PENGARUH KUALITAS AUDIT, KONDISI KEUANGAN, MANAJEMEN LABA, DAN MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP OPINI AUDIT GOING CONCERN M. Haris Raedy Hartas Drs. Sudarno, Msi., Akt., Ph.D.
ABSTRACT At this time, the auditor began his responsibilities are required to disclose information that isn’t limited to things that are revealed in the financial statements, but also must disclosure information such as the existence and continuity of the entity. Auditors are expected to not only examine the financial statements or detect fraud, but also able to predict and assess the ability of companies in the hold of his life This research aims to examine the influence of audit quality, financial condition, earning management and corporate governance mechanisms(institusional ownership, managerial ownership,independent commisioner) on acceptance of going-concern audit opinion. The samples of this research are manufacturing company that listed in Indonesia Stock Exchange in the period 2008-20010. Population of this research is 147 companies. Research sample amounts to 24 companies selected with purpose sampling method, with observation period of 3 years. The method that been used to analyses the correlation between variable are logistic regression method. The results showed that financial condition and institusional ownership are significantly affect the going concern audit opinion. But audit quality,earnings manajemen, mangerial ownership,independent commisioner have no relation with the acceptance of going concern. Keywords: Going concern, audit quality, the financial condition, corporate governance mechanism, institutional ownership, managerial ownership, independent commisioner
PENDAHULUAN Going concern merupakan kelangsungan hidup sebuah entitas bisnis. Suatu perusahaan diasumsikan tidak bermaksud atau berkeinginan untuk melikuidasi atau mengurangi secara materiil skala usahanya (Standar Akuntansi Keuangan, 2009). Sehingga setiap perusahaan tidak hanya bertujuan untuk menghasilkan keuntungan seoptimal mungkin, tetapi juga bertujuan untuk menjaga kelangsungan hidupnya (going concern). Krisis global yang terjadi di amerika pada tahun 2008 berimbas pada perekonomian dunia. Akibat krisis global tersebut menyebabkan banyak perusahaan-perusahaan yang berusaha untuk menyelamatkan kelangsungan usahanya agar tidak mengalami kebangkrutan. American Institute of Certified Public Accountants (1988) dalam Januarti (2009) mensyaratkan bahwa auditor harus mengungkapkan secara eksplisit apakah perusahaan mampu mempertahankan usahanya sampai setahun setelah pelaporan. Pada saat auditor menetapkan bahwa ada keraguan yang besar terhadap auditee untuk melanjutkan usahanya, auditor perlu menyampaikan kondisi tersebut dalam laporan auditnya (Petronila, 2007). Dengan adanya keraguan kemampuan perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya maka auditor dapat memberikat opini going concern (opini modifikasi) (Januarti, 2009). Opini yang dikeluarkan oleh auditor harus berisikan informasi yang menggambarkan bagaimana keadaan yang sebenarnya. Informasi yang ada haruslah berkualitas, dan biasanya informasi yang berkualitas dikeluarkan oleh auditor yang berkualitas juga. De Angelo (1981) menyatakan auditor berskala besar memiliki insentif yang lebih untuk menghindari kritikan kerusakan reputasi dibanding auditor berskala kecil. Namun berbeda dengan apa yang dikemukakan Fanny dan Saputra (2005) menyatakan bahwa besar kecilnya kantor akuntan tidak mempengaruhi dalam pemberian opini going concern. Tingkat kesehatan dari sebuah perusahaan mencerminkan kondisi keuangan dari perusahaan tersebut, semakin sehat kondisi keuangan perusahaan maka semakin baik pula kondisi keuangan perusahaan. Pada perusahaan yang sakit banyak ditemukan masalah going concern (Ramadhany, 2004). Mckeown et. al. (1991) dalam Santosa dan Wedari (2007) menyatakan bahwa semakin kondisi
perusahaan terganggu atau memburuk maka akan semakin besar kemungkinan perusahaan menerima opini going concern. Altman dan McGough (1974) dalam Fanny dan Saputra (2005) menemukan bahwa tingkat prediksi kebangkrutan dapat diukur menggunakan suatu model prediksi kebangkrutan sebagai alat bantu auditor untuk memutuskan kemampuan perusahaan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Setyarno et. al. (2006) menggunakan berbagai model prediksi kebangkrutan untuk mengukur kondisi keuangan perusahaan. Penelitian tersebut membuktikan bahwa Altman Model berpengaruh terhadap penerimaan opini going concern. Manajemen laba merupakan upaya manajemen untuk mengatur laba demi untuk kepentingan manajemen yang dilandasi oleh faktor-faktor tertentu. Aktivitas manajemen laba dapat mempengaruhi kualitas pelaporan keuangan yang kemudian dapat mempengaruhi opini auditor yang diterima perusahaan (Linoputri, 2010). Usaha-usaha yang dilakukan manajemen dalam merekayasa laporan keuangan sering menggambarkan bahwa perusahaan dalam kondisi tidak baik sehingga auditor dapat mengeluarkan opini going concern. Salah satu manfaat dari Good Corporate Governance adalah menjaga Going Concern perusahaan (“Manfaat Kualitas Laporan Keuangan di dalam Menunjang Tercapainya Good Governance”). Mekanisme corporate governance berfungsi untuk memastikan pengelolaan perusahaan berjalan sesuai dengan yang direncanakan atau arah kebijakan yang ditetapkan. . Elemen-elemen yang terdapat dalam pengukuran mekanisme corporate governance di penelitian ini adalah kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan komisaris independen. Menurut Jensen dan Meckling (1976) kepemilikan manajerial dapat menyelaraskan masalah keagenan yang terjadi antara pemilik saham dengan dan manajer. Petronila (2007) prosentase kepemilikian anggotan dewan dalam perusahaan
menyebabkan
meningkatnya
kinerja
operasional
perusahaan
dikarenakan anggota dewan merasa memiliki perusahaan sehingga berusaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya melalui peningkatan pengendalian. Short dan Keasy (1999), Morek et. al., (1998), Mc Connell dan Servaes (1990, 1995) serta Kole (1995) dalam Januarti (2009) menyatakan semakin besar
kepemilikan institusional suatu perusahaan akan meningkatkan efisiensi pemakaian aktiva perusahaan, dengan demikian diharapkan akan ada monitoring atas keputusan manajemen. Komisaris independen merupakan badan yang berfungsi untuk menilai kinerja perusahaan secara luas dan keseluruhan ( Susiana dan Herawati, 2007). Penelitian yang dilakukan Petronila (2007) menyatakan keberadaan komisaris independen mempengaruhiauditor dalam pemberian opini audit going concern dikarenakan keberadaan komisaris independen dapat menyelaraskan proses pengambilan keputusan yang terkait dengan perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dan stakeholder. Penelitian ini mengembangkan penelitian yang dilakukan oleh Setyarno dkk (2006) . Namun ada beberapa perbedaan, penelitian ini tidak menggunakan variable opini audit tahun sebelumnya dan juga pertumbuhan perusahaan sebagai prediktor penerimaan opini audit going concern. Dalam penelitian ini menambahkan variable manajemen laba karena dengan keadaan setelah krisis global
praktik manajemen laba lebih mungkin terjadi dan mekanisme good
coorporate governance (kepemilikan manajerial, institusional, serta proporsi komisaris independen ) sebagai variable baru.. Sample data yang digunakan adalah periode 2008-2010 selain menggunakan data terbaru tahun penelitian juga dipilih karena pada tahun 2008 telah terjadi krisis global.
TELAAH PUSTAKA 2.1 Teori agensi Menurut Jensen dan Meckling (1976) teori agensi menjelaskan adanya hubungan kontrak antara agen (manajemen) dan principal (pemilik). Agen diberi wewenang oleh pemilik dalam melaksanakan operasional perusahaan, sehingga agen lebih banyak mempunyai informasi dibandingkan dengan pemilik. Ketimpangan informasi ini biasa disebut asymetri information. Baik pemilik maupun manajemen memiliki rasionalisasi ekonomi yang berbeda dan sematamata termotivasi oleh kepentingan pribadi masing-masing. Manajemen biasanya menyembunyikan informasi yang tidak diharapkan oleh pemilik, sehingga
terdapat kecenderungan dalam memanipulasi laporan keuangan perusahaan. Berdasarkan hal tersebut dibutuhkan pihak ketiga yang independen sebagai mediator pada hubungan antara principal dan agen dalam hal ini adalah akuntan publik (auditor). Tugas auditor disini adalah menjembatani kepentingan pihak prinsipal (pemilik) dengan pihak agen (manajemen) dalam mengelola keuangan perusahaan. 2.2 Opini audit Pendapat auditor (opini audit) merupakan bagian dari laporan audit atas laporan keuangan perusahaan dan merupakan informasi utama dari laporan audit tersebut. Auditor sebagai pihak yang independen dalam penilaian laporan keuangan ditugasi untuk memberikan opini atas laporan keuangan itu sendiri. Opini yang diberikan merupakan pernyataan kewajaran, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas sesuai prinsip akuntansi yang berlaku umum (SPAP, 2004: 410.2). 2.3 Opini audit Going Concern Going concern adalah kelangsungan hidup suatu badan usaha. Ketika suatu entitas bisnis dinyatakan going concern, artinya entitas tersebut dinyatakan mampu untuk mempertahankan kelangsungan usahanya dalam jangka waktu yang panjang tidak mengalami likuidasi dalam waktu yang pendek (setyarno,dkk,. 2006). Opini going concern dapat diberikan jika seorang auditor melihat terdapat keragu-raguan yang besar pada sebuah perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan usahanya. Kondisi atau peristiwa yang terjadi dapat dinilai signifikan jika dilihat bersama-sama bersamaan dengan kondisi dan peristiwa yang lain. Berikut ini beberapa kondisi yang dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pemberian opini audit going concern (SPAP seksi 341) trend negatif, petunjuk lain tentang kemungkinan kesulitan keuangan, masalah intern, masalah luar yang telah terjadi. 2.4 Mekanisme Corporate Governance Corporate governance dapat didefinisikan sebagai mekanisme dan proses tata kelola perusahaan dimana sebuah perusahaan dijalankan untuk meningkatkan
efesiensi ekonomis yang meliputi serangkaian hubungan antara manajemen perusahaan, dewan direksi, para pemegang saham dan pemangku kepentingan perusahaan laiannya.
Dengan menerapkan corporate governance diharapkan
dapat mengurangi dorongan manajer untuk melakukan tindakan manipulasi data keuangan, sehingga kinerja yang dilaporkan merefleksikan keadaan ekonomi yang sebenanrnya dari perusahaan bersangkutan (Jensen, 1993 dalam Ujiyantho dan Pramuka 2007).
Dengan penerapan good
corporate governance
dapat
meningkatkan kinerja perusahaan sehingga perusahaan terhindar dari masalah kebangkrutan dan kemungkinan kecil mendapat opini audit going concern. Corporate governance membutuhkan mekanisme agar corporate governance dapat berjalan dengan baik sesuai rencana dan mencapai tujuan yang inigin dicapai. 2.4 Hubungan Kualitas audit dan opini going concern Kualitas audit merupakan probabilitas seorang auditor dapat menemukan dan melaporkan penyelewengan dalam sistem akuntansi klien (Christina, 2003). Pengukuran kualitas audit masih tetap merupakan sesuatu yang tidak jelas, tetapi pemakai laporan keuangan biasanya mengaitkan dengan reputasi auditor (Teoh dan Wong, 1993 dalam Januarti, 2009). Crasswell et. al., (1995) dalam Fanny dan Saputra (2005) menyatakan bahwa klien lebih percaya terhadap auditor yang berasal dari kantor akuntan publik besar dan memiliki afiliasi dengan kantor akuntan publik internasional karena memiliki karakteristik yang dapat dikaitkan dengan kualitas seperti pelatihan, pengakuan internasional, serta adanya peer preview. Pernyataaan tersebut berarti bahwa perusahaan audit besar memiliki insentif lebih untuk mendeteksi dan melaporkan masalah going concern klienya. Dalam penelitian-penelitian sebelumnya telah dilakukan pengujian bagaimana hubungan antara perilaku auditor dengan pemberian opini audit going concern. Mutchler et. al., (1997) menemukan bukti univariate bahwa auditor skala besar (big 6) lebih cenderung untuk mengeluarkan opini audit going concern pada perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan daripada auditor skala kecil (nonbig 6). Hipotesis yang dirumuskan adalah:
H1: Kualitas audit
berpengaruh
positif
terhadap kemungkinan
penerimaan opini audit going concern
2.5 Hubungan Kondisi Keuangan Perusahaan dan Opini Going Concern Tingkat kesehatan perusahaan dapat dilihat dari kondisi keuangan perusahaan. Kondisi keuangan perusahaan menggambarkan keadaan perusahaan yang sebenarnya. Perusahaan yang mempunyai kondisi keuangan yang baik maka auditor tidak akan mengeluarkan opini audit going concern (Ramadhany, 2004). Carcello dan Neal (2000) dalam Setyarno (2006) menyatakan bahwa semakin buruk kondisi keuangan perusahaan maka semakin besar probabilitas perusahaan menerima opini going concern. Santosa dan Wedari (2007) yang menemukan bukti bahwa kondisi perusahaan yang baik atau tidak mengalami kesulitan keuangan maka kemungkinan kecil akan mendapat opini going concern. Hal ini menunjukan bahwa perusahaan yang mengalami kebangkrutan atau kondisi keuangan yang buruk berpeluang untuk menerima opini audit going concern. Hipotesis yang dirumuskan adalah: H2: Kondisi keuangan perusahaan berpengaruh negatif terhadap kemungkinan penerimaan opini audit going concern 2.6 Hubungan Manajemen Laba dan Opini Going Concern Manajemen laba yang dilakukan oleh para menajer pada pencatatan penyusunan laporan keuangan perusahaan menyebabkan informasi yang terkandung dalam laporan keuangan tidak akurat dan dan tidak menggambarkan nilai yang sesungguhnya. Usaha-usaha yang dilakukan manajemen dalam merekayasa laporan keuangan sering menggambarkan bahwa perusahaan dalam kondisi tidak baik sehingga auditor dapat mengeluarkan opini going concern. Kualitas laba mencerminkan kelanjutan laba (suitainable earnings) dimasa mendatang. Manajemen laba yang dilakukan para manajer berdampak pada kualitas laba perusahaan, sehingga laba yang ditampilkan dalam laporan keuangan tidak menggambarkan secara akurat laba dari aktivititas bisnisnya. Dalam kondisi demikian, maka auditor dapat mengeluarkan opini going concern, dengan dasar kondisi atau peristiwa lain. Hipotesis yang dirumuskan:
H3: Manajemen laba berpengaruh positif terhadap kemungkinan penerimaan opini audit going concernv 2.7 Hubungan Kepemilikan Institusional dan Opini Going Concern Beiner et. al., (2003) dalam Ujiyanto dan Pramuka (2007) menyatakan kepemilikan
institusional
adalah
hak
suara
yang
dimiliki
oleh
institusi.Kepemilikan instititusional diyakini memiliki fungsi monitoring yang lebih baik dibandingankan dengan kepemilikan individual, sehingga kepemilikan institusional mempengaruhi kinerja manajemen. Setiawan (2007) investor institusional melakukan monitoring secara lebih efektif dan tidak akan mudah diperdaya oleh tindakan-tindakan manipulasi yang dilakukan manajemen. Sehingga dengan pengawasan yang lebih optimal dari pemilik institusional diharapkan mendorong kinerja manajemen agar lebih baik dan sesuai dengan apa yang diharapkan investor. Short dan Keasy (1999), Morek et al., (1998), Mc Connell dan Servaes (1990, 1995) serta Kole (1995) dalam Janurati (2009) menyatakan semakin besar kepemilikan institusional dalam suatu perusahaan akan meningkatkan efisiensi pemakaian aktiva perusahaan. Dengan adanya kepemilikan institusional tersebut diharapkan akan ada monitoring keputusan manajemen, sehingga dapat mengurangi potensi kebangkrutan. Tindakan tindak. Hipotesis yang dirumuskan: H4: Kepemilikan
institusional
perusahaan
berpengaruh
negatif
terhadap kemungkinan penerimaan opini audit going concern
2.8 Hubungan Kepemilikan Manajerial dan Opini Going Concern Gideon (2005) menyatakan kepemilikan manjerial adalah jumlah kepemilikan saham oleh pihak manajemen dari seluruh modal saham perusahaan yang dikelola. Jensen & Meckling (1976) dalam Setiawan (2010) kepemilikan manajerial dapat menyelaraskan kepentingan manajer dengan pemegang saham sehingga berhasil menjadi mekanisme yang dapat mengurangi masalah keagenan dan moral Hazzard antara manajer dan pemilik. Semakin besar kepemilikan saham manajerial dalam suatu perusahaan maka manajemen berusaha untuk memaksimalkan kinerja operasionalnya karena merasa memiliki perusahaan dan
selalu berusaha untuk mempertahankan kelangsungan usahanya
melalui
peningkatan pengawasan dan pengendalian (Petronila, 2007). Hipotesis yang dirumuskan: H5: Kepemilikan manajerial perusahaan berpengaruh negatif terhadap kemungkinan penerimaan opini audit going concern.
2.9 Hubungan Dewan Komisaris Independen dengan Opini Going Concern Dewan Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006).Tugas komisaris independen dalam hubungannya dengan pelaporan keuangan adalah menjamin transparansi dan keterbukaan laporan keuangan perusahaan serta mengawasi kepatuhan perusahaan pada perundangan dan peraturan yang berlaku. Penelitian Carcello an Neal (2000) dalam Linoputri (2010), menemukan bukti bahwa semakin besar persentase komisaris independen dalam komite audit semakin rendah kemungkinan diberikanya opini going concern. Petronila, (2007) menemukan bahwa keberadaan komisaris independen dapat menyeimbangkan proses pengambilan keputusan yang terkait dengan perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dan stakeholder, sehingga diharapkan dapat mempengaruhi auditor dalam pemberian opini audit going concern. Hipotesis yang dirumuskan: Ha6 : Komisaris independen yang lebih besar berpengaruh negatif terhadap penerimaan opini audit going conern
METODE PENELITIAN 3.1 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah auditee manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2008-2010. Sektor manufaktur dipilih
untuk menghindari adanya industrial effect yaitu risiko industri yang berbeda antar suatu sektor industri yang satu dengan yang lain (Setyarno,dkk., 2006). Sampel dalam penelitian ini diperoleh dengan metode purposive sampling, dengan kriteria sebagai berikut : 1. Auditee sudah terdaftar di BEI sebelum 1 Januari 2008. 2. Auditee tidak keluar (delisting) dari BEI selama periode penelitian (20082010) 3. Menerbitkan laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor independen untuk yang berakhir 31 Desember selama periode tahun 2008-2010. 4. Mengalami laba bersih setelah pajak yang negatif pada periode laporan keuangan selama periode pengamatan (tahun 2008 - 2010). 5. Perusahaan mengungkapkan informasi tentang dewan komisaris dan komisaris independen. 3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Penelitian ini menggunakan opini audit going concern sebagai variable dependen. Sedangkan variable independen adalah kualitas audit, kondisi keuangan, pertumbuhan penjualan, manajemen laba, dan struktur kepemilikan. Definisi operasional dari variable-variable yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut: 1. Opini audit diukur dengan menggunakan variable dummy dimana bernilai 1 untuk opini going concern dan opini audit non going concern diberi kode 0. 2. Dalam penelitian ini kualitas audit diproksikan dengan menggunakan skala auditor. Variabel ini diukur dengan menggunakan variabel dummy. 1 untuk auditor yang tergabung dalam skala besar big four dan 0 untuk auditor yang bukan big four. 3. Kondisi
keuangan
diukur
dengan
menggunakan
model
prediksi
kebangkrutan Revised Altman, yang terkenal dengan nama Z score yang merupakan suatu formula yang dikembangkan oleh Altman untuk mendeteksi kebangkrutan perusahaan pada beberapa periode sebelum terjadinya kebangkrutam. Formulanya adalah:
Z’ = 0.717
+0.847
+ 3.107
+ 0.420
+ 0.998
Keterangan: = working capita(current asset-current liabilities)/ total assets = retained earnings/ total assets = earnings before interest and taxes/ total assets = book value of equity(market cap/total equity)/ book value of debt = sales/ total assets Berdasarkan analisis ini apabila nilai Z dari perusahaan yang diteliti lebih kecil dari 1,80 berisiko tinggi terhadap kebangkrutan, bila nilai Z berada diantara 1,81 sampai dengan 2,99 dikatakan masih memiliki resiko kebangkrutan, bila di atas nilai 2,99 atau Z > 2,99 aman dari kebangkrutan. 4. Manajemen laba adalah derajat atau tingkat korelasi laba akuntansi suatu perusahaan (entitas) dengan laba ekonominya, yang diukur dengan menggunakan proksi discretionary accrual dengan Modified Jones Model (Dechow, dkk, 1995) dihitung dengan rumus sebagai berikut: TACjt
=
NIjt - CFOjt
Selanjutnya menghitung nilai total accrual (TAC) yang diestimasi dengan persamaan sebagai berikut: TACjt ∆Salesjt PPEjt 1 = β1 + β2 + β3 +e TAjt-1 TAjt-1 TAjt-1 TAjt-1
Dengan menggunakan koefisien Regresi diatas maka dapat dihitung nilai non Discretional accrual (NDTAC) dengan Rumus: 𝑁𝐷𝑇𝐴𝐶𝑗𝑡 = 𝛽1
∆𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠𝑗𝑡 − ∆𝑅𝐸𝐶𝑗𝑡 𝑃𝑃𝐸𝑗𝑡 1 𝛽2 + 𝛽3 𝑇𝐴𝑗𝑡 −1 𝑇𝐴𝑗𝑡 −1 𝑇𝐴𝑗𝑡 −1
Discretional Accrual (DTAC) merupakan residual yang diperoleh dari estimasi total accrual yang dihitung sebagai berikut: 𝐷𝑇𝐴𝐶𝑗𝑡 =
𝑇𝐴𝐶𝑗𝑡 − 𝑁𝐷𝑇𝐴𝐶𝑗𝑡 𝑇𝐴𝑗𝑡 −1
Dimana: DTACjt
= Discretionary Accrual perusahaan pada periode t
NDTACjt
= Non Discretionary Accrual perusahaan j pada periode t
TACjt
= Total Accrual perusahaan j pada periode t
NIjt
=
CFOjt
= Aliran arus kas operasi prusahaan j pada periode t
TAjt-1
= Total aktiva pada perusahaan j pada periode t
∆Salesjt
= Total perubahan penjualan perusahaan j pada periode t
PPEjt
= Aktiva tetap perusahaan j pada periode t
Laba bersih perusahaan j pada periode t
5. Kepemilikan manajerial diukur dengan menggunakan indikator prosentase jumlah saham yang dimiliki oleh manajemen dari seluruh modal saham yang beredar. 6. Kepemilikan institusional dan diukur dengan menggunakan indikator prosentase jumlah saham yang dimiliki oleh institusi dan manajemen dari seluruh modal saham yang beredar. 7. Komisaris independen dihitung dengan persentase komisaris independen dalam Dewan Komisaris. 3.3 Jenis dan Sumber Data Data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang sumbernya berasal dari laporan tahunan (annual report) dan laporan keuangan auditan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)
pada
periode 2008-2010 dalam situs resmi BEI yaitu www.idx.co.id dan tersedia di database Pojok BEI UNDIP, JSX Statistics 2006-20010 serta Indonesian Capital
Market Directory (ICMD). Penelitian ini hanya menggunakan perusahaanperusahaan manufaktur sebagai sample karena sektor manufaktur dominan di Asia, khususnya di Indonesia (Achmad et al., 2009). Selain itu untuk menjaga homogenitas data maka penelitian ini menggunakan perusahaan manufaktur saja. 3.4 Teknik Analisis Data
Analisis Statistik Deskriptif Analisis Statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui karakteristik
sampel yang digunakan dan menggambarkan variabel-variabel dalam penelitian. Analisis statistik deskriptif meliputi jumlah sampel, nilai minimum, nilai maksimum, nilai rata-rata (mean), dan standard deviasi.
Analisis Regresi Logistik Pengujian
hipotesis
dalam
penelitian
ini
menggunakan
analisis
multivariate dengan menggunakan regresi logistic (logistic-regresion), karena variabel bebasnya merupakan kombinasi antara metric dan non metric (nominal). Model regresi logistik yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian adalah sebagai berikut: 𝐺𝐶
𝐿𝑛 1−𝐺𝐶
=
𝛼 + 𝛽1𝐴𝐷𝑇𝑅 + 𝛽2𝑅𝐴𝑀 + 𝛽4𝑀𝑁 + 𝛽5𝑚𝑎𝑛 +
𝛽𝑖𝑛𝑠𝑡 + 𝛽𝐼𝑁𝐷 + 𝑛 Keterangan: 𝐺𝐶
𝐿𝑛 1−𝐺𝐶
= Dummy variable opini audit (kategori 1 untuk auditee dengan opini audit going concern (GCAO) dan untuk auditee dengan opini audit non going concern (NGCAO))
𝜶
= Konstanta
ADTR
= Kualitas audit (variabel dummy, 1 jika auditor terafiliasi dengan big 4, 0 jika bukan auditor non big 4)
RAM
= Kondisi keuangan perusahaan yang diproksikan dengan menggunakan model revised Altman.
ML
= Manjemen laba
Man
= Kepemilikan manajerial (proporsi saham biasa yang dimiliki oleh anggota dewan direksi)
Inst
= Kepemilikan institusional (Prosentase jumlah saham yang dimiliki institusi dari seluruh modal saham yang beredar)
IND
= presentase komisaris independen dalam dewan komisaris
Pengujian terhadap hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan tahapan berikut
Menilai kelayakan Model Regresi Kelayakan model regresi dinilai dengan menggunakan Hosmer and
Lemeshow’s Goodness of Fit Test. Model ini untuk menguji hipotesis nol bahwa data empiris sesuai dengan model (tidak ada perbedaan antara model dengan data sehingga model dapat dikatakan fit)
Menilai Model fit Uji ini digunakan untuk menilai model yang telah dihipotesiskan telah fit
atau tidak dengan data. Hipotesis untuk menilai model fit adalah: H0 : Model yang dihipotesiskan fit dengan data H1 : Model yang dihipotesiskan tidak fit dengan data Dari hipotesis ini, agar model fit dengan data maka H0 harus diterima. Statistik yang digunakan berdasarkan Likelihood. Likelihood L dari model adalah probabilitas bahwa model yang dihipotesiskan menggambarkan data input. 3.4 Estimasi Parameter dan Interpretasi Estimasi parameter dapat dilihat melalui koefisien regresi. Koefisien regresi dari tiap variabel-variabel yang diuji menunjukkan bentuk hubungan antara variabel yang satu dengan yang lainnya. Pengujian hipotesis dilakukan dengan cara membandingkan antara nilai probabilitas (sig). Apabila terlihat angka signifikan lebih kecil dari 0,05 maka koefisien regresi adalah signifikan pada tingkat 5% maka berarti H0 ditolak dan H1 diterima, yang berarti bahwa variabel bebas berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya variabel terikat. Begitu pula sebaliknya, jika angka signifikansi lebih besar dari 0,05 maka berarti H0 diterima dan H1 ditolak, yang berarti bahwa variabel bebas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya variabel terikat.
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2010. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini dipilih dengan metode purposive sampling. Perusahaan yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 24 perusahaan manufaktur pada laporan keuangan tahun 2008 hingga 2010. Jumlah data tersebut didasarkan pada ketersediaan dan kelengkapan data penelitian dari laporan keuangan tahunan tahun 2008 hingga 2010 dengan syarat bahwa perusahaan mengalami laba bersih setelah pajak yang negatif sekurangnya dua periode laporan keuangan selama periode pengamatan (tahun 2008 - 2010). Dengan menggunakan metode penggabungan data (pooling) selama 3 tahun berturut-turut diperoleh sebanyak 3 x 24 = 72 data pengamatan.
4.2. Analisis Data 4.2.1.
Pengujian Statistik Deskriptif Berdasarkan data yang diperoleh, kondisi variabel opini going concern
yang diukur dengan variabel dummy menunjukkan bahwa 47,2% perusahaan sampel memiliki opini going concern, sedangkan selebihnya yaitu sebanyak 52,8% tidak memiliki opini going concern. Dengan demikian sebanyak 47,2% perusahaan sampel selama tahun 2008 hingga 2010 memiliki ketidakpastian yang tinggi atas keberlangsungan kehidupan perusahaan. Kondisi variabel kualitas audit yang diukur berdasarkan reputasi KAP menunjukkan rata-rata sebesar 0,2500 yang berarti bahwa dari 72 laporan
keuangam pada tahun 2008 – 2010 diperoleh sebanyak 25,0% perusahaan sampel diaudit oleh KAP Big 4, sedangkan sisanya diaudit oleh KAP non Big 4. Rata-rata perusahaan sampel cenderung menggunakan KAP non Big 4 untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan. Jika disajikan secara terpisah, pada perusahaan yang memiliki NOGC diperoleh sebanyak 23,68% perusahaan yang diaudit oleh KAP Big 4 dan sisanya diaudit oleh KAP non Big 4. Dari perusahaan dengan opini going concern (OGC), diperoleh bahwa sebanyak 0,2647 atau 26,47% perushaan yang diaudit oleh KAP Big 4 sedangkan sisanya diaudit oleh KAP Non Big 4. Hal ini berarti bahwa rata-rata perusahaan yang memiliki OGC sedikit lebih banyak diaudit oleh KAP Big 4. Kondisi keuangan perusahaan yang diukur dengan menggunakan nilai Zscore Altman dari 72 laporan keuangan pada tahun 2008 – 2010 menunjukkan nilai rata-rata sebesar -15,9154. Nilai rata-rata negatif menunjukkan secara umum perusahaan sampel mengalami financial distress. Jika disajikan secara terpisah diperoleh bahwa rata-rata kondisi keuangan peusahaan NOCG selama periode pengamatan diperoleh sebesar 1,3791 sedangkan pada perusahaan dengan OGC diperoleh rata-rata Z-score Altman sebesar -35,2445. Hal ini berarti bahwa kesehatan perusahaan yang memiliki OGC menunjukkan rata-rata kesehatan perusahaan yang lebih kecil dibanding pada perusahaan NOGC. Kondisi variabel manajemen laba yang diukur dengan nilai mutlak discretionary acrual metode modified Jones untuk keseluruhan sampel menunjukkan rata-rata pada perusahaan dengan NOGC adalah sebesar -0,0588 sedangkan pada perusahaan dengan OGC diperoleh rata-rata sebesar 0,0658. Kondisi demikian menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki opini going concern cenderung melakukan manajemen laba dengan melaporkan laba yang lebih tinggi. Kondisi struktur kepemilikan saham oleh institusi dari perusahaana sampel secara umum menunjukkan sebesar 0,7006. Hal ini menunjukkan bahwa secara rata-rata sebesar 70,06% saham dari perusahaan sampel dimiliki oleh institusi atau perusahaan lain. Jika disajikan secara terpisah, proporsi kepemilikan saham oleh institusi pada perusahaan dengan NOGC diperoleh rata-rata sebesar 0,7733
sedangkan rata-rata kepemilikan saham oleh institusi pada perusahaan dengan OGC adalah sebesar 0,6194. Hal ini berarti bahwa rata-rata struktur kepemilikan yang dimiliki oleh institusi pada perusahaan dengan NOGC lebih besar dibanding pada perusahaan dengan OGC. Kondisi struktur kepemilikan saham oleh manajer dari perusahaan sampel secara umum menunjukkan sebesar 0,0417. Hal ini menunjukkan bahwa secara rata-rata sebesar 4,17% saham dari perusahaan sampel dimiliki oleh manajerial dalam perusahaan. Jika disajikan secara terpisah, proporsi kepemilikan saham oleh manajerial pada perusahaan dengan NOGC diperoleh rata-rata sebesar 0,0080 sedangkan rata-rata kepemilikan saham oleh manajerial pada perusahaan dengan OGC adalah sebesar 0,0793. Hal ini berarti bahwa rata-rata struktur kepemilikan yang dimiliki oleh manajerial pada perusahaan dengan OGC lebih besar dibanding pada perusahaan dengan NOGC. Kondisi proporsi komisaris independen dari perusahaana sampel secara umum menunjukkan sebesar 0,3682. Hal ini menunjukkan bahwa secara rata-rata sebesar 36,82% komisaris perusahaan adalah merupakan komisris independen. Jumlah rata-rata tersebut menunjukkan bahwa perusahaan sampel sudah memenuhi syarat komisaris indepenen sebanyak 30% sebagaimana disyaratkan oleh Bapepam. Jika disajikan secara terpisah, proporsi komisaris independen pada perusahaan dengan OGC diperoleh rata-rata sebesar 0,3386 sedangkan rata-rata proporsi komisaris independen pada perusahaan dengan OGC adalah sebesar 0,4012. Hal ini berarti bahwa rata-rata proporsi komisaris independen yang dimiliki oleh manajerial pada perusahaan dengan OGC lebih besar dibanding pada perusahaan dengan NOGC. 4.2.2 Analisis Regresi Logistik Regresi logistik adalah regresi yang digunakan untuk menguji apakah probabilitas terjadinya variabel terikat dapat diprediksi dengan variabel bebasnya (Ghozali, 2006).
Uji Kelayakan Model Regresi (Goodness of Fit Test) Model regresi logistik yang baik adalah apabila tidak terjadi perbedaan
antara data hasil pengamatan dengan data yang diperoleh dari hasil prediksi.
Pengujian tidak adanya perbedaan antara prediksi dan observasi ini dilakukan dengan uji Hosmer Lameshow dengan pendekatan metode Chi square. Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square 9.977
Df
Sig. 8
.267
Hasil pengujian kesamaan model prediksi dengan observasi diperoleh nilai chi square sebesar 9,977 dengan signifikansi 26,7% lebih besar dari 5% berarti tidak diperoleh adanya perbedaan antara data estimasi model regresi logistik dengan data observasinya. Hal ini berarti bahwa model tersebut sudah tepat dengan tidak perlu adanya modifikasi model.
Overall Model Fit Dasar pengujian dengan pendekatan log likelihood adalah didasarkan pada
perubahan (penurunan nilai log likelihood). Perubahan nilai log lilekihood didasarkan pada nilai log likelihood sebelum menggunakan prediktor dan nilai log likelihood sesudah menggunakan prediktor. Nilai log likelihood log likelihood Nilai awal tanpa prediktor
99,591
Nilai akhir dengan prediktor
75,787
Pada blok awal (beginning block) yaitu pada model hanya dengan konstanta, diperoleh nilai –2 log likelihood sebesar 99,591. Pada pengujian pada blok 1 atau pengujian dengan memasukkan 6 prediktor diperoleh nilai –2 log likelihood sebesar 75,787. Dengan demikian terjadi penururunan –2 log likelihood yang besar setelah menggunakan 6 variabel tersebut. Dengan demikian model dengan 6 prediktor menunjukkan sebagai model yang lebih baik.
Nilai R Square / Koefisien Determinasi (Nagelkerke R Square) Hasil nilai R-Square dari regresi logistik digunakan untuk mengetahui
besarnya variabel-variabel independen mampu memperjelas variabilitas variabel dependen.
Hasil Koefisien Determinasi
Step
-2 Log likelihood a
1
75.787
Cox & Snell R
Nagelkerke R
Square
Square .282
.376
a. Estimation terminated at iteration number 9 because parameter estimates changed by less than .001.
Pada tabel 4.10 menunjukkan bahwa bahwa koefisien determinasi yang ditunjukkan dari nilai negelkerke R square sebesar 0,376. Hal ini berarti bahwa 37,6 % variasi OGC dapat dijelaskan oleh ke-6 prediktor yang digunakan dalam penelitian ini, sedangkan sisanya sebesar 62,4% OGC dapat dijelaskan oleh variabel
lain.
Uji Multikolinieritas Pengujian multikolinieritas dilakukan dengan uji korelasi antar variabel
bebas. Hasil pengujian menunjukkan bahwa semua nilai korelasi antar variabel bebas masih memiliki nilai korelasi yang sangat rendah yaitu di bawah 0,90. Hal ini menunjukkan tidak adanya masalah multikolinieritas (Ghozali, 2005)
Matrik Klasifikasi Matriks klasifikasi menunjukkan bahwa dari 38 sampel yang merupakan
perusahaan NOGC, hanya 30 sampel atau 78,9% yamg secara tepat dapat diprediksikan oleh model regresi logistik ini, dan 8 sampel tidak tepat diprediksikan oleh model. Sedangkan dari 34 sampel yang merupakan perusahaan OGC, 22 sampel atau 64,7% yang dengan tepat dapat diprediksikan oleh model regresi logistik ini, sedangkan 12 sampel lainnya diperoleh diestimasikan melenceng dari hasil observasinya. Secara keseluruhan berarti bahwa 30 + 22 = 52 sampel dari 72 sampel atau 72,2% sampel dapat diprediksikan dengan tepat oleh model regresi logistik ini.
Model Regresi Logistik Pengujian koefisien regresi dapat dilakukan dengan regresi logistik Yang
hasilnya terdapat pada tabel 4.11 Hasil uji regresi logistik
Variabel ADTR
Sig.
B
Wald
.734
.239
1.386
-.403
.011
6.389
.057
.834
.044
MAN
-3.738
.035
4.432
IND
7.463
.250
1.323
1.762
.395
.724
RAM* ML INST*
a. Variable(s) entered on step 1: ADTR, RAM, ML, INST, MAN, IND.
Keterangan : * = tingkat signifikansi < 5% 4.3 Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis dengan regresi logistik cukup dengan melihat tabel Variables in the Equation pada kolom signifikan dibandingkan dengan nilai signifikansi (α) yang digunakan, yaitu 0.05 (5%). Apabila tingkat signifikansi kurang dari 0.05, maka HA diterima, jika tingkat signifikan lebih dari 0.05, maka HA tidak dapat diterima. 1. H1
Kualitas
audit
berpengaruh
positif
terhadap
kemungkinan
penerimaan opini audit going concern Pengujian kemaknaan pengaruh variabel kualitas audit terhadap opini going concern dapat dilihat dari nilai koefisien. Dalam hal ini diperoleh nilai Koefisien sebesar 0,743 dengan signifikansi sebesar 0,239. Nilai signifikansi yang berada di atas 0,05 menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan dari variabel Kualitas audit terhadap opini going concern. Sehingga Hipotesis 1 ditolak. Penjelasan yang dapat digunakan adalah KAP Big 4 memiliki karakteristik yang dapat dikaitkan dengan kualitas seperti pelatihan, pengakuan internasional dan untuk mempertahankan reputasi dan nama besarnya KAP Big 4 senantiasa mempertahankan kualitas auditnya sehingga akan memberikan opini yang tepat. Namun demikian KAP non Big 4, akan cenderung untuk meningkatkan reputasi mereka untuk mendapat pengakuan
sehingga mereka akan memberikan opini yang semakin berkualitas tidak berbeda dengan KAP Big 4. 2. H2 Kondisi keuangan perusahaan berpengaruh negatif terhadap kemungkinan penerimaan opini audit going concern Pengujian kemaknaan pengaruh variabel kondisi keuangan terhadap opini going concern dapat dilihat dari nilai Koefisien. Dalam hal ini diperoleh nilai Koefisien sebesar -0,403 dengan signifikansi sebesar 0,011. Nilai signifikansi yang berada di bawah 0,05 menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dari variabel Kondisi keuangan terhadap opini going concern. Sehingga Hipotesis
2 diterima. Ini membuktikan auditor sangat
memperhatikan kondisi keuangan dalam memeberikan opini auditnya. Hal ini dikarenakan kondisi keuangan yang buruk pada perusahaan menjadikan ketidakpastian perusahaan untuk melanjutkan usahanya semakin besar. 3. H3 Manajemen laba berpengaruh positif terhadap kemungkinan penerimaan opini audit going concern Pengujian kemaknaan pengaruh variabel manajemen laba terhadap opini going concern dapat dilihat dari nilai Koefisien. Dalam hal ini diperoleh nilai Koefisien sebesar 0,057 dengan signifikansi sebesar 0,834. Nilai signifikansi yang berada di atas 0,05 menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan dari variabel manajemen laba terhadap opini going concern. Sehingga Hipotesis 3 ditolak. Pemberian opini audit going concern yang diberikan oleh auditor tidak melihat keberlanjutan laba (suistainable earnings ) tetapi lebih didasarkan pada kondisi keuangan perusahaan tersebut. KAP sebagai pemberi opini nampaknya akan banyak mempertimbangkan kondisi keuangan perusahaan sebagai pijakan awal dalam menentukan opini going concern. Sedangkan adanya manajemen laba mempengaruhi auditor dalam memberikan jenis opini auditnya apakah dalam penyusunan laporan sudah disajikan secara wajar dan sesuai prinsip akuntansi berterima umum atau tidak. 4. H4 Kepemilikan institusional perusahaan berpengaruh negatif terhadap kemungkinan penerimaan opini audit going concern
Pengujian kemaknaan pengaruh variabel kepemilikan institusi terhadap opini going concern dapat dilihat dari nilai Koefisien. Dalam hal ini diperoleh nilai Koefisien sebesar -3,738 dengan signifikansi sebesar 0,035. Nilai signifikansi yang berada di bawah 0,05 menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dari variabel Kondisi keuangan terhadap opini going concern. Sehingga Hipotesis 4 diterima. Kepemilikan institusional yang besar dalam sebuah perusahaan dapat memberikan tekanan kepada pihak manajemen untuk melakukan perbaikan dan mempertahankan kondisi keuangannya. Dengan adanya kepemilikan institusional tersebut dapat diharapkan akan adanya monitoring atas keputusan yang dilakukan manajemen, sehingga dapat mengurangi potensi kebangkrutan. Perusahaan dengan kepemilikan institusi yang besar kemungkinan kecil mendapat opini audit going concern. 5. H5 Kepemilikan manajerial perusahaan berpengaruh negatif terhadap kemungkinan penerimaan opini audit going concern. Pengujian kemaknaan pengaruh variabel kepemilikan manajerial terhadap opini going concern dapat dilihat dari nilai Koefisien. Dalam hal ini diperoleh nilai Koefisien sebesar 7,463 dengan signifikansi sebesar 0,250. Nilai signifikansi yang berada di atas 0,05 menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan dari variabel kepemilikan manajeriual terhadap opini going concern. Sehingga Hipotesis 5 ditolak. Sesuai dengan teori agensi bahwa manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self interest) dengan mengabaikan kepentingan orang lain, maka manajer sebagai manusia akan selalu bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya dan mengabaikan kepentingan pihak lain. Manajemen yang memiliki saham pada perusahaan cenderung untuk melakukan tindakantindakan ekpropriasi terhadap aset perusahaan untuk kepentingan sendiri (Febrianto, 2011). 6. H6 Komisaris independen yang lebih besar berpengaruh negatif terhadap penerimaan opini audit going conern Pengujian kemaknaan pengaruh variabel komisaris independen terhadap opini going concern dapat dilihat dari nilai Koefisien. Dalam hal ini
diperoleh nilai Koefisien sebesar 1,762 dengan signifikansi sebesar 0,395. Nilai signifikansi yang berada di atas 0,05 menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan dari variabel komisaeis independen terhadap opini going concern. Sehingga Hipotesis 6 ditolak. Komisaris Independen yang ada dalam perusahaan kurang efektif dikarenakan jumlah proporsi dewan komisaris independen yang tidak terlalu besar menyebabkan peran komisaris independen
dalam
berpengaruh.
Selain
mempengaruhi itu
keputusan
keberadaan komisaris
yang
diambil
independen
kurang mungkin
dimaksudkan hanya untuk pemenuhan regulasi saja sehingga tujuan dibentuknya komisaris independen tidak terpenuhi. Arief Effendy (2008) menyatakan terdapat kendala dalam komisaris independen adalah masih lemah kompetensi dan integritasnya itu. Selain itu bisa terjadi karena pengangkatan komisaris independen sebagian hanya didasarkan atas penghargaan semata, adanya hubungan keluarga atau kenalan dekat.
PENUTUP 5.1
Kesimpulan Penelitian ini mencoba menguji bagaimana pengaruh kualitas audit, kondisi
keuangan, manajemen laba dan mekanisme corporate governance terhadap penerimaan opini audit going concern.. Dari hasil analisis data dan pembahasan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut ini : 1. Hasil pengujian regresi diperoleh bahwa kualitas audit tidak memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap opini going concern. 2. Hasil pengujian regresi diperoleh bahwa kondisi keuangan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap opini going concern. Perusahaan dengan kondisi yang tidak sehat memiliki probabilitas yang besar untuk mendapatkan opini going concern. 3. Hasil pengujian regresi diperoleh bahwa manajemen laba tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap opini going concern. 4. Hasil pengujian regresi diperoleh bahwa kepemilikan saham institusi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap opini going concern. Perusahaan dengan
kepemilikana saham institusi yang besar memiliki probabilitas yang besar untuk tidak mendapatkan opini going concern. 5. Hasil pengujian regresi diperoleh bahwa kepemilikan saham manajerial tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap opini going concern. 6. Hasil pengujian regresi diperoleh bahwa komisaris independen tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap opini going concern. 5.2
Keterbatasan Penelitian Berikut beberapa keterbatasan dalam penelitian ini yang dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian selanjutnya, keterbatasan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Periode penelitian selama tiga tahun belum mampu memberikan gambaran trend perkembangan faktor yang mempengaruhi penerimaan opini audit going concern dalam jangka panjang secara akurat. 2. Tidak lengkapnya data laporan keuangan yang dipublikasikan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). 5.3
Saran Penelitian Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini, maka diajukan
saran-saran bagi penelitian selanjutnya sebagai masukan. 1. Penelitian selanjutnya sebaiknya memperpanjang periode tahun pengamatan agar dapat lebih membaca trend penerbitan opini audit going concern yang terjadi dengan lebih tepat. Sehingga dapat melihat kecenderungan pada saat kondisi setelah krisis global dengan kondisi ekonomi normal. 2. Menambah variable-variable tambahan terutama pada mechanism corporate governance seperti komite audit agar dapat lebih tepat mengetahui pengaruh mekanisme corporate governance terhadap opini audit going concern.
Daftar Pustaka Altman, E.I. “Financial Ratios Discriminant Analysis and The Prediction of Corporate Bankrupcy.” Journal of Finance, September 1968, p.589-609. Christina, 2003. “Hubungan Tekanan Anggaran Waktu dengan Perilaku Disfungsional Serta Pengaruhnya Terhadap Kualitas Audit”. Simposium Nasional Akuntansi VIII 666-978 DeAngelo, L, 1981. “Auditor Independence, “low balling” and Disclosure Regulation”. Journal of accounting and Economics. (August).113-127. Eisenhardt, Kathleem. M. (1989). “Agency Theory: An Assesment and Review”. Academy of management Review, 14, hal 57-74 Effendi, Arief, 2008. “Komisaris Independen Bukan Sekedar Pelengkap” Bisnis Indonesia. Fanny, M. dan Saputra, S. 2005. “Opini Audit Going concern: Kajian Berdasarkan Model Prediksi Kebangkrutan, Pertumbuhan Perusahaan, dan Reputasi Kantor Akuntan Publik (Studi pada Emiten Bursa Efek Jakarta)”. Simposium Nasional Akuntansi VIII: pp. 966-978 . Febrianto, Randy. 2011. “Mekanisme Corporate Governance Dalam Perusahaan Yang Mengalami Permasalahan Keuangan (Finanncially Distressed Firms)”. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang. Tidak Dipublikasikan. Fitrianasari, Ella dan Indira Januarti. 2008. ”Analisis Rasio Keuangan dan Rasio Non Keuangan yang Mempengaruhi Auditor dalam Memberikan Opini Audit Going Concern pada Auditee (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEJ tahun 2000-2005)”. Jurnal Maksi, Vol 8no.1, pp 45-58 Forum for Corporate Governance in Indonesia. “Peranan Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan)”. http://www.google.com. Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Ikatan Akuntan Indonesia. 2001. Standar Profesi Akuntan Publik. Jakarta: Salemba Empat. Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat.
Januarti, Indira. 2009. “Analisis Pengaruh Faktor Perusahaan, Kualitas Auditor, Kepemillikan Perusahaan terhadap Penerimaan Opini Going Concern.” Simposium Nasional Akuntansi XII. Jensen, Michael C. dan William H. Meckling, 1976. “Theory of The Firm: Managerial Behaviour, Agency Costs and Ownership Structure”. Journal of Financial Economics, Vol.3 No. 4 pp. 305-360. Kaihatu, Thomas, 2006. “Good Corporate Governance dan Penerapannya di Indonesia.” Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol.8 No.1 Maret 2006 pp.1-9. Koh Hian Chye and Tan Sen Suan. 1999. “A Neural Network Approach to The Prediction of Going Concern Status”. www.google.com. Komite Nasional Kebijakan Governance. 2006. “Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia.” Kusuma, 2006. „”Dampak Manajemen Laba Terhadap Relevansi Informasi Akuntansi : Bukti empiris dari Indonesia”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol.8, No.1, Mei 2006 1-12 Linoputri, Ferima Purmateti. 2010.“Pengaruh Corporate Governance Terhadap Penerimaan Opini Audit Going Concern. Skripsi UNDIP. Tidak Dipublikasikan. Mulyadi. 2002. Auditing. Buku 1. Yokyakarta: Salemba Empat Mutchler, J.F. 1984. “Auditor‟s Perceptions of Going Concern Opinion Decision”. Auditing : A Journal of Practice & Theory. Spring. pp 17-30. Petronila, T.A., 2004. “Pertimbangan Going concern Perusahaan Dalam Pemberian Opini Audit”. Jurnal Balance, pp. 47-55. Praptitorini, M. D.dan I. Januarti, 2007. “Analisis Pengaruh Kualitas Audit, Debt Default, dan Opinion Shopping Terhadap Penerimaan Opini Going concern”, Simposium Nasional Akuntansi X. h. 1-25. Ramadhany, Alexander. 2004. “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Opini Going concern Pada Perusahaan Manufaktur yang Mengalami Financial Distress Di Bursa Efek Jakarta. Jurnal MAKSi: Vol 4, Agustus, pp.146-160. Rudyawan dan Badera. 2008. “Opini Audit Going Concern: Kajian Berdasarkan Model Prediksi Kebangkrutan, Pertumbuhan Perusahaan, Leverage, Dan Reputasi Auditor” Universitas Udayana.
Ruiz, Barbadillo, Nivez Gomez-Aguilar, Christina De Fuentes-Barbera dan Maria Antonia Garcia-Benau. 2004. “Audit Quality And The Going ConcernDecision Making Process” European Accounting Review, Vol .13 No.4 pp 597-620 Sabrinna, Anindhita Ira. 2010. “Pengaruh Corporate Governance Dan Struktur Kepemilikan Terhadap Kinerja Perusahaan”. Skripsi UNDIP. Tidak Dipublikasikan. Santosa, Arga Fajar dan Linda K. Wedari. 2007.”Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Kecenderungan Penerimaan Opini Audit Going concern.” JAAI, Vol.11, NO.2, Desember 2007: 141-158. Setiawan, Teguh Heri. 2010. “Analisis Pengaruh Faktor Perusahaan, Kualitas Audit, Dan Mekanisme Corporate Governance Terhadap Penerimaan Opini Audit Going Concern” Skripsi UNDIP. Tidak dipublikasikan. Setyarno, Eko Budi, Indira Januarti dan Faisal. 2006. “Pengaruh Kualitas Audit, Kondisi Keuangan Perusahaan, Opini Audit Tahun Sebelumnya, Pertumbuhan Perusahaan Terhadap Opini Audit Going concern”, Simposium Nasional Akuntansi IX Padang, h 1-25. Solikah, B, 2007. “Pengaruh Kondisi Keuangan Perusahaan, Pertumbuhan Perusahaan, dan Opini Audit Tahun Sebelumnya Terhadap Opini Audit Going concern”, Skripsi, Universitas Negeri Semarang. Tidak dipublikasikan. Subakti, Yuswan Tri. 2009, “Pengaruh Kualitas Audit, Kondisi Perusahaan, (Profitabilitas, Leverage, Kapitalisasi Pasar), dan Manajemen Laba Terhadap Opini Audit Going Concern” Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang. Tidak Dipublikasikan. Susiana, Herawati, 2007. “Analisis Pengaruh Independensi, Mekanisme Corporate Governance, dan Kualitas Audit Terhadap Integritas Laporan Keuangan.” Simposium Nasional Akuntansi X Makassar. Pp.1-3 Task Force Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance. 2006. “Pedoman tentang Komisaris Independen.” Teoh, S.H., dan T.J. Wong. 1993. “ Perceived Auditor Quality and The Earnings Response Coefficient”. The Accounting Review. pp 346-366. Ujiyantho, M. A. dan B. A. Pramuka, 2007. “Mekanisme Corporate Governance, Manajemen Laba, dan Kinerja Keuangan.” Simposium Nasional Akuntansi X, Universitas Hasanuddin, Makassar, 26-28 Juli 2007.
Venuty, ERlizabeth k.2007.”The Going Concern Assumption Revisted: Assessing a Company‟s Future Viability”. The CPA Journal Online. Wisnumurti, 2010. “Analisis Pengaruh Corporate Governance Terhadap Hubungan Asimetri Informasi Dengan Praktik Manajemen Laba” Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang. Tidak Dipublikasikan.
Lampiran Data Output SPSS Frequencies
N ADTR
RAM
ML
INST
MAN
IND
Mean
Std. Deviation
Maximum
38
.2368
.43085
.00
1.00
OGC
34
.2647
.44781
.00
1.00
Total
72
.2500
.43605
.00
1.00
NOGC
38
1.3791
2.84043
-3.64
16.27
OGC
34
-35.2445
157.02997
-861.02
10.31
Total
72
-15.9154
108.64691
-861.02
16.27
NOGC
38
-.0588
1.11137
-.68
6.55
OGC
34
.0658
1.30954
-.82
5.83
Total
72
.0000
1.20194
-.82
6.55
NOGC
38
.7733
.14579
.35
1.00
OGC
34
.6194
.26668
.00
.99
Total
72
.7006
.22388
.00
1.00
NOGC
38
.0080
.01699
.00
.06
OGC
34
.0793
.21397
.00
.70
Total
72
.0417
.15071
.00
.70
NOGC
38
.3386
.13858
.00
.67
OGC
34
.4012
.18045
.00
1.00
Total
72
.3682
.16166
.00
1.00
Logistic Regression
Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
Minimum
NOGC
df
Sig.
Step
23.804
6
.001
Block
23.804
6
.001
Model
23.804
6
.001
Model Summary Step
Cox & Snell R Square
-2 Log likelihood a
1
75.787
Nagelkerke R Square
.282
.376
a. Estimation terminated at iteration number 9 because parameter estimates changed by less than .001.
Hosmer and Lemeshow Test Step
Chi-square
1
Df
9.977
Sig. 8
.267
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test GC = NOGC Observed Step 1
GC = OGC
Expected
Observed
Expected
Total
1
5
6.270
2
.730
7
2
5
5.466
2
1.534
7
3
6
5.182
1
1.818
7
4
7
4.919
0
2.081
7
5
4
4.538
3
2.462
7
6
3
4.038
4
2.962
7
7
5
3.069
2
3.931
7
8
2
2.494
5
4.506
7
9
1
1.585
6
5.415
7
10
0
.439
9
8.561
9
Classification Tablea Predicted GC Observed Step 1
GC
NOGC
Percentage Correct
OGC
NOGC
30
8
78.9
OGC
12
22
64.7
Overall Percentage a. The cut value is .500
72.2
Variables in the Equation B a
Step 1
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
ADTR
.734
.623
1.386
1
.239
RAM
-.403
.159
6.389
1
.011
.668
.057
.272
.044
1
.834
1.059
INST
-3.738
1.775
4.432
1
.035
.024
MAN
7.463
6.489
1.323
1
.250
1.742E3
IND
1.762
2.071
.724
1
.395
5.822
Constant
1.741
1.680
1.074
1
.300
5.703
ML
a. Variable(s) entered on step 1: ADTR, RAM, ML, INST, MAN, IND.
2.083