Jurnal Teknologi Proses Media Publikasi Karya Ilmiah Teknik Kimia
4(2) Juli 2005 : 26 – 33 ISSN 1412-7814
Pengaruh Massa dan Ukuran Biji Kelor pada Proses Penjernihan Air Setiaty Pandia dan Amir Husin Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, Medan 20155
[email protected]
Abstrak Proses penjernihan air dilakukan menggunakan dua tangki berkapasitas masing-masing 20 liter yang berfungsi sebagai tangki pencampur, sekaligus sebagai media koagulasi-flokulasi. Bahan penyaring yang digunakan berupa pasir kuarsa, ijuk, kerikil dan arang tempurung kelapa. Aliran dibuat kontinu, tangki pertama dibuat lebih tinggi dari tangki kedua sehingga air dapat mengalir secara gravitasi. Dengan menvariasikan ukuran dan massa biji kelor diamati efektivitas penjernihan untuk waktu tinggal yang berbeda, menggunakan parameter pH, turbiditas, kandungan padatan tersuspensi dan terlarut total (TSS dan TDS). Pada dosis biji kelor 0,4-0,5 gr/l dan ukuran 300 mesh serta waktu tinggal 4-6 jam diperoleh efektivitas penjernihan optimum (penyisihan turbiditas, TDS dan TSS masing-masing 78,28% dan 72,13% sedang penurunan pH sebesar 7,63%). Kata kunci: massa dan ukuran biji kelor, penjernihan air, pH, turbiditas, TDS, TSS.
Pendahuluan Di Indonesia air permukaan merupakan salah satu sumber bahan baku air bersih yang banyak dipakai, karena ketersediaannya yang melimpah. Dalam penyediaan air bersih khususnya air minum, selain kuantitas dan kontinuitasnya, kualitasnyapun harus memenuhi standar yang berlaku. Air minum yang ideal harus mempunyai karakteristik seperti jernih, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, tidak mengandung kuman patogen dan segala mahluk hidup yang membahayakan kesehatan manusia, tidak mengandung zat kimia yang dapat mengubah fungsi tubuh, tidak meninggalkan endapan pada seluruh jaringan distribusinya, tidak korosif dan lain-lain. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya serta meluasnya penyakit bawaan air (Soemirat, 2000). Metode pengolahan air khususnya air sungai yang umum digunakan adalah
pengolahan secara fisika-kimia, yakni koagulasi-flokulasi diikuti dengan sedimentasi. Dalam proses koagulasiflokulasi biasanya digunakan alum sebagai koagulan (Eckenfelder, 1989). Akan tetapi, metode ini sering mengalami kegagalan karena prosesnya terlalu kompleks serta memerlukan biaya yang relatif tinggi (Chandra, 1998). Disamping itu, ketersediaan alum khususnya di wilayah pedesaan sangat sulit didapatkan sehingga penduduk yang memanfaatkan air sungai sebagai sumber air bersih sering enggan mengolahnya bahkan banyak diantaranya langsung saja mengkonsumsi air tersebut tanpa pengolahan terlebih dahulu. Pohon kelor (Moringa oleifera) diketahui mengandung polielektrolit kationik dan flokulan alamiah dengan komposisi kimia berbasis polipeptida yang mempunyai berat molekul mulai dari 6000 sampai 16000 dalton, mengandung hingga 6 asam-asam
Setiaty Pandia dan Amir Husin / Jurnal Teknologi Proses 4(2) Juli 2005 : 26 – 33
amino terutama asam glutamat, mentionin dan arginin (Jahn, 1986). Sebagai bioflokulan, biji kelor kering dapat digunakan untuk mengkoagulasi-flokulasi kekeruhan air (Jahn, 1986; Sani, 1990; Bina, 1991 dalam Muyibi dan Evison, 1995; Narasiah dkk, 2002). Chandra (1988) mencoba menggunakan biji kelor dengan kulit dalam pengolahan limbah cair pabrik tekstil khususnya untuk menurunkan kandungan padatan tersuspensi dan kekeruhan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penambahan biji ke dalam limbah cair dengan dosis 10 ml/l (berat/berat) dapat mereduksi zat warna hingga 98% dan penurunan BOD serta COD limbah cair sebesar 62,5%. Dari uraian di atas, pemanfaatan bahanbahan koagulan alamiah seperti biji kelor dimungkinkan dapat menggantikan bahan koagulan sintetis seperti alum, sehingga permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat desa khususnya dan industri pengolahan air umumnya dapat teratasi. Disisi lain pemanfaatan biji kelor yang selama ini jarang digunakan tentunya akan meningkatnya nilai tambah dan pada akhirnya akan membantu meningkatkan perekonomian petani yang menanam pohon kelor. Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui perbandingan massa dan ukuran partikel biokoagulan (biji kelor) yang tepat terhadap jumlah air dalam proses penjernihan air sungai.
Biji Kelor sebagai Biokoagulan Penghilangan flok berupa berupa turbiditas dari media air dengan koagulan sangat bergantung pada jenis suspensi koloid,
27
pH, komposisi kimia air, jenis koagulan dan bahan pembantu koagulan, serta tingkat dan waktu pencampuran yang tersedia untuk dispersi kimia serta pembentukan flok (Rossi dan Ward, 1993). Beberapa jenis koagulan anorganik yang banyak digunakan dalam pengolahan air atau limbah cair diantaranya aluminium sulfat (alum), polialuminium klorida (PAC), besi sulfat(II), besi klorida(II) dan lain-lain (Metcalf dan Eddy, 1979). Biji kelor merupakan alternatif koagulan organik. Biji kelor sebagai koagulan dapat digunakan dengan dua cara yaitu: biji kering dengan kulitnya dan biji kering tanpa kulitnya (Ndabigengesere dkk, 1995). Hasil analisis elemen pada biji kelor untuk biji dengan kulit, 6,1% N; 54,8% C; dan 8,5% H, sedangkan untuk biji tanpa kulit, 5,0% N; 53,3% C dan 7,7% H (dalam % berat) sedang sisanya terdiri dari oksigen (Ndabigengesere dkk, 1995). Kandungan protein, lemak dan karbohidrat biji kelor dapat dilihat pada Tabel 1. Efektivitas koagulasi oleh biji kelor ditentukan oleh kandungan protein kationik bertegangan rapat dengan berat molekul sekitar 6,5 kdalton. Zat aktif (active agent) yang terkandung dalam biji kelor yaitu 4α Lrhamnosyloxy – benzyl – isothiocyanate Sutherland dkk, 1990; Muyibi dan Evison, 1995). Prinsip utama mekanisme koagulasinya adalah adsorpsi dan netralisasi tegangan protein tersebut (Ndabigengesere dkk, 1995). Dalam proses koagulasinya, biji kelor memberikan pengaruh yang kecil terhadap derajat keasaman dan konduktifitas. Jumlah lumpur yang diproduksi biji kelor lebih sedikit dari jumlah lumpur yang diproduksi oleh ferro sulfat sebagai koagulan (Chandra, 1998).
TABEL 1: Kandungan protein, lemak dan karbohidrat dalam biji kelor (dalam % berat) Preparat : Protein(%) : Lemak (%) : Karbohidrat (%) Biji dengan kulit: : 36,7 : 34,6 : 5,0 • Bubuk : 0,9 : 0,8 :• Larutan : 29,3 : 50,3 : 1,3 • Padatan residu Biji tanpa kulit: : 27,1 : 21,1 : 5,5 • Bubuk : 0,3 : 0,4 :• Larutan : 26,4 : 27,3 :• Padatan residu (Sumber: Ndabigengesere dkk, 1995)
28
Setiaty Pandia dan Amir Husin / Jurnal Teknologi Proses 4(2) Juli 2005 : 26 – 33
Bahan koagulan dalam biji kelor adalah protein kationik yang larut dalam air. Potensial zeta larutan 5% biji kelor tanpa kulit adalah sekitar +6 mV (Ndabigengesere dkk, 1995). Hal ini menunjukkan bahwa larutan ini didominasi oleh tegangan positif meskipun merupakan campuran heterogen yang kompleks. Potensial zeta air sintetik adalah sekitar -46 mV. Hal ini menunjukkan bahwa pada pH netral, partikel-partikel bermuatan negatif. Akibatnya, koagulasi partikel tersuspensi dengan biji kelor dipengaruhi oleh proses destabilisasi tegangan negatif koloid oleh polielektrolit kationik.
Persiapan air baku
Mekanisme yang paling mungkin terjadi dalam proses koagulasi adalah adsorpsi dan netralisasi tegangan atau adsorpsi dan ikatan antar partikel yang tidak stabil. Dari kedua mekanisme tersebut, untuk menentukan mekanisme mana yang terjadi merupakan suatu hal yang sangat sukar karena kedua mekanisme tersebut mungkin terjadi secara simultan. Tapi, umumnya mekanisme koagulasi dengan biji kelor adalah adsorpsi dan netralisasi tegangan (Sutherland dkk, 1990).
Persiapan peralatan penjernihan air
Metode Penelitian Sebelum proses penjernihan air sungai dilakukan, tahapan penelitian dimulai dari pembuatan tepung biji kelor, persiapan air baku yang akan digunakan, serta persiapan peralatan penjernihan air.
Air sungai sebagai air baku ditempatkan dalam derijen plastik dan ditutup untuk menjaga agar tidak terkontaminasi dengan debu. Air baku harus diganti setiap hari untuk menjaga agar kandungan kekeruhan dan TSS sampel baku lebih kurang konstan. Air sungai yang digunakan karakteristik ratarata: pH : 7,6 Turbiditas : 78,3 NTU TDS : 1114 mg/l TSS : 112 mg/l
Peralatan penjernihan air terdiri dari 2 (dua) buah bak. Bak pertama terbuat dari ember plastik berukuran 20 liter yang berfungsi sebagai pencampur air baku dengan bahan koagulan. Bak kedua terbuat dari bahan kaca berukuran 15x15x15 cm, berfungsi sebagai alat penyaring air yang telah dikoagulasi. Bak kedua ini dilengkapi dengan pipa saluran keluar dan keran pengatur agar berguna untuk mengeluarkan air yang telah diproses. Ke dalam bak kedua dimasukkan bahan-bahan penyaring. Bahan disusun mulai dari ijuk (2,5 cm), pasir (5 cm), ijuk (2,5 cm) dan batu kerikil (5 cm). Dalam penyusunan bahan-bahan tersebut harus dibuat rapat dan merata, dan lapisan bahan penyaring jangan sampai ada rongga.
Proses penjernihan air Pembuatan tepung biji kelor Biji kelor yang sudah kering dihaluskan menggunakan mortar dan alu, sebelum diayak pada ayakan tyler standard berukuran 100, 200 dan 300 mesh. Tepung biji kelor tersebut ditempatkan ditempat tertutup, kering dan bersih agar tidak kontak dengan udara.
Proses penjernihan air dilakukan dengan dua tahapan. Tahap pertama adalah proses koagulasi-flokulasi dengan cara penambahan koagulan biji kelor dengan berat tertentu ke dalam bak pertama dan dibiarkan beberapa saat untuk memberikan waktu pengendapan flok. Kemudian air yang telah di flokulasi dialirkan ke bak penyaringan untuk memisahkan sisa-sisa flok yang masih terdapat dalam air baku. Perlakuan yang akan dilakukan adalah menvariasikan ukuran diameter dan dosis koagulan serta variabel bebas waktu (Tabel 2). Parameter yang dianalisis adalah pH awal air baku, turbiditas, padatan tersuspensi (TSS) dan padatan terlarut (TDS).
Setiaty Pandia dan Amir Husin / Jurnal Teknologi Proses 4(2) Juli 2005 : 26 – 33
TABEL 2: Taraf perlakuan air baku Variabel : Taraf perlakuan Diameter koagulan (mesh) : 100 : 200 : 300 Dosis koagulan (gr/l) :0 : 0,1 : 0,2 Waktu pengendapan (jam) :2 :4 :6
Hasil dan Pembahasan Pengaruh waktu pengendapan terhadap turbiditas air sungai Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa ukuran partikel koagulan dapat mempengaruhi kuantitas kekeruhan (turbiditas) dalam air. Semakin kecil (halus) ukuran partikel koagulan biji kelor maka penurunan turbiditas air sungai juga cenderung semakin besar. Hal ini disebabkan semakin kecil ukuran partikel bahan koagulan, suspensi tersebut semakin mudah larut dalam air dan campuran semakin homogen. Campuran homogen antara bahan koagulan dan partikel-partikel padatan tersuspensi akan menghasilkan kontak yang lebih intim, akibatnya proses pembentukan flok dalam air semakin mudah. Semakin banyak jumlah flok-flok yang terbentuk, maka proses pemisahan TSS dari air baku semakin efektif. Terlihat bahwa partikelpartikel koagulan berukuran 300 mesh menghasilkan persen penyisihan turbiditas dan kekeruhan dalam air yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan partikel koagulan berukuran 100 dan 200 mesh. Selain ukuran partikel koagulan, waktu pengendapan (settling time) juga berpengaruh terhadap perses penyisihan turbiditas. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan, bahwa waktu
: 0,3 :8
: 0,4 : 10
: 0,5
: 0,6
pengendapan efektif adalah berkisar antara 46 jam, baik untuk partikel koagulan berukuran 100, 200 dan 300 mesh.
Pengaruh konsentrasi koagulan terhadap turbiditas air sungai Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa penambahan koagulan sebanyak 0,1 gr/l diperoleh persen penurunan turbiditas lebih kurang 50%. Dan bila konsentrasi koagulan diperbesar lagi, maka jumlah turbiditas tersisihkan juga semakin meningkat. Persen penurunan turbiditas efektif diperoleh pada saat konsentrasi koagulan sebesar 0,4 gr/l (% turbiditas tersisihkan diperoleh rata-rata lebih dari 70%). Bila konsentrasi koagulan dinaikkan lagi, jumlah partikel bahan tersuspensi (TSS) tersisihkan tetap bertambah, hanya saja kurang signifikan (% turbiditas tersisihkan diperoleh naik rata-rata 10%). Hal ini dimungkinkan sebab tidak semua partikel koagulan bereaksi membentuk flok-flok dalam air. Dengan kata lain sebagian besar partikel TSS dan kekeruhan telah membentuk flok-flok. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rossi dan Ward (1993) bahwa penghilangan flok berupa turbiditas dari media air bergantung pada jenis dan jumlah suspensi koloid, pH, komposisi kimia air dan jenis koagulan.
30
Setiaty Pandia dan Amir Husin / Jurnal Teknologi Proses 4(2) Juli 2005 : 26 – 33
60 100 mesh 200 mesh 300 mesh
%Turbiditas tersisihkan
50
40
30
20
10
0 0
2
4
6
8
10
Waktu pengendapan (jam)
GAMBAR 1: Pengaruh waktu pengendapan (jam) terhadap turbiditas tersisihkan (dalam %) air sungai menggunakan koagulan biji kelor 0,1 gr/l.
90 100 mesh 200 mesh 300 mesh
%Turbiditas tersisihkan
80
70
60
50
40
30 0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
Konsentrasi koagulan (gr/l)
GAMBAR 2: Pengaruh konsentrasi koagulan biji kelor terhadap turbiditas tersisihkan air sungai setelah pengendapan 10 jam
Pengaruh konsentrasi koagulan terhadap padatan tersuspensi total
Pengaruh konsentrasi koagulan terhadap pH air
Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa penambahan koagulan biji kelor ke dalam air dapat mempengaruhi kandungan padatan tersuspensi total (TSS). Semakin banyak jumlah koagulan yang ditambahkan, semakin tinggi persentase penyisihan TSS. Dalam percobaan yang dilakukan, penambahan koagulan dengan dosis 0,5 gr/l larutan menghasilkan persen penurunan TSS tertinggi (persen penyisihan rata-rata 90%).
Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa penambahan koagulan berupa biji kelor ke dalam air sedikit mempengaruhi pH air baku, akan tetapi penurunan pH air tersebut secara umum tidak terlalu signifikan. Hal ini sesuai dengan hasil percobaan yang dilakukan oleh Ndabigengesere dkk (1995) dalam Chandra (1998), dimana proses koagulasi menggunakan biji kelor memberikan pengaruh yang kecil terhadap derajat keasaman dan konduktifitas.
Setiaty Pandia dan Amir Husin / Jurnal Teknologi Proses 4(2) Juli 2005 : 26 – 33
Pengaruh konsentrasi koagulan terhadap padatan tersuspensi total Penambahan koagulan biji kelor ke air selain dapat menurunkan kandungan turbiditas dan TSS, ternyata juga dapat mempengaruhi jumlah kandungan padatan terlarutnya (TDS). Dari percobaan yang dilakukan, semakin banyak jumlah koagulan yang ditambahkan, semakin banyak jumlah kandungan TDS yang dapat disisihkan. Penurunan kandungan TDS ini terjadi karena dalam proses koagulasi padatan tersuspensi
air juga terjadi proses penggumpalan padatan terlarut secara serentak. Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa peningkatan konsentrasi koagulan hingga 0,4 gr/l larutan dapat menghasilkan penurunan kandungan TDS hingga kurang lebih 80%. Akan tetapi penambahan koagulan lebih besar dari 0,4 gr/l ternyata menghasilkan penurunan kandungan TDS yang kurang signifikan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa konsentrasi optimum koagulan dalam air proses adalah 0,4 gr/l.
100
90
% Penurunan TSS
80
70
60
50 100 mesh 200 mesh 300 mesh Tawas
40
30 10
20
30
40
50
60
Konsentrasi koagulan (ppm)
GAMBAR 3: Pengaruh konsentrasi koagulan biji kelor terhadap TSS setelah pengendapan 10 jam
7.25 100 mesh 200 mesh 300 mesh
% Penurunan TSS
7
6.75
6.5
6.25 10
20
30
31
40
50
60
Konsentrasi koagulan (ppm)
GAMBAR 4: Pengaruh konsentrasi biji kelor terhadap pH air sungai setelah pengendapan 10 jam
32
Setiaty Pandia dan Amir Husin / Jurnal Teknologi Proses 4(2) Juli 2005 : 26 – 33 100
% Penurunan TDS
90
80
70
100 mesh 200 mesh 300 mesh Tawas
60
50 10
20
30
40
50
60
Konsentrasi koagulan (ppm)
GAMBAR 5: Pengaruh konsentrasi biji kelor terhadap penurunan TDS setelah pengendapan 10 jam
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Penambahan koagulan biji kelor ke dalam air ternyata dapat mempengaruhi beberapa kandungan parameter air, seperti kekeruhan (turbiditas), padatan tersuspensi total (TSS) dan sedikit pH air. Dosis optimum koagulan yang diperlukan untuk menyisihkan kandungan TSS, kekeruhan dan TDS adalah sekitar 0,4 gr/l.
Chandra, A. 1998. Penentuan Dosis Optimum Koagulan Ferro Sulfat-kapur Flokulan Chemifloc dan Besfloc, serta Bioflokulan Moringa Oleifera dalam Pengolahan Limbah Cair Pabrik Tesktil. Laporan Penelitian Jurusan T.Kimia. Universitas Parahyangan. Bandung.
Untuk dapat menyisihkan kandungan parameter tersebut di atas diperlukan waktu pengendapan, untuk memberi kesempatan partikel-partikel padat membentuk flok yang relatif besar. Dari penelitian yang dilakukan, waktu pengendapan efektif adalah sekitar 46 jam. Pengaruh dosis koagulan terhadap penurunan pH larutan tidak begitu signifikan. Pada rentang pengamatan yang dilakukan, penambahan koagulan ke dalam air dapat menurunkan pH larutan rata-rata 15%. Kondisi efektif penyisihan turbiditas, TSS dan TDS yang paling baik adalah dengan dosis koagulan biji kelor 0,4 – 0,5 gr/l, ukuran partikel 300 mesh dan waktu tinggal 4-6 jam dengan penyisihan turbiditas (71,8%), TDS (78,28%), TSS (72,13%) serta penurunan pH (7,63%).
Eckenfelder, W.W. 1989. Industrial Water Pollution Control. Ed.2. New York: McGraw Hill Inc. 84-110. Jahn, S.A.A. 1986. Proper use of African Natural Coagulants for Rural Water SuppliesResearch in the Sudan and Guide to New Projects. GTZ Manual No.191. Metcalf dan Eddy. 1979. Wastewater Engineering: Treatment, Disposal and Reuse. E.2. New Delhi: Tata McGraw Hill Publishing Co. Muyibi, S.A. dan Evison, L.M. 1995. Moringa Oleifera Seeds for Softening Hardwater. J.Water Research. 29(4): 1099-1105. Narasiah, K.S., Vogel, A., dan Kramadhati, N.N. 2002. Coagulation of Turbid Water using Moringa Oleifera Seeds from Two Distinct Source. J. Water Supply. 2(5): 83-88. Ndabigengesere, A., Narasiah, K.S. dan Talbot, B.G., 1995. Active Agents and Mechanism of Coagulation of Turbid Water using Moringa Oleifera. Water Research, 29(2): 701-710.
Setiaty Pandia dan Amir Husin / Jurnal Teknologi Proses 4(2) Juli 2005 : 26 – 33 Rossi, M.E. dan Ward, N.I. 1993. The Influence of Chemical Treatment of Metal Composition of Raw`Water. Proc. Int. Conf. on Heavy Metals in the Environ. 2: 471-475. Sani, M.A. 1990, The use of Zogale Seeds for Water Treatment. B.Eng. Final Year Project Report. Bayero University, Kano, Nigeria.
33
Soemirat, Juli, 2000, Kesehatan Lingkungan Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Sutherland, J.P., Folkard, G.K. dan Grant W.D. 1990. Natural Coagulants for Appropriate Water Treatment: a Novel Approach, J. Waterlines. 8(4): 30-32.