Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA MURASHIGE DAN SKOOG (MS) DAN VITAMIN TERHADAP TEKSTUR, WARNA DAN BERAT KALUS RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum) CV. HAWAII PASCA RADIASI SINAR GAMMA PADA DOSIS LD50 (IN VITRO) THE EFFECT OF USING MURASHIGE AND SKOOG MEDIUM (MS) AND VITAMIN TO CALLUS REGENERATION OF NAPIER GRASS (Pennisetum purpureum) CV. HAWAII POST ON GAMMA RADIATION LD50 DOSES (IN VITRO) Erizka Fauzy*, Mansyur**, Ali Husni*** Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung – Sumedang KM 21 Sumedang 45363 *Alumni Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Tahun 2016 **Staf Pengajar Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran ***Kelti Biologi Sel dan Jaringan BB Biogen Bogor e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi konsentrasi media dasar MS dan berbagai vitamin serta mendapatkan kombinasi media yang terbaik terhadap pertumbuhan kalus rumput gajah Pennisetum purpureum cv. Hawaii menjadi kalus yang siap diregenerasikan menjadi organ sebagai strategi untuk pengembangan hijauan melalui bioteknologi pakan ternak ruminansia dalam rangka mendukung upaya pengembangan ternak ruminansia secara in vitro. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor, 6 perlakuan dan 10 kali ulangan sehingga jumlah unit percobaan sebanyak 60 botol kultur. Kombinasi konsentrasi ZPT yang dilakukan pada media kultur adalah : P0= MS 100% + Vitamin MS; P1= MS 50% + Vitamin MS; P2= MS 100% + Vitamin MW; P3= MS 50% + Vitamin MW; P4= MS 100% + Vitamin B5; dan P5= MS 50% + Vitamin B5. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam dengan taraf signifikansi 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara perlakuan media dasar MS dan vitamin terhadap kalus yang diamati, tetapi media berpengaruh terhadap berat akhir kalus (signifikan di 0,006) pada perlakuan media. Penggunaan kombinasi konsentrasi media dasar MS dan vitamin juga memberikan pengaruh tekstur kalus rumput gajah Pennisetum purpureum cv. Hawaii pasca radiasi sinar gamma pada dosis LD50 dominan remah dan warna kecoklatan. Kata kunci: Rumput Gajah, Kultur Jaringan, Kalus, Media MS, Radiasi, Sinar Gamma ABSTRACT This study aims to know the effect of MS media and a variety of vitamins and get the best combination of media on callus growth of elephant grass Pennisetum purpureum Hawaii cultivar became callus ready regenerated into organs as a strategy for the development of forage through biotechnology ruminant feed in order to support the development efforts of ruminants in vitro. This research was conducted by using experimental methods. The design used was completely randomized design (CRD) with 2 factors, 6 treatments and 10 replications so that the number of experimental units were 60 culture bottle. The combination of concentration of PGR conducted in the culture medium is: P0 = MS 100% + Vitamin MS; P1 = 50% + Vitamin MS MS; P2 = MS 100% + Vitamin MW; P3 = MS 50% + Vitamin MW; P4 = MS 100% + Vitamin B5; and P5 = MS 50% + Vitamin B5. The data were analyzed by analysis of variance with significance level of 5%. The results showed that there was no Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 1
Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy interaction between MS and vitamin basic media against callus was observed, but the media influence the final weight of the callus (significant at 0,006) on the media's treatment. The combined use of basic MS medium concentrations and vitamin also influence callus texture of napier grass Pennisetum purpureum cv. Hawaii post gamma radiation LD50 doses dominant crumb and brownish color. Keywords: Napier Grass, Tissue Culture, Callus, MS media, Irradiation, Gamma Rays PENDAHULUAN Pakan merupakan faktor utama yang perlu diperhatikan dalam pengembangan usaha peternakan. Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas maupun kontinuitasnya merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan usaha peternakan ruminansia. Hijauan merupakan sumber bahan pakan yang utama dan sangat besar peranannya baik untuk hidup pokok, produksi maupun reproduksi bagi ternak ruminansia. Sumber utama hijauan pakan adalah berasal dari rumput. Rumput sebagai hijauan pakan telah umum digunakan oleh peternak dan dapat diberikan dalam jumlah yang besar. Rumput mengandung zat-zat makanan yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup ternak seperti air, lemak, serat kasar, protein, mineral serta vitamin. Rumput gajah Pennisetum purpureum cv. Hawaii merupakan salah satu rumput yang sangat potensial dan sering diberikan pada ternak ruminansia. Salah satu masalah pada peternakan ruminansia adalah penyediaan pakan hijauan segar yang sudah lama dirasakan para peternak di Indonesia, khususnya di daerah yang memiliki musim kemarau panjang. Hal ini disebabkan oleh penyediaan hijauan pakan yang memiliki kendala dengan terjadinya perubahan fungsi lahan yang sebelumnya sebagai sumber hijauan pakan menjadi lahan pemukiman, lahan untuk tanaman pangan dan tanaman industri (Djajanegara, 1999). Selain itu, ketersediaan hijauan pakan juga dipengaruhi oleh musim, sehingga pada musim kemarau terjadi kekurangan hijauan pakan. Seiring dengan meningkatnya permintaan dan kebutuhan akan hijauan pakan, maka perlu dilakukan upaya perbanyakan tanaman dalam jumlah besar dan dalam waktu yang singkat. Salah satu alternatif untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan melakukan perbanyakan tanaman secara vegetatif modern yaitu kultur jaringan. Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman (daun muda, mata tunas, ujung akar, keping Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 2
Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy
biji atau bagian lain yang bersifat meristematik) serta menumbuhkannya dalam media buatan yang kaya nutrisi dengan penambahan zat pengatur tumbuh (ZPT) secara aseptic (steril) dalam wadah in vitro yang tembus cahaya sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali. Perbanyakan tanaman dengan metode kultur jaringan dapat menghasilkan bibit tanaman dalam jumlah banyak pada waktu yang singkat, tidak bergantung pada musim dan bibit yang dihasilkan bebas hama dan penyakit. Keberhasilan kultur jaringan ditentukan oleh media kultur jaringan yang merupakan tempat tumbuh bagi eksplan. Media tersebut harus mengandung semua zat yang diperlukan eksplan untuk menjamin pertumbuhan eksplan yang ditanam. Media dasar MS (Murashige dan Skoog) yang merupakan salah media yang paling banyak digunakan dalam kultur jaringan. Saat ini sudah banyak penelitian dengan menggunakan media MS yang dimodifikasi. Modifikasi media dimaksudkan untuk mengetahui kebutuhan hara yang tepat bagi eksplan untuk tumbuh dan berkembang pada media kultur jaringan dan terbebas dari kontaminasi. Menurut Umami (2012), salah satu faktor yang berpengaruh adalah ZPT. ZPT merupakan senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit yang dapat mendukung, menghambat dan dapat mengubah proses fisiologi tumbuhan. Auksin dan sitokinin merupakan ZPT yang sering dipakai dalam kultur jaringan untuk inisiasi kalus. Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) merupakan auksin sintetik yang sangat efektif untuk induksi pertumbuhan kalus dan untuk memproduksi metabolit sekunder (Chawla, 2002), sedangkan Benzyl Adenin (BA) merupakan sitokinin sintetik yang sering dikombinasikan dengan auksin (Kyte dan Kleyn, 1996). Kombinasi ZPT yang ditambahkan ke dalam media tanam merupakan faktor utama penentu keberhasilan kultur in vitro. Keragaman somaklonal dapat ditingkatkan melalui kombinasi teknik in vitro melalui kultur jaringan dengan perlakuan mutasi fisik radiasi sinar gamma. Aplikasi radiasi untuk mendapatkan keragaman genetik baru rumput gajah dapat dilakukan terhadap populasi kalus embriogenik hasil kultur in vitro. Populasi kalus yang sudah diiradiasi langsung diseleksi
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 3
Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy
secara in vitro dalam media kultur menggunakan komponen seleksi bergantung pada arah dan tujuan pemuliaan. Radiosensitivitas adalah tingkat sensitivitas (kepekaan) eksplan terhadap paparan radiasi yang berhubungan dengan kematian atau hilangnya kemampuan pembelahan sel (Datta, 2001). Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat radiosensitivitas populasi kalus embriogenik hasil kultur in vitro yaitu melalui nilai Lethal Dose 50 (LD50). LD50 yaitu dosis yang mengakibatkan kematian 50% dari populasi kalus embriogenik yang diradiasi. Dosis optimal dalam induksi mutasi yang menimbulkan keragaman dan menghasilkan mutan terbanyak biasanya terjadi di sekitar LD50. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui interaksi kombinasi media dasar MS dan vitamin yang terbaik serta pengaruhnya terhadap berat akhir, visual tekstur dan warna kalus yang dapat meregenerasi kalus rumput gajah Pennisetum purpureum cv. Hawaii pasca radiasi sinar gamma pada dosis LD50.
BAHAN DAN METODE 1.
Kalus Percobaan Penelitian menggunakan kalus embriogenik rumput gajah Pennisetum purpureum cv.
Hawaii asal eksplan bagian batang berumur 7 minggu dengan media perlakuan sebelumnya MS + 2,4-D 2 mg/L dan ukuran skala 5 clay models. Kalus yang digunakan berupa kalus embriogenik yang berwarna putih kekuningan pasca diradiasi sinar gamma 80 Gy. 2.
Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari Media MS (Murashige & Skoog),
vitamin MS, MW dan B5 (komposisi terlampir), alcohol 70% dan 96%, aquades dan agaragar. 3.
Alat Adapun beberapa jenis peralatan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya
Laminar air flow cabinet (LAFC), autoclave, gelas ukur, Erlenmeyer, beaker glass, magnetic stirrer, mikro pipet, timbangan analitik, botol kultur, spatula, pH meter, pinset dan scalpel, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 4
Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy
petridish, alumunium foil dan plastic wrap, sprayer, lampu spirtus/ Bunsen, lampu TL, rak kultur, ATK dan label, masker dan kamera. 4.
Metode Tahap Persiapan a. Mensterilisasi ruangan dan LAFC. Ruangan disterilisasi menggunakan alkohol 70%. Kemudian LAFC disterilisasi dengan cara menyeprotkan alkohol 70% ke seluruh bagian dinding LAFC dan dilap dengan tisu, kemudian menyalakan sinar UV. b. Mensterilisasi alat. Semua peralatan yang digunakan seperti botol kultur, cawan petri dan alat-alat gelas dicuci bersih dengan air sabun, lalu disterilisasi dengan autoclave pada temperatur 121°C, tekanan 80 psi selama 1 jam. Adapun sterilisasi alat menggunakan api yang dilakukan pada saat subkultur dengan menggunakan alkohol 96% dan menggunakan pembakaran di atas api Bunsen. c. Pembuatan Larutan Stok. Pembuatan larutan stok media yaitu dengan menimbang bahan-bahan kimia, hara makro, hara mikro maupun ZPT serta penambahan sukrosa sesuai konsentrasi (prosedur terlampir). Bahan-bahan tersebut dilarutkan dengan aquades dan diaduk sampai homogen dengan magnetic stirrer yang kemudian dimasukan ke dalam botol kultur dan diberi label. Media yang digunakan adalah media MS kemudian diambil sesuai dengan perlakuan yaitu MS penuh (100%) dan ½ MS (50%). d. Pembuatan stok ZPT. ZPT yang akan digunakan adalah Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) dengan pelarut etanol pekat dan Benzyl Adenine (BA) dengan pelarut NaOH. e. Pembuatan stok vitamin dan asam amino. Vitamin dan asam amino yang akan digunakan adalah vitamin MS, vitamin MW dan vitamin B5 (komposisi terlampir) serta asam amino casein hydrolisate. f. Pengukuran pH. pH media diatur pada kisaran 5,7-5,8 yang diukur menggunakan pH meter. Apabila pH terlalu rendah ditambahkan dengan sodium hydroxyde (NaOH) dan bila pH terlalu tinggi ditambahkan dengan hydrochloric acid (HCl) Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 5
Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy
tetes demi tetes hingga pH sesuai kebutuhan. Konsentrasi NaOH dan HCl yang digunakan yaitu 1 N dan 0,1 N. Setelah pH sudah sesuai, kemudian larutan ditambahkan bahan pemadat media yaitu agar-agar (phytagel). g. Setelah semua larutan terlarut menjadi media, larutan dipanaskan hingga mendidih di atas hot plate berpengaduk magnetik. h. Larutan yang telah masak dituang ke dalam botol kultur steril masing-masing 25 mL, kemudian ditutup dengan alumunium foil dan selanjutnya disterilisasi dalam autoclave dengan suhu 121°C 80 psi. i. Media yang telah steril ditempatkan pada rak di ruang kultur supaya media menjadi padat dan subkultur kalus dapat dilakukan. j. Subkultur. Subkultur dilakukan setelah kalus yang telah diradiasi berumur 7 minggu. Kalus yang telah diradiasi tersebut disubkultur dalam media perlakuan. Kalus yang disubkultur berupa kalus yang berwarna putih kekuningan dengan struktur kompak. Subkultur kalus dilakukan di dalam LAFC. Sebelum subkultur dilakukan, LAFC disemprot dengan alkohol 70% lalu dibersihkan dengan menggunakan tissue, kemudian lampu dan blower pada LAFC dinyalakan. Semua alat-alat dan botol-botol kultur yang akan digunakan juga disemprot alkohol dan dimasukkan ke dalam LAFC. Sebelum disubkultur kalus ditimbang dengan timbangan analitik dengan masing-masing ±0,5 g per botol perlakuan. Pada saat subkultur, semua alat yang digunakan tetap harus dalam keadaan steril yaitu dengan cara sterilisasi celup bakar. Botol-botol berisi media yang sudah disterilkan dibuka tutupnya dengan menggunakan pinset yang telah dicelupkan pada alkohol dan dibakar. Proses ini dilakukan dengan menggunakan lampu spirtus sambil memutar mulut botol dengan titik tengah sebagai poros. Bila struktur kalus remah maka pemindahan kalus cukup dilakukan dengan menyendok kalus dengan spatula atau scalpel dan langsung disubkultur ke media baru. Namun bila kalus kompak terlebih dahulu dipindahkan ke dalam petridish steril untuk dipotong-potong dengan scalpel kemudian disubkultur ke media baru. Kalus yang sudah mengalami nekrosis (pencoklatan) tidak ikut disubkultur karena tidak akan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 6
Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy
tumbuh dengan baik. Kalus diambil dengan cara memindahkan kalus menggunakan pinset steril dan spatula dari botol sebelumnya ke botol baru yang telah terisi media perlakuan. Setiap botol berisi 1-3 clumps dengan berat sama yaitu ±0,5 g. Botol yang berisi kalus tersebut ditutup kembali dengan alumunium foil dan dilapisi plastic wrap. Kalus yang sudah disubkultur diletakkan pada rak di ruang kultur. Botol-botol diletakkan sesuai perlakuan dan ulangannya. Kultur disimpan dalam keadaan terang dalam ruang kultur pada temperatur ±25°C dengan kelembaban relatif ±60%. Penyinaran diberikan selama 16 jam setiap hari dengan intensitas 1000-1500 Lux. Pengamatan pasca subkultur dilakukan selama 5 minggu dengan pengamatan warna dan tipe kalus. Tahap penelitian Penelitian dilakukan selama 7 minggu. Pengamatan visual pada perlakuan dilakukan setiap hari. Tahap Koleksi Data Pengambilan data berat awal kalus dilakukan di 0 MST yaitu sebelum kalus disubkultur pada media perlakuan sebesar ±0,5 g per botol perlakuan dan berat akhir kalus diambil pada saat pengamatan visual sudah selesai dilakukan pada 5 MST. Penimbangan berat dilakukan dengan timbangan analitik yang dilakukan di LAFC. Tahap Analisis Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis data secara kualitatif merupakan data yang diperoleh dari tipe dan warna kalus yang dihasilkan dari pengamatan secara visual yang terjadi pada kalus rumput gajah Pennisetum purpureum cv. Hawaii setelah subkultur, sedangkan data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan analisis ragam berdasarkan uji F taraf 5%. Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor. Jumlah perlakuan seluruhnya berjumlah 6 kombinasi perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang 10 kali sehingga jumlah unit percobaan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 7
Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy
sebanyak 60 botol kultur. Setiap satu botol kultur ditanam ± 0,5 g kalus dengan 1-3 clumps. Adapun perlakuannya yaitu : P0= Kalus Rumput Gajah cv. Hawaii pasca radiasi LD50 + MS 100% + 2,4-D 2 mg/L + BA 0,3 mg/L +Vitamin MS + Casein hydrolisate 300 mg/L P1= Kalus Rumput Gajah cv. Hawaii pasca radiasi LD50 + MS 50% + 2,4-D 2 mg/L + BA 0,3 mg/L + Vitamin MS + Casein hydrolisate 300 mg/L P2= Kalus Rumput Gajah cv. Hawaii pasca radiasi LD50 + MS 100% + 2,4-D 2 mg/L + BA 0,3 mg/L + Vitamin MW +Casein hydrolisate 300 mg/L P3= Kalus Rumput Gajah cv. Hawaii pasca radiasi LD50 + MS 50% + 2,4-D 2 mg/L + BA 0,3 mg/L + Vitamin MW + Casein hydrolisate 300 mg/L P4= Kalus Rumput Gajah cv. Hawaii pasca radiasi LD50 + MS 100% + 2,4-D 2 mg/L + BA 0,3 mg/L + Vitamin B5 + Casein hydrolisate 300 mg/L P5= Kalus Rumput Gajah cv. Hawaii pasca radiasi LD50 + MS 50% + 2,4-D 2 mg/L + BA 0,3 mg/L + Vitamin B5 + Casein hydrolisate 300 mg/L
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini telah dilaksanakan selama 7 minggu. Penimbangan berat akhir kalus dilaksanakan pada akhir penelitian, namun pada pelaksanaannya 5 unit botol kultur terkontaminasi dan 1 unit botol kultur lainnya rusak sebelum koleksi data dilakukan. Oleh karena itu, analisis statistik dilakukan dengan jumlah ulangan yang tidak sama dengan berdasar pada Gomez dan Gomez (1995). Morfologi Kalus Pennisetum purpureum cv. Hawaii Morfologi kalus Pennisetum purpureum cv. Hawaii yang diamati setelah subkultur dengan media perlakuan meliputi tekstur dan warna. Pengamatan dilakukan 1 minggu setelah subkultur, selanjutnya pengamatan dilakukan setiap hari sekali, dan pengamatan ini berlangsung selama 5 minggu. Pengamatan dilakukan untuk melihat respon terbaik kalus Pennisetum purpureum cv. Hawaii yang diberi media perlakuan.
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 8
Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy Tekstur Kalus Pennisetum purpureum cv. Hawaii Tekstur kalus merupakan hal penting untuk diperhatikan dalam proses regenerasi karena dapat menjadi petunjuk awal keberhasilan regenerasi. Pengamatan teksktur kalus ini dilakukan secara visual dan menggunakan pinset dan scalpel pada saat menimbang berat akhir kalus. Pengamatan tekstur kalus dilakukan pada akhir pengamatan untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Teksktur kalus yang dihasilkan pada berbagai kombinasi konsentrasi ZPT dan vitamin pada media kultur MS kombinasi ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5. Tekstur Kalus Pennisetum purpureum cv. Hawaii Umur 5 MST Vitamin Media Ulangan MS (P0) MW (P2) B5 (P4) 1 Kompak Remah Terkontaminasi 2 Terkontaminasi Remah Kompak 3 Kompak Remah Kompak 4 Kompak Remah Kompak 5 Remah Kompak Kompak MS 100% 6 Kompak Kompak Terkontaminasi 7 Remah Remah Kompak 8 Kompak Remah Remah 9 Kompak Kompak Kompak 10 Kompak Remah Remah MS (P1) MW (P3) B5 (P5) 1 Remah Kompak Remah 2 Kompak Kompak Remah 3 Terkontaminasi Remah Remah 4 Remah Kompak Kompak 5 Remah Remah Remah MS 50% 6 Rusak Remah Remah 7 Remah Remah Remah 8 Remah Remah Remah 9 Terkontaminasi Remah Remah 10 Remah Remah Remah Keterangan : Remah = tekstur kalus kering (embriogenik); Kompak = tekstur kalus lembut (non embriogenik) Tabel 5 menunjukkan respon kalus yang dikulturkan pada berbagai media kultur memperlihatkan perbedaan terhadap tekstur kalus rumput gajah Pennisetum purpureum cv. Hawaii. Tekstur kalus yang terbentuk pada penelitian ini didominasi oleh tekstur remah terutama pada kalus pada perlakuan P5 yakni MS 50% dan Vitamin B5. Tekstur yang remah
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 9
Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy
ini menandakan adanya indikasi sifat-sifat embriogenik yang mengarah kepada perkembangan embriosomatik (Zulkarnain dan Lizawati, 2011). Pembelahan sel-sel pada kalus dipacu oleh hormon endogen dan eksogen auksin dan sitokinin yang ditambahkan pada media kultur. Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara in vitro dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi dari ZPT yang berada dalam eksplan (endogen) dengan ZPT yang diserap dari media tumbuh (eksogen). Bentuk keseimbangan yang terjadi akan menentukan arah dan bentuk pertumbuhan, sehingga berbagai kombinasi konsentrasi auksin dan sitokinin pada media perlakuan yang seimbang mampu mendorong perkembangan kalus agar tetap hidup. Perubahan tekstur kalus terjadi karena adanya perubahan kromosom atau gen sehingga meningkatkan keragaman somaklonal kalus. Hal ini dapat dibuktikan dengan perubahan tekstur kalus sebelum disubkultur yang berstruktur kompak menjadi remah setelah disubkultur. Wattimena dkk., (1992) menyatakan bahwa pembentukkan kalus atau organ pada kultur in vitro lebih dipengaruhi oleh genotipe, inisiasi kultur, lingkungan tumbuh dan fisiologi jaringan yang digunakan. Perbedaan yang terjadi akan lebih besar jika eksplan tersusun lebih dari satu jenis sel (George dan Sherrington, 1984). Menurut Street (1973), struktur kalus yang kompak memiliki susunan sel-sel yang rapat, padat dan sulit dipisahkan menjadi klon-klon tunggal. Tekstur kalus yang kompak merupakan efek dari sitokinin dan auksin endogen yang mempengaruhi potensial air di dalam sel (Nisak dkk., 2012). Auksin endogen pada kalus akan melonggarkan serat-serat dinding sel, sehingga nutrisi dalam media masuk secara difusi. Hal ini akan terus berlangsung sampai potensial air dan potensial osmotik seimbang dan sel menjadi turgid atau membengkaknya sel tumbuhan karena masuknya cairan dari luar ke dalam sel. Sementara kondisi sel menjadi turgid penambahan sitokinin akan mempengaruhi pembelahan sel, sehingga pembentukan dinding sel semakin cepat dan kalus menjadi kompak.
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 10
Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy
Gambar 3. Kalus Pennisetum purpureum cv. Hawaii dengan Tekstur Kompak (kiri) dan Tekstur Remah (kanan) Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada akhir pengamatan, tekstur kalus yang dihasilkan didominasi oleh tekstur remah. Triatminingsih dkk., (2000) menyatakan bahwa bentuk dan warna kalus akan menentukan arah morfogenesis selanjutnya. Kalus yang remah cocok
dimanfaatkan
untuk
embriogenesis
sedangkan
kalus
yang
kompak
untuk
organogenesis, sehingga peluang kalus untuk dikembangkan dan ditumbuhkan lebih lanjut menjadi tanaman utuh (plantlet) menjadi lebih besar dan dapat menjadi suatu nilai tambah bagi pemuliaan tanaman secara in vitro yang dalam jangka panjang diharapkan dapat mengatasi kekurangan hijauan makanan ternak khususnya rumput gajah. Warna Kalus Pennisetum purpureum cv. Hawaii Selain tekstur, warna kalus juga merupakan penanda visual untuk menilai pertumbuhan kalus dan keberhasilan suatu regenerasi. Perbedaan warna kalus menunjukkan tingkat perkembangan fase pertumbuhan pada sel (Lampiran 10). Pada awal subkultur sebagian besar kalus dari seluruh perlakuan didominasi dengan warna kuning. Warna kalus mengalami perubahan seiring dengan pertumbuhan umur kalus, yaitu dari berwarna kuning, kuning kecoklatan, cokelat dan cokelat gelap. Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa pada kalus perlakuan P4 MS 100% + Vitamin B5 umur 2 MST, kalus berwarna kuning. Diduga warna kuning tersebut disebabkan karena klorofil yang terkandung pada kalus. Warna kalus mengindikasikan keberadaan klorofil dalam jaringan, semakin hijau warna kalus semakin banyak pula kandungan klorofilnya (Wahid, 2001). Setelah umur 3 MST kalus menjadi sedikit mencoklat, namun setelah umur 4-5 MST kalus kembali menguning. Diduga gejala pencoklatan pada kalus umur 2-3 MST tersebut terjadi karena pemberian radiasi sinar gamma yang menyebabkan kerusakan sebagian sel kalus yang berdampak pada berkurangnya
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 11
Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy
jumlah klorofil dalam sel kalus. Namun setelah kalus berumur 4-5 MST kalus dapat beradaptasi dan sel-selnya mengalami recovery (pemulihan), sehingga jumlah klorofil kalus kembali bertambah. Menurut Lestari dan Mariska (2003) terjadinya perubahan warna kalus dari kecoklatan atau dari kuning menjadi putih kekuningan selanjutnya menjadi kehijauan, merupakan tanda adanya morfogenesis atau tanda bahwa kalus yang diregenerasikan dapat membentuk tunas. Adapun warna cokelat pada kalus disebabkan penuaan. Sel-sel muda yang sehat berwarna kuning, namun akan berubah menjadi cokelat seiring dengan pertumbuhan kalus yang semakin tua (Abdullah dkk., 1998). 2 MST
3MST
4 MST
5 MST
P0
P1
P2
P3
P4
P5 Kuning Kuning Coklat Coklat Gelap Kecoklatan Gambar 4. Contoh Perkembangan Kalus Pennisetum purpureum cv. Hawaii pada 2 MST-5 MST P0 = MS 100% + Vitamin MS; P1 = MS 50% + Vitamin MS; P2 = MS 100% + Vitamin MW; P3 = MS 50% + Vitamin MW; P4 = MS 100% + Vitamin B5; P5 = MS 50% + Vitamin B5
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 12
Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy
Namun, pada beberapa kalus pada awal subkultur sudah nampak gejala pencoklatan. Menurut Lizawati (2012) kalus yang mengalami browning disebabkan oleh bertambahnya umur sel atau jaringan. Gejala pencoklatan tersebut juga diduga akibat perlakuan radiasi sinar gamma pada dosis radiasi tertentu yang memacu peningkatan kandungan fenol pada kalus rumput gajah Pennisetum purpureum cv. Hawaii. Pada kalus perlakuan P0 (MS 100% + Vitamin MS) umur 2 MST, kalus memiliki warna kuning, namun setelah berumur 3-5 MST warna kalus menjadi semakin mencoklat. Perubahan warna tersebut diduga sebagai bentuk respon stres pada kalus terhadap radiasi sinar gamma dosis yang diberikan, sehingga menstimulasi enzim tertentu untuk membentuk senyawa fenol sebagai bentuk pertahanan diri yang mengakibatkan terjadinya degradasi klorofil pada sel-sel kalus. Kemungkinan lain terjadinya reduksi klorofil pada kalus yaitu disebabkan karena proses senesen pada sel-sel kalus. Ye dkk., (2012) menyatakan bahwa hilangnya kemampuan regenerasi kalus ditandai dengan perubahan morfologi kalus yang semakin longgar, warna kalus yang berubah dari kuning kehijauan menjadi kuning kecoklatan dan menjadi coklat. Pencoklatan (browning) adalah suatu karakter munculnya warna coklat atau hitam yang sering menghambat pertumbuhan kalus. Peristiwa ini sesunggguhnya merupakan peristiwa alamiah yang sering terjadi. Pencoklatan umumnya merupakan suatu tanda-tanda kemunduran fisiologi kalus yang berakhir pada kematian kalus. Pencoklatan ini diduga terjadi akibat terlambatnya proses subkultur atau dapat juga disebabkan oleh terlalu lamanya kontak kalus dengan udara luar ketika akan disubkultur. Browning dapat terjadi pada kalus rumput gajah karena memiliki kandungan senyawa fenolik apabila teroksidasi dengan O2 akan membentuk senyawa quinon (Benyamin, 1993). Browning dipicu oleh reaksi oksidasi senyawa fenol menjadi quinon dan kemudian dipolimerasi menjadi pigmen melaniadin yang berwarna coklat, dimana proses ini dikatalisis oleh enzim fenol oksidase atau polifenol oksidase (Mardiah, 1996). Watson dkk., (1998) mengatakan apabila sel-sel kalus dilukai maka sel-sel baru cenderung tumbuh menutupi lukanya dan seiring berjalannya waktu, senyawa fenol akan tertimbun dalam sel-sel ini dan mengeraskan serta menutup lukanya secara efektif. Kegiatan pelukaan kalus pada penelitian ini dilakukan pada saat subkultur sehingga senyawa-senyawa fenol yang tertimbun tersebut Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 13
Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy
menyebabkan kalus rumput gajah Pennisetum purpureum cv. Hawaii cenderung berwarna cokelat. Tabiyeh et al. (2006) mengemukakan bahwa pencoklatan dalam kultur jaringan disebabkan karena meningkatnya produksi senyawa fenolat yang diikuti oksidasi oleh aktivitas enzim polifenol oksidase (PPO) dan polimerasinya. Fenilalanin amonia liase (PAL) adalah salah satu enzim dalam fenilpropanoid yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya pencoklatan. Salah satu penyebab utama pencoklatan dalam kultur in vitro adalah luka karena pemotongan pada jaringan. Perlukaan terjadi saat pemecahan kalus ke bagian kecil atau teknik subkultur yang kurang hati-hati, seperti penggunaan alat kultur yang masih panas, dan jarak subkultur yang terlalu dekat dengan api bunsen. Luka tersebut memacu stres pada kalus dan menyebabkan peningkatan aktivitas PAL yang diikuti oleh produksi fenilpropanoid dan menyebabkan pencoklatan. Menurut Purnawati (2012) penggunaan jaringan tanaman muda dapat mengurangi kemungkinan browning pada eksplan, karena jaringan tanaman muda memiliki kandungan fenol yang lebih rendah dibandingkan jaringan tanaman yang sudah tua. Persentase kalus browning, ditandai dengan perubahan warna pada kultur menjadi coklat. Pengamatan dilakukan diakhir pengamatan dan dihitung dengan rumus:
Tabel 6. Persentase Kalus Browning Pennisetum purpureum cv. Hawaii Umur 5 MST Vitamin Media MS (P0) MW (P2) B5 (P4) MS 100%
1,85%
7.41%
5,56%
MS (P1)
MW (P3)
B5 (P5)
5,56%
7,41%
9,26%
MS 50% Jumlah total kalus browning
37,05%
Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa jumlah persentase kalus browning pada akhir pengamatan yaitu 37,05%. Jumlah kalus yang mengalami browning dalam percobaan ini tergolong cukup rendah, diduga hal ini disebabkan kalus yang digunakan diinduksi dari jaringan muda. Kalus yang diinduksi dari jaringan muda memiliki aktivitas pembelahan sel yang masih tinggi, sehingga kemampuan pemulihan sel-sel yang rusak akibat radiasi sinar Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 14
Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy
gamma juga tinggi, selain itu menurut George dan Sherrington (1984) pencoklatan pada jaringan muda lebih sedikit dibandingkan dengan jaringan yang tua. Kalus yang mengalami browning diduga disebabkan oleh senyawa fenol yang teroksidasi akibat stres mekanik akibat perlukaan saat pemecahan kalus ke bagian yang lebih kecil saat akan disubkultur, cekaman radiasi sinar gamma, umur sel yang semakin menua (senesens) serta pemindahan atau subkultur yang terlambat. Perlakuan MS 50% + Vitamin B5 (P5) pada kalus rumput gajah Pennisetum purpureum cv. Hawaii memiliki persentase kalus browning tertinggi yaitu 9,26%. Hal ini diduga karena kandungan senyawa fenol pada kalus perlakuan P5 lebih tinggi, selain itu daya adaptasi dan recovery sel terhadap cekaman stres akibat radiasi sinar gamma juga lebih rendah dibandingkan dengan kalus pada perlakuan lainnya. Sedangkan perlakuan MS 100% + Vitamin MS (P0) merupakan perlakuan dengan jumlah kalus browning terendah, yaitu 1,85%. Hal ini diduga karena kalus pada perlakuan ini memiliki kandungan senyawa fenol yang rendah serta memiliki daya pemulihan sel yang baik terhadap stres akibat radiasi sinar gamma. Menurut Abdullah (2009) senyawa fenol pada sel-sel tanaman tidak terdistribusi secara merata, dan kandungan senyawa tersebut pada tiap tanaman bervariasi tergantung faktor genetik dan lingkungan. Selain itu, diduga kalus yang ditanam pada kombinasi konsentrasi media MS 100% + Vitamin MS (P0) tersebut telah mampu untuk mengatasi senyawa fenol yang dihasilkan oleh kalus. Hal ini sesuai dengan George dan Sherrington (1984) bahwa kombinasi konsentrasi auksin dan sitokinin yang tinggi dapat menunda sintesa senyawa polifenol dan mengurangi pencoklatan pada kalus. Berat Akhir Kalus Pennisetum purpureum cv. Hawaii Berat akhir kalus merupakan salah-satu bentuk parameter pertumbuhan karena dengan mengukur berat kalus, pertambahan massa jaringan dapat diketahui dan menunjukkan aktivitas metabolisme dalam kalus. Berdasarkan hasil sidik ragam pada Tabel 7 dan Tabel 8, perlakuan tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap berat akhir kalus tetapi signifikan pada 0,006 pada perlakuan media. Ini berarti bahwa ada pengaruh faktor media tetapi tidak ada pengaruh interaksi antara faktor perlakuan media dasar MS dengan faktor vitamin terhadap berat kalus Pennisetum purpureum cv. Hawaii pasca radiasi LD50. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 15
Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy Tabel 7. Berat Akhir Kalus Pennisetum purpureum cv. Hawaii (gram) Rata-rata pada Perlakuan Media Perlakuan Media
Berat Akhir Kalus
MS 100% MS 50%
4,367a 3,786b
Keterangan : Nilai yang diikuti huruf berbeda signifikan menurut Analisis Ragam dengan taraf signifikansi 5% Tabel 8. Rataan Selisih Berat Kalus Pennisetum purpureum cv. Hawaii (gram) Rata-rata pada Perlakuan Vitamin Perlakuan Vitamin
Berat Akhir Kalus
MS MW
a
3,601 3,621a
2,822b 3,410b
B5
3,924a
3,196b
Keterangan : Nilai yang diikuti huruf tidak berbeda signifikan menurut Analisis Ragam dengan taraf signifikansi 5% Tabel 7 dan Tabel 8 menunjukkan bahwa kalus Pennisetum purpureum cv. Hawaii memberikan respon berat akhir terbaik pada pemberian media MS 100% dibandingkan media MS 50%, tetapi tidak berbeda signifikan pada perlakuan vitamin. Setiap kalus memberikan respon yang berbeda terhadap perlakuan. Berat kalus secara fisiologis terdiri atas kandungan air dan karbohidrat. Berat kalus yang besar disebabkan karena kandungan airnya yang tinggi (Indah dan Ermavitalini, 2013). Kecepatan sel membelah diri dipengaruhi oleh kombinasi auksin dan sitokinin dalam konsentrasi tertentu, selain itu juga bergantung pada jenis tumbuhan faktor-faktor lain seperti jenis media, ketersediaan unsur hara makro dan mikro, karbohidrat, adanya bahan tambahan seperti air kelapa dan juga faktor-faktor fisik seperti cahaya, suhu, dan pH media (Gunawan, 1991). Perlakuan radiasi sinar gamma pada dosis tertentu dapat meningkatkan aktivitas biokimia eksplan seperti enzim dan fitohormon sehingga eksplan dapat meningkatkan kemampuannya dalam mengabsorpsi mineral pada media kultur (Kadir, 2011) sehingga dapat mengubah struktur dan fungsi sel ke arah pertumbuhan (Kuzin dkk., 1986).
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 16
Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. Tidak terdapat interaksi antara kombinasi media dasar MS dan vitamin dalam perlakuan terhadap kalus rumput gajah Pennsietum purpureum cv. Hawaii. 2. Penggunaan kombinasi konsentrasi media dasar MS dengan vitamin tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap berat akhir kalus tetapi signifikan di 0,006 pada perlakuan media. 3. Penggunaan kombinasi konsentrasi media dasar MS dan vitamin memberikan pengaruh tekstur dominan remah dan warna kalus kecoklatan rumput gajah Pennisetum purpureum cv. Hawaii pasca radiasi sinar gamma pada dosis LD50. Saran Penggunaan kombinasi konsentrasi media dasar MS dan vitamin menunjukkan tidak adanya pengaruh interaksi, namun siginifikan di 0,006 pada perlakuan media yaitu media MS 100% terhadap berat akhir kalus dan memberikan respon visual tekstur dominan remah dan warna kalus kecoklatan terhadap kalus yang diamati. Sehingga, media dasar yang direkomendasikan untuk meregenerasi kalus rumput gajah Pennisetum purpureum cv. Hawaii pasca radiasi pada dosis LD50 yaitu media dasar penuh 100% dengan pemberian vitamin apa saja.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. A., Marziah, M., dan Arif, A. B. 1998. Establishment of Cell Suspension Cultures of M. elliptica for The Production of Anthraquinones. Plant Cell, Tissue and Organ Culture. (54):173-182. Abdullah, M. I. 2009. Physicochemical Profiling and Detection of Phenolic Constituents with Antioxidant and Antibacterial Activities of Myristica Fragrans Houtt. Thesis. Available at: http://eprints.usm.my/15626/1/pdf (diakses pada 18 Agustus 2016). Al Hafiizh, E. dan T. M. Ermayanti. 2013. Perbanyakan Rumput Gajah (P. Purpureum) Secara In Vitro dengan Penambahan Benzil Adenin dan Giberelin. Prosiding Seminar Nasional dan Forum Komunikasi Industri Peternakan dalam rangka Mendukung Kemandirian Daging dan Susu Nasional. 439-449. Al Haj, Soewondo Djojosoebagio. 1988. Dasar Dasar Radioisotop dan Radiasi dalam Biologi. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. 127-136. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 17
Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy Benerji, B. K. and S. K. Datta. 1992. Gamma Ray Induced Flower Shape Mutation in Chrysanthemum cv. ‘Java’. Journal Nuclear Agriculture and Biology. 21(2):73-79. Benyamin, Lakitan. 1993. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 7-17. Berezina, N. M. dan D. A. Kaushanskii. 1989. Pre-sowing Irradiation of Plant Seeds. A. A. Balkema. 294. Cao, M., Chris Jones, Susanne Rasmussen, Marty Faville, Karl Fraser, Isabelle Verry dan Warren Williams. 2012. The Current Status of Metabolomics and Its Potential Contribution to Forage Genetics and Breeding. Proceedings of the 7th International Symposium on the Molecular Breeding of Forage and Turf. 9-11. Chawla, H. S. 2002. Introduction to Plant Biotechnology. Science Publishers Inc. New Hemsphire. 23-26. Datta S. K. dan Banerji, B. 1974. Anatomical Variations of Flood-Resistant and Deepwater Rices Under Field and Deepwater Conditions. Phytomorphology. 24:164-174. Davey, M. R. and Paul Anthony. 2010. Plant Cell Culture: Essential Methods. WileyBlackwell. John Wiley & Sons, Ltd. 359. Djajanegara, A. 1999. Local Livestock Feed Resource. Livestock Industries of Indonesia prior to the Asian Financial Crisis. RAP Publication. 29-39. Djuned, H. dan Mansyur. 2012. Berbagai Masalah Pengembangan Tanaman Pakan dalam Usaha Ternak Komersil. Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. 100-104. Fitriani, H., Wahyuni, Siti Kurniawati dan N. Sri Hartati. 2013. Inisiasi Kultur In Vitro Rumput Gajah (Pennisetum purpureum Schumach) untuk Multiplikasi Tunas Majemuk. Prosiding Seminar Nasional dan Forum Komunikasi Industri Peternakan dalam rangka Mendukung Kemandirian Daging dan Susu Nasional. 409-418. Gamborg, O. L. dan G. C. Phillips. 1995. Plant Cell, Tissue and Organ Culture: Fundamental Methods. Las Cruces. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. 358. Gardner, F. P., R. B. Pearce dan R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 428. Gasperz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan untuk Ilmu-ilmu Pertanian. Ilmu-ilmu Teknik dan Biologi. Bandung. CV. Armico. George, E. F. 1993. Plant Propagation by Tissue Culture, Part 1, 2nd Edition. Exegetic Limited : England. . dan P. D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Exegetics Ltd. London. 709.
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 18
Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy ., M.A. Hall, dan Geert-Jan De Klerk. 2008. Plant Propagation by Tissue Culture. 3rd Edition Volume 1. The Background. Springer Publihser. Dordrecht, Netherlands. 501 p Gunawan, L. W. 1987. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. 36-101. . 1995. Teknik Kultur In Vitro dalam Holtikultura. Penebar Swadaya. Jakarta. 115. dan Wiendi W. M. A. 1992. Pengaruh Subkultur Beruntun dan Media Tumbuh In Vivo Terhadap Keberhasilan Aklimatisasi Bibit Rotan Hasil Perbanyakan In Vitro. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 2(2):74-81. Harahap, R. A. 2015. Variasi Somaklonal Sebagai Salah Satu Sumber Keragaman Genetik Untuk Perbaikan Sifat Tanaman. Opini Grahatani. 1(3):66-75. Hartati, N. S. dan Pramesti Dwi Aryaningrum. 2013. Induksi Kalus Dari Beberapa Jenis Eksplan Rumput Gajah (Pennisetum Purpureum Schumach). Prosiding Seminar Nasional dan Forum Komunikasi Industri Peternakan dalam rangka Mendukung Kemandirian Daging dan Susu Nasional. 429-438. Hayati, S. K., Yulita Nurchayati dan Nintya Setiari. 2010. Induksi Kalus dari Hipokotil Alfalfa (Medicago sativa L.) Secara In Vitro dengan Penambahan Benzyl Amino Purine (BAP) dan α-Naphtalene Acetic Acid (NAA). Bioma. 12(1):6-12. Husni, A., I. Mariska dan M. Kosmiatin. 1997. Kultur Protoplas Hasil Fusi antara Lada Budi Daya dengan Lada Liar. Jurnal Penelitian Tanaman Industri. 2(5):24-29. , S. Hutami dan M. Kosmiatin. 1999. Regenerasi Tanaman Kacang Tanah Melalui Jalur Embriogenesis Somatik dan Organogenesis. Prosiding Temu Ilmiah Bioteknologi Pertanian. 33-40. Hutami, S., Ika Mariska, dan Yati Supriati. 2006. Peningkatan Keragaman Genetik Tanaman melalui Keragaman Somaklonal. Jurnal AgroBiogen. 2(2):81-88. Ibrahim, M. S. D., Rr. S. Hartati., Rubiyo., A. Purwito., dan Sudarsono. 2013. Direct and Indirect Somatic Embryogenesis on Arabica Coffee (Coffea arabica). Journal Agriculture Science. 14(2):79-86. Indah, P. N., dan Ermavitalini, D. 2013. Induksi Kalus Daun Nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn.) pada Beberapa Kombinasi Konsentrasi 6-Benzylaminopurine (BAP) dan 2,4-Dichlorophenoxyacetic Acid (2,4-D). Jurnal Sains dan Seni Pomits. 2(1). Jans-Orn, J., S. Chotechen, A. Kornthong, P. Poosri dan K. Janboomi. 1991. Experience in Using Irradiation for The Breeding of Field Crops. Plant Mutation Breeding for Crop Improvement: Proceeding of an International Symposium on the Contribution of Plant Mutation Breeding to Crop Improvement, IAEA and FAO. Vienna 18-22 Juni. (2):203214. Kadir, A., S. H. Sutjahjo, G. A. Wattimena dan I. Mariska. 2007. Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma pada Pertumbuhan Kalus dan Keragaman Planlet Tanaman Nilam. Jurnal AgroBiogen. 3(1):24-31. Kadir, Abdul. 2011. Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma Terhadap Pembentukan Tunas Tanaman Nilam. J. Agrivigor 10(2): 117-127 Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 19
Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy Karjadi, A. K. 2012. Pengaruh Beberapa Komposisi Media dan Varietas dalam Menginduksi Umbi Mikro Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L). Seminar Nasional Pekan Inovasi Teknologi Holtikultura Nasional. 31-27. Kuzin, A.M., Vagabova M.E., Vilenchik MM., dan Gogvadze V.G. 1986. Stimulation Of Plant Growth By Exposure To Low Level γ-Radiation And Magnetic Field, And Their Possible Mechanism Of Action. Environmental And Experimental Botany. 26(2): 163167. Kwanchai A. Gomez dan Arturo A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. Kyte, L. dan J. Kleyn. 1996. Plants Form Test Tubes, an Introduction to Micropopagation. Timber Press Inc. USA. 240. . 2011. Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Perbanyakan Tanaman melalui Kultur Jaringan. Jurnal AgroBiogen. 7(1):63-68. Lestari, E.G, Purnamaningsih R., Mariska I., Hutami S. 2009. Induksi Keragaman Somaklonal Dengan Iradiasi Sinar Gamma Dan Seleksi In Vitro Kalus Pisang Rajabulu Menggunakan Asam Fusarat, Serta Regenerasi Dan Aklimatisasi Planlet. Berita Bio. 9(4): 411-417. Litz, R. E. and D. J. Gray. 1995. Somatic Embryogenesis for Agricultural Improvement. World Journal Microbiology and Biotechnology. 11:416-425. Lizawati. 2012. Induksi Kalus Embriogenik dari Eksplan Tunas Apikal Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dengan Penggunaan 2,4 D dan TDZ. Jurnal Fakultas Pertanian, Universitas Jambi, Mendalo Darat, Jambi. 1(2):75-87. Malik, S. I., H. Rashid., T. Yasmin., dan N. M. Minhas. 2003. Effect of 2,4Dichlorophenoxyacetic Acid on Callus Induction from Mature Wheat (Triticum aestivum L.) Seeds. Journal Agriculture and Biology. 6(1):156-159. Mardiah, E. 1996. Penentuan Aktivitas dan Inhibisi Enzim Polifenol Oksidase Dari Apel (Pyrus malus Linn). Jurnal Kimia Andalas. 2:2. Marlina, N. 2004. Teknik Modifikasi Media Murashige dan Skoog (MS) untuk Konservasi In Vitro Mawar (Rossa spp.). Buletin Teknik Pertanian. 9(1):4-6. Morel, G. dan Wetmore R. M. 1951. Fern Callus Tissue Culture. Am. J. Bot. 38: 141-143. Murashige T. dan F. Skoog. 1962. A Revised Medium for Rapid Growth and Bioassay with Tobacco Tissue. Physiol Plant. 15:473-497. Nilawati, T. S. 1996. Pengaruh beberapa Zat Pengatur Tumbuh terhadap Regenerasi Tanaman Kopi Arabika (Coffea Arabica L.). IPB. Bogor. 9. Nisak, K., Nurhidayati, T., dan Purwani, K.I. 2012. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi ZPT NAA dan BAP Pada Kultur Jaringan Tembakau Nicotiana tabacum var. Prancak 95. Jurnal Sains dan Seni Pomits. 1(1): 1-6. Palupi, Annisa D., Solichatun, dan Soerya Dewi Marliana. 2004. Pengaruh Asam 2,4Diklorofenoksiasetat (2,4-D) dan Benziladenin (BA) terhadap Kandungan Minyak Atsiri Kalus Daun Nilam (Pogostemon cablin Benth.). BioSmart. 6(2):99-103.
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 20
Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy Parco, A. S. 2007. Bermudagrass Tissue Culture and Genetic Transformation Through Agrobacterium and Particle Bombardment Methods. Thesis. Oklahoma State University. Pongtongkam, P., Peyachoknagul S., Arananant J., Thongpan A., dan Tudsri Sayan. 2006. Production of Salt Tolerance Dwarf Napier Grass (Pennisetum Purpureum cv. Mott) Using Tissue Culture and Gamma Irradiation. Kasetsart J. Nat. Sci. 40 : 625-633 Prawiradiputra, B. R. 2014. Kemungkinan Pengembangan Tanaman Pakan Ternak Produk Rekayasa Genetik untuk Lahan Suboptimal. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Palembang. 1-7. Priyono. 1993. Embriogenesis Somatik Langsung pada Kultur In Vitro Eksplan Daun Kopi Arabika (Coffea Arabica). Jurnal Pertanian Indonesia. 3(1):16-20. Purnawati. 2012.Sterilisasi Tunas Jabon (Anthocepalus cadamba (Roxb.) Miq.) untuk Mendapatkan Eksplan Steril Secara in vitro.Skripsi Sarjana, Fakultas Pertanian IPB Bogor Rahayu, B., Solichatun dan E. Anggarwulan. 2003. Pengaruh Asam 2,4-Diklorofenoksiasetat (2,4-D) terhadap Pembentukan dan Pertumbuhan Kalus serta Kandungan Flavonoid Kultur Kalus Acalypha indica L. Biofarmasi. 1(1):1-6. Ratma, R. 1985. Pemuliaan Mutasi Umur Genjah pada Kedelai Varietas Orba. Risalah Pertemuan Ilmiah Aplikasi Teknik Nuklir di Bidang Pertanian dan Peternakan. 99-105. Ratnadewi, D, Wydia, A., dan Isnaini, N., 1996. Studi Embriogenesis Somatik pada Glycine max dan Glycine tamuntella. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 6(1):22-26. Sari, Rica Mega. 2012. Produksi dan Nilai Nutrisi Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) cv. Taiwan Yang Diberi Dosis Pupuk N, P, K Berbeda dan CMA Pada Lahan Kritis Tambang Batubara. Artikel Universitas Andalas Padang. 1-3. Seseray, D. Y., B. Santoso dan M. N. Lekitoo. 2013. Produksi Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) yang Diberi Pupuk N, P dan K dengan Dosis 0, 50 dan 100% pada Devoliasi Hari ke-45. Sains Peternakan. 11(1):49-55. Smiullah, F. A. Khan, Abdullah, R. Iftikhar., M. M. Raza., R. Aslam., G. Hammad., A. Ijaz, R. H. Masqood., dan U. Ijaz. 2013. Callogenesis and Organogensis Studies in Some Accessions of Saccharum officinarum L. Journal of Agricultural Science. 5(4):171-178. Soedjono, S. 2003. Aplikasi Mutasi Induksi dan Variasi Somaklonal dalam Pemuliaan Tanaman. Jurnal Litbang Pertanian. 22(2):70-78. Street, H. E. 1973. Plant Tissue and Cell Culture. Los Angeles: University of California Press. Syahid, Sitti Fatimah dan Natalini Nova Kristina. 2007. Induksi dan Regenerasi Kalus Keladi Tikus (Typonium flagelliforme. Lodd. ) Secara In Vitro. Jurnal Littri. 13(4): 142-146. Tabiyeh, D.T., F. Bernard, and H. Shacker. 2006. Investigation Of Glutathione, Salicylic Acid And GA3 Effects On Browning In Pistacia Vera Shoot Tips Culture. ISHS Acta Hort. 726. Umami, N. 2012. Efficient Nursery Production and Multiple Shoot Clumps Formation from Shoot Tiller Derived Shoot Apices of Dwarf Napier Grass (Pennisetum purpureum Schumach). JWARAS 55 (2) : 121-127. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 21
Pengaruh Penggunaan Media Murashige dan Skoog……………………...………Erizka Fauzy Wahid, R.A. 2001. Efek Radiasi Sinar Gamma Dosis Rendah pada Pertumbuhan Kultur Jaringan Tanaman Ciplukan (Physalis angulata L.). Risalah Pertemuan Ilmiah Penelilian dan Pengembangan Aplikasi Isolop dan Radiasi. 235-240. Wang, Z., A. Hopkins and R. Mian. 2001. Forage and Turf grass Biotechnology. Critical Reviews in Plant Sciences. 20(6):573-619. Wattimena, G. A. 1992. Bioteknologi dalam Pemuliaan Tanaman. Bagian Bioteknologi Tanaman. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. IPB Press. Bogor. 191. Widyantoro, R. U. dan M. Soejono. 1985. Pengaruh Iradiasi Gamma 60Co Pada Pertumbuhan Stek Rumput Gajah (Pennisetum purpureum). Risalah Pertemuan Ilmiah Aplikasi Teknik Nuklir di Bidang Pertanian dan Peternakan. 131-138. Ye, X., Chen, Y., Li, J., Yu, X., Feng, J., dan Zheng, X., 2012. Callus Induction and Adventitious Shoot Regeneration in Zizyphus jujuba Mill. Huizao. African Journal of Biotechnology. (11). Yuniawati, M., dan W. Indriatama. 2012. Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma dan Zat Pengatur Tumbuh Giberelin terhadap Pertumbuhan Anggrek Dendrobium Jayakarta. Seminar Nasional Pekan Inovasi Teknologi Holtikultura Nasional. 134-139. Yunita, R. 2009. Pemanfaatan Variasi Somaklonal dan Seleksi In Vitro dalam Perakitan Tanaman Toleran Cekaman Abiotik. Jurnal Litbang Pertanian. 28(4):142-148. , E. G. Lestari dan I. S. Dewi. 2012. Regenerasi Tunas dari Kalus yang Telah Diberi Perlakuan Iradiasi pada Padi Varietas Fatmawati. Berita Biologi. 11(3):359366. Yuwono, T. 2008. Bioteknologi Pertanian. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 284. Zulkarnain dan Lizawati. 2011. Proliferasi Kalus dari Eksplan Hipokotil dan Kotiledon Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) pada Pemberian 2,4-D. Jurnal Natur Indonesia 14 (1) : 19–25.
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran | 22