PENGARUH KRIOPROTEKTAN DMSO (DIMETHYL SULFOXIDE) TERHADAP TINGKAT MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT SAPI BALI
SKRIPSI
HILMA UTAMI PUTRI I111 13 073
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017
i
PENGARUH KRIOPROTEKTAN DMSO (DIMETHYL SULFOXIDE) TERHADAP TINGKAT MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT SAPI BALI
SKRIPSI
HILMA UTAMI PUTRI I111 13 073
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017
ii
iii
iv
ABSTRAK
HILMA UTAMI PUTRI (I111 13 073) Pengaruh Krioprotektan DMSO(Dimethyl Sulfoxide) TerhadapTingkat Maturasidan Fertilisasi Oosit Sapi Bali. Dibawah bimbingan MUHAMMAD YUSUF sebagai pembimbing utama dan HERRY SONJAYA sebagai pembimbing anggota. Selama proses kriopreservasi, oosit mengalami cekaman dingin yang menyebabkan kerusakan sel oosit, oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahuipengaruh penambahan krioprotektan DMSO kedalam media kriopreservasi terhadap tingkat maturasi dan fertilisasi oosit. Koleksi oosit berasal dari ovarium sapi Bali betina yang disembelih yang selanjutnya dicacah, diseleksi dan dikriopreservasi.Sebanyak 144 oosit dibagi kedalam empat perlakuan, masing-masing sebanyak 36 oosit; yakni penambahan DMSO 5%, 10%, dan 15%. Perolehan data hasil penelitian ini dianalisis dengan menggunakan Chi-Square 2x2 Contingency Table pada masing-masing perlakuan. Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat maturasi oosit pada tahap M-II optimum dicapai pada perlakuan penambahan DMSO sebanyak 10% sedangkan tingkat fertilisasi tertinggi pada tahap PN-II dihasilkan oleh oosit perlakuan 10% DMSO. Kata Kunci: kriopreservasi, DMSO, Oosit, Maturasi, Fertilisasi,Sapi Bali.
v
ABSTRACT
HILMA UTAMI PUTRI (I111 13 073)Effect of Cryoprotectant DMSO (Dimethyl Sulfoxide) On Maturation and Fertilization rate of Bali Cow's Oocytes. Supervised byMUHAMMAD YUSUF and HERRY SONJAYA.
During the cryopreservation process, the oocytes suffered from cold shock that possibly causes oocytes cell damage, therefore, this study aimed to determine the effects of adding DMSO in to crypreservation media on maturation and fertilization rates of the oocytes. Oocytes were collected from ovarium of slaughtered Bali cows, trought slicing, selection, and cryopreserved : a total of 144 oocytes were divided in to four treatments whereas each treatment was 36 oocytes, respectively addition 5%, of DMSO, 10% and 15% in to cryopreservation media. Data obtained in this study were analized using ChiSquare 2x2 Contingency table at each treatment. The results of this study showed that an optimum maturation rate of oocytes on M-II were obtained on the addition of 10% of DMSO, while higher fertilization rate was obtained on PN-II higher from addition of 10% DMSO. Keywords: cryopreservation, DMSO, Oosit, Maturation, Fertilization, Bali Cow.
vi
KATA PENGANTAR Bismillahirahmanirahim….. Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan hidayah-Nya sehingga Tugas Akhir/Skripsi ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Skripsi dengan judul “Pengaruh Krioprotektan DMSO (Dimethyl Sulfoxide) Terhadap Tingkat Maturasidan Tingkat FertilisasiOositSapi Bali” Sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis hanturkan dengan rasa hormat kepada: 1.
Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt selaku Pembimbing Utama, dan Prof. Dr. Ir. H. Herry Sonjaya, DEA, DES. selaku Pembimbing Anggota, atas segala bantuan dan keikhlasannya untuk memberikan bimbingan, nasehat dan saran-saran sejak awal penelitian sampai selesainya skripsi ini.
2.
Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dengan segenap cinta dan hormat kepada ayahanda Abd. Hatta dan ibunda Kusumawati atas segala doa, motivasi dan kasih sayang serta materi yang diberikan kepada penulis dan saudara-saudara saya Agum Utama, Hykma Shakila dan Muhammad Ukail Waldan yang senantiasa membantu, membericandatawa dan memberikan motivasi untuk selalu lebih semangat.
3.
Prof. Dr. Ir. H. Latief Toleng M.sc., Prof. Dr. Ir. Djoni Prawira Rahardja., dan Prof. Dr. Ir. Lellah Rahim M.Sc.selaku dosen pembahas yang telah memberikan saran-saran dan masukan untuk perbaikan skripsi
vii
ini. 4.
Dr. Rohani, S.Pt. M.Si selaku Penasehat Akademik yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis.
5.
Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc selaku Dekan Fakultas Peternakan dan seluruh Staf Pengawai Fakultas Peternakan, terima kasih atas segala bantuan kepada penulis selama menjadi mahasiswa.
6.
Prof. Dr. drh. Hj. Ratmawati Malaka, M.Sc selaku Ketua Program Studi Peternakan, terima kasih atas segala bantuan kepada penulis
7.
Dr. Hasbi, S.Pt. M.Si selaku pembimbing Laboratorium penulis melaksanakan penelitian.
8.
Semua dosen-dosen Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
9 99.
Sahabat-sahabat tercinta yang selalu mendukung dikeadaan apapun Andi Musdalifah, Maghfira Mansur S.Pt, Irma Eka Lestari, Hamdana, Rahmadana Bahar
10
Sahabat-sahabat “PETERNAKAN B”Arda Runita, Indah Sari Nur Utami, Syahidah, Hayu Fitryani, Asri Pusfita, Arda Runita, Syahidah, Nursanti, Saharia, Nurhikmawati, Nita Kurnia Putri, Khasrima Mulya Utari, Sari Putri, Abeng Daisuri, Ummy Kalsum, Nurhasnah, Tri Wahyuni, Indah Sari Nur Utami, Nabila Chaerunnisa, Ahmad syakir, Dwi Suprapto, Abd. Rahman, Insan Putra Pratama, Wahyu, Gede Suamba,
Aprianto
Mandala
Putra,
Fulki
Alen,
Muhammad
Nurhidayat, Misbahuddin, Muh. Kasim, Ardianto, Sofyan Basri, Jamal Heri, Haidil Kunang, Amir Mirzad terima kasih yang setinggi-tingginya
viii
serta penghargaan yang sebesar-besarnya atas segala cinta, pengorbanan, bantuan, pengertian, candatawa serta kebersamaan selama ini, waktu yang dilalui sungguh merupakan pengalaman hidup yang berharga dan tak mungkin untuk terlupakan dan terima kasih telah memberiku sedikit tempat dihatimu untuk menjadikanku sahabat dan teriring dengan doa semoga rekan dan sahabatku sukses selalu. 11.
Andi Suaib terima kasih atas motivasi, dukungan, pengertian dan segala kebaikan serta bantuan yang telah berikan kepada penulis.
12.
Kepada sahabat ”TEAM PKL” AndiMusdalifah, Nawawi, Ofir Tangkelangi, Firdaus, Majdah Pratiwi, Radinda dan Dinda Febrianti Adam terima kasih atas kerja samanya, segala kebaikan serta bantuan yang kalian barikan kepada penulis.
13.
Kepada sahabat “ TEAM PENELITIAN” Asri Pusfita, Dewi Sartika, Hikmayani Iskandar, Andi Nurul airin Arif, Nawawi, dan M. Nasrullah, terima kasih atas segala kebaikan serta bantuan yang kalian berikan kepada penulis selama penelitian.
14.
Teman-teman HPMG (Himpunan Pelajar Mahasiswa Gowa)terima kasih atas motivasi dan candatawa selama penulis menjadi anggota
15.
Teman-teman HIMAPROTEK UH, terima kasih atas ilmu, pembelajaran, nasehat-nasehat kebersamaan, kebaikan, amanah yang kalian berikan selama penulis berorganisasi.
ix
16 16.
Kakak-kakak SOLANDEVEN’11, FLOCK MENTALITY‘12, LION’10, MATADOR’10, SITUASI’10 DAN ADIK-ADIK ANT’14, RANTAI’15 terima kasih atas segala kebaikan serta candatawa yang kalian berikan kepada penulis.
17.
Terima kasih sebesar-besarnya kepada Mama Caya, Dg, Sai, Kak Suri Jasmip atas bantuannya kepada penulis.
19.
Sahabat-sahabat teman seperjuangan, teman angkatan LARFA’13, terima kasih atas motivasi dan segala kebaikan serta bantuan yang kalian berikan kepada penulis.
20.
Teman-teman “ KKN Desa Sawitto” Ferty Desi Andriana, Syarifah Nadrah, Anny Jumarni, Ichwan Rasyidin Hadi Abbas, Jeremy Caesar, Jois dan teman-teman Se-kecamatanBunginKabupatenEnrekang.
21.
Semua Pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu, terima kasih banyak atas segala bantuannya. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih terdapat
kekurangan dan kesalahan. Penulis mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Makassar,
Juli 2017
Hilma Utami Putri
x
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL .................................................................................
i
HALAMAN JUDUL ....................................................................................
ii
PERNYATAAN KEASLIAN ......................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................
iv
ABSTRAK ....................................................................................................
v
ABSTRACT ..................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................
vii
DAFTAR ISI .................................................................................................
xii
DAFTAR TABEL.........................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xvi
PENDAHULUAN .........................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA Ovarium dan Aktifitasnya ....................................................................... Perkembangan Folikulogenesis dan Oogenesis ...................................... Tingkat kematangan Oosit secara In Vitro ............................................. Fertilisasiin Vitro .................................................................................... Kriopreservasi Oosit ............................................................................... Krioprotektan ..........................................................................................
4 4 8 12 16 17
METODE PENELITIAN Waktu danTempat ................................................................................... Materi Penelitian ..................................................................................... Metode Penelitian ...................................................................................
20 20 21
HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Maturasi Oosit Sapi Bali dengan Penambahan DMSO (Dimethyl sulfoxide) Berbeda..................................................................
27 xi
Tingkat Fertilisasi Oosit Sapi Bali dengan Penambahan DMSO (Dimethyl sulfoxide) Berbeda..................................................................
31
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ............................................................................................. Saran .......................................................................................................
26 36
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
37
RIWAYAT HIDUP
xii
DAFTAR TABEL No.
Teks
Halaman
1. Pengaruh penambahan DMSO padasaat kriopreservasi oosit sapi bali terhadap rata-rata persentase tingkat maturasi oosit ............................................................
29
2. Pengaruh penambahan DMSO pada saat kriopreservasi oosit sapi bali terhadap rata-rata persentase tingkat Fertilisasi oosit .........................................
33
xiii
DAFTAR GAMBAR No.
1. 2. 3. 4.
Teks
Halaman
Diagram Alir Prosedur Penelitian ....................................................... Proses Perubahan Oosit dalam Tahapan Penelitian ............................ Tahapan Maturasi Oosit srtrlah dikriopreservasi ................................ Tingkat Pembentukan Pronukleus.......................................................
22 27 28 32
xiv
DAFTAR LAMPIRAN No.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Teks
Halaman
Lampiran 1. Komposisi media Maturasi oosit. ................................................... Lampiran 2. Komposisi media Fertilisasi oosit. ................................................. Lampiran 3. Komposisi media Kriopreservasi. .................................................. Lampiran 4. Data perhitungan tingkat Maturasi. ................................................ Lampiran 5. Data perhitungan tingkat Fertilisasi................................................ Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian ..................................................................
xv
43 43 43 44 45 46
PENDAHULUAN
Teknologi reproduksi merupakan satu kesatuan dari teknik-teknik rekayasasistem reproduksi hewan yang dikembangkan melalui suatu proses penelitian dalam bidang reproduksi hewan secara terus menerus dan berkesinambungan dengan hasil berupa alat, dan metoda yang dapat diaplikasikan dengan tujuan tertentu.Terdapat banyak sekali teknologi reproduksi yang bisa diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan usaha peternakan yang ditujukan untuk meningkatkan populasi dan produksi. Beberapa diantaranya telah dipakai di Indonesia namun sebagian besar masih merupakan teknologi yang langka yang umumnya dikarenakan biaya perlakuannya dan peralatannya sangat mahal (Novalina, 2009). Pada masa ini, bioteknologi berkembang sangat pesat, Kemajuan ini ditandai dengan ditemukannya berbagai macam teknologi contoh bioteknologi pada bidang peternakan, khususnya bioteknologi reproduksi adalahTeknologi fertilisasi in vitro (IVF) yang menggunakan ovarium sapi betina yang terlanjur dipotong di rumah potong hewan (RPH). Ovarium sapi betina dari RPH masih bisa
dimanfaatkan
karena
bagian
korteks
ovarium
merupakan
tempat
perkembangan oosit yang merupakan salah satu bahan dalam produksi embrio secara in vitro (Kaiin et al. 2008; Pujo et al. 2004). Teknologi fertilisasi in vitro (IVF) saat ini masih dilakukan dengan memanfaatkan oosit segar, namun kendala yang dihadapi adalah oosit mamalia memiliki daya tahan hidup yang sangat terbatas sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama pada suhu kamar (Vieira et al., 2002).
1
Keterbatasan waktu simpan ini dapat diatasi dengan teknik penyimpanan beku (kriopreservasi) oosit untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel sehingga viabilitas oosit dapat dipertahankan dengan cara mereduksi fungsi dan aktivitas
metabolik
tanpa
terjadinya
kerusakan
membran.
Keberhasilan
kriopreservasi oosit akan memungkinkan tersedianya oosit beku sehingga mempermudah pengaturan waktu di dalam produksi embrio in vitro dan secara umum merupakan upaya penyimpanan dan pemeliharaan plasma nutfah. Selain itu, keberhasilan kriopreservasi oosit akan memperbaiki teknik penyediaan embrio sehingga oosit segar tidak diperlukan lagi. Selama
proses
kriopreservasi
diperlukan
suatu
krioprotektan.
Krioprotektan merupakan zat kimia non elektrolit yang berungsi mereduksi pengaruh letal proses pemaparan kriopreservasi sel diantaranya baik yang berupa efek larutan maupun pembentukan kristal es ekstra atau intraseluler sehingga dapat menjaga viabilitas sel setelah kriopreservasi (Ernawati, 1999). Dalam proses kriopreservasi diperlukan suatu krioprotektan. Krioprotektan selain dapat melindungi sel juga ternyata diduga dapat menimbulkan kerusakan pada sel akibat pengaruh toksisitasnya. Derajat proteksi dari bahan krioprotektan terhadap proses kristalisasi pada masa pembekuan tergantung dari jenis dan konsentrasi krioprotektan yang dipakai serta lama paparan, maka dari itu perlu dilakukan pengujian apakah krioprotektan DMSO bisa digunakan pada proses kriopreservasi oosit sapi Bali dengan konsentrasi yang sesuai. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui pengaruh pemberian krioprotektan DMSO(Dimethyl Sulfoxide) terhadap tingkat Maturasi dan tingkat Fertilisasi oosit.
2
Kegunaan dari penelitian ini adalah agar dapat mengetahui pengaruh pemberian krioprotektan DMSO dengan konsentrasi yang tepat sehingga dapat mempertahankan tingkat Maturasi dan tingkat Fertilisasi oosit.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Ovarium dan Aktivitasnya Saluran reproduksi betina merupakan salah satu sistem dalam tubuh hewan yang mengalami perkembangan dan perubahan morfologi saat terjadi kebuntingan (Kimura et al., 1999). Ditambahkan oleh Priedkalns (1989), bahwa ovarium mengalami serangkaian perubahan morfologi dan fisiologi selama siklus estrus dan proses reproduksi. Ovarium mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai organ eksokrin yang menghasilkan oosit (sel telur) dan sebagai organ endokrin yang menghasilkan hormon steroid (estrogen dan progesteron) (Jalaluddin, 2014). Ovarium terletak di dalam kavum abdominalis, menggantung, dan bertaut melalui mesovarium ke uterus (Hafez dan Hafez, 2000; Hamny, 2006). Struktur, bentuk, dan ukuran ovarium masing- masing hewan sangat bervariasi tergantung kepada spesies, umur, tahap siklus seksual, dan jumlah anak yang dilahirkan (Priedkalns, 1989; Hafez dan Hafez, 2000). Ovarium sebelah kanan biasanya lebih besar daripada ovariumsebelah kiri. Sapi memiliki ovarium dengan ukuran panjang sekitar 3,8 cm, lebar 2 cm, dan tinggi 1,5 cm (Frandson et al., 2003). Perkembangan Folikulogenesis dan Oogenesis Proses pertumbuhan folikel, ovulasi dan pembentukan CL sangat dipengaruhi oleh sirkulasi hormon reproduksi dalam tubuh. Gonadotrophin releasing hormone (GnRH) yang dihasilkan oleh hypothalamus berfungsi menstimulasi pengeluaran folicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) oleh hipofisa anterior sebagai respons terhadap estrogen atau progesteron. Ketika pro ses pertumbuhan folikel kecil (Recruitment) berlangsung, mRNA meningkat. Pada saat seleksi morfologis, folikel dominan mengandung
4
estrogen dengan konsentrasi tinggi dalam cairan folikel dan segera setelah proses seleksi berakhir, maka folikel dominan banyak mengandung mRNA untuk reseptor gonadotrophin dan hormon steroid (Fortune,et al., 2001). Perkembangan folikel pada sapi dan domba ditandai dengan adanya gelombang pertumbuhan folikel. Satu gelombang didefinisikan sebagai suatu proses pertumbuhan folikel yang sinkron dari beberapa folikel kecil.Dari kelompok folikel kecil tersebut, salah satu diantaranya akan terseleksi dan tumbuh menjadi folikel dominan, sedangkan folikel lainnya akan terhenti pertumbuhannya dan menuju atresi. Setelah mencapai ukuran maksimal, folikel dominan juga akan mengalami atresi dan regresi. Perkembangan folikel pada sapi dan domba ditandai dengan adanya gelombang pertumbuhan folikel. Pada gelombang yang kedua folikel dominannya akan menjadi folikel ovulatory sedangkan folikel dominan dari gelombang ketiga akan mengalami ovulasi (Fortune,et al., 2001). Folikulogenesis
adalah
proses
perubahan
yang
ditandai
dengan
adanyaperubahan proliferasi dan differensiasi komponen sel pada folikel. Dinamikafolikel terjadi selama folikel merupakan perubahan tahap perkembangan folikelmulai dari folikel primordial sampai folikel tersier termaksud perubahan ekspresimRNA yang mengkode reseptor GnRH, horm on steroid dan diikuti seleksifolikel. Perkembangan folikel akan menyediakan lingkungan yang optimal untukmaturasi oosit sehingga siap untuk fertilisasi.Folikulogenesis berhubungan dengan perkembangan sekelompok folikeldengan berbagai tahap perkembangan, kemudian sejumlah folikel akan terseleksiuntuk berkembang lebih lanjut (Armstrong and webh, 1997). Folikulogenesisdapat dibagi menjadi tiga tahap:
5
1. Rekrutmen, tahap pertumbuhan pool folikel yang cepat. Pertumbuhan initerjadi dari folikel primordial menjadi folikel primer dan folikel sekunder. 2. Seleksi, proses penseleksian folikel untuk pertumbuhan lebih lanjut menjadifolikel subordinat. 3. Dominasi, proses perkembangan folikel dominan yang cepat danperkembangan folikel subordinat akan tertekan oleh folikel dominan. Dominasi folikel dan penghambatan pertumbuhan folikel subordinat disebabkan olehmeningkatnya follicle growth inhibiting factor (FGIF) yang diproduksi olehfolikel dominan. FGIF akan menghambat proliferasi sel granulosa yangmenstimulasi FSH dan aktivitas
aromatase,
selain
itu
juga
menghambatvaskularisasi
folikel
subordinat. Selain hormon, proses folikulogenesis dikontrol oleh faktor endokrim atauparaktrim seperti growth factor misalnya insulin-like growth factor (IGF),Transforming Growth factor (TGF ), Fibroblast Growth Factor (FGF) danEpidermal Growth Factor (EGF). IGF berfungsi untuk menstimulasi proliferasivdan diferensiasi sel granulosa dan sel theca. Hormon gonadtropin pada level seluler TGF berperan untukmenghambat fragmen sel granulosa dan sel theca FGF akan menstimulasiproliferasi sel theca, menghambat stimulasi FSH yang menginduksi ekspresireseptor LH pada sel granulosa, dan mereduksi ikatan IGF pada jaringan techa.FGF bersama Extra Celluler Matrix (ECM) dapat mengatur stabilitas dan penggabungan Growth Factor (Amstrong dan Webh, 1997). Menurut McGee dan Hsueh (2000), ada dua tahap utama yang terjadi padaperkembangan folikel yaitu initial recruitment dan cyclic cecruitment.
6
Initialrecruitment adalah perkembangan folikel yang berlangsung terus-menerus mulaidari pembentukan folikel sampai sebelum masa pubertas. Perkembangan initerjadi pada folikel tahap primordial, dimana perkembangan folikel tidakmempengaruhi hormon gonadtropin. Folikel akan berkembang dari berkembangakan
mengalami
dormansi.
Oosit
mulai
tumbuh
namun
perkembangan tidakmencapai germinal vesicle breakdown (GVBD). Sedangkan cyclic recruitmentdimulai setelah masuk masa pubertas. Perkembangan terjadi pada folikel tahapantral dimana perkembangan telah dipengaruhi oleh FSH dan LH. Folikel yangtidak berkembang akan mengalami atresi. Oosit berkembang sempurna darimampu mencapai tahap germinal vesicle breakdown (GVBD). Folikel primordial terdiri atas satu oosit primer yang dibungkus olehselapis sel folikel pipih yang saling melekat melalui desmosom, kemudian dilapisioleh sebuah membran basal yang merupakan batas antara folikel avaskular danstroma di sekitarnya. Selama siklus birahi, terjadi perubahan struktur dari folikelsampai
akhirnya
mencapai
folikel
de
graff,
perkembangan
folikelmelibatkan perubahan pada sel-sel folikel, oosit primer dan stroma di sekitar. Oogenesis
adalah
suatu
proses
pembentukan,
pertumbuhan
dan
pematangan dari gamet betina. Dimulai sejak embrional sampai setelah dilahirkan dan mencapai puncakya pada saat ovulasi (Austin dan short, 1982). Proses pembentukan sel kelamin betina terdiri dari dua tahap. Tahap yang pertama adalah periode proliferasi yang terjadi pada saat prenatal sampai sebelum atau sesaat setelah fetus dilahirkan. Selama itu proses yang terjadi adalah sel benih primordial mengalami deferensiasi menjadi oogenia dan mengalami
7
pembelahan mitosis. Beberapa oogenia akan terus bermitosis dan berdiferensiasi menjadi oosit primer. Oosit primer dengan inti pada tahap profase I dan dikelilingi sel epitel disebut folikel primordial (Hafez, 2000). Menjelang lahir semua inti oosit primer telah selesai membelah dan tertahan pada profase I tahap diploten. Inti oosit pada tahap ini dicirikan dengan adanya membrane inti yang utuh dan nucleolus yang jelas disebut germinal vesicle (GV) (Van den Hurk,et al.,1997). Pertumbuhan oosit terbagi dua fase. Fase I oosit tumbuh cepat dan erat hubungannya dengan perkembangan folikel ovari. Pada folikel primordial aktivitas proliferasi sel epitel pipih yang mengelilingi sel telur akan dimulai dengan membentuk satu lapis sel kuboid yang mengelilingi sel telur dan disebut folikel primer. Sel kuboid akan terus berproliferasi membentuk multilayer sel granulosa yang akan mengelilingi sel telur dan tahap ini disebut dengan folikel sekunder. Proliferasi akan terus berlanjut hingga folikel membentuk antrum folikuli yang disebut folikel tersier (Van den Hurk et al., 1997). Folikel tersier akan dikelilingi oleh sel teka internal dan eksternal yang menghasilkan estrogen. Antrum folikuli akan bertambah besar seiring dengan perkembangan sel folikel tersier. Pertumbuhan folikel selanjutnya akan tergantung pada hormon gonadotropin untuk mencapai folikel de graaf yang diakhiri dengan proses ovulasi. Bertambah besar diameter folikel ovari Merupakan ciri dari fase II. Pertumbuhan folikel dalam ovarium dipengaruhi oleh hormon Gonadotropin serta sekresi hormon dari sel granulosa dan sel teka (Hafez, 2000). Tingkat Kematangan Oosit Secara In Vitro Pematangan oosit diluar ovarium atau tubuh hewan disebut dengan pematangan in vitro atau In Vitro Maturation (IVM). Pematangan in vitro
8
merupakan salah satu tahap yang penting dari rangkaian produksi embrio in vitro. Oosit untuk memproduksi embrio in vitro yang diperoleh dari ovarium hewan betina yang masih hidup maupun betina mati dari Rumah Potong Hewan (RPH) dengan tanpa memperhatikan fase siklus birahi (Ball,et al.,1984). Maturasi oosit secara in vitro adalah pemasakan oosit muda atau pengaktifan oosit muda dalam medium diluar tubuh (Prochaska,et al.,1993). Keberhasilan pembuahan secara in vitro didukung oleh proses maturasi oosit in vitro yang baik (Down, 1993). Shamsuddin et al (1993) menyatakan bahwa maturasi oosit in vitro dimaksudkan agar oosit primer dapat berkembang menjadi oosit sekunder yang akan melakukan proses pembelahan meiosis dengan normal dan sempurna sehingga menghasilkan sel telur yang siap untuk dibuahi. Oosit akan
mengalami proses maturasi secara spontan adanya media
yang sesuai (Hafez,2000). Proses pematangan oosit memerlukan medium yang berfungsi sebagai tempat penyediaan nutrisi dan sekaligus tempat pembuangan metabolit. Zat nutrisi yang diperlukan harus selektif dan mempunyai konsentrasi yang sesuai, serta memiliki pH, susunan gas dan osmolaritas larutan fisiologis (Supriatna dan Pasaribu, 1992). pH harus dijaga tetap sekitar 7,2 dan 7,4, sedangkan osmolaritas ialah ukuran konsentrasi partikel terlarut dalam suatu larutan (osm/L). Selama maturasi oosit sapi, struktur kromatin dalam oosit yang belum matang (Immature) berupa membran nukleus utuh (GV) dimulai dari pembelahan meiosis pertama dilanjutkan dengan pembelahan meiosis kedua menunjukkan bahwa 90% dari oosit sapi mengalami pematangan pada 24 jam setelah dilakukan kultur. Membran nukleus menghilang setelah 5-6 jam GVBD dan M-I dicapai
9
setelah 12 jam dan M-II dicapai setelah 19 jam dan diperkirakan pematangan inti tersebut lebih cepatin vitro daripada in vivo(Gordon,1997). Pada proses pematangan sel telur secarain vitro dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya medium pematangan dan lingkungan penyimpanan (Incubator). Medium standar untuk pematangan in vitro sel telur sapi adalah TCM-199. Agar menunjang keberhasilan proses maturasi in vitro dilakukan inovasi komposisi dan penambahan suplemen untuk mendapatkan kondisi medium yang optimsl. Suplemen seperti serum, hormon estradiol, hormon gonadotropin (FSH dan LH), mineral, glukosa, piruvat dan asam amino ditambahkan untuk membantu transformasi inti (Sirard dan Blondin 1996). Menurut Sirard dan Blondin (1996), lima faktor yang sangat berkompeten dalam keberhasilan pematangan oosit adalah morfologi cumulus, ukuran folikel, kesehatan folikel, stimulasi ovarium dan prosedur pematangan oosit sebelum dimulainya inkubasi. Laju proses maturasi oosit sapi, domba dan babi relatif lambat karena membutuhkan waktu untuk sintesa protein aktif untuk persiapan pemulaan meiosis. Pada sapi proses maturasi inti secara in vivo membutuhkan waktu kurang lebih 24 jam. Selama maturasi, inti oosit sapi yang masuk tahap profase pada awal meiosis I mengalami pengurangan kompemen kromosom menjadi haploid (n=30 kromosom). Pada tahap molekuler, di dalam oosit mengalami banyak interaksi antara siklus molekuler dengan substrat target pada inti dan sitoplasma. Penilaian terhadap kualitas oosit sebagai salah satu upaya melakukan seleksi terhadap oosit yang akan dimaturasi sangat mempengaruhi keberhasilan produksi embrio in vitro. Morfologi oosit berdasarkan kekompakan dan jumlah
10
lapisan sel kumulus berakibat positif terhadap maturasi, fertilisasi dan pertumbuhan serta perkembangan embrio in vitro (De Wit, et al., 2000; Bilodeau Goeseels dan Panich, 2002). Tidak satu pun oosit yang gundul mampu mencapai embrio tahap 8-16 sel (Khurana dan Niemann, 2000). Pematangan oosit meliputi pematangan sitoplasma dan inti (Rahman et al., 2001) yang merupakan proses yang sangat penting dalam mendukung keberhasilan fertilisasi dan perkembangan embrio selanjutnya. Proses pematangan inti yang berhubungan dengan aktivitas sintesis RNA, ditandai dengan perubahan inti dari fase diploten ke metafase II. Membran inti akan mengadakan penyatuan dengan vesikel membentuk Germinal Vesicle (GV) dan kemudian akan mengalami pelepasan membran inti Germinal Vesicle Break Down (GVBD). Setelah GVBD terbentuk, kromosom dibungkus oleh mikrotubulus dan mikrofilamen yang sangat mempengaruhi keberhasilan pembelahan meiosis. Seiring dengan proses tersebut maka kebutuhan oksigen oosit akan meningkat. Oosit yang telah mengalami GVBD selanjutnya akan mencapai tahap metafase I. Metafase I (M-I) terjadi setelah 12-14 jam inkubasi dan diikuti oleh tahap anafase (A-I) dan telofase (T-I) yang berlangsung relatif sangat rendah dan berbeda nyata dengan kelompok lainnya. Hambatan terhadap perkembangan folikel yang dihasilkan oleh folikel dominan ternyata juga mempengaruhi kualitas oosit yang dihasilkan. Faktor yang dapat mendukung keberhasilan tingkat pematangan inti oosit menurut Zheng and Sirard (1992) adalah terjadinya ekspansi sel-sel kumulus, pematangan inti yang mencapai M-II dan pematangan sitoplasma. Kualitas oosit juga dipengaruhi oleh suhu dan waktu penyimpanan ovarium sebelum dikoleksi.
11
Umumnya oosit diambil dari ovarium dalam jangka waktu 1 sampai 2 jam setelah pemotongan, dengan suhu penyimpanan sekitar 30˚C, karena penurunan suhu oosit yang diaspirasi dari folikel sampai jauh dibawah suhu fisiologik tubuh berpengaruh negatif pada viabilitas oosit, dalam bentuk abnormalitas pada semua fase meiosis. Hal ini didukung dengan penelitian Zhanget., al (1990) yang menunjukkan bahwa ovarium yang dibawa pada suhu 0 sampai 2˚C menghasilkan angka fertilisasi dan perkembangan embrio yang nyata lebih rendah dibandingkan dengan ovarium yang dibawa pada suhu 18 sampai 20˚C ataau 30 sampai 32 ˚C. Hubungan yang sangat dekat antar sel-sel granulosa dan sel-sel kumulus disekitar oosit akan mengakibatkan pematangan oosit tertahan untuk tidak mengalami meiosis, apabila hubungan ini meregang oleh faktor-faktor pematangan oosit atau sel-sel kumulus yang terekspansi, akan mengakibatkan gap junction dengan cepat menurun jumlahnya, sebagai akibat akses penghambatan berlangsungnya meiosis berkurang drastis. Oleh karenanya terjadi ekspansi sel-sel kumulus atau aktivasi sel-sel kumuluss, digunakan sebagai salah satu indikasi kematangan oosit (Pisastyani,2003). Peran sel kumulus setiap spesies berbeda, pada oosit tanpa sel-sel kumulus dapat berkembang sampai tingkat pematangan M-II dan dapat difertilisasi. Pematangan dapat dilakukan pada oosit yang gundul (tanpa sel-sel kumulus) asalkan keadaan sitoplasma tersebut masih bagus dan kompak (Cox,et al., 1993). Fertilisasi In Vitro Fertilisasi merupakan proses kompleks yang menghasilkan penggabungan dua gamet, penataan ulang jumlah kromosom dan dimulainya perkembangan individu baru. Proses fertilisasi ini hanya dapat terjadi setelah didahului proses
12
kapasitasi spermatozoa (Gordon, 2003). Selain kapasitasi, motilitas sperma yang tinggi juga diperlukan untuk mampu mencapai fertilisasi. Fertilisasi in vitro merupakan tahapan selanjutnya setelah IVM. Prosedur umum yang dilakukan diawali dengan penyiapan spermatozoa. Teknik preparasi spermatozoa, medium preparasi dan medium fertilisasi yang digunakan dalam rangkaian proses IVF berbeda-beda tergantung pada masing-masing laboratoriumnya dan penelitinya. Masuknya sperma ke dalam sel telur menyebabkan terjadinya rangkaian perubahan yang cepat yaitu penyelesaian pembelahan meiosis; penyatuan pronukleus jantan dan betina serta gerakan kompleks dari zat-zat dalam sitoplasma telur; laju konsumsi oksigen dan sintesis protein dalam telur spesies tertentu meningkat. Segera setelah fertilisasi, di dalam embrio mulai ada sel-sel yang memisahkan diri dan terjadi pembelahan sel yang berturut-turut (Salisbury dan VanDemark, 1985).
Dalam tingkat ini embrio mengalami pembelahan
menjadi sel-sel yang ukurannya berangsur-angsur mengecil sampai ukurun tertentu. Tiap sel yang terbentuk disebut blastomer (Sagi, 1999). Pada saat fertilisasi in vitro dan perkembangan embrio, sel cumulus memberikan pengaruh positif. Tingkat pembelahan dan perkembangan embrio lebih rendah ketika oosit dibebaskan dari sel kumulus, namun tidak diikuti oleh tingginya tingkat pembelahan dan perkembangan selanjutnya (Nandi et al., 1998). Sel-sel kumulus mampu meningkatkan area kontak antara spermatozoa dan oosit (Cox et al., 1993) dan dengan memilih subpopulasi sperma yang mampu berinteraksi dengan oosit.
13
Tahapan penting sebelum fertilisasi yaitu preparasi oosit dan spermatozoa, preparasi oosit dan spermatozoa sangat penting agar proses fertilisasi dapat terjadi. Preparasi oosit yaitu maturasi oosit, langkah ini penting karena salah satu syarat keberhasilan fertilisasi adalah oosit yang matang, yaitu oosit yang sudah mencapai tahap metafase II. Menurut Boediono et al. (2000) fertilisasi hanya bisa terjadi pada oosit yang telah mencapai tahap metafase II. Media yang digunakan di setiap tahap produksi embrio in vitro berbedabeda. Media maturasi oosit yang digunakan adalah TCM-199, media ini memiliki kemampuan yang baik untuk pematangan oosit secara in vitro, dan merupakan standar media yang digunakan untuk pematangan oosit kambing dan sapi (Takahashi et al. 1996). Preparasi spermatozoa meliputi pencucian spermatozoa dari pengencer dan kapasitasi spermatozoa. Kapasitasi spermatozoa secara in vitro dilakukan untuk meningkatkan motilitas dan kemampuan spermatozoa dalam pelepasan tudung akrosom
dan
asam
hyaluronidase.
Fungsi
asam
hyaluronidase
untuk
memudahkan spermatozoa menembus zona pelusida dan membran vitelin oosit. Kapasitasi spermatozoa dilakukan di dalam media SWS, media tersebut merupakan BO solution yang ditambah heparin dan kafein yang berfungsi untuk kapasitasi spermatozoa. Menurut Im et al. (1995) BO solution yang ditambah heparin dan kafein berguna sebagai agen kapasitasi spermatozoa agar dapat memfertilisasi oosit. Tahapan maturasi oosit, kapasitasi sepermatozoa, fertilisasi in vitro, dan kultur embrio dilakukan di dalam inkubator CO2 dengan kadar CO2 5%. Kadar tersebut berguna untuk menjaga pH media tetap stabil. Kondisi pH yang terlalu
14
tinggi atau rendah akan menyebabkan kestabilan media terganggu, dan bersifat toksik terhadap embrio. Suhu inkubator selama maturasi adalah 38.5˚c, suhu tersebut merupakan suhu yang optimal untuk maturasi oosit dan kultur embrio (Lequaere et al. 2003). Waktu maturasi oosit dilakukan selama 18-24 jam, waktu tersebut berguna untuk mencegah oosit membelah secara partenogenesis (Sirard dan Blodin 1996). Media kultur embrio adalah CR1aa, media tersebut merupakan semi defined medium yang telah digunakan untuk embrio pada sapi (Rosenkrans et al. 1993; Rosenkrans dan First 1994). Media CR1aa mengandung media minimum dasar penting yang merupakan campuran dari asam amino, vitamin, garam-garam anorganik, ribonucleosides dan deoxyribonucleosides (Sagirkaya et al. 2004). Media yang digunakan untuk maturasi, fertilisasi, dan kultur embrio ditambah FCS, fungsi FCS sendiri merupakan faktor pertumbuhan yang berfungsi mendukung pematangan oosit dan perkembangan embrio dengan cara meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel (Margawati 1999). Selain ditambahFCS, media juga ditambah antibotik. Antibiotik yang ditambahkan yaitupenicillin dan streptomycin yang berguna untuk mencegah kontaminasi mikroorganisme di dalam media. Kontaminasi mikroorganisme yang akan mengganggu perkembangan oosit dan embrio dengan cara menghabiskan nutrisi yang dibutuhkan oleh oosit dan embrio, dan menghasilkan sisa-sisa metabolisme yang dapat meracuni oosit dan embrio. Prinsip bioteknologi fertilisasi in vitro (FIV) sendiri adalah pembuahan sel telur oleh spermatozoa di luar tubuh hewan betina yang direkayasa untuk
15
memproduksi embrio dalam jumlah banyak, dan dapat meningkatkan mutu genetik (Vicanco dan Mackie 2001). Kriopreservasi Oosit Kriopreservasi oosit yaitu penyimpanan oosit pada suhu yang sangat rendah (-196˚ C) dengan penambahan krioprotektan. Tujuan kriopreservasi adalah untuk penyimpanan, pemeliharaan menjamin dan mempertahankan kelangsungan hidup sel sertamemperbaiki lingkungan alamiah. Teknik kriopreservasi yang baik akan dapat mempertahankan viabilitas oosit dengan cara mereduksi fungsi dan aktivitas metabolik sel tanpa terjadinya kerusakan membran maupun organel sel. Dengan demikian teknik kriopreservasi dapat digunakan untuk menyimpan sumber genetik dalam bentuk beku (Wahjuningsih, 2013). Teknik kriopreservasi dapat dibedakan atas teknik kriopreservasi konvensional (conventional slowfreezing) dan kriopreservasi secara cepat (rapid freezing). Teknik kriopreservasi konvensional adalah teknik kriopreservasi yang lebih menekankan pada proses pembekuan lambat. Pada teknik ini, suhu diturunkan secara bertahap dengan mesin pendingin yang dapat diprogram. Dengan teknik ini kristal es masih terbentuk, baik ekstraseluler maupun intraseluler, sehingga dapat menyebabkan terjadinya kerusakan sel. Hal ini disebabkan oleh elektrolit yang menumpuk akan merusak dinding sel sehingga pada waktu pencairan kembali permeabilitas membran plasma akan menurun dan sel akan mati. Pembentukan kristal es kemungkinan berkaitan dengan perubahan tekanan osmotik dalam fraksi yang tidak mengalamipembekuan (Watson, 2000). Teknik kriopreservasi cepat adalah proses pemadatan konsentrasi krioprotektan (ekstraseluler maupun intraseluler). Pada teknik ini, sebagian besar
16
air di dalam sel dikeluarkan sebelum terjadi pembekuan intraseluler dan digantikan dengan krioprotektan, sehingga pada saat pembekuan tidak terjadi kristal es (Valerdiet al., 2009). Prosesnya meliputi (a) dehidrasi, yaitu proses pergantian cairan sitoplasma dengan larutan krioprotektan melalui proses difusi ke dalam sel; (b) pembekuan, tahapan pada saat sel atau organ dan larutan berada dalam nitrogen cair (-196˚C) membentuk padatan solid glass; (c) warming, yaitu tahap terjadinya perubahan kembali bentuk padatan menjadi cair; serta (d) rehidrasi, yaitu proses masuknya kembali air ke dalam sel untuk menggantikan kedudukan krioprotektan. Penggunaan prosedur kriopreservasi oosit secara komersial masih sangat terbatas salah satu tantangan adalah membuat metode kriopreservasi oosit yang menjamin viabilitas tinggi. Terdapat dua metode kriopreservasi yaitu metode konvensional dan vitrifikasi. Kedua metode ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pada awal studi tentang kriopreservasi, dilakukan kriopreservasi menggunakan metode konvensional, namun saat ini metode vitrifikasi lebih sering diaplikasikan. Kelebihan dari metode vitrifikasi adalah pemadatan cairan tanpa melalui pembentukan kristal es (Shaw et al., 2000). Metode tersebut sederhana, murah, dan tidak memerlukan alat khusus untuk menurunkan suhu secara bertahap sehingga mudah diaplikasikan ditempat yang memiliki kontainer nitrogen cair. Krioprotektan Krioprotektan adalah zat kimia non elektrolit yang berungsi mereduksi pengaruh letal proses pemaparan kriopreservasi sel diantaranya baik yang berupa
17
efek larutan maupun pembentukan kristal es ekstra atau intraseluler sehingga dapat menjaga viabilitas sel setelah kriopreservasi (Ernawati, 1999). Krioprotektan adalah zat kimia nonelektrolit yang berperan dalam mengurangipengaruh mematikan selama pembekuan baikberupa pengaruh larutan maupun adanyapembentukan kristal es sehingga viabilitas seldapat dipertahankan (Blanco et al,.2000). Berdasarkan sifat permeabilitas membrane, krioprotektan terbagi menjadi 2 kelompok : (1) krioprotektan yang dapat keluar masuk melalui membrane disebut krioprotektan intraseluler dan biasanya memiliki ukuran molekul yang kecil, (2) krioprotektan dengan molekul besar, tidak dapat menembus membrane sel disebut krioprotektan ekstraseluler (Wahjuningsih, 2013). Syarat-syarat krioprotektan antara lain, tidak beracun, mampu menembus membrane sel, mampu menahan elektrolit-elektrolit (Chao dan Liao, 2001). Menurut stoss (1983) krioprotektan dibedakan menjadi dua, yaitu krioprotektan yang dapat menembus dinding sel. krioprotektan yang dapat menembus dinding sel (intraseluler) berfungsi memberikan perlindungan yang lebih baik pada laju pendinginan yang lambat, misalnya methanol, dimethyl sulfoxide (DMSO), etilen glukol (EG) dan gliserol. Krioprotektan yang tidak penembus dinding sel (ekstraseluker) lebih sesuai untuk laju pembekuam cepat, misalnya monosakarida, polisakarida, polivinilpirolidon (PVP), destran dan protein. Penambahan krioprotektan dapat memelihara keutuhan membran dan meningkatkan potensial osmotik media sehingga cairan di dalam sel mengalir keluar dan terjadi dehidrasi.Krioprotekan yang umum digunakan adalah DMSO, gliserol, PEG, sorbitol, dan manitol.Senyawa dalam krioprotektan dapat dipisah
18
menjadi dua, yaitu senyawa yang dapat masuk ke dalam sel (permeating agent) seperti DMSO, gliserol (pada suhu tertentu) dan yang tidak dapat masuk ke dalam sel (non permeating agent) seperti sukrosa dan gula alkohol (manitol, sorbitol) (Ika dan Ika, 2003). Sulfoxide Dimetil (DMSO), adalah senyawa organosulfur dengan rumus (CH3) 2SO. Cairan tidak berwarna ini merupakan pelarut polar aprotik yang dapat melarutkan baik senyawa polar dan nonpolar dan larut dalam berbagai pelarut organik maupun air (Gazali dan Tambing,2001). Penggunaankrioprotektan DMSO sebagai krioprotektan pertama dalam bidang kriopreservasi ditemukan secara kebetulan pada tahun 1948 karena kesalahanpemberian label pada bahan atau media pembekuan sperma unggas. Sejak temuan tersebut keberhasilan yang pesat dilaporkan pada pembekuan sperma dan embrio. Krioprotektan DMSO dan gliserol, keduanya memiliki berat molekul yang rendah, telah dikenal sebagai bahan cryoprotectant terhadap kerusakan dari suhu dingin selama lebih dari 30 tahun.
19
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai April 2017 bertempat di Laboratorium Fertilisasi dan In Vitro gedung Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Universitas Hasanuddin, Makassar. Materi Penelitian Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah tabung reaksi, labu ukur, gelas ukur, timbangan analitik, pinset, mikroskop, scalpel, inkubator CO2 (pada suhu 37˚ C, 5% CO2) pipet pasteur, petri sekali pakai (Nunc, diameter 3,5 Cm), alat sterilisasi (Oven dan autokla), ater bath, mikro pipet, laminar air flo, bunsen, gunting bedah, pipet volumentrik, objek glass, cover glass, caan petri, selang inus dan refrigerator. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah ovarium sapi bali yang diperoleh dari Rumah Potong Hewan (RPH) Tamangapa, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, kemudian oosit diseleksi berdasarkan keadaan sitoplasma dan sel-sel kumulus. Bahan lain yang digunakan yaitu tissu, alkohol 70%, aquades, NaCl fisiologis 0,9%, nitrogen cair -196˚ C, vaselin, enzim hyaluronidase (Sigma, USA), Krioprotektan DMSO, paraffin, mineral oil (sigma chemical co. St. Louis MO, USA), aceto orcein, asam asetat dan ethanol absolut, medium IVF (In Vitro Fertilisasi), medium IVM (In Vitro Maturasi).
20
Metode Penelitian a.
Rancangan penelitian Penelitian
menggunakan
metode
eksperimental
laboratorium
berdasarkananalisis Chi-Square 2x2 Contingency Tabledengan 4 perlakuan dengan konsentrasi larutan masing-masing berbeda, susunan sebagai berikut. A : Kontrol B : Oosit dengan penambahan Krioprotektan DMSO 5 % C : Oosit dengan penambahan Krioprotektan DMSO 10 % D : Oosit dengan penambahan Krioprotektan DMSO 15 %
21
b.
Prosedur penelitian
Diagram alir prosedur selama penelitian :
Pengambilan ovarium di RPH (Rumah Potong Hewan)
Pencacahan ovarium Osit (PBS (Phosphat Buffered saline) +10%Serum) Seleksi dengan klasiikasi oosit Kriopreserasi
krioprotektan DMSO (0 %, 5%, 10%, 15%) + PBS(Phosphat Buffered Saline) (24 jam)
24 Thawing / pengenceran kembali (20 detik) Media Maturasi(24 9 jam) Media Fertilisasi(16-18 jam)
Evaluasi Tingkat Kematangan inti & Tingkat Fertilisasi
Gambar 1. Diagram Alir Prosedur Penelitian Koleksi Oosit Ovarium yang diperoleh dari RPH Tamangapa Makassar menggunakan Larutan fisiologis NaCl 0.9% terlebih dahulu dibilas dua kali pada NaCl 0.9% . Kemudian ovarium di cacah pada petridish yang telah dicuci dan dikeringkan dan diisi media koleksi (Phosphat Buffered Saline/PBS + 10% Fetal Bovine Serum/FBS). Kemudian oosit diseleksi berdasarkan gradenya. Kriopreservasi
22
Oosit yang telah terseleksi dan telah melalui dua kali pencucian, selanjutnya dipindahkan ke media pembekuan dengan pemaparan media krioprotektan DMSO (Dimethyl sulfoxide) dengan konsentrasi (0%, 5%, 10% dan 15%) selama 2 jam dan dimasukkan kedalam straw. Kemudian disimpan didalam kontainer berisi nitrogen selama 24 jam. Thawing /Pengenceran kembali Setelah kriopreservasi selama 20 menit selanjutnya oosit di thawing kemudian mengevaluasi perkembangan oosit dari segi morfologi serta viabilitas. Maturasi Oosit In Vitro Oosit yang telah dikriopreservasi selanjutnya dicuci pada media maturasi sebanyak 2 kali. Oosit dimasukkan pada dish maturasi yang terdiri atas TCM 199 (2000 μl), BSA (0.0060 mg), hormon PMSG (20 μl), hormon HcG (20 μl) dan antibiotik gentamycin (4 μl). Kemudian dilapisi menggunakan mineral oil ± 3 ml hingga menutupi seluruh permukaan media maturasi. Selanjutnya dimasukkan ke incubator selama 24 jam.
Fertilisasi In Vitro Untuk tahap fertilisasi pertama straw semen beku di thawing pada suhu 37o C selama 20 detik, selanjutnya dimasukkan ke dalam mediafertilisasi yang telah disiapkan kemudian disentrifuge selama 5 menit pada kecepatan 1800 rpm. Setelah disentrifuge, supernatant dibuang. Selanjutnya semen yang mengendap ditambahkan lagi dengan media ferilisasi yang kedua kemudian disentrifuge kembali dengan waktu dan kecepatan yang sama. Setelah disentrifuge,
23
supernatant dibuang dan selanjutnya semen diencerkan dengan media fertilisasi dan dibuat dalam bentuk drop pada dish fertilisasi. Lapisi menggunakan mineral oil ± 3 ml hingga menutupi seluruh permukaan media fertilisasi tersebut. Oosit yang telah dimaturasi dikeluarkan dari incubator, selanjutnya diambil dan diletakkan pada media pencuci, kemudian dicuci sebanyak 2 kali. Oosit yang telah dicuci menggunakan media fertilisasi selanjutnya di masukkan ke dalam dish fertilisasi yang telah berisi drop sperma. Selanjutnya dimasukkan ke dalam incubator selama 5-6 jam. Fiksasi dan Pewarnaan Sel Mengambil oosit yang telah difertilisasi dan diletakkan pada preparat kemudian ditutup dengan cover glass menggunakan vaselin (perekat) lalu direndam pada cairan etanol + asam asetat selama 3 hari kemudian dibilas dengan etanol absolut selama 1 jam lalu dilakukan pewarnaan, Sebelum diwarnai, preparat dikeringkan menggunakan tissue. Lalu warnai menggunakan aseto orcein 2% kemudian bilas kembali dengan asam asetat 25%.Oosit diperiksa di bawah
Evaluasi tingkat kematangan inti dan tingkat fertilisasi Pengamatan tingkat pematangan oosit dilakukan dengan menghitung jumlah oosit pada setiap tahap perkembangan oosit. 1. Meliputi fase germinal vesicle (GV) ditandai dengan adanya membrane inti dan nucleus terlihat jelas ditepi. 2. Fase germinal vesicle breaking down (GVBD) ditandai dengan robeknya membrane inti sehingga nukleus tidak terlihat jelas)
24
3. Fase methapase – I (M-I) ditandai dengan adanya kromosom homolog yang berpasangan dan berderet dibidang aquator 4. Fase Methapase – II(M-II) ditandai adanya badan kutub I dan susunan kromosom yang sama dengan tahapan M-I. Tingkat fertilisasi terbagi menjadi tiga tahap yaitu : 1. pronukleus-0 (PN-0), ditandai dengan tidak adanya pembentukan pronukleus 2.
pronukleus-1 (PN-1), ditandai dengan terbentuknya satu pronukleus
3.
pronukleus-2 (PN-2),ditandai dengan terbentuknya dua pronukleus atau diploid dan fertilisasi.
25
c.
Analisis data Tingkat kematangan dan fertilisasi oosit dianalisis dengan Chi-Square2x2
Contingency Tabledengan rumus sebagai berikut: 𝑿𝟐 =
[(𝑩𝒙𝑪) − (𝑨𝒙𝑫)]² 𝑬 (𝑨 + 𝑪)(𝑩 + 𝑫)(𝑨 + 𝑩)(𝑪 + 𝑫)
PERLAKUAN
X
Y
DMSO 1
A
B
A+B
DMSO 2
C
D
C+D
A+C
A+C
B+D
A+B+C+D = E
Sumber : Steel R.G. Torrie J.H (1991).
26
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Maturasi Oosit Sapi (Dhymethilsulfoxide) Berbeda
Bali
dengan
Penambahan
DMSO
Hasilpengamatanpada osit sapi bali mulai dari oosit yang belum dimaturasi hingga oosit setelah pewarnaan dengan berbagai tingkat pematangan inti dapatdilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3. A
B
C
D
A : Oosit ssebelum kriopreservasi B : Oosit setelah kriopreservasi C : Oosit setelah maturasi D : Oosit setelah fertilisasi Gambar 2. menunjukan kondisi oosit sebelum dikriopreservasi (A) pada gambar (B) menunjukan oosit dengan sel kumulus yang gelap hal ini dipengaruhi pada saat proses kriopreservasi, pada gambar (C) terlihat oosit dengan sel cumulus terekspansi sempurna dan pada gambar (D) terlihat oosit setelah fertilisasi yang sudah bersih dari sel cumulus hal dikarenakan oosit terlebih dahulu sudah dibersihkan dari sel cumulus dengan cara pemipetan berulang-ulang. Martino (1993) mengatakan bahwa untuk mengetahui tingkat maturasi inti dilakukan pewarnaan aseto-orcein 1% sebelumnya dilakukan pembersihan tingkat ekspansi
27
kumulus dengan cara mekanik atau denudasi (pemipetan berulang-ulang).Hasil pematangan oosit disajikan pada Gambar 3. A
B
C
D
Gambar 3. Tahapan Maturasi Oosit setelah dikriopreservasi dan dimatangkan Kembali A :OosittahapGV B :OosittahapGVBD C :OosittahapM-I D :Oositmatangtahap M-II
Gambar 3. menunjukkan adanya tingkat perkembangan oosit yang berbeda-beda pada setiap tahapan. Tahap GV menunjukan adanya membrane inti dan nucleus terlihat jelas ditepi, tahap GVBDdicirikan dengan robeknya membrane inti sehingga nukleus tidak terlihat jelas, tahap M-1terlihat dengan adanya
kromosom
homolog
yang
berpasangan
dan
berderet
dibidang
aquator,tahapM-2adanya badan kutub I dan susunan kromosom yang sama dengan tahapan M-I kriteria ini sesuai dengan Wahjuningsih (2013) yang menyatakan bahwa tingkat maturasi inti didasarkan atas fase-fase pembelahan meiosis yang dialami oosit yang meliputi :
28
GV (Germinal Vesicle) : membran inti dan nukleus tampak jelas, benang-benang kromatin berkondensasi dan menyebar merata mengelilingi nukleus GVBD (Germinal Vesicle Breaking Down) : membran inti dan nukleus menghilang serta setahap demi setahap bahan-bahan kromatin mengalami kondensasi menjadi bentukan kromosom yang dapat dibedakan. M-I (Metafase I) : pembentukan individu bivalen dengan siasmata, berikutnya penyelesaian siasmata, pembentukan tetrad, pemisahan dua kumpulan kromosom kearah kutub-kutub yang berlawanan (anafase I, pemisahan sempurna dari dua kumpulan kromosom (tolefase I) M-II (Metafase II) : kromosom pada masing-masing kutub mengumpul pada masing-masing bidang equator (metafase II plate). Pada saat ini mulai terbentuk polar bodi I. Kromosom polar bodi satu melakukan pembelahan kembali seperti pada saat metafse I oosit primer, sedangkan kromosom pada oosit sekunder mengumpul secara sempurna di kutub. Data hasil perhitungantingkat maturasi oosit Sapi Bali pada berbagai tahap dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pengaruh penambahan DMSO pada saat kriopreservasi oosit Sapi Bali terhadap rata-rata persentase tingkat maturasi oosit Perlakuan
Tingkat Pematangan Inti (%)
Ʃ oosit GV
GVBD
M-I
M-II
A
36
2 (5.6)
0 (0.0)
11 (30.5)
23 (63.8)
B
36
2 (5.6)
4 (11.1)
9 (25.0)
21 (58.3)
C
36
1 (2.8)
0 (0.0)
6 (16.7)
29 (80.6)
D
36
0 (0.0)
1 (2.8)
14 (38.9)
21 (58.3)
Keterangan : A : (DMSO 0%), B : (DMSO 5%), C (DMSO 10%), D (DMSO 15%). GV: germinal vesicle, GVBD: germinal vesicle breakdown, M–I: metaphase I, M–II: metaphase II
29
Hasil analisis Chi-Square 2X2 Contingency table menunjukkan bahwa pengaruh penambahan krioprotektan DMSO pada saat kriopreservasi oosit tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap tingkat maturasi oosit. Pada tahap Germinal Vesicle (GV) persentase tingkat kematangan oosit yang tertinggi pada oosit perlakuan A yaitu 5.5% kemudian oosit perlakuan C yaitu 5.5% dan perlakuan C 2.7% sedangkan pada perlakuan D tidak tidak terlihat pada tahap Germinal Vesicle (GV). Pada tingkat Germinal Vesicle Dreak Down (GVBD) hanya oosit perlakuan B dan D saja yang terlihat yaitu 11.1% dan 2.7%. pada tahap M-1 (methapase-I) persentase tingkat kematangan oosit tertinggi terlihat pada oosit perlakuan D 38.8% kemudian perlakuan A 30.5%, lalu perlakuan B 25% dan perlakuan C 16.6% . pada tahap M-II (methapase-II) tingkat kematangan tertinggi terlihat pada oosit perlakuan A yaitu mencapai 346.1% kemudian oosit perlakuan D 27.7%, B 25% dan C 11.1%. Tingkat
maturasi
atau
tingkat
pematangan
inti
ditandai
dengan
terekspansinya sel kumulus hal ini disebabkan karena sel kumulus membantu sintesis protein untuk pembentukan zona pelusida dan sebagai penyedia nutrisi bagi oosit melalui zat metabolit yang dihasilkan. Menurut Setiadi (2002) menyatakan bahwa sel-sel kumulus berperan penting dalam proses pematangan oosit secara in vitro, yang selanjutnya juga akan mempengaruhi kualitas embrio yang dihasilkan. Saat pematangan, sel-sel kumulus berperan dalam menyediakan nutrisi bagi oosit serta membantu sintesis protein untuk pembentukan zona pelusida (Mayes, 2002). Apabila sel-sel kumulus dilepaskan sebelum pematangan, maka akan terjadi keterlambatan dalam proses pematangan oosit atau bahkan tidak terjadi pematangan.
30
Pada proses pematangan sel telur secarain vitro dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya medium pematangan dan lingkungan penyimpanan (Incubator). Medium standar untuk pematangan in vitro sel telur sapi adalah TCM-199. Agar menunjang keberhasilan proses maturasi in vitro dilakukan inovasi komposisi dan penambahan suplemen untuk mendapatkan kondisi medium yang optimsl. Suplemen seperti serum, hormon estradiol, hormon gonadotropin (FSH dan LH), mineral, glukosa, piruvat dan asam amino ditambahkan untuk membantu transformasi inti (Sirard dan Blondin 1996). Ada dua sisi yang berlawanan dari penggunan krioprotektan, yaitu selain dapat melindungi sel, krioprotektan dapat menimbulkan kerusakan pada sel akibat toksitasnya (Fahry et al., 1990). Konsentrasi krioprotetkan yang rendah dalam medium krioprotektanakan menyebabkan kerusakan oosit akibat terbentuknya kristal-kristal es intraseluler, akan tetapi konsentrasi krioprotektan yang tinggi dapatbersifat toksik dan menyebabkan kerusakan osmotik pada oosit (Arav et al,. 1993). Tingkat
Fertilisasi
Oosit
Sapi
Bali
dengan
Penambahan
DMSO
(Dhymethilsulfoxide) Berbeda Oosit yang telah melalui proses maturasi selama 24 jam kemudian difertilisasi selama 18 jam di dalaminkubator dengan CO 2 dan suhu yang sama saat dimaturasi. Sebelum proses fertilisasi, sperma beku terlebih dahulu di thawing dan diencerkan pada media fertilisasi. Adapun hasilpengamatan tingkat pembentukan pronukleus pada oosit sapi bali yang di fertilisasisecara in vitro setelah pewarnaan dapat dilihat pada Gambar 4.
31
A
B
Gambar 4. Tingkat pembentukan pronukleus A :Oosit tahap 1 PN B :Oosit fertil tahap 2 PN Gambar 4. menunjukan adanya perubahan bentuk oosit yang terlihat pembentukan pronukleus I (A) dan pembentukan pronukleus II (B). Menurut Wahjuningsih 2013 oosit terfertilisasi dapat dapat diamati melalui pewarnaan aceto orcein 1% dan dapat diketahui oosit terfertilisasi normal (mempunyai 2 pronukleus) dan oosit yang mengalami polispermi (mempunyai lebih dari 2 pronukleus). Penentuan tingkat fertilisasi pada oosit dilakukan berdasarkan terbentuknya pronukleus jantan dan betina. Keadaan 2 pronukleus atau lebih dari dua pronukleus menunjukan bahwa keadaan masing-masing oosit adalah diploid dan poliploidi. Pada saat fertilisasi in vitro dan perkembangan embrio, sel cumulus memberikan pengaruh positif. Tingkat pembelahan dan perkembangan embrio lebih rendah ketika oosit dibebaskan dari sel kumulus, namun tidak diikuti oleh tingginya tingkat pembelahan dan perkembangan selanjutnya (Nandi et al., 1998). Sel-sel kumulus mampu meningkatkan area kontak antara spermatozoa dan oosit (Cox et al., 1993) dan dengan memilih subpopulasi sperma yang mampu berinteraksi dengan oosit.
32
Data hasil perhitungantingkat fertilisasi oosit Sapi Bali pada berbagai tahap dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh penambahan DMSO pada saat kriopreservasi oosit Sapi Bali terhadappersentase tingkat fertilisasi oosit Perlakuan
Tingkat fertilisasi (%)
Ʃ oosit PN-0
PN-1
PN-2
A
36
26 (72.2)
7 (19.4)
3 (8.3) a
B
36
24 (66.6)
6 (16.6)
6 (16.6) a
C
36
11 (30.5)
3 (8.3)
22 (61.1) b
D
36
25 (69.4)
10 (27.7)
1 (2.7) a
Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01). A : (DMSO 0%), B : (DMSO 5%), C (DMSO 10%), D (DMSO 15%). PN-0 : Pronukleous-0, PN-1 : Pronukleus-1, PN-2 : Pronukleus-2. Hasil analisis 2x2 Contingency Table menunjukkan bahwa tingkat PN-2 (Pronukleus-2) peda perlakuan Csangat berbeda nyata (P<0.01) dengan tingkat fertilitas perlakuan A, B dan D, sedangkan antara perlakuan A, B dan D tidak berbeda nyata.Tidak ada perbedaan yang nyata pada setiap perlakuan pada tingkat fertilitas PN-0 dan PN-1. Pada tahap PN-0 (Pronukleus-0) presentase tingkat fertilisasi tertinggi pada oosit perlakuan A yaitu 72.2% dan tingkat fertilitas terendah pada perlakuan C yaitu 30.5%. pada tingkat PN-1 (Pronukleus-1) persentase tertinggi pada perlakuan D yaitu 27.7% dan tingkat fertilisasi terendah pada perlakuan C yaitu 8.3%. Pada tahap PN-2 (Pronukleus-2) persentase tertinggi yaitu pada perlakuan C 61.1% dan terendah pada perlakuan D yaitu 2.7%. Tingginya persentase tingkat fertilitas (PN-2) pada
perlakuan C
menunjukan bahwa penggunaan DMSO membantu mengurangi kerusakan dibanding dengan control, perlakuan B dan perlakuan D.
Konsentrasi
33
krioprotektan yang (control dan perlakuan B) rendah dalam medium krioprotektan akan menyebabkan kerusakan oosit akibat terbentuknya kristal-kristal es intraseluler, akan tetapi konsentrasi krioprotektan yang tinggi (perlakuan
D)
dapat bersifat toksik dan menyebabkan kerusakan osmotik pada oosit. ( Arav, 1993). Oleh karena itu sangat penting usaha untuk mengurangi kerusakan sel, karena stress osmotik ataupun kecaman kimiawi yang disebabkan tingginya konsentrasi krioprotektan yang digunakan. Ada dua sisi yang berlawanan dari penggunaan krioprotektan, yaitu selain dapat melindungi sel, krioprotektan dapat menimbulkan kerusakan pada sel akibat pengaruh toksitasnya (Fahry et al., 1990). Keberhasilan pelaksanaan program fertilissi in vitro sangat ditentukan oleh kualitas dan tingkat oosit yang berhasil dibuahi dan berkembangnya sampai pada tahap blastosis. Oosit yang telah mencapai tahap methapase-II, yang ditandai dengan adanya ekspansi sel kumulus akan dibuahi oleh satu spermatozoa yang sudah mengalami kapasitasi dan membentuk zigot. Proses fertilisasi diawali oleh spermatozoa melewati sel-sel kumulus, lalu melekat pada zona pelusida dengan perantaraan ikatan enzim reseptor, kemudian menembus zona pellusida dan selaput vitelin (viteline membrane) masuk kedalam sitoplasma oosit (Gordon, 1994). Kriopreservasi oosit diduga dapat mengakibatkan menurunnya tingkat fertilisasi dan perkembangan embrio sebagai akibat terjadinya kerusakan struktur dan morfologi serta menurunnyabahkan hilangnya viabilitas oosit (Arav et al, 1993; Hyttel et al,. 2000). Kerusakan morfologi yang terjadi dapat berbentuk pecahnya zona pelucida, disintegrasi membran plasma, kerusakan bahan serta
34
organel sitoplasma seperti sitoskeleton, kromosom, butir-butir korteks dan butirbutir lemak (Fuku et al, 1995; Zhu et al,. 1998). Prinsip dari kriopreservasi adalah pengeluaran sebagaian besar air dari selsel sebelum membeku intraseluler, sehingga terjadi penurunan volume air di dalam sel. Untuk menghindari terjadinya kristal es intraseluler, harus diinduksi terbentuknya kristal es ekstraseluler sehingga terjadi proses dehidrasi karena osmolaritas cairan diluar sel lebih tinggi dibanding cairan didalam sel, maka cairan intraseluler akan tertarik keluar. Jika dehidrasi tidak terjadi akan terbentuk kristal-kristal es besar intraseluler yang dapat merusak sel dengan hebat. Pada keadaan tertentu pengeluaran air terlalu banyak merusak dan letal karena sel-sel mengalami pengeringan (Wahjuningsih, 2013). Kerusakan sel dapat terjadi akibat dari peningkatan osmolaritas media kriopreservasi sehingga krioprotektan menjadi bersifat racun, kerusakan fisik karena terbentuknya kristal es ekstraseluler atau terjadinya osmotic swelling (Kazai, 1996; Wetzels,1996).
35
PENUTUP
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penambahan krioprotektan DMSO kedalam media kriopreservasi optimum pada level 10% dengan tingkat maturasi (M-II) dan fertilisasi (PN-II) masing-masing sebesar 80.6% dan 61.1%. Saran Untuk mencapai tingkat maturasi dan fertilisasi yang tinggi dengan penambahan krioprotektan DMSO sebagai media krioprotektan disarankan menggunakan DMSO dengan konsentrasi 10%.
36
DAFTAR PUSTAKA Amstrong, M and Webh 1997, A Handbook of Human Resource Management, Elex Media Komputindo, Jakarta. Arav, A., D. Shebu, and Mattioli, M. 1993. Osmotic and Cytotoxic Study Of Vitrification Of Immature Bovine Oocytes.J. repord and Fert. 99:353358 Austin, C.R. and R. V. Short. 1982. Reproduction in Mammals. Book I.University Press. Cambridge. 103. Ball, G.D, M.L. Leibfreid, R.W.A.X. Lenz, B.D. Bavister and N.L. First. 1984.Factors affecting succcesfull in vitro fertilization of Bovine FollicularOocyte. Biol. Reprod.28;717-725. Bilodeau-Goeseels, S. and P. Panich 2002.Effects of oocyte ondevelopment and transcriptional activity in early embryos.Anim.Reprod. Sci. 71 (3-4): 143-155.
quality bovine
Blanco,J.M.,G. Gee, D.E. Wildtand A.M. Donoghue. 2000. Species variation in osmotic, cryoprotectant and Cooling rate tolerance in poultry, eagle and pregrine Falcon spermatozoa. Bio.Reprod. 63: 1164-1171. Boediono A, Rusiyantono Y, Mohamad K, Djuwita I, Harliatien. 2000. Developmental competence of caprine oocyte after in vitro maturation, fertilization and culture. Media Veteriner.7 (4): 11-17. Chao, N. H and I. C, Liao. 2001. Cryopreservation o finfish ad selfish gametes and embryos. Aquaculture, 197 : 161 – 189 Cox JF, Hormazabal J, Santa Maria A. 1993. Effect of cumulus on in vitro fertilization of bovine matured oocytes.Theriogenology 40:1259-1267. De Wit, A.A., Y.A. Wurth, T.A. Kruip. 2000. Effect of ovarian phase andfolliclequality on morphology and developmental capacity of the bovinecumulus- oocyte complex. J. Anim. Sci. 78(5): 1277-1283. Down, S. M. 1993.Factors Effecting The Resumption of meiotic Maturation inMammals Oocytes.Theriogenol.39;65-79. Ernawati, Y. 1999. Efisiensi implantasi LH-RH dan 17a-Metil testosteron serta pembekuan sperma dalam upaya peningkatan produksi benih ikan jambal siam. Disertasi. Program pascasarjana, institut pertanian bogor. Fahry, G.M,. Lilley, T.H Linsdel, Douglas, M.S and Meryman,H.T. 1990. Cryoprotectans Toxicity and Cryoprotectans reduction. Cryobiology 27:247-268.
37
Fortune, J.E., G.M. Rivera, A.C.O.Evans, A.M. Turzillo. 2001. Differentiation ofdominant versus subordinate follicles in cattle. Biol. Reprod. 65: 648-654. Frandson, R.D., W.L. Wilke,dan A.D. Fails. 2003. Anatomy of The Female Reproductive System. In. Anatomy and Physiology of Farms Animals.6th ed. Lippincott Williams & Wilkins. Baltimore-Maryland, USA. Fuku, E.J., Xia, L. and Downey, B.R., 1995. Ultrastructural changes in Bovine oocyte cryopreservaced by vitrification. Crybiologi 32(2):139156 Gazali, M. dan Tambing.2001.KriopreservasiSelSpermatozoa.Hayati 9 (1) : 2732. Gordon, I. 1993. Controlled reproduction in sheep and goats. Cambridge: CAB International. pp 53-85. Gordon, I. 2003. Laboratory production of cattle embryos. Dublin: CAB International. pp 30-142; 277-290. Hafez, B. dan E.S.E. Hafez. 2000. Anatomy of Female Reproduction. In Reproduction in Farm Animals.Hafez, B. and E.S.E. Hafez (Eds.).7rd ed. Lippincott Williams & Wilkins, USA. Hamny. 2006. StudiMorfologi Organ ReproduksiKancil (Tragulusjavanicus) denganTinjauanKhususpadaOvarium, PerkembanganFolikel, danPematanganOositIn Vitro. Tesis.SekolahPascasarjana, InstitutPertanian Bogor. Bogor. Kiernan. Hyttle, P., Vajta, G. and Callasen, H. 2000. Vitrification Of bovine oocytes with the open pulled straw method : ultra-Structural consequences. Mol. Reprod and Dev 58:80-88 IkaRoostikaTambunandanIka Mariska.2003. PemanfaatanTeknikKriopreservasidalam Penyimpanan Plasma NutfahTanaman. BalaiPenelitianBioteknologidanSumberdaya GenetikPertanian. Bogor Im KS, Kim HJ, Chung KM, Kim HS, Park KW.1995. Effects of ovary type, oocyte grade, hormone, sperm concentration and fertilization medium on in vitro maturation, fertilization, and development of bovine follicular oocytes. AJAS. 8: 123-127. Jalaluddin M. 2014. Morfometridankarakteristikhistologiovariumsapiaceh (BosIndicus) selamasiklus estrus.JurnalMedikaVeterinaria. ISSN : 0853-1943. Kaiin EM, Said S, Tappa B. 2008. Kelahirananaksapihasilfertilisasisecarain vitro denganspermahasilpemisahan.Media Peternakan.31(1): 22-
38
28.Labetubun J, Siwa IP. 2011. Kualitas spermatozoa kaudaepididimissapibalidenganpenambahanlaktosaataumaltosa yang dipreservasipadasuhu 3–5oC. JurnalVeteriner. 12(3): 200-207. Kasai, M., 1996 simple and efficient method for vitrification of mammalian embryos.Anim. Reprod.Sci 42:67-75 Khurana, N.K. and H. Niemann. 2000. Effects of oocyte quality, oxygentension,embryo density, cumulus cells and energy substrates oncleavageandmorula/blastocyst formation of bovine embryos.Theriogenology 54 (5): 741-756. Kimura, Y., N. Manabe, S. Nishihara, H. Matsushita, C. Tajima, S. Wada, and H. Miyamoto. 1999. Up-Regulation of the α2,6- sialyltransferase messenger ribonucleic acid increases glycoconjugates containing α2,6-linked sialic acid residues in granulose cells during follicular atresia of porcine ovaries. Biol. of Repro. 60:1475-1482. Lequaere AS, Marchandase J, Moreau B, Massip A, Donay I. 2003.Cell cycle at the time of maternal zygotic.J BiolReprod. 69: 1707-1713. Margawati ET. 1999. The effective of growth factor on in vitro embryo development. J Med Vet. 6 (3) : 27 – 34. Martino, A,. Mogas, T,. Palomo, M.J. and Paramio, M.T. 1993. Effect Of Method of Recovery on the in vitro Maturation and Fertilization of prepubertal goat Oocytes, 9th scientific meeting. European embryo transfer association. Paris. Mayes. 2002. Ovary. http://www.theses.ulayal.ca/2002/20201.html. McGee E.A.A.J.W.Hsue, 2000 Initial and recruitment of ovarium follicles, Endocrinol Rev 21:200-214 Nandi S. Chauhan MS, Palta P. 1998. Effect of cumulus cells and sperm concentration on cleavage rate and subsequent embryonic development of buffalo (BubalusBubalis) oocytes matured and fertilized in vitro. Theriogenology 50(8):1251-1262. Novalina, Hasugian. 2009. Transfer EmbrioBalaiEmbrioTernakCipelang Bogor. Pisastyani,
Herwin, 2003.Kompetensi tingkatkematanganoositdomba yangdimatangkanpada TCM 199 danmem eagle in vitro.FKH.IPB.
Priedkalns,
J. 1989. SistemReproduksiBetina. Dalam: BukuTeksHistologiVeteriner II. Brown, D. (Ed.). EdisiKetiga. UI Press, Jakarta.
39
Prochaska,
R.,R. Durnford, P.S. Fiser And G.J. Marcus. 1993. PaerthenogeneticDevelopment Of Activated in vitro Mtured Bovine Oocytes,Theriogenol.39;103-105.
Pujo M, Bejar ML, Paramio T. 2004. Depelopmental competence of heifer oocytes selected using briliantcrsyl blue (BCB) tes. Theriogenology. 61: 35-44. Rahman, N.U., M. Sarwar, H.A. Samad. 2001. In vitro production of bovineembryos -a review. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 14: 1342-1351. Rosenkrans CF, First NL. 1994. Effects of free amino acids and vitamins on cleavage and development rate of bovine zygotes in vitro. J Anim Sci. 72: 434-437. Rosenkrans CF, Zeng QG, Mcnamara GT, Schoff PK, First NL. 1993. Development of bovine embryos in vitro as affected by energy substrates. JBiolReprod. 49: 459-462. Sagi, M. 1999. Embriologi perbandingan pada vertebrata. Fajar Offset. Yogyakarta. Sagirkaya H, Yagmur M, Nur Z, Soylu MK. 2004. Replacement of fetal calf serum with synthetic serum substitute in the in vitro maturation medium: Effects on maturation, fertilization and subsequent development of cattle oocytes in vitro. Turk.J Vet Anim Sci. 28 : 779784. Salisbury, G.W. dan N.L. Van Demark.1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. (Diterjemahkan oleh Djanuar, R.).Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Setiadi, M.A., 2002. Effect of co-cultur with follicle shell on cumulus expansion and nuclear maturation porcine oocytes in vitro.Reprotech. I:87-91. Shamsuddin, M.B., Larsson and H.R. Martinez. 1993. Maturation-related changesin Bovine Oocytes Under Different Culture Conditions.J.Anim.Reprod.Scl.31;49-58. Shaw, J.M., A. Oranratnachai, and A.O.Tr o u n s o n . 2 0 0 0 . F u n d ame n t alcryobiology of mammalian oocytes andovarian tissue. Theriogenology.53:59 72. Sirard MA, Blodin P. 1996. Oocyte maturation and in vitro fertilization in cattle.J Anim Reprod Sci. 42 : 417-426. Sirard, M.A., and P. Blondin. 1996. Oocytes maturation and IVF cattle. Anim. Reprod. Sci. 42:417-426.
40
Steel R.G. dan Torrie J.H. 1991. Prinsip dan prosedur Statistika. Edisi 2. Gramedia. Jakarta. Stoos, J. 1983. Fish gametes preservation and spermatozoan physiology. In fish physiology Vol. IX part B. Academis press Inc.london. p : 305- 350 Supriatna,
I., dan F.H. Pasaribu. 1992. In vitro Fertilisasi,TransferEmbriodanpembekuanembrio.Bogor;PAUBiotekno gi IPB.pp;1-56.
Takahashi Y, Hishinuma M, Matsui M, Tanaka H, Kanagawa H. 1996. Development of in vitro matured/fertilized bovine embryos in a chemically defined medium: influence of oxygen concentration in the gas atmosphere. JVet Med Sci. 58(9): 897-902. Valerdi, M.R., P. Eftekhari-Yazdi, L. Karimian, F.HassaniAnd B. Movaghar. 2009. Vitrificationversus slow freezing gives excellent survival, postwarming embryo morphology and pregnancyoutcomes for human cleaved embryos. J. Assist.Reprod. Genet. 26: 347 – 354. Van den Hurk, R.M. Bevers and J.F.Beckers. 1997. In vivo and in vitrodevelopment of pre antral follicles, Theriogenology,47:73-82. Vicanco, Mackie HW. 2001. Embrio transfer in ovine and caprineIn : Biotechnology of reproduction. Palma G, editor. Buenos Aires (AGT):EdicionesInta. Vieira, A.D., A. Mezzalira, D.P. Barbieri, R.C.Lehmkuhl, M.I.B. Rubin, and G. Vajta.2002.Calves born after open pulled strawvitrification of immature bovine oocytes.Cryobiology. 45:91-94. Wahjuningsih, S. 2013. Kriopreservasi Oosit Sapi. UB Press. Malang. Watson, P.F. 2000.The causes of reduced fertility with cryopreserved semen.Anim. Reprod. Sci. 60 – 61:481 – 492. Wetzels, A.M.M 1996. Cryopreservasionstheory .in : M. bras (editor) IVF Laboratory aspects of in vitro fertilisasi. N.V. organon, Netherland Zhang, L., E.G. Blakewood, R.S. Denniston and R.A. Goolke. 1990. The effect ofovary temperature on oocyte maturation in vitro fertilization andembryo development in cattle.Proc.So. Section Amer.DairySci.Assoc.p:16 Zheng, Y.S., and M.A. Sirard.1992.The Effect of Sera, Bovine Serum Albuminand Follicular Cell on In Vitro Maturation and Fertilization of PorcineOocyte.3 Theriogenology. Zhu, S., yoshizawa, M. and muramatsu, S. 1998.Analysis of fertilizability of bovine Oocytes Cryopreservasi in various cryoptectans after in vitro
41
maturasi and their chromosomes as the first cleavage division. J. Mamm Ova Research 15:37-42
42
RIWAYAT HIDUP Hilma Utami Putri (I111 13 073), lahir di Kabupaten Mejene, Sulawesi Barat, pada tanggal 7 Desember 1995, merupakan anak dari pasangan Bapak Abd. Hattas S. Dan Ibu Kusumawati I. Mengenyam Pendidikan Tingkat Dasar Pada Sekolah Dasar 33 Majene (2007), kemudian melanjutkan pendidikan lanjutan pertama pada SMP 3 Pallangga (2010) kemudian melanjutkan pendidikan menengah pada SMA 1 Pallangga (2013), sekarang kuliah pada salah satu Perguruan Tinggi Negeri, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin Makassar Dengan Program Srtata Satu (S1) (2013-2017).
43
Lampiran 1.KomposisiMedia MaturasiOositSecaraIn Vitro No NamaBahan 1 TCM-199 2 Serum FBS (fetal bovine serum) 3 PMSG (pregnant mare serum gonadotropin) 4 hCG(human chorionic gonadotropin) 5 Gentamycin
Volume 1800 µl 200µl 20µl 20µl 4µl
Lampiran 2.KomposisiMedia FertilisasiSecaraIn Vitro No NamaBahan 1 Ultra pure water 2 NaCl (natrium/sodium chloride) 3 KCL (kalium chloride) 4 NaHCo3 (natrium bicarbonate) 5 NaH2PO4 (natriumdihydrogenphosphate monohydrate) 6 MgSO47H2O (magnesium sulfat-heptahydrate) 7 Sodium lactate 60% syrup 8 Hepes 9 CaCl22H2O (calcium chloride_dihydrate) 10 Sodium pyruvate 11 Caffeine anhydrous 12 BSA (fatty acid free) fraksi V 13 Gentamycin
Volume 50 ml 0,2629 gram 0,0447 gram 0,1050 gram 0,0030 gram 0,0061 gram 0,095 ml 0,1191 gram 0,0588 gram 0,0110 gram 0,0194 gram 0,2500 gram 10 µl
Lampiran 3.KomposisiMedia Krioprotektan DMSO (Dhymethilsulfoxide) % DMSO µl DMSO µl PBS ml 0% 5000 5000 5% 250 4.750 5000 10 % 500 4.500 5000 15 % 750 4.250 5000
44
LAMPIRAN 4. DATA TINGKAT MATURASI PENAMBAHAN DMSO DENGAN KONSENTRASI BERBEDA (%) Perlakuan Ulangan Jumlah GV GVBD M-1 M-2 Oosit 1 9 2 (22.2) 0 3 (33.3) 4 (44.4) A 2 9 0 0 3 (33.3) 6 (66.60 (0% 3 9 0 0 2 (22.2) 7 (77.7) DMSO) 4 9 0 0 3 (33.3) 6 (66.6) Total 36 2 (5.5) 0 11 (30.5) 23 (63.8) B (5 % DMSO) Total C (10% DMSO) Total D (15% DMSO) Total
1 2 3 4
9 9 9 9 36
0 1 (11.1) 0 1 (11.1) 2 (5.5)
3 (33.3) 0 0 1 (11.1) 4 (11.1)
2 (22.2) 2 (22.2) 2 (22.2) 3 (33.3) 9 (25)
7 (77.7) 5 (55.5) 5 (55.5) 7 (77.7) 21 (58.3)
1 2 3 4
9 9 9 9 36
1 (11.1) 0 0 0 1 (2.7)
0 0 0 0 0
2 (22.2) 2 (22.2) 1 (11.1) 1 (11.1) 6 (16.6)
6 (66.6) 7 (77.7) 8 (88.8) 8 (88.8) 29 (80.5)
1 2 3 4
9 9 9 9 36
0 0 0 0 0
0 0 0 1 (11.1) 1 (2.7)
4 (44.4) 4 (44.4) 3 (33.3) 3 (33.3) 14 (38.8)
5 (55.5) 5 (55.5) 6 (66.6) 5 (55.5) 21 (58.3)
45
LAMPIRAN 5. DATA TINGKAT FERTILISASI PENAMBAHAN DMSO DENGAN KONSENTRASI BERBEDA (%) Perlakuan Ulangan Jumlah PN-0 PN-1 PN-2 Oosit 1 9 8 (88.8) 1 (11.1) 0 A 2 9 6 (66.6) 0 3 (33.3) (0% DMSO) 3 9 6 (88.8) 3 (33.3) 0 4 9 6 (66.6) 3 (33.3) 0 Total 36 26 (72.2) 7 (19.4) 3 (8.3) B (5 % DMSO)
1 2 3 4
9 9 9 9 36
7 (77.7) 5 (55.5) 5 (55.5) 7 (77.7) 24 (66.7)
0 2 (22.2) 2 (22.2) 2 (22.2) 6 (16.7)
2 (22.2) 2 (22.2) 2 (22.2) 0 6 (16.6)
1 2 3 4
9 9 9 9 36
3 (33.3) 3 (33.3) 2 (22.2) 3 (33.3) 11 (30.5)
1 (11.1) 1 (11.1) 1 (11.1) 0 3 (8.3)
5 (55.5) 5 (55.5) 6 (66.6) 6 (66.6) 22 (61.1)
1 2 3 4
9 9 9 9 36
6 (66.6) 6 (66.6) 7 (77.7) 6 (66.6) 25 (69.4)
3 (33.3) 3 (33.3) 1 (11.1) 3 (33.3) 10 (27.7)
0 0 1(11.1) 0 1 (2.7)
Total C (10% DMSO) Total D (15% DMSO) Total
46
Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian
Ovarium sapi bali
Oosit setelah di fertilisasi
Oosit setelah direkatkan dengan vaselin
Preparat oosit kualitas A, B dan C
Preparat yang difiksasi
Proses pengamatan oosit
Bahan untuk medium maturasi
Bahan untuk medium fertilisasi
47
Bahanuntukfiksasi
Bahanuntukpewarnaan
Tissudanalkohol 70% untuksterilisasi
Disk maturasidanfertilisasi
Media transport NaCl 0.9%
Syringefilter
48
Scalpel, pinsetdanguntingbedah
Minitube
Oven untuksterilisasikering
Inkubator
Timbangananalitik
Stirrer
Centrifuge
Kontainerpenyimpananspermabeku
49
Pipet yang dimodifikasi
Bunsen untukmemodifikasi pipet
Mikropipetdan tip
Pipetvolumentrik
DMSO
50