Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
PENGARUH MODEL KOOPERATIF TWO STAY TWO STRAY TERHADAP HASIL BELAJAR IPA I Wayan Rediarta1, I Komang Sudarma 2, I Nyoman Murda3 1,3
Jurusan PGSD, 2Jurusan TP, FIP
Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia e-mail:
[email protected],
[email protected] [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan hasil belajar IPA setelah menggunakan model pembelajaran kooperatif TSTS, 2) mendeskripsikan hasil belajar IPA setelah menggunakan model pembelajaran konvensional, dan 3) mengetahui adanya perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif TSTS dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V di Gugus 13 Kecamatan Buleleng pada Tahun Pelajaran 2013/2014. Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimen semu. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD di Gugus 13 Kecamatan Buleleng yang berjumlah 190 siswa. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas VB dan VA SD Mutiara yang masing-masing berjumlah 36 dan 37 orang siswa. Sampel diambil dengan menggunakan teknik random sampling sehingga diperoleh kelas VB sebagai kelompok eksperimen dan VA sebagai kelompok kontrol. Pengumpulan data dilakukan dengan metode tes yaitu tes hasil belajar IPA yang berupa tes objektif. Data yang dikumpulkan berupa skor hasil belajar IPA kemudian dianalisis menggunakan analisis statistik deskriptif dan inferensial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) hasil belajar siswa dengan model TSTS tergolong kualifikasi sangat baik ( =28,11), 2) hasil belajar siswa dengan model konvensional tergolong kualifikasi baik ( =24,08), dan 3) terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif TSTS dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari perhitungan dengan menggunakan uji-t yang memperoleh hasil thitung=53,22>ttabel (α=0,05) =2,00. Melalui perbedaan tersebut, dapat dikatakan bahwa model pembelajaran kooperatif TSTS berpengaruh positif terhadap hasil belajar IPA. Kata kunci:
Model Kooperatif, TSTS, Hasil Belajar IPA
Abstract The purpose of this research was: 1) to describe the results of science learning after using TSTS cooperative learning model, 2) to describe the results of science learning after using conventional learning models , and 3) to know the differences of science learning outcome between the group of students who are learning with TSTS cooperative learning model and a group of students who are learning with conventional learning models in class V at cluster 13 sub district Buleleng the Academic Year 2013 / 2014. Kind of this research is a quasi experimental study. The population in this study are 190 students of fifth grade elementary school students at Cluster 13 sub district Buleleng. The samples in this study were students of class VB and VA at Mutiara elementary school each of which accounted by 36 and 37 students. Samples were taken using techniques random sampling in order to obtain the VB class as experimental group and VA as a control group. Data collected by the test method that tests science learning outcomes in the form objective test. Data collected in the form scores of science learning outcomes were analyzed using descriptive and inferential statistical analysis. The results showed: 1) learning outcomes of students with TSTS model classified as excellent qualifications ( = 28.11), 2) student learning outcomes with
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
conventional models classified as good qualifications ( = 24.08), and 3) there are significant differences of science learning outcomes between the groups of students who are learning TSTS cooperative learning model and groups of students who are learning with conventional learning models. The difference can be seen from the calculations using the ttest results gained tcount = 53.22 >ttable (α = 0.05) = 2.00. Through these results, it can be said that the TSTS cooperative learning model give positive effects on science learning outcomes. Keywords: Cooperative Model, TSTS, Science Learning Outcomes
PENDAHULUAN Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan salah satu mata pelajaran yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Dalam kehidupan sehari-hari, IPA diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalahmasalah yang dapat diidentifikasikan. Menurut H. W Fowler (dalam Trianto, 2012), IPA adalah pengetahuan yang sistematis dan dirumuskan yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan didasarkan terutama atas pengamatan dan deduksi. Selanjutnya Wahyana (dalam Trianto 2012), menyatakan bahwa IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan secara sistematik, dan dalam penggunaannya terbatas pada gejala-gejala alam. Perkembangannya tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi oleh adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah. Menurut Bundu (2006) pada hakikatnya IPA dibangun atas dasar produk ilmiah, proses ilmiah, dan sikap ilmah. Sebagai produk, IPA merupakan sekumpulan pengetahuan dan sekumpulan konsep. Sebagai suatu proses, IPA adalah sejumlah keterampilan untuk mengkaji fenomena alam untuk memperoleh dan mengembangkan ilmu itu selanjutnya. Sedangkan yang dimaksud dengan sikap ilmiah adalah sikap dalam mencari dan mengembangkan pengetahuan baru seperti obyektif terhadap fakta, jujur, teliti, bertanggung jawab, dan terbuka. Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam berfungsi untuk memberikan pengetahuan tentang lingkungan alam, mengembangkan keterampilan, wawasan, dan kesadaran teknologi dalam kaitan dengan pemanfaatannya bagi kehidupan sehari-hari (Hernawan, 2008: 8.28).
Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran IPA bertujuan membantu agar siswa memahami konsep IPA dan keterkaitannya dengan kehidupan sehari-hari. IPA merupakan mata pelajaran yang sangat penting bagi siswa sekolah dasar, karena IPA di sekolah dasar merupakan cikal bakal perkembangan sains pada mata pelajaran yang akan didapatkan pada jenjang pendidikan selanjutnya. Mengingat pelajaran IPA sangat penting, guru diharapkan mampu merencanakan pembelajaran yang mampu membuat siswa tertarik dengan IPA sehingga membuat pembelajaran IPA yang dilakukan dapat berhasil. Menurut Gesalt (dalam Riyanto, 2012: 65), “Belajar akan lebih berhasil apabila berhubungan dengan minat, keinginan, dan tujuan siswa”. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan pembelajaran yang dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk bertukar pendapat, bekerjasama dengan teman untuk tujuan yang sama sehingga dapat menumbuhkan minat dan keinginan siswa untuk belajar. Kenyataan yang terjadi di sekolah dasar menurut Kusumayanti (2013), kecenderungan pembelajaran IPA sekarang ini adalah peserta didik hanya mempelajari IPA sebagai produk, menghafalkan konsep, teori, dan hukum. Guru kurang kreatif untuk menciptakan kondisi yang mengarahkan siswa agar dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Kebanyakan dalam proses pembelajaran IPA guru masih menerapkan pembelajaran yang berpusat pada guru sehingga belum mampu membelajarkan siswa. Menurut Riyanto
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
(2012), model pembelajaran yang berorientasi pada target penguasaan materi akan gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang karena hanya bersifat mengingat. Model pembelajaran yang hanya menumpukkan sejumlah pengetahuan tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh pengalaman belajar secara langsung, akan berdampak pada kurang bermaknanya pengetahuan yang dimiliki siswa. Berdasarkan data dari BaliPost tanggal 10 Juni 2013, nilai rata-rata UN yang diperoleh kabupaten Buleleng adalah 22,78. Nilai tersebut membuat Buleleng menempati posisi kedua terendah di Provinsi Bali. Berdasarkan observasi yang dilakukan, dalam pembelajaran di kelas guru terlalu berkonsentrasi pada latihan penyelesaian soal sehingga pembelajaran terpusat pada guru. Dengan demikian, siswa tidak akan memperoleh hasil belajar yang optimal. Melihat hal tersebut, nampak bahwa keahlian guru dalam memilih model pembelajaran yang berpusat pada siswa untuk menciptakan suasana yang menyenangkan sangat diperlukan (Muslich, 2008). Observasi yang dilakukan di Gugus 13 kecamatan buleleng pada tanggal 7, 11, 13, 14, 19, dan 21 Nopember 2013 menunjukkan bahwa model pembelajaran yang digunakan guru dalam proses pembelajaran cenderung monoton sehingga membuat siswa bosan dan malas mempelajari IPA. Siswa hanya mendengarkan, mencatat penjelasan, dan mengerjakan soal. Dengan demikian pengalaman belajar yang telah mereka miliki tidak berkembang. Untuk dapat mengembangkan pengalaman belajar yang mereka miliki, diperlukan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa belajar dan bekerja sama untuk sampai kepada pengalaman belajar yang optimal, baik pengalaman individu maupun pengalaman kelompok (Isjoni, 2010). Pembelajaran tersebut dapat dilakukan dengan memberikan aktivitas belajar secara berkelompok.
Pembelajaran berkelompok sudah digunakan untuk menyampaikan konsepkonsep IPA dalam pembelajaran di SD Gugus 13 Kecamatan Buleleng. Tetapi kalau dicermati, kegiatan kelompok tersebut belum bermakna bagi siswa dan bukan pembelajaran kooperatif. Tujuan dari kerja kelompok tersebut hanya menyelesaikan tugas. Kegiatan belajar tersebut biasanya didominasi oleh siswa yang pandai, sementara siswa yang kemampuannya rendah kurang berperan dalam mengerjakan tugas kelompok sehingga hal tersebut belum menunjukkan adanya kerjasama antar siswa. Dengan demikian nampak bahwa siswa tidak dilatihkan untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan menghargai pendapat orang lain. Cara kerja kelompok tradisional seperti ini menyebabkan hasil belajar IPA yang diperoleh siswa berkemampuan rendah kurang maksimal dan menimbulkan kesenjangan yang terlalu jauh antara hasil belajar siswa yang pandai dengan hasil belajar siswa yang kurang pandai. Apabila keadaan ini didiamkan maka akan berdampak buruk bagi perkembangan siswa. Akan terjadi kesenjangan dalam hasil belajar dan melunturkan kerjasama yang terjalin antara siswa. Pembelajaran seperti itu merupakan pembelajaran yang masih bersifat konvensional. Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru dalam proses belajar mengajar di kelas. Pembelajaran konvensional sering disebut pembelajaran yang tradisional. Pada pola pembelajaran konvensional, kegiatan proses belajar mengajar lebih sering diarahkan pada aliran informasi dari guru ke siswa. Dalam proses pembelajaran, pembelajaran konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan serta pembagian tugas dan latihan. Dalam model pembelajaran konvensional, guru di sekolah umumnya memfokuskan diri pada upaya penuangan pengetahuan kepada para siswa. Pembelajaran yang terjadi pada model konvensional berpusat pada guru dan tidak terjadi interaksi yang baik antara siswa dengan siswa. Sehingga pembelajaran
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
konvensional lebih cenderung pada pelajaran yang bersifat hapalan yang menekankan informasi konsep, latihan soal, serta penilaiannya masih bersifat tradisional yang hanya menuntut pada satu jawaban yang benar. Hal tersebut berimplikasi langsung pada proses pembelajaran di kelas, yaitu pada situasi kelas akan menjadi pasif karena interaksi hanya berlangsung satu arah serta guru kurang memperhatikan dan memanfaatkan dan potensi-potensi siswa (Rasana, 2009). Cara kerja kelompok tradisional seperti tersebut berbeda dengan pembelajaran kooperatif yang menyatukan siswa dari berbagai macam ras, budaya, suku, kemampuan, dan kelas sosialnya, dapat membentuk suatu kerjasama dan interaksi antar siswa sehingga siswa merasa lebih bersahabat dan menghargai antar teman yang satu dengan yang lain (Muslich, 2008). Menurut Isjoni (2010), pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan cara belajar siswa menjadi lebih baik, sikap tolong-menolong dalam berperilaku sosial, dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menyampaikan gagasan dan pendapatnya dalam kelompok. Menurut Vygotsky (dalam Muslich, 2008: 228), “Implikasi utama dalam pembelajaran menghendaki seting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif dengan siswa berinteraksi dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif sesuai perkembangan mereka”. Menurut Stahl (dalam Isjoni, 2010: 4344) menyatakan bahwa: cooperative learning itu juga dapat diartikan sebagai struktur tugas bersama dalam suasana kebersamaan di antara sesama anggota kelompok. Disamping itu, cooperative learning juga sering diartikan sebagai suatu motif kerjasama, yang setiap individunya dihadapkan pada pilihan yang harus diikuti apakah memilik bekerja bersama-sama, berkompetisi, atau individualistis. Penggunaan model cooperative learning adalah suatu proses yang membutuhkan partisispasi dan kerjasama dalam
kelompok. Pembelajaran cooperative learning dapat meningkatkan belajar siswa menuju belajar lebih baik, sikap tolong-menolong dalam beberapa perilaku sosial. Selanjutnya menurut Lie (2008), pembelajaran kooperatif terbukti sangat efektif dalam meningkatkan hubungan antar siswa. Terdapat banyak tipe model pembelajaran kooperatif, salah satunya adalah TSTS yang dikembangkan oleh Spencer Kagan. Struktur TSTS yaitu dalam satu kelompok terdiri dari empat siswa yang nantinya dua siswa bertugas sebagai pemberi informasi bagi tamunya dan dua siswa lagi bertamu ke kelompok yang lain secara terpisah. Model pembelajaran ini berbeda dengan model kooperatif lainya, ciri TSTS adalah dua orang tetap dikelompoknya dan dua orang mencari informasi ke kelompok lainya. TSTS memberi kesempatan kepada siswa untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lainnya. Hal ini dilakukan dengan cara saling mengunjungi/ bertamu antar kelompok untuk berbagi informasi. Menurut Hanafiah (2009: 56), adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam model pembelajaran TSTS ini adalah sebagai berikut: a) Peserta didik bekerjasama dalam kelompok berempat seperti biasa, b) Setelah selesai, dua orang dari masing-masing kelompok bertamu ke kelompok lain, c) Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi mereka ke tamu mereka, d) Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka masing-masing dan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain, dan e) Kelompok mencocokkan dan membahas hasil kerja mereka. Menurut Suprijono (2009) tahapan atau fase dalam model pembelajaran kooperatif tipe TSTS yaitu: persiapan, menyajikan informasi, mengorganisir peserta didik ke dalam tim-tim belajar, membantu kerja tim dan belajar, mengevaluasi kelompok, memberikan pengakuan atau penghargaan kepada siswa.
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
Pada tahap persiapan, guru mempersiapkan siswa belajar dan merencankan pembentukkan kelompok kecil yang beranggotakan 4 orang secara heterogen. Pada tahap menyajikan informasi, tugas guru adalah mempresentasikan informasi yang berupa materi pelajaran kepada siswa sedangkan siswa menyimak dan memahami informasi yang disampaikan. Pada kegiatan mengorganisir peserta didik, guru membagikan LKS dan mengawasi jalannya diskusi dalam kelompok dan siswa menuju kelompok yang telah ditentukan dan siswa dalam kelompok mendiskusikan LKS yang didapatkan. Pada tahap selanjutnya, guru mengarahkan siswa pada masing-masing kelompok agar menunjuk 2 orang anggotanya sebagai tuan rumah, sedangkan 2 siswa lainnya bertugas untuk menjadi tamu di kelompok lain dan guru mengamati masing-masing kelompok dalam membagikan informasi kepada kelompok anggota lain. Pada tahap ini, dua orang dari masing-masing kelompok meninggalkan anggota kelompoknya dan menuju kelompok lain untuk mencari informasi yang diperoleh kelompok yang dikunjungi dan anggota kelompok yang tinggal menjelaskan dan memberikan informasi hasil diskusi yang diperoleh kepada kelompok lain yang datang bertamu. Tahap selanjutnya yaitu tahap evaluasi. Pada tahap ini guru melakukan evalusi kelompok dengan menunjuk siswa untuk menyampaikan hasil yang diperoleh dan mengamati siswa dalam menyampaikan hasil kerjanya. Tahap selanjutnya adalah memberikan penghargaan. Pada tahap ini siswa diberikan masukan terhadap jalannya diskusi dan diberikan pula penghargaan kepada siswa yang telah berhasil. Menurut Yusuf (dalam Khairul), pembelajaran kooperatif tipe TSTS dalam pembelajaran IPA memiliki dampak positif bagi siswa yang hasil belajarnya rendah sehingga mampu memberikan peningkatan hasil belajar yang signifikan. Oleh sebab itu, model pembelajaran ini kiranya cocok diberikan kepada siswa dalam membantu siswa memperoleh hasil belajar yang maksimal disamping untuk
mengembangkan kemampuan sosial yang dimiliki siswa. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa TSTS diduga dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Namun, seberapa jauh pengaruh TSTS terhadap hasil belajar siswa belum dapat diungkapkan. Untuk itu, peneliti hendak mengangkat masalah ini melalui suatu penelitian eksperimen dengan menerapkan salah satu model pembelajaran kooperatif dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray (TSTS) Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V di Gugus 13 Kecamatan Buleleng Tahun Pelajaran 2013/2014”. Sehubungan dengan hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan hasil belajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif TSTS dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V di Gugus 13 Kecamatan Buleleng pada Tahun Pelajaran 2013/2014. METODE Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimen semu (quasi experiment) karena tidak semua variabel yang muncul dalam kondisi eksperimen dapat diatur dan dikontrol secara ketat. Tempat pelaksanaan penelitian ini adalah di Gugus 13 Kecamatan Buleleng pada tahun pelajaran 2013/2014. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SD di Gugus 13 Kecamatan Buleleng yang terdiri dari 5 (SD No 1 Banjar Tegal, SD No 2 Banjar Tegal, SD No 3 Banjar Tegal, SD Mutiara, dan SD No 1 Baktiseraga) yang berjumlah 190 siswa. Agung (2011:44) menyatakan bahwa, “Populasi adalah keseluruhan objek dalam suatu penelitian”. Untuk mengetahui kesetaraan kemampuan siswa kelas V pada populasi, maka terlebih dahulu dilakukan uji kesetaraan dengan menggunakan analisis varians satu jalur (ANAVA A). Berdasarkan hasil analisis tersebut, ternyata tidak terdapat perbedaan hasil belajar pada ulangan tengah semester siswa. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
bahwa hasil belajar IPA siswa kelas V di Teknik pengumpulan data dalam Gugus 13 Kecamatan Buleleng adalah penelitian ini adalah dengan menggunakan setara. tes hasil belajar. Data hasil belajar siswa Teknik pengambian sampel yang setelah diberlakukannya pembelajaran digunakan dalam penelitian ini adalah TSTS dan pembelajaran konvensional simple random sampling. Sampel yang dikumpulkan dengan post-test. Instrumen terpilih akan dirandom lagi untuk yang digunakan untuk mengukur dalam menentukan kelas eksperimen dan kelas post-test tersersebut adalah tes obyektif kontrol. Kelas kontrol dan eksperimen atau pilihan ganda. dalam penelitian ini adalah kelas VA dan Analisis data yang digunakan dalam kelas VB SD Mutiara. Kelas kontrol akan penelitian ini berupa statistik deskriptif diberikan Model Pembelajaran dengan menghitung rata-rata, modus, Konvensional (MPK) dan kelas eksperimen median, standar deviasi, dan varian serta diberikan Model Pembelajaran Kooperatif statistik inferensial. Dalam penelitian ini, Tipe TSTS. data disajikan dalam bentuk grafik polygon Rancangan eksperimen yang yang menunjukkan kecenderungan skor digunakan adalah non equivalent post-test hasil belajar siswa. Teknik analisis data only control group design. Rancangan ini yang digunakan menguji hipotesis dipilih karena peneliti hanya ingin penelitian adalah uji-t (polled varians). mengetahui perbedaan hasil belajar antara Sebelum melakukan uji hipotesis, dilakukan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol uji prasyarat karena ada beberapa sehingga dalam penelitian ini tidak persyaratan yang harus dipenuhi dan perlu menggunakan skor pretest. dibuktikan. Persyaratan yang dimaksud Penelitian ini melibatkan 2 variabel yaitu: (1) data yang dianalisis berdistribusi yaitu variabel bebas dan variabel terikat. normal, (2) mengetahui data yang dianalisis Variabel bebas dalam penelitian ini adalah bersifat homogen atau tidak. model pembelajaran kooperatif tipe TSTS HASIL DAN PEMBAHASAN dan model pembelajaran konvensional. Sedangkan variabel terikat dalam penelitian Adapun hasil analisis data statistik ini adalah hasil belajar IPA siswa. deskriptif disajikan pada Tabel 1 . Tabel 1. Rangkuman Analisis terhadap Skor Hasil Belajar IPA Siswa No
Variabel
1 2 3 4 5 6
N
X Me Mo s2 SD
Post Test Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol 36 37 28,11 24,08 28,5 24 29 25,7 7,59 7,69 2,75 2,77
Mean (M), Median (Me), dan Modus (Mo) hasil belajar IPA siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol selanjutnya disajikan ke dalam polygon. Tujuan penyajian data ini adalah untuk menafsirkan sebaran data hasil belajar IPA pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hubungan antara M, Me, dan Mo dapat digunakan untuk menentukan kecenderungan skor hasil belajar IPA
siswa. Data hasil belajar IPA pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol disajikan ke dalam polygon seperti pada Gambar 1 dan 2.
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
15
Frekuensi
10 5 0 23.5
25.5
27.5
29.5
31.5
33.5
Titik Tengah
Frekuensi
Gambar 1. Poligon Data Hasil Belajar IPA Kelompok Eksperimen Berdasarkan tabel 1, diketahui modus lebih besar dari median dan median lebih besar dari mean (Mo>Md>M). Dengan demikian, kurva gada gambar 1 merupakan kurva juling negatif yang berarti sebagian besar skor cenderung tinggi. 12 10 8 6 4 2 0 20.5
22.5
24.5
26.5
28.5
30.5
Titik Tengah
Gambar 2. Poligon Data Hasil Belajar IPA Kelompok Kontrol Berdasarkan tabel 1, diketahui modus lebih kecil dari median dan median lebih kecil dari mean (Mo>Md<M). Dengan demikian, kurva gada gambar 2 tidak memenuhi kurva juling positif maupun negatif. Sebelum melakukan pengujian terhadap hipotesis, maka dilakukan uji prasyarat terhadap data yang diperoleh dengan uji normalitas sebaran data dan uji homogenitas. Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sebaran data skor hasil belajar siswa pada masingmasing kelas berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan rumus chi kuadrat pada kedua kelas. Berdasarkan pengujian yang dilakukan, diperoleh bahwa chi kuadrat hitung
< chi kuadrat tabel ( ) pada kelompok eksperimen dan juga pada kelompok kontrol. Hasil perhitungan dengan menggunakan rumus chi kuadrat pada kelompok eksperimen memperoleh = 6,75 dan = 7,82. Ini berarti bahwa , maka data hasil belajar IPA pada kelompok eksperimen berdistribusi normal. Sedangkan hasil perhitungan pada kelompok kontrol dengan menggunakan rumus chi kuadrat memperoleh = 7,03 dan = 7,82. Ini berarti bahwa , maka data hasil belajar IPA pada kelompok kontrol juga berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan pengujian homogenitas. Uji homogenitas dilakukan untuk menentukan bahwa kelas eksperimen dan kelas kontrol yang sudah ditetapkan tersebut memiliki penguasaan yang relatif sama atau homogen. Uji homogenitas untuk kedua kelompok digunakan uji F. berdasarkan pengujian yang dilakukan, diperoleh Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh Fhit = 1,01 dan Ftab = 1,76 dengan taraf signifikan 5%. Ini berarti Fhitung= 1,01 < Ftabel= 1,76. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hasil belajar IPA siswa memiliki varians yang homogen. Berdasarkan hasil perhitungan uji-t, diperoleh thitung sebesar 53,22. Sedangkan ttabel dengan taraf signifikansi 5% adalah 2,000. Hal ini berarti thitung lebih besar dari ttabel (thit = 53,22 > ttab = 2,000) sehingga H0 ditolak atau H1 diterima. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar IPA yang signifikan antara kelompok siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran TSTS dengan kelompok siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional pada Siswa Kelas V di Gugus 13 Kecamatan Buleleng Tahun Pelajaran 2013/2014. Secara umum, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar IPA siswa antara kelompok siswa yang menggunakan model pembelajaran TSTS dengan kelompok siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional. Hal ini terlihat dari hasil analisis yang telah dilakukan pada hasil post test yang telah diberikan kepada
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
siswa kelas V di SD Gugus 13 Kecamatan Buleleng tahun pelajaran 2013/2014, tepatnya siswa kelas VB di SD Mutiara Singaraja sebagai kelompok eksperimen dan siswa kelas dan VA di SD Mutiara sebagai kelompok kontrol. Siswa kelas VB yang merupakan kelompok eksperimen, diberikan perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif TSTS. Berdasarkan perlakuan yang diberikan, siswa kelompok eksperimen mampu menjalin kerjasama dalam kegiatan kelompok secara optimal. Hal tersebut terjadi karena dalam cooperative learning, siswa dituntut untuk lebih aktif dalam kerja kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Dalam kerjasama kelompok yang heterogen, siswa yang satu dengan yang lain dituntut untuk saling bertukar pikiran, mengeluarkan pendapat dan ide mereka masing-masing sehingga siswa yang berkemampuan rendah akan mendapatkan pengetahuan dari siswa yang berkemampuan tinggi. Kebersamaan dalam kelompok untuk mencapai suatu tujuan tertentu akan saling menguntungkan antar anggota kelompok. Melalui kegiatan berbagi informasi/ pengetahuan dalam kerja kelompok dapat tercipta hubungan timbal balik yang positif antar siswa yang satu dengan yang lain. Interaksi langsung dalam hubungan timbal balik yang bersifat positif dapat mempengaruhi hasil pembelajaran. Hal tersebut kiranya sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Gesalt. Menurut Gesalt (dalam Riyanto, 2012: 65), “Belajar akan lebih berhasil apabila berhubungan dengan minat, keinginan, dan tujuan siswa”. Oleh sebab itu, pembelajaran kooperatif TSTS mampu membuat pembelajaran yang dilakukan dapat berhasil. Hal lain yang membuat pembelajaran yang dilakukan dalam kelompok eksperimen lebih berhasil yaitu adanya pembagian tugas yang jelas bagi seluruh siswa. Melalui pembagian tugas yang jelas, siswa akan belajar dengan sungguhsungguh dan akan mampu meminimalisir kegiatan siswa yang bersifat mengganggu pembelajaran. Pembagian tugas dalam TSTS berupa pembagian tugas sebagai tamu dan penerima tamu. Dalam
pembelajaran TSTS siswa diberikan kesempatan untuk bertukar informasi/pengetahuan yang telah mereka dapatkan melalui kegiatan bertamu. Dengan adanya bertamu, akan terbentuk interaksi dan komunikasi yang positif antar siswa. Kegiatan bertamu juga menjadikan siswa dalam masing-masing kelompok mendapat tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas bertamu dan menerima tamu dengan baik sehingga akan dituntut pertanggungjawaban individu yang mengakibatkan siswa tidak akan melalaikan dan mengabaikan tugasnya dalam bertamu dan menerima tamu. Selain itu, penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dapat mempengaruhi hasil belajar siswa karena TSTS memiliki beberapa keuntungan yaitu: 1) dalam kegiatan pembelajaran siswa dapat bertukar pikiran; 2) siswa dapat menghayati permasalahan; 3) merangsang siswa untuk berpendapat; 4) dapat mengembangkan rasa tanggung jawab/solidaritas; 5) membina kemampuan berbicara; 6) siswa belajar memahami pikiran orang lain; dan 7) memberikan kesempatan belajar lebih bermakna. dengan demikian, perlakuan yang diberikan dengan menggunakan model TSTS akan dapat memberikan hasil belajar yang optimal. Pelaksanaan TSTS dapat meningkatkan cara belajar siswa menuju belajar lebih baik, sikap tolong menolong dalam beberapa perilaku sosial. Tujuan pembelajaran dengan model TSTS diantaranya agar peserta didik dapat belajar secara berkelompok bersama temantemannya dengan cara saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan pendapat mereka secara berkelompok dengan bekerjasama. Dengan adanya kerjasama tersebut, setiap anggota kelompok dapat memahami materi dengan cepat serta dapat mengerjakan tugas secara bersama. Selain adanya kerjasama antar anggota kelompok, pemberian reward juga salah satu faktor peningkatan hasil belajar siswa pada kelompok eksperimen. Dengan adanya reward yang diberikan pada setiap pembelajaran, siswa menjadi lebih percaya diri untuk melakukan setiap
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
kegiatan pembelajaran. TSTS memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar lebih bermakna sehingga memudahkan siswa menyerap informasi yang diberikan. Selain itu, model pembelajaran TSTS yang dapat diberikan pada semua tingkatan atau mata pelajaran dan melibatkan siswa secara aktif dalam diskusi yang dilakukan akan mendorong minat siswa untuk belajar. Minat siswa untuk belajar tersebut dapat dilihat melalui antusias siswa dalam mengikuti pelajaran yang dilakukan. Minat belajar siswa yang tinggi tersebut akan membuat siswa senang dalam belajar dan akan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa yang diberikan model pembelajaran TSTS ternyata jauh lebih besar dibandingkan siswa pada kelompok kontrol yang diberikan model pembelajaran konvensional. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena pada pembelajaran konvensional proses pembelajaran lebih cenderung berpusat pada guru sebagai penentu arah pembelajaran. Dalam pembelajaran konvensional, siswa cenderung pasif dan kurang dalam hal kerjasama kelompok. Hal tersebut membuat hasil belajar yang diperoleh kelompok kontrol belum optimal. Selain itu, pembelajaran konvensional yang menekankan pada penyelesaian soal serta kurang adanya partisipasi aktif siswa dalam menjalankan kerja kelompok juga membuat hasil belajar yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan kelompok eksperimen. Dalam pembelajaran konvensional yang dilakukan, siswa juga tidak diberikan pembagian tugas yang jelas dalam berkelompok. sehingga banyak siswa cenderung hanya sebagai pelaku belajar yang pasif. Hal ini kiranya sesuai denggan pendapat yang dikemukakan oleh Rasana. Menurut Rasana (2009), dalam model pembelajaran konvensional, guru di sekolah umumnya memfokuskan diri pada upaya penuangan pengetahuan kepada para siswa. Pembelajaran yang terjadi pada model konvensional berpusat pada guru dan tidak terjadi interaksi yang baik antara siswa dengan siswa. Sehingga pembelajaran konvensional lebih
cenderung pada pelajaran yang bersifat hapalan yang menekankan informasi konsep, latihan soal, serta penilaiannya masih bersifat tradisional yang hanya menuntut pada satu jawaban yang benar. Hal tersebut berimplikasi langsung pada proses pembelajaran di kelas, yaitu pada situasi kelas akan menjadi pasif karena interaksi hanya berlangsung satu arah serta guru kurang memperhatikan dan memanfaatkan dan potensi-potensi siswa. Dengan keadaan seperti itu, siswa tidak akan mampu belajar dengan optimal dan hal tersebut akan berdampak pada hasil belajar yang diperoleh siswa. Berdasarkan temuan yang diperoleh pada kelompok eksperimen dan kontrol, penggunaan model pembelajaran kooperatif TSTS ternyata jauh lebih baik dibandingkan dengan penggunaan model pembelajaran konvensional. Untuk dapat membuktikannya dan melihat perbedaan hasil belajar dari perlakuan yang diberikan, maka dilakukan analisis data terhadap hasil belajar kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil analisis data penelitian pada kedua kelompok diperoleh bahwa rata-rata hasil belajar IPA pada kelompok eksperimen adalah x =28,11 dan kelompok kontrol adalah x =24,08. Selajutnya skor hasil belajar IPA tersebut diuji dengan Uji Normalitas dan Homogenitas dan memperoleh hasil bahwa sebaran data kedua sampel yang digunakan normal serta homogen. Berdasarkan uji prasyarat tersebut kemudian dilakukan Uji Hipotesis yakni Chi Kuadrat. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai thitung lebih besar dari ttabel, yakni thitung= 53,22 > ttabel= 2,000. Hal ini berarti H0 ditolak, sehingga hasil dari penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang yang signifikan antara kelompok siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran TSTS dengan kelompok siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional. Kelompok siswa yang belajar menggunakan model TSTS memiliki ratarata hasil belajar yang lebih tinggi dari kelompok siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional. Hal itu terlihat dari perbandingan rata-rata skor
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
hasil belajar siswa pada kelompok eksperimen sebesar 28,11 sedangkan ratarata skor hasil belajar pada kelompok kontrol yaitu 24,08. Hal ini menunjukan adanya perbedaan hasil belajar IPA yang signifikan anatar kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Hasil penelitian ini telah membuktikan hipotesis yang diajukan, yaitu terdapat perbedaan hasil belajar IPA antara siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran TSTS dengan siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional. Ada atau tidaknya pengaruh terhadap pembelajaran dapat dilihat melalui perbedaan hasil belajar yang diperoleh siswa. Perbedaan hasil belajar yang siginifikan antara siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran TSTS dengan kelompok siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional disebabkan perbedaan perlakuan atau treatment dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran TSTS, siswa diberikan pembagian tugas yang jelas, dituntut untuk mampu bekerjasama dengan baik di dalam kelompok, dan dapat menimbulkan minat siswa untuk belajar. Dengan demikian siswa memiliki rasa kebersamaan, rasa tanggung jawab yang mengakibatkan siswa tidak akan melalaikan dan mengabaikan tugasnya dalam berkelompok sehingga dapat memberikan hasil yang optimal terhadap hasil belajar siswa. Sedangkan pada pembelajaran konvensional, siswa tidak diberikan pembagian tugas yang jelas dalam berkelompok, guru merupakan pusat pembelajaran, dan kurangnya kerjasama dalam kegiatan pembelajaran akan membuat siswa cenderung hanya sebagai pelaku belajar yang pasif. Hal tersebut berimplikasi langsung pada proses pembelajaran di kelas, yaitu pada situasi kelas akan menjadi pasif karena interaksi hanya berlangsung satu arah. Dengan keadaan seperti itu, siswa tidak akan mampu memperoleh hasil belajar yang optimal. Secara operasional, kedua model pembelajaran tersebut diterapakan pada saat mengajarkan materi yang sama namun dengan cara penyampaian yang berbeda
sehingga memberikan hasil yang berbeda pula. Melalui perbedaan tersebut, maka penggunaan model pembelajaran TSTS dalam proses pembelajaran dapat dikatakan memberikan pengaruh yang lebih baik dibandingkan dengan penerapan pembelajaran konvensional. Hasil dari penelitian ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Widiatmika dan Ismawati mengenai penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS yang menunjukkan bahwa Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS dapat meningkatkan hasil belajar siswa. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulan bahwa. 1 ) Deskripsi data hasil belajar IPA kelompok eksperimen memperoleh mean (M) = 28,11, median (Md) = 28,50, modus (Mo) = 29, varians (S2) = 7,59, dan standar deviasi (SD) = 2,75. Apabila dikategorikan berdasarkan pedoman konversi skala lima, maka rata-rata hasil belajar IPA termasuk kategori sangat baik. 2) Deskripsi data hasil belajar IPA kelompok kontrol memperoleh mean (M) = 24,08, median (Md) = 24, modus (Mo) = 25,7, varians (S2) = 7,69, dan standar deviasi (SD) = 2,77. Apabila dikategorikan berdasarkan pedoman konversi skala lima, maka rata-rata hasil belajar IPA termasuk kategori baik. 3) Terdapat perbedaan yang signifikan dari hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran TSTS dengan kelompok siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional.pada Siswa Kelas V di Gugus 13 Kecamatan Buleleng Tahun Pelajaran 2013/2014. Adanya perbedaan yang signifikan menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran TSTS berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA dibandingkan dengan pengajaran konvensional. Saran yang dapat disampaikan berdasarkan penelitian yang dilakukan yaitu sebagai berikut: (1) model TSTS diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif untuk meningkatkan hasil belajar
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
siswa, (2) Materi pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini terbatas hanya pada pokok bahasan struktur bumi dan air saja sehingga dapat dikatakan bahwa hasil-hasil penelitian terbatas hanya pada materi tersebut. Untuk mengetahui kemungkinan hasil yang berbeda pada pokok bahasan lainnya peneliti menyarankan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian yang sejenis pada pokok bahasan yang lain, (3) Peneliti menyadari bahwa perlakuan yang diberikan kepada siswa sangatlah singkat jika digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa. Hal ini terjadi karena keterbatasan peneliti pada pokok bahasan yang telah ditetapkan dan juga karena keterbatasan waktu yang disediakan oleh pihak sekolah. Untuk itu peneliti menyarankan, agar diperoleh gambaran yang lebih menyakinkan mengenai hasil belajar siswa hendaknya peneliti melakukan penelitian dalam jangka waktu yang lebih lama. DAFTAR RUJUKAN Agung, A. A Gede. 2011. Metodologi Penelitian Pendidikan. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Anonim. 2013. ”Bangli Kembali Tempati Posisi Juru Kunci”. BaliPost. (10 Juni 2013). Bundu, Patta. 2006. Penilaian Keterampilan Proses dan Sikap Ilmiah Dalam Pembelajaran Sains SD. Jakarta: Depdiknas. Hernawan, Herry. 2008. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran . Jakarta: Universitas Terbuka. Isjoni. 2010. Cooperative Learning Efektifitas Pembelajaran Kelompok. Bandung: Alfabeta.
Khairul. 2012. “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Two Stay Two Stray Dengan Pendekatan Contextual Teaching And Learning Terhadap Motivasi dan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Tumpang”. Jurnal Universitas Negeri Malang. Kusmayanti. 2013. ”Pengaruh Strategi REACT Berbantuan Lingkungan Sebagai Sumber Belajar Terhadap Hasil Belajar IPA Kelas V di Gugus XIII Kecamatan Buleleng”. Jurnal Universitas Pendidikan Ganesha. Lie, Anita. 2008. Cooperative Learning, Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo. Muslich, Masnur. 2008. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara. Rasana. 2009. Model-model Pembelajaran. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Riyanto, Yatim. 2012. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning Teori & Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Trianto. 2012. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara.