PENGARUH PEMBERIAN SARI WORTEL (Daucus carota L.) TERHADAP KERUSAKAN HISTOLOGIS SEL HEPAR MENCIT AKIBAT PEMBERIAN PARASETAMOL
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
WINULANG SABDO NUGROHO G0006169
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul : Pengaruh Pemberian Sari Wortel (Daucus carota L.) terhadap Kerusakan Histologis Sel Hepar Mencit akibat Pemberian Parasetamol Winulang Sabdo Nugroho, NIM : G0006169, Tahun : 2010 Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Pada Hari Jumat, Tanggal 21 Mei 2010 Pembimbing Utama Nama : Muthmainah, dr., M.Kes NIP : 19660702 199802 2 001
(................................)
Pembimbing Pendamping Nama : Slamet Riyadi, dr., M.Kes. NIP : 19600418 199203 1 001
(................................)
Penguji Utama Nama : S. B. Widjokongko, dr., MPd., PHK NIP : 19481231 197609 1 001
(................................)
Anggota Penguji Nama : Made Setiamika, dr., Sp.THT-KL (K). NIP : 19550727 198312 1 002
(................................)
Surakarta,
Ketua Tim Skripsi
Sri Wahjono, dr., M. Kes NIP : 19450824 197310 1 001
Dekan FK UNS
Prof. Dr. A.A. Subiyanto, dr.,MS NIP : 19481107 197310 1 003
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, 06 Mei 2010
Winulang Sabdo Nugroho G0006169
ABSTRAK Winulang Sabdo N., G0006169, 2010, Pengaruh Pemberian Sari Wortel (Daucus carota L.) Terhadap Kerusakan Histologis Sel Hepar Mencit Akibat Pemberian Parasetamol. Skripsi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Tujuan penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian sari wortel secara peroral dalam mencegah kerusakan sel hepar mencit yang terpapar parasetamol, dan untuk mengetahui pengaruh peningkatan dosis sari wortel dalam meningkatkan efek proteksinya. Metode penelitian: Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik dengan post test only controlled group design. Sampel berupa mencit jantan, galur Swiss webster berumur 2-3 bulan dengan berat badan + 20 gr. Sampel sebanyak 28 ekor dibagi dalam 4 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor mencit. Teknik sampling yang dipakai adalah accidental sampling. Kelompok kontrol, mencit diberi aquades 0,1 ml peroral perhari selama 14 hari dan pada hari ke-12, 13 dan 14 diberi tambahan aquades 0,1 ml peroral perhari. Kelompok perlakuan 1, mencit diberi aquades 0,1 ml peroral perhari selama 14 hari dan parasetamol peroral dosis 5,07 mg/20grBB mencit peroral pada hari ke-12, 13 dan 14. Kelompok perlakuan 2, mencit diberi sari wortel 130 mg/20grBB mencit peroral selama 14 hari dan parasetamol dosis 5,07 mg/20grBB mencit pada hari ke-12, 13 dan 14. Kelompok perlakuan 3, mencit diberi sari wortel 260 mg/20grBB mencit peroral selama 14 hari dan parasetamol dosis 5,07 mg/20grBB mencit peroral pada hari ke-12, 13 dan 14. Hari ke-15, mencit dikorbankan dengan cara neck dislocation kemudian organ hepar diambil dan dibuat preparat dengan metode blok parafin dan pengecatan Hematoksilin Eosin (HE). Gambaran histologis hepar diamati dan dinilai berdasarkan kerusakan histologis yang berupa inti pyknosis, karyorrhexis dan karyolysis. Data dianalisis dengan menggunakan uji Kruskal Wallis (α = 0,05) dan dilanjutkan dengan Uji Statistik Mann Whitney (α = 0,05). Hasil penelitian : Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara keempat kelompok perlakuan. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna antara kelompok KP1-KP3 dan menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara KP1-KK, KP1-KP2, KP2 KK, KP2 –KP3, KP3-KK. Simpulan penelitian : Sari wortel dapat mengurangi kerusakan sel hepar mencit akibat paparan parasetamol tetapi pada peningkatan dosis sari wortel yang melebihi dosis tertentu, tidak meningkatkan efek proteksinya terhadap kerusakan sel hepar mencit. Kata kunci: Sari wortel, parasetamol, kerusakan sel hepar
ABSTRACT Winulang Sabdo N., G0006169, 2010. The Influence of Carrot Essence (Daucus carota L.) to Liver Cell Damage Histologist of Mice as a Result of Induce Paracetamol. Script, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta. Objective: The objective are to know the influence of carrot essence to the liver cell damage of mice which is induced by paracetamol and the increase of carrot essence dose can also increase protection effect to the liver cell damage of mice which is induced by paracetamol. Methods: This was a laboratory experimental research with post test only controlled group design. Samples in this research were twenty eight male mice, Swiss webster type, 2-3 months old and + 20 gr of each weight. Samples divided into 4 groups, each group has seven mices. Mice for control group will not be given paracetamol and carrot essence, it was given aquadest 0,1 ml/20 gr weight of mice for 14 days, also added aquadest 0,1 ml/20 gr weight of mice on the day 12, 13 and 14. The first treatment group will be given aquadest 0,1 ml/20 gr weight of mice and also paracetamol with dose 5,07 mg/20gr weight of mice on the day 12, 13 and 14. The second treatment group will be given carrot essence dose I which consist of 130 mg/20gr weight of mice for 14 days in a row and also paracetamol dose 5,07 mg/20gr weight of mice on day 12, 13 and 14. The third treatment group will be given carrot essence dose II which consist of 260 mg/20gr weight of mice for 14 days in a row and also paracetamol dose 5,07 mg/20gr weight of mice on day 12, 13 and 14. Finally on day 15th, mice were sacrificed with neck dislocation. After that, we made preparation from the liver that stained with Hematoxillin Eosin (HE). Preparation was observed and based on the liver histological damage (pyknosis, karyorrhexis and karyolysis). Data were analized by Kruskal Wallis (α = 0,05), and continued by Mann Whitney (α = 0,05) statistics test. Results: Result of Kruskal Wallis showed that there was a significant difference between 4 groups. Result of Mann Whitney method showed that there was not the significant difference between group KP1-KP3 and it was a significant difference between KP1-KK, KP1-KP2, KP2 -KK, KP2 –KP3, KP3-KK groups. Conclusion: According to this research, we concluded that the feeding of carrot essence was able to decrease the liver cell damage of mice but the increase of carrot essence dose which exceed certain dose was not followed by the increase of protection effect to the liver cell damage of mice which was induced by paracetamol. Key words : Carrot essence, paracetamol, liver cell damage.
PRAKATA
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan berkat dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Pengaruh Pemberian Sari Wortel (Daucus carota L.) Terhadap Kerusakan Histologis Sel Hepar Mencit Akibat Pemberian Parasetamol” yang merupakan salah satu syarat memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dengan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian hingga penyusunan laporan ini. Maka pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H.A.A. Subijanto, dr., MS, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. 2. Sri Wahjono, dr., M.Kes, selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. 3. Muthmainah, dr., M. Kes, selaku Pembimbing Utama yang telah meluangkan waktu dan tenaganya dalam memberikan bimbingan, nasihat, dan motivasi bagi penulis. 4. Slamet Riyadi, dr., M.Kes. selaku Pembimbing Pendamping yang telah meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, nasihat, dan motivasi bagi penulis. 5. S. B. Widjokongko, dr., MPd., PHK, selaku Penguji Utama yang telah memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. 6. Made Setiamika, dr., Sp.THT-KL (K), selaku Anggota Penguji yang telah memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. 7. Papa, mama, dan kakak tercinta atas dukungan, doa, semangat dan cinta kasih yang telah kalian berikan. 8. Seluruh Dosen dan Staf Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 9. Bagian Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah berkenan memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. 10. Teman-teman Anatomi A8, Pbl B-2, FK UNS 06, PMK, CYTO atas dukungan dan semangat yang diberikan. 11. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis mengharapkan kritik serta sumbang saran di masa mendatang untuk peningkatan karya ini. Semoga karya ini bermanfaat bagi semua. Surakarta, 06 Mei 2010
Winulang Sabdo Nugroho
DAFTAR ISI
PRAKATA ......................................................................................................
vi
DAFTAR ISI....................................................................................................... vii DAFTAR TABEL..............................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................
xi
BAB I. PENDAHULUAN...............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................
1
B. Perumusan Masalah…………………………………………........
3
C. Tujuan Penelitian............................................................................
3
D. Manfaat Penelitian…………………………………………….....
3
BAB II. LANDASAN TEORI..........................................................................
5
A. Tinjauan Pustaka..........................................................................
5
1. Wortel........................................……………………….........
5
2. Parasetamol…………………………………….………........
9
3. Struktur histologis hepar ………………….……………......
11
a. Lobulus Hepar...................................................................
11
b. Parenkim Hepar................................................................
12
c. Kanakuli Biliaris................................................................. 12 d. Sinusoid Hepar..................................................................
13
4. Kerusakan Hepar Akibat Parasetamol..................................... 14 5. Mekanisme Perlindungan Sari Wortel Terhadap Kerusakan Sel Hepar Akibat Parasetamol .............................................. 16 B. Kerangka Pemikiran...................................................................
19
C. Hipotesis.....................................................................................
20
BAB III. METODE PENELITIAN ..................................................................
21
A. Jenis Penelitian............................................................................
21
B. Lokasi Penelitian ……………………………………………....
21
C. Subjek Penelitian.........................................................................
21
D. Teknik Sampling.......................................................................... 21 E. Rancangan Penelitian.................................................................... 22 F. Identifikasi Variabel Penelitian..................................................
23
G. Definisi Operasional Variabel……………………………….....
24
1.
Variabel Bebas………………………………………….....
24
2.
Variabel Terikat……………………………………….......
24
3.
Variabel Luar yang Dapat Dikendalikan……………….....
25
4.
Variabel Luar yang Tidak Dapat Dikendalikan...................
26
H. Alat dan Bahan………………………………………………...... 26 I. Cara Kerja....................................................................................
27
J. Teknik Analisis Data Statistik……………………………….....
34
BAB IV. HASIL PENELITIAN…………………………………………........
35
A. Data Hasil Penelitian……………………………………….......
35
B. Analisis Data……………………………………………….......
36
BAB V. PEMBAHASAN………………………………………………….....
38
BAB VI.SIMPULAN DAN SARAN................................................................
44
A. Simpulan……………………………………………………....
44
B. Saran……………………………………………………….......
44
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………....
45
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Rata-rata jumlah kerusakan sel hepar mencit pada masing-masing kelompok
Tabel 2
Ringkasan hasil Uji Mann Whitney Kerusakan Sel Hepar Mencit setelah Perlakuan pada Kelompok Kontrol, Perlakuan I, II, dan III
Tabel 3
Jumlah inti sel hepar yang mengalami piknosis, karyoreksis dan karyolisis dari tiap 100 sel di zona sentrolobuler untuk kelompok kontrol (KK)
Tabel 4
Jumlah inti sel hepar yang mengalami piknosis, karyoreksis dan karyolisis dari tiap 100 sel di zona sentrolobuler untuk kelompok perlakuan I ( KP1)
Tabel 5
Jumlah inti sel hepar yang mengalami piknosis, karyoreksis dan karyolisis dari tiap 100 sel di zona sentrolobuler untuk kelompok perlakuan II ( KP2)
Tabel 6
Jumlah inti sel hepar yang mengalami piknosis, karyoreksis dan karyolisis dari tiap 100 sel di zona sentrolobuler untuk kelompok perlakuan III ( KP3)
Tabel 7
Hasil uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov untuk jumlah kerusakan sel hepar mencit pada 4 kelompok mencit
Tabel 8
Hasil uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov setelah Transform untuk jumlah kerusakan sel hepar mencit pada 4 kelompok mencit.
Tabel 9
Hasil uji Kruskal Wallis untuk jumlah kerusakan sel hepar mencit pada 4 kelompok mencit
Tabel 10 Hasil uji Mann Whitney antara kelompok kontrol (KK) dan kelompok perlakuan I ( KP1) Tabel 11 Hasil uji Mann Whitney antara kelompok kontrol (KK) dan kelompok perlakuan II ( KP2) Tabel 12 Hasil uji Mann Whitney antara kelompok kontrol (KK) dan kelompok perlakuan III ( KP3)
Tabel 13 Hasil uji Mann Whitney antara kelompok perlakuan I ( KP1) dan kelompok perlakuan II ( KP2) Tabel 14 Hasil uji Mann Whitney antara kelompok perlakuan I ( KP1) dan kelompok perlakuan III ( KP3) Tabel 15 Hasil uji Mann Whitney antara kelompok perlakuan II ( KP2) dan kelompok perlakuan III ( KP3) Tabel 16 Tabel konversi dosis untuk manusia dan hewan Tabel 17 Daftar volume maksimal bahan uji pada pemberian secara oral
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Grafik rata-rata jumlah kerusakan sel hepar mencit setelah perlakuan pada tiap-tiap kelompok.
Gambar 2.
Gambar histologis zona sentrolobuler lobulus hepar mencit kelompok kontrol (KK) (pengecatan HE, perbesaran 400 X dengan mikroskop OptiLab)
Gambar 3.
Gambar histologis zona sentrolobuler lobulus hepar mencit pada kelompok perlakuan I (KP1) (pengecatan HE, perbesaran 400 X dengan mikroskop OptiLab)
Gambar 4.
Gambar histologis zona sentrolobuler lobulus hepar mencit pada kelompok perlakuan II (KP2) (pengecatan HE, perbesaran 400 X dengan mikroskop OptiLab)
Gambar 5.
Gambar histologis zona sentrolobuler lobulus hepar mencit pada kelompok perlakuan III (KP3) (pengecatan HE, perbesaran 400 X dengan mikroskop OptiLab)
Gambar 6.
Mencit
Gambar 7.
Sari Wortel
Gambar 8.
Menyonde mencit
Gambar 9.
Cervical Dislocation
Gambar 10.
Mikroskop OptiLab
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Pengamatan pada Kelompok Kontrol (KK) Lampiran 2. Hasil Pengamatan pada Kelompok Perlakuan I (KP1) Lampiran 3. Hasil Pengamatan pada Kelompok Perlakuan II (KP2) Lampiran 4. Hasil Pengamatan pada Kelompok Perlakuan III (KP3) Lampiran 5. Uji Statistik One-Sample Kolmogorov-Smirnov untuk Jumlah Kerusakan Sel Hepar Mencit Lampiran 6. Uji Statistik One-Sample Kolmogorov-Smirnov setelah Transform untuk Jumlah Kerusakan Sel Hepar Mencit Lampiran 7. Uji Statistik Kruskal Wallis untuk Jumlah Kerusakan Sel Hepar Mencit Lampiran 8. Uji Statistik Mann Whitney untuk Jumlah Kerusakan Sel Hepar Mencit Lampiran 9. Tabel Konversi Dosis Untuk Manusia dan Hewan Lampiran 10. Daftar Volume Maksimal Bahan Uji Pada Pemberian Secara Oral Lampiran 11. Foto-foto Preparat Lampiran 12. Alat dan Bahan Penelitian
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hepar merupakan organ pencernaan terbesar dengan berat antara 1,21,8 kg atau kurang lebih 25 % berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen. Hepar memiliki peran penting dalam proses metabolisme dan regulasi. Hepar memiliki fungsi bermacammacam, antara lain metabolisme lemak, karbohidrat, dan protein, kemudian fungsi memproduksi protein plasma dan empedu. Hepar dengan fungsinya yang sangat penting sering menjadi target organ yang memiliki kerusakan akibat paparan bahan-bahan kimia (Hodgson dan Levi, 2000). Salah satu obat yang termasuk hepatotoksin adalah parasetamol (Murray et al., 2003). Hepatotoksisitas parasetamol dapat terjadi pada pemberian dosis tunggal 10-15 gr (200-250 mg/kg BB) (Wilmana, 1995). Penggunaan parasetamol dalam dosis tinggi dan waktu yang lama dapat menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan. Mekanisme toksisitas parasetamol pada orang dewasa diakibatkan oleh penggunaan lebih dari 20 tablet yang masingmasing mengandung 500 mg parasetamol. Sebelum pengobatan yang efektif dikembangkan sekitar tahun 1973, nekrosis hepar akut terjadi pada kurang lebih 20% penderita keracunan parasetamol (Kusminarno, 1998). Hal ini timbul sebagai akibat dari produksi N-asetil-p-benzoquinonimin (NAPQI)
1
berlebih sebagai metabolit reaktif parasetamol yang mengandung radikal bebas (David et al., 1998). Tubuh manusia menghasilkan senyawa antioksidan, tetapi tidak selalu cukup kuat untuk berkompetisi dengan radikal bebas. Kekurangan antioksidan dapat dihasilkan dari produk seperti rempah, herbal, sayuran, dan buah (Hernani dan Rahardjo, 2006). Wortel (Daucus carota L.) merupakan bahan pangan (sayuran) yang digemari dan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan, wortel mempunyai nilai kandungan vitamin A yang tinggi yaitu sebesar 12.000 SI. Wortel mengandung beta karoten sebanyak 6-20 mg (Hernani dan Rahardjo, 2006). Penelitian dari National Cancer Institute mengaitkan kandungan tinggi beta karoten dengan pencegahan kanker, karena sifat antioksidannya yang melawan kerja destruktif sel-sel kanker. Beta karoten juga membantu sistem kekebalan tubuh dengan menghasilkan killer cell alami (IPTEKnet, 2005) Dengan besarnya potensi antioksidan yang terkandung dalam wortel tersebut dan efek proteksi wortel terhadap hepar belum banyak diteliti, maka peneliti bermaksud ingin mengetahui apakah wortel yang biasa dikonsumsi masyarakat sehari-hari dapat memberikan efek proteksi terhadap hepar mencit yang diinduksi parasetamol.
B. Perumusan Masalah Perumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1.
Apakah pemberian sari wortel secara peroral dapat mencegah kerusakan sel hepar mencit yang terpapar parasetamol ?
2.
Apakah peningkatan dosis sari wortel dapat meningkatkan efek proteksi terhadap kerusakan sel hepar mencit yang terpapar parasetamol ?
C. Tujuan Penelitian 1.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian sari wortel secara peroral dalam mencegah kerusakan sel hepar mencit akibat paparan parasetamol.
2.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh peningkatan dosis sari wortel dalam meningkatkan efek proteksi terhadap kerusakan sel hepar mencit akibat paparan parasetamol.
D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis: a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh sari wortel dalam mencegah kerusakan sel hepar mencit yang terpapar parasetamol. b. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut, misalnya penelitian dengan parameter imunologi.
2.
Manfaat Aplikatif: Sebagai bahan pertimbangan dalam mengembangkan wortel tanaman obat (fitofarmaka) yang berkhasiat hepatoprotektor.
menjadi
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Wortel (Daucus carota L.) a. Nama Botani Nama botani dari wortel adalah Daucus carota L (Warintek, 2005). b. Nama daerah Wortel mempunyai nama di tiap wilayah yang berbeda yaitu carrot (Inggris), Carrotte (Perancis), Bortel (Belanda), Wortel (Indonesia), Bortol (Sunda), Ortel (Madura), Wortel, Wortol, Wertol, Wertel, Bortol (Jawa) (IPTEKnet, 2005). c. Deskripsi Wortel merupakan tanaman semusim, tinggi 1-1,5 m, tumbuh di daerah sejuk bertemperatur 20o C. Jenis wortel cukup banyak, tumbuh baik pada ketinggian 500-1000 m atau 1000-2000 m dpl. Untuk tumbuhnya, wortel memerlukan tanah geluh berpasir yang kaya bahan organik dan sinar matahari yang cukup. Wortel tumbuh sepanjang tahun. Wortel berbatang pendek, basah, merupakan sekumpulan tangkai daun yang keluar dari ujung umbi bagian atas. Daun majemuk berganda, pangkal tangkai melebar menjadi pipih, lonjong, tepi bertoreh, ujung runcing, pangkal berlekuk, panjang 15-20 cm, lebar 10-13 cm, pertulangan menyirip, berwarna hijau. Bunga berkumpul
5
dalam payung majemuk, mahkota berbentuk bintang, halus, berwarna putih. Buah ini, lonjong, diameter kurang lebih 3 mm, berwarna cokelat. Biji lonjong, berwarna putih. Akarnya akar tunggang, membengkak menjadi umbi berdaging berwarna jingga. Wortel dipanen setelah berumur 60-90 hari. Wortel dapat dimakan mentah, dijus dan dibuat sop atau salad. Dengan kandungan gula alamiahnya yang cukup tinggi, sari wortel berkhasiat meningkatkan energi tubuh (IPTEKnet, 2005). Menurut para botanis, wortel (Daucus carota L.) dapat dibedakan atas beberapa jenis, di antaranya : 1) Jenis imperator, yakni wortel yang memiliki umbi akar berukuran panjang dengan ujung meruncing dan rasanya kurang manis. 2) Jenis chantenang, yakni wortel yang memiliki umbi akar berbentuk bulat panjang dan rasanya manis. 3) Jenis mantes, yakni wortel hasil kornbinasi dari jenis wortel imperator dan chantenang. Umbi akar wortel berwarna khas oranye. (IPTEKnet, 2005; Wijayakusuma, 2005).
Gambar 1. Daucus carota L.
d. Klasifikasi Dalam taksonomi, wortel diklasifikan sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Subkelas
: Rosidae
Bangsa
: Umbelliferales (Apiales)
Suku
: Umbelliferales (Apiaceae)
Marga
: Daucus
Spesies
: Daucus carota L.
(Warintek, 2005). e. Kandungan kimia dan khasiat wortel Wortel (Daucus Carota L.) tiap 100 gram umbi mengandung karoten 5,3 mg; vitamin E 0,56 mg; thiamin 0,04 mg; riboflavin 0,2 mg; niasin 0,2 mg; vitamin B6 0,07 mg; folat 28µg; asam pantotenat 0,25 mg; biotin 0,6 µg; vitamin C 4 µg. Pendapat lain menyebutkan wortel mempunyai nilai kandungan vitamin A yang tinggi yaitu 12.000 SI, nilai vitamin A yang terkandung dalam wortel ini sangat membantu
hepar
menghilangkan
toksin
dalam
tubuh
(Wijayakusuma, 2005). Vitamin A juga mampu melindungi tubuh dari senyawa kimia beracun (Dalimartha, 2007). Juga disebutkan bahwa setiap 100 gr wortel mengandung beta karoten sebanyak 6-20
mg (Hernani dan Rahardjo, 2006). Kandungan beta karotennya dapat mencegah dan menekan pertumbuhan sel kanker serta melindungi asam lemak tidak jenuh ganda dari proses oksidasi. Selain itu beta karoten merupakan antioksidan yang menjaga kesehatan dan menghambat proses penuaan (IPTEKnet, 2005). Antioksidan merupakan senyawa penetral radikal bebas. Radikal bebas merupakan molekul tidak stabil yang terus-menerus menyerang tubuh dari luar seperti sinar matahari, polusi, dan asap rokok maupun
yang menyerang tubuh dari dalam seperti
metabolisme dan kehidupan normal. Molekul ini mengalami suatu reaksi berantai yang menimbulkan jutaan radikal bebas baru yang merusak protein, sel, jaringan, dan organ tubuh. Radikal bebas ini menyebabkan penuaan, perubahan degeneratif, radang, dan penyakit yang membuat lama hidup lebih singkat. Radikal bebas bisa merusak sel melalui proses oksidasi, apabila berlangsung lama dapat menyebabkan berbagai penyakit kronis seperti penyakit jantung dan kanker (IPTEKnet, 2005). Antioksidan mencegah kerusakan tubuh dengan melindungi protein, sel, jaringan, dan organ sasaran radikal bebas. Antioksidan sudah terbukti secara ilmiah menghambat penuaan, penyakit jantung, berbagai kanker, dan kebutaan, serta memperkuat sistem imun (Wijoyo, 2001).
2.
Parasetamol Asetaminofen (parasetamol) merupakan metabolit fenasetin yang memiliki efek antipiretik yang ditemukan di Jerman dan telah digunakan sejak tahun 1893 (Katzung, 1998). Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Asetaminofen di Indonesia lebih dikenal dengan nama parasetamol dan tersedia sebagai obat bebas (Wilmana, 1995) Asetaminofen cepat diabsorbsi dari saluran cerna. Parasetamol sedikit terikat dengan protein plasma dan sebagian dimetabolisme oleh enzim mikrosom hepar. Secara normal, parasetamol mengalami glukoronidasi dan sulfasi dimana 60% dikonjugasi dengan asam glukoronat dan 30% dengan asam sulfat menjadi konjugasi yang sesuai, merupakan 95% dari seluruh metabolit yang diekskresikan. Sedangkan sisanya 5% dimetabolisme secara hidroksilasi melalui konjugat glutation yang tergantung pada sitokrom P-450 menjadi metabolit reaktif N-asetil-p-benzoquinonimin (NAPQI) (Parod dan Dolgin, 1992). Tahapan terbentuknya NAPQI : a.
Terjadi ikatan dengan P-450
b.
Oksidasi kompleks obat P-450
c.
Terbentuknya oksigen reaktif pada kompleks obat P-450
d.
Terbentuk metabolit obat yang telah teroksidasi.
Kemudian metabolit reaktif ini akan mengalami 2 macam jalur reaksi. Pertama, detoksifikasi oleh glutation (Parod and Dolgin, 1992)
menghasilkan asam merkapturat yang non toksik (Greiner et al., 1990). Kedua, pada kadar parasetamol yang tinggi, dapat terjadi kejenuhan pada jalur glukoronidasi
karena glutation tidak mencukupi. Maka
NAPQI akan berikatan dengan makromolekul sel seperti protein yang sifatnya toksik terhadap sel hepar (Parod and Dolgin, 1992). Efek paling serius pada kelebihan dosis akut dari parasetamol tergantung pada dosis. Hepatotoksis parasetamol dapat terjadi setelah mengkonsumsi dosis tunggal 10-15 gr (200-250 mg/kgBB). Dosis tersebut secara potensial sangat fatal (Goodman dan Gilman’s, 2001). Gejala hari pertama keracunan akut parasetamol belum mencerminkan bahaya yang mengancam. Anoreksia, mual, dan muntah serta sakit perut terjadi dalam 24 jam pertama dan dapat berlangsung selama seminggu atau lebih. Gangguan hepar dapat terjadi pada hari kedua, dengan peningkatan aktivitas serum transaminase, laktat dehidrogenase, kadar bilirubin serum serta perpanjangan masa protrombin. Aktivitas alkali fosfatase dan kadar albumin serum tetap normal. Kerusakan hepar dapat mengakibatkan ensefalopati, koma, dan kematian. Kerusakan hepar yang tidak berat dapat pulih dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan (Wilmana, 1995). Penderita overdosis parasetamol harus segera cuci lambung dan diberikan zat-zat penawar (asam amino N-Asetilsistein atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi (Tjay & Kirana, 2002).
Indikasi klinik terhadap manifestasi kerusakan hepar terjadi 2-6 hari setelah mengkosumsi parasetamol. Kerusakan struktur hepar sudah dapat diamati pada hari kedua dan mencapai puncaknya pada hari keempat. Kerusakan yang ditimbulkan berupa nekrosis sentrolobuler (Wilmana, 1995).
3. Hepar Hepar
adalah organ tubuh terbesar dan merupakan kelenjar
terbesar dalam tubuh, dengan berat rata-rata sekitar 1500 gram, atau 2,5% berat badan pada orang dewasa normal. Hepar terletak di rongga perut di bawah diafragma. Sebagian kecil darahnya di pasok dari arteri hepatica dan sebagian besar dipasok dari vena porta. Posisi hepar dalam sistem sirkulasi optimal untuk menampung, mengubah, menimbun metabolit, menetralisai, dan mengeluarkan substansi toksik (Juncqueira dan Carneiro, 1995). Struktur mikroskopis dari hepar meliputi stroma hepar, lobulus hepar, sinusoid hepar, dan parenkim hepar. a. Lobulus hepar Pembagian lobulus hepar sebagai unit fungsional dibagi menjadi tiga zona : Zona 1 : merupakan zona aktif, sel-sel paling dekat pembuluh, akibatnya zona ini yang pertama kali dipengaruhi oleh perubahan darah yang masuk.
Zona 2 : merupakan zona intermedia, sel-selnya memberi respons kedua terhadap darah. Zona 3 : merupakan zona pasif, aktivitas sel-selnya rendah dan tampak aktif bila kebutuhan meningkat. Lobulus hepar sebagai kesatuan histologis berbentuk prisma poligonal, diameter 1-2 mm, penampang melintang tampak sebagai heksagonal dengan pusatnya vena sentralis dan sudut-sudut luar lobuli terdapat kanalis porta (Leeson et al., 1998). b. Parenkim hepar Parenkim atau sel-sel hepar tersusun dalam rangkaian lempenglempeng,
atau
lembaran-lembaran
bercabang-cabang
dan
beranastomosis membentuk labirin dan diantaranya terdapat sinusoid. Lempeng-lempeng ini secara radial bermula dari tepi lobulus menuju ke vena sentralis sebagai pusatnya. Sel hepar berbentuk poligonal dengan enam atau lebih permukaan, berukuran sekitar 20-35 um. Inti bulat atau lonjong dengan permukaan teratur dan besarnya bervariasi dari sel satu dengan lainnya. Masing-masing inti berbentuk vesikuler dengan granula kromatin tampak jelas dan tersebar dengan satu atau lebih anak inti (Lesson et al., 1998). c. Kanalikuli Biliaris Kanalikuli biliaris kadang-kadang tampak pada sajian HE sebagai rongga kecil di antara sel hepar yang bersebelahan, tetapi dapat lebih baik diperlihatkan dengan pulasan khusus, misalnya reaksi Gomori
untuk fosfatase alkali atau dengan impregnasi perak. Kanalikuli biliaris berbentuk jala-jala tiga dimensi di antara sel-sel hepar. Dinding kanalikuli biliaris terdiri atas sel-sel hepar. Pada bagian perifer lobulus, sel-sel parenkim yang membentuk dinding kanalikuli biliaris secara bertahap diganti dengan sel kecil jernih dengan inti gelap dan organel-organel yang tidak sempurna. Sel-sel ini disebut sel duktus (Lesson et al., 1998). d. Sinusoid Hepar Sinusoid hepar merupakan pembuluh yang melebar secara tidak teratur, terdiri atas sel-sel endotel bertingkat yang membentuk lapisan tidak utuh. Diameter tingkat kira-kira 100 nm dan berkelompok membentuk lempeng penyaring. Hepatosit dan sel-sel endotel di atasnya dipisahkan oleh suatu celah subendotel dikenal sebagai celah disse, yang mengandung mikrovili dari hepatosit. Selain sel-sel endotel juga berisikan sel fagositik dari seri fagosit mononuklear yang dikenal sebagai sel kupffer. Sel penimbun lemak memiliki kemampuan mengumpulkan vitamin A yang masuk dari luar sebagai ester retinil dalam tes lipid, namun peran sel ini dalam metabolisme dan transport vitamin A belum diketahui (Juncqueira dan Carneiro, 1995).
4. Kerusakan Sel Hepar Akibat Parasetamol Kerusakan struktur hepar dapat disebabkan oleh berbagai zat, antara lain alkohol, zat halotan (CCL4), zat kimia makanan, serta zat-zat xenobiotik lainnya. Adapun obat-obatan yang termasuk hepatotoksin adalah parasetamol (Murray, 2003). Pada kondisi normal, parasetamol dikonjugasikan dengan asam glukoronat dan asam sulfat sebagian kecil dihidroksilasi dengan sitokrom
P-450
menjadi
metabolit
N-asetil-p-benzoquinonimin
(NAPQI) yang kemudian oleh glutation hepar diubah menjadi metabolit sistein dan metabolit merkapturat yang kemudian akan dibuang bersama urine. Jika jumlah parasetamol yang dikonsumsi berlebih maka terbentuklah N-asetil-p-benzoquinonimin (NAPQI) oleh aktivitas sitokrom P-450 akibat kejenuhan jalur glukoronida dan sulfat (Wilmana, 1995). Kerusakan sel hepar ditimbulkan oleh NAPQI sebagai metabolit yang sangat reaktif. NAPQI menghasilkan zat radikal bebas yang berasal dari metabolisme parasetamol di hepar berupa oksigen tunggal yang merupakan oksidan bagi sel (David et al., 1998). Oksigen tunggal ini melalui reaksi Fenton dan Haber Weiss membentuk OH- (radikal hidroksil). OH- inilah yang akan berdampak buruk pada sel hepar apabila berikatan dengan protein, asam lemak tak jenuh, dan DNA hingga akhirnya terjadi kerusakan sel hepar. Untuk meredam reaksi radikal hidroksil tersebut, secara normal diatasi oleh hepar melalui
konjugasi dengan glutation. Tetapi jika hal itu terus berlanjut sampai melewati batas kemampuan hepar untuk membentuk glutation maka OH- akan tetap dihasilkan dan bereaksi dengan protein berakibat kematian sel atau nekrosis sentrolobuler (Katzung, 2002). Kerusakan sel hepar tersebut mulai terjadi pada hari kedua dan mencapai puncaknya pada hari keempat setelah pemberian parasetamol dosis berlebih. Kerusakan yang terjadi merupakan nekrosis di sekitar vena sentralis atau nekrosis sentrilobuler karena sitokrom P-450 paling banyak terdapat pada daerah tersebut (Wilmana, 1995). Nekrosis sel hepar akibat parasetamol dapat bersifat fokal, sentral, perifer atau masif. Kematian sel terjadi bersamaan dengan pecahnya membran plasma. Perubahan morfologis awal berupa : edema sitoplasma, dilatasi retikulum endoplasma dan disagregasi polisom. Selanjutnya terjadi akumulasi trigliserida sebagai butiran lemak dalam sel, pembengkakan mitokondria progresif dengan kerusakan krista dan pembengkakan biokimia yang bersifat kompleks (Wenas, 1999). Stadium selanjutnya sel dapat mengalami degenerasi hidropik, susunan sel yang terpisah-pisah, inti sel piknotik, karyoreksis (hancurnya inti yang meninggalkan pecahan-pecahan zat kromatin yang tersebar di dalam sel), karyolisis (hilangnya kemampuan inti sel yang mati untuk diwarnai dan menghilang), pecahnya membran plasma dan akhirya terjadi nekrosis (Thomas, 1988).
5. Mekanisme Perlindungan Sari Wortel Terhadap Kerusakan Sel Hepar Akibat Parasetamol Kerusakan sel hepar yang terjadi disebabkan oleh NAPQI sebagai zat metabolit reaktif parasetamol (Wilmana, 1995). NAPQI ini terbentuk oleh aktivitas sitokrom P-450 akibat kejenuhan jalur glukoronida dan sulfat. NAPQI ini menghasilkan zat radikal bebas yang berasal dari metabolisme parasetamol di hati. Melalui reaksi Fenton dan Haber Weiss terbentuklah OH- (radikal hidroksil) sebagai berikut: Reaksi Fenton
Fe2+ +H2O2 à Fe2+ + OH + OH-
Reaksi Haber Weiss
O2- + H2O2 à O2 + OH + OH –
Radikal Hidroksil ini sangat reaktif dan toksik terhadap sel-sel tubuh. OH- inilah yang akan berdampak buruk terhadap sel hepar apabila berikatan dengan senyawa-senyawa penting antara lain : a. Asam lemak tak jenuh (komponen glikolipid, fosfolipid dan kolesterol) Asam lemak tak jenuh merupakan penyusun membran sel. Apabila bereaksi dengan radikal hidroksil akan terjadi peroksidasi lipid. Hal ini akan mengakibatkan gangguan fungsi sel hingga akhirnya terjadi kematian sel hepar. b. DNA DNA
merupakan
perangkat
menyebabkan kerusakan rantai DNA.
genetik
sel.
Disini,
OH-
c. Protein Radikal hidroksil (OH-) merusak protein karena dapat mengadakan reaksi dengan asam-asam amino penyusun protein terutama sistein. Sistein mengandung gugus sulfihidril (SH) dan gugus inilah yang paling peka terhadap OH-. Ikatan protein dengan OH- akan membentuk ikatan molekul protein yang kehilangan fungsi biologisnya. Untuk meredam reaksi radikal hidroksil dengan protein, secara normal diatasi oleh hepar melalui konjugasi dengan glutation. Tetapi jika hal ini terus berlanjut sampai melewati batas kemampuan hepar untuk membentuk glutation maka OH- akan tetap dihasilkan dan bereaksi dengan protein berakibat kematian sel atau nekrosis sentrolobuler (Katzung, 2002). Sari wortel, seperti yang telah diketahui, mengandung betakaroten dengan kadar tinggi dan bersifat sebagai penangkap radikal bebas. Beta-karoten mempunyai aktivitas antioksidan dengan mengikat oksigen tunggal (singlet oksigen) yang dimiliki oleh NAPQI. Dengan demikian kerusakan yang ditimbulkan akibat reaksi radikal hidroksil dengan asam lemak tak jenuh, DNA, dan protein dapat dicegah, dan kerusakan sel hepar pun dapat berkurang (Agarwal dan Rao, 2000). Selain itu beta karoten dapat meningkatkan kadar enzim glutation S transferase (GST) di hepar, sehingga ketika terpapar parasetamol dosis toksik enzim glutation
S transferase (GST) dalam hepar tidak habis dan kerusakan hepar dapat dicegah (Lienshout dkk, 1996).
B. Kerangka Pemikiran Sari Wortel (Daucus Carota L.)
Parasetamol dosis berlebih
beta karoten
Jalur glukoronidasi dan sulfatasi jenuh
Antioksidan Meningkatkan NAPQI (N-asetil-p-benzoquinonimin) Penangkap radikal bebas
meningkatkan GST
Cadangan glutation hepar habis
NAPQI berlebih menimbulkan radikal bebas O2-(Oksigen tunggal) Reaksi Fenton & Haber weiss OH- (Radikal Hiroksil)
Asam lemak tak jenuh
DNA
Peroksidasi lipid
Protein
Kehilangan fungsi biologis
Kerusakan sel hepar
Variabel luar yang tak terkendali : kondisi psikologis, reaksi hipersensitivitas dan keadaan awal hepar mencit Keterangan: : memacu : menghambat
C. Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah: 1. Pemberian sari wortel dapat mencegah kerusakan sel hepar yang terpapar parasetamol. 2. Peningkatan dosis sari wortel dapat meningkatkan efek proteksi terhadap kerusakan sel hepar mencit yang terpapar parasetamol.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik.
B. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
C. Subjek Penelitian Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus musculus) jantan, galur Swiss webster berumur 2-3 bulan dengan berat badan ± 20 gram. Sampel sebanyak 28 ekor dibagi dalam 4 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor mencit. Jumlah ini diperhitungkan menurut rumus Federer (Purwawisastra, 2001), yaitu (t-I) (n-I) > 15, dengan t adalah jumlah perlakuan, sedangkan n adalah jumlah mencit untuk tiap kelompok.
D. Teknik Sampling Pengambilan sampel dilakukan secara accidental sampling. Besar sampel sebanyak 28 ekor mencit.
21
E. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini adalah The post test only control group design (Taufiqqurohman, 2003).
Sampel Mencit 28 ekor
KK : (-)
O0
KP1: (X 1)
O1
KP2: (X 2)
O2
KP3 : (X 3)
O3
Bandingkan dengan uji statistik
Keterangan : KK = Kelompok kontrol tanpa diberi sari wortel maupun parasetamol. KP1 = Kelompok perlakuan I yang diberi parasetamol tanpa diberi sari wortel. KP2 = Kelompok perlakuan II yang diberi parasetamol dan sari wortel dosis I. KP3 = Kelompok perlakuan III yang diberi parasetamol dan sari wortel dosis II. (-)
= Pemberian aquades peroral 0,2 ml / 20 g BB mencit setiap hari selama 14 hari berturut-turut.
X1
= Pemberian aquades peroral sebanyak 0,2 ml / 20 g BB mencit setiap hari selama 14 hari berturut-turut dan pada hari ke-12, 13 dan 14 diberi parasetamol peroral 0,1 ml / 20 g BB mencit perhari.
X2
= Pemberian sari wortel peroral dosis I yaitu 130 mg/ 20 g BB mencit selama 14 hari berturut-turut, dimana hari ke-12, 13 dan 14 diberikan juga parasetamol dosis peroral 0,1 ml/ 20 g BB mencit 1 jam setelah pemberian sari wortel.
X3
= Pemberian sari wortel peroral dosis II yaitu 260 mg/ 20 g BB mencit selama 14 hari berturut-turut, dimana hari ke-12, 13 dan 14 diberikan juga parasetamol dosis peroral 0,1 ml/ 20 g BB mencit 1 jam setelah pemberian sari wortel.
O0
=
Pengamatan jumlah inti sel hepar piknosis, karyoreksis dan karyolisis dari 100 sel di sentrolobuler hepar kelompok kontrol.
O1
=
Pengamatan jumlah inti sel hepar piknosis, karyoreksis dan karyolisis dari 100 sel di sentrolobuler hepar KP1.
O2
=
Pengamatan jumlah inti sel hepar piknosis, karyoreksis dan karyolisis dari 100 sel di sentrolobuler hepar KP2.
O3
=
Pengamatan jumlah inti sel hepar piknosis, karyoreksis dan karyolisis dari 100 sel di sentrolobuler hepar KP3. Pengamatan jumlah inti sel hepar piknosis, karyoreksis dan
karyolisis dilakukan pada hari ke-15 setelah perlakuan pertama dikerjakan.
F. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : pemberian sari wortel. 2. Variabel terikat : kerusakan histologis sel hepar mencit. 3. Variabel luar
:
Variabel luar dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Variabel luar yang dapat dikendalikan : variasi genetik, jenis kelamin, umur, suhu udara, berat badan, dan jenis makanan mencit semuanya diseragamkan.
b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan : kondisi psikologis, reaksi hipersensitivitas dan keadaan awal hepar mencit
G. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas Sari wortel diberikan secara per oral dengan sonde lambung dalam 2 dosis, diberikan selama 14 hari berturut-turut. Dosis I : 130 mg/20grBB mencit/hari yang diberikan pada mencit KP2. Dosis II : 260 mg/20grBB mencit/hari yang diberikan pada mencit KP3. Skala pengukuran variabel ini adalah ordinal. 2. Variabel Terikat Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kerusakan histologis sel hepar mencit. Yang dimaksud dengan kerusakan histologis sel hepar mencit pada penelitian ini adalah gambaran mikroskopis sel hepar mencit yang diinduksi dengan parasetamol setelah pemberian sari wortel. Kerusakan sel hepar dinilai dari jumlah sel hepar yang mengalami piknotik, karyoreksis dan karyolisis yang dihitung dari 100 sel pada zona sentrolobuler. Adapun tanda-tanda kerusakan sel : a. Sel yang mengalami piknotik intinya kisut dan bertambah basofil, berwarna gelap batasnya tidak teratur.
b. Sel yang mengalami karyoreksis inti mengalami fragmentasi atau hancur dengan meninggalkan pecahan-pecahan zat kromatin yang tersebar di dalam sel. c. Sel yang mengalami karyolisis yaitu kromatin basofil menjadi pucat, inti sel kehilangan kemampuan untuk diwarnai dan menghilang begitu saja (Price dan Wilson, 1990). Skala pengukuran variabel ini adalah rasio. 3. Variable Luar yang Dapat Dikendalikan Variabel luar ini dibuat keadaanya seragam, yaitu : a. Makanan dan minuman Makanan yang diberikan berupa pellet dan air PAM. b.
Genetik Mencit galur Swiss webster.
c.
Jenis Kelamin Mencit berjenis kelamin jantan.
d.
Umur Mencit umur 2-3 bulan.
e.
Berat badan Mencit dengan berat-badan ± 20 gram.
f.
Suhu udara Hewan percobaan ditempatkan di dalam ruangan dengan suhu berkisar antara 25-280 C.
4. Variabel Luar yang Tidak Dapat Dikendalikan a. Kondisi psikologis mencit dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Lingkungan yang terlalu ramai dan gaduh, pemberian perlakuan yang berulang kali, dan perkelahian antar mencit dapat mempengaruhi kondisi psikologis mencit. b. Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi karena adanya variasi kepekaan mencit terhadap zat yang digunakan. c. Keadaan awal hati mencit tidak diperiksa pada penelitian ini sehingga mungkin saja ada mencit yang sebelum perlakuan hatinya sudah mengalami kelainan.
H. Alat dan Bahan Penelitian 1.
Alat. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian : a. Kandang hewan coba dengan ukuran 30x20x10 cm b. Timbangan hewan c. Sonde lambung d. Alat bedah hewan coba (Scalpel, pinset, gunting, jarum, dan meja lilin) e. Alat untuk membuat preparat histologi f. Mikroskop cahaya medan terang g. Gelas ukur dan pengaduk h. Becker glass 250cc
i. Lampu spiritus j. Blender k. Kamera OptiLap 2.
Bahan. Bahan yang akan digunakan sebagai berikut : a. Makanan hewan coba (pellet dan air PAM) b. Parasetamol tablet 500 mg c. Wortel d. Bahan untuk pembuatan preparat histologis dengan pengecatan HE
I. Cara Kerja 1.
Persiapan Percobaan a. Sampel Sampel diperoleh dari Universitas Setia Budi (USB), Surakarta. Kemudian dilakukan adaptasi di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, selama 7 hari dan dilakukan pengelompokan secara random menjadi 4 kelompok. Tiap kelompok 7 ekor. Pada minggu I dilakukan penimbangan dan penandaan. b. Sari Wortel Wortel yang digunakan adalah wortel yang didapatkan di Pasar Besar Surakarta. Setelah itu wortel dicuci dengan air
bersih. Sari wortel dibuat dengan cara memblender 100 gr wortel, kemudian diperas dan hasil perasan ini merupakan sari wortel. Kebutuhan beta karoten tiap hari pada manusia adalah 10 mg/hari (Hernani dan Rahardjo, 2006). Tiap 5 gr wortel mengandung 1 mg beta karoten, sehingga tiap hari manusia membutuhkan 50 gr wortel. Nilai konversi dari manusia (70 kg) ke mencit (20 gr) adalah 0,0026 (Ngatidjan, 1991). Jadi dosis untuk mencit adalah : Dosis = nilai konversi x dosis = 0,0026 x 50 gr wortel/hari = 0,13 gr/hari atau 130 mg/hari Pada penelitian ini dosis sari wortel yang digunakan ada 2 macam yaitu : Dosis I : 130 mg/20grBB/hari dan Dosis II : 260 mg/20grBB/hari Dari hasil perasan diperoleh volume sari wortel sebanyak 50 ml dan ampas sisa perasan 20 gr maka berat sari wortel adalah 100 gr – 20 gr = 80 gram, sehingga kandungan sari wortel 80 gr/50 ml. Jumlah yang diberikan yaitu 0,08 ml = 130 mg/20grBB/hari sebagai dosis I dan 0,16 ml = 260 mg/20grBB/hari sebagai dosis II.
Pemberian sari wortel selama 14 hari berturut-turut dengan harapan antioksidan yang berupa beta karoten dapat meningkatkan kadar enzim glutation S transferase (GST) di hepar, sehingga ketika terpapar parasetamol dosis toksik enzim glutation S transferase (GST) dalam hepar tidak habis dan kerusakan hepar dapat dicegah. Menurut Setiono (2008) pemberian sari wortel selama dua minggu dapat meningkatkan antioksidan dalam tubuh. c. Parasetamol LD-50 untuk mencit secara peroral yang telah diketahui adalah 338 mg/KgBB atau 6,76 mg/20 gBB mencit (Alberta, 2006). Dosis parasetamol yang dapat menimbulkan efek kerusakan hepar berupa nekrosis sel hepar tanpa menyebabkan kematian mencit adalah dosis 3/4 LD-50 perhari (Sabrang, 2008). Dosis yang digunakan adalah 338 mg/KgBB x 0,75 = 253,5 mg/KgBB = 5,07 mg/20grBB mencit. Parasetamol 500 mg dilarutkan dalam aquades hingga 9,86 ml, sehingga dalam 0,1 ml larutan parasetamol mengandung 5,07 mg parasetamol. Parasetamol diberikan selama 3 hari berturut-turut yaitu pada hari ke-12, 13, dan 14. Pemberian parasetamol dengan cara ini dimaksudkan untuk menimbulkan kerusakan pada sel hepar berupa nekrosis pada daerah sentrolobularis tanpa menimbulkan kematian pada mencit. Menurut Wilmana dan
Gunawan (2007) pemberian parasetamol dosis tunggal sudah dapat menimbulkan kerusakan sel hepar berupa nekrosis pada daerah sentrolobularis dalam waktu 2 hari setelah pemberian parasetamol. 2. Pelaksanaan Percobaan Percobaan mulai dilakukan pada minggu II, dan percobaan berlangsung selama 14 hari. Pengelompokan subjek : a. KK =
Kelompok kontrol diberi aquadest peroral sebanyak 0,2 ml/ 20 g BB mencit setiap hari selama 14 hari berturutturut.
b. KP1 = Kelompok perlakuan I diberi aquades peroral sebanyak 0,2 ml/ 20 g BB mencit setiap hari selama 14 hari berturut-turut dan pada hari ke 12, 13 dan 14 juga diberi parasetamol peroral dosis 0,1 ml / 20 g BB mencit peroral perhari. c. KP2 = Kelompok perlakuan diberi sari wortel peroral dosis 130 mg/ 20 g BB mencit selama 14 hari berturut-turut, dimana hari ke-12, 13 dan 14 diberikan juga parasetamol peroral dosis 0,1 ml/ 20 g BB mencit setelah 1 jam pemberian sari wortel. d. KP3 = Kelompok perlakuan diberi sari wortel peroral dosis 260 mg/ 20 g BB mencit selama 14 hari berturut-turut,
dimana hari ke-12, 13 dan 14 diberikan juga parasetamol peroral dosis 0,1 ml/ 20 g BB mencit setelah 1 jam pemberian sari wortel. Setiap sebelum pemberian parasetamol dan sari wortel, mencit
dipuasakan dahulu ± 5 jam untuk mengosongkan
lambung. Pemberian parasetamol dilakukan ± 1 jam setelah pemberian sari wortel agar sari wortel terabsorbsi terlebih dahulu. Skema Pemberian Perlakuan Sampel 28 ekor mencit
Kelompok kontrol
Kelompok perlakuan 1
Kelompok perlakuan 2
Kelompok perlakuan 3
Dipuasakan selama ± 5 jam
Aquades 0,1 ml
Sari wortel 130 mg/20grBB
Sari wortel 260 mg/20grBB
mencit/hari
mencit/hari
setelah ± 1 jam
Aquades 0,1 ml
0,1 ml parasetamol dosis 5,07 mg/20 gBB mencit
Perlakuan sampai hari ke-14. Pemberian parasetamol hanya dilakukan pada hari ke 12, 13 dan 14. Pembuatan preparat pada hari ke-15.
3.
Pengukuran Hasil Pada hari ke-15 setelah perlakuan pertama diberikan, semua hewan percobaan dikorbankan dengan cara dislokasi vertebra servikalis, kemudian organ hepar diambil untuk selanjutnya dibuat preparat histologi dengan metode blok paraffin dengan pengecatan HE. Pembuatan preparat dilakukan pada hari ke-15 agar efek perlakuan tampak nyata. Lobus hepar yang diambil adalah lobus kanan dan irisan untuk preparat diambil pada bagian tengah dari lobus tersebut, hal ini dilakukan untuk mendapatkan preparat yang seragam. Dari tiap lobus kanan hepar dibuat 3 irisan dengan tebal tiap irisan 3-8 um. Jarak antar irisan satu dengan yang lain kira-kira 25 irisan. Tiap hewan percobaan dibuat 3 preparat. Dari masingmasing preparat diambil 1 (satu) daerah di sentrolobuler yang terlihat kerusakannya paling berat. Dari 1 (satu) zona tersebut akan didapatkan 1 (satu) angka mengenai jumlah sel hepar yang mengalami kerusakan. Sehingga dari hewan coba didapatkan 3 angka mengenai jumlah sel hepar yang mengalami kerusakan. Dalam percobaan ini menggunakan 7 hewan percobaan dalam tiap kelompoknya sehingga akan diperoleh 21 angka untuk tiap kelompok percobaan. Pengamatan preparat dengan perbesaran 100 kali untuk mengamati seluruh bagian irisan preparat, kemudian ditentukan daerah yang akan diamati pada sentrolobuler lobulus hepar dan dipilih 1 (satu) daerah yang kerusakannya terlihat paling
berat. Dari tiap zona sentrolobuler lobulus hepar tersebut dengan pembesaran 400 kali ditentukan jumlah inti yang mengalami piknosis, karyoreksis dan karyolisis dari tiap 100 sel. Penghitungan jumlah sel dilakukan dengan bantuan alat OptiLap yang disambungkan dengan komputer. Jadi misalnya dari satu daerah zona sentrolobuler dari 100 sel yang diamati, ternyata terdapat 25 sel dengan inti piknotik, 15 dengan karyoreksis dan 5 dengan karyolisis maka jumlah sel hepar yang mengalami kerusakan adalah 25 + 15 + 5 = 45. Sehingga dari tiap preparat diperoleh satu nilai angka. Jadi dari 3 preparat dari 1 (satu) hewan coba akan didapatkan 3 angka mengenai jumlah sel hepar
yang
mengalami
kerusakan.
Dalam
percobaan
ini
menggunakan 7 hewan percobaan dalam tiap kelompoknya sehingga akan diperoleh 21 angka mengenai jumlah sel hepar yang mengalami kerusakan untuk tiap kelompok percobaan. Selanjutnya data yang diperoleh diuji mengenai jumlah sel hepar yang mengalami kerusakan dari masing-masing kelompok dibandingkan dengan uji Oneway ANOVA dan jika terdapat perbedaan yang bermakna maka dilanjutkan dengan uji Post Hoc. Kalau syarat tidak terpenuhi akan digunakan uji Kruskal Wallis yang dilanjutkan dengan Uji Statistik Mann Whitney.
J. Teknik Analisis Data Statistik Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji one way ANOVA (α : 0,05), jika terdapat perbedaan yang bermakna maka dilanjutkan dengan Post Hoc Test (α : 0,05), kalau syarat tidak terpenuhi akan digunakan uji Kruskal Wallis (α : 0,05) yang dilanjutkan dengan Uji Statistik Mann Whitney (α : 0,05) menggunakan program SPSS.
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Data Hasil Penelitian Setelah dilakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian sari wortel terhadap kerusakan histologis sel hepar mencit akibat pemberian parasetamol yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol, kelompok perlakuan I, kelompok perlakuan II, kelompok perlakuan III, didapatkan hasil pengamatan pada masing-masing kelompok perlakuan yang dapat dilihat pada lampiran 1 - 4. Dari data tersebut didapatkan hasil seperti yang terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Rata-rata jumlah sel hepar mencit yang mengalami kerusakan pada masing-masing kelompok. Kelompok
Rata-rata jumlah kerusakan
Standar Deviasi
Kontrol (KK)
32,81
4,52
Perlakuan I (KP1)
62,05
5,56
Perlakuan II (KP2)
37,86
5,46
Perlakuan III (KP3)
59,57
4,60
Sumber : Data Primer, 2010. Dari data tabel di atas dapat dilihat bahwa pada kelompok perlakuan I (KP1) memiliki rata-rata jumlah kerusakan yang paling besar yaitu 62,05 ± 5,56. Sedangkan untuk kelompok kontrol (KK) memiliki rata-rata jumlah kerusakan paling ringan yaitu 32,81 ± 4,52.
35
B. Analisis Data Data mengenai jumlah sel yang mengalami kerusakan tiap kelompok dari lampiran 1 – 4 selanjutnya dilakukan uji statistik One-Sample Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui apakah data terdistribusi normal atau tidak. Dari uji statistik One-Sample Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p adalah 0,033 (p < 0,05), ini berarti data hasil penelitian terdistribusi secara tidak normal. Selanjutnya dilakukan uji Transform, ternyata didapatkan nilai p adalah 0,012 ini berarti hasilnya masih tidak normal. Perhitungan mengenai uji statistik One-Sample Kolmogorov-Smirnov dapat dilihat pada lampiran 5 dan 6. Karena data hasil penelitian terdistribusi tidak normal maka uji OneWay ANOVA
tidak bisa digunakan akan tetapi dapat menggunakan uji
alternatif lain yaitu uji statistik Kruskal Wallis. Dari hasil perhitungan uji Kruskal Wallis didapatkan nilai sig. adalah 0,000 dimana nilai ini lebih kecil dari nilai alpha (0,05), sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan rata-rata jumlah kerusakan histologis sel hepar mencit yang bermakna antara kelompok kontrol, kelompok perlakuan I, II, dan III. Hasil uji Kruskal Wallis ini dapat dilihat pada lampiran 7. Karena didapatkan adanya perbedaan yang signifikan dari empat kelompok tersebut maka uji statistik dilanjutkan dengan Uji Mann Whitney untuk mengetahui antar kelompok mana terdapat perbedaan rata-rata jumlah kerusakan histologis sel hepar mencit, dapat dilihat pada lampiran 8.
Tabel 2. Ringkasan hasil Uji Mann Whitney Kerusakan Sel Hepar Mencit setelah Perlakuan pada Kelompok Kontrol, Perlakuan I, II, dan III. Kelompok
p
KK – KP1
0,000
Perbedaan jumlah kerusakan sel hepar Signifikan
KK – KP2
0,006
Signifikan
KK – KP3
0,000
Signifikan
KP1 – KP2
0,000
Signifikan
KP1 – KP3
0,136
Tidak Signifikan
KP2 – KP3
0.000
Signifikan
Sumber : Data Primer, 2010.
70 60 50 40 30 20 10 0 Kontrol
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Perlakuan 3
Gambar 1 : Grafik rata-rata jumlah kerusakan sel hepar mencit setelah perlakuan pada tiap-tiap kelompok.
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian pengaruh pemberian sari wortel (Daucus carota L) terhadap kerusakan
histologis
sel
hepar
mencit
akibat
pemberian
parasetamol
menggunakan 4 kelompok mencit masing-masing terdiri dari 7 ekor yang diberi perlakuan berbeda. Kelompok kontrol tidak diberi parasetamol maupun sari wortel, hanya diberi aquadest. Kelompok perlakuan I diberi parasetamol pada hari ke 12, 13, dan 14 menggunakan dosis 5,07 mg/20 grBB mencit/hari. Kelompok perlakuan II diberi sari wortel dosis I sebesar 130 mg/20 grBB mencit selama 14 hari dan juga diberi parasetamol pada hari ke 12, 13, dan 14 menggunakan dosis 5,07 mg/20 grBB mencit/hari. Kelompok perlakuan III diberi sari wortel dosis I sebesar 260 mg/20 grBB mencit selama 14 hari dan juga diberi parasetamol pada hari ke 12, 13, dan 14 menggunakan dosis 5,07 mg/20 grBB mencit/hari. Diluar jadwal perlakuan hewan coba diberi makanan standar berupa pellet dan air PAM. Pada penelitian ini yang diamati adalah jumlah sel hepar yang intinya mengalami kerusakan (piknosis, karyoreksis, dan karyolisis). Jumlah sel yang intinya mengalami kerusakan dihitung dari tiap 100 sel didaerah sentrolobuler. Daerah sentrolobuler merupakan daerah yang kandungan sitokrom P-450-nya tinggi sehingga metabolit NAPQI akan lebih banyak terbentuk didaerah ini (Wilmana, 1995). Data jumlah kerusakan inti sel hepar setelah perlakuan dianalisis dengan uji Kruskal Wallis didapatkan perbedaan yang bermakna antara keempat kelompok perlakuan. Perbedaan jumlah kerusakan sel hepar ini menunjukan
adanya pengaruh pemberian sari wortel (Daucus carota L) terhadap kerusakan histologis sel hepar mencit akibat pemberian parasetamol. Letak perbedaan antara keempat kelompok perlakuan dapat diketahui dengan uji Mann Whitney. Kelompok kontrol dijumpai adanya kerusakan inti sel hepar. Hal ini kemungkinan karena proses penuaan dan kematian sel yang secara fisiologi dialami oleh semua sel-sel normal. Setiap sel dalam tubuh akan selalu mengalami penuaan yang diakhiri kematian sel dan digantikan oleh sel-sel baru melalui proses regenerasi (Iber dan Latham, 1994). Selain itu, mungkin juga karena pengaruh variabel luar yang tidak dapat dikendalikan. Kelompok perlakuan I memiliki kerusakan sel paling berat karena hanya mendapat perlakuan dengan parasetamol dosis toksik dan tidak mendapat sari wortel. Nekrosis sel hepar akibat parasetamol dapat bersifat fokal, sentral, perifer atau massif. Kematian sel terjadi bersamaan dengan pecahnya membran plasma. Perubahan morfologis awal berupa: edema sitoplasma, dilatasi retikulum endoplasma dan disagregasi polisom. Selanjutnya terjadi akumulasi trigliserid sebagai butiran lemak dalam sel, pembengkakan mitokondria progresif dengan kerusakan krista dan pembengkakan biokimia yang bersifat kompleks (Wenas, 1999). Stadium selanjutnya dapat mengalami degenerasi hidropik, susunan sel yang terpisah-pisah, inti sel piknosis, karyoreksis (hancurnya inti yang meninggalkan pecahan-pecahan zat kromatin yang tersebar didalam sel), kariyolisis (hilangnya kemampuan inti sel yang mati untuk diwarnai dan menghilang), pecahnya membran plasma, dan akhirnya terjadi nekrosis (Thomas, 1988).
Dari hasil analisa jumlah kerusakan sel hepar didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok K dan kelompok P I. Hal ini disebabkan karena pada kelompok perlakuan I terjadi kerusakan sel hepar akibat pemberian parasetamol dosis toksik. Hasil tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa parasetamol pada dosis toksik mampu menginduksi kerusakan sel hepar. Mekanisme kerusakan sel hepar akibat dosis toksik parasetamol dapat terjadi akibat reaksi reaksi toksik dan radikal bebas. Reaksi toksik disebabkan langsung oleh ikatan antara NAPQI dengan gugus nukleofilik yang terdapat pada makromolekul sel seperti protein sehingga mengakibatkan kematian sel atau nekrosis sentrolobuler. Selain itu, radikal hidroksil yang terbentuk akibat dosis toksik parasetamol juga dapat merusak rantai poly unsaturated fatty acid (PUFA) menjadi lipid hidroperoksida (COOH). Radikal ini akan memisahkan atom hidrogen dari rantai PUFA dalam membran
sel hepar, sehingga terjadi
peroksidasi lipid. Penimbunan zat tersebut pada membran sel akan mengakibatkan gangguan fungsi sel sehingga akhirnya terjadi nekrosis sel hepar (Santoso, 2004). Hasil analisa jumlah kerusakan sel hepar pada kelompok perlakuan I dengan perlakuan II didapatkan perbedaan bermakna. Hal ini berarti pemberian sari wortel dengan dosis I yaitu 130 mg/20 grBB mencit selama 14 hari berturut-turut dapat mengurangi jumlah inti sel hepar yang mengalami kerusakan akibat pemberian parasetamol. Sari wortel, seperti yang telah diketahui, mengandung beta-karoten dengan kadar tinggi dan bersifat sebagai penangkap radikal bebas. Beta karoten mempunyai aktivitas antioksidan dengan mengikat oksigen tunggal (singlet oksigen) yang dimiliki oleh NAPQI. Dengan demikian kerusakan yang
ditimbulkan akibat reaksi radikal hidroksil dengan asam lemak tak jenuh, DNA, dan protein dapat dicegah, dan kerusakan sel hepar pun dapat berkurang (Agarwal dan Rao, 2000). Selain itu beta karoten dapat meningkatkan kadar enzim glutation S transferase (GST) di hepar, sehingga ketika terpapar parasetamol dosis toksik enzim glutation S transferase (GST) dalam hepar tidak habis dan kerusakan hepar dapat dicegah (Lienshout dkk, 1996). Hasil analisa jumlah kerusakan sel hepar antara kelompok perlakuan I dan perlakuan III menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna. Kelompok perlakuan III merupakan kelompok yang diberi sari wortel dosis II yaitu 260 mg/20 grBB mencit (dosis II) dan juga mendapat parasetamol. Berdasar teori, pemberian sari wortel dapat mencegah kerusakan sel hepar akibat paparan parasetamol, tapi pada kelompok ini terdapat perbedaan yang tidak signifikan dengan kelompok perlakuan I. Atau dengan kata lain, pemberian sari wortel dosis 260 mg/20 grBB mencit (dosis II) tidak dapat mencegah kerusakan sel hepar. Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena dosis sari wortel yang diberikan terlalu tinggi untuk mencit dan dosis tersebut melebihi dosis optimal sehingga menurunkan fungsi sari wortel dalam mencegah kerusakan sel hepar. Kelompok perlakuan II merupakan kelompok perlakuan menggunakan sari wortel dosis 130 mg/20 grBB mencit (dosis I) dan juga mendapatkan parasetamol. Hasil analisa jumlah kerusakan sel hepar pada kelompok perlakuan II didapatkan perbedaan bermakna dengan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan I. Hal ini dapat disimpulkan pemberian sari wortel dosis 130 mg/20 grBB mencit (dosis I)
dapat mengurangi kerusakan sel hepar mencit akibat pemberian parasetamol tetapi tidak dapat mengembalikan sel hepar ke kondisi seperti kelompok kontrol. Hasil analisa jumlah kerusakan sel hepar pada kelompok perlakuan III didapatkan perbedaan bermakna dengan kelompok kontrol namun menunjukkan perbedaan tidak bermakna dengan kelompok perlakuan I. Hal ini berarti pemberian sari wortel dengan dosis 260 mg/20 grBB mencit (dosis II) sebelum pemberian parasetamol tidak mampu mencegah kerusakan sel hepar yang diinduksi dengan parasetamol, hal ini dapat terjadi karena dosis sari wortel yang diberikan pada kelompok perlakuan III terlalu tinggi, sehingga fungsi protektif sari wortel justru semakin menurun dan jumlah kerusakan sel hepar mendekati dengan kelompok perlakuan I meskipun derajat kerusakannya lebih ringan. Hal ini dapat dianalogikan dengan cara kerja obat. Sebagaimana obat yang memiliki dosis optimal, sari wortel juga memiliki dosis optimal. Kurva dosis dan efek berbentuk sigmoid sehingga apabila dosis yang diberikan lebih dari maksimal, maka akan menurunkan fungsi obat tersebut (Mycek et al., 1997). Begitu pula dengan sari wortel, bila dosis yang diberikan berlebihan, maka akan menurunkan efek protektifnya. Jumlah kerusakan sel hepar pada kelompok perlakuan II lebih sedikit apabila dibandingkan dengan kelompok perlakuan III. Hal ini berarti peningkatan dosis sari wortel tidak meningkatkan efek proteksi terhadap kerusakan sel hepar mencit yang diinduksi parasetamol karena diasumsikan dosis pada kelompok perlakuan III melebihi dosis optimal sehingga menurunkan fungsi protektif sari wortel.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terbukti adanya efek proteksi sari wortel terhadap hepar yang berupa pengurangan kerusakan sel hepar mencit yang diinduksi parasetamol pada dosis sari wortel tertentu meskipun belum optimal karena hasilnya belum sebanding dengan kelompok kontrol. Tetapi pada peningkatan dosis sari wortel sampai tingkat tertentu (dosis II) justru tidak menunjukkan peningkatan efek proteksi sari wortel, oleh karenanya perlu dicari dosis yang tepat.
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan 1. Pemberian sari wortel dengan dosis 130 mg/20grBB mencit selama 14 hari berturut-turut mempunyai efek proteksi terhadap kerusakan sel hepar mencit akibat paparan parasetamol. 2. Peningkatan dosis sari wortel dari dosis I sebesar 130 mg/20grBB mencit menjadi dosis II sebesar 260 mg/20grBB mencit tidak meningkatkan efek proteksi terhadap kerusakan sel hepar mencit akibat paparan parasetamol.
B. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan dosis sari wortel yang lebih bervariasi dan dengan lama pemberian sari wortel yang lebih bervariasi sehingga diketahui dosis dan waktu pemberian yang efektif untuk mencegah kerusakan sel hepar mencit yang diinduksi parasetamol. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan sarana dan prasarana yang lebih canggih misalnya penelitian sari wortel ditinjau dari segi immunologi sehingga didapatkan data yang lebih lengkap tentang fungsi hepatoprotektor sari wortel dan fungsi dari masing-masing kandungan sari wortel DAFTAR PUSTAKA
Alberta G. and Canada G. 2006. DrugBank : Acetaminophen (APRD00252).http://redpoll.pharmacy.ualberta.ca/drugbank/cgibin/getCard.cgi?CARD=APRD00252.txt. (6 September 2009). Dalimartha S. 2007. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Kanker. Jakarta: Penebar Swadaya.Hal :8-12. David H.S. & Sudaryati, E. 1998. Aspek Pencegahan Radikal Bebas Melalui Antioksidan. Majalah Kedokteran Indonesia 48 (1). Pp : 50-3. Goodman and Gilman’s. 2001. The Pharmocological Basis of Therapeutics. 10th edition. The Mc Graw-Hill Companies. USA, pp: 703-5. Greiner. 1990. Non invasive determination of Acetaminophen disposition in down syndrome. In : Clinical Pharmacology and Terapeutics, p:521. Hernani dan Rahardjo. 2006. Tanaman Berkhasiat Antioksidan. Jakarta : Penebar Swadaya. Pp: 25-6. Hodgson E dan Levi P.E. 2000. A Textbook of Modern Toxicology. 2nd ed. Singapore: The McGraw-Hill. Pp : 199-205. Iber F. L. dan Latham P. S. 1994. Pathologic Physiology Mechanism of Disease. Jakarta: EGC, p: 565. IPTEKnet 2009. Wortel (Daucus carota l.) dalam Tanaman Obat Indonesia. Junquiera L.E, Carneiro., Kelley R.O. 1995. Histologi Dasar. Alih Bahasa: Jan Tambayong. Jakarta : EGC, pp: 387-7. Katzung B. 2002. Basic & Clinical Pharmacology. 8th ed. Jakarta: Salemba Medika, pp: 485-6. Kusminarno. 1998. Parasetamol sebagai obat penurun demam dan mengurangi rasa nyeri. Majalah Kesehatan Depkes 58, pp: 35-7. Leeson C.R., Thomas S., & Paparo A.A. 1998. Buku Ajar Histologi. Jakarta: EGC, pp : 383-95. Murray R. K., Granner, D. K. Mayes, P. A., Rodwell, V. W. 2003. Biokimia Harper. EGC. Jakarta. Pp : 743-9. Mycek M. J., Harvey R. A., Champe P. C., Fisher B. D. 1997. Obat-obat Antiinflamasi dan Autakoid. Dalam: Harvey R. A., Champe P. C. (eds). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi ke-2. Jakarta: Widya Medika.
Ngatidjan 1991. Petunjuk Laboratorium Metode Laboratorium dalam Toksikologi. Yogyakarta : Pusat Antar Universitas Bioteknologi UGM. Price S. A. dan Wilson L. M. 1994. Patofisiologi, Konsep Klinis Prosesproses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC, pp: 773-5. Parod J.P. dan Dolgin G.J. 1992. Toxicology: Management of Acute Poisonic. In: Cedric M. Smith & Alam M. Reynord. Text Book of Pharmacology. Philadelphia : W.B. Sauders, pp: 99-1003. Rao A. V. and Agarwal S. 1999. Role of lycopene as antioxidant carotenoid in the prevention of chronic diseases : as review. Nurt Res. 19:305-23. Sabrang R. 2008. Pengaruh Minyak Jintan Hitam (Nigella Sativa) Terhadap Kerusakan Histologis Hepar Mencit (Mus Musculus) Yang Diinduksi Parasetamol. Skripsi. FK UNS, p: 18. Santoso A.B. 2004. Gambaran Histologis Hati Mencit Setelah Pemberian Parasetamol dan Vitamin C. Skripsi FK UNS. Surakarta. Setiono A. 2008. Efek Hepatoprotektor Sari Wortel Terhadap Kerusakan Struktur Histologis Hepatosit Mencit Akibat Paparan CCL4. Skripsi FK UNS. Surakarta, p:26. Soesilo S. 1992. Peranan Jamu dan Obat Tradisional dalam Pelayanan Kesehatan Indonesia. Dalam Agoes A.dan Jacob (eds). Jakarta:EGC.pp:1-11 Taufiqqurohman M.A. 2004. Histologi Umum Kedokteran. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Hal : 2-6. Thomas C. 1988. Histopatologi Edisi X. Alih Bahasa: Tonang dkk. EGC. Jakarta. Pp:169. Tjay T.H. & Raharja K. 2002. Obat-obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya. Edisi 5. Jakarta : Gramedia, hal: 296-8.
Van Lienshout E.M.,Doters W.H., and Jansen J.B. 1996. Effect of Oltiprazt, Alpha Tocopherol, Beta-carotene and Phenetyl Isothiocyanate on Rats Oesophageal, Gastric, Colonic, and Hepatic. Gluthatione, Gluthatione S Tranferase and Peroxidase, Carcinogenesis. 17(7). Pp : 1439-1445.
Warintek 2005.Wortel.http://warintek.progressio.or.id/pertanian/wortel.htm (6 September 2009) Wenas N.T. 1996. Kelainan Hati Akibat Obat. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi III. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Pp:364 Wijayakusuma H. 2005. Penyembuhan dari Kanker. Jakarta : Pustaka Populer Obor. Wijoyo Y. 2001. Antaraksi Sari Wortel dengan Parasetamol Kajian Pada Kinerja Farmakokinetika Parasetamol pada Tikus Putih Jantan. Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma. Tesis. Wikipedia. 2008. Apiaceae : Wortel. http://id.wikipedia.org/wiki/Wortel.ht (6 September 2009) Wilmana P.F. 1995. Analgetik antipiretik, analgetik antiinflamasi non steroid dan obat pirai. Dalam : Ganiswara S.G. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi FK UI, hal : 214-5.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Pengamatan pada Kelompok Kontrol (KK) Tabel 3. Jumlah inti sel hepar yang mengalami piknosis, karyoreksis, karyolisis dari tiap 100 sel di zona sentrolobuler untuk kelompok kontrol. No.Urut Mencit 1
2
3
4
5
6
7
No. Preparat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Σ
Piknosis 9 8 8 10 8 9 8 9 10 12 8 8 12 14 13 12 11 12 9 11 10 211
Inti sel hepar Karyoreksis Karyolisis 20 4 25 3 24 3 17 4 12 2 15 3 17 1 16 2 17 2 20 4 25 1 18 3 22 3 18 2 20 3 25 3 23 3 22 2 23 2 21 3 23 2 423 55
Jumlah 33 36 35 31 22 27 26 27 29 36 34 29 37 34 36 40 37 36 34 35 35 689
Sumber : Data Primer, 2010
Rata-rata jumlah kerusakan sel hepar mencit untuk kelompok kontrol = 32,81
Lampiran 2. Hasil Pengamatan pada Kelompok Perlakuan I (KP1) Tabel 4. Jumlah inti sel hepar yang mengalami piknosis, karyoreksis, karyolisis dari tiap 100 sel di zona sentrolobuler untuk kelompok perlakuan I. No.Urut Mencit 1
2
3
4
5
6
7
No. Preparat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Σ
Piknosis 33 38 27 27 22 38 32 30 31 33 24 27 30 36 31 28 24 26 37 36 32 642
Inti sel hepar Karyoreksis Karyolisis 25 5 24 5 30 6 34 4 32 4 22 3 24 5 28 4 26 6 28 5 25 5 18 6 22 5 17 5 18 4 30 6 34 6 37 6 30 7 27 5 22 6 553 108
Jumlah 63 67 63 65 58 63 61 62 63 66 54 51 57 58 53 64 64 69 74 68 60 1303
Sumber : Data Primer, 2010
Rata-rata jumlah kerusakan sel hepar mencit untuk kelompok perlakuan I = 62,05
Lampiran 3. Hasil Pengamatan pada Kelompok Perlakuan II (KP2) Tabel 5. Jumlah inti sel hepar yang mengalami piknosis, karyoreksis, karyolisis dari tiap 100 sel di zona sentrolobuler untuk kelompok perlakuan II. No.Urut Mencit 1
2
3
4
5
6
7
No. Preparat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Σ
Piknosis 14 16 12 20 16 12 21 18 20 14 16 18 12 20 14 14 20 16 14 18 18 343
Inti sel hepar Karyoreksis Karyolisis 22 3 18 4 17 4 14 3 12 3 18 4 22 3 16 4 18 5 24 4 24 5 18 6 18 4 22 5 12 4 10 3 12 4 14 4 18 4 20 5 18 4 367 85
Jumlah 39 38 33 37 31 34 46 38 43 42 45 42 34 27 30 47 36 34 36 43 40 795
Sumber : Data Primer, 2010
Rata-rata jumlah kerusakan sel hepar mencit untuk kelompok perlakuan II = 37,86
Lampiran 4. Hasil Pengamatan pada Kelompok Perlakuan III (KP3) Tabel 6. Jumlah inti sel hepar yang mengalami piknosis, karyoreksis, karyolisis dari tiap 100 sel di zona sentrolobuler untuk kelompok perlakuan III. No.Urut Mencit 1
2
3
4
5
6
7 Σ
No. Preparat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Piknosis 25 28 20 27 25 24 26 23 26 28 24 20 33 31 30 24 26 20 27 32 31 550
Inti sel hepar Karyoreksis Karyolisis 30 10 22 8 28 7 30 8 28 9 28 9 24 8 28 7 22 10 25 10 22 6 24 8 20 5 26 8 25 6 22 6 26 7 28 9 24 8 26 10 25 9 553 168
Jumlah 65 58 55 65 62 61 58 58 58 63 52 52 58 65 61 52 59 57 59 68 65 1251
Sumber : Data Primer, 2010
Rata-rata jumlah kerusakan sel hepar mencit untuk kelompok perlakuan III = 59,57
Lampiran 5. Uji Statistik One-Sample Kolmogorov-Smirnov untuk Jumlah Kerusakan Sel Hepar Mencit
Tabel 7. Hasil uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov untuk jumlah kerusakan sel hepar mencit pada 4 kelompok mencit.
NPar Tests One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Skor kerusakan sel hepar mencit N Normal Parameters
84 a
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal.
48.07 13.888
Absolute
.157
Positive
.147
Negative
-.157 1.434 .033
Lampiran 6. Uji Statistik One-Sample Kolmogorov-Smirnov setelah Transform untuk Jumlah Kerusakan Sel Hepar Mencit
Tabel 8. Hasil uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov setelah Transform untuk jumlah kerusakan sel hepar mencit pada 4 kelompok mencit.
NPar Tests One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
transform_selhepar N Normal Parameters
84 a
Most Extreme Differences
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal.
Mean
1.6626
Std. Deviation
.13308
Absolute
.175
Positive
.118
Negative
-.175 1.605 .012
Lampiran 7. Uji Statistik Kruskal Wallis Jumlah Kerusakan Sel Hepar Mencit
Uji Kruskal Wallis jumlah kerusakan sel hepar mencit Tabel 9. Hasil uji Kruskal Wallis untuk jumlah kerusakan sel hepar mencit pada 4 kelompok mencit. Ranks KELOMPOK jumlah sel hepar rusak
N
Mean Rank
KONTROL
21
16.29
PERLAKUAN 1
21
66.31
PERLAKUAN 2
21
26.71
PERLAKUAN 3
21
60.69
Total
84
a,b
Test Statistics
jumlah sel hepar rusak Chi-Square df Asymp. Sig. a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: KELOMPOK
64.865 3 .000
Lampiran 8. Uji Statistik Mann Whitney Jumlah Kerusakan Sel Hepar Mencit Tabel 10. Hasil uji Mann Whitney antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan I Ranks KELOMPOK jumlah sel hepar rusak
N
Mean Rank
Sum of Ranks
KONTROL
21
11.00
231.00
PERLAKUAN 1
21
32.00
672.00
Total
42
a
Test Statistics
jumlah sel hepar rusak Mann-Whitney U
.000
Wilcoxon W
231.000
Z
-5.554
Asymp. Sig. (2-tailed)
.000
a. Grouping Variable: KELOMPOK
Tabel 11. Hasil uji Mann Whitney antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan II Ranks KELOMPOK jumlah sel hepar rusak
N
Mean Rank
Sum of Ranks
KONTROL
21
16.29
342.00
PERLAKUAN 2
21
26.71
561.00
Total
42
a
Test Statistics
jumlah sel hepar rusak Mann-Whitney U
111.000
Wilcoxon W
342.000
Z
-2.765
Asymp. Sig. (2-tailed)
.006
a. Grouping Variable: KELOMPOK
Tabel 12. Hasil uji Mann Whitney antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan III Ranks KELOMPOK jumlah sel hepar rusak
Mean Rank
Sum of Ranks
KONTROL
21
11.00
231.00
PERLAKUAN 3
21
32.00
672.00
Total
42
a
Test Statistics
jumlah sel hepar rusak Mann-Whitney U Wilcoxon W
N
.000 231.000
Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: KELOMPOK
-5.560 .000
Tabel 13. Hasil uji Mann Whitney antara kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II Ranks KELOMPOK jumlah sel hepar rusak
N
Mean Rank
Sum of Ranks
PERLAKUAN 1
21
32.00
672.00
PERLAKUAN 2
21
11.00
231.00
Total
42
a
Test Statistics
jumlah sel hepar rusak Mann-Whitney U
.000
Wilcoxon W
231.000
Z
-5.551
Asymp. Sig. (2-tailed)
.000
a. Grouping Variable: KELOMPOK
Tabel 14. Hasil uji Mann Whitney antara kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan III Ranks KELOMPOK jumlah sel hepar rusak
N
Mean Rank
Sum of Ranks
PERLAKUAN 1
21
24.31
510.50
PERLAKUAN 3
21
18.69
392.50
Total
42
a
Test Statistics
jumlah sel hepar rusak Mann-Whitney U
161.500
Wilcoxon W
392.500
Z
-1.491
Asymp. Sig. (2-tailed)
.136
a. Grouping Variable: KELOMPOK
Tabel 15. Hasil uji Mann Whitney antara kelompok perlakuan II dan kelompok perlakuan III Ranks KELOMPOK jumlah sel hepar rusak
Mean Rank
Sum of Ranks
PERLAKUAN 2
21
11.00
231.00
PERLAKUAN 3
21
32.00
672.00
Total
42
a
Test Statistics
jumlah sel hepar rusak Mann-Whitney U Wilcoxon W
N
.000 231.000
Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: KELOMPOK
-5.557 .000
Lampiran 9. Tabel Konversi Dosis Untuk Manusia dan Hewan
Tabel 16. Tabel Konversi Dosis Untuk Manusia dan Hewan
Mencit Tikus Marmot Kelinci Kucing Kera Anjing Manusia 20 g 200g 400 g 1,5 kg 2 kg 4kg 12 kg 70 kg 1,0 7,0 12,25 27,8 29,7 64,1 124,2 387,9
Mencit 20 g Tikus 0,14 1,0 1,74 200 g Marmot 0,08 0,57 1,0 400 g Kelinci 0,04 0,25 0,44 1,5 kg Kucing 0,03 0,23 0,41 2 kg Kera 0,016 0,11 0,19 4 kg Anjing 0,008 0,06 0,1 12 kg Manusia 0,0026 0,018 0,031 70 kg (Sumber: Ngatidjan, 1991)
3,9
4,2
9,2
17,8
56,0
2,25
2,4
5,2
10,2
31,5
1,0
1,08
2,4
4,5
14,2
0,92
1,0
2,2
4,1
13,0
0,42
0,45
1,0
1,9
6,1
0,22
0,24
0,52
1,0
3,1
0,07
0,0076
0,10
0,32
1,0
Lampiran 10.
Tabel 17. Daftar Volume Maksimal Bahan Uji Pada Pemberian Secara Oral
Jenis Hewan
Mencit
Berat Rerata
Volume Maksimal
20 – 30 g
1,0 ml
100 g
5,0 ml
Hamster
50 g
2,5 ml
Marmot
250 g
10,0 ml
Kelinci
2500 g
20,0 ml
Kucing
3000 g
50,0 ml
Anjing
5000 g
100,0 ml
Tikus putih
Lampiran 11. Foto-foto Preparat
D.
A.
B
C.
Gambar 2. Gambar histologis zona sentrolobuler lobulus hepar mencit pada kelompok kontrol (KK), perbesaran 400 X dengan mikroskop OptiLab Keterangan : A :Inti sel normal; B :Inti sel piknosis; C :Inti sel karyoreksis; D :Inti sel karyolisis A. D. C.
B.
Gambar 3. Gambar histologis zona sentrolobuler lobulus hepar mencit pada kelompok Perlakuan I (KP1), perbesaran 400 X dengan mikroskop OptiLab Keterangan : A :Inti sel normal; B :Inti sel piknosis; C :Inti sel karyoreksis; D :Inti sel karyolisis .
C. A.
B.
D.
Gambar 4. Gambar histologis zona sentrolobuler lobulus hepar mencit pada kelompok Perlakuan II (KP2), perbesaran 400 X dengan mikroskop OptiLab Keterangan : A :Inti sel normal; B :Inti sel piknosis; C :Inti sel karyoreksis; D :Inti sel karyolisis C.
A. B.
D.
Gambar 5. Gambar histologis zona sentrolobuler lobulus hepar mencit pada kelompok Perlakuan III (KP3), perbesaran 400 X dengan mikroskop OptiLab Keterangan : A :Inti sel normal; B :Inti sel piknosis; C :Inti sel karyoreksis; D :Inti sel karyolisis
Lampiran 12. Gambar Alat dan Bahan Penelitian
Gambar 6. Mencit
Gambar 8. Menyonde mencit
Gambar 7. Sari Wortel
Gambar 9. Cervical Dislocation
Gambar 10. Mikroskop OptiLab
.