Jurnal Bioteknologi Pertanian, Vol.pertumbuhan 10, No. 2, 2005, pp. 45-50 Pengaruh NAA dan IBA terhadap dan perkembangan tunas kina ...
45
Pengaruh NAA dan IBA terhadap pertumbuhan dan perkembangan tunas kina (Cinchona succirubra) Effects of NAA and IBA on the growth and development of Cinchona succirubra shoots Imron Riyadi dan J.S. Tahardi Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Jalan Taman Kencana No. 1, Bogor 16151, Indonesia
ABSTRACT Using plant growth regulators (PGRs) in the appropriate concentrations and combination can increase growth and development of plantlets. An experiment was conducted to determine the optimal concentration and combination of α-naphthalene-acetic acid (NAA) and indole-3-butyric acid (IBA) to support the growth and development of plantlets of cinchona (Cinchona succirubra). The plant materials were originated from the Indonesian Tea and Cinchona Research Institute, Gambung, West Java. Explants were taken from apical nodes from in vitro germinated seedlings. The cultures were then incubated at 25-28 oC under a 12-hour photoperiod with irradiance of 1,500 lux provided by cool-white fluorescent tubes (TL 40 W) for 5 weeks. Parameters observed were shoot height, leaf number, and rooting frequency. Shoots or planlets successfully grew and developed on a MurashigeSkoog (MS) standard medium containing 30 g/l sucrose and supplemented with 0.1-2.0 mg/l NAA alone and 0.05-1.0 mg/l NAA in combination with 0.05-1.0 mg/l IBA. The best treatment was achieved by combination between NAA and IBA 0.05 mg/l each because all of the three parameters were significantly different according to DMRT at P <5%. The highest shoot height was 36.28 mm, attained with a combination of NAA and IBA at 0.05 mg/l each; the highest leaf number was 12.5 pieces with NAA as a single treatment using 1.0 mg/l; and the highest rooting frequency was 13.1 pieces using a combination of NAA and IBA at 0.05 mg/l each. The plantlets were successfully acclimatized in the field. [Keywords: Cinchona succirubra, in vitro culture, shoot height, leaf number, rooting, NAA, IBA, adaption]
ABSTRAK Penggunaan zat pengatur tumbuh (ZPT) pada konsentrasi dan kombinasi yang tepat dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan planlet. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi dan kombinasi α -naphthalene-acetic acid (NAA) dan indole-3-butyric acid (IBA) yang optimal untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tunas/planlet kina (Cinchona succirubra). Bahan tanaman diperoleh dari Pusat Penelitian Teh dan Kina, Gambung, Jawa Barat. Eksplan yang berupa tunas pucuk asal biji dikecambahkan secara in vitro. Kultur tersebut selanjutnya diinkubasi dalam ruang terang dengan lampu TL 40 W pada periode penyinaran 12 jam/hari dan intensitas 1.500 lux dan suhu 25-28 oC selama 5
minggu. Parameter yang diamati meliputi tinggi tunas, jumlah daun, dan frekuensi pengakaran. Tunas/planlet kina berhasil tumbuh dan berkembang pada media Murashige-Skoog (MS) standar yang mengandung sukrosa 30 g/l dan diberi NAA 0,12,0 mg/l (secara tunggal) dan 0,05-1,0 mg/l yang dikombinasikan dengan IBA 0,05-1,0 mg/l. Hasil terbaik diperoleh pada perlakuan kombinasi NAA dan IBA masing-masing 0,05 mg/l karena ketiga parameter yang diamati berbeda nyata berdasarkan DMRT pada P <5%. Tunas tertinggi (36,28 mm) diperoleh pada perlakuan kombinasi NAA dan IBA masingmasing 0,05 mg/l; jumlah daun terbanyak (12,5 buah) pada perlakuan NAA tunggal 1,0 mg/l; dan frekuensi pengakaran tertinggi (13,1 buah) pada perlakuan kombinasi NAA dan IBA masing-masing 0,05 mg/l. Planlet berhasil diaklimatisasi di tempat persemaian di lapang. [Kata kunci: Cinchona succirubra, kultur in vitro, tinggi tunas, jumlah daun, pengakaran, NAA, IBA adaptasi]
PENDAHULUAN Tanaman kina (Cinchona spp.) yang telah dikenal manusia sejak zaman kuno pertama kali ditemukan oleh bangsa Indian Peru sebagai obat demam, karena tanaman ini mengandung alkaloid kuinolin (quinoline) pada kulit batang. Tanaman kina terdiri atas kurang lebih 40 spesies. Spesies yang paling banyak digunakan sebagai sumber obat adalah Cinchona succirubra, C. ledgeriana, C. officinalis, dan C. calisaya (Widayat 2000). Selain sebagai obat penyakit malaria, kuinolin dapat pula digunakan sebagai obat jantung, obat kram (night cramps), penimbul rasa pahit (bittering agent), dan pencerah minuman ringan (Hunter 1988). Permintaan industri minuman dan obat-obatan terhadap kina terus meningkat, sehingga produksi kulit kina perlu ditingkatkan melalui perluasan areal tanam. Untuk menunjang program tersebut, diperlukan teknik penyediaan bibit unggul yang cepat dan efisien, khususnya untuk penanaman dengan kerapatan tinggi, yaitu 4.000 pohon/ha (Tahardi dan Riyadi 2002). Perbanyakan tanaman kina secara konvensional biasanya dilakukan dengan biji, setek, sambungan,
46
Imron Riyadi dan J.S. Tahardi
dan okulasi. Namun, penyediaan bibit melalui biji menghasilkan keragaman tanaman yang tinggi akibat adanya penyerbukan silang sehingga turunannya umumnya mempunyai kandungan kuinolin yang lebih rendah. Perbanyakan cara setek menghadapi kesulitan dalam menginduksi perakaran, sedangkan teknik sambungan dan okulasi memerlukan batang bawah dalam jumlah besar selain perlu ada kesesuaian antara batang bawah dan batang atas. Teknik in vitro melalui penggandaan tunas pucuk dan tunas aksiler merupakan metode alternatif untuk perbanyakan tanaman kina secara cepat dan efisien (Krikorian et al. 1982; Tahardi dan Riyadi 2002). Bibit yang dihasilkan selain bersifat klonal juga memiliki kejaguran yang lebih tinggi daripada bibit asal biji, setek, sambungan maupun okulasi (Gupta et al. 1991). Tahardi dan Riyadi (2002) telah meneliti pengaruh kombinasi IAA dan IBA terhadap pertumbuhan dan perkembangan tinggi tunas, jumlah daun, dan pengakaran tanaman kina ledjer (C. ledgeriana) maupun kina susirubra (C. succirubra). Konsentrasi IAA yang digunakan adalah 5-10 mg/l sedangkan untuk IBA 00,5 mg/l. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan C. ledgeriana lebih cepat daripada C. succirubra, namun secara keseluruhan hasil tersebut belum optimal dan masih perlu diteliti lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi NAA yang optimal, baik secara tunggal maupun kombinasi dengan IBA, untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tunas kina, terutama pengaruhnya terhadap peningkatan tinggi tunas, jumlah daun, dan frekuensi pengakaran.
Eksplan berupa nodus apikal (tunas pucuk) dengan panjang + 10 mm dan memiliki tiga nodus asal kecambah in vitro, tidak disterilkan lagi dan langsung ditanam pada media kultur. Media yang digunakan adalah media Murashige-Skoog (1962) standar yang mengandung sukrosa 3% dan ditambah NAA 0,12,0 mg/l secara tunggal serta kombinasi NAA dan IBA dengan konsentrasi masing-masing 0,05-1,0 mg/l. Nilai pH media diatur 5,7 sebelum disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 20 menit dengan tekanan 1,5 atm. Bahan pemadat media yang digunakan adalah Gelrite dengan konsentrasi 2,5 g/l. Eksplan dikulturkan dalam ruang terang dengan periode penyinaran 12 jam/hari intensitas 1.500 lux dari lampu TL 40 W, bersuhu 25-28 oC dan kelembapan relatif 60% selama 5 minggu dan diulang 10 kali. Tunas yang telah berakar banyak dan berdaun cukup lebat ditransplantasi dan diaklimatisasi pada media campuran tanah, pasir, dan pupuk kandang dengan empat perbandingan yaitu 2:1:1; 1:2:0; 0:1:0; dan 1:1:0. Media dimasukkan ke dalam polibeg hitam berdiameter 10 cm. Polibeg selanjutnya ditempatkan dalam kotak kaca tertutup dalam rumah kaca selama 4 minggu. Setelah bertambah besar, planlet/bibit dipindahkan ke polibeg berdiameter 20 cm sampai siap ditanam di lapang. Parameter pertumbuhan yang diamati meliputi tinggi tunas, jumlah daun, frekuensi pengakaran, serta keberhasilan aklimatisasi. Data yang diperoleh diuji dengan metode faktor tunggal untuk mencari nilai anova atau sidik ragamnya. Nilai rata-rata antarperlakuan diuji jarak dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf uji 5%.
BAHAN DAN METODE
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahan tanaman yang digunakan adalah kina C. succirubra yang berasal dari Pusat Penelitian Teh dan Kina, Gambung, Jawa Barat. Biji yang berasal dari buah masak disterilkan dalam larutan clorox 20% selama 15 menit, kemudian dalam larutan mancozeb 80% (1 g/l) selama 2 jam sambil dikocok pada kecepatan 80 rpm di atas pengocok. Selanjutnya biji dibilas beberapa kali dengan akuades, lalu dikecambahkan pada kertas saring basah dalam cawan petri. Inkubasi dilakukan dalam ruang dengan pencahayaan 14 jam/hari selama 2-4 minggu sampai benih berkecambah. Kecambah yang terbentuk digunakan sebagai sumber eksplan nodus. Kecambah lalu dipindahkan ke media padat MS dengan konsentrasi 50% unsur makro tanpa ZPT hingga tingginya mencapai 15 cm.
Perkecambahan biji Penelitian ini menggunakan bahan tanaman berupa nodus apikal yang berasal dari biji yang dikecambahkan secara in vitro. Langkah ini ditempuh untuk mengetahui perlakuan terbaik dalam membuat bibit kina secara in vitro yang efisien, karena metode ini paling cepat dan efisien dalam menentukan perlakuan terbaik dibanding metode yang menggunakan bahan tanaman (nodus) dari lapang dengan tingkat kontaminasi sangat tinggi. Setelah perlakuan terbaik ditemukan, perlakuan tersebut dapat diaplikasikan pada bahan tanaman (nodus) asal lapang secara klonal dari tanaman induk yang mempunyai sifat unggul. Dengan kata lain, langkah ini merupakan model dalam mencari perlakuan terbaik.
47
Pengaruh NAA dan IBA terhadap pertumbuhan dan perkembangan tunas kina ...
Perkecambahan biji kina mulai terlihat 7 hari setelah disemaikan pada kertas saring basah secara aseptik. Sampai umur 14 hari, daya kecambahnya berkisar 80100%. Kecambah kemudian dikulturkan pada media MS yang mengandung 50% unsur makro padat tanpa ZPT selama 6 minggu. Setelah kecambah memiliki 3-5 ruas, tunas digunakan sebagai sumber eksplan nodus apikal pada percobaan berikutnya. Eksplan yang dikulturkan adalah nodus apikal yang memiliki 3 ruas dengan panjang 10-11 mm.
media kultur dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman (Hunter 1988; Krikorian et al. 1982). Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Staba dan Chung (1981) yang berhasil menumbuhkan eksplan tunas C. ledgeriana dan C. succirubra hingga membentuk planlet dengan penambahan BAP dan IBA. Penggunaan hormon tumbuh diperlukan untuk pengembangan dan penumbuhan planlet, namun produksi in vivo hormon tersebut belum cukup sehingga perlu penambahan ZPT ke dalam media kultur.
Pertumbuhan tinggi tunas
Pertumbuhan jumlah daun
Pertumbuhan tinggi tunas mulai terlihat pada umur 5 hari dan tumbuh pesat pada umur 15 hari setelah tanam. Dari delapan perlakuan yang diuji, semua perlakuan menghasilkan pertumbuhan yang signifikan dan berbeda nyata antarperlakuan (Tabel 1). Pertumbuhan tinggi tunas selama 4 minggu sesuai dengan hasil penelitian Hunter (1979). Perlakuan kombinasi NAA dan IBA masing-masing 0,05 mg/l memberikan pertumbuhan tunas tertinggi yaitu 36,28 mm dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (Tabel 1). Perlakuan NAA tunggal (0,1 mg/l) menghasilkan tinggi tunas juga tinggi, namun lebih rendah 2,47 mm daripada perlakuan kombinasi NAA dan IBA masing-masing 0,05 mg/l. Pemberian NAA secara tunggal pada kultur tunas kina sebenarnya sudah cukup efektif untuk memacu pertumbuhan tinggi tunas, terutama pada konsentrasi rendah (0,1 mg/l). Namun, penambahan IBA dalam
Jumlah daun pada saat tanam berkisar 4-5 buah per tunas. Setelah 1 minggu kultur menunjukkan adanya pertumbuhan tunas atau bakal daun baru. Sampai 4 minggu setelah kultur, jumlah daun mencapai rata-rata 12,5 buah per tunas. Semua perlakuan ZPT menunjukkan pertumbuhan daun yang berbeda nyata pada P <0,05% (Tabel 1). Daun-daun baru hasil induksi dapat tumbuh dan berkembang sempurna. Bentuk dan ukuran daun sesuai dengan besar tunas yang tumbuh. Meskipun hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan NAA secara tunggal, umumnya perlakuan kombinasi NAA dan IBA menghasilkan jumlah daun yang relatif banyak pula. Menurut Suryowinoto (1996), penggunaan kombinasi beberapa ZPT akan mempercepat dan meningkatkan hasil induksi tunas daun dalam kultur. Berdasarkan Tabel 1, jumlah daun paling banyak (12,5 buah) diperoleh pada perlakuan NAA 1,0 mg/l
Tabel 1. Pengaruh zat pengatur tumbuh (ZPT) terhadap tinggi tunas, jumlah daun dan frekuensi pengakaran planlet kina (Cinchona succirubra) setelah 4 minggu pada media MS. Table 1. Effects of plant growth regulators (PGR’s) on shoot length, leaf number and rooting frequency of Cinchona succirubra planlets after 4 weeks of culture on MS medium. Konsentrasi ZPT PGRs concentration (mg/l) NAA
IBA
0,1 0,5 1,0 2,0 0,05 0,25 0,50 1,00
0 0 0 0 0,05 0,25 0,50 1,00
Tinggi tunas Shoot length (mm)
Jumlah daun Leaf number (buah/pieces)
Pengakaran Rooting (buah/pieces)
33,81ab 23,80cdef 26,17bcd 16,08g 36,28a* 31,59abc 25,27cde 21,45defg
11,4abcd 11,3abcd 12,5a* 9,5d 11,5abc 9,6bcd 10,1abcd 11,5abc
6,1bc 4,9bc 7,3bc 4,5c 13,1a* 8,8ab 8,2bc 4,4c
Keterangan: Angka dalam kolom sama yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada P<0,05. Notes: Means in the same column followed by the same letters are not significantly different according to DMRT at P<0.05.
48 secara tunggal, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan kombinasi NAA dan IBA masing-masing 0,05 mg/l (11,5 buah). Pengaruh NAA tunggal pada konsentrasi rendah umumnya terlihat lebih kuat dalam menginduksi pertumbuhan daun daripada kombinasi NAA dan IBA. Menurut Gaspar et al. (1996), NAA sangat diperlukan dalam masa pertumbuhan organogenesis termasuk pembentukan tunas daun. Frekuensi pengakaran Akar adventif mulai terlihat pada umur 15 hari setelah kultur (Gambar 1). Akar tumbuh mulai dari bagian distal tunas atau tepat pada permukaan media. Setelah akar tersebut berkembang tumbuh akar baru pada bagian bawahnya sehingga terbentuk akar yang lebat seperti serabut. Semua perlakuan ZPT menghasilkan pengakaran yang signifikan, dan berbeda nyata pada P <0,05 (Tabel 1). Rata-rata jumlah akar paling banyak (13,1 buah per tanaman) diperoleh pada perlakuan kombinasi NAA dan IBA masing-masing 0,05 mg/l dan berbeda nyata dengan perlakuan lain (P <0,05), namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan kombinasi NAA dan IBA masing-masing 0,25 mg/l.
Imron Riyadi dan J.S. Tahardi
Aplikasi NAA secara tunggal dapat menginduksi pengakaran kina rata-rata sampai 7,3 buah per tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Tahardi (1994) yang berhasil menginduksi akar tanaman teh (Camellia sinensis L.) hingga 82% dengan menggunakan NAA secara tunggal. Eksplan yang digunakan adalah tunas aksiler pada media WP dengan penambahan NAA 1-3 mg/l secara tunggal. Gray dan Benton (1991) juga berhasil menginduksi akar pada planlet anggur (Vitis rotundifolia) kultivar Muscadine dengan menggunakan NAA 1 µM secara tunggal. Berdasarkan pengamatan dapat disimpulkan bahwa perlakuan kombinasi NAA dan IBA menghasilkan pengakaran yang lebih tinggi dibanding NAA secara tunggal, meskipun secara tunggal NAA dapat menginduksi pengakaran. Menurut Gaspar et al. (1996), auksin sangat diperlukan dalam pertumbuhan organogenesis termasuk dalam pembentukan akar. Kombinasi auksin dengan konsentrasi yang tepat dapat meningkatkan inisiasi dan induksi akar pada kultur. Kombinasi NAA dan IBA masing-masing 0,05 mg/l mampu menghasilkan pengakaran tertinggi, sehingga kombinasi dan konsentrasi ini merupakan perlakuan yang efektif untuk induksi akar C. succirubra.
Gambar 1. Perkembangan tunas dan akar planlet kina (Cinchona succirubra); (a) induksi dan inisiasi akar, umur 2 minggu; (b) perakaran telah sempurna dan siap diaklimatisasi, umur 5 minggu; dan (c) bibit hasil aklimatisasi, umur 12 minggu. Fig. 1. Development of shoots and roots of cinchona plantlets (Cinchona succirubra); (a) induction and initiation of roots aging 2 weeks; (b) completely root that ready to acclimatization aging 5 weeks; and (c) plantlets that be acclimatized aging 12 weeks.
49
Pengaruh NAA dan IBA terhadap pertumbuhan dan perkembangan tunas kina ...
Aklimatisasi planlet Planlet yang dihasilkan kemudian diaklimatisasi dan ditransplantasi pada beberapa perlakuan media tanam, yaitu campuran tanah, pasir, dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1:1; 1:2:0; 0:1:0; dan 1:1:0. Media tersebut dimasukkan ke dalam polibeg hitam diameter 10 cm. Polibeg selanjutnya ditempatkan dalam kotak kaca tertutup di dalam rumah kaca selama 4 minggu (tahap 1). Planlet dapat tumbuh dan berkembang sehingga ukurannya bertambah besar. Planlet/bibit selanjutnya dipindah ke polibeg yang ukurannya lebih besar (diameter 20) cm dan dikeluarkan dari kotak kaca, kemudian ditempatkan dalam rumah kaca dengan intensitas cahaya yang lebih tinggi selama 4 minggu (tahap 2). Tingkat keberhasilan planlet pada tahap aklimatisasi disajikan pada Gambar 2. Pada aklimatisasi tahap 1, laju rata-rata kematian planlet relatif tinggi pada semua perlakuan, sedangkan pada aklimatisasi tahap 2 laju rata-rata kematian planlet menurun. Hanya planlet pada media tanah dan pasir dengan perbandingan 1:1 yang tetap tumbuh hingga aklimatisasi tahap 2 berakhir, sehingga planlet yang berhasil diaklimatisasi sampai siap ditanam di persemaian di lapang hanya dari perlakuan media tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa media campuran tanah dan pasir paling baik untuk aklimatisasi planlet kina, karena media tersebut paling ideal baik dari segi jerapan air, kondisi lingkung-
Persentase planlet Percentage of planlets
an perakaran maupun ketersediaan unsur hara. Hingga aklimatisasi tahap 2 berakhir, masih ada planlet yang mampu tumbuh dan berkembang dan siap dipindahkan ke lapang.
KESIMPULAN Tunas kina asal tunas pucuk in vitro dapat tumbuh dan berkembang terbaik pada media MS standar yang mengandung sukrosa 30 g/l dan diberi NAA 0,05 mg/l dikombinasikan dengan IBA 0,05 mg/l dalam waktu 4 minggu. Pertambahan tinggi tunas rata-rata terbesar (36,28 mm) diperoleh pada perlakuan kombinasi NAA dan IBA dengan konsentrasi masing-masing 0,05 mg/l; jumlah daun rata-rata terbanyak (12,5 buah) pada perlakuan NAA tunggal dengan konsentrasi 1,0 mg/l; dan jumlah rata-rata pengakaran terbanyak (13,1 buah) pada perlakuan kombinasi NAA dengan IBA dengan konsentrasi masing-masing 0,05 mg/l. Planlet berhasil diaklimatisasi pada media campuran tanah dan pasir dengan perbandingan 1:1.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Penelitian Teh dan Kina, Gambung, Jawa Barat atas bantuan dalam penyediaan bahan tanaman untuk
Persentase planlet Percentage of planlets
100
100
Tahap 1/Stage 1
80
80
60
60 2t:1p:1pk 1t:2p ▲ p 1t:1p
40 20 0
Tahap 2/Stage 2
2t:1p:1pk 1t:2p ▲ p 1t:1p
40 2 0▲ 0
0
1
2
3
4
4
Periode kultur (minggu) Culture period (weeks) Keterangan/Notes: 2t:1p:1pk = tanah:pasir:pupuk 1t:2p = tanah:pasir:pupuk p = tanah:pasir:pupuk 1t:1p = tanah:pasir:pupuk
kandang kandang kandang kandang
= = = =
2:1:1/soil:sand:organic 1:2:0/soil:sand:organic 0:1:0/soil:sand:organic 1:1:0/soil:sand:organic
5
6
7
Periode kultur (minggu) Culture period (weeks)
matter matter matter matter
= = = =
2:1:1 1:2:0 0:1:0 1:1:0
Gambar 2. Persentase keberhasilan aklimatisasi planlet tanaman kina (Chincona succirubra). Fig. 2. Percentage of plantlet acclimatization of cinchona (Chincona succirubra).
8
50
Imron Riyadi dan J.S. Tahardi
penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada H.R. Ridwan dan Ade Firmansyah, teknisi Laboratorium Biak Sel dan Mikropropagasi, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia atas bantuannya dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Gaspar, T., C. Kevers, C. Penel, H. Greppin, D.M. Reid, and T.A. Thorpe. 1996. Plant hormones and plant growth regulators in plant tissue culture. In Vitro Cell Dev. Biol. Plant 32: 272-289. Gray, D.J. and C.M. Benton. 1991. In vitro micropropagation and plant establishment of muscadine grape cultivars (Vitis rotundifolia). Plant Cell, Tissue and Organ Culture 27: 7-14. Gupta, P.K., R. Timmis, and A.F. Mascarenhas. 1991. Field performance of micropropagated forestry species. In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant. 27: 159-164. Hunter, C.S. 1979. In vitro culture of Cinchona ledgeriana L. J. Hort. Sci. 54(2): 111-114. Hunter, C.S. 1988. Cinchona spp.: Micropropagation and the in vitro production of quinine and quinidine. In Y.P.S. Bajaj (Ed.). Biotechnology in Agriculture and Forestry. Vol. 4: Medicinal and Aromatic Plants I. Springer-Verlag, New York.
Krikorian, A.D., M. Singh, and C.E. Quinn. 1982. Aseptic micropropagation of cinchona: Prospects and problems. In A.N. Rao (Ed.). Tissue Culture of Economically Important Plants. Proc. Int’l. Symp., National Unversity of Singapore, 28-30 April 1981. Murashige, T. and F. Skooge. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue cultures. Physiol. Plant. 15: 473-479. Staba, E.J. dan A.C. Chung. 1981. Quinine and quinidine production by cinchona leaf, root and unorganized cultures. Phytochemistry 20(11): 2495-2498. Suryowinoto, M. 1996. Prospek kultur jaringan dalam perkembangan pertanian modern. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. hlm. 1-10. Tahardi, J.S. 1994. Micropropagation of tea through shoot proliferation from excised axillary buds. Menara Perkebunan 62(2): 20-24. Tahardi, J.S. dan I. Riyadi. 2002. Perbanyakan in vitro tanaman kina melalui penggandaan tunas. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor. 8 hlm. Widayat, W. 2000. Peluang pasar dan perkembangan industri kina Indonesia. hlm. 4-10. Dalam M. Martono, W. Astika, A. Supriyono, H. Fajar, R. Suprihatini, dan T. Abas. (Ed.) Prosiding Seminar Sehari Pembangunan Perkebunan Indonesia, Buku II: Pengembangan Kina Nasional, Pusat Penelitian Teh dan Kina, Gambung, 3 Agustus 2000.