PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN SELENIUM DAN IODIUM TERHADAP PROFIL DARAH, STATUS GIZI DAN SKOR IQ ANAK DENGAN TANDA KHAS KRETIN
DIFFAH HANIM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ABSTRACT DIFFAH HANIM, Effect of Selenium and Iodine Supplement on Blood Profile Nutritional Status and IQ-Score of School Children with Some Attributes of Cretinism. Supervised by RIMBAWAN, ALI KHOMSAN, DRAJAT MARTIANTO. Iodine Deficiency Disorder (IDD) is a public health problem especially for school-aged children living in endemic area. This condition might be worsen if the children have moderate or severe stunted and undernutrition together with IDD. This interaction was observed in this study. This study was aimed to investigate levels of some biochemical parameters, nutritional status and IQ score in school-aged children with iodine deficiency in endemic area of Boyolali Regency, Central Java. The before and after quasi experimental study design was implemented. The samples of study were school-aged children (9-12 years) suffering from iodine deficiency and Protein Energy Malnutrition (PEM) and attributed 6-11 sign of cretinism. A total number of 115 children were selected as study samples. Sampling was conducted purposively. Selenium (Se) and Iodine (I) of plasma, Haemogloblin (Hb) and Haematocrite (Ht) levels, and score of index Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Haemoglobin (MCH), Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC), nutritional status, and IQ score activity were determined. The group of treatments were Se supplement (n=34), I supplement (n=35), Se and I supplement (n=18) and placebo (n=28). The amount of Se and I given per day were 45 μg and 50 μg respectively. The study showed that before treatment the prevalence anemia based on Hb<11.5 g/dl and Ht<35% were 1.7% and 14% respectively, while microcytic and macrocytic anemia were 31% (based on MCV), 20% (based on MCH). When MCHC was used as a parameter, hypochromic and hyperchromic anemia were found 34%. Other cases such as leucopenia was observed 20.4% and deficiency of erythrocyte was 14.6%. Prevalence of Se and I deficiencies were very high (97.4% and 81.7% respectively). Anthropometrically 35% of samples were stunted and 34% were underweight. Score IQ as measured by Raven’s method showed that all of children who suffered from very severe deficiency of Selenium and Iodine (24.3% of the total samples) had IQ score lower than 25 (Idiot), 13% with IQ score between 25-40 (Imbecile), 10.7% with IQ score between 40-55 (Moron) and 8.7% with IQ score between 55-70 (borderline). Attribute of cretinism was found 6-11 signs. The nutritional status of the children were found better after all treatments. After treatments no cases of anemia based on Hb and Ht (p>0.05) were observed. Treatment with Se increased plasma Se (+2.76μg/dl) and I (+1.35μg/dl) which were higher than other treatments. Supplementation with Se improved blood profiles in term of leucocyte, MCV, plasma Se and I (p<0.01), and also increasing nutritional status based weight for age and IQ score (p<0.05). Iodine supplementation increased IQ score (p<0.01), and nutritional status based on height for age (p<0.05). Selenium and Iodine supplementation improved blood profiles in term of erythrocyte, MCH and MCHC (p<0.01). Based on LSD test, it was concluded that supplementation of 45 μg Se/day for two months may provide better response than supplementation of 50 μg I/day or supplementation of Se and I at the same time when intervention was conducted to 9-12 years old children with 6-11 cretinism signs. KEYWORDS: Nutritional Status, Score IQ, MCV, MCH, MCHC, Selenium, Iodine, School Children with Cretinism Attributes
RINGKASAN DIFFAH HANIM, Pengaruh Pemberian Suplemen Selenium dan Iodium terhadap Profil Darah, Status Gizi dan Skor IQ Anak dengan Tanda Khas Kretin. Dibimbing oleh RIMBAWAN, ALI KHOMSAN, DRAJAT MARTIANTO. Gangguan akibat kurang iodium (GAKI) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama pada anak sekolah dasar yang tinggal di daerah endemik GAKI. Kondisi ini diperparah dengan adanya masalah kurang energi protein baik yang diukur menggunakan indikator berat badan maupun tinggi badan anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur parameter biokimia, status gizi, skor IQ dan jumlah tanda khas kretin pada anak yang tinggal di daerah endemik GAKI. Desain penelitian menggunakan Experimental Kuasi dengan sampel anak umur 9-12 tahun yang masih aktif dan tercatat di sekolah dasar (SD) daerah endemik GAKI, Boyolali Jawa Tengah. Jumlah sampel 115 anak penderita GAKI dengan 6-11 tanda khas kretin. Sampel dipilih secara purposive tetapi SD dialokasikan secara random ke dalam empat kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan meliputi suplemen selenium 45 μg/hari (n=34), suplemen iodium 50 μg/hari (n=35), suplemen selenium+iodium (n=18) dan plasebo (n=28). Suplemen diberikan setiap hari selama dua bulan. Indikator profil darah yang diperiksa meliputi kadar Hb, Ht, jumlah eritrosit, leukosit, kadar MCV, MCH dan MCHC. Status gizi dengan indikator Z-skor BB/U dan TB/U. Skor IQ diukur dengan Set Test Raven (1995). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum perlakuan profil darah menurut kadar Hb ada 1.7% anak yang menderita anemia, berdasar kadar Ht ada 14% penderita anemia. Berdasarkan kadar MCV jenis anemia (microcytic dan macrocytic) ada 31%, menurut MCH jenis anemia (microcytic dan macrocytic) ada 20%. Hasil pemeriksaan MCHC menunjukkan jenis anemia (hipokromik dan hiperkromik) ada 34%. Jumlah anak yang kekurangan eritrosit ada 14.6% dan yang menderita Leukopenia ada 20.4%. Prevalensi defisiensi Se ada 97.4% dan defisiensi I sebesar 81.7%, sedangkan prevalensi stunted 35% dan underweight sebesar 34%. Skor IQ dengan metode Raven menunjukkan bahwa semua anak yang menderita defisiensi selenium dan iodium (24.3%) memiliki skor IQ kurang dari 25 (Idiot), ada 13% dengan IQ=25-40 (Imbecile), sebanyak 10.7% memiliki IQ=40-55 (Moron) dan 8.7% dengan IQ=55-70 (garis batas normal). Jumlah tanda khas kretin ada 6-11 tanda sehingga belum dapat meyakinkan untuk disebut kretin baru (15 tanda). Setelah perlakuan meskipun tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05) dalam hal kenaikan Hb tetapi mampu mengubah angka 1.7 % anak dengan kadar Hb rendah, menjadi normal (11.7-17.1 g/dL). Suplementasi Se dan I menunjukkan perubahan kadar Ht dari 18-48.5% menjadi 32.99-49.8% (p>0.05). Suplementasi Se dan I dapat memperbaiki jenis anemia mikrositik dan makrositik baik hipokromik maupun hiperkromik menjadi monositik-monokromik secara nyata (p<0.001) dibandingkan plasebo. Perubahan plasma Se dan I pada
kelompok perlakuan Se (+2.76μg/dL) lebih baik dibandingkan kelompok perlakuan I (1.35 μg/dL) dan plasebo (+1.2μg/dL). Setelah suplementasi terjadi peningkatan status gizi pada semua kelompok perlakuan. Hasil paling baik ditemukan pada kelompok perlakuan suplemen selenium (3.04 kg) dengan kisaran kenaikan berat badan sebesar 1.96 – 3.04 kg (p<0.05). Pemberian suplemen I sebanyak 50 µg/hari memberikan pengaruh terbaik dengan rataan kenaikan tinggi badan 2.3 cm pada kisaran 1.2 – 3.5 cm (p<0.05). Pemberian suplemen Se sebanyak 45 μg/hari dan I sebanyak 50 μg/hari selama dua bulan dapat memperbaiki skor IQ anak (18 point) lebih tinggi dibandingkan dengan plasebo. Jumlah tanda khas kretin turun satu point setelah pemberian suplemen selenium 45 μg/hari dan iodium 50 μg/hari selama dua bulan dari 6-11 tanda menjadi 5-10 tanda (p>0.05) dengan R(adjusted) sebesar 0.547. Pemberian suplemen Se 45 μg/hari yang diminum setiap hari selama 2 bulan mampu memperbaiki profil darah, status gizi, skor IQ anak yang memiliki tanda khas ketin lebih baik dibandingkan dengan suplementasi I dengan dosis 50 μg/hari dalam waktu yang sama.
PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN SELENIUM DAN IODIUM TERHADAP PROFIL DARAH, STATUS GIZI DAN SKOR IQ ANAK DENGAN TANDA KHAS KRETIN
DIFFAH HANIM
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Halaman Pengesahan Judul Penelitian
: PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN SELENIUM DAN
IODIUM
TERHADAP
PROFIL
DARAH,
STATUS GIZI DAN SKOR IQ ANAK DENGAN TANDA KHAS KRETIN Nama Mahasiswa
: Diffah Hanim
NRP.
: A 561030081
Program Studi
: Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMK)
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Rimbawan Ketua
Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi Anggota
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Hadi Riyadi, M.S.
Tanggal Ujian : 23 Januari 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus : 21 Februari 2008
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. drh. Nastiti Kusumorini, M.Sc Dr.Ir. Hadi Riyadi, MS Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr.Sunarno Ranu Wihardjo, MPH 2. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Agustus 2005 – Mei 2007 ialah masalah gangguan akibat kurang iodium (GAKI) dengan judul : PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN SELENIUM DAN IODIUM TERHADAP PROFIL DARAH, STATUS GIZI DAN SKOR IQ ANAK DENGAN TANDA KHAS KRETIN. Terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Rimbawan selaku ketua komisi pembimbing dan Prof.Dr.Ir Ali Khomsan, MS ; Dr.Ir. Drajat Martianto, M.Si selaku anggota komisi pembimbing, Dr.drh. Nastiti Kusumorini, M.Sc serta Dr.Ir. Hadi Riyadi, MS yang telah banyak memberi masukan saat ujian tertutup untuk perbaikan disertasi. Penghargaan dan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Sunarno RW, MPH serta Dr. Ir. Anna Marliyati, MS yang telah memberi masukan sangat berharga saat ujian terbuka. Penulis juga menghaturkan terimakasih kepada dr. Sulis Lestari, dr. Syamsudin, M.Kes, dr. Mumpuni beserta seluruh staf DKK Boyolali dan staf Puskesmas Cepogo, Kab. Boyolali atas bantuan dan kerjasamanya yang baik selama pengumpulan data. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada seluruh staf Lab. Teknologi Maju BATAN Yogyakarta dan Lab. Klinik Prodia Surakarta serta semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu atas kerjasamanya yang baik selama penelitian. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada: Ytc. Ayahanda Zuhair (Alm) dan Ibunda Djulyunah Zuhair (Alm) atas segala doa dan kasih sayangnya kepada penulis sejak dalam kandungan hingga beliau wafat selalu mendukung proses belajar penulis. Kepada seluruh keluarga Bani Zuhair atas segala perhatian, pengertian dan bantuan materiil yang tak terhitung sehingga studi S3 ini dapat diselesaikan. Yth. Rektor UNS, Prof. Dr. dr. Syamsul Hadi, SpKJ dan Ketua LPPM UNS, Prof. Dr. Sunardi, M.Sc serta Kepala Puslitbang PGKM, Prof. Dr. Ir. Sri Handajani, MS; Kepala dan Sekretaris P3G beserta semua staf peneliti khususnya Dra. Ismi DAN, MSi, Eva Agustinawati, S.Sos, MSi penulis sampaikan terimakasih yang tulus. Yth. Dr. dr. AA Subiyanto, MS selaku Dekan FK UNS dan Prof. Dr. Bambang Suprapto, M.MedSci selaku Kepala Bagian Gizi Fak. Kedokteran UNS beserta seluruh staf Ilmu Gizi dan teman-teman sejawat di Jurusan IKM FK UNS khususnya dr. Bhisma Murti, MPH, Mphil, PhD dan Dra. Suci Murtikarini,M.Si di Bagian Anak RSUD. Moewardi, saudaraku Dra. Martini M.Si di Bagian Kimia FK UNS, serta Prof. Dra. Nurul M. MS di F.MIPA UNS atas doa dan nasehatnya, sahabat-sahabat saya lainnya di FK UNS Surakarta yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu disampaikan terimakasih yang tulus. Yth. Direksi PT. Kimia Farma (cq. Divisi Riset dan Pengembangan) melalui Drs. Dediwan, Apt. ; Dra. V. Ani Trimuryani, Apt. serta Drs. Imam Syaiful H, Apt. yang telah membantu formulasi dan produksi kapsul selenium selenat 45 μg dan kapsul iodium 50μg dan penyediaannya untuk suplementasi. Yth. Direksi PT. Danone Aqua dan Biskuit yang telah membantu menyediakan minuman aqua bagi anak sekolah dasar untuk minum suplemen selama penelitian berlangsung, khususnya saudaraku Tani Sulaeman, SE, MBA,
saudaraku Dewi Larasati, SE,MM, saudaraku Inti W, SE,MM dan Drs. Seto BM., saya sampaikan terimakasih. Yth. Prof.Dr.dr JB. Suparjatmo, Sp.PK (K), Dr.dr. AA Subiyanto, MS; dr. Sugeng Purwoko,M.MedSci, SpGK, dr. Endang Dewi Lestari, Sp.A(K) MPH atas bantuannya hingga peneliti memperoleh ijin/persetujuan etik kedokteran (Ethical Clearance) untuk pelaksanaan penelitian S3. Ytc. Teman-teman Program Studi Gizi Masyarakat (GMK) SPS IPB tahun ajaran 2003 khususnya Dr. Ir. Sri Purwaningsih M.Si, Dr. Ir. Dwi Hastuti M.Si, Dr. Suryono, M.Si, Dr. Evawany A, M.Si, Dr. Esi Emilia M.Si, Dr. Ai Nurhayati, M.Si dan Ir. Zulhaida Lubis M.Si; Ir. Istiqlaliah M.Si, serta teman GMK tahun 2004 khususnya Dr.Ir. Dodik Briawan M.Si, sahabatku angkatan tahun 2005 khususnya Ir. C. Metti M.Sc serta seluruh civitas academica GMK IPB, teman serumah di Puri Hapsara (Bu Nanik UNHAS, Bu Sri Purwanti UNHAS, Bu Insun Sangaji UNPATI, Meisy dan Elly UNSRI, Rahmi Univ Jambi, Nisa UIN Syarifhidayatullah Jakarta, dan Iffah) tak lupa kepada saudaraku Dra. Eko Yuliastuti, MSi; Ir. Sri DAS, MSi dan saudaraku Dr. Ir. Endang Yuniastuti,M.Si sera teman-teman semua di Bogor dan Surakarta, penulis sampaikan rasa terimakasih yang dalam semoga Allah SWT senantiasa melapangkan semua urusan kita. Amin. Ytc. Seluruh keponakanku yang tinggal di Jakarta (Mirdas, Reza, Achi, Nisa, Citra, Fauzia, Shifa), keponakanku di Surabaya dan Gresik (Radif, Ulil, Yomie, Offi, Emi, Diar dan Arma), keponakanku di Yogyakarta (Agaf, Wiga) keponakan di Cirebon (Iwan, Lukman, Lia, Iman, Ida) tante sampaikan terimakasih atas doa, perhatian dan pengertiannya selama tante mengambil S3 di Bogor. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi para pembaca dan pemerhati masalah GAKI. Apabila terdapat kesalahan penulisan nama dan kekhilafan selama pelaksanaan penelitian dan perjalanan penyusunan disertasi ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Billahittaufik wal hidayah, Wassalam. Bogor,
Januari 2008 Diffah Hanim
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Yogyakarta, pada tanggal 20 Februari 1964 dari Ayah R. Zuhair Durie dan ibu Hj. Djulyunah Humam. Penulis merupakan putri ke-9 dari sepuluh bersaudara. Tahun 1983 penulis lulus dari SMA Muh. II Yogyakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk UNSOED Purwokerto pada Fakultas Biologi, Jurusan Zoologi. Selama penyusunan Skripsi penulis mendapat beasiswa dari UNOCAL76, PERTAMINA dan lulus tahun 1988. Sejak tahun 1990 penulis menjadi pegawai negeri sipil (PNS) sebagai staf pengajar Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Pada tahun 1993 melanjutkan pendidikan Pascasarjana S2 pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMK) IPB dengan beasiswa Proyek CHN-III Dikti dan lulus tahun 1996. Kemudian tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan S3 pada SPS IPB, Program Studi GMK dengan beasiswa dari BPPS Dikti, Depdiknas. Selama mengikuti program S3 penulis telah menghasilkan karya ilmiah berupa buku yang berjudul Menjadikan ‘UKS’ sebagai Upaya Promosi Tumbuh Kembang Anak Didik tahun 2005 yang diterbitkan oleh UGM Press, Yogyakarta dengan Editor Dr.Ir. Drajat Martianto, M.Si yang juga anggota komisi pembimbing disertasi penulis. Dua artikel ilmiah juga telag dihasilkan dengan judul : Pengaruh Pemberian Suplemen Selenium dan Iodium Terhadap Status Gizi, Skor IQ dan Jumlah Tanda Khas Kretin pada Anak Sekolah Dasar yang diterbitkan pada Jurnal Kedokteran YARSI Vol. 16 No.1 Januari-April 2008 (Terakreditasi No. 23a/DIKTI/KEP/ 2004) serta artikel ilmiah lainnya dengan judul: Kajian Jenis Anemia Gizi Besi dan Status Gizi Anak Penderita ’GAKI’ Di Daerah Endemik Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah yang akan dimuat pada Jurnal Ilmiah Profesi Medika, Fakultas Kedokteran UPN ’Veteran’ Jakarta (Terakreditasi No. 39/DIKTI/KEP/2004).
Bogor,
Januari 2008 Diffah Hanim
DAFTAR ISI Halaman
Abstract ........................................................................................ i Ringkasan ........................................................................................ ii Halaman Judul ............................................................................ iv Halaman Pengesahan ................................................................ v Prakata ........................................................................................ vi Riwayat Hidup ............................................................................ viii Daftar Isi ............................................................................ x Daftar Tabel ............................................................................ xiii Daftar Gambar ............................................................................ xv Daftar Lampiran ............................................................................ xvii
PENDAHULUAN Latar belakang
................................................................
1
Perumusan masalah
................................................................
5
Tujuan penelitian
................................................................
7
Kegunaan penelitian
................................................................
8
............................................................................
8
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA Iodium dan Masalah GAKI
....................................................
9
....................................................
10
Dampak dari GAKI pada Berbagai Tahapan Perkembangan ....
14
Penilaian Status Iodium
....................................................
17
..............................................................
18
Spektrum Kretin Endemik dan Kelainan Hipotiroid ................
21
Selenium dan GAKI ……………………………………........
27
Growth Spurt II Anak Sekolah ....................................................
30
Tes IQ pada Anak Sekolah Dasar
........................................
34
Selenium, Perkembangan Fisiologi Otak dan Hasil Tes IQ ...........
35
Fisiologi dan Perkembangan Otak ……………………………......
38
Darah dan Defisiensi Zat Gizi Mikro
........................................
41
Eritrosit (Sel Darah Merah)
..............................................
42
Leukosit (Sel Darah Putih)
...............................................
43
Patofisiologi Anemia
.....................................................
44
Selenium, Fungsi, Sumber
....................................................
47
Regulasi Kelenjar Thyroid.
Kecukupan Iodium
Kecukupan Selenium ................................................................
50
Akibat Kekurangan dan Kelebihan Asupan Selenium................
52
Penyerapan Selenium Organik dan Inorganik ............................
55
Sistem Transpor dan Metabolisme Selenium .............................
56
Status Selenium
.................................................................
57
Lama Intervensi dan Dosis Suplemen Se dan I .............................
62
KERANGKA PEMIKIRAN
.....................................................
63
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian
....................................................
64
Desain Penelitian ............................................................................
65
Populasi dan Sampling ................................................................
67
Variabel dan Definisi Operasional ...............................................
70
Cara Pengumpulan Data ................................................................
75
Analisis Data
............................................................................
76
Protokol Penelitian...........................................................................
77
HASIL Hasil Penelitian Pendahuluan
……………………………........
81
Hasil Penapisan Sampel ……………………………………........
82
Hasil Penelitian Epidemiologi
………………………………....
84
Karakteristik Anak menurut Hasil Pemeriksaan Laboratorium ......
86
Hasil Pemeriksaan Profil Darah Rutin menurut Kelompok Perlakuan ..................................................... Hasil Pemeriksaan Kadar Selenium dan Iodium Plasma menurut Kelompok Perlakuan.............................................
86 91
Karakteristik Anak menurut Pemeriksaan Fisik ……………….....
94
Pengaruh Pemberian Suplemen terhadap Status Gizi..................
94
Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak
.........................................
100
Hasil Pengukuran Lingkar Lidah Anak menurut Kelompok Perlakuan …………………………............
100
Hasil Tes IQ Anak menurut Kelompok Perlakuan ...................
104
Pengaruh Pemberian Suplemen Selenium dan Iodium terhadap Jumlah Tanda Khas Kretin....................................
109
PEMBAHASAN Penapisan Sampel
.......................................................
111
Penapisan Tes IQ
...................................................................
111
Profil Darah Anak menurut Kelompok Perlakuan
...................
112
Kadar Selenium dan Iodium Plasma menurut Kelompok Perlakuan ...............................................................................
120
Faktor yang Mempengaruhi Respon Profil Darah
...................
122
Status Gizi Anak menurut Kelompok Perlakuan
...................
127
Status Gizi berdasarkan standar CDC (WHO, 2000) menurut Kelompok Perlakuan ...........................................
127
Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak
132
...........................................
Lingkar Lidah menurut Kelompok Perlakuan
...................
134 Skor IQ Anak menurut Kelompok Perlakuan
...................
136
Jumlah Tanda Khas Kretin menurut Kelompok Perlakuan…............
139
Faktor yang Mempengaruhi Respon Status Gizi ...............................
139
Analisis Normalitas Data dan Uji ANOVA
...............................
140
.......................................................
141
Analisis Implikasi Kebijakan .......................................................
142
Analisis Implikasi Keilmuan .......................................................
143
Kebaruan Penelitian
.......................................................
143
Keterbatasan Penelitian
.......................................................
144
Simpulan ...........................................................................................
145
Saran
...........................................................................................
146
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
147
LAMPIRAN
160
Analisis Regresi Logistik
SIMPULAN DAN SARAN
...............................................................................
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Dampak Dfisiensi Iodium pada Organ dan Hormon Tikus ........... 14
2
Dampak Gangguan Akibat Kurang Iodium ................................... 16
3
Rekomendasi Asupan iodium ........................................................... 19
4
Upaya Penanggulangan GAKI oleh Depkes .................................. 20
5
Simtomatologi Kretin Endemik, Sengi (1974 –1999)
........... 21
6
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Anak Diduga Kretin
........... 25
7
Matriks Hipotesis yang sudah Dibuktikan
8
Karakteristik Pertumbuhan Fisik dan Perubahan Komposisi Tubuh pada Masa Growth Spurt II ................................... 31
9
Kebutuhan Zat Gizi pada Puncak Growth Spurt II
10
Skor IQ Wechsler yang dikembangkan oleh Raven ....................... 35
11
Sumber dan Kandungan Selenium dalam Bahan Makanan ........... 43
12
Angka Kecukupan yang Dianjurkan untuk Selenium...................... 44
13
Kadar Haemoglobin Normal pada Anak
14
Angka rata-rata dari Leukosit dan Angka Turunan / Diferensial pada Anak .......................................................... 52
15
Desain dan Lokasi Penelitian .......................................................... 67
16
Kriteria Inklusi untuk Penentuan Sampel Saat Penapisan .............. 68
17
Hasil Randomisasi SD untuk Penentuan Jenis Perlakuan ............... 70
18
Hasil Analisis Bio-availabilitas Kapsul Iodium dan Selenium
19
Besar dan Asal Sampel Penapisan
20
Persentase Sebaran Partisipasi Responden
21
Hasil Analisis Profil Darah Rutin Anak Umur 9-12 tahun.............. 87
22
Hasil Analisis Pengukuran Biokimia Darah menurut Kelompok Perlakuan .......................................................... 88
23
Hasil Analisis ∆ Peningkatan Jumlah Leukosit pada Anak .................................................................................. 90
24
Hasil Analisis ∆ Peningkatan Jumlah Eritrosit pada Anak .................................................................................. 90
25
Hasil Analisis ∆ Kadar MCV pada Anak dengan Tanda Khas Kretin ...................................................................... 90
26
Hasil Analisis ∆ Kadar MCH pada Anak dengan Tanda Khas Kretin ...................................................................... 91
....................... 30
....................... 33
.................................. 50
82
............................................. 84 ................................. 85
27 28 29 30 31
Hasil Analisis ∆ Kadar MCHC pada Anak dengan Tanda Khas Kretin ...................................................................
92
Hasil Analisis Kadar Selenium dan Iodium dalam Plasma Darah Anak ...................................................................
93
Distribusi Anak menurut Kadar Selenium Plasma Darah dan Kelompok Perlakuan ...........................................
94
Distribusi Anak menurut Kadar Iodium Plasma Darah dan Kelompok Perlakuan ...........................................
94
Distribusi Anak menurut Kadar Selenium Plasma Darah dan Jenis Kelamin .................................................…..
94
32
Distribusi Anak menurut Kadar Iodium Plasma Darah dan Jenis Kelamin ........................................................ 95
33
Hasil Analisis ∆ Kadar Iodium dan Selenium Plasma
........ 95
34
Hasil Uji Beda Status Gizi menurut Kelompok Perlakuan
........ 96
35
Hasil Analisis Regresi Antropometri menurut Kelompok Perlakuan ........................................................ 97
36
Karakteristik Antropometri Anak menurut Kelompok Perlakuan (Sebelum Perlakuan) ............................................. 98
37
Karakteristik Antropometri Anak menurut Kelompok Perlakuan (Sesudah Perlakuan) .............................................
99
Prevalensi Underweight menurut Jenis Kelamin dan Perlakuan Sebelum dan Sesudah Suplementasi ...................
100
Prevalensi stunted menurut Jenis Kelamin dan Perlakuan Sebelum dan Sesudah Suplementasi ...................
100
Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak di Daerah Endemik GAKI menurut AKG (2004) ...........................................................
101
41
Lingkar Lidah Anak menurut Kelompok Perlakuan ...................
103
42
Lingkar Lidah Anak menurut Jumlah Petanda Kretin..................
103
43
Hasil Analisis Ukuran Lingkar Lidah dengan Faktor Anemia ..... 104
44
Lingkar Lidah Anak menurut Jenis Kelamin ................................ 107
45
Hasil Tes IQ Anak menurut Kelompok Perlakuan dan Status Gizi Anak Sebelum Perlakuan ................................ 105
46
Hasil Tes IQ Anak menurut Kelompok Perlakuan dan Status Gizi Anak Sesudah Perlakuan ................................ 105
47
Skor IQ menurut Status Gizi dan Jenis Kelamin Anak
38 39 40
(Sebelum Perlakuan)
........................................................ 108
48
Skor IQ menurut Status Gizi dan Jenis Kelamin Anak (Sesudah Perlakuan) ........................................................ 109
49
Hasil Analisis ∆ Peningkatan Skor IQ pada anak ......................... 109
50
Hasil Analisis Selisih Penurunan Jumlah Tanda Khas Kretin .....
111
51
Hasil Analisis Uji Beda ∆ Antropometri, Skor IQ menurut Kelompok Perlakuan ...............................
111
Hasil Analisis Nilai Odd Ratio dan Nilai p untuk Profil Darah Anak ...................................................................
111
52 53
Hasil Analisis Nilai Odd Ratio dan Nilai p untuk Status Gizi Anak .................................................................... 111
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Konversi T4 menjadi T3
…………………………………...
12
2
Spektrum Kretin Endemik dan Kongenital Hipotiroid.................
23
3
Alternatif Upaya Penanggulangan GAKI di Negara Berkembang
29
4
Bagian-bagian Otak
37
5
Bagian-bagian Otak Dilihat dari Tengah
6
Bagian Utama Otak dan Lobus
7
Synaps
8
....................................................... ...............................
38
............................................
38
................................................................................
41
Perbandingan Volume Sel Otak Penderita Kretin dengan Otak Orang Sehat ....................................................................
41
9
Reaksi Aktivitas Glutation-S-transferase
60
10
Hubungan Sinergis Zat Gizi sebagai Antioksidan
11
Kerangka Pemikiran
12
................................... ...................
62
.......................................................
64
Foto SDN Jombong 1 dan SDN Jombong 2 di desa Jombong, Kecamatan Cepogo, Boyolali sebagai Lokasi Penelitian........
65
13
Hasil Penapisan Gejala / Tanda Khas Kretin ................................
83
14
Hasil Penapisan Tes IQ
84
15
Distribusi Umur Anak (Tahun)
16
Distribusi Jenis Kelamin
........................................................ ............................................
85
........................................................
86
17
Status Kebersihan Anak di Daerah Endemik GAKI ....................
86
18
Hasil Analisis Persentase Kadar Eritosit menurut Kelompok Perlakuan ........................................................
89
Hasil Analisis Persentase Kadar Leukosit menurut Kelompok Perlakuan ........................................................
89
20
Hasil Analisis MCV menurut Kelompok Perlakuan ...................
90
21
Hasil Analisis MCV menurut Kelompok Perlakuan ...................
91
22
Hasil Analisis MCHC menurut Kelompok Perlakuan .................
92
23
Hasil Analisis Status Iodium Plasma menurut Kelompok Perlakuan ............................................
93
Hasil Analisis Status Selenium Plasma menurut Kelompok Perlakuan ............................................
93
19
24 25
Status Gizi Anak berdasar standar CDC (WHO, 2000).................. 96
26
Status Gizi Anak menurut Jenis Kelamin
............................
98
27
Pelaksanaan Pengukuran Antropometri Anak di Daerah Endemik GAKI .................................................................
99
28
Pengukuran Lingkar Lidah pada Anak Penderita GAKI ...........
102
29
Jumlah Tanda Khas Kretin dan Status Gizi Anak
105
30
Hasil Analisis Skor IQ menurut Kelompok Perlakuan
.....
106
31
Hasil Analisis Tanda Khas Kretin menurut Kelompok Perlakuan ............................................................................
110
................
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Lembar Data Kepatuhan
........................................................
160
2
Presensi Kepatuhan Siswa ’Minum Kapsul’ SDN Jombong I, ...... Kecamatan Cepogo, Boyolali (Minggu – I) ....................
161 162
3
Lembar Jawab Tes IQ Raven ........................................................
163
4
Jenis Menu Makanan Harian Anak di Derah Endemik GAKI..........
163
5
Nilai Zat Gizi Menurut Jenis Menu Makanan Harian Anak di Daerah Endemik GAKI ........................................................
164
Rata-rata Nilai Zat Gizi Menurut Sumbangan Makanan Jajanan Anak di Daerah Endemik GAKI ...............................
164
6 7
Daftar Bahan Pangan Goitrogenik (Chapman, 1982)
8
Hasil Test Distribusi Kenormalan Data dan Homogenitas Sampel .................................................................................
165
9
Jenis Intervensi Suplemen Iodium di Berbagai Negara……….......
166
10
Ethical Clearance
...................................................................
167
11
Surat-surat dan Hasil Analisis Laboratorium ................................
168
12
Hasil Analisis Ancova
169
........................................................
PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN SELENIUM DAN IODIUM TERHADAP PROFIL DARAH, STATUS GIZI DAN SKOR IQ ANAK DENGAN TANDA KHAS KRETIN
DIFFAH HANIM
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PENDAHULUAN Latar belakang Kurang zat gizi mikro merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia karena jumlah penderitanya masih lebih dari 100 juta jiwa (Untoro, 2004). Zat gizi mikro penting untuk kecerdasan dan kekebalan tubuh. Akibatnya ada 360.000 siswa kehilangan kesempatan belajar karena tidak naik kelas dan putus sekolah, dan tiap tahun 20.000 meninggal karena rentan terhadap infeksi penyakit (Soekirman, 2003). Salah satu masalah kurang zat gizi mikro di Indonesia adalah Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI). Dampak GAKI berat pada anak usia SD adalah terjadinya kesulitan belajar, sehingga mengakibatkan prestasi belajar di sekolah rendah dan mempertinggi persentase anak tinggal kelas dan putus sekolah. Hasil penelitian tahun 1993 menunjukkan 75 % siswa usia SD yang menderita kretin mengalami kesulitan belajar di sekolah, sehingga mereka memerlukan perhatian dan pembinaan tertentu agar tidak gagal dalam pendidikan (Hartono, 2001). Penelitian Salim (1999) di Boyolali menemukan anak didik usia SD yang berindikasi kretin 11,89% dan GAKI 12,23 %, sehingga memerlukan pembinaan pendidikan luar sekolah dan pemberdayaan keluarga agar mampu mengkonsumsi garam beriodium setiap harinya bagi seluruh anggota keluarga. Kretin merupakan puncak gunung es dari masalah GAKI, pada polarisasi yang lebih ringan masalahnya lebih besar lagi. GAKI merupakan bentuk lain dari kelaparan tak kentara (kurang gizi) yang telah diketahui, bahwa anak penderita GAKI umumnya memiliki dampak yang mirip dengan anak yang menderita kurang zat besi (Fe) yaitu mempunyai aktivitas yang lemah dan kurang cerdas. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan otaknya akibat IQ yang hilang sekitar 5-10 point. Apabila dari 42 juta penduduk Indonesia yang berisiko GAKI ada sekitar 35 persennya (15 juta orang) telah mengalami GAKI ringan dan sedang maka secara potensial Indonesia akan kehilangan 150 juta point (Soekirman, 2002).
Fungsi selenium berhubungan pula dengan iodium, seperti yang dikemukakan Arthur (1993) pada daerah endemik GAKI selain defisiensi iodium juga ditemukan defisiensi unsur selenium secara bersamaan. Sejalan dengan hal itu
penelitian yang dilakukan oleh Rimbawan et al. (2000) di Kabupaten
Pasuruan menunjukkan bahwa kekurangan iodium bukanlah satu-satunya penyebab GAKI tapi juga disebabkan oleh kekurangan selenium dengan bukti bahwa asupan iodium dan seleniumnya masih kurang dari angka kecukupan. Terdapat hubungan antara asupan selenium dan iodium dengan parameter penentu status iodium dan selenium, sehingga hubungan antara kekurangan iodium dan selenium dapat dijadikan parameter dalam menentukan masalah GAKI. Hubungan antara selenium dan iodium menurut WHO (1996) dikarenakan enzim deiodinase mengandung selenium. Enzim deiodinase glutation peroksidase (GSH-Px) mengubah tiroksin menjadi 3,5,3-triiodotironin (T3). Salah satu peran penting selenium adalah sebagai komponen enzim glutation peroksidase (GSH-Px) sel darah merah yang bila bertemu dengan vitamin B2 (Riboflavin) pada jalur ‘HMP-Shunt’ dalam sitoplasma akan dapat memperbaiki / meningkatkan kadar Hb. Kemudian enzim glutation peroksidase dapat menghancurkan hidrogen peroksida dan hidroperoksida organik dengan pengurangan ekuivalen dari glutation (IOM, 2000). Selanjutnya IOM (2000) menganjurkan dilakukannya riset tentang intervensi selenium organik dan inorganik untuk mencegah dan mengatasi berbagai kekurangan zat gizi mikro. Di Indonesia belum tersedia data yang mencukupi untuk anak di daerah endemik GAKI khususnya yang berkaitan dengan kecukupan zat gizi mikro iodium, selenium, dan besi. Sementara di Skotlandia pemberian suplemen Selenium selama 28 hari mampu memperbaiki profil darah penduduk yang menderita anemia di daerah endemik GAKI. Sodium Selenium memiliki efek positif yang baik dalam meningkatkan kadar eritrosit dan leukosit pada anak yang menderita anemia (Brown, et al. 2003). Meskipun beberapa studi menunjukkan bahwa masalah GAKI terkait dengan defisiensi selenium, namun sampai saat ini program yang ada masih mengandalkan cara intervensi gizi tunggal sehingga dampaknya kurang memberikan hasil seperti yang diharapkan. Untuk itu diperlukan penelitian yang
dapat menunjukkan bahwa penanganan GAKI perlu mempertimbangkan peran zat gizi Selenium (Se) sebagai antioksidan, komponen enzim dan antikarsinogen (IOM, 2000). Pada kretin endemik seringkali ditemukan dua kondisi yaitu hipothyroidi dan kerusakan susunan saraf pusat (retardasi mental, tuli perseptif, retardasi neuromotor dan kerusakan batang otak). Berdasarkan kenyataan bahwa ternyata ‘hipothyroidisme’ juga terlihat pada orang normal maka di Indonesia Djokomoeljanto (2002) mendefinisikan bahwa seseorang termasuk kretin endemik bila dilahirkan di daerah gondok endemik dan menunjukkan dua atau tiga gejala dari : retardasi mental, tuli perseptif (sensorineural) nada tinggi dan gangguan neuro-muskuler.
Kondisi tersebut dapat disertai atau tidak disertai
hipothyroidisme. Sementara itu di Zaire tipe kretin miksudematosa merupakan kejadian predominan sehingga dihipotesiskan bahwa defisiensi selenium (Se) yang kebetulan prevalen akan melindungi otak fetus (deiodenase II bukan enzim yang mengandung selenium) dan bukan perifer (deiodenase I adalah enzim yang mengandung selenium). Artinya bila kandungan selenium dalam darah cukup (0.1-1.1 μg /ml) maka pembentukan T3 dari T4 akan lancar sehingga gondok maupun kretin endemik dapat dicegah (Linder, 1992). Oleh karena itu penelitian tentang suplemen Se dengan Iodium untuk mencegah terjadinya kretin baru pada anak usia sekolah dasar di desa endemik GAKI sangat penting untuk dilakukan. Sampai saat ini telah diketahui bahwa determinan utama kadar T3 di otak dan pituitary adalah serum T4. Hasil penelitian pada tikus menunjukkan bahwa rendahnya T3 pada otak akibat kekurangan iodium berhubungan dengan penurunan serum T4. Penemuan ini menjelaskan bahwa rendahnya fungsi otak pada manusia yang mempunyai serum T4 rendah di daerah endemik GAKI dipengaruhi oleh selenium, suatu komponen enzim yang memfasilitasi konversi iodium (Kanarek et al.1991). Akan tetapi perlu dipertimbangkan bahwa jenis selenium yang memiliki daya serap tinggi adalah selenium organik (Brown, et al. 2003). Sudah diketahui bahwa mekanisme terjadinya goiter pada anak usia sekolah adalah akibat dari defisiensi iodium yang menyebabkan penurunan T4 sehingga memicu sekresi TSH yang berakibat meningkatnya aktivitas kelenjar
thyroid. Meskipun mekanisme terjadinya kretin pada usia remaja awal (usia anak > 10 tahun) masih merupakan perdebatan ilmiah, namun sudah menjadi kesepakatan para ilmuwan bahwa kekurangan selenium pada awal kehamilan akan melahirkan anak yang memiliki risiko kretin (Djokomoeljanto (2002). Hal ini disebabkan oleh gagalnya T4 menjadi T3 akibat defisiensi selenium sehingga menyebabkan kelainan kongenital pada pertumbuhan hippocampus otak. Anak usia sekolah yang defisiensi iodium dan tinggal di daerah endemik GAKI menunjukkan kemampuan belajar yang rendah dengan skor IQ rendah sehingga angka putus sekolah tinggi. Hasil meta-analisis dari 18 studi yang dilakukan pada tahun 1982-1991 menunjukkan bahwa GAKI mengakibatkan penurunan IQ point rata-rata 13.5 point (Pennington & Schoen, 1996). Saat ini kapsul minyak beriodium dosis tinggi dinilai tidak efektif karena iodium banyak dibuang melalui urin sesaat setelah dikonsumsi (Djokomoeljanto, 1993). Keadaan ini memperpendek masa proteksi sehingga tidak cukup untuk mengatasi kekurangan iodium. Selain itu pemberian iodium dosis tinggi juga berisiko menimbulkan kasus hiperthyroid atau tirotoksisitas (Delange et al., 2001). Penelitian epidemiologis lain (Elnagar, 1995) menemukan adanya kasus hiperthyroid dikalangan orang dewasa di Sudan akibat mengkonsumsi kapsul beriodium dosis tinggi (200 mg dan 800 mg). Kasus tirotoksisitas juga dilaporkan di Eropa, Tasmania, dan Zimbabwe akibat pemberian suplemen dan fortifikasi iodium dalam garam secara bersamaan (Dunn, 2002). Tirotoksisitas di Zimbabwe ditemukan berakhir dengan kematian (WHO, 1997). Pemberian iodium dosis rendah setiap bulan lebih efektif karena ekskresi iodium melalui urin jumlahnya kecil. Diperkirakan kapsul yang diberikan setiap bulan dengan dosis rendah akan dapat mengatasi GAKI.
Hal ini dibuktikan
dengan pemberian kapsul beriodium dosis rendah pada anak sekolah dan orang dewasa yang tinggal di daerah endemik GAKI di Afrika.
Hasilnya kapsul
beriodium dosis rendah memiliki efikasi sama dengan dosis tinggi dan tidak menimbulkan efek samping (Benmiloud et al. 1994). Berdasarkan hal tersebut, pemberian dosis rendah disarankan oleh Executive Directur ICC/IDD sejak tahun 2004 (WHO, Consultative ICCIDD, 2005).
Efektifitas iodium akan meningkat bila diberikan bersamaan dengan zat gizi mikro lainnya, sehingga cepat menunjukkan hasil perbaikan status gizi (Sattarzadeh & Zlotkin, 1999). Hasil penelitian Saidin et al. (2002) pada anak sekolah di daerah endemik GAKI dengan pemberian garam beriodium ditambah vitamin A menunjukkan efektifitas iodium 2.25 kali sehingga kadar hormon thyroid (T4) menjadi normal. bahwa
pemberian
garam
Penelitian Brown, et al. (2003) menunjukkan
beriodium
ditambah
selenium
organik
dapat
memperbaiki kadar eritrosit anak sekolah yang menderita anemia di daerah endemik GAKI. Perumusan Masalah Gejala gondok pada anak usia sekolah (9-12 tahun) khususnya kelompok menjelang growth spurt II masih mudah terjadi dan cepat bereaksi terhadap perubahan masukan iodium. Dengan demikian intervensi gizi pada anak usia sekolah dapat diharapkan memberi respon yang positif. Masalah GAKI sering diperburuk bersamaan dengan defisiensi zat gizi mikro lainnya seperti selenium dan zat besi (Arthur, 1993). Sampai saat ini yang menjadi perhatian pemerintah dalam usaha penanganan masalah anak didik usia SD yang berindikasi Kretin (11,89 %) dan GAKI (12,23 %) masih dengan intervensi zat gizi tunggal yaitu dengan suplemen kapsul iodium, dan operasi pasar peredaran garam beriodium yang belum rutin. Tindakan pencegahan GAKI yang ideal adalah dengan melakukan intervensi zat gizi yang bersifat ‘multi-gizi mikro’ dapat berupa suplemen selenium dan iodium dosis rendah. Tujuannya untuk meningkatkan status gizi termasuk mencegah anemia yang sangat berpengaruh pada perkembangan otak dan pertumbuhan fisik masa growth spurt II. Pemberian iodium dosis tinggi berisiko menimbulkan kasus hiperthyroid atau tirotoksisitas (Delange et al., 2001). Penelitian epidemiologi oleh Elnagar (1995) menemukan adanya kasus tirotoksisitas atau hiperthyroid pada orang dewasa di Sudan akibat mengkonsumsi kapsul beriodium dosis tinggi (200 mg dan 800 mg). Selanjutnya tirotoksisitas di Zimbabwe ditemukan berakhir dengan kematian (WHO, 1997).
Pemberian iodium dosis rendah setiap bulan bersamaan dengan pemberian vitamin A pada anak sekolah di Yugoslavia dinilai lebih efektif karena ekskresi iodium melalui urin jumlahnya kecil. Dilaporkan bahwa dosis rendah dapat menurunkan prevalensi GAKI sampai 45%.
Karena vitamin A dapat
menimbulkan efek teratogenik, maka WHO (1998) menganjurkan beta karoten sebagai prekursor retinol dalam tubuh supaya lebih aman.
Sementara di
Skotlandia hasil penelitian Brown et al. (2003) suplementasi iodium dosis rendah dan selenium organik memiliki efikasi sama dengan dosis tinggi dan tidak menimbulkan efek samping. Sampai saat ini 15 tanda khas kretin masih belum teruji validitasnya secara klinis dan baru 8 tanda khas yang secara umum mudah dikenali oleh bidan desa dan petugas gizi (Kepala DKK Boyolali, 2005 komunikasi pribadi) sebagai tanda awal akan terjadinya kretin pada anak usia sekolah. Sejumlah 8 tanda tersebut belum satupun tanda yang telah diteliti apakah ada kaitannya dengan profil darah, status gizi, dan skor IQ anak. Ada dugaan bahwa lingkar dan tebal lidah berhubungan dengan skor IQ. Penebalan lidah pada anak usia sekolah di daerah endemik GAKI belum banyak diteliti sehingga masih sedikit referensi tentang pentingnya penelitian pertumbuhan dan perkembangan serta penebalan lidah anak sejak lahir. Penelitian tentang spektrum ‘kretin endemik’ dan jenis anemia menurut indeks Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), Mean Corpuscular Hemoglobin Consentration (MCHC) pada anak usia 9-12 tahun yang lahir di daerah endemik GAKI dengan memberikan intervensi ganda zat gizi mikro belum pernah dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu penelitian dengan pemberian suplemen selenium 45 µg/hari dan iodium 50 µg/hari selama 2 bulan pada anak sekolah dasar (SD) usia 9-12 tahun terhadap profil darah, status gizi dan skor IQ penting untuk dilakukan. Berdasarkan rumusan masalah tersebut dan untuk mencegah timbulnya kretin baru maka dapat disusun pertanyaan penelitian (Research Question) : 1.
Bagaimana perubahan profil darah pada kelompok yang diberi suplemen iodium dosis rendah (50 µg/hari) dan suplemen selenium 45 μg/hari pada anak SD (9 - 12 tahun) selama 2 bulan di daerah endemik GAKI ?.
2.
Bagaimana perubahan status gizi menggunakan antropometri (berat badan menurut umur, tinggi badan menurut umur) dan perubahan tebal lidah anak yang memiliki tanda khas kretin pada tiap kelompok perlakuan ?.
3.
Bagaimana perubahan skor IQ anak SD usia 9-12 tahun pada masing-masing kelompok perlakuan ?.
4.
Bagaimana perubahan spektrum kretin endemik dan jenis anemia pada anak yang lahir di daerah gondok endemik pada tiap kelompok perlakuan ?.
Tujuan Penelitian Tujuan Umum : Tujuan umum penelitian ini untuk mempelajari dampak penberian suplemen iodium dosis 50 μg/hari dan selenium dosis 45 μg/hari pada anak sekolah dasar usia 9-12 tahun di daerah endemik GAKI selama 2 bulan terhadap peningkatan profil darah (kadar Se dan I dalam plasma, kadar Hb, Ht, Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), Mean Corpuscular Hemoglobin consentration (MCHC), jumlah eritrosit dan leukosit) dan dampaknya setelah 2 bulan intervensi terhadap peningkatan status gizi, skor IQ dan status kesehatan (tanda khas kretin) anak pada masa growth spurt II. Tujuan Khusus : 1. Menganalisis perubahan profil darah pada kelompok yang diberi suplemen iodium dosis rendah (50 µg/hari) dan selenium dosis 45 μg/hari pada anak SD (9 - 12 tahun) selama 2 bulan di daerah endemik GAKI. 2. Menganalisis perubahan status gizi menggunakan antropometri (berat badan menurut umur, tinggi badan menurut umur) pada masing-masing kelompok perlakuan. 3. Menganalisis perubahan skor IQ anak SD usia 9-12 tahun pada masingmasing kelompok perlakuan. 4. Menganalisis spektrum kretin endemik dan jenis anemia pada anak yang lahir di daerah endemik GAKI pada masing-masing kelompok perlakuan.
Kegunaan Penelitian Diharapkan penelitian ini dapat : 1.
Memberikan bukti ilmiah pengaruh pemberian suplemen iodium dosis 50 mg /hari dan selenium 45 mg /hari selama 2 bulan terhadap profil darah, status gizi, status kesehatan khususnya tanda khas kretin pada anak SD usia 9-12 tahun sehingga dapat meningkatkan skor IQ anak di daerah endemik GAKI.
2.
Memberikan alternatif model intervensi zat gizi mikro ganda dosis harian untuk program penanggulangan GAKI dan jenis anemia tertentu pada anak SD usia 9-12 tahun sehingga mampu mencegah timbulnya kretin baru di daerah endemik GAKI.
3.
Menjadi perintis penelitian diagnosis bentuk ringan dari kretin endemik yang terjadi pada anak usia sekolah dasar di daerah endemik GAKI.
Hipotesis 1.
Kandungan selenium dan iodium plasma anak SD kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (plasebo).
2.
Peningkatan kadar selenium dan iodium plasma darah anak berpengaruh terhadap peningkatan status gizi, status kesehatan, dan skor IQ anak dibandingkan kelompok kontrol.
TINJAUAN PUSTAKA Iodium dan Masalah GAKI Gangguan akibat kurang iodium (GAKI) merupakan salah satu masalah yang serius di Indonesia dan memiliki kaitan erat dengan gangguan perkembangan mental dan kecerdasan. Saat ini di Indonesia ada sekitar 42 juta penduduk tinggal didaerah yang lingkungannya kekurangan iodium. Dari 42 juta ada 10 juta penderita gondok, 750.000 – 900.000 menderita kretin endemik dan 3,5 juta menderita GAKI lainnya. Diperkirakan 8,2 juta penduduk tinggal di daerah endemik sedang dan 8,8 juta tinggal di daerah endemik berat (Depkes, 2000). Pengaruh negatif GAKI terhadap kelangsungan hidup manusia dapat terjadi sejak masih dalam kandungan, setelah lahir sampai dewasa. GAKI yang terjadi pada ibu hamil mempunyai risiko terjadinya abortus, lahir mati, cacat bawaan yang sangat merugikan. Hal ini dapat berakibat negatif pada susunan saraf pusat, berpengaruh terhadap kecerdasan dan perkembangan sosial masyarakat dikemudian hari. Sedangkan gangguan yang terjadi setelah lahir merupakan
lanjutan
dari
gangguan
pada
waktu
dalam
kandungan
(Djokomoeljanto, 2001). Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa satu dari tiga ibu hamil berisiko kekurangan iodium. Penduduk yang tinggal didaerah rawan GAKI kehilangan IQ sebesar 13,5 point lebih rendah dibandingkan dengan yang tinggal didaerah cukup iodium. Indonesia diperkirakan telah defisit tingkat kecerdasan sebesar 140-150 juta IQ point. Keadaan ini tentu amat berpengaruh pada upaya-upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (BPS-UNICEF, 1995). Mengingat bahwa sesungguhnya pengaruh GAKI di masyarakat merupakan fenomena gunung es dan kretin endemik sebagai puncaknya dengan prevalensi berkisar 1-10 %, namun pengaruh yang jauh lebih besar lagi yaitu pengaruh yang tidak nampak pada populasi yang mengalami kerusakan otak serta hipothyroidisme serebral. Maka sesungguhnya pengaruh GAKI yang paling merugikan adalah perkembangan otak selama kehidupan fetal (janin 14 minggu) atau pengaruh fase intra uterin growth retadardation (IUGR) (ACC/SCN, 2001).
Regulasi Kelenjar Thyroid. Aktivitas kelenjar thyroid pada leher diatur oleh hormon yang disekresi oleh dua kelenjar di otak yaitu kelenjar Pituitary dan Hypothalamus. Aktivitas kelenjar thyroid dikontrol melalui stimulasi TSH (thyroid stimulating hormon) disekresi oleh pituitary. TSH juga disebut thyrotropin, suatu protein dengan berat molekul 28.000 yaitu glycoprotein terdiri dari oligosakarida yang mengikat residu asporagin (beberapa gula residu yang mengandung sulfat).
Thyroid mampu
mengubah sensitivitasnya dengan adanya iodium dalam makanan. Dengan defisiensi iodium, sensitivitas TSH meningkat, mengakibatkan stimulasi kelenjar thyroid. Stimulasi ini membentuk peningkatan transpor iodida, peningkatan aktivitas thyroperoxidase dan pembesaran kelenjar thyroid (Bender, 2002). Kelenjar pituitary berperan dalam pengaturan aktivitas thyroid. Tingginya T4 dalam darah akan menghambat sekresi TSH, sebaliknya kadar T4 yang rendah akan meningkatkan sekresi TSH. Hal ini bergantung pada konversi T4 ke T3 dengan pituitary yang sangat ditentukan cukup atau tidaknya kandungan selenium. Aktivitas pituitary dikontrol oleh thyrotropin releasing hormon (TRH) yang disintesis oleh hypothalamus. TRH adalah tripeptida dengan struktur pyroglutamat histidin – proline – NH2 (Brody, 1999). Peningkatan hormon thyroid akan meningkatkan basal metabolic rate (BMR). Pengukuran BMR dapat digunakan untuk menilai status thyroid. Metoda ini untuk mendiagnosa hypothyroid atau hyperthyroidi tetapi tidak lazim digunakan karena tidak praktis. Peningkatan BMR telah dihubungkan dengan peningkatan bermacam-macam reaksi yang menggunakan ATP. Peningkatan penggunaan ATP disesuaikan dengan peningkatan aktivitas dari rantai respirasi dan dalam reduksi O2. Dua reaksi yang berhubungan erat dengan kenaikan BMR dan level tertinggi plasma hormon thyroid adalah Na,K-ATP-ase (pompa sodium) dan sintesis asam lemak. Na,K,ATP ase ada dalam membran pada semua sel tubuh. Peningkatan sintesis asam lemak dengan naiknya aktivitas thyroid dihubungkan dengan diversi asam lemak pada lintasan hati dari sintesis trigliserida menuju oksidasi. Peningkatan aktivitas thyroid juga menyebabkan kenaikan sintesis asam lemak. Efek keseluruhan berupa gagalnya peningkatan oksidasi asam lemak dan
sintesis asam lemak yang mengakibatkan produksi panas berlebihan. Perubahan kadar hormon thyroid sering terjadi pada penyakit yang tidak brehubungan dengan status iodium. Penyakit ini dikenal dengan hyperthyroidism dan hypothyroidism,
disebabkan
kerusakan
kelenjar
thyroid,
pituitary
atau
hypothalamus. Hyperthyroidism mengakibatkan penurunan berat badan, meskipun terjadi peningkatan asupan energi yang menghasilkan pelepasan asam lemak berlebihan dari jaringan adipose selama berpuasa. Hyperthyroidism dapat diatasi dengan obat-obat yang menghambat 5’ deiodinase seperti propylthiouracil yang mempunyai struktur yang sama dengan senyawa antithyroid dalam sayur kol (Stipanuk, 2000). Pada hypothyroidism, kecenderungan metabolisme terjadi berlawanan yaitu, menurunkan BMR disertai penurunan suhu tubuh, dan perubahan berat badan. Hormon thyroid berperan utama dalam pertumbuhan normal fetus. Defesiensi hormon thyroid mengakibatkan efek buruk pada perkembangan otak. Perubahan kandungan hormon thyroid dalam tubuh mengakibatkan perubahan metabolisme dengan membentuk reseptor hormon thyroid. Untuk melepaskan hormon thyroid dalam darah, iodothyroglobulin harus diresorbsi dalam bentuk butiran koloid oleh endocytosis kembali ke sel thyroid. Di dalam sel thyroid, iodothyroglobulin dihidrolisa oleh lysosomal protease, sehingga T4 dan T3 dilepaskan ke dalam darah. Di dalam darah T4 dan T3 berhubungan dengan transport protein dan didistribusikan ke sel-sel sasaran dalam jaringan peripheral. Tiga protein transport ini mengikat dan mengangkut T4 dan T3 dalam darah. Thyroid mengikat globulin dalam plasma, mempunyai kapasitas terkecil tetapi afinitas (daya tarik menarik) T4 dan T3 terbesar. Albumin dan transthyretin (prealbumin) juga mengangkut hormon thyroid. Diiodotyrosin dan monoiodotyrosin tidak digunakan untuk sintesis hormon thyroid dalam sel thyroid yang diiodinasi, dan iodium dibuat tersedia untuk daur ulang pembentukan iodothyroglobulin baru. Beberapa jaringan seperti hati, ginjal, otak, pituitary dan adipose dapat mengiodinasi T4 untuk menghasilkan T3 dan Reseptor T3 (Gambar 1). T3 dalam darah disintesis di dalam hati dari T4. A5’ selenium dependent deiodinase menghasilkan T3 dan 5 deiodinase menghasilkan 5T3. Konversi T4 menjadi T3 gagal bila defisiensi selenium.
T3 5’deiodinase T4
5 deiodinase Reseptor T3
Gambar 1 Konversi T4 menjadi T3 (Burk & Hill, 1993) Efek ganda dari hormon thyroid dihasilkan dari reseptor inti dengan efek ekspresi gen. Reseptor-reseptor ini terlihat sama dalam semua jaringan, dan lebih suka mengikat T3 daripada T4. Walaupun mekanisme peran hormon thyroid belum jelas, efek biologi dalam responsnya untuk meningkatkan messenger RNA (mRNA) dan sintesis protein digerakkan oleh reseptor hormon thyroid. Sejumlah hipotesis tentang mekanisme ini telah dikemukakan meliputi modulasi NA+/ K+, ATPase, sistem transport, sensitivitas reseptor adrenergic dan neurotransmitters. Dampak hormon thyroid pada metabolisme diantaranya menstimulasi Basal Metabolisme Rate (BMR), konsumsi oksigen dan produksi panas, penting untuk perkembangan sistem saraf normal dan pertumbuhan linear. Secara langsung atau tidak langsung banyak sistem organ dipengaruhi oleh hormon thyroid. Pelepasan hormon-hormon thyroid oleh kelenjar thyroid dikontrol dan dibebaskan dari hypothalamus pada kelenjar pituitary untuk menstimulasi thyroid stimulating hormon (TSH). TSH disekresi dari anterior pituitary dan meningkatkan aktivitas kelenjar thyroid untuk menghasilkan T4. Output TSH diatur oleh T4 melalui umpan balik negatif ke pituitary. Penurunan T4 dalam darah menggerakkan pelepasan TSH pituitary, menghasilkan hyperplasia thyroid, Tingginya T4 menghambat TSH dan pelepasan hormon thyrotropin. Asupan iodium 100-150 μg/hari sudah memenuhi kecukupan gizi. Kandungan iodium urine sama dengan level asupan dan dapat digunakan untuk memperkirakan konsumsi iodium. Defisiensi iodium terjadi dengan asupan < 50μg /hari. Orang yang mengkonsumsi <50 μg/hari berisiko berkembang menjadi
goiter. Goiter hampir selalu disebabkan asupan iodium <10μg /hari. Goiter adalah pembesaran atau hypertrophy dari kelenjar thyroid. Grade goiter ada 3 yaitu : 1.
Terjadi pembesaran dengan ukuran kecil dapat dideteksi dengan palpasi
2.
Leher yang tebal
3.
Pembengkakan kelenjar yang besar dan terlihat dari jarak jauh Grade ketiga ini menekan trachea dan menghasilkan nafas pendek selama
melakukan pekerjaan berat. Insiden tertinggi goiter ditemukan pada negara berkembang seperti Republik Cheko, Yugoslavia, India, Paraguay, Peru, Argentina, Pakistan, Afrika, Asia Tenggara dan New Guinea.
Goiter mulai
diberantas pada tahun 1950 melalui fortifikasi garam dengan iodium. Garam meja difortifikasi dengan 100 mg KI / kg NaCl. Susu dan roti difortifikasi dengan iodium. Iodium dalam susu awalnya berasal dari desinfektan yang digunakan dalam industri susu. Iodida dalam roti (1mg Iodium/kg roti) bermula dari pembuat oksidasi adonan oleh pabrik roti (SCN, 2004). Komplikasi serius dari defesiensi iodium adalah kretin. Sebaran goiter pada masyarakat yang mengalami GAKI ada ± 2% populasi kretin. Kretin berdampak retardasi mental dan mempunyai karakteristik penampilan wajah dan lidah besar. Beberapa diantaranya bisu dan tuli, kerdil, displegia dan quadriplegia juga dapat terjadi. Kretin berasal dari defesiensi iodium maternal, yaitu diet yang berhubungan dengan intra uterin growth retardation (IUGR). Kerusakan mental dan fisik pada kretin tidak dapat pulih kembali. Kerusakan ini dapat dicegah dengan memberikan iodium pada ibu yang defisien pada awal kehamilan (Suitor & Crowley, 1984). Goiter
mudah
didiagnosa
dengan
terjadinya
pembengkakan
di
tenggorokan. Kretin susah didiagnosa karena muncul dengan berbagai cara yang berbeda. Kerusakan yang timbul menggambarkan pentingnya hormon thyroid untuk perkembangan janin. Defisiensi iodium hubungannya dengan goiter dan kretin dapat diatasi melalui program fortifikasi iodium pada garam dan suntikan minyak Iodium, maupun dengan kapsul iodium. Garam dapat difortifikasi dengan Iodida (KI) atau kalium iodat (KIO3). Iodat lebih stabil terhadap kelembaban dan sinar matahari dan digunakan sebagai suplemen di negara sedang berkembang. Iodium dalam minyak terikat secara kovalen dengan asam lemak dan dilepaskan
dengan katabolisme minyak. Suntikan minyak lebih diterima di daerah dimana makanan tidak diasinkan seperti di New Guinea. Efikasi minyak dinyatakan pada studi iodium terhadap anak sekolah yang defisiensi (Dunn et al.1995). Ambang batas iodium dalam urine yang dipertimbangkan sebagai indikasi defisiensi iodium adalah 0.4 μmol iodium /L urine. Dosis single oral trigliserida mengandung 675 mg iodium menghasilkan konsentrasi iodium urine diatas ambang batas. Dampak defisiensi iodium terhadap berat thyroid dan plasma T4 digambarkan dengan percobaan tikus yang diberi diet normal (0.2 mg I /kg diet), diet rendah (0.1 mg I /kg diet) selama 4 bulan (Suitor & Crowley, 1984). Tabel 1 Dampak Defisiensi Iodium pada Organ dan Hormon Tikus (Suitor & Crowley,1984). Normal Defisiensi Berat Kelenjar thyroid (mg) 13 23 Plasma T4 (ng / ml) 40 20 Aliran darah thyroid (ml/min per gr jaringan) 23 68 Thyroid stimulating hormon (ng / ml ) 2.4 2.9
Dampak dari GAKI pada Berbagai Tahapan Perkembangan Dampak defisiensi iodium pada pertumbuhan dan perkembangan dinyatakan sebagai gangguan akibat kekurangan iodium. Dampak GAKI terlihat pada semua tahap pertumbuhan khususnya pada fetus, neonatus dan bayi, yaitu pada periode pertumbuhan cepat. Ketahanan dan perkembangan fetus peka terhadap defisiensi iodium. Perkembangan otak pada fetus dan neonatus dipengaruhi dengan peningkatan proporsi defisiensi iodium berat (Tabel 2). Hal ini berasal dari rendahnya thyroxine maternal pada fetus yang berhubungan dengan tingkat asupan iodium yang kurang dari 25% dibanding normal. Bila tingkat asupan kurang dari 50% dari normal disebut goitre (Stipanuk, 2000) Telah banyak data yang menunjukkan bahwa anak yang goiter mempunyai kemampuan belajar lebih rendah dibanding anak tidak goiter. Semua dampak GAKI dapat dicegah bila defisiensi iodium diatasi sebelum kehamilan. Goiter telah digunakan selama beberapa tahun untuk memaparkan efek defisiensi iodium. Efek klinis dari asupan iodium berlebih (20 mg/hari) juga terdapat pada goiter endemik dan hipothyroidism. Penderita defisiensi iodium pada usia lanjut lebih
sensitif terhadap peningkatan asupan iodium karena persisten thyroid. Iodium menimbulkan hyperthyroidism telah dipaparkan pada banyak negara dengan latar belakang defisiensi iodium. Status iodium dapat diukur dengan determinasi dari eksresi iodium urine, dan pengukuran level hormon thyroid dan pituitary thyroid stimulating hormon (TSH) (Depkes, 2000). Defisiensi iodium mengurangi simpanan iodium thyroid dan mengurangi produksi T4. Penurunan T4 dalam darah menimbulkan sekreasi peningkatan TSH yang meningkatkan aktivitas thyroid dengan akibat hyperplasia thyroid. Peningkatan mortality perinatal disebabkan defisiensi iodium telah ditemukan di Zaire dalam percobaan suntikan minyak beriodium dan suntikan kontrol yang diberi pada pertengahan kehamilan. Pada kelompok yang diberi perlakuan ternyata perinatal dan kematian bayi dengan kenaikan berat lahir. Berat lahir terendah secara umum dihubungkan dengan tingginya kelainan congenital dan risiko morbiditas pada anak (UNICEF, 2003). Defisiensi iodium pada anak karakteristiknya berhubungan dengan goiter. Tingkatan goiter meningkat sejalan dengan umur, yang maksimum pada masa remaja. Prevalensi kurang iodium lebih banyak pada wanita daripada pria. Goiter pada anak sekolah 6- 12 tahun merupakan indikator defisiensi iodium pada masyarakat. Studi tentang anak sekolah yang tinggal di daerah defisiensi iodium pada sejumlah negara menunjukkan kerusakan kemampuan belajar dan IQ dibandingkan pada daerah non defisiensi iodium. Studi ini sulit untuk didesain karena sulitnya menentukan kelompok kontrol yang tepat (Gellispie et al. 2003). Pentingnya fungsi thyroid pada neonatus berhubungan dengan fakta bahwa pada saat lahir otak bayi hanya 1/3 dari ukuran penuhnya dan tumbuh secara cepat sampai akhir tahun kedua. Hormon thyroid yang tergantung pada suplai iodium cukup penting untuk perkembangan otak normal. Hasil observasi neonatal di Zaire menemukan bahwa tingkat hypothyroidism kimiawi 10% akan mengakibatkan hypothyroidism pada bayi dan anak-anak dan jika defisiensi tidak diperbaiki akan mengakibatkan retardasi fisik dan mental. Observasi ini menunjukkan risiko besar kerusakan mental pada populasi defisiensi iodium berat (Hetzel et al. 1990). Tabel 2. Dampak Dari Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (Hetzel et al. 1990)
Tahapan Perkembangan Fetus
Dampak -
Anak-anak dan Remaja
-
Orang Dewasa
-
Neonatus
Semua Umur
Aborsi Lahir Mati Anomali Congenital Peningkatan Kematian Perinatal Peningkatan Kematian Bayi Cretinism Neurologi (defisiensi mental, tuli, spastic diplegia) Gangguan psikomotor neonatal Goiter Neonatal Hypothyroid Goitre Juvenile hypothyroid Kerusakan fungsi mental Retardasi perkembangan fisik
Goitre dengan segala komplikasinya - Hypothyroid - Kerusakan fungsi mental - Hyperthyroid - Rentan terhadap radiasi nuklir
Banyak penyebab yang merupakan faktor terjadinya penurunan kemampuan belajar dan IQ yang rendah sehingga mengacaukan interpretasi dari perbedaan antara daerah-daerah yang diteliti. Daerah defisiensi iodium sama dengan daerah yang mempunyai sekolah miskin, menderita banyak deprivasi sosial, status sosial ekonomi rendah dan miskin zat gizi lainnya. Beberapa studi menunjukkan bahwa defisiensi iodium dapat merusak kemampuan belajar bahkan bila dampak faktor lain seperti deprivasi sosial tidak diperhitungkan akan terjadi kerugian ekonomi dan sosial (UNICEF, 2000). Menurut Widodo (2000) secara umum anak umur 10 - 12 tahun dapat dipastikan akan menjadi kretin bila memiliki ciri / tanda khas sebagai berikut : 1.
Gerakan anak tidak terkoordinasi
2.
Motivasi belajar kurang
3.
Bila berjalan sering jatuh, terhuyung-huyung, langkah tidak teratur
4.
Sering kejang
5.
Sulit diajak bicara
6.
Sulit menangkap pembicaraan orang lain
7.
Kurang/tidak dapat mendengar
8.
Juling (starbismus)
9.
Pendek dibanding seusianya
10.
Kulit berbintik / berbercak
11.
Ada benjolan di leher
12.
Apatis, tidak bersemangat
13.
Anaemia (pucat, lemah, malas)
14.
Muka, tangan bengkak, lidah membesar
15.
Mengalami gangguan pertumbuhan fisik Upaya iodisasi garam, roti atau minyak telah menunjukkan pencegahan
yang efektif terhadap goiter pada orang dewasa. Determinan utama otak dan pituitary T3 adalah serum T4. Hasil penelitian pada tikus yang kekurangan iodium ternyata memiliki serum T3 pada otak yang rendah. Hal ini berhubungan dengan penurunan serum T4, sehingga perlu dipertimbangkan untuk memperbaiki defisiensi iodium pada manusia. Penemuan ini menjelaskan bahwa fungsi otak pada manusia yang mempunyai serum T4 rendah di daerah endemik GAKI sangat dipengaruhi oleh selenium, suatu komponen enzim yang memfasilitasi konversi iodium (Kanarek et al. 1991) Penilaian Status Iodium Banyaknya populasi yang berisiko GAKI disebabkan hidup di lingkungan kurang iodium ditandai dengan tanah dimana iodium tercuci oleh es, air hujan atau lumpur. Pencucian ini banyak terjadi pada daerah pegunungan. Penilaian status iodida umumnya diarahkan pada populasi yang tinggal didaerah yang diduga defisiensi iodida. Penilaian didasarkan pada pengujian fisik dan kimia dari individu. Data yang dikumpulkan untuk penilaian ini meliputi : - total populasi dihitung meliputi jumlah anak-anak dibawah 15 tahun - insiden goiter yang dinyatakan dengan pengujian fisik (palpasi atau visible goiter) dan kretin dalam populasi - jumlah ekskresi iodida dalam urine dan jumlah iodida dalam air minum
- penentuan serum T4 atau TSH dalam berbagai kelompok umur, khususnya neonatus dan ibu hamil memerlukan fungsi thyroid untuk perkembangan otak - tes kimia yang mengukur ekskresi iodida dalam urine berdasarkan kemampuan iodida untuk mereduksi cerric ion (Ce4+) menjadi cerrous (Ce3+). Pembagian tingkat keparahan (severity) telah diadopsi dari WHO, meskipun dengan pengamatan berbeda untuk menentukan severity. Secara umum, visible goiter rate (VGR) lebih mudah diverifikasi daripada palpasi. Observasi terbaru di Tanzania menunjukkan bahwa palpasi thyroid over estimasi terhadap ukuran kelenjar dibanding ultrasonografi, khususnya pada anak. Skala penilaian goiter rate, tidak esensial karena butuh waktu dan dana, dan sampel terbatas tidak cukup untuk menetapkan goiter rate (Glinoer & Delange, 2000). Semua bayi di negara maju ditapis untuk menjamin kadar hormon thyroidnya cukup. Dalam program tapis tersebut darah neonatus diambil dan diteteskan pada kertas filter yang kemudian kering untuk dikirim ke laboratorium. Kadar serum T4 dan TSH atau keduanya diukur dengan teknik immunoassay. Monitoring hypothyroid neonatal juga telah dimulai pada beberapa daerah kurang iodium dinegara berkembang. Beberapa penelitian menyatakan pada populasi yang defisien iodium, kadar serum T4 terendah pada saat lahir dan rendah pada anak-anak daripada orang dewasa (Gellispie et al. 2003) Kecukupan Iodium Makin parah tingkat kekurangan iodium yang dialami makin banyak komplikasi yang ditimbulkannya. Karena sulit sekali memeriksa jumlah iodium yang dikonsumsi seseorang
perhari maka sebagai penggantinya diperiksa
ekskresi iodium dalam urine sehari karena dianggap dapat memberi gambaran masukan iodium orang tersebut. Besaran ini dinyatakan dalam jumlah mikrogram iodium per gram kreatinin urine, atau mikrogram iodium per desiliter. Untuk itu di Indonesia tiap lima tahun diadakan Widyakarya Nasional Pangan Gizi (WKNPG) tahun 2004 guna menyusun angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan untuk tiap orang menurut kelompok jenis kelamin dan umurnya (Tabel 3).
Tabel 3 Rekomendasi Asupan Iodium (μg / hari) WKNPG-VIII LIPI, 2004) Sebaran Umur dan Keadaan 0 – 6 bulan 7 – 11 bulan 1 – 3 tahun 4 – 6 tahun 7 – 9 tahun perempuan 10-12 tahun 13-15 tahun 16-18 tahun 19- 64 tahun > 64 tahun Hamil Menyusui
WKNPG_2004 IOM_2001 FAO/WHO_200 1 90 110 45 120 120 135 120 90 75 120 120 110 120 120 100 120 120 140 150 150 100 150 150 110 150 150 110 150 150 110 200 200 200 200 200 200
Banyaknya metoda suplemen iodium tergantung pada beratnya masalah GAKI pada populasi, grade iodium urine dan prevalensi goiter dan kretin. Dari segi kriteria berat – ringan GAKI, komplikasi terbesar adalah kretin endemik. Menurut Djokomoeljanto (2002) Kretin endemik ini mempunyai 3 sifat pokok : 1.
secara epidemiologis selalu berhubungan dengan gondok endemik dan defisiensi iodium berat;
2.
secara klinis ditandai dengan defisiensi mental, bersama dengan : -
gejala neurologik yang mencolok; terdiri atas gangguan pendengaran dan berbicara, kelainan khas dalam cara berjalan dan sikap berdiri,
3.
hipothyroidi dan mencolok gangguan perkembangan pertumbuhan; dengan upaya pencegahan yang baik, yaitu dengan jalan mengoreksi defisiensi iodium, dan zat gizi lainnya maka kelahiran bayi dengan kretin dapat dicegah. Pengobatan penderita kretin dengan iodium tidak memperbaiki gangguan
perkembangan fisik, mental maupun saraf, namun dapat memperbaiki hipothyroidi apabila hal itu bukan disebabkan atrofi kelenjar thyroid. Dengan demikian kretin neurologi pasti menetap, sedangkan perbaikan kretin miksedematosa
dalam
hal
hipothyroidinya,
masih
mungkin
disembuhkan
(Djokomoeljanto, 2002). Beberapa upaya penanggulangan GAKI telah dilakukan oleh Depkes (Tabel 4) namun hasilnya masih belum sebaik yang diharapkan.
Tabel 4 Upaya Penanggulangan GAKI oleh Depkes (Glinoer dan Delange, 2000) GAKI Ringan
GAKI Sedang
GAKI Berat
Prevalensi Goiter
5 – 19,9%
20 – 29,9%, beberapa ≥ 30%, endemik hypothyroidism kretin
Iodium Urine
50 – 99 mg/ l
20 –49 mg/ l
Upaya Penanggulangan
Eliminasi • garam beriodium dengan garam • minyak beriodium beriodium • oral dan suntik
< 20 mg/ l • garam beriodium • minyak beriodium
Pengalaman Djokomoeljanto (1974-2002) menunjukkan bahwa pada kasus kretin, sebagian besar terdapat defisiensi mental serta gangguan pendengaran, khususnya sensori neural dan bilateral. Pada kasus ini ditemukan 76% dengan kelainan neurologik, dan 29 % dengan kelainan tubuh pendek atau cebol (Tabel 5). Dimensi baru GAKI lebih diperkuat oleh hasil yang didapat akhir-akhir ini dari binatang percobaan.
Pada binatang tersebut (domba)
diberlakukan defisiensi iodium berat sebelum atau selama hamil, kemudian diperiksa efeknya terhadap perkembangan janin, khususnya perkembangan otak. Penelitian pada domba yang kekurangan iodium menunjukkan kejadian lahir mati (still-birth) serta keguguran (abortus) meningkat.
Pada akhir
kehamilan, janin tampak kecil, terdapat gangguan pertumbuhan tengkorak serta adanya gangguan perkembangan skelet.
Jelas terlihat adanya gangguan
perkembangan otak – berat otak kurang, demikian pula jumlah selnya, seperti halnya dengan kadar DNA. Pada semua kasus kadar T4 fetus maupun ibu sangat rendah. Karena efek defisiensi iodium berat dapat diulang dengan hasil sama seperti membuat kombinasi perlakuan trioidektomi pada ibu hamil 6 minggu sebelum kehamilan, demikian pula dengan thyroidektomi fetus, maka data ini mendukung dugaan bahwa dampak kekurangan iodium pada perkembangan fetus disebabkan karena mengurangnya fungsi thyroid fetus maupun ibu.
Tabel 5 Simtomatologi kretin endemik, Sengi 1974 - 1999 (Djokomoeljanto, 2001) A. Gangguan pendengaran - bisu tuli B. Retardasi mental C. Gangguan neuromotor gangguan bicara cara jalan khas refleks meninggi mata juling berjalan terlambat D. Hipothyroidi - cebol E. Gondok
93 % 12 % 95 % 76 % 37 % 46 % 29 % 2% 27 % 29 % 29 % 70 %
Spektrum Kretin Endemik dan Kelainan Hipothyroid Sudah menjadi kesepakatan internasional, bahwa istilah gondok endemik (dengan sebab yang multi faktorial) berbeda dengan GAKI (dengan sebab defisiensi iodium). Menurut Djokomoeljanto (2002) dari tahun ke tahun spektrum klinik yang dikelompokkan dalam GAKI merupakan satu evolusi perkembangan IPTEK. Pada Gambar 2 dapat dilihat gambaran spektrum GAKI yang diketahui sejak tahun 1983 hingga tahun 1993 dimulai dari aspek demografis (angka kematian) aspek klinis yang mudah dilihat (gondok, kretin endemik, hipothyroidisme) dan aspek lain yang memerlukan perhatian dan pemeriksaan khusus (gangguan perkembangan saraf dan mental). Dari aspek demografis yang terjadi di Zaire, diketahui : •
berat badan neonatus berhubungan dengan terkoreksinya defisiensi iodium pada pertengahan kehamilan
•
pada berat badan sama maka Infant Mortality Rate (IMR) anak dari ibu defisiensi iodium belum dikoreksi akan lebih tinggi
•
IMR menurun dengan pemberian iodium pada ibu dengan defisiensi berat. Selanjutnya dari aspek klinis yang mudah diketahui seperti :
a. Gondok endemik Penyebab utama gondok memang defisiensi iodium tetapi juga didukung dengan zat goitrogen, kelebihan iodium, dan status gizi yang kurang baik. Namun tidak terlihatnya gondok bukan berarti bebas GAKI.
b. Kretin endemik Pada kretin endemik ada dua komponen yaitu hipothyroidi dan kerusakan susunan saraf pusat (mental retardasi, tuli perseptif, retardasi neuromotor dan kerusakan
batang
otak.
Berdasarkan
kenyataan
bahwa
ternyata
‘hipothyroidisme’ juga terlihat pada orang normal maka di Indonesia difinisi seseorang termasuk kretin endemik bila dilahirkan di daerah gondok endemik dan menunjukkan dua atau tiga gejala dari : retardasi mental; tuli perseptif (sensorineural) nada tinggi; gangguan neuro-muskuler). Ia dapat disertai atau tidak disertai Hipothyroidisme. Sedangkan di Zaire tipe kretin miksudematosa merupakan predominan sehingga dihipotesiskan bahwa defisiensi selenium (Se) yang kebetulan prevalen akan melindungi otak fetus (deiodenase II bukan selenium enzim) dan bukan perifer (deiodenase I adalah selenium enzim). c. Hipothyroidisme Hipothyroidisme terlihat jelas pada kretin tipe miksudematosa tetapi juga ditemukan pada populasi normal, sehingga hipothyroidisme dapat mengenai siapa saja asal ia kekurangan iodium berat. Data yang dikumpulkan Hartono (1999) menunjukkan bahwa meskipun kadar TSH ibu sedikit diatas 5 uU/ml namun sebagai ‘transien hipothyroidisme’ yang berdampak buruk terhadap anaknya. d. Kretin Sub-klinik Istilah ini diperkenalkan dari Cina yang melihat gejala anak sangat bodoh tetapi tidak menunjukkan gejala kretin klasik. Kemudian berdasarkan IQ anak sekolah dibagi menjadi : amat berat (IQ = 0-20); berat (IQ = 20-35); sedang (IQ = 35-50) dan gejala kretin sub-klinik ringan (IQ = 50-75) dan mereka menunjukkan perbaikan setelah diberi iodium. Namun pada kretin sub-klinik ternyata juga menunjukkan gangguan ringan pada perkembangan psikomotor dan pendengaran. Data epidemiologi dari Spanyol dan Indonesia menyebutkan bahwa meskipun defisiensi iodium ringan tetap akan mempengaruhi perkembangan neuropsikologis populasi. Jadi kretin sub-klinik di Cina sama dengan kretin endemik tipe neurologis (Djokomoeljanto, 2002).
e. Gangguan Perkembangan Saraf Hasil diagnosis gejala kretin endemik klasik memiliki gangguan perkembangan saraf yang menyebabkan kelainan cara berjalan, sikap berdiri, hingga badan menjorok ke depan hampir menyerupai sindrom Parkinson. Pada anak diawali dengan kesulitan mengangkat kepala sehingga kepala seperti lunglai. Selanjutnya Gambar 2 memperlihatkan spektrum endemik kretin dan hipothyroid. Spektrum GAKI terhadap Gangguan Perkembangan Saraf dan Mental Gangguan Perkembangan Saraf
Mixedematous
Kongenital Hipothyroid
Kebutuhan /Kec. Se ? T4
Masa Usia Anak
Masa Ibu Hamil Cerebral Cortex Striatum Serabut Otak Corpus Collasum 0
Mata 1
2
3
4 5 6 Masa kehamilan 9 bulan
Myelinasi Perkembangan Sistem Syaraf Pusat Cerebellum Hippocampus 7
8
9
Lahir-5 tahun
Gambar 2 Spektrum Kretin Endemik dan Kongenital Hipothyroid Program penanggulangan GAKI secara nasional telah berjalan sejak tahun 1978, dimulai dengan iodisasi garam dilanjutkan dengan suntikan lipiodol yang
akhirnya
diganti
dengan
kapsul minyak beriodium.
Dampak
penanggulangan GAKI Nasional diketahui dengan membandingkan hasil pemetaan tahun 1982 dibanding dengan pemetaan tahun 1998.
Terdapat
penurunan yang sangat tajam dari 37 % menjadi 9,8 % (Depkes, 2003). Selain itu, target yang harus dicapai dalam program penanggulangan GAKI telah dicanangkan yaitu Indonesia bebas kretin baru tahun 2000. Kini kita sudah berada di tahun 2006 apakah Indonesia telah bebas kretin baru? Kita masih
belum mampu menjawab dengan pasti karena tidak ada alat, indikator, metode yang dapat digunakan oleh petugas pelaksana pelayanan kesehatan di daerah endemik untuk menilai ada / tidak kretin baru. Menurut Widodo (2000) wanita usia subur (WUS) adalah salah satu kelompok umur berisiko tinggi menderita GAKI. Dampak yang ditimbulkan jika WUS menderita kekurangan iodium dapat terbawa jika hamil dan menghambat pertumbuhan bayi yang dikandung.
Pada tahun 1994 saat
pengambilan data dasar penelitian dilakukan pemeriksaan TSH.
Hasilnya,
sebanyak 23,8 % (190 orang) dari 798 orang yang mempunyai TSH > 10 microunit/ml. Dan 70 % (559 orang) yang belum menerima kapsul iodium sejak lebih dari setahun yang lalu. Ditemukan adanya indikasi Anak-anak tersangka kretin baru. Selain 254 anak-anak usia 6-20 tahun yang dilaporkan tersangka kretin tersebut, sebenarnya setiap tahun selalu muncul penderita-penderita baru yang memiliki gejala kretin. Mereka umumnya mempunyai kelainan fisik dan mental yang nampak nyata. Untuk melihat tanda-tanda klinis yang nampak pada penderita digunakan indeks khusus tanda-tanda klinis penderita hipothyroid, seperti digunakan pada Index Quibex untuk bayi neonatal. Tanda-tanda yang dihimpun dari berbagai literatur untuk mendeteksi adanya hambatan tumbuh kembang / tersangka kretin mulai dari neonatal hingga anak usia sekolah. Himpunan tandatanda klinis tersebut bersifat terbuka artinya boleh ditambahkan bila daftar tidak ada. Selanjutnya gold standard adalah hasil pemeriksaan TSH, T3, T4 atau mungkin pemeriksaan kematangan tulang. Hasil pemeriksaan tulang dan darah di rumah sakit Fakultas Kedokteran UNDIP Semarang dan UGM Yogyakarta terhadap lima anak yang baru terdaftar diduga kretin dapat dilihat pada Tabel 6. Tiga anak diduga menderita kretin berkaitan dengan GAKI, namun masih harus dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium TSH, T3, T4 dan jika perlu Bone maturation. Selanjutnya kurang jelas ada keterkaitan dengan GAKI atau tidak.
Tabel 6 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Anak Tersangka Kretin (Widodo, 2000) No Nama TSH T4 (Ref 0,32 – 5,0) u/ml (45 – 120) ng/ml 1. M. Efendi 8,9 110,7 2. Rahmawati 1,1 116,4 3. Reza 0,41 102,6 4. Nurohman 2,10 108,5 5. Rohmat 0,47 122,3 Menurut hasil pemeriksaan laboratorium, dari lima anak yang sudah dapat diambil darahnya hanya satu yang mengarah kepada tanda hiperthyrotropenemia. Apakah kondisi kasus ini sedang menuju ke arah perbaikan? Kemungkinan itu ada karena kasus ini pernah dirujuk ke RSUP Sarjito Yogyakarta dan tiga kali ditangani melalui JPS namun tidak berlanjut karena kekurangan biaya transport. Selain itu juga ditemukan anak dengan kondisi yang sangat lemah, berat badan tidak sesuai dengan umurnya (6,7 kg pada usia 2 tahun). Hormon T4 normal, namun kadar TSH lebih tinggi dari batas normal. Hal ini dikarenakan sedikitnya asupan iodium, sehingga untuk memenuhi kecukupan tiroksin diperlukan pemacu (TSH) dalam jumlah yang melebihi normal.
Kondisi ini bila berlarut akan
menyebabkan terjadinya hipothyroid dan jika terus berlanjut akan menjadi kretin. Sampai saat ini berdasarkan pemetakan GAKI di Propinsi Jawa Tengah yang dilakukan oleh Tim GAKI Fakultas Kedokteran-UNDIP dan Kanwil Depkes Jateng Tahun 1996 masih ditemukan TGR pada anak perempuan usia Sekolah Dasar (SD) sebanyak 4,5 % dan VGR 0,7 %. Apabila mengikuti kriteria daerah endemik dan non endemik berdasarkan prevalensi TGR pada anak perempuan usia SD yang digunakan WHO (1994), maka daerah Kabupaten Boyolali termasuk daerah endemik ringan. Ada 89 Desa IDT yang tersebar di 16 Kecamatan dalam wilayah Kabupaten Boyolali yang di antaranya merupakan endemik GAKI (Hadisaputro, 1996). Hilangnya zat gizi terutama zat gizi mikro pada anak usia sekolah umumnya melalui sel dari kulit dan permukaan dalam tubuh (seperti: usus, tractus urinarius, saluran napas) sebanyak 14 ug/hari. Disamping kekurangan iodium, anemia juga merupakan bagian tanda kretin pada anak SD sehingga anak menjadi pucat, lemah dan lesu yang akhirnya motivasi belajar menurun. Keadaan anak
yang ditandai dengan penurunan jumlah sel darah merah yang disebabkan oleh rendahnya kadar besi dan zat gizi mikro lainnya seperti selenium dalam darah akan menjadikan salah satu risiko tinggi anemia pada anak usia sekolah sehingga mengganggu pertumbuhan pada masa cepat atau Growth sprout (Frey, 2002). Defisiensi zat gizi mikro essesnsial seperti iodium, besi, zinc, dan selenium
biasanya merupakan hasil akhir dari keseimbangan zat gizi mikro
tersebut yang negatif dalam jangka waktu lama. Apabila kadar zat gizi mikro total mulai menurun, terjadi deplesi pada berbagai lien, dan sumsum tulang. Setelah cadangan komponen zat gizi mikro habis terjadi penurunan kandungan zat gizi mikro dalam plasma dan suplai zat gizi mikro pada sumsum tulang maupun otak dan sistem syaraf ssehingga tidak mencukupi untuk regenerasi sel yang normal.
Selanjutnya jumlah protoporphyrin eritrosit meningkat, mulai terjadi
produksi eritrosit mikrositik dan selanjutnya kadar Hb darah menurun (Carley, 2003). Dampak peningkatan status iodium terhadap mental dan psikomotor anak sekolah (7 – 11 tahun) dilaporkan oleh Van den Briel, dan West (2000) yang menunjukkan bahwa intervensi garam beriodium selama 1 tahun dapat meningkatkan performance mental dan psikomotor pada kelompok intervensi sedangkan kelompok kontrol tidak ada perubahan. Sementara itu hasil penelitian tentang
evaluasi efektivitas iodisasi garam, dan elevasi konsentrasi iodium
hubungannya dengan status goiter anak sekolah di daerah endemik Goiter dilaporkan oleh Jooste dan Weight (2000) bahwa iodisasi garam sebenarnya telah menghilangkan defisiensi iodium selama satu tahun, tetapi goiter rate tidak menurun. Pengukuran goiter dengan palpasi tidak tepat untuk evaluasi jangka panjang program iodisasi. UNICEF (1997) mengungkapkan bahwa status gizi dan kesehatan anak Indonesia masih belum sebaik negara ASEAN lainnya, sehingga dikhawatirkan akan menjadi beban negara dalam memperoleh sumberdaya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu pemberian obat cacing dalam program PMT-AS sangat membantu pemulihan kasus-kasus gizi kurang. Namun sampai saat ini anak SD masih belum semuanya mendapatkan program pemberian obat cacing dan makanan tambahan.
Investigasi variabel biologis (Serum Zn, retinal, Thyrotropin, Fe) yang berkontribusi terhadap retardasi pertumbuhan linear anak pra sekolah telah diteleliti oleh
Elnour dan Hambraeus (2000) dengan hasil variabel biologis
berkontribusi positif terhadap retardasi pertumbuhan linear anak pra sekolah. Artinya semakin rendah variable biologis maka pertumbuhan anak makin terhambat. Selanjutnya ketidakmampuan belajar dan pencapaian motivasi yang rendah sebagai akibat defisiensi iodium dalam jangka waktu lama telah diteliti oleh Tiwari dan Godbole et al. (1996) dengan hasil anak-anak yang defisiensi iodium berat (severe) mempunyai kemampuan belajar dan pencapaian motivasi yang rendah dibandingkan dengan anak yang defisiensi iodiumnya sedang (mild). Selanjutnya keragaan konsumsi garam beriodium pada anak usia SD di daerah endemik GAKI, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah juga ditunjukkan oleh Hanim dan Purwoko (2001) bahwa ada lebih 19 merek dagang garam beriodium yang beredar di pasar Kecamatan Selo tetapi yang dikonsumsi oleh keluarga ditemukan 11 merek dagang garam dengan kandungan iodium ratarata 30-50 ppm. Setelah semua garam yang beredar di warung dan pasar di desa Selo sebagai daerah endemik GAKI Kab. Boyolali di analisis ternyata Selo belum merupakan desa bergaram baik. Penelitian
penetapan
kehilangan
iodium
dilakukan
dengan
cara
menambahkan larutan kalium iodat berlabel radioisotop (mengeluarkan sinar gamma) ke dalam campuran cabe dan garam di dalam tabung khusus untuk radioisotop.
Setelah dicampur, iodium radioisotop dibaca dengan ‘gamma
counter’ lalu dibandingkan dengan hasil pembacaan iodium radioisotop standar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa iodium sisa yang masih terdeteksi sekitar 90-99 %, walaupun komposisi jumlah iodium dan cabe bervariasi. Bila selain bumbu cabe ditambahkan cuka maka sisa iodium terdeteksi sekitar 77-78 %. Bila volume iodium radioisotop ditingkatkan 2,5 kali lipat meskipun ditambahkan cabe dan cuka, maka iodium sisa yang terdeteksi 98-99 % (Purawisastra et al. 2002). Selenium dan GAKI Hasil penelitian Rimbawan et al. (2000) tentang keterkaitan antara defisiensi selenium dan defisiensi iodium dalam menentukan masalah GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium) dan upaya penanggulangannya melalui
fortifikasi ganda menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara defisiensi iodium dengan selenium di daerah endemik GAKI di Jawa Timur.
Sementara hasil
penelitian Adriani et al. (2002) tentang identifikasi Gondok di daerah pantai telah menunjukkan bahwa ibu hamil di daerah pantai memiliki kandungan selenium dalam batas marginal (rata-rata 0.1 μg/ml) dan bila hal ini dibiarkan akan menimbulkan masalah kretin di daerah pantai Tuban Jawa Timur. Hartono dan Djokomoeljanto (2002) telah melaporkan hasil penelitian tentang perkembangan sistem saraf pada anak di daerah endemik GAKI, Ngantang, Jawa Timur, Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa kadar TSH ibu hamil yang > 5 μU/ml akan memberikan dampak negatif pada perkembangan anak yang dilahirkannya (yaitu cerebral hypothyroidism).
Sementara hasil
penelitian Brown et al. (2003) menunjukkan ada pengaruh positif terhadap perbaikan profil darah orang sehat yang diberi suplemen Se organik (Se methionine : 50 μg/hari ) dan Se inorganik (Na2SeO3 : 50 μg/hari) selama 2 bulan sedangkan kelompok plasebo tidak. Adapun rata-rata peningkatan eritrosit sekitar 0.034 μg/ml (dengan Na2SeO3 : 50 μg/hari) dan 0.076 μg/ml (dengan Se methionine : 50 μg/hari) disamping itu juga terjadi peningkatan aktivitas ekstraseluler GPx dan sitosol GPx (cytosolic glutation peroxidase). Manifestasi dari Gangguan Akibat Kekurangan Iodium tingkat berat adalah kretin.
Berdasarkan hasil survey nasional GAKI (1998) diperkirakan
masih terdapat 9000 bayi lahir kretin per tahun di Indonesia. Meskipun angka ini relatif kecil namun penderita kretin memberikan dampat yang besar bagi kualitas SDM.
Penderita membebani keluarga dan masyarakat seumur hidupnya.
Berbagai faktor diduga sebagai penyebab terjadinya kretin. Selain kekurangan iodium, kekurangan zat gizi mikro lain dan faktor genetik diperkirakan sebagai penyebab terjadinya kelainan tumbuh kembang pada anak.
Sampai saat ini,
penanganan masalah kretin belum dilakukan secara intensif mulai dari promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif (Depkes, 2000). Namun perkembangan upaya penanggulangan masalah GAKI di negara berkembang dari laporan ACC/SCN (2001) menyebutkan bahwa suplemen yang memiliki biaya tinggi mulai dihentikan kecuali untuk penanganan GAKI di daerah endemik termasuk wilayah
pantai. Gambar 3 menunjukkan alternatif upaya penanggulangan GAKI yang sudah dilakukan di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia. Hasil penelitian Widardo (1998) menunjukkan bahwa pemberian suplemen minyak iodium dosis rendah ditambah beta karoten yang diberikan pada anak di daerah endemik GAKI ternyata mampu meningkatkan sintesa dan sekresi hormon tiroksin bebas (FT4) dari kelenjar thyroid, meningkatkan kadar EIU dan menghambat (menurunkan) sekresi hormon TSH oleh kelenjar hipofisa pada masa tumbuh cepat dibanding dengan pemberian suplemen iodium dosis tinggi. Selain itu tambahan beta karoten pada suplemen minyak iodium dosis rendah dapat meningkatkan kadar serum vitamin A dan memicu peningkatan hormon tiroksin (setelah 4 bulan penelitian).
Selanjutnya hormon tiroksin digunakan untuk
metabolisme dalam tubuh, pertumbuhan jaringan otak dan tulang. Oleh karena itu, anak yang mengalami defisiensi iodium dan selenium akan mengalami gangguan pertumbuhan tulang (menjadi pendek) dan gangguan perkembangan otak (menjadi bodoh). Hal yang sama juga terjadi pada ibu hamil dan ibu masa nifas yang diteliti oleh Lamid (2007).
perbaikan penduduk
S t r a t e g i P e n u r u n a n K e ja d ia n D e f is ie n s i G iz i M ik r o S u p p le m e n ta s i F o rtif ik a s i
Kretin ?
M akanan Tam bahan
Waktu tim e
Suplemen
Fortifikasi
Pemberian Makanan Tambahan
Gambar 3 Alternatif Upaya Penanggulangan GAKI di Negara Berkembang
Hasil penelitian Widodo (2000) menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara kejadian kretin baru pada anak usia sekolah (6-20 tahun) dengan masalah kekurangan Selenium, karena daerah endemik GAKI di kaki gungung Merapi dan
Merbabu termasuk daerah yang kekurangan selenium. Selanjutnya beberapa hipotesis hubungan sebab akibat antara defisiensi Se dan I yang telah terbukti melalui penelitian di berbagai negara dapat dilihat pada Tabel 7. Table 7 Matriks Hipotesis yang Sudah Dibuktikan Hubungan Sebab Akibat antara Defiiensi Se & I VARIABEL 1 VARIABEL 2 Gondok Kadar Iodium Gondok Suplemen Selenium Gondok Suplemen Vitamin A dan selenium Gangguan Kadar Iodium pertumbuhan Kadar Iodium dalam Kekurangan Vitamin A plasma (KVA) Kadar Iodium dalam Kekurangan Selenium plasma Kadar Iodium dalam plasma
Goitrogenik
Kadar Iodium dalam plasma Kandungan Iodium
Suplemen Selenium
Kandungan selenium Kandungan Iodium
Lingkungan dengan kadar Iodium rendah Lingkungan dengan kadar Selenium rendah Air minum dengan kandungan iodium rendah
REFERENCES Hetzel, et al. (1990) Scultinc & Yulia (2000) Widardo, Scultinc, and Yulia (2000) Hetzel, et al. (1990) Widardo, Scultinc, and Yulia (2000) Ma, et al. (1993) Beckett, et al. (1993) Thilly, et al. (1993) Thilly, et al. (1993) Osman, et al. (1992) Rao (1995) Vanderpas, et al. (1993) Pharoah (1993) Koutras, et al. (1980) Rao (1995) Lahagu, et al. (1993) Osman et al. (1992)
Growth Spurt II pada Anak Sekolah Dasar Growth Spurt II merupakan masa pertumbuhan cepat dan unik karena adanya karakteristik pertumbuhan fisik (Tabel 8) dan perubahan komposisi tubuh yaitu: 1.
Kecepatan pertumbuhan fisik masa remaja adalah tercepat kedua kecepatan pertumbuhan pada masa bayi. Kira-kira 20 % tinggi badan dan 50 % berat badan dicapai pada masa remaja disebut ‘Growth Spurt’(Soetjiningsih, 1998) Perlu lebih banyak energi dan zat gizi mikro untuk mendukung pertumbuhan fisik yang optimal (James, 2001; Shils and Young, 1988)
2.
Pertumbuhan fisik remaja ditandai dengan peningkatan jumlah dan ukuran sel dan kematangan sistem reproduksi.
Pertumbuhan fisik remaja umumnya
diiringi dengan penyempurnaan kematangan seksual dan epifise tulang (Wardlaw et al. 1992). 3.
Pada usia 10 tahun : 80 % tubuh terbentuk, dan 50 % bobot skeletal tercapai. Bobot skeletal meningkat sampai dekade ke-empat (6 % pada Perempuan)
Tabel 8 Karakteristik Pertumbuhan Fisik dan Perubahan Komposisi Tubuh pada Masa Growth Spurt II No. Pertumbuhan remaja Perempuan (P) Keterangan 1
Tinggi badan (9-10 th)
P = laki-laki (L)
Gizi baik dg TB >120 cm
2
Puncak kecepatan TB
9.0 cm /th
Laju TB 0.5 –0.75 cm /bln
3
Usia kecepatan TB
12.1 th
Ada faktor genetik & etnik
4
Berat badan (9-10 th)
P
Gizi baik dg BB: 20-25 kg
5
Puncak kecepatan BB
8.8 kg /th
Laju BB 0.5 – 0.73 kg /bln
6
Usia kecepatan BB
12.9 th
Ada faktor genetik & etnik
7
Peningkatan BB
P = 0.75 x L
7
kematangan seksual
P lebih cepat 2 th dari L
8
Pertumbuhan pubertas
Peningkatan lemak > L
9
Spurt pubertas
Peningkatan BB pd (P) yang kurus Di daerah endemik GAKI belum ada data Di daerah endemik GAKI belum ada data Di daerah endemik GAKI belum ada data
Usia 12.8 th Kisaran usia mens awal 1016 th 10 Cadangan lemak subP > L karena lemak untuk kutan menstruasi 17 % BB dan 22 % untuk mengatur siklus ovulasi 11 Bentuk /tanda awal Kematangan sex pubertas dg menstruasi tiap bulan Perubahan payudara Pertumbuhan rambut pubis Sumber : Modifikasi Shils and Young (1988); Soetjiningsih (2002)
Di daerah endemik GAKI belum ada data Sama untuk semua lingkungan (daerah endemik GAKI = daerah bukan endemik) (1998) dan Adiningsih
Adanya perubahan hormonal sebagai penyebab terjadinya perbedaan karakteristik remaja laki-laki dan perempuan, sehingga remaja perempuan lebih berisiko terhadap kretin dan gangguan kesehatan lainnya.
Hormon yang
berpengaruh pada tumbuh kembang remaja adalah ‘growth hormon’, thyroid,
hormon sex, insulin, IGFs (Insulin-like Growth Factors) dan hormon yang dihasilkan kelenjar adrenal, antara lain : 1.
Somatotropin atau hormon pertumbuhan : merupakan pengatur utama pada pertumbuhan somatis terutama kerangka. Pertambahan tinggi badan sangat dipengaruhi hormon somatotropin.
Growth Hormon (GH) merangsang
terbentuknya somatomedin yang kemudian berefek pada tulang rawan anak umur 10-14 tahun. GH mempunyai ‘circadian variation’ yang aktivitasnya meningkat pada malam hari waktu tidur, sesudah makan, sesudah latihan fisik, dan perubahan kadar gula darah. 2.
Glukokortikoid : memiliki fungsi yang bertentangan dengan somatotropin dan hormon thyroid, serta androgen karena ‘kortison’ memiliki efek anti anabolik. Kalau kortison berlebihan akan mengakibatkan pertumbuhan terhambat dan terjadi osteoporosis.
3.
Insulin like Growth Factors (IGFs) : merupakan somatomedin yang kerjanya sebagai mediator GH dan kerjanya mirip dengan ‘insulin’ juga sebagai efek mitogenik terhadap kondrosit, dan osteoblas. IGFs terutama diproduksi oleh hati.
4.
Masa remaja terjadi perubahan hormonal rata-rata pada usia 10-16 tahun.
5.
Pertumbuhan hormon estrogen dan androgen di mulai saat pubertas. Hormon tersebut sangat berperan dalam perilaku sexual
6.
Perubahan hormonal di masa puber terjadi secara teratur, terintegrasi, yang diselaraskan oleh sistem syaraf pusat dan kelanjar endokrin. Kelenjar pituitari, yang terletak di dasar otak, berperanan penting. Kelenjar ini disebut master gland karena mensekresi hormon ke sistem aliran darah yang menstimulasi kelenjar lain untuk menghasilkan berbagai macam hormon. Pada masa puber, kelenjar pituitari meningkatkan produksi hormon pertumbuhan dan mentriger dua hormon gonadotropin, yaitu folliclestimulating hormon (FSH) dan luteinizing hormon (LH). Pada perempuan FSH dan LH menstimulasi ovari untuk mengolah dan mensekresi hormon estrogen dan progesteron. Oleh karena itu masa puber sebagai suatu sistem prenatal yang menjadi aktif. Walaupun masa puber memiliki landasan secara
biologis, namun beberapa pengalaman remaja pada masa ini dipengaruhi oleh faktor sosial dan psikologisnya (Zanden, 1985). Peningkatan kebutuhan beberapa mineral dalam tubuh pada masa remaja (per hari) disesuaikan dengan daerah endemik GAKI dapat dilihat pada Tabel 9. Perbedaan karakteristik pertumbuhan remaja laki-laki dan perempuan berdampak terhadap kecukupan zat gizi. Seluruh perubahan pada masa remaja memberikan pengaruh yang besar pada
kebiasaan makan remaja. Adapun
kebutuhan gizi pada masa remaja menurut Martianto (2004) adalah : 1.
Beberapa vitamin yang penting selama masa remaja : - Vitamin A diperlukan untuk penglihatan, pertumbuhan, diferensiasi dan proleferasi sel, reproduksi dan integritas sistem kekebalan (imunitas) - Vitamin D berperanan dalam memelihara homeostasis Ca dan P dalam pengerasan tulang - Vitamin C penting untuk sintesis collagen - Folacin penting untuk sintesis DNA - Vitamin B12 diperlukan untuk pertumbuhan sel yang cepat - Vitamin B6 penting pada masa pubertas (terutama laki-laki yang banyak memiliki massa otot). Vit. B6 berperan dalam pembentukan enzim yang terkait dengan metabolisme Nitrogen - Riboflavin, Niacin dan Thiamin penting untuk metabolisme energi yang diperlukan saat pubertas (Growth Spurt II)
2.
Masa remaja membutuhkan mineral yang cukup tinggi, terutama Ca, Fe dan Zn untuk pertumbuhan cepat : - Ca untuk memelihara peningkatan massa tulang - Fe untuk membantu perkembangan sel darah merah dan massa otot - Zn untuk pembentukan tulang baru dan jaringan otot
Tabel 9 Kebutuhan Zat Gizi (RDA) pada Puncak Growth Spurt II Modifikasi Hartono (2001), IOM (2001) dan Martianto (2004) Mineral/hari Jenis Rata-rata untuk Periode Pada Puncak kelamin usia 10-20 th Growth Spurt II Ca (mg/hari) L 210 400 P 110 240 Fe (mg/hari) L 10 30 P 18 50 Zn (mg/hari) L 15 30 P 15 30 Mg (mg/hari) L 40 280 P 40-55 280 L 280 400 Se (μg/hari) P 280 400 L 130 150 Iodium (μg/hari) P 100 150 Tes IQ pada Anak Sekolah Dasar Banyak tes IQ
untuk mengukur kualitas anak seperti tingkat
pengetahuan, daya ingat sesaat, alasan abstrak, bagian kemampuan visual dan perasaan. Test IQ mengukur sebagian dari budaya seseorang baik yang nyata maupun budaya yang tidak dilakukan.
Namun biasanya untuk keperluan
akademik sehingga kurang baik untuk mengukur kreativitas anak. Banyak tipe tes IQ yang disesuaikan dengan umur anak, salah satunya dari The Wechsler tests yang digunakan untuk mengukur ‘individually administered IQ tests’ termasuk WISC-IV (umur 6-16 tahun), WAIS-III (umur 16-89 tahun), dan WPPSI-III (umur 2.5 - 7 tahun) dengan frequency of Wechsler IQ scores. Setelah pengamatan secara acak, ternyata banyak faktor yang menetukan nilai/skor sehingga perlu diamati ulangan tes setiap minggunya karena dapat berubah antara 5-10 point. Untuk ukuran kemampuan verbal pada anak dengan kelainan fisik atau mental tertentu Wechsler tidak menganjurkan pengukuran verbal, karena memang sudah dapat dipastikan anak dengan kelainan pasti memiliki kemampuan verbal yang buruk. Hal ini juga diakui oleh Raven yang kemudian mengembangkan ‘Block Design’ untuk mengukur IQ melalui ketajaman pengamatan gambar berwarna yang diambil untuk dipasangkan ke gambar design utamanya (WISC_IV
untuk anak umur 6-16 tahun). Model ini kemudian dikenal sebagai Modeled after Raven's Progressive Matrices atau Matrix Reasoning (WAIS-III) (Morris, 2006). Tabel 10 Skor IQ Wechsler yang dikembangkan oleh Raven (Morris, 2006) IQ
Diskripsi Lama
10
Idiot
Retardasi mental sangat berat
Kurang dari 1
25
Idiot
Retardasi Mental Berat
Kurang dari 1
40
Imbecile
Retardasi Mental Sedang
Kurang dari 3
55
Moron
Retardasi Mental Ringan
Kurang dari 13
Garis Batas
Kurang dari 15
Di bawah Rata-rata
Kurang dari 16
100
Rata-rata
50 - 60
115
Di Atas Rata-rata
61 - 84
125
Superior
85 - 95
Sangat Superior
95 - 98.5
Sangat Sangat Superior
98.5 - 100
70 85
130 145
Dull Normal
Jenius
Diskripsi Raven
Skor (100)
Selenium, Perkembangan Otak dan Hasil Tes IQ Sudah tiga dekade terakhir, selenium diteliti sebagai pemelihara dari perkembangan otak sebagai akibat dari defisiensi selenium.
Perubahan
kandungan selenium nampak jelas pada penderita Alzheimer dan tumor otak. Adapun jenis selenium yang paling berpengaruh adalah selenoprotein dan selenocystein yang mampu melindungi kerusakan lebih lanjut dari penyakit Parkinson. Selenoprotein juga telah dilaporkan aktif sebagai keberlangsungan sel saraf otak bersama-sama dengan 2 iodothyronine deiodenase (Chen and Berry, 2003). Perkembangan otak manusia sudah mulai berlangsung pada saat individu berada di dalam kandungan. Perkembangan otak ini tidak dapat dipisahkan dengan proses pertumbuhan yang berjalan secara bersamaan dan saling melengkapi. Otak akan tumbuh dan berkembang dengan baik jika sistem saraf berfungsi dengan baik serta pertumbuhan dari organ yang membangun sistem saraf juga telah terbentuk secara sempurna. Otak tersusun atas 3 bagian, yaitu : cerebrum (sisi sadar), cerebellum, dan medulla oblongata (dua bagian terakhir ini) merupakan bagian otak yang “tidak sadar“. Medulla oblongata merupakan bagian yang terdekat ke spinal cord, dan terlibat dalam pengaturan detak jantung, proses bernafas, pengaturan tekanan darah, pusat refleks rasa mual, batuk, bersin,
dan kembung. Hipotalamus mengatur homeostatis, dan memiliki daerah pengaturan untuk rasa haus, lapar, suhu tubuh, keseimbangan air dan tekanan darah dan menghubungkan sistem saraf dengan sistem endokrin. Midbrain (otak tengah) dan pons juga merupakan bagian otak yang tidak sadar (unconscious brain) dapat dilihat pada Gambar 4. Thalamus berperan sebagai titik relay pusat bagi pesan-pesan saraf yang masuk (Fox, 1993). Cerebellum (Gambar 5) merupakan bagian kedua terbesar penyusun otak, setelah cerebrum. Cerebellum berfungsi untuk koordinasi otot dan memelihara tekanan normal otot dan postur. Bagian otak yang sadar mencakup lapisan-lapisan cerebral, yang dipisahkan oleh corpus callosum. Cerebrum mengatur intelegensi dan kemampuan menghafal, belajar dan mengingat. Selama masa perkembangan embrio, otak yang pertama terbentuk berupa tabung (tube), dan ujung bagian yang membesar menjadi tiga gelembung kosong yang akan membentuk otak, dan posterior yang akan berkembang menjadi spinal cord. Lobus occipital (Gambar 6) pada bagian belakang otak menerima dan memproses informasi visual. Lobus temporal menerima sinyal suara, memproses bahasa dan arti kata. Lobus parietal berhubungan dengan sensori korteks dan memproses informasi tentang sentuhan, rasa, tekanan, sakit, panas dan dingin. Lobus frontal melakukan tiga fungsi, yaitu (1) aktifitas motorik dan integrasi aktifitas otot, (2) berbicara, dan (3) proses berfikir (Fox, 1993). Kretin merupakan manifestasi GAKI yang sangat parah. Namun tanpa gejala adanya kekurangan iodium IQ anak di daerah GAKI lebih rendah setidaknya 10 poin dari rekannya di daerah non endemik GAKI. Sebagian besar manusia telah meneliti tentang area kemampuan berbahasa dan berbicara, dan diketahui bahwa area ini berada di bagian kiri hemispher otak. Keseluruhan bahasa ditemukan pada daerah Wernicke. Kemampuan berbicara pada daerah Broca. Kerusakan daerah Broca menyebabkan gangguan berbicara namun tidak pada kemampuan berbicara total. Kegagalan daerah Wernicke menyebabkan gangguan kemampuan menulis dan menyebutkan kata-kata, tetapi masih bisa berbicara. Bagian lainnya di dalam korteks berhubungan dengan kemampuan berfikir yang lebih besar, perencanaan, mengingat, personalitas dan aktivitas lainnya. Selain otak, sistem saraf juga dibangun oleh spinal cord. Spinal cord berada sepanjang sisi dorsal tubuh dan
menghubungkan otak ke seluruh tubuh. Bagian yang berwarna abu-abu mengandung sebagian besar sel-sel tubuh dan dendrit. Disekitar bagian yang berwarna putih dibangun oleh gulungan akson intraneural (tracts). Beberapa dari tracts ini ascending (membawa pesan ke otak) dan yang lainnya descendinens (membawa pesan dari otak). Spinal cord terlibat dalam aksi refleks yang tidak secara langsung melibatkan otak (Fox, 1993).
Gambar 4 Bagian-bagian Otak. Sumber:http://www.prs.k12.nj.us/schools/PHS/Science_Dept/APBio/pic/brain.gif.
Gambar 5 Bagian-bagian Otak Dilihat dari Tengah (Purves et al. 2004)
Gambar 6 Bagian Utama Otak dan Lobus (Purves et al. 2004)
Fisiologi dan Perkembangan Otak Fox (1993) menjelaskan sistem saraf dibangun oleh dua sel utama, yaitu: a. Neuron, yang merupakan struktur dasar dan unit fungsional dari sistem saraf. Mereka mempunyai fungsi khusus dalam memberikan respon terhadap rangsangan fisik maupun kimia, melakukan impuls elektrokimia dan mengatur keluarnya bahan kimia tertentu. Melalui serangkaian aktifitas ini, neuron membangun fungsi terhadap stimulus sensori, kemampuan belajar, mengingat dan mengontrol otot dan kelenjar. Neuron tidak dapat dibelah melalui proses mitosis, sekalipun ada neuron yang dapat muncul lagi sebagai bagian terpisah atau bertunas dengan membentuk cabang baru dengan kondisi yang sama. Neuron
dikelompokkan
berdasarkan
struktur
dan
fungsinya.
Berdasarkan fungsinya, neuron dikelompokkan kepada kemampuan melakukan impuls. Sensori, atau afferent, neuron melakukan impuls dari penerima sensor ke sistem syaraf pusat. Motor, atau efferent melakukan impuls keluar dari sistem syaraf pusat menuju organ-organ yang akan menerima impuls (otot-otot dan kelenjar-kelenjar). Hubungan antarneuron atau disebut intraneuron,
terletak diseluruh sistem saraf pusat dan bertugas melayani hubungan tersebut, atau membentuk kesatuan, yang sekaligus melakukan fungsi sistem saraf. b. Neuroglia atau sel – sel glial, (glia =glue) merupakan sel penyokong dalam sistem saraf yang membantu fungsi neuron. Sel – sel glial ini jumlahnya mencapai lima kali jumlah neuron, dan sel ini juga mempunyai kemampuan mitosis yang terbatas (kanker dan tumor yang terjadi pada orang dewasa umumnya disusun oleh sel-sel glial). Makhluk hidup yang terdiri atas multisel harus mengawasi dan menjaga kondisi lingkungan internal yang konstan seperti mengawasi dan memberikan respon terhadap semua respon yang berasal dari lingkungan luar. Kedua fungsi ini dikoordinasi oleh dua sistem organ yaitu sistem saraf pusat dan sistem endokrin. Perkembangan otak manusia terjadi sejak didalam kandungan. Pada masa awal periode perkembangan ini terjadi pertumbuhan sel-sel otak yang sangat cepat. Mulai usia kehamilan 3 minggu sampai bayi dilahirkan, otak berkembang cepat dan merupakan 13% dari berat badan bayi saat dilahirkan (Hurlock, 1988). Memang sudah diketahui bahwa perkembangan fisik otak merupakan prioritas utama. Meskipun demikian, perkembangan otak masih terus berlangsung selama beberapa bulan setelah kelahiran. Ukuran sel otak bertambah dan volumenya menjadi dua kali beratnya pada tahun pertama usianya. Pada anak usia dua tahun, jumlah jaringan saraf dan metabolisme di otak dua kali orang dewasa dan hal ini menetap sampai usia 0-11 tahun maka sejak dalam kandungan sampai usia mencapai 5 tahun sering disebut sebagai golden age. Otak janin yang tumbuh sangat cepat sejak minggu 10 – 18 usia kehamilan, menuntut sang ibu untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi dalam rentang waktu tersebut. Otak juga mengalami pertumbuhan yang cepat sampai usia 2 tahun. Malnutrisi pada masa periode pembentukan otak ini akan menimbulkan efek merugikan terhadap sistem syaraf dan tidak hanya memberikan pengaruh pada neuron, tapi juga terhadap sel sel glial yang bertanggung jawab untuk pertumbuhan dan perkembangan. Pengaruh terhadap sel glial ini akan merubah perkembangan myelin terutama karena myelin ini akan terus menerus terbentuk disekitar akson pada awal kelahiran (Thompson Higher Edu, 2007).
Otak dapat diibaratkan sebagai mesin yang memerlukan bahan bakar agar fungsinya optimal. Faktor gizi dapat mempengaruhi perkembangan otak dengan cara memodifikasi : (1) jumlah dan ukuran sel saraf, dan mengatur posisi saraf dalam sistem saraf pusat, (2) perkembangan dendrite, myelinasi akson dan jaringan synaps, (3) membentuk neurotransmitter (Gambar 7) EPA dan DHA merupakan pembangun sebagian besar korteks cerebral otak (bagian yang digunakan untuk berfikir) dan juga dibutuhkan untuk pertumbuhan normal otak.
Neurotransmitter dapat diartikan sebagai molekul
yang bertugas sebagai pengantar pesan di dalam otak. Otak membutuhkan zat gizi khusus (selenium) untuk fungsi neurotransmitter ini. Otak tidak mampu menyimpan glikogen atau lemak yang bisa dirombak jika otak kekurangan zat gizi. Otak juga tidak mampu menyimpan oksigen untuk mengoksidasi bahan bakar ataupun zat gizi. Karena itu otak benar-benar tergantung pada suplai darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen maupun zat gizi yang diangkut darah. Sehingga otak sehat akan tampak penuh sel dengan warna yang jelas dibandingkan dengan otak yang kurang sehat (Gambar 8). Rangsangan sensori ibarat zat gizi yang penting untuk pertumbuhan normal, perkembangan dan berfungsinya otak, sehingga kekurangan sensori ini selama periode pembentukan otak dapat menyebabkan perkembangan otak menjadi tidak normal baik struktur maupun fungsinya (kemampuan neurochemical maupun neuroelectrical). Kekurangan sensori menyebabkan rangsangan emosional terhadap sentuhan, gerakan, penciuman terhambat dan berpengaruh terhadap ikatan (bonding) ibu anak (Chavetz, 1990).
Gambar 7 Synaps (Purves et al. 2004)
Kretin
Orang Sehat
Gambar 8 Perbandingan Volume Sel Otak Penderita Kretin dengan Otak Orang Sehat (Cassels & Lie, 2006)
Darah dan Defisiensi Zat Gizi Mikro Darah adalah cairan merah yang tidak tembus cahaya, juga merupakan suatu organ yang unik, berupa suatu cairan yang bersentuhan dengan hampir seluruh jaringan tubuh lain. Sel darah tidak mempunyai sifat kohesif dan berada di dalam medium cairan darah – yaitu plasma. Sel darah terdiri atas eritrosit tanpa inti dan trombosit serta sel yang berinti yaitu leukosit. Fungsi darah adalah : 1.
Transpor oksigen, karbondioksida, dari dan ke paru-paru, zat-zat gizi, dan zat-zat hasil metabolisme.
2.
Pengatur lingkungan pH dan temperatur.
3.
Mencegah pendarahan trombosit dan faktor-faktor pembekuan.
4.
Pertahanan tubuh fagositosis dan imunoglobulin.
Selanjutnya Underwood (2002) mengatakan bahwa setiap bagian darah memiliki fungsi dan peran yang sangat spesifik dan bila salah satu kekurangan atau sampai habis maka tubuh seseorang akan mengalami kelainan yang bersifat sistemik. Adapun fungsi dan peran setiap komponen darah adalah : 1. Hematokrit
Bagian dari sel darah dari keseluruhan volume darah (%).
2. Plasma
Merupakan darah padat yang terdiri dari sel-sel darah.
Bagian darah yang cair terdiri dari 9-90 % air, 6,5-8% protein. 3. Plasma albumin
60% dari plasma sebagai albumin
transpor bagi bilirubin, urobilin, asam amino, dan lemak.
berfungsi sebagai
4. Hemoglobin
Zat warna dari butir darah merah terdiri dari globin
(protein) dan haem (struktur yang mengandung Fe). 5. Plasma globumin α1, α2, β, dan γ globulin. Pemeriksaan kuantitatif sel darah adalah penting. Pada laboratorium yang modern, secara rutin dilakukan dengan menggunakan alat penghitung sel yang automatis. Dengan alat ini, ukuran dan konsentrasi eritrosit, dan leukosit serta konsentrasi trombosit dihitung, hemoglobin secara automatis dihitung. Juga, proporsi dari leukosit untuk setiap jenis – perbedaan jenis leukosit dihitung dari ukuran sel dan kandungan granula www.current.med.com (2002) Eritrosit (Sel Darah Merah) Eritrosit (sel darah merah) dapat berubah bentuk dan merupakan sel tanpa inti serta bikonkaf. Eritrosit paling banyak ditemukan di antara keseluruhan sel darah. Sewaktu darah disentrifus maka akan terpisahkan komponen plasma dan seluler, yang bagian sel darah merahnya sekitar 45% dari volume total, ini merupakan “volume pacaked cell” atau hematokrit. Eritrosit merupakan sel pembawa oksigen karena banyak mengandung hemoglobin. Sel membran tersusun atas dua lapis fosfolipid dengan protein integral. Bentuk sel dipertahankan oleh struktur protein yang membentuk sitoskeleton. Sistem enzim melindungi hemoglobin dari eksidasi yang ireversibel. Eritrosit yang matang tidak mempunyai material inti, sehingga protein baru tidak dapat disintesis (Underwood, 2002). Metabolisme eritrosit terjadi dengan siklus mulai hemoglobin kemudian verdoglobin, biliverdin, dan bilirubin (terikat pada albumin). Sebagian urobilinogen masuk peredaran darah besar ke ginjal. Bagian-bagian yang penting dari eritrosit adalah hemoglobin, membran sel (untuk menentukan golongan darah), antigenitas dari golongan darah, fermen untuk aerobik dan oksidasi anaerobik yang biasanya tinggi pada anak yang tinggal di daerah pegunungan. Kadar Hb dan eritrosit pada anak pada umumnya dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Kadar Haemoglobin Normal pada Anak (Underwood, 2002) Usia
1 th
2 th
4 th
8 th
12 th
Hb (gr per dl)
12.1
12.4
12.7
13.6
14.2
Eritrosit (x 1012 per l)
5.0
4.8
4.6
4.7
4.8
Leukosit (Sel Darah Putih) Sel darah putih, mempunyai inti sel, tidak mengandung hemoglobin, terdiri dari granulosit (neutrofil, eosinofil, basofil), limfosit, dan monosit. Semua leukosit dapat bergerak amuboid (seperti Amoeba) dan dapat mencaplok benda asing (misalnya bakteri). Angka rata-rata dari leukosit dan angka turunan /diferensial pada anak-anak dapat dilihat pada Tabel 12. Sel-sel darah putih dibentuk sebagian dalam sumsum tulang (granulosit, monosit, dan limfosit) dan sebagian dalam jaringan limfa (limfosit dan sel-sel plasma). Orang dewasa memiliki kira-kira 7.000 sel darah putih per mililiter kubik darah, terdiri dari 62% neutrofil, 2,3% eosinofil, 0,4% basofil, 5,3% monosit, dan 30,3% limfosit. Bahan-bahan yang diperlukan untuk membentuk sel-sel darah putih adalah vitamin dan asam amino seperti halnya sel-sel lainnya. Sesudah dibentuk, sel-sel tersebut ditranspor dalam darah ke berbagai bagian tubuh. Masa hidup tiap sel berbeda, granulosit sekitar 12 jam, monosit sulit dinilai (karena selalu mengembara), tetapi bisa beberapa minggu atau bulan, limfosit dapat berumur 110 – 300 hari (Irianto dan Waluyo, 2004). Tabel 12 Angka Rata-rata dari Leukosit dan Angka Turunan /Diferensial pada Anak www.current.med.com (2002) Darah Usia 1-2 th 2-6 th 6-12 th Leukosit x 10 g/l
6.0 – 17.5
6.0 - 17
4.5 – 14.5
Neutrofil granulosi (%)
1.9 – 8.0
50 - 70
Limfosit (%)
0.9 – 5.2
25 - 40
Monosit (%)
0.2 – 1.0
2.0 – 8.0
Eusiofil (%)
0.0 – 0.8
2.0 – 4.0
Basofil (%)
0.0 – 0.2
0.0 – 1.0
Secara umum, manfaat sel darah putih adalah untuk membantu pertahanan tubuh terhadap infeksi yang masuk, karena selain mampu bergerak amuboid juga bersifat fagositosis (memangsa). Sel-sel darah putih yang berfungsi melawan penyakit disebut antibodi. Contoh antibodi misalnya limfosit yang mampu menyerang dan menghancurkan organisme yang spesifik (bakteri, virus) dan toksin. Limfosit ada dua jenis, yaitu T-limfosit dan B-limfosit. Perbedaan antara T-limfosit dan B-limfosit adalah tempat pematangannya. B-limfosit mengalami pematangan di sumsum tulang, sedang T-limfosit mengalami pematangan di timus. Neutrofil dan monosit juga berfungsi fagositosis. Satu neutrofil mampu memfagosit 5 – 20 bakteri. Monosit yang keluar dari sumsum tulang dan masuk ke darah merupakan sel imatur (belum masak), sesudah beberapa jam, monosit akan menjadi makrofag (sel raksasa) yang mampu memfagosit 100 bakteri. Selain sel darah putih, sekelompok sel yang tersebar luas di seluruh jaringan dan membatasi beberapa pembuluh darah dan limfa juga membantu melindungi tubuh terhadap benda asing yang masuk. Sistem ini disebut sistem retikuloendotelial (Tierny et al. 2003). Patofisiologi Anemia Anak-anak disebut anemia bila Hb dan eritrosit turun sampai kurang dari 11 g /dl atau hematokrit kurang 33%. Beberapa penyebab dan jenis anemia yaitu: 1. Anemia disebabkan kekurangan zat besi (Fe) a. Gejalanya : luka di sudut mulut atau bibir. Kuku menjadi rapuh dan datar. b. Penyebabnya : makanan yang tidak cukup mengandung Fe. Fe tidak cukup diresorpsi. Terjadi perdarahan, infeksi dan darahnya hancur. 2. Anemia megaloblastik a. Simptom /Gejala : Pucat, ikterus di sklera (akibat hemolisis), rasa panas di lidah (akibat atropimukosa), rasa kesemutan, dan gangguan psikosis. b. Penyebabnya : kekurangan makanan yang mengandung vitamin B12, tidak adanya faktor intrinsik, gangguan resorpsi di usus halus, dan penyakit cacing. c. Gambaran darah : Megaloblastik eritropuetik, megalokariosit (MCV dan MCH naik) leukopeni, granulositopeni, dan trombopeni.
d. Penyebab kekurangan asam folat Tidak cukup dalam makanan, gangguan resorpsi di usus, obat-obatan, adanya senyawa antagonis dari asam folat (misal: aminopterin, ametopterin, daraprin). Pada kasus anemia megaloblastik ditunjukkan peranan penting vitamin B12 dan asam folat di dalam proses eritropoesis karena eritroblas memerlukan kedua vitamin tersebut untuk proliferasi selama proses diferensiasi sel. Defisit vitamin B12 dan folat menghambat sintesa DNA akibatnya sel darah merah tidak matang dan mati lebih awal (eritroblas apoptosis) maka terjadilah anemia makrositik (Koury dan Ponka, 2004). Di daerah endemik GAKI hal ini terjadi seiring dengan kejadian defisiensi iodium dan selenium.
Hal ini diduga sebagai penyebab meningkatnya
kejadian gangguan autoimun sehingga penderita mengalami pernicious anemia (Allen, 2004). Prevalensi jenis anemia makrositik di negara-negara Amerika Latin cukup tinggi yaitu 40-50 % (Allen & Casterline Sabel, 2001). Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa GAKI dan spektrum kretin endemik disebabkan oleh defisiensi beberapa zat gizi yang terkait seperti iodium, selenium, besi, seng dan beberapa vitamin. Hampir semua zat gizi tersebut berperan dalam eritropoiesis (WHO/UNICEF, 2004). 3. Anemia hemolitik Masa hidup eritrosit turun, selama eritrosit yang lisis bisa digantikan, maka tidak terjadi anemia. a. Akibat lisis dari eritrosit Bilirubin, total bilirubin naik. Fe dalam serum naik. Pengeluaran sterkobinilogen di feses naik. Pengeluaran urobilin di urin naik. b. Penyebab anemia hemolitik 1). Pengaruh bentuk sel : sprositoris, ovalositosis, dan sel sakit. 2). Hemoglobinopati • Talasemia : diturunkan secara otonomal (talasemia mayor dan talasemia minor).
Ada dua macam α dan β talasemia. Fetal
hemoglobin = Hb F = α2 γ2 . Adult hemoglobin = Hb A = α2 γ2 α talasemia = Rantai α dari hemoglobin terganggu. β talasemia. = Rantai β dari hemoglobin terganggu.
Simptom : Hepatosplenomegali + Anemia • Enzimatopi. 3) Pengaruh dari luar sel (a) Toksis hemolisis (b) Hemolisis – Usemik – Sindrom (c) Mekanis hemolitik → pada kelainan klep jantung (d) Imun hemolitis (e) Infeksi. 4. Leukemia Penyakit sel darah putih (leukosit) yang mengalami pembelahan secara berulang-ulang. Penyakit ini semacam kanker yang menyerang sel-sel darah putih. Akibatnya fungsi sel darah putih terganggu, bahkan sel-sel darah merah dapat terdesak karena pertumbuhan sel darah putih yang berlebihan sehingga sel darah merah menurun (Underwood, 2002). Pada anak yang menderita gangguan akibat kurang iodium (GAKI) biasanya dibarengi dengan kekurangan zat gizi mikro lain seperti zat besi, sehingga anak yang tinggal di daerah endemik GAKI juga akan menderita anemia. Namun karena daerah endemik GAKI umumnya di daerah yang tinggi sehingga faktor VO2max juga tinggi maka kadar haemoglobin (Hb) darah anak di daerah tersebut juga tinggi.
Hasil penelitian di Skotlandia menunjukkan
bahwa hasil suplemen selenium organik dan inorganik selama 28 hari mampu memperbaiki profil darah (eritrosit dan leukosit) penduduk yang menderita anemia di daerah endemik GAKI (Brown et al. 2003). Menurut Small (2004) proses terjadinya defisiensi besi merupakan dasar tahapan : a. defisiensi besi prelaten Hilangnya besi melebihi asupan besi, sehingga terjadi keseimbangan besi negatif dan penurunan cadangan besi. Saat cadangan besi menurun terjadi kompensasi dengan peningkatan absorbsi besi dari makanan. Deteksi keadaan ini dilakukan pengukuran feritin serum. b. defisiensi besi laten
Keadaan ini terjadi bila cadangan besi terkuras habis tetapi kadar hemoglobin darah masih lebih tinggi dari batas bawah nilai normal. Pada tahap ini terjadi abnormallitas biokimia pada metabolisme besi yang biasanya bisa dideteksi, terutama penurunan satu rasi transferin. Peningkatan jumlah Free Erytrocite Protophorphyrin (FEP) tampak pada tahap pertengahan dan akhir dari defisiensi besi laten. Parameter yang lain yaitu peningkatan Total IronBinding Capacity (TIBC) dan Mean Corpuscular Volume (MCV) biasanya dalam batas normal. c. anemia defisiensi besi Anemia defisiensi besi terjadi bila konsentrasi hemoglobin menurun sampai dibawah nilai normal. Dikatakan oleh Frewin, et al. (1997) bahwa tahapan terjadinya defisiensi besi pada anak di daerah endemik GAKI umumnya seiring dengan defisiensizat gizimikro lainnya. Profil darah anak di daerah endemik GAKI menjadi akurat bila dinilai dengan menggunakan pemeriksaan hematologi dan biokimia. Biasanya anak yang tinggal di daerah endemik GAKI memiliki konsentrasi Hb normal tetapi banyak ditemukan anak yang menderita anemia mikrositik hiperkromik (sel darah merah dengan ukuran lebih kecil dan mengandung banyak Hb). Selenium, Fungsi dan Sumber Selenium (Se) menjadi perhatian para ilmuwan sejak tahun 1930-an, pada saat terjadi keracunan pada ternak akibat mengkonsumsi tanaman yang tumbuh di wilayah yang kandungan selenium tanahnya tinggi. Kegunaan selenium sebagai zat gizi pada manusia pertama kali ditemukan pada tahun 1979 oleh ilmuwan China
yang
melaporkan
bahwa
suplemen
selenium
dapat
mencegah
perkembangan penyakit Keshan yaitu suatu penyakit Cardiomyopathy pada anakanak yang tinggal di wilayah yang memiliki kandungan selenium rendah. Meskipun demikian, pada penyakit ini diduga ada komponen-komponen lain juga terlibat di dalamnya, seperti infeksi virus, rendahnya asupan vitamin E, protein, metionin dan mineral mikro lainnya (WHO, 1996). Selenium merupakan salah satu mikronutrien esensial dalam jumlah yang sedikit, dan dapat menjadi racun dalam jumlah yang banyak. Selenium berasal
dari bahasa Yunani selena yang berarti bulan. Selenium bukan logam, terdapat dalam beberapa bagian proses oksidasi seperti Se2+, Se4+ dan Se6+ . Secara kimia selenium seperti sulfur, sehingga selenium dapat mensubstitusi sulfur dalam asam amino seperti methionine, cysteine dan cystine (Brody, 1999). Kandungan selenium dalam bahan makanan sangat tergantung dari konsentrasi kandungan selenium dalam tanah. Karena terdapat perbedaan konsentrasi kandungan selenium dalam tanah, maka daftar tabel kandungan selenium dalam makanan dibuat berdasarkan perkiraan secara umum. Produk hewani (khususnya daging) lebih banyak mengandung selenium dibandingkan tumbuh-tumbuhan. Makanan laut juga merupakan sumber selenium yang baik, meskipun bioavabilitas selenium akan menjadi rendah bila ikan sebagai makanan laut terkontaminasi mercury karena selenium yang berikatan dengan mercury akan menjadi bentuk yang tidak dapat diserap (Stipanuk, 2000). Menurut Linder (1992) selenium dalam bahan makanan terdapat dalam bentuk organik dan inorganik. Pada umumnya selenium dalam bahan makanan terdapat
dalam
bentuk
organik,
yaitu
Selenomethionine,
Selenocystine,
Selenocysteine dan Se-Methyl Selenomethionine. Selanjutnya Brown et al.(2003) mengemukakan bahwa bentuk inorganik selenium diantaranya selenite (H2SeO3) dan selenate (H2SeO4). Bentuk inorganik selenium dapat ditemukan pada beberapa sayuran. Pada beberapa bagian dunia, kandungan selenium dalam makanan pokok rendah, tetapi dapat dilengkapi dari makanan yang berasal dari hewan yang kaya akan sodium selenite (Na2SeO3). Selenium memiliki fungsi fisiologis yang berhubungan dengan fungsi vitamin E yaitu memelihara struktur dan fungsi otot, antioksidan, anti karsinogen. Selenium berperan sebagai komponen enzim glutation peroksidase. Selenium bersama-sama vitamin E berperan sebagai katalase dan superoksida dismutase yang merupakan salah satu komponen sistem kekebalan tubuh. Glutation berfungsi menyediakan proton H untuk mengkonversi hidrogen peroksida menjadi air dengan bantuan enzim glutation peroksidase. Selenium berpengaruh terhadap metabolisme dan toksisitas berbagai jenis obat dan zat kimia serta berperan dalam melawan toksisitas perak, kadmium dan merkurium (WHO, 1996).
Clark et al. (1996) mengemukakan bahwa Selenium dapat meningkatkan fungsi imun pada ternak, memperbesar neuropsikologis pada manusia dan memperbaiki kondisi penyakit spesifik pada manusia. Selanjutnya dari segi kesehatan beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan mineral Se untuk melihat total insiden penyakit kanker dengan pengurangan secara spesifik dari risiko kanker paru-paru, prostat dan colorectal. Penelitian di Amerika terhadap 1300 laki-laki dewasa dengan pemberian suplemen selenium sebanyak 200 μg/hari akan menurunkan risiko terkena kanker prostat karena rendahnya prostate-specific antigen (PSA). Fungsi selenium berhubungan pula dengan iodium, seperti yang dikemukakan Arthur ( 1993) pada daerah endemik GAKI selain defisiensi iodium juga ditemukan defisiensi unsur selenium secara bersamaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rimbawan et al. (2000) menunjukkan bahwa kekurangan iodium bukanlah satu-satunya penyebab GAKI di Kabupaten Pasuruan, tapi juga disebabkan oleh kekurangan selenium dengan bukti bahwa asupan iodium dan seleniumnya masih kurang dari angka kecukupan, terdapat hubungan antara asupan selenium dan iodium dengan parameter penentu status iodium dan selenium, sehingga hubungan antara kekurangan iodium dan selenium dapat dijadikan parameter dalam menentukan masalah GAKI. Hubungan antara selenium dan iodium menurut WHO (1996) dikarenakan enzim deiodinase mengandung selenium, yang mengubah tiroksin menjadi 3,5,3-triiodotironin (T3). Sumber makanan yang kaya akan selenium adalah daging dan seafood (Tabel 13). Secara umum kandungan selenium pada tumbuhan tergantung kandungan selenium dalam tanah. Contohnya kacang brazil yang tumbuh di Brazil dengan kandungan selenium dalam tanah tinggi menyebabkan kandungan selenium pada kacang lebih 100 μg/buah, ketika kacang ditanam pada area yang rendah kadar selenium tanahnya menyebabkan kandungan selenium kacang menurun sekitar 10 kalinya. Di Amerika gandum merupakan sumber selenium, tetapi buah dan sayur relatif lebih rendah kadar seleniumnya.
Tabel 13 Sumber dan Kandungan Selenium dalam Bahan Makanan (Whanger, Linus Pauling Institute ;2003) Bahan Makanan Kacang Brazil (dari tanah yang tinggi kandungan seleniumnya) Udang Rajungan (Crab meat) Ikan Salmon Mie yang diperkaya dg Se (matang) Nasi, roti tawar coklat Daging ayam Daging babi (Pork) Daging sapi (Beef) Roti (tepung gandum) Susu
Ukuran Porsi
Selenium (μg)
10 gr
839
30 gr 30 gr 30 gr 1 mangkok 1 mangkok 30 gr 30 gr 30 gr 2 lembar (slices) 80 gr (1 gelas)
34 40 40 35 19 20 33 17 15 5
Kecukupan Selenium Kebutuhan selenium untuk manusia tidak sama satu dengan yang lainnya karena dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, daya adaptasi dan kondisi fisiologis. Orang Amerika pada umumnya membutuhkan 54 μg Se/hari untuk menggantikan kehilangan dalam urine dan feses, bahkan ada yang menemukan 80 μg /hari untuk keseimbangan positif. Perbedaan energi kinetik Se mungkin dipengaruhi daya adaptasi yang berbeda baik antar penduduk dari wilayah kekurangan Se maupun antara wilayah yang kekurangan Se dan cukup Se (Luo et al. 1985). Rekomendasi National Research Council (1980) menentukan perkiraan kecukupan selenium yang aman dan memenuhi kebutuhan setiap orang per hari sebanyak 50μg sampai 200μg. Rekomendasi tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan pada hewan dan manusia. Tahun 1989 RDA untuk selenium dikoreksi dengan memperhitungkan berat badan menjadi 70 μg untuk laki-laki dan 55 μg untuk wanita. Namun hal ini telah dikoreksi lagi oleh Institute of Medicine ( IOM, 2000) menjadi kecukupan selenium yang aman dan memenuhi kebutuhan setiap orang (laki dan perempuan sama) sebanyak 55 μg/hari sampai 280 μg/hari. Angka kecukupan untuk orang Indonesia ditentukan dengan mengacu pada angka kecukupan orang Amerika. Kebutuhan orang dewasa di Amerika Serikat sebanyak 70 μg/hari untuk laki-laki dewasa dan 55 μg /hari untuk perempuan
dewasa. Karena berat badan orang Indonesia lebih rendah diperkirakan kebutuhannya sekitar 60 μg untuk laki-laki dewasa dan 50 μg untuk perempuan dewasa (WKNPG, 2004). Angka kecukupan yang dianjurkan oleh Food and Nutrition Board (FNB) berdasarkan kecukupan selenium untuk memaksimalkan aktivitas enzim gluthation peroxidase sebagai antioksidan dalam plasma seperti yang tercantum pada Tabel 14. Di Cina asupan selenium sekitar 10 μg sampai 15 μg /hari menyebabkan penyakit Keshan. Penyakit Keshan ternyata dapat dicegah dengan pemberian suplemen selenium sebanyak 50 μg /hari. Sedangkan di Kroatia (Marijana Matek, 2000) asupan selenium sekitar 33 μg /hari hal ini menunjukkan asupan selenium dalam diet sehari-hari untuk kelompok wanita yang diobservasi pada daerah Zagreb di Kroatia lebih rendah dari mayoritas orang negara-negara Eropa, dan lebih rendah dari nilai yang direkomendasikan oleh WHO (2001). Tabel 14 Angka Kecukupan Yang Dianjurkan Untuk Selenium (Whanger, Linus Pauling Institute ;2003) Life Stage
Umur
Pria (μg/hari)
Wanita (μg/hari)
Bayi baru lahir
0-6 bulan
15
15
Bayi
7-12 bulan
20
20
Anak Batita
1-3 tahun
20
20
Anak dini usia
4-8 tahun
30
30
Anak
9-13 tahun
40
40
Remaja
14-18 tahun
55
55
Dewasa
> 19 tahun
55
55
Ibu hamil Semua umur
-
60
Ibu menyusui Semua umur
-
70
Hamil Menyusui
Para ilmuwan Cina berpendapat bahwa batas minimun kebutuhan selenium sebanyak 40 μg/hari, hampir mendekati dengan yang direkomendasikan sebanyak 55 μg /hari untuk aktivitas glutation peroksidase. Asupan dibawah 11 μg/hari dipastikan akan menyebabkan penyakit akibat kekurangan selenium. Dosis keracunan selenium (selenosis) diperkirakan konsumsi lebih dari 900 μg
/hari atau kandungan dalam plasma sebesar 100 μg/dL (lebih 12.7 μmol/L). Level aman maksimal asupan selenium dalam diet diperhitungkan sebesar 800 μg/hari, tapi dapat lebih rendah pada beberapa individu yaitu sebanyak 600 μg/hari. Oleh karena itu ditentukan uptake level untuk selenium sebanyak 400 μg/hari, untuk melindungi individu yang lebih sensitive terhadap selenium. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa asupan selenium sebanyak 724 μg pada orang dewasa masih pada level aman (Whanger, 2003) Akibat Kekurangan dan Kelebihan Asupan Selenium Kepentingan selenium sebagai zat gizi pada manusia pertama kali ditemukan pada tahun 1979, pada saat ilmuwan China melaporkan bahwa suplemen selenium dapat mencegah perkembangan penyakit Keshan, yaitu suatu penyakit kardiomiopati atau degenerasi otot jantung yang terutama terlihat pada anak-anak dan perempuan dewasa (Keshan adalah sebuah provinsi di Cina). Sedangkan penyakit Keshan-Beck menyerang anak remaja yang menyebabkan rasa kaku, pembengkakan dan rasa sakit pada sendi jari-jari yang diikuti oleh osteoartritis secara umum, yang terutama dirasakan pada siku, lutut dan pergelangan kaki. Meskipun demikian, penyakit ini diduga ada komponenkomponen lain juga terlibat di dalamnya, seperti infeksi virus, rendahnya asupan vitamin E, protein, metionin dan mineral mikro lainnya. Menurut Rodrigo et al. (2003) perkembangan penyakit Keshan-Beck dapat dicegah serta dikurangi gejalanya dengan pemberian suplemen selenium sebanyak 100 μg /hari. Kekurangan selenium pada manusia karena makanan yang dikonsumsi belum banyak diketahui. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mendapat makanan parenteral total yang pada umumnya tidak mengandung selenium menunjukkan aktivitas glutation peroksidase rendah dan kadar selenium dalam plasma serta sel darah merah yang rendah. Beberapa pasien menjadi lemah, sakit pada otot-otot dan terjadi kardiomiopati serta pada pasien kanker kadar seleniumnya
rendah.
Orang-orang
yang
mempunyai
masalah
dengan
gastrointestinal seperti Crohn’s disease, merupakan faktor risiko mengalami defisiensi selenium karena terganggunya proses penyerapan. Khususnya
tatalaksana diet di rumah sakit yang dilakukan pada penderita phenylketonuria (PKU) dapat menyebabkan rendahnya selenium dalam diet. Endemik defisiensi Se dapat terjadi karena bahan makanan di daerah tertentu kekurangan selenium yang disebabkan biosfirnya sangat bervariasi. Kenyataan bahwa tidak setiap orang di daerah kekurangan selenium terkena penyakit defisiensi Se. Hal ini menunjukkan bahwa daya adaptasi manusia berlainan satu sama lainnya dan kemungkinan disebabkan faktor genetik (Faisal, 1998). Defisiensi selenium berbeda pada setiap manusia, hal ini karena daya adaptasi setiap orang berbeda satu dengan yang lainnya. Di New Zealand dan Finlandia yang merupakan daerah rendah kandungan selenium dalam tanah dan airnya, asupan selenium dari diet sehari-hari adalah 30 μg
- 50 μg /hari,
dibandingkan dengan asupan di USA dan Canada yaitu 100 μg – 250 μg /hari. Konsentrasi selenium dalam darah anak-anak di New Zealand lebih rendah dibandingkan anak-anak yang tinggal di negara lainnya. Faktor utama yang mempengaruhi rendahnya kandungan selenium dalam darah anak-anak di New Zealand karena intake selenium yang rendah yang juga merupakan gambaran rendahnya kandungan selenium dalam tanah di New Zealand. Kandungan Selenium dalam darah bervariasi karena keadaan geografi, umur, dan perbedaan jumlah
dan
jenis
makanan
yang
dikonsumsi.
Anak
yang
menderita
phenylketonuria dan Maple syrup urine asupan Se-nya rendah juga konsentrasi Se dalam darah (The Lancet / Internet: MedScape 15 Juli 2000). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunarti et al. (2000) pada kasus keguguran di RSUP Dr.Sardjito mengungkapkan bahwa wanita yang mengalami keguguran pada trimester pertama masa kehamilan mempunyai kadar selenium dibawah normal dan diatas kadar normal. Hasil penelitian tentang berbagai akibat yang disebabkan oleh defisiensi selenium, yaitu kelainan kardiovaskuler, kardiomiopati endemik, penyakit jantung koroner, kanker saluran cerna, kanker hematologis, limfa dan endrokrin. Penelitian berdasarkan keadaan geografi menunjukkan kecenderungan bahwa populasi yang hidup didaerah rendah kadar selenium dalam tanah dan relative rendah asupan selenium dalam makanan mempunyai angka kematian
yang tinggi akibat kanker. Hasil studi epidemiologi kejadian kanker karena asupan selenium yang rendah bukan suatu yang pasti, tetapi mempunyai kecenderungan kejadian kanker pada individu dengan kadar selenium rendah pada darah dan kuku. Bagaimanapun, kecenderungan ini kurang nyata pada wanita. Contohnya, penelitian secara prospektif pada lebih dari 60.000 perawat di Amerika ditemukan tidak berhubungan antara kadar selenium dalam kuku dan total risiko kanker. Penelitian pada laki-laki Taiwan yang terinfeksi hepatitis B atau C, konsentrasi selenium dalam plasma menurun dan mempunyai hubungan lebih besar dengan risiko kanker hati. Rendahnya kadar selenium berhubungan pula
dengan risiko kejadian kanker dan berhubungan secara nyata dengan
perokok (Whanger, 2003). Kelebihan asupan selenium akan menyebabkan keracunan. Efek keracunan selenium ditandai dengan kerontokan rambut dan perubahan morfologi kuku. Pada beberapa kasus, ditemukan juga lesi pada kulit dan abnormalitas sistem syaraf. Meskipun demikian, mekanisme biokimia efek keracunan selenium ini masih belum jelas (WHO, 1996). Apabila takarannya melebihi 3-5 kali lebih besar dari yang direkomendasikan oleh RDA maka akan mengakibatkan keracunan Se dalam tubuh (Clement, 1998). Tercatat ada beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mengantisipasi risiko keracunan mineral Selenium. Lisk et al. (1995) melaporkan, bahwa dengan mengkonsumsi bawang putih dapat mencegah defisiensi ataupun keracunan mineral Se. Akan tetapi konsumsi bawang putih dibatasi oleh kesukaan pribadi dan kondisi sosial. Oleh sebab itu dianggap kurang efektif, sehingga Finley et al. (2001) melakukan percobaan pada tikus dengan menggunakan brokoli yang memiliki kandungan selenium cukup tinggi, dimana hasilnya membuktikan bahwa dengan mengkonsumsi brokoli tinggi Se maka dapat mencegah terjadinya kanker kolon pada tikus. Kemudian konsumsi brokoli tinggi Se dapat direkomendasikan untuk menghambat terjadinya kanker. Akan tetapi permasalahan baru bahwa dampak mengkonsumsi makanan yang berasal dari spesies Bressica seperti brokoli, kol dan sejenisnya, dapat menimbulkan penyakit goiter (gondok) pada manusia. Goiter ini disebabkan karena adanya zat goitrogenik yang mempengaruhi kelenjar thyroid melalui beberapa cara, yaitu menghambat konversi iodida menjadi iodium, menghambat proses iodonisasi
asam amino tirosin dari mono-iodotirosine, menghambat penggabungan dua molekul di-iodotirosine membentuk tyroxin. Penyerapan Selenium organik dan inorganik Bentuk organik selenium lebih siap diserap dibandingkan bentuk inorganik, demikian pula selenium yang terkandung dalam tumbuh-tumbuhan pada umumnya lebih mudah digunakan tubuh daripada selenium dari hewan. Tetapi ada pula para ahli yang menyatakan bahwa penyerapan bentuk organik selenium sama efisiennya dengan bentuk inorganik, meskipun dalam tingkat yang berbeda. Bentuk utama selenium dalam tubuh adalah selenomethionine dan selenocysteine. Makanan yang berasal dari nabati memiliki kandungan selenium tinggi khususnya dalam bentuk selenomethionine, dibandingkan yang berasal dari hewan. Sedangkan makanan yang berasal dari hewan bentuk seleniumnya bervariasi, diantaranya sulfide dan selenide, selenocysteine dan selenomethionine (Stipanuk, 2000). Tempat penyerapan selenium di usus halus, terutama duodenum, namun tidak terjadi penyerapan selenium di lambung dan sangat sedikit penyerapan terjadi di jejunum dan ileum. Selenomethionine diserap seluruhnya di dalam duodenum. Bentuk selenium yang lainnya pada umumnya diserap dengan baik juga. Penyerapan selenium mempunyai variasi rentang yang cukup luas yaitu 50 – 100%. Penyerapan selenium tidak efektif untuk menunjukkan status selenium tubuh. Penyerapan selenium pada akhirnya berhubungan dengan faktor penghambat zat gizi atau pendukung penyerapan. Vitamins A, C, dan E bersamasama dengan glutathione meningkatkan penyerapan selenium dan sebaliknya logam berat seperti merkuri menurunkan penyerapan lewat pengendapan dan chelation (Bender, 2002) Berdasarkan keseimbangan dan kestabilan isotop selenium dapat ditunjukkan bahwa bentuk selenomethionine lebih efektif penyerapannya dibandingkan
selenite.
Selenoamino
acid
diserap
sekitar
50%-80%,
selenomethionine lebih baik penyerapannya dibandingkan selenocysteine. Selenite penyerapannya bervariasi antara 44 % - 70 %. Selenate lebih banyak penyerapanya daripada selenite (Elson, 2003).
Sistem Transpor dan Metabolisme Selenium Mekanisme traspor selenium masih belum jelas dan masih merupakan bahan diskusi. Ada yang berpendapat bahwa selenium masuk kedalam sel darah merah lewat sistem difusi (diffusion) dan pembawa (carried). Bentuk inorganik selenium melewati brush border dengan cara transpor pasif, sedangkan bentuk organik selenium (selemethionine dan juga selenocysteine) secara transport aktif. Selenium setelah diserap dari usus akan mengikuti transpor protein untuk diangkut melalui darah ke hati dan jaringan lainnya. Didalam darah manusia, selenium berikatan dengan sulfihydryl groups dalam α dan β globulins. Khususnya, lipoprotein seperti VLDL (α-2 globulin) dan LDL (aβ globulin). Selenocystine yang terkandung dalam plasma protein disebut selenoprotein. Hasil isolasi dari tikus sepertinya selenoprotein berfungsi bagi transpor selenium dan kemungkinan sebagai simpanan protein. Mekanisme bagaimana selenium melepaskan diri dari transpot plasma protein masih belum diketahui. Jaringan yang relatif mengandung konsentrasi selenium yang tinggi adalah ginjal, hati, jantung, pankreas dan otot. Paru-paru, otak, tulang dan sel darah merah juga mengandung selenium. Total kandungan selenium dalam tubuh bervariasi antara 3 - 15 mg tergantung asupan dalam diet. Di dalam jaringan tubuh seperti hati, selenomethionin akan menjadi : (1) Cadangan sebagai selenomethionine dalam pool asam amino (2) Dipergunakan untuk sintesis protein ketika asam amino methionine digunakan. (3) Di-katabolisme menjadi Se-adenocysteine (SeAM) dan akhirnya menjadi selenocysteine dan selenocystine. Selenomethionine bergabung dengan protein dalam metionin
dengan
bentuk acylates Met-tRNA, atau melalui mekanisme trans-sulfuration menjadi selenocysteine, kemudian dengan bantuan enzim -lyase diubah menjadi hydrogen selenide (H2Se). Sebaliknya, selenite menjadi H2Se lewat selenodiglutathione dan glutathione selenopersulfide. Hydrogen selenide pada umumnya sebagai prekusor untuk ketersediaan selenium dalam bentuk aktif yaitu dalam bentuk selenoprotein.
Selanjutnya metabolisme H2Se melalui proses methylasi S-adenosylmethionine menjadi methylselenol, dimethylselenide dan trimethyl-selenonium ion. Untuk menjaga keseimbangan selenium didalam tubuh dilakukan dengan cara mengeluarkan selenium dari tubuh. Ekskresi Se melalui tiga jalan utama yaitu paru-paru, sistem pengeluaran urin 50% - 60% atau 45 μg, lewat feses sebesar 40% - 50%, dan sisanya lewat paru-paru dan kulit. Asupan selenium yang tinggi dikeluarkan lewat paru-paru dalam bentuk dimethylselenide. Pengeluaran selenium melalui paru-paru akan menghasilkan bau bawang putih dari bagian selenium yang menguap. Pengeluaran Se dalam bentuk feses bukan merupakan jalur yang utama. Pengeluaran Se yang utama dalam keadaan fisiologis normal melalui sistim urine. Status Selenium Konsentrasi selenium dalam eritrosit, serum, plasma, urine atau rambut dapat digunakan untuk menduga status selenium pada manusia. Kandungan selenium pada berbagai organ penting seperti selenium pada hati, ginjal, jantung, otak, jaringan otot dan lainnya, juga dapat menduga status selenium manusia. Menurut para ahli penentuan selenium melalui kadar selenium pada serum darah, eritrosit, urin dan plasma lebih menunjukkan keadaan kadar selenium sebenarnya. Hal ini disebabkan selenium dalam eritrosit, serum, plasma dan urin dihitung sebagai selenium dalam enzim yang mempunyai sifat fungsional yang sudah pasti. Berlainan dengan kadar selenium dalam berbagai jaringan seperti hati, ginjal, dan otot lebih menggambarkan kadar selenium total yaitu selenium dalam enzim juga dihitung dalam bentuk komplek (IOM, 2000). Seberapa jauh adanya hubungan kadar selenium dalam serum darah, eritrosit, plasma, urin dan rambut dapat menentukan status selenium, sangat tergantung pada ras, daerah dan pengaruh lingkungan lainnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar selenium dengan parameter tersebut pada suatu lokasi tidak selalu menggambarkan keadaan sebenarnya terjadi defisiensi atau tidak. Pada daerah yang defisit seleniumnya tidak semua penduduk menderita akibat gangguan kekurangan selenium atau sebaliknya pada daerah yang tinggi deposit seleniumnya juga tidak selalu menderita keracunan selenium.
Pada proses metabolisme normal, dalam tubuh akan terbentuk radikal bebas dari senyawa oksigen, misalnya superoksida, oksigen singlet yang merugikan. Radikal bebas biasanya bersifat oksidatif dan akan memicu pembentukan kanker melalui mutasi gen dan merangsang pembelahan sel. Zat pengoksidasi (oksidan) atau radikal bebas lain juga dapat berasal dari luar tubuh (makanan, asap rokok, asap mobil, pollutan, dll). Jika potensi dari zat oksidan lebih tinggi daripada antioksidan di dalam tubuh seperti vitamin C, beta-karoten, vitamin E, dan GSH, maka keadaan ini disebut oxidative stress (stress oksidatif), yang merusak atau mengoksidasi biomolekul di dalam tubuh termasuk DNA dan berarti karsinogenik (IOM, 2000). Senyawa karsinogen dapat dimodifikasi melalui konjugasi dengan suatu gula (asam glukoronat), sulfat, gugus metil, atau glutathion (GSH). Beberapa enzim glutathion-S-transferase (GST) berperan untuk mentransfer GSH ke berbagai karsinogen membentuk senyawa konjugasinya dengan GSH yang netral, mudah larut di dalam air sehingga dapat di keluarkan dari tubuh. Selenium (Se) merupakan komponen esensial enzim glutation peroksidase (GSH-Px). Enzim glutathione peroxidase (Gambar 9) akan mengkatalisasi penguraian H2O2 dan hidroperoksida lipid oleh glutathione (GSH) sehingga lipid membran sel menjadi aman dan oksidasi Hb menjadi MetHb dapat dicegah. Enzim GSH-Px tidak aktif bila kekurangan Se dan sebagai akibatnya tubuh akan terpapar radikal bebas dan peroksida berbahaya yang bersifat mutagenik dan karsinogenik. Glutation peroksidase (GSH-Px.) bekerja secara sinergis dalam mencegah timbulnya radikal bebas dalam tubuh. Kadar GSH-Px yang tinggi dalam darah belum tentu menunjukkan rendahnya kadar aktivitas radikal bebas dalam tubuh, karena proses kerja antioksidan dalam tubuh bekerja secara sinergis maka apabila komponen yang satu mengalami kenaikan aktivitas maka harus diikuti kenaikan aktivitas komponen yang lainnya. Hal ini seperti hasil penelitian Thomson et al. (1985) bahwa pemberian suplemen tinggi Se pada orang New Zealand melalui roti putih sebanyak 200 μg /hari selama 8 – 13 minggu menunjukkan kadar aktivitas GSH-Px meningkat di dalam darah, eritrosit plasma dan platelets, tetapi tidak menghasilkan perubahan dalam komponen sistem pertahanan tubuh terhadap lipid peroksida karena aktivitas glutathione-S-
transferase tidak berubah selama suplementasi berlangsung. Glutathione peroxidase mengurangi katalisator dari :
Organik peroxides yang merupakan turunan dari unsaturated fatty acids (lipid peroxide LOOH), nucleic acids dan molekul lainnya.
Hidrogen Peroxide (H2O2) dengan reaksi sebagai berikut : Penurunan aktivitas gluthation peroksidase ditemukan juga pada pasien
yang positif HIV seperti yang dikemukan oleh Beauvieux (1996) Pada pasien yang terinfeksi HIV mengalami defisiensi selenium dan vitamin A. Aktivitas radikal bebas tinggi dan kadar GSH-Px rendah pada pasien yang positif HIV dibandingkan dengan pasien yang tidak HIV. Pemberian suplemen selenium dan beta karoten selama 12 bulan pada pasien yang positif HIV menunjukkan kenaikan kadar GSH-Px secara signifikan. GSH-Px dan GSH mempunyai peranan yang penting sebagai sistem pertahanan tubuh untuk menetralkan hidrogen peroksida, suplemen selenium juga dapat melindungi sel dari oxidative stress.
2 G-SH
GS-SG Glutathione peroxidase
H202 atau LOOH/ROOH
2H20 atau LOH/ROH + H20
Gambar 9 Reaksi aktivitas Glutathione-S-transferase (Thomson et al. 1985) Penelitian yang dilakukan oleh
Sunarti et al. (2000) tentang kadar
selenium dan aktivitas glutathion peroksidase pada kasus keguguran di RSUP Dr.Sardjito menunjukkan bahwa kadar selenium pada wanita keguguran lebih rendah atau lebih banyak dari yang dianjurkan, serta aktivitas glutation peroksidase lebih terlihat pada wanita hamil yang tidak mengalami keguguran sebagai kontrol. Keguguran dimungkinkan berkaitan dengan kerusakan DNA dan membran biologik akibat kurangnya sistem pertahanan antioksidan terhadap radikal bebas atau akibat toksisitas selenium. Kadar selenium yang rendah menyebabkan penurunan aktivitas enzim glutathion peroksidase sehingga enzim ini tidak dapat menetralkan hidroksida yang ada di dalam tubuh. Radikal bebas
turunan hidroksi peroksida dapat menyebabkan kerusakan DNA, kerusakan protein, dan terjadinya lipid peroksidasi. Kerusakan komponen membran sel kemungkinan merupakan salah satu penyebab keguguran. Selenium dalam proses sebagai zat gizi antioksidan berinteraksi dengan zat gizi mikro lainnya secara sinergis antara lain vitamin C dan khususnya vitamin E. Vitamin E juga sebagai zat antioksidan, mengurangi beberapa gejala akibat kekurangan selenium pada hewan. Kekurangan copper juga akan meningkatkan oksidatif stress dan dapat menurunkan aktivitas gluthation peroxsidase dalam plasma pada hewan yang kekurangan copper. Peran vitamin E berhubungan erat dengan unsur selenium dan enzim gluthation peroksidase. Tokoferol adalah senyawa antioksidan yang kuat. Gejala pada hewan percobaan dapat ditafsirkan sebagai terjadinya proses peroksidasi berlebihan pada jaringan jika tidak ada perlindungan terhadap peroksidasi oleh vitamin E. Enzim gluthation peroksidase memulihkan gluthation teroksidasi menjadi gluthation, sehingga dengan reaksi tersebut terbentuknya hidroperoksida yang bersifat sangat merusak dapat dikendalikan sampai minimum. Jika gluthation berperan menguraikan hidroperoksida yang sudah terbentuk, vitamin E berperan mencegah terbentuknya hidroperoksida dan dengan demikian mencegah pula kerusakan oleh peroksida (IOM, 2000). Dari Gambar 10 dapat dilihat adanya hubungan sinergis antara vitamin E dengan GSH-Px. berawal dari proses autoksidasi asam lemak tidak jenuh (PUFA) sehingga akan terbentuk hidroperoksida. Vitamin E berfungsi memutus rantai proses autoksidasi sehingga mencegah timbulnya hidroperoksida, sedangkan GSH-Px. bekerja memunahkan hidroperoksida yang sudah terbentuk sehingga mencegah terjadinya kerusakan asam lemak tidak jenuh. Oleh karena itu asam lemak tidak jenuh khususnya asam lemak esensial seperti linoleat, linolenat dan arakhidonat dapat terlindungi dari peroksidasi. Pada proses pemutusan rantai autoksidasi oleh vitamin E akan terbentuk vitamin E radikal. Vitamin E radikal direduksi oleh vitamin C sehingga menghasilkan bentuk vitamin E dan vitamin C radikal, yang kemudian dinetralkan kembali menjadi vitamin C oleh GSSG.
Gambar 10
Hubungan Sinergis Zat Gizi sebagai Antioksidan (Thomson et al. 2003)
Selanjutnya
The
Lancet
(Internet:
MedScape
15
Juli
2000)
mengemukakan bahwa selenium berfungsi sebagai penambah kekebalan bila dalam darah mengandung penuh selenium (95 ppb). Pada kondisi tersebut seseorang akan meningkat penggandaan sel-T yang diduga sebagai perluasan klonal untuk peningkatan imunitas. Limfosit dari para relawan ditambah dengan selenium (seperti natrium selenit) dengan dosis 200 mikrogram per hari menunjukkan
peningkatan
tanggapan
terhadap
rangsangan
antigen
dan
peningkatan kemampuan untuk mengembangkan limfosit sitotoksik dan menghancurkan sel tumor. Disamping itu aktivitas sel pembunuh alami meningkat (82%), dan juga peningkatan 118% sitotoksisitas tumor yang menjadi perantara limfosit sitotoksik dibandingkan pada awalnya.
Lama Intervensi dan Dosis Suplemen Se dan I Suplemen selenium dan iodium diberikan setiap hari selama dua bulan (8 minggu). Hasil penelitian Thomson et al. (1985) dan Whanger, Linus Pauling Institute (2003) menunjukkan bahwa pemberian suplemen tinggi Se pada orang New Zealand melalui roti tawar sebanyak 200 μg /hari selama delapan minggu
menunjukkan kadar aktivitas GSH-Px meningkat di dalam darah, tetapi tidak menghasilkan perubahan dalam komponen sistem pertahanan tubuh terhadap lipid peroksida karena aktivitas glutathione-S-transferase tidak berubah selama suplementasi berlangsung. Sedangkan yang diberikan selama 13 minggu tidak menunjukkan perbedaan hasil yang nyata. Dengan demikian lama intervensi Se untuk pertahanan tubuh paling efektif selama delapan bulan. Selanjutnya karena Se bersifat toksik maka Muhilal (2004) menganjurkan dilakukan penelitian doseresponse untuk melihat hubungan antara dosis dan efek samping yang terjadi sebagai dampak pemberian suplemen Se untuk tujuan perbaikan profil darah dengan menggunakan nilai uptake level (UL) adalah nilai asupan zat gizi (Se dan I) tertinggi yang tidak menimbulkan efek samping/toksisitas. Suplemen Selenium (Se) dan Iodium (I) diberikan dengan dosis yang didasarkan angka kecukupan yang dianjurkan (AKG) paling rendah agar tidak menimbulkan efek samping pada anak yang diteliti. Disamping itu asupan terendah yang tidak menimbulkan efek samping dapat digunakan untuk estimasi UL dari zat gizi (Se dan I). Dosis suplemen iodium yang diberikan juga mengacu pada rekomendasi WHO/UNICEF/ICCIDD (1992) yaitu sebesar 50 μg /hari untuk anak usia 9-12 tahun. Sementara dosis Se yang diberikan mengacu pada besarnya ekskresi Se sebesar 50% - 60% atau 45 μg (Elson, 2003).
KERANGKA PEMIKIRAN Sosial – Ekonomi rendah
Infeksi
Daerah Endemik GAKI
Asupan Zat Gizi Kurang
• Rendah Iodium • Rendah Selenium • Garam ber-iodium < 30 ppm • Kandungan Se & Iodium dlm air minum + bahan makanan rendah
Absorpsi Zat Gizi Terganggu
Imunitas Seluler Terganggu
Morbiditas tinggi
Status Gizi Rendah Kemampuan Kognitif rendah
Tumbuh Kembang Fisik & Otak Terganggu sifat Permanen
Intervensi Zat Gizi Mikro pada Anak SD usia 9-12 tahun Melalui Suplemen Selenium dan Iodium dosis rendah selama 2 bulan
Selenium dosis 45 μg/hari
Iodium Dosis 50 μg/hari
Selenium + Iodium
Plasebo
Pengaruh Terhadap : Profil Darah, Status Gizi, Skor IQ, Jumlah Tanda Khas Kretin
Gambar 11 Kerangka Pemikiran Perlunya Intervensi Gizi Ganda melalui Suplemen Iodium dan Selenium pada Anak dengan Tanda Khas Kretin di Daerah Endemik GAKI
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Persiapan penelitian mulai dilakukan pada Agustus 2005 yaitu mengurus perijinan wilayah sampai pada lokasi sekolah dasar (SD) dan perijinan Laboratorium di BATAN Yogyakarta dan Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta untuk analisis kadar mikronutrien, serta Laboratorium Klinik Prodia Surakarta untuk analisis profil darah.
Survey awal atau pendahuluan untuk
Penapisan sampel dan penentuan dosis selenium dan iodium dimulai pada Desember 2005 – April 2006. Penelitian utama dilakukan setelah semua sampel terseleksi dan menyatakan bersedia mengikuti penelitian hingga selesai (April 2006 – Mei 2007). Penelitian ini sudah mendapatkan ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran UNS, Surakarta, No: 2181/H.27.17.1/PL/2005 Tanggal 21 Des 2005. Lokasi penelitian di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, tepatnya di dua desa wilayah kerja Puskesmas Cepogo, yaitu desa Wonodoyo dan Jombong.
Gambar 12 Foto SDN Jombong 1 dan SDN Jombong 2 di Desa Jombong, Kecamatan Cepogo, Boyolali sebagai Lokasi Penelitian Pemilihan lokasi berdasarkan penyebaran masalah GAKI pada anak SD usia 9-12 tahun di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
Secara keseluruhan ada
89 desa di 16 Kecamatan. Masing-masing desa endemik mewakili Kecamatan di daerahnya yang dipilih secara random sampling sebagai dasar pemilihan lokasi digunakan hasil pemantauan status gizi anak usia sekolah pada tahun 2000 oleh DKK Boyolali (TGR 14.5 % dan VGR 12 % dan anak cenderung kretin 11.4%).
Kemudian diambil satu Kecamatan dan terpilih Kecamatan
Cepogo sebagai
lokasi penelitian dan terpilih SD yaitu : 1.
SDN Jombong I, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali.
2.
SDN Jombong II, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali.
3.
SDN Wonodoyo I, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali.
4.
SDN Wonodoyo II, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali.
Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan tiga tahap (Tabel 15) yang terdiri dari penelitian pendahuluan untuk Penapisan sampel dengan menggunakan kriteria inklusi (Tabel 17) dilanjutkan dengan penentuan bio-availabilitas kapsul sodium selenat (kapsul dosis 45ug) sesuai anjuran kecukupan gizi (AKG) dan penelitian epidemiologi yang berupa intervensi gizi mikro (Sodium selenat dan Iodium) pada anak usia SD laki-laki dan perempuan berumur 9 – 12 tahun. Dalam penelitian ini diberikan sejumlah alasan untuk memadukan pendekatan metode kuantitatif dan kualitatif, yaitu: 1.
mengidentifikasi aspek dan variabel yang muncul dari hasil pengamatan
2.
mengilustrasikan model statistik kuantitatif dengan studi kasus kualitatif (jumlah tanda khas kretin)
3.
meningkatkan validitas konvergensi hasil (data laboratorium)
4.
meningkatkan validitas eksternal (generalisasi daerah endemik GAKI)
Tabel. 15
Desain dan Lokasi Penelitian
Tahap Penelitian 1. Penelitian pendahuluan untuk Penapisan sampel
Desain Rapid assesment /Survey cepat dengan menggunakan kriteria inklusi (Tabel 16)
Lokasi penelitian Daerah : a. Kecamatan Cepogo, Kab. Boyolali, Jawa Tengah
Waktu Feb-April 2006
Laboratorium : Lab. Teknologi Maju BATANYogyakarta 2. Penentuan nilai bioavailabilitas sodium selenat (kapsul dosis 45 ug) dan kapsul iodium 50 ug
Desain in-vitro
Laboratorium : Teknologi Maju BATANYogyakarta
Februari 2006
3. Penelitian epidemiologi pada anak SD
Desain Experimental Quasi (Before & After Quasi Experiment) : a. Persiapan, seleksi sampel b. Pemberian obat cacing ‘albendazole’ 400 mg c. Pre-test (pemeriksaan darah, BB, TB TLidah), tes IQ d. Intervensi gizi dan monitoring minum kapsul (4 kelp) selama 2 bl e. Post-test f. Pengukuran dampak fisik (status gizi, kesh) setelah 4 bl intervensi
Daerah : a. Kecamatan Cepogo, Kab. Boyolali, Jawa Tengah
Juni 2006 s.d Nopember 2006
Laboratorium : Balai Kesehatan Yogyakarta
Tabel 16 Kriteria Inklusi untuk Penentuan Sampel Saat Penapisan No.
Kriteria
1
Umur 9 – 12 tahun (kelas IV dan V). Umur 9 pada anak perempuan telah mengalami menstruasi pertama, sedangkan pada anak laki-laki sebenarnya umur 9 tahun 10 bulan Lahir di desa endemik GAKI terpilih Status gizi kurang Tidak menderita penyakit diare Tidak mempunyai kelainan kongenital / cacat bawaan Tidak menderita panas/demam, DBD, batuk pilek yang berat. Tidak menderita penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) Tampak menderita penyakit Thyroid/ ada benjolan di leher Sulit diajak bicara, sulit menangkap pembicaraan orang lain dan kurang/tidak dapat mendengar Apatis, tidak bersemangat Tidak anaemia (pucat, lemah, malas) anemia berat (Hb < 8 g/dl) Muka, tangan bengkak, lidah membesar Cebol / kerdil dibanding seusianya Motivasi belajar kurang Telah mendapatkan penjelasan tentang penelitian Menyetujui Informed Consent Bersedia untuk mematuhi semua prosedur penelitian Tidak berpartisipasi dalam penelitian lain
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Kriteria No. 14-16 perlu dicantumkan sebagai kriteria inklusi karena sejak tahun 1996 kesepakatan Helsinki telah diamandemen kembali untuk Ethical Clearance jenis penelitian high risk maupun jenis penelitian kuratif. Populasi dan Sampling Dalam penelitian ini yang dijadikan populasi adalah anak SD kelas IV dan kelas V pada usia 9-12 tahun yang tinggal di desa endemik GAKI di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Sampel, unit observasi dan unit analisis adalah : •
Sampel desa diambil secara random sampling dan terpilih dua desa (Jombong, Wonodoyo) di kecamatan Cepogo.
•
Unit observasi dalam penelitian ini ada empat SDN yaitu SDN Jombong (I dan II) dan SDN Wonodoyo (I dan II). Unit analisis dalam studi ini adalah murid SDN (laki laki dan perempuan
usia 9-12 tahun) yang aktif sekolah di kelas IV dan V SDN terpilih. Kemudian
dibuat daftar murid calon subyek atas dasar daftar absensi dan secara random diambil sebagai unit analisis. Selanjutnya dilakukan Penapisan sampel dengan menggunakan 6-11 tanda / ciri khas kretin endemik. Apabila terdapat 6-11 tanda artinya anak memiliki risiko menjadi kretin. Adapun 15 tanda/ciri khas kretin endemik tersebut (Widodo, 2000) adalah : •
Gerakan anak tidak terkoordinasi
•
Motivasi belajar kurang
•
Bila berjalan sering jatuh, terhuyung-huyung, langkah tidak teratur
•
Sering kejang
•
Sulit diajak bicara
•
Sulit menangkap pembicaraan orang lain
•
Kurang/tidak dapat mendengar
•
Juling (starbismus)
•
Cebol / kerdil dibanding seusianya
•
Kulit berbintik / berbercak
•
Ada benjolan di leher
•
Apatis, tidak bersemangat
•
Anaemia (pucat, lemah, malas)
•
Muka, tangan bengkak, lidah membesar
•
Mengalami gangguan pertumbuhan fisik Selanjutnya untuk menentukan jumlah sampel digunakan rumus (Murti,
2006) yaitu: n = [Z α √ 2p(1-p) + Zβ √ p1(1-p1) + p0 (1 – p0) (p1 - p0)2 n
= besar sampel masing-masing kelompok
p0
= proporsi subyek dalam kelompok kontrol = 0.33
p1
= proporsi subyek dalam kelompok studi
= 0.12 (prevalensi kretin
Jawa Tengah tahun 1998 ada 12%) p
= proporsi gabungan = ( p1 + p0 ) : 2 = 0.226
p1 - p0 = perbedaan proporsi
subyek dalam kelompok studi dan kontrol
(perbedaan minimal yang bermakna secara klinik) = 0.0481
α
= batas kemaknaan, menggunakan : 0.05
Zα
= Z 0.025 = 1.96
1-β
= power, biasanya 0.90 atau 0.80 (dalam penelitian dipakai 0.90)
Zβ
= Z 0.10 = 1.282
1–p
= 0.774
1 – p1 = 0.88
n = 2.285 : 0.0481 = 46.8 ∼ 47 anak / kelompok
1 – p0 = 0.67
perlakuan
Proporsi subyek dalam kelompok studi ditentukan berdasarkan besarnya prevalensi anak penderita kretin di Jawa Tengah sebesar 12%. Jadi berdasarkan rumus tersebut total sampel = 4 kelompok x 47 anak = 188 anak.
Untuk
mengantisipasi terjadinya lost follow up maka jumlah sampel ditambah 10% menjadi 206. Semua sampel diberi obat cacing, namun sebelumnya dilakukan random sampling Sekolah Dasar dengan mengundi lintingan kertas tertutup untuk menentukan kelompok perlakuan (A,B,C,D).
Hasil sampling SD untuk jenis
perlakuan dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Hasil Randomisasi SD untuk Penentuan Jenis Perlakuan No. Model Dosis Nama SDN terpilih Kelompok secara acak
3
Kapsul Iodium 50 μg/orang/hari + Kelompok : A Selenium 45 μg/orang/hari Kapsul iodium saja 50 Kelompok : B μg/orang/hari Kapsul Selenium 45 μg/orang/hari Kelompok : C
4
Kapsul tanpa Se & I (Plasebo)
1 2
Kelompok : D
Wonodoyo II Cepogo (51 anak) Wonodoyo II Cepogo (52 anak) Jombong II Cepogo (52 anak) Jombong I Cepogo (51 anak)
Total sampel pada saat penapisan ada 206 anak Setelah perlakuan 4 bulan terjadi drop out 91 anak sehingga jumlah sampel yang memenuhi syarat untuk dianalisis ada 115 anak (n1=18, n2=35, n3=34, n4 = 28 anak).
Sebanyak 50 anak mengikuti terapi gizi klinik di
Semarang karena dikhawatirkan akan menjadi kasus kretin baru. Sembilan belas anak sudah lebih dari 20 hari tidak minum suplemen (kepatuhan minum suplemen
kurang dari 80%). Tiga belas anak pindah sekolah, dan 9 anak takut diambil darahnya. Dengan demikian drop out sampel mencapai 44.17 %. Tingginya drop out sampel hingga mencapai 50% juga dialami oleh Soekarjo, et al. (2004) yang meneliti tentang suplementasi vitamin A dan zat besi pada remaja di Jawa Timur. Pada umumnya penelitian epidemiologi yang bersifat kuratif bukan promotifpreventif akan mengalami drop out tinggi sampai 50% (Ahmed et al., 2001). Dalam penelitian ini saat penapisan menggunakan set power statistik 90% namun setelah terjadi drop out sampel maka power statistik menjadi 87%. Variabel dan Definisi Operasional 1.
Profil darah anak usia 9-12 tahun adalah pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb) dalam g/dl, kadar hematokrit (Ht) dalam %, kadar eritrosit, leukosit, MCV, MCH, MCHC, kadar Se (μg/dl) dan kadar I (μg/dl). Selanjutnya hasil pemeriksaan profil darah untuk menentukan : •
Pre-Post test jenis anemia anak SD usia 9-12 tahun Harga absolut dihitung dari konsentrasi eritrosit, konsentrasi Hb dan Ht. Rumus MCV, MCH dan MCHC dapat dilihat pada Box.1
Mean corpuscular volume (MCV) dalam femtoliter (fl) = Hematokrit (1/1) Konsentrasi eritrosit (per liter) Mean corpuscular haemoglobin (MCH) dalam pikogram (pg) = Konsentrasi hemoglobin (g/dl) Konsentrasi eritrosit (per liter) Mean corpuscular haemoglobin consentarion (MCHC) Dalam gram per deciliter (g/dl) = Konsentrasi hemoglobin (g/dl) Hemotokrit (l/l) Box 1 Rumus MCV, MCH dan MCHC (Irianto dan Waluyo, 2004).
Anemia akan ditemukan apabila konsentrasi hemoglobin kurang dari 13 g/dl pada pria, atau 11,5 g/dl pada perempuan, hematokrit juga mengalami penurunan. Naiknya konsentrasi eritrosit disebut polisitaemia, biasanya disertai dengan meningkatnya konsentrasi hemoglobin dan hematokrit. • Pre-Post test status Selenium dan Iodium pada anak usia 9-12 tahun merupakan hasil analisis pengukuran kadar Se dan iodium dalam plasma darah kemudian dibandingkan dengan nilai kadar normal (Se = 0.1-6.1 μg/ dl. dan Iodium 3-6.5 μg/ dl). Cara pengukuran preparasi sampel dilakukan di Lab. Klinik Prodia Solo dan analisis menggunakan metode APN (analisis pengaktif nuklir) dikerjakan di BATAN / Balai Kesehatan Yogyakarta. Kalkulasi indeks merupakan hasil keseluruhan pengelompokan berdasarkan cut off point (normal atau defisiensi). • Pre-Post test jumlah eritrosit dan leukosit pada anak usia 9-12 tahun merupakan hasil analisis pengukuran jumlah eritrosit dan leukosit dalam darah kemudian dibandingkan dengan nilai kadar normal (eritrosit : 4.2-5.4 ml/mm3 dan leukosit : 5-10 ml/mm3 atau juta / ml). Preparasi dan analisis sampel dilakukan di Lab Klinik Prodia Solo dengan kalkulasi indeks hasil keseluruhan pengelompokkan berdasarkan cut off point (normal atau defisiensi). Langkah kerja laboratoris untuk pemeriksaan darah rutin adalah : a.
Penentuan Kadar Hb : menggunakan metode Cyanmethemoglobin. Ke dalam tabung reaksi, dimasukkan tepat 5 ml larutan reagen Hb (larutan pengencer Drabkin), pengukuran menggunakan buret.
Dipipet dengan pipet Hb
terstandarisasi 0.02 ml darah (tepat). Darah dalam pipet dimasukkan kedalam larutan reagen Hb.
Pipet dibilas dengan menghisap larutan dan
mengeluarkannya sampai 3x dan dijaga jangan sampai timbul gelembung udara.
Tabung diputar supaya darah bercampur dengan reagen Hb.
Didiamkan selama 10 menit agar terbentuk sianmet-Hb.
Dibaca dengan
Spektrofotometer pada 540 nm. Blanko digunakan larutan reagen Hb. Perhitungan g% Hb sampel = densitas sampel dibagi densitas standar dikalikan g % Hb standar (Underwood, 2002).
g % Hb sampel = Densitas sampel x g % Hb standar Densitas standar
b.
Penentuan Kadar Ht : menggunakan volume packed red cells (VPRC). Darah yang digunakan telah diberi antikoagulan (heparin). Darah dimasukkan ke dalam pipa kapiler. Ujung pipa kapiler berisi darah ditutup. Normal VPRC untuk laki-laki 45 % dan perempuan 41 % dari volume seluruhnya (Underwood, 2002).
c.
Perhitungan MCV (Mean Corpuscular Volume) adalah rata-rata volume masing-masing eritrosit, dihitung dari volume eritrosit dibagi banyaknya eritrosit dalam 1 liter darah. MCV dinyatakan dalam femtoliter (fl). Normal MCV pada semua kelompok umur sama, yaitu 80-94 fl (Underwood, 2002). MCV
d.
= Volume Packed Red Cells (VPRC) Banyaknya eritrosit 1 liter
Perhitungan MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) merupakan rata-rata banyaknya Hb dalam tiap eritrosit. MCH =
Hb (g /100 ml darah ) Banyaknya eritrosit / liter
MCH dinyatakan dalam pico-gram (pg).
Normal MCH pada anak usia
sekolah yaitu 20-27 pg. (Underwood, 2002). e.
Perhitungan MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Consentration) merupakan persentase banyaknya Hb terhadap volume eritrosit. MCHC =
Hb (g /100 ml darah ) VPRC
MCHC dinyatakan dalam gram /100 mililiter (g/100ml). Normal MCHC pada semua kelompok umur sama, yaitu 33-38 g/100 ml (Underwood, 2002). f.
Jenis anemia menurut ukuran besarnya eritrosit. Menurut Underwood (2002) dan Tierny et al. (2003) ada tiga jenis anemia, yaitu anemia makrositik (jenis anemia yang memiliki ukuran eritrosit lebih besar dari normal), anemia mikrositik (jenis anemia yang memiliki ukuran eritrosit lebih kecil dari
normal), dan anemia monositik (jenis anemia yang memiliki ukuran eritrosit normal). g.
Jenis anemia menurut kadar Hb dalam eritrosit. Menurut Underwood (2002) dan Tierny et al. (2003) ada tiga jenis, yaitu anemia hiperkromik (jenis anemia yang memiliki kandungan Hb dalam eritrosit berlebih), anemia hipokromik (jenis anemia yang memiliki kandungan Hb dalam eritrosit kurang), dan anemia monokromik (jenis anemia yang memiliki kandungan Hb dalam eritrosit tidak banyak berubah).
2.
Status Gizi Antropometri adalah keadaan gizi anak sebagai hasil dari asupan dan metabolisme dari berbagai zat gizi di dalam tubuh, yang diukur secara antropometri dan dinilai berdasarkan indeks berat badan menurut umur (BB/U) dan tinggi badanmenurut umur (TB/U). Pre-Post test status gizi anak SD usia 9-12 tahun dengan indikator BB/U dan TB/U Dengan kriteria sebagai berikut : a. Termasuk Status Gizi Obese bila : > 3 SD b. Termasuk Status Gizi Lebih (Gemuk = Over Weight) : +2
3. Skor IQ adalah hasil test IQ anak menurut metode Raven (1995) yaitu untuk Pre-Post test skor IQ terhadap gejala kretin sub-klinik •
IQ <25
: idiot (Retardasi mental berat)
•
IQ=25-40
: Imbecile (Retardasi mental sedang)
•
IQ=40-55
: Moron (Retardasi mental ringan)
•
IQ=55-70
: garis batas dengan gangguan ringan pada perkembangan psikomotor dan pendengaran
•
IQ=70-85
: di bawah garis normal dapat termasuk gejala kretin subklinik ringan
Data Karakteristik anak SD usia 9-12 tahun yang diambil dengan wawancara : a. Umur Anak Difinisi operasional
: umur pada saat penelitian dilakukan dalam tahun Penuh (tahun, bulan)
Prosedur pengukuran : dihitung berdasarkan catatan sekolah b. Jenis kelamin Difinisi operasional
: jenis kelamin anak yang diintervensi laki-laki dan perempuan
Prosedur pengukuran : dikutip dari catatan sekolah dan observasi langsung c. Kondisi kesehatan anak Difinisi operasional
: catatan kesehatan anak selama 3 bulan terakhir
Prosedur pengukuran : laporan dari yang bersangkutan /keluarga /teman /guru d. Kebersihan anak selama pemeriksaan Difinisi operasional
: hasil pemeriksaan kebersihan anak berdasarkan pemeriksaan lubang hidung, telinga, kuku jari tangan dan korengan/ tidak untuk mengetahui potensi kecacingan.
Prosedur pengukuran : diamati dan diperiksa oleh peneliti Kalkulasi Indeks
: 1. Kotor sekali 3. bersih
2. kotor 4. bersih sekali
Kontrol Kualitas Data Untuk menjaga tingkat kepercayaan (reliabilitas) data yang dikumpulkan, maka peneliti berusaha dengan cara : 1.
Bekerja bersama satu Tim dengan Puskesmas Cepogo, Bidan Desa, Kepala Sekolah, Guru kelas dan Guru UKS di setiap SD lokasi penelitian dan Peneliti sendiri sebagai pengumpul data di SD
2.
Melakukan pertemuan / koordinasi antara peneliti dengan Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK), dan Dinas Pendidikan Nasional Kantor cabang Cepogo untuk mendiskusikan setiap masalah yang timbul di lapangan.
3.
Penyuntingan data dilakukan segera setelah data terkumpul oleh peneliti dengan bimbingan dan arahan komisi pembimbing.
Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung kepada subyek dengan menggunakan kuesioner.
Selain itu dilakukan wawancara mendalam
kepada Kepala Puskesmas Cepogo, Kepala Sekolah Dasar terpilih, Guru Kelas dan Guru UKS setiap SD terpilih. Selanjutnya untuk mengidentifikasi masalah dengan pendekatan Fish Bone yaitu melihat masalah
dari aspek manusia,
lingkungan, metode, alat dan materi. Langkah-langkah yang dilakukan untuk pengumpulan data adalah : 1.
Menggalang komitmen dengan DKK Boyolali, Kapuskes dan dokter Puskesmas, Bidan desa, Dinas Pendidikan Nasional cabang Cepogo. Dilanjutkan sosialisasi tentang pelaksanaan penelitian pemberian kapsul iodium dan selenium (frekuensi dan dosis).
Hal ini bertujuan untuk
menghindarkan over dosis. 2.
Setelah sosialisasi kegiatan penelitian dengan pihak DKK Boyolali dan Diknas Boyolali selanjutnya sosialisasi dengan pihak SD dan orangtua murid di setiap lokasi SD terpilih.
Dalam hal ini peneliti didampingi pihak
Puskesmas. 3.
Setelah informed consent diperoleh dari pihak orangtua murid dan disaksikan kepala SD atau guru kelas, maka kegiatan penelitian utama segera dapat dilakukan dengan sampel yang berdasarkan hasil Penapisan.
4.
Peneliti bersama dengan tim Puskesmas yang sudah dilatih melakukan pengukuran antropometri, tebal lidah, dan wawancara mendalam tentang konsumsi anak setiap hari, dilanjutkan dengan pengambilan darah oleh tim paramedis dari Prodia Solo. Pengambilan data primer lain seperti identitas dan riwayat kesehatan sampel dilakukan oleh peneliti. Data sekunder besar prevalensi GAKI diverifikasi dengan data dari berbagai pihak terkait.
5.
Jenis paket intervensi yang diberikan adalah : • Kapsul selenium dosis 45 μg/hari dan iodium dosis 50 μg/hari disediakan oleh peneliti untuk dikonsumsi selama 2 bulan (SDN Wanodoyo II). • Kapsul iodium dengan dosis rendah (50 μg/hari) saja diberikan selama 2 bulan (SDN Wonodoyo I)
• Kapsul selenium dosis 45 μg/hari saja disediakan oleh peneliti untuk dikonsumsi selama 2 bulan (SDN Jombong II). • Kapsul tanpa iodium maupun selenium (Plasebo) diberikan selama 2 bulan (SDN Jombong I) Secara teknis, masing-masing subyek penelitian diambil darahnya pada pagi hari melalui Vena median cubiti sebanyak 3 ml dan ditampung dalam tabung EDTA untuk pengukuran kandungan zat gizi selenium dan iodium dalam plasma. Garam diambil dari masing-masing rumah tangga untuk pengukuran kadar iodium. Demikian juga air diambil dari rumah tangga secara sub-sampel untuk pengukuran iodium, dan selenium. Asupan iodium dan selenium diperoleh dengan wawancara 24-hour recall dan FFQ (Food Frequency Qiestionaire) untuk mengetahui asupan protein hewani dan zat goitrogenik. Informasi distribusi kapsul iodium dan selenium dilakukan dengan lembar catatan kepatuhan minum kapsul (Lampiran 1). Semua data kegiatan penelitian di lapangan kemudian diolah dengan cara : • Hasil wawancara 24-hour recall diolah dengan komputer program Nutri-Soft (2005) kemudian dibandingkan dengan AKG. • Pengukuran iodium dan selenium pada plasma darah anak SD dengan metode NAA (Neutron Activation Analysis). Analisis Data Data yang diperoleh di tabulasi dan dianalisis dengan software SPSS for windows Release 13.
Data kualitatif diolah untuk penyusunan pola
kecenderungan dan analisis hubungan antar berbagai pola yang diperoleh. Sedangkan data kuantitatif diolah untuk menganalisis perubahan profil darah antar kelompok, status gizi, status kesehatan dan skor IQ anak antar kelompok yang diberi suplemen dan kelompok kontrol (sebelum dan sesudah diberikan perlakuan) menggunakan Independent T-test dilanjutkan analisis Ancova Table test. Uji Chi-square digunakan untuk menguji kesamaan distribusi peubah non parametrik
antar
kelompok
perlakuan.
Uji
ANOVA
digunakan
untuk
membandingkan perbedaan peubah parametrik sebelum perlakuan seperti kadar Hb, Ht, eritrosit, leukosit, MCV, MCH, MCHC, kadar Se dan I, status gizi
(underweight dan stunted), skor IQ dan jumlah tanda khas kretin anak.
Uji
efektivitas suplementasi menggunakan selisih nilai (∆) parameter profil darah, status gizi, skor IQ dan jumlah tanda khas ketin pada anak sebelum dan sesudah perlakuan. Sebelum semua data diolah perlu dilakukan tes kenormalan data dengan Kolmogorov Smirnov Goodness of Fit. Untuk mengkoreksi (adjusted) peubah perancu (confounder) yang diduga berpengaruh terhadap besaran selisih dampak setelah 2 bulan perlakuan menggunakan uji ANCOVA. Kemudian bila uji ancova nyata dilanjutkan analisis hubungan antar variabel digunakan Regresi Linier Sederhana dilanjutkan analisis multivariate (two factor nested design) untuk mengetahui nilai odds ratio kretin endemik pada anak menurut standar nilai kandungan Se dan I dalam plasma darah. Protokol Penelitian 1.
Penapisan Anak a. Kriteria penerimaan (Tabel 16) b. Kriteria penolakan •
anak SD umur kurang dari 9 dan atau lebih 12 tahun pada waktu penapisan (skrining)
2.
•
tidak bersedia memberikan ‘inform consent’ / tidak kooperatif
•
sedang menderita penyakit tertentu
Pengelompokan Anak a. Anak kelas IV+V dari SDN Wanodoyo II mendapat kapsul selenium dosis 45 μg/hari dan iodium dosis 50 μg/hari yang disediakan oleh peneliti untuk dikonsumsi selama 2 bulan (Kelompok A) b. Anak kelas IV+V dari SDN Wonodoyo I mendapat kapsul iodium dengan dosis 50 μg/hari saja diberikan selama 2 bulan (Kelompok B) c. Anak kelas IV+V SDN Jombong II mendapat kapsul selenium dosis 45 μg/hari saja disediakan oleh peneliti untuk dikonsumsi selama 2 bulan (Kelompok C). d. Anak kelas IV+V SDN Jombong I mendapat kapsul tanpa iodium maupun selenium (Plasebo) diberikan selama 2 bulan (Kelompok D)
3.
Dosis dan Pemberian Suplemen Dosis suplemen iodium yang diberikan mengacu pada rekomendasi WHO/ UNICEF/ICCIDD (1992) yaitu sebesar 50 μg /hari untuk anak usia 9-12 tahun. Sementara dosis Se yang diberikan mengacu pada besarnya ekskresi Se sebesar 50% - 60% atau 45 μg (Elson, 2003). Dosis rendah yang ditetapkan tersebut masih berada pada batas aman (safe level intake). Seluruh suplemen untuk penelitian ini diproduksi oleh PT Kimia Farma tepatnya Divisi Riset dan Pengembangan di Bandung.
Pengujian Laboratorium
Analisis Kimia Farma di Surabaya untuk pemeriksaan bentuk, warna, isi, waktu hancur dan ketepatan kadar selenium selenat maupun iodium dapat disimpulkan telah memenuhi syarat seperti yang diharapkan dalam penelitian. a. Pemilihan suplemen Suplemen utama dalam penelitian ini adalah kapsul selenium dan iodium. Untuk mengkondisikan bebas kecacingan diberikan terlebih dulu obat cacing ‘albendazole’ dosis 400 mg cukup satu kali di minum sebelum penelitian. i.
Kapsul selenium (Se) adalah kapsul suplemen yang mengandung selenium selenat 45 μg yang diberikan kepada anak setiap hari selama dua bulan
ii.
Kapsul iodium (I) adalah kapsul suplemen yang mengandung iodium 50 μg yang diberikan kepada anak setiap hari selama dua bulan
iii.
Kapsul plasebo adalah kapsul yang secara fisik sama dengankapsul prlakuan tetapi hanya mengandung selulosa yang diberikan setiap hari selama dua bulan.
Pemberian suplemen secara tersamar Pada tahap I semua anak menerima obat cacing ‘Albendazole’ 400 mg dalam satu kapsul. Kemudian randomisasi dan terdapat empat kelompok (A, B,C,D) i.
Pada tahap II suplemen kapsul iodium dan selenium dimulai di setiap kelompok dengan dosis harian 50 μg/hari (1 kapsul iodium) dan dosis harian 45 μg/hari (1 kapsul selenium) diberikan saat anak mengikuti pelajaran sekolah setelah istirahat pertama.
ii.
Tahap III setelah suplemen diberikan selama 2 bulan dilakukan monitoring dampak selama 2 bulan dengan pemantauan tiap bulan. Jadi ada 4 kali pengukuran antropometri, 2 kali (pre dan post) pengukuran profil darah dan skor IQ
4.
Kepatuhan anak Kepatuhan anak untuk
minum kapsul iodium dan selenium dapat
diandalkan keterjaminannya karena setiap anak minum kapsul di sekolah di depan guru dan tim peneliti lapangan yang ditunjuk dari Puskesmas Cepogo. Adapun formulir catatan harian untuk melihat kepatuhan anak dapat dilihat pada Lampiran 2. 5.
Pengukuran respon intervensi gizi dan pencatatan data a. Semua data mulai dari awal sampai akhir penelitian dicatat setelah ‘item’ kegiatan selesai untuk menghindari ‘data hilang’ atau data kurang lengkap.
Artinya sebelum periode ‘run-in’ berakhir maka semua
pencatatan data baik primer, sekunder maupun yang bersifat fakultatif harus sudah dievaluasi kelengkapan dan kebenarannya. Karena dalam penelitian ini ada kegiatan pemantauan selama 4 bulan selama intervensi zat gizi, maka diperlukan pencatatan data antara. Data antara ini ada 4x hasil pemantauan dan pengukuran dari antropometri, dan tebal lidah. b. Penilaian respon subyektif Menggunakan kuesioner dilakukan pemantauan setiap minggu untuk mengetahui apakah ada keluhan subyektif dari anak yang diberi intervensi gizi dan beberapa efek samping yang dirasakan oleh anak yang telah minum suplemen iodium dosis harian 50 μg/hari (1 kapsul) dan suplemen selenium dosis harian 45 μg/hari (1 kapsul). 6.
Pengambilan darah Sampel darah diambil dari pembuluh vena anak pada pagi hari sebanyak dua kali awal dan akhir penelitian (pre test dan post test). Darah langsung dimasukkan kedalam tabung yang sudah diberi EDTA. Plasma diperoleh dengan cara memutar darah sisa analisis hematologi (Hb, Ht, MCV, MCH, MCHC, Leukosit dan eritrosit) menggunakan centrifuge selama 15 menit 2000
rpm. Selanjutnya plasma darah disimpan dalam ‘Eppendorf plastic tubes’ dengan suhu -20 C. Preparasi sampel darah yang akan diukur dan dianalisis kandungan selenium maupun iodiumnya dilakukan di Laboratorium Klinik Prodia.
Analisis kandungan zat gizi sampel darah
dilakukan dengan
menggunakan APN (Analisis Pengaktif Neutron) di Laboratorium Teknologi Maju BATAN, Yogyakarta dan Laboratorium Balai Kesehatan Yogyakarta. 7.
Pengukuran Kemampuan Kognitif Kemampuan Kognitif untuk mendapatkan skor IQ anak dilakukan oleh seorang psikolog dengan menggunakan metode Raven Cognitive Classical. Ada tiga kolom lembar jawab seperti contoh (Lampiran 3).
HASIL PENELITIAN Hasil Penelitian Pendahuluan Dosis rendah yang ditetapkan untuk suplemen iodium yang diberikan kepada anak mengacu pada rekomendasi WHO/ UNICEF/ICCIDD (1992) yaitu sebesar 50 μg /hari. Sementara dosis Se yang diberikan mengacu pada besarnya ekskresi Se sebesar 50% - 60% atau 45 μg (Elson, 2003). Selanjutnya dilakukan penelitian pendahuluan untuk memastikan apakah ada pengaruh pengganggu dosis rendah yang ditentukan dengan bioavailabilitasnya. Mengingat usia anak 9-12 tahun merupakan masa growth spurt-II sehingga diharapkan dengan penambahan dosis rendah Se dan I akan dapat memperbaiki profil darah, status gizi, status kesehatan dan skor IQ anak.
Penelitian bioavailabilitas dosis rendah kapsul
iodium dan selenium dengan menggunakan prosedur baku bioavailabilitas zat gizi, yaitu prosedur duplo analisis pengaktif neutron (APN) di Laboratorium Teknologi Maju BATAN dan di Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta. Selain itu menurut IOM (2001) penentuan dosis rendah Iodium 50 μg/hari berdasarkan rata-rata untuk masa pertumbuhan anak usia 10-20 tahun laki-laki sebesar 130 μg/hari dan untuk anak perempuan 100 μg/hari. Pertimbangan dosis rendah Sodium Selenat 45 μg/hari karena kebutuhan anak perempuan dan laki-laki mencapai 280 μg/hari. Penelitian ini tidak menggunakan tikus sebagai sarana analisis bio-availabilitas, tetapi cukup menggunakan tabung dengan saraf ayam yang ditanam untuk mengetahui test reliabilitas (TR). Hasil penjumlahan Internal Consistency
+ TR dinyatakan sebagai nilai Test bio-
availabilitasnya (BATAN, 1999). Adapun hasil analisis bio-availabilitas (jenis prosedur Duplo/ AAS di BATAN) adalah : Tabel 18 Hasil Analisis Bio-availabilitas Kapsul Iodium dan Selenium Sampel Kapsul Sodium Selenat Kapsul Iodium
Nilai Kandungan Murni 48 (harusnya 50) 50 (harusnya 50)
Hasil Kecepatan Tumbuh Sel Tampak pada hari ke-22 Tampak langsung pada menit ke-10
Reliabilitas / Validitas (In-Vitro) S : 0.65
Hasil Penapisan Sampel Jumlah SD/MI di Kecamatan Cepogo ada 47, namun tidak semuanya berada di wilayah endemik GAKI. Ada 27 SD/MI yang berada di wilayah desa endemik GAKI. Dari 27 SD/MI tersebut secara random diambil 6 SD, namun karena siswa yang berasal dari dua SD kebanyakan memiliki 8-15 tanda khas kretin
maka mereka diambil untuk mengikuti terapi giziklinik diSemarang.
Dengan demikian dalam penelitian ini hanya menggunakan 4 SD yaitu SDN Jombong I dan II, serta SDN Wonodoyo I dan II. Jumlah keluarga dengan TGR 14.5 % di kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali tercatat ada 4595 keluarga dengan anak usia sekolah dasar. Jumlah anak SD kelas IV dan V yang tinggal di daerah endemik GAKI sebanyak 1813 anak. Dari 1813 anak kelas IV dan V tersebut yang tinggal di desa endemik GAKI seperti Jombong, dan Wonodoyo ada sekitar 206 anak (Data Penilaian Kinerja Puskesmas, 2005).
Setelah
dilakukan penapisan terhadap 206 calon sampel menunjukkan bahwa ciri khas hipothyroid (cebol) ada 29 %. Adapun hasil penapisan tanda khas kretin dapat dilihat pada Gambar 13, dan penapisan tes IQ pada Gambar 14.
29%
18%
22%
jln lambat Pendek
46%
Gondok
32%
Gambar 13 Hasil Penapisan Gejala / Tanda Khas Kretin
Retardasi Mental Ringan
Di bawah Rata-rata 15% 55%
IQ <35 (Imbecile) IQ=40-70(Moron)
30%
IQ=70-85(Dull Normal) Retardasi Mental Berat-Sedang
Gambar 14 Hasil Penapisan Tes IQ Berdasarkan rumus besar sampel seharusnya jumlah sampel untuk penelitian intervensi zat gizi selenium dan iodium dosis rendah harian ini sebesar 206 anak. Setelah perlakuan 4 bulan terjadi drop out 91 anak sehingga jumlah sampel yang memenuhi syarat untuk dianalisis ada 115 anak (n1=18, n2=35, n3=34, n4=28 anak).
Kejadian drop out 91 anak disebabkan ada 50 anak
mengikuti terapi gizi klinik di Semarang, 19 anak lebih dari 20 hari tidak minum suplemen, 13 anak pindah sekolah, 9 takut diambil darahnya. Dengan demikian drop out sampel mencapai 44.17 %. Hal ini seperti yang dialami oleh Soekarjo et al. (2004) yang melalukan studi suplementasi zat besi pada remaja. Adapun besar sampel dan asal sampel dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Besar dan Asal Sampel pada Waktu Penapisan No. 1 2 3 4 5 6
Asal Sampel SDN Gedangan I, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali. (Kelas IV dan V) SDN Gedangan II, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali. (Kelas IV dan V) SDN Jombong I, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali (Kelas IV dan V) SDN Jombong II, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali (Kelas IV dan V) SDN Wonodoyo I, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali. (Kelas IV dan V) SDN Wonodoyo II, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali. (Kelas IV dan V) Besar sampel yang digunakan pada saat penapisan
Jumlah Sampel 40 anak 39 anak 31 anak 39 anak 39 anak 18 anak 206 anak
Selanjutnya sebaran sampel yang mengikuti kegiatan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Persentase Sebaran Partisipasi Subyek Penelitian Sebaran Sampel Awal Akhir perlakuan perlakuan
Asal Sekolah
SDN Jombong I SDN Jombong II SDN Wonodoyo I SDN Wonodoyo II Total
31 anak 40 anak 42 anak 18 anak 131
28 anak 34 anak 35 anak 18 anak 115
% Partisipasi subyek / asal sekolah 90.32 80 88.1 100 87.78
Total Partisipasi Desa (%) 85.16 94.05
Hasil Penelitian Epidemiologi Karakteristik Anak Menurut Pemeriksaan Fisik Karakteristik anak dalam penelitian ini sebagai tanda anak yang diperkirakan akan mempengaruhi perubahan pertumbuhan dan perkembangan intelektual yang terjadi pada diri anak. Dalam penelitian ini ada karakteristik umur, jenis kelamin, dan tanda khas kretin. 1. Umur dan Jenis Kelamin Anak
10%
9%
30%
9 tahun 10 tahun 11 tahun 12 tahun
51%
Gambar 15 Distribusi Umur Anak (Tahun) Salah satu periode dalam kehidupan manusia adalah usia remaja awal. Pada usia 9-12 tahun ini muncul tantangan baru dan unik bagi anak-anak yang tumbuh normal. Lain halnya dengan anak yang tumbuh di daerah endemic GAKI, maka anak masa awal remaja ini tubuhnya mengalami hambatan pertumbuhan sehingga ukurannya lebih pendek dan menjadi tampak lebih tua
dibandingkan anak seusia yang tinggal di daerah non endemik. Faktor umur menjadi penting dalam penelitian ini karena perubahan hormonal rata-rata terjadi pada usia 10-16 tahun, sehingga sampel dalam penelitian ini termasuk didalamnya. Distribusi umur anak dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 15. Jenis kelamin termasuk faktor penting diperhatikan dalam penelitian ini karena anak usia 9-12 tahun sudah menunjukkan adanya perbedaan pertumbuhan fisik maupun perkembangan seksual menurut kematangan hormonnya. Distribusi jenis kelamin anak yang menjadi sampel dapat dilihat pada Gambar 16.
41% Laki-laki Perempuan
59%
Gambar 16 Distribusi Jenis Kelamin Anak 2.
Kebersihan anak selama pemeriksaan Kebersihan anak berdasarkan pemeriksaan lubang hidung, telinga, kuku jari tangan dan korengan / kesehatan kulit yang diamati dan diperiksa oleh tim peneliti selama penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kebersihan anak masih sangat rendah dengan penampilan yang kotor Gambar 17.
14% 86%
Kotor bersih
Gambar 17 Status Kebersihan Anak di Daerah Endemik GAKI
Karakteristik Anak menurut Hasil Pemeriksaan Laboratorium Hasil Pemeriksaan Profil Darah menurut Kelompok Perlakuan Dari Tabel 21 dapat diketahui bahwa kadar Hb anak penderita GAKI dengan status gizi kurang dan buruk tetap tinggi (11.5 – 17.1 g/dl). Hal ini disebabkan karena faktor VO2max yang tinggi di daerah pegunungan. Oleh karena itu jenis anemia anak SD yang tinggal di daerah endemik GAKI di lereng Gunung Merapi ini termasuk hiperkromik (kadar Hb berlebih dalam eritrosit). Hal ini juga sesuai dengan banyaknya eritrosit dalam 1 liter darah anak mencapai 4.18 – 6.44 (106/ul). Namun karena anak di pegunungan memiliki kebiasaan asupan zat besi “heme” yang rendah, maka pada anak tersebut dikenal sebagai “dilutional pseudoanemia” . Tabel 21 Hasil Analisis Profil Darah Rutin Anak Umur 9-12 tahun Parameter Pemeriksaan
Pre
Post
Nilai Rujukan
Hb (g/dl)
11.0 -17.10
11.70 -17.10
Ht (%)
18.0 – 48.5
MCV (fl)
Status Defisiensi
Nilai p
Awal (%)
Akhir (%)
11.5-15.5
1.7
0
0.015
32.99 - 49.80
35 - 45
14
3.5
0.158
28.3 – 87.7
61.5 – 97.47
79 - 99
31
16
0.000
MCH (pg)
18.80 -32.50
19.39 – 32.1
27 - 31
20
7
0.000
MCHC (d/dl)
32.90 -38.00
34.59 – 39.4
33 - 37
34
18
0.000
Eritrosit (106/μl) Leukosit (103/μl)
4.18 – 6.44
4.18 – 6.64
4.2 -5.2
14.63
3.5
0.056
4.04 – 7.57
6.04 – 9.80
4.5 – 14.5
20.43
3.5
0.000
Hasil pemeriksaan kadar Hb pada anak di daerah endemik GAKI (Tabel 21) menunjukkan seolah-olah tidak terjadi anemia pada anak usia 9-12 tahun yang memiliki tanda khas kretin. Begitu pula jika dilihat dari jumlah leukosit tidak terjadi kasus infeksi akibat kelebihan leukosit bahkan yang terjadi Leukopenia yaitu kasus kurangnya jumlah leukosit. Akan tetapi kalau dilihat dari indeks MCV, MCH dan MCHC maka dapat jelas disebutkan bahwa yang terjadi pada anak dengan tanda khas kretin di daerah endemik GAKi adalah jenis anemia mikrositik hiperkromik.
Tabel 22 Hasil Analisis Karakteristik Biokimia Darah menurut Kelompok Perlakuan Variabel
Kelompok
Sebelum
Sesudah
Paired t-test
R
p
Hb (g/dl)
A: Se+I B:I C: Se D:Plasebo/PL A: Se+I B:I C: Se D:Plasebo/PL A: Se+I B:I C: Se D:Plasebo/PL A: Se+I B:I C: Se D:Plasebo/PL A: Se+I B:I C: Se D:Plasebo/PL A: Se+I B:I C: Se D:Plasebo/PL A: Se+I B:I C: Se D:Plasebo/PL A: Se+I B:I C: Se D:Plasebo/PL A: Se+I B:I C: Se D:Plasebo/PL
12.3± 2.8 12.8± 2.3 11.9 ±3.5 13.2 ± 2.9 33.5 ±15.5 25.4 ± 3.25 30.5± 8.75
14.5± 2.8 14.3± 2.3 14.3 ± 2.8 13.9 ±3.5 49.8 ±3.48 30.35 ±3.3 39.75± 4.5 35.75±4.25 88.47 ± 9.2 70.47± 5.9 69.55±9.6 43.25±2.5 25.74 ±6.4 24.6 ±5.85 23.95± 4.5 23.85± 2.8 36.99 ± 2.4 35.95 ±1.8 35.45 ± 2.3 36.77±1.95 5.31 ±1.12 5.49 ±1.09 5.81 ± 0.6 5.05 ± 1.12 7.55 ±1.28 6.86 ±0.76 6.95 ±0.75 6.99 ±0.7 1.91 ±0.67 1.85 ± 0.22 1.77 ±0.28 1.09 ±0.14 4.19 ±0.67 6.23 ±1.11 5.67 ±1.12 5.32±0.87
0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0.77* 0.77* 0.11* -0.03 0.11* -0.03 0.11* 0.11* 0.06 -0.02 -0.02 0.02 0.07 0.07* 0.07* -0.07* 0.11* 0.11* 0.11* -0.11* 0.14* 0.14* 0.14* -0.14* 0.14* 0.14* 0.14* -0.14* 0.14* 0.14* 0.14* -0.14* -0.25* 0.29 -0.13 0.25*
0.015 0.015 0.017 0.475 0.017 0.475 0.017 0.017 0.342 0.683 0.662 0.683 0.07 0.032 0.033 0.033 0.024 0.008 0.008 0.008 0.008 0.002 0.002 0.002 0.008 0.002 0.002 0.002 0.008 0.002 0.002 0.002 0.031 0.011 0.174 0.031
Ht (%)
MCV (fl)
MCH (pg)
MCHC (d/dl)
Eritrosit (106/ul)
Leukosit (103/ul)
Kadar Selenium plasma (μg/dl) Kadar Iodium plasma (μg/dl)
22.25 ±4.25
58 ± 9.7 38.3 ± 4.7 48.5 ± 9.6 39.8 ± 2.5 25.65±6.85 24.16±5.75 23.8 ± 4.74 22.99 ± 2.95
35.45±2.55 33.95±1.05 34.85±1.75 35.44±1.95 5.21 ±1.13 5.33 ±1.09 5.18 ± 2.6 5.05 ± 2.75 5.81 ±1.76 5.25 ±1.11 4.95 ±0.81 4.75 ±0.7 0.67± 0.27 1.01 ±0.22 0.98 ±0.28 0.95 ± 0.22 1.98 ±0.67 2.74 ±0.87 1.99 ±0.67 1.98 ±0.57
Hasil analisis uji pengaruh antar kelompok (Gambar 18) sangat nyata (p<0.01) dengan Adjusted R Square sebesar 0.41 (artinya status leukosit dapat diperbaiki dengan pemberian Se dan I sebesar 41%).
35
Status Leukosit (%)
30 25 20 15
Normal Leukopenia
10 5 0
PL (b) 5.2
Normal
Leukopenia 19.1
Se (b)
Se (s)
20
6.1
3.5
23.5
PL(s)
Se+I Se+I (b) (s)
I(b)
I(s)
20.6
5.2
30.4
1.7
15.6
0
25.2
0
13.9
0
Gambar 18. Hasil Analisis Persentase Status Leukosit menurut Kelompok
Selanjutnya hasil analisis status eritrosit (Gambar 19) dengan uji pengaruh antar kelompok sangat nyata (p<0.01) memiliki Adjusted R Square 0.431 (artinya 43.1% status eritrosit dapat diperbaiki dengan pemberian Se dan I).
Status Eritrosit (%)
30 25 20 15 10
Normal
5
Kurang
0 PL(b) PL(s) Se(b)
Se(s)
I(b)
I(s)
Se+I
Se+I
(b)
(s)
Normal
7.8
16.5
18.3
27.3
13
27.8
5.2
13.9
Kurang
16.5
7.8
11.3
2.3
17.4
2.6
10.4
1.7
Gambar 19 Hasil Analisis Persentase Status Eritosit menurut Kelompok Perlakuan
Tabel 23 Hasil Analisis ∆ Peningkatan Jumlah Leukosit pada Anak
Kelompok Se+I I Se Plasebo (PL)
Post Test 7.90 7.88 8.79 6.89
Pre Test
∆
6.97 6.77 6.80 6.54
Keterangan
0.93a 1.11a 1.99b 0.35a
Tidak Beda Nyata Tidak Beda Nyata Beda Nyata Tidak Beda Nyata
Tabel 24 Hasil Analisis ∆ Peningkatan Jumlah Eritrosit pada Anak Kelompok Se+I I Se Plasebo (PL)
Post Test 5.99 5.89 5.79 4.65
Pre Test
∆
3.88 3.96 3.73 3.09
Keterangan
2.11a 1.93b 2.06a 1.56c
Tidak Beda Nyata Beda Nyata Tidak Beda Nyata Beda Nyata
Status MCV (%)
30 25 20 15 10 5 0
PL
PL
Se
Se
(b)
(s)
(b)
(s)
MCV (makrositik) 18.3 14.8 20
I(b) I(s)
9.6 20.9
Se+I Se+I (b)
(s)
7
13.9
16
MCV (mikrositik)
6.1
3.5
9.6
2.6
9.6
9.6
26
10
MCV (monositik)
0
6.1
0
17.4
0
13.9
0
13.9
Gambar 20 Hasil Analisis Persentase Kadar MCV menurut Kelompok Perlakuan
Tabel 25 Hasil Analisis Selisih (∆) Kadar MCV pada Anak dengan Tanda Khas Kretin Kelompok Post Test Pre Test ∆ Keterangan Se+I I Se Plasebo (PL)
67.7 45.0 58.1 42.3
48.3 33.6 38.9 37.3
19.4a 11.4b 19.2a 5.0c
Tidak Beda Nyata Beda Nyata Tidak Beda Nyata Beda Nyata
Status MCH (%)
30 25 20 15 10 5 0
Se+I
Se+I
(b)
(s)
27.8
13.9
3.5
0.9
0.9
1.7
3.5
0
1.8
0
8.6
PL(b) PL(s) Se(b) Se(s)
I(b)
I(s)
MCH (makrositik)
20.9
17.4
21.7
13.9
29.6
MCH (mikrositik)
3.5
3.5
7.8
7.8
MCH (monositik)
0
3.5
0
7.8
Gambar 21 Hasil Analisis MCH menurut Kelompok Perlakuan
Selanjutnya hasil analisis kadar MCH (Gambar 21) dengan uji pengaruh antar kelompok sangat nyata (p<0.01) memiliki nilai Adjusted R Square 0.155 (artinya 15.5 % kadar MCH dapat diperbaiki dengan pemberian Se dan I). Adapun selisih nilai perbaikan MCH dari masing-masing kelompok dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Hasil Analisis Uji Beda ∆ kadar MCH pada Anak dengan Tanda Khas Kretin Kelompok
Post Test
Pre Test
∆
Keterangan
Se+I I Se Plasebo (PL)
32.30 29.81 28.54 25.94
18.20 19.94 19.06 20.04
14.1a 9.87b 9.48b 5.9c
Tidak Beda Nyata Beda Nyata Tidak Beda Nyata
Hasil analisis kadar MCHC (Gambar 22) dengan uji pengaruh antar kelompok sangat nyata (p<0.01) memiliki nilai Adjusted R Square 0.73 (artinya 73 % kadar MCHC dapat diperbaiki dengan pemberian Se dan I). Adapun selisih nilai perbaikan MCHC dari tiap kelompok dapat dilihat pada Tabel 27.
Status MCHC (%)
30 25 20 15 10 5 0
PL (b)
PL (s)
Se (b)
Se (s)
I(b) I(s)
Se+I Se+I (b) (s)
MCHC (hiperkromik) 15.7 6.1 18.3 10.4 29.6 1.8 10.4 1.8 MCHC (hipokromik)
8.7 15.7 11.3 3.5
0.9
0.9
5.2
3.5
MCHC (monokromik)
0
0
27.8
0
10.4
2.6
0
16.5
Gambar 22 Hasil Analisis MCHC menurut Kelompok Perlakuan
Tabel 27 Hasil Analisis ∆ kadar MCHC pada Anak dengan Tanda Khas Kretin Kelompok Se+I I Se Plasebo (PL)
Post Test
Pre Test
∆
Keterangan
38.0 35.0 36.2 35.5
33.55 32.80 33.10 33.50
4.45a 2.2c 3.1d 2.0b
Beda Nyata Tidak Beda Nyata Beda Nyata Tidak Beda Nyata
Hasil Pemeriksaan Kadar Selenium dan Iodium Plasma Pemeriksaan selenium sebagai pencetus keracunan pada manusia dimulai setelah ada kasus dalam pencernaan terdapat zat selenium sebanyak dua gram sehingga orang yang mengkonsumsinya mengalami kerusakan di lambung dan usus yang sangat serius. Sejak itu dosis selenium dianjurkan tidak lebih dari 400 mg/orang/hari.
Dalam penelitian ini pemeriksaan kadar selenium dan
iodium plasma menggunakan analisis pengaktif neutron (APN) di BATAN Yogyakarta, dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 28. Nilai Adjusted R Square 0.45 (artinya 45% status defisiensi iodium dapat diperbaiki dengan suplemen Se dan I).
Tabel 28 Hasil Analisis Kadar Selenium dan Iodium dalam Plasma Darah Anak Parameter Pemeriksaan Kadar selenium (μg/dl) Kadar iodium (μg/dl)
Pre Test
Post Test
Status Defisiensi Awal Akhir 112(97.4%) 4 (3.5%)
Nilai p
1.09 – 3.99
Nilai Rujukan 1.1 – 6.1
0.4 – 1.28 1.35– 4.1
3.22 – 6.27
3.3 – 6.9
94(81.7%)
0.000
15(13%)
0.000
Status Iodium Plasma (%)
30 25 20
Defisiens
Iodium 15
Norma
10 5 0
PL(b)
PL(s
Se(b)
Se(s
I(b
I(s
Se+I(b Se+I(s
Gambar 23 Hasil Analisis Status Iodium Plasma menurut Kelompok Perlakuan
Status Se Plasma (%)
35 30 25 20 15 10 5 0 PL(b) PL(s) Se(b) Se(s)
I(b)
I(s)
Se+I (b)
Se+I (s)
Defisiensi Se
27
4
34
0
33
0
18
0
Normal
1
24
0
34
2
35
0
18
Gambar 24
Hasil Analisis Status Selenium Plasma menurut Kelompok Perlakuan
Tabel 29 Distribusi Anak menurut Kadar Selenium Plasma Darah dan Kelompok Perlakuan Kadar Selenium Anak Penderita GAKI Total Kelompok Perlakuan Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan Defisiensi n % A: Se+I B:I C: Se D:Plasebo /PL
Total
18 33 34 27 112
15.7 28.7 29.6 23.5 97.4
n 2 1 3
Baik % 1.7 0.9 2.6
Defisiensi n % 4 4
3.5 3.5
n
Baik %
18 35 34 24 111
15.7 30.4 29.6 20.9 96.5
n
%
18 35 34 28 115
15.7 30.4 29.6 24.3 100
Tabel 30 Distribusi Anak menurut Kadar Iodium Plasma Darah dan Kelompok Perlakuan Kadar Iodium Anak Penderita GAKI Total Kelompok Perlakuan Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan Defisiensi n % A: Se+I B:I C: Se D:Plasebo/PL
Total
18 25 30 21 94
15.7 21.7 26.1 18.3 81.7
n
Baik %
10 4 7 21
8.7 3.5 6.1 18.3
Defisiensi n % 4 5 3 3 15
3.5 4.3 2.6 2.6 13
n
Baik %
14 30 31 25 100
12.2 26.1 27 21.7 87
n
%
18 35 34 28 115
15.7 30.4 29.6 24.3 100
Hasil tabulasi antara kadar selenium dan iodium menurut jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 31 dan Tabel 32. Tabel 31 Distribusi Anak menurut Kadar Selenium Plasma Darah dan Jenis Kelamin Kadar Selenium Anak Penderita GAKI Total Jenis Kelamin Sebelum Perlakuan Defisiensi Baik n % n %
Sesudah Perlakuan Defisiensi Baik n % n %
n
%
Laki-laki
66
57.4
2
1.7
2
1.7
66
57.4
68
59.1
Perempuan
46
40
1
0.9
2
1.7
45
39.1
47
40.9
Total
112
97.4
3
2.6
4
3.5
111
96.5
115
100
Tabel 32 Distribusi Anak menurut Kadar Iodium Plasma Darah dan Jenis Kelamin Kadar Iodium Anak Penderita GAKI Total Jenis Kelamin Sebelum Perlakuan Defisiensi Baik n % n %
Sesudah Perlakuan Defisiensi Baik n % n %
n
%
Laki-laki
54
47
14
12.2
9
7.8
59
51.3
68
59.1
Perempuan
40
34.8
7
6.1
6
5.2
41
35.7
47
40.9
Total
94
81.7
21
18.3
15
13
100
87
115
100
Tabel 33 Hasil Analisis Selisih (∆) Kadar Iodium dan Selenium Plasma Variabel Kadar Iodium (μg/dl )
Kadar Selenium (μg/dl )
Kelompok Se+I
Sesudah Sebelum Perlakuan Perlakuan 2.84 2.06
Selisih (∆)
Ketr
0.79a
Tidak Beda
I
3.70
2.54
1.1a
Nyata
Se
3.62
2.27
1.35b
Beda Nyata
Plasebo/PL
1.23
0.67
0.56c
Tidak Beda
Se+I
2.12
0.91
1.45a
Tidak Beda
I
2.37
0.65
1.46a
Nyata
Se
3.41
0.72
2.76b
Beda Nyata
Plasebo/PL
1.92
1.2c
Tidak Beda
Pengaruh Pemberian Suplemen terhadap Status Gizi Untuk menentukan status gizi anak dalam penelitian ini menggunakan standar CDC (WHO, 2000). Selanjutnya hasil pemberian suplemen selenium dan iodium terhadap status gizi berdasarkan CDC (WHO, 2000) menunjukkan bahwa anak stunted dari kelompok perlakuan dengan pemberian suplemen kapsul selenium 45 μg ditambah iodium 50 μg per hari selama dua bulan masih ada satu anak (0.9%) yang tinggi badannya tetap termasuk ’pendek’ pertumbuhannya.
Pada kelompok selenium saja atau iodium saja ternyata
didapatkan dua anak (1.8%) yang masih termasuk kategori ’pendek’. Sementara pada kelompok plasebo ada 5 anak (4.6%). Padahal sebelum diberi intervensi ada 33 anak (28.69%) anak yang termasuk pendek, 7 anak (6.1%) dengan status
gizi kurang, ada 49 anak (42.6%) yang termasuk pendek sekaligus mengalami kurang gizi. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 25.
35
Jumlah anak (orang)
30 25 Se+I
20
Iod Se
15
PL
10 5 0
Baik(b)
Baik(s)
Pendek(b) Pendek(s) Kurang(b) Kurang(s) Pd+Kr(b)
Pd+Kr(s)
Gambar 25 Status Gizi Anak berdasar Standar CDC (WHO, 2000)
Tabel 34 Hasil Uji Beda Status Gizi menurut Kelompok Perlakuan Variabel
Kelompok
Berat Badan (kg)
Hasil
Pre Test
(∆)
Ketr
Se+I
27.85
25.76
2.09
Tidak Beda
I
26.62
24.27
2.93
Nyata
Se
32.34
29.3
3.04
Beda Nyata
Plasebo/PL
32.96
31
1.96
Tidak Beda
129.8
128.1
1.7
Tidak Beda
I
133.9
130.4
3.5
Beda Nyata
Se
127.5
126.1
1.4
Tidak Beda
Plasebo/PL
126.3
125.1
1.2
Nyata
Tinggi Badan Se+I (cm)
Post Test
analisis
regresi
antropometri
selengkapnya dapat dilihat di Tabel 35.
menurut
kelompok
perlakuan
Tabel 35 Hasil Analisis Regresi Antropometri Menurut Kelompok Perlakuan Variabel Berat Badan (kg)
Tinggi Badan (cm)
BB/U (%)
TB/U (%)
Kelompok
Sebelum
Sesudah
Paired t-test
R
p
A: Se+I
21.9 ±2.23
23.1 ±2.24
0.000
0.536*
0.002
B:I
20.9± 3.36
22.1±3.36
0.000
0.398*
0.002
C: Se
19.6± 4.22
20.5±4.22
0.000
0.403*
0.015
D:Plasebo/P L
19.1±3.86
20.3 ±3.86
0.000
0.441*
0.003
A: Se+I
120.1±4.21
122.5±4.21
0.000
0.54*
0.002
B:I
123.5±5.74
125.9±5.74
0.000
0.77*
0.015
C: Se
115.5±7.32
117.9 ±7.32
0.000
0.78*
0.003
D:Plasebo/P L
117.7±5.87
120.1±5.87
0.000
0.88
0.251
A: Se+I
12.2 ± 1.25
9.6 ±1.25
0.000
-0.32*
0.025
B:I
16.5 ± 1.7
14.8 ±1.7
0.000
0.40*
0.002
C: Se
19.1 ±1.62
13.9 ±1.62
0.000
-0.25*
0.036
D:Plasebo/P L
20.1 ±1.7
12.2 ±1.7
0.000
-0.40
0.062
A: Se+I
15.7 ±0.79
3.5 ±0.79
0.000
-.035*
0.016
B:I
29.6 ±0.56
15.7 ±0.56
0.000
0.35*
0.016
C: Se
27.0 ± 0.45
7.0 ± 0.45
0.000
-0.28*
0.021
D:Plasebo/P L
19.4 ±0.56
8.7 ±0.56
0.000
-0.25*
0.047
29.6 ±1.16
9.6 ±1.12
0.000
0.6
0.685
23.9 ±1.10
8.7 ±1.08
0.000
0.24*
0.043
C: Se
15.7 ±1.11
6.1 ±1.09
0.000
-0.24*
0.043
D:Plasebo/P L
30.4 ±1.21
26.1 ±1.21
0.000
-0.22
0.081
Lingkar lidah A: Se+I (%) B:I
Berdasarkan jenis kelamin, dapat diketahui bahwa sebelum perlakuan anak laki-laki yang termasuk stunted ada 6 anak (5.3%) sementara anak perempuan ada 4 (3.5%)
Hasil analisis jenis kelamin dan status gizi baik
sebelum maupun sesudah perlakuan dapat dilihat pada Gambar 25. Selanjutnya karakteristik antropometri anak yang terdiri dari umur, berat badan dan tinggi badan disajikan pada Tabel 36.
Status Gizi (%)
50 40 baik 30
pendek
20
kurang pdk+krg
10 0 Lk(pre)
Lk(post)
Pr(pre)
Pr(post)
Gambar 26 Status Gizi Anak menurut Jenis Kelamin Tabel 36 Karakteristik Antropometri Anak menurut Kelompok Perlakuan (Sebelum Perlakuan) Karakteristik Se+I I Se Plasebo/PL Rata2 p Total Laki-laki (Sebelum Perlakuan) Umur (bl)
125±11.6
119.45±3.35
126.56±6.7
129.35±8.8
125.7±8.6
0.832
BB (kg)
26.08±2.5
25.18±2.65
26.1±3.7
25.26±2.27
26.1±6
0.236
TB (cm)
127.7±4.9
128.49±4.6
127.57±6.7
128.85±4.69
129.3±6
0.273
Perempuan (Sebelum Perlakuan) Umur (bl)
125.56±6.5
122.1±4.05
125.56±6.5
128±8.2
125.3±7.9
0.176
BB (kg)
27.1±4.82
28.43±3.68
27.1±4.8
27.04±5.47
26.26±3.6
0.257
TB (cm)
131.1±7.66
132±5.72
131.1±7.6
130.98±7.4
129.3±6
0.175
Laki-laki dan Perempuan (Sebelum Perlakuan) Umur (bl)
126.09±6.5
120.65±3.8
123.5±10.1
128.8±8.45
125.3±7.9
0.510
BB (kg)
26.5±4.2
26.6±3.5
25.7±2.2
25.95±3.86
26.3±3.7
0.454
TB (cm)
129.3±6
130.1±5.3
128.1±4.2
129.68±5.87
129.3±6.0
0.175
Tabel 36 menunjukkan bahwa sebelum perlakuan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05) antara umur, berat badan, dan tinggi badan anak usia 9-12 tahun yang memiliki tanda khas kretin di daerah endemik GAKI. Namun setelah dilakukan intervensi gizi dengan suplementasi selenium dan iodium terjadi perbedaan yang nyata (p<0.01) antara berat badan, dan tinggi badan anak menurut kelompok perlakuan (Tabel 37). Tabel 37 Karakteristik Antropometri Anak menurut Kelompok Perlakuan (Sesudah Perlakuan) Plasebo/PL Karakteristik Se+I I Se Rata2 p Total Laki-laki (Sesudah Perlakuan) Umur (bl)
128±11.6
123.45±3.3
129.59±6.7
131.9±8.8
123.72±9
0.015
BB (kg)
27.47±2.4
26.47±2.8
28.05±3.74
25.91±2.32
27.66±3.72
0.013
TB (cm)
129.63±5
130.03±4.8
129.63±6.6
130.17±4.6
129.86±5.3
0.013
Perempuan (Sesudah Perlakuan) Umur (bl)
128.56±6.5
125.1±4.05
129.56±6.5
133±8.2
128.8±7.9
0.015
BB (kg)
26.91±2.1
29.81±3.9
29±4.72
27.85±5.3
28.53±4.38
0.013
TB (cm)
130.33±3.2
133.49±5.6
133.22±7.6
130.18±4.6
131.1±5.97
0.013
Laki-laki dan Perempuan (Sesudah Perlakuan) Umur (bl)
129.09±6.5
123.7±3.8
126.8±10.1
131.88±8.7
128.8±7.9
0.007
BB (kg)
28.5±4.3
27.97±3.6
27.36±2.4
26.66±3.9
27.66±3.8
0.048
TB (cm)
131.3±7.1
131.6±5.3
129.9±4.3
130.96±5.8
131.5±6.1
0.016
Gambar 27
Pelaksanaan Pengukuran Antropometri Anak di Daerah Endemik GAKI
Tabel 38
Prevalensi Underweight menurut Jenis Kelamin dan Perlakuan Sebelum dan Sesudah Suplementasi Jenis Perlakuan Laki-laki (L) Perempuan (P) L+P n % n % n %
Sebelum Perlakuan Plasebo (PL)
13
23.2
6
10.71
19
33.93
Se
8
14.28
6
10.71
14
25
I
6
10.71
7
12.5
13
23.21
Se+I
8
14.28
2
3.57
10
17.86
Total
35
62.5
21
37.5
56
100
Plasebo (PL)
11
19.64
2
3.57
13
23.21
Se
-
-
-
-
-
-
I
-
-
1
1.78
1
1.78
Se+I
-
-
1
1.78
1
1.78
Total
11
19.64
4
7.14
15
26.78
Sesudah Perlakuan
Tabel 39 Prevalensi Stunted menurut Jenis Kelamin dan Perlakuan Sebelum dan Sesudah Suplementasi Jenis Perlakuan Laki-laki (L) Perempuan (P) L+P n % n % n % Sebelum Perlakuan Plasebo (PL)
12
22.22
4
7.4
14
25.92
Se
11
20.37
7
12.96
18
33.33
I
10
18.52
9
16.67
19
35.18
Se+I
9
16.67
2
3.7
11
20.37
Total
32
59.26
22
40.74
54
100
Plasebo (PL)
8
14.81
4
7.41
12
22.22
Se
2
3.7
-
-
2
3.7
I
1
1.85
1
1.85
2
3.7
Se+I
1
1.85
-
-
1
1.85
Total
12
22.22
5
9.26
17
31.48
Sesudah Perlakuan
Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak Berdasarkan hasil wawancara dengan sebagian ibu siswa didapatkan keterangan bahwa anak usia 9-12 tahun yang masih sekolah di desa Wonodoyo dan Jombong umumnya memiliki kebiasaan makan 2-3 kali sehari dengan menu gizi yang kurang seimbang karena sangat tergantung bahan makanan yang tersedia di pasar atau di kebun. Biasanya mereka makan makanan dari sumber energi dan protein seperti nasi, umbi-umbian, tempe, tahu, dan susu. Kebanyakan sayur yang dikonsumsi banyak mengandung goitrogenik seperti kobis, kembang kol, sawi, melinjo, daun + umbi singkong, gaplek, gadung, rebung, daun ketela, dan kecipir. Adapun contoh menu makanan anak dengan energi 2000 Kalori, 1700 Kalori dan 1400 Kalori dapat dilihat pada Lampiran 4. Selanjutnya tingkat kecukupan zat gizi makro dan mikro (Tabel 40) Tabel 40 Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak di Daerah Endemik GAKI menurut AKG (2004) Zat gizi
Makanan jajanan
Sarapan
Makan siang
makan malam
Energi (Kal) Karbohidrat (g) Protein (g) Lemak (g) Vitamin A (ug) Vitamin C (mg) Ca (mg) Fe (mg) Zn (mg) Iodium (ug) Selenium (ug)
83-488 17 – 65.8
362.2 38.3
562.3 79.4
4 – 10.9 20.5– 27.9 591–674.5
5.3 6.1 38.7
15.4-23.2 47.2-289.4
2 –5.2 0.7 –2.3 2.06 -2.37 0.65 - 0.9
Total zat gizi/hari
AKG
% AKG
608.2 72.7
1013.5-1418.5 207.4- 256.2
1800 180
78.81 142.3
9.2 9.5 163.1
9.4 4.2 201.3
27.9- 34.8 40.3- 47.7 993.8-1077.6
45 360 500
77.33 13.25 215.5
4.3
13
15.5
48.2-56
45
124.4
75 2.1 0.8 3.1 0.9
70.3 3.2 1.2 3.2 1.9
65.6 1.6 2.3 3.2 9.5
258.1-500.3 9 – 10.1 5 – 6.6 11.56 – 11.87 12.95 – 13.36
600 10 8 120 20
83.38 101 78.93 9.89 66.8
Hasil Pengukuran Lingkar Lidah Anak menurut Kelompok Perlakuan Pengukuran lingkar lidah belum banyak dilakukan, untuk itu peneliti banyak konsultasi dengan para pakar ilmu penyakit dalam RSUD. Moewardi Surakarta untuk mendapatkan data lingkar lidah yang paling tepat dan tidak bersifat invasif untuk anak sekolah dasar. Adapun metode pengukurannya yaitu :
Anak harus mampu mengucapkan ’A’ dengan keras dan dilanjutkan menjulurkan lidahnya selama 15 detik. Pengukuran pada anak dilakukan sambil duduk (saling menghadap antara pengukur dan yang diukur) Pengukuran dilakukan tiga kali kemudian data yang dipakai adalah hasil dari rata-rata pengukuran tiga kali tersebut (A1 + A2 + A3 dibagi 3) Semua alat ukur yang digunakan bersifat ’disposible’ sehingga hanya dapat dipakai satu kali pengukuran dan langsung dibuang /dibakar. Hal ini untuk mencegah diambil anak guna mainan yang dapat menyebabkan penularan penyakit tertentu. Pengukuran lingkar lidah dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28 Pengukuran Lingkar Lidah pada Anak Penderita GAKI
Salah satu tanda khas kretin adalah terjadinya penebalan dan pembesaran volume lidah. Sebelum perlakuan kejadian anak di daerah endemik GAKI yang sudah mengalami penebalan lidah ada 53% dan sesudah penelitian tidak ada perbaikan bahkan jumlahnya mengalami kenaikan menjadi 72.2% (Tabel 41). Umumnya anak yang memiliki lidah tebal juga mengalami stunted (53%).
Tabel 41 Lingkar Lidah Anak menurut Kelompok Perlakuan Lingkar Lidah Anak Penderita GAKI
Kelompok Perlakuan
Sebelum Perlakuan Tebal Normal n % n %
Total
Sesudah Perlakuan Tebal Normal n % n %
n
%
A: Se+I
9
7.8
9
7.8
14
12.2
4
3.5
18
15.65
B:I
24
20.9
11
9.6
28
23.9
7
6.1
35
30.43
C: Se
15
13.1
19
16.5
22
19.1
12
10.4
34
29.56
D:Plasebo/PL
13
11.3
15
13.1
19
16.5
9
7.8
28
24.35
Total
61
53
54
47
83
72.2
32
27.8
115
100
Jumlah tanda kretin hubungannya dengan lingkar lidah anak penderita GAKI menunjukkan bahwa sebelum perlakuan lingkar lidah anak yang berukuran lebih besar dari normal terjadi peningkatan prevalensi seiring dengan peningkatan jumlah tanda khas kretin (6-10) dan untuk 11 jumlah tanda khas kretin ada penurunan prevalensi pembesaran lingkar lidah. Hal ini disebabkan keterbatasan jumlah sampel sehingga ada kemungkinan bila jumlah sampel lebih banyak maka jumlah tanda khas kretin pada anak penderita GAKI juga akan semakin bervariasi (Tabel 42). Tabel 42 Lingkar Lidah Anak menurut Jumlah Tanda Kretin Lingkar Lidah Anak Penderita GAKI Jumlah Tanda Khas Kretin Ada 6 Ada 7 Ada 8 Ada 9 Ada 10 Ada 11 Total
Sebelum Perlakuan Tebal Baik n % n % 8 11 8 9 21 4 61
6.9 9.6 6.9 7.8 18.3 3.5 53
9 14 10 9 6 6 54
7.8 12.2 8.7 7.8 5.2 5.2 47
Total
Sesudah Perlakuan Tebal Baik n % n % 12 14 13 13 24 7 83
10.4 12.2 11.3 11.3 20.9 6.1 72.2
5 11 5 5 3 3 32
4.3 9.6 4.3 4.3 2.6 2.6 27.8
n
%
17 25 18 18 27 10 115
14.74 21.74 15.65 15.65 23.48 8.7 100
Tabel 43 menunjukkan bahwa sebelum perlakuan jumlah anak penderita GAKI yang memiliki lingkar lidah lebih tebl dari ukuran lingkar lidah normal pada anak di daerah non endemik ada 61 anak (53.04%) diantaranya 23 anak (20.0%) memiliki skor IQ kurang dari 25 yang artinya anak-anak tersebut
mengalami retardasi mental sangat berat-berat. Menurut Djokomoeljanto (2001) anak dengak dengan retardasi mental berat biasanya berhubungan sangat nyata dengan defisiensi iodium dan selenium amat berat. Setelah diberi perlakuan ke23 anak yang memiliki skor IQ kurang dari 25 dapat menunjukkan perbaikan skor IQ yaitu mampu mengerjakan soal dengan skor 25-40. Meskipun sudah mengalamikenaikan skor IQ anak tersebut masih menderita retardasi mental pada tingkat sedang. Ada dua anak (1.7%) dengan lingkar lidah lebih besar dari normal yang tadinya memiliki skor IQ antara 25-40 menjadi 55-70 (termasuk kategori pada garis batas dengan gejala kretin sub-klinik ringan). Tabel 43 Lingkar Lidah Anak menurut Skor IQ Anak Lingkar Lidah Anak Penderita GAKI Kategori Skor IQ
Sebelum Perlakuan Tebal Baik n % n %
IQ =0-25 (Retardasi mental Berat IQ = 25-40 (Retardasi mental Sedang) IQ = 40-55 (Retardasi mental Ringan IQ=55- 70 (garis batas normal) Total
Total
Sesudah Perlakuan Tebal Baik n % n %
n
%
23
20
24
20.9
-
-
-
-
47
32
20
17.4
31
26.7
11
9.6
52
6
27.8 3 5.2
10
8.7
50
43.5
17
14.8
16
-
-
-
-
2
1.7
4
3.5
-
40.8 7 45.2 2 13.9 1 -
61
53
54
47
83
72.2
32
27.8
115
100
Tabel 44 Lingkar Lidah Anak menurut Jenis Kelamin Jenis Kelamin
Lingkar Lidah Anak Penderita GAKI Sebelum Perlakuan Tebal Normal n % n %
Total
Sesudah Perlakuan Tebal Normal n % n %
n
%
Laki-laki
40
34.78
28
24.35
50
43.48
18
15.65
68
59.13
perempuan
21
18.26
26
22.61
33
28.69
14
12.17
47
40.87
Total
61
53.04
54
46.96
83
72.17
32
27.82
115
100
Jumlah tanda khas kretin yang dialami semua individu sebelum diberi perlakuan dalam penelitian ini berkisar antara 6-11 tanda. Bila dilihat
hubungannya dengan status gizi saat pre-test (p>0.05) menunjukkan bahwa anak yang memiliki status gizi buruk dengan 6 tanda khas kretin ada 6 anak (5.3%), dengan 7 tanda khas kretin ada 11 anak (9.7%), selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 29. jumlah anak (orang)
Sebelum Perlakuan 12 10
6tanda
8
7tanda
6
8tanda 9tanda
4
10tanda
2
11tanda
0 baik
pendek
kurang
pdk+kr
jumlah anak (orang)
Sesudah Perlakuan 30 25
6tanda
20
7tanda
15
8tanda 9tanda
10
10tanda
5
11tanda
0 baik
pendek
kurang
pdk+kr
Gambar 29 Jumlah Tanda Khas Kretin dan Status Gizi Anak
Hasil Tes IQ Anak Menurut Kelompok Perlakuan Hasil analisis uji Ancova menunjukkan bahwa ada perbedaan sangat nyata (p=0.000) antar kelompok baik sebelum maupun sesudah pemberian suplemen selenium dan iodium terhadap skor IQ. Sebelum perlakuan anak yang menderita defisiensi selenium dan iodium sangat berat dengan skor IQ kurang dari 25 pada kelompok pemberian selenium saja ada 47 anak (40.87%), kelompok pemberian iodium saja ada 17.3%, dan kelompok pemberian Se+Iod ada 8.7%. Setelah pemberian kapsul selenium dan iodium dosis rendah selama 2 bulan anak yang menderita defisiensi selenium dan iodium sangat berat sudah tidak ditemukan lagi. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 30.
Jumlah anak menurut Skor IQ (%)
14 12 10 8 6 4 2 0 PL(b) PL(s) Se(b) Se(s) I(b)
I(s)
Se+I
Se+I
(b)
(s)
IQ<25
5.3
1.7
7.8
3.5
9.5
3.5
3.5
0
IQ=25-40
8.7
4.3
10.4
3.5
13
5.3
5.3
0.9
IQ=40-55 10.4
4.3
4.3
0
0
5.3
0
0
IQ=55-70
0
7
7.8
3.5
7
4.3
1.7
5.3
IQ=70-85
0
5.3
0
10.4
0
5.3
5.3
7.8
IQ>85
0
1.7
0
9.5
0
6.1
0
1.7
Gambar 30 Hasil Analisis Skor IQ menurut Kelompok Perlakuan
Hasil analisis uji pengaruh antar kelompok sangat nyata (p<0.01). Adjusted R Square = 0.374 (37.4 % skor IQ dapat diperbaiki dengan pemberian suplemen Se dan Iod). Dalam penelitian ini hasil test IQ pada anak yang memiliki tanda khas kretin menunjukkan bahwa pada saat pre-test kelompok plasebo tidak ada anak yang menderita gizi buruk dan defisiensi selenium maupun iodium sangat berat.
Namun setelah perlakuan keadaan berbalik menjadi kelompok
plasebo yang masih memiliki anak dengan kategori retardasi mental ringan atau menderita defisiensi selenium dan iodium sub-klinik ringan (Tabel 45-46). Selain itu juga dapat diketahui skor IQ menurut status gizi dan jenis kelamin anak yang memiliki tanda khas kretin di daerah endemik GAKI.
Tabel 45 Hasil Tes IQ Anak menurut Kelompok Perlakuan dan Status Gizi Anak Sebelum Perlakuan Skor Status Kelompok Perlakuan Total Plasebo/PL IQ Gizi Se+I I Se 25-40
40-55
55-70
Buruk Kurang Pendek Baik Buruk Kurang Pendek Baik Buruk Kurang Pendek Baik
Total
6(5.3%) 4(3.5%) 4(3.5%) 1(0.9%) 3(2.7%) 18(15.7%)
7(6.1%) 5(4.3%) 8(7%) 6(5.3%) 1(0.9%) 8(7%) 35(30.43%)
6(5.3%) 1(0.9%) 4(3.5%) 6(5.3%) 6(5.3%) 1(0.9%) 2(1.7%) 8(7%) 34(29.56%)
5(4.3%) 3(2.7%) 2(1.7%) 2(1.7%) 9(7.8%) 2(1.7%) 5(4.3%) 28(24.3%)
19(16.5%) 1(0.9%) 9(7.8%) 18(15.7%) 21(18.3%) 4(3.5%) 6(5.3%) 21(18.3%) 9(7.8%) 2(1.7%) 5(4.3%) 115(100%)
Tabel 46 Hasil Tes IQ Anak menurut Kelompok Perlakuan dan Status Gizi Anak Sesudah Perlakuan Skor Status Kelompok Perlakuan Total Plasebo/PL IQ Gizi Se+I I Se 25-40
40-55
55-70
Buruk Kurang Pendek Baik Buruk Kurang Pendek Baik Buruk Kurang Pendek Baik Total
1(0.9%) 10(8.7%) 1(0.9%) 6(5.3%) 27(23.5%)
1(0.9%) 15(13%) 1(0.9%) 1(0.9%) 12(10.4%) 31(26.96%)
15(13%) 2(1.7%) 17(14.8%) 34(29.56%)
6(5.3%) 6(5.3%) 3(2.7%) 8(7%) 1(0.9%) 2(1.7%) 2(1.7%) 5(4.3%) 33(28.96%)
1(0.9%) 1(0.9%) 40(34.78%) 6(5.3%) 7(6.1%) 7(6.1%) 44(41.74%) 1(0.9%) 2(1.7%) 2(1.7%) 5(4.3%) 115(100%)
Pengkategorian skor IQ menurut kelompok perlakuan dan status gizi anak yang memiliki tanda khas kretin di daerah endemik GAKI dapat dilihat pada Tabel 47-48.
Tabel 47
Skor IQ menurut Status Gizi dan Jenis Kelamin Anak (Sebelum Perlakuan) Kategori Skor IQ Sebelum Laki-laki (L) Perempuan (P) L+P Perlakuan n % n % n %
IQ<25 (Idiot/Retardasi mental sangat Berat) Gizi buruk (stunted+underweight) Gizi kurang (underweight)
10
8.7
9
7.8
19
16.5
-
-
1
0.9
1
0.9
Pendek (stunted)
9
7.8
9
7.8
18
15.7
Gizi Baik (Normal)
5
4.3
4
3.5
9
7.8
Total
24
20.9
23
20.0
47
40.86
IQ=25-40 (Imbecile/Retardasi mental Sedang) Gizi buruk (stunted+underweight) Gizi kurang (underweight)
14
12.2
7
6.1
21
18.3
2
1.7
2
1.7
4
3.5
Pendek (stunted)
5
4.3
1
0.9
6
5.3
Gizi baik (normal)
12
10.4
9
7.8
21
18.3
1
1.7
9
7.8
Total IQ=40-55 (Moron/Retardasi mental Ringan) Gizi buruk (stunted+underweight) Gizi kurang (underweight)
8 1
1.7
1
0.9
2
1.7
Pendek (stunted)
-
-
-
-
-
-
Gizi Baik (Normal)
2
1.7
3
2.7
5
4.3
Total
11
9.7
5
4.3
16
13.9
Tabel 48 Skor IQ, Status Gizi dan Jenis Kelamin Anak (Sesudah Perlakuan) Kategori Skor IQ Sesudah Perlakuan
Laki-laki (L) n %
Perempuan (P) n %
L+P n
%
IQ=25-40 (Imbecile/Retardasi mental Sedang) Gizi buruk (stunted+underweight) Gizi kurang (underweight)
-
-
-
-
-
-
-
-
1
0.9
1
0.9
Pendek (stunted)
-
-
1
0.9
1
0.9
Gizi baik (normal)
20
17.4
20
17.4
40
34.78
Total
20
17.4
22
19.1
42
36.52
IQ=40-55 (Moron /Retardasi mental Ringan) Gizi buruk (stunted+underweight) Gizi kurang (underweight)
5
4.3
1
0.9
6
5.3
5
4.3
2
1.7
7
6.1
Pendek (stunted)
5
4.3
2
1.7
7
6.1
Gizi Baik (Normal)
31
26.96
17
14.8
48
41.74
Total
46
40.0
22
19.1
68
59.13
IQ=55-70 (Moron/Garis batas) Gizi buruk (stunted+underweight) Gizi kurang (underweight)
1
0.9
-
-
1
0.9
-
-
-
-
-
-
Pendek (stunted)
1
0.9
1
0.9
2
1.7
Gizi Baik (Normal)
-
-
2
1.7
2
1.7
Total
2
1.7
3
2.7
5
4.3
Hasil analisis selisih (∆) peningkatan skor IQ pada anak menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian iodium atau selenium saja memiliki pengaruh terbaik untuk meningkatkan skor IQ anak (Tabel 49). Tabel 49 Hasil Analisis Uji Beda Selisih (∆) Peningkatan Skor IQ pada Anak Kelompok
Post Test
Pre Test
∆
Keterangan
Se+I
35
28.4
6.6a
Beda Nyata
I
42.5
24.5
18b
Tidak Beda Nyata
Se
42.5
24.5
18b
Beda Nyata
Plasebo/PL
35
30.9
4.1b
Tidak Beda Nyata
Pengaruh Pemberian Suplemen Selenium dan Iodium terhadap Perkembangan Jumlah Tanda Khas Kretin Spektrum ‘kretin endemik’ pada anak yang lahir di daerah gondok endemik di Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali ini menunjukkan adanya 611 tanda khas kretin (kurang dapat mendengar, gangguan berjalan sering jatuh, langkah tidak teratur, motivasi belajar kurang, sulit diajak bicara, sulit menangkap pembicaraan orang lain, pendek dibanding seusianya, kulit berbintik / bercak, ada benjolan di leher, apatis, tidak bersemangat, anemia /pucat, lemah, malas, muka dan tangan bengkak, lidah membesar, dan mengalami gangguan pertumbuhan fisik). Adapun hasil pemberian suplemen selenium dan iodium terhadap perkembangan jumlah tanda khas kretin dapat dilihat pada Gambar 31.
Jumlah Tanda Khas Kretin
30
25
5Tanda 20
6Tanda 7Tanda
15
8Tanda 9Tanda
10
10Tanda 11Tanda
5
0
Gambar 31 Hasil Analisis Tanda Khas Kretin menurut Kelompok Perlakuan Hasil analisis selisih (∆) penurunan jumlah tanda khas kretin pada anak di daerah endemik GAKI Boyolali menurut kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 50.
Tabel 50 Hasil Analisis ∆ Penurunan Jumlah Tanda Khas Kretin Kelompok
Post Test
Se+I I Se Plasebo/PL
9.5 8.5 6 7
Pre Test 10.5 9.5 7.5 8
∆ -1.0a -1.0a -1.5a -1.0a
Keterangan Tidak Beda Nyata Tidak Beda Nyata Tidak Beda Nyata Tidak Beda Nyata
Tabel 51 Hasil Analisis Uji Beda ∆ Antropometri, Skor IQ menurut Kelompok Perlakuan Variabe Kelompok Post Pre ∆ Keterangan l a>b>c>d beda sangat BB (kg) Se+I 27.85 25.76 2.09c nyata (p<0.001) I 26.62 24.27 2.93b Se 32.34 29.3 3.04a Plasebo/PL 32.96 31 1.96d a>b>c>d beda sangat TB (cm) Se+I 129.8 128.1 1.7b nyata (p<0.001) I 135.9 130.4 5.5a Se 127.5 126.1 1.4c Plasebo/PL 126.3 125.1 1.2d I=Se Tidak beda nyata Skor IQ Se+I 35 28.4 6.6a (p=0.075) I 42.5 24.5 18b b>a>c (p<0.001) Se 42.5 24.5 18b Plasebo/PL 35 30.9 4.1c Tidak berbeda nyata Jumlah Se+I 9.5 10.5 -1.0a (p>0.05) Tanda I 8.5 9.5 -1.0a Khas Se 6 7.5 -1.0a Kretin Plasebo/PL 6 8 -1.0a Tabel 52 Hasil Analisis Nilai Odd Ratio dan Nilai p untuk Profil Darah Anak Suplemen untuk Peningkatan Profil Darah Se I Se+I Plasebo (PL)
Nilai Odd Ratio 0.31 0.30 0.30 0.11
95% CI 0.19 – 0.62 0.11 – 0.72 0.21 – 0.62 0.11 – 0.72
Nilai p 0.002 0.003 0.001 0.038
Tabel 53 Hasil Analisis Nilai Odd Ratio dan Nilai p untuk Status Gizi Anak Suplemen untuk Peningkatan Status Gizi Se I Se+I Plasebo (PL)
Nilai Odd Ratio 0.44 0.64 0.54 0.14
95% CI 0.21 – 0.67 0.51 – 0.87 0.41 – 0.97 0.11 – 0.87
Nilai p 0.000 0.000 0.001 0.041
PEMBAHASAN 1. Penapisan Sampel Berdasarkan rumus besar sampel seharusnya jumlah sampel untuk penelitian intervensi zat gizi selenium dan iodium yang diberikan setiap hari ini sebesar 206 anak. Setelah perlakuan 4 bulan terjadi drop out 91 (44,71%) Adapun besar sampel dan asal sampel dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 19-20. Jumlah sampel yang mengikuti penelitian intervensi gizi hingga datanya lengkap dan dapat dianalisis ada 115 anak (55.29%). Dalam penelitian ini 115 anak kemudian dipastikan menderita kretin secara patognomonik (memiliki tanda-tanda khas kretinisme) namun belum sampai pada taraf menderita kretinisme dengan gangguan neuropsikomotorik. Anak sekolah dasar (SD) dengan tanda khas kretin yang ditengarai dari gangguan neuropsikomotorik ini kemudian dipelajari dalam penelitian ini. Tabel 20 menunjukkan bahwa angka partisipasi masyarakat khususnya orang tua siswa SD untuk mengikuti kegiatan penelitian masih cukup tinggi, yaitu lebih dari 85%. Ada 15 desa di Kecamatan Cepogo dan yang tercacat sebagai desa dengan garam beriodium baik sebanyak 10 desa (66.67%). Sepuluh desa tersebut telah dapat dilakukan monitoring garam setiap satu tahun sekali. Lima desa lainnya belum dapat dilakukan monitoring garam karena lokasinya yang sangat jauh dan tinggi mendekati Gunung Merapi dan Gunung Merbabu sehingga sangat sulit terjangkau kendaraan umum, akibatnya banyak petugas kesehatan yang kurang berani ambil inisiatif ke desa tersebut. 2. Penapisan Tes IQ Kemampuan kognitif anak diukur melalui tes IQ untuk mendapatkan skor IQ yang kemudian dicocokkan dengan kisaran kandungan /kadar selenium dan iodium dalam plasma darah anak. Tes IQ dilakukan oleh seorang psikolog dengan menggunakan metode Raven Cognitive Classical. Ada 36 soal yang disusun pada tiga kolom lembar jawab seperti pada Lampiran 3. Adapun hasil penapisan tes IQ anak dapat dilihat pada Gambar 14.
Selanjutnya hasil
pengkategorian skor IQ dengan kadar selenium dan iodium adalah:
IQ =25-40
(Idiot = Retardasi mental berat) tidak ditemukan (0 %)
IQ =40-55
(Imbecile= Retardasi mental sedang) ada 30 %
IQ =55-70
(Moron = Retardasi mental ringan/dibawah garis) ada 55 %
IQ =50-75 (Dull Normal = di bawah rata-rata) biasanya dengan gangguan ringan pada perkembangan psikomotor dan pendengaran ada 15 %. 3. Penelitian Epidemiologi Profil Darah Anak menurut Kelompok Perlakuan Indikator yang paling umum untuk mengetahui defisiensi berbagai zat gizi melalui pemeriksaan darah anak di laboratorium adalah pengukuran kadar Hb, Ht, jumlah dan ukuran sel darah merah (eritrosit), darah putih (leukosit), kadar berbagai zat gizi penting seperti I, Se, Fe, Zn, serta Ca. Penelitian ini menganalisis darah secara menyeluruh yang setiap saat dapat berubah sesuai dengan kondisi kesehatan dan status gizi seseorang. Oleh karena itu pemeriksaan darah yang dilakukan tanpa puasa terlebih dulu (sesaat/sewaktu) sering disebut sebagai pemeriksaan darah rutin. Hasil pemeriksaan darah rutin dalam penelitian ini selanjutnya disebut profil darah. Dalam penelitian ditemukan kadar Hb anak paling rendah 11.50 g/dl dan paling tinggi mencapai 17.10 g/dl sehingga rata-rata kadar Hb 14.1 dengan standar deviasi sebesar 0.814. Sepintas tidak ditemukan penderita anemia, namun bila dilihat jumlah eritrosit sebelum pemberian suplemen selenium dan iodium ternyata kadar eritrosit minimum 4.23 dan maksimum 6.64 (Tabel 21). Hal ini disebabkan tingginya VO2max individu yang tinggal di pegunungan, yang umumnya mereka sering berjalan kaki naik atau turun lereng gunung. Kenaikan kadar hematokrit (Ht) belum disertai dengan profil darah lainnya secara nyata dan pada penelitian ini adalah rataan konsentrasi Hb dan Ht antar kelompok tidak berbeda nyata. Berdasarkan Tabel 21 dapat diketahui bahwa manfaat pemberian suplemen selenium dan iodium dosis rendah selama dua bulan ternyata mampu memperbaiki profil darah anak penderita GAKI. Secara umum anak penderita GAKI di daerah endemik di Boyolali tidak ada masalah dengan anemia gizi besi karena kadar Hemoglobin (Hb)nya hampir semua tinggi (11.50 – 17.10 g/dl). Namun bila dilihat hasil pemeriksaan jenis anemia dengan metode penghitungan
indeks mean corpuscular volume (MCV) ternyata sebelum perlakuan ada 31% penderita anemia jenis mikrositik dan makrositik, tetapi setelah diberi suplemen jumlah penderita anemia mikrositik/makrositik menurut MCV ini tinggal 16%. Penghitungan
dengan
metode
mean
corpuscular
hemoglobin
(MCH)
menunjukkan hasil bahwa prevalensi jenis anemia mikrositik pada awal penelitian ada 20% dan setelah pemberian suplemen jumlah individu yang menderita anemia jenis MCH menjadi 7%.
Penghitungan menggunakan mean corpuscular
hemoglobin concentration (MCHC) menunjukkan bahwa ditemukan 34% anak penderita anemia jenis hipokromik, kemudian setelah pemberian suplemen maka menurun menjadi 18%. Hasil analisis selanjutnya menunjukkan bahwa kadar Hb anak dengan 611 petanda kretin yang hidupnya di pegunungan adalah normal (11.5-17.1 g/dl) namun prevalensi total anemia mikrositik maupun makrositik menurut kadar hematokrit ada 14% pada awal penelitian, dan setelah diberi perlakuan maka penderita anemia jenis mikrositik tinggal 3.5% dan lainnya sudah normal, yaitu memiliki bentuk sel monositik 96.5%. Studi suplementasi selenium terhadap anak penderita GAKI di Schotlandia menunjukkan bahwa status anemia anak berhubungan dengan status selenium dan iodium (Brown, et al. 2003). Status anemia berdasarkan kadar hematokrit juga memiliki pola yang hampir sama dengan hemoglobin yaitu rata-rata kadar hematokrit setelah perlakuan menunjukkan perbaikan yang sangat nyata yaitu menjadi 32.99% 49.8%. Prevalensi anemia pada anak penderita GAKI dengan tanda khas kretin berdasarkan hematokrit saat awal penelitian ada 14% dan setelah pemberian suplemen selenium dan iodium menjadi 3.5%. Selanjutnya menurut kelompok perlakuan perubahan profil darah MCV dapat dilihat pada Gambar 20. Pada Gambar 21 dapat diketahui bahwa kelompok perlakuan dengan pemberian plasebo ternyata tetap terjadi perbaikan profil darah MCH yaitu sebelum perlakuan tidak ada yang monositik tetapi setelah perlakuan ada 3.5% anak berstatus monositik. Dengan demikian ada 6.1 % (plasebo), 9.6% (Se), 9.6% (I), dan 26% (Se+I) yang menderita anemia mikrositik. Menurut WHO (1994) hal ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena prevalensinya masih lebih dari 5%. Analisis perhitungan selisih persentase dari post test dan pre test
untuk variable MCV (Tabel 22 dan Tabel 25).
Analisis perhitungan selisih
persentase dari post test dan pre test untuk variable MCH pada Tabel 22 dan Tabel 26. Berdasarkan nilai selisih persentase antar kelompok pemberian suplemen dapat disimpulkan sementara bahwa pemberian suplemen selenium 45 µg/hari atau Se+I dapat menyembuhkan anemia mikrositik hiperkromik menjadi sehat (monositik monokromik) Gambar 22 menunjukkan bahwa kelompok perlakuan dengan pemberian plasebo ternyata hampir sama dengan yang terjadi pada profil darah MCHC, yaitu tidak dapat memperbaiki profil darah anak karena tidak ada zat gizi untuk perbaikan hematokrit, eritrosit dan leukosit.
Akibatnya anak yang menderita
anemia hipokromik masih ada 4 anak dari 28 anak yang termasuk kelompok plasebo (14.3%). Namun dilihat secara keseluruhan sampel maka pemberian suplemen selenium dan iodium sangat bermanfaat bagi perbaikan profil darah khususnya untuk penyembuhan anemia hipokromik. Selisih persentase dari post test dan pre test untuk variable MCHC (Tabel 27) Berdasarkan nilai selisih persentase antar kelompok pemberian suplemen dapat disimpulkan bahwa pemberian suplemen selenium 45 µg/hari dapat mengkoreksi anemia hiperkromik menjadi sehat (monokromik) sebesar 11%, sementara iodium saja hanya dapat 0.8% dan interaksi selenium+iodium 5.3% saja.
Sementara pada kelompok plasebo terjadi perbaikan status anemia 6%
mungkin disebabkan faktor pemberian obat cacing Albendazole 400 mg. Ada beberapa penjelasan tentang mengapa seseorang dilihat dari kadar Hbnya tidak termasuk anemia tetapi setelah dilihat dari kadar MCV, MCH atau MCHC ternyata menderita anemia jenis mikrositik hiperkromik atau makrositik hipokromik yang banyak terjadi pada individu yang tinggal di daerah endemik GAKI. Adapun penjelasan mengapa kadar Hb kurang peka pada tahap awal kekurangan zat besi, karena metode ini memiliki kelemahan antara lain : a. Nilai Hb yang rendah tidak spesifik untuk defisiensi besi. Defisiensi gizi lain, gangguan genetik dan infeksi dapat menyebabkan penurunan kadar Hb. b. Kadar Hb yang rendah menunjukan stadium akhir defisiensi besi sehingga tidak sensitif untuk deteksi dini defisiensi besi c. Kadar Hb tergantung usia, jenis kelamin, dan ras.
d. Kadar Hb bervariasi tergantung berbagai faktor, yaitu merokok, bertempat tinggal di daerah tinggi (pegunungan). Namun demikian, kadar Hb tetap berguna untuk mengetahui beratnya anemia untuk semua golongan usia, jenis kelamin, dan ras. Kandungan besi serum merupakan ukuran jumlah atom besi yang terikat pada transferin. Besi serum
meningkat
pada
anak
yang
mengalami
gangguan
thalassemia,
hemokromatosis, penyakit hati, leukemia akut, keracunan logam berat, penyakit ginjal, dan injeksi besi intramuskuler. Kadar besi serum menurun pada anemia defisiensi besi, kehilangan darah kronis, penyakit kronis (lupus, rheumatoid arthritis), menstruasi berlebihan (Frey, 2002). Eritropoesis terjadi karena penurunan kadar zat besi dalam feritin yang disimpan pada hepar, lien, dan sumsum tulang. Eritropoesis produksi sel darah merah itu dinamis dalam waktu yang cepat dan didaur ulang 0.8-1 % per hari. Artinya pada kondisi normal (sehat) eritrosit akan seimbang antara sel yang rusak dan yang baru. Pada saat tubuh kehilangan banyak darah,
terjadi peningkatan kapasitas kebutuhan oksigen
sebagai respon cepatnya proliferatif. Eritrosit dapat berubah bentuk dan merupakan sel tanpa inti serta bikonkaf. Eritrosit paling banyak ditemukan di antara keseluruhan sel darah. Sewaktu darah disentrifus maka akan terpisahkan komponen plasma dan seluler, yang bagian sel darah merahnya sekitar 45% dari volume total, ini merupakan “volume pacaked cell” atau hematokrit. Eritrosit merupakan sel pembawa oksigen karena banyak mengandung hemoglobin. Sel membran tersusun atas dua lapis fosfolipid denganprotein integral. Bentuk sel dipertahankan oleh struktur protein yang membentuk sitoskeleton. Sistem enzim melindungi hemoglobin dari eksidasi yang ireversibel. Eritrosit yang matang tidak mempunyai material inti, sehingga protein baru tidak dapat disintesis. Fungsi eritrosit adalah untuk transpot oksigen. Kira-kira 44% dari butir darah adalah sel darah merah, bentuknya bundar, pipih dan di tengahnya cekung, dengan garis tengah 7,5 μm (Underwood, 2002). Dalam penelitian ini jumlah eritrosit
(106/ul) sebelum perlakuan
pemberian suplemen kapsul selenium dan iodium dosis rendah adalah 4.18 – 6.44 dan sesudahnya berkisar 4.18 – 6.64 dengan nilai rujukan 4.2 – 5.2 106/ul. Prevalensi kelainan eritrosit pada anak di daerah endemik GAKI ini tidak berbeda
nyata (p>0.05) antara sebelum dan sesudah perlakuan (dari 14.63% menjadi 3.5%). Penurunan sel darah merah dan penurunan aktivitas eritropoesis adalah hasil dari penurunan metabolisme jaringan yang berhubungan dengan peranan zat besi sebagai kofaktor esensial metabolik. Sementara peranan selenium sebagai antioksidan sangat berpengaruh pada penstabilan metabolisme jaringan. Menurut WHO (1996) kejadian /kasus kesehatan yang besar prevalensinya kurang dari 5% bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu ditangani secara nasional. Namun cukup ditanggulangi secara wilayah melalui program kesehatan kabupaten dengan koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten bagi keluarga tidak mampu, sedangkan untuk keluarga mampu tentunya dapat berobat secara mandiri ke rumah sakit. Review oleh West et al. (2007) nilai Odd Ratio (OR) suplementasi vitamin A terhadap anemia sebesar 0.5. Nilai OR suplementasi besi dan asam folat terhadap anemia sebesar 0.2 namun dengan kombinasi besi, folat dan vitamin A dapat lebih menurunkan peluang kejadian anemia (OR=0.1). Sebaliknya hasil penelitian ini dengan pemberian suplemen Se 45 μg/hari selama 2 bulan dapat menurunkan peluang kejadian jenis anemia mikrositik hiperkromik (OR=0.1). Sementra hasil pemberian I sebanyak 50 μg/hari selama 2 bulan dapat menurunkan peluang kejadian jenis anemia mikrositik hiperkromik (OR=0.2) namun dengan kombinasi Se+I selama 2 bulan tidak dapat lebih menurunkan peluang kejadian jenis anemia mikrositik hiperkromik (OR=0.2). Kadar eritrosit anak di daerah endemik GAKI ini sangat signifikan pengaruhnya terhadap kadar MCV (p<0.001). menderita
Akibatnya ada 66% anak
jenis anemia mikrositik yaitu anemia yang diklasifikasikan
berdasarkan ukuran eritrosit (MCV). Klasifikasi ini mempunyai nilai diagnosis yang tinggi pada sebagian besar jenis anemia yang sering ditemukan pada masyarakat yang tinggal di daerah pengunungan (tempat yang tinggi). Informasi selanjutnya dari diagnosis diperoleh dari pemeriksaan morfologi eritrosit. Penyakit pada darah sering diperlihatkan dengan bertambahnya ukuran eritrosit yang bermacam-macam, antara lain anisositosis dan terdapatnya eritrosit yang mempunyai bentuk yang bermacam-macam (poikilositosis). Meningkatnya anisositosis dan poikilositosis eritrosit merupakan kelainan yang spesifik
ditemukan pada berbagai gangguan hematologis dan gangguan sistemik gizi metabolik (Tierny et al. 2003). Hasil analisis pemberian suplemen selenium dan iodium dosis rendah selama dua bulan terhadap status eritrosit pada anak penderita GAKI yang memiliki tanda khas kretin dapat dilihat pada Gambar 28. Berdasarkan Gambar 19 dapat diketahui bahwa pemberian suplemen selenium 45 µg/hari atau iodium 50 µg/hari saja atau selenium+iodium ternyata mampu memperbaiki jumlah eritrosit dari gangguan kurang eritrosit hingga menjadi normal yaitu 4.2 -5.2 (106/ul). Sementara kelompok plasebo masih ada 3.5% dari total sampel yang menderita gangguan kurang eritrosit. Kalau dihitung menurut kelompok perlakuan maka anak yang mendapat kapsul plasebo selama 2 bulan ternyata masih ada 14.3 % yang menderita gangguan kurang eritrosit. Selanjutnya hasil analisis uji beda antar kelompok menurut selisih hasil perbaikan profil eritrosit sesudah dan sebelum perlakuan berbeda sangat nyata (p<0.001). Menurut Semba (2007) saat ini sudah diketahui bahwa sirkulasi kadar selenium yang rendah sangat erat hubungannya dengan kasus kejadian anemia pada orang dewasa.
Selenium juga memiliki kontribusi pada pasien yang
mengalami dialisis, pasien TBC.
Meskipun hubungan anemia dan difisiensi
selenium sudah diketahui, namun tanda /gejala defisiensi selenium yang spesifik belum ada kesepakatan para ahli. Hal ini masih menimbulkan pertanyaan di bidang pathogenesis anemia, tentang apakah kejadian anemia menyebabkan defisiensi selenium, atau sebaliknya defisiensi selenium akan menyebabkan terjadinya anemia. Dalam penelitian ini terjadinya anemia dapat dijelaskan dari terganggunya sistem imun tubuh yang disebabkan oleh stress oksidatif. Stress oksidatif adalah keadaan tidak seimbangnya jumlah oksidan dan prooksidan dalam tubuh. Pada kondisi ini, aktivitas molekul radikal bebas atau spesies oksigen reaktif (SOR) dapat menimbulkan kerusakan seluler dan genetika. Pembawa radikal bebas dan SOR yang dominan berasal dari makanan dan minuman yang kita konsumsi. Gambar 28 menunjukkan bahwa dengan pemberian selenium dapat memperbaiki jumlah sel eritrosit. Hal ini dapat dijelaskan dari potensi mekanisme biologi peran selenium dalam mencegah terjadinya anemia, yaitu selenium sebagai antioksidan utama yang berupa selenoenzyme pada eritrosit. Sehingga sel
eritrosit tetap mampu bertahan hidup normal sampai 120 hari.
Selain itu
mekanisme lain menunjukkan bahwa selenium mampu menurunkan kejadian inflamasi dan stres oksidatif.
Sistem antioksidan tubuh sebagai mekanisme
perlindungan terhadap serangan radikal bebas, secara alami telah ada dalam tubuh kita. Berdasarkan asal terbentuknya, antioksidan ini dibedakan menjadi dua yakni intraseluler (di dalam sel) dan ekstraseluler (di luar sel) atau pun dari makanan. Salah satu zat gizi yang merupakan antioksidan adalah selenium (Se). Selenium memiliki beberapa fungsi, fungsi fisiologis selenium diantaranya sebagai antioksidan dan antikarsinogen (WHO, 1996). Hasil analisis ∆ peningkatan jumlah eritrosit pada anak di daerah endemik GAKI Boyolali menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian iodium 50 µg/hari + selenium 45 µg/hari memiliki pengaruh terbaik untuk meningkatkan jumlah eritrosit anak. Tabel 22 menunjukkan bahwa pemberian Se+I selama 2 bulan sudah dapat meningkatkan jumlah eritrosit sebanyak 2.11 (106/ul). Jumlah eritrosit normal untuk anak usia 9-12 tahun adalah 4.8 (106/ul). Sebelum penelitian ini rata-rata semua anak memiliki jumlah eritrosit sebesar 3.88 (106/ul) artinya perlu peningkatan eritrosit sebesar 0.92 (106/ul). Seperti halnya dengan hasil kadar eritrosit, maka dalam penelitian ini jumlah leukosit (103/ul) sebelum perlakuan pemberian suplemen kapsul selenium dan iodium dosis rendah adalah 4.04 – 7.57 dan sesudahnya berkisar 6.04 – 9.8 dengan nilai rujukan 4.5 – 14.5 103/ul.
Berdasarkan hasil analisis dengan
menggunakan Ancova dapat dikatakan bahwa prevalensi leukopenia pada anak di daerah endemik GAKI ini sangat berbeda nyata (p<0.001) antara sebelum dan sesudah perlakuan (dari 20.43% menjadi 3.5%). Selanjutnya manfaat intervensi selenium dan iodium terhadap kadar leukosit selain meningkatkan imunitas anak juga dapat menurunkan berbagai jenis keluhan kesakitan. Secara kualitatif anak yang tadinya mengaku sering pusing dan cepat lelah setelah sekolah menjadi tidak merasakan adanya keluhan tersebut setelah dua bulan minum suplemen Se dan I. Berdasarkan Gambar 18 dapat diketahui bahwa pemberian suplemen selenium 45 µg/hari atau iodium 50 µg/hari saja atau selenium+iodium ternyata mampu memperbaiki jumlah leukosit dari leukopenia (jumlah leukosit kurang dari normal) hingga menjadi normal yaitu 4.5 – 14.5 (103/ul). Sementara kelompok
plasebo masih ada 3.5% dari total sampel yang menderita leukopenia. Jadi kalau dihitung menurut kelompok perlakuan maka anak yang mendapat kapsul plasebo selama 2 bulan ternyata masih ada 14.3 % yang menderita leukopenia. Dengan demikian cocok seperti dengan teori penyakit darah bahwa satu komponen darah mengalami gangguan maka komponen lainnya akan segera mengatasi gangguan yang timbul. Dalam penelitian ini anak yang mengalami gangguan kekurangan eritrosit ternyata juga mengalami gangguan leukopenia dan semuanya terjadi pada kelompok plasebo. Hasil analisis ∆ peningkatan jumlah leukosit pada anak di daerah endemik GAKI menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian selenium 45 µg/hari saja memiliki pengaruh terbaik untuk meningkatkan jumlah leukosit anak. Tabel 24 menunjukkan bahwa pemberian suplemen selenium selama 2 bulan sudah dapat meningkatkan jumlah leukosit sebesar 1.99 (103/ul).
Dalam
penelitian ini sebelum dilakukan intervensi suplemen selenium dan iodium jumlah leukosit anak berkisar 4.04-7.57 (103/ul) dan setelah perlakuan menjadi 6.04 – 9.80 (103/ul) dengan prevalensi leukopenia sebesar 5.43% artinya sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat di daerah endemik GAKI.
Dengan demikian
masalah leukopenia pada anak usia 9-12 tahun ternyata dapat diatasi dengan pemberian selenium 45 µg/hari. Kadar Selenium dan Iodium Plasma Menurut Kelompok Perlakuan Tabel 28 menunjukkan bahwa defisiensi selenium pada awal penelitian sangat tinggi (97.4%) berbeda sangat nyata dengan setelah diberi perlakuan suplemen kapsul selenium menjadi 3.5% (p=0.000). Begitu pula halnya dengan hasil pemeriksaan kadar iodium sebelum pemberian suplemen ada 81.7% anak yang menderita defisiensi iodium berbeda sangat nyata dengan setelah perlakuan dengan pemberian suplemen iodium selama dua bulan turun menjadi 13 % (p<0.001). Kalau dianalisis lebih lanjut semua kelompok perlakuan baik yang diberi suplemen selenium+iodium, selenium saja, atau kelompok iodium saja ternyata anak yang tadinya menderita defisiensi selenium dan iodium menjadi sehat semua.
Namun kelompok plasebo juga mengalami perbaikan profil darah
mungkin disebabkan konsumsi air kemasan yang bersih dan sehat yang disediakan oleh peneliti. Hal ini menunjukkan bahwa faktor kebersihan air minum sangat menentukan keberhasilan program pemberian kapsul suplemen pada anak sekolah dasar yang biasanya mengkonsumsi air kurang sehat. Pada kelompok perlakuan selenium dengan pemberian kapsul plasebo masih ada 3.5% yang menderita defisiensi selenium. Setelah dianalisis lebih lanjut ternyata empat anak tersebut ada kaitannya dengan kasus empat anak yang memiliki kelainan sel eritrosit (3.5%). Hasil analisis kadar selenium dan iodium menurut kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 22 dan Tabel 33. Berdasarkan Tabel 32-33 dapat diketahui bahwa sebenarnya manfaat pemberian suplemen kapsul selenium dan iodium dosis rendah pada anak di daerah endemik GAKI sangat nyata untuk perbaikan profil darah supaya tidak defisien terhadap zat gizi selenium maupun iodium pada masa pertumbuhan cepatnya. Hasil penelitian Brown, et.al (2003) menunjukkan bahwa pemberian suplemen selenium saja pada anak di daerah endemik GAKI di Skotlandia selama 28 hari mampu memperbaiki profil darah anak penderita anemia jenis mikrositik. Berdasarkan hasil perhitungan selisih persentase perubahan status kadar selenium pada anak yang menderita GAKI dengan 6-11 tanda khas kretin dapat disimpulkan sementara bahwa kelompok perlakuan Se 45 µg/hari saja atau Se+I selama dua bulan adalah yang terbaik untuk koreksi defisiensi selenium. Hasil perhitungan selisih persentase perubahan status kadar iodium pada anak yang menderita GAKI dengan 6-11 tanda khas kretin tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok perlakuan selenium 45 µg/hari + Iodium 50 µg/hari selama dua bulan adalah yang terbaik untuk koreksi defisiensi iodium (Tabel 33). Tabel 31 dan 32 menunjukkan bahwa menurut jenis kelamin baik pada kondisi sebelum dan sesudah diberi perlakuan terdapat perbedaan yang nyata antara kadar iodium dan selenium dalam plasma darah anak laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan teori masa pertumbuhan cepat antara laki-laki dan perempuan diawali pada usia 9-12 tahun. Dalam penelitian ini semua sampel juga berumur antara 9-12 tahun, sehingga anak laki-laki dan perempuan dengan kondisi yang sama saat awal penelitian ternyata juga menunjukkan kebutuhan zat gizi selenium dan iodium yang sama untuk pertumbuhan cepat kedua.
Hasil analisis ∆ peningkatan kadar iodium plasma pada anak di daerah endemik GAKI Boyolali menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian selenium 45 µg/hari saja memiliki pengaruh terbaik untuk meningkatkan kadar iodium plasma anak. Hal ini ada kaitannya dengan tingkat defisiensi iodium (81.7%) pada awal penelitian yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan defisiensi selenium (97.4%). Berdasarkan Tabel 33 dapat diketahui bahwa pemberian suplemen selenium selama 2 bulan sudah dapat meningkatkan kadar iodium plasma sebesar 1.35 ppm.
Dalam penelitian ini
sebelum dilakukan intervensi suplemen selenium dan iodium kadar iodium plasma anak berkisar 1.35 – 4.10 ppm dan setelah perlakuan menjadi 3.52 – 6.27 ppm dengan prevalensi sebelum intervensi defisiensi iodium sebesar 81.7%, setelah perlakuan pemberian suplemen iodium dan selenium selama dua bulan prevalensi defisiensi iodium turun menjadi 13% (p<0.001).
Dengan demikian masalah
defisiensi iodium dikalangan anak SD dapat pula diatasi dengan pemberian selenium 45 µg/hari saja. Hasil analisis ∆ peningkatan kadar selenium plasma pada anak di daerah endemik GAKI Boyolali menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian selenium 45 µg/hari saja memiliki pengaruh terbaik untuk meningkatkan kadar selenium plasma anak.
Tabel 33 menunjukkan bahwa
pemberian suplemen selenium selama 2 bulan sudah dapat meningkatkan kadar selenium plasma sebesar 2.76 ppm.
Sebelum dilakukan intervensi suplemen
selenium dan iodium kadar selenium plasma anak berkisar 0.4-1.28 ppm dan setelah perlakuan menjadi 1.09 – 3.99 ppm dengan cut off point kadar rujukan 1.16.1 ppm, sehingga prevalensi defisiensi selenium ada 97.4% sebelum intervensi dan setelah perlakuan pemberian suplemen iodium dan selenium selama dua bulan prevalensi defisiensi iodium turun menjadi 3.5% itupun pada kelompok plasebo (p=0.000). Dengan demikian masalah defisiensi selenium dan iodium dikalangan anak SD dapat diatasi dengan pemberian selenium 45 µg/hari saja. Faktor yang Mempengaruhi Respon Profil Darah Tabel 22 menunjukkan bahwa respon hemoglobin (Hb) pada semua kelompok suplemen nyata (p<0.05) kecuali pada kelompok plasebo (p>0.05).
Sementara respon hematokrit (Ht) justru pada kelompok suplemen iodium yang tidak nyata (p>0.05). Namun demikian, perbaikan profil eritrosit sangat nyata pada semua kelompok perlakuan termasuk plasebo (p<0.05). Selenium merupakan komponen esensial enzim glutation peroksidase (GSH-Px). Enzim glutathione peroxidase (Gambar 1) akan mengkatalisasi penguraian H2O2 dan hidroperoksida lipid oleh glutathione (GSH) sehingga lipid membran sel menjadi aman dan oksidasi Hb menjadi MetHb dapat dicegah. Hal ini berarti dengan suplemen selenium yang bersifat antioksidan dan iodium dapat secara positif mempengaruhi sel darah merah, baik jumlah maupun umur eritrosit.
Respon positif juga
ditemukan pada penelitian pada anak GAKI yang menderita anemia di Skotlandia (Brown et al. 2003). Peningkatan jumlah Free Erytrocite Protophorphyrin (FEP) tampak pada tahap pertengahan dan akhir dari defisiensi besi laten. Dalam penelitian ini anak usia 10-12 tahun yang berstatus gizi underweight dan stunted+underweight mengalami anemia gizi besi (mikrositik hiperkromik dan makrositik hipokromik) karena tidak seimbangnya ukuran eritrosit dan kadar Hb. Anemia gizi besi jenis tersebut biasanya merupakan hasil akhir dari keseimbangan besi yang negatif dalam jangka waktu lama. Apabila kadar besi total mulai menurun, sumsum tulang mengalami deplesi.
Setelah
cadangan besi habis terjadi penurunan kandungan besi plasma dan suplai besi pada sumsum tulang tidak mencukupi untuk regenerasi hemoglobin yang normal. Selanjutnya kalau dilihat kadar leukosit ternyata pada semua kelompok perlakuan termasuk plasebo berbeda nyata (p<0.05) sehingga individu yang sebelum perlakuan mengalami leukopenia menjadi berada pada batas normal. Pada Tabel 56 juga terlihat bahwa tidak ada perbedaan damapk suplemen Se dan I dibandingka dengan plasebo.
Adanya respon positif yang dialami kelompok
plasebo ini disebabkan selama perlakuan mereka juga mengkonsumsi air mineral yang bersih dan bebas dari E.coli sehingga mereka bebas diare dan kecacingan. Efek pemberian suplemen Se dan I terhadap kadar Mean Corpuscular Volume (MCV) yang tidak nyata (p>0.05) ini terjadi erat kaitannya dengan interaksi penyerapan selenium sebagai antioksidan dan iodium yang mencegah sensitivitas TSH agar tidak meningkatkan stimulasi kelenjar thyroid. Perubahan MCV akan terjadi bila cadangan besi terkuras habis tetapi kadar hemoglobin
darah masih lebih tinggi dari batas bawah nilai normal (biasanya di daerah pegunungan). Pada tahap ini terjadi abnormallitas biokimia pada metabolisme besi yang biasanya bisa dideteksi, terutama penurunan satu rasi transferin. Disamping itu ada faktor homeostatis untuk keseimbangan profil darah (WHO, 1996). Dampak pemberian suplemen Se dan I terhadap kadar Mean Corpuscular Haemoglobin (MCH) berbeda nyata (p<0.05) pada kelompok suplemen iodium 50 µg/hari saja, selenium 45 µg/hari saja dan plasebo (Tabel 56).
Justru pada
kelompok Se+I tidak nyata (p>0.05). Hal ini disebabkan respon Ht yang rendah karena faktor ketinggian lokasi disamping rendahnya status gizi. Anak dengan 611 tanda khas kretin yang menderita underweight ini memiliki respon Ht 61 % lebih rendah (OR=0.43; 95%CI 0.26-0.82; p=0.03) dibandingkan dengan anak yang memiliki status gizi normal. Begitu juga pada anak yang stunted memiliki respon Ht 63 % lebih rendah (OR=0.49;95%CI 0.19-0.86; p=0.03) dibandingkan dengan anak yang tidak stunted. Pengaruh pemberian suplemen Se dan I terhadap kadar Mean Corpuscular Haemoglobin Consentration (MCHC) berbeda nyata (p<0.05) pada semua kelompok pemberian suplemen selenium dan iodium termasuk plasebo (Tabel 56). Selain disebabkan respon Hb yang rendah karena faktor ketinggian lokasi juga rendahnya status gizi.
Anak dengan tanda khas kretin yang menderita
underweight (48.7%) ini memiliki respon Hb 59 % lebih rendah (OR=0.43; 95%CI 0.26-0.82; p=0.03) dibandingkan dengan anak yang tidak underweight. Begitu juga anak yang stunted memiliki respon Hb 69 % lebih rendah (OR=0.41; 95%CI 0.22-0.91; p=0.02) dibandingkan dengan anak yang tidak stunted. Tabel 22 juga menunjukkan bahwa efek pemberian suplemen Se dan I terhadap kadar selenium plasma berbeda nyata (p<0.05). Hal ini terjadi erat kaitannya dengan interaksi penyerapan selenium sebagai antioksidan disamping respon positif akibat defisiensi selenium yang sudah kronis pada anak. Selain itu juga disebabkan karena asupan selenium yang rendah dan lingkungan tanah dan airnya yang sangat kurang mengandung selenium. Menurut Semba (2007) kadar selenium plasma atau serum tergantung pada usia, semakin muda semakin cenderung defisiensi dan seiring dengan rendahnya risiko terkena penyakit
degeneratif. Risiko defisiensi selenium terjadi pada orang dewasa yang merokok, dan pada wanita yang mengalami obes. Defisiensi selenium berbeda pada setiap manusia, hal ini karena daya adaptasi setiap orang berbeda satu dengan yang lainnya. Di New Zealand dan Finland yang merupakan daerah rendah kandungan selenium dalam tanah dan airnya, asupan selenium dari diet sehari-hari adalah 30ug - 50 ug/hari, bandingkan dengan asupan di USA dan Canada yaitu 100 ug – 250 ug/hari. Konsentrasi selenium dalam darah anak-anak di New Zealand lebih rendah dibandingkan anak-anak yang tinggal dibandingkan dengan negara lainnya. Faktor utama yang mempengaruhi rendahnya kandungan selenium dalam darah anak-anak di New Zealand karena intake selenium yang rendah yang juga merupakan gambaran rendahnya kandungan selenium dalam tanah di New Zealand. Kandungan Selenium dalam darah bervariasi karena keadaan geografi, umur, dan perbedaan jumlah
dan
jenis
makanan
yang
dikonsumsi.
Anak
yang
menderita
phenylketonuria dan maple syrup urine asupan Se-nya rendah juga konsentrasi Se dalam darah (Mc.Kenzie, 1978). Efek pemberian suplemen Se dan I terhadap kadar iodium plasma berbeda nyata (p<0.05) pada kelompok Se+I dan kelompok Se saja. Pada Tabel 56 terlihat bahwa rata-rata kadar iodium plasma baik pada sebelum dan sesudah tetap ada yang defisiensi iodium (<3.3 μg/dl) sebanyak 13% (Tabel 49).
Faktor
rendahnya respon Se dan I terhadap kadar iodium plasma ini erat hubungannya dengan rendahnya mutu makanan terutama asupan protein hewani yang mudah diserap (Semba, 2007). Hasil analisis regresi biokimia darah menurut kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 22. Ada kemungkinan kenaikan kadar Hb anak pada kelompok Se+I diperkuat oleh efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) adalah 0.77 yang artinya 77% kenaikan kadar Hb anak dengan tanda khas kretin dipengaruhi oleh pemberian suplemen selenium dan iodium, sama halnya dengan yang diberi suplemen iodium saja. Pada kelompok selenium saja dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan sebesar 0.11 artinya 11% kenaikan kadar Hb anak dipengaruhi oleh pemberian
suplemen selenium saja. Pada kelompok plasebo tidak mengalami kenaikan kadar Hb justru sebanyak 3 % anak mengalami penurunan. Tabel 22 menunjukkan bahwa kenaikan kadar Ht anak pada kelompok Se+I diperkuat oleh efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) adalah 0.11 yang artinya 11% kenaikan kadar Ht anak di daerah endemik GAKI dipengaruhi oleh pemberian suplemen selenium dan iodium, sama halnya dengan yang diberi suplemen selenium saja dan plasebo. Pada kelompok iodium saja kadar Ht anak tidak mengalami kenaikan tetapi justru sebanyak 3 % anak mengalami penurunan. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan 2% anak yang mengalami penurunan MCV pada kelompok pemberian iodium. Pemberian suplemen selenium dan iodium terhadap MCV tidak berbeda nyata. Hal ini sangat logis karena MCV merupakan perbandingan antara kadar Ht dengan jumlah eritrosit. Hasil analisis regresi linier antara kelompok perlakuan dengan kadar MCH menunjukkan bahwa pada kelompok Iodium diperkuat oleh efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) adalah 0.07 yang artinya 7 % kenaikan status MCH anak di daerah endemik GAKI dipengaruhi oleh pemberian suplemen iodium, sama halnya dengan yang diberi suplemen selenium saja. Sementara pada kelompok plasebo jumlah anak yang mengalami penurunan status MCH ada 7 % yang berkaitan dengan kadar Hb yang tidak mengalami kenaikan sebanyak 3 % anak dan anak yang memiliki konsentrasi eritrosit rendah ada 14%. Begitu pula dengan kadar leukosit, kelompok plasebo tidak mengalami perbaikan yang diperkuat oleh efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan 0.14 yang artinya 14 % kenaikan status leukosit pada anak dipengaruhi oleh pemberian suplemen Se+I, Se saja atau iodium saja. Efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) untuk kadar selenium plasma adalah 0.14 yang artinya 14 % kenaikan status kadar selenium plasma pada anak dapat dipengaruhi oleh pemberian suplemen Se+I, Se saja atau iodium saja. Sementara efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) untuk kadar iodium plasma adalah 0.29 yang artinya 29 %
kenaikan status iodium plasma pada anak di daerah endemik GAKI dipengaruhi oleh pemberian suplemen iodium saja. Pada kelompok Se+I justru mengalami penurunan 25%, dan kelompok plasebo memiliki efek bersih sebesar 0.29 yang artinya kenaikan status iodium plasma pada anak tidak dipengaruhi suplemen. Kemungkinan faktor yang mempengaruhi koreksi kadar iodium plasma adalah intake energi dan iodium harian, obat cacing sebelum perlakuan dan perilaku sehat seperti kebiasaan menggunakan sandal/sepatu. Status Gizi Anak menurut Kelompok Perlakuan Status gizi adalah hasil interaksi asupan berbagai zat gizi ke dalam tubuh anak pada saat sebelum dan sesudah intervensi suplemen selenium dan iodium, yang diukur secara antropometri.
Hasil pengukuran antropometri disajikan
dengan Z-skor BB/U dan TB/U berdasar data CDC (WHO, 2000). Anak dikatakan stunted bila Z-skor TB/U <- 2 SD, termasuk status gizi kurang (underweight) bila -3 < Z-skor < - 2 SD dan termasuk status gizi buruk (wasting) bila Z-skor < -3 SD. Selanjutnya asupan zat gizi dalam penelitian ini adalah jumlah makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh anak yang diterjemahkan ke dalam energi, protein, lemak dan zat gizi mikro lainnya per hari. Status Gizi berdasarkan standar CDC (WHO, 2000) menurut Kelompok Perlakuan Status gizi antropometri dalam penelitian ini didasarkan pada hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi dianalisis dengan menggunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U) dan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U). Berdasarkan hasil perhitungan Z-skor BB/U dengan batas <-2SD sebagai underweight, maka prevalensi underweight pada anak usia 9-12 tahun yang memiliki tanda khas kretin di daerah endemik GAKI ada 48.69%. Analisis status gizi menurut jenis kelamin (Gambar 25) menunjukkan bahwa prevalensi underweight anak laki-laki (51.47%) lebih tinggi dari anak perempuan (44.68 %). Status gizi anak menurut jenis kelamin dalam penelitian ini tidak dapat dianalisis menurut gender pathway karena jumlah sampel antara anak laki-laki
dan perempuan berbeda (Gambar 25). Namun demikian dapat diketahui bahwa respon suplementasi lebih baik pada anak perempuan, yang dapat dibuktikan dari jumlah anak perempuan dari masing-masing kelompok perlakuan memiliki perbaikan status gizi yang baik dari pada anak laki-laki. Hal ini disebabkan karena laju pertumbuhan anak perempuan usia 9-12 tahun (masa growth sprout II) lebih cepat dibandingkan dengan anak laki-laki (Tabel 8). Usia 9-12 tahun merupakan kelompok usia resiko (chacth up periode) terhadap gangguan pertumbuhan jika tidak mendapatkan cukup asupan zat gizi. Status gizi (BB/U) menurut kelompok perlakuan pada anak laki-laki di daerah endemik GAKI sebelum dan sesudah diberi perlakuan ternyata lebih berisiko kurang gizi dibandingkan anak perempuan. Akan tetapi hal ini perlu dilihat kecenderungan menderita anemia kronis pada anak perempuan yang menderita kurang gizi dibandingkan anak laki-laki yang kurang gizi. Respon perbaikan status gizi anak perempuan lebih baik dibandingkan dengan respon anak laki-laki.
Artinya bila anak perempuan di daerah endemik GAKI selalu
menerima suplemen selenium dan iodium maka harapan untuk dapat menjaga status gizi baik diukur dari BB/U akan lebih baik dibandingkan dengan respon anak laki-laki (Tabel 36-37). Berdasarkan Tabel 36 dan 37 dapat diketahui bahwa respon pemberian suplemen terhadap status gizi menurut jenis kelamin tidak berbeda nyata antara anak laki laki dan perempuan (p>0.05). Namun pada saat pre-test ada perbedaan status gizi menurut jenis kelamin (p<0.05).
Artinya jenis kelamin tidak
mempengaruhi respon pemberian suplemen namun status gizi awal (masa lalu) anak yang berpengaruh terhadap respon pemberian suplemen selenium dan iodium. Meskipun demikian tetap perlu analisis gender untuk melihat kesetaraan status gizi, perolehan menu makanan bergizi seimbang, dan kesempatan sekolah anak laki-laki dan perempuan di daerah endemik GAKI. Dalam penelitian ini ternyata pemberian Se 45 µg/hari terhadap berat badan memiliki selisih 3.04 (paling baik). Hal ini dikarenakan bahwa mekanisme kerja selenium dalam bentuk aktif sodium selenat sangat berperan aktif sebagai antioksidan, komponen enzim GSH-Px.dan anti karsinogen (IOM, 2000) sehingga cepat dalam membantu proses penyerapan zat gizi dan sebagai luarannya
kenaikan berat badan anak mudah tercapai. Selain itu alasan yang paling masuk akal untuk menjelaskan mengapa berat badan anak dapat meningkat sesuai harapan dalam tujuan penelitian adalah adanya pemberian obat cacing ‘Albendazol 400 mg’ yang dapat membersihkan usus dari telur dan keberadaan semua jenis cacing. Selanjutnya menurut Semba (2007) menyebutkan bahwa selenium juga mampu secara langsung mencegah anemia dan semua penyebab kematian pada manusia karena selenium mampu mengurangi kapasitas penggunaan oksigen darah yang terjadi pada anak dengan tanda khas kelainan fisik, dan pada pasien dengan komplikasi jantung. Peningkatan status gizi terjadi pada semua kelompok perlakuan termasuk plasebo (1.96 kg), dari kelompok pemberian suplemen kapsul selenium + iodium yaitu rata-rata penambahan berat-badannya sebesar 2.09 kg. Sementara dilihat dari tinggi badan maka terjadi peningkatan tinggi badan anak 1.20-3.50 cm selama 4 bulan pengamatan (Tabel 34). Terjadinya peningkatan tinggi badan setelah pemberian suplemen Se+I (∆=1.7) pemberian iodium 50 µg/hari (∆=3.5) pemberian Se 45 µg/hari (∆=1.4), dan Plasebo (∆=1.2) menunjukkan bahwa anak usia 9-12 tahun yang memiliki tanda khas kretin masih tetap dapat tumbuh tinggi meskipun tanpa pemberian suplemen. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 34. Pemberian iodium memiliki pengaruh terbaik terhadap tinggi badan (p=0.00). Hal ini mirip dengan beberapa hasil penelitian dengan pemberian suplemen zinc 35– 40 mg/hari (Black, 2003) yang menunjukkan bahwa peningkatan tinggi badan sebagai cermin status gizi masa lalu dapat dikoreksi seiring dengan perkembangan motorik dan IQ anak dengan catatan selama intervensi anak tidak mengalami sakit yang dapat mengganggu proses penyerapan zat gizi di usus. Hasil pengamatan status gizi menunjukkan bahwa sebelum perlakuan ada 15 anak (13%) dengan kategori pendek, 7 anak (6.1%) termasuk kurang gizi, dan 49 anak (42.6%) menderita kurang gizi serta termasuk pendek (gizi buruk). Anak dengan status gizi buruk (underweight + stunted) sebelum perlakuan paling banyak pada kelompok plasebo (12.2%), selanjutnya kelompok iodium saja ada 13 anak (11.3%), kelompok selenium saja ada 12 anak (10.4%). Setelah diberi selenium 45 µg/hari dan suplemen kapsul iodium 50 µg/hari selama 2 bulan semua kelompok perlakuan tidak ada lagi anak yang memiliki gizi buruk kecuali
kelompok plasebo. Namun demikian setelah perlakuan masih ditemukan 10 anak (8.7%) dengan kategori stunted dan sebanyak 8 anak (7%) masih mengalami kurang gizi. Jadi secara keseluruhan ada peningkatan status gizi baik dari 44 anak (38.26%) menjadi 90 anak (78.26%). Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada anak remaja awal (usia 9-12 tahun) baik laki-laki maupun perempuan merupakan masa penting, karena selain mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu (misalnya penyakit infeksi, depresi, anemia dan diare) juga dapat mempengaruhi produktifitas dan aktivitas belajarnya. Oleh karena itu pemantauan status gizi perlu dilakukan secara berkesinambungan termasuk di daerah endemik GAKI.
Namun faktor
keterbatasan tenaga, waktu dan sarana pemantauan belum memungkinkan dilakukan pemantauan status gizi secara berkesinambungan akibatnya KMS anak sekolah tidak jalan. Hasil analisis status gizi sesudah perlakuan antar kelompok sangat berbeda nyata (p<0.001), kecuali pada kelompok Se saja bila dibandingkan dengan kelompok yang diberi suplemen iodium saja maupun Se+I. Kelompok plasebo sangat berbeda nyata (p<0.001) bila dibandingkan kelompok yang mendapat suplemen. Selanjutnya hasil analisis perumbuhan fisik dilihat dari status gizi anak dan perkembangan psikologis sama-sama dipengaruhi oleh masukan zat gizi selama periode tumbuh kembangnya. Kecerdasan anak ternyata dipengaruhi oleh hal yang lebih kompleks daripada pertumbuhan fisik. Kekurangan gizi pada masa tumbuh kembang anak akan berpengaruh baik pada kecerdasan maupun kondisi fisik mereka. Anak-anak yang kekurangan gizi, disamping akan memperlihatkan penampilan fisik yang buruk juga akan meperlihatkan perkembangan kecerdasan yang terlambat. Sebaliknya kadar gizi yang cukup dapat menampilkan perkembangan fisik yang baik tetapi belum tentu menjamin perkembangan kecerdasan yang baik (Husaini et al. 2001). Sementara hasil penelitian terhadap tikus terungkap bahwa kurang gizi menyebabkan “isolasi diri” yaitu mempertahankan untuk tidak mengeluarkan energi yang banyak dengan mengurangi kegiatan interaksi, aktivitas, perilaku eksploratorik, kurang perhatian dan motivasi yang rendah. Aplikasi teori ini pada manusia ialah bahwa pada keadaan kurang energi dan protein (KEP), anak
menjadi tidak aktif, apatis, pasif dan tidak mampu berkonsentrasi. Akibatnya, anak dalam melakukan kegiatan eksploratori fisik di sekitarnya hanya mampu sebentar saja dibandingkan dengan anak yang gizinya baik, yang mampu melakukannya dalam waktu yang lebih lama (Pollitt, 2000). Untuk melakukan aktivitas motorik, dibutuhkan ketersediaan energi dalam jumlah yang cukup banyak. Anak usia sekolah saat pelajaran olahraga, upacara bendera dengan berdiri, berjalan, berlari melibatkan suatu mekanisme
yang
memerlukan energi dalam jumlah yang tinggi. Dengan demikian anak sekolah yang menderita kekurangan energi dan protein biasanya selalu mengalami keterlambatan perkembangan psikomotorik dan tidak mampu konsentrasi dalam waktu lama. Selanjutnya, tahapan perkembangan aktivitas motorik anak sekolah yang cerdas akan menurunkan tingkat ketergantungan atau kontak yang terus menerus dengan para guru dan orangtua mereka. Keadaan ini tampaknya berpengaruh secara nyata terhadap mekanisme self-regulatory, sehingga anakanak menjadi lebih bersosialisasi dan ramah terhadap lingkungan sekitarnya. Sebaliknya keterlambatan locomotion dan perkembangan motorik anak sekolah akan merusak akses pada sumber-sumber eksternal yang akan berakibat kurang baik terhadap regulasi emosional dan menghambat perkembangan kecerdasan anak. Ini berarti bahwa tingkat kemandirian seorang anak akan berkorelasi secara positif dengan tingkat kecerdasan mereka. Anak-anak yang sudah mendapat gizi yang cukup selama periode perkembangan mereka masih memerlukan peluang untuk tumbuh mandiri yang diperlukan bagi perkembangan tingkat kecerdasan mereka (Husaini et al. 2001). Kemungkinan kenaikan berat badan anak pada kelompok Se+I diperkuat oleh efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) adalah 0.536 yang artinya 53.6% kenaikan berat badan anak penderita GAKI dipengaruhi oleh pemberian suplemen selenium dan iodium. Pada kelompok iodium saja dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan sebesar 0.398 artinya 39.8% kenaikan berat badan anak dipengaruhi oleh pemberian suplemen iodium saja, dan yang dipengaruhi selenium saja ada 40.3%. Namun pada kelompok plasebo juga mengalami kenaikan berat badan yang dipengaruhi obat cacing sebesar 44.1%.
Berdasarkan hasil analisis Adjusted R Square = 0.85 (85% anak kurang gizi menggunakan indikator BB/U dapat diperbaiki dengan suplemen Se dan Iod). Hal ini terjadi disamping karena tingkat konsumsi energi yang relatif cukup (1400 – 2000 Kal), protein 35-45 g, lemak 8.75 – 19.25 % juga disebabkan pemberian obat cacing Albendazole 400 mg satu kali sebelum intervensi zat gizi mikro dimulai. Menurut Stephenson et al.(1993) bahwa dengan pemberian dosis tunggal obat cacing Albendazole satu kali saja dapat memperbaiki pertumbuhan anak (peningkatan berat badan 1.6-1.75 kg) serta dapat meningkatkan kadar Hb anak di Kenya selama 4 bulan. Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak Energi
merupakan
sumber
zat
gizi
utama
untuk
beraktifitas.
Keseimbangan energi akan tercapai bila asupan energi sesuai dengan energi yang digunakan/ dikeluarkan. Energi yang digunakan tergantung kepada jenis pekerjaan dan aktifitas yang dilakukan sehari-hari. Dalam penelitian ini perhitungan kecukupan energi dilakukan menggunakan 24 hours Recall pada subsampel anak SD di desa endemik GAKI, dan frekuensi makan/hari. Berdasarkan wawancara dengan 41 anak diketahui bahwa belum ada keseimbangan energi dengan komposisi tubuh pada anak. Hasil analisis regresi linier antara intake energi /hari terhadap berat badan sebelum maupun sesudah diberi perlakuan tidak menunjukkan adanya hubungan yang nyata (p>0.05), begitu pula antara intake energi /hari terhadap tinggi badan anak juga tidak ada hubungan yang nyata (p>0.05) dengan R=0.16.
Dapat
disimpulkan sementara bahwa perbaikan status gizi anak baik dari indikator BB/U maupun TB/U tidak dipengaruhi oleh intake energi. Artinya perlakuan pemberian supelemen selenium dan iodium serta obat cacing sangat berpengaruh terhadap perbaikan status gizi anak di daerah endemik GAKI. Kebutuhan zat gizi (RDA) pada puncak Growth Spurt II (umur 10-20 tahun) baik laki-laki maupun perempuan seperti yang dikemukakan oleh Hartono (2000) dan IOM (2001) pada Tabel 11 ternyata untuk Se sebesar 280 (μg/hari) dan kebutuhan iodium antara 100-130 (μg/hari). Sementara menurut AKG (2004) kebutuhan selenium hanya 20 (μg/hari) dan iodium sebanyak 120 (μg/hari).
Dalam penelitian analisis kecukupan zat gizi selenium dan iodium menggunakan rekomendasi dari Hartono (2001) dan IOM (2001) mengingat selenium dan iodium yang diekskresi tubuh mencapai 50 μg/hari. Hasil analisis rata-rata intake zat gizi pada anak di daerah endemik GAKI menurut sumbangan kecukupannya dari rumah maupun makanan jajanan di sekolah dapat dilihat pada Lampiran 4-7. Diketahui bahwa persentase kecukupan energi (Kal), protein dan lemak pada anak masih sangat jauh dari seimbang, begitu juga dengan tingkat kecukupan mineral mikro seperti zat gizi besi, seng, selenium dan iodium. Hasil analisis regresi linier menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata (p>0.05) antara intake selemiun/hari dengan kadar selenium dalam plasma baik sebelum dan sesudah diberi perlakuan, begitu pula antara intake iodium /hari terhadap kadar iodium plasma anak juga tidak ada hubungan yang nyata (p>0.05) dengan R=0.15. Artinya pemberian supelemen selenium dan iodium serta obat cacing sangat berpengaruh terhadap perbaikan status defisiensi selenium dan iodium pada anak di daerah endemik GAKI. Dalam penelitian ini wawancara tingkat kecukupan konsumsi dilakukan dengan metode Recall 24 jam yang lalu oleh Bidan Desa dibantu oleh guru SD setempat. Dikarenakan anak-anak yang memiliki tanda khas kretin kebanyakan sulit berbicara dan menangkap pertanyaan dari Tim peneliti, maka dilakukan cross-chek dengan food frequency dan penimbangan makanan jajanan di sekolah. Secara tidak langsung terlihat adanya hubungan antara iodium dan selenium, dimana ketersediaan selenium yang rendah pada tanah diduga juga mengandung iodium yang rendah. Interaksi yang terbentuk antara iodium dan selenium bersifat sangat kompleks dan terkait dengan fungsi-fungsi selenium dalam selenoprotein. Selain itu selenium juga sangat dibutuhkan dalam proses perubahan T4 menjadi T3 selain enzim deiodonase (WHO, 2001). Sebaliknya yang menghambat proses perubahan T4 menjadi T3 dari bahan makanan yang banyak dikonsumsi oleh penduduk di daerah endemik adalah makanan yang mengandung goitrogenik.
Goitrogenik adalah zat yang dapat menghambat
pengambilan zat iodium oleh kelenjar gondok, sehingga konsentrasi iodium dalam kelenjar menjadi rendah. Selain itu, zat goitrogenik dapat menghambat perubahan iodium dari bentuk anorganik ke bentuk organik sehingga pembentukan hormon
tiroksin terhambat (Linder, 1992). Goitrogenik alami menurut Chapman (1982) terdapat dalam jenis pangan seperti 1) kelompok sianida (daun + umbi singkong, gaplek, gadung, rebung, daun ketela, kecipir, dan terung); 2) kelompok mimosin (pete cina dan lamtoro); 3) kelompok isothiosianat (daun pepaya); 4) kelompok asam (jeruk nipis, belimbing wuluh dan cuka), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Meskipun sudah diketahui jenis bahan makanan yang mengandung goitrogenik, namun kandungan zat gizi lain dalam bahan makanan tersebut tetap banyak membantu kecukupan gizi penduduk setempat. Berdasarkan hal tersebut, maka WHO (2001) sudah menganjurkan program penanggulangan GAKI dengan fortifikasi iodium pada garam dengan melakukan universal garam beriodium. Selanjutnya Burk, et al. (2006) mengatakan bahan makanan yang banyak mengandung selenium biasanya juga ditemukan banyak mengandung iodium, misalnya daging dan seafood (0.4-1.5 μg/g), sereal dan padi-padian (0.1-0.8 μg/g) tergantung pada kandungan selenium pada tanah. Lingkar Lidah menurut Kelompok Perlakuan Tabel 41 menunjukkan bahwa pemberian suplemen kapsul iodium maupun selenium selama dua bulan seolah-olah tidak ada manfaatnya bila dilihat dari besaran ukuran volume lingkar lidah anak di daerah endemik GAKI. Hal ini dapat dijelaskan dari ilmu patologi anatomis, bahwa cacat lahir atau penyakit bawaan lahir seperti dampak permanen dari defisiensi zat gizi mikro dalam waktu yang lama dan bersifat kronis adalah sulit untuk diperbaiki.
Begitu juga
‘glossitis’ dan kelainan bawaan lahir pada lidah akibat defisiensi zat gizi mikro yang sangat lama (Underwood, 2002).
Sampai saat ini kegunaan selenium
sebagai suplemen tambahan zat gizi yang tepat untuk setiap kasus kekurangan zat gizi mikro masih banyak diteliti untuk pencegahan dan pengobatan penyakit. Pengaruh suplemen selenium dan iodium terhadap volume lingkar lidah menunjukkan hasil yang negatif, artinya semua suplemen yang diberikan kepada anak penderita GAKI dengan 6-11 tanda khas kretin tidak berpengaruh positif. Namun demikian tetap terjadi perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan (p=0.001) setelah diberi suplemen. Hal ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan
jika pemberian suplemen dilakukan lebih dini kepada anak penderita GAKI maka diharapkan ada perbaikan atau koreksi dari perbesaran volume lingkar lidah. Kemungkinan ini diperkuat oleh efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) adalah 0.114 yang artinya 11.4% nilai volume lingkar lidah anak penderita GAKI dipengaruhi oleh pemberian suplemen selenium dan iodium. Selanjutnya kalau dilihat dari Tabel 41-42 dapat diperhitungkan bahwa pemberian Se+I memiliki selisih negative yaitu 3.5%-7.8% = -4.3%, pemberian I 50 µg/hari memiliki selisih 6.1% - 20.9% = - 14.8%, dan pemberian Se 45 µg/hari memiliki selisih 10.4% - 13.1% = -3.3% sedangkan pemberian kapsul plasebo memiliki selisih 7.8% - 11.3% = -3.5%. Hasil negatif dari lingkar lidah ini belum banyak penjelasan yang dapat mengartikan perubahan lingkar lidah setelah pemberian suplemen zat gizi mikro. Namun ada kemungkinan pada anak yang sebelum perlakuan menderita radang tenggorokan atau ada kelainan ‘glossitis’ sehingga anak menjadi sulit mengucap kata ‘A’ setelah pemberian suplemen selenium dan iodium menjadi sehat sehingga dapat mengucapkan kata ‘A’ dengan lancar akibatnya dapat merubah ukuran lingkar lidah anak setelah 2 bulan perlakuan. Kejadian penebalan lidah sehingga menyebabkan ukuran lingkar lidah menjadi lebih besar dari ukuran lingkar lidah normal dapat dijelaskan menurut ilmu penyakit dalam dan THT (Telinga-Hidung-Tenggorakan).
Adapun
penjelasan tersebut menyebutkan bahwa fenomena anak kekurangan iodium dan selenium akan mengalami penebalan lidah dan sulit mengucapkan ‘A’ seperti yang terjadi pada anak yang mengalami peradangan ‘tonsil’ di tenggorokan atau amandel (Quindom.com. 2006). Karena sakit atau sulit bicara maka umumnya anak yang defisiensi iodium dan selenium berat menjadi apatis dan motivasinya menurun seiring dengan penurunan IQ point (Van den Briel and West, 2000). Perkembangan pengetahuan biologi molekuler saat ini memungkinkan untuk mengidentifikasi kelompok bahan yang dapat merangsang produksi leukosit dan megakariosit, yang dikenal sebagai colony stimulating factors. Kelompok bahan ini termasuk granulocyte- dan granulocyte/monocyte- colony stimulating factors (G-CFS adan GM-CFS). Sitokin sekarang digunakan untuk pengobatan
pada kemoterapi penyakit kronis, termasuk kelainan lidah akibat cacat bawaan atau defisiensi zat gizi mikro yang kronis. Selenium khususnya seleno metionin atau seleno sistein mampu untuk merangsang produksi anti oksidan dan trombosit yang akhir-akhir ini telah dapat diidentifikasikan untuk menangkal radikal bebas dan memperlama hidup sel sehat dan menghentikan proses patologis sel maupun jaringan yang rusak (Chen & Berry, 2003). Pada umumnya anak yang sudah mengalami penebalan lidah atau memiliki lingkar lidah yang lebih besar dari ukuran lingkar lidah normal juga akan diikuti gejala penyakit ‘Hematinik’. Hematinik adalah faktor zat-zat gizi /diet yang esensial baik untuk sintesis hemoglobin maupun produksi eritrosit yang menurun atau memang sudah rendah saat lahir yang biasanya dialami oleh penderita kretin yang lahir di daerah endemik GAKI. Dilihat dari Tabel 44 ternyata tidak ada perbedaan tingkat risiko antara anak laki-laki dan perempuan, artinya anak laki-laki maupun anak perempuan yang memiliki lingkar lidah lebih besar dari normal meningkat jumlahnya meskipun sudah diberi perlakuan (p<0.001; r=0.58). Dengan demikian manfaat pemberian suplemen selenium dan iodium dengan dosis rendah selama dua bulan tidak memberikan dampak positif terhadap penebalan lingkar lidah anak di daerah endemik GAKI. Hal ini mungkin disebabkan karena waktu pemberian suplemen yang kurang lama (tidak enam bulan) dan dosis yang diberikan terlalu rendah untuk perbaikan kesehatan ‘Glossitis’ mulut dan lidah anak. Belum ada data tentang gangguan fungsi bicara (bisa sampai bisu) yang disebabkan kekurangan iodium tingkat berat seperti pada penderita kretin, sehingga dalam penelitian ini dilakukan diagnosis bentuk ringan dari kretin endemik. Skor IQ Anak menurut Kelompok Perlakuan Selanjutnya kalau dilihat status gizi dengan standar CDC (WHO, 2000) hubungannya dengan skor IQ pada anak di daerah endemik GAKI dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum perlakuan ada 19 anak (16.5%) dengan status gizi buruk dan memiliki kategori retardasi mental sangat berat dengan skor IQ kurang dari 25. Anak berstatus pendek ada 27 (23.5%) memiliki skor IQ antara 25–40 dan setelah dilakukan pemberian suplemen kapsul iodium
dan selenium dosis rendah selama 2 bulan ternyata ada peningkatan skor IQ yang sangat nyata (p=0.001; r=0.463).
Gambaran selengkapnya status gizi
hubungannya dengan skor IQ dapat dilihat pada Gambar 30. Banyak tes IQ untuk mengukur kualitas anak seperti tingkat pengetahuan, daya ingat sesaat, alasan abstrak, bagian kemampuan visual dan perasaan. Test IQ mengukur sebagian dari budaya seseorang baik yang nyata maupun budaya yang tidak dilakukan.
Namun biasanya untuk keperluan akademik sehingga
kurang baik untuk mengukur kreativitas anak. Setelah pengamatan secara acak, ternyata banyak faktor yang menetukan nilai/skor sehingga perlu diamati ulangan tes setiap minggunya karena dapat berubah antara 5-10 point. Untuk ukuran kemampuan verbal pada anak dengan kelainan fisik atau mental tertentu Wechsler tidak menganjurkan pengukuran verbal, karena memang sudah dapat dipastikan anak dengan kelainan pasti memiliki kemampuan verbal yang buruk. Hal ini juga diakui oleh Raven yang kemudian mengembangkan ‘Block Design’ untuk mengukur IQ melalui ketajaman pengamatan gambar berwarna yang diambil untuk dipasangkan ke gambar design utamanya. Model ini kemudian dikenal dengan nama ‘Modeled after Raven's Progressive Matrices’
sebagai Matrix
Reasoning (Morris, 2006). Peningkatan skor IQ setelah pemberian suplemen kapsul iodium 50 µg/hari ditambah selenium 45 µg/hari (15.7% - 9.4% = 6.3%) dari IQ sangat rendah/idiot yaitu IQ kurang dari 25 (retardasi mental berat) dan retardasi mental sedang (IQ=25-40) menjadi retardasi mental ringan (IQ=40-55). Pemberian iodium 50 µg/hari saja dapat meningkatkan 100% artinya dari 30.4% anak yang menderita retardasi mental berat (skor IQ <25) semua dapat dikoreksi menjadi retardasi mental tingkat sedang (skor IQ=40-55). Pemberian selenium 45 µg/hari juga dapat meningkatkan 100% artinya dari 29.6 % anak yang menderita retardasi mental berat (skor IQ <25) semua dapat dikoreksi menjadi tingkat sedang (skor IQ=40-55), dan plasebo (19.1% - 10.4% = 8.7%) dari kategori retardasi mental berat (skor IQ <25) menjadi tingkat sedang dengan skor IQ=40-55. Artinya dapat diambil kesimpulan sementara bahwa pemberian iodium 50 µg/hari atau selenium 45 µg/hari saja memberikan pengaruh terbaik terhadap skor IQ (p<0.001).
Kemampuan metakognitif diyakini sebagai kemampuan tingkat tinggi untuk menegemen pengetahuan. Metakognitif berhubungan dengan gaya kognitif dan strategi belajar (Limited, 1996).
Kemampuan kognitif dibutuhkan untuk
bekerja pada suatu tugas, sedangkan metakognisi penting untuk memahami bagaimana tugas itu akan dikerjakan. Kemampuan kognisi ada dua hal, yaitu penilaian terhadap diri sendiri (self assessment) dan menegemen diri sendiri sebagai kemampuan mengatus pengembangan kognitif diri sendiri (selfmenegement). Kemampuan metakognitif berhubungan dengan teori pembelajaran konstruktivis yang menempatkan kognisi dan pemahaman dalam diri individu (Imel, 2002). Secara teoritis kemampuan metakognitif dapat meningkatkan ketrampilan pemecahan masalah di kelas saat proses pembelajaran, namun sejauh yang penulis ketahui belum ada penelitian empiris yang mendukung atau menolak teori tersebut ketika diterapkan di dalam konteks pendidikan dasar di Indonesia. Untuk itulah penelitian dilakukan untuk melihat adanya pengaruh suplemen selenium dan iodium dalam meningkatkan skor IQ anak usia sekolah dasar. Hasil analisis selisih (∆) peningkatan skor IQ pada anak di daerah endemik GAKI menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian iodium saja atau pemberian suplemen selenium saja memiliki pengaruh terbaik untuk meningkatkan skor IQ anak. Tabel 49 menunjukkan bahwa pemberian selenium + iodium ternyata tidak efektif karena pada usia 9-12 tahun merupakan saat tumbuh cepat kedua sehingga yang dibutuhkan adalah lemak tidak jenuh khususnya arachidonic acid (ARA), sialic acid (SA) dan docosahexaenoic acid (DHA) dan iodium saja untuk perkembangan otak anak (Yehuda et al. 1999). Nilai rata-rata skor IQ anak sebelum perlakuan sebesar 24.5 – 30.9 artinya angka tersebut dalam kisaran skor IQ<25 yang memiliki indikasi bahwa anak-anak yang memiliki 6-11 tanda khas kretin di daerah endemik GAKI dalam penelitian ini menderita retardasi mental berat. Kemudian nilai rata-rata skor IQ anak sesudah perlakuan meningkat menjadi 35 – 42.5 artinya skor IQ anak dalam kisaran skor IQ=25-40 yang memiliki indikasi retardasi mental kategori sedang. Jadi dengan pemberian suplemen selenium 45 µg/hari saja atau suplemen iodium 50 µg/hari saja selama 2 bulan dapat meningkatkan skor IQ anak sebesar 18 point.
Jumlah Tanda Khas Kretin menurut Kelompok Perlakuan Dalam penelitian ini spektrum 6-11 tanda khas kretin yang paling cepat menunjukkan pengaruhnya dari pemberian suplemen selenium dan iodium adalah (motivasi belajar, sulit menangkap pembicaraan orang lain, benjolan di leher, anemia , ukuran lingkar lidah, dan gangguan pertumbuhan fisik=BB/U, TB/U). Hasil analisis selisih persentase dari post test dan pre test untuk variable tanda khas kretin (Tabel 50-51) Berdasarkan nilai selisih persentase antar kelompok anak yang menderita GAKI dengan tanda khas kretin yang diberi suplemen dapat disimpulkan bahwa pemberian suplemen selenium 45 µg/hari saja atau iodium 50 µg/hari atau selenium 45 µg/hari +iodium 50 µg/hari dapat menurunkan jumlah tanda khas kretin 1 point.
Sementara plasebo tidak dapat menurunkan tetapi tetap ada
penurunan sebesar 0.1 % . Artinya ada kemungkinan bila pemberian suplemen dilakukan dengan durasi yang lebih lama akan dapat menurunkan jumlah tanda khas kretin pada masa pertumbuhan anak penderita GAKI di daerah endemik. Tidak ada perbedaan hasil penurunan jumlah tanda khas kretin pada anak di daerah endemik GAKI Boyolali menurut kelompok perlakuan.
Hal ini
disebabkan karena pengukuran yang bersifat kualitatif tanpa menggunakan alat yang sudah standar atau baku, sehingga hasilnya kurang valid (Gambar 26). Faktor yang Mempengaruhi Respon Status Gizi Pada Tabel 64 terlihat bahwa pada semua kelompok suplemen mengalami peningkatan berat badan dan tinggi badan yang nyata (p<0.05) antara sebelum dan sesudah perlakuan. Efek bersih suplementasi Se dan I terhadap berat badan sebesar 1.96-3.04 kg dan terhadap pertambahan tinggi badan sekitar 1.2-3.5 cm (Tabel 34). Efek suplemen selenium dan iodium pada anak di daerah endemik GAKI ini sejalan dengan hasil penelitian suplemen selenium dan iodium pada anak penderita anemia terhadap berat badan meskipun nyata tetapi efek bersihnya kecil yaitu 0.26 SD (Brown et al. 2003) Artinya pemberian suplemen selenium 45 µg/hari dan iodium 50 µg/hari dapat mengurangi dampak memburuknya status gizi seiring dengan pertambahan umur pada masa growth sprout II.
Efek pemberian suplemen selenium dan iodium terhadap semua kelompok perlakuan ternyata tidak berbeda dengan plasebo. Artinya pada semua kelompok mengalami pertambahan berat badan dan tinggi badan tanpa melihat status anemia maupun status defisiensi selenium dan iodium. Namun demikian kejadian stunted pada kelompok plasebo tetap terbanyak yaitu 22.22 % dan underweight 23.31%. Meskipun perlakuan dengan pemberian suplemen relatif cepat (2 bulan) tetapi memiliki efek yang cukup besar terhadap perbaikan status gizi anak. Efek bersih BB/U +1.52 SD dan efek bersih TB/U +0.8 SD.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa suplementasi Se dan I dapat meningkatkan perbaikan pertumbuhan anak dengan tanda khas kretin di daerah endemik GAKI. Analisis Normalitas Data dan Uji ANCOVA Sebelum semua data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis, maka perlu dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan One-Sampel Kolmogorov-Smirnov Test, Program SPSS for Windows V.11 (Lampiran1). Hasilnya semua data dari tiap variabel sangat nyata (p=0.000) memiliki distribusi normal. Bukti ini diperkuat dengan efek bersih dari analisis peragam (Ancova) bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata antara sebelum dan sesudah perlakuan dengan pemberian suplemen kapsul selenium dan iodium dosis rendah selama dua bulan (Lampiran 8) Setelah yakin bahwa semua data memiliki distribusi normal, maka menurut disain penelitian ini digunakan analisis uji ANCOVA untuk mengetahui nyata tidaknya perbedaan sebelum dan sesudah perlakuan pemberian suplemen selenium dan iodium selama dua bulan pada anak di daerah endemik GAKI. Hasilnya semua variabel yang diteliti berbeda sangat nyata antara sebelum dan sesudah perlakuan (Paired Sampel T-test). Namun hasil korelasi Spearman antara jumlah tanda kretin, kategori ketinggian area desa, jenis kelamin, dengan variabel bebas seperti status gizi, lingkar lidah, skor IQ, jenis anemia dan kadar selenium maupun kadar iodium. Hasil analisis ANCOVA dapat dilihat pada Lampiran 9. Analisis regresi linier digunakan untuk melihat apakah pemberian suplemen selenium dan iodium yang diberikan menurut kelompok masing-masing variabel yang diteliti benar-benar bersih dari faktor-faktor pengganggu
(confounding factor). Hal ini perlu dilakukan khususnya untuk melihat manfaat bersih dari intervensi gizi selenium dan iodium terhadap status gizi yang sangat erat hubungannya dengan tingkat kecukupan energi /hari. Disamping itu data zat gizi rujukan untuk komposisi bahan makanan mikronutrien masih sangat minim sehingga menjadi masalah tersendiri dalam analisis konversi tingkat kecukupan zat gizi (dalam penelitian ini zat gizi selenium dan iodium). Selanjutnya analisis kepatuhan minum kapsul harian pada anak di daerah GAKI sangat tergantung pada kedisiplinan guru dalam meluangkan waktu saat istirahat untuk memberikan suplemen kapsul selenium dan iodium kepada anak didiknya di kelas. Tingkat kepatuhan minum suplemen dalam penelitian sebesar 79.17%-95.83% memiliki hubungan yang nyata dengan perbaikan skor IQ anak (p=0.009; r=0.243). Artinya kepatuhan anak dengan tanda khas kretin di daerah endemik GAKI di Kabupaten Boyolali dapat dikatakan ‘baik’ untuk keberlangsungan program, jika suplemen selenium dan iodium akan dijadikan alternatif program penanganan GAKI. Analisis Regresi Logistik Hasil analisis bivariate antara kadar Se dan I plasma dengan status gizi, skor IQ dan jumlah tanda khas kretin (Tabel 22) menunjukkan bahwa suplementasi selenium 45 µg/hr saja yang mempunyai nilai p < 0.05 yaitu perbaikan profil darah (kadar leukosit, MCV, kadar Se dan I plasma), status gizi (BB/U) dan skor IQ. Variabel independen lain seperti status gizi (TB/U) dan jumlah tanda khas kretin mempunyai nilai p > 0.05. Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa sampel yang diberi suplemen seleneium 45 µg/hr saja terlihat risiko anemia mikrositik hiperkromik disertai defisiensi Se dan I dan menderita kurang gizi lebih rendah dan bermakna (kadar leukosit, MCV, kadar Se dan I plasma) dibandingkan sampel yang diberi iodium 50 µg/hr atau Se+I (p<0.01; OR=0.31; 95%CI OR 0.19-0.62). Pemberian Se+I selama 2 bulan menunjukkan risiko menderita anemia makrositik hipokromok lebih rendah
dan bermakna dibandingkan sampel yang diberi suplemen Se
sebanyak 45 µg/hr atau I sebanyak 50 µg/hr saja (p<0.01; OR=0.64; 95%CI OR 0.11-0.99).
Berdasarkan Tabel 53 nilai Odd Ratio dan nilai p untuk status gizi anak yang diberi suplemen Iod 50 µg/hr tampak risiko untuk stunted (TB/U) lebih rendah dibandingkan dengan pemberian Se+I (p<0.01; OR=0.64; 95%CI OR 0.51-0.87). Sementara risiko untuk underweight (BB/U) lebih rendah dibandingkan dengan pemberian I saja (p<0.01; OR=0.44; 95%CI OR 0.21-0.67). Analisis Implikasi Kebijakan Pada hakekatnya, masalah GAKI dan spektrum kretin di daerah endemik masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu ditangani secara Nasional tetapi tidak boleh melupakan faktor budaya setempat/ lokal. Artinya endemisitas dari tiap lokasi dengan ketinggian daerah di atas permukaan air laut yang berbeda memiliki tingkat risiko yang berbeda juga. Dalam penelitian ini diketahui bahwa ada hubungan antara ketinggian lokasi SD atau tempat tinggal anak dengan kadar iodium dalam plasma darah yang sangat signifikan, yaitu makin tinggi lokasi SD dan tempat tinggal anak maka kadar iodium dalam plasma akan makin rendah (p=0.00; r=6.57). Begitu pula dengan semakin tinggi lokasi tempat sekolah dan tempat tinggal anak maka akan semakin rendah kadar selenium dalam plasma darah anak (p=0.00; r=7.20). Kesepakatan internasional antara Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2006) dengan para pengambil kebijakan bidang kesehatan di negara-negara berkembang memutuskan bahwa prevalensi Total Goiter Rate (TGR) sudah tidak layak lagi dipakai sebagai indikator prevalensi GAKI di daerah endemik. Sekarang dianjurkan menggunakan Urinary Iodine Excretion (UIE) sebagai indikator besarnya masalah GAKI di masyarakat. Namun dampak penggunaan data UIE di Indonesia belum juga menghasilkan keputusan yang tepat dalam penanganan GAKI dan spektrum kretin endemik. Begitu pula dengan upaya UNICEF dalam menggalakkan Universal Salt Iodisation (USI) di Indonesia ternyata memerlukan regulasi, law inforcement, social inforcement dan community inforcement dalam melaksanakan universal garam beriodium (USI). Sebagai perbandingan berikut disajikan hasil intervensi suplemen iodium di berbagai Negara (Lampiran 9).
Hal yang sama terjadi pada pemberian kapsul minyak beriodium, dimana kandungan Iodium setiap kapsul adalah sekitar 190 - 210 mg Iodium per 0,5 ml. Selanjutnya ditetapkan bahwa jumlah aman untuk setiap kapsul lipiodol adalah sebanyak 200 mg Iodium (Depkes, 2000). Sasaran untuk pemberian kapsul minyak beriodium di kecamatan endemik berat (prevalensi TGR > 30%) adalah wanita usia subur, ibu hamil, ibu menyusui dan anak sekolah dasar. Analisis Implikasi Keilmuan Selenium dan Iodium dalam darah manusia sangat bervariasi karena keadaan geografi, umur, dan perbedaan jumlah/jenis makanan yang dikonsumsi setiap hari. Misalnya anak penderita phenylketonuria dan Maple syrup urine asupan Se-nya rendah juga konsentrasi Se dalam darah (The Lancet, MedScape 2000). Artinya setiap anak kemungkinan dapat mengalami defisiensi selenium dan iodium atau sebaliknya mengalami kelebihan selenium dan iodium dalam darahnya. Oleh karena itu perlu pendidikan pengenalan bahan makanan yang mengandung banyak atau kurang selenium dan iodium, serta jenis bahan makanan yang dapat menghambat penyerapan iodium maupun selenium.
Underwood
(2002) mengatakan bahwa setiap bagian darah memiliki fungsi dan peran yang sangat spesifik dan bila salah satu kekurangan atau sampai kehabisan zat gizi maka tubuh seseorang akan mengalami kelainan yang bersifat sistemik. Sebagai contoh berdasarkan keadaan geografi, maka diketahui kecenderungan populasi yang hidup di daerah rendah kadar Se dalam tanah dan relatif rendah asupan Se dalam makanan memiliki angka kematian yang tinggi akibat kanker. Kebaruan Penelitian 1.
Penelitian ini menunjukkan bahwa dari 15 tanda khas kretin yang masih diragukan validitasnya secara klinis ternyata baru ditemukan 6-11 tanda khas kretin yang secara umum mudah dikenali sebagai tanda awal akan terjadinya kretin pada anak usia sekolah.
Tanda khas kretin yang paling dominan
berpengaruh terhadap skor IQ anak adalah lingkar dan tebal lidah dengan nilai pseudo R square = 0.903. Penebalan lidah pada anak usia sekolah di daerah endemik GAKI belum banyak diteliti sehingga masih sedikit referensi
tentang pentingnya penelitian pertumbuhan dan perkembangan lidah anak sejak lahir. 2.
Penelitian ini berhasil menunjukkan hubungan antara spektrum ‘kretin endemik’ dan jenis anemia mikrositik hiperkromik maupun anemia mikrositik hipokromik pada anak usia 9-12 tahun yang lahir di daerah endemik GAKI dan memiliki 6-11 tanda khas kretin. Adapun nilai pseudo R square 6-11 tanda khas kretin menurut kuatnya hubungan (R) dengan skor IQ adalah: i.
lidah membesar (pseudo R square = 0.90)
ii.
anemia /pucat, lemah, malas (pseudo R square = 0.89)
iii.
motivasi belajar kurang (pseudo R square = 0.88)
iv.
kurang dapat mendengar (pseudo R square = 0.84)
v.
pendek/cebol/ kerdil dibanding seusianya (pseudo R square = 0.83)
vi.
sulit diajak bicara, sulit menangkap pembicaraan orang lain (pseudo R square = 0.79)
vii.
mengalami gangguan pertumbuhan fisik/status gizi buruk/kurang gizi (pseudo R square = 0.78)
viii.
apatis, tidak bersemangat (pseudo R square = 0.73)
ix.
ada benjolan di leher (pseudo R square = 0.66)
x.
kulit berbintik/ bercak merah (pseudo R square = 0.56)
xi.
gangguan berjalan /langkah tidak teratur (pseudo R square = 0.39) Konsisi tersebut dapat dikoreksi dengan pemberian selenium 45 µg/hari dan iodium 50 µg/hari selama 2 bulan. Namun masih perlu dilakukan analisis yang lebih rinci tentang faktor perancu guna melihat faktor yang paling dominan mempengaruhi tanda khas kretin.
3.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pemeriksaan GAKI dengan teknik yang mengandalkan palpasi dan IEU tidak dapat secara langsung dihubungkan dengan skor IQ anak. Khususnya pada anak usia 9-12 tahun yang memiliki tanda khas kretin dan tinggal di daerah endemik GAKI.
Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki keterbatasan dari desainnya, yaitu tidak mampu menggunakan Randomizaed Control Trial (RCT) tetapi cukup menggunakan
eksperimen kuasi (Non Randomisasi) sebelum dan sesudah perlakuan. Hal ini dikarenakan lokasi yang sangat sulit dijangkau untuk dilakukan RCT pada sampel. Namun randomisasi Sekolah Dasar tetap dilakukan dalam penentuan kelompok perlakuan. Meskipun demikian nilai homogenitas pada semua sampel /subyek penelitian tetap tinggi (p=0.008) (Lampiran 8). Tingginya drop out sampel (44.14%) tidak mempengaruhi power statistik, karena sejak awal penelitian (saat penapisan) power statistik sudah di set tinggi (90%). Setelah terjadi drop out sampel 44.14% maka power statistik menjadi 87%. Hal ini terjadi karena sampel yang drop out tetap secara random sehingga tidak mengganggu tingkat kemampuan untuk mengambil kesimpulan karena distribusi sampel tetap seimbang dan homogen dan hasilnya tetap nyata (Murti, 2008 Komunikasi pribadi). Analisis data dalam penelitian ini belum mencakup semua faktor perancu yang mempengaruhi perbaikan profil darah, status gizi dan skor IQ anak, dan penurunan jumlah tanda khas kretin.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
Suplementasi Se 45 µg/hr
saja memberikan pengaruh terbaik terhadap
perbaikan kadar leukosit, MCV, kadar Se dan I plasma sangat nyata (p<0.01), dan terhadap status gizi (BB/U) serta skor IQ (p<0.05). 2.
Pemberian Iod 50 µg/hr memberikan pengaruh terbaik terhadap skor IQ (p<0.01) dan status gizi masa lalu menurut TB/U (p<0.05)
3.
Pemberian Se+I memiliki pengaruh terbaik terhadap profil darah (kadar eritrosit, MCH, MCHC) sangat nyata (p<0.01).
4.
Berdasarkan uji Δ Beda (LSD) ternyata pemberian suplemen Se 45 µg/hr secara nyata lebih baik daripada pemberian suplemen Iod 50 µg/hr maupun Se+I pada anak usia 9-12 tahun yang memiliki 6-11 tanda khas kretin. Hal ini dikarenakan lokasi endemik yang diambil satu tempat yaitu di Kabupaten Boyolali saja, sehingga ada kemungkinan akan lain hasilnya (Se+I yang terbaik) jika melibatkan anak dengan tanda khas kretin di daerah endemik GAKI lainnya.
Saran 1. Untuk memperbaiki pertumbuhan dan skor IQ anak yang memiliki tanda khas kretin di daerah endemik GAKI perlu diberikan suplemen selenium 45 µg/hari dan iodium 50 µg/hari (rasio 1:1). 2. Perlu penelitian lebih lanjut tentang interaksi Se dan I dengan dosis dan rasio yang berbeda terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak pada masa growth sprout II terutama yang memiliki tanda khas kretin. Perlu melibatkan langsung usaha kesehatan sekolah (UKS) melalui pemberdayaan UKS di daerah endemik GAKI menjadi UKS Waspada Kretin.
Tentu saja UKS
Waspada Kretin perlu dibina terus menerus secara kelembagaan dan managerial oleh Puskesmas di daerah endemik GAKI sehingga perlu relawan petugas gizi dan kesehatan yang setiap minggu atau bulan memberdayakan UKS yang ada di sekolah dasar menjadi UKS Waspada Kretin.
3. Mengingat zat gizi selenium dan iodium dalam DKBM maupun hasil analisis kandungan Se dan I lainnya masih sangat terbatas, maka perlu dilengkapi disertai dengan penelitian tentang bioavailabilitas Se dan I pada makanan Indonesia. Akhirnya dengan hasil penelitian ini, diharapkan pengelolaan program kesehatan dan gizi khususnya program penanganan GAKI di kabupaten/kota dapat melaksanakan survei cepat masalah gizi, untuk memperoleh gambaran GAKI di daerahnya dengan menggunakan 15 tanda khas kretin. Hal ini untuk mempermudah jangkauan program penanganan GAKI tanpa banyak analisis di Laboratorium yang mahal biaya dan memerlukan ketrampilan serta tenaga khusus. Selain itu perlu peningkatan fungsi Posyandu di daerah endemik GAKI menjadi Posyandu Waspada Kretin. Adanya Posyandu Waspada Kretin diharapkan semua lapisan masyarakat di perdesaan di daerah endemik GAKI dapat mengenali dengan benar tanda-tanda khas kretin dan segera bertindak untuk penanganan anak yang memiliki tanda khas kretin.
DAFTAR PUSTAKA ACC/SCN. 2001. Nutrition Policy Paper
No.
19. ADB Nutrition and
Development Series No.4. Attacking the Double Burden of Malnutrition in Asia and the Pacific. ADB, Manila, Philippines. Adiningsih, S.
2002.
Ukuran Pertumbuhan dan Status Gizi Remaja Awal.
Prosiding Konggres Nasional PERSAGI dan Temu Ilmiah XII. Jakarta. Ahmed F, Khan MR, Jackson AA. 2001. Supplemental Vitamin A enhances the response to weekly supplemental iron folic acid in anemia teenagers in urban Bangladesh. Am J. Clin Nutr. 74:108-15 Allen LH. 2004. Folate and Vitamin B12 Status in America. Nutrition Review 62(6): S29-S33 Allen L, Casterkine Sabel J. 2001. Prevalence and causes of nutritional anemia. CRC Press Florida:7-22 Anonim. 2004. Hemoglobin Structure. http://www.ags.uci.edu/blood_fluid Arisman. 2002. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Bagian Ilmu Gizi Fakultas Kedeokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Arthur, J.R., Fergus Nicol, and Beckket, G.J. 1993. Selenium Deficiency Thyroid Hormone Metabolism and Thyroid Hormone Deiodinases. Am. Jou. Clin. Nutr. 57: 236-238 BATAN. 1990. Analisis Pengaktif Neutron pada Laboratorium Teknologi Maju. Prosiding BATAN, Yogyakarta. Beauvieux MC Delmas, E Peuchant, A Couchouron, J Constans, C Sergeant, M Simonoff, JL Pellegrin, B Leng, C Conri and M Clerc. 1996. The enzymatic Antioxidant System in Blood and Glutathione Status in Human Immunodeficiency
Virus
(HIV)-Infected
Patients:
Effects
of
Supplementation with Selenium or Beta-Carotene. American Journal of Clinical Nutrition, Vol. 64: 101-107. Bender.A.David. 2002. Introduction to Nutrition and Metabolism. 3th. Edition. Taylor and Francis Group. London.
Benmiloud M, Chaoki ML. 1994. Prevention of Iodine Deficiency Disorder by Oral Administration of Lipiodol During Pergnancy. European J Endocrinol 130 (6):547-551 Biro Pusat Statistik – UNICEF, 1995. Garam Beriodium di Rumah Tangga, Konsumsi, Pengetahuan, Pilihan dan Penanganan. Jakarta. Black, M. 2003. The evidence linking zinc deficiency with children's cognitive and motor functioning. Department of Pediatrics, University of Maryland School
of
Medicine,
Baltimore,
MD
21201,
USA.
[email protected] Brody, T. 1999. Nutritional Biochemistry, 2 th edition. University of California at Berkeley. Berkeley, California. Brown, K.M; Pickard, K; Nicol, F; and Arthur J.R. 2003. Effect of organic and inorganic selenium supplementation on selenoprotein function in a scottish population. Rowett Research Institute Bulletin IoM, May, 2004. Risk, Side effect of selenium with herbal and food products. www.medscape.com Burk R.F., and Hill K.E. 1993. Regulation of selenoproteins. Annu. Rev. Nutr. 13:65-81. Burk R.F., Levander O.A. 2006. Selenium, (dalam:Shils ME, Shike M, Ross AC, Caballero B, Cousins RJ,eds). Modern Nutrition in Health and Disease. 10th ed.Philadelphia : Lipincott William & Wilkins. Carley, C. 2003. Anemia:When Is it Iron Deficiency? Janetti Publications Inc. Pediatr Nurs 29(2):127-133. Caroline Cassels and Désirée Lie. 2006. Major Cognitive Decline Linked to High Fat, High Copper Diet. Internet: Medscape CME News Posted 08/16/2006 Chapman. BA. 1982. A Medical Geography of Endemic Goiter in Central Java. A Disertation Submited to the Graduate of the Univesity of Hawaii. USA. Chavetz, PHM. 1990. Savety of intervention to reduce nutritional anemia. http://www.becomehealthynow.com.article.minerals Chen J, Berry MJ. 2003. Selenium and selenoproteins in the brain and brain diseases. Department of cell and Molecular Biology, University of Hawaii at Manoa, Honolulu 96866, USA. J Neurochem. Jul;86(1):1-12
Clark,G.W.B.,Smyrk,T.C.,Mirvish,S.S.,Anselmino,M.,Yamashita,Y.,Hinder,R.A. ,Clement Ip. 1996. The Chemopreventive Role of Selenium in Carcinogenesis. J.Am. Coll.Toxicol. 8:921-925. Clement Ip. 1998. Lessons from Basic Research in Selenium and Cancer Prevention. The Journal of Nutrition Vol.128. November 1998, pp. 18451854. Combs G.F.Jr. and Combs S.B. 1986. The Role of Selenium in Nutrition. Academic Press,inc. Craig JG. 1992. Human Development. New Jersey: A Sigmon & Schuster Company. Data Penilaian Kinerja Puskesmas. 2005. Data Penilaian Kinerja Pada Cakupan di Puskesmas Cepogo.
Laporan Kegiatan di Puskesmas Cepogo,
Kabupaten Boyolali. Jawa Tengah. DeMeester,T.R and Birt,D.F. 1998. Effect of Gastroduodenal juice and dietary fat on the development of Barretts esophagus and esophageal neoplasia and experimental rat model. Ann. Surg. Oncol.,1:252-261. Departemen Kesehatan R.I. 2000. Pedoman Distribusi Kapsul Minyak Beriodium. Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Jakarta. -----------------. 2002. Mengenal Kretin Yang Disebabkan Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI). Direktorat Gizi Masyarakat. Jakarta -----------------. 2003.
Gizi Dalam Angka. Ditjen Binkesmas, Direktorat Gizi
Masyarakat, Jakarta. Djokomoeljanto, R. Hadisaputro S, Darmono, Soetardjo, Toni S. 1993. Laporan Penelitian Pengalaman Penggunaan Yodium dalam Minyak Yodiol di Daerah Gondok Endemik.
Konggres Nasional III. Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia (PEKENI). Semarang: Badan Penerbit UNDIP. Djokomoeljanto, R. 2001. The Effect of Iodine Deficiency on Children, The Case of
Indonesia.
Materi
Simposium“Childhood
malnutrition:
Its
consequences and management” Solo 19 Februari 2001. ----------------------. 2002. Spektrum Klinik GAKI : dari Gondok hingga Kretin Endemik. Jurnal GAKI Indonesia. Vol.3, No.1. ISSN : 1412-5951
Dunn JT and FV der Haar. 1995. A Practical of Endemic Goiter among School Children in Some Parts of Sumatera, Jawa and Bali. Netherland. Dunn JT.
2002.
Iodine Excess in IDD Control Programe. Jurnal GAKI
Indonesia.2(1):20-24 Elnagar B et al. 1995. The Effect of Defferent Doses of Oral Iodized Oil on Goiter Size, Urinary Iodine and Thyroid Related Hormones. J.Clin. Endocrinol Metab 80(3):891-7 Elnour, A. and Hambraeus, L.
2000. Variable of Contribution on Biology
Investigation (Zn and Fe Serum, Retinal, Thyrothrophine) on Retardation Linier Growth of Pre-School Children. The American Journal of Clinical Nutrition. Volume 71 : 59-66 Elson M. Haas. 2003. The Complete Guide to Diet and Nutritional Medicine, Celestial Arts. J Neurochem. 2003 Jul;86(1):1-12 Etsuo Niki et.al. 1995. Interaction Among Vitamin C, Vitamin E and B-Carotene. American Journal Clinical Nutrion, Vol.62.1322S-6S. Faisal Anwar.1998. Telaah Beberapa Zat Gizi Mikro (Selenium). Jurusan GMSK Fakultas Pertanian IPB. Finley J.W., Clement Ip., Donald J.Lisk, Cindy D.Davis, Korry J.Hintze, and Phil D.Whanger.2001. Cancer Protective Propertirs of High Selenium Broccoli. Jurnal Agric.Food Chem, 49: 2679-2683. Florence and Setright. 1994. The Handbook of Preventive Medicine: A Complete Guide to Diet, Dietary Supplements anf Lifestile Factors in the Prevention of Disease. Kingsclear Books, Australia. Fomon SJ et al. 2003. Inevetable Iron Loss by Human Adolescent, with Calculations of the Requirement for Absorbed Micronutrient. American Society for Nutrition Science: 133: 167-172. www.asns.org Fox, S.I. 1993. Human Physiology. Wm. C. Brown Publisher, Iowa Frewin R, Henson, A Provan, D.
1997.
ABC of clinical hematology: iron
deficiency anemia. BMJ. 314:360 Frey, R. 2001.
Serum Iron and Selenium Level. Eds. Gale Encyclopedia of
Alternative Medicine. Farmington Hills, Michigan; Gale Group.
Gillespie S., Mclachlan M., Shrimpton R. 2003. Combating Malnutrition:Time to Act. Human Development Network: Health, Nutrition, and Population series.World Bank-UNICEF. Nutrition Assessment. Washington,D.C. Gibney M.J., Vorster H. And Kon Frans J. 2002. Introduction to Human Nutrition. Blackwell Science. Glinoer D, Delange F. 2000. The Potential Repercussions of Maternal, Fetal, and Neonatal Hypothyroxinemiaon The Progeny. Thyroid. Gibson R.S. (1990). Principles of nutrition and nutritional assessment. Oxford University Press. Hadisaputro S. (1993). Prevalensi GAKI dalam rangka evaluasi efektivitas distribusi kapsul minyak beriodium di Jawa Tengah. Simposium GAKI, UNDIP, Semarang. Hadisaputro,S. 1996. Survai Pemetaan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) di Jawa Tengah. Kerjasama Tim GAKI FK.UNDIP- Kanwil Prop Jawa Tengah. Hair, JE, Anderson RE, Tatham RL, Black WC. (1998). Multivariate data analysis. Upper Saddle River, NJ:Prentice Hall. Hartono B. 1994. Information Processing of the Learning Disabled Children Living in Iodine Deficient Area. Semarang. FK. UNDIP. Hartono, B. 2001. Perkembangan Fetus dalam Kondisi Defisiensi Iodium dan Cukup Iodium. Makalah dalam Temu Nasional GAKI. Semarang 4 – 5 November 2001 Hanim, D. Rimbawan. Purwoko, S. Triharyanto, E. 2001.
Pengaruh PMT
bergaram Iodium Tinggi dan Kapsul Iodium Dosis Rendah Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot dan Status Gizi Anak Perempuan Usia SD. Jurnal Kedokteran ‘YARSI’ ISSN No: 0854-1159 Vol. 9. No. 3 Tahun 2001. Hetzel, et. Al. 1990. The Iodine Deficiency Disorders : nature, pathogenesis and epidemiologi. World review of nutrition and diet Hetzel BS. Iodine Deficiency: an International Public Health Problem. In: Present knowledge in Nutrition. 6th edition. Editors: Myrtle L Brown .
International Life Sciences Insitute Nutrition Foundation, Washington DC, 1990, Chapter 35: 308. http://www.prs.k12.nj.us/schools/PHS/Science_Dept/APBio/pic/brain.gif. Hurlock B.E.
1978. Perkembangan Anak Jilid 1 dan jilid 2.
Edisi ke-6.
Terjemahan. PT. Gelora Aksara Pratama. Penerbit Erlangga, Surabaya. Husaini, A Mahdin; Jahari, B Abas; Harahap, Heryudarini; Halati, Siti; Nugraheni, Anita; Pollitt, Ernesto (2001). KMS Perkembangan Anak Teknologi Sederhana yang Relevan dengan Program Peningkatan Kualitas SDM. Medika No. 1 Tahun XXVII. Pp: 18. Imel, S. 2002.
Metacognitive skills for adult learning. http//www.cete.org.
/cve/index.asp. Diakses 30 Oktober 2006 IOM. 2000. Dietary Reference Intakes, For Vitamin C, Vitamin E, Selenium, and Carotenoids. National Academy Press. Washington, DC. Irianto, K. Dan Waluyo,K. 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat. Yrama Widya, Bandung. Hal: 237-258. James L.Groff and Sareen S.Gropper. 1999. Advanced Nutrition and Human Metabolism. Wadswoth Thomson Learning. James,J.S. 2001. The Expanding the Spectrum of Selenium for Health : AIDS Treatment News. No. 347. Internet: Medscape Posted 02/5/2001. Jensen Lautan. 1997. Radikal Bebas pada Eritrosit dan Lekosit. Cermin Dunia Kedokteran No.116:49-52. John R. Butterly; Richard E. Horowitz.
2006. Controversies in Laboratory
Medicine: A Series From the Institute for Quality in Laboratory Medicine. Internet: Medscape Posted 02/15/2006. Jooste P.L.; and Weight, M.J. 2000. The Evaluation of Efectiveness Salt Iodize, Elevation of Iodium Concentration and Goiter Status of School Children in Goiter Endemic. The American Journal of Clinical Nutrition 2000 Volume 71 : 75-80). Kanarek, Robin and Marks-Kaufman, R.1991.
Nutrition and Behavior New
Perspectives. Tufts University. Medford, Massachusetts. Katz J, West KP, Khatry SK. 2000. Maternal Low Dose Vitamin A or Beta Carotene Supplementation Has no Effect o Fetal Loss and Early Infant
Mortality: a Randomized Cluster Trial in Nepal. Am J. Clin Nutr 71:15701576 Koury MJ, dan Ponka P. 2004. New Insight into Erytropoesis: the role of folate, vitamin B12 and iron. Annu Rev. Nutr. 24:105-131 Lernershow S, Hosmer D, Klar J, Lwanga S. 1990. Adequacy of Sampel Size in Health Studies. Chichester : John Willey & Sons. Linder,MC.
1992.
Nutritional Biochemestry and Metabolism. Terjemahan.
Elsevier. New York. Limited, 1996.
Learning Concept. Open Learning Technology Corporation
Limited.
http//gwisz.circ.gwu.edu./kearsley.html. Diakses 12 Agustus.
2005 Liste,L.D., Prakash S. Sundaresan, and M.G. Vakantesh Mannar. 1995. Stability of iodine in iodized Salt. 8th World Salt Symposium. Vol.2: Edited by Rob M.Geertman, Elsevier, Amsterdam-Tokyo. Luo X.M, HJ Wei, CL Yang, J Xing, X Liu, CH Qiao, YM Feng, J Liu, YX Liu and Q Wu.1985. Bioavailabilities of Selenium to resident in Low Selenium Area of China. American Journal Clin.Nutrition. 42: 439-448. Marijana Matek, 2000. The importance of selenium to human health. The Lancet. July 15, 2000; volume 356, pp.233-241 Marit M., Gert P., Bendicht W. and Ulrich N W. 2000. Antioxidant and Thyroid Hormone
Status
In
Selenium
Deficient
Phenylketonuric
and
Hyperphenylalaninemic Patients. American Journal of Clinical Nutrition, Vol. 72, No. 4, 976-981, October 2000. Martianto, D.; Hartoyo, Khomsan, A.; Riyadi, H; Sukandar, D. 2003. Studi Evaluasi Program JPS. (Proposal) Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga.
IPB
dan
Sekretariat
Proyek
Program
Pengembangan JPS. BAPPENAS, Jakarta. Martianto,D. 2004. Gizi Pada Usia Remaja. Materi Bahan Kuliah Gizi Remaja pada Program Studi GMK, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. McKenzie RL, HM Rea, CD Thomson and MF Robinson. 1978. Selenium Concentration and Glutathione Peroxidase Activity in Blood of New
Zealand Infants and Children. American Journal of Clinical Nutrition, Vol 31, 1413-1418. Ministry of Health, Directorate General of Community Health Directorate of Community Nutrition. 2003. Technical Assisteance for Evaluation on Intensified Iodine Deficiency Control Project. IBRD LOAN No.4125-Ind. Morris, 2006. Major Cognitive Decline Linked to High Fat, High Copper Diet. Arch Neurol. 2006;63:1085-1088. Moeloek,F.A. 1999. Gizi sebagai Basis Pengembangan SDM Menuju Indonesia Sehat 2010. Razak Taha, Hardinsyah, dan Ambo Ala (Eds), Pembangunan Gizi dan Pangan dari Pespektif Kemandirian Lokal. Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan Indonesia (PERGIZI-Pangan) Indonesia dan Center Regional Resource Development and Community Empowerment Bogor. Muhilal. 2004. Monitoring and Evaluation of Nutrition Programme. Satelitte Meeting on Problem of
Designing Appropriate Nutrition Programs
Evaluation in Indonesia The Eight National Workshop on Food and Nutrition. Jakarta, 17-19 May 2004. Murti, B. 1996. Penerapan Metode Statistik Non-Parametrik Dalam Ilmu-Ilmu Kesehatan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Murti, B. 2006. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. UGM. Press, Yogyakarta. Osman A., Khalid B., Tan T.T.T., Wu L.L., Ng M.L. 1992. Protein energy malnutrition, thyroid hormone and goitre among Malysian Aborigines and Malays. Asia Pacific J Clin Nutr, 1: 13-20. Papalia DE, Olds SW. 1989. Human Development. United States of America : MCGraw-Hill. Purawisastra,S., Dahro,A.M., Santoso,S.B., Sukati, dan Muhilal.
2003.
Penetapan Kehilangan Iodium Bila Dicampur Bumbu Cabe dengan Menggunakan Iodium Isotop. Journal GAKI Indonesia. Vol.5-6, No.2:1-9. Pennington,J.A dan Schoen, S.A.1996. Contributions of food groups to estimated intakes of nutritional elements: Results from the FDA total diet studies, (1982-1991). Int J Vitam Nutr Res 1996;66:342-9.
Purves, A.; Sinauer, H.; Freeman,WH. 2004. The Science of Biology. 4th Edition. Sinauer
Associates
(www.sinauer.com)
dan
WH
Freeman
(www.whfreeman.com) Purwoko,S. Hanim,D. Widardo, Triharyanto,E. Dan Suriyasa,P. 2001. Hubungan Kecacingan pada anak sekolah dasar dengan kemiskinan keluarga di Kota Surakarta. Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Quindom.com. 2006. Classical Intelligence Test - 2nd Revision 60 questions, 4560 min. Internet: Medscape Quindom News Posted 08/16/2006. Rickert, V.I.
1996.
Adolescent Nutrition : Assessment and Management.
Chapman & Hall, New York. Rimbawan dkk. 2000. Studi Keterkaitan antara Defisiensi Selenium dan Defisiensi Iodium dalam Menetukan Masalah GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium) dan Upaya Penanggulangannya Melalui Fortifikasi Ganda. Institut Pertanian Bogor. Rodrigo MR., Franqoise M., Marleen B., Franqoise B.,Carl S., Marioa T.R., Jean N., Noemi P dan Jean V. 2003. Selenium and Iodine Suplementation of Rural Tibetan Children Affected by Kashin-Beck Osteoarthropathy. American Journal Clinical Nutrition. Vol 78: 137-144. Salim, A. 1999. Uji model Penanganan Anak Kretin dan GAKI Di Sekolah Dasar Daerah Gondok Endemik.
Laporan Penelitian Bagian Proyek
Pengembangan Kesehatan dan Gizi Masyarakat (CHN-III, IBRD Loan No. 3550-IND) Direktorat Binlitabmas, Ditjen DIKTI – Depdikbud. Jakarta. Saidin, S. 2001. Hubungan kandungan clor serum dengan hormon T3/T4 pada anak sekolah di daerah gondok endemik. Abstrak. www.gizi.net SCN, 2004. 5th Report on the World Nutrition Situation. Nutrition for Improved Development Outcomes. WHO, Geneva. Switzerland. Semba RD. 2007. Selenium. In: Nutritional Anemia. Kraemer K and Zimmermann MB. Eds. Sight and Life Press.Basel Switzerland. Seifert KL, Hoffnung RJ. 1987. Child and Adolescent Development. Boston: Houghton Mifflin Company.
Soekirman. 2002. Peran Gizi dalam Perencanaan Sumber Daya Manusia (SDM). Majalah Pangan. Edisi No.38/XI/Jan. Soekirman. 2003. Fortifikasi dalam Program Gizi: Apa dan Mengapa. Bulletin KFI. Stephenson,LS; Latham,MC; Adam,EJ; Nikoti,SN; and Pertet A. 1993. Physical Fitness, Growth and Appetite of Kenyan School Boys with Hookworm and Ascaris lumbricoides Infections Are Improved Four Months After a Single Dose of Albendazole. The Journal of Nutrition (Internet: Accepted 5 Agustus 2001) Stipanuk M.H. 2000. Biochemical and Physiological Aspects of Human Nutrition. W.B.Saunder Company. Philadelphia. Soetjiningsih. 1998.
Tumbuh Kembang Anak.
Bagian Kesehatan Anak. FK
Udayana, Bali. Editor: Gde Ranuh. Bagian Ilmu Kesehatan Anak UNAIR Surabaya. Suitor,C.J.W. and M.F.Crowley. 1984. Nutrition, Priciple and Application in Healthh Promotion. J.P.Lippincott Co.Philadelphia. Sunarti, Detty ST dan Zainal A.N.G. 2000. Kadar Selenium dan Aktivitas Glutation
Peroksidase
pada
Kasus-Kasus
Keguguran
di
RSUP
Dr.Sardjito. Susanto, R. 2001. GAKI, Penyakit Penyebab Retardasi Mental. Pertemuan ilmiah nasional ''Gangguan Akibat Kekurangan Iodium'' (GAKI) 2001 tanggal 4-5 November 2001 berlangsung di Semarang. Thaha AR. 2001. Pemetaan GAKI di Propinsi Maluku. Kerjasama FKM UNHAS dengan Kanwil Kesehatan Propinsi Maluku. Thaha AR, Dachlan DM dan Jalar N. 1997. Analisis Faktor Resiko Coastal Goiter. Jurnal GAKI Vol 1 Nomor 1 hal 9-17. Jakarta. Tapan K.Basu, Norman J.T. and Manohar L.G. 1999. Antioxidants in Human Health and Disease. CABI Publishing. Thomson CD, LK Ong and MF Robinson.1985. Effect of Supplementation with High-Selenium Wheat Bread on Selenium, Glutathione Peroxidase and Related Enzymes in Blood Components of New Zealand Residents. American Journal of Clinical Nutrition, Vol 41, 1015-1022.
Thomson CD. Assessment of requirements for selenium and adequacy of selenium status: a review. European Journal of Clinical Nutrition. 2004;58(3):391-402. Thompson Higher Education. 2007. Brain Development, Nutrition and Health Status. www.thompsonhigher.braindev.edu.com Tierny, LM; Mc.Phee,SJ; dan Papadakis, MA. 2003.
Diagnosis dan Terapi
Kedokteran untuk Penyakit Dalam_Buku 2. Salemba Medika, Jakarta. Hal: 63-121 Tim GAKI
FK UNDIP dan Kanwil Depkes RI 1996.
Pemetaan GAKI di
Propinsi Jawa Tengah. Laporan Penelitian, Kanwil Depkes Prop. Jawa Tengah. Tiwari, B.D.; and Godbole, M.M. 1996. Learning Disability and Low Motivation Its Effect of Iodium Deficiency in a Long Time. The American Journal of Clinical Nutrition. Volume 63 : 782-786. Tortora, G. J. and N. P. Anagnostakos. 2002. Principles of Anatomy and Physiology, 6th edition. Harper and Row Publisher, New York. Underwood, J.C.E. 2002. Patology and Sistemic Desease. Vol.2. EGC. Jakarta. P:707-772. UNICEF.
2003.
The State of the World’s Children-2003.
United Nations
Children’s Fund, New York. UNICEF. 2000. Strategy for Improved Nutrition of Children and Women in Developing Countries. Policy Review Paper E/2000, New York UNICEFWHO, New York. Untoro, R. 2004.
Pelaksanaan Program Fortifikasi Pangan Dalam Rangka
Penanggulangan Kurang Gizi Mikro.
Makalah pada Workshop KFI.
Cisarua Bogor, 9-10 Desember. US.FDA. 2002. Drug Interactions Checker to check for possible interactions. MedScape Journal of Medicine. Van den Briel, T.; West, C.E. 2000. The Effect of Increasing Ioidine Status on psychomotor
of school children (7-11 y.) The American Journal of
Clinical Nutrition. Volume 72 : 1179-1185.
Wardlaw, MG. Insel,PM. Seyler, MF. 1992. Contemporary Nutrition: Issue and Insights. Mosby Year Book. Toronto. Whanger.D. Philip.
2003. Selenium. Dept. of Environmental and Molecular
Toxicology. Oregon State University. World Health Organizaton. 1996. Trace Elements in Human Nutrition and Health. WHO Geneva. WHO. 1996. Selenium. UNEP,ILO and WHO. Geneva. WHO and FAO. 1998. Human Vitamin and Mineral Reguirements. Food and Nutrition Division. Rome. WHO. 1992. Indicators for assessing Iodine deficiency Disorders and Their control through Salt Iodization. WHO Geneva. WHO/CDC (World Health Organization/Center for Desease Control and Peventiion). 2005. Assessing Nutritional Status of Populations. Geneva. WHO/UNICEF/ICCIDD. 1994. Iodine and Health: Eliminating iodine deficiency disorders safely through salt iodization, Geneva. WHO/UNICEF. 2004. Focusing on anemia: toword and integrated approach fo effective anemia control. Geneva. WHO-SEARO. South East Asia - IDD Elimination Action Group. Febr 2000, New Delhi India. WHO. 2001. Assessment of Iodine Deficiency Disorder and Monitoring Their Elimination : A Guide for Programme Managers. Secong Edition. Geneva. www.medscape.com/journal, 2006. Accidental Discovery the Chicago Health and Drug Project (CHDP), Arch Neurol. 2006;63:1085-1088. Widodo.
2000.
Kasus Tersangka Kretin Baru di Kecamatan Srumbung,
Kabupaten Magelang. Balai Penelitian GAKI, Borobudur Magelang Jawa Tengah Widardo; Hanim,D; Purwoko,S; dan Triharyanto E.
2001.
Gerakan Awal
Pencegahan Kecacingan dengan Pemeriksaan Tinja pada Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. Laporan Pengabdian Masyarakat LP2M UNS, Surakarta.
WKNPG, LIPI. 2004. Angka Kecukupan Mineral: Besi, Iodium, Seng, Mangan, Selenium.
Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII.
PERSAGI, PERGIZI-PANGAN, PDGMI. Jakarta. www.current.med.com/ch13.html. Diagnosis and Medicine Theraphy. 2003. (Internet: Accepted 25 Agustus 2002) Yehuda S, Rabinovitz S, Mostofsky D.I. 1999. Essential fatty acids and selenium, iodine are mediators of brain biochemistry and cognitive functions. J Neurosci Res. 1999; 56:565-570. Zanden J.W.V. 1985. Human Development. United States of America : Alfred A. Knopf, Inc.
Lampiran 1. Lembar Data Kepatuhan Bulan ke
: 1 / 2
Nama anak
:______________________
SD
Umur
: ______th. ______bulan
Kelas :_______________
No.
Tanggal
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 dst
dst.nya
* (lingkari yg sesuai) :_______________
Minum Kapsul Obat (beri tanda 3) Ya Tidak Habis Tidak habis Sisa
Keterangan
Lampiran 2. Presensi Kepatuhan Siswa ’Minum Kapsul’ SDN Jombong I, Kecamatan Cepogo, Boyolali (Minggu – I) No. NAMA 1 Kabul Budiyanto 2 M. Sofan 3 Suryati 4 5 6 7 8 9 10 Dstnya........
Hr.1
Hr.2
Hr.3
Hr.4
Hr.5
Hr.6 Keterangan
Lampiran 3. LEMBAR JAWAB TES IQ : RAVEN SETS ‘A_AB_B’ NAMA UMUR ASAL SDN KELAS
: : : : IV / V
A 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 8 8 dstnya dstnya s.d 12 s.d 12 (Sumber : Morris, and Raven (2006)
AB
B 1 2 3 4 5 6 7 8 dstnya s.d 12
Lampiran 4. Jenis Menu Makanan Harian Anak di Derah Endemik GAKI Waktu
Jenis Hidangan
Pagi
Nasi
10.00 Siang
Tempe/Tahu/Telur ayam bumbu semur Sayur Tumpang tempe bayam + tauge Teh manis Bubur kacang hijau Nasi Ayam goring (sayap) Tempe /tahu bacem Lalap (tomat, timun, kobis) Sayur asem kobis+melinjo Sambal terasi
16.00 Malam
Nenas /papaya/pisang Buah-buahan dirujak Nasi sayur kobis /Mie goreng Telur dadar Tahu / tempe goreng Sayur bayam + mie sedap/indomie Jagung manis rebus
Keterangan :
Ukuran Rumah Tangga (URT) 2000 kilokalori 1700 1400 kilokalori kilokalori 2 sendok nasi 2 sendok 1 sendok nasi nasi 1 potong 1 potong ½ potong ½ piring
½ piring
½ piring
1 gelas 1 gelas 3 sendok nasi 1 potong 2 potong ½ mangkok
1 gelas 1 gelas 2 sendok nasi 1 potong 1 potong ½ mangkok
1 sn sayur
1 sn sayur
1 gelas ½ gelas 1½ sendok nasi 1 potong 1 potong ½ mangkok 1 sn sayur
1 sendok makan
1 sendok teh
1 potong 1 piring 3 sendok makan 1 potong 1 potong 1 sn sayur
1 potong ½ piring 2 sendok makan ½ potong 1 potong 1 sn sayur
1 sendok teh 1 potong ½ piring 1½ sendok makan ½ potong 1 potong 1 sn sayur
1 potong
1 potong
1 potong
untuk URT nasi digunakan sendok nasi (centong), bukan sendok makan
Lampiran 5. Nilai Zat Gizi Menurut Jenis Menu Makanan Harian Anak di Daerah Endemik GAKI Zat gizi Berat /porsi Energi (Kal) Protein (g) Karbohidrat (g) Lemak (g) Vitamin A (ug) Vitamin C (mg) Fe (mg) Zn (mg) Iodium (ug) Selenium (ug)
Nasi Pecel tahu 150 g 190.7 7.2 31 4.6 39.3 3.7 3 0.9 0.2 9.5
Nasi Tumpang 109 g 160.3 3.9 30.3 2.7 39.3 3.7 0.9 0.6 9.5
Nasi bumbu pecel/tumpang 83 g 83 3.4 28.3 2.6 0.5 0.5 0.3 9.5
Nasi/Mi e goreng 94 g 166.2 4.4 24.5 5.6 0.5 0.4 0.2 9.5
Karak / kerupuk 1 pt: 7 g 15.7 0.4 1.6 1 -
Lampiran 6. Rata-rata Nilai Zat Gizi Menurut Sumbangan Makanan Jajanan Anak di Daerah Endemik GAKI Zat gizi Energi (Kal) Karbohidrat Protein (g) Lemak (%) Fe (mg) Zn (mg) Iodium (ug) Selenium (ug)
Rata-rata Intake / Jenis kelamin L= 1700-2000 P= 1400-1800 L= 180 – 220 P= 160 – 180 L= 35 - 45 P= 35 - 45 L=12.0 – 19.25 P=8.75 – 13.25 L=13.0-29.0 P=11.5-14.5 L=5.46 – 6.11 P=4.50 – 6.62 L=10.6 – 11.57 P=11.2 – 11.87 L=12.95 – 13.3 P=12.75 – 13.4
AKG
Sumbangan (%) makjan di rumah
2000
0.97 – 8.35
Sumbangan (%) makjan di SD 3.61 – 18.77
1000
9.17 – 13.72
0.27 – 22.8
40
4.0 – 6.89
4.9 – 17.3
20
8.75 – 19.25
42.5 - 50
15
4.0 – 13.0
16.0 – 29
7-8
1.78 – 4.46
4.5 – 6.1
120
2.06 – 9.98
2.50 – 7.36
30
4.65 - 9.91
1.25 - 4.55
Lampiran 7. Daftar Bahan Pangan Goitrogenik (Chapman, 1982) No
Nama
Bahan
Kelompok Famili
Nama Latin
Zat Goitrogenik
Pangan 1
Singkong
Eupharbiaceae
Manihot sp
Sianida
2
Gaplek
Eupharbiaceae
Manihot sp
Sianida
3
Gadung
Dioscoreaceae
Dioscore
Sianida
4
Daun singkong
Eupharbiaceae
Manihot sp
Sianida
5
Kool dan Sawi
Crucifera
Cabbage &
Sianida
Brascia 6
Pete cina/ Lamtoro Leguminoceae
Leucaena
Isothiosianat
7
Daun pepaya
Carica
Carica Papaya
Sianida
8
Rebung
Gramineae
Bambosa Bamboo
Sianida
9
Daun Ketela
Cenvolvulaceae
Ipomea Batatas
Sianida
10
Kecipir
Leguminoceae
Psophocarpus sp
Sianida
11
Terung
Solanaceae
Solanum sp
Sianida
12
Petai
Leguminoceae
Parkia
Belum Diketahui
13
Jengkol
Leguminoceae
Pithecolobium
Belum Diketahui
14
Bawang
Allium
Allium sp
Disulf.Alipatik
15
Asam
Leguminoceae
Tamarindus Indica
Zat Asam
16
Jeruk Nipis
Rutaceae
Citrus Aurintfolia
Zat Asam
17
Belimbing Wuluh
Averrhoaceae
Averhoa Bilimbi
Asam
18
Cuka
-
-
Zat Asam
Lampiran 8 b Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov kategori IQ skor (Pre Statistic df Sig. group intervens defisiensi Se+I amat ,233 47 ,000 berat defisiensi Se+I berat ,199 52 ,000
Statistic
Shapiro-Wilk df
Sig.
,802
47
,000
,876
52
,000
a. Lilliefors Significance Correction b. group intervensi is constant when kategori IQ skor (Pre) = defisiensi Se+I sedang. It has been om
Test of Homogeneity of Variancea
group intervensi
Based on Mean Based on Median Based on Median and with adjusted df Based on trimmed mean
Levene Statistic 7,350 4,369
df1 1 1
df2 97 97
Sig. ,008 ,039
4,369
1
89,426
,039
7,017
1
97
,009
a. group intervensi is constant when kategori IQ skor (Pre) = defisiensi Se+I sedang. It has been omitted.
Lampiran 9. Jenis intervensi suplemen iodium di berbagai Negara (ACC/SCN, 2001) Jenis Tempat Intervensi Suplemen Cote d iodium I'voere melalui oral -
Uttar Pradesh India
Dosis/ Perlakuan -
Frekuen si -
Periode Intervensi 30 minggu
Target
-
-
-
Anak usia 915 thun
anak
Suplemen iodium
PRC
480 mg iodium dlm 1 mL poppy seed oil
-
12 bulan dan 18 bln
Anak sekolah
Fortifikasi iodium pd biskuit
Afrika Selatan
60 μgr iodium/hari
43X
43 minggu
Anak sekolah 6-11 th
Suplemen iodium
Bolivia
475 mg minyak beriodium
-
22 bulan
Anak sklh 512 th
Suplemen Iodium Suntikan minyak beriodium Suplemen iodium
Columbia
-
-
22 bulan
Equador
-
-
2 tahun
Malawi
-
-
Anak sekolah anak prp 610 th 6-8 tahun
-
Dampak / hasil Prevalensi gondok berkurang 64% (kekurangan besi), 12% (besi cukup) Adanya perbedaan kemampuan belajar anak yang defisiensi iodium berat dengan sedang 18% turun jadi 5% (12 bln anak diberi serum iodium dan minyak iodium), 18% jadi 9% (18 bln anak konsumsi garam beriodium dari pasar) Prevalensi konsentrasi iodium turun dari 97% jadi 5% Tidak ada pengaruh pemberian suplemen dibanding kontrol Adanya perbaikan IQ Tes IQ lebih baik Tidak ada efek perkembangan mental karena 25% partisipan keluar