PENGARUH PENGELOLAAN HARA TERHADAP SIFAT TANAH DAN HASIL PADI (Oryza sativa L.) VARIETAS IR-42 PADA SAWAH BUKAAN BARU Sukristiyonubowo, L.R. Widowati, Ea Kosman, dan Suwandi Balai Penelitian Tanah, Bogor
ABSTRAK Penelitian dilaksanakan di sawah bukaan baru yang sudah dibuka dua tahun, di Sei Gemuruh, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Varietas padi yang ditanam adalah IR-42. Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh pengelolaan hara terhadap sifat kimia, fisika, dan biologis tanah sawah bukaan baru dan produksi padi. Dua belas perlakuan diuji dalam penelitian ini yang mencakup T0: takaran petani, T1: takaran petani + dolomit + pupuk organik, T2: NPK takaran rekomendasi, T3: NPK takaran rekomendasi + pupuk organik, T4: ¾ NPK takaran rekomendasi + pupuk organik, T5: ½ NPK takaran rekomendasi + pupuk organik, T6: 1¼ NPK takaran rekomendasi + pupuk organik, T7: NPK takaran rekomendasi (N dan K diberikan 3x), T8: NPK takaran rekomendasi + pupuk organik + dolomit (N dan K diberikan 3x), T9: NPK takaran rekomendasi + pupuk organik + dolomit, T10: NPK takaran rekomendasi + 1½ pupuk organik dan T11: NPK takaran rekomendasi + ½ pupuk organik. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Takaran rekomendasi untuk pupuk NPK adalah 250 kg urea, 200 kg SP-18 dan 100 kg KCl/ha, sementara untuk pupuk organik sebesar 2 ton kompos jerami padi/ha dan untuk dolomit sebesar 2 t/ha. Pupuk NPK diberikan dua kali, yaitu 50% saat tanam dan 50% umur 21 HST, kecuali untuk perlakuan T7 dan T8 yang diberikan 3 kali, yaitu 50% saat tanam, 25% umur 21 HST dan 25% sisanya umur 35 HST. Secara alami, kesuburan tanah alami sawah bukaan baru di lokasi Sei Gemuruh, Kabupaten Pesisir Selatan tergolong rendah dengan faktor pembatas rendahnya pH, N, P dan K, serta tingginya kadar Fe dan Mn. Pemupukan NPK (250 kg urea, 200 kg SP-18 dan 100 kg KCl/ha) + 2 ton kompos jerami padi/ha + 2 t dolomit/ha dimana pupuk N dan K diberikan dua atau tiga kali secara nyata meningkatkan produksi jerami dan gabah padi sawah bukaan baru. Lebih jauh, hasil gabah pada pupuk N dan K yang diberikan tiga kali (50% saat tanam, 25% umur 21 HST dan 25% sisanya umur 35 HST) lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberikan dua kali ( 50% saat tanam dan sisanya 50% umur 21 HST. Kombinasi pupuk NPK (250 kg urea, 200 kg SP-18 dan 100 kg KCl/ha) dengan 2 t kompos/ha dan 2 t dolomit/ha, dimana pupuk N dan K diberikan tiga kali menunjukkan hasil gabah kering yang tertinggi, yaitu 3,4 t/ha, dengan peningkatan hasil sekitar 1,9 t/ha atau sekitar 127% jika dibandingkan dengan takaran petani.
221
Sukristiyonubowo et al.
PENDAHULUAN Kedudukan beras di Indonesia sangat strategis, baik ditinjau dari segi sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi beras baik untuk mencukupi laju kebutuhan pangan dalam negeri maupun menuju kemandirian beras menjadi salah satu tujuan pembangunan pertanian Indonesia yang diamanatkan kepada Badan Litbang Pertanian. Di lain pihak, keberadaan sawah beririgasi di Pulau Jawa semakin menyempit akibat alih fungsi lahan. Keberadaan air irigasi juga menjadi semakin langka akibat meningkatnya kompetisi penggunaan air dengan sektor lain seperti industri dan rumah tanggal. Lebih dari 90% dari total beras dihasilkan melalui sawah beririgasi teknis dan sisanya dihasilkan dari sistem sawah non irigasi (BPS, 2006). Seiring dengan meningkatnya (a) permintaan akan beras akibat bertambahnya jumlah penduduk, (b) kebutuhan lahan untuk perumahan, kawasan industri dan fasilitas jalan, (c) kompetisi kebutuhan air antara sektor pertanian, industri dan rumah tangga, dan (d) pencemaran air, menyebabkan luas lahan sawah beririgasi yang tersedia untuk penanaman padi menjadi semakin menyempit dan keberadaan air untuk kepentingan irigasi menjadi semakin langka yang pada akhirnya menurunkan produksi padi (Baghat et al., 1996; Bouman and Tuong, 2001; BPS, 2002). Oleh sebab itu, peningkatan produktivitas sawah bukaan baru perlu mendapatkan perhatian yang lebih baik guna membantu pemenuhan target tambahan produksi dua juta ton per tahun atau sekitar 5%/tahun dan menjamin ketahanan beras nasional (Anonim, 2007). Pencetakan sawah baru di luar pulau jawa harus dipahami sebagai pencetakan lumbung beras nasional baru untuk masa mendatang. Adanya gejala keracunan dan defisiensi hara pada sawah bukaan baru diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas lahan sawah bukaan baru. Oleh karena itu, penggunaan pupuk yang tepat, baik jenis, takaran maupun waktu pemberiannya menjadi semakin penting, bila dikaitkan dengan adanya gejala keracunan dan defisiensi hara tertentu. Dengan demikian, penelitian diarahkan pada pengembangan teknologi pemupukan spesifik lokasi dan peningkatan produktivitas air (water productivity) agar penggunaan sarana produksi (input) yang kita berikan menjadi lebih efisien. Sawah bukaan baru dapat didefinisikan dari dua aspek, yaitu dimensi waktu dan sifat tanahnya, sebagai berikut (Agus, 2007; Prasetyo, 2007) : 1. Waktu sejak sawah tersebut dibuka. Biasanya sawah yang dicetak dalam 10 tahun terakhir dikategorikan sawah bukaan baru.
222
Pengaruh Pengelolaan Hara Terhadap Sifat Tanah dan Hasil Padi
2. Sifat tanah sawah bukaan baru. Sawah bukaan baru dicirikan oleh belum terbentuknya lapisan tapak bajak. Sawah bukaan baru mempunyai sifat morfologi, kimia, fisika dan komposisi mineral yang khas bergantung pada sifat tanah asalnya, lahan kering atau lahan basah. Sifat fisik tanah yang perlu diperhatikan adalah drainase, permeabilitas, tekstur, struktur dan tinggi genangan (Keerseblick and Soeprapto, 1985; Sys, 1985). Pada umumnya, sawah bukaan yang berasal dari lahan kering yang digenangi mempunyai sifat yang masih sama dengan tanah asalnya. Dilaporkan bahwa penggenangan akan menyebabkan perubahan sifat kimia tanahnya. Ponnamperuma (1978) menyimpulkan bahwa penggenangan akan menurunkan Eh, peningkatan dan penurunan pH dan meningkatnya ketersediaan P dan Ca. Selanjutnya Tadano dan Yoshida (1978) mengamati hal yang sama bahwa penggenangan pada tanah masam meningkatkan pH tanah, dan pada tanah alkali akan menurunkan pH tanah. Tanah sawah bukaan baru yang berasal dari lahan basah, misalnya lahan pasang surut, lahan rawa lebak maupun aluvial umumnya tidak terjadi pergerakan air vertikal ke arah solum, sehingga tidak terjadi horison penimbunan Fe maupun Mn. Pencetakan sawah baru dari lahan kering di luar Pulau Jawa umumnya didominasi tanah jenis Oksisols, Ultisols dan Inceptisols. Menurut Tan (1982) tanah-tanah tersebut terutama yang berwarna kemerahan sampai merah mempunyai kandungan oksida Fe dan Al yang tinggi. Dalam suasana reduksi, oksida-oksida yang terlarut dapat meracuni tanaman. Apabila kandungan Fe dalam tanah melebihi 200 ppm, maka tanaman akan keracunan Fe (Puslittanak, 1993) atau apabila konsentrasi besi dalam tanaman > 300 ppm (Yusuf et al., 1990). Produksi padi sawah bukaan baru yang berasal dari tanah kering masam di areal irigasi Sungai Batang Hari tergolong rendah karena terdapatnya beberapa kendala yaitu (1) belum efektifnya pemanfaatan air berkaitan dengan belum terbentuknya lapisan tapak bajak (plow pan), (2) rendahnya efisiensi pemupukan karena tingginya kehilangan hara akibat pelindian dan pencucian, (3) terjadinya perubahan fisiko kimia maupun biologi yang meningkatkan kelarutan beberapa unsur hara mikro yang meracuni tanaman, dan (4) keracunan besi merupakan penyebab utama gagal panen (Anonymous, 2005). Hasil penelitian Widowati dan Rochayati (2008) di Kalimantan Selatan menyimpulkan bahwa penambahan amelioran yang mengandung Ca, Mg, dan unsur mikro selain penambahan N, P, K, dan bahan organik dapat meningkatkan produktivitas sawah bukaan baru.
223
Sukristiyonubowo et al.
Selanjutnya, dilaporkan pula bahwa pemberian amelioran 1500 kg Kaptan Phospatan/ha atau 1000 kg Dolomit/ha meningkatkan produksi hingga 36% dan 30% pada musim I dan 16% dan 42% pada musim II (residu). Pengaruh pelumpuran terhadap sifat kimia tanah, sifat fisik tanah dan hasil padi telah banyak diteliti dan dipublikasikan. Dilaporkan bahwa pelumpuran tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan hasil padi (Adachi, 1990; Cabangon and Tuong, 2000; Kirchhof et al., 2000; Kukal and Sidhu, 2004; Sharma et al., 2005). Sebaliknya, hasil penelitian lainnya membuktikan bahwa pelumpuran meningkatkan hasil padi (Ghildyal, 1971; Naphade and Ghildyal, 1971; Sanchez, 1973; Sharma et al., 2005). Telah banyak diteliti dan dipublikasikan bahwa penanaman padi di lahan basah banyak memerlukan air dan paling tidak efisien dalam menggunakan air dibandingkan dengan tanaman biji-bijian lainnya. Pada penanaman padi sawah (wetland rice cultivation), air diberikan mulai dari fase penjenuhan tanah (land soaking) sampai dengan akhir fase pertumbuhan generatip (Anonim, 1977; Sukristiyonubowo, 2007). De Datta et al. (1981), Bhuiyan et al. (1994) dan Bhouman et al. (2005), menyatakan bahwa lebih dari setengah kebutuhan air untuk penanaman padi dialokasikan saat pengolahan tanah dan banyaknya air yang diberikan saat pengolahan tanah berkisar antara 240-900 mm bergantung pada lama pengolahan tanah. Dari beberapa hasil penelitian yang dilakukan di India, Filipina. dan Jepang dikemukakan bahwa produktivitas air (water productivity) pada penanaman padi sawah berkisar antara 0,14-1,10 g/kg air (Bhuiyan, 1992; Bhuiyan et al., 1994; Bouman and Tuong, 2001; Cabangon et al., 2002; Tabal et al., 2002; IWMI, 2004). Produktivitas air yang lebih baik dilaporkan pada sawah Vitric Andosol di Jepang yaitu sekitar 1,52 g gabah/kg air (Anbumozhi et al., 1998). METODOLOGI PENELITIAN Penelitian diawali dengan pemilihan dan penetapan lokasi percobaan lapang. Pada lokasi terpilih dilakukan pengambilan contoh tanah komposit, untuk kepentingan analisis kimia, fisika, dan mikrobiologi tanah. Data laboratorium ini digunakan untuk mengidentifikasi faktor pembatas. Penetapan rekomendasi takaran pemupukan awal dilakukan dengan menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) dan bagan warna daun. Rekomendasi takaran pupuk awal ini digunakan untuk menyusun perlakuan yang dikombinasikan dengan pupuk organik dan dolomit yang dibandingkan dengan pemupukan cara petani (farmer practices). Pada prinsipnya, perlakuan mencakup cara petani dan teknologi
224
Pengaruh Pengelolaan Hara Terhadap Sifat Tanah dan Hasil Padi
pengelolaan hara yang berimbang yang dikembangkan untuk sawah bukaan baru. Penetapan takaran perlakuan berdasarkan hasil penetapan dengan PUTS, yang dikombinasikan dengan bagan warna daun untuk nitrogen dan hasil analisis tanah memudahkan peneliti tidak hanya menetapkan takaran, tetapi juga waktu dan cara pemberian. Takaran dari masing-masing perlakuan selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Takaran pupuk pada masing-masing perlakuan untuk lokasi Sei Gemuruh, Pesisir Selatan, dan Panca Agung, Bulungan Perlakuan
T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7
= = = = = = = =
T8 = T9 = T10 = T11 =
Takaran petani (kontrol) Takaran petani + pupuk organik + dolomit NPK takaran rekomendasi NPK takaran rekomendasi + pupuk organik NPK takaran rekomendasi + pupuk organik NPK takaran rekomendasi + pupuk organik NPK takaran rekomendasi + pupuk organik NPK takaran rekomendasi (N dan K diberikan tiga kali) NPK takaran rekomendasi + pupuk organik + dolomit (N dan K diberikan tiga kali) NPK takaran rekomendasi + pupuk organik + dolomit NPK takaran rekomendasi + 1½ pupuk organik NPK takaran rekomendasi + ½ pupuk organik
Takaran pupuk Urea
SP-18
KCl
Dolomit Kompos
......................... kg/ha ......................... 2.000 2.000 250 200 100 250 200 100 2.000 187,5 150 75 2.000 125 100 50 2.000 312,5 250 125 2.000 250 200 100 250
200
100
2.000
2.000
250
200
100
2.000
2.000
250
200
100
-
3.000
250
200
100
-
1.000
Lokasi terpilih untuk pelaksanaan penelitian sawah bukaan baru adalah di Sei Gemuruh, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Penanaman dilakukan pada Mei 2009 serentak dengan musim tanam petani. Padi varietas unggul IR-42 digunakan sebagai indikator, sesuai dengan varietas yang ditanam oleh petani setempat. Pemberian pupuk urea, SP-18, dan KCl umumnya diberikan dua kali, yaitu 50% saat tanam dan 50% sisanya diberikan 21 hari setelah tanam (HST), sementara pada perlakuan T7 dan T8, pemberian urea dan KCl dilakukan tiga kali, yaitu 50% saat tanam, 25% umur 21 HST, dan 25% sisanya diberikan pada umur 35 HST. Untuk Dolomit dan kompos diberikan sekaligus seminggu sebelum tanam.
225
Sukristiyonubowo et al.
Parameter yang diamati meliputi sifat kimia tanah, sifat fisik tanah, dan produksi padi. Sifat kimia tanah mencakup pH tanah, bahan organik (N dan Corganik), P-tersedia, P dan K-potensial (ekstrak HCl 25%) serta Fe dan Mn. Sementara untuk sifat fisik tanah meliputi tekstur. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang diulang tiga kali. Ukuran petak yang digunakan adalah 5 x 5 m. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diuji terhadap berat segar jerami, berat kering jerami dan hasil padi dilakukan analisis sidik ragam (anova) yang dilanjutkan dengan pengujian beda antar perlakuan dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) dengan selang kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kesuburan tanah sawah bukaan baru Sifat tanah awal sawah bukaan baru untuk lokasi Sei Gemuruh, Kabupaten Pesisir Selatan disajikan pada Tabel 2. Tanah sawah bukaan baru di lokasi Sei Gemuruh bersifat sangat masam dengan pH bervariasi antara 4,54 sampai 4,68. Kandungan C-organik tanah bervariasi dari sedang sampai tinggi dengan nilai bervariasi dari 2,5 sampai 3,8% sementara untuk N organik tanah berada pada kondisi rendah (0,17-0,25%). Kadar P-potensial dengan ekstrak HCl 25% bervariasi mulai sedang sampai tinggi, namun P-tersedia dengan ekstrak Bray I sangat rendah. Rendahnya P-tersedia Ini menunjukkan bahwa banyak P yang terfiksasi oleh Fe dan Mn, mengingat kadar Fe dan Mn dalam tanah tinggi dengan konsentrasi > 200 ppm, sehingga P menjadi bentuk yang tidak tersedia (Fe-P dan Mn-P). Secara langsung tingginya konsentrasi Fe dan Mn dapat meracuni tanaman padi, sehingga pertumbuhan tanaman padi terhambat. Kadar K-potensial tanah rendah dengan K bebaspun berada pada level yang sangat rendah. Dari data tanah awal ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kesuburan alami tanah sawah bukaan baru tergolong rendah, dengan faktor pembatas N, P, dan K yang berada dalam kondisi defisiensi serta Fe dan besi pada taraf yang meracuni. Tindak agronomis yang perlu dilakukan agar produksi padi pada sawah bukaan baru meningkat adalah dengan menerapkan pemupukan berimbang diserta pemberian dolomit dan bahan organik.
226
Pengaruh Pengelolaan Hara Terhadap Sifat Tanah dan Hasil Padi
Tabel 2. Sifat tanah awal sawah bukaan baru lokasi Sei Gemuruh, Kabupaten Pesisir Selatan Parameter tanah pH Bahan organik C-organik N-organik C/N ratio P ekstrak HCl 25% K ekstrak HCl 25% P Bray I KTK K Ca Mg Na Fe Mn
Satuan
% % ppm ppm ppm cmol(+)/kg cmol(+)/kg cmol(+)/kg cmol(+)/kg cmol(+)/kg ppm ppm
Nilai
Kriteria
4,54 - 4,68
Sangat masam
2,50 - 3,85 0,17 - 0,25 15 - 18 497 - 740 55 - 96 0,90 - 1,80 20,7 - 22,0 0,06 - 0,11 5,14 - 12,10 0,99 - 2,10 0,09 - 0,11 210 - 242 89 - 109
Sedang - tinggi Rendah Rendah Sedang - sangat tinggi Rendah Sangat rendah Sedang Sangat rendah Rendah - tinggi Rendah - sedang Rendah Tinggi Tinggi
Produksi padi sawah bukaan baru lokasi Pesisir Selatan Produksi biomassa padi sawah bukaan baru di lokasi Sei Gemuruh, Kabupaten Pesisir Selatan disajikan pada Tabel 3. Secara umum, semua perlakuan yang dicoba menunjukkan bahwa produksi biomassa (berat jerami dan berat gabah padi) secara nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol atau takaran petani. Di lokasi ini petani menganggap bahwa kesuburan lahan mereka masih tergolong baik, karena baru dua tahun dibuka sehingga mereka jarang menggunakan pupuk. Hasil penelitian diharapkan dapat membantu membuka wawasan petani agar menggunakan pupuk secara tepat, baik jenis, takaran maupun waktu pemberiannya. Menarik untuk dicatat, bahwa NPK takaran rekomendasi dimana pupuk N dan K diberikan tiga kali (T7) secara nyata menunjukkan hasil gabah yang lebih tinggi dibandingkan takaran rekomendasi dimana pupuk N dan K diberikan dua kali (T2). Hal yang sama diamati untuk produksi jerami segar dan kering. Hal ini mendemontrasikan bahwa ketersediaan hara pada setiap stadi pertumbuhan padi adalah sangat penting. Dalam penelitian ini membuktikan bahwa hara N dan K yang diberikan tiga kali lebih banyak yang tersedia bagi tanam dibandingkan dengan yang diberikan dua kali. Penguapan N dalam bentuk amonia dan fiksasi K oleh Fe dan Mn dan fluktuasi pH adalah faktor-faktor yang dapat menhurangi ketersediaan hara tersebut. 227
Sukristiyonubowo et al.
Tabel 3. Produksi biomassa padi varietas IR-42 pada sawah bukaan baru di lokasi Sei Gemuruh, Kabupaten Pesisir Selatan Perlakuan
T0 = Takaran petani (kontrol) T1 = Takaran petani + pupuk organik + dolomit T2 = NPK takaran rekomendasi T3 = NPK takaran rekomendasi + pupuk organik T4 = ¾ NPK takaran rekomendasi + pupuk organik T5 = ½ NPK takaran rekomendasi + pupuk organik T6 = 1¼ NPK takaran rekomendasi + pupuk organik T7 = NPK takaran rekomendasi (N dan K diberikan tiga kali) T8 = NPK takaran rekomendasi + pupuk organik + dolomit (N dan K diberikan tiga kali) T9 = NPK takaran rekomendasi + pupuk organik + dolomit T10 = NPK takaran rekomendasi + 1½ pupuk organik T11 = NPK takaran rekomendasi + ½ pupuk organik CV (%)
Berat jerami segar
Berat jerami kering
Berat gabah kering
.......................... t/ha .......................... 4,30 c 2,60 d 1,50 e 5,51 b 2,85 cd 1,97 de 6,03 ab 5,74 ab
3,50 bc 3,33 bcd
2,43 cd 2,51 bcd
6,18 ab
3,61 bc
2,39 cd
5,69 ab
3,69 b
2,41 cd
5,78 ab
3,80 b
2,60 bcd
6,62 a
4,10 ab
3,09 ab
5,29 b
4,65 a
3,41 a
5,97 ab
4,14 ab
3,11 ab
5,79 ab
3,32 bcd
2,57 bcd
5,41 b
3,70 b
2,71 bc
19,90
11,70
13,25
Fenomena yang sama juga diamati pada NPK takaran rekomendasi yang dikombinasikan dengan kompos dan dolomit. Diamati bahwa pada kombinasi ini, dimana pupuk N dan K-nya diberikan tiga kali (T8) menunjukkan produksi jerami kering dan gabah kering yang lebih baik jika dibandingkan dengan kombinasi tersebut dimana pupuk N dan K diberikan dua kali (T9). Alaan yang sama diduga berlaku untuk menjelaskan fenomena ini. Lebih tingginya hasil biomassa padi pada perlakuan NPK yang ditambah dengan dolomit dan kompos (T8) dibandingkan pemberian NPK saja tanpa dolomit dan kompos (T2), diduga adanya kompos dan dolomit menekan konsentrasi Fe dan Mn yang tinggi (chelating atau organo metalo complexes) sehingga fiksasi P dan K menjadi berkurang sehingga unsur P dan K lebih banyak yang tersedia bagi tanaman padi.
228
Pengaruh Pengelolaan Hara Terhadap Sifat Tanah dan Hasil Padi
Jika dibandingkan dengan takaran petani, maka semua perlakuan yang diuji menunjukkan peningkatan hasil, yang bervariasi antara 0,5 sampai 1,9 t/ha atau berkisar antara 31 sampai 127%. Peningkatan tertinggi ditunjukkan oleh kombinasi NPK dengan penambahan kompos dan dolomit dimana pupuk N dan K diberikan tiga kali (perlakuan T8). Tabel 4. Persentase kenaikan hasil padi varietas IR-42 terhadap kontrol sawah bukaan baru lokasi Sei Gemuruh, Kabupaten Pesisir Selatan Perlakuan
Kenaikan hasil terhadap kontrol
T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7
= Takaran petani (kontrol) = Takaran petani + pupuk organik + dolomit = NPK takaran rekomendasi = NPK takaran rekomendasi + pupuk organik = ¾ NPK takaran rekomendasi + pupuk organik = ½ NPK takaran rekomendasi + pupuk organik = 1¼ NPK takaran rekomendasi + pupuk organik = NPK takaran rekomendasi (N dan K diberikan tiga kali) T8 = NPK takaran rekomendasi + pupuk organik + dolomit (N dan K diberikan tiga kali) T9 = NPK takaran rekomendasi + pupuk organik + dolomit T10 = NPK takaran rekomendasi + 1½ pupuk organik T11 = NPK takaran rekomendasi + ½ pupuk organik
t/ha
%
0,47 0,93 1,01 0,89 0,91 1,10 1,59
31 62 67 59 61 73 106
1,91
127
1,61
107
1,07 1,21
71 81
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Secara alami, kesuburan tanah alami sawah bukaan baru di lokasi Sei Gemuruh, Kabupaten Pesisir Selatan tergolong rendah dengan faktor pembatas rendah pH, N, P, dan K, serta tingginya kadar Fe dan Mn. 2. Pemupukan NPK (250 kg urea, 200 kg SP-18, dan 100 kg KCl/ha) dimana pupuk N dan K diberikan dua atau tiga kali secara nyata meningkatkan produksi jerami dan gabah padi sawah bukaan baru. Namun demikian, pupuk N dan K yang diberikan tiga kali (50% saat tanam, 25% umur 21 HST, dan 25% sisanya umur 35 HST) lebih baik dengan yang diberikan dua kali (50% saat tanam dan sisanya 50% umur 21 HST). 3. Pupuk NPK (250 kg urea, 200 kg SP-18, dan 100 kg KCl/ha) yang dikombinasikan dengan 2 t kompos/ha dan 2 t dolomit/ha, dimana pupuk N dan K diberikan tiga kali menunjukkan hasil gabah kering yang tertinggi, yaitu
229
Sukristiyonubowo et al.
3,4 t/ha, dengan peningkatan hasil sekitar 1,9 t/ha atau sekitar 127% jika dibandingkan dengan takaran petani. 4. Dari hasil ini yang dapat disarankan adalah pemupukan berimbang yang dikombinasikan dengan pemberian kompos dan dolomit di areal sawah bukaan baru khususnya di lokasi Kabupaten Pesisir Selatan adalah mutlak. Pupuk sebaiknya dibagi menjadi tiga kali pemberian karena dapat meningkatkan efisiensinya, agar produksi gabah dapat ditingkatkan. DAFTAR PUSTAKA Adachi, K. 1990. Effect of rice-soil puddling on water percolation. Pp 146-151. In Proceedings of the transactions of the 14th international congress on soil science. Agus, F. 2007. Pendahuluan. Hlm. 1-4. In F. Agus, Wahyunto, dan D. Santoso. (Eds.), Tanah Sawah Bukaan Baru. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Departemen Pertanian. Anbumozhi, V., E. Yamaji, and T. Tabuchi. 1998. Rice crop growth and yield as influenced by changes in ponding water depth, water regime and fertigation level. Agricultural Water Management 37:241-253. Anonymous. 1977. Bercocok Tanam Padi, Palawijo, dan Sayur. BIMAS, Departemen Pertanian. Hlm 280. Anonymous. 2005. Teknologi sawah bukaan baru areal irigasi Batang Hari. http://www.bbp2tp.litbang.deptan.go.id. 22 Januari 2009. Anonymous. 2007. Rekomendasi pemupukan N, P, dan K pada Padi Sawah Spesifik Lokasi. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40/Permentan/OT. 140/4/2007, tanggal 11 April 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hlm 286. Bhagat, R.M., S.I. Bhuiyan, and K. Moody. 1996. Water, tillage and weed interactions in lowland tropical rice: a review. Agricultural Water Management 31:165-184. Bhuiyan, S.I., M.A. Sattar, and D.F. Tabbal. 1994. Wet Seeded Rice: Water Use Efficiency, Productivity and Constraints to Wider Adoption. Paper presented at the International Workshop on constrains, opportunities, and innovations for wet seeded rice, Bangkok, May 31-June 3, 1994. P19. Bhuiyan, S.I. 1992. Water management in relation to crop production: case study on rice. Outlook Agriculture 21:293-299. Bouman, B.A.M., S. Peng, A.R. Castaneda, and R.M. Visperas. 2005. Yield and water use of irrigated tropical aerobic rice systems. Agricultural Water Management 74:87-105. Bouman, B.A.M. and T.P. Tuong. 2001. Field water management to save water and increase its productivity in irrigated lowland rice. Agricultural Water Management 49:11-30.
230
Pengaruh Pengelolaan Hara Terhadap Sifat Tanah dan Hasil Padi
BPS. 2002. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta. BPS. 2006. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Cabangon, R.J., T.P. Tuong, and N.B. Abdullah. 2002. Comparing water input and water productivity of transplanted and direct-seeded rice production systems. Agricultural Water Management 57:11-31. De Datta, S.K. 1981. Principles and Practices of Rice Production. IRRI, Los Banos, Philippines. P 618. IWMI (International Water Management Institute). 2004. Water Facts. IWMI Brochure. Keerseblick, N.C. and S. Soeprapto. 1985. Physical measurement in lowland soils techniques and standardization. In Soil Physic and Rice. International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines. Ponnamperuma, F.N. 1978. Electrochemical Changes in Submerged Soil and the Growth of Rice. IRRI. Los Banos, Philippines. Prasetyo, B.H. 2007. Genesis Tanah Sawah Bukaan Baru. F. Agus, Wahyunto dan D. Santoso (Penyunting). Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Hlm 25-51. Puslittanak (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat). 1993. Survey dan Penelitian Tanah Merowi I, Kalimantan Barat. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Sukristiyonubowo. 2007. Nutrient Balances in Terraced Paddy Fields under Traditional Irrigation in Indonesia. PhD thesis. Faculty of Bioscience Engineering, Ghent University, Ghent, Belgium. P 184. Sys, C. 1985. Evaluation of the Physical Environment for Rice Cultivation. In Soil Physics and Rice. International Rice Research Institute, Los Banos, Laguna, Philippines. Pp. 31-34. Taball, D.F., B.A.M. Bouman, S.I. Bhuiyan, E.B. Sibayan, and M.A. Sattar. 2002. On-farm strategies for reducing water input in irrigated rice; case study in the Philippines. Agricultural Water Management 56:93-112. Tadano, T. and S. Yoshida. 1978. Chemical Changes in Submerged Soils and their on Rice Growth. The International Rice Research Institute. Tan, K.H. 1982. Principle of Soils Chemistry. The University of Georgia. College of Agriculture, Athens, Georgia. Widowati, L.N. dan S. Rochayati. 2008. Pengelolaan Hara untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Sawah Bukaan Baru di Harapan Masa, Tapin Kalimantan Selatan. Makalah disajikan pada Seminar Nasional BBSDLP, 25-27 November 2008. Hlm 13. Yusuf, A., D. Syamsudin, G. Satari, dan S. Djakasutmi. 1990. Pengaruh pH dan Eh terhadap kelarutan Fe, Al, dan Mn pada lahan sawah bukaan baru jenis Oxisol Sitiung. Hlm 237-269. Dalam Prosiding Pengelolaan Sawah Bukaan Baru Menunjang Swasembada Pangan dan Program Transmigrasi: Prospek dan Masalah. 231
Sukristiyonubowo et al.
TANYA JAWAB Pertanyaan (Husnain, Balittanah) : Perlakuan T8 dan T9 apakah secara statistik berbeda ? Karena apabila T8 direkomendasikan akan menambah biaya produksi (production cost) karena pemberian N dan K diberikan tiga kali. Jawaban : Walaupun perlakuan T8 hasilnya lebih baik dibandingkan T9, tetapi secara statistik tidak berbeda nyata. Pemberian N dan K diberikan tiga kali lebih diarahkan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk, mengingat secara alami kesuburan tanahnya tergolong rendah dengan kadar N, P tersedia, dan K dapat ditukar rendah (lihat Tabel 2). Direkomendasikannya perlakuan T8 lebih diarahkan pada penyehatan tanah dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk, sementara analisis usaha tani belum dilakukan. Pertanyaan (T. Vadari, Balittanah) : 1. Apakah sudah terbentuk lapisan lapisan tapak bajak (plow pan layer) ? 2. Bila belum berarti rekomendasi pemupukan berubah ? 3. Berapa lama lapisan tapak bajak terbentu ? 4. Penelitian sangat menarik. Jawaban : 1. Dari pengamatan visual lapisan tapak bajak belum terbentuk. 2. Tentu rekomendasi pemupukan perlu divalidasi, mengingat penelitian dilakukan saat lapisan tapak bajak belum terbentuk. Selain belum terbentuknya tapak bajak, validasi juga akan memperhatikan kontribusi air huja dan air irigasi yang umumnya mengandung N dan K yang relatif tinggi. 3. Menurut literatur yang ada, lapisan tapak bajak akan terbentuk antara 10 s/d 30 tahun bergantung pada jenis tanah asal, cara bercocok tanam, dan lainlain. 4. Terima kasih atas komentarnya.
232