Pengaruh Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit Dan Interval Penyiraman Terhadap Pertumbuhan Bibit Sukun (Artocarpus communis) (Effect of Organic Mulch Woven Palm Leaves and Watering Interval to Growth of Breadfruit (Artocarpus communis)) Tria Yunita Sinaga1), Budi Utomo2) dan Afifuddin Dalimunthe2) 1)
Mahasiswa Program Studi Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Jl. Tridharma Ujung No.1 Kampus USU Medan 20155 (Penulis Korespondensi, email:
[email protected]) 2) Staf Pengajar Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT Degradation and deforestation of forest caused reduction vast and quality of forests. One of the solution to overcome this are reforestation and afforestation. Before replanting in the field needed seedlings with a good level of environmental adaptation that is by breeding improved varieties. Breadfruit is a plant that has a strong root system that can be a deterrent intrusion barriers to erosion and sea water. This research aims to get optimum organic mulch density and watering interval to growth of breadfruits. This research has done in green house at Agriculture Faculty of the University of North Sumatera (USU). The method used to analyze the effect of organic mulch woven palm leaf and watering interval to growth of breadfruits for 5 months. The observed parameter is height, diameter, number of leaves, leaves width, canopy width, length of roots, dry weight of roots and moisture levels of leaves. Analysis data using the factorial complete random design (RALF). This research results showed that organic mulch woven palm leaves and watering interval significantly effect to growth of breadfruits except diameter parameter. Interaction of both aren’t significantly effect for all parameters. Keywords : Green house, breadfruits (Artocarpus communis), mulch. PENDAHULUAN Latar Belakang Kelestarian hutan menjadi permasalahan krusial yang dihadapi oleh umat manusia terkait kondisi lingkungan dewasa ini. Permasalahan ini tidak hanya ditandai oleh berkurangnya luasan hutan dan penurunan kualitasnya, tetapi juga mengarah posisi pentingnya terkait permasalahan global, seperti perubahan iklim, global warming, serta berbagai peristiwa bencana alam lainnya. Peningkatan deforestasi dan degradasi hutan dipengaruhi oleh pola yang lebih kompleks perambahan oleh manusia. Perubahan penggunaan kawasan hutan adalah imbas dari masuknya jaringan jalan ke dalam kawasan konservasi. Efek tepi dari pembuatan jaringan jalan semakin mengurangi luasan kawasan hutan dan merubah fungsi lahan (Newman et al., 2014).
Berbagai upaya dilakukan untuk menanggulangi kerusakan hutan dan dampak turunannya. Upaya tersebut dibagi kedalam dua upaya, yaitu secara fisik dan secara kebijakan. Secara fisik penanggulangan kerusakan hutan dilakukan dengan reboisasi dan afforestasi. Reboisasi dan afforestasi adalah penanaman kembali lahan hutan yang telah turun kualitasnya maupun lahan yang belum digunakan sebagai hutan (Davidar et al., 2010). Selain reboisasi kegiatan pembibitan merupakan salah satu contoh usaha pelestarian lingkungan hidup. Pembibitan tanaman memiliki arti yang hampir sama dengan reboisasi, hanya saja pembibitan bertujuan untuk memperbanyak jumlah tanaman sebelum ditanam dilapangan. Kegiatan pembibitan membutuhkan pemeliharaan dan perawatan selama pertumbuhan diantaranya penyiraman, pembuangan gulma dan penggunaan mulsa sebagai penutup tanah. Tanaman sukun merupakan tanaman tahunan yang termasuk ke dalam famili
Moraceae. Daerah asalnya adalah Pacifik, Polynesia, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Kanopi pohon sukun sangat bagus, memiliki warna daun hijau tua dengan sistem perakaran yang kuat, sehingga dapat berfungsi sebagai penahan erosi dan pencegah intrusi air laut ke darat di sekitar pantai (Alrasyid, 1993). Sebaran tanaman sukun di Indonesia cukup luas baik di Pulau Jawa yaitu Jawa Barat, Jawa tengah dan Jawa Timur maupun di luar Pulau Jawa seperti Aceh, Sumatera Utara, Pulau Nias, Lampung, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku dan Papua/Irian. Pada umumnya masing-masing daerah menyatakan keunggulan dari sukun daerahnya, sedangkan informasi yang menjelaskan jenis-jenis sukun yang ada di Indonesia belum ada (Pitojo, 1992). Aplikasi mulsa merupakan salah satu upaya menekan pertumbuhan gulma, memodifikasi keseimbangan air, suhu dan kelembaban tanah serta menciptakan kondisi yang sesuai bagi tanaman, sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik (Fithriadi, 2000). Mulsa yang telah umum digunakan dalam budidaya pertanian, dapat berupa mulsa organik maupun mulsa sintetik. Mulsa organik berupa jerami, sekam, alangalang dan sebagainya, sedangkan mulsa sintetik berupa mulsa plastik (Marliah et al., 2011). Mulsa organik lebih disukai terutama pada sistem pertanian organik. Pemberian mulsa organik seperti jerami akan memberikan suatu lingkungan pertumbuhan yang baik bagi tanaman karena dapat mengurangi evaporasi, mencegah penyinaran langsung sinar matahari yang berlebihan terhadap tanah serta kelembaban tanah dapat terjaga, sehingga tanaman dapat menyerap air dan unsur hara dengan baik (Subhan dan Sumanna, 1994). Penggunaan mulsa organik merupakan pilihan alternatif yang tepat karena mulsa organik terdiri dari bahan organik sisa tanaman (seresah padi, serbuk gergaji, batang jagung), pangkasan dari tanaman pagar, daun-daun dan ranting tanaman yang akan dapat memperbaiki kesuburan, struktur dan secara tidak langsung akan mempertahankan agregasi dan porositas tanah, yang berarti akan mempertahankan kapasitas tanah menahan air, setelah terdekomposisi (Forth, 1994).
Berlangsungnya pertumbuhan tanaman yang baik harus didukung oleh keadaan air yang optimum. Cekaman (kelebihan maupun kekurangan) air dapat berakibat buruk karena akan mengganggu proses-proses metabolisme dalam tubuh tanaman (Jasminarni, 2008). Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendapatkan kerapatan mulsa organik dan frekuensi penyiraman terbaik terhadap pertumbuhan bibit sukun (Artocarpus communis) di rumah kaca. Manfaaat Penelitian Sebagai informasi untuk penggunaan berbagai kerapatan mulsa organik sebagai media tambahan untuk membantu tanaman memperoleh air yang cukup terutama pada lahan dengan kadar air yang sedikit serta untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hipotesis penelitian 1. Interaksi mulsa organik anyaman daun sawit dan Interval penyiraman berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman sukun. 2. Mulsa organik anyaman daun sawit berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman sukun. 3. Interval penyiraman yang berbeda berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman sukun. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di rumah kaca Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan dimulai dari bulan Oktober 2015 sampai dengan Januari 2016. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit sukun (Artocarpus communis) umur tiga bulan, mulsa anyaman daun sawit 20 cm x 20 cm untuk setiap ulangan, top soil, benang, kertas label dan polybag. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain cangkul, kamera digital, alat tulis, kalkulator, gunting, penggaris, jangka
sorong, kertas milimeter, pisau cutter, SPSS 16.0, dan software image J. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial, dengan masing- masing 5 perlakuan untuk kerapatan dan 4 perlakuan untuk interval penyiraman sebanyak 3 ulangan, yaitu : 1. Faktor pertama (faktor M) adalah tutupan tanah : M0 : tanpa mulsa (kontrol) M1 : mulsa kerapatan 25% M2 : mulsa kerapatan 50% M3 : mulsa kerapatan 75% M4 : mulsa kerapatan 100% 2. Faktor kedua (faktor S) adalah interval penyiraman yang dilakukan terdiri dari 4 jenis, yaitu : S1 : 1 hari sekali S2 : 3 hari sekali S3 : 5 hari sekali S4 : 7 hari sekali Semua perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sehingga diperoleh jumlah bibit sukun sebanyak 60 bibit. Model umum rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut : Yijk = µ + αk + βs + (αβij + εijk) Keterangan : Yijk : Hasil pengamatan bibit sukun pada pemberian tutupan tanah ke-i dan perlakuan penyiraman ke-j serta interaksi pemberian tutupan tanah ke-i dan perlakuan penyiraman ke-j µ : Rataan umum pertumbuhan bibit sukun αk : Pengaruh pemberian tutupan tanah ke-i βs : Pengaruh perlakuan penyiraman ke-j αβij : Pengaruh interaksi pemberian tutupan tanah bibit sukun ke-i dan perlakuan penyiraman bibit sukun ke-j εijk :Pengaruh galat pemberian tutupan tanah ke-i dan perlakuan penyiraman ke-j dari interaksi pemberian tutupan tanah ke-i dan perlakuan penyiraman ke-j pada setiap ulangan ke-k Prosedur Penelitian Kegiatan awal yang dilakukan sebelum penelitian adalah penyiapan bibit
sukun. Bibit sukun yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bibit yang berasal dari Lubuk Pakam. Bibit sukun yang digunakan merupakan perbanyakan vegetatif stek akar. Bibit yang digunakan merupakan bibit yang berumur seragam yaitu tiga bulan dan memiliki kesehatan serta keadaan fisik yang baik. Kegiatan selanjutnya adalah penanaman bibit sukun yang menggunakan media tanam berupa polybag berwarna hitam berukuran 40 x 50, diisi dengan top soil sebanyak 12 kg. Kegiatan pemberian mulsa dilakukan setelah penanaman bibit sukun dilakukan. Mulsa yang diberikan terbuat dari anyaman daun sawit dan diletakkan dipermukaan tanah bibit sukun (Artocarpus communis) sesuai dengan ketentuan yang ditentukan. Setelah pemberian mulsa organik anyaman daun sawit dilanjutkan dengan kegiatan penyiraman dengan beragam frekuensi yang berbeda. Penyiraman bibit sukun dilakukan dalam beberapa kategori frekuensi yaitu 1 hari sekali, 3 hari sekali, 5 hari sekali dan 7 hari sekali. Parameter Pengamatan Sebelum dilakukan pengamatan parameter, dilakukan terlebih dahulu pengambilan data tiap awal parameter. Jadi data yang diperoleh pada saat pengukuran parameter yang dikurangi terhadap data awal. Parameter yang diamati antara lain : a. Pertambahan tinggi (cm) Tinggi tanaman diukur mulai dari pangkal sampai titik tumbuh tertinggi dengan menggunakan benang dan penggaris. Pengamatan dilakukan dua minggu sekali. b. Diameter batang (mm) Diameter tanaman diukur dengan menggunakan jangka sorong yang diambil pada satu titik yang telah ditentukan. Pengukuran diameter dilakukan dipangkal batang yang kemudian diberi tanda. Pengamatan dilakukan dua minggu sekali. c. Jumlah daun (helai) Jumlah daun dihitung mulai dari daun yang paling bawah hingga daun yang berada disekitar pucuk tanaman yang sudah terbuka sempurna. Menghitung jumlah daun dilakukan pada akhir penelitian. d. Luas daun (cm2) Pengukuran luas daun diambil saat pengambilan data terakhir dari setiap bibit daun. Daun digambar pada kertas milimeter
kemudian dilakukan scanning untuk mendapatkan pengukuran luas dengan program Image J. e. Luas tajuk (cm2) Pengukuran luas tajuk diambil saat pengambilan data terakhir dari setiap bibit sukun. Tajuk diambil fotonya dilakukan scanning untuk mendapatkan pengukuran luas dengan program Image J. f. Kadar Air Daun (%) Pengukuran kadar air dilakukan pada akhir penelitian dengan menimbang daun pada setiap perlakuan kemudian diovenkan (70-
80ºC) selama 2 hari sehingga nanti memperoleh berat akhirnya. Dengan menggunakan rumus : 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝐾𝐴 = x 100% berat awal g. Panjang dan Bobot Kering Akar Untuk menganalisis akar dilakukan dengan cara membuka polybag agar tidak ada akar yang tertinggal. Lalu diukur panjang akar (cm) diukur dengan penggaris dari pangkal akar hingga ujung akar terpanjang dan bobot kering akar.
Pengamatan terhadap parameter pertambahan tinggi bibit sukun dilakukan selama lima bulan di rumah kaca. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, diperoleh data Hasil pertambahan tinggi bibit sukun yang disajikan Pertambahan Tinggi Bibit (cm) pada Tabel 1. Tabel 1. Pengamatan Pertumbuhan Tinggi (cm) Bibit Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit dan Penyiraman. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perlakuan Kontrol (M₀) Kerapatan 25% (M₁) Kerapatan 50% (M₂) Kerapatan 75% (M₃) Kerapatan 100% (M₄) Jumlah
Siram 1 hari sekali (S₁)
Siram 3 hari sekali (S₂)
Siram 5 hari sekali (S₃)
Siram 7 hari sekali (S₄)
Jumlah
Rata-rata
166,50
157,20
155,40
153,00
632,10
158,02 a
189,90
178,00
164,50
159,50
691,90
172,97 a
220,50
216,00
214,70
175,00
826,20
206,55 b
223,00
229,90
225,20
193,90
872,00
218 b
238,00
226,50
218,10
209,40
892,00
223 c
1037,90 1007,60 977,90 890,80 3914,20 Rata-rata 207,58 b 201,52 b 195,58 ab 178,16 a 782,84 Keterangan: Perlakuan yang diikuti notasi yang sama menandakan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata secara signifikan berdasarkan DMRT 5%. M0: kontrol, M1: kerapatan 25%, M2: kerapatan 50%, M3: kerapatan 75%, M4: kerapatan 100%, S1: penyiraman 1x1, S2: penyiraman 1x3, S3: penyiraman 1x5, S4: penyiraman 1x7
Tabel 1 menunjukkan bahwa pada pertambahan tinggi terdapat selisih dari setiap perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit dan faktor penyiraman. Pertambahan tinggi terbesar terdapat pada perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit dengan kerapatan 100% (M4) dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1 hari sekali (M4S1) yaitu sebesar 238 cm. Pertambahan tinggi terkecil terdapat pada bibit tanaman sukun dengan perlakuan kontrol dikombinasikan dengan penyiraman 7 hari sekali (M0S4) yaitu sebesar 153 cm. Berdasarkan uji sidik ragam, faktor kerapatan mulsa organik anyaman daun sawit dan
penyiraman berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan jumlah daun, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata.
Pertambahan Diameter Bibit Sukun (mm) Pengamatan terhadap parameter pertambahan diameter bibit sukun dilakukan selama lima bulan di rumah kaca. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, diperoleh data pertambahan diameter bibit sukun yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengamatan Pertumbuhan Diameter (cm) Bibit Sukun dengan Perlakuan Anyaman Daun Sawit dan Penyiraman. Perlakuan Kontrol (M₀) Kerapatan 25% (M₁) Kerapatan 50% (M₂) Kerapatan 75% (M₃) Kerapatan 100% (M₄) Jumlah
Siram 1 hari sekali (S₁) 27,4
Siram 3 hari sekali (S₂) 28,7
Siram 5 hari sekali (S₃) 26,1
Siram 7 hari sekali (S₄) 25
28,7
28,5
27,6
28,6
28,6
31,2
Mulsa Organik
Jumlah
Rata-rata
107,2
26,80
26,8
115,8
28,95
28,5
25,6
109,3
27,32
28,3
25,2
25,6
107,6
26,90
31,9
30,2
28,7
26,6
114,9
28,72
147,6
138,1
136,1
133
554,8
138,69
Rata-rata 29,5 27,6 27,2 26,6 111,0 Keterangan: M0: kontrol, M1: kerapatan 25%, M2: kerapatan 50%, M3: kerapatan 75%, M4: kerapatan 100%, S1: penyiraman 1x1, S2: penyiraman 1x3, S3: penyiraman 1x5, S4: penyiraman 1x7
Tabel 2 menunjukkan bahwa pertambahan diameter bibit sukun terbesar terdapat pada perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit dengan kerapatan 100% dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1 hari sekali (M4S1) yaitu sebesar 3,19 cm. Pertambahan diameter terkecil terdapat pada tanaman sukun dengan perlakuan kontrol
dengan penyiraman 7 hari sekali (M0S4) yaitu sekitar 2,50 cm. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa mulsa organik anyaman daun sawit, penyiraman serta interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter bibit sukun.
Pengamatan menunjukkan bahwa jumlah daun tanaman sukun terbanyak terdapat pada tanaman sukun dengan perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit kerapatan 100% dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1 hari sekali (M4S1) yaitu sekitar 26 helai daun. Pertumbuhan jumlah daun sukun terendah terdapat pada tanaman sukun yang diberi perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit kerapatan 0% atau perlakuan kontrol dengan perlakuan penyiraman 7 hari sekali (M0S4) yaitu sekitar 8 helai daun. Berdasarkan uji sidik ragam, faktor kerapatan mulsa organik anyaman daun sawit dan penyiraman
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan jumlah daun, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata. Uji Duncan yang dilakukan menyimpulkan bahwa mulsa dengan kerapatan M0, M1, M2, M3 tidak berbeda nyata secara signifikan, sedangkan M0 dengan M4 berbeda nyata secara signifikan. Berbeda dengan faktor penyiraman perlakuan S1 dengan S2 tidak berbeda nyata secara signifikan dan perlakuan S1 dan S4 berbeda nyata nyata secara signifikan.
Pengamatan menunjukkan bahwa luas daun tanaman sukun terdapat perbedaan yang cukup jauh untuk setiap perlakuan. Luas daun tertinggi terdapat pada tanaman sukun diberi perlakuan mulsa anyaman daun sawit kerapatan 100% dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1 hari sekali yaitu seluas 1756,38cm² (M4S1). Luas daun terendah terdapat pada tanaman sukun yang diberi perlakuan anyaman daun sawit kerapatan 0% atau kontrol dengan perlakuan penyiraman 7
hari sekali (M1S4) yaitu seluas 616,03 cm². Berdasarkan Uji DMRT 5% dapat disimpulkan bahwa M0 dan M4 berbeda nyata secara signifikan, dan S1 dan S4 berbeda nyata secara signifikan. Luas Tajuk (cm2) Pengukuran terhadap parameter luas tajuk bibit sukun dilakukan pada akhir penelitian. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, diperoleh data luas tajuk bibit sukun yang disajikan pada Tabel 5.
Pertambahan Jumlah Daun (Helai)
Luas Daun (cm2)
Tabel 5. Pengamatan Luas Tajuk (cm2) Bibit Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit dan Penyiraman. Perlakuan
Siram 1 hari sekali (S₁)
Siram 3 hari sekali (S₂)
Siram 5 hari sekali (S₃)
Siram 7 hari sekali (S₄)
Jumlah
Rata-rata
Kontrol 7975,06 7776,81 6944,08 5906,25 28602,2 (M₀) 7150,55 a Kerapatan 8624,50 7073,99 7847,83 6380,38 29926,7 7481,67 a 25% (M₁) Kerapatan 10528,56 8521,70 8057,86 6765,79 33873,91 8468,47 a 50% (M₂) Kerapatan 10254,63 16195,07 9025,52 8872,74 6925,18 41018,51 b 75% (M₃) Kerapatan 10569,89 100% 16674,25 9019,43 8885,81 7700,05 42279,54 b (M₄) Jumlah 59997,44 41417,45 40608,32 33677,65 175700,9 Rata-rata 11999,49 c 8283,49 b 8121,66 a 6735,53 a Keterangan: Perlakuan yang diikuti notasi yang sama menandakan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata secara signifikan berdasarkan DMRT 5%. M0: kontrol, M1: kerapatan 25%, M2: kerapatan 50%, M3: kerapatan 75%, M4: kerapatan 100%, S1: penyiraman 1x1, S2: penyiraman 1x3, S3: penyiraman 1x5, S4: penyiraman 1x7
Tabel 5 menunjukkan luas tajuk tertinggi pada tanaman sukun dengan pemberian mulsa organik anyaman daun sawit kerapatan 100% dan perlakuan penyiraman 1 hari sekali seluas 16674,25 cm² (M4S1), sedangkan luas tajuk terendah terdapat pada tanaman sukun dengan perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit kerapatan 0% dengan perlakuan penyiraman 7 hari sekali (M0S4) seluas 5906,25 cm². Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit serta penyiraman berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit
sukun. Berdasarkan Uji lanjutan (DMRT 5%) dapat disimpulkan bahwa perlakuan M0 dengan M4 berbeda nyata secara signifikan, dan faktor penyiraman S1 dengan S4 berbeda nyata secara signifikan.
Tabel 6 menunjukkan bahwa parameter panjang akar tertinggi terdapat pada perlakuan tanaman sukun yang diberi mulsa organik anyaman daun sawit kerapatan 100% dengan perlakuan penyiraman 1 hari sekali (M4S1) dengan panjang yaitu 255,82 cm. Panjang akar terpendek ditemukan pada tanaman sukun dengan perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit kerapatan 0% yaitu kontrol (M0S4) sepanjang 139 cm. Berdasarkan Uji Sidik Ragam menunjukkan bahwa faktor mulsa dan penyiraman berpengaruh nyata, sehingga dilanjutkan
dengan uji DMRT 5%. Uji DMRT menyimpulkan bahwa faktor mulsa M0 dan M1 tidak berbeda nyata secara signifikan sedangkan M0 dengan M4 berbeda nyata secara signifikan. Faktor penyiraman S1 dan S4 berbeda nyata secara signifikan.
Panjang Akar (cm) Pengamatan terhadap parameter panjang akar bibit sukun dilakukan pada akhir penelitian. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, diperoleh data panjang akar bibit sukun yang disajikan pada Tabel
Bobot Kering Akar (gr) Pengamatan terhadap parameter bobot kering akar bibit sukun dilakukan pada akhir penelitian. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, diperoleh data bobot kering akar bibit sukun yang disajikan pada tabel 7.
Tabel 7. Pengukuran Bobot Kering Akar (gr) Bibit Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit dan Penyiraman. Perlakuan Kontrol (M₀) Kerapatan 25% (M₁) Kerapatan 50% (M₂) Kerapatan 75% (M₃) Kerapatan 100% (M₄) Jumlah
Siram 1 hari sekali (S₁) 256,00
147,40
Siram 5 hari sekali (S₃) 118,67
Siram 7 hari sekali (S₄) 83,87
301,39
149,18
141,46
136,95
728,98
307,00
261,45
225,02
183,18
976,65
316,37
306,09
255,27
189,32
1067,05
321,73
312,12
254,53
200,29
1088,67
1502,49
1176,24
994,95
793,61
4467,29
Siram 3 hari sekali (S₂)
Jumlah
Rata-rata
605,94
151,48 a 182,24 a 244,16 b 266,76 b 272,16 b
Rata-rata 300,498 b 235,248 ab 198,99 a 158,722 a 893,458 Keterangan: Perlakuan yang diikuti notasi yang sama menandakan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata secara signifikan berdasarkan DMRT 5%. M0: kontrol, M1: kerapatan 25%, M2: kerapatan 50%, M3: kerapatan 75%, M4: kerapatan 100%, S1: penyiraman 1x1, S2: penyiraman 1x3, S3: penyiraman 1x5, S4: penyiraman 1x7
Tabel 7 menunjukkan bahwa bobot bahwa faktor M0:M1 tidak berpengaruh nyata kering akar terbesar terdapat pada tanaman secara signifikan,, sedangkan M0: M2: M3:M4 sukun dengan perlakuan mulsa organik berbeda nyata secara signifikan. Faktor anyaman daun sawit kerapatan 100% dengan penyiraman S1: S2 tidak berbeda nyata secara penyiraman 1 hari sekali (M4S1). Bobot kering signifikan sedangkan S1: S4 berbeda nyata akar terendah terdapat pada tanaman sukun secara signifikan. dengan perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit kerapatan 0% atau kontrol Kadar Air Daun (%) dikombinasikan dengan penyiraman 7 hari Pengamatan terhadap parameter kadar sekali (M0S4) yaitu 83,87gr. Berdasarkan uji air daun bibit sukun dilakukan melalui proses sidik ragam, perlakuan mulsa organik anyaman pengovenan pada akhir penelitian. Berdasarkan daun sawit dan penyiraman berpengaruh nyata pengamatan yang dilakukan, diperoleh data terhadap bobot kering akar, sedangkan pertambahan tinggi bibit sukun yang disajikan interaksi dari keduanya tidak berpengaruh pada Tabel 8. nyata. Uji lanjutan DMRT 5% menunjukkan Tabel 8. Pengukuran Kadar Air Daun (%) Bibit Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit dan Penyiraman. Perlakuan Kontrol (M₀) Kerapatan 25% (M₁) Kerapatan 50% (M₂) Kerapatan 75% (M₃) Kerapatan 100% (M₄) Jumlah
36,42
Siram 5 hari sekali (S₃) 25,47
Siram 7 hari sekali (S₄) 21,90
60,7
46,71
32,14
22,61
162,16
65,47
50
33,74
33,36
182,57
72,61
58,09
57,14
42,85
230,69
86,42
61,42
59,28
52,85
259,97
340,43
252,64
207,77
173,57
974,41
Siram 1 hari sekali (S₁)
Siram 3 hari sekali (S₂)
55,66
Jumlah
Rata-rata
139,02
34,75 a 40,54 a 45,64 a 57,67 b 64,99 c
Rata-rata 68,08 c 50,52 bc 41,55 ab 34,71 a 194,88 Keterangan: Perlakuan yang diikuti notasi yang sama menandakan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata secara signifikan berdasarkan DMRT 5%. M0: kontrol, M1: kerapatan 25%, M2: kerapatan 50%, M3: kerapatan 75%, M4: kerapatan 100%, S1: penyiraman 1x1, S2: penyiraman 1x3, S3: penyiraman 1x5, S4: penyiraman 1x7
Tabel 8 menunjukkan bahwa kadar air daun tertinggi terdapat pada tanaman sukun dengan perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit kerapatan 100% dengan penyiraman 1 hari sekali (M4S1) yaitu 86,42%, sedangkan kadar air terendah dimiliki oleh tanaman sukun dengan perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit kerapatan 0% dengan penyiraman 7 hari sekali (M0S4) yaitu 21,90%. Berdasarkan uji lanjutan DMRT 5%, faktor mulsa M0:M1:M2 tidak berbeda nyata secara signifikan, sedangkan M0:M3:M4 berbeda nyata secara signifikan. Faktor penyiraman menunjukkan bahwa S₁:S2:S3:S₄ berbeda nyata secara signifikan. Pembahasan Berdasarkan hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa mulsa organik anyaman daun sawit berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi, jumlah daun, luas daun, luas tajuk, panjang akar, bobot kering akar dan kadar air daun. Mulsa organik anyaman daun sawit menunjukkan pengaruh nyata yang mendukung pertumbuhan tanaman dengan baik terhadap setiap parameter. Mulsa organik berperan sebagai media penahan air yang menjaga kestabilan suhu dan kelembaban tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Umboh (2002) bahwa mulsa adalah material penutup tanaman budidaya yang dimaksudkan untuk menjaga kelembaban tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit sehingga membuat tanaman tersebut tumbuh dengan baik. Pertumbuhan tinggi dipengaruhi oleh penggunaan mulsa sebagai penutup tanah yang berpotensi mengurangi laju evaporasi di rumah kaca. Pertambahan tinggi bibit sukun menunjukkan bahwa mulsa organik mendukung pertumbuhan primer yang optimal selama perkembangan titik tumbuh bibit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hamdani (2009) bahwa salah satu pendekatan untuk mengatasi kehilangan air akibat evaporasi adalah dengan cara pemberian mulsa. Mulsa merupakan material penutup tanah tanaman budidaya yang dimaksudkan untuk menjaga kelembaban tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik dan optimal. Struktur penyusun mulsa anyaman daun sawit yang merupakan bahan organik yang bisa terdekomposisi menyebabkan tanah
mendapatkan unsur hara dari proses pelapukan yang mendukung pertumbuhan tanaman. Pertambahan jumlah daun dipengaruhi oleh unsur hara dan pemberian air yang cukup untuk proses fotosintesis yang dimulai dari akar menuju daun. Pemakaian mulsa organik anyaman daun sawit mampu memperbaiki struktur tanah menjadi lebih gembur dan meningkatkan kadar humus tanah, karena mulsa organik bersifat lapuk dan membusuk. Pembusukan dari mulsa ini bisa menambah unsur hara pada tanah dan berpengaruh pada kesuburan tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rukmana (2005), bahwa pemberian mulsa organik pada tanah akan pengaruh yang baik bagi perbaikan sifat fisik tanah, meningkatkan penyerapan air tanah, mengurangi kisaran suhu dan dapat mengurangi kisaran suhu tanah dan dapat mengendalikan pertumbuhan gulma, mempertinggi kadar humus tanah dan memperbaiki aerasi dan drainase tanah sehingga akar dapat berkembang dengan baik dan pertumbuhan tanaman akan lebih subur. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit berpengaruh baik terhadap setiap parameter jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa mulsa atau kontrol. Hal ini disebabkan oleh terjadinya penguapan air tanah dalam laju yang cukup tinggi dalam rumah kaca. Suhu tinggi dalam rumah kaca menyebabkan laju evaporasi tinggi pada penyiraman 7 kali sehari. Hal ini menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman sukun baik dari pertambahan tinggi, luas daun, luas tajuk dan jumlah daun yang menyebabkan menurunnya produktivitas fotosistesis dalam distribusi asimilat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Syaifuddin dan Pranowo (2007) yang menyatakan bahwa, perlakuan tanpa mulsa menyebabkan perubahan kandungan air tanah cukup besar, sehingga terjadi defisit air yang menghambat pertumbuhan tinggi tanaman. Cekaman air akan menyebabkan suhu daun meningkat, stomata menutup, dan fotosintesis menurun, sebagai akibatnya respirasi meningkat yang dapat mengurangi hasil asimilasi netto. Bobot kering akar menunjukkan pada penyiraman 1 hari sekali lebih tinggi jika dibandingkan dengan penyiraman 3 hari sekali, 5 hari sekali dan 7 hari sekali. Bobot kering akar memiliki hubungan yang sejalan dengan
pertumbuhan luas daun sebagai tempat terjadinya proses fotosintesis dan distribusi asimilat keseluruh tubuh tanaman. Penurunan bobot kering akar pada penyiraman 7 hari sekali disebabkan oleh menurunnya kapasitas penyerapan hara dan air oleh akar tanaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sakya et al (2015) bahwa penyiraman 12 hari menghasilkan berat kering yang lebih rendah daripada penyiraman 2 hari sekali, namun demikian tidak mempengaruhi pembagian asimilat ke bagian tanaman. Terbentuknya asimilat yang lebih rendah pada penyiraman 12 hari sekali disebabkan pada kondisi kering diduga terjadi penurunan penyerapan air per unit massa akar dan mungkin juga serapan hara berkurang. Akar adalah bagian dari tanaman yang mempunyai fungsi penting sebagai penyerap air dan unsur hara, menyimpan cadangan makanan dan menopang bagian tumbuhan. Potensi pertumbuhan akar perlu dicapai sepenuhnya untuk mendapatkan potensi pertumbuhan bagian atas tanaman yang seimbang. Panjang akar akan meningkat pada kondisi cekaman air menyebabkan akar berusaha mencari air dengan proses pemanjangan tudung akar. Hal ini disesuaikan dengan fisiologis tumbuhan yang berhubungan dengan pergerakan akar yang menancap ditanah untuk mencari air. Hal ini sesuai pernyataan Samyuni et al., (2015) bahwa tanaman pada kondisi cekaman kekeringan akan lebih banyak menggunakan unsur hara untuk proses pertumbuhan terutama pemanjangan akar. Pendeknya akar pada suatu tanaman akar berpengaruh pada pertumbuhan bagian lain tanaman diantara nya diameter dan luas tajuk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guritno dan Sitompul (1995) bahwa tanaman yang tumbuh dalam keadaan kurang air akan membentuk akar yang lebih banyak dengan hasil yang lebih rendah dari tanaman yang tumbuh dalam cukup air. Proses penyiraman tanaman sukun sesuai interval yang sudah ditentukan berpengaruh nyata untuk setiap perlakuan pada tanaman sukun. Penyiraman 1 hari sekali dapat meningkatkan kadar lengas tanah dan mendukung pertumbuhan tanaman dalam proses fotosintesis yang terjadi pada daun hijau. Penyiraman 7 hari sekali menghambat pertumbuhan tanaman sukun untuk semua parameter pengamatan akibat terhambatnya
proses pelarutan unsur hara dan penyerapan ion-ion mineral tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Setiawan et al (2013) bahwa penyiraman dengan interval 9 hari sekali menurunkan kadar lengas tanah sekitar 51,2% dibandingkan penyiraman setiap hari dan penyebabkan tanaman mengalami cekaman kekeringan. Interval penyiraman 7 hari sekali berdampak buruk pada pertumbuhan tanaman, tetapi dari data yang disajikan bibit sukun tidak ada yang mengalami kematian, hanya terhambatnya pertumbuhan yang ditunjukkan dengan keadaan layu untuk penyiraman 7 hari sekali. Hal ini membuktikan bahwa bibit sukun masih toleran terhadap kekeringan selama 7 hari dan layu dalam keadaan kapasitas lapang atau layu sepanjang hari. Namun setelah disiram kembali tanaman sukun akan segar sesuai dengan jumlah air yang diberikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dwijoseputro (2009) bahwa kalau sepanjang hari penguapan terus menerus lebih hebat daripada peresapan air oleh akar, maka tanaman tersebut ada di dalam keadaan layu sepanjang hari. Jika pada malam hari pemasukan air lebih banyak dari pengeluaran, maka pulihlah turgor dan tanaman tampak segar lagi. Cekaman kekeringan menyebabkan keadaan layu sementara pada tanaman sukun yang memiliki waktu sekitar 7 hari. Suhu yang tinggi di rumah kaca menyebabkan proses evaporasi berlangsung sangat cepat pada siang hari sehingga proses kehilangan air lebih cepat dari biasanya. Sel-sel mesofil tumbuhan mengalami terhambatnya metabolisme tetapi bersifat sementara (layu), daun tanaman sukun juga mengalami penutupan stomata untuk menurunkan konsentrasi CO2. Sukun bersifat toleran terhadap cekaman kekeringan, buktinya sukun dapat hidup pada curah hujan yang sedikit jika di alam dan tumbuh baik di tempat yang lebih panas, sesuai pernyataan Irwanto (2006), bahwa sukun juga toleran terhadap curah hujan yang sedikit maupun curah hujan yang tinggi antara 80-100 inchi pertahun dengan kelembaban 60 - 80%, namun lebih sesuai pada daerah-daerah yang cukup banyak mendapat penyinaran matahari. Tanaman sukun tumbuh baik di tempat yang lembah panas, dengan temperatur antara 15 - 38 °C. Oleh karena itu tanaman sukun bisa kembali pulih dari layu sementara jika diberikan air setelah hari ke 7. Hal ini membuktikan bahwa
sukun toleran terhadap kekeringan yang fungsi metabolisnya pulih setelah peningkatan potensi air. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sopandie (2014) bahwa berbeda hal nya dengan tanaman yang toleran, umumnya mampu menghadapi cekaman air dengan mengurangi fungsi metabolis yang dilanjutkan berfungsi kembali setelah terjadi peningkatan potensial airnya pada sel.
we stand? Biological Conservation 143, 2937 – 2944. Dwijoseputro, D. 2009. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia. Jakarta. Fithriadi, R. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering di Indonesia; Kumpulan Informasi. Hal 80-81. Jakarta: Pusat Penyuluhan Kehutanan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.
2.
3.
Perlakuan interaksi antara mulsa organik anyaman daun sawit dan penyiraman tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan bibit sukun (Artocarpus communis). Perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit terhadap tanaman sukun memberikan pengaruh terhadap parameter-parameter yang diamati antara lain: tinggi, jumlah daun, luas daun, luas tajuk,panjang akar, bobot kering akar dan kadar air daun. Perlakuan penyiraman terhadap tanaman sukun memberikan pengaruh terhadap parameter yang diamati antara lain: tinggi, jumlah daun, luas daun, luas tajuk, panjang akar, bobot kering akar dan kadar air daun.
Saran Perlu adanya penelitian lanjutan terhadap mulsa organik anyaman daun sawit dengan jarak kerapatan mulsa yang lebih jauh jarak persentasenya dan frekuensi penyiraman terlama selama di rumah kaca.
Foth, H.D., 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Diterjemahkan oleh Dr.Soenartono Adisoemarto, Ph.D. Penerbit Erlangga. Jakarta. Guritno, B. dan Sitompul, S. M. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman.UGM Press. Yogyakarta. Hamdani, 2009. Pengaruh Jenis Mulsa terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tiga Kultivar Sawi (Brassica juncea L.) yang Ditanam di Dataran Medium. Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. Bandung.. Irwanto, 2006. Pengembangan tanaman sukun. Diakses dari http://www.irwantoshut .com. [ 13 November 2015] [ 07.20 Wib]. Jasminarni. 2008. Pengaruh Jumlah Pemberian Air Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Selada (Lactuca Sativa L) Di Polybag. ISSN 1410-1939. Jurnal Agronomi Vol. 12 No. 1, Januari - Juni 2008.
Alrasyid, H. 1993. Pedoman penanaman sukun (Arthocarpus altilis Forsberg). Informasi teknis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Marliah, A. Nurhayati, dan Susilawati, D. 2011. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik dan Jenis Mulsa Organik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai (Glycine max (l.) Merrill). Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian. Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh. J. Floratek 6: 192 - 201.
Davidar, P., Sahoo, S., Mammen, P. C., Acharya, P., Puyravaud, J.P., Arjunan, M., Garrigues, J. P., Roessingh, K. 2010. Assesing the extent and causes of forest degradation in India : Where do
Newman, M. E., McLaren, K.P., and Wilson, B. S. 2014. Assessing deforestation and fragmentation in a tropical moist forest over 68 years; the impact of roads and legal protection in the Cockpit Country,
DAFTAR PUSTAKA
Jamaica. Forest Ecology Management 315, 138-152.
and
Rukmana, R. 2005. Sistem Mulsa. Yayasan Kanisius. Jakarta. Samyuni, Edi Purwanto, Supriyadi. 2015. Toleransi Varietas Padi Hitam (Oryza sativa l. Indica) pada Berbagai Tingkat Cekaman Kekeringan. Prodi Agronomi Pascasarjana UNS. Semarang . Sakya, AT, Sulistyaningsih E, Indradewa, D, dan Purwanto, BH. 2015. Tanggapan Distribusi Asimilat dan Luas Daun Spesifi Tanaman Tomat terhadap Aplikasi ZnSO4 pada Dua Interval Penyiraman (Assimilate Distribution and Specifi Leaf Area of Tomato Plants in Response to ZnSO4 Application Under Two Watering Interval). Fakultas Pertanian UGM, Jln. Sosio Yustisia Bulak Sumur. Yogyakarta. Setiawan, Tohari, Shiddieq, J .2013. Pengaruh Cekaman Kurang Air terhadap Beberapa Karakter Fisiologis Tanaman Nilam (Pogostemon cablin Benth)’, Jurnal Litri, Vol. 19, no. 3, hlm. 108-16. Sopandie. D. 2014. Fisiologi Adaptasi Tanaman Terhadap Cekaman Abiotik Agroekosistem Tropika. IPB Press. Bandung. Subhan dan Sumarna, A. 1994. Pengaruh Dosis Fosfat dan Mulsa terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kubis (Brassica oleraceae var. Capitata L. Cv. Gloria ocena). Bul. Penel. Hort. 27(4):80-90. Suyanti, S., Widowati dan Suismono. 2003. Teknologi Pengolahan Tepung Sukun dan Pemanfaatannya Untuk Berbagai Produk Makanan Olahan. Jurnal Warta Penelitian Pengembangan Pertanian 25 (2): 12-13. Syaifuddin, Pranowo. D, 2007. Pengaruh Interfal Pemberian Air dan Pemberian Mulsa terhadap Pertumbuhan dan Pembungaan Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri.
Umboh, A.H. 2002. Petunjuk Penggunaan Mulsa. PT Penebar Swadaya. Jakarta.