PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROBLEM SOLVING TERHADAP KEMAMPUAN METAKOGNISI SISWA KELAS X MAN 3 MALANG POKOK BAHASAN SUHU DAN KALOR
Reni Apriani, Agus Suyudi, Sujito Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Malang (UM) email:
[email protected] ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan metakog-nisi dan keterampilan metakognisi siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran berbasis problem solving dan siswa yang dibelajarkan dengan pembelajaran konven-sional. Penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan rancangan Posttest Only Group Design. Variabel penelitian meliputi variabel bebas (model pembelajaran) dan variabel terikat (kemampuan metakognisi). Sampel diambil dengan teknik purposive sampling. Hipotesis dengan uji-t untuk mengetahui perbedaan kemampuan dan keterampilan metakognisi siswa kelas eksperimen dengan model pembelajaran berbasis problem solving dan kelas kontrol dengan pembelajaran konvensional. Data yang diperoleh adalah data kemampuan metakognisi siswa dari tes yang berkonten fisika dan data keterampilan metakognisi dari angket. Hasil uji hipotesis pada kemampuan dan keterampilan metakognisi menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kesimpulan penelitian ini adalah model pembelajaran berbasis problem solving belum berpengaruh secara positif terhadap kemampuan dan keterampilan metakognisi siswa kelas X MAN 3 Malang Pokok Bahasan Suhu dan Kalor. Kata kunci : problem solving, metakognisi
a. Studi pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kemampuan metakognisi siswa pada pembelajaran fisika pokok bahasan Suhu dan Kalor yang dibelajarkan dengan sistem Kurikulum 2006. Studi pendahuluan dilakukan di MAN 3 Malang dengan menyebarkan angket secara acak kepada siswa kelas XII IPA yang telah menempuh pembelajaran fisika pokok bahasan Suhu dan Kalor. Hasil angket studi pendahuluan diperoleh 81% siswa pernah melakukan kegiatan yang melibatkan kemampuan metakognisi, seperti menentukan strategi belajar fisika yang tepat, cara mengatasi kesulitan belajar fisika dan merencanakan kegiatan pemecahan masalah. Namun, hanya 34% siswa mengoreksi jawaban, 32% siswa mengulang kembali materi fisika yang belum dipahami dan 43% siswa sudah melakukan langkah-langkah yang tepat untuk memecahkan permasalahan fisika. b. Hasil angket pada aspek kegiatan pembelajaran diperoleh 84% siswa menyatakan kegiatan pembelajaran fisika didominasi dengan mendengarkan penjelasan guru. Hasil wawancara dengan guru kelas X diperoleh bahwa kegiatan pembelajaran di dalam kelas sudah menggunakan pendekatan dengan contoh
1
2
kontekstual ketika mengawali pelajaran, namun siswa jarang melakukan kegiatan praktikum terutama pada subbab Asas Black. c. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa kesadaran siswa pada proses berpikirnya (kemampuan metakognisi) belum optimal dengan model pembelajaran fisika yang diterapkan pada pokok bahasan Suhu dan Kalor terutama untuk keterampilan merencanakan, mengevalusi dan memonitor. d. Mengaktifkan kesadaran siswa pada kegiatan metakognitif dapat dilakukan dengan mengkondisikan kelas dalam suatu kegiatan pembelajaran yang berpusat pada pengetahuan, siswa dan penilaian pembelajaran sebagai kegiatan refleksi (Darling, 2008: 162). Kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa sesuai dengan karakteristik pembelajaran pada Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013. Kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa dapat dilakukan dengan kegiatan pemecahan masalah (problem solving). Strategi pemecahan masalah dapat meningkatkan metakognisi dan pengaturan diri (self-regulation), karena dengan strategi ini siswa dapat menggunakan sumber yang terbatas dan memecahkan masalah secara lebih efektif (Schraw, 2006). e. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Luis Tirtasanjaya, dkk tahun 2011 dengan judul “Student’s Metacognitive Problem Solving Strategies in Solving Open-ended Problem in Pairs” adalah siswa memberikan respon positif pada permasalahan open-ended, dan siswa memberikan respon positif pada kepercayaan untuk memecahkan masalah dengan melibatkan kemampuan metakognisi siswa yang dilakukan secara berpasangan, strategi metakognisi dalam pemecahan masalah dapat terbangun melalui interaksi secara berpasangan. Hasil penelitian peran metakognisi dalam pemecahan masalah matematika menunjukkan metakognisi penting dalam pemecahan masalah karena memberikan peluang untuk merancang tujuan dan melakukan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan selama pemecahan masalah (Biryukov, 2009). f. Berdasarkan uraian hasil penelitian sebelumnya diperoleh bahwa kegiatan problem solving dapat mempengaruhi secara positif kemampuan metakognisi siswa. Model pembelajaran yang berbasis problem solving diterapkan untuk memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan metakognisi siswa MAN 3 Malang. Topik Suhu dan Kalor dipilih karena permasalahan pada topik ini
3
beragam dan penyelidikan permasalahan dapat dilakukan dengan kegiatan praktikum serta langkah-langkah penyelesaian permasalahan atau persoalan harus dilakukan secara runtut. g. Model pembelajaran berbasis problem solving merupakan model yang terdiri dari beberapa langkah yang meliputi : (1) Orientasi siswa terhadap masalah (2) Pengorganisasian siswa untuk belajar (3) Siswa melakukan investigasi secara mandiri atau kelompok. Pada langkah ini siswa diarahkan untuk melakukan strategi metakognisi yaitu : (a) Predicting Outcomes dengan menggambarkan fenomena fisika terlebih dahulu, baik dalam bentuk gambar, diagram maupun penjelasan dengan kalimat. (b) Selecting strategies dengan memutuskan suatu strategi misalnya konsep fisika, besaran fisika dan persamaan apa yang digunakan untuk memecahkan permasalahan. (c) Using direct or selective thinking dengan menggunakan langkah yang runtut dalam menyelesaikan permasalahan. Termasuk di dalamnya adalah melakukan perhitungan dengan teliti ketika melakukan pemecahan masalah. (4) Mengembangkan dan menampilkan solusi yang ditemukan. Sebagai tindak lanjut dalam pemecahan masalah dengan strategi metakognisi, siswa berdiskusi dengan teman atau guru untuk mengoreksi solusi permasalahan (Using discourse) (5) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Pada langkah ini, siswa memperbaiki pekerjaan mereka setelah menerima umpan-balik (Revising). Selanjutnya siswa melakukan review dari pekerjaan yang dilakukan untuk menentukan kelebihan dan kekurangan dalam pekerjaan mereka (evaluating work). Langkah akhir dari strategi metakognisi adalah siswa merefleksikan kegiatan belajarnya dan menilai seberapa baik kegiatan pemecahan masalah yang telah dilakukan (self assesing).
METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan adalah kuasi-eksperimen dengan rancangan Posttest Only Control Group Design. Tabel 3.1 Rancangan Penelitian KE
XE
OE 1
KK
XK
OK 1
4
Keterangan: KE : Kelas eksperimen dengan model pembelajaran berbasis problem solving KK : Kelas kontrol dengan pembelajaran konvensional. OE 1 : Postest kemampuan metakognisi OK 1 : Postest kemampuan metakognisi XE : Perlakuan model pembelajaran berbasis problem solving XK : Perlakuan pembelajaran konvensional Penelitian ini menggunakan satu kelompok kontrol dan satu kelompok eksperimen. Sampel penelitian adalah siswa kelas X IPA 1 sebagai kelas kontrol dan X IPA 2 sebagai kelas eksperimen. Sampel penelitian berjumlah 52 siswa terdiri dari 25 siswa kelompok eksperimen dan 27 siswa kelompok kontrol. Variabel yang diamati pada kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah kemampuan metakognisi siswa. Berdasarkan hipotesis penelitian digunakan satu variabel bebas yaitu model pembelajaran dan kemampuan metakognisi sebagai variabel terikat.
HASIL Keterlaksaan pembelajaran dalam penelitian ini dinilai dari keterlaksaan pembelajaran sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah dibuat. Hasil rekapitulasi data tersebut menunjukkan bahwa keterlaksanaan pembelajaran pada pertemuan pertama rata-rata keterlaksanaan pembelajaran 84,6% pertemuan kedua 83,5%. Pertemuan ketiga rata-rata keterlaksanaan pembelajaran 83,3% dan pertemuan keempat 83,9%. Pada pertemuan kelima dilaksanakan post-test untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol. Rata-rata skor tes kemampuan metakognisi siswa kelas eksperimen adalah 73 dan rata-rata skor tes kemampuan metakognisi adalah 72. Rata-rata skor angket keterampilan metakognisi kelas eksperimen adalah 94 dan rata-rata kelas kontrol adalah 93. Rata-rata persentase skor lembar self-assessment siswa kelas eksperimen adalah 90,19% dan rata-rata persentase kelas kontrol adalah 88,65%. Hasil perhitungan kemampuan metakognisi diperoleh nilai ttabel = 1,6905 dan thitung = 0,3143. Karena thitung < ttabel maka H0 diterima dan Ha belum didukung oleh data. Tidak terdapat perbedaaan signifikan kemampuan metakognisi siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran berbasis problem solving dan model pembelajaran konvensional. Keterampilan metakognisi diperoleh nilai ttabel
5
= 1,6905 dan thitung = 0,4538. Karena thitung < ttabel maka H0 diterima dan Ha belum didukung oleh data. Tidak terdapat perbedaaan signifikan keterampilan metakognisi siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran berbasis problem solving dan model pembelajaran konvensional.
PEMBAHASAN Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Problem Solving Berdasarkan hasil lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran diketahui bahwa pelaksanaan pembelajaran dalam kategori baik. Namun, berdasarkan evaluasi kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan guru model kurang optimal. Guru model belum bisa menguasai kelas dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan pengaturan waktu dalam tahapan pembelajaran belum sesuai dengan RPP. Akibatnya, pada pertemuan pertama tahapan pembelajaran harus dilanjutkan pada pertemuan kedua. Hal ini berpengaruh pada alokasi waktu pada pertemuan kedua. Hasil evaluasi menunjukkan terjadi bias pada pembelajaran yang dilakukan guru model pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Pada tahap investigasi kelompok siswa kelas eksperimen melakukan pemecahan masalah dan soal dengan berdiskusi. Sedangkan pada kelas kontrol tahap evaluasi juga dilaksanakan latihan soal yang menambah pengalaman siswa dalam memecahkan masalah meskipun permasalahan yang diberikan anatara kelas kontrol dan eksperimen berbeda. Hal inilah yang menyebabkan belum terdapat perbedaan kemampuan metakognisi siswa pada kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Guru masih belum optimal dalam mengajak siswa untuk “think aloud” dalam penerapan strategi metakognisi siswa. Kegiatan “think aloud” misalnya siswa mengungkapkan langkah-langkah dalam pemecahan masalah yang dilakukan secara verbal. Permasalahan yang diberikan pada tahap orientasi masalah haruslah mempunyai kompleksitas yang baik untuk didiskusikan dalam kelompok (Arends, 2012). Pada penerapannya, masalah yang kompleks membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pemecahannya. Sehingga investigasi yang dibutuhkan membutuhkan waktu yang lebih lama. Hal ini sangat berpengaruh pada kelas eksperimen, karena satu dari tiga jam pelajaran yang tersedia terpotong oleh jam istirahat. Sehingga satu jam pelajaran sebelum istirahat belum cukup efektif.
6
Siswa belum memahami penggunaan strategi pemecahan masalah yang tepat baik untuk permasalahan maupun persoalan yang mirip. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Polina Biryukov, 2009 menemukan bahwa siswa gagal menerapkan strategi yang tepat untuk permasalahan yang hampir sama. Karena siswa hanya sebatas mengingat strategi bukan memahami strategi. Tahap investigasi dalam kelompok, siswa dibimbing untuk melakukan pemecahan masalah dengan langkah-langkah yang memuat strategi metakognisi. Perlu pembiasaan yang lebih lama untuk penerapan strategi metakognisi, sehingga selama penelitian masih ditemukan siswa yang tidak menerapkan strategi metakognisi dalam memecahkan masalah. Hal ini berpengaruh pada perolehan informasi kemampuan metakognisi siswa. Hal ini juga disampaikan oleh Luis Tirtasanjaya dalam penelitiannya bahwa keterbatasan waktu dalam proses pemecahan masalah mempengaruhi perolehan informasi kemampuan metakognisi siswa. Pelaksanaan pembelajaran berbasis problem solving yang dilaksanakan pada penelitian ini selama 4 kali pertemuan dalam 4 minggu. Waktu ini kurang optimal untuk dapat memperoleh perubahan positif kemampuan metakognisi siswa. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cemal Tosun (2013) yaitu PBL tidak berpengaruh pada pengetahuan prosedural, pengetahuan kondisional, keterampilan merencanakan, memantau dan mengevaluasi siswa karena implementasi PBL hanya terbatas selama 5 minggu. Periode ini tidak cukup untuk berharap pengaruh perubahan positif pada strategi dan informasi metakognitif. Siswa memahami prosedur dari PBL tetapi mereka membutuhkan waktu untuk memperoleh pengalaman dengan metode pembelajaran ini (Tarhan, Ayar-Kayali, Ozturk-Urek dan Acar dalam Tosun, 2013). Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Kevin Downing (2010), maka terlihat pengaruh antara lamanya pemberian perlakuan dengan perubahan positif yang diharapkan. Penelitian Kevin Downing dilakukan selama 15 bulan pemberian perlakuan dengan jumlah sampel 132 siswa untuk memperoleh informasi peningkatan kemampuan metakognisi secara lengkap. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa siswa yang dibelajarkan dengan problem-based learning
7
memperoleh skor LASSI (Learning And Study Strategies Inventory) yang lebih tinggi dan kemampuan akademik yang meningkat. Strategi metakognisi yang diterapkan dalam pemecahan masalah untuk melatih kemampuan metakognisi siswa tidak dapat berdiri sendiri pada satu mata pelajaran. Studi kasus yang dilakukan Case dan Gunstone pada tahun 2002 memberikan catatan bahwa untuk melatihkan kemampuan metakognisi pada siswa adalah dengan melatihkan kemampuan metakognisi pada seluruh mata pelajaran (Case; Gunstone dalam Fouche, 2011). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Roberts dan Erdos dalam jurnal ilmiah dengan judul Do Metacognitive Strategies Improve Student Achievment in Secondary Science Classrooms? bahwa diperlukan kurikulum yang mempunyai struktur untuk membelajarkan strategi metakognisi dan berbagai variasi penerapannya agar dapat melatih kemampuan metakognisi siswa.
Kemampuan Metakognisi Siswa Hasil analisis data kemampuan metakognisi siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol menunjukkan belum ada perbedaan yang signifikan. Hasil penelitian yang dilakukan belum sesuai dengan teori yang diperoleh dari hasil kajian metakognisi menyatakan bahwa strategi pemecahan masalah dapat meningkatkan metakognisi dan pengaturan diri (self-regulation) (Schraw, 2006). Hasil penelitian juga belum sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sulaiman Samad pada tahun 2012 yang menunjukkan pengaruh positif model pembelajaran berbasis problem solving terhadap kemampuan metakognisi mahasiswa pada pembelajaran Fisika Dasar Pokok Bahasan Dinamika Partikel. Hal ini dikarenakan karakteristik mahasiswa sebagai sampel penelitian yang cenderung lebih mandiri, sehingga proses adaptasi terhadap kegiatan pembelajaran dapat dilakukan dengan lebih baik. Sesuai dengan Piaget (Fouche, 2011) yang menyatakan bahwa perkembangan proses kognitif berlangsung sepanjang waktu dan melalui tahapan-tahapan. Tahapan ini sesuai dengan usia seseorang, seseorang yang memasuki tahapan formal operation lebih mampu berpikir secara abstrak. Pada tahap ini seseorang mampu untuk merencanakan dan menentukan tujuan dari tindakan yang dilakukan. Komponen kemampuan
8
metakognisi yaitu pengetahuan metakognisi dan keterampilan metakognisi berkembang seiring bertambahnya usia seseorang. Hasil penelitian menunjukkan pentingnya perbedaan usia untuk mengetahui strategi penggunaan metakognisi (Schneider; Pressley dalam Sperling 2004). Perkembangan kemampuan metakognisi siswa kelas X belum seoptimal mahasiswa yang menjadi sampel penelitian sebelumnya. Siswa masih belum optimal berpikir secara abstrak dalam memecahkan masalah. Berdasarkan karakteristik siswa kelas eksperimen diperlukan usaha yang lebih intensif dan waktu yang relatif lama untuk melatihkan strategi yang dapat meningkatkan kemampuan metakognisi melalui pembelajaran. Ditinjau dari media yang digunakan pada penelitian Sulaiman Samad, proses penyelidikan dalam hal pengukuran dibantu dengan video dan dianalisis dengan bantuan software. Hal ini lebih efisien sehingga proses problem solving dapat terlaksana secara optimal. Penggunaan media dalam proses problem solving berpotensi untuk membantu pengaturan diri (self-regulated) dalam pembelajaran sains. Penggunaan media mencakup analisis data, dan visualisasi (Schraw, 2006). Pengembangan media mengguanakan komputer memungkinkan siswa untuk mengevaluasi kegiatan belajarnya secara metakognitif, misalnya dengan melakukan pembelajaran dan diskusi dengan media e-mail, percakapan, sosial media untuk mendukung pengaturan diri (self-regulation) (Schraw, 2006). Hasil analisis data angket keterampilan metakognisi dan tes menunjukkan bahwa rata-rata skor keterampilan metakognisi siswa MAN 3 Malang yang dijadikan sampel termasuk dalam kategori baik. Hasil analisis data komponen keterampilan metakognisi, diketahui siswa kelas eksperimen mempunyai keterampilan memonitor dan mengevaluasi yang lebih baik. Hal ini dikarenakan siswa memperoleh masukan dari kegiatan diskusi yang dilakukan dalam kelompok dan kegiatan evaluasi yang dilakukan pada langkah akhir pembelajaran. Sejalan dengan pendapat Slavin bahwa kegiatan belajar dalam kelompok dapat mendorong strategi metakognisi siswa. Siswa yang berada dalam kelompok dapat saling mengemukakan pendapat dan dapat saling belajar dari anggota kelompok yang lain. Jika ditinjau dari analisis data angket keterampilan metakognisi saja, kelas eksperimen dan kelas kontrol belum mempunyai perbedaan yang signifikan.
9
Hal ini mungkin dikarenakan instrumen angket yang digunakan kurang optimal untuk dapat memberikan informasi lengkap keterampilan metakognisi siswa. Hasil analisis lembar self-assessment menunjukkan bahwa siswa kelas eksperimen yang memperoleh perlakukan mempunyai skor yang lebih tinggi. Kemampuan metakognisi dapat digunakan untuk melatih kemampuan selfassessment. Seharusnya metakognisi bukan diukur namun dijadikan alat untuk mengukur (Pintrich dalam Sperling, 2004). Berdasarkan teori tersebut, disimpulkan bahwa seseorang yang mempunyai kemampuan self-assessment tinggi, maka ia memiliki kemampuan metakognisi yang tinggi pula. Persentase skor tiap indikator self-assessment kelas eksperimen dan kontrol termasuk dalam kategori baik. Maka, kemampuan metakognisi siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol dikategorikan baik pula.
PENUTUP Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut. 1. Model Pembelajaran Berbasis Problem Solving yang diterapkan pada pembelajaran Fisika Pokok Bahasan Suhu dan Kalor belum berpengaruh terhadap kemampuan metakognisi siswa. 2. Model Pembelajaran Berbasis Problem Solving yang diterapkan pada pembelajaran Fisika Pokok Bahasan Suhu dan Kalor belum berpengaruh terhadap keterampilan metakognisi siswa. Saran Saran yang dapat diajukan dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut. 1. Pengaturan waktu dengan baik untuk memaksimalkan penerapan model pembelajaran berbasis problem solving pada kelas eksperimen. Khususnya dalam langkah-langkah pemecahan masalah untuk menerapkan strategi metakognisi. Pembelajaran ini seharusnya tidak terpecah oleh jeda waktu istirahat.
10
2. Guru model harus mampu untuk menguasai kelas agar pelaksanaan pembelajaran dapat berjalan optimal. 3. Pengamatan keterlakasanaan pembelajaran harusnya dilakukan seobyektif mungkin untuk memberikan informasi keterlakasanaan pembelajaran secara lengkap. 4. Pelaksanaan penlitian yang lebih lama agar dapat memberikan pengaruh positif pada kemampuan metakognisi siswa. 5. Lembar observasi seharusnya disusun untuk memperoleh informasi kemampuan metakognsi siswa secara lengkap. 6. Penggunaan media yang dapat membantu siswa dalam menganalisis dan memvisualisasikan permasalahan untuk efisiensi waktu. 7. Perolehan data keterampilan metakognisi seharusnya ditambah dengan nilai portofolio siswa agar maksimal.
DAFTAR RUJUKAN Arends, Richard I. 2012. Learning to Teach. US : The McGraw-Hill Companies, Inc. Biryukov. 2009. Metacognitive Aspects of Solving Combinatorics Problems Polina Kaye College of Education, Beer-Sheva, Israel. (Online), (http://cscl.ist.psdu.edu), diakses 23 Maret 2014. Downing, Kevin. dkk 2010. Impact of Problem-Based Learning on Student Experience and Metacognitive Development. Multicultural Education and Technology Journal, 5 (1). (Online), (http://emeraldinsight.com/17415659.htm), diakses 23 Maret 2013. Malone, L. K. 2008. Correlations Among Knowledge Structures, Force Concept Inventory, And Problem-Solving Behaviors. Journal Physics Teacher Education. (Online),----------, diakses 12 Oktober 2013. Schraw, G., et al. 2006. Promoting self-regulation in science education: Metacognition as part of a broader perspective on learning. Research in Science Education, 36(1–2), 111–139.