e-ISSN: 2442-7667 p-ISSN: 1412-6087 Pengaruh Pembelajaran Self-Questioning dengan Scaffolding Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kemandirian Mahasiswa Calon Guru Matematika Ita Chairun Nissa dan Yuntawati Program Studi Pendidikan Matematikan, FPMIPA IKIP Mataram Email:
[email protected] Abstract: Problem-solving skills need to be developed among the students so that they can learn to read mathematics, develop a sense of pride, become more critical and analytical of the issues presented. In the problem-solving process involves the use of metacognitive strategies is a sequential process that is used to control cognitive activity and ensure achievement of cognitive. One of metacognitive strategies that can be used is self-questioning is an activity where the students questions to yourself about a math problem they are facing is useful to refer to the process of finding solutions. For beginner students who do not have good selfquestioning that would have difficulty in doing so, so that the necessary prakeknya scaffolding to help create meaning, arrange inspection and problem-solving process, and encouraged to express their thoughts and reflection. This issue is addressed through an experiment conducted in two different classes, namely IVA and IVB with their respective number of students is 36 students. Therefore, it is important to do research on the effect of learning self-questioning with scaffolding to the problem-solving ability and independence of student teachers of mathematics. Abstrak: Kemampuan pemecahan masalah penting untuk dikembangkan di kalangan mahasiswa agar mereka dapat belajar untuk membaca matematika, mengembangkan rasa bangga, menjadi lebih kritis dan analitis terhadap masalah yang disajikan. Pada prosesnya pemecahan masalah melibatkan penggunaan strategi metakognitif yaitu proses berurutan yang digunakan untuk mengontrol aktivitas kognitif dan memastikan tercapainya tujuan kognitif. Salah satu strategi metakognitif yang dapat digunakan adalah self-questioning yaitu suatu aktivitas dimana mahasiswa mengajukan pertanyaan terhadap diri sendiri mengenai suatu masalah matematika yang sedang mereka hadapi yang berguna untuk mengarahkan kepada proses pencarian solusi. Bagi mahasiswa pemula yang belum memiliki self-questioning yang baik akan mengalami kesulitan dalam melakukannya, sehingga dalam prakeknya diperlukan scaffolding untuk membantu membuat makna, mengatur pemeriksaan dan proses pemecahan masalah, serta mendorong mengekspresikan pemikiran mereka serta melakukan refleksi. Persoalan ini dijawab melalui suatu eksperimen yang dilakukan di dua kelas berbeda yaitu IVA dan IVB dengan jumlah mahasiswa masing-masing adalah 36 mahasiswa. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan penelitian mengenai pengaruh pembelajaran self-questioning dengan scaffolding terhadap kemampuan pemecahan masalah dan kemandirian mahasiswa calon guru matematika. Kata Kunci: Self-questioning, Scaffolding, Pemecahan Masalah, Kemandirian
Pendahuluan Memecahkan masalah matematika bukan merupakan hal yang mudah untuk dilakukan karena merupakan suatu proses yang menuntut keterampilan yang kompleks. Melakukan matematika merupakan wujud dari menggunakan keterampilan dalam proses memecahkan masalah. Keterampilan merupakan kemampuan melakukan aritmatika dasar dan algoritma secara baik. Sedangkan proses matematika adalah cara menggunakan keterampilan secara kreatif
© 2017 LPPM IKIP Mataram
dalam situasi baru. Sehingga, pemecahan masalah adalah proses bermatematika. Oleh karena itu, dalam hierarki proses matematika, pemecahan masalah akan terjadi bersamaan dengan penalaran, komunikasi, koneksi, maupun representasi (Nissa, 2015:17). Hasil analisis kemampuan problem solving mahasiswa calon guru yang diukur berdasarkan standar PISA menunjukkan bahwa kemampuan merumuskan masalah (formulate) yang cukup baik dengan prosentase rata-rata nilai
Ita Chairun Nissa & Yuntawati, Pengaruh Pembelajaran Self-Questioning dengan Scaffolding …
tes sebesar 54%, kemampuan melaksanakan (employ) yang kurang baik dengan prosentase rata-rata nilai tes sebesar 33%, dan kemampuan menafsirkan (interpret/evaluate) yang kurang baik dengan prosentase rata-rata nilai tes sebesar 21% (Nissa dan Lestari, 2015). Fakta ini menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah penting dikembangkan karena mahasiswa perlu tahu bagaimana memecahkan masalah untuk masa depan, baik dalam matematika atau dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, pemecahan masalah penting untuk dikembangkan karena mahasiswa akan belajar untuk membaca matematika, mengembangkan rasa bangga, menjadi lebih kritis dan analitis dengan masalah yang disajikan. Proses pemecahan masalah ini melibatkan penggunaan strategi metakognitif yang merupakan proses berurutan yang digunakan untuk mengontrol aktivitas kognitif dan memastikan tercapainya tujuan kognitif. Sangat diperlukan suatu strategi metakognitif yang dapat digunakan oleh mahasiswa calon guru matematika yang dapat membantu mereka dalam proses memecahkan masalah. Strategi metakognitif yang dapat digunakan adalah Selfquestioning yang merupakan suatu keadaan dimana mahasiswa mengajukan pertanyaan untuk diri mereka sendiri mengenai suatu masalah matematika yang sedang mereka hadapi yang berguna untuk mengarahkan kepada proses pencarian solusi. Idealnya, kita harus mengajarkan mereka untuk mengajukan pertanyaan pada saat sebelum, selama, dan sesudah kegiatan pemecahan masalah. Menurut Darling-Hammond,
Austin, Cheung, dan Martin (2003:163-164). Self questioning merupakan salah satu dari strategi metakognitif yang dapat diterapkan oleh pengajar di dalam pembelajaran matematika. Self-questioning ini sangat membantu mahasiswa dalam membentuk sikap dan cara berpikir mandiri yang memang merupakan hakikat pembentukan karakter mahasiswa. Mahasiswa akan belajar pemecahan masalah lebih baik pada saat kita mengajarkan kepada mereka keterampilan self-questioning. Self-questioning merupakan suatu keadaan dimana mahasiswa mengajukan pertanyaan untuk diri mereka sendiri mengenai suatu masalah matematika yang sedang mereka hadapi yang berguna untuk mengarahkan kepada proses pencarian solusi. Idealnya, kita harus mengajarkan mereka untuk mengajukan pertanyaan pada saat sebelum, selama, dan sesudah kegiatan pemecahan masalah. Kramarski dan Budai (2009) mengklasifikasikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan kepada mahasiswa, yaitu: 1) pertanyaan pemahaman: pertanyaan yang mendorong siswa membaca soal, menggambarkan konsepnya dengan katakata mereka sendiri dan mencoba memahami makna konsepnya. Contoh: “tentang apakah keseluruhan masalah ini?” 2) pertanyaan strategi: pertanyaan yang didesain untuk mendorong siswa agar mempertimbangkan strategi apa yang cocok untuk memecahkan masalah yang diberikan dan memberikan alasannya. Contoh: “strategi, taktik, atau prinsip apa yang cocok untuk memecahkan masalah tersebut?, mengapa?” 3) pertanyaan koneksi: pertanyaan yang mendorong siswa untuk
49
Jurnal Kependidikan 16 (1): 48-58
melihat persamaan dan perbedaan suatu konsep/permasalahan. Contoh: “apa persamaan/perbedaan antara permasalahan sekarang dengan permasalahan yang telah saya pecahkan pada waktu lalu? Mengapa?” 4) Pertanyaan refleksi: pertanyaan yang mendorong mahasiswa memfokuskan pada proses penyelesaian dan bertanya pada diri sendiri. Contoh: “apa yang salah dari yang telah saya kerjakan di sini?”, “apakah penyelesaiannya masuk akal?”. Selain itu teknik lain membelajarkan self questioning antara lain (1) QARs (Question-Answer Relationships), dan (2) CSR (Collaborative Strategic Reading) – Challenge, Initial Thoughts, Perspectives and Resources, Wrap Up, Assessment. Bagi mahasiswa pemula yang belum memiliki self-questioning yang baik akan mengalami kesulitan dalam melakukannya. Oleh karena itu, sangat diperlukan suatu scaffolding untuk membantu mereka. Scaffolding akan membantu mahasiswa melibatkan diri dalam membuat makna, mengatur pemeriksaan dan proses pemecahan masalah, serta mendorong siswa mengekspresikan pemikiran mereka dan merefleksi pemecahan masalah yang telah mereka lakukan (Hmelo-Silver, Duncan dan Chinn, 2007). Selain itu, Hacker dan Tenent, Rosenshine dan Meister (dalam Xie dan Bradshaw, 2008) menyatakan bahwa mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat merupakan strategi yang efektif untuk scaffolding. Dengan mengajukan pertanyaan, guru dapat membimbing siswa untuk bekerja pada tugas-tugas melalui pembenaran diri (self justifications), penjelasan diri (self-explanations) dan
50
evaluasi diri (self-evaluations) untuk memperoleh suatu pemahaman yang lebih baik mengenai jenis-jenis pertanyaan yang sebaiknya digunakan dalam pembelajaran dan praktek pemecahan masalah. Scardamalia dan Bereiter (dalam Xie dan Bradshaw, 2008) juga menjelaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan menyediakan suatu cara bagi kita untuk mengeksternalisasi aktivitas mental yang biasanya tersembunyi dalam pikiran siswa. Hannafin (dalam An, 2010) menyatakan bahwa terdapat empat jenis scaffolding yaitu (1) conceptual scaffolding yang dilakukan pada saat suatu masalah didefinisikan, dengan tujuan untuk memandu pebelajar membuat hubungan antara ide-ide dan membantu mereka bernalar, (2) metacognitive scaffolding yang bertujuan untuk memandu pebelajar bagaimana caranya berpikir melakukan perencanaan, pemeriksaan dan evaluasi terhadap pemecahan masalah, (3) procedural scaffolding yang menekankan pada bagaimana caranya menggunakan pengetahuan dan kemampuan maupun sumber daya yang dimiliki, dan (4) strategic scaffolding yang memandu pebelajar bagaimana caranya mendekati suatu tugas belajar atau masalah, yang ditekankan harus dilakukan pada saat melakukan pendekatan alternatif untuk memecahkan masalah. Saye dan Brush (dalam An, 2010) membedakan antara hard scaffolding dan soft scaffolding. Hard scaffolding mengacu pada bantuan statis yang dapat diantisipasi dan direncanakan terlebih dahulu berdasarkan jenis kesulitan siswa dengan tugas atau masalah. Sedangkan soft scaffolding mengacu pada memberikan
Ita Chairun Nissa & Yuntawati, Pengaruh Pembelajaran Self-Questioning dengan Scaffolding …
bantuan dinamis dan spontan berdasarkan tanggapan peserta didik. Sehingga dalam penelitian ini peneliti merancang hard scaffolding yang dituangkan satuan acara perkuliahan dan soft scaffolding yang diberikan secara spontan pada saat berlangsungnya kegiatan pemecahan masalah. Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan jenis eksperimen dengan nonequivalent control group design dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh jawaban apakah kemampuan dan kemandiriran dalam pemecahan masalah pada mahasiswa calon guru matematika yang diajarkan melalui pembelajaran selfquestioning dengan scaffolding lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak diajarkan melalui pembelajaran selfquestioning dengan scaffolding. Sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk memperoleh jawaban bagaimana bentuk pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa selama melakukan selfquestioning yang berguna membantu mereka untuk memecahkan masalah matematika, dan bagaimana bentuk pemberian scaffolding yang dapat membantu mahasiswa dalam melakukan selfquestioning pada saat sebelum, selama, dan sesudah kegiatan pemecahan masalah matematika. Pendekatan kualitatif ini digunakan untuk memberikan makna terhadap data kuantitatif yang diperoleh. Data penelitian dikumpulkan dengan teknik tes, angket, pengamatan, wawancara, dan dokumentasi.
Data berupa nilai tes kemampuan pemecahan masalah dan skor angket kemandirian dalam melakukan pemecahan masalah merupakan data kuantitatif yang dianalisis dengan cara-cara berikut ini : 1. Uji instrumen tes dan angket a. Uji validitas konstruk instrumen tes dan angket dihitung dengan rumus korelasi product moment.
Dengan adalah koefisien korelasi antara variabel dan , adalah jumlah skor butir, adalah jumlah skor total, adalah jumlah hasil kali skor butir dengan skor total, adalah jumlah kuadrat skor butir, adalah jumlah kuadrat skor total, dan adalah banyaknya responden. Sedangkan kriteria pengujian validitas angket yaitu setelah didapatkan nilai kemudian dikonsultasikan dengan nilai pada taraf signifikan . Apabila maka butir angket valid. b. Uji reliabilitas angket Reliabilitas angket dihitung dengan rumus Alpha.
Dengan adalah koefisien reliabilitas, adalah jumlah varians butir, adalah varians total, dan adalah banyak responden. Varians butir dicari menggunakan rumus :
Varians total rumus :
dicari
menggunakan
51
Jurnal Kependidikan 16 (1): 48-58
Dengan adalah butir ke- , , adalah jumlah kuadrat skor yang diperoleh setiap butir, adalah kuadrat jumlah skor yang diperoleh setiap butir, adalah jumlah kuadrat skor total, dan adalah kuadrat jumlah skor total. Kriteria pengujian reliabilitas angket yaitu setelah didapatkan nilai kemudian dikonsultasikan dengan nilai pada taraf signifikan . Apabila maka butir angket valid.
validator ahli terhadap instrumen yang diperiksa dan dihitung kriterianya dengan rumus :
Dengan adalah rata-rata skor hasil validasi, adalah skor total yang diperoleh, dan adalah skor maksimal
2. Uji instrumen lembar observasi dan pedoman wawancara Lembar observasi dan pedoman wawancara diuji validitas kontennya melalui uji validator ahli dengan memperhatikan catatan perbaikan dari Tabel 1. Kriteria Validasi Ahli Skor Kriteria Sangat Valid/dapat 0,91 – 1,00 digunakan tanpa revisi Valid/dapat digunakan 0,76 – 0,90 dengan sedikit revisi Cukup Valid/dapat 0,61 – 0,75 digunakan setelah banyak revisi Kurang valid/tidak dapat 0,00 – 0,60 digunakan 3. Uji Statistik Hasil Tes a. Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk mengetahui data yang akan dianalisis tersebut berdistribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini, uji normalitas menggunkan rumus chisquare atau chi kuadrat.
52
chi kuadrat hitung dibandingkan dengan chi kuadrat tabel pada taraf signifikan dengan kriteria jika artinya data terdistribusi normal. b. Uji hipotesis Uji t yang digunakan untuk menguji signifikansi perbedaan dua rata-rata yang berasal dari dua buah distribusi dengan rumus:
Ita Chairun Nissa & Yuntawati, Pengaruh Pembelajaran Self-Questioning dengan Scaffolding …
Dengan
dan , dimana
adalah
mean pada distribusi sampel 1, adalah mean pada distribusi sampel 2, adalah nilai varian pada distribusi sampel 1, adalah nilai varian pada distribusi sampel 2, adalah jumlah individu pada sampel 1, dan adalah jumlah individu pada sampel 2. Untuk menentukan taraf signifikan perbedaannya harus digunakan nilai t teoritik yang terdapat dalam tabel nilai-nilai t. Untuk itu, perlu diketahui derajat kebebasannya (db) pada keseluruhan distribusi yang diteliti. db = N-2 dengan N adalah keseluruhan jumlah individu yang diteliti. Dalam penelitian ini taraf signifikan yang digunakan . Kriteria pengujian adalah Ha diterima jika . Hasil Penelitian dan Pembahasan Pelaksanaan praktik pembelajaran dilaksanakan pada semester genap tahun akademik 2015/2016 pada mata kuliah Aljabar Linier. Sebelum pelaksanaan dimulai, pada tahapan ini telah dirancang instrumen penelitian yang terdiri dari angket, tes, lembar pengamatan, dan pedoman wawancara. Instrumen tersebut divalidasi oleh dua orang ahli dan keduanya memberikan penilaian sangat baik terhadap instrumen penelitian yang telah dikembangkan dengan skor masing-masing 96,364 pada kategori sangat valid. Adapun aspek penilaian validasi teridiri dari (1) Petunjuk pengisian dan
pemberian skor disajikan dengan jelas, (2) Format Instrumen tidak menyulitkan pengisian, (3) Ikon/gambar/simbol yang digunakan tidak mengganggu penglihatan, (4) Ukuran huruf/angka dan kombinasi warna tepat dan sesuai, (5) Kata pengantar efektif menarik minat responden untuk mengisi, (6) Kalimat pertanyaan/pernyataan mudah dipahami, (7) Pertanyaan/pernyataan tidak menggunakan kalimat yang memiliki makna ganda/ambigu, (8) Kalimat pertanyaan/pernyataan tidak mengarahkan kepada jawaban, (9) Kalimat pertanyaan/pernyataan tidak bersifat crosscheck, (10) Pertanyaan/pernyataan disusun secara logis dan urut, dan (11) Relevan dengan tujuan penelitian dan kondisi responden. Kemudian, dilakukan uji homogenitas terhadap kedua kelas IVA dan IVB dengan memberikan tes awal. Hasilnya menunjukkan Fhitung = 0,908 < Ftabel = 1,71 pada derajat kebebasan 38 dan taraf signifikan 5%, sehingga dapat disimpulkan bahwa kelas IVA dan kelas IVB adalah homogen. Akibatnya adalah kedua kelas dapat dipilih secara acak untuk menentukan pemilihan kelas IVA sebagai kelas eksperimen dan kelas IVB sebagai kelas kontrol. Selanjutnya proses perkuliahan dilakukan sesuai jadwal yang telah ditentukan dan dengan metode yang pada umumnya digunakan oleh dosen. Pada pelaksanaan pembelajaran, dosen memberikan Lembar Kegiatan Mahasiswa yang memuat pertanyaanpertanyaan yang ditujukan bagi diri mahasiswa sendiri agar dapat menuntun dirinya menyelesaikan masalah terkait Aljabar Linier. Sebagai contoh diberikan
53
Jurnal Kependidikan 16 (1): 48-58
masalah “Jelaskan apakah merupakan suatu persamaan linier?”. Pertanyaan dan jawaban yang dicontohkan Q: A:
Q:
A:
Apakah syarat suatu persamaan di katakan persamaan linier? Suatu persamaan linier tidak melibatkan hasil kali atau akar peubah dan semua peubah hanya muncul sekali dengan pangkat satu dan tidak muncul sebagai peubah bebas dari sebuah fungsi trigonometri, logaritma, atau eksponensial. Adapun bentuk umum suatu persamaan linier dalam variabel adalah , dimana dan adalah konstanta riil Apakah memenuhi persyaratan sebagai suatu persamaan linier? Mari kita periksa sesuai dengan syarat di atas. Pada persamaan diketahui bahwa peubah tidak meibatkan hasil kali atau akar peubah, juga muncul dengan berpangkat satu dan tidak muncul sebagai peubah bebas. Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa persamaan merupakan persaman linier [Dialog 1]
Mahasiswa kemudian mencoba mengadaptasi cara dosen untuk melakukan self-questioning secara mandiri. Contohnya diberikan pada masalah “Tentukan persamaan linier dalam variabel dan Q: A:
Q:
54
oleh dosen untuk membantu mahasiswa agar dapat melakukan self-questioning ditunjukkan pada kolom dialog berikut ini:
Mengapa solusi yang diberikan terdapat parameter ? Hal ini berarti bentuk persamaan linier yang akan ditentukan adalah persamaan linier yang memiliki tak hingga solusi Apa ciri-ciri dari persamaan linier yang
yang
memiliki solusi umum !”. Pertanyaan dan jawaban yang diajukan mahasiswa ditunjukkan pada kolom dialog berikut ini:
l2
l1
Y l1
Y
X
l2
X
Ita Chairun Nissa & Yuntawati, Pengaruh Pembelajaran Self-Questioning dengan Scaffolding …
A:
Q: A:
memiliki tak hingga solusi? Ciri-ciri persamaan linier yang memiliki tak hingga solusi adalah variabelnya lebih banyak daripada persamaannya. Karena telah diketahui bahwa persamaan linier tersebut memiliki dua variabel saja yaitu dan , maka kita dapat menduga bahwa hanya dapat dibentuk satu persamaan liner saja Bagaimana cara menentukan persamaan liniernya? Subtitusi ke sehingga diperoleh :
Jadi diperoleh persamaan linier yaitu [Dialog 2]
Contoh lain atas pertanyaan dan jawaban yang diajukan oleh mahasiswa nampak pada masalah “Diberikan suatu sistem persamaan linier dalam variabel dan persamaan. Jelaskan secara aljabar dan geometri Q:
A:
Q: A:
bagaimana kondisi solusi dari sistem persamaan linier apabila , , dan ?”. Pertanyaan dan jawaban yang diajukan mahasiswa ditunjukkan pada kolom dialog berikut ini.
Bagaimana bentuk umum persamaan linier dalam variabel dan persamaan? Bentuk umumnya adalah:
Bagaimana representasi geometrinya? Grafik yang merepresentasikan persamaan linier dalam variabel dan persamaan adalah: l1 dan l2
55
Jurnal Kependidikan 16 (1): 48-58
(ii)
(i) Y
l1 = l2
X X
(iii) Q: A:
Q: A:
Q: A:
Apa kaitannya grafik pertama dengan kondisi solusi apabila n < k? n < k berarti persaman lebih banyak dari pada variabel yang di berikan, dalam keadaan seperti ini solusi dari sistem persamaan linier adalah bisa saja tidak mempunyai solusi atau memiliki tak hingga banyaknya solusi. Apa kaitannya grafik kedua dengan kondisi solusi apabila n = k? n = k berati variabel yang diberikan sama dengan banyaknya persamaan, keadaan seperti ini dapat kita selesaiakan dengan menggunakan teorema kaidah cramer yang mana jika Ax=b adalah sebuah SPL dengan A berukuran n x n sehingga det(A)≠0 maka sistem tersebut mempunyai penyelesaian tunggal unik, sehingga dari teorema tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa apabila n=k maka hanya mempunyai satu solusi. Apa kaitannya grafik ketiga dengan kondisi solusi apabila n > k? n > k ini berarti variabel yang di berikan lebih banyak dari pada persamaan yang diberikan, dalam hal ini solusi dari sistem persamaan linier adalah memiliki tak hingga banyaknya solusi. [Dialog 3]
Kemandirian mahasiswa dalam memecahkan masalah Aljabar Linier diukur melalui angket penilaian diri dengan
56
indikator antara lain (1) mampu memahami masalah sesuai konteksnya, (2) mampu membuat rencana pemacahan masalah, (3)
Ita Chairun Nissa & Yuntawati, Pengaruh Pembelajaran Self-Questioning dengan Scaffolding …
mampu menerapkan rencana pemecahan masalah sesuai prosedur, (4) mampu menemukan solusi sesuai konteksnya, (5) mampu membuat justifikasi atas solusi, (6) mampu mencari sumber rujukan yang mendukung pemecahan masalah, dan (7) mampu melatih diri sendiri di luar jam tatap muka untuk memperkuat keterampilan pemecahan masalah. Adapun skor yang diberikan oleh mahasiswa adalah 57,15% memberikan jawaban Setuju dan 42,85% memberikan jawaban Sangat Setuju. Uji efektivitas penerapan pembelajaran self-questioning dengan scaffolding dilakukan melalui uji statistik-t dengan hipotesis satu arah yaitu :
Hasil uji efektifitas menunjukkan bahwa diperoleh thitung > ttabel yaitu 17,09765 > 2,02439, dengan dk = 36 dan taraf signifikan 5%. Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa Ha diterima, berarti terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah pada mahasiswa yang dipengaruhi oleh pembelajaran self-questioning dengan scaffolding. Simpulan Berdasarkan data yang telah dianalisis, maka dapat disimpulkan pembelajaran Self-Questioning dengan scaffolding memiliki pengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah dan kemandirian mahasiswa. Hal ini didukung oleh hasil penilaian diri dan pengamatan keterlaksanaan perkuliahan yang menunjukkan hasil sebesar 57,15% aspek kemandirian mahasiswa pada kategori “Baik” dan 42,85% aspek kemandirian
mahasiswa pada kategori “Sangat Baik”. Serta, hasil uji statistik t dimana thitung = 17,09765 > ttabel = 2,02439, dengan df = 36 dan =5% yang berarti ada perbedaan kemampuan pemecahan masalah antara mahasiswa yang diajarkan melalui pembelajaran Self-Questioning dengan scaffolding dengan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa yang tidak diajarkan melalui pembelajaran Self-Questioning dengan scaffolding. Daftar Pustaka An, Yun Jo. 2010. Scaffolding Wiki-Based, III-Structured Problem Solving in an Online Environment. MERLOT Journal of Online Learning and Teaching, 6(4), (Online), (http://jolt.merlot.org), diakses 7 November 2012. Darling, Hammond, L., Austin K., Cheung M., & Martin, D. (2003) Thinking about Thinking: Metacognition. London: Stanford University Press, (https://www.learner.org/courses), diakses 16 Desember 2015. Hmelo-Silver, Cindy E; Duncan, Ravit Golan; Chinn, Clark A. 2007. Scaffolding and Achievement in Problem-Based and Inquiry Learning : A Response to Kirschner, Sweller, and Clark. Educational Psychologist, 42(2) : 99-107, (Online), (http://usc.edu), diakses 14 Oktober 2012. Kramarski, Bracha dan Budai, V. (2009). Group Metakognitive Support for Online Inquiry in Mathematics With Differential SelfQuestioning. Journal of Educational
57
Jurnal Kependidikan 16 (1): 48-58
Computing Research, (Online), 40 (4), 365392, (http://education.biu.ac.il/en/node/828), diakses 16 Desember 2015. Nissa, Ita Chairun dan Lestari, Puji. 2015. Analisis Kemampuan Problem Solving Mahasiswa Calon Guru Matematika. Jurnal Kependidikan IKIP Mataram, 14(1) : 45-56. Nissa, Ita Chairun. 2015.Pemecahan Masalah Matematika (Teori dan Contoh Praktik). Yogyakarta : Duta Pustaka Ilmu. Xie, Kui dan Bradshaw, Amy. C. 2008. Using Question Prompts to Support ill-Structured Problem Solving in Online Peer Collaborations. International Journal of Technology in Teaching and Learning, (Online), 4(2), 148-165, (http://sicet.org), diakses, 10 Januari 2013
58