Pengaruh Masa Kerja, Kepribadian Hardiness, dan mediasi Psikosomatis terhadap Perilaku Absenteeism
Ivan Yanuardi
Absenteeism merupakan perilaku yang memiliki dampak buruk bagi organisasi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kemampuan organisasi dalam memberikan pelayanan prima. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji model hubungan antara masa kerja dan kepribadian hardiness dalam memprediksi perilaku absenteeism secara langsung maupun melalui mediasi psikosomatis. Subjek penelitian ini merupakan pengemudi Bus Rapid Transit (BRT) yang beroperasi di Yogyakarta. Jumlah subjek yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 74 orang pengemudi bus. Hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa kepribadian hardiness memiliki peran menekan perilaku absenteeism secara langsung maupun tidak langsung yaitu dengan mengurangi gejala psikosomatis yang menjadi mediator absenteeism. Masa kerja memiliki peranan dalam meningkatkan gejala psikosomatis yang dirasakan oleh para pengemudi. Terdapat hubungan negatif antara psikosomatis dan absenteeism, hasil temuan ini berbeda dengan hipotesis penelitian.
Kata kunci: Masa Kerja, Hardiness, Psikosomatis, Absenteeism, Pengemudi Bus.
Ketidakhadiran atau absenteeism adalah sebuah problematika klasik dalam ketenagakerjaan, dimana dampaknya akan mempengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan. Absenteeism akan implikasi pada penurunan produktivitas maupun profit baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yaitu melalui upah pengganti, potensi keuntungan yang hilang, sedangkan dalam jangka panjang secara tidak langsung melelui penurunan semangat kerja. Absenteeism memiliki asosiasi dengan perilaku menarik diri dari pekerjaan yang seiring sejalan dengan turnover karyawan (Robbins, 2003). Jelas adanya bahwa
2
jika ketidakhadiran karyawan akan menyulitkan setiap organisasi untuk berjalan dengan lancar dan mencapai target-targetnya. Secara umum absenteeism berdampak pada meningkatnya biaya, hal ini yang ingin ditekan oleh pihak manajemen. Disisi lain kehadiran (attendance) karyawan yang bekerja secara efektif dapat meningkatkan produktivitas, daya saing, dan memberikan profit yang berkelanjutan. Untuk itu menekan absenteeism merupakan suatu kebutuhan organisasi guna menjalankan kinerja yang stabil dan mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan. Secara umum absenteeism menyebabkan kerugian bagi organisasi namun dalam kondisi tertentu dapat memperoleh keuntungan atau setidaknya mengurangi potensi kerugian bila karyawan secara sukarela memilih meninggalkan pekerjaannya saat dalam kondisi sakit, kelelahan, atau stres. Kondisi seperti itu dapat berpotensi terhadap kesalahan dan kecelakaan kerja. Akibat dari adanya kecelakaan kerja memiliki pengaruh dan biaya yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan ketidakhadiran karyawan itu sendiri. Namun dalam kondisi yang wajar, absenteeism memiliki dampak negatif dibandingkan konsekuensi positif yang secara insidental terbentuk. Secara umum disepakati bahwa organisasi akan lebih diuntungkan bila absenteeism berada dalam tingkat yang rendah (Robbins, 2003). Absenteeism memiliki konsekuensi negatif pada aspek didalam dan diluar organisasi tempatnya bekerja. Dampak negarif dari absenteeism menurut Goodman & Atkin adalah pada (1) individu: potongan upah, pelanggaran disiplin formal dan informal, merubah persepsi orang terhadap pekerjaan tersebut; (2)
3
rekan kerja: meningkatkan beban kerja, waktu lembur meningkat, kecelakaan meningkat, konflik dengan pekerja yang tidak hadir; (3) kelompok kerja: meningkatkan kesalahan dan kecelakaan kerja; (4) organisasi: meningkatkan biaya, meningkatkan keluhan, meningkatkan kesalahan kerja; (5) serikat kerja: bila ketidakhadirnan tinggi maka kredibilitas serikat akan menurun, meningkatkan biaya akibat keluhan tinggi; (6) keluarga: pendapatan berkurang, reputasi buruk; (7) masyarakat: turunnya produktifitas (Josias, 2005). Absenteeism para pengemudi bus di PT.JTT didominasi karena sakit dan ijin, meskipun ketidakhadiran itu menggunakan surat ijin dari dokter, pihak manajemen memiliki asumsi bahwa karyawan seringkali menggunakan surat sakit dari dokter sebagai alat untuk melegalisasi ketidakhadirannya. Ketidakhadiran karyawan sering diasumsikan karena kesehatan, nyatanya banyak aspek yang memainkan peran penting pada perilaku ketidakhadiran karyawan. Senada dengan asumsi itu, studi yang dilakukan oleh Bydawell (2000) dan Schumacher (2004) menekankan bahwa perlu adanya perhatian terhadap karyawan yang membolos atau dengan surat dokter sebenarnya tidak hadir bukan karena alasan kesehatan. Bahkan ada karyawan yang menggunakan alasan sakit itu untuk keperluan liburan setelah jatah cutinya habis. Fakta unik juga ditemukan pada penelitian Harvey & Nicholson (1999) dimana gender memiliki hubungan dengan sikap melegitimasi ketidakhadiran kerja yang disebabkan oleh kondisi sakit ringan. Pria cenderung lebih membenarkan ketidakhadiran kerja meskipun disebabkan penyakit ringan dibandingkan wanita.
4
Serangkaian penelitian telah dilakukan di 13 negara untuk membandingkan profesi pengemudi dengan profesi lain, diperoleh kesimpulan bahwa pengemudi bus merupakan profesi yang dinilai memiliki resiko tinggi (Kompier, 1996). Berikut ini merupakan gambaran hubungan antara karakteristik pekerjaan, stres dan kesehatan pengemudi bus. Kondisi pekerjaan dengan stressor tinggi, dalam hal ini pengemudi bus memiliki konsekuensi organisasional yang besar. Setidaknya dalam penelitian meta-analisis mengenai pengemudi bus selama 50 tahun terakhir menemukan setidaknya ada tiga konsekuensi organisasional dari stresor karakteristik kerja pengemudi bus, yaitu: (1) Kecelakaan, (2) Absenteeism, dan (3) Turnover (Tse, Flin, & Mearns, 2006). Pertama, kecelakaan merupakan konsekuensi yang nyata dari sifat pekerjaan dengan lingkungan kerja yang dinamis. Kondisi jalan raya yang semakin padat menjadikan tekanan kerja bagi pengemudi semakin tinggi sehingga resiko terjadinya kecelakaan semakin besar. (Dorn, 2005). Kedua, semakin tingginya tekanan pekerjaan menjadikan tuntutan psikis dan mental pengemudi semakin tinggi. Tekanan tinggi yang terjadi secara terus menerus akan berdampak pada kesehatan yang menyebabkan tingkat absensi pengemudi dikarenakan masalah kesehatan. Ketiga turnover, karakteristik pekerjaan dengan tekanan yang tinggi membuat konsekuensi psikis dan fisik bagi pekerjaanya sehingga individu akan mudah merasa stres dan memilih beralih pekerjaan/profesi. Johns & Nicholson (1982) menjelaskan bahwa absenteeism adalah suatu fenomena perilaku dengan variasi latar belakang yang melingkupinya. Bahwa absenteeism merupakan sebuah perilaku yang dilakukan seorang individu, maka
5
terdapat anteseden internal individu yang menyebabkan munculnya perilaku tersebut. Salah satu anteseden yang paling kuat dalam menentukan perilaku individu adalah kepribadian. Dimana definisi dari Block, Weiss, dan Thorne (dalam Hampson, 1988) kepribadian adalah faktor internal yang relatif stabil, yang menghasilkan perilaku individu dari waktu ke waktu, dan berbeda/khas yang membedakannya dengan orang yang lain. Definisi tersebut menyimpulkan bahwa perilaku merupakan sebuah manifestasi dari kepribadian individu yang konsisten. hal ini mendasari pemikiran bahwa perilaku absenteeism dapat dijelaskan melalui faktor internal individu yaitu kepribadian. Disamping kepribadian terdapat pula faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi terjadinya absenteeism. Sebagai pembentuk respon perilaku seseorang, kepribadian tentu akan menentukan perilaku individu di lingkungan kerjanya. Penelitian sebelumnya menemukan
bahwa
kepribadian
seseorang
memiliki
hubungan
dengan
absenteeism. Furnham & Miller (1997) dalam penelitiannya menemukan hubungan antara pribadi ekstrovert berusia muda dengan ketidakhadiran karena sakit, pribadi ekstrovert yang stabil dengan tingkat kinerja dan potensi berkembang. Pada penelitian yang lain ketidakhadiran kerja yang pendek berhubungan dengan neuroticism yang tinggi, external locus of control, ekstraversi yang rendah, aggreableness yang rendah, dan conscientiousnes yang rendah, sebaliknya ketidakhadiran kerja yang panjang berhubungan dengan neuroticism yang tinggi, ekstraversi yang rendah, keterbukaan diri yang rendah (Vlasveld, et al., 2013).
6
Kepribadian tahan banting merupakan karakteristik kepribadian yang memiliki fungsi sebagai sumber perlawanan saat individu menemui suatu kejadian yang mengancam (Kobasa, 1982). Kepribadian tahan banting merupakan kepribadian yang dapat menyesuaikan dirinya terhadap tuntuan secara tepat dan efektif. Karakter hardiness memandang suatu perubahan sebagai tantangan bukan ancaman, berkonsentrasi pada komitmen, dan mempunyai locus of control internal. Karakter ini disebut three C’s of Health yaitu challenge, commitment, dan control. Ketiga hal ini merupakan interpretasi yang adaptif terhadap kejadian menekan (Kobasa dalam Zimbardo & Gerrig, 1996; Greenberg, 2002). Kepribadian tahan banting mempunyai serangkaian ciri atau sikap yang membuat individu tahan terhadap tekanan karena kepribadian ini menunjukan adanya commitment (komitmen) yaitu kecenderungan individu untuk terlibat dalam kegiatan yang sedang dilakukannya, dimana merupakan lawan dari alianase (keterasingan), control (kontrol) yaitu keyakinan individu bahwa dengan tindakan yang ia lakukan akan merubah keadaan, dimana
merupakan lawan dari
ketidakberdayaan, dan challenge (tantangan) sikap positif melihat perubahan yang terjadi sebagai tantangan yang akan memberdayakan dirinya, dimana merupakan lawan dari takut atau situasi mengancam (Greenberg, 2002). Dari hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa kepribadian hardiness memiliki hubungan dan pengaruh positif terhadap ketahanan pada pekerjaan yang stressfull (Bartone, Roland, Picano, & Williams, 2008); penilaian diri positif dalam kondisi menekan (Allred & Smith, 1989); sport achivement & well-being (Nezhad & Besharat, 2010); kepuasan kerja (McCalister, Dolbier, Webster,
7
Mallon, & Steinhardt, 2006; Cash, 2009; Rasouli, Hossenian, & Dokanee, 2012); dan kinerja (Cash, 2009). Sebaliknya kepribadian hardiness memiliki hubungan dan pengaruh negatif terhadap work stress (Shepperd & Kashani, 1991; McCalister, Dolbier, Webster, Mallon, & Steinhardt, 2006; Rasouli, Hossenian, & Dokanee, 2012); intensi turnover (Cash, 2009); distres psikologis (Nowack, 1989; Nezhad & Besharat, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Tang & Hammontree (1992) menemukan bahwa bukanlah tingkat stres kerja yang berperan terhadap munculnya absenteeism, namun justru kepribadian hardiness-nya. Studi mereka pada perwira polisi ditemukan bahwa pada tingkat stres apapun individu dengan hardiness yang rendah menunjukan absenteeism yang tinggi. Menguatkan penelitian sebelumnya Judkins, Massey, dan Huff (2006) menemukan bahwa pada manajer perawat dengan tingkat stres rendah maupun tinggi, pada individu hardiness tinggi mengambil jatah waktu sakit 35% lebih rendah dibandingkan dengan yang memiliki hardiness rendah. Maka dengan hasil ini dapat disimpulkan bahwa bukanlah aspek tingkat stres kerja yang merupakan prediktur bagi munculnya perilaku absenteeism melainkan kepribadian hardiness individu tersebutlah yang memiliki peran sentral. Salah satu teori yang menjadi dasar dari hubungan antara kepribadian dan kesehatan adalah The Health-Behavior Model yang dikemukakan oleh Wiebe dan Smith. Menurut model ini kepribadian mempengaruhi kesehatan seseorang melalui tindakan sehat yang dilakukan oleh seseorang. kepribadian memiliki peran penting dalam kognisi, emosi, dan perilaku seseorang saat menerima
8
stimulus berupa sensasi fisik dari dalam tubuhnya sendiri, dimana akan mempengaruhi derajat atensi terhadap stimulus itu sendiri, penilaian/labeling sensasi tersebut sebagai simptom penyakit, menyampaikan keluhan sakit, hingga tindakan mencari bantuan kesehatan. Kepribadian cederung lebih mempengaruhi illness behavior dibandingkan actual illness. Actual illness ialah kondisi objektif terukur secara patho-pysiological seperti tekanan darah, dokumen penyakit yang diidap, atau kematian, sedangkan behavior illness adalah reaksi/tindakan seseorang saat merasa dirinya sedang mengalami kondisi sakit seperti laporan simptom, absenteeism, perawatan kesehatan, dan mengkonsumsi obat-obatan. illness behavior sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis dimana sesorang memiliki tendensi untuk sensitif dalam merasakan kondisi tubuhnya dan melabelinya sebagai kondisi sakit (Wiebe & Smith, 1997). Faktor lain yang berkaitan dengan absenteeism adalah demografi individual seperti masa kerja, usia, dan gender (Muchinsky, 1977). Masa kerja merupakan suatu unsur demografik, yaitu karakteristik individual yang merujuk pada seberapa lama seorang individu bekerja pada suatu profesi atau pekerjaan. Seorang pengemudi mengemudikan bus selama delapan jam perhari, sehingga terus menerus terpapar kondisi kerja tersebut selama masa kerjanya. Individu yang terpapar situasi kerja yang penuh kepenatan akan membawa konsekuensi psikologis dan organisasional. Sepanjang masa kerjanya tersebut ia juga mengalami tekanan yang dihasilkan dari karakteristik pekerjaan tersebut. Leigh (1991) dalam penelitiannya menemukan bahwa derajat berbahayanya suatu profesi memiliki hubungan yang kuat terhadap absenteeism. Studi lain juga
9
menemukan asosiasi antara absenteeism dengan masa kerja dan lama kerja pada suatu jabatan (Jensen & McIntosh, 2007). Temuan penelitian ini memberikan informasi bahwa absenteeism memiliki keterkaitan dengan masa kerja dan masa menjabat pada suatu jabatan dengan karakteristik kerja yang beresiko tinggi. Dari temuan beberapa penelitian sebelumnya diketahui bahwa terdapat hubungan terbalik (negatif) antara masa kerja dan absenteeism (Robbins, 2003; Romero & Strom, 2011; Ndhlovu, 2012). Hal ini berarti karyawan dengan pengalaman
kerja
yang
tinggi
lebih
sedikit
jumlah
absenteeism-nya
(ketidakhadiran). Namun hasil berbeda didapati dari penelitian (Inchino & Riphahn, 2001; Hoque & Islam, 2003) dimana pekerja dengan masa kerja yang tinggi memiliki tingkat ketidakhadiran kerja yang lebih tinggi dibandingkan karyawan dengan masa kerja yang rendah. Hasil berbeda pula ditemukan oleh Lau et al. (2001) dimana tidak ada hubungan antara masa kerja dan absenteeism. Penelitian mengenai masa kerja dan absenteeism sejauh ini memang manghasilkan kontradiksi disebabkan temuan asosiasi yang berbeda-beda. Survey
dari
Schreuder,
Roelen,
Koopmans,
Groothoff
(2008)
menyimpulkan bahwa pekerja kantor (white-collar) memiliki psychological job demand yang tinggi, sedangkan para buruh memiliki tuntutan fisik yang lebih tinggi. Pada penelitian Pousette & Hanse (2002) diketahui bahwa pada para buruh (blue-collar) beban kerja memiliki hubungan positif dengan gangguan kesehatan, sedangkan pada pekerja kantor kepuasan kerja memiliki hubungan negatif dengan gangguan kesehatan. Hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan bahwa pada para buruh yang lebih banyak menggunakan kemampuan fisik dalam bekerja,
10
menempatkan beban kerja sebagai anteseden terhadap gangguan kesehatan. Karakteristik kondisi pekerjaan itu sendirilah yang menjadi penentu terhadap gangguan kesehatan yang muncul. Meskipun memiliki karakteristik job demand yang berbeda, baik pekerja karyawan maupun buruh melaporkan bahwa memiliki simtom gangguan kesehatan yang sama seperti sakit punggung, kelelahan, sakit kepala, gangguan pernafasan dan mengantuk (Schreuder, Roelen, Koopmans, & Groothoff, 2008). Sebuah penelitian menemukan bahwa pada para buruh dengan sifat kerja yang monoton memiliki kecenderungan untuk mengalami peningkatan resiko terhadap serangan jantung koroner (Melamed, Ben-Avi, & Green, 1995). Penelitian yang lain menyebutkan bahwa pada pekerja pria dengan karakteristik pekerjaan ber-autonomy rendah memiliki angka ketidakhadiran dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pekerja pria dengan autonomy yang tinggi, dan pada karakteristik kerja dengan kompleksitas rendah berasosiasi dengan ketidakhadiran kerja yang panjang (Vaananen, Toppinen-Tanner, Kalimo, Mutanen, Vahtera, & Piero, 2003). Penelitian pada polisi yang bertugas selama lima tahun di jalanan (streetlevel duty) yang menerima paparan karakteristik kondisi kerja lapangan secara signifikan mengalami ketidaknyamanan emosional. Pada penelitian ini digunakan komparasi skor MMPI dan MMPI-2, dimana terjadi peningkatan pada skala 1 (hypochondriasis) dan skala 3 (conversion hysteria) adalah konsisten dengan temuan sebelumnya yang dilakukaan oleh Beutler dan Burke yaitu adanya psikosomatis dan peningkatan keluhan fisik yang berkaitan dengan kondisi stres (Cottle & Ford, 1999).
11
Pengenudi bus tergolong sebagai pekerja buruh. Karakteristik pekerjaan seorang pengemudi bus berupa tuntutan pekerjaan (Job Demand) yang harus dipenuhi seorang pengemudi bus adalah sebagai berikut: (1) mengolah informasi dan rambu-rambu yang jumlahnya banyak dalam suatu segmen waktu yang pendek-dalam waktu selama 8 jam kerja perhari, (2) kewaspadaan tinggi karena kesalahan akan berakibat resiko tragis dan kerusakan permanen, (3) setiap hari bertanggungjawab atas keselamatan penumpang yang jumlahnya besar, (4) kondisi kerja yang banyak terpapar getaran, kebisingan, jadwal kerja yang tidak menentu, dan jam kerja yang panjang, (5) jadwal kerja dan libur yang tidak lazim; bekerja pada malam hari atau saat hari libur, (6) situasi lingkungan eksternal; cuaca panas, (7) tugas yang monoton, (8) beban mental, sensori dan emosional, (9) kondisi lalu-lintas yang padat, (10) karakteristik tugas yang menguras mental karena mengharuskan individu untuk dapat mengatasi (cope) dengan tuntutan yang saling bertolak belakang, (11) ergonomika kabin dan kursi pengemudi (12) perasaan terisolasi secara sosial, (13) jadwal kerja yang mambatasi kehidupan sehari-hari dan waktu tidur (Kompier, 1996; Tse, Flin, & Mearns, 2006). Pengemudi bus berinteraksi langsung dengan kondisi kerja berkarakteristik khusus dalam waktu yang relatif lama selama masa kerjanya dapat menghasilkan konsekuensi bagi individu yang menyandang profesi tersebut. Merujuk pada karakteristik pekerjaan pengemudi bus yang tergolong kategori buruh yang monoton dengan autonomy yang rendah, dukungan yang rendah, ancaman kondisi bahaya, konflik kepentingan yang tinggi dan ergonomika yang terbatas dalam jangka waktu yang lama selama masa kerja yang
12
bersangkutan maka akan sangat mungkin ia akan mengalami gangguan emosional. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dipaparkan diatas, maka dapat diasumsikan bahwa seorang pengemudi bus akan mengalami kondisi serupa dimana masa karja akan berpengaruh terhadap ketidaknyaman emosional yang berimplikasi terhadap keluhan fisik yang dirasakan. Lazarus dan Folkman (1984) meyakini bahwa dibandingkan kejadian besar dalam hidup, kepenatan sehari-hari lebih menggangu individu dan menyebabkan permasalahan mental dan fisik. Hal ini dikemukakan oleh Durand & Barlow (2003) yang mengatakan bahwa tekanan-tekanan yang dialami individu sebagai interaksinya dengan lingkungan dapat menimbulkan efek fisik dan psikis. Efek fisik menyebabkan munculnya penyakit fisik, sedangkan efek psikologis adalah munculnya beberapa keluhan sakit. Ketegangan dapat menimbulkan perasaan-perasaan negatif seperti mudah marah, tersinggung, sedih, kehilangan kendali, dan sebagainnya. Ketegangan juga dapat dimanifestasikan dalam keluhan fisik (Prawitasari, 1989). Tekanan-tekanan yang diakibatkan kondisi kerja merupakan realitas yang harus dihadapi oleh setiap pengemudi. Tidak semua pengemudi dapat mengendalikannya. Jika pengemudi tidak mampu mengatasi tekanan tersebut dapat berujung pada munculnya reaksi fisik maupun psikis. Secara fisik, karyawan mudah lelah, capai, dan sering sakit. Secara psikologis karyawan menjadi cemas, tegang, emosional, dan bahkan menurun semangat kerjannya. Psikosomatis adalah ganggunan jasmaniah yang disebabkan oleh gangguan emosional. Gangunan psikosomatis bukan sekedar mental atau fisik
13
saja, akan tetapi merupakan manifestasi tubuh akibat konflik yang berhubungan dengan sistem saraf otonom (Garrett, 2003). Gangguan psikosomatis dapat berupa psikogenik atau somatogenik. Psikogenik, artinya gangguan fisik yang dihasilkan kerena kondisi stres. Psikosomatis muncul karena stress akibat adanya emosi yang ditekan. Psikosomatis merupakan ekspresi dari adanya kondisi stres dan akan berdampak
pada
meningkatnya
permintaan
akan
perawatan
kesehatan.
Somatogenik artinya gangguan psikosomatis yang muncul ketika pikiran individu menduga tubuhnya mengidap penyakit tertentu sehingga menurunkan ketahanan tubuh (Greenberg, 2002). Kondisi fisik seseorang sangat mempengaruhi hasil kerjanya. Bergstrom, Hagberg, Busch, Jensen, & Bjorklund (2013) dalam penelitiannya pada pekerja penderita sakit punggung menemukan bahwa sebuah ukuran kesehatan melalui alat ukur kuesioner kesehatan dapat memprediksi absenteeism karena sakit, pensiun karena tidak mampu bekerja, dan kehadiran kerja meskipun sakit. Penelitian Melamed, Froom, & Green (1997) mendapati bahwa individu yang mengidap darah tinggi dan mempunyai persepsi kuat bahwa dirinya mengalami simptom/gejala darah tinggi ketidakhadiran kerjanya lebih tinggi dibandingkan orang dengan tekanan darah normal, sedangkan orang yang mengidap hipertensi namun mempersepsi bahwa dirinya tidak mengalami simptom/gejala darah tinggi ketidakhadiran kerjanya lebih rendah dibandingkan orang dengan tekanan darah normal. Eriksson, Celsing, Wahlstrom, Janson, Zander, & Wallman (2008) menemukan bahwa terdapat asosiasi antara panjangnya ketidakhadiran kerja dengan jumlah pelaporan simptom/gejala sakit dan kondisi kesehatan yang
14
rendah. Morken, Haukenes, & Magnussen, (2012) dalam studi kualitatifnya menemukan bahwa pertimbangan pertama dalam menentukan hadir atau tidak hadir kerja saat sakit adalah derajad penyakit yang dirasakan. Dari serangkaian penelitian yang ada, menunjukkan bahwa persepsi seseorang bahwa dirinya mengalami suatu gejala penyakit akan memiliki hubungan dengan perilaku ketidakhadiran kerja yang dilakukan. Suzane Kobasa (1982) mengungkapkan perbedaan respon individu terhadap
stresor
dipengaruhi
oleh
tipe
kepribadian.
Eksperimen
yang
dilakukannya mengenai faktor tipe kepribadian yang mempengaruhi stres menunjukan bahwa kelompok pertama mampu bertahan dalam kondisi stres tinggi serta mereka jarang menderita penyakit. Kelompok ini disebut kelompok yang memiliki karakter hardiness atau tahan banting, sedangkan kelompok kedua ternyata mudah menderita penyakit. Hardiness merupakan prediktor terhadap kondisi stres yang dialami oleh individu, sedangkan psikosomatis merupakan indikator dari kondisi stres yang dirasakan individu. Psikosomatis sendiri merupakan preditor bagi perilaku absenteeism (Eriksson, Celsing, Wahlstrom, Janson, Zander, & Wallman, 2008), maka psikosomatis merupakan mediator atau perantara antara kepribadian hardiness dengan perilaku absenteeism. Tujuan Penelitian Berdasarkan model permasalahan yang dijabarkan diatas, diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: