PENGARUH PEMBERIAN PATI TAPIOKA TERMODIFIKASI POLIFENOL TEH HIJAU DAN DAUN JAMBU BIJI MERAH PADA TIKUS NORMAL DAN DIABETES
ELISA DIANA JULIANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Pemberian Pati Tapioka Termodifikasi Polifenol Teh Hijau dan Daun Jambu Biji Merah pada Tikus Normal dan Diabetes adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2012
Elisa Diana Julianti NRP F251080311
ABSTRACT
ELISA DIANA JULIANTI. The Effect of Tapioca Starch Modified with Green Tea and Red Guava Leaf Polyphenols on Normal and Diabetic Rats. Under direction of DEDDY MUCHTADI, NURHENI SRI PALUPI, and DEWI RATIH AGUNGPRIYONO. The aim of this research was to develop low digestibility starch made from tapioca (Manihot utilisima) modified with polyphenol extracts of green tea and guava leaves which are useful for reducing the risk of diabetes mellitus. Ration containing of tapioca starch modified with 4% green tea and 4% guava leaf extracts were fed to streptozotocin induced diabetic Sprague dawley rats. After 35 days of experiment, the blood glucose level, blood lipid profile, liver antioxidant activity and pancreatic Langerhans islets were assayed. The result showed that the tapioca starch modified with 4% green tea and 4% guava leaf extract diets could lower blood sugar levels in diabetic rats and increase the population of beta cells of pancreatic islets. The rations did not influence the serum lipid profile and liver antioxidant activity of the rats. Keywords: Modified tapioca starch, green tea, guava leaf, diabetic rats, antioxidant status, blood lipid.
RINGKASAN ELISA DIANA JULIANTI. Pengaruh Pemberian Pati Tapioka Termodifikasi Polifenol Teh dan Daun Jambu Biji Merah Pada Tikus Normal dan Diabetes. Dibimbing oleh DEDDY MUCHTADI, NURHENI SRI PALUPI, dan DEWI RATIH AGUNGPRIYONO.
Tapioka merupakan hasil ekstraksi dari umbi singkong (ubi kayu). Ubi kayu sebagai komoditas penghasil tapioka memiliki produktivitas yang sangat tinggi. Di beberapa daerah di Indonesia tapioka digunakan sebagai makanan pokok. Namun pemanfaatan tapioka di industri makanan juga cukup tinggi. Akan tetapi pati tapioka mengandung amilosa rendah sehingga mudah dicerna, cepat dan mudah diserap, serta cepat meningkatkan kadar glukosa darah, sehingga indeks glikemik (IG)-nya cenderung tinggi, oleh karena itu tapioka tidak disarankan digunakan untuk penderita diabetes. Senyawa polifenol merupakan komponen bioaktif yang mampu menurunkan daya cerna karbohidrat, menghambat aktivitas enzim pencernaan terutama amilase dan tripsin. Senyawa polifenol dapat membentuk komplek dengan pati yang menyebabkan terjadinya perubahan struktur molekul pati sehingga tidak dikenali oleh enzim pencernaan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai pengembangan pati berdaya cerna rendah berbahan baku tapioka (Manihot utilisima) yang dimodifikasi dengan ekstrak polifenol dari teh hijau dan daun jambu biji untuk mengurangi resiko timbulnya penyakit diabetes mellitus. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan tapioka termodifikasi polifenol dengan daya cerna rendah, mengetahui pengaruh tapioka termodifikasi polifenol terhadap profil lipid darah, aktivitas antioksidan hati, aktivitas hipoglikemik dan gambaran histologi pankreas tikus diabetes. Daya cerna pati dilakukan dengan cara in vitro, sedangkan pengujian profil lipid darah, aktivitas antioksidan hati, aktivitas hipoglikemik dan gambaran histologi dilakukan secara in vivo menggunakan tikus strain Sprague dawley usia 2 bulan sebanyak 36 ekor yang dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan (1= tikus normal, pakan tapioka alami; 2= tikus normal, pakan tapioka termodifikasi polifenol 1; 3= tikus normal, pakan tapioka termodifikasi polifenol 2; 4= tikus diabetes, pakan tapioka alami; 5= tikus diabetes, pakan tapioka termodifikasi polifenol 1; 6= tikus diabetes, pakan tapioka termodifikasi polifenol). Tikus dibuat menjadi diabetes dengan induksi streptozotocin (STZ) sebanyak 45 mg/kg BB. Pati tapioka termodifikasi diperoleh melalui perendaman pati dengan dua jenis ekstrak sumber polifenol yaitu teh hijau dan daun jambu biji pada empat konsentrasi ekstrak yaitu 0%, 4%, 6% dan 8%. Pati tapioka termodifikasi baik dengan ekstrak teh hijau maupun ekstrak daun jambu biji memiliki daya cerna yang lebih rendah dibandingkan pati alaminya. Tetapi perbedaan konsentrasi ekstrak (0%, 4%, 6%, dan 8%) yang ditambahkan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05) pada daya cerna pati tapioka yang dimodifikasi baik dengan ekstrak teh hijau maupun daun jambu biji. Oleh karena itu untuk analisis secara in vivo pada tikus dipilih dua pati tapioka termodifikasi dengan nilai daya cerna
terendah yaitu pati tapioka termodifikasi ekstrak teh hijau 4% dan ekstrak daun jambu biji 4%. Pati termodifikasi baik dengan ekstrak teh hijau 4% maupun dengan ekstrak daun jambu biji 4% tidak berpengaruh nyata terhadap profil lipid serum darah tikus, aktivitas enzim SOD dan MDA hati tikus (p>0.05) baik pada tikus normal maupun tikus diabetes. Pati modifikasi baik dengan ekstrak teh hijau 4% maupun dengan ekstrak daun jambu biji 4% dapat menurunkan glukosa darah harian pada tikus diabetes (p<0.05). Tikus diabetes yang diberi pakan pati tapioka alami memiliki glukosa darah harian paling tinggi (384.41 mg/dl) dibandingkan tikus yang diberi pakan tapioka termodifikasi ekstrak teh hijau 4% (365.63 mg/dl) dan tapioka termodifikasi ekstrak daun jambu biji 4% (313.43 mg/dl). Persen pulau Langerhans per luas jaringan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada keenam kelompok perlakuan. Jumlah sel beta pankreas per 10 mm2 pulau Langerhans, pada tikus diabetes dengan pakan tapioka termodifikasi baik dengan ekstrak daun jambu biji (49.96) maupun ekstrak teh hijau (48.81) lebih tinggi dibandingkan tikus diabetes dengan pakan tapioka alami (33.57). Artinya pemberian pakan tapioka termodifikasi ekstrak teh hijau dan daun jambu biji memberikan pengaruh terhadap perbaikan sel beta pankreas dengan menahan laju kerusakan sel beta sehingga kepadatannya tetap dapat dipertahankan menyamai kepadatan sel beta pada tikus normal.
Kata kunci: Tapioka termodifikasi, teh hijau, daun jambu biji, tikus diabetes, status antioksidan, lipid darah.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa seizin IPB
PENGARUH PEMBERIAN PATI TAPIOKA TERMODIFIKASI POLIFENOL TEH HIJAU DAN DAUN JAMBU BIJI MERAH PADA TIKUS NORMAL DAN DIABETES
ELISA DIANA JULIANTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Mayor Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Didah Nur Faridah, STP, MSi.
HALAMAN PENGESAHAN Judul Penelitian
Nama NRP Program Studi
: Pengaruh Pemberian Pati Tapioka Termodifikasi Polifenol Teh Hijau dan Daun Jambu Biji Merah pada Tikus Normal dan Diabetes : Elisa Diana Julianti : F251080311 : Ilmu Pangan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS Ketua
Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MS Anggota
Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D. Anggota Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, MSc.
Tanggal Ujian :
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkah, rahmat, dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesish dengan judul “Pengaruh Pemberian Pati Tapioka Termodifikasi Polifenol Teh Hijau dan Daun Jambu Biji Merah pada Tikus Normal dan Diabetes”. Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS., Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi., dan drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D selaku dosen pembimbing atas bimbingan, dukungan, kritik, dan saran yang diberikan. 2. Kepada kedua orang tua (H.Djajang SY dan Hj. Ihat Muslihat),Suami (Ramadan), kedua putri tercinta (Deges dan Owie) serta keluarga besar atas doa, kasih sayang, pengertian,dan dukungannnya. 3. Rekan-rekan tim peneliti Puslitbang Gizi dan Makanan (Dra. Heru Yuniati MSi, Nunung, Mba Ema, Drh Endi Ridwan, MSc, dan Dr. Reviana) atas bantuan dan kerjasamanya. 4. Bapak Nurwahid, Bapak Rojak, Bapak Sobirin, Ibu Aas, Pak Pandi, Mba Dewi, Mba Ella, Mas Bangkit, Mba Kiki beserta staf Teknisi Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA-IPB, Laboratorium Toksikologi Pangan Puslitbang Gizi dan Makanan, serta Laboratorium Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, FKH-IPB. 5. Mas Nono, Muti dan rekan-rekan IPN 2008, atas bantuan, motivasi dan kebersamaannya. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Puslitbang Gizi dan Makanan, Badan Litbang Kesehatan, Kementrian Kesehatan atas bantuan dana penelitian yang telah diberikan sehingga penelitian ini dapat berjalan. Saran dan kritik sangat penulis harapkan, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Juli 2012
Elisa Diana Julianti
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 24 Juli 1979 dari ayah H. Djadjang Syafrudin dan ibu Hj. Siti Muslihat. Penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara. Tahun 1997 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Pascasarjana pada program studi Ilmu Pangan diperoleh pada tahun 2008. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Badan Litbang Kesehatan, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai Peneliti Muda di Pusat Penelitian Gizi dan Makanan sejak tahun 2003 dan kemudian menjadi Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik pada Tahun 2011. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab peneliti adalah Gizi dan Makanan.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ….………………………………….………………................
iii
DAFTAR GAMBAR …………………………………..…….……………...........
iv
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………….
v
I. PENDAHULUAN …………………………………………………………….... 1. 1. Latar Belakang ……..………………………………….……..……………. 1. 2. Tujuan……………………………………………………………………… 1. 3. Hipotesis………..…………………………………………………………..
1 1 3 3
II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………..…………………… 2.1. Pati…………………… …..………………………………………….…….. 2.1.1. Pati Tapioka (Manihot utilisima)…............................................... 2.2. Polifenol………………………………………………..………………....... 2.2.1. Polifenol Teh Hijau (Camellia sinensis)…………………………….. 2.2.2. Polifenol Daun Jambu Biji (Psidium guajava Linn)………………… 2.3. Enzim Antioksidan…………………………………………………………. 2.3.1. Enzim Superoksida Dismutase (SOD)………………………………. 2.3.2. Enzim Katalase………………………………………………………. 2.3.3. Enzim Glutathion Peroksidase………………………………………. 2.4. Diabetes…………………………………………………………………….. 2.4.1. Pati dan Diabetes…………………………………………………….. 2.4.2. Polifenol dan Diabetes……………………………………………….. 2.4.3. Radikal Bebas dan Diabetes…………………………………………. 2.4.4. Dislipidemia dan Diabetes…………………………………………… 2.4.5. Induksi Diabetes dengan Streptozotocin (STZ)……………………...
4 4 5 5 7 8 10 10 11 11 11 16 17 19 21 21
III METODOLOGI……………………………………………………………….. 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian…………………………………………….. 3.2. Bahan dan Alat……………………………………………………………. 3.2.1. Bahan………………………………………………………………. 3.2.2. Alat………………………………………………………………… 3.3. Tahapan Penelitian………………………………………………………... 3.3.1. Penelitian Tahap 1: Ekstraksi Teh Hijau dan Daun Jambu Biji….. 3.3.1.1. Ekstraksi Teh Hijau dan Daun Jambu Biji………………. 3.3.1.2. Analisis Kadar Total Fenol Metode Folin-Ciocalteu (Sato et al. 1996, diacu dalam Nantitanon et al. 2010 yang dimodifikasi)………………………………………
23 23 23 23 24 25 26 26
26
i
3.3.1.3. Aktivitas Antioksidan, Metode DPPH (Kubo et al. 2002 yang dimodifikasi)………………………………………. 3.3.2. Penelitian Tahap 2: Pembuatan Pati Tapioka Termodifikasi Polifenol………………………………………………………….. 3.3.2.1. Pembuatan Pati Tapioka Termodifikasi Polifenol………. 3.3.2.2. Analisis Proksimat (AOAC 1995)………………………. 3.3.2.3. Analisis Kadar Serat Pangan Metode Enzimatis (AOAC 1995)…………………………………………………….. 3.3.2.4. Analisis Daya Cerna Pati Secara Enzimatis (Muchtadi & Palupi 1992)……………………………………………... 3.3.3. Penelitian Tahap 3: Uji In vivo Pati Tapioka Termodifikasi Polifenol terhadap Profil Lipid Darah Tikus dan terhadap Aktivitas Antioksidan Hati Tikus………………………………… 3.3.3.1. Persiapan Uji In vivo pada Tikus………………………... a. Induksi Streptotozin Pada Tikus (Wu & Huan 2008)... b. Pembuatan Ransum (AOAC 1995)…………………... c. Pengukuran Jumlah Konsumsi Ransum dan Berat Badan……………………………………………......... d. Pembedahan Tikus……………………………………. 3.3.3.2. Analisis Profil Lipid Darah................................................ a. Pengukuran Kolesterol Serum (Allain et al. 1974)....... b. Pengukuran Kadar Trigliserida (Megraw et al. 1979).. c. Pengukuran Kadar HDL (Stein &Myers 1994)…........ d. Pengukuran Kadar LDL (Friedewald 1972)................. 3.3.3.3. Analisis Aktivitas Antioksidan Hati.................................. a. Persiapan Homogenat Hati (Singh et al. 2000)……… b. Pengukuran Aktivitas Enzim Superoksida Dismutase (SOD) Hati (Kubo et al. 2002; Wijeratne et al. 2005; Prangdimurti 2007)................................................. c. Pengukuran Kadar Malonaldehid (MDA) Hati (Singh et al 2000).............................................................. 3.3.4. Penelitian Tahap 4: Uji In Vivo Pati Tapioka Termodifikasi Polifenol terhadap Glukosa Darah dan Histologi Jaringan Pankreas Tikus……………………………………………………. 3.3.4.1. Analisis Kadar Glukosa Darah (Wu & Huan 2008)……... 3.3.4.2. Analisis Histologi (Kiernan 1990)……………………….. 3.4. Analisis Data (Walpole 1982)…………………………………………….. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN…..………………………………………....... 4.1. Ekstrak Teh Hijau dan Daun Jambu Biji Merah………………………….. 4.1.1. Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan………………………… 4.2. Pati Tapioka Termodifikasi……………………………………………….
28 28 28 29 30 32
33 33 34 35 35 36 36 36 37 37 38 38 38
38 39
39 39 40 42 44 44 44 47
ii
4.2.1. Daya Cerna Pati In vitro…………………………………………… 4.2.2. Komposisi Kimia Pati Tapioka Termodifikasi…………………….. 4.3. Profil Lipid Darah dan Aktivitas Antioksidan Hati………………………. 4.3.1. Induksi Streptozotocin dan Pengelompokan Tikus………………... 4.3.2. Kandungan dan Komposisi Kimia Ransum……………………….. 4.3.3. Konsumsi Ransum dan Berat Badan Tikus………………………... 4.3.4. Profil Lipid Darah…………………………………………………. 4.3.5. Aktivitas Antioksidan Hati………………………………………… 4.4. Kadar Glukosa Darah dan Histologi Pankreas…………...………………. 4.4.1. Kadar Glukosa Darah…………………………………………………. 4.4.2. Histologi Pankreas……………………………………………………..
47 50 53 53 53 55 56 58 60 60 62
V KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………………... 5.1. Kesimpulan……………………………………………………..………… 5.2. Saran………………………………………………………………...…….
66 66 66
V. DAFTAR PUSTAKA …..………………………………………………...……
67
iii
DAFTAR TABEL
Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Kandungan zat gizi beberapa jenis pati (per 100 g)…………….............. Klasifikasi polifenol………………………………………...................... Kandungan polifenol teh hijau dan teh hitam (% berat kering)…............ Tahap penelitian dan analisis…………………………………………… Kelompok perlakuan tikus model………………………………………. Kadar polifenol dan aktivitas antioksidan (bb) ekstrak teh dan daun jambu biji 58-60oBrix…………………………………………………… Daya cerna pati termodifikasi (%) dengan ekstrak teh hijau dan daun jambu biji merah…………………………………………………... Komposisi kimia tapioka termodifikasi (% bk)……………………….... Kelompok perlakuan tikus untuk uji hipoglikemik………………...…… Komposisi ransum tikus (per 100 g)……………………………………. Komposisi kimia ransum tikus …………..……………………………... Rata-rata konsumsi ransum…………..…………………………………. Kadar kolesterol, trigliserida, HDL, dan LDL tikus……………………. Aktivitas enzim SOD dan kadar MDA hati tikus.................................. Glukosa darah harian tikus (mg/dl)…..…….....……………...................
4 6 8 25 34 44 47 51 53 54 54 55 57 59 60
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Aksi potensial dari polifenol dalam diet terhadap metabolisme karbohidrat dan keseimbangan glukosa (Hanhineva et al.2010)........................................................ 2 Stress oksidatif pada penderita diabetes (Johansen et al.2005).………................. 3 Proses pembuatan bubuk teh hijau (Widowati 2007) dan daun jambu biji merah muda kering (Nantitanon yang dimodifikasi 2010).……………………………..... 4 Proses ekstraksi bubuk teh hijau (Widowati 2007) dan daun jambu biji merah kering (Nantitanon 2010)……………………………….………………………… 5 Pembuatan pati tapioka termodifikasi untuk uji hipoglikemik dan analisis kimianya …………………………………………….…………............................. 6 Alur penelitian in vivo pada tikus............................................................................
18 20 27 27 29 33
7 Pati tapioka alami, tapioka termodifikasi ekstrak teh hijau dan daun jambu biji 4%.......................................................................................................................... 50 8 Rata-rata Berat badan harian tikus selama percobaan…………………………..... 56 9 Pembentukan ikatan antara flavonoid (quercetagetin) di dalam binding site αamylase (Piparo et al. 2008)…………………………………….. ………………. 62 10 Histologi jaringan pankreas, pulau Langerhans, dan sel beta pankreas: pewarnaan imunohistokimia anti insulin (perbesaran 400x) perbesaran 400x)…. 63 11 Persen luas pulau Langerhans per luas jaringan pankreas…….………………….. 64 12 Jumlah sel beta pankreas per 10 mm2 pulau Langerhans….................................... 65
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Aktivitas antioksidan dan total polifenol ekstrak daun jambu dan teh… Uji t test aktivitas antioksidan ekstrak daun jambu dan ekstrak teh……. Uji t test total polifenol ekstrak daun jambu dan ekstrak teh…………… Daya cerna pati tapioka…………………………………………………. Uji sidik ragam daya cerna pati tapioka ekstrak daun jambu…………… Uji sidik ragam daya cerna pati tapioka ekstrak daun teh…………….... Komposisi kimia pati tapioka aseli dan tapioka modifikasi…………...... Uji sidik ragam dan analisis lanjut kadar air pati tapioka aseli dan tapioka modifikasi (bk)………………………………………………….. Uji sidik ragam kadar abu pati tapioka aseli dan tapioka modifikasi (bk)…………………………………………………………………....... Uji sidik ragam kadar lemak pati tapioka aseli dan tapioka modifikasi (bk)……………………………………………………………………... Uji sidik ragam kadar karbohidrat pati tapioka aseli dan tapioka modifikasi (bk)………………………………………………………… Uji sidik ragam kadar protein pati tapioka aseli dan tapioka modifikasi (bk)………………………………………………………… Uji sidik ragam kadar serat tak larut pati tapioka aseli dan tapioka modifikasi (bk)………………………………………………………… Uji sidik ragam kadar serat larut pati tapioka aseli dan tapioka modifikasi (bk)…………...……………………………………………. Uji sidik ragam kadar total serat pati tapioka aseli dan tapioka modifikasi (bk)………………………………………………………… Komposisi kimia ransum tikus model…………………………………. Uji sidik ragam dan analisis lanjut kadar air ransum (bb)……………. Uji sidik ragam kadar abu ransum (bk)…….………………………….. Uji sidik ragam kadar lemak ransum (bk)….………………………… Uji sidik ragam kadar protein ransum (bk)………………………...…. Uji sidik ragam kadar karbohidrat ransum (bk)………………………... Konsumsi ransum tikus ……..……..…………………………………... Uji sidik ragam konsumsi ransum(bk) tikus...…………………………. Perubahan berat badan tikus normal…………………………………… Perubahan berat badan tikus diabetes…………………………………... Perubahan berat badan tikus selama perlakuan………………………... Uji sidik ragamperubahan berat badan tikus…………………………… Profil lipid serum darah tikus…………………………………………... Uji sidik ragam kolesterol serum darah tikus…………………………... Uji sidik ragam trigliserida serum darah tikus…………………………. Uji sidik ragam HDL serum darah tikus……………………………….. Uji sidik ragam LDL serum darah tikus………………………………...
77 77 78 79 79 80 80 81 81 82 82 82 83 83 84 84 85 85 86 86 86 87 87 88 89 90 90 91 92 92 93 93
vi
33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43
Aktivitas enzim SOD dan kadar MDA organ hati tikus……………….. Uji sidik ragam aktivitas enzim SOD hati tikus……………………….. Uji sidik ragam MDA hati tikus……………………………………….. Gula darah tikus normal………………………………………………... Gula darah tikus diabetes………………………………………………. Kadar gula darah harian tikus selama perlakuan………………………. Uji sidik ragam gula darah harian tikus selama perlakuan…………….. Luas jaringan pankreas, luas pulau langerhans, dan jumlah sel beta pankreas tikus………………………………………………………….. Uji sidik ragam % luas pulau Langerhans/luas jaringan pankreas tikus. Uji sidik ragam jumlah sel beta pankreas per 10 mm2 luas pulau Langerhans tikus……………………………………………………….. Persetujuan etik penelitian (Ethical Approval)…………………………
94 95 95 96 97 98 98 100 101 102 104
vii
LAMPIRAN
I.
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Tapioka merupakan hasil ekstraksi dari umbi singkong (ubi kayu). Ubi kayu sebagai komoditas penghasil tapioka memiliki produktivitas yang sangat tinggi. Data BPS tahun 2011 menunjukkan produksi ubi kayu mencapai 24 juta ton. Rata-rata produksi tapioka dari tahun 1996 sampai 2001 mencapai 15-16 juta ton, jumlah produksi tapioka yang terserap pasar dalam negeri sebanyak 13 juta ton dan permintaan dalam negeri mengalami peningkatan 10% per tahun. Di Asia Indonesia merupakan produsen nomor dua setelah Thailand (Deptan 2005). Di beberapa daerah di Indonesia tapioka digunakan sebagai makanan pokok. Namun pemanfaatan tapioka di industri makanan juga cukup tinggi. Tapioka banyak dimanfaatkan dalam industri kue (snack food), mie instant (noodle), glukosa, fruktosa, sorbitol, etanol, dan lain-lain (CIC 1998). Pati tapioka mengandung amilosa rendah (20±27%) sehingga mudah dicerna, cepat dan mudah diserap, serta cepat meningkatkan kadar glukosa darah, sehingga indeks glikemik (IG)-nya cenderung tinggi (Moorthy 2004; Niba 2006). Dibandingkan pati jagung, aren dan sagu, tapioka memiliki daya cerna paling tinggi 99.36% dan memiliki ukuran granula pati tapioka lebih kecil (12.58 µm) hampir sama dengan jagung (12.70 µm) (Yuniati et al. 2010). Selain itu tapioka juga memiliki IG tinggi (115+9) (FAO/WHO 1998), oleh karena itu tapioka tidak disarankan digunakan untuk penderita diabetes. Senyawa
polifenol
merupakan
komponen
bioaktif
yang
mampu
menurunkan daya cerna karbohidrat, menghambat aktivitas enzim pencernaan terutama amilase dan tripsin. Penurunan aktivitas enzim tersebut berdampak pada penurunan daya cerna pati (Piparo et al. 2008; Hanhineva et al. 2010). Senyawa polifenol dapat membentuk komplek dengan pati yang menyebabkan terjadinya perubahan struktur molekul pati sehingga tidak dikenali oleh enzim pencernaan (Thompson et al. 1984). Teh hijau dan daun jambu biji merupakan sumber polifenol yang potensial. Penelitian menunjukkan bahwa baik teh hijau (Kwon et al. 2008) maupun daun jambu biji (Deguchi dan Miyazaki 2010) mengandung komponen polifenol yang dapat menghambat enzim pencernaan. Widowati (2007)
2
melaporkan bahwa penambahan ekstrak polifenol dari teh hijau sebanyak 7% pada beras membramo pratanak dan 4% pada beras membramo instan fungsional mampu menurunkan daya cerna pati, menurunkan respon glukosa darah (indeks glikemik) dan menghambat laju kerusakan sel β-pankreas tikus diabetes mellitus. Prevalensi penyakit diabetes di Indonesia pada tahun 2000 menempati urutan ke empat teratas setelah India, Cina dan Amerika Serikat, yaitu 8.4 juta orang. Jumlah ini perkirakan akan mencapai 21.3 juta orang pada tahun 2030 (Wild et al. 2004). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 melaporkan bahwa prevalensi nasional penyakit diabetes melitus berdasarkan hasil diagnosis tenaga kesehatan dan gejala adalah 1.1%. Gambaran penyebaran penyakit ini tertinggi pada daerah perkotaan. Berdasarkan hasil pengukuran gula darah pada penduduk umur > 15 tahun yang bertempat tinggal di perkotaan, prevalensi diabetes melitus adalah 5.7%. Sementara penduduk yang menunjukkan intoleransi glukosa adalah 10.2% (BALITBANGKES 2008). Penyakit Diabetes Mellitus tipe 2 adalah penyakit yang paling banyak diderita oleh hampir 90-95 % dari seluruh penderita diabetes (Champe & Harvey 2005). Salah satu penyebab kejadian penyakit ini adalah resistensi insulin pada jaringan perifer dan gangguan sekresi insulin dari sel β-pankreas. Resistensi insulin adalah kelainan metabolik yang dicirikan oleh menurunnya sensitivitas jaringan terhadap insulin. Resistensi insulin menyebabkan intoleransi glukosa. Sel β-pankreas sebagai penghasil hormon insulin melemah, dan mendorong intoleransi glukosa serta hiperglikemia (Mayfield 1998). Konsumsi karbohidrat (pati dan gula) yang tinggi diduga sebagai penyebabnya. Oleh karena itu pencegahan penyakit diabetes mellitus tipe 2, dapat dilakukan dengan mengubah pola makan (jenis, jumlah, dan jadwal). Beberapa penelitian baik intervensi (Jarvi et al. 1999; Gilbertson et al. 2003) maupun epidemiologik (Kiens dan Richter 1996; Hodge et al. 2004) menunjukkan bahwa bahan pangan yang disarankan untuk dikonsumsi penderita diabetes mellitus adalah pangan yang dicerna dan diserap secara lambat (slow release), serta meningkatkan kadar glukosa secara lambat, yang lebih dikenal sebagai pangan berindeks glikemik rendah. Pangan dengan indeks glikemik rendah mampu mempertahankan keseimbangan glukosa dalam darah. Miller et al.
3
(1996) melaporkan bahwa pendekatan indek glikemik tidak hanya bermanfaat untuk penanganan penderita diabetes, tetapi juga berperan mencegah diabetes dan komplikasi yang mungkin terjadi akibat menderita diabetes seperti penyakit kardiovaskuler, stroke, kanker, ginjal dan saraf. Dari uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengembangan pati berdaya cerna rendah berbahan baku tapioka (Manihot utilisima) yang dimodifikasi dengan penambahan ekstrak polifenol dari teh hijau dan daun jambu biji merah untuk mengurangi resiko timbulnya penyakit diabetes. 1.2.Tujuan penelitian Tujuan umum: Mengkaji efek hipoglikemik pati tapioka termodifikasi polifenol pada tikus diabetes. Tujuan Khusus: 1. Menghasilkan tapioka termodifikasi polifenol dengan daya cerna rendah serta menganalisis karakteristik kimia dan biokimianya. 2. Menguji pengaruh tapioka termodifikasi polifenol terhadap kadar kolesterol, trigliserida, HDL, dan LDL darah tikus diabetes. 3. Menguji pengaruh tapioka termodifikasi polifenol terhadap aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) dan kadar malonaldehid hati tikus diabetes. 4. Menguji aktivitas hipoglikemik dan mendapatkan gambaran histologi pankreas tikus diabetes yang diberi tapioka termodifikasi polifenol.
1.3. Hipotesis 1. Tapioka termodifikasi polifenol menurunkan kadar kolesterol, trigliserida, dan LDL serta meningkatkan HDL darah tikus diabetes. 2. Tapioka termodifikasi polifenol mempertahankan aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) tetap tinggi dan menurunkan kadar malonaldehid hati tikus diabetes. 3. Tapioka termodifikasi polifenol menurunkan kadar glukosa darah tikus diabetes. 4. Tapioka termodifikasi polifenol menghambat laju kerusakan sel β-pankreas
tikus diabetes.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pati Sumber kalori utama manusia yang berasal dari makanan adalah pati. Sebagian besar bahan pangan di seluruh dunia memiliki pati sebagai komponennya. Kentang menjadi komponen utama dalam makanan di Eropa Utara, beras populer di Asia, dan jagung di Amerika Latin, sedangkan umbi dan akar berpati merupakan bagian penting dari konsumsi di sebagian besar daerah tropis. Pati terjadi secara alami melalui fotosintesis dan merupakan polisakarida yang tersimpan dalam tanaman. Pati terdiri dari dua komponen molekul dasar yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan molekul rantai lurus, sedangkan amilopektin adalah molekul bercabang. Selain itu, masing-masing dihidrolisis, dicerna, dan diserap secara berbeda. Amilosa dihidrolisis terutama oleh amilase, sedangkan amilopektin membutuhkan enzim debranching untuk hidrolisis lengkap (Niba 2006). Pati dapat diperoleh dari berbagai sumber tanaman. Sumber-sumber yang paling utama berasal dari serealia (seperti jagung dan gandum), umbi akar (seperti kentang dan ubi kayu/tapioka), dan pati lainnya (seperti pati sagu, pati garut, dan pati kana). Masing-masing pati memiliki kandungan gizi yang berbeda (Tabel 1). Tabel 1. Kandungan zat gizi beberapa jenis pati (per 100 g) Jenis Pati Sagu aren kering* Pati singkong/tapioca* Pati jagung/maizena* Sagu (Metroxylon sp)**
Air (g) 11.9 9.1 14 10.620.0
Energi (kkal) 355 363 341 317-356
Protein (g) 0.6 1.1 0.3 0.19-0.25
Lemak (g) 1.1 0.5 0 0.10-0.13
Karbohidrat (g) 85.6 88.2 85 79.19-89.05
Sumber :*Persagi 2009 ; **Karim et al. 2008
Produksi pati di dunia berkisar antara 20-25 juta ton per tahun dan sekitar 1-20 ton digunakan sebagai bahan pangan. Rekomendasi konsumsi pati untuk dapat memberikan keseimbangan energi makanan yang tidak dapat disediakan protein, lemak dan gula non-susu, rata-rata adalah 37% dari energi total orang dewasa. Prinsip yang sama juga dapat diterapkan untuk anak di atas 2 tahun.
5
Perhitungan tersebut adalah untuk pati yang dicerna di usus kecil dan bukan pati resisten (Eastwood 2003).
2.1.1. Pati Tapioka (Manihot utilisima) Rata-rata produksi tapioka di Indonesia mencapai 29.426 ton pada tahun 2004. Bahkan Indonesia telah menjadi pengekspor tapioka untuk kawasan Asia dan Eropa. Kebutuhan tapioka dunia sebanyak 29% dipenuhi oleh Indonesia selama tahun 1999-2004 (IFAD/FAO 2000, diacu dalam Astuti et al. 2009). Tapioka merupakan salah satu pati yang mudah untuk diekstrak karena ubi kayu memiliki kandungan protein dan lemak yang sangat rendah. Oleh karena itu proses ekstraksi dapat dilakukan secara sederhana. Jika proses dilakukan dengan benar akan diperoleh pati murni berwarna putih. Rendahnya kadar lemak pada pati singkong
(<0.1%) menyebabkan memiliki rasa non-sereal yang sangat
diinginkan pada banyak produk makanan (Moorthy 2004). Pemanfaatan tapioka dalam pangan meliputi makanan ringan (snack food), aneka biskuit/kraker, bubur bayi instan, produk olahan daging (bakso, sosis, nugget), tepung bumbu (Fageti 2009), pudding, permen, biskuit, pengental (Tjokroadikusumo 1986), bahan pelapis (coating) makanan instan, permen, dan produk olahan daging (Fadilah 2004). 2.2. Polifenol Komponen fenolik atau polifenol dapat didefinisikan sebagai suatu zat kimia yang memiliki satu atau lebih bantalan cincin aromatik substituen hidroksi, termasuk derivatif fungsional (ester, metil eter, glikosida dan lain-lain) (Harborne 1989, diacu dalam Ho 1992). Polifenol juga dapat dikatakan sebagai mikronutrien yang jumlahnya melimpah dalam makanan. Ribuan molekul telah diidentifikasi dari dalam tanaman tingkat tinggi (yakni, beberapa kelompok hidroksil pada cincin aromatik), dan beberapa ratus ditemukan pada tanaman konsumsi. Molekul-molekul ini merupakan metabolit sekunder dari tanaman yang umumnya terlibat dalam pertahanan terhadap radiasi ultraviolet atau agresi oleh patogen (Manach et al. 2005a). Terdapat lebih dari 500 polifenol yang terkandung dalam makanan dan minuman. Saat ini data kandungan polifenol dalam makanan dapat dengan mudah
6
diperoleh melalui data base phenol-explorer yang dapat diunduh melalui website http://www.phenol-explorer.eu. Data base yang terdapat dalam website tersebut telah dievaluasi sebelum disajikan dalam nilai rata-rata. Dari data base tersebut dapat diketahui 502 data polifenol dalam 452 makanan dan memungkinkan semua nilai kandungan aslinya dari sumber-sumber literatur (Neveu et al. 2010). Tabel 2 menunjukkan pengelompokkan polifenol ke dalam 5 kelas utama yaitu flavonoid, lignan, asam fenolik, stilben, dan polifenol lainnya. Tabel 2. Klasifikasi polifenol Kelas Flavonoid Lignan Asam fenolik
Stilben Polifenol lainnya
Subkelas Antosianin, dihidrochalcones, dihidroflavonols, flavanols, flavanon, flavon, flavonol, isoflavonoid, flavonoids total Lignan Asam hidrobenzoat, asam hidrocinamat, asam hidroksifenilasetat, asam hidroksifenillaktat, asam hidroksifenilpropanoat, dan total asam fenoli Stilben Alkilmetoksifenol, alkilfenol, betasianin, capsaicinoid, curcuminoid, dihidrocapsaicin, furanocoumarin, hidroksibenzaldehid, hidroksibenzoketon, hidroksicinnamaldehid, hidroksicoumarin, hidroksifenilalkohol, hidroksifenilpropen, metoksifenol, naptokuinon, terpen fenol, tirosol, dan polifenol lainnya
Sumber: http://www.phenol-explorer.eu, diunduh pada 09 Juni 2010
Polifenol asam fenolik dapat dibedakan menjadi dua kelas utama yaitu turunan dari asam benzoat dan turunan dari asam cinamat. Kandungan asam hidrobenzoat dalam tanaman yang dapat dikonsumsi umumnya sangat rendah, kecuali pada jenis buah tertentu yang berwarna merah, lobak hitam, dan bawang yang bisa mencapai 10 mg/kg berat segar (Shahidi & Naczk 2002, diacu dalam Manach et al. 2004). Polifenol yang ditemukan dalam jumlah kecil pada makanan yang dikonsumsi manusia adalah stilben. Salah satu dari jenis polifenol stilben adalah resveratrol yang memiliki efek antikarsinogenik yang terdapat dalam jumlah kecil pada anggur (0.3–7 mg aglikon/L dan 15 mg glikosida/L dalam anggur merah) (Bertelli et al. 1998, Bhat, Pezzuto 2002, Vitrac 2002, diacu dalam Manach et al. 2004). Konsumsi polifenol di dalam diet disarankan maksimal 1 g/hari (Ovaskainen 2008, diacu dalam Hanhineva et al. 2010). Sifat biologis polifenol tergantung pada jumlah yang dikonsumsi dan ketersediaan hayati mereka. Bioavailabilitas antar berbagai jenis polifenol akan
7
berbeda, polifenol yang paling banyak dikonsumsi dari bahan pangan belum tentu menjadi metabolit aktif dalam target jaringan. Dari 97 penelitian yang meneliti kinetika dan tingkat penyerapan polifenol (dosis tunggal senyawa polifenol murni, ekstrak tumbuhan, atau dalam makanan/minuman) pada orang dewasa, menunjukkan bahwa metabolit yang terdapat dalam darah, hasil aktivitas pencernaan dan hati, biasanya berbeda dari senyawa asli. Asam galat dan isoflavon merupakan polifenol yang paling baik diserap, diikuti oleh katekin, flavanon, dan glukosida kuersetin. Polifenol yang paling sedikit diserap adalah proantosianidin, katekin teh, dan antosianin (Manach et al. 2005b). Sifat biologis yang dimiliki polifenol beragam yakni sebagai antioksidan, antiapoptosis, perlindungan
antiaging, jantung,
antikarsinogen,
peningkatan
fungsi
antiinflamasi, endotel,
antiaterosklerosis,
serta
penghambatan
angiogenesis dan aktivitas proliferasi sel (Han et al. 2007). Polifenol dianggap memberikan
kontribusi
terhadap
pencegahan
berbagai
macam
penyakit
degeneratif, termasuk penyakit kardiovaskuler. Asumsi ini bermula dari studi in vitro beberapa polifenol terhadap kemampuan antioksidan dan kemampuan mengatur aktivitas berbagai enzim. Peran protektif polifenol terhadap penyakit kardiovaskuler diperkuat dengan sejumlah studi epidemiologi, uji klinis, percobaan pada model hewan dan studi mekanistik (Manach et al. 2005a). 2.2.1. Polifenol Teh Hijau (Camellia sinensis) Teh hijau (daun dari Camellia sinensis) merupakan minuman yang popular di kawasan Asia Timur. Di Eropa dan Amerika Selatan biasanya digunakan sebagai herbal (Benelli et al. 2002, Weisburger & Chung 2002, diacu dalam Tsuneki et al. 2004). Manfaat kesehatan dari teh dipercaya disebabkan terutama oleh kandungan polifenolnya yang tinggi terutama flavonoid. Teh dapat dikelompokkan menjadi teh hijau dan teh hitam. Teh hitam diproduksi dengan mendorong oksidasi enzimatik dari flavonoid teh. Enzim yang terlibat dalam oksidasi enzimatik polifenol diinaktifkan untuk memproduksi teh hijau. Baik teh hijau maupun teh hitam kaya akan flavonoid (Tabel 3) (Hogdson 2008).
8
Tabel 3. Kandungan polifenol teh hijau dan teh hitam (% berat kering) Komponen Total flavonoid Total katekin (-) Epikatekin (-) Epikatekin gallate (-) Epigallokatekin (-) Epigallokatekin gallate Flavonol Teaflavin Polifenol lain
Teh hijau
Teh hitam
15-25 12-18 1-3 3-6 3-6 9-13 2-3 <1 2-4
15-25 2-3 <1 <1 <1 1-2 1-2 4 7-15
Sumber : Hogdson 2008
Hasil studi secara in vitro menunjukkan bahwa beberapa jenis teh memiliki efek positif terhadap faktor resiko hiperglikemia. Hal ini berkaitan dengan kemampuan polifenol teh dalam modulasi enzim karbohidrat yang berhubungan dengan penyerapan glukosa. Teh memiliki aktivitas penghambatan terhadap salah satu enzim yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat yaitu αglukosidase. Komponen fenolik utama dari teh yang memiliki penghambatan tinggi terhadap α-glukosidase adalah asam protokatekuik, asam kafeinat, asam koumarik, dan asam galat (Kwon et al. 2008). Dari hasil studi in vitro diketahui bahwa polifenol teh juga dapat berperan sebagai antioksidan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung melalui pemulungan spesies oksigen dan nitrogen reaktif (scavenging reactive oxygen dan spesies nitrogen) dan mengkelat ion logam transisi redoks-aktif. Secara tidak langsung melalui 1) penghambatan faktor transkripsi redoks-sensitif, factor- k B nuklir dan aktivator protein-1, 2) penghambatan enzim "pro-oksidan", seperti, lipoksigenase, siklooksigenase dan xanthine oksidase, dan 3) induksi fase II dan enzim antioksidan seperti glutation S-transferase dan superoksida dismutase (Frei dan Higdon 2003). 2.2.2. Polifenol Daun Jambu Biji (Psidium guajava Linn) Jambu biji (Psidium guajava Linn.) digunakan tidak hanya sebagai makanan tetapi juga sebagai obat rakyat di daerah subtropis di seluruh dunia karena kemampuan farmakologisnya. Ekstrak daun jambu biji secara tradisional digunakan untuk pengobatan diabetes di Asia Timur dan negara-negara lain. Selain itu, aktivitas anti-hiperglikemik yang dimiliki oleh ekstrak daun jambu biji
9
telah dilaporkan dalam studi terhadap hewan coba. Kandungan polifenol yang terdapat dalam daun jambu biji antara lain adalah pedunkladgin, kasuarinin dan isostrikinin. Telah banyak bukti ilmiah yang menunjukkan efektivitas dan keamanan ekstrak teh daun jambu untuk mengobati penyakit diabetes tipe 2. Di Jepang pada Maret 2000, ekstrak teh daun jambu telah disetujui sebagai FOSHU (pangan fungsional) dan dianjurkan bagi individu yang khawatir akan glukosa darahnya yang tinggi karena ekstrak ini dapat mengontrol penyerapan gula (Deguchi dan Miyazaki 2010). Studi yang dilakukan oleh Shen et al. (2008) menunjukkan bahwa ekstrak daun jambu biji dapat memulihkan kondisi hiperglikemia pada tikus diabetes. Ekstrak ini juga menstimulasi penggunaan glukosa pada jaringan hati. Selain itu ekstrak ini dapat meningkatkan aktivitas enzim-enzim hati seperti HKase, PFKase dan G6PDHase yang berperan dalam jalur glikolisis dan pentose monophosphat sehingga dapat menurunkan gula darah pada tikus diabet. Penelitian yang dilakukan oleh Kobayashi et al. (2005), diacu dalam Deguchi dan Miyazaki (2010) menunjukkan bahwa konsumsi oral ekstrak daun jambu sebanyak 200 dan 2000 mg/kg/hari tidak menimbulkan efek abnormal pada tikus dan tidak menunjukkan toksisitas akut dan kronis. Oyama et al. (2005), diacu dalam Deguchi dan Miyazaki (2010) melalui uji DNA repair test (Recassay) menyatakan bahwa ekstrak daun jambu memiliki aktivitas mutagenik dibandingkan teh hijau dan teh hitam komersial. Namun dengan uji bacterial reverse mutation test (Ames test), semua ekstrak teh tersebut tidak menunjukkan aktivitas mutagenik. Komponen fenolik dari daun jambu memiliki kemampuan antioksidan diantaranya dalam menghambat reaksi peroksidasi dalam tubuh (Kimura et al. 1985, diacu dalam He dan Venant 2004). He dan Venant (2004) juga melaporkan bahwa beberapa ekstrak daun jambu menunjukkan aktivitas scavenging radikal bebas. Penelitian lain yang dilakukan oleh Peng et al. (2010) menunjukkan bahwa ekstrak daun jambu memiliki aktivitas anti kanker prostat sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu cara penanganan klinis kanker tersebut.
10
2.3. Enzim Antioksidan Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif sehingga kerusakan sel dapat dihambat. Berkaitan dengan reaksi oksidasi di dalam tubuh, status antioksidan merupakan parameter penting untuk memantau kesehatan seseorang. Pada dasarnya tubuh manusia memiliki sistem antioksidan untuk menangkal reaktivitas radikal bebas, yang secara kontinyu dibentuk tubuh (Winarsi 2007). Senyawa antioksidan dapat berupa enzim dan nonenzim. Enzim antioksidan merupakan antioksidan primer yang diantaranya adalah superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase. Enzim antioksidan ini bekerja dengan cara mencegah terbentuknya senyawa radikal bebas yang baru. Senyawa antioksidan nonenzim merupakan senyawa antioksidan sekunder yang dapat diperoleh melalui makanan. Senyawa ini dapat berupa senyawa nutrisi dan nonnutrisi yang bekerja dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan menangkapnya sehingga tidak akan bereaksi dengan komponen seluler (Winarsi 2007). 2.3.1. Enzim Superoksida Dismutase (SOD) Superoksida dismutase (SOD) pertama kali diisolasi oleh Mann dan Kleilin pada tahun 1938. Enzim ini dikenal sebagai protein yang mengandung Cu dan diidentifikasi dalam berbagai sebutan, seperti eritrokuprein, indofenol oksidase, dan tetrazolium oksidase (McCord & Fridovitch, 1969, diacu dalam Winarsi 2007). Enzim SOD juga berfungsi sebagai katalisator reaksi dismutase dari anion superoksida menjadi hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) dan oksigen (O 2 ). Enzim SOD melindungi sel-sel tubuh dan mencegah terjadinya proses peradangan yang diakibatkan oleh radikal bebas. Sebenarnya enzim ini telah ada dalam tubuh, namun memerlukan bantuan mineral logam seperti mangan (Mn), seng (Zn), dan tembaga (Cu) agar bisa bekerja. Oleh sebab itu, jika ingin menghambat timbulnya gejala penyakit degeneratif, mineral-mineral tersebut harus tersedia dalam jumlah yang cukup (Winarsi 2007).
11
2.3.2. Enzim Katalase Katalase adalah enzim yang mengandung heme, yang mengkatalisis dismutase hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) menjadi air dan oksigen. Enzim ini ditemukan pada semua jenis eukariot aerob, yang penting untuk memusnahkan H 2 O 2 yang terbentuk dalam peroksisom melalui reaksi oksidasi, seperti βoksidasi asam-asam lemak, siklus glikosilat (dalam fotorespirasi), dan katabolisme purin (Winarsi 2007). Enzim katalase terdapat pada hampir semua organ utama manusia, terutama di hati dan sel darah merah. Sementara terdapat dalam jumlah sedang di otak, jantung, dan otot. Reaksi dari katalase adalah sebagai berikut (Eastwood 2003): Fe(III) + H2O2 → Senyawa I Senyawa I + H2O2 → Catalase–Fe(III) + 2H2O + O2 2.3.3. Enzim Glutathion Peroksidase Substrat dari glutathion peroksidase adalah senyawa glutathione (GSH). Glutathion peroksidase secara enzimatis membantu oksidasi GSH menjadi menjadi glutation teroksidasi yaitu Glutathione disulfida (GSSG), bersamaan dengan reaksi tersebut enzim ini juga akan mengubah hidrogen peroksida menjadi H 2 O. pada saat terjadi kelebihan hidrogen peroksida, reaksinya adalah sebagai berikut : H 2 O 2 + 2GSH
GSSG + H 2 O
Enzim ini sulit ditemukan di otot, namun banyak ditemukan terutama di hati dan hanya sedikit yang ditemukan di jantung, paru-paru, dan otak. Enzim glutathione peroksidase terdiri dari 4 sub unit protein yang mengandung selenium pada sisi aktifnya. GSH akan mereduksi selenium dan bagian yang tereduksi dari enzim akan bereaksi dengan hidrogen peroksida (Eastwood 2003). 2.4. Diabetes Diabetes mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme kronis dan dapat terjadi secara bawaan ataupun karena ketidakmampuan sel tubuh untuk mengambil glukosa dari aliran darah ke dalam sel (Votey 2001). DM juga dapat didefinisikan sebagai tingkat kronis peningkatan kadar glukosa darah dan adanya
12
kerusakan toleransi glukosa yang akan meningkatkan kadar glukosa darah. Kedua hal tersebut terjadi karena kekurangan insulin, gangguan fungsi insulin, atau peningkatan faktor yang memiliki fungsi berlawanan dengan insulin, sehingga akhirnya akan menimbulkan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein (Schersten & Per, 1983). Penyakit diabetes mellitus telah dikenal ribuan tahun lalu oleh masyarakat Mesir kuno, seperti dalam Ebers Papirus (±1500 SM), yang menyebutkan adanya pengobatan terhadap suatu penyakit yang ditandai dengan sering kencing (Phusparaj et al. 2001). Nama penyakit diabetes berasal dari bahasa latin yang artinya "sweetened with honey". Hal ini merujuk pada adanya glukosa pada urin penderita diabetes. Kata mellitus diberikan untuk membedakannya dari diabetes insipidus, yaitu penyakit diabetes yang disebabkan gangguan reabsorbsi air pada ginjal akibat gangguan sekresi hormon anti diuretik oleh hipofise (Berg et al. 2002). World Health Organization (1980), melalui laporan kedua Expert Committee on Diabetes Mellitus mengelompokkan diabetes menjadi dua kelompok yaitu Insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM) dan Non-Insulindependent diabetes mellitus (NIDDM). Pada IDDM, pankreas tidak menghasilkan insulin dalam jumlah yang cukup, sedangkan NIDDM pankreas masih menghasilkan insulin dalam jumlah yang relatif cukup, tetapi insulin yang ada tidak bekerja secara baik karena adanya resistensi insulin (Dalimartha 2004). Pada tahun 1997, Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus (ECDCDM) menyepakati klasifikasi baru diabetes mellitus, menjadi DM tipe 1 (yang sebelumnya disebut IDDM atau juvenile diabetes), tipe 2 (sebelumnya disebut NIDDM atau adult-onset) dan gestational diabetes (FosterPowel et al. 2002; Rimbawan & Siagian 2004). Diabetes tipe I, atau diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM) disebabkan oleh kerusakan autoimmune dari sel β pankreas dan biasanya dimulai sebelum usia 20. Istilah insulin dependent berarti bahwa individu membutuhkan insulin untuk hidup. Kebanyakan penderita diabetes, memiliki insulin pada tingkat normal atau bahkan lebih tinggi dalam darah, tetapi sangat responsif terhadap hormon. Bentuk penyakit yang dikenal sebagai tipe II, atau non-insulin-
13
dependent, diabetes mellitus (NIDDM) biasanya muncul di kemudian hari (Berg et al. 2002). Sekitar 95% penderita DM tipe 1 terjadi sebelum usia 25 tahun, dengan prevalensi kejadian yang sama pada pria dan wanita. Individu yang mengalami DM tipe 1 mempunyai ciri-ciri poliuria (sering kencing), polidipsia (rasa haus yang terus menerus), dan poliphagia (perasaan lapar yang berlebih). Dalam pengujian glukosa darah, pasien yang mengalami diabetes tipe ini apabila diberi 75 g glukosa secara oral dan sebelumnya telah melakukan puasa selama semalam, konsentrasi glukosa darahnya akan meningkat lebih dari 200 mg/dl. Pada individu normal dengan perlakuan sama akan meningkatkan glukosa darah sekitar 140 mg/dl. Tingginya kandungan glukosa darah dalam tubuh, mengakibatkan laju filtrasi glomerulus terhadap glukosa menjadi berlebih dan urin akan mengandung banyak glukosa (Champe & Harvey 2005). Kelompok DM tipe 2 dicirikan oleh resistensi insulin pada jaringan perifer dan gangguan sekresi insulin dari sel β-pankreas. DM tipe 2 adalah jenis penyakit diabetes yang paling lazim dan berkaitan dengan riwayat diabetes keluarga, usia lanjut, obesitas, perubahan pola makan dan aktivitas fisik yang kurang. Resistensi insulin dan hiperinsulinemia akan menyebabkan intoleransi glukosa. Sel β yang rusak akhirnya menjadi lemah, selanjutnya mendorong intoleransi glukosa dan hiperglikemia (Mayfield 1998). Penyebab terjadinya DM ini belum diketahui dengan pasti, namun individu yang menderita diabetes, secara metabolik mengalami penurunan sensitivitas insulin akibat disfungsi sel β-pankreas dan resistensi insulin (Lebovitz 1999). Diabetes tipe 2 adalah bentuk penyakit diabetes yang paling umum terjadi. Di Amerika Serikat, melanda sekitar 90% dari populasi diabetes. Biasanya, diabetes tipe 2 berkembang secara bertahap tanpa gejala yang jelas. Penyakit ini sering terdeteksi oleh tes skrining rutin. Namun, banyak individu dengan diabetes tipe 2 memiliki gejala poliuria dan polidipsia dalam beberapa minggu. Gejala poliphagia mungkin ada, tapi kurang umum terjadi. Pasien dengan diabetes tipe 2 memiliki kombinasi resistensi insulin dan sel-sel β disfungsional tetapi tidak memerlukan insulin untuk mempertahankan hidup, meskipun insulin mungkin diperlukan untuk mengontrol hiperglikemia pada beberapa pasien. Perubahan
14
yang diamati dalam metabolisme diabetes tipe 2 lebih ringan dari yang diuraikan untuk diabetes tipe 1. Hal ini disebabkan sekresi insulin pada diabetes tipe 2 walaupun tidak memadai namun dapat menahan ketogenesis dan pengembangan ketoasidosis diabetes. Diagnosis paling sering didasarkan pada adanya hiperglikemia, yaitu, suatu konsentrasi glukosa darah lebih besar dari 126 mg/dl. Terjadinya penyakit tipe 2 hampir sepenuhnya ditentukan oleh faktor genetik. Misalnya, di hampir semua pasangan kembar monozigotik, penyakit ini berkembang di kedua individu. Penyakit ini tidak melibatkan virus atau antibodi autoimun (Champe & Harvey 2005). Komplikasi mikrovaskular dari penyakit diabetes meliputi nefropati dan retinopati. Komplikasi makrovaskular diabetes dapat mengakibatkan komplikasi penyakit kardiovaskuler aterosklerotik seperti penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskular dan penyakit pembuluh darah perifer. Penyakit kardiovaskuler tersebut merupakan penyebab utama kematian pada populasi diabetes (ADA 2002, diacu dalam Johansen et al. 2005). Pankreas merupakan organ yang terdiri dari sel endokrin, eksokrin, dan duktus. Ketiga sel tersebut secara kolektif mensintesis dan mensekresikan hormon dan enzim yang diperlukan dalam keseimbangan nutrisi. Masing-masing tipe sel ini berasal dari sel endodermal yang terdapat di bagian atas duodenum (Pictet et al. 1976, Fontain & Douarin 1977, diacu dalam Edlund 2001). Kelenjar eksokrin pankreas menghasilkan enzim pankreatik lipase, dan peptidase yang dialirkan masuk ke duodenum. Kelenjar endokrin menghasilkan hormon insulin, glukagon, somatostatin, dan pankreatik polipeptida. Fungsi endokrin pankreas terletak pada sekelompok sel yang telah ditemukan oleh Langerhans pada tahun 1869, oleh karena itu sekelompok sel tersebut dinamakan ”Pulau Langerhans”. Pada abad ke-19 telah diketahui bahwa perubahan pankreas berkaitan dengan penyakit DM. Frerichs (1884), diacu dalam Gepts (1981) menyatakan bahwa ada perubahan besar pada pankreas di sebagian kasus penyakit DM. Perubahan ini dapat terjadi secara kuantitatif dan kualitatif. Perubahan kuantitatif pada pulau Langerhans dapat berupa pengurangan jumlah pulau Langerhans. Kejadian ini lebih banyak ditemukan pada diabetes mellitus tipe 1
15
daripada tipe 2. Perubahan ukuran pulau Langerhans akibat terjadinya hipertrofi dan perubahan proporsi pulau Langerhans akan lebih terlihat pada DM tipe 1. Perubahan kualitatif pada pulau Langerhans dapat berupa degenerasi hidropik sel beta, hipertrofi pada sel beta, degranulasi pada sel beta, atrofi pada sel-sel pulau Langerhans, perubahan inti, penimbunan lemak, fibrosis pulau Langerhans, kalsifikasi pulau Langerhans, infiltrasi sel-sel radang pada pulau Langerhans (insulinitis), amyloidosis, hialinisasi, dan kemungkinan regenerasi sel pada pulau Langerhans (Gepts 1981). Insulin adalah hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel β dari kluster pulau Langerhans yang tertanam di bagian eksokrin dari pankreas. Pulau Langerhans membuat hanya sekitar 1-2 persen insulin dari total sel pankreas. Insulin merupakan hormon yang paling penting dalam koordinasi penggunaan bahan bakar oleh jaringan. Efek metabolismenya adalah anabolik, diantaranya adalah mendukung sintesis glikogen, triasilgliserol, dan protein (Champe & Harvey 2005). Insulin terdiri dari 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai polipeptida, yang berdesain A dan B. Asam-asam amino tersebut dihubungkan bersama oleh dua jembatan di-sulfida. Molekul insulin juga mengandung jembatan disulfida intramolekul antara residu asam amino pada rantai A. Sekresi insulin oleh sel β dari pulau Langerhans pankreas dikoordinasikan dengan pelepasan glukagon oleh sel-sel pankreas. Jumlah insulin dan glukagon yang dilepaskan pankreas diatur sehingga glukosa yang disimpan hati sama dengan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer. Mengingat peranannya dalam koordinasi, maka sel β dapat menanggapi berbagai rangsangan. Secara khusus, sintesis dan sekresi insulin meningkat oleh adanya glukosa, asam amino, dan hormon gastrointestinal (Champe & Harvey 2005). Mekanisme kerja insulin dipengaruhi oleh glukosa darah. Peningkatan konsentrasi glukosa darah mendorong sekresi insulin dari sel β pankreas, insulin menjadi agen perantara sehingga glukosa dalam darah dapat diangkut menuju jaringan. Hormon glukagon akan bekerja ketika glukosa darah turun di bawah normal. Glukagon mendorong hati untuk memproduksi glukosa melalui glikogenolisis dan glukoneogenesis (Hanhineva et al. 2010).
16
Sintesis dan pelepasan insulin menurun ketika ada kelangkaan bahan bakar makanan, juga dapat terjadi selama periode stres (misalnya, demam atau infeksi). Efek ini terutama diperantarai oleh epinefrin, yang disekresi oleh medula adrenal sebagai respon terhadap stres, trauma, atau olahraga ekstrim. Dengan kondisi tersebut, pelepasan epinefrin sebagian besar dikontrol oleh sistem saraf. Epinefrin memiliki pengaruh langsung pada metabolisme energi (menyebabkan mobilisasi yang menghasilkan bahan bakar energi) termasuk glukosa dari hati (diproduksi oleh glikogenolisis atau glukoneogenesis) dan asam lemak dari jaringan adiposa. Selain itu, epinefrin dapat menormalkan kadar glukosa dan merangsang pelepasan insulin. Jadi, dalam situasi darurat, sistem saraf simpatik memegang kendali atas sekresi sel β (Champe & Harvey 2005). Resistensi insulin adalah kondisi terjadinya penurunan kemampuan respon dari jaringan target, seperti hati, adiposa, dan otot untuk mempertahankan konsentrasi sirkulasi insulin. Resistensi insulin dapat terjadi karena tidak terkontrolnya glukosa di hati, produksi glukosa, dan penurunan pengambilan glukosa dari darah ke otot dan adiposa (Champe & Harvey 2005). 2.4.1. Pati dan Diabetes Pati dan sukrosa merupakan karbohidrat yang paling penting dalam makanan. Kebanyakan karbohidrat dicerna menjadi monosakarida di saluran pencernaan bagian atas dan kemudian diserap untuk disirkulasikan. Peningkatan konsentrasi glukosa darah mendorong sekresi insulin dari sel beta pankreas dan insulin menjadi agen perantara sehingga glukosa dalam darah dapat diangkut menuju jaringan. Hormon glukagon akan bekerja ketika glukosa darah turun di bawah normal. Glukagon mendorong hati untuk memproduksi glukosa melalui glikogenolisis dan glukoneogenesis (Hanhineva et al. 2010). Makanan yang mengandung pati tinggi akan dengan cepat dicerna dan dimetabolisme. Indeks glikemik (GI) adalah respon kadar glukosa darah postprandial terhadap pangan tertentu. GI menunjukkan hubungan antara pangan dan implikasi dari daya cerna, penyerapan, dan metabolisme pati. GI telah digunakan untuk membedakan respon metabolisme untuk karbohidrat. Pangan yang mengandung pati mudah dicerna dalam jumlah tinggi akan menghasilkan tingkat glukosa darah yang tinggi, sehingga dikenal sebagai pangan tinggi GI. Faktor
17
yang mempengaruhi nilai GI suatu bahan pangan berkaitan dengan sifat pati, pengolahannya, persiapan, dan konsumsi. Pati dihidrolisis oleh enzim amilase dari saliva dan pankreas untuk menghasilkan monosakarida seperti glukosa dan maltodekstrin. Selanjutnya akan diangkut melalui vena portal hati dan tersedia untuk metabolisme. Daya cerna dan metabolism pati diklasifikasikan ke dalam tiga kategori: pati cepat cerna, pati lambat cerna, dan pati resisten (Niba 2006). Pati cepat cerna (rapidly digestible starch/RDS) adalah pati yang dapat dicerna dengan sempurna, hal ini terkait dengan respon glukosa post-prandial dan memiliki pengaruh pada tingkat insulin. Pati cepat cerna umumnya terdapat pada makanan yang mengalami proses tinggi seperti sereal produk puffing gandum. Pati lambat cerna (slowly digestible starch/SDS) terdapat pada makanan seperti kacang dan pasta. Pati cepat cerna adalah pati yang cepat diserap dan dimetabolisme, sedangkan pati lambat cerna, mencerna lebih lambat dan diserap perlahan sehingga menimbulkan rasa kenyang yang lebih lama (Niba 2006). Kondisi fisiologis seperti penyakit diabetes tipe II dan obesitas telah dikaitkan dengan metabolisme pati. Kondisi lain seperti penyakit jantung koroner terkait dengan metabolisme glukosa dari pati bahan pangan. Daya cerna pati ditentukan oleh ketersediaan dan kerentanannya terhadap enzim pencernaan yang dipengaruhi oleh sifat kimia pati dan perubahan akibat dari pengolahan (Niba 2006). 2.4.2. Polifenol dan Diabetes Ulasan Hanhineva et al. (2010) mengenai peranan polifenol dalam keseimbangan glukosa dan diabetes tipe 2, menyebutkan bahwa hubungan polifenol dengan penyakit diabetes berkaitan dengan aktivitas menghambat pencernaan dan penyerapan karbohidrat. Beberapa polifenol diketahui dapat menghambat aktivitas enzim α-amilase dan α-glukosidase secara in vitro. Polifenol tersebut diantaranya adalah flavonoid (antosianin, katekin, flavanon, flavonol, flavon dan isoflavon), asam fenolik, dan tanin (proantosianidin dan ellagitanin). Aktivitas penghambatan secara in vitro telah ditunjukkan oleh ekstrak polifenol dari buah berry (stroberi, raspberry, blueberry dan blackcurrants), sayuran (labu, kacang-kacangan, jagung dan terong), beras hitam, teh hitam dan hijau, serta anggur merah.
18
Bagi penderita diabetes tipe 2, direkomendasikan untuk mengonsumsi pangan yang berasal dari nabati seperti gandum utuh, berry, buah dan sayuran. Semua jenis makanan tersebut merupakan sumber polifenol yang baik. Polifenol tersebut dapat mempengaruhi metabolisme glukosa melalui beberapa mekanisme yang diawali dengan aktivitas menghambat pencernaan dan penyerapan karbohidrat di usus, menstimulasi sekresi insulin dari sel β-pankreas, memodulasi pelepasan glukosa dari hati, dan mengaktifkan reseptor insulin dan pengambilan glukosa menuju jaringan yang sensitif terhadap insulin (Gambar 1) (Hanhineva et al. 2010).
Gambar 1. Aksi potensial dari polifenol dalam diet terhadap metabolisme karbohidrat dan keseimbangan glukosa (Hanhineva et al. 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Piparo et al. (2008) menunjukkan bahwa 7 dari 19 flavonoid yang diteliti mampu menghambat enzim α amilase saliva secara in vitro dan in silico. Kuersetagetin dan skutellarein menunjukkan inhibisi terkuat secara in vitro. Studi pemodelan molekul menunjukkan bahwa penghambatan α amilase terutama terjadi karena modus docking yang memungkinkan terjadinya ikatan hidrogen antara enzim dan grup hidroksil di cincin B dari rangka flavonoid.
19
Alternatif lainnya adalah cincin kodensat AC dapat membentuk ikatan H dengan residu dari sisi aktif enzim. Hasil penelitian Tadera et al. (2006), menunjukkan bahwa luteolin, mirisetin, dan kuersetin merupakan inhibitor yang berpotensi menghambat enzim α-amilase yang berasal dari pankreas babi. Dari penelitian tersebut dinyatakan bahwa potensi penghambatan berhubungan dengan jumlah grup hidroksil dari cincin B flavonoid. Pengaruh polifenol terhadap penyerapan glukosa berkaitan dengan transporter glukosa. Dari beberapa studi in vitro dengan menggunakan intestinal brush border membrane vesicles atau everted sacs dan sel Caco-2, diketahui bahwa beberapa flavonoid dan asam fenolik dapat menghambat transport glukosa. Glukosa transporter (SGLT1) dihambat oleh asam klorogenik, asam ferulat, asam kafeik dan asam tanat, kuersetin monoglukosida, katekin teh dan naringenin. Glukosa transporter lainnya (GLUT2) dihambat oleh kuersetin, mirisetin, apigenin dan katekin teh (Hanhineva et al. 2010). Polifenol dan pati dapat membentuk kompleks ikatan yang menyebabkan sisi atau bagian pati yang secara normal dihidrolisis oleh enzim pencernaan menjadi tidak dikenali, sehingga daya cerna pati menjadi rendah (Thompson et al. 1984). Meskipun informasi mengenai ikatan antara polifenol dengan karbohidrat masih sangat terbatas, namun Bear et al. (1985) di dalam Mueller-Harvey et al. (1986) menyatakan bahwa kemungkinan ikatan antara komponen fenolik dengan karbohidrat adalah ikatan kovalen melalui jembatan eter pada C-4 karbohidrat. Kemungkinan lain tipe ikatan antara polifenol dan karbohidrat melalui jembatan H+ dan interaksi hidrofobik sangat penting dalam kompleks tersebut. Ukuran molekul dan fleksibilitas konformasi berperan dalam ikatan antara polifenol dan polisakarida dan dipengaruhi oleh pH. Bentuk kompleks tersebut sedikit mengubah struktur polisakarida atau polifenol sehingga menguat afinitasnya. 2.4.3. Radikal Bebas dan Diabetes Menurut para ahli biokimia, radikal bebas adalah salah satu bentuk senyawa oksigen reaktif. Secara umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Senyawa ini terbentuk di dalam tubuh, dipicu oleh bermacam-macam faktor, diantaranya terbentuk ketika komponen makanan diubah menjadi energi melalui proses metabolisme. Pada proses metabolisme
20
seringkali terjadi kebocoran elektron. Pada kondisi tersebut akan mudah terbentuk radikal bebas, misalnya hidrogen peroksida H 2 O 2, ozon, dan lain-lain. Kelompok senyawa tersebut sering diistilahkan sebagai senyawa oksigen reaktif (SOR) (Winarsi 2007). Pada penderita diabetes, kondisi hiperglikemik akan menyebabkan peningkatan glikolisis dan pembentukan asam piruvat yang mendorong terbentuknya radikal bebas berlebih. Radikal bebas yang umumnya ada pada diabetes adalah beberapa SOR dan SNR (Senyawa Nitrogen Reaktif) yang paling penting dalam sel vaskular. Mekanisme stress oksidatif pada penderita diabetes dapat dilihat pada Gambar 2 (Johansen et al. 2005). Hiperglikemia Glikolisis/piruvat↗ Mitochondrial uncoupling •O2-
↗Sorbitol
↗Sinyal stress
↗AGE
↗PKC
↗Fluks Heksosamin
NF*B,p38MAPK dan k/STAT
eNOS iNOS
↗NO
Sitokin Ang II ET-1
↗ Aktivitas Oksidasi NAD(P)H
↗•
-
ONOO
Oksidasi LDL ↗Aterosklerosis
O2-
Peroksidasi lipid
Kerusakan DNA
↙Bioavailabilitas NO Nitrasi Protein
Melemahkan vasorelaksasi
PENYAKIT VASKULER DIABETES
Gambar 2. Stress oksidatif pada penderita diabetes (Johansen et al. 2005)
21
Hasil review Johansen et al. (2005) dari beberapa penelitian menyatakan bahwa SOR pada tingkat tertentu terlibat sebagai molekul sinyal dan mekanisme pertahanan seperti dalam fagositosis, fungsi neutrofil, dan tekanan vasorelaksasi. Namun akan berdampak negatif jika jumlahnya berlebih karena akan mengakibatkan stress oksidatif. Stres oksidatif memiliki konsekuensi patologis termasuk kerusakan protein, lipid, dan DNA. Kelebihan SOR dapat merangsang oksidasi low-density lipoprotein (LDL). LDL yang teroksidasi tidak dikenali oleh reseptor LDL sehingga dapat diambil oleh reseptor scavenger di makrofag mengakibatkan pembentukan sel busa dan plak aterosklerotik.
2.4.4. Dislipidemia dan Diabetes Pada penderita diabetes mellitus dapat terjadi abnormalitas lipid yang dikenal dengan istilah dislipidemia. Dislipidemia pada penderita DM berkaitan dengan kelainan lipoprotein yang terkait dengan diabetes mellitus. Kelainan ini dapat meningkatkan risiko penyakit jantung koroner pada penderita diabetes mellitus. Abnormalitas lipid dalam diabetes tipe 2 ditandai dengan tingginya konsentrasi trigliserida, rendahnya HDL, dan normalnya konsentrasi (LDL-c) dan total kolesterol (Valabhji & Elkeles 2003). Pada diabetes mellitus tipe 1, biasanya kelainan ini dapat dikembalikan dengan kontrol glikemik. Pada diabetes mellitus tipe 2, meskipun kualitas lipid dapat diperbaiki, namun kelainan tetap terjadi bahkan setelah kontrol glikemik yang optimal telah dicapai (O’ Brien et al. 1998). Hipertrigliseridemia pada penderita diabetes mellitus berkaitan erat dengan aterosklerosis karena menjadi penanda dari resistensi insulin dan abnormalitas metabolisme aterogenik. Kecilnya ukuran lipoprotein trigliserida pada penderita diabetes menyebabkan lipoprotein ini dapat masuk ke dinding pembuluh darah lalu teroksidasi, terikat pada reseptor makrofag dan diserap sehingga menyebabkan terjadinya lesi aterosklerotik (Kreisberg 1998). 2.4.5. Induksi Diabetes dengan Streptozotocin (STZ) Matteucci dan Giampietro (2008), menyatakan bahwa STZ merupakan antibiotik yang dihasilkan oleh Streptomyces achromogenes dan menginduksi baik diabetes mellitus tipe 1 maupun tipe 2 pada tikus dewasa. Larutan harus
22
disiapkan sebelum digunakan, karena produk ini tidak stabil, stabilitas akan maksimum pada pH 4. Dosis STZ berkisar antara 40-70 mg/kg intravena dan 3565 mg/kg intraperitoneal. Dosis yang paling sering digunakan adalah sekitar 65 mg/kg bb. STZ dibawa oleh sel β-pankreas melalui transporter glukosa GLUT2. Toksisitasnya tergantung pada kemampuan alkilasinya bersama dengan aksi sinergis oksida nitrat
dan spesies oksigen reaktif yang berkontribusi untuk
fragmentasi DNA. Dua jam setelah injeksi (80 mg/kg ip), hiperglikemia dapat diamati dan insulin darah akan menurun. Enam jam kemudian, insulin dalam darah meningkat dan hipoglikemia terjadi sehingga akhirnya hiperglikemia stabil dapat tercapai (West et al. 1996, diacu dalam Matteucci & Giampietro 2008). Status diabetes dipastikan dengan mengukur kadar glukosa darah selama periode waktu yang luas (2-96 hari setelah pengobatan STZ). Cut off kadar glukosa darah hewan yang diidentifikasi diabetes berkisar 200-350 mg/dl (Matteucci & Giampietro 2008).
III METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli 2010 sampai September 2011 dilaksanakan di tiga tempat yaitu 1) Laboratorium Pengolahan, Kimia, serta Biokimia Pangan dan Gizi, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB; 2) Laboratorium Pengolahan, Kimia Pangan, dan Hewan Coba, Puslitbang Gizi dan Makanan, 3) Laboratorium Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. 3.2. Bahan dan Alat 3.2.1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan baku dan bahan kimia. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan pati tapioka termodifikasi polifenol adalah tapioka/pati singkong (Manihot utilisima), teh hijau (Camellia sinensis) jenis peko super dan daun jambu biji (Psidium guajava) merah muda sebagai sumber polifenol. Pati tapioka diperoleh dari pabrik tapioka di Ciluer-Bogor. Teh hijau kering jenis peko super varietas gambung diambil dari Kebun Percobaan Pasir Sarongge Cianjur dan daun jambu biji diambil dari daerah Cilebut-Bogor. Daun jambu biji merah yang diambil adalah bagian pucuk dan dua helai daun muda di bawahnya. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis proksimat, total polifenol, serat pangan, dan daya cerna pati meliputi akuades, K 2 SO 4 , HgO, H 2 SO 4 pekat, H 3 BO 3 , NaOH-Na 2 S 2 O 3 , HCl 0.02N, kertas saring Whatman no.42, kapas, heksana, etanol 95%, NaOH 1N, reagen Foline Ciocalteu, Natrium karbonat, standar asam galat, enzim termamil, pepsin dan pankreatin, enzim protease, HCl, enzim amiloglukosidase, DNS (asam dinitrosalsilat), etanol, aseton, petroleum eter, dan buffer natrium fosfat. Tikus yang digunakan untuk uji in vivo adalah tikus Sprague dawley jantan sebanyak 36 ekor, umur sekitar 2 bulan (berat badan 175-250 g) yang diperoleh dari Puslitbang Biomedis, BALITBANG DEPKES RI. Bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi tikus menjadi diabetes adalah streptozotocin.
24
Bahan-bahan yang digunakan untuk ransum tikus meliputi ransum standar, ransum perlakuan, kasein, minyak jagung, vitamin, mineral mix, selulosa, dan pati tapioka. Untuk pengukuran glukosa darah tikus diperlukan darah tikus, sedangkan untuk aktivitas enzim Superoksida Dismutase (SOD) dan kadar malonaldehid (MDA) diperlukan organ hati, larutan PBS (Phosphat Buffer Saline), HCl, larutan TEP (tetraetoksipropana), buffer Natrium-bikarbonat, xantin oksidase, dan buffer kalium fosfat. Bahan yang digunakan dalam mengukur profil lipid meliputi serum darah tikus, kit pereaksi kolesterol (AMS Diagnostics), kit pereaksi trigliserida (AMS Diagnostics), dan kit pereaksi HDL (Daichii Pure Chemical). Untuk analisis histologi pankreas, bahan yang diperlukan adalah larutan NaCl fisiologis (0.9%), larutan buffer formalin 10%, alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, alkohol absolut, xylol, aquades, paraplast, pewarna Hematoxylin-Eosin, bahan perekat preparat, NaHPO.12H 2 O, NaHPO.2H 2 O, NaCl, NaOH, HCl, timerosal, deionized water, antibodi monoklonal insulin (Sigma 12018), kit pereaksi immunohistokimia dan es batu. 3.2.2. Alat Alat yang digunakan untuk analisis kimia diantaranya erlenmeyer, labu takar, gelas piala, labu lemak, kertas saring, desikator, timbangan analitik, penangas air bergoyang, pipet, vortex, cawan porselen dan tutupnya, cawan pengabuan dan tutupnya, desikator, penjepit cawan, oven, tanur pengabuan, Soxhlet dengan kondensor, labu Kjeldahl, penangas listrik, dan spektrofotometer. Untuk pemeliharaan tikus diperlukan tempat makan dan minum, kandang, dan peralatan membuat ransum. Alat untuk analisis aktivitas enzim antioksidan, lipid darah, dan histologi meliputi tabung sentrifus, sentrifus, wadah plastik, pengaduk, mortar, glukometer dan stripnya, tabung ependorf tertutup, mikropipet, termos es, refrigerator, gunting, pisau, silet, botol bertutup, automatic tissue processor, tissue embedding console, penangas, mikrotom, plate panas, staining jar, corong gelas, stopwatch, magnetik stirer, mikrotip, label, keranjang preparat, gelas objek, gelas penutup, mikroskop dan kamera digital mikroskop serta software digital image J .
25
3.3. Tahapan Penelitian Penelitian dibagi menjadi 4 tahap (Tabel 4). Tahap pertama adalah ekstraksi teh hijau dan daun jambu biji, tahap kedua adalah pembuatan pati tapioka termodifikasi polifenol dan uji daya cerna secara in vitro, tahap ketiga uji in vivo pengaruh tapioka termodifikasi polifenol terhadap profil lipid darah tikus dan terhadap aktivitas antioksidan hati tikus, serta tahap keempat adalah uji in vivo aktivitas hipoglikemik dan histologi pankreas tikus diabetes yang diberi tapioka termodifikasi polifenol.
Tabel 4. Tahap penelitian dan analisis Tahap 1
Tujuan penelitian Menghasilkan ekstrak teh hijau, ekstrak daun jambu biji
Tahapan Pembuatan ekstrak teh hijau, ekstrak daun jambu biji dan analisis sifat kimianya
Analisis Total fenol dan aktivitas antioksidan ekstrak teh hijau dan daun jambu biji.
Hasil analisis Total fenol dan aktivitas antioksidan ekstrak teh hijau dan daun jambu biji.
2
Menghasilkan tapioka termodifikasi polifenol dengan daya cerna rendah.
Pembuatan tapioka termodifikasi polifenol dan analisis daya cernanya.
Proksimat, serat pangan, dan daya cerna pati modifikasi.
Data proksimat (kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat), serat pangan, dan daya cerna pati.
3.
Menguji pengaruh • Persiapan tikus, tapioka induksi termodifikasi streptozotocin. polifenol terhadap • Pengamatan profil lipid darah berat badan (TG, HDL, LDL, (BB) dan kolesterol) tikus konsumsi diabetes dan ransum tikus. aktivitas antioksidan • Analisis serum hati tikus. darah dan hati hati tikus
• Pengamatan berat badan tikus setiap 2 hari sekali dan jumlah ransum yang dikonsumsi setiap hari • Analisis profil lipid darah dan antioksidan hati
Rata-rata kenaikan/penurunan berat badan tikus Rata-rata ransum yang dikonsumsi tiap kelompok perlakuan Kadar kolesterol TG, HDL, LDL, aktivitas enzim SOD dan kadar MDA
4
Menguji aktivitas hipoglikemik dan mendapatkan gambaran histologi pankreas tikus diabetes yang diberi tapioka termodifikasi polifenol.
• Analisis glukosa darah 2 hari sekali. • Analisis histologi jaringan pankreas
• Rata-rata kenaikan/ penurunan glukosa darah tikus. • Luas pulau Langerhans dan kepadatan sel beta pankreas per 5 bidang pandang.
Analisis serum darah tikus dan analisis histologi jaringan pankreas.
26
3.3.1. Penelitian Tahap 1: Ekstraksi Teh Hijau dan Daun Jambu Biji 3.3.1.1. Ekstraksi Teh Hijau dan Daun Jambu Biji Tahap ini diawali dengan pembuatan bubuk dan ekstrak teh hijau kering dan daun muda jambu biji merah kering, masing-masing dilakukan menggunakan metode Widowati (2007) dan Nantitanon et al. (2010) yang dimodifikasi (Gambar 3). Setelah itu dilanjutkan dengan ekstraksi teh hijau dan daun jambu biji, masingmasing dilakukan dengan kondisi ekstraksi optimum hasil penelitian Widowati (2007) dan metode Nantitanon et al. (2010). (Gambar 4).
3.3.1.2. Analisis Kadar Total Fenol Metode Folin-Ciocalteu (Sato et al. 1996, diacu dalam Nantitanon et al. 2010 yang dimodifikasi) Total fenol diukur berdasarkan kemampuan reagen Folin-Ciocalteu (campuran fosfomolibdat dan fosfotungstat) dalam mereduksi gugus hidroksi dari fenol. Inti aromatis pada senyawa fenol (gugus hidroksi fenolik) dapat mereduksi fosfomolibdat dan fosfotungstat menjadi molibdenum yang berwarna biru. Kandungan fenolik total dalam tumbuhan dinyatakan dalam GAE (Gallic Acid Equivalent) yaitu jumlah kesetaraan miligram asam galat dalam 1 gram sampel. Ekstrak pekat sampel dilarutkan dalam etanol absolut hingga diperoleh konsentrasi akhir 0.2 mg/mL. Sebanyak 20 µL larutan ekstrak dalam etanol dicampurkan dengan 45 µL reagen Folin-Ciocalteu dan didiamkan 3 menit. Sebanyak 135 µL Na 2 CO 3 2 g/100 mL ditambahkan ke dalam campuran, divorteks dan disimpan di tempat gelap pada suhu ruang, 2 jam dan divorteks. Absorbansinya dibaca dengan spektrofotometer pada 750 nm. Asam galat digunakan sebagai standar sehingga satuannya dinyatakan dalam mg GAE/100 mg ekstrak. Kurva standar dibuat menggunakan asam galat (0-130 µg/ml). Kadar total polifenol dihitung berdasarkan persamaan garis yang diperoleh dari kurva standar. Absorbansi yang diperoleh diplotkan pada kurva standar. Kadar total polifenol dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut: Kadar total polifenol (mg GAE/100 mg ekstrak) =
A x Fp SxW
Keterangan: A = absorbansi sampel pada panjang gelombang 750 nm S = slope kemiringan pada kurva standar Fp = faktor pengenceran W = berat sampel (mg)
27
Teh hijau kering
Daun jambu biji merah muda segar
diblansir air mendidih, 30 detik direndam air es, 15 menit ditiriskan Dikeringkan 20 jam, 50 oC
Penggilingan dengan dish mill Pengayakan (32 mesh)
Bubuk daun jambu biji merah muda kering
Bubuk teh hijau kering
Gambar 3. Proses pembuatan bubuk teh hijau (Widowati 2007) dan daun jambu biji merah muda kering (Nantitanon 2010 yang dimodifikasi).
Bubuk teh hijau kering
Bubuk daun jambu biji merah kering ditambah air mendidih 1:6 (b/v)
ditambah air 1:10 (b/v)
diekstrak dalam waterbath goyang pada 85oC, 8 menit
Diekstrak 3kali dalam ultrasonicbath, (@ 10 menit) pada suhu ruang
Disaring vakum dg saringan 200 mesh
disentrifus 2000 rpm Ekstrak teh hijau
dipekatkan dengan rotavapor (58–62oBrix, 80oC)
Ekstrak daun jambu biji merah
Gambar 4. Proses ekstraksi bubuk teh hijau (Widowati 2007) dan daun jambu biji merah kering (Nantitanon 2010).
28
3.3.1.3. Aktivitas Antioksidan, Metode DPPH (Kubo et al. 2002 yang dimodifikasi) Untuk mengukur aktivitas antioksidan adalah dengan mereaksikan sampel dengan radikal bebas DPPH, buffer asetat dan etanol dalam methanol sehingga terbentuk warna ungu. DPPH merupakan radikal bebas yang stabil. Tingginya aktivitas antioksidan pada sampel akan ditunjukkan oleh banyaknya DPPH yang direduksi yang terlihat dengan semakin pudarnya warna ungu. Warna yang terbentuk dibaca dengan spektrofotometer pada 517 nm. Trolox digunakan sebagai standar yang merupakan analog vitamin E yang larut dalam air. Aktivitas antioksidan dinyatakan dalam satuan TEAC (Trolox Equivalent Antioxidant Capacity). Analisis dilakukan dengan memasukkan 1 ml buffer asetat 100 mM (pH 5.5), 1.87 ml etanol dan 0.1 ml radikal bebas DPPH (1,1-diphenyl-2-picryl hydrazyl) 3 mM dalam metanol ke dalam tabung reaksi. Kemudian sebanyak 0.03 ml larutan sampel ditambahkan ke dalam tabung tersebut, divorteks dan diinkubasi pada 25oC, selama 20 menit. Sebagai kontrol digunakan 0.03 ml aquades sebagai pengganti sampel. Kemudian absorbansinya diukur pada 517 nm. Standar digunakan adalah Trolox ® (6-Hydroxy-2, 5, 7, 8-tetramethylchroman-2-carboxylic acid) 0; 1.25; 2.5 dan 5 mM sehingga satuannya dinyatakan dalam TEAC. Penurunan absorbansi menunjukkan adanya aktivitas scavenging atau aktivitas antioksidan.
3.3.2. Penelitian Tahap 2: Pembuatan Pati Tapioka Termodifikasi Polifenol. 3.3.2.1. Pembuatan Pati Tapioka Termodifikasi Polifenol Setelah diperoleh ekstrak teh hijau dan ekstrak daun jambu biji merah, dilanjutkan dengan pembuatan pati tapioka termodifikasi. Alur pembuatan tapioka termodifikasi polifenol dapat dilihat pada Gambar 5. Untuk mendapatkan pati tapioka termodifikasi polifenol, tapioka direndam selama 6 jam dalam larutan ekstrak teh hijau dan ekstrak daun jambu biji 5862°Brix.. Setelah direndam pati ditiriskan dan dikeringkan dalam oven 80oC, 4 jam hingga kadar air maksimal 13%. Evaluasi sifat kimia dilakukan untuk tapioka termodifikasi ekstrak polifenol teh hijau dan daun jambu biji dengan konsentrasi
29
masing-masing 4%, 6%, dan 8% (6 sampel). Sifat kimia yang dianalisis meliputi serat pangan, dan daya cerna. Berdasarkan evaluasi sifat kimia akan ditentukan 2 pati tapioka termodifikasi polifenol yang memiliki daya cerna terendah untuk digunakan pada penelitian tahap 2.
Pati Tapioka Ditambah ekstrak cair teh hijau 58-62°Brix ( 0, 4, 6, dan 8 %) (Tapioka:larutan = 1 : 1)
Ditambah ekstrak cair daun jambu biji 58-62°Brix ( 0, 4, 6, dan 8 %) (Tapioka:larutan = 1 : 1)
Digoyang selama 6 jam, 200 rpm, T ruang Ditiriskan o
Dikeringkan dalam pengering oven T 80 C , ±4 jam sampai kadar air maks 13%
Pati tapioka termodifikasi ekstrak daun teh hijau 0, 4, 6, dan 8%
Pati tapioka termodifikasi ekstrak daun jambu biji 0, 4, 6, dan 8%
Serat pangan dan daya cerna
2 pati tapioka termodifikasi terpilih
Gambar 5. Pembuatan pati tapioka termodifikasi untuk uji hipoglikemik dan analisis kimianya
3.3.2.2. Analisis Proksimat (AOAC 1995) Pengujian analisis proksimat terdiri dari analisis kadar air, abu, protein, lemak, sedangkan karbohidrat diperoleh dengan cara “by difference”. Analisis kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven, analisis kadar abu dengan pengabuan kering, analisis kadar lemak dengan metode Soxhlet, dan analisis kadar protein dilakukan dengan metode Mikro-Kjeldahl.
30
3.3.2.3. Analisis Kadar Serat Pangan Metode Enzimatis (AOAC 1995) Analisis kadar serat pangan dilakukan dengan mereaksikan sampel dengan enzim termamil, pepsin dan pankreatin. Residu yang merupakan serat pangan yang tidak larut dicuci dengan etanol dan aseton, kemudian dikeringkan. Filtrat yang merupakan serat larut diendapkan dengan etanol, kemudian disaring dan dikeringkan. Pengukuran serat pangan dibagi menjadi tiga tahap yaitu persiapan sampel, pengukuran serat pangan tidak larut, dan pengukuran serat pangan larut. Persiapan Sampel Sampel yang telah diekstrak lemaknya dengan pelarut petroleum eter pada suhu kamar selama 15 menit ditimbang sebanyak 1 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan 25 ml buffer natrium fosfat 0.1 M pH 6. Penambahan buffer dimaksudkan untuk menstabilkan ezim termamil. Sampel ditambahkan 100 µl termamil lalu dipanaskan sambil ditutup dan diinkubasi (T=10oC, selama 15 menit) sambil sesekali diaduk. Tujuan penambahan enzim termamil
dan
pemanasan
ialah
untuk
memecahkan
pati
dengan
menggelatinisasikan terlebih dahulu. Sampel didinginkan, kemudian ditambahkan 20 ml akuades dan ditambahkan HCl 4 M hingga pH 1.5. Sampel ditambahkan 100 mg pepsin, lalu erlenmeyer ditutup dan diinkubasikan pada 40oC sambil diaduk selama 60 menit. Pengaturan pH hingga 1.5 dimaksudkan untuk mengkondisikan agar aktivitas enzim pepsin maksimum. Sampel ditambahkan 20 ml akuades dan diatur pH-nya hingga 6.8 dengan cara ditambahkan NaOH. Sampel ditambahkan 100 ml enzim pankreatin, lalu erlenmeyer ditutup dan diinkubasi pada 40oC selama 60 menit sambil diaduk, kemudian sampel ditambahkan HCl kembali hingga pH 4.5. Selanjutnya sampel disaring sehingga diperoleh endapan yang dicuci dengan menggunakan 10 ml akuades sebanyak 2 kali. Pengukuran Residu (Serat Makanan Tidak Larut) Residu dari hasil persiapan sampel dicuci dengan 10 ml etanol 95% dan 10 ml aseton masing-masing sebanyak 2 kali, lalu dikeringkan pada 105oC sampai berat tetap (sekitar 12 jam) dan dimasukkan dalam desikator kemudian ditimbang
31
(D1). Suspensi yang telah kering diabukan dalam tanur 500oC selama 5 jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang (I1). Filtrat (Serat Makanan Larut) Volume dari filtrat yang diperoleh dari persiapan sampel ditambahkan akuades sampai dengan 100 ml, ditambah 400 ml etanol 95% hangat (60oC), dan diendapkan selama 1 jam. Filtrat disaring, kemudian dicuci dengan 10 ml etanol 95% dan 10 ml aseton sebanyak 2 kali. Sampel dikeringkan pada 105oC selama 24 jam, kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang (D2). Sampel yang telah kering diabukan dengan suhu 500oC selama 5 jam, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang (I2). Penetapan Blanko Analisis ini menggunakan blanko yang diperoleh dengan cara yang sama tetapi tanpa adanya sampel (hanya akuades). Nilai blanko harus diperiksa ulang terutama jika menggunakan enzim dari kemasan yang baru. Total Serat Makanan Total serat makanan diperoleh dengan menggunakan serat makanan larut dan tidak larut. Perhitungan: D1 - I1 - B1 x 100% W D2 - I2 - B2 Serat makanan larut (%bk) = x 100% W
Serat makanan tidak larut (%bk) =
Nilai TDF (% bk) = Nilai IDF + SDF Keterangan: Angka 1 menunjukkan berat sampel pada analisis serat makanan tidak larut dan 2 menunjukkan berat sampel pada analisis serat makanan larut. W = berat sampel (g) D = berat setelah analisis dan dikeringkan (g) I
= berat setelah diabukan (g)
B = berat blanko bebas serat (g)
32
3.3.2.4. Analisis Daya Cerna Pati Secara Enzimatis (Muchtadi & Palupi 1992) Analisis daya cerna pati dilakukan dengan mereaksikan sampel yang mengandung 1 g pati dengan enzim α-amilase. Pati dihidrolisis oleh enzim αamilase
menjadi
maltosa.
Maltosa
diukur
jumlahnya
menggunakan
spektrofotometer setelah direaksikan dengan asam dinitrosalisilat. Daya cerna pati diukur sebagai jumlah maltosa pada sampel dibagi dengan jumlah maltosa dari pati murni (standar). Sebanyak 1 g tepung atau pati murni dimasukkan dalam erlenmeyer 250 ml, lalu ditambahkan dengan 100 ml air destilata. Wadah ditutup dengan alumunium foil dan dipanaskan dalam wadah waterbath hingga mencapai 90oC sambil diaduk. Setelah mencapai 90oC, sampel segera diangkat dan didinginkan. Dari larutan tersebut dipipet 2 ml ke dalam tabung reaksi tertutup, lalu ditambahkan 3 ml akuades dan 5 ml buffer fosfat 0.1 M pH 7. Masing-masing sampel dibuat dua kali, salah satunya adalah blanko. Tabung ditutup dan diinkubasi pada 37oC selama 15 menit. Larutan diangkat dan ditambahkan 5 ml larutan α-amilase (1 mg/ml dalam buffer fosfat pH 7) untuk sampel dan 5 ml buffer fosfat pH 7 untuk blanko sampel. Inkubasi dilanjutkan selama 15 menit. Sebanyak 1 ml campuran hasil inkubasi dipindahkan ke dalam tabung reaksi bertutup berisi 2 ml DNS (asam dinitrosalsilat). Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit, lalu didinginkan dengan air mengalir. Tambahkan 10 ml akuades dan dibuat homogen dengan vorteks, lalu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm yang ditunjukkan dari warna oranye-merah yang terbentuk dari reaksi campuran tersebut. Kurva standar diperoleh dari perlakuan DNS terhadap 0.0, 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml larutan maltosa murni 0.5 mg/ml yang ditepatkan menjadi 1 ml dengan akuades. Daya cerna pati (%) =
A-a x 100% B-b
Keterangan: A = kadar maltosa sampel a = kadar maltosa blanko sampel B = kadar maltosa pati murni b = kadar maltosa blanko pati murni
33
3.3.3. Penelitian Tahap 3: Uji In vivo Pati Tapioka Termodifikasi Polifenol terhadap Profil Lipid Darah Tikus dan terhadap Aktivitas Antioksidan Hati Tikus 3.3.3.1. Persiapan Uji In vivo pada Tikus Sebelum memasuki tahap ketiga sampai dengan keempat dilakukan tahap persiapan uji in vivo pada tikus. Alur penelitian uji in vivo dapat dilihat pada Gambar 6.
Induksi streptotozin 45 mg/KgBB
Kelompok tikus normal NN=Pati tapioka alami NJ=Pati tapioka termodifikasi polifenol 1 NT=Pati tapioka termodifikasi polifenol 2 Kelompok tikus diabetes DN=Pati tapioka alami DJ=Pati tapioka termodifikasi polifenol 1 DT=Pati tapioka termodifikasi polifenol 2
Pengamatan: 1. Jumlah pakan yang dikonsumsi per hari per individu per kelompok 2. Berat badan (setiap 2 hari sekali) 3. Kadar glukosa darah setiap 2 hari sekali selama perlakuan.
Hari ke 35 terminasi tikus, pengambilan darah, organ hati dan pankreas untuk analisis: 1. Glukosa darah dan profil lipid darah (TG, Kolesterol, HDL, LDL) 2. Aktivitas antioksidan, MDA, dan enzim SOD 3. Histologi: pulau Langerhans dan sel beta pankreas
Gambar 6. Alur penelitian in vivo pada tikus Tikus yang digunakan adalah tikus jantan putih strain Sprague dawley umur sekitar 2 bulan dengan bobot badan antara 175-200 g sebanyak 36 ekor. Tikus percobaan kemudian dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan, tiap perlakuan terdiri atas 6 ekor tikus. Tahap persiapan tikus percobaan meliputi masa adaptasi selama 2 minggu dengan pemberian ransum standar dan air minum secara ad libitum. Pada masa adaptasi tikus diberi (cekok) dengan antibiotik Amoxillin dan obat cacing Vermox dengan dosis masing-masing 500 mg/kg BB untuk mencegah timbulnya penyakit pada tikus. Setiap ekor tikus menempati satu kandang dan ditempatkan dalam ruangan yang telah diatur siklus udara dan cahaya. Semua tikus diberi ransum secara teratur dan ditempatkan dalam ruangan dengan suhu kamar dan dilengkapi blower untuk menjaga kelembaban lingkungan. Pemberian ransum dilakukan setiap hari antara pukul 07.00 sampai dengan 09.00 WIB. Jumlah
34
ransum yang diberikan sebanyak ±20 g/hari/ekor. Banyaknya ransum yang dikonsumsi dihitung setiap hari berdasarkan jumlah ransum yang tersisa. Masa percobaan didahului oleh masa adaptasi selama 2 minggu. Pada masa adaptasi, tikus diberi ransum standar (kontrol) sebagai makanan dan air sebagai minuman (ad libitum). Setelah masa adaptasi, pemberian ransum dilanjutkan dengan ransum uji sesuai dengan kelompok tikus. Dengan masa percobaan selama 35 hari. Masing-masing kelompok tikus diberi perlakuan yang berbeda (Tabel 6). Tabel 5. Kelompok perlakuan tikus Kontrol (tikus normal) KN=Pati tapioka asli KJ=Pati tapioka termodifikasi polifenol 1 KT=Pati tapioka termodifikasi polifenol 2
Perlakuan (tikus diabetes) DN=Pati tapioka asli DJ=Pati tapioka termodifikasi polifenol 1 DT=Pati tapioka termodifikasi polifenol 2
a. Induksi Streptotozin Pada Tikus (Wu & Huan 2008) Tikus dibuat menjadi diabetes melalui induksi streptotozin dosis tunggal (45 mg/kg BB) dengan tahapan sebagai berikut: 1. Sebelum dilakukan induksi dengan streptozotocin (STZ), semua tikus dipuasakan selama 6-8 jam dan air tetap diberikan seperti biasa. 2. Larutan buffer natrium sitrat 50 mM (pH 4.5) disiapkan dan 1 ml buffer tersebut ditempatkan ke dalam setiap tabung mikrosentrifus 1.5 ml dan tutup tabung dengan aluminium foil. 3. Sebelum injeksi, STZ dilarutkan ke dalam larutan buffer natrium sitrat 50 mM (pH 4.5) sampai mencapai konsentrasi akhir 10 mg/ml. Larutan STZ harus disiapkan segar untuk setiap injeksi dan disuntik dalam waktu 5 menit. 4. Induksi tikus dengan STZ dilakukan secara intraperitoneal dengan menggunakan syringe 3 ml dan jarum 23-G, sebanyak 45 mg/kg untuk tiap ekor tikus. Buffer sitrat (pH 4.5) disuntikkan dengan volume yang sama secara intraperitoneal untuk kelompok kontrol. 5. Tikus dikembalikan ke kandang dan diberi ransum dan air sukrosa 10% hingga tercapai glukosa darah puasa yang stabil (>150 mg/dl) selama 3 hari berturut-turut.
35
b. Pembuatan Ransum (AOAC 1995) Pembuatan ransum tikus mengikuti metode AOAC (1995). Pemberian ransum dilakukan setiap hari sebanyak 20 g/ekor. Komposisi ransum didasarkan pada perhitungan sebagai berikut:
Vitamin (f) = 1%
Sumber protein yang digunakan adalah kasein dan sebagai sumber lemak adalah minyak jagung. Mineral yang digunakan merupakan mineral mix yang terdiri dari KI 0.79 g, NaCl 139.30 g, KH 2 PO 4 389.00 g, MgSO 4 anhidrat 53.70 g, CaCO 3 381.40 g, FeSO 4 .7H2O 27.00 g, MnSO 4 .2H 2 O 4 .01 g, ZnSO 4 .7H 2 O 0.55 g, CUSO 4 .5H 2 O 0.48 g, dan CoCl 2 .6H 2 O 0.02 g. Air yang digunakan adalah akuades, sebagai sumber serat adalah selulosa, dan vitamin yang digunakan adalah vitamin mix. Pati yang digunakan adalah pati tapioka termodifikasi terpilih (pati tapioka termodifikasi ekstrak teh hijau dan/atau daun jambu biji). c. Pengukuran Jumlah Konsumsi Ransum dan Berat Badan Jumlah konsumsi ransum diukur setiap hari selama masa percobaan (35 hari). Konsumsi ransum ditentukan dengan cara mengumpulkan dan menimbang ransum sisa yang ada dalam wadah makanan maupun yang tercecer. Ransum sisa selanjutnya ditimbang dan dinyatakan dalam satuan gram. Jumlah konsumsi ransum dihitung dengan mengurangi jumlah ransum yang diberikan dengan sisa ransum yang telah ditimbang.
36
Pengukuran berat badan tikus dilakukan setiap 2 hari sekali selama 35 hari. Tujuan dari pengukuran ini adalah untuk memonitor tingkat pertambahan atau penurunan berat badan tikus percobaan. Pengukuran berat badan tikus menggunakan timbangan dan dinyatakan dalam satuan gram. d. Pembedahan Tikus Pada hari ke-35 masa percobaan, tikus dibedah untuk diambil darah dari jantung, organ hati dan pankreas. Tikus yang akan dibedah, sebelumnya disuntik dengan obat penenang ketamin ketalar over dosis. Setelah tikus pingsan, otot perut disayat hingga batas rongga dada, dan diafragma disayat hingga jantung terlihat. Tulang rusuk dipotong pada perbatasan tulang rawan sebelah kanan dan kiri. Tulang sternum dikuakan keatas dengan tang arteri. Selanjutnya darah diambil dari jantung untuk analisis profil lipid darah. Kemudian dilakukan pengambilan organ pankreas dan hati. Pengambilan organ dilakukan dengan menggunakan gunting steril. Organ pankreas lalu dimasukkan ke dalam larutan pengawet. Organ hati yang sudah diambil, ditimbang, dibungkus dengan aluminium foil dan disimpan beku pada -80°C. Selanjutnya dilakukan uji secara in vivo untuk menguji 2 jenis pati tapioka terpilih terhadap profil lipid darah tikus diabetes. Analisis yang dilakukan meliputi analisis kadar kolesterol, HDL, trigliserida, dan LDL serum darah tikus. 3.3.3.2. Analisis Profil Lipid Darah a. Pengukuran Kolesterol Serum (Allain et al. 1974) Kolesterol serum berasal dari darah yang diambil dari jantung, disimpan di dalam tabung reaksi yang dilapisi EDTA selama 30 menit. Kemudian disentrifus dengan kecepatan 2500 rpm selama 10 menit. Setelah serum terpisah, serum darah dimasukkan ke dalam ependorf tertutup dan siap untuk dilakukan analisa selanjutnya. Kadar kolesterol total dientukan dengan menggunakan metode cholesterol oxidase phenol amino phenazone CHOD-PAP. Reagen yang digunakan berasal dari kit pereaksi kolesterol, AMS Diagnostic. Prinsip pengujian: Cholesterol esters + H 2 O Cholesterol + O 2
Cholesterol esterase Cholesterol esterase
Cholesterol + RCOOH Cholesterol + H 2 O 2
37
Peroxidase
2H 2 O 2 + HBA
Quinoneimine + 4H 2 O
Prosedur pengujian Sebanyak 10 µL sampel serum darah dimasukkan ke dalam tabung dan ditambahkan 1 mL larutan reagen. Sebagai blanko digunakan 1 mL larutan reagen dan sebagai standar digunakan standar kolesterol 10 µL dan ditambahkan 1 mL reagen. Larutan campuran divorteks, diinkubasi selama 10 menit pada suhu ruang atau 5 menit pada suhu 37°C. Absorbansi larutan dibaca pada λ 500 nm. Penghitungan dilakukan melalui rumus: Konsentrasi (mg/dl) = Abs Sampel x Konsentrasi Standar Abs Standar b. Pengukuran Kadar Trigliserida (Megraw et al. 1979) Pengukuran kadar trigliserida dilakukan dengan metode enzymatic calorimetric test glycerol phosphate oxidase phenol amino phenozone (GPOPAP). Reagen yang digunakan berasal dari kit pereaksi trigliserida, AMS Diagnostic. Prinsip pengujian: Trigliserida + 3 H 2 O Glycerol + ATP + ADP
Lipase Glycerol kinase
Glycerol-3-phosphate + O 2 phospate
glycerol + 3RCOOH glycerol-3-phosphate GPO
H 2 O 2 + 4chlorophenol + aminophenazone
dihydroxyacetone + H 2 O 2 peroksidase
Chinonimine (pink) +
4H 2 O Prosedur pengujian: Sebanyak 10 µl sampel serum darah dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan dengan 1.0 ml reagen. Larutan diinkubasi selama 20 menit (2025°C) atau 10 menit (37°C). Absorbansi sampel dibaca terhadap blanko reagen pada λ 546 nm. Perhitungan dilakukan melalui rumus: Konsentrasi (mg/dl) = Abs Sampel x Konsentrasi Standar Abs Standar c. Pengukuran Kadar HDL (Stein &Myers 1994) Reagen terdiri dari DSBmT (N,N-bis (4-sulfobutyl)-m-toluidine disodium salt) 0.5 mmol/l kolesterol oksidase 1.0 IU/l, dan 4-aminoantipyrine 1.0 mmol/l. Prinsip pengujian
38
HDL cholesterol
Cholesterol esterase
H 2 O 2 + 4-aminoantipyrine
Cholesterol + H 2 O 2 Peroksidase
Komponen merah-keunguan +
DSBmT Prosedur pengujian: Sebanyak 3.0 µl sampel serum darah dimasukkan ke dalam tabung dan ditambahkan 300 µl larutan reagen lalu divorteks. Sebagai blanko digunakan 1.00 ml reagen. Larutan diinkubasi selama 5 menit (37°C). Absorbansi larutan dibaca pada λ 600 nm. Penghitungan dilakukan melalui rumus: Konsentrasi (mg/dl) = Abs Sampel x Konsentrasi Standar Abs Standar d. Pengukuran Kadar LDL (Friedewald 1972) Kadar low density lipoprotein (LDL) dapat dihitung dengan menggunakan rumus Friedewald: LDL = Kolesterol total – (Trigliserida/5-HDL) 3.3.3.3. Analisis Aktivitas Antioksidan Hati a. Persiapan Homogenat Hati (Singh et al. 2000) Hati sebanyak 1.25 g dicacah dalam kondisi dingin dalam 5 ml larutan PBS yang mengandung 11.5 g/L KCl, kemudian disentrifus pada 1074 g (4000 rpm), 10 menit pada kondisi dingin (4°C) sehingga diperoleh supernatan jernih (homogenat). Homogenat ini digunakan untuk analisis kadar malonaldehid (MDA) dan aktivitas enzim antioksidan superoksida dismutase (SOD). b. Pengukuran Aktivitas Enzim Superoksida Dismutase (SOD) Hati (Kubo et al. 2002; Wijeratne et al. 2005; Prangdimurti 2007) Prinsip dari pengukuran aktivitas enzim SOD adalah mengukur kapasitas menangkap radikal anion superoksida. Anion superoksida dihasilkan secara enzimatis oleh sistem xantin-xantin oksidase. Enzim SOD berperan mendismutasi superoksida (O 2 * atau HO 2 * radikal hidroperoksil). Dalam prosedur analisis yang dilakukan, radikal superoksida dihasilkan terlebih dahulu dari reaksi antara xantin dan xantin oksidase. Radikal superoksida selanjutnya akan mengoksidasi garam tetrazolium (berwarna kuning) menjadi formazan yang berwarna biru.
39
Prosedur pengujian dilakukan dengan mereaksikan supernatan jernih hati sebanyak 0.06 ml dengan 2.7 ml buffer natrium-bikarbonat 50 mM yang mengandung 0.1 mM EDTA (pH 10), 0.06 ml xantin 10 mM, 0.03 ml BSA (Bovine Serum Albumin) 0.5%, 0.03 ml NBT (Nitroblue Tetrazolium), 2.5 mM. Selanjutnya dilakukan penambahan 0.6 ml xantin oksidase (0.04 unit). Absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada λ 560 nm dari 0–30 menit dengan interval waktu 5 menit. Absorbansi yang digunakan dalam perhitungan pada 30 menit. Sebagai kontrol digunakan larutan yang digunakan pada saat preparasi hati (PBS + KCl). Aktivitas SOD dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: {1-(A/B)} x 100 Dimana, A = Absorbansi larutan sampel, B = Absorbansi larutan kontrol c. Pengukuran Kadar Malonaldehid (MDA) Hati (Singh et al 2000) Prinsip pengujian kadar malonaldehid (MDA) adalah dengan mengukur absoransi warna merah muda yang terbentuk akibat adanya reaksi antara MDA dengan TBA (Thiobarbituric Acid) membentuk komplek MDA-TBA. Prekursor MDA adalah TEP (tetraetoksipropana) sehingga dapat digunakan sebagai larutan standar pada pengukuran MDA. TEP akan bereaksi dengan TBA membentuk warna merah muda. Prosedur pengujian kadar MDA adalah dengan mereaksikan 0.5 ml homogenat hati dengan 2.0 ml HCl dingin (0.25N ) yang mengandung 15% TCA (Trichloroacetic Acid), 0.38% TBA (Thiobarbituric Acid), dan 0.5% BHT (Butylated Hydroxytoluene). Campuran dipanaskan 80°C selama 1 jam. Setelah dingin, campuran disentrifus pada 3500 rpm (822 g) selama 10 menit. Supernatan diambil dan diukur absorbansi dengan spektrofotometer pada λ 532 nm. Sebagai larutan standar digunakan TEP (tetraetoksipropana). 3.3.4. Penelitian Tahap 4: Pengujian In Vivo Pati Tapioka Termodifikasi Polifenol terhadap Glukosa Darah dan Histologi Jaringan Pankreas Tikus 3.3.4.1. Analisis Kadar Glukosa Darah (Wu & Huan 2008)
40
Percobaan pada seluruh kelompok dilakukan selama 35 hari dan kadar glukosa darah tikus diamati setiap 2 hari sekali setelah diinduksi streptozotocin. Sebelum pengukuran kadar glukosa darah, tikus dipuasakan selama 6-8 jam (Wu & Huan 2008), tetapi tetap diberi air minum. Kadar glukosa darah tikus percobaan diukur menggunakan glukometer. 3.3.4.2. Analisis Histologi (Kiernan 1990) Analisis histologi dilakukan terhadap organ pankreas. Analisa ini meliputi tahapan sampling, trimming, dehidrasi, clearing (penjernihan), infiltrasi parafin, embedding (pencetakan), sectioning (pemotongan), dan pewarnaan hematoksilin eosin dan imunohistokimia terhadap sel β. a. Sampling Organ pankreas diambil secepat mungkin setelah tikus dieuthanasi. Organ dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis (0,9%) dan difiksasi dalam larutan buffer netral formalin 10% . b. Trimming (Pemotongan) Pada tahap ini organ pankreas diiris dengan ketebalan 0.5 cm dan disusun di dalam tissue cassette. Selanjutnya cassette dimasukkan ke dalam keranjang khusus automatic tissue processor. c. Dehidrasi (Penarikan Air) Proses dehidrasi ini dilakukan dengan menggunakan alat Automatic Tissue Processor, Sakura® Japan. Cassette yang berisi organ pankreas dimasukkan ke dalam larutan buffer formalin 10% (2x), kemudian dipindahkan ke dalam larutan etanol 80%, larutan etanol 95%, larutan etanol absolut (3x), larutan xylol (2x), terakhir diinfiltrasi paraplast. Proses dehidrasi dilakukan selama 18-20 jam secara otomatis (rata-rata waktu yang diperlukan untuk masing-masing tahap adalah 2 jam). d. Infiltrasi Parafin Infiltrasi paraffin dilakukan untuk memudahkan pemotongan dan menghilangkan xylol dalam jaringan pankreas. Pankreas dikeluarkan dari dalam tissue cassette lalu dimasukkan ke dalam paraffin cair 3 kali ulangan. Infiltrasi
41
paraffin ini dilakukan dalam Automatic Tissue Processor-Sakura®, Japan yang diatur bersuhu ± 60oC.
e. Embedding (Pencetakan) Proses embedding adalah proses memasukkan/menanam jaringan ke dalam paraffin
cair
dalam
cetakan
sehingga
memudahkan
pada
proses
pemotongan/penyayatan dengan mikrotom. Pertama-tama diisi dengan paraffin cair sampai cembung di atas plate panas pada Embedding Tissue Consol-Sakura®, Japan. Potongan jaringan yang telah melalui proses infiltrasi paraffin dimasukkan ke dalam cetakan, dan diatur letaknya. Bagian jaringan yang akan dipotong, dipasang menghadap dasar cetakan. Cetakan embedding selanjutnya dipindahkan ke plate yang dingin agar paraffin membeku. Setelah paraffin membeku, label jaringan ditempelkan. Setelah paraffin beku sempurna dan dingin, blok paraffin dikeluarkan dengan mengungkit salah satu pinggiran antara cetakan dengan paraffin. Jaringan yang telah ditanam pada blok paraffin selanjutnya disimpan di lemari es minimal 1 jam, agar dihasilkan pita jaringan yang baik (tidak pecah atau terlipat). f. Sectioning (Pemotongan) Sectioning dilakukan pada ruangan yang dingin, sehingga blok paraffin tetap keras. Pemotongan dilakukan dengan menggunakan mikrotom putar (rotary microtom). Blok paraffin yang telah didinginkan di dalam lemari es diambil dan dipasang pada blok holder. Pemotongan diawali dengan trimming, yaitu memotong pada ketebalan 10 mikron untuk mempercepat pencapaian bidang potong jaringan. Jika sudah dicapai bidang potongan penuh terhadap seluruh permukaan jaringan, maka ketebalan diatur pada 4 mikron. Kemudian pemotongan dilakukan kembali hingga dihasilkan sayatan berupa pita pendek, berisi 4 sampai 5 potongan berangkai. Potongan tersebut diambil dengan kertas yang sudah dibasahi dan diambangkan di atas permukaan akuades hangat 50°C. Potongan yang baik dilekatkan pada gelas objek berperekat (dilapisi ewitt). Selanjutnya dimasukkan ke dalam air hangat sebentar untuk merentangkan jaringan yang menggulung untuk mengatur posisi jaringan pada gelas objek.
42
Posisi potongan jaringan ditempatkan pada sepertiga bagian bawah gelas objek, dan beri label. Potongan jaringan kemudian disimpan di dalam inkubator selama 1 malam pada 37°C untuk penyempurnaan penempelan jaringan pada gelas objek dan selanjutnya siap untuk diwarnai. g. Pewarnaan Imunohistokimia Terhadap Sel β Tahapan analisis dimulai dari proses deparafinisasi yang bertujuan untuk melarutkan parafin dari jaringan, yaitu sediaan dimasukkan ke dalam serial larutan xylol
3 kali ulangan. Selanjutnya dilakukan rehidrasi, yaitu sediaan
dimasukkan ke dalam serial larutan alkohol (alkohol absolut 3 kali ulangan, 95%, 90%, 80%, dan 70%). Sediaan lalu direndam dalam air bebas ion (deionized water) selama 5-10 menit, direndam H 2 O 2 dalam metanol (1:100) selama 15 menit. Sediaan direndam dalam air bebas ion dan PBS, masing-masing selama 2 x 10 menit. Kemudian sediaan diletakkan pada kotak sediaan dan ditetesi serum normal 10% dalam PBS (50-60 µl/sediaan), diinkubasi pada 37°C, 30-60 menit. Sediaan dicuci dengan PBS 3x5 menit, lalu ditetesi antibodi primer/monoklonal terhadap insulin (Sigma 12018) dalam PBS (1:1000) sebanyak 50-60 µl/sediaan. Inkubasi dalam refrigerator semalam, lalu dicuci dengan PBS 3 x 10 menit. Sediaan kemudian ditetesi dengan antibodi sekunder DAKO envision peroksidase (Code No. K1491) yang telah diencerkan dengan PBS (DAKO : PBS = 3 : 1), sebanyak 50-60 µl/sediaan, lalu diinkubasi pada ruangan gelap, suhu 37°C, 30-60 menit. Sediaan dicuci dengan PBS 3 x 5 menit, lalu ditetesi DAB (diaminobenzidine) sebanyak 50-60 µl/sediaan dalam tris buffer dan H 2 O 2. DAB dibiarkan bereaksi pada ruang gelap selama 25 menit, dan hasilnya dicek di bawah mikroskop. Pewarnaan dicuci dengan air bebas ion dan didehidrasi dengan alkohol bertingkat (alkohol 70, 80, 90, dan 95% kemudian alkohol absolut 3 kali ulangan). Penjernihan dengan xylol 3 kali ulangan. Tahap akhir dari pewarnaan ini adalah mounting, yaitu penempelan gelas penutup pada sediaan dengan perekat entelan. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna coklat pada sel yang mengandung insulin. Sel positif terhadap pewarnaan ini adalah sel β. h. Pengamatan dan Pemotretan
43
Sediaan yang telah diwarnai dengan metode imunohistokimia kemudian diamati di bawah mikroskop cahaya, yang telah dilengkapi dengan kamera digital. Pengamatan pada sediaan meliputi pengamatan jaringan pankreas dan pulau Langerhans, penghitungan kepadatan pulau Langerhans per luas jaringan, dan penghitungan kepadatan sel β per bidang pandang pulau Langerhans per bidang pandang dengan pembesaran 400X. Pengukuran luas jaringan pankreas, luas pulau Langerhans, dan perhitungan jumlah sel beta menggunakan sofware Image J. Perhitungan luas pulau Langerhans dan kepadatan sel beta dilakukan pada 20 bidang pandang dan dari 20 bidang pandang tersebut diambil 5 bidang pandang untuk diolah secara statistik. 3.4. Analisis Data (Walpole 1982) Analisis data yang digunakan adalah analisis data statistik secara dekskriptif, yaitu metode-metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna. Pada penelitian tahap 1 untuk mengetahui pengaruh pengolahan pati terhadap sifat kimia dan nilai biologis pati modifikasi akan digunakan rancangan percobaan acak lengkap (RAL) faktorial (1 faktor). Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian tahap 2-4 adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan 1 faktor. Data akan dianalisi dengan sidik ragam (ANOVA). Jika hasil analisis menunjukkan perbedaan akibat perlakuan yang diberikan maka dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan. pada taraf uji 5%. Data yang diperoleh akan diolah menggunakan program SPSS.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Ekstrak Teh Hijau dan Daun Jambu Biji Merah 4.1.1. Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Ekstraksi teh hijau dan daun jambu biji ini dengan metode Widowati (2007) dan Nantitanon (2010) menghasilkan ekstrak cair dengan kekentalan sekitar 4°Brix. Ekstrak cair dari teh hijau dan daun jambu biji tersebut dipekatkan dengan pemanasan pada suhu 85°C sampai kekentalan mencapai 58-62°Brix. Pemekatan ekstrak dari 4°Brix menjadi 58-62°Brix mengacu pada Widowati (2007) dan dimaksudkan untuk mendapatkan ekstrak dengan kandungan polifenol yang tinggi. Ekstrak yang telah dipekatkan tersebut dianalisis kandungan total fenol dan aktivitas antioksidannya seperti tersaji pada Tabel 6 dan hasil uji t test dapat dilihat pada Lampiran 1-3. Tabel 6. Kadar polifenol dan aktivitas antioksidan (bb) ekstrak teh dan daun jambu biji 58-62°Brix Jenis ekstrak Total Polifenol Aktivitas Antioksidan (mg GAE /100 mg) (mM TEAC /mg) a Teh Hijau 232.78±10.57 297.11±0.95a Daun Jambu Biji 169.90± 4.85b 287.15±1.58a Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata (p > 0.05)
Hasil uji t-test menunjukkan total polifenol dari ekstrak teh hijau dan daun jambu biji merah berbeda nyata (p < 0.05) (Lampiran 2). Kandungan total polifenol pada ekstrak teh hijau lebih tinggi (232.78 mg GAE/100 mg) dibandingkan ekstrak daun jambu biji (169.90 mg GAE/100 mg). Artinya setiap 100 mg ekstrak daun teh hijau dan jambu biji merah 58-62oBrix mengandung total polifenol secara berturut-turut setara dengan 232.78 mg dan 169.90 mg asam galat. Pada penelitian ini kandungan total polifenol ekstrak daun teh hijau 58o
62 Brix setara dengan 134089 mg GAE/L ekstrak cair. Data ini lebih tinggi 56 kali dibandingkan hasil penelitian Rusak et al. (2008). Penelitian tersebut melaporkan bahwa kandungan total polifenol pada ekstrak teh hijau jenis Long
45
Jing, konsentrasi 0.01 g/ml yang diekstrak dengan air 80oC selama 5, 15 dan 30 menit adalah 1400-2377 mg GAE/l. Tingginya kandungan total polifenol teh hijau pada penelitian ini diduga karena adanya perbedaan kondisi ekstraksi yaitu konsentrasi ekstrak, lama ekstraksi dan varietas daun teh yang digunakan. Pada penelitian ini ekstraksi dilakukan pada teh hijau jenis peko super varietas Gambung pada suhu 85oC, konsentrasi 0.1 g/ml selama 8 menit. Total polifenol ekstrak daun jambu biji dengan kepekatan 58-62oBrix ini jika dikonversikan ke dalam ekstrak cair setara dengan 55.20 mg GAE/g. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Nantitanon et al. 2010 (254.97 mM GAE/mg), meskipun ekstraksi dilakukan dengan cara yang hampir sama. Perbedaan kandungan total polifenol dengan penelitian sebelumnya baik pada ekstrak teh hijau maupun daun jambu biji dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Tomas-Barberan dan Espin, 2001; Rapisarda, 1999, diacu dalam Aberoumand et al. 2008, kandungan komponen fenol dalam tanaman dipengaruhi oleh faktor intrinsik (genus, spesies, kultivar tanaman) dan faktor ekstrinsik (agronomi, lingkungan, penanganan dan penyimpanan). Aktivitas antioksidan antara ekstrak teh hijau (297.11±0.95 mM TEAC/mg) dan ekstrak daun jambu biji (287.15±1.58 mM TEAC/mg) tidak berbeda nyata (p > 0.05). Nilai ini menunjukkan bahwa setiap 1 mg ekstrak daun teh hijau dan jambu biji merah 58-62oBrix memiliki aktivitas antioksidan setara dengan Trolox 297.11 mM dan 287.15 mM. Kekuatan scavenging radikal bebas (TEAC) menunjukkan mekanisme kerja antioksidan dari kedua ekstrak tersebut sebagai donor H yang akan mengakhiri proses oksidasi dengan menkonversi radikal bebas dalam hal ini adalah DPPH (1,1-diphenyl-2-pycryl hydrazil) menjadi bentuk yang stabil (Tachakittirungrod et al. 2007). Tingginya aktivitas antioksidan ditunjukkan oleh banyaknya DPPH yang direduksi, yang dicirikan dengan semakin pudarnya warna ungu. Aktivitas antioksidan ekstrak teh hijau 58-62oBrix ini setara dengan 17.11 mM TEAC/mg ekstrak cair. Meskipun menggunakan varietas teh hijau yang sama dan diperoleh dari tempat yang sama serta diekstraksi dengan cara yang hampir
46
sama tetapi nilai aktivitas antioksidan ekstrak teh hijau pada penelitian ini lebih tinggi dari hasil yang diperoleh oleh Widowati (2007) (9.42 mM TEAC/mg). Hasil analisis ekstrak daun jambu biji 58-62oBrix pada penelitian ini memiliki aktivitas antioksidan setara dengan 9.42±0.33 mM TEAC/mg ekstrak cair. Ekstrak cair daun jambu biji memiliki aktivitas antioksidan lebih rendah dibandingkan hasil yang diperoleh Nantitanon et al. (2010), yaitu 24.30+0.50 mM TEAC/mg. Seperti halnya total fenol yang dipengaruhi oleh komponen fenoliknya, begitu juga dengan aktivitas antioksidan. Oleh karena itu perbedaan aktivitas antioksidan dengan penelitian sebelumnya juga dipengaruhi oleh faktor intrinsik (genus, spesies, kultivar tanaman) dan faktor ekstrinsik (agronomi, lingkungan, penanganan dan penyimpanan). Menurut Rice et al (1997), sifat fungsional dan kimia polifenol sebagai agen penyumbang dan pereduksi hidrogen atau elektron bisa digunakan untuk memprediksi potensi polifenol sebagai antioksidan (pembersih radikal bebas oksidan). Aktivitas antioksidan polifenol dapat ditentukan oleh: reaktivitasnya sebagai agen penyumbang hidrogen-elektron (yang berhubungan dengan potensi reduksi), fungsinya sebagai antioksidan diatur oleh kemampuannya untuk menstabilkan elektron yang tidak berpasangan, reaktivitas dengan antioksidan lainnya, dan potensinya dalam mengkelat logam. Berdasarkan sifat-sifat tersebut dan setelah melalui analisis, Rice et al (1997), melaporkan tingkatan komponen polifenol berdasarkan kekuatan antioksidannya (dalam 1 mM konsentrasi komponen polifenol), yakni kuersentin (4.7 mM TEAC) menempati posisi pertama, rutin dan katekin (2.4 mM TEAC), luteolin (2.1 mM TEAC), taksifolin (1.9 mM TEAC), apigenin dan naringenin (1.5 mM TEAC) hesperitin (1.4 mM TEAC), dan kaemferol (1.3 mM TEAC). Penelitian tersebut dapat menjelaskan mengapa ekstrak daun jambu meskipun memiliki kandungan total fenol lebih rendah dibandingkan ekstrak teh hijau, namun aktivitas antioksidan antar keduanya tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan karena komponen polifenol utama pada ekstrak daun jambu biji adalah kuersentin (Nantitanon et al. 2010), sedangkan pada ekstrak teh hijau komponen utama polifenolnya adalah katekin (Dreosti 1996).
47
4.2. Pati Tapioka Termodifikasi 4.2.1. Daya Cerna Pati In vitro Pengujian ini bertujuan untuk menentukan 2 pati tapioka termodifikasi yang akan digunakan pada penelitian selanjutnya. Pati tapioka termodifikasi dibuat dengan merendam pati dengan dua jenis ekstrak sumber polifenol yaitu teh hijau dan daun jambu biji pada empat konsentrasi ekstrak yaitu 0%, 4%, 6% dan 8% selama 6 jam. Hasil analisis daya cerna empat jenis pati tapioka termodifkasi dengan ekstrak teh dan daun jambu biji tersaji pada Tabel 7. Tabel 7. Daya cerna pati termodifikasi (%) dengan ekstrak teh hijau dan daun jambu biji merah Konsentrasi Ekstrak (%)
Jenis Ekstrak Daun jambu
Teh hijau
Alami*
b
99.36±0.91
99.36±0.91b
0**
86.55±6.44a
86.55±6.45a
4
85.51±1.71a
84.61±0.71a
6
84.64±4.59a
82.91±0.06a
8
86.49±0.49a
82.88±0.11a
*pati alami dari pabrik yang tidak mendapat perlakuan apapun seperti pada pembuatan pati termodifikasi. **pati termodifikasi yang tidak mendapatkan perlakuan penambahan ekstrak polifenol. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata (p > 0.05)
Uji sidik ragam daya cerna pati tapioka alami dan pati tapioka termodifikasi dengan ekstrak teh hijau dan daun jambu biji menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p < 0.05) (Lampiran 5-6). Pati tapioka termodifikasi baik dengan ekstrak teh hijau maupun ekstrak daun jambu biji memiliki daya cerna yang lebih rendah dibandingkan pati alaminya. Menurut Singh et al. (2010), faktor yang berpengaruh terhadap daya cerna pati beragam dan tidak selalu terkait satu dengan lainnya. Faktor penting yang berpengaruh selama hidrolisis pati secara in vitro adalah karakteristik pati, akses fisik enzim untuk pati, dan ketersediaan air yang dibutuhkan untuk hidrolisis. Faktor lain seperti teknik pengolahan, adanya komponen makanan lain seperti protein, lipid, antinutrients/inhibitor juga mempengaruhi daya cerna pati Perbedaan konsentrasi ekstrak (0%, 4%, 6%, dan 8%) yang ditambahkan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05) (Lampiran 5-6) pada daya
48
cerna pati tapioka yang dimodifikasi baik dengan ekstrak teh hijau maupun daun jambu biji. Pati tapioka tanpa penambahan ekstrak teh hijau dan daun jambu biji (konsentrasi 0%) memiliki daya cerna lebih rendah dari pati alaminya (tanpa pengolahan) dan memiliki daya cerna yang tidak berbeda dengan tapioka termodifikasi ekstrak teh hijau dan daun jambu biji. Hal ini menunjukkan bahwa selain penambahan ekstrak teh hijau dan daun jambu biji, ada pengaruh faktor pengolahan yang dapat menurunkan daya cerna. Pada penelitian ini yang membedakan antara pati tapioka alami dan tapioka termodifikasi terletak pada teknik pengolahan dan adanya penambahan ekstrak teh hijau dan daun jambu biji sehingga menambah komponen lain yaitu polifenol. Dalam pembuatan tapioka termodifikasi pati direndam dalam air (1:1) dengan penambahan ekstrak teh hijau 4% dan ekstrak daun jambu biji 4% selama 6 jam, kemudian ditiriskan dan dikeringkan dalam oven suhu 80°C selama 4 jam. Pengolahan ini bisa dikategorikan dalam tehnik heat moisture treatment (HMT). HMT melibatkan pemanasan pati pada suhu di atas titik gelatinisasinya (70130°C) selama satu sampai beberapa jam tapi dengan kelembaban cukup (1535%) (Jacobs dan Delcour 1998, diacu dalam Tsakama et al. 2011). Penelitian Pinasthi (2011) meskipun tidak melaporkan secara langsung, bahwa teknik pengolahan HMT dapat menurunkan daya cerna pati tapioka. Namun teknik HMT dilaporkan juga dapat mempengaruhi sifat-sifat pasta pati yang mendukung penurunan daya cerna pati in vitro. Sajilata et al. (2006), melaporkan bahwa pengolahan dengan HMT (kadar air 20–25% dengan teknik radiasi microwave) dapat meningkatkan suhu puncak gelatinisasi, memperbesar kisaran suhu gelatinasi (Tc–To), menurunkan viskositas, dan meningkatkan viskositas setback pada pati tapioka (Peningkatan viskositas setback menunjukkan adanya peningkatan
kecenderungan
pati
(amilosa) untuk
teretrogradasi.
Retrogradasi amilosa pada polong-polongan, jagung, gandum dan kentang sangat resisten terhadap hidrolisis enzim amilase. Sementara itu Gunaratne dan Hoover (2002) melaporkan bahwa perlakuan HMT pada suhu 100°C terhadap tapioka dengan kadar air 30% selama 10 jam tidak mengubah ukuran atau bentuk granula pati, tidak mengubah tipe kristal pati (tipe A), hidrolisis pati oleh enzim α-amilase meningkat, dan tidak ada perubahan
49
dalam derajat retrogradasi. Hasil pengujian hidrolisis pati menggunakan enzim αamilase pada penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan HMT pada tapioka akan meningkatkan daya cerna pati tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Beta & Corke (2004) mengenai efek penambahan senyawa fenol terhadap sifat pasta pati jagung dan sorgum menunjukkan bahwa penambahan senyawa fenolik (katekin dan asam ferulat) menyebabkan
terjadinya pembentukan
kompleks
inklusi.
Fenol mampu
membentuk senyawa kompleks (clathrate compounds) dengan molekul amilosa. Kompleks ini menyerupai pembentukan kompleks antara amilosa dan lemak (amilosa-lipid). Molekul amilosa memiliki 6 residu glukosa per putaran helik. Pada kondisi alkali helik menjadi lebih lebar/luas, karena helik bersifat hidrofobik secara internal, selain itu asam ferulat dan katekin memiliki sifat lipophilik. Interaksi antara pati dan fenol melibatkan asosiasi (penggabungan) hidrophobik secara alami dan pembentukan jembatan hidrogen melalui grup hidroksil. Menurut Crowe et al. 2000, diacu dalam Singh et al. 2010, terbentuknya kompleks amilosa-lipid selain dapat menyebabkan penurunan kelarutan pati, peningkatan suhu gelatinisasi, menghambat retrogradasi, ternyata juga dapat meningkatkan resistensi terhadap enzim pencernaan. Oleh karena itu penambahan ekstrak teh hijau dan daun jambu biji yang mengandung polifenol tinggi dalam penelitian ini diduga mampu menurunkan daya cerna pada tapioka. Perbedaan konsentrasi ekstrak (4%, 6%, dan 8%) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap daya cerna. Hal ini diduga karena rendahnya range konsentrasi ekstrak daun teh hijau dan daun jambu biji yang ditambahkan, sehingga tidak dapat memberikan perbedaan terhadap daya cerna pati in vitro. Selain itu kemungkinan juga disebabkan karena pengukuran daya cerna pati secara in vitro hanya menggunakan satu enzim, yaitu amilase. Pada kondisi sebenarnya, di dalam saluran pencernaan (in vivo), pati tidak hanya dicerna oleh amilase tetapi juga oleh enzim lain, seperti amiloglukosidase. Hal itulah yang sering menyebabkan perbedaan hasil antara pengujian in vitro dan in vivo. Pati terdiri atas amilosa (polimer dari gula sederhana berantai lurus) dan amilopektin (polimer dari gula sederhana berantai cabang). Enzim amilase hanya dapat menghidrolisis rantai lurus glukosa, sedangkan rantai cabang dihidrolisis oleh
50
amiloglukosidase. Oleh karena itu, metode analisis daya cerna dengan enzim tunggal akan menyebabkan terjadinya hidrolisis yang tidak sempurna sehingga hasil uji daya cerna pati in vitro sering tidak konsisten (Widowati 2007). Oleh karena itu untuk analisis secara in vivo pada tikus dipilih dua pati tapioka termodifikasi dengan daya cerna terendah yaitu pati tapioka termodifikasi ekstrak teh hijau 4% dan ekstrak daun jambu biji 4%. 4.2.2. Komposisi Kimia Pati Tapioka Termodifikasi Penampilan fisik pati tapioka termodifikasi ekstrak teh hijau 4% dan ekstrak daun jambu biji 4% dapat dilihat pada Gambar 7. Pati tapioka termodififkasi baik dengan ekstrak teh hijau maupun daun jambu biji merah 4% memiliki warna putih lebih gelap (krem atau putih kekuningan) jika dibandingkan pati tapioka alami.
Tapioka Alami
Tapioka + ekst.teh 4%
Tapioka + ekst.d.jambu 4%
Gambar 7. Pati tapioka alami, tapioka termodifikasi ekstrak teh hijau dan daun jambu biji 4% Kandungan kimia tapioka yang termodifikasi dengan ekstrak teh 4% dan ekstrak daun jambu 4% dapat dilihat pada Tabel 8. Kadar air dan abu antara pati tapioka alami dan tapioka termodifikasi berbeda nyata (p < 0.05) (Lampiran 8 & 9). Kadar air pati tapioka alami (16.07%) lebih tinggi daripada kadar air pati tapioka termodifikasi ekstrak teh hijau 4% (4.24%) dan kadar air pati tapioka termodifikasi ekstrak daun jambu 4% (5.27%). Kadar air pati tapioka
51
termodifikasi ini lebih rendah karena setelah melalui proses perendaman dengan ekstrak daun jambu dan teh hijau, pati termodifikasi mengalami pengeringan dengan intensitas dan suhu lebih tinggi(80oC) serta stabil dibandingkan pati tapioka alami. Kadar air tepung tapioka yang sesuai dengan syarat SNI 01-34512011 maksimal 15% bb. Tapioka alami belum memenuhi syarat tersebut karena dijemur di bawah sinar matahari yang suhunya lebih rendah dan tidak stabil, sehingga mengandung kadar air lebih tinggi.
Tabel 8. Komposisi kimia tapioka termodifikasi (% bk) Jenis Pati Air
Tapioka Alami 16.07±0.13b
Abu
0.12±0.02a
0.37±0.07b
0.42±0.01b
99.19±0.04a
98.95±0.47a
99.55±0.03a
Protein
0.39±0.01a
0.40±0.03a
0.17±0.00b
Lemak
0.29±0.02a
0.20±0.03a
0.21±0.03a
Serat Tidak Larut
2.14±0.21a
2.80±0.07b
2.52±0.04ab
Serat Larut
0.86±0.05a
1.45±0.19b
1.12±0.11ab
Total Serat
3.00±0.27a
4.25±0.27b
3.64±0.07ab
Karbohidrat
Tapioka + ekstrak teh 4% 4.24±0.64a
Tapioka + ekstrak daun jambu biji 4% 5.27±0.14a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata (p > 0.05)
Kadar abu tapioka termodifikasi lebih tinggi dibandingkan pati alaminya. Namun abu ketiga tapioka masih memenuhi syarat SNI 01-3451-2011 (maks. 0.60). Tapioka alami memiliki kandungan lemak dan karbohidrat yang tidak berbeda nyata dengan tapioka termodifikasi (p > 0.05) (Lampiran 10-11). Lemak tapioka alami dan modifikasi berkisar antara 0.20%–0.29%. Penelitian lain melaporkan
kadar
lemak
tapioka
sebesar
0.19%
(Febriyanti
dan
Wirakartakusumah 1990), 0.26% (Pangestuti 2010), sedangkan Pinashti (2011) melaporkan kadar lemak tapioka yang lebih rendah 0.04%. Tapioka alami dan modifikasi mengandung karbohidrat yang tinggi (99.19%, 98.95%, dan 99.55%). Penelitian lain mencatat kandungan karbohidrat yang tinggi pada tapioka yaitu 87.52% (Febriyanti dan Wirakartakusumah 1990), 98.54% (Pangestuti 2010), dan 92.25% (Pinashti 2011).
52
Protein pada tapioka termodifikasi ekstrak daun jambu biji berbeda nyata (p<0.05) (Lampiran 12) dengan tapioka alami dan tapioka termodifikasi ekstrak teh hijau. Kandungan protein tapioka termodifikasi ekstrak daun jambu biji lebih rendah (0.17%) dibandingkan tapioka alami dan tapioka termodifikasi ekstrak teh hijau (0.39% & 0.4%). Kandungan serat tidak larut, serat larut, dan total serat antara tapioka alami (2.14%; 0.86%; 3.01%) dan tapioka termodifikasi dengan ekstrak teh hijau (2.80%; 1.45%; 4.26%) berbeda nyata (p<0.05), sedangkan antara tapioka alami dan tapioka termodifikasi dengan ekstrak daun jambu tidak berbeda nyata (p>0.05) (Lampiran 13-15). Hal ini diduga karena pada penambahan ekstrak teh hijau pada pati tapioka akan menyebabkan terbentuknya pati resisten yang dapat terhitung sebagai serat tidak larut. Pada tapioka termodifikasi dengan ekstrak daun jambu kemungkinan juga terbentuk pati resisten tetapi tidak meningkatkan kadar serat tidak larut secara nyata. Beta dan Corke (2004) melaporkan bahwa penambahan polifenol (asam ferulat dan katekin) pada pati sorghum dan pati beras dapat menyebabkan terbentuknya kompleks antara pati dan polifenol, yang menyerupai kompleks amilosa-lipid. Menurut Sajilata et al. (2006), hidrolisis enzim terhadap kompleks amilosa-lipid dapat menghasilkan pati resisten tipe B. Meskipun dikalangan peneliti masih ada perbedaan pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa kompleks amilosa-lipid justru dapat mengurangi pembentukan pati resisten sedangkan pendapat lain menyatakan sebaliknya yaitu kompleks amilosa-lipid menyebabkan pembentukan pati resisten. Peneliti lain melaporkan bahwa kemungkinan ikatan antara komponen fenolik dengan karbohidrat (pati) adalah ikatan kovalen melalui jembatan eter pada C4 karbohidrat dan jembatan H+ serta interaksi hidrofobik yang sangat penting dalam bentuk kompleks tersebut (Bear et al. 1985, diacu dalam MuellerHarvey et al. 1986). Kompleks antara polifenol dan karbohidrat mengakibatkan perubahan struktur molekul pati sehingga tidak dikenali oleh enzim pencernaan. Bagian yang membentuk kompleks tersebut tidak dapat dicerna dan daya cerna pati menurun (Grifiths & Moseley 1980; Despandhe & Salunkhe 1982). Adanya adsorpsi polifenol secara selektif oleh pati (Thompson et al. 1984) dan ikatan
53
tanin (katekin) dengan leguminosa berpati, kentang, amilosa dan amilopektin akan menurunkan daya cerna pati in vitro (Despandhe & Salunkhe 1982).
4.3. Profil Lipid Darah dan Aktivitas Antioksidan Hati 4.3.1. Induksi Streptozotocin dan Pengelompokan Tikus Dosis streptozotocin (STZ) yang paling sering digunakan berkisar antara 40 sampai 70 mg/kg untuk tikus berusia 8 sampai 10 minggu (Brondum et al. 2005, diacu dalam Wu & Huan 2008). Dari berbagai laporan penelitian, banyak peneliti yang menggunakan dosis tunggal STZ 65 mg/kg BB. Pada penelitian ini dosis tunggal 65 mg/kg BB ternyata terlalu tinggi karena menyebabkan tingginya tingkat kematian pada tikus (>90%). Oleh karena itu dosis diturunkan menjadi 45 mg/kg BB, dengan jumlah tikus yang hidup 67– 83%. Setelah induksi STZ berhasil menjadikan tikus diabetes lalu dilakukan pengelompokan tikus (Tabel 9). Tabel 9. Kelompok perlakuan tikus untuk uji hipoglikemik Kelompok Tikus Tikus Normal (N) Tikus Normal (N) Tikus Normal (N) Tikus Diabetes (D) Tikus Diabetes (D) Tikus Diabetes (D)
Jenis pakan Pati tapioka (N) Pati tapioka + ekstrak daun jambu biji 4% (J) Pati tapioka + ekstrak daun teh hijau 4% (T) Pati tapioka (N) Pati tapioka + ekstrak daun jambu biji 4% (J) Pati tapioka + ekstrak daun teh hijau 4%(T)
Kode Kelompok Perlakuan NN NJ NT DN DT DJ
4.3.2. Kandungan dan Komposisi Kimia Ransum Pembuatan ransum tikus disusun berdasarkan ransum standar metode AOAC (1995). ransum tikus dibuat berdasarkan kelompok perlakuan. Jumlah pati diganti seluruhnya dengan pati tapioka sesuai dengan perlakuan (Tabel 10). Pemberian ransum dilakukan setiap hari sebanyak 20 g/ekor. Penambahan pati pada ransum tapioka alami lebih tinggi, sedangkan penambahan air lebih rendah dibandingkan dengan tapioka termodifikasi. Hal ini disebabkan karena kadar air dari tapioka alami lebih tinggi dibandingkan tapioka termodifikasi. Ketiga ransum ini kemudian dianalisis komposisi kimianya (Tabel 11).
54
Tabel 10. Komposisi ransum tikus (per 100 g) Bahan (g)
Tapioka alami
Kasein Minyak Jagung Selulosa (CMC) Mineral mix Vitamin mix Pati Tapioka Air
15.23 8.00 1.00 5.00 1.00 77.60 19.00
Kelompok Jenis Pati Tapioka + Tapioka + Ekst.daun Ekst.Teh Hijau Jambu Biji 15.23 15.23 8.00 8.00 1.00 1.00 5.00 5.00 1.00 1.00 68.94 68.94 29.00 29.00
Tabel 11. Komposisi kimia ransum tikus Komposisi Kimia Air (%bb) Lemak (%bk) Protein (%bk) Abu (%bk) Karbohidrat (%bk)
Tapioka alami 25.45±0.13a 9.02±0.43a 11.30±0.46a 4.41±0.05a 75.26±0.83a
Jenis ransum Tapioka + ekst. teh hijau 4%
Tapioka + ekst. daun jambu biji 4%
27.47±0.02b 8.43±0.12a 11.17±0.14a 4.97±0.09b 75.43±0.07a
26.82±0.71b 9.34±0.23a 11.04±0.18a 4.73±0.09b 74.90±0.50a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata (p > 0.05)
Komposisi kimia ransum berbeda nyata (p<0.05) pada kadar air dan kadar abu (Lampiran 18-19). Kadar air ransum tapioka alami lebih rendah (25.45%) dibandingkan ransum tapioka termodifikasi (27.47% & 26.82%). Hal ini terjadi karena untuk menyamakan kandungan kimia komponen lainnya (% bk) maka penambahan air pada ransum tapioka termodifikasi lebih tinggi dibandingkan ransum tapioka alami. Kadar abu ransum tapioka termodifikasi lebih tinggi dibandingkan ransum tapioka alami. Hal ini disebabkan karena ekstrak teh hijau dan ekstrak daun jambu biji yang ditambahkan pada tapioka termodifikasi mengandung serat yang berkontribusi terhadap peningkatan kadar abu ransum tapioka termodifikasi. Hasil analisis proksimat pada ketiga jenis ransum menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata (p<0.05) antara kandungan lemak, protein, dan karbohidrat antara ransum tapioka alami, tapioka termodifikasi ekstrak teh hijau dan tapioka termodifikasi ekstrak daun jambu biji (Lampiran 19-21). Hal ini disebabkan karena komponen lain seperti kasein dan minyak jagung ditambahkan
55
dalam jumlah yang sama, sedangkan penambahan pati supaya ransum mengandung kadar karbohidrat yang sama sudah memperhitungkan kadar air. 4.3.3. Konsumsi Ransum dan Berat Badan Tikus Rata-rata konsumsi ransum selama perlakuan dapat dilihat pada Tabel 12. Uji sidik ragam konsumsi ransum (bk) dapat dilihat pada Lampiran 22-23. Ransum rata-rata yang dikonsumsi tikus berkisar antara 11.87–13.89 g (bk). Pada tikus diabetes rata-rata ransum habis dikonsumsi dan 10% tercecer. Pada tikus normal sekitar 15-20% ransum tidak dikonsumsi dan tercecer. Nafsu makan pada tikus diabetes cenderung lebih tinggi dibanding tikus normal. Tabel 12 . Rata-rata konsumsi ransum Kelompok Perlakuan NN NJ NT DN DJ DT
Rata-rata Konsumsi ransum (g bb) (g bk) 17.03±1.41 12.39±1.09ab 16.59±1.42 11.87±1.14a 17.06±1.60 12.16±1.31a 17.94±1.50 13.18±1.17abc 18.31±1.47 13.89±0.54bc 18.60±0.87 13.77±0.53c
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata (p > 0.05). NN= tikus normal, ransum tapioka alami; NJ= tikus normal, ransum tapioka + ekstrak daun jambu 4% ; NT= tikus normal, ransum tapioka + ekstrak teh hijau 4%; DN= tikus diabetes, ransum tapioka alami; DJ= tikus diabetes, ransum tapioka + ekstrak daun jambu 4%, DT = tikus diabetes, ransum tapioka + ekstrak teh hijau 4% .
Perubahan berat badan tikus diamati setiap 2 hari sekali selama percobaan (Gambar 8). Perubahan berat badan pada tikus normal dan diabetes berbeda nyata (p<0.05) (Lampiran 27). Pada tikus normal berat badan cenderung meningkat dengan rata-rata kenaikan 91.4–111 g, sedangkan pada tikus diabetes berat badan cenderung menurun dengan rata-rata penurunan 19–35.67 g. Tingginya konsumsi ransum dan penurunan berat badan pada tikus diabetes dapat disebabkan kondisi diabetes menyebabkan konsentrasi glukosa dalam darah meningkat sehingga terjadi glukosuria (glukosa dalam urin), yang menyebabkan diuresis osmotik sehingga mengakibatkan poliuria (sering kencing). Poliuria merangsang polidipsia (rasa haus yang terus menerus) dan poliphagia (perasaan lapar yang berlebih). Kekurangan insulin lebih lanjut, menyebabkan peningkatan lipolisis dari sel-sel lemak serta pemecahan protein sebagai alternatif
56
sumber bahan bakar. Mekanisme ini, bersamaan dengan hilangnya kalori sehingga menimbulkan hyperphagia (perasaan lapar yang berlebih) dan penurunan berat badan (David & Plotnick 2008).
300
Berat Badan (g)
250 200 150 100 50 0 0
1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 Percobaan hari ke-
NNᵃ
NJᵃ
NTᵃ
DNᵇ
DJᵇ
DTᵇ
NN= tikus normal, ransum tapioka alami; NJ= tikus normal, ransum tapioka + ekstrak daun jambu 4%; NT= tikus normal, ransum tapioka + ekstrak teh hijau 4%; DN= tikus diabetes, ransum tapioka alami; DJ= tikus diabetes, ransum tapioka + ekstrak daun jambu 4%, DT = tikus diabetes, ransum tapioka + ekstrak teh hijau 4% . Kode sampel yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (p>0.05)
Gambar 8. Rata-rata berat badan harian tikus selama percobaan 4.3.4. Profil Lipid Darah Darah untuk analisis profil lipid tikus diambil dari organ jantung. Profil lipid serum darah tikus yang dianalisis meliputi kadar kolesterol, trigliserida, HDL, dan LDL (Tabel 13). Uji sidik ragam profil lipid tikus dapat dilihat pada Lampiran 29-32. Analisis profil lipid serum darah tikus yang meliputi kadar total kolesterol, trigliserida, HDL, dan LDL dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kelainan lipid (dislipidemia) yang dapat terjadi pada penderita diabetes akibat kelainan insulin dan hiperglikemia. Uji sidik ragam terhadap profil lipid darah menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p>0.05) pada kadar kolesterol, trigliserida, HDL, dan LDL serum darah tikus (Lampiran 29-32)
57
Tabel 13. Kadar kolesterol, trigliserida, HDL, dan LDL tikus Kelompok Perlakuan
Profil Lipid Serum Darah (mg/dL) Kolesterol a
HDL
LDL a
Trigliserida a
48.0± 7.1a
NN
42.5± 6.0
17.5± 4.4
15.4±8.2
NJ
51.0±23.8a
20.3± 7.0a
12.5±9.3a
91.0±58.6a
NT
44.0±11.6a
20.3± 7.6a
9.6±2.9a
70.8± 0.6a
DN
48.5±11.3a
23.0±13.8a
16.7±9.8a
44.0± 5.9a
DJ
55.3± 8.3a
27.0± 9.2a
18.2±3.3a
50.5±17.5a
DT
43.0±21.5a
14.7±17.2a
17.9±2.4a
52.3±30.5a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata (p > 0.05). NN= tikus normal, ransum tapioka alami; NJ= tikus normal, ransum tapioka + ekstrak daun jambu 4% ; NT= tikus normal, ransum tapioka + ekstrak teh hijau 4%; DN= tikus diabetes, ransum tapioka alami; DJ= tikus diabetes, ransum tapioka + ekstrak daun jambu 4%, DT = tikus diabetes, ransum tapioka + ekstrak teh hijau 4%. Rata-rata NN, NJ, NT, DN berasal dari 3 ulangan, DJ 4 ulangan, sedangkan DT 3 ulangan.
Kadar kolesterol semua perlakuan tikus berkisar antara 42.5–55.25 mg/dl. Hal ini menunjukkan kadar total kolesterol semua tikus masih berada dalam batas normal. Pada tikus strain Sprague Dawley kadar kolesterol normal berkisar antara 10–54 mg/dL (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Kadar trigliserida serum darah tikus pada semua perlakuan hewan coba berkisar antara 44-91 mg/dl, HDL 14.67–27.00 mg/dl, LDL 9.6–23.00 mg/dl. Penelitian lain yang dilakukan pada tikus Sprague Dawley jantan normal sebagai kontrol menunjukkan profil lipid dari serum darah yang bervariasi pada tikus. Kadar kolesterol total 94 mg/dl, LDL 35 mg/dl, HDL 50 mg/dl, TG 46 mg/dl (mulai perlakuan umur 21-23 hari, ransum AOAC 1995, Perlakuan 28 hari) (Suharma 2011); kolesterol total 55.8 mg/dl, HDL 24.00 mg/dl, trigliserida 44.28 mg/dl, dan LDL 22.3 mg/dl (mulai perlakuan umur 2 bulan, ransum AIN 1993, perlakuan 42 hari) (Khayrani 2008); kolesterol total 60.23 mg/dl, TG 42.45 mg/dl, HDL 27.28 mg/dl, dan LDL 24.45 mg/dl (mulai perlakuan umur 2 bulan, ransum AIN 1993, perlakuan 36 hari) (Novayanti 2009); memiliki kolesterol total 55.80 mg/dl, HDL 24.65 mg/dl, TG 44.28 mg/dl, dan LDL 22.29 mg/dl (mulai perlakuan umur 2 bulan, ransum AIN 1993, perlakuan 42 hari) (Rohmawati 2008). Profil lipid serum darah tikus, terutama kadar total kolesterol masih berada dalam kisaran normal baik pada tikus normal maupun tikus diabetes. Pada
58
penelitian ini tikus yang diinduksi diabetes dengan dosis tunggal STZ pada umur 2 bulan akan menghasilkan diabetes tipe 1. Menurut O’Brien et al. (1998), Pada diabetes mellitus tipe 1, biasanya kelainan lipid (dislipidemia) dapat dikembalikan dengan kontrol glikemik. Pada diabetes mellitus tipe 2, meskipun kualitas lipid dapat diperbaiki, namun kelainan tetap terjadi bahkan setelah kontrol glikemik yang optimal telah dicapai.
4.3.5. Aktivitas Antioksidan Hati Aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) dan kadar malonaldehid (MDA) hati tikus dapat dilihat pada Tabel 14. Peningkatan stres oksidatif adalah hal yang umum terjadi pada perkembangan penyakit diabetes dan komplikasinya. Diabetes biasanya disertai dengan peningkatan produksi radikal bebas atau gangguan pertahanan antioksidan. Mekanisme peningkatkan stress oksidatif dalam komplikasi diabetes sebagian sudah diketahui, termasuk aktivasi faktor transkripsi, hasil akhir produk terglikasi (AGEs), dan protein kinase C (Maritim, Sanders, & Watkins 2003). Senyawa malonaldehid merupakan senyawa hasil peroksidasi lemak yang dapat digunakan sebagai salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur produk akhir dari kerusakan oksidatif. Enzim superoksida dismutase (SOD) adalah salah satu enzim yang tergabung dalam kelompok pertahanan antioksidan (preventive antioxidant), yaitu kelompok antioksidan yang berfungsi menekan terbentuknya radikal bebas. Enzim SOD ini dapat mengubah radikal superoksida menjadi molekul hidrogen peroksida dan oksigen (Papas 1999). Hasil uji sidik ragam aktivitas enzim SOD dan kadar MDA, menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata (p>0.05) (Lampiran 34-35) Hal ini dapat diartikan bahwa jenis ransum yang diberikan belum memberikan pengaruh terhadap status antioksidan hati tikus. Menurut Papas (1999), status antioksidan adalah suatu keadaan keseimbangan sistem antioksidan dengan peroksidan dalam organisme hidup. Jika terjadi peningkatan oksidasi melebihi ketersediaan antioksidan maka akan terjadi stress oksidatif yang ditandai dengan peningkatan radikal bebas.
59
Tabel 14. Aktivitas enzim SOD dan kadar MDA hati Kelompok SOD MDA Perlakuan (U/mg prot) (nml/mg Jar) NN
0.570±0.24a
0.090±0.09a
NJ
0.977±0.52a
0.105±0.13a
NT
0.885±0.40a
0.042±0.05a
DN
0.561±0.15a
0.027±0.01a
DJ
0.593±0.59a
0.059±0.06a
DT
0.603±0.15a
0.025±0.01a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata (p > 0.05). NN= tikus normal, ransum tapioka alami; NJ= tikus normal, ransum tapioka + ekstrak daun jambu 4% ; NT= tikus normal, ransum tapioka + ekstrak teh hijau 4%; DN= tikus diabetes, ransum tapioka alami; DJ= tikus diabetes, ransum tapioka + ekstrak daun jambu 4%, DT = tikus diabetes, ransum tapioka + ekstrak teh hijau 4%. Rata-rata NN, NJ, NT,DN berasal dari 3 ulangan, DJ 4 ulangan, sedangkan DT 3 ulangan
Kondisi hiperglikemia kronis (glukosa darah puasa>125 mg/dl) dapat mendorong produksi radikal bebas yang berlebihan karena adanya auto-oksidasi glukosa, progresi protein sehingga terjadi ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan tubuh. Pembentukan radikal bebas yang berlebih pada penderita diabetes akan menyebabkan penurunan kandungan enzim-enzim antioksidan (Szaleczky et al. 1999 dan Ferari & Torres, 2003) Pada penelitian ini, kandungan oksidan (MDA) dan antioksidan (SOD) pada semua perlakuan tidak berbeda nyata. Kondisi ini bisa mengarah pada dua kemungkinan 1) Penambahan ekstrak teh hijau dan daun jambu biji belum memberikan dampak terhadap aktivitas antioksidan, MDA dan enzim SOD hati tikus yang bisa disebabkan karena konsentrasi penambahan ekstrak terlalu rendah atau waktu perlakuan yang terlalu singkat dan 2) ada kemungkinan kondisi penyakit diabetes tikus pada penelitian ini belum mengalami komplikasi ke arah stress oksidatif. Menurut Wu & Huan (2008), kondisi diabetes parah pada tikus yang diinduksi dengan dosis tunggal STZ akan terjadi saat glukosa darah mencapai >250-600 mg/dl. Pada penelitian ini glukosa darah tikus berkisar antara 313.43–384.41 mg/dl, sehingga mungkin saja belum menyebabkan komplikasi ke arah stress oksidatif.
60
4.4. Kadar Glukosa Darah dan Histologi Pankreas 4.4.1. Kadar Glukosa Darah Kadar glukosa darah tikus diamati setiap 2 hari sekali selama 35 hari. Kadar glukosa darah harian dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Glukosa darah harian (mg/dl) Kelompok Perlakuan
Glukosa darah Harian (mg/dl)
NN NJ NT
113.32±5.13a 120.54±4.20a
DN
384.41±54.75b
DJ
365.63±58.19c
DT
313.43±88.86d
113.19±5.00a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata (p > 0.05). NN= tikus normal, ransum tapioka alami; NJ= tikus normal, ransum tapioka + ekstrak daun jambu 4% ; NT= tikus normal, ransum tapioka + ekstrak teh hijau 4%; DN= tikus diabetes, ransum tapioka alami; DJ= tikus diabetes, ransum tapioka + ekstrak daun jambu 4%, DT = tikus diabetes, ransum tapioka + ekstrak teh hijau 4%. Rata-rata NN, NJ, NT, DN berasal dari 3 ulangan, DJ 4 ulangan, sedangkan DT 3 ulangan
Uji sidik ragam berdasarkan glukosa darah harian tikus normal dan diabetes berbeda nyata (p<0.05) (Lampiran 39). Glukosa darah harian tikus normal <150 mg/dl, sedangkan glukosa darah harian tikus diabetes >300 mg/dl. Kadar glukosa darah untuk hiperglikemia tingkat ringan harus >150 mg/dl atau menunjukkan peningkatan glukosa darah signifikan secara statistik. Kadar glukosa darah diabetes tingkat parah biasanya mencapai >250-600 mg/dl (Wu & Huan 2008). Pemberian ransum tapioka alami maupun tapioka termodifikasi ekstrak teh hijau dan daun jambu biji tidak memberikan pengaruh (p>0.05) terhadap kadar glukosa darah harian pada tikus normal. Glukosa darah harian pada tikus diabetes berbeda nyata (p<0.05) berdasarkan jenis ransum yang diberikan. Tikus diabetes yang diberi ransum pati tapioka alami memiliki glukosa darah harian paling tinggi (384.41 mg/dl) dibandingkan tikus yang diberi ransum tapioka termodifikasi ekstrak teh hijau 4% (365.63 mg/dl) dan tapioka termodifikasi ekstrak daun jambu 4% (313.43 mg/dl). Hasil ini menunjukkan bahwa pati modifikasi baik dengan
61
ekstrak teh hijau 4% maupun dengan ekstrak daun jambu biji 4% dapat menjaga glukosa darah harian pada tikus diabetes. Pencernaan pati menjadi lebih lambat sehingga glukosa darah tidak melonjak tinggi. Penelitian lain menunjukkan, tikus diabetes yang diberi ekstrak daun jambu biji selama 6 minggu menunjukkan glukosa darah yang lebih rendah (±150 mg/dl) dibandingkan grup kontrol (±200 mg/dl). Pemberian ekstrak tersebut mampu meningkatkan plasma insulin dan pemanfaatan glukosa darah pada tikus diabetes (Shen et al. 2008). Widowati (2007) juga melaporkan bahwa beras fungsional dengan penambahan ekstrak teh hijau meskipun belum mampu menurunkan glukosa darah ke kadar normal namun telah menunjukkan dampak pengendalian glukosa darah pada tikus diabetes. Flavonoid yang terkandung di dalam ekstrak teh hijau dan daun jambu biji diduga menjadi faktor yang dapat mengendalikan glukosa darah tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa flavonoid berperan dalam menghambat aktivitas α-amilase manusia melalui 2 mekanisme yaitu (1) membentuk ikatan hidrogen antara grup hidroksil polifenol ligan dengan residu katalitik binding site enzim; (2) membentuk conjugated π-system yang menstabilkan interaksi dengan sisi aktif enzim antara cincin AC polifenol ligan dengan cincin indole Trp59 α-amylase. Sebanyak 2 ikatan hidrogen akan dibentuk antara OH pada posisi R4’ dan R5’ cincin B polifenol dan grup karboksilat Asp197 dan Glu233 α-amylase dan 1 ikatan hidrogen dibentuk antara OH pada posisi R7 polifenol dengan grup karboksilat His305 α-amylase (Gambar 9). Penelitian yang dilakukan oleh Beta & Corke (2004) melaporkan bahwa penambahan senyawa fenol (asam ferulat dan katekin) pada pati jagung dan sorgum dapat membentuk kompleks inklusi yang mirip dengan kompleks amilosa dan lipid. Menurut Crowe et al. (2000), diacu dalam Singh et al. (2010), terbentuknya kompleks amilosa-lipid selain dapat menyebabkan penurunan kelarutan pati, peningkatan suhu gelatinisasi, menghambat retrogradasi, juga dapat meningkatkan resistensi terhadap enzim pencernaan. Mekanisme tersebut diduga juga terjadi pada pati tapioka yang termodifikasi oleh ekstrak teh hijau dan daun jambu biji merah pada penelitian ini.
62
Glu
R4 Asp R7
R5
Trp
Gambar 9. Pembentukan ikatan antara flavonoid (quercetagetin) di dalam binding site α-amylase (Piparo et al. 2008) 4.4.2. Histologi Pankreas Preparat
hasil
pewarnaan
imunohistokimia
difoto
menggunakan
mikroskop dengan pembesaran 400x dan dilakukan penghitungan luas jaringan pankreas, luas pulau Langerhans, dan penghitungan jumlah sel β per bidang pandang. Hasil pewarnaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 10. Pada penelitian ini luas pulau Langerhans per bidang pandang dipersenkan berdasarkan luas jaringan pankreas, sedangkan jumlah sel beta disamakan satuannya per 10 mm2 luas pulau Langerhans. Luas pulau Langerhans yang diukur dan jumlah sel beta yang dihitung berasal dari 20 bidang pandang per ulangan. Dari 20 bidang pandang tersebut diambil 5 bidang pandang per ulangan untuk dapat diolah secara statistik. Data persen luas pulau Langerhans dan jumlah beta pankreas tikus dapat dilihat pada Gambar 11-12, sedangkan uji sidik ragam dapat dilihat secara rinci pada Lampiran 41-42.
63
Sel beta Sel beta
NN
DN
Sel beta
Sel beta
NJ
DJ
Sel beta Sel beta
NT
DT
NN= tikus normal, ransum tapioka alami; NJ= tikus normal, ransum tapioka + ekstrak daun jambu 4%; NT= tikus normal, ransum tapioka + ekstrak teh hijau 4%; DN= tikus diabetes, ransum tapioka alami; DJ= tikus diabetes, ransum tapioka + ekstrak daun jambu 4%; DT = tikus diabetes, ransum tapioka + ekstrak teh hijau 4%.
Gambar 10. Histologi jaringan pankreas, pulau Langerhans, dan sel beta pankreas (pewarnaan imunohistokimia anti insulin perbesaran 400x)
64
Pada Gambar 10, dapat dilihat persen luas pulau Langerhans per luas jaringan pankreas. Pulau Langerhans merupakan kumpulan kelenjar endokrin yang tersebar di seluruh organ pankreas, berbentuk seperti pulau dan banyak dilalui oleh kapiler-kapiler darah. Pulau Langerhans pada penderita DM umumnya akan mengalami perubahan morfologi baik dalam jumlah maupun ukurannnya (Gepts 1981).
% Luas P.Langerhans
25
21.14a
20 15.25a
13.88a
15
9.02a
10
5.12a
5
5.15a
0 Tikus Normal Tapioka aseli
Tapioka + ekstrak daun jambu 4%
Tikus Diabetes Tapioka + ekstrak teh hijau 4%
Gambar 11. Persen luas pulau Langerhans per luas jaringan pankreas. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (p > 0.05)
Pada penelitian ini hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian tapioka termodifikasi polifenol ekstrak teh hijau dan daun jambu biji pada tikus tidak berpengaruh nyata (p>0.05) (Lampiran 41) terhadap persen pulau Langerhans per luas jaringan pada keenam kelompok perlakuan (Gambar 11). Menurut Widowati (2007), ukuran pulau Langerhans belum menunjukkan jumlah produksi dan sekresi insulin. Meskipun pulau Langerhans jumlahnya masih banyak dan ukuran besar, akan tetapi memiliki kemungkinan jumlah sel beta yang normal (tidak rusak) sangat sedikit sehingga produksi dan sekresi insulin akan mengalami penurunan yang signifikan. Oleh karena itu selanjutnya dilakukan perhitungan kepadatan sel beta pankreas sebagai sel penghasil insulin (Gambar 12). Berdasarkan uji sidik ragam pemberian tapioka termodifikasi polifenol ekstrak teh hijau dan daun jambu biji pada tikus berpengaruh nyata (p<0.05) (Lampiran 42) terhadap jumlah sel beta pankreas (Gambar 12). Jumlah sel beta
65
pankreas per 10 mm2 pulau Langerhans, pada tikus diabetes dengan ransum tapioka termodifikasi baik dengan ekstrak daun jambu biji (49.96) maupun ekstrak teh hijau (48.81) lebih tinggi dibandingkan tikus diabetes dengan ransum tapioka aseli (33.57). 60 Jumlah Sel Beta Pankreas
51.74b 50
47.90b
51.89b
40
49.36b 48.81b
33.57a
30 20 10 0 Tikus normal
Pakan tapioka aseli
Pakan tapioka + ekstrak daun jambu 4%
Tikus diabetes Pakan tapioka + ekstrak teh hijau 4%
Gambar 12. Jumlah sel beta pankreas per 10 mm2 pulau Langerhans Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (p > 0.05)
Pada penelitian ini tidak diberikan obat-obatan hipoglikemik, hanya perlakuan ransum yang berbeda. Oleh karena itu berdasarkan hasil uji sidik ragam di atas maka dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum tapioka yang dimodifikasi dengan ekstrak teh hijau dan daun jambu biji memberikan dampak terhadap perbaikan sel beta pankreas dengan menahan laju kerusakan sel beta pada tikus diabetes sehingga kepadatannya tetap dapat dipertahankan menyamai kepadatan sel beta pada tikus normal. Penelitian lain yang berkaitan dengan penambahan ekstrak teh hijau dalam produk pangan juga dilaporkan oleh Widowati (2007) yang menunjukkan adanya dampak penghambatan terhadap kerusakan sel beta pankreas pada tikus diabetes yang diberi ransum beras membramo instan yang diperkaya ekstrak teh hijau. Penelitian mengenai penambahan ekstrak daun jambu biji pada produk makanan belum ditemukan akan tetapi Sutriana et al. (2010) melaporkan bahwa konsumsi ekstrak etanol daun jambu biji secara signifikan mampu meregenerasi sel beta pankreas pada tikus diabetes.
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Pati tapioka termodifikasi baik dengan ekstrak teh hijau maupun ekstrak daun jambu biji memiliki daya cerna yang lebih rendah dibandingkan pati aslinya. Tapioka termodifikasi ekstrak teh hijau 4% dan ekstrak daun jambu biji 4% dipilih untuk pengujian secara in vivo. Tapioka termodifikasi tidak memberikan pengaruh terhadap profil lipid darah tikus (kolesterol, trigliseda, HDL, dan LDL), aktivitas enzim SOD dan kadar MDA hati tikus model, serta luas pulau Langerhans. Tapioka termodifikasi dapat menurunkan kadar glukosa darah harian tikus diabetes dan dapat menahan laju kerusakan sel beta pankreas.
5.2. Saran Perlu penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh
pengolahan dan
penambahan ekstrak teh hijau dan daun jambu biji terhadap daya cerna pati tapioka secara in vivo pada tikus, bentuk ikatan kimia yang terjadi antara pati dan polifenol, pengaruh tapioka termodifikasi ekstrak teh hijau dan daun jambu biji terhadap profil lipid darah dan status antioksidan darah tikus diabetes di awal, tengah dan akhir penelitian, dan pengembangan produk pangan olahan dari tapioka termodifikasi polifenol.
VI DAFTAR PUSTAKA
Aberoumand A, Deokule SS. 2008. Comparison of phenolic compounds of some edible plants of iran and india. Pakistan Journal of Nutrition 7 (4): 582585. [ADA]. American Diabetes Association. 2002. National diabetes fact sheet. http://www.diabetes.org/diabetes-statistics.jsp. [7 April 2010]. Allain CC, Poon LS, Chan CSG. 1974. Enzymatic determination of total serum cholesterol. Clin. Chem 20:470-475. [AOAC] Association of Official Analytical and Chemist. 1995. Official Methods of Analysis of AOAC International 16th edition. Airlington, Virginia: AOAC International. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Yasni S, Budijanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor: IPB Press. Astuti W, Tri Widjajanti T, Palupi DF, Normansyah HS, Damanik I. 2009. Profil perkembangan perdagangan komoditi ubi kayu indonesia. Jakarta: Subdit Analisa dan Informasi Pasar, Direktorat Pasar Internasional, Ditjen. Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian. [BALITBANGKES] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan. 2008. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007. Jakarta: BALITBANGKES DEPKES. Bear JE, Lilley TH, Haslam EE. 1985. Plant polyphenol - secondary metabolism and chemical defense: some observations. Phytochemistry 24:33-38 Benelli R, Vene R, Bisacchi D, Garbisa S, Albini A. 2002. Anti-invasive effects of green tea polyphenol epigallocatechin-3-galleate (EGCG), a natural inhibitor of metallo and serine proteases. Biol Chem 383:101-105. Berg JM, Tymoczko JL, Stryer L. 2002. Biochemistry. Ed ke-5. Michigan: W.H. Freeman and Company. Bertelli A, Bertelli AAE, Gozzini A, Giovannini L. 1998. Plasma and tissue resveratrol concentrations and pharmacological activity. Drugs Exp Clin Res 24:133–8. Beta T, Corke H. 2004. Effect of ferulic acid and catechin on sorghum and maize starch pasting properties. Cereal Chem. 81(3):418–422. Bhat KP, Pezzuto JM. 2002. Cancer chemopreventive activity of resveratrol. Ann N Y Acad Sci 957:210–29. [BPS]
Badan Pusat Statistik. 2011. Produksi http://www.bps.go.id. [14 Juni 2012].
Tapioka
di
Indonesia.
68
Brondum E, Nilsson H, Aalkjaer C. 2005. Functional abnormalities in isolated arteries from Goto-Kakizaki and streptozotocin-treated diabetic rat models. Horm. Metab. Res. 37:56-60. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2011. Tapioka. SNI 3451:2011. Jakarta. Crowe TC, Seligman SA, Copeland L. 2000. Inhibition of enzymic digestion of amylose by free fatty acids in vitro contributes to resistant starch formation. J of Nutr 130: 2006-2008. Champe PC, Harvey RA. 2005. Biochemistry. Ed ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams and Willkins. [CIC] Capricorns Indonesians Counsultant. 1998. Perkembangan Industri dan Pemasaran Tepung Tapioka di Indonesia. Indocomercial 3 No-203. 11 Juni 1998. Dalimartha S. 2004 Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Diabetes Mellitus. Jakarta: Penebar Swadaya. David WC, Plotnick L. 2008. Type 1 diabetes mellitus in pediatrics. Pediatrics in Review. 29:374. Deshpande SS, Salunke DK. 1982. Interactions of tannic acid and catechin with legume starches. J Food Sci 47:2080-2081. Deguchi Y, Miyazaki K. 2010. Anti-hyperglycemic and anti-hyperlipidemic effects of guava leaf extract [ulas balik]. Nutrition & Metabolism 7(9): 110. Dreosti I. 1996. Bioactive ingredients: antioxidants and polyphenols in tea. Nutrition Reviews, 54(11): S51-S58. Eastwood M. 2003. Principles of Human Nutrition. Ed ke-2. Edinburgh: Blackwell Science Ltd. Edlund H. 2001. Section 1: β-Cell differentiation and growth developmental biology of the pancreas. Diabetes 50 Supl 1:S5-S9. Fadilah N. 2004. Pengaruh pengolahan dan penyimpanan mi instan berbahan dasar terigu-tepung singkong-tapioka serta penambahan cmc (carboxymethyl cellulose) terhadap daya cerna pati secara in vitro [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Fagety
EM. 2009. Teknologi Pembuatan http://www.oje83.blogspot.com. [14 Juni 2010]
Tapioka.
[FAO/WHO]. Food and Agriculture Organization/World Health Organization, Expert Consultation. 1998. Carbohydrate in Human Nutrition. Report of joint FAO/WHO Expert Consultation paper 66. Rome: FAO Food and Nutrition.
69
Febriyanti, T, Wirakartakusumah MA. 1990. Studi karakteristik fisiko kimia dan fungsional tepung beberapa varietas singkong (Manihot esculenta Crantz). Bul. Pend. Ilmu Tek Pangan II(1):23. Ferari CKB, Torres EAES. 2003. Biochemical pharmacology of functional foods and prevention of chronic diseases of aging. Biomed Pharm 57:251-260. Fontaine J, Le Douarin NM. 1977. Analysis of endoderm formation in the avian blastoderm by the use of quail-chick chimaeras: the problem of the neurectodermal origin of the cells of the APUD series. J Embryol Exp Morphol 41: 209–222. Foster-Powell K, Holt SHA, Brand-Miller JC. 2002. International table of glycemic index and glycemic load values. Am J of Clin Nutr 76:5-56. Frei B, Higdon JV. 2003. Antioxidant activity of tea polyphenols in vivo: evidence from animal studies. J.Nutr 133: 3275S–3284S. Frerichs TH. 1884. Diabetes. Berlin: Nw Üntklt Dicn Linden Gs. Friedwald WT, Levy RJ, Fredricken DS. 1972. Estimation of HDL-c in the plasma without the use of preparative ultracentrifuge. Clin. Chem 18:449. Gepts W. 1981. Islet Change in Human Diabetes. Di dalam: Cooperstein S.J., Watskins D, editor. The Islet of Langerhans Biochemistry, Physiology, and Pathology. New York: Academic Press. hlm 321-356. Gilbertson HR, Thorburn AW, Brand-Miller JC, Chondros P, Werther GA. 2003. Effect of low-glycemic-index dietary advice on dietary quality and food choice in children with type 1 diabetes. Am J Clin Nutr 2003;77:83–90. Griffiths DW, Moseley G. 1980. The effect of diets containing field beans of high or low polyphenolic content on the activity of digestive enzymes in the intestines of rats. J Sci Food Agric 31:255-259. Gunaratne A, Hoover R. 2002. Effect of heat moistuire treatment on the structure and physicochemical properties of tuber and root starches. Carbohydrate polymers 49:425-437 Han X, Shen T, Lou H. 2007. Dietary polyphenols and their biological significance [ulas balik]. Int J Mol Sci 8: 950-988. Hanhineva K, Törrönen R, Bondia-Pons I, Pekkinen J, Kolehmainen M, Mykkänen H, Poutanen K. 2010. Impact of dietary polyphenols on carbohydrate metabolism [ulas balik]. Int. J. Mol. Sci 11: 1365-1402. Harborne JB. 1989. Plant Phenolics. Di dalam: Harborne JB, editor. Methods in Plant Biochemistry. Vol 1. London: Academic Pr. p 1-28. Hasan MS et al. 2006. Antioxidant, antinociceptive activity and general toxicity study of Dendrophthoe falcata and isolation of quercitrin as the major component. OPEM. 6: 355-60.
70
He Q, Venant N. 2004. Antioxidant power of phytochemicals from Psidium guajava leaf. J Zhejiang Univ SCI 5:676-68. Ho CT. 1992. Phenolic Compounds in Food An Overview. Di dalam: Ho CT, Lee CY, Huang MT, editor. Phenolic Compounds in Food and Their Effects on Health I: Analysis, Occurrence, and Chemistry. 202nd National Meeting of the American Chemical Society; New York, 25-30Agst, 1991. Washington: American Chemical Society, hlm 2-7. Hodge AM, English DR, O’dea K, Giles GG. 2004. Glycemic index and dietary fiber and the risk of type 2 diabetes. Diabetes Care 27:2701–2706. Hodgson JM . 2008. Tea flavonoids and cardiovascular disease [ulas balik]. Asia Pac J Clin Nutr 17:288-290. [IFAD/FAO]. International Fund for Agricultural Development Food and Agriculture Organization of The United Nations /Food Agricultural Organization. 2000. The World Cassava Economy, Facts, Trends and Outlook.Roma: IFAD and FAO. Iwai K, Nakaya N, Kawasaki Y, Matsue H. 2002. Antioxidative function of natto, a kind of fermented soybeans: effect on LDL, oxidation, and lipid metabolismin cholesterol-fed rat. J. Agric Food Chem 50:3597-3601. Jacobs H, Delcour J. 1998. Hydrothermal modification of granular starch with retention of the granular structure. J. Agric. Food Chem 46:2895-2905 Jarvi AE, Karlström BE, Granfeldt YE, Björck IE, Asp NG, Vessby BO. 1999. Improved glycemic control and lipid profile and normalized fibrinolytic activity on a low-glycemic index diet in type 2 diabetic patiens. Diabetes Care 22:10-18. Johansen JS, Harris AK, Rychly DJ, Ergul A. 2005. Oxidative stress and the use of antioxidants in diabetes: Linking basic science to clinical practice [ulas balik]. Karim AA, Pei-Lang Tie A, Manan DMA, & Zaidul ISM. 2008. Starch from the sago (Metroxylon sagu) palm tree—properties, prospects, and challenges as a new industrial source for food and other uses. Comprehensive reviews in food science and food safety (7):215-228. Khayrani, AC. 2008. Pengaruh konsentrat protein kacang komak (Lablab purpurent(L) Sweet) terhadap kadar glukosa darah, profil lipid, dan peroksidasi lipid tikus diabetes [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kiens B, Richter EA. 1996. Types of carbohydrate in an ordinary diet affect insulin action and muscle substrates in humans. Am J Clin Nutr 63:846855. Kiernan. 1990. Histological And Histochemical Methods: Theory and Practice. Oxford: Pergamon Press.
71
Kimura S, Tamaki T, Aoki N. 1985. Acceleration of fibrinolysis by the Nterminal peptide of alpha 2-plasmin inhibitor. American Society of Hematology 66(1):157-160. Kobayashi T, Kaneko K, Takahashi M, Onoue M. 2005. Safety evaluations of guava leaves and unripe fruit of guava: single dose and 1 month repeated dose oral toxicity studies in rats. Annu Rep Yakult Cent Inst Microbiol Res 24:81-100. Kreisberg RA. 1998. Diabetic dyslipidemia. Am J Cardiol 17:67U-73U. Kubo I, Masuoka N, Xiao P, Haraguchi H. 2002. Antioxidant activity of deodecyl gallate. J Agric Food Chem 50:3533-3539. Kwon YI, Apostolidis E, Shetty K. 2008. Inhibitory potential of wine and tea against α-amylase and α-glucosidase for management of hyperglycemia linked to type 2 diabetes. J Food Biochem 32:15–31. Lebovitz HE. 1999. Type 2 diabetes: an overview. Clin Chem 45: 1339-1345 Manach C, Mazur A, Scalbert A. 2005a. Polyphenols and prevention of cardiovascular diseases [ulas balik]. Curr Opin Lipidol 16(1): 77-84. Manach C, Scalbert A, Morand C, Rémésy C, Jime´nez L. 2004. Polyphenols: food sources and bioavailability. Am J Clin Nutr 79:727–747. Manach C, Williamson G, Morand C, Scalbert A, Rémésy C. 2005b. Bioavailability and bioefficacy of polyphenols in humans: Review of 97 bioavailability studies. Am J Clin Nutr 81:230S-242S. Maritim, Sanders, & Watkins. 2003. Diabetes, oxidative stress, and antioxidants: a review. J Biochem Molecular Toxicology 17(1):24-39. Matteucci E, Giampietro O. 2008. Commentary proposal open for discussion: defining agreed diagnostic procedures in experimental diabetes research. J Ethnopharmacology 115:163–172. Mayfield J. 1998. Diagnosis and classification of diabetes mellitus: new criteria. Am Fam Physician 58:1355-62, 1369-70. McCord JM, Fridovitch I. 1969. Superoxide dismutase, an enzymatic function for erythrocuprein. J Biol Chem 244:6049-6055. Megraw R, Dunn D, Biggs H. 1979. Manual and continous flow colorimetery for triglycerides by a fully enzymatic method. Clin. Chem 25:273-273. Miller JCB, Foster-Powel K, Colagiuri S. 1996. The GI Factor: The GI Solution. Australia: Hodder and Stougton. Miller JCB, Foster-Powel KF, Holt SHA. 2002. International table of glycemic index and glycemic load values. Am J Clin Nutr 76:5-56.
72
Moorthy S. N. 2004. Tropical sources of starch. Di dalam: Eliasson AC, editor. Starch in Food Structure, Function and Applications. New York: CRC Press. Hlm 11.1-11.8 Muchtadi D, Palupi NS. 1992. Metoda Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Bogor:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Mueller-Harvey I, McAllan A AB, Theodorou MK, Beever DE. 1986. Phenolics in fibrous crop residues and plants and their effects on the digestion and utilization of carbohydrates and proteins in ruminants. FAO Corporate Document Repository. http://www.fao.org/Wairdoc/ILRI/x459E/x5495e07. [7 April 2010] Nantitanon W, Yotsawimonwat S, Okonogi S. 2010. Factors influencing antioxidant activities and total phenolic content of guava leaf extract. LWT-Food Science and Technology xxx:1-9. Nastiti D. 2007. Kadar tannin dan kecernaan in vitro telur pindang dengan lama perebusan yang berbeda. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Neveu V et al. 2010. Original article phenol-explorer: an online comprehensive database on polyphenol contents in foods. Database, Vol. 2010, Oxford University Press. Niba LL. 2006. Carbohydrates: Starch. Di dalam: Hui YH, editor. Handbook of Food Science Technology and Engineering New York: CRC Press. Hlm 3.1-3.17. Novayanti, R. 2009. Profil dan peroksidasi lipid tikus yang diberi ransum tepung kecambah kacang komak (Lablab purureus (L) Sweet) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. O'Brien T, Nguyen TT, Zimmerman BR. 1998. Hyperlipidemia and diabetes mellitus. Mayo Clin Proc 73:969-976. Ovaskainen ML, Torronen R, Koponen JM, Sinkko H, Hellstrom J, Reinivuo H, Mattila P. 2008. Dietary intake and major food sources of polyphenols in Finnish adults. J. Nutr. 138:562–566. Oyama W, Urakawa M, Gonda M, Ohsawa T, Yasutake N, Onoue M. 2005. Safety of extracts of guava leaves and unripe fruit from Psidium guajava L: bacterial reverse mutation, DNA repair and micronucleus tests. Annual Report of Yakult Central Institute for Microbiological Research 24:113125. Pangestuti, BD. 2010. Karakterisasi tapioka dari beberapa varietas ubi kayu (Manihot esculenta Crantz). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
73
Papas AM. 1999. Antioxidant status, diet, nutrition, and health. CRC Press. New York. Peng CC, Peng CH, Chen KC, Hsieh CL, Peng RY. 2010. The aqueous soluble polyphenolic fraction of psidium guajava leaves exhibits potent antiangiogenesis and anti-migration actions on du145 cells. Oxford Jounal:18. [PERSAGI] Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Phusparaj PN, Tan BKH, Tan CH. 2001. The mechanism of hypoglicemic action of the streptozotocin-diabetic rats. Life Sci 70:511-517. Pictet R, Rutter WJ. 1972. Development of the embryonic endocrine pancreas. Di dalam: Steiner DF, Frenkel N, Editor. Handbook of Physiology. Washington DC: Williams and Wilkins. hlm 25–66. Pinashti W. 2011. Pengaruh modifikasi heat moisture treatment (HMT) dengan radiasi microwave terhadap karakteristik fisikokimia dan fungsional tapioka dan maizena [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Piparo EL, Scheib H, Frei N, Williamson G, Grigorov M, Chou CJ. 2008. Flavonoids for controlling starch digestion: structural requirements for inhibiting human α-amylase. J. Med. Chem 51:3555–3561. Prangdimurti E. 2007. Kapasitas antioksidan dan daya hipokolesterolemik ekstrak daun suji (Pleomele angustifolia N.E Brown) [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Rapisarda. 1999. Antioxidant effectiveness as influenced by phenolic content of fresh orange juices. J. Agric. Food Chem 47:4718-4723. Rice CA, Miller NJ, & Panganga G. 1997. Trend in plant science: review antioxidant property of phenolic compound. Elsevier science 2(4):13601385. Rimbawan dan Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Cara Mudah Memilih Pangan yang Menyehatkan. Jakarta: Penebar swadaya. Rohmawati, E. 2008. Pengaruh fraksi nonprotein kacang komak (Lablab purureus (L) Sweet) terhadap kadar glukosa darah, profil lipid, dan peroksidasi lipid tikus diabetes [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rusak G, Komes D, Likic´ S, Horzˇic´ D, KovacˇM. 2008. Phenolic content and antioxidative capacity of green and white tea extracts depending on extraction conditions and the solvent used. Food Chem 110: 852–858. Sajilata MG, Bajaj PR, and Singhal R.S. 2008. Tea polyphenols as nutraceuticals. Comprehensive reviews in food science and food safety 7:229-254.
74
Sajilata MG, Singhal R, Kulkarni PR. 2006. Resistant starch—a review. Comprehensive reviews in food science and food safety 5:1-7. Schersten B, Per OB. 1983. The diagnosis of diabetes mellitus. Di dalam: Proceeding of Symposium on Diabetes Mellitus Type II. Stockholm. hal 11-17. Shahidi F, Naczk M. 1995. Food Phenolics, Sources, Chemistry, Effects, Applications. Lancaster: Technomic Publishing Co Inc. Shen SC, Cheng FC, Wu NJ. 2008. Effect of guava (Psidium guajava Linn.) leaf soluble solids on glucose metabolism in type 2 diabetic rats. Phytother Res 22:1458–1464. Singh J, Dartois A, Kaur L. 2010. Starch digestibility in food matrix: a review. Trends in Food Science & Technology 21:168-180 Singh RP, Murthy KNC, Jayaprakasha GK. 2002. Studies on the antioxidant activity of pomegranate (Punica granatum) peel and seed extract using in vitro models. J Agric Food Chem 50:81-86. Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. UI-Press. Jakarta. Stein EA, Myers GL. 1994. Lipids, Lipoproteins and Apolipoproteins. Di dalam: Burtis C, Ashwood A, editor. Tietz Textbook of Clinical Chemistry. Ed ke2. Mosby Co. Pp 1002-1093. Suharma, CDN. 2011. Dampak konsumsi soybar terhadap profil hematologi dan lipid darah tikus percobaan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sutriana A, Aliza D, Vanda H, Nazaruddin. 2010. The effect of ethanolic extract of GUAVA LEAF (Psidium guajava L .) on pancreatic b cells of alloxan induced diabetic rats (Rattus novergicus). Proceedings of the 7th IMT-GT UNINET and The 3rd International PSU-UNS Conferences on Bioscience 224. Prince of Songkla University, Thailand on 7-8 October 2010. Bioscience for the future. Szaleczky E, Prechl J, Feher J, Somogyi A. 1999. Alteration in enzymatic antioxidants defence in diabetes mellitus (a Rational Approach). Postgrad Med J 75:13-17. Tachakittirungrod S, Okonogi S, Chowwanapoonpohn S. 2007. Study on antioxidant activity of certain plants in Thailand: Mechanism of antioxidant action of guava leaf extract. Food Chem 103:381–388. Tadera K, Minami Y, Takamatsu K. Matsuoka T. 2006. Inhibition of αglucosidase and α -amylase by flavonoids. J Nutr Sci Vitaminol 52:149– 153. Thompson LU, Yoon JH, Jenkins DJA, Wolever TMS, Jenkons A.L. 1984. Relationship between polyphenol intake and blood glucose response of normal and diabetic individuals. Am J Clin Nutr 39:745-751.
75
Tjokroadikoesoemo, S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. PT. Gramedia, Jakarta. Tomas-Barberan F, Espin JC. 2001. Phenolic compounds and related enzymes as determinants of quality of fruits and vegetables. J. Sci. Food and Agric 81:853-876. Tsakama M, Mwangwela AM, Manani TA, Mahungu NM. 2011. Effect of heat moisture treatment on physicochemical and pasting properties of starch extracted from eleven sweet potato varieties. International Research Journal of Agricultural Science and Soil Science 1(7):254-260. Tsuneki H, Ishizuka M, Terasawa M, Wu JB, Sasaoka T, Kimura I. 2004. Effect of green tea on blood glucose levels and serum proteomic patterns in diabetic (db/db) mice and on glucose metabolism in healthy humans. BMC Pharmacology 4:18. Valabhji J, Elkeles RS. 2003. Dyslipidemia in type 2 diabetes: epidemiology and biochemistry. British Journal of Diabetes and Vascular Disease. 3:(3) Vitrac X, Moni JP, Vercauteren J, Deffieux G, Mérillon JM. 2002. Direct liquid chromatography analysis of resveratrol derivatives and flavanonols in wines with absorbance and fluorescence detection. Anal Chim Acta 458:103–10. Votey SR. 2001. Diabetes Mellitus Type I [ulas balik]. Medicine Journal 2:1-5. Walpole RE. 1982. Pengantar Statitika. Ed ke-3. PT. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Weisburger JH, Chung FL. 2002. Mechanisms of chronic diseases causation by nutritional factors and tobacco products and their prevention by tea polyphenols. Food Chem Toxicol 40:1145-1154. West E, Simon, OR, Morrison EY. 1996. Streptozotocin alters pancreatic beta-cell responsiveness to glucose within 6 h of injection into rats. The West Indian Medical Journ 45:60–62. [WHO] World Health Organization. 1980. WHO Expert Committee on Diabetes Mellitus, 2nd Report. World Health Organization. Technical Report Series. 646. Geneva. Widowati S. 2007. Pemanfaatan ekstrak teh hijau (Camellia sinensis O.Kuntze) dalam pengembangan beras fungsional untuk penderita diabetes mellitus [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Wijeratne SS, Cuppett SL, Schlegel V. 2005. Hydrogen peroxide induced oxidative stress damage and antioxidant enzyme response in Caco-2 human colon cells. J Agric Food Chem. 53(22):8768-8774. Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. 2004. Global prevalence of diabetes, estimates for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care 27:1047–1053.
76
Willet W, Manson J, Liu S. 2002. Glicemic index, glicemic load and risk of type 2 diabetes. Am J Clin Nutr 76(1):274S-280S. Winarsi H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas, Potensi dan Aplikasinya dalam Kesehatan. Kanisius. Yogyakarta. Wu KK, Huan Y. 2008. Streptozotocin-induced diabetic models in mice and rats. Current Protocols in Pharmacology 5(4): 5.47.1-5.47.14. Yuniati H, Nurjanah N, Julianti ED, Ridwan E, Reviana, Sahara E. 2010. Pengembangan pati berdaya cerna rendah sebagai pangan fungsional untuk mempertahankan kadar gula darah normal. Laporan Penelitian Puslitbang Gizi dan Makanan, Badan Litbang Kesehatan tahun 2010. Bogor: BALITBANGKES DEPKES.
Lampiran 1. Aktivitas antioksidan dan total polifenol ekstrak daun jambu dan teh (% bb) Ekstrak Sumber Polifenol
Aktivitas Antioksidan (mM/mg TEAC)
Ul
Daun Jambu
1
286.03
170.58
2
288.27
169.23
287.15
*169.90
1.58
0.95
1
293.67
225.29
2
300.54
240.26
297.11
**232.78
Rerata SD Daun Teh
Total Polifenol (mg/100 mg Ekstrak)
Rerata
4.86 10.58 SD Keterangan : * Kadar total polifenol ekstrak daun jambu biji 58 – 62 oBrix apabila dikonversi ke dalam ekstrak daun jambu biji merah cair 2 oBrix setara dengan 55.20 mg/g GAE. Nilai ini diperoleh berdasarkan perhitungan sebagai berikut : Total polifenol daun teh hijau 58–62 oBrix = 169.9042 mg/100 mg GAE = 1699.042 mg/g GAE 1 g ekstrak daun teh hijau 58 – 62 oBrix = 30.78 g ekstrak daun daun jambu biji merah cair 2 o Brix. Total polifenol daun jambu biji merah cair 2 oBrix =
1699.042 = 55.20 mg/g GAE 30.78 ** Kadar total polifenol ekstrak daun teh hijau 58–62 oBrix apabila dikonversi ke dalam ekstrak daun teh hijau cair (4 oBrix) setara dengan 134089 mg/L GAE. Nilai ini diperoleh berdasarkan perhitungan sebagai berikut : Total polifenol daun teh hijau 58 – 62 oBrix = 232.7779 mg/100 mg GAE = 2327.779 mg/g GAE 1 g ekstrak daun teh hijau 58 – 62 oBrix = 17.36 g ekstrak daun teh hijau cair 4 oBrix Total polifenol daun teh hijau cair 4 oBrix =
2327.779 = 134.0887 mg/g GAE 17.36 134.0887 mg/g GAE x 1000 = 134089 mg/L GAE
Lampiran 2. Uji t test aktivitas antioksidan ekstrak daun jambu dan ekstrak teh Statistik Grup Perlakuan
N
Rata-rata
Standar Deviasi
Kesalahan standar deviasi
Aktivitas
Ekstrak daun jambu
2
2.8715E2
1.58222
1.11880
Antioksidan
Ekstrak teh
2
2.9711E2
4.85591
3.43365
78
Uji sampel independent Uji Levene's untuk persamaan yang berbeda
Diasumsi kan varian sama Diasumsi kan varian tidak sama
Selang kepercayaan 95%
Signifi t hikansi. tung
F Aktivitas Antioksidan
Uji t untuk persamaan rata-rata
6.35E15
.000
Derajat bebas
2.76
2
2.76
1.210
Perbed Perbedaan aan standar rataerror rata .110 -9.95 3.61132
Signifika nsi. (2bagian)
.185
-9.95
Nilai terendah
Nilai tertinggi
-25.492
5.585
-40.709
20.80
3.61132
Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa t-hitung adalah -2.76 dan probabilitas (sigma) 0.110. Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata aktivitas antioksidan dari ekstrak daun jambu dan ekstrak teh tersebut tidak berbeda.
Lampiran 3. Uji t test total polifenol ekstrak daun jambu dan ekstrak teh Statistik Grup Perlakuan Total Polifenol
N
Ekstrak daun jambu Ekstrak teh
Rata-rata
Standar Deviasi
Kesalahan standar deviasi
2
1.6990E2
.95219
.67330
2
2.3278E2
10.57577
7.47820
Uji sampel independent Uji Levene's untuk persamaan yang berbeda F Total Polifenol
Diasumsikan varian sama Diasumsikan varian tidak sama
3.18E 17
Uji t untuk persamaan rata-rata Selang kepercayaan 95%
Signifi t kansi. hitung .000
Derajat bebas
-8.37
2
-8.37
1.016
Signifika Perbedaan Perbedaan Nilai nsi. (2standar rata-rata terendah bagian) error .014 -62.874 7.50845 -95.179 .073
-62.874
7.50845
-154.75
Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa t-hitung adalah -8.37 dan probabilitas (sigma) 0.014. Oleh karena probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak, atau rata-rata total polifenol dari ekstrak daun jambu dan ekstrak teh tersebut berbeda.
Nilai tertinggi -30.57 29.007
79
Lampiran 4 . Daya cerna pati tapioka Konsentrasi (%)
Perlakuan Tapioka Alami
Daya Cerna
0 4 6 8
Tapioka + ekstrak teh 4%
99.36
100.00 98.71 91.11 81.99 85.12 84.11 82.86 82.96 82.80 82.96 91.11 81.99 84.29 86.72 87.90 81.39 86.84 86.15
-
Tapioka + ekstrak daun jambu 4%
Rerata (%)
0 4 6 8
86.55 84.61 82.91 82.88 86.55 85.51 84.64 86.49
Lampiran 5. Uji sidik ragam daya cerna pati tapioka ekstrak daun jambu Sidik ragam Sumber Perlakuan Daya cerna
Jumlah kuadrat Pati tapioka + ekstrak daun Jambu
Signifik
bebas Kuadrat Tengah
299.034
4
74.758
66.702
5
13.340
78706.01
10
Sisaan Total
Derajat F 5.604
Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 5.604 dan probabilitas (sigma) 0.043. Oleh karena probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak, atau rata-rata daya cerna dari kelima sampel pati tapioka tersebut berbeda nyata. Uji lanjut Perlakuan
DUNCAN N
Rerata
Kehomogenan
Tapioka + ekstrak daun jambu 6%
2
84.6450
A
Tapioka + ekstrak daun jambu 4%
2
85.5074
A
Tapioka + ekstrak daun jambu 8%
2
86.4941
A
Tapioka + ekstrak daun jambu 0%
2
86.5472
A
Tapioka alami 2 Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
99.3565
B
ansi .043
80
Lampiran 6. Uji sidik ragam daya cerna pati tapioka ekstrak daun teh Sidik ragam Sumber Perlakuan Daya cerna
Pati tapioka + ekstrak teh hijau
Jumlah
Derajat
Kuadrat
kuadrat
bebas
Tengah
383.888
4
95.972
42.915
5
8.583
Sisaan
Signifi F 11.182
kansi .010
Total 426.803 9 Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 11.182 dan probabilitas (sigma) 0.010 Oleh karena probabilitas < 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata daya cerna dari kelima sampel pati tapioka tersebut berbeda nyata. Uji lanjut Perlakuan
DUNCAN N
Rerata
Tapioka + ekstrak daun jambu 8%
2
82.8777
Kehomogenan A
Tapioka + ekstrak daun jambu 6%
2
82.9125
A
Tapioka + ekstrak daun jambu 4%
2
84.6132
A
Tapioka + ekstrak daun jambu 0%
2
86.5472
A
Tapioka alami
2
99.3565
B
Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Lampiran 7 . Komposisi kimia pati tapioka alami dan tapioka modifikasi Jenis Pati Komposisi Kimia (% bk) UL Tapioka Jambu Tapioka Teh 1 5.69 4.77 AIR 2 5.65 4.82 Rerata 5.67 4.80 SD 0.03 0.04 1 0.23 0.22 LEMAK 2 0.19 0.19 Rerata 0.21 0.20 SD 0.03 0.03 1 0.17 0.42 PROTEIN 2 0.17 0.38 Rerata 0.17 0.40 SD 0.00 0.03 1 0.43 0.32 ABU 2 0.42 0.42 Rerata 0.42 0.37 SD 0.01 0.07 1 99.19 99.05 KARBOHIDRAT 2 99.25 99.04 Rerata 99.22 99.04 SD 0.04 0.01
Tapioka native 16.16 15.98 16.07 0.13 0.27 0.31 0.29 0.03 0.40 0.38 0.39 0.01 0.11 0.14 0.12 0.03 99.22 99.16 99.19 0.04
81
Lampiran 7 . Komposisi kimia pati tapioka alami dan tapioka modifikasi (lanjutan) Jenis Pati UL Komposisi Kimia (% bk) Tapioka Jambu Tapioka Teh Tapioka native 1 6.27 5.36 4.75 Pati Resisten 2 6.22 5.80 4.58 Rerata 6.24 5.58 4.66 SD 0.04 0.31 0.12 1 2.50 2.86 1.99 Serat TIDAK Larut 2 2.54 2.75 2.29 Rerata 2.52 2.80 2.14 SD 0.03 0.07 0.21 1 1.19 1.59 0.83 Serat LARUT 2 1.04 1.32 0.90 Rerata 1.12 1.46 0.86 SD 0.11 0.19 0.05 1 3.69 4.45 4.03 TOTAL SERAT 2 3.59 4.07 3.21 Rerata 3.64 4.26 3.62 SD 0.07 0.27 0.58
Lampiran 8. Uji sidik ragam dan analisis lanjut kadar air pati tapioka alami dan tapioka modifikasi (bk) Sidik ragam Sumber Perlakuan Air
Pati Tapioka Sisaan
JK
db
KT
F
171.775
2
85.888
.451
3
.150
Sig.
571.556
.000
Total 172.226 5 Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 571.556 dan probabilitas (sigma) 0.000 Oleh karena probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak atau rata-rata kadar air dari ketiga sampel pati tapioka tersebut berbeda nyata. DUNCAN Perlakuan
N
Rerata
Kehomogenan
Tapioka +ekstrak teh
2
4.2444
A
Tapioka + ekstrak daun jambu
2
5.2653
A
16.0708
B
Tapioka alami 2 Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Lampiran 9. Uji sidik ragam kadar abu pati tapioka alami dan tapioka modifikasi (bk) Sidik ragam Sumber Perlakuan Abu
JK
db
KT
Pati Tapioka + Ekstrak
.102
2
.051
Sisaan
.005
3
.002
Total
.107
5
F 29.454
Sig. .011
82
Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 0.854 dan probabilitas (sigma) 0.509. Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar abu dari ketiga sampel pati tapioka tersebut tidak berbeda nyata.
DUNCAN Perlakuan
N
Rerata
Kehomogenan
Tapioka alami
2
.1250
A
Tapioka +ekstrak teh
2
.3685
B
.4248
B
Tapioka + ekstrak daun jambu 2 Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Lampiran 10. Uji sidik ragam kadar lemak pati tapioka alami dan tapioka modifikasi (bk) Sidik ragam Sumber Perlakuan Lemak Pati Tapioka + Ekstrak Sisaan
JK
db
KT
F
.010
2
.005
.002
3
.001
Sig.
6.368
.083
Total .013 5 Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 6.368 dan probabilitas (sigma) 0.083. Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar lemak dari ketiga sampel pati tapioka tersebut tidak berbeda nyata.
Lampiran 11. Uji sidik ragam kadar karbohidrat pati tapioka alami dan tapioka modifikasi (bk) Sidik ragam Sumber Perlakuan Karbohidrat
JK
db
KT
F
Pati Tapioka + Ekstrak
.359
2
.180
Sisaan
.228
3
.076
Sig.
2.366
.242
Total .587 5 Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 2.366 dan probabilitas (sigma) 0.242. Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar karbohidrat dari ketiga sampel pati tapioka tersebut tidak berbeda nyata.
Lampiran 12. Uji sidik ragam kadar protein pati tapioka alami dan tapioka modifikasi (bk) Sidik ragam Sumber Perlakuan Protein
JK
db
KT
F
Pati Tapioka + Ekstrak
.068
2
.034
Sisaan
.001
3
.000
Total
.069
5
82.397
Sig. .002
83
Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 82.397 dan probabilitas (sigma) 0.002 Oleh karena probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak, atau rata-rata kadar protein dari ketiga sampel pati tapioka tersebut berbeda nyata. DUNCAN N Rerata
Perlakuan
Kehomogenan
Tapioka +ekstrak teh
2
.3999
A
Tapioka + ekstrak daun jambu
2
.1701
B
.3926
A
Tapioka alami 2 Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Lampiran 13. Uji sidik ragam kadar serat tak larut pati tapioka alami dan tapioka modifikasi (bk) Sidik ragam Sumber Perlakuan Serat Tak Larut
JK
db
KT
F
Pati Tapioka + Ekstrak
.438
2
.219
Sisaan
.052
3
.017
Sig.
12.559
.035
Total .491 5 Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 12.559 dan probabilitas (sigma) 0.035 Oleh karena probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak, atau rata-rata serat tak larut dari ketiga sampel pati tapioka tersebut berbeda nyata. DUNCAN Serat Tak Larut Perlakuan
N
Rerata
Kehomogenan
Tapioka alami
2
2.1443
A
Tapioka + ekstrak daun jambu
2
2.5200
AB
Tapioka +ekstrak teh 2 2.8044 Huruf yang sama menunjukkansampel tidak berbeda nyata
B
Lampiran 14. Uji sidik ragam kadar serat larut pati tapioka alami dan tapioka modifikasi (bk) Sidik ragam Sumber Perlakuan Serat larut Pati Tapioka + Ekstrak Sisaan
JK
db
KT
F
.352
2
.176
.051
3
.017
10.349
Sig. .045
Total .403 5 Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 10.349 dan probabilitas (sigma) 0.045 Oleh karena probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak, atau rata-rata serat larut dari ketiga sampel pati tapioka tersebut berbeda nyata.
84
DUNCAN Serat Larut Perlakuan
N
Rerata
Kehomogenan
Tapioka alami
2
.8644
Tapioka + ekstrak daun jambu
2
1.1195
A AB
Tapioka +ekstrak teh 2 1.4559 Huruf yang sama menunjukkan sampel tidak berbeda nyata
B
Lampiran15. Uji sidik ragam kadar total serat pati tapioka alami dan tapioka modifikasi (bk) Sidik ragam Sumber Perlakuan Total serat
JK
Pati Tapioka + Ekstrak Sisaan
db
KT
1.566
2
.783
.147
3
.049
F
Sig.
16.010
.025
Total 1.713 5 Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 16.010 dan probabilitas (sigma) 0.025. Oleh karena probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak, atau rata-rata kadar total serat dari ketiga sampel pati tapioka tersebut berbeda nyata. DUNCAN Total Serat Perlakuan
N
Rerata
Kehomogenan
Tapioka alami
2
3.0088
A
Tapioka + ekstrak daun jambu
2
3.6395
AB
Tapioka +ekstrak teh 2 4.2603 Huruf yang sama menunjukkan sampel tidak berbeda nyata
Lampiran 16 . Komposisi kimia ransum tikus Tapioka Tapioka + ekst. teh Komposisi Ulangan Alami hijau 4% Kimia Air (%bb) 1 25.35 27.49 2 25.54 27.45 Rerata 25.45 27.47 SD 0.13 0.02 Lemak (%bk) 1 8.72 8.34 2 9.33 8.51 Rerata 9.02 8.43 SD 0.43 0.12 Protein (%bk) 1 10.98 11.27 2 11.62 11.07 Rerata 11.30 11.17 SD 0.46 0.14
B
Tapioka + ekst. daun jambu biji 4% 26.33 27.32 26.82 0.71 9.50 9.17 9.34 0.23 11.17 10.91 11.04 0.18
85
Lampiran 16 . Komposisi kimia ransum tikus (Lanjutan) Tapioka Tapioka + ekst. teh Komposisi Ulangan Alami hijau 4% Kimia Abu (%bk) 1 4.45 4.91 2 4.38 5.04 Rerata 4.41 4.97 SD 0.05 0.09 KH (%bk) 1 75.85 75.47 2 74.68 75.38 Rerata 75.26 75.43 SD 0.83 0.07
Tapioka + ekst. daun jambu biji 4% 4.79 4.66 4.73 0.09 74.54 75.25 74.90 0.50
Lampiran 17. Uji sidik ragam dan analisis lanjut kadar air ransum (bb) Sidik ragam Sumber Perlakuan Air
JK
db
Ransum
KT
F
4.269
2
2.134
.516
3
.172
Sisaan
Sig.
12.419
Total 4.784 5 Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 12.419 dan probabilitas (sigma) 0.035 Oleh karena probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak atau rata-rata kadar air dari ketiga ransum tersebut berbeda nyata. Uji Lanjut DUNCAN N
Perlakuan
Rerata
Kehomogenan
Ransum tapioka +ekstrak daun jambu
2
26.8248
A
Ransum tapioka + ekstrak teh
2
27.4680
A
25.4460
B
Ransum tapioka alami 2 Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Lampiran 18. Uji sidik ragam kadar abu ransum (bk) Sidik ragam Sumber Perlakuan Abu
JK
db
KT
Ransum
.315
2
.158
Sisaan
.019
3
.006
F 25.066
Sig. .013
Total .334 5 Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 25.066 dan probabilitas (sigma) 0.013. Oleh karena probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak, atau rata-rata kadar abu dari ketiga ransum tersebut berbeda nyata.
.035
86
Uji Lanjut DUNCAN N
Perlakuan
Rerata
Kehomogenan
Ransum tapioka alami
2
4.4136
A
Ransum tapioka +ekstrak daun jambu
2
4.7253
B
4.9740
B
Ransum tapioka + ekstrak teh 2 Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Lampiran 19. Uji sidik ragam kadar lemak ransum (bk) Sidik ragam Sumber Perlakuan Lemak
JK
db
KT
F
Ransum
.857
2
.429
Sisaan
.248
3
.083
Sig.
5.176
.107
Total 1.106 5 Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 5.176 dan probabilitas (sigma) 0.107. Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar lemak dari ketiga ransum tersebut tidak berbeda nyata. Lampiran 20. Uji sidik ragam kadar protein ransum (bk) Sidik ragam Sumber Perlakuan Protein
JK
db
KT
F
Ransum
.067
2
.033
Sisaan
.261
3
.087
Sig. .385
.710
Total .328 5 Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 0.385 dan probabilitas (sigma) 0.710 Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar protein dari ketiga ransum tersebut tidak berbeda nyata. Lampiran 21. Uji sidik ragam kadar karbohidrat ransum (bk) Sidik ragam Sumber Perlakuan Karbohidrat
JK
db
KT
Ransum
.297
2
.148
Sisaan
.940
3
.313
Total
1.237
5
F
Sig. .473
.663
Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 2.366 dan probabilitas (sigma) 0.242. Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar karbohidrat dari ketiga ransum tersebut tidak berbeda nyata.
87
Lampiran 22 . Konsumsi ransum tikus Kelompok Ulangan
Konsumsi ransum (%BB)
Konsumsi ransum (%BK)
1
2
3
4
5
Rerata
1
2
3
4
5
Rerata
NN
18.6
17.4
16.6
14.9
17.8
17.0
13.6
12.7
12
10.7
12.9
12.4
NJ
15
17
15.5
18.6
16.9
16.6
10.6
12.2
11
13.5
12.1
11.9
NT
17.8
16.7
16.3
19.5
15.1
17.1
12.7
11.9
11.6
14.1
10.6
12.2
DN
17.8
19.4
19.4
16
17.2
17.9
13.4
14.3
14.2
11.5
12.5
13.2
DJ
19.1
19.3
19.2
18.2
15.8
18.3
13.8
14.1
14
13
14.5
13.9
DT
18.6
19.2
17.4
18.2
18.3
13.4
13.9
14.3
13.1
Lampiran 23. Uji sidik ragam konsumsi ransum(bk) tikus Sidik ragam Konsumsi ransum (bk) Sumber Perlakuan
JK
db
KT
F
Tikus * ransum
18.349
5
3.670
Sisaan
24.678
24
1.028
3.569
Sig. .015
Total 43.027 29 Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 3,569 dan probabilitas (sigma) 0.015 Oleh karena probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak, atau rata-rata konsumsi ransum tikus tersebut berbeda nyata. DUNCAN Konsumsi ransum (bk) Perlakuan
N
Rerata
Tikus normal * Pati tapioka +ekstrak daun jambu 4%
5
11.8780
A
Tikus normal * Pati tapioka +ekstrak daun teh 4%
5
12.1640
A
Tikus normal * Pati tapioka alami
5
12.3860
AB
Tikus diabetes * Pati tapioka alami
5
13.1780
ABC
Tikus diabetes * Pati tapioka +ekstrak daun teh 4%
5
13.7700
BC
5
13.8940
C
Tikus diabetes * Pati tapioka +ekstrak daun jambu 4% Huruf yang sama menunjukkan sampel tidak berbeda nyata
Kehomogenan
13.7
88
Lampiran 24. Perubahan berat badan tikus normal Hari keKN Rerata 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36
170 211 215 222 213 212 227 221 226 243 247 250 242 243 244 245 245 245 247
152 201 210 376 221 227 235 237 244 245 245 249 250 253 252 254 257 257 250
172 219 230 239 248 255 262 268 273 275 277 278 278 279 278 280 280 283 270
168 203 206 209 213 214 216 221 225 230 231 233 235 238 243 246 246 248 245
166 204 209 221 227 232 240 249 254 261 260 268 272 276 275 279 283 284 273
165.6 207.6 214 253.4 224.4 228 236 239.2 244.4 250.8 252 255.6 255.4 257.8 258.4 260.8 262.2 263.4 257
Kelompok KJ
Stdev 7.925 7.403 9.513 69.36 14.45 17.31 17.13 19.95 20.16 17.44 17.35 17.62 18.78 18.81 16.92 17.43 18.27 18.88 13.4
167 209 220 226 235 245 251 259 264 267 270 274 275 277 280 278 273 273 268
166 192 201 206 208 215 217 221 227 230 232 239 239 246 248 255 258 262 251
171 214 221 233 239 246 260 266 271 281 287 297 302 304 306 312 318 324 308
Rerata 168 211 216 229 235 244 246 253 260 267 268 277 266 274 278 279 280 282 272
168 206.5 214.5 223.5 229.3 237.5 243.5 249.8 255.5 261.3 264.3 271.8 270.5 275.3 278 281 282.3 285.3 274.8
Stdev 2.16 9.883 9.256 12.01 14.29 15.02 18.59 19.89 19.54 21.85 23.13 24.1 25.98 23.71 23.72 23.45 25.54 27.1 23.96
KT 169 214 227 236 234 247 254 260 266 266 268 272 272 280 280 289 284 287 275
161 194 198 211 210 217 228 228 233 236 232 245 251 253 244 261 264 269 256
Rerata 170 225 225 232 242 248 225 264 271 279 280 290 295 307 309 320 319 324 315
156 195 200 207 207 214 219 224 222 229 227 234 233 241 241 245 253 262 254
164 207 212.5 221.5 223.3 231.5 231.5 244 248 252.5 251.8 260.3 262.8 270.3 268.5 278.8 280 285.5 275
Stdev 6.68 15.12 15.63 14.62 17.39 18.52 15.46 20.91 24.18 23.87 26.23 25.46 26.76 29.43 32.3 32.97 28.99 27.74 28.3
89
Lampiran 25. Perubahan berat badan tikus diabetes Hari keDN Rerata Stdev 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36
170 159 152 139 147 130 132 142 138 129 128 144 134 132 134 142 146 143 144
168 167 171 165 171 158 159 151 163 159 149 164 156 155 154 157 164 164 161
160 158 159 165 166 159 161 149 139 138 134 144 127 125 124 127 124 130 136
166 161.3 160.7 156.3 161.3 149 150.7 147.3 146.7 142 137 150.7 139 137.3 137.3 142 144.7 145.7 147
5.292 4.933 9.609 15.01 12.66 16.46 16.2 4.726 14.15 15.39 10.82 11.55 15.13 15.7 15.28 15 20.03 17.16 12.77
Kelompok DJ 166 158 158 148 149 154 151 140 136 144 147 142 140 135 142 146 144 144 148
168 155 151 136 148 145 141 143 138 141 137 135 139 142 141 139 140 142 137
142 129 123 114 116 111 118 107 106 115 115 114 116 111 123 114 111 122 115
163 155 151 153 141 139 138 137 139 138 138 142 139 137 144 143 139 140 132
Rerata
Stdev
159.8 149.3 145.8 137.8 138.5 137.3 137 131.8 129.8 134.5 134.3 133.3 133.5 131.3 137.5 135.5 133.5 137 133
12.01 13.57 15.52 17.37 15.42 18.55 13.83 16.68 15.88 13.23 13.6 13.25 11.68 13.82 9.747 14.62 15.15 10.13 13.74
DT 168 156 152 143 147 139 148 123 121 128 114 118 110 123 124 128 126 121 127
170 176 173 168 172 163 178 145 151 156 157 161 157 162 166 161 159 171 166
167 153 152 147 150 133 135 114 105 103 110 115 100 94 107 103 96 101 105
Rerata
Stdev
168.3 161.7 159 152.7 156.3 145 153.7 127.3 125.7 129 127 131.3 122.3 126.3 132.3 130.7 127 131 132.7
1.528 12.5 12.12 13.43 13.65 15.87 22.05 15.95 23.35 26.51 26.06 25.74 30.44 34.12 30.37 29.09 31.51 36.06 30.89
90
Lampiran 26 . Perubahan berat badan tikus selama percobaan ∆ BB (g)
Kelompok Ulangan
1
2
3
4
5
Rerata
NN
77
98
98
77
107
91.40
NJ
101
85
137
104
-
106.75
NT
106
95
145
98
-
111.00
DN
-26
-7
-24
-
-
-19.00
DJ
-18
-31
-27
-31
-
-26.75
-4
-62
-
-
-35.67
DT -41 Tanda (-) menunjukan penurunan
Lampiran 27. Uji sidik ragamperubahan berat badan tikus Sidik ragam Perubahan berat badan tikus Sumber Perlakuan
JK
Tikus * ransum
93044.402 5780.917
Sisaan
db
KT
F
Sig.
5
18608.880
51.504
16
361.307
.000
Total 98825.318 21 Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 51,504 dan probabilitas (sigma) 0.000 Oleh karena probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak, atau rata-rata perubahan berat badan tikus tersebut berbeda nyata. DUNCAN Berat badan Perlakuan
N
Rerata
Kehomogenan
Tikus diabetes * Pati tapioka +ekstrak daun teh 4%
3
-35.6667
A
Tikus diabetes * Pati tapioka +ekstrak daun jambu 4%
4
-26.7500
A
Tikus diabetes * Pati tapioka alami
3
-19.0000
A
Tikus normal * Pati tapioka alami
4
89.7500
B
Tikus normal * Pati tapioka +ekstrak daun jambu 4%
4
106.7500
B
4
111.0000
B
Tikus normal * Pati tapioka +ekstrak daun teh 4% Huruf yang sama menunjukkan sampel tidak berbeda nyata
91
Lampiran 28. Profil lipid serum darah tikus Kelompok Ulangan Kolesterol NN 1 36
11.4
3
46
43
11
26.4
49
58
21
16.4
42.50 6.03
48.00 7.07
17.50 4.43
15.40 8.21
1
21
26
11
4.8
2
50
57
20
18.6
3
79
143
28
22.4
4
54
138
22
4.4
51.00 23.76
91.00 58.58
20.25 7.04
12.55 9.31
1
37
50
16
11
2
33
38
14
11.4
3
47
81
20
10.8
4
59
114
31
5.2
44.00 11.60
70.75 34.05
20.25 7.59
9.60 2.94
1
46
38
27
11.4
3
37
40
20
9
4
64
48
39
15.4
49.00 13.75
42.00 5.29
28.67 9.61
11.93 3.23
1
58
42
33
16.6
2
66
63
36
17.4
4
52
30
23
23
55.25 8.92
50.50 17.52
27.00 9.20
18.15 3.32
1
65
52
34
20.6
2
42
83
9
16.4
3
22
22
1
16.6
43.00 21.52
52.33 30.50
14.67 17.21
17.87 2.37
Rerata SD
Rerata SD DT
7.4
19
Rerata SD
DJ
19
43
Rerata SD
DN
LDL
48
39
4
NT
HDL
2
Rerata SD NJ
Trigliserida
Rerata SD
92
Lampiran 29. Uji sidik ragam kolesterol serum darah tikus Sidik Ragam Kolesterol Sumber Perlakuan Kelompok Tikus Jenis ransum Tikus * Jenis ransum Sisaan
JK
db
KT
F
Signifikansi
57.037
1
57.037
.243
.628
382.410
2
191.205
.816
.460
51.056
2
25.528
.109
.897
3749.750
16
234.359
Total 54083.000 22 Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 0.243 dan probabilitas (sigma) 0.628 Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar kolesterol serum darah tikus pada kedua kelompok tikus tersebut tidak berbeda nyata. Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 0.816 dan probabilitas (sigma) 0.460 Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar kolesterol serum darah tikus pada sampel ketiga jenis ransum tersebut tidak berbeda nyata. Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 0.109 dan probabilitas (sigma) 0.897 Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar kolesterol serum darah tikus pada keenam sampel tikus * jenis ransum tersebut tidak berbeda nyata.
Lampiran 30. Uji sidik ragam trigliserida serum darah tikus Sidik Ragam Trigliserida Sumber Perlakuan
JK
Kelompok Tikus
2528.504
1
2528.504
2.414
.140
Jenis ransum
2481.835
2
1240.918
1.185
.331
Tikus * Jenis ransum
1143.204
2
571.602
.546
.590
16760.417
16
1047.526
Sisaan
db
KT
F
Signifikansi
Total 102832.000 22 Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 2.414 dan probabilitas (sigma) 0.140 Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar trigliserida serum darah tikus pada kedua kelompok tikus tersebut tidak berbeda nyata. Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 1.185 dan probabilitas (sigma) 0.331 Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar trigliserida serum darah tikus pada sampel ketiga jenis ransum tersebut tidak berbeda nyata. Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 0.546 dan probabilitas (sigma) 0.590 Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar trigliserida serum darah tikus pada keenam sampel tikus*jenis ransum tersebut tidak berbeda nyata.
93
Lampiran 31. Uji sidik ragam HDL serum darah tikus Sidik Ragam HDL Sumber Perlakuan Kelompok Tikus
JK
db
KT
F
Signifikansi
91.267
1
91.267
1.034
.324
Jenis ransum
165.326
2
82.663
.937
.412
Tikus * Jenis ransum
260.274
2
130.137
1.475
.258
1411.833
16
88.240
Sisaan
Total 11944.000 22 Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 1.034 dan probabilitas (sigma) 0.324 Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar HDL serum darah tikus pada kedua kelompok tikus tersebut tidak berbeda nyata. Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 0.937 dan probabilitas (sigma) 0.412 Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar HDLserum darah tikus pada sampel ketiga jenis ransum tersebut tidak berbeda nyata. Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 1.475 dan probabilitas (sigma) 0.258 Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar HDL serum darah tikus pada keenam sampel tikus*jenis ransum tersebut tidak berbeda nyata. Lampiran 32. Uji sidik ragam LDL serum darah tikus Sidik Ragam LDL Sumber Perlakuan
JK
db
KT
F
Signifikansi
Kelompok Tikus
64.896
1
64.896
1.877
.190
Jenis ransum
13.771
2
6.886
.199
.821
Tikus * Jenis ransum
130.939
2
65.469
1.893
.183
Sisaan
553.233
16
34.577
Total 5203.080 22 Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 1.877 dan probabilitas (sigma) 0.190 Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar LDL serum darah tikus pada kedua kelompok tikus tersebut tidak berbeda nyata. Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 0.199 dan probabilitas (sigma) 0.821 Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar LDLserum darah tikus pada sampel ketiga jenis ransum tersebut tidak berbeda nyata. Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 1.893 dan probabilitas (sigma) 0.183 Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar LDL serum darah tikus pada keenam sampel tikus*jenis ransum tersebut tidak berbeda nyata.
94
Lampiran 33. Aktivitas enzim SOD dan kadar MDA organ hati tikus MDA Kelompok Ulangan (nml/mg Jar) NN
NJ
NT
DN
DJ
DT
SOD (U/mg prot)
1
0.0106
0.4197
2
0.1643
0.8116
3
0.0187
0.3075
4
0.1680
0.7417
Rerata SD
0.0904 0.0875
0.5701 0.2445
1
0.0110
1.7562
2
0.0401
0.7710
3
0.3031
0.6929
4
0.0648
0.6866
Rerata SD
0.1047 0.1340
0.9767 0.5211
1
0.0159
1.4145
2
0.1166
0.8816
3
0.0184
0.8041
4
0.0163
0.4409
Rerata SD
0.0418 0.0499
0.8853 0.4017
1
0.0361
0.4467
3
0.0300
0.7692
4
0.0233
0.5768
Rerata SD
0.0298 0.0064
0.5976 0.1623
1
0.0304
1.1374
2
0.1675
0.5879
4
0.0264
0.5279
5
0.0233
0.3893
Rerata SD
0.0619 0.0704
0.6606 0.3286
1
0.0401
0.5367
2
0.0207
0.4969
3
0.0151
0.7740
Rerata SD
0.0253 0.0131
0.6025 0.1498
95
Lampiran 34. Uji sidik ragam aktivitas enzim SOD hati tikus Sidik Ragam SOD Sumber Perlakuan
JK
db
KT
F
Signifikansi
Kelompok Tikus
.196
1
.196
1.650
.217
Jenis ransum
.209
2
.104
.880
.434
Tikus * Jenis ransum
.127
2
.064
.536
.595
1.900
16
.119
Sisaan
Total 14.056 22 Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 1.650 dan probabilitas (sigma) 0.217. Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar SOD hati pada kedua kelompok tikus tersebut tidak berbeda nyata. Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 0.880 dan probabilitas (sigma) 0.434 Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar SOD hati pada sampel ketiga jenis ransum tersebut tidak berbeda nyata. Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 0.536 dan probabilitas (sigma) 0.595 Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar SOD hati pada keenam sampel tikus*jenis ransum tersebut tidak berbeda nyata. Lampiran 35. Uji sidik ragam MDA hati tikus Sidik Ragam MDA Sumber Perlakuan
JK
db
KT
F
Signifikansi
Kelompok Tikus
.009
1
.009
1.386
.256
Jenis ransum
.009
2
.005
.734
.495
Tikus * Jenis ransum
.002
2
.001
.136
.874
Sisaan
.100
16
.006
Total .203 22 Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 1.386 dan probabilitas (sigma) 0.256. Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar MDA hati pada kedua kelompok tikus tersebut tidak berbeda nyata. Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 0.734 dan probabilitas (sigma) 0.495 Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar MDA hati pada sampel ketiga jenis ransum tersebut tidak berbeda nyata. Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 0.136 dan probabilitas (sigma) 0.874 Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata kadar MDA hati pada keenam sampel tikus*jenis ransum tersebut tidak berbeda nyata
96
Lampiran 36. Gula darah tikus normal Kelompok
Hari ke-
Kontrol-Native 2
3
4
5
Rerata
Stdev
Kontrol Jambu 2
3
4
5
Rerata
Stdev
Kontrol Teh 1
3
4
5
Rerata
Stdev
0
95.00
85.00
76.00
84.00
85.00
6.75
76.00
101.00
101.00
86.00
91.00
12.25
101.00
103.00
89.00
104.00
99.25
6.95
1
120.00
114.00
111.00
118.00
115.75
3.49
112.00
106.00
134.00
113.00
116.25
12.23
125.00
123.00
125.00
130.00
125.75
2.99
3
120.00
121.00
116.00
114.00
117.75
2.86
119.00
107.00
115.00
116.00
114.25
5.12
125.00
131.00
120.00
109.00
121.25
9.32
5
109.00
113.00
115.00
104.00
110.25
4.21
111.00
110.00
113.00
103.00
109.25
4.35
101.00
115.00
117.00
124.00
114.25
9.64
7
123.00
116.00
116.00
109.00
116.00
4.95
97.00
103.00
107.00
115.00
105.50
7.55
116.00
122.00
109.00
127.00
118.50
7.77
9
116.00
112.00
110.00
108.00
111.50
2.96
103.00
118.00
106.00
109.00
109.00
6.48
117.00
105.00
105.00
90.00
104.25
11.06
11
113.00
117.00
114.00
100.00
111.00
6.52
98.00
113.00
103.00
123.00
109.25
11.09
113.00
99.00
116.00
113.00
110.25
7.63
13
121.00
122.00
125.00
119.00
121.75
2.17
120.00
106.00
129.00
111.00
116.50
10.15
119.00
107.00
107.00
119.00
113.00
6.93
15
125.00
120.00
126.00
106.00
119.25
7.98
109.00
123.00
114.00
122.00
117.00
6.68
112.00
110.00
110.00
125.00
114.25
7.23
17
126.00
148.00
108.00
115.00
124.25
15.14
109.00
125.00
115.00
116.00
116.25
6.60
111.00
104.00
103.00
119.00
109.25
7.41
19
115.00
108.00
115.00
106.00
111.00
4.06
107.00
108.00
111.00
106.00
108.00
2.16
111.00
112.00
108.00
113.00
111.00
2.16
21
116.00
106.00
105.00
114.00
110.25
4.82
116.00
110.00
125.00
112.00
115.75
6.65
114.00
109.00
116.00
124.00
115.75
6.24
23
107.00
91.00
108.00
104.00
102.50
6.80
99.00
114.00
105.00
107.00
106.25
6.18
110.00
110.00
102.00
117.00
109.75
6.13
25
112.00
107.00
113.00
113.00
111.25
2.49
115.00
124.00
110.00
119.00
117.00
5.94
110.00
91.00
104.00
124.00
107.25
13.70
27
118.00
108.00
112.00
106.00
111.00
4.58
101.00
120.00
112.00
114.00
111.75
7.93
114.00
100.00
110.00
123.00
111.75
9.54
29
109.00
113.00
116.00
106.00
111.00
3.81
106.00
121.00
116.00
101.00
111.00
9.13
115.00
109.00
108.00
118.00
112.50
4.80
31
116.00
112.00
110.00
115.00
113.25
2.38
116.00
111.00
118.00
106.00
112.75
5.38
103.00
112.00
107.00
121.00
110.75
7.76
33
114.00
106.00
103.00
111.00
108.50
4.27
111.00
107.00
116.00
107.00
110.25
4.27
111.00
111.00
112.00
121.00
113.75
4.86
35
114.00
110.00
121.00
109.00
113.50
4.72
118.00
110.00
122.00
129.00
119.75
7.93
111.00
122.00
107.00
117.00
114.25
6.60
97
Lampiran 37. Gula darah tikus diabetes Hari ke-
Kelompok Diabetes Native 1 5 6
Rerata
Stdev 1
Diabetes Jambu 2 4
Rerata
Stdev
5
Diabetes Teh 1 2 4
Rerata
Stdev
0
99.00
89.00
103.00
97.00
7.21
102.00
85.00
121.00
104.00
103.00
14.72
90.00
96.00
87.00
91.00
4.58
1
361.00
280.00
328.00
323.00
40.73
365.00
196.00
420.00
383.00
341.00
99.34
380.00
414.00
425.00
406.33
23.46
3
379.00
358.00
356.00
364.33
12.74
149.00
254.00
233.00
358.00
248.50
85.95
368.00
142.00
304.00
271.33
116.49
5
382.00
412.00
343.00
379.00
34.60
319.00
301.00
167.00
352.00
284.75
81.29
413.00
239.00
400.00
350.67
96.92
7
278.00
347.00
342.00
322.33
38.48
313.00
224.00
322.00
276.00
283.75
44.53
445.00
234.00
281.00
320.00
110.77
9
357.00
354.00
356.00
355.67
1.53
177.00
111.00
334.00
346.00
242.00
116.43
284.00
220.00
220.00
241.33
36.95
11
359.00
163.00
450.00
324.00
146.67
290.00
152.00
381.00
400.00
305.75
113.19
321.00
321.00
476.00
372.67
89.49
13
452.00
383.00
418.00
417.67
34.50
371.00
240.00
422.00
430.00
365.75
87.81
549.00
600.00
439.00
529.33
82.28
15
415.00
107.00
412.00
311.33
176.96
298.00
208.00
402.00
358.00
316.50
83.96
272.00
90.00
80.00
147.33
108.08
17
453.00
184.00
434.00
357.00
150.12
230.00
262.00
390.00
403.00
321.25
88.03
132.00
221.00
249.00
200.67
61.09
19
420.00
230.00
422.00
357.33
110.28
278.00
221.00
409.00
419.00
331.75
97.87
416.00
281.00
132.00
276.33
142.06
21
476.00
243.00
477.00
398.67
134.81
260.00
337.00
467.00
443.00
376.75
96.17
439.00
336.00
175.00
316.67
133.06
23
457.00
188.00
424.00
356.33
146.71
326.00
295.00
446.00
415.00
370.50
71.56
159.00
345.00
361.00
288.33
112.29
25
427.00
333.00
455.00
405.00
63.91
308.00
318.00
514.00
392.00
383.00
95.03
210.00
338.00
319.00
289.00
69.07
27
468.00
230.00
497.00
398.33
146.50
419.00
364.00
462.00
407.00
413.00
40.31
417.00
291.00
78.00
262.00
171.35
29
443.00
349.00
445.00
412.33
54.86
191.00
351.00
420.00
406.00
342.00
104.98
436.00
258.00
263.00
319.00
101.36
31
446.00
400.00
504.00
450.00
52.12
318.00
350.00
429.00
382.00
369.75
47.36
378.00
350.00
424.00
384.00
37.36
33
454.00
429.00
595.00
492.67
89.50
327.00
362.00
473.00
600.00
440.50
123.21
323.00
316.00
95.00
244.67
129.66
35
493.00
472.00
518.00
494.33
23.03
257.00
430.00
516.00
557.00
440.00
132.98
389.00
378.00
499.00
422.00
66.91
98
Lampiran 38. Kadar gula darah harian tikus selama percobaan Kelompok Perlakuan Hari keNN NJ NT DN
DJ
DT
1
115.75
116.25
125.75
323.00
353.60
406.33
3
117.75
114.25
121.25
364.33
259.60
271.33
5
110.25
109.25
114.25
379.00
299.20
350.67
7
116.00
105.50
118.50
322.33
308.60
320.00
9
111.50
109.00
104.25
355.67
265.80
241.33
11
111.00
109.25
110.25
324.00
329.60
372.67
13
121.75
116.50
113.00
417.67
400.20
529.33
15
119.25
117.00
114.25
311.33
341.40
147.33
17
124.25
116.25
109.25
357.00
350.60
200.67
19
111.00
108.00
111.00
357.33
363.20
276.33
21
110.25
115.75
115.75
398.67
396.60
316.67
23
102.50
106.25
109.75
356.33
392.20
288.33
25
111.25
117.00
107.25
405.00
402.40
289.00
27
111.00
111.75
111.75
398.33
429.00
262.00
29
111.00
111.00
112.50
412.33
374.80
319.00
31
113.25
112.75
110.75
450.00
399.00
384.00
33
108.50
110.25
113.75
492.67
459.80
244.67
35
113.50
119.75
114.25
494.33
455.80
422.00
113.32
112.54
113.19
384.41
365.63
313.43
5.13
4.20
5.00
54.75
58.19
88.86
Rerata Stdev
Lampiran 39. Uji sidik ragam gula darah harian tikus selama percobaan Sidik Ragam Gula darah harian tikus Sumber Perlakuan Kelompok tikus Ransum Kelompok tikus * ransum Sisaan
JK
db
KT
F
Sig.
1478056.341
1
1478056.341
618.773
.000
23005.271
2
11502.636
4.815
.010
22746.388
2
11373.194
4.761
.011
243646.476
102
2388.691
Total 7480875.279 108 Kesimpulan : Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 618.773 dan probabilitas (sigma) 0.000 Oleh karena probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak, atau rata-rata gula darah harian antara tikus normal dan diabetes berbeda nyata.
99
Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 4.815 dan probabilitas (sigma) 0.010 Oleh karena probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak, atau rata-rata gula darah harian antara ketiga jenis ransum berbeda nyata. Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 4.761 dan probabilitas (sigma) 0.011 Oleh karena probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak, atau rata-rata gula darah harian pada interaksi antara kelompok tikus*jenis ransum berbeda nyata. Uji lanjut Gula darah harian Perlakuan ransum
N
Rerata
Kehomogenan
Tikus normal
54
1.1302E2
A
Tikus diabetet
54
3.4699E2
B
DUNCAN Gula darah harian Perlakuan ransum
N
Rerata
Kehomogenan
Pati tapioka +ekstrak daun teh 4%
36
2.1331E2
A
Pati tapioka +ekstrak daun jambu 4%
36
2.2784E2
AB
Pati tapioka alami
36
2.4886E2
B
DUNCAN Gula darah harian Perlakuan
N
Rerata
Kehomogenan
Tikus normal * Pati tapioka +ekstrak daun jambu 4%
18
1.1254E2
A
Tikus normal * Pati tapioka +ekstrak daun teh 4%
18
1.1319E2
A
Tikus normal * Pati tapioka alami
18
1.1332E2
A
Tikus diabetes * Pati tapioka +ekstrak daun teh 4%
18
3.1343E2
B
Tikus diabetes * Pati tapioka +ekstrak daun jambu 4%
18
3.4314E2
B
18
3.8441E2
C
Tikus diabetes * Pati tapioka alami Huruf yang sama menunjukkan sampel tidak berbeda nyata
100
Lampiran 40. Luas jaringan pankreas, luas pulau langerhans, dan jumlah sel beta pankreas tikus Ulangan Luas Jaringan Luas Pulau % Luas Jumlah Sel Pankreas (mm2) Langerhans P.Langerhans/ Beta/ 10 mm2 Perlakuan (mm2) Luas Jaringan Pankreas NN 1 45.28 6.25 14.85 48.91 2
48.24
4.71
10.17
60.19
3
53.64
9.13
16.62
46.11
49.06 4.24
6.70 2.24
13.88 3.33
51.74 7.46
1
55.60
2.52
4.58
52.70
2
48.99
7.86
15.25
43.28
3
55.52
4.08
7.24
47.73
53.37 3.79
4.82 2.75
9.02 5.56
47.90 4.71
51.78
9.05
17.30
52.13
Rerata SD NJ
Rerata SD NT
1 2
49.11
8.53
16.30
52.65
3
55.18
16.35
29.83
50.90
52.02 3.04
11.31 4.37
21.14 7.54
51.89 0.90
Rerata SD DN
1
53.96
4.19
7.77
37.64
2
48.66
1.01
2.08
31.74
3
47.45
2.69
5.52
31.32
50.02 3.46
2.63 1.59
5.12 2.86
33.57 3.53
1
52.75
1.72
3.30
50.73
2
47.00
1.58
3.53
46.88
3
49.55
4.44
8.62
50.46
49.77 2.88
2.58 1.61
5.15 3.01
49.36 2.15
1
43.60
9.34
22.77
50.96
2
49.40
4.42
9.40
52.18
3
50.53
7.10
13.58
43.30
47.84 3.72
6.96 2.46
15.25 6.84
48.81 4.81
Rerata SD DJ
Rerata SD DT
Rerata SD
101
Lampiran 41. Uji sidik ragam % luas pulau Langerhans/luas jaringan pankreas tikus Sidik Ragam % Luas Pulau Langerhans Sumber Perlakuan
JK
db
KT
F
Signifikansi
Kelompok Tikus
171.466
1
171.466
6.317
.027
Jenis ransum
409.748
2
204.874
7.548
.008
18.065
2
9.032
.333
.723
325.732
12
27.144
Tikus * Jenis ransum Sisaan
Total 3344.899 18 Kesimpulan: Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 6.317 dan probabilitas (sigma) .027. Oleh karena probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak, atau rata-rata persen luas p.Langerhans per luas jaringan pankreas tikus pada kedua kelompok tikus tersebut berbeda nyata. Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 7.548 dan probabilitas (sigma) .008. Oleh karena probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak, atau rata-rata persen luas p.Langerhans per luas jaringan pankreas tikus pada ketiga jenis ransum tersebut berbeda nyata. Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah .333 dan probabilitas (sigma) .723. Oleh karena probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, atau rata-rata persen luas p.Langerhans per luas jaringan pankreas tikus pada interaksi kelompok tikus*jenis ransum tersebut tidak berbeda nyata. Uji Lanjut Luas pulau Langerhans Perlakuan
N
Tikus normal
Rerata
Kehomogenan
9
14.6812
A
Tikus diabetes 9 Huruf yang sama menunjukkan sampel tidak berbeda nyata
8.5084
B
DUNCAN Luas pulau Langerhans Perlakuan
N
Rerata
Kehomogenan
Pati tapioka + ekstrak daun jambu 4%
6
7.0859
A
Pati tapioka alami
6
9.5019
A
6
18.1964
B
Pati tapioka + ekstrak daun teh 4% Huruf yang sama menunjukkan sampel tidak berbeda nyata
102
Lampiran 42. Uji sidik ragam jumlah sel beta pankreas per 10 mm2 luas pulau Langerhans tikus Sidik Ragam Jumlah sel beta pankreas Sumber Perlakuan
JK
db
KT
F
Signifikansi
Kelompok Tikus
195.837
1
195.837
9.887
.008
Jenis ransum
196.040
2
98.020
4.949
.027
Tikus * Jenis ransum
316.701
2
158.351
7.994
.006
Sisaan
237.694
12
19.808
Total 41066.627 18 Kesimpulan: Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 9.887 dan probabilitas (sigma) 0.008. Oleh karena probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak, atau rata-rata jumlah sel beta per 10 mm2 luas pulau Langerhans tikus pada kedua kelompok tikus tersebut berbeda nyata. Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 4.949 dan probabilitas (sigma) 0.027. Oleh karena probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak, atau rata-rata jumlah sel beta per 10 mm2 luas pulau Langerhans tikus pada ketiga jenis ransum tersebut berbeda nyata. Dengan tingkat signifikansi (α) 5%, terlihat bahwa F-hitung adalah 7.994 dan probabilitas (sigma) 0.006. Oleh karena probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak, atau rata-rata jumlah sel beta per 10 mm2 luas pulau Langerhans tikus pada interaksi antara kelompok tikus*jenis ransum tersebut berbeda nyata. Uji lanjut Jumlah sel beta pankreas Perlakuan
N
Tikus normal
Rerata
Kehomogenan
9
50.510
B
Tikus diabetes 9 Huruf yang tidak sama menunjukkan sampel berbeda nyata
43.913
A
DUNCAN Jumlah sel beta pankreas Perlakuan
N
Rerata
Kehomogenan
Pati tapioka alami
6
42.6513
A
Pati tapioka + ekstrak daun jambu 4%
6
48.6305
B
6
50.3522
B
Pati tapioka + ekstrak daun teh 4% Huruf yang sama menunjukkan sampel tidak berbeda nyata
103
DUNCAN Jumlah sel beta pankreas Perlakuan
N
Rerata
Kehomogenan
Tikus diabetes, tapioka alami
2
33.5670
A
Tikus normal, tapioka + ekstrak daun jambu biji 4%
2
47.9023
Tikus diabetes, tapioka + ekstrak teh hijau
2
48.8129
B B
Tikus diabetes, tapioka + ekstrak daun jambu biji
2
49.3587
B
Tikus normal, tapioka alami
2
51.7355
B
2
51.8916
B
Tikus normal, tapioka + ekstrak teh hijau Huruf yang sama menunjukkan sampel tidak berbeda nyata
104
Lampiran 43 Persetujuan etik penelitian (Ethical Approval)