aspek pekerjaannya bermacam-macam. Luthans (2006: 137) mengemukakan definisi kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau sikap positif yang berasal dari penilaian kerja seseorang dalam arti pengalaman-pengalaman kerjanya. Seseorang memiliki pengalaman kerja yang dapat menimbulkan keadaan emosional yang menyenangkan yang mengindikasikan adanya tingkat kepuasan kerja yang tinggi. Keadaan emosional yang menyenangkan ini dapat terjadi sebaliknya. Menurut
PENGARUH FAKTOR-FAKTOR KEPUASAN KERJA TERHADAP PRESTASI............... (Sri Langgeng Ratnasari)
Robbins (2008:99), kepuasan kerja adalah perasaan positif tentang pekerjaan seseorang sebagai hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya. Robbins and Judge (2010:77) menjelaskan bahwa job satisfaction is a positive feeling about one’s job resulting from an evaluation of its characteristics. Kepuasan kerja adalah perasaan positif terhadap pekerjaannya sebagai hasil evaluasi tentang karakteristiknya. Para ahli manajemen sumber daya manusia dan perilaku organisasi memberikan definisi atau konsep mengenai kepuasan kerja dengan ungkapan bahasa dan tinjauan dari sudut pandang yang berbeda-beda, namun makna yang terkandung dari definisi yang mereka ungkapkan pada umumnya sama, yaitu bahwa kepuasan kerja adalah sikap dan perasaan umum dari seorang pekerja terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja merupakan orientasi individu yang berpengaruh terhadap peran dalam bekerja. Kepuasan kerja merupakan penilaian, perasaan atau sikap seseorang atau karyawan terhadap pekerjaannya dan hubungannya dengan lingkungan kerja, jenis pekerjaan, kompensasi, hubungan antarteman kerja, hubungan sosial di tempat kerja dan lain-lain. Kepuasan kerja adalah dipenuhinya beberapa keinginan dan kebutuhan melalui kegiatan kerja atau bekerja. Masing-masing karyawan akan memiliki ukuran kepuasan kerja yang berbeda-beda antara karyawan satu dengan yang lainnya. Kepuasan kerja yang berbeda-beda disebabkan oleh perbedaan status sosial di dalam masyarakat. Manajemen perusahaan baik dalam organisasi yang berorientasi pada profit maupun non-profit harus memperhatikan dan bertanggungjawab secara moral terhadap kepuasan kerja karyawannya karena kepuasan kerja karyawan yang tinggi berdampak terhadap kinerja dan produktivitas karyawan dalam mencapai tujuan organisasi. Kajian mengenai kepuasan kerja menjadi telaah penting mengingat adanya perubahan dan perkembangan terus menerus tentang apa yang membuat seseorang puas akan pekerjaannya, serta keterkaitannya dengan aspek-aspek lainnya, seperti tingkat produktivitas, tingkat perputaran, kemangkiran, dan efek-efek lainnya seperti kesehatan fisik dan mental, dan kecelakaan kerja. Kinerja merupakan “job perfomance atau actual perfomance” yang diartikan sebagai prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh
seseorang. Untuk itu kinerja dapat diartikan sebagai prestasi kerja, yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang tenaga kerja dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu, untuk menjelaskan prestasi seseorang dalam suatu organisasi atau perusahaan lazim digunakan istilah kinerja karyawan. Gomes (2000:195) mengemukakan definisi prestasi kerja karyawan adalah ungkapan seperti output, efisiensi, serta efektivitas yang sering dihubungkan dengan produktivitas. Prestasi kerja dapat diartikan sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Dengan demikian, prestasi kerja dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai oleh seorang pegawai menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan dalam waktu tertentu. Daft (2006:13) mendefinisikan kinerja adalah kemampuan organisasi untuk mempertahankan tujuannya dengan menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien. Kemampuan ini merupakan prestasi yang telah diraih oleh para pegawai tersebut secara akumulasi menjadi suatu prestasi kerja. Kemudian prestasi kerja akan menjadi tingkat efektivitas suatu organisasi atau kinerja. Semakin tinggi efektivitas kerjanya maka semakin tinggi kinerjanya. Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat dijelaskan bahwa perusahaan perlu memandang kinerja sumber daya manusianya sebagai persoalan strategis sebagai sarana membantu dalam meraih keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Penelitian ini menggunakan metode survey yang dilakukan dengan mengambil sampel dari seluruh anggota populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data. Penelitian ini disebut explanatory research karena bertujuan untuk menjelaskan pengaruh antara variabel melalui pengujian hipotesis. Penelitian ini berkaitan dengan perilaku manusia, dimana psikologi memandang bahwa perilaku manusia merupakan reaksi yang dapat bersifat kompleks maupun sederhana, sehingga penelitian ini merupakan penelitian penjelasan dari persepsi responden. Hipotesis penelitian ini adalah faktor-faktor kepuasan kerja yang terdiri gaji, pekerjaan itu sendiri, promosi, pengawasan, kelompok kerja, dan kondisi
247
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 245-251
kerja berpengaruh signifikan terhadap prestasi kerja karyawan, dan faktor kepuasan kerja gaji mempunyai pengaruh dominan terhadap prestasi kerja karyawan. Populasi dalam penelitian adalah karyawan Departemen produksi PT. X (Persero) Surabaya yang berjumlah 50 orang. Dalam penelitian ini, jumlah sampel adalah sama dengan jumlah populasi atau menggunakan metode sensus. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 2 variabel yakni kepuasan kerja (X) sebagai variabel eksogen dan variabel endogen yakni prestasi kerja karyawan (Y). Kepuasan kerja diukur dengan konsep kepuasan kerja yang dikembangkan oleh Luthans (2006) terdiri dari 6 dimensi yaitu gaji (X1), pekerjaan itu sendiri (X2), promosi (X3), pengawasan (X4), kelompok kerja (X5), dan kondisi kerja (X6). Prestasi kerja diukur dengan konsep prestasi kerja yang sudah ditetapkan oleh PT. X (Persero) yang terdiri dari 7 dimensi yakni kecakapan dalam bidang tugas (Y1), keterampilan melaksanakan tugas (Y2), luasnya pengalaman di bidang tugas (Y3), kesungguhan melaksanakan tugas (Y4), ketekunan dalam melaksanakan tugas (Y5), efektivitas dalam melaksanakan tugas (Y6), dan kualitas dalam melaksanakan tugas (Y7). Data penelitian adalah data primer yang dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner. Analisis data dilakukan menggunakan SPSS release 17 (Statistical Package for the Social Sciences) HASIL PENELITIAN Responden terdiri dari 50 responden, semuanya pria. Usia rata-rata responden 34, 36 tahun, di mana usia termuda 27 tahun dan usia tertua 54 tahun. Pendidikan responden sebagian besar adalah SMA sebanyak 47 orang sedangkan sarjana (S1) hanya 3 orang. Analisis ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai jawaban responden, untuk menggambarkan persepsi responden atas item-item pertanyaan yang diajukan berdasarkan perhitungan nilai indeks untuk masingmasing variabel penelitian. Variabel kepuasan kerja memiliki indeks persepsi 77,60 sehingga dapat disimpulkan bahwa kecenderungan kepuasan kerja dalam kategori tinggi. Variabel prestasi kerja karyawan memiliki indeks persepsi 88,00 berarti berada dalam kategori tinggi.
248
Tabel 1 Pengujian Hipotesis Variabel-Variabel Kepuasan Kerja Gaji Pekerjaan Itu Sendiri Promosi Pengawasan Kelompok Kerja Kondisi Kerja
Koefisien Regresi Probability 0,3822 0,2210 0,2306 0,3649 0,1046 0,1572
0,00001 0,00301 0,00746 0,00002 0,05320 0,04088
r² 0,3802 0,1870 0,1550 0,3425 0,0842 0,0937
Sumber: Hasil penelitian. Data diolah
Tabel 2 Tingkat Signifikansi Variabel Kepuasan Kerja Variabel-Variabel Kepuasan Kerja T Hitung T Tabel Gaji Pekerjaan Itu Sendiri Promosi Pengawasan Kelompok Kerja Kondisi Kerja
5,136 3,145 2,809 4,732 1,988 2,108
2,394 2,394 2,394 2,394 2,394 2,394
Keterangan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan
Sumber: Hasil penelitian. Data diolah.
PEMBAHASAN Pengujian hipotesis ini didasarkan atas pengolahan data penelitian dengan menggunakan analisis SPSS. Hipotesis pertama yakni bahwa faktor-faktor kepuasan kerja berpengaruh terhadap prestasi kerja karyawan diterima, berarti terbukti bahwa faktor-faktor kepuasan kerja berpengaruh signifikan terhadap prestasi kerja karyawan. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai koefisien determinasi berganda (R squared) sebesar 0,5891 dengan probabilitas 0,000004836 artinya bahwa seluruh variabel bebas yang digunakan dalam persamaan regresi ini secara bersama mampu memberikan kontribusi terhadap prestasi kerja karyawan departemen produksi PT. X (Persero) Surabaya sebesar 58,91%. Nilai F hitung sebesar 10,651 dan F tabel untuk sampel 50 responden dengan d.f 43 dan taraf nyata sebesar 5% menunjukkan hasil 2,394 sehingga nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel, sedangkan keeratan hubungan antara seluruh variabel bebas (X) terhadap
PENGARUH FAKTOR-FAKTOR KEPUASAN KERJA TERHADAP PRESTASI............... (Sri Langgeng Ratnasari)
prestasi kerja ditunjukkan dari koefisien multiple regresi (Multiple R) sebesar 0,7675. Berdasarkan hasil perhitungan pada taraf nyata 5% (pd”0,05), faktorfaktor kepuasan kerja seperti gaji, pekerjaan itu sendiri, promosi, pengawasan, kelompok kerja, dan kondisi kerja mempunyai pengaruh yang signifikan atau bermakna terhadap prestasi kerja karyawan Departemen Produksi PT. X (Persero) Surabaya. Dengan demikian, pada taraf signifikansi 5% hipotesis pertama terbukti. Hal ini mendukung hasil penelitian Johan (2002), Yamit (2005), dan Wahyuddin (2005) yang menyatakan kepuasan berpengaruh terhadap prestasi kerja. Hipotesis kedua yaitu faktor kepuasan kerja berupa gaji merupakan faktor yang berpengaruh dominan terhadap prestasi kerja terbukti signifikan. Berdasarkan perhitungan pada Tabel 1, koefisien regresi variabel gaji adalah 0,3822 atau 38,22% terhadap koefisien variabel kepuasan kerja lainnya dengan probabilitas 0,0001. Artinya, dalam taraf nyata 5%, variabel gaji mampu memberikan kontribusi sebesar 38,22% dibandingkan variabel kepuasan kerja lainnya dalam mempengaruhi prestasi kerja karyawan Departemen Produksi PT. X (Persero) Surabaya. Koefisien r2 partial variabel gaji sebesar 0,3802 yang artinya adalah apabila variabel kepuasan kerja yang lain konstan, peningkatan satu satuan variabel gaji akan meningkatkan prestasi kerja sebesar 38,22 satuan di mana sumbangan dari variabel ini adalah sebesar 38,02% dibandingkan variabel kepuasan kerja lainnya terhadap prestasi kerja karyawan. Melihat hasil perhitungan, variabel gaji mempunyai peran yang cukup tinggi dibandingkan variabel kepuasan kerja lainnya. Hal ini berarti mengandung implikasi bahwa perubahan variabel gaji berdampak cukup tinggi terhadap perubahan perilaku karyawan Departemen Produksi PT. X (Persero) Surabaya khususnya prestasi kerjanya. Oleh karena itu, bentuk pemberian kompensasi yang diterapkan oleh manajemen hendaknya mengacu pada perilaku yang ditunjukkan dari hasil penelitian yang melibatkan sebanyak 50 responden pada Departemen Produksi, dimana peran gaji merupakan faktor kepuasan kerja yang sangat penting dalam peningkatan prestasi kerja karyawan. Pada Tabel 2 terlihat variabel pekerjaan itu sendiri mempunyai koefisien regresi berganda 0,2210 yang artinya pekerjaan itu sendiri mampu memberikan kontribusi sebesar 22,10% terhadap prestasi kerja
karyawan Departemen Produksi PT. X (Persero) Surabaya dengan probabilitas 0,00301. Peningkatan satu satuan variabel pekerjaan itu sendiri, apabila variabel kepuasan kerja lainnya konstan akan meningkatkan prestasi kerja sebesar 22,10%. Pada Tabel 2 terlihat koefisien regresi variabel promosi adalah 0,2306 dengan probabilitas 0,00746 yang berarti promosi karyawan memberikan kontribusi sebesar 23,00% terhadap prestasi kerja karyawan Departemen Produksi PT. X (Persero) Surabaya. Promosi mempunyai r2 partial sebesar 0,1550 yang berarti bahwa peningkatan satu satuan variabel ini akan meningkatkan prestasi kerja sebesar 23,06 satuan, di mana sumbangan variabel promosi sebesar 15,50% apabila variabel kepuasan kerja lainnya konstan. Variabel pengawasan, bagi karyawan pengawasan mempunyai dampak pada peningkatan prestasi kerja karyawan. Hal ini terlihat dari tanggapan responden setelah dihitung dengan SPSS seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 bahwa koefisien regresi variabel ini sebesar 0,3649 dengan probabilitas 0,00002. Artinya, pengawasan mampu memberikan kontribusi sebesar 36,49% terhadap prestasi kerja karyawan, sedangkan r2 partial 0,3425 artinya apabila variabel pengawasan naik satu satuan dan variabel kepuasan kerja lainnya konstan maka prestasi kerja akan naik sebesar 34,25% terhadap prestasi kerja karyawan Departemen Produksi PT. X (Persero) Surabaya. Berdasarkan Tabel 2 terlihat koefisien regresi variabel kolompok kerja sebesar 0,1046 yang berarti memberikan kontribusi pada prestasi kerja karyawan sebesar 10,46% dengan probabilitas 0,05320, sedangkan koefisien r2 partial sebesar 0,0842 mempunyai arti bahwa apabila variabel kelompok kerja naik satu satuan dan variabel kepuasan kerja lainnya konstan, maka prestasi kerja akan naik sebesar 10,46 satuan, di mana kontribusi dari variabel ini adalah sebesar 8,42% terhadap prestasi kerja karyawan Departemen Produksi PT. X (Persero) Surabaya. Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa koefisien regresi variabel kondisi kerja sebesar 0,1752 yang berarti memberikan kontribusi pada prestasi kerja karyawan sebesar 15,72% dengan probabilitas 0,04088, sedangkan koefisien r2 partial sebesar 0,0937. Nilai ini artinya apabila variabel kelompok kerja naik satu satuan dan variabel kepuasan kerja lainnya konstan, maka prestasi kerja akan naik sebesar 15,72 satuan di mana
249
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 245-251
kontribusi dari variabel ini adalah sebesar 9,37% terhadap prestasi kerja karyawan Departemen Produksi PT. X (Persero) Surabaya. Variabel kondisi kerja mempunyai koefisien regresi paling rendah di antara variabel kepuasan kerja lainnya. Hal ini berarti bahwa dari 6 variabel kepuasan kerja yang ada, variabel ini menjadi paling tidak penting bagi peningkatan prestasi kerja karyawan Departemen Produksi PT. X (Persero) Surabaya. Berdasarkan data dan analisis terlihat variabel gaji mempunyai pengaruh dominan terhadap prestasi kerja dengan koefisien regresi sebesar 0,3822 atau 38,22% dan merupakan variabel terbesar dibanding koefisien variabel kepuasan kerja lainnya, sedangkan probabilitas yang dimiliki adalah sebesar 0,00001 sebagai probabilitas terkecil dibanding kepuasan kerja lainnya. Di samping itu, r2 partialnya sebesar 0,3802 dan merupakan terbesar di antara r2 partial variabel kepuasan kerja lainnya. Atas dasar uraian yang ada, dan didukung perhitungan SPSS, maka pada taraf nyata 5% hipotesis kedua terbukti. Hal ini mendukung hasil penelitian Johan (2002), Yamit (2005), dan Wahyuddin (2005) yang menyatakan gaji merupakan faktor yang berpengaruh dominan terhadap kepuasan kerja.
pertimbangan utama, karena faktor gaji mempunyai pengaruh dominan dan sensitif sekali terhadap perilaku karyawan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Untuk itu disarankan agar manajemen dalam menyusun program yang berkaitan dengan pendapatan karyawan hendaknya hati-hati. Komponen yang bersifat variabel dan diberikan sebagai perangsang mempunyai peran sangat penting bagi kelangsungan hidup perusahaan dan karyawan itu sendiri. Hal itu tercermin dari hasil perhitungan, bahwa gaji merupakan variabel dominan dengan koefisiensi regresi 0,3822. Di samping itu, perlu diperhatikan pula faktor pekerjaan itu sendiri, promosi, dan pengawasan. Meskipun gaji, pekerjaan itu sendiri, promosi, dan pengawasan merupakan faktor dominan, faktor lain dari kepuasan kerja juga harus diperhatikan khususnya kondisi kerja, mengingat sistem produksi yang diterapkan mempunyai tingkat risiko kecelakaan cukup tinggi. Di samping itu perlu diadakan pemberian sistem kompensasi lebih bagi karyawan yang mempunyai prestasi bagus. Pemberian kompensasi ini dapat diterapkan tidak hanya Departemen Produksi saja akan tetapi unit-unit lain bisa dilaksanakan sesuai dengan kontribusi yang diberikan pada perusahaan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan DAFTAR PUSTAKA Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa 1) variabel kepuasan kerja yang terdiri dari gaji, pekerjaan itu sendiri, promosi, pengawasan, kelompok kerja, dan kondisi kerja secara bersama-sama mempunyai pengaruh signifikan terhadap prestasi kerja karyawan Departemen Produksi PT. X (Persero) Surabaya, dengan demikian hipotesis 1 terbukti. Variabel gaji merupakan variabel yang dominan dalam mempengaruhi tingkat prestasi kerja karyawan dengan koefisien regresi sebesar 0,3822, r2 parsial sebesar 0,3802, dan tingkat signifikansi 0,00001 (p<0,05). Dengan demikian, hipotesis kedua terbukti kebenarannya. Saran Dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk meningkatkan prestasi kerja karyawan khususnya Departemen Produksi hendaknya memperhatikan faktor gaji, sebagai salah satu
250
Daft, Richard L. 2006. Organization Theory and Design. Eight Edition. South Western: Thomson. Gibson, James L., Ivancevich, John, M., dan Donnely, James H. 2004. Organizations: Behavior, Structure, Processes. Richard D. Irwin A Times Mirror Higher Education Group Inc. Company. Gomes, Faustino Cardoso. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Terjemahan, Yogjakarta: Andi Offset. Handoko, T. Hani. 2001. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Edisi Kedua. Yogyakarta: BPFE. Luthans, F. 2006. Perilaku Organisasi. Penerjemah Vivin Andhika Yuwono, Shekar Purwanti, Th.
PENGARUH FAKTOR-FAKTOR KEPUASAN KERJA TERHADAP PRESTASI............... (Sri Langgeng Ratnasari)
Arie P, dan Winong Rosari, Edisi Sepuluh. Yogyakarta: Andi. Robbins, P. Stephen, dan Judge. A. Timothy. 2008. Organizational Behavior. Twelfh Edition. Pearson Education International. New Jersey. Robbins, P. Stephen, dan Judge. A. Timothy. 2010. Perilaku Organisasi. Alih Bahasa Diana Angelica. Edisi Keduabelas. Jilid 1 dan 2, Jakarta. Salemba Empat. Sule, E. 2002. “Keterkaitan antara Kepuasan Kerja Karyawan dan Kepuasan Pelanggan dengan Kinerja Perusahaan”. Jurnal Akuntansi dan Manajemen. Vol. 2. No. 2. Wahyuddin. M. dan Narimo. 2005. “Faktor-faktor Penentu Produktivitas Kerja Pegawai Kantor Sekretariat Daerah Kabupaten Karanganyar: Pendekatan LPM dan Multinominal Logistik Model”. Jurnal BENEFIT. Vol.9. No.1. Wexley, Kenneth N dan Yuki, Gary A. 2005. Perilaku Organisasi dan Psikologi Personalia. Alih Bahasa Muh. Shobaruddin. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Yamit, Zulian. 2005. “Pengaruh Sistem Penggajian, Kinerja dan Senioritas terhadap Kepuasan Kerja Karyawan di Pertamina UP IV Cilacap”. Jurnal Siasat Bisnis.
251
ISSN: 1978-3116 HUBUNGAN ANTARA PENDAPATAN PER KAPITA DAN............... (Algifari)
Vol. 5, No. 3, November 2011 Hal. 255-266
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
HUBUNGAN ANTARA PENDAPATAN PER KAPITA DAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) Algifari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN Yogyakarta Jalan Seturan Yogyakarta 55281 Telepon +62 274 486160, 486321, Fax. +62 274 486155 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT This study examines the relationship between income per capita and human development index (HDI). All countries are classified into four groups of achievement in human development: very high human development (with an HDI of 0.788 or above), high human development (with an HDI of 0.677–0,784), medium human development (HDI of 0.488–0.669), and low human development (HDI of less than 0.488). Pearson bivariat correlation is used to analyze relationship between income per capita and HDI. The result show that income per capita was significantly positive correlated with HDI for countries with very high HDI, high HDI, and low HDI, but insignificantly positive correlated for country with medium HDI. Keywords: income per capita, human development index, bivariat correlation
PENDAHULUAN Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kegagalan yang dialami oleh suatu pemerintahan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya sering disebabkan oleh banyak faktor, seperti kesalahan mengidentifikasi penyebab rendahnya kesejahteraan masyarakat, penerapan
kebijakan yang keliru, kesalahan dalam mendefinisikan kesejahteraan masyarakat. Untuk mempermudah pencapaian usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat diperlukan indikator tentang kesejahteraan masyarakat. Banyak indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat, akan tetapi pertumbuhan ekonomi menjadi suatu indikator yang sering menjadi pokok sasaran pembangunan karena pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan pendapatan per kapita. Kenaikan pendapatan per kapita akan meningkatkan kemampuan (daya beli) masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan (Arsyad, 2004). Pengukuran keberhasilan pembangunan telah berkembang dari waktu ke waktu. Tahun 1990, Perserikatan Bangsa Bangsa mulai memperkenalkan ukuran keberhasilan pembangungan melalui suatu indeks yang disebut Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan suatu ukuran yang meliputi gabungan tiga dimensi tentang pembangunan manusia, yaitu 1) usia panjang yang diukur dari usia harapan hidup, 2) pengetahuan yang diukur dengan rata-rata tertimbang dari jumlah orang dewasa yang dapat membaca dan rata-rata lama tahun sekolah, dan 3) penghasilan yang diukur dengan pendapatan per kapita riil yang telah disesuaikan menurut daya beli mata uang masing-masing negara (Kuncoro, 2006). Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang didirikan tahun 1961 merupakan organisasi negara maju yang selalu
253
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 253-264
menggunakan pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi dan sosial. Akan tetapi, saat ini OECD mulai memperkenalkan indeks keberhasilan pembangunan baru yang disebut Your Better Life Index atau Indeks Kebahagiaan. Pengukuran indeks kebahagiaan ini menggunakan 11 indikator yang mencakup pendapatan, perumahan, pekerjaan, masyarakat, pendidikan, lingkungan, pemerintahan, kesehatan, kepuasan hidup, keamanan, serta keseimbangan antara pekerjaan hidup. Berdasar indeks kebahagiaan ini tidak selalu negara yang perekonomiannya maju atau pendapatan per kapita masyarakatnya tinggi memberikan kebahagiaan bagi masyarakatnya. Hasil kajian The New Economics Foundation (NEF) tahun 2009 menunjukkan bahwa Indonesia yang memiliki pendapatan per kapita berada pada urutan ke 147 dengan pendapatan per kapita US$2.580 menempati urutan ke 16 pada daftar negara yang penduduknya paling bahagia, sedang Amerika Serikat yang memiliki pendapatan per kapita pada urutan ke 18 dengan pendapatan per kapita sebesar US47.140 menempati urutan ke 114 pada daftar negara yang penduduknya paling bahagia. Artinya, walaupun penduduk Indonesia memperoleh pendapatan per kapita yang jauh lebih rendah daripada Amerika Serikat, tetapi penduduk Indonesia lebih bahagia. NEF menempatkan Costa Rica sebagai negara yang memiliki indeks kebahagiaan tertinggi. Costa Rica yang merupakan negara kecil di Amerika Tengah dan perekonomiannya hanya mengandalkan pertanian dengan hasil utama kopi dan pariwisata memiliki pendapatan per kapita sebesar US$7.701 berada pada urutan ke 67 dari 183 negara, tetapi menempati urutan pertama dari 143 negara dalam hal indeks kebahagian. Berdasar indeks kebahagian tersebut, penduduk Costa Rica merupakan penduduk yang paling bahagia di bumi ini. Ukuran lain tentang keberhasilan pembangunan adalah indeks kemakmuran (Prosperity Index) yang dikeluarkan oleh Legatum Institute. Legatum Institute melakukan perhitungan indeks kemakmuran terhadap 110 negara yang meliputi 90 persen penduduk dunia. Indeks ini diukur menggunakan 89 variabel yang dibagi ke dalam 8 kelompok, yaitu ekonomi, kewirausahaan dan peluang, pemerintahan, pendidikan, kesehatan, keamanan, kebebasan personal, dan modal sosial. Berdasar indeks ini, negara yang memiliki indeks
254
tertinggi pada tahun 2010 adalah Norwegia, disusul Denmark, Finlandia, Australia, dan Selandia Baru. Indonesia berada pada urutan ke 70 dan Malaysia pada urutan ke 43 dari 110 negara yang dilakukan pengukuran. Walaupun terdapat banyak ukuran mengenai keberhasilan pembangunan suatu negara, akan tetapi banyak negara masih menggunakan IPM, termasuk Indonesia. IPM bukanlah suatu ukuran yang menyeluruh tentang pembangunan manusia, karena IPM hanya menggambarkan tiga dimensi kesejahteraan manusia, yaitu pendidikan, kesehatan, dan daya beli dan tidak memasukkan indikator-indikator penting seperti misalnya ketidaksetaraan dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan politik. Namun demikian, IPM memberikan sudut pandang yang lebih luas untuk menilai kemajuan pembangunan manusia serta dapat menghubungkan antara pendapatan masyarakat dan kesejahteraan manusia. Ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi sampai saat ini masih menggunakan pendapatan per kapita penduduk. Kenaikan pendapatan per kapita yang dapat dicapai menunjukkan keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi. Pendapatan per kapita mencerminkan daya beli masyarakat. Dengan demikian, jika terjadi peningkatan pada pendapatan per kapita masyarakat, maka daya beli masyarakat meningkat. Peningkatan daya beli masyarakat berarti kemampuan masyarakat memenuhi kebutuhan hidupnya, baik untuk pendidikan maupun untuk kesehatan meningkat. Peningkatan yang terjadi pada pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat menunjukkan terjadinya peningkatan kesejateraan masyarakat tersebut. Oleh karena itu, pendapatan per kapita dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan manusia (Arsyad, 2004). Akan tetapi pada kenyataannya kenaikkan pendapatan per kapita tidak selalu diikuti oleh kenaikan pemenuhan kebutuhan hidup yang lain, seperti kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan. Hal ini sering terjadi di negara-negara sedang berkembang yang memiliki karakteristik distribusi pendapatan yang timpang. Oleh karena itu diperlukan ukuran keberhasilan pembangunan yang lain yang mencakup pemenuhan kebutuhan masyarakat yang lebih luas. Berdasar laporan United Nation Development Program tentang IPM pada tahun 2010, Norwegia
HUBUNGAN ANTARA PENDAPATAN PER KAPITA DAN............... (Algifari)
merupakan negara yang mempunyai IPM tertinggi dari 169 negara yang diukur, disusul Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Irlandia. Indonesia berada pada urutan ke 108 dan Malaysia berada pada urutan ke 57. Tabel 1 berikut ini menunjukkan perbandingan urutan antara IPM dan pendapatan per kapita negaranegara yang memiliki IPM pada 5 urutan tertinggi, Indonesia, dan Malaysia. Pada Tabel 1 tampak Norwegia memiliki IPM tertinggi, akan tetapi Norwegia bukan negara yang memiliki pendapatan per kapita tertinggi. Norwegia hanya menempati urutan ke 2 berdasarkan pendapatan per kapita setelah Luxemburg. IPM pada urutan ke dua ditempati oleh Australia, akan tetapi urutan berdasarkan
pendapatan per kapita berada pada urutan ke 7. Selandia Baru menempati urutan ke 3 negara yang memiliki IPM tertinggi, namun berdasarkan pendapatan per kapita menempati urutan ke 24. Berdasarkan informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa negara-negara yang memiliki IPM tertinggi tidak selalu memiliki pendapatan per kapita tertinggi pula. Perbandingan urutan IPM dan pendapatan per kapita menggunakan Produksi Domestik Bruto Nominal negara-negara yang memiliki pendapatan per kapita pada 5 urutan tertinggi, Indonesia, dan Malaysia dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel tersebut memberikan gambaran bahwa negara yang memiliki pendapatan per kapita tertinggi tidak selalu memiliki IPM teringgi pula.
Tabel 1 Perbandingan IPM dan Pendapatan per Kapita 5 Negara IPM Tertinggi
Negara
IPM
Pendapatan per Kapita (US$)
IPM
Norwegia Australia Selandia Baru Amerika Serikat Irlandia
0,938 0,937 0,907 0,902 0,895
84.144 55.672 32.163 46.860 46.298
1 2 3 4 5
Urutan Pendapatan per Kapita (US$) 2 7 24 10 12
108 57
109 68
Indonesia 0,600 2.974 Malaysia 0,744 8.373 Sumber: International Monetary Fund, 2011. Data diolah.
Tabel 2 Perbandingan IPM dan Pendapatan per Kapita 5 Negara Pendapatan per Kapita Tertinggi
Negara Luxembourg Norwegia Qatar Swiss Uni Emirat Arab Indonesia Malaysia
Pendapatan per Kapita
IPM
108.952 84.144 74.901 67.779 57.884
0,852 0,938 0,803 0,874 0,815
2.974 8.373
0,600 0,744
Urutan Pendapatan IPM per Kapita 1 24 2 1 3 38 4 13 5 32 109 68
108 57
Sumber: International Monetary Fund, 2011 (diolah).
255
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 253-264
Luxemburg memiliki perndapatan per kapita tertinggi di dunia, akan tetapi memiliki IPM berada pada urutan ke 24. Qatar yang memiliki pendapatan per kapita pada urutan ke 3 tertinggi di dunia memiliki IPM pada urutan ke 38. IPM dan pendapatan per kapita Indonesia tahun 2010 berada pada urutan yang lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia. Indonesia memiliki IPM sebesar 0,600 berada pada urutan ke 108, sedangkan Malaysia memiliki IPM sebesar 0,744 berada pada urutan ke 58 dari 169 negara. Pendapatan per kapita Indonesia tahun 2010 sebesar US$2.974 berada pada urutan ke 109, sedangkan pendapatan per kapita Malaysia sebesar US$8.373 berada pada urutan ke 68 dari 183 negara. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, IPM diukur menggunakan 3 dimensi, yaitu pemenuhan pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Pendapatan per kapita merupakan salah satu komponen dalam menentukan IPM yang menunjukkan daya beli masyarakat. Jika pendapatan per kapita masyarakat tinggi, maka daya beli masyarakat juga tinggi. Tingginya daya beli masyarakat apakah mampu meningkatkan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan kesehatan? Beberapa penelitian empiris telah dilakukan untuk membuktikan hubungan antara IPM dengan ukuran tingkat kesejahteraan masyarakat yang lain. Blanchflower dan Oswald (2005) melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara IPM dengan indeks kebahagian di beberapa negara. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat beberapa negara, seperti Australia memiliki paradoks. Australia merupakan negara yang memiliki ranking IPM tinggi, tetapi Australia memiliki tingkat kebahagiaan masyarakatnya yang rendah. Badrudin (2011) melakukan penelitian tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap IPM menggunakan data kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah. Periode penelitian dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dan negatif terhadap IPM di Jawa Tengah. Artinya, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi semakin rendah tingkat kesejahteraan masyarakat. Sidharta (2010) meneliti hubungan antara IPM dengan komponen-komponennya, indikator fiskal pemerintah dan kemiskinan. Komponen IPM meliputi indikator kesehatan, pendidikan, dan daya beli.
256
Indikator kesehatan menggunakan Angka Harapan Hidup (AHP), indikator pendidikan menggunakan Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS), dan indikator daya beli menggunakan Pengeluaran per Kapita Riil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi tertinggi dari komponen IPM terhadap IPM adalah Angka Melek Huruf dengan besarnya koefisien korelasi sebesar 0,9584, disusul komponen Pengeluaran per Kapita Riil dengan koefisien korelasi sebesar 0,8729, dan Rata-rata Lama Sekolah sebesar 0,7269, sedangkan kontribusi terendah pada IPM adalah Angka Harapan Hidup dengan koefisien korelasi sebesar 0,6599. Ranis et al. (2006) meneliti hubungan antara Pembangunan Manusia (Human Development), IPM, dan pendapatan per kapita. Pembangunan Manusia ditentukan menggunakan 11 kategori dengan 39 indikator yang mencerminkan kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan per kapita memiliki hubungan yang kuat dengan IPM. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi yang tinggi, yaitu sebesar 0,8789. MATERI DAN METODE PENELITIAN Sejak tahun 1990 United Nation Development Program sebagai salah satu badan Perserikatan Bangsa-bangsa mengembangkan suatu indeks untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan, yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indikator yang digunakan untuk menyusun IPM adalah tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf, dan pendapatan per kapita riil. Besarnya IPM dari 0 sampai dengan 1. Semakin tinggi IPM, semakin tinggi pula tingkat pembangunan manusianya (Arsyad, 2004). Pendapatan per kapita adalah pendapatan nasional dibagi jumlah penduduk. Pendapatan per kapita dapat mencerminkan daya beli masyarakat. Semakin tinggi pendapatan per kapita penduduk suatu negara, semakin tinggi pula daya beli penduduk negara tersebut. Daya beli masyarakat yang tinggi menunjukkan kemampuan yang tinggi dari masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dan kesejahteraan masyarakat juga tinggi. IPM merupakan indeks yang dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Suatu negara yang memiliki IPM tinggi menunjukkan tingkat kesejahteraan
HUBUNGAN ANTARA PENDAPATAN PER KAPITA DAN............... (Algifari)
masyarakat tersebut tinggi. Pendapatan per kapita merupakan salah satu komponen dari menyusun IPM, selain tingkat kesehatan dan tingkat pendidikan masyarakat. Oleh karena itu, semakin tinggi pendapatan per kapita masyarakat suatu negara, seharusnya semakin tinggi juga IPM negara tersebut. Namun demikian, pada kenyataannya hal ini tidak terjadi. Negara yang memiliki pendapatan per kapita pada urutan tinggi tidak selalu memiliki IPM pada urutan yang tinggi pula. Shome dan Tondon (2010) meneliti hubungan antara pendapatan per kapita dan IPM di 5 negara Asean menggunakan data tahun 2000 sampai dengan 2007. Hubungan antara pendapatan per kapita dan IPM dianalisis dengan korelasi Pearson, baik setiap negara maupun semua negara secara keseluruhan. Hasil penelitian menunjukkan di Filipina terdapat hubungan negatif antara pendapatan per kapita dengan IPM dengan koefisien korelasi sebesar -0,070. Artinya, pada saat pendapatan per kapita tinggi, IPM rendah. Namun demikian, berdasar koefisien korelasi ini dapat diketahui bahwa hubungan antara pendapatan per kapita dan IPM di Filipina lemah. Singapore yang termasuk ke dalam kelompok negara dengan angka IPM sangat tinggi mempunyai hubungan positif dan lemah antara pendapatan per kapita dan IPM dengan koefisien koelasi sebesar 0,4710. Indonesia memiliki hubungan positif dan lebih kuat antara pendapatan per kapita dan IPM dibandingkan dengan 4 negara Asean lainnya. Koefisien korelasi antara pendapatan per kapita dan IPM di Indonesia sebesar 0,706. Koefisien korelasi antara pendapatan per kapita dan IPM di Malaysia dan di Thailand menunjukkan angka yang positif, yaitu berturut-turut 0,2680 dan 0,3970. Hal ini menunjukkan bahwa di kedua negara tersebut adanya kecenderungan pada pendapatan per kapita tinggi maka IPM juga tinggi. Hasil analisis korelasi terhadap ke 5 negara Asean menunjukkan adanya korelasi positif antara pendapatan per kapita dan IPM dengan koefisien korelasi sebesar 0,4760. Khodabakhshi (2011) melakukan penelitian tentang hubungan antara pendapatan per kapita dan IPM di India menggunakan data tahun 2005 hingga 2010. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang lemah antara pendapatan per kapita dan IPM. Rana dan Dzathor (2008) melakukan penelitian terhadap hubungan antara indikator-indikator dalam
IPM dengan pendapatan per kapita menggunakan data Ametika Serikat, Jerman, dan Jepang tahun 1995-2004. IPM diukur menggunakan 5 indikator, yaitu kondisi lingkungan, kesehatan, perubahan teknologi, kekayaan, kemiskinan. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara indikatorindikator IPM dengan pendapatan per kapita. Penelitian ini bertujuan untuk menguji korelasi antara pendapatan per kapita dan IPM. Rumusan hipotesis dalam penelitian ini didasarkan pada teori yang menyatakan bahwa pendapatn per kapita berhubungan positif terhadap pembangunan manusia. Hal ini disebabkan pendapatan per kapita merupakan salah satu indikator dalam menentukan IPM. Hipotesis dalam penilitian ini dirumuskan sebagai berikut: H1: Pendapatan per kapita berkorelasi positif dan signifikan dengan IPM pada kelompok negara yang memiliki IPM sangat tinggi. H2: Pendapatan per kapita berkorelasi positif dan signifikan dengan IPM pada kelompok negara yang memiliki IPM tinggi. H3: Pendapatan per kapita berkorelasi positif dan signifikan dengan IPM pada kelompok negara yang memiliki IPM menengah. H4: Pendapatan per kapita berkorelasi positif dan signifikan dengan IPM pada kelompok negara yang memiliki IPM rendah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tentang pendapatan per kapita dan IPM beberapa negara berdasarkan pengelompokkan IPM, yaitu negara yang memiliki IPM sangat tinggi (0,788-0,983), IPM tinggi (0,677-0,784), IPM menengah (0,488-0,6690), dan IPM rendah (0,140-0,470). Banyaknya negara yang digunakan dalam penelitian ini yang termasuk ke dalam kelompok negara yang memiliki IPM sangat tinggi adalah 39 negara, kelompok negara yang memiliki IPM tinggi adalah 40 negara, kelompok negara yang memiliki IPM menengah adalah 42 negara, dan kelompok negara yang memiliki IPM rendah adalah 37 negara. Data IPM negara-negara yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari laporan United Nation Development Program (UNDP) tahun 2011 dan data tentang pendapatan per kapita menggunakan purchasing power parity diperoleh dari laporan Bank Dunia tahun 2011. Analisis terhadap data penelitian dilakukan menggunakan dua tahap. Tahap pertama dilakukan analisis deskriptif terhadap hubungan antara
257
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 253-264
pendapatan per kapita dengan IPM yang digambarkan ke dalam sebuah diagram sebar (scatter plot). Berdasarkan diagram sebar tersebut dapat diketahui pola hubungan antara pendapatan per kapita dan IPM. Tahap kedua mengukur keeratan hubungan antara pendapatan per kapita dan IPM menggunakan koefisien korelasinya. Koefisien korelasi antara pendapatan per kapita dan IPM ditunjukkan oleh koefisien korelasi Pearson yang besarnya dari 0 sampai dengan 1. Semakin besar nilai koefisien korelasi Pearson antara pendapatan per kapita dan IPM menunjukkan bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut semakin kuat (Algifari, 2001). Kemudian koefisien korelasi tersebut dilakukan pengujian untuk mengetahui apakah hubungan (korelasi) antara pendapatan per kapita dan IPM secara statistik signifikan. Diagram sebar dan koefisien korelasi antara pendapatan per kapita dan IPM dibuat untuk masing-masing kelompok negara berdasarkan tingkat IPM, yaitu negara dengan kelompok IPM sangat tinggi, IPM tinggi, IPM menengah, dan IPM rendah. HASIL PENELITIAN Hubungan antara pendapatan per kapita dengan IPM digambarkan melalui diagram scatter plot. Jika pendapatan per kapita memiliki korelasi positif yang kuat dengan IPM, maka sebaran titik-titik pada diagram sebar membentuk pola menaik dan berada di sekitar
garis diagonal. Gambar 1 menunjukkan diagram sebar antara pendapatan per kapita dengan IPM negaranegara pada kelompok negara yang memiliki IPM sangat tinggi (0,788-0,983). Berdasar sebaran titik-titik pada gambar tesebut nampak memiliki pola menaik mengikuti garis diagonal. Tetapi garis linear yang dihasilkan dari sebaran titik-titik tersebut landai dan menunjukkan bahwa hubungan positif antara pendapatan per kapita dengan IPM tidak sempurna. Ketidaksempurnaan hubungan positif antara pendapatan per kapita dan IPM dapat dilihat dengan cara membandingkan pendapatan per kapita dan IPM di antara dua atau lebih negara dalam kelompok IPM sangat tinggi. Brunei mempunyai pendapatan per kapita sebesar US$48.760 jauh melebihi Selandia Baru yang hanya sebesar US$28.050, tetapi Selandia Baru memiliki IPM yang jauh lebih tinggi. Brunei hanya memiliki IPM sebesar 0,805 berada pada uruan ke 37, sedangkan Selandia baru memiliki IPM sebesar 0,907 berada pada urutan ke 3 tertinggi dari 169 negara. Luxemburg merupakan negara yang memiliki pendapatan per kapita tertinggi di dunia, yaitu sebesar US$108.952, namun negara tersebut hanya menempati urutan ke 24 dari urutan negara berdasarkan IPM tertinggi. Luxemburg memiliki IPM sebesar 0,852 yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan IPM yang dimiliki Australia, yaitu sebesar 0,937. Berdasar IPM yang dimiliki, Australia berada pada urutan ke 2, sedang pendapatan per kapita
Gambar 1 Pendapatan per Kapita dan IPM Sangat Tinggi
258
HUBUNGAN ANTARA PENDAPATAN PER KAPITA DAN............... (Algifari)
Australia sebesar US55.672 berada pada urutan ke 7. Gambar 2 menunjukkan diagram sebar antara pendapatan per kapita dengan IPM negara-negara pada kelompok negara yang memiliki IPM Tinggi, yaitu besarnya IPM dari 0,677 sampai dengan 0,7840. Berdasar sebaran titik-titik pada Gambar 2 tersebut terlihat memiliki pola meningkat mengikuti garis diagonal. Namun, sama halnya dengan kelompok negara IPM sangat tinggi, garis linear yang dihasilkan dari sebaran titik-titik tersebut landai menunjukkan bahwa hubungan positif antara pendapatan per kapita dengan IPM pada kelompok negara-negara tersebut juga tidak sempurna. Trinidad dan Tobago memiliki pendapatan per kapita sebesar US$24.000 yang jauh lebih tinggi daripada pendapatan per kapita yang dimiliki negara Chili, yaitu sebesar US$13.890. Namun dari IPM yang dimiliki, Chili jauh lebih tinggi daripada Trinidad dan Tobago. Chili memiliki IPM sebesar 0,783 yang berada pada urutan ke 45, sedangkan IPM Trinidad dan Tobago sebesar 0,736 yang berada pada urutan ke 59 dari 169 negara. Perbandingan pendapatan per kapita dan IPM Turki dan Georgia juga menunjukan bahwa negara yang memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi tidak selalu memiliki IPM yang lebih tinggi juga pada kelompok negara yang memiliki IPM tinggi. Turki memiliki pendapatan per kapita sebesar US$14.580 yang jauh lebih tinggi daripada pendapatan per kapita Georgia, yaitu sebesar US$4.980, tetapi IPM Georgia sebesar 0,698 lebih tinggi dibandingkan IPM Turki, yaitu
sebesar 0,679. Berdasarkan IPM yang dimiliki, Georgia berada pada urutan ke 74, sedang Turki berada pada urutan ke 83 dari 169 negara. Pada Gambar 3 terlihat sebaran titik-titik yang menunjukkan hubungan antara pendapatan per kapita dengan IPM pada kelompok negara yang memiliki IPM menengah, yaitu dari 0,488 sampai dengan 0,6690. Garis lurus yang dihasilkan dari sebaran titik-titik tersebut lebih landai dibandingkan dengan garis lurus pada kelompok negara-negara yang memiliki IPM sangat tinggi dan IPM tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan (korelasi) antara pendapatan per kapita dan IPM pada kelompok negara yang memiliki IPM menengah lebih rendah daripada hubungan antara pendapatan per kapita dengan IPM pada kelompok negara yang memiliki IPM sangat tinggi dan IPM tinggi. Anomali hubungan antara pendapatan per kapita dan IPM juga terjadi pada kelompok negara yang memiliki IPM Menengah. Guinea yang memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi dibandingkan dengan Fiji, tetapi memiliki IPM yang lebih rendah. Pendapatan per kapita Guinea sebesar US$23.810 berada pada urutan ke 61, sedangkan Fiji memiliki pendapatan per kapita sebesar US$4.490 berada pada urutan ke 144, namun IPM Guinea memiliki IPM sebsar 0,538 yang berada pada urutan ke 117, sedangkan Fiji memiliki IPM sebesar 0,669 berada pada urutan ke 86. Afrika Selatan yang memiliki pendapatan per kapita sebesar US$10.280 berada pada urutan ke 102 memiliki
Gambar 2 Pendapatan per Kapita dan IPM Kelompok IPM Tinggi
259
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 253-264
IPM sebesar 0,597 dan menempati urutan ke 110. Hubungan antara pendapatan per kapita dengan IPM untuk kelompok IPM rendah disajikan pada Gambar 4. Garis lurus yang diperoleh dari sebaran titiktitik tersebut lebih landai dibandingkan dengan garis lurus pada kelompok negara dengan IPM sangat tinggi dan IPM tinggi, tetapi jika dibandingkan dengan garis lurus yang diperoleh dari sebaran titik-titik pada kelompok negara dengan IPM menengah lebih tegak. Hal ini menunjukkan hubungan pendapatan per kapita dan IPM pada kelompok negara IPM rendah lebih kuat dibadingkan dengan kelompok negara dengan IPM menengah.
Sebaran titik-titik pada Gambar 4 nampak terlihat beberapa negara yang memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain, tetapi memiliki IPM yang lebih rendah. Angola memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi daripada Madagaskar dan Ghana. Pendapatan per kapita Anggola sebesar US$5.430, sedang pendapatan per kapita Madagaskan dan Ghana berturut-turut US$980 dan US$1600, tetapi Madagaskar dan Ghana memiliki IPM yang lebih tinggi, yaitu berturut-turut 0,435 dan 0, 467, sedang IPM Angola hanya 0,403. Berdasarkan IPM yang dimiliki, Madagaskar berada pada urutan ke 135 dan Ghana berada pada urutan ke 130, sedang Angola
Gambar 3 Pendapatan per Kapita dan IPM Kelompok IPM Menengah
Gambar 4 Pendapatan per Kapita dan IPM Kelompok IPM Rendah
260
HUBUNGAN ANTARA PENDAPATAN PER KAPITA DAN............... (Algifari)
berada pada urutan ke 146 dari 169 negara. PEMBAHASAN Analisis terhadap hubungan antara pendapatan per kapita dengan IPM dilakukan menggunakan analisis korelasi bivariat Pearson. Keeratan hubungan antara pendapatan per kapita dan IPM diukur dengan koefisien korelasi Pearson. Gambar 5 menunjukkan besarnya koefisien korelasi Pearson antara pendapatan per kapita dengan IPM berdasarkan kelompok negara. Koefisien korelasi untuk semua kelompok negara bertanda positif. Hal ini menunjukkan adanya hubungan positif antara pendapatan per kapita dengan IPM. Kelompok negara yang memiliki IPM tinggi mempunyai koefisien korelasi yang paling besar dibandingkan dengan kelompok lain. Besarnya koefisien korelasi antara pendapatan per kapita dan IPM pada kelompok negara yang memiliki IPM tinggi adalah 0,656779. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok negara yang memiliki IPM tinggi, hubungan antara pendapatan per kapita dan IPM paling kuat dibandingkan dengan kelompok negara lain. Besarnya koefisien korelasi antara pendapatan per kapita dan IPM pada kelompok negara yang memiliki IPM menengah sebesar 0,285392 merupakan koefisien korelasi terkecil dibandingkan dengan kelompok lain. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
lemah antara pendapatan per kapita dan IPM pada kelompok negara tersebut. Pada Tabel 3 dapat dilihat besarnya koefisien korelasi Pearson, nilai t Statistik, dan Probabilitas untuk menganalisis hubungan antara pendapatan per kapita dengan IPM berdasarkan kelompok negara. Koefisien korelasi untuk semua kelompok negara bertanda positif. Hal ini menunjukkan adanya hubungan positif antara pendapatan per kapita dan IPM. Artinya, jika pendapatan per kapita suatu negara tinggi, maka IPM negara tersebut juga tinggi. Hipotesis pertama menyatakan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara pendapatan per kapita dan IPM pada kelompok negara IPM sangat tinggi. Pada Tabel 3 terlihat koefisien korelasi antara pendapatan per kapita dan IPM pada kelompok negara IPM sangat tinggi adalah 0,477964, nilai t-Statistik 3,309894, dan nilai probabilitas 0,0021. Koefisien korelasi bernilai positif menunjukkan arah perubahan pendapatan per kapita dan IPM yang searah. Artinya, pada pendapatan per kapita tinggi, IPM juga tinggi, tetapi berdasar besarnya koefisien korelasi dapat diketahui hubungan antara pendapatan per kapita dan IPM relatif lemah. Kontribusi pendapatan per kapita terhadap IPM yang mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat dapat menggunakan besarnya koefisien determinasi (r2). Besarnya koefsien determinasinya hanya (0,477964)2 = 22,48%. Namun demikian, berdasar
Gambar 5 Koefisien Korelasi antara IPM dan Pendapatan per Kapita
261
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 253-264
Tabel 3 Nilai Statistik Uji Korelasi antara IPM dengan Pendapatan per Kapita Hipotesis H1 H2 H3 H4
Kelompok Negara IPM Sangat Tinggi Tinggi Menengah Rendah
Koefisien Korelasi 0,477964 0,656779 0,285392 0,474144
t-Statistik
Prob.
3,309894 5,368983 1,883300 3,185963
0,0021 0,0000 0,0669 0,0030
Tingkat Signifiansi 5% Signifikan Signifikan Tidak Signifikan Signifikan
Sumber: Hasil Penelitian. Data diolah. nilai t-Statistik 3,309894 dan nilai probabilitas 0,0021 menunjukkan bahwa pendapatan per kapita berkorelasi positif dan signifikan dengan IPM. Hipotesis kedua menyatakan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara pendapatan per kapita dengan IPM pada kelompok negara IPM tinggi. Pada Tabel 3 terlihat koefisien korelasi antara pendapatan per kapita dan IPM pada kelompok negara IPM tinggi adalah 0,656779, nilai t-Statistik 5,368983, dan nilai probabilitas 0,0000. Besarnya koefisien korelasi pada kelompok negara IPM tinggi lebih besar daripada koefisien korelasi pada kelompok negara IPM sangat tinggi. Kontribusi pendapatan per kapita terhadap IPM pada kelompok ini lebih tinggi dibandingkan pada kelompok IPM sangat tinggi, yaitu sebesar (0,477964)2 = 43,14%. Nilai t-Statistik korelasi antara pendapatan per kapita dan IPM pada kelompok IPM tinggi adalah 5,368983 dan nilai probabilitas 0,0000 menunjukkan bahwa pendapatan per kapita berkorelasi positif dan cukup kuat dengan IPM. Hipotesis ketiga menyatakan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara pendapatan per kapita dan IPM pada kelompok negara IPM menengah. Pada Tabel 3 terlihat koefisien korelasi antara pendapatan per kapita dan IPM pada kelompok negara IPM menengah adalah 0,285392, nilai t-Statistik 1,883300, dan nilai probabilitas 0,0669. Berdasar besarnya koefisien korelasi dapat diketahui hubungan antara pendapatan per kapita dan IPM relatif lemah. Kontribusi pendapatan per kapita terhadap IPM menggunakan besarnya koefisien determinasi (r2) hanya (0,285392)2 = 8,14%. Nilai t-Statistik 1,8833 dan nilai probabilitas 0,0669 menunjukkan adanya korelasi positif yang tidak signifikan anatara pendapatan per kapita dan IPM pada kelompok negara dengan IPM menengah.
262
Hipotesis keempat menyatakan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara pendapatan per kapita dengan IPM pada kelompok negara IPM rendah. Pada Tabel 1 terlihat koefisien korelasi antara pendapatan per kapita dan IPM pada kelompok negara IPM rendah adalah 0,474144, nilai t-Statistik 3,185963, dan nilai probabilitas 0,0030. Berdasar besarnya koefisien korelasi dapat diketahui bahwa hubungan antara pendapatan per kapita dan IPM pada kelompok negara dengan IPM rendah adalah relatif lemah. Kontribusi pendapatan per kapita terhadap IPM yang mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat menggunakan besarnya koefisien determinasi (r2) hanya (0,477964)2 = 22,48%. Namun demikian, dengan nilai tStatistik 3,185963 dan nilai probabilitas 0,0030 menunjukkan bahwa pendapatan per kapita berkorelasi positif dan signifikan dengan IPM pada kelompok negara dengan IPM rendah. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan (korelasi) pendapatan per kapita dan IPM. Analisis dilakukan terhadap empat kelompok negara berdasar IPM yang dimiliki, yaitu kelompok negara dengan IPM sangat tinggi, IPM tinggi, IPM menengah, dan IPM rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien korelasi antara pendapatan per kapita dan IPM tertinggi terdapat pada kepompok negara dengan IPM tinggi, yaitu sebesar 0,656779 dan terendah terdapat pada kelompok negara dengan IPM menengah. Berdasar koefisien korelasi ini dapat disimpulkan bahwa pendapatan per kapita dapat mencerminkan pengembangan manusia. Artinya, kenaikan yang terjadi
HUBUNGAN ANTARA PENDAPATAN PER KAPITA DAN............... (Algifari)
pada pendapatan per kapita dapat dikatakan terjadi peningkatan pembangun manusia. Hal ini ditunjukkan oleh hasil pengujian hipotesis, yaitu pendapatan per kapita dan IPM memiliki hubungan positif yang kuat dan signifikan. Koefisien korelasi terkecil antara pendapatan per kapita dan IPM terdapat pada kelompok negara yang memiliki IPM menengah, yaitu hanya sebesar 0,285392. Pengujian statistik yang dilakukan terhadap koefisien korelasi tersebut tidak berhasil menemukan bukti bahwa pendapatan per kapita dan IPM berkorelasi secara signifikan. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa pendapatan per kapita pada kelompok negara tersebut tidak mampu mencerminkan pembangunan manusia. Artinya, jika terjadi kenaikan pendapatan per kapita pada kelompok negara ini tidak secara otomatis meningkatkan pembangunan manusia. Hal ini bisa terjadi, karena kenaikan pendapatan per kapita tidak disertai oleh perbaikan kesehatan dan pendidikan masyarakat. Pendapatan nasional lebih banyak digunakan oleh pemerintah untuk pengeluaran yang tidak berkaitan dengan peningkatan kesehatan dan pendidikan masyarakat, seperti memperkuat militer, membiayai pengeluaran rutin pemerintah, dan sebagainya. Hasil pengujian pada kelompok negara ini menunjukkan tidak adanya korelasi yang signifikan antara pendapatan per kapita dan IPM. Besarnya koefisien korelasi dalam kelompok negara yang memiliki IPM sangat tinggi dan rendah relatif moderat, yaitu berturut-turut sebesar 0,477964 dan 0,474144. Hasil pengujian korelasi antara pendapatan per kapita dan IPM pada kelompok negara ini menunjukkan adanya korelasi positif dan signifikan secara statistik. Artinya, kenaikan yang terjadi pada pendapatan per kapita berarti pembangunan manusia juga mengalami peningkatan. Saran IPM merupakan ukuran tingkat kesejahteraan masyarakat. Kenaikan dalam IPM menunjukkan terjadinya peningkatan pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Pendapatan per kapita merupakan salah satu indikator untuk menentukan IPM, selain tingkat kesehatan dan tingkat pendidikan. Dengan demikian, kenaikan pendapatan per kapita seharusnya juga
meningkatkan IPM. Indonesia termasuk ke dalam keompok negara yang memiliki IPM mengengah, di mana besarnya IPM Indonesia adalah 0,600. Koefisien korelasi antara pendapatan per kapita pada kelompok negara dengan IPM menengah ini rendah dan hasil pengujian korelasi menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara pendapatan per kapita dan IPM. Artinya, kenaikan yang terjadi pada pendapatan per kapita di Indonesia tidak secara otomatis dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, agar pendapatan per kapita yang terjadi di Indonesia dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka kenaikan penerimaan pemerintah sebagai akibat dari kenaikan pendapatan nasional harus lebih banyak dialokasikan untuk program perbaikan kesehatan dan pendidikan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Algifari, 2001. Statistika Induktif. Edisi 2. UPP STIM Yogyakarta. Arsyad, Lincolin. 2004. Ekonomi Pembangunan. Edisi 4. Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YKPN. Badrudin, Rudy. 2011. “Pengaruh Belanja Modal Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten/Kota di provinsi Jawa Tengah”. Jurnal Akuntansi dan Manajemen. Vol. 22, No. 1 April 2011. Bank Dunia. 2011. World Development Indikators database 2010. 1 Juli 2011. Khodabakhshi, Akbar. 2011. “Relationship between GDP and Human Development Indices in India”. International Journal of Trade, Economics and Finance. Vol. 2, No. 3, June 2011. Kuncoro, Mudrajad. 2006. Ekonomika Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan. Edisi 4. Yogyakarta. UPP STIM YKPN.
263
JEB, Vol. 5, No. 3, November 2011: 253-264
New Economics Foundation, 2010, Happy Planet Index 2009. Rana, Dharam S., Dzathor, Augustine Y. 2008. Analyzing Relationship between Enhanced Set of Human Development Indikators and Changes in Gross Domestic Product: An Empirical Investigation. Proceeding SWDSI Meeting 2008. Hal. 257-266. Ranis, Gustav, Frances Stewart; Emma Samman. 2006. “Human Development: Beyond Human Development Index”. Journal of Human Development. Vol. 7, No. 3, November 2006. Shome, S.; Tondon, S. 2010. “Balancing Human Development with Growth: A Study of Asean 5”. Annals of the University of Petroºani, Economics. 10(1), 2010: 335-348. Sidharta. 2010. “Hubungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan Komponen-komponen dan Indikator Fiskal dan Kemiskinan”. Jurnal Dharma Praja. Vol. 3 No. 1 2020. United National Development Program. 2011. Human Development Index and Its Components 2010. http://www.neweconomics.org/projects/happy-planetindex. Diakses 20 Oktober 2011].
264
ISSN: 1978-3116 Vol. 5, No. 3, November 2011
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
INDEKS PENULIS DAN ARTIKEL JURNAL EKONOMI & BISNIS (JEB)
Vol. 1, No. 1, Maret 2007 Harjanti, Theresia Tri dan Eduardus Tandelilin, pp. 1-10, Pengaruh Firm Size, Tangible Assets, Growth Opportunity, Profitability, dan Business Risk pada Struktur Modal Perusahaan Manufaktur di Indonesia: Studi Kasus di BEJ. Dewi, Kurnia, pp. 11-22, Pengaruh Pengetahuan tentang Taktik Pemasang Iklan, Penghargaan Diri, Kerentanan Konsumen, dan Pengetahuan Produk Konsumen pada Skeptisme Remaja terhadap Iklan Televisi. Khasanah, Mufidhatul, pp. 23-31, Analisis Nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) pada Investasi di Kabupaten Sleman, Tahun 2000-2004. Yusuf, Muhammad, pp. 33-48, Metodologi Event Study: Telaah Metodologi di Bidang Ekonomi dan Keuangan. Kusumawati, Rini, pp. 49-58, Pengaruh Image, Kualitas yang Dipersepsikan, Harapan Nasabah pada Kepuasan Nasabah dan Pengaruh Kepuasan Nasabah pada Loyalitas Nasabah dan Perilaku Beralih Merek Norpratiwi, AM Vianey, pp. 59-65, Aspek Value Added Rumah Sakit sebagai Badan Layanan Umum. Vol. 1, No. 2, Juli 2007 Puspitasari, Christiana Rini, pp. 67-75, Dampak Ekonomi Pembangunan Perumahan Casa Grande di Kabupaten Sleman Terhadap Masyarakat di Luar Perumahan, Tahun 2000-2005 (Studi Kasus di Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Sleman) Estikasari, Ni Nengah Ami Estikasari, pp. 77-86, Pengaruh Pendukung Online pada Web Site Penyedia Layanan Telekomunikasi dalam Meningkatkan Loyalitas Pelanggan Handayani, Asri Wening dan Rudy Badrudin, pp. 87-97, Analisis Deskriptif Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota di Propinsi D.I. Yogyakarta, Tahun 2004-2005
ISSN: 1978-3116 Vol. 5, No. 3, November 2011
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
Prajogo, Wisnu, pp. 99-103, Interpersonal Network: Keterkaitannya dengan Personality dan Kinerja Berdasarkan Sudut Pandang Social Resources Theory Algifari, pp. 105-112, Analisis Pertumbuhan Ekspor Indonesia Sebelum dan Setelah Krisis Ekonomi Supriyanto, Y, pp. 113-118, Kontroversi Penggunaan Risk-Adjusted Discount Rates (RADR) untuk Mendiskontokan Cash Flows dalam Capital Budgeting Vol. 1, No. 3, Nopember 2007 Anatan, Lina dan Fahmy Radhi, pp. 119-133, The Effect of Environmental Factors, Manufacturing Strategy and Technology on Operational Performance: Study Amongst Indonesian Manufacturers Ciptono, Wakhid Slamet, pp. 135-146, Triple-R Strategy of Reformation—Revitalization, Reflection, and Realization: in Memory of 10 Years of Reformation and 100 Years of National Awakening [2008] Handayani, Asri Wening dan Rudy Badrudin, pp. 147-160, Analisis Deskriptif Struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten/Kota di Propinsi D.I. Yogyakarta, Tahun 2004-2005 Astuti, Kurnia dan Budiono Sri Handoko, pp. 161-173, Analisis Pertumbuhan Ekonomi, Kebutuhan Investasi, dan Penyerapan Tenaga Kerja di Kabupaten Sleman Fachrunnisa, Olivia, pp. 175-186, Identifikasi Pentingnya Komunikasi Nonverbal di Organisasi Purnamawati, Astuti, pp. 187-192, Pengukuran Tingkat Keunggulan Komparatif Barang Ekspor Indonesia Vol. 2, No. 1, Maret 2008 Maryatmo, R., pp. 1-8, Strategi Bisnis Eceran (Studi Kasus di Yogyakarta) Windayani, Santi, pp. 9-28, Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Penggunaan Informasi Kinerja dalam Penganggaran Prajogo, Wisnu, pp. 29-35, Pengaruh Proactive Personality pada In-Role dan Extra-Role Performance (Kasus pada Sebuah Perguruan Tinggi di Yogyakarta) Sardjito, Bambang dan Osmad Muthaher, pp. 37-49, Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran terhadap Kinerja Aparat Pemerintah Daerah: Budaya dan Komitmen Organisasi sebagai Variabel Moderating Raharjo, Achmad, pp. 51-55, Prospek Pengembangan Industri Komponen dan Perakitan Otomotif di Kabupaten Sleman
ISSN: 1978-3116 Vol. 5, No. 3, November 2011
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
Fatmawati, Sri, pp. 57-65, Pemerataan Kepemilikan Saham dan Keadilan: Kebijakan Pemecahan Saham Vol. 2, No. 2, Juli 2008 Dominanto, Nedi Nugrah, pp. 67-75, Perbedaan Sikap Terhadap Iklan, Merek, Dan Niat Beli Konsumen pada Iklan dengan Fear Appeal Tinggi dan Rendah pada Partisipan Wanita Suparmono, pp. 77-94, Analisis Optimasi Faktor Produksi Budidaya Udang Galah di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman Fajar, Siti Al, pp. 95-100, Model Kepemimpinan Baru dalam Mengelola Diversitas Angkatan Kerja dalam Rangka Meraih Keunggulan Bersaing Pasaribu, Rowland Bismark Fernando, pp. 101-113, Pengaruh Variabel Fundamental Terhadap Harga Saham Perusahaan Go Public di Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode 2003-2006 Fatmawati, Sri, pp. 115-126, Kerjasama Perdagangan Regional (AFTA): Kajian Ekonomi Terhadap Perdagangan Barang Indonesia Manoppo, Yosua Pontolumiu, pp. 127-144, Pengaruh Kualitas Inti, Kualitas Hubungan, Risiko yang Dipersepsikan, dan Harapan Konsumen pada Loyalitas Pelanggan dan Komplain Pelanggan pada Salon Kecantikan “X” yang Ada di Yogyakarta Vol. 2, No. 3, Nopember 2008 Anwar, Andlie Liano, pp. 145-158, Analisis Pengaruh Pendukung Online Website Layanan Operator Seluler pada Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan Operator Seluler di Indonesia Edy, pp. 159-174, Pengaruh Budaya Organisasional dan Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Perawat “Rumah Sakit Mata Dr. YAP” Yogyakarta dengan Motivasi dan Kepuasan Kerja sebagai Variabel Pemediasi Sukmawati, Ferina, pp. 175-194, Pengaruh Kepemimpinan, Lingkungan Kerja Fisik, dan Kompensasi terhadap Kinerja Karyawan di PT. Pertamina (Persero) UPMS III Terminal Transit Utama Balongan, Indramayu Rosalina, Willy Lutfiani, pp. 195-216, Pengaruh Kecerdasan Emosional Perawat terhadap Perilaku Melayani Konsumen dan Kinerja Perawat Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Indramayu Rosidi, Abidarin, pp. 217-232, Iklan Industri Kecil Melalui Word Wide Web (WWW) di Daerah Istimewa Yogyakarta: Masalah Efektifitas Isi dan Desain Iklan Badrudin, Rudy, pp. 233-246, Dampak Krisis Keuangan Amerika Serikat terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
ISSN: 1978-3116 Vol. 5, No. 3, November 2011
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
Vol. 3, No. 1, Maret 2009 Sari, Dessy Puspita, pp. 1-10, Pengaruh Persepsi Kualitas Layanan dan Kepuasan Pelanggan pada Niat Pembelian Ulang Konsumen Soeroso, Amiluhur, pp. 11-19, Manfaat Ekonomi Konservasi Barang Pusaka Kebudayaan: Kasus Gedung Peninggalan De Javasche Bank Yogyakarta Wijaya, N.H. Setiadi, pp. 21-30, Sumberdaya Manusia (SDM) Pembelajar: Menggapai Kinerja dan Daya Saing Organisasi yang Lebih Tinggi Sarwoko, pp. 31-39, Pengaruh Blok-Blok Perdagangan Bebas Regional terhadap Perdagangan Bilateral Indonesia: Menggunakan Model Gravitasi, Tahun 2003-2007 Arista, Fany dan Baldric Siregar, pp. 41-60, Peran Rasio Keuangan dalam Memprediksi Laba di Masa Depan Sayono, Jusup Agus, Ujang Sumarwan, Noer Azam Achsani, dan Hartoyo, pp. 61-80, Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Kepemilikan, Penggunaan, Pembayaran, dan Peluang terjadinya Gagal Bayar dalam Bisnis Kartu Kredit Vol. 3, No. 2, Juli 2009 Pasaribu, Rowland Bismark Fernando, pp. 81-89, Koreksi Bias Koefisien Beta Di Bursa Efek Indonesia Handayani, Asri Wening, pp. 91-105, Pola Atribut yang Mempengaruhi Preferensi Konsumen dalam Membeli Rumah di Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi, Daerah Istimewa Yogyakarta, Tahun 2008 Badrudin, Rudy, pp. 107-117, Dampak Kegiatan Investasi terhadap Pendapatan Per Kapita Masyarakat Kabupaten Sleman Pasca Otonomi Daerah Wijaya, Tony, pp. 119-131, Model Empiris Perilaku Berwirausaha Usaha Kecil Menengah di DIY dan Jawa Tengah Mustholihah, Siti, pp. 133-143, Peran Dana Penguatan Modal dalam Meningkatkan Pendapatan Usaha Anggota Kelompok Pembudidaya Ikan Lele di Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman Paluruan, Astrid Rona Novianty dan Baldric Siregar, pp. 145-166, Dampak Manajemen Laba terhadap Relevansi Informasi Laporan Keuangan Dimoderasi oleh Akrual Diskresioner Jangka Pendek dJangka Panjang
ISSN: 1978-3116 Vol. 5, No. 3, November 2011
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
Vol. 3, No. 3, Nopember 2009 Utama, Agung dan Fahmy Radhi, pp. 167-174, Pengaruh Penerapan Total Quality Management dan Just In Time Terhadap Kinerja Operasional dan Keunggulan Kompetitif Badrudin, Rudy dan Ina Hamsinah, pp. 175-185, Aspek Keseimbangan Pasar pada Fenomena Kenaikan Tiket Angkutan Umum Kereta Api pada Masa Lebaran Tahun 2009 Fatihudin, Didin dan Noto Adam, Misrin Hariyadi, serta Iis Holisin, pp. 187-191, Model Pengembangan dan Peningkatan Pendapatan Home Industry Sepatu/Sandal Melalui Peningkatan Modal, Keterampilan, dan Perluasan Pasar di Kemasan Krian Sidoarjo Algifari, pp. 193-201, Pengaruh Defisit Anggaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Pasaribu, Rowland Bismark Fernando, pp. 203-223, Kinerja Pasar dan Informasi Akuntansi sebagai Pembentuk Portofolio Saham Astutik, Lya Dwi dan Nur Fadjrih Asyik, pp. 225-237, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kepuasan Nasabah dalam Penggunaan Automatic Teller Machine (ATM) Bersama pada PT Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk Surabaya Vol. 4, No. 1, Maret 2010 Maharani, Putri Nazma, pp. 1-20, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi -Niat Konsumen dalam Pembelian Produk The Body Shop Algifari, pp. 21-29, Model Vector Autoregressive Laju Inflasi dan Tingkat Bunga di Indonesia Ekoningtyas, Deassy, pp. 31-42, Pengaruh Stres Kerja Terhadap Motivasi Kerja dan Kinerja Karyawan yang akan Menjelang Pensiun di PT. Krakatau Steel Cilegon Paramita, Dilha Ayu, pp. 43-50, Perilaku Transformasional Dosen pada Motivasi Mahasiswa Serta Dampaknya pada Pembelajaran, Pemberdayaan, dan Kepuasan Mahasiswa Kusumawati, Heni dan M. Hadi Suparyono, pp. 51-61, Menentukan Acuan Nilai Tukar Rupiah dengan Komparasi Nilai Tukar Hard Currencies Mardatillah, pp. 63-69, Identifikasi Kebutuhan-Kebutuhan yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi Dosen Wanita pada Perguruan Tinggi Swasta (PTS) Di Balikpapan Vol. 4, No. 2, Juli 2010 Oktovianus, Rustama T., pp. 71-88, Pengaruh Iklan Informatif dan Persuasif Terhadap Niat Membeli yang Dimediasi oleh Persepsi Kualitas
ISSN: 1978-3116 Vol. 5, No. 3, November 2011
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
Laksmidewi, AA. Ayu TP., pp. 89-108, Pengaruh Faktor Kekompakan, Motivasi, dan Peran Kepemimpinan Ketua Kelompok terhadap Keberhasilan Usaha Perikanan Wahyuni, RR. Yun, pp. 109-123, Analisis Optimalisasi Retribusi Pasar di Kabupaten Sleman Prabu, Damar Sasongko W., pp. 125-138, Pengaruh Langsung dan Pengaruh Tidak Langsung Keinovatifan Individu dalam Teknologi Informasi pada Computer Self- Efficacy dengan Computer Anxiety sebagai Variabel Pemediasi Lim, Yohanes Tael, pp. 139-146, Pengaruh Misleading Price Advertising terhadap Kredibilitas Iklan dan Kesediaan Membeli pada Jasa Operator Seluler Kusreni, Sri, pp. 147-160, Ekspor Indonesia ke Triad Market Global Pasca Krisis Keuangan Amerika Serikat Tahun 2008-2009 Vol. 4, No. 3, Nopember 2010 Radhi, Fahmy, pp. 161-171, Analisis Kualitas Jasa dengan Servqual Model Studi Pada Angkutan Penyeberangan Antar Pulau di Kawasan Pariwisata di Indonesia Susanti, Anggraheni Niken, Rahmawati, dan Y. Anni Aryani, pp. 173-183, Pengaruh Mekanisme Corporate Governance terhadap Nilai Perusahaan dengan Kualitas Laba sebagai Variabel Intervening pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2004-2007 Dais, M. Chairul, pp. 185-199, Pengaruh Kepuasan Kompensasi pada Perilaku Melayani dan Dampaknya pada Kinerja Karyawan Amelia, Anisah, pp. 201-220, Pengaruh Work-To-Family Conflict dan Family-To-Work Conflict terhadap Kepuasan dalam Bekerja, Keinginan Pindah Tempat Kerja, dan Kinerja Karyawan M. Vera Mini, pp. 221-238, Pengaruh Pengalaman Konsumen pada Sikap, Persepsi dan Perilaku yang Ditampakkan Saat Mengalami Ketidakpuasan atau Keluhan: Studi Kasus PDAM di Kota Brebes Frinces, Zein Heflin, pp. 239-247, Indonesia’s Economic Response To Global Economic Crises: A Conceptual Approach Vol. 5, No. 1, Maret 2011 Widodo, pp. 1-12, Model Pengembangan Evaluasi Strategi Lubis, Dharmawan, pp. 13-27, Pengaruh Brand Characteristic terhadap Kepercayaan dan Niat Beli
ISSN: 1978-3116 Vol. 5, No. 3, November 2011
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
Konsumen serta Dampaknya pada Loyalitas Konsumen Rahardja, Conny Tjandra, pp. 29-44, Pengaruh Tipe-Tipe Kepribadian Personality Plus terhadap Pencapaian Akademik Mahasiswa (Kasus Pada Mahasiswa S1 Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta) Jenny, pp. 45-59, Manajemen Laba dan Minimalisasi Pajak Penghasilan dengan Berlakunya UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008 Tiastono, Taufan, pp. 61-73, Manajemen Laba Nyata sebagai Pemediasi Hubungan Ukuran Kepemilikan Institusional dengan Kinerja Keuangan Azali, Liasari dan Baldric Siregar, pp. 75-86, Abnormal Return Sekitar Penutupan Bursa Efek Indonesia Tanggal 8 Oktober 2008: Studi Peristiwa Berbasis Data Intraday Vol. 5, No. 2, Juli 2011 Pasaribu, Rowland Bismark Fernando, pp. 87-115, Anomali Overreaction di Bursa Efek Indonesia: Penelitian Saham LQ-45 Khasanah, Mufidhatul dan Rudy Badrudin, pp. 117-132, Pengaruh Belanja Modal pada APBD terhadap Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Dalam Era Otonomi Daerah Wisudha, Pandu Fajar, pp. 133-143, Analisis Pengaruh Dividen dan Aliran Kas Bebas terhadap Leverage Perusahaan dengan Moderasi Set Kesempatan Investasi Susanti, Serli Ike Ari, pp. 145-161, Pengaruh Kualitas Corporate Governance, Kualitas Audit, dan Earnings Management terhadap Kinerja Perusahaan Handayani, Rini dan Sutianingsih, pp. 163-172, Analisis Kualitas Informasi Keuangan terhadap Kinerja dan Kemampuan Perusahaan Mengakses Modal Eksternal Pramushinta dan Baldric Siregar, pp. 173-189, Pengaruh Layanan Fiskus dan Pelaksanaan Sunset Policy terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dalam Upaya Peningkatan Pajak
ISSN: 1978-3116
JURNA L
Vol. 5, No. 3, November 2011
EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
PEDOMAN PENULISAN
JURNAL EKONOMI & BISNIS (JEB) Ketentuan Umum 1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai dengan format yang ditentukan. 2. Penulis mengirim tiga eksemplar naskah dan satu compact disk (CD) yang berisikan naskah tersebut kepada redaksi. Satu eksemplar dilengkapi dengan nama dan alamat sedang dua lainnya tanpa nama dan alamat yang akan dikirim kepada mitra bestari. Naskah dapat dikirim juga melalui e-mail. 3. Naskah yang dikirim belum pernah diterbitkan di media lain yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh semua penulis bahwa naskah tersebut belum pernah dipublikasikan. Pernyataan tersebut dilampirkan pada naskah. 4. Naskah dan CD dikirim kepada Editorial Secretary Jurnal Ekonomi & Bisnis (JEB) Jalan Seturan Yogyakarta 55281 Telpon (0274) 486160, 486321 ext. 1332 Fax. (0274) 486155 e-mail:
[email protected] Standar Penulisan 1. Naskah diketik menggunakan program Microsoft Word pada ukuran kertas A4 berat 80 gram, jarak 2 spasi, jenis huruf Times New Roman berukuran 12 point, margin kiri 4 cm, serta margin atas, kanan, dan bawah masing-masing 3 cm. 2. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan. Gambar dan tabel dikelompokkan bersama pada lembar terpisah di bagian akhir naskah. 3. Angka dan huruf pada gambar, tabel, atau histogram menggunakan jenis huruf Times New Roman berukuran 10 point. 4. Naskah ditulis maksimum sebanyak 15 halaman termasuk gambar dan tabel. Urutan Penulisan Naskah 1. Naskah hasil penelitian terdiri atas Judul, Nama Penulis, Alamat Penulis, Abstrak, Pendahuluan, Materi dan Metode, Hasil, Pembahasan, Ucapan Terima Kasih, dan Daftar Pustaka. 2. Naskah kajian pustaka terdiri atas Judul, Nama Penulis, Alamat Penulis, Abstrak, Pendahuluan, Masalah dan Pembahasan, Ucapan Terima Kasih, dan Daftar Pustaka. 3. Judul ditulis singkat, spesifik, dan informatif yang menggambarkan isi naskah maksimal 15 kata. Untuk kajian pustaka, di belakang judul harap ditulis Suatu Kajian Pustaka. Judul ditulis dengan huruf kapital dengan jenis huruf Times New Roman berukuran 14 point, jarak satu spasi, dan terletak di tengah-tengah tanpa titik. 4. Nama Penulis ditulis lengkap tanpa gelar akademis disertai alamat institusi penulis yang dilengkapi dengan nomor kode pos, nomor telepon, fax, dan e-mail.
ISSN: 1978-3116 Vol. 5, No. 3, November 2011
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
5.
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
14.
Abstrak ditulis dalam satu paragraf tidak lebih dari 200 kata menggunakan bahasa Inggris. Abstrak mengandung uraian secara singkat tentang tujuan, materi, metode, hasil utama, dan simpulan yang ditulis dalam satu spasi. Kata Kunci (Keywords) ditulis miring, maksimal 5 (lima) kata, satu spasi setelah abstrak. Pendahuluan berisi latar belakang, tujuan, dan pustaka yang mendukung. Dalam mengutip pendapat orang lain dipakai sistem nama penulis dan tahun. Contoh: Badrudin (2006); Subagyo dkk. (2004). Materi dan Metode ditulis lengkap. Hasil menyajikan uraian hasil penelitian sendiri. Deskripsi hasil penelitian disajikan secara jelas. Pembahasan memuat diskusi hasil penelitian sendiri yang dikaitkan dengan tujuan penelitian (pengujian hipotesis). Diskusi diakhiri dengan simpulan dan pemberian saran jika dipandang perlu. Pembahasan (review/kajian pustaka) memuat bahasan ringkas mencakup masalah yang dikaji. Ucapan Terima Kasih disampaikan kepada berbagai pihak yang membantu sehingga penelitian dapat dilangsungkan, misalnya pemberi gagasan dan penyandang dana. Ilustrasi: a. Judul tabel, grafik, histogram, sketsa, dan gambar (foto) diberi nomor urut. Judul singkat tetapi jelas beserta satuan-satuan yang dipakai. Judul ilustrasi ditulis dengan jenis huruf Times New Roman berukuran 10 point, masuk satu tab (5 ketukan) dari pinggir kiri, awal kata menggunakan huruf kapital, dengan jarak 1 spasi b. Keterangan tabel ditulis di sebelah kiri bawah menggunakan huruf Times New Roman berukuran 10 point jarak satu spasi. c. Penulisan angka desimal dalam tabel untuk bahasa Indonesia dipisahkan dengan koma (,) dan untuk bahasa Inggris digunakan titik (.). d. Gambar/Grafik dibuat dalam program Excel. e. Nama Latin, Yunani, atau Daerah dicetak miring sedang istilah asing diberi tanda petik. f. Satuan pengukuran menggunakan Sistem Internasional (SI). Daftar Pustaka a. Hanya memuat referensi yang diacu dalam naskah dan ditulis secara alfabetik berdasarkan huruf awal dari nama penulis pertama. Jika dalam bentuk buku, dicantumkan nama semua penulis, tahun, judul buku, edisi, penerbit, dan tempat. Jika dalam bentuk jurnal, dicantumkan nama penulis, tahun, judul tulisan, nama jurnal, volume, nomor publikasi, dan halaman. Jika mengambil artikel dalam buku, cantumkan nama penulis, tahun, judul tulisan, editor, judul buku, penerbit, dan tempat. b. Diharapkan dirujuk referensi 10 tahun terakhir dengan proporsi pustaka primer (jurnal) minimal 80%. c. Hendaknya diacu cara penulisan kepustakaan seperti yang dipakai pada JAM/JEB berikut ini:
Jurnal Yetton, Philip W., Kim D. Johnston, and Jane F. Craig. Summer 1994. “Computer-Aided Architects: A Case Study of IT and Strategic Change.”Sloan Management Review: 57-67.
ISSN: 1978-3116 Vol. 5, No. 3, November 2011
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
Buku Paliwoda, Stan. 2004. The Essence of International Marketing. UK: Prentice-Hall, Ince. Prosiding Pujaningsih, R.I., Sutrisno, C.L., dan Sumarsih, S. 2006. Kajian kualitas produk kakao yang diamoniasi dengan aras urea yang berbeda. Di dalam: Pengembangan Teknologi Inovatif untuk Mendukung Pembangunan Peternakan Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional dalam Rangka HUT ke-40 (Lustrum VIII) Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman; Purwokerto, 11 Pebruari 2006. Fakutas Peternakan UNSOED, Purwokerto. Halaman 54-60. Artikel dalam Buku Leitzmann, C., Ploeger, A.M., and Huth, K. 1979. The Influence of Lignin on Lipid Metabolism of The Rat. In: G.E. Inglett & S.I.Falkehag. Eds. Dietary Fibers Chemistry and Nutrition. Academic Press. INC., New York. Skripsi/Tesis/Disertasi Assih, P. 2004. Pengaruh Kesempatan Investasi terhadap Hubungan antara Faktor Faktor Motivasional dan Tingkat Manajemen Laba. Disertasi. Sekolah Pascasarjana S-3 UGM. Yogyakarta. Internet Hargreaves, J. 2005. Manure Gases Can Be Dangerous. Department of Primary Industries and Fisheries, Queensland Govermment. http://www.dpi.gld.gov.au/pigs/ 9760.html. Diakses 15 September 2005. Dokumen [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman. 2006. Sleman Dalam Angka Tahun 2005.
Mekanisme Seleksi Naskah 1. 2. 3.
Naskah harus mengikuti format/gaya penulisan yang telah ditetapkan. Naskah yang tidak sesuai dengan format akan dikembalikan ke penulis untuk diperbaiki. Naskah yang sesuai dengan format diteruskan ke Editorial Board Members untuk ditelaah diterima atau ditolak. 4. Naskah yang diterima atau naskah yang formatnya sudah diperbaiki selanjutnya dicarikan penelaah (MITRA BESTARI) tentang kelayakan terbit. 5. Naskah yang sudah diperiksa (ditelaah oleh MITRA BESTARI) dikembalikan ke Editorial Board Members dengan empat kemungkinan (dapat diterima tanpa revisi, dapat diterima dengan revisi kecil (minor revision), dapat diterima dengan revisi mayor (perlu direview lagi setelah revisi), dan tidak diterima/ditolak). 6. Apabila ditolak, Editorial Board Members membuat keputusan diterima atau tidak seandainya terjadi ketidaksesuaian di antara MITRA BESTARI. 7. Keputusan penolakan Editorial Board Members dikirimkan kepada penulis. 8. Naskah yang mengalami perbaikan dikirim kembali ke penulis untuk perbaikan. 9. Naskah yang sudah diperbaiki oleh penulis diserahkan oleh Editorial Board Members ke Managing Editors. 10. Contoh cetak naskah sebelum terbit dikirimkan ke penulis untuk mendapatkan persetujuan. 11. Naskah siap dicetak dan cetak lepas (off print) dikirim ke penulis.