Pengaruh Laju Aliran, Temperatur dan Kelembaban Udara Terhadap Laju Pengeringan Keping Singkong A.L. Varian Pradipta, Dr. Ir. Engkos A. Kosasih, M.T. Teknik Mesin, Departemen Teknik Mesin, Universitas Indonesia, Depok, 16424. Email:
[email protected];
[email protected]
ABSTRAK Singkong memiliki potensi yang baik sebagai bahan baku etanol. Kelebihan singkong dibandingkan dengan tanaman lain adalah harganya yang ekonomis dan masa panen yang singkat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai konstanta laju pengeringan (k) sebagai referensi untuk perancangan rotary dryer, juga untuk mengetahui pengaruh laju aliran, temperatur dan kelembaban udara terhadap laju pengeringan singkong. Dalam penelitian ini singkong dikupas dan diiris dengan ketebalan 3mm, kemudian dikeringkan dengan variasi laju aliran udara 340 liter per menit dan 440 liter per menit. Udara yang dialirkan divariasikan pada temperatur heater 60°C, 80°C dan 100°C. Dengan menggunakan dehumidifier, kelembaban udara yang dialirkan juga divariasikan pada temperatur evaporator 10°C, 20°C dan tanpa dehumidifier. Kata kunci: pengeringan, keping singkong, konstanta laju pengeringan
ABSTRACT Cassava has a good potential as a feedstock for ethanol. Cassava’s excess compared with the other crops are cheaper and has a short harvest period. The aim of this experimental study was to determine the drying rate constants (k) as a reference for the design of rotary dryer, also to determine the effects of flow rate, temperature and humidity to the cassava’s drying rate. In this study cassava peeled and sliced to a thickness of 3mm, then dried with varied air flow rate of 340 liters per minute and 440 liters per minute. Flowed air temperature was varied at 60°C, 80°C and 100°C. By using a dehumidifier, flowed air humidity also varied at the evaporator temperature 10°C, 20°C and without a dehumidifier. Keywords: drying, cassava chips, drying rate constants
1.
Pendahuluan
Selama ini, lebih dari 90% kebutuhan energi dunia dipasok dari bahan bakar fosil. Jika eksploitasi terus berjalan dengan angka ini, diperkirakan sumber energi akan habis dalam setengah abad mendatang (Yakinudin, 2010). Salah satu alternatif pengganti bahan bakar fosil adalah dengan bioenergy seperti bioetanol. Sumber bioetanol yang cukup potensial dikembangkan di Indonesia adalah singkong. Indonesia adalah penghasil singkong keempat di dunia. Pada tahun 2005, produksi singkong Indonesia mampu mencapai 19,5 juta ton dari luas areal 1,24 juta hektar (Badan Pusat Statistik, 2010). Masalah dalam pengembangan bioetanol dari singkong adalah masa pembusukan yang dialami oleh singkong terjadi dengan cepat. Dalam mengatasi hal tersebut dibutuhkan teknologi dryer atau pengering untuk mengeringkan singkong agar dapat tetap awet dan sampai ke investor dengan kualitas yang baik. Teknologi pengeringan juga dapat mengurangi biaya transportasi bahan, dikarenakan material atau benda yang sebelumnya memiliki massa yang berlebih. Setelah
melalui proses pengeringan maka kadar air yang terdapat pada bahan berkurang secara signifikan. Singkong memiliki kadar air sekitar 60%. Untuk menghindari pembusukan atau penjamuran, kadar air pada singkong perlu dihilangkan hingga tersisa 8-15% (Chemilo, 2014). Pada penelitian ini singkong dihilangkan kadar airnya hingga mendekati 0% untuk mendapatkan nilai kontanta laju pengeringan (k). Dengan tambahan variasi kelembaban, nilai k akan semakin beragam sehingga pilihan perancangan alat pengering juga dapat lebih bervariasi. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan mengenai tinjauan pustaka yang berkaitan dengan penelitian, metodologi dan prosedur penelitian, hasil penelitian dan analisis data serta kesimpulan dan saran.
2.
Tinjauan Pustaka
2.1. Udara Udara merupakan campuran gas yang terdapat pada permukaan bumi. Udara bumi yang kering mengandungi 78% 1
Pengaruh laju..., A L Varian Pradipta, FT, 2014
nitrogen, 21% oksigen, dan 1% uap air, karbon dioksida, dan gas-gas lain. Kandungan elemen senyawa gas dan partikel dalam udara akan berubah-ubah dengan ketinggian dari permukaan tanah. Demikian juga massanya, akan berkurang seiring dengan ketinggian. Semakin dekat dengan lapisan troposfer, maka udara semakin tipis, sehingga melewati batas gravitasi bumi, maka udara akan hampa sama sekali. Karakteristik-karakteristik udara seperti kerapatan, panas jenis, konduktivitas termal, kekentalan kinematik dan koeffisien pemuaian dipengaruhi oleh temperatur. Sifat dan karakteristik udara ditunjukkan pada tabel berikut.
Kelas Sub Kelas Ordo Famili Sub Famili Genus Spesies
: Dicotiledoneae : Arhichlamydeae : Euphorbiales : Euphorbiaceae : Manihotae : Manihot : Manihot esculenta
Singkong memiliki potensi yang cukup baik sebagai tanaman bahan baku etanol. Tabel 2.2 Potensi beberapa tanaman sebagai bahan baku etanol
Tabel 2.1 Karkteristik udara terhadap temperatur
Tabel 2.2 menunjukkan bahwa tebu sebagai tanaman penghasil etanol dengan produktifitas tertinggi dan disusul oleh singkong. Bit tidak dipertimbangkan karena tidak dapat berproduksi optimal di Indonesia sehingga tidak ekonomis. Keunggulan singkong dibanding tebu adalah masa panen singkong relatif lebih singkat dan biaya produksi lebih murah.
2.2. Singkong Singkong adalah tanaman yang tumbuh di daerah tropis dan rentan terhadap cuaca dingin. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada daerah bercurah hujan tahunan antara 500 – 5000 mm dan terkena sinar matahari terik (Agodzo dan Owusu, 2002).
Gambar 2.1 Singkong atau ubi kayu
Singkong masuk dalam kelas Dicotiledoneae dan famili Euphorbiaceae. Berikut ini adalah klasifikasi tanaman singkong.
2.3. Pengeringan Tujuan dari pengeringan adalah mengurangi kadar air bahan sampai batas di mana perkembangan mikroorganisma dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat atau terhenti. Dengan demikian bahan yang dikeringkan dapat mempunyai waktu simpan yang lama. Ada dua faktor yang mempengaruhi pengeringan yaitu faktor yang berhubungan dengan udara pengering dan faktor yang berhubungan dengan sifat bahan yang dikeringkan. Faktor-faktor yang termasuk golongan pertama adalah suhu, kecepatan volumetrik aliran udara pengering dan kelembaban udara. Faktor-faktor yang termasuk golongan kedua adalah ukuran atau tebal dari bahan, kadar air awal dan tekanan parsial di dalam bahan. Kelembaban udara berpengaruh terhadap proses pemindahan uap air. Apabila kelembaban udara tinggi, maka perbedaan tekanan uap air di dalam dan di luar bahan menjadi kecil sehingga menghambat pemindahan uap air dari dalam bahan ke luar. Pengontrolan suhu serta waktu pengeringan dilakukan dengan mengatur kotak alat pengering dengan alat pemanas, seperti udara panas yang dialirkan ataupun alat pemanas lainnya. Suhu pengeringan akan mempengaruhi kelembaban udara di dalam alat pengering dan laju pengeringan untuk bahan tersebut. Pada kelembaban udara yang tinggi, laju penguapan air bahan akan lebih lambat dibandingkan dengan pengeringan pada kelembaban yang rendah.
2
Pengaruh laju..., A L Varian Pradipta, FT, 2014
Pengaruh temperatur pada proses pengeringan Laju penguapan air bahan dalam proses pengeringan sangat ditentukan oleh kenaikan suhu. Semakin besar perbedaan antara suhu media pemanas dengan bahan yang dikeringkan, semakin besar pula kecepatan pindah panas ke dalam bahan pangan, sehingga penguapan air dari bahan akan lebih banyak dan cepat (Taib, G. et al., 1988). Semakin tinggi suatu suhu dan kecepatan aliran udara pengering makin cepat pula proses pengeringan berlangsung. Dan bila suhu udara pengering makin besar energi panas yang dibawa udara sehingga makin banyak jumlah massa cairan yang diuapkan dari permukaan bahan yang dikeringkan. Jika kecepatan aliran udara pengering makin tinggi maka makin cepat pula massa uap air yang dipindahkan dari bahan ke atmosfir (Taib, G. et al., 1988). Semakin tinggi suhu yang digunakan untuk pengeringan, makin tinggi energy yang disuplai dan makin cepat laju pengeringan. Akan tetapi pengeringan yang terlalu cepat dapat merusak bahan, yakni permukaan bahan terlalu cepat kering, sehingga tidak sebanding dengan kecepatan pergerakan air bahan ke permukaan. Hal ini menyebabkan pengerasan permukaan bahan. Selanjutnya air dalam bahan tidak dapat lagi menguap karena terhalang. Dalam proses pengeringan penggunaan suhu yang terlalu tinggi dapat merusak struktur dan kandungan dari bahan yang dikeringkan. Pengeringan pada suhu dibawah 45oC mikroba dan jamur yang merusak produk masih hidup, sehingga daya awet dan mutu produk rendah. Namun pada suhu udara pengering di atas 75oC menyebabkan struktur kimiawi dan fisik produk rusak, karena perpindahan panas dan massa air yang berdampak perubahan struktur sel (Setiyo, 2003).
(persamaan 2.3)
a.
b.
Kadar air bahan Kadar air bahan (moisture content) menunjukkan banyaknya kandungan air persatuan berat bahan. Dalam hal ini terdapat dua metode untuk menentukan kadar air bahan tersebut yaitu berdasarkan basis berat kering (dry weight basis) dan berdasarkan basis berat basah (wet weight basis). Dalam penentuan kadar air bahan hasil pertanian biasanya dilakukan berdasarkan wet weight basis. Dalam perhitungan ini berlaku rumus sebagai berikut: Basis berat basah (w.w.b) diperoleh dengan membagi berat air dalam bahan pangan dengan berat total bahan pangan. 𝑀𝑤 𝑤. 𝑤. 𝑏 = 100% 𝑀𝑤 + 𝑀𝑑
(persamaan 2.1)
Basis berat kering (d.w.b) diperoleh dengan membagi berat air dengan berat kering bahan pangan. 𝑀𝑤 𝑑. 𝑤. 𝑏 = 100% 𝑀𝑑
(persamaan 2.2)
Hubungan antara w.w.b dengan d.w.b ditunjukkan oleh persamaan: 𝑤. 𝑤. 𝑏 𝑑. 𝑤. 𝑏 = 100% 100 − 𝑤. 𝑤. 𝑏
c.
Keseimbangan kadar air Udara yang berfungsi sebagai fluida pengering selalu memiliki kandungan moisture dan mempunyai humiditas relatif tertentu. Untuk udara dengan humiditas relatif tertentu, kandungan moisture yang keluar dari pengering tidak dapat kurang dari equilibrium moisture yang berkaitan dengan kelembaban udara masuk. Equilibrium Moisture Content (EMC) merupakan kandungan air yang terdapat pada suatu bahan yang kemudian bahan tersebut disimpan di suatu tempat dalam jangka waktu yang tak menentu. Seperti disebutkan di atas, EMC ini juga dipengaruhi oleh suhu dan Relative Humidity (RH) di lingkungan. Kondisi dimana suatu bahan yang sudah mencapai keseimbangan dengan temperatur udara lingkungan, ketika bahan tersebut dipindahkan ke lingkungan dengan temperatur udara atau RH yang berbeda maka bahan tidak berkeseimbangan dengan lingkungan tersebut dengan kata lain Moisture Content (MC) akan kembali berubah. Contoh jika kondisi lingkungan yang baru lebih panas atau RH lebih kecil maka air dalam bahan tersebut akan menguap atau MC yang terdapat pada bahan akan turun dan dalam waktu tak tertentu akan mencapai kondisi dimana EMC yang baru tercipta. Karena itu syarat dari EMC adalah tekanan uap dari kandungan air ini adalah sama dengan tekanan uap dari air murni. Dan jika suatu bahan disimpan dalam suatu tempat pada suhu dan kelembaban relatif RH yang konstan maka kadar air bahan tersebut akan menuju suatu keseimbangan dengan lingkungannya yaitu kondisi EMC. d.
Mekanisme pengeringan bahan Berikut ini adalah mekanisme keluarnya air dari dalam bahan selama pengeringan: 1. Perpindahan energi (panas) antar fase dari udara ke permukaan butiran untuk menguapkan air di permuakaan butiran. 2. Perpindah energi (panas) dari permukaan butiran ke dalam butiran secara konduksi. 3. Perpindahan massa air dari bagian dalam ke permukaan butiran secara difusi dan atau kapiler 4. Perpindahan massa air antar fasa dari permukaan butiran ke fasa udara pengering. Proses pengeringan pada bahan dimana udara panas dialirkan dapat dianggap suatu proses adiabatis. Hal ini berarti bahwa panas yang dibutuhkan untuk penguapan air dari bahan hanya diberikan oleh udara pengering tanpa tambahan energi dari luar. Ketika udara pengering menembus bahan basah, sebagian panas sensibel udara pengering diubah menjadi panas laten sambil menghasilkan uap air. Selama proses pengeringan terjadi penurunan suhu bola kering udara, disertai dengan kenaikan kelembaban mutlak, kelembaban nisbi, tekanan uap dan suhu pengembunan udara pengering. Entalphi dan suhu bola basah udara pengering tidak menunjukkan perubahan. e.
Hubungan antara massa material dengan laju pengeringan Dalam suatu proses pengeringan, massa bahan, m terdiri dari massa bahan kering, mdp dan massa air, mw.
3
Pengaruh laju..., A L Varian Pradipta, FT, 2014
+
m=
-
(persamaan 2.4)
atau dapat juga dituliskan sebagai:
=(persamaan 2.12)
Nilai dapat disubstitusikan dari (persamaan 2.12) ke (persamaan 2.9) sehingga didapatkan:
m - mdp = mw (persamaan 2.5)
Pengeringan singkong dapat mencapai equilibrium moisture content (EMC), sehingga nilai moisture content pada kondisi equilibrium, Xe dapat dianggap nol. (Xe=0) Moisture content, X merupakan perbandingan antara massa air yang menguap, mw terhadap massa bahan kering, mdp. Sehingga dapat dituliskan:
-
=
k
-
=
k
-
=k
-
=k
-
=k
+ +
− −
X=
(persamaan 2.13) (persamaan 2.6)
Penurunan moisture content terhadap waktu dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:
Dengan menggunakan (persamaan 2.4) yang disubstitusikan ke (persamaan 2.13), didapatkan persamaan penurunan massa bahan terhadap waktu sebagai berikut:
= - k (X – Xe)
-
=km(persamaan 2.14)
(persamaan 2.7)
atau dapat juga dituliskan sebagai
dimana k merupakan konstanta laju pengeringan. Karena nilai Xe = 0, maka dapat dituliskan:
-
= k (m - mdp)
=-kX
(persamaan 2.15) (persamaan 2.8)
Nilai moisture content, X pada (persamaan 2.8) dapat disubstitusikan menggunakan (persamaan 2.6) menjadi: =-k -
=
dimana nilai m - mdp merupakan massa air, mw seperti yang tertulis pada (persamaan 2.5). Maka dapat disimpulkan bahwa dalam proses pengeringan, penurunan massa bahan terhadap waktu sama dengan penurunan massa air pada bahan karena massa bahan kering tidak berubah atau konstan.
k (persamaan 2.9)
3. sementara penurunan massa bahan terhadap waktu dapat dinyatakan dengan persamaan: =-
Metodologi dan Prosedur Penelitian
3.1. Rangkaian alat percobaan Penelitian yang dilakukan mengikuti skema seperti pada gambar berikut ini.
(persamaan 2.10)
Turunan dari suatu konstanta selalu bernilai nol. Oleh karena itu massa dari bahan kering, mdp yang diketahui nilainya dapat dimasukkan ke dalam (persamaan 2.10) menjadi: =(persamaan 2.11)
sehingga dapat dituliskan: =
4
Pengaruh laju..., A L Varian Pradipta, FT, 2014
Gambar 3.1 Skema Alat Percobaan Keterangan: 1. Blower 2. Flowmeter 3. Evaporator 4. Heater 5. Ruang pengeringan (batch dryer) 6. Timbangan Digital 7. Thermocontroller 8. Kompresor 9. Katup Ekspansi 10. Kondensor
3.2. Proses pengeringan Fungsi dari rangkaian alat percobaan yang terdiri dari evaporator dan heater ini adalah untuk menurunkan kadar air dan meningkatkan temperatur dari udara pengering dengan tujuan meningkatkan laju pengeringan. Berikut ini adalah skema proses pengeringan pada keping singkong secara aktual.
1. 2. 3.
Flow udara menggunakan 2 variasi, 340 liter/menit dan 440 liter/menit. Kelembaban udara (temperatur evaporator) menggunakan variasi 10°C, 20°C dan temperatur lingkungan (± 28°C). Temperatur heater menggunakan variasi 60°C, 80°C dan 100°C.
3.4. Langkah-langkah pengambilan data Berikut ini adalah langkah – langkah yang dilakukan dalam melakukan pengujian. 1. Melakukan persiapan singkong yaitu pengupasan dan pemotongan. Mengatur posisi alat dan mencolokkan ke listrik serta melakukan cek pada alat percobaan untuk memastikan tidak ada kerusakan. Sebelum melakukan percobaan, mengatur temperatur dan dry bulb dari evaporator. 2. Meletakkan alat pengering diatas timbangan. 3. Nyalakan heater dan atur suhu menggunakan temperature controller sesuai dengan yang dibutuhkan. 4. Menyalakan blower sesuai variasi yang diinginkan, lalu membiarkan udara panas mengalir untuk menghilangkan free water yang terdapat pada alat percobaan. 5. Menyalakan timbangan kemudian mengatur kalibrasi pengukuran di 0 gram. 6. Setelah temperatur heater, temperatur evaporator dan timbangan sudah stabil, meletakkan singkong yang sudah di potong kedalam alat percobaan dalam posisi berdiri agar udara yang mengalir dapat mengenai bagian-bagian dari singkong secara merata. Secara bersamaan menyalakan timer dan mencatat massa awal.
Gambar 3.1 Skema proses pengeringan keping singkong pada diagram psikrometrik
Keterangan : 1 2 Udara pengering melalui evaporator dan mengalami penurunan temperatur dengan rasio kelembaban konstan hingga mencapai titik jenuh. 2 3 Penurunan temperatur udara melalui proses dehumidifying disertai dengan penurunan rasio kelembaban. 3 4 Udara melalui heater, dipanaskan hingga temperatur yang diinginkan.
Gambar 3.2 Keadaan singkong untuk diletakkan didalam ruang pengering
7. Pada gambar 3.15, proses penurunan rasio kelembaban pada udara pengering konstan hingga mencapai titik jenuh. Setelah itu udara mengalami kondensasi sehingga nilai rasio kelembaban menurun bersama dengan penurunan temperatur udara. Kemudian udara dipanaskan melalui heater dan mengalami kenaikan temperatur hingga titik yang diinginkan.
3.3. Variabel acuan dalam pengambilan data Tiga variabel penting yang dijadikan acuan dalam pengambilan data yaitu:
Pencatatan perubahan massa setiap 10 menit sampai singkong dalam mencapai keadaan EMC, yaitu keadaan dimana massa singkong sudah tidak berkurang lagi.
3.4. Pengolahan data a. Data penurunan massa keping singkong Penelitian ini menghasilkan data relasi antara penurunan massa keping singkong terhadap waktu. Selain laju aliran udara pengering, temperatur evaporator dan temperatur heater, variabel lainnya yang diukur adalah temperatur lingkungan dan kelembaban relatif evaporator.
5
Pengaruh laju..., A L Varian Pradipta, FT, 2014
Tabel 3.1 Data pengeringan keping singkong dengan variasi laju aliran udara pengering 340 liter/menit, temperatur evaporator 20oC, dan temperatur heater 80oC.
Gambar 3.3 Dimensi ruang pengering
Menentukan rasio kelembaban, ω Nilai rasio kelembaban dari setiap variasi diperoleh dari psychrometric chart dengan 2 input, yaitu variabel temperatur evaporator sebagai dry bulb dan variabel kelembaban relatif. b.
Berdasarkan rincian dimensi ruang pengering pada Gambar 3.3, diketahui bahwa luas penampang dari ruang pengering adalah 0.021 m2. Maka didapatkan besar fluks udara pengering untuk setiap variasi temperatur heater dan laju udara seperti tabel berikut.
Tabel 3.2 Nilai rasio kelembaban, ω untuk setiap variasi pengeringan keping singkong
Tabel 3.3 Fluks, G udara untuk variasi temperatur heater dan flow udara pengering T udara pengering ρ udara pengering (kg/m3) 2
G (kg/s m )
340 LPM 440 LPM
60oC
80oC
100oC
1.067
1
0.946
0.29249991 0.378529295
0.274132999 0.354760352
0.259329817 0.335603293
d.
Menentukan nilai konstanta laju pengeringan, k Dari hasil perhitungan contoh pengeringan keping singkong pada variasi laju aliran udara pengering 340 liter/menit, temperatur evaporator 20°C, dan temperatur heater 80°C didapatkan relasi antara massa produk rata-rata, mp dengan penurunan massa produk terhadap waktu, - dmp/dt seperti ditunjukkan pada tabel berikut. Tabel 3.4 Hasil pengolahan data untuk mendapatkan nilai massa produk rata-rata, mp dan nilai penurunan massa produk terhadap waktu, - dmp/dt.
c.
Menentukan fluks massa udara, G Fluks udara pengering, G merupakan hasil pembagian luas penampang ruang pengering terhadap laju aliran udara pengering yang dikalikan dengan massa jenis, ρ udara pengering pada kondisi temperatur tertentu. Untuk mendapatkan besar kerapatan udara pengering pada setiap variasi temperatur heater perlu diketahui luas penampang ruang pengering. Berikut adalah dimensi dari ruang pengering yang digunakan untuk penelitian pengeringan keping singkong.
Dari Tabel 3.4, nilai mp dan -dmp/dt dibuat grafik relasinya seperti gambar berikut dengan mengetahui nilai fluks, rasio kelembaban dan temperatur heater.
6
Pengaruh laju..., A L Varian Pradipta, FT, 2014
Untuk memudahkan analisa, data pengaruh ω terhadap k pada Tabel 3.6 dikonversi ke dalam bentuk grafik seperti gambar berikut.
Gambar 3.4 Grafik relasi antara massa produk, mp dengan penurunan massa produk terhadap waktu, - dmp/dt pada variasi laju aliran udara pengering 340 liter/menit, temperatur evaporator 20°C, dan temperatur heater 80°C
Grafik pada Gambar 3.4, menunjukkan persamaan y = 0,0094x – 0,2046 dimana 0,0094 merupakan gradien yang juga merupakan nilai k. Sehingga dapatkan bahwa nilai k dari variasi laju aliran udara pengering 340 liter/menit, temperatur evaporator 20°C, dan temperatur heater 80°C adalah 0,0094. Nilai k dari 18 variasi flow, kelembaban dan temperatur udara pengering ditunjukkan pada tabel berikut.
Gambar 3.5 Grafik pengaruh ω terhadap nilai k pada variasi temperatur heater 80°C.
4.
Hasil Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian pengeringan keping singkong akan menghasilkan data penurunan massa produk terhadap waktu dengan mengetahui nilai kelembaban relatif pada dry bulb. Dari hasil pengolahan data didapatkan nilai rasio kelembaban, ω dan nilai konstanta laju pengeringan, k. Nilai ω dan k kemudian diklasifikasikan berdasarkan variasi temperatur heater. 4.1. Hasil pengolahan data Dari hasil pengolahan data, berikut adalah tabel-tabel pengaruh nilai ω terhadap nilai k yang diklasifikasikan berdasarkan variasi temperatur heater. Tabel 4.1 Klasifikasi pengaruh rasio kelembaban, ω terhadap nilai konstanta laju pengeringan, k pada temperatur heater 60oC.
Tabel 3.5 Nilai konstanta laju pengeringan keping singkong, k untuk setiap variasi laju aliran, kelembaban dan temperatur heater.
Membuat grafik pengaruh ω terhadap k Setelah mengetahui nilai rasio kelembaban, ω dan konstanta laju pengeringan, k maka dapat diketahui pengaruh ω terhadap nilai k yang diklasifikasikan berdasarkan temperatur heater seperti ditunjukkan pada tabel berikut. e.
Tabel 4.2 Klasifikasi pengaruh rasio kelembaban, ω terhadap nilai konstanta laju pengeringan, k pada temperatur heater 80oC.
Tabel 3.6 Klasifikasi pengaruh rasio kelembaban, ω terhadap nilai konstanta laju pengeringan, k pada temperatur heater 80°C.
7
Pengaruh laju..., A L Varian Pradipta, FT, 2014
Tabel 4.3 Klasifikasi pengaruh rasio kelembaban, ω terhadap nilai konstanta laju pengeringan, k pada temperatur heater 100oC.
4.2. Analisis Data Masing-masing dari Tabel 4.1, Tabel 4.2 dan Tabel 4.3 dibuat grafik untuk mengetahui pengaruh rasio kelembaban, ω terhadap nilai konstanta laju pengeringan, k dengan mengetahui besar nilai kerapatan udara, G pada tiap variasi temperatur heater. Berikut ini adalah analisa pengaruh ω terhadap nilai k untuk beberapa temperatur heater dan untuk beberapa fluks aliran udara pengering. Pengaruh ω terhadap nilai k untuk beberapa temperatur heater Proses pengeringan membutuhkan waktu yang lebih lama pada kondisi udara yang lembab. Oleh karena itu idealnya nilai k akan turun seiring dengan kenaikan ω. Demikian pula sebaliknya nilai k akan lebih besar pada kondisi ω yang lebih kecil. Seain itu fluks udara juga mempengaruhi kecepatan pengeringan. Semakin besar fluks udara maka proses pengeringan juga akan lebih cepat. Grafik-grafik berikut ini akan membandingkan perubahan nilai k yang dipengaruhi oleh ω dan fluks udara pada 3 variasi temperatur heater. a.
Gambar 4.2 Grafik pengaruh ω terhadap nilai k pada variasi temperatur heater 80oC.
Gambar 4.2 menunjukkan hasil yang serupa dengan Gambar 4.1. Dapat dilihat bahwa kurva fluks udara yang lebih kecil memiliki kemiringan yang lebih besar daripada kurva pada fluks yang lebih besar. Maka pengaruh ω terhadap nilai k pada fluks udara 0,355 kg/s.m2 tidak menyebabkan kenaikan yang besar. Sementara pada fluks 0,274 kg/s.m2, kenaikan nilai k terhadap penurunan ω terlihat jelas.
Gambar 4.3 Grafik pengaruh ω terhadap nilai k pada variasi temperatur heater 100oC.
Berbeda dengan grafik-grafik sebelumnya, pada temperatur heater 100oC variasi fluks tidak menunjukkan perbedaan kenaikan nilai k. Nilai k secara keseluruhan pada fluks aliran yang tinggi tetap lebih besar daripada fluks aliran yang rendah, namun kenaikan nilai k pada kedua fluks aliran tidak terlalu menunjukkan perbedaan karena kedua kurva memiliki kemiringan yang hamper sama. Gambar 4.1 Grafik pengaruh ω terhadap nilai k pada variasi temperatur heater 60oC.
Pada Gambar 4.2 terlihat bahwa kurva fluks udara yang lebih kecil memiliki kemiringan yang lebih besar daripada kurva pada fluks yang lebih besar. Artinya pengaruh ω terhadap nilai k pada fluks udara 0,379 kg/s.m2 tidak menyebabkan kenaikan yang besar. Lain halnya pada fluks 0,292 kg/s.m2, kenaikan nilai k pada ω yang semakin menurun lebih jelas terlihat.
Pengaruh ω terhadap nilai k untuk beberapa fluks aliran Grafik-grafik berikut ini akan membandingkan perubahan nilai k yang dipengaruhi oleh ω dan temperatur heater pada 2 variasi fluks aliran. b.
8
Pengaruh laju..., A L Varian Pradipta, FT, 2014
5.
Kesimpulan dan Saran
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan dan saran sebagai berikut.
Gambar 4.4 Grafik pengaruh ω terhadap nilai k untuk variasi fluks aliran 340 liter/menit.
Berdasarkan Gambar 4.4, kemiringan kurva pada variasi temperatur heater 60oC hampir sama dengan kemiringan kurva pada variasi temperatur 80oC. Maka kenaikan nilai k terhadap penurunan kelembaban pada variasi kedua temperatur tersebut hampir sama. Sedangkan pada temperatur 100 oC, nilai k pada variasi kelembaban udara pengering menunjukkan nilai yang hampir konstan pada udara yang lembab, lalu sedikit meningkat ketika kelembaban menipis. Secara keseluruhan, nilai k yang paling besar pada fluks aliran 340 liter/menit adalah pada temperatur 100oC.
Gambar 4.5 Grafik pengaruh ω terhadap nilai k untuk variasi fluks aliran 440 liter/menit.
Pada fluks aliran 440 liter/menit yang ditampilkan oleh Gambar 4.5, ketiga variasi temperatur masing-masing memiliki perbedaan kenaikan nilai k yang kecil. Kenaikan nilai k paling kecil terdapat pada variasi temperatur 60 oC karena kurvanya cenderung datar yang artinya nilai k cenderung konstan terhadap penurunan kelembaban udara. Kenaikan nilai k terhadap penurunan kelembaban untuk flow tinggi cenderung lebih stabil daripada flow rendah. Nilai k pada pada variasi teperatur 100oC juga selalu lebih tinggi daripada variasi temperature lainnya. Maka dapat disimpulkan bahwa untuk perancangan alat pengering sebaiknya menggunakan aliran 0,336 kg/s.m2 atau flow 440 liter/menit pada temperatur udara pengering 100oC. Karena kenaikan nilai k pada variasi tersebut cenderung konstan terhadap penurunan kelembaban dan nilai k sudah tinggi sejak awal, sehingga laju pengeringan akan lebih singkat daripada variasi lainnya.
5.1 Kesimpulan Nilai konstanta laju pengeringan diperlukan untuk mendesin suatu alat pengering. Nilai konstanta laju pengeringan didapatkan dari persamaan grafik pada analisa data pengeringan keping singkong, yang merupakan gradien dari persamaan grafik relasi antara massa keping singkong dengan penurunan massa singkong terhadap waktu. Temperatur dan laju aliran udara pengering memiliki pengaruh yang paling signifikan terhadap perubahan nilai k, dimana saat temperatur dan laju aliran udara pengering meningkat, maka nilai k juga meningkat, sehingga kelajuan pengeringan semakin cepat. Sedangkan kelembaban udara pengering memiliki pengaruh yang kecil terhadap perubahan nilai k, dimana saat kelembaban udara pengering menurun, nilai k mengalami kenaikan yang kurang signifikan. Dengan variasi fluks udara tinggi dan temperatur udara tinggi, kelembaban tidak terlalu berpengaruh terhadap laju pengeringan. Perancangan alat pengering sebaiknya menggunakan aliran 0,336 kg/s.m2 atau flow 440 liter/menit pada temperatur udara pengering 100 oC untuk menghasilkan kelajuan maksimum dari pengeringan keping singkong. 5.2 Saran Penelitian pengeringan yang selanjutnya akan lebih baik bila dilakukan berulang kali untuk setiap variasi, sehingga mendapatkan hasil yang akurat. Penelitian pengeringan keping singkong akan lebih mudah bagi praktikan bila direkam dalam bentuk video karena proses pengambilan data memakan waktu yang cukup lama. Alat 4 in 1 Multi-Function Environment Meter kurang sensitif dalam mengukur RH, sehingga pengguna selanjutnya harus menunggu sampai angka RH benarbenar stabil.
Referensi Badan Pusat Statistik. 2010. Jakarta. Indonesia. Hasibuan, Rosdaneli. 2005. Proses Pengeringan. Medan: Universitas Sumatera Utara. J. T. Nwabanne. 2008. Drying characteristics and engineering properties of fermented ground cassava. Nigeria: Nnamdi Azikiwe University.
9
Pengaruh laju..., A L Varian Pradipta, FT, 2014
Lisboa, M.H. et all., 2002.“A study about particle motion in rotary dryers”, 2nd Mercosur Congress on Chemical Engineering. Mujumdar, A. S. 1995. Handbook of Industrial Drying. New York: Marcel. Njie, D.N. et all., 1998. Thermal properties of cassava, yam and plantain, J. Food Eng. 57: 63-76. Taib, G. 1988. Operasi Pengeringan Pada Pengolahan Hasil Pertanian. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa. Yakinudin, Andal. 2010. “Bioetanol Singkong sebagai Sumber Bahan Bakar Terbaharukan dan Solusi untuk Meningkatkan Penghasilan Petani Singkong”. Bogor: Bogor Agricultural University. Oriola, K. O and A. O. Raji. 2013. “Trends at Mechanizing Cassava Postharvest Processing Operations” dalam International Journal of Engineering and Technology, Volume 3 No. 9, September, 2013. Nigeria: Publications UK. Rañola, Roberto F. et all., 2009. “ENHANCING THE VIABILITY OF CASSAVA FEEDSTOCK FOR BIOETHANOL IN THE PHILIPPINES” dalam J. ISSAAS Vol. 15, No. 2:147 -158 (2009). Laguna: University of the Philippines. Prihandana, Rama. et all. 2008. Bioetanol Ubi Kayu Bahan Bakar Masa Depan. Jakarta: Agro Media Pustaka. Roy
Hendroko. 2008. Energi Hijau. Jakarta. (http://www.issaas.org/journal/v15/02/journal-issaasv15n2-13-ranola-et_al.pdf) diunduh pada 3 Mei 2010.
10
Pengaruh laju..., A L Varian Pradipta, FT, 2014