Jurnal Veteriner Juni 2015 ISSN : 1411 - 8327 Terakreditasi Nasional SK. No. 15/XI/Dirjen Dikti/2011
Vol. 16 No. 2 : 242-248
Kemampuan Maturasi dan Fertilisasi Oosit Sapi yang Diseleksi Menggunakan Teknik Pewarnaan Brilliant Cresyl Blue (SELECTING MATURATION AND FERTILIZATION ABILITY OF BOVINE OOCYTES USING BRILLIANT CRESYL BLUE) Zultinur Muttaqin1, Ni Wayan Kurniani Karja1,2, Mohamad Agus Setiadi1,2
2
1 Program Studi Biologi Reproduksi, Sekolah Pascasarjana; Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor Jln. Agatis, Kampus IPB Dramaga, Bogor, 16680 Telpon (0251) 8626460, Fax: (0251) 8623940; Email :
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan brilliant cresyl blue (BCB) dalam seleksi oosit sapi yang kompeten untuk maturasi dan fertilisasi secara in vitro. Pewarna BCB dapat menilai aktivitas intraseluler glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD), enzim yang disintesis pada oosit yang sedang tumbuh dan berkurang aktivitasnya pada oosit yang telah tumbuh sempurna. Sekumpulan oosit dipaparkan pada 26 µM BCB yang dilarutkan dalam medium modified Phosphate Buffer Saline/m PBS (PBS dengan fetal bovine serum/FBS 10%) selama 90 menit dalam inkubator CO2 5% suhu 39ºC dan diklasifikasikan berdasarkan tingkat penyerapan warna sitoplasmanya: oosit dengan sitoplasma berwarna biru (BCB+) dan oosit dengan sitoplasma yang tidak berwarna (BCB-). Kelompok oosit kontrol dimaturasi secara langsung setelah terseleksi secara morfologi, tanpa dilakukan pewarnaan BCB. Masingmasing oosit pada kelompok perlakuan (BCB+, BCB-, dan kontrol) kemudian dilakukan maturasi dan fertilisasi secara in vitro. Oosit dikatakan matang jika dapat mencapai tahap metafase II setelah dikultur selama 24 jam. Oosit dengan dua atau lebih pronukleus setelah 14 jam inkubasi diklasifikasikan telah terfertilisasi. Persentase maturasi inti (MII) pada kelompok oosit BCB+ lebih tinggi (P< 0,05) dibandingkan oosit BCB- (78,7%±0,41 vs 33,3%±0,13), namun tidak terdapat perbedaan signifikan (P> 0,05) antara kelompok oosit BCB+ dan kontrol (78,7%±0,41 vs 77,1%±0,32). Tingkat fertilisasi kelompok oosit BCB+ lebih tinggi (P< 0,05) dari kelompok oosit BCB- dan kontrol (30,5%±0,04 vs 13,6%±0,03, 23,6%±0,05). Dapat disimpulkan bahwa seleksi oosit sapi dengan BCB sebelum maturasi dapat digunakan secara efektif dalam memilih oosit sapi yang lebih kompeten untuk berkembang. Kata-kata kunci: oosit, brilliant cresyl blue, kompetensi, maturasi, fertilisasi
ABSTRACT The objective of this study was to evaluate the use of brilliantcresyl blue (BCB) in selecting potential bovine oocytes for maturation and fertilization in vitro. Brilliant cresyl blue (BCB) is a dye that can assess intracellular activity of glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD), a synthesized enzyme in matured oocytes. Oocytes were exposed to 26 µM BCB diluted in modified Phosphate Buffer Saline (mPBS, PBS + 10% Fetal Bovine Serum) for 90 minutes is 5% CO2 incubator at 390C. The oocytes were classified according to their cytoplasm coloration: oocytes with blue cytoplasm (BCB+) and unstained oocytes (BCB-). Oocytes of the control group were incubated shortly after morphological selection without being exposed to BCB. Afterwards, all groups of oocytes (BCB+, BCB-, and control) were matured and fertilized in vitro. Matured oocytes were those oocytes that reach metaphase II after 24 hours culturing; whereas oocytes showing two or more pronuclei at 14 hours post incubation were classified as fertilized oocytes. The nuclear maturation rate was significantly (P<0.05) higher in BCB+ group (78.7% ± 0.41) than the BCB- group (33.3% ± 0.13). However, there was no significance difference (P>0.05) between the BCB+ and the control group (77.1% ± 0.32). The fertilization rate was significantly higher (P<0.05) in the BCB+ group (30.5% ± 0.04) compared to the BCB- (13.6%±0.03) and control group (23.6% ± 0.05). In conclusion, BCB staining of bovine oocytes prior in vitro maturation could be used in selecting potential developing oocytes. Key words: oocytes, brilliant cresyl blue, maturation, fertilization.
242
Zultinur Muttaqin, et al
Jurnal Veteriner
PENDAHULUAN Tingkat keberhasilan produksi embrio sapi in vitro masih sangat rendah karena sebagian besar oosit gagal untuk berkembang sampai ke tahap blastosis. Hal ini terutama dikaitkan dengan kualitas oosit sapi yang digunakan saat maturasi. Oosit yang digunakan untuk proses produksi embrio in vitro umumnya diperoleh dari ovarium yang berasal dari rumah pemotongan hewan (RPH). Seleksi oositnya di laboratorium secara in vitro, dilakukan secara rutin berdasarkan kriteria morfologi, yaitu jumlah dan kekompakan sel kumulus, serta homogenitas sitoplasmanya. Akan tetapi karena adanya aktivitas intraovarian pada masa hidupnya, oosit yang terseleksi masih heterogen dalam kualitas dan kemampuan perkembangannya. Aktivitas intraovarian dengan beberapa gelombang folikel yang terjadi memungkinkan oosit berada pada tahapan perkembangan yang berbeda, seperti terdapatnya oosit yang sedang tumbuh, menuju ke arah atresia, dan atau sudah tumbuh sempurna (Ginther et al., 1999). Oleh karena itu seleksi secara morfologi dipandang belum cukup memadai dan kurang efisien, karena ada kemungkinan oosit yang secara morfologi terseleksi dalam kriteria baik tetapi ternyata sudah berada dalam tahap mengalami degenerasi dan atau berada dalam tahap sedang tumbuh (Alm et al., 2005; Ferreira et al., 2009). Dekade ini dikembangkan sebuah metode non invasif dengan pewarnaan brilliant cresyl blue (BCB) untuk memilih oosit berdasarkan aktivitas enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) di dalam sitoplasma oosit. Enzim ini berperan sangat penting selama proses metabolisme karbohidrat dalam menghasilkan ribose-5-fosfat dan nikotinamida adenin dinukleotida fosfat / NADPH (Marks et al., 1996). Ribosa-5-fosfat yang dihasilkan berfungsi dalam sintesis nukleotida dan asam nukleat, sedangkan NADPH yang dihasilkan dapat digunakan sebagai agen pereduksi untuk biosintesis asam lemak dan steroid, serta melindungi sel melalui sistem pertahanan glutation terhadap kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh reactive oxygen species (ROS) (Jortzik et al., 2011). Oosit yang dipaparkan dalam pewarna BCB, menunjukkan perubahan warna pada sitoplasmanya sejalan dengan aktivitas enzim G6PD di dalam sitoplasma oosit (Ericsson et al., 1993). Semakin rendah aktivitas G6PD dalam
sitoplasma oosit maka semakin rendah kemampuan oosit untuk memetabolisir pewarna BCB, menyebabkan sitoplasma oosit berubah warna menjadi biru. Aktivitas G6DP ditemukan tinggi dalam sitoplasma oosit yang sedang tumbuh (growing oocytes) dan aktivitasnya akan semakin menurun seiring dengan pertumbuhan oosit terutama pada oosit yang sudah tumbuh sempurna (fully grown oocytes) (Alm et al., 2005; Manjunatha et al., 2007). Aktivitas G6PD yang cenderung menurun pada oosit yang telah menyelesaikan fase pertumbuhannya mengindikasikan bahwa sintesis RNA dan aktivitas metabolisme pada oosit tersebut telah mencukupi untuk perkembangan awal oosit dan embrio. Metode non invasif dengan BCB telah digunakan untuk mengidentifikasi oosit yang kompeten pada banyak spesies hewan, seperti pada babi (Ericsson et al., 1993), kambing prepubertas (Rodriguez-Gonzalez et al., 2002), sapi dara (Pujol et al., 2004), kerbau (Manjunatha et al., 2007), dan kuda (Pereira et al., 2010). Lebih lanjut dinyatakan oleh Rodriguez-Gonzalez et al., (2002) dan Tiffin et al., (1991) bahwa pewarnaan BCB dalam konsentrasi tertentu tidak berpengaruh terhadap viabilitas oosit dan tidak menimbulkan efek lethal pada embrio. Dari hasil penelitian tersebut diindikasikan bahwa oosit yang sudah tumbuh sempurna dalam ovarium sebelum dikoleksi mempunyai kompetensi perkembangan yang lebih tinggi daripada oosit yang sedang tumbuh apabila digunakan untuk produksi embrio in vitro. Oleh karena seleksi oosit secara morfologi kualitasnya masih sangat heterogen, perlu dilakukan seleksi non invasif untuk lebih memaksimalkan keberhasilan produksi embrio in vitro. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan pewarna BCB sebagai indikator aktivitas G6PD di dalam sitoplasma oosit sebagai upaya untuk memilih oosit sapi yang kompeten untuk berkembang secara in vitro.
METODE PENELITIAN Koleksi dan Klasifikasi Oosit Oosit diperoleh dari ovarium sapi yang dipotong di RPH Cibinong, Kabupaten Bogor dan dibawa ke Laboratorium Fertilisasi in vitro, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, dalam larutan NaCl fisiologis (0,9 w/v) suhu 27-28°C. Di laboratorium, koleksi oosit
243
Jurnal Veteriner Juni 2015
Vol. 16 No. 2 : 242-248
dilakukan dengan teknik aspirasi menggunakan syringe dan jarum ukuran 18G. Hasil aspirasi kemudian dituang pada cawan petri steril, yang mengandung larutan mPBS (PBS plus 10% fetal bovine serum) (Sigma, USA). Seleksi oosit dilakukan di bawah mikroskop stereo berdasarkan homogenitas sitoplasma dan kekompakan sel-sel kumulus. Oosit hasil seleksi kemudian dibagi menjadi dua kelompok: kelompok kontrol dan kelompok pewarnaan BCB. Oosit kelompok kontrol dilakukan maturasi secara langsung, tanpa mengalami pewarnaan BCB sebelumnya. Pewarnaan Brilliant Cresyl Blue Oosit kelompok pewarnaan BCB diinkubasi dalam pewarna BCB 26 µM (B-5388, Sigma) selama 90 menit pada inkubator 5% CO2 dan suhu 39°C yang diadopsi dari metode yang dilakukan oleh Alm et al., (2005) dan Bhojwani et al., (2007). Setelah inkubasi, oosit dicuci sebanyak tiga kali dalam larutan mPBS dan diklasifikasikan di bawah mikroskop stereo ke dalam dua kelompok berdasarkan tingkat penyerapan warna oleh sitoplasma. Oosit dengan sitoplasma berwarna biru dikategorikan sebagai kelompok oosit BCB+ yang mengindikasikan oosit telah tumbuh sempurna dan oosit dengan sitoplasma yang tidak berwarna dikategorikan sebagai kelompok oosit BCB- yang mengindikasikan oosit masih dalam tahap pertumbuhan. Kedua kelompok tersebut dipisahkan untuk kemudian dimatangkan pada masing-masing media maturasi. Maturasi Oosit in vitro (IVM) Masing-masing oosit dari kelompok kontrol, BCB+, dan BCB- dimatangkan secara terpisah pada media maturasi dalam bentuk drop 100 µL yang berisi 10-20 oosit dan ditutup dengan mineral oil (Sigma, USA). Medium maturasi terdiri dari: Tissue Culture Medium-199/TCM199 (Gibco, USA) yang disuplementasi dengan 10 IU/mL Pregnant Mare Serum Gonadothropine/PMSG (Kyoritsu Seiyaku, Japan), 10 IU/mL Human Chorionic Gonadotropin/hCG (Kyoritsu Seiyaku, Japan), 50 µg/mL gentamycin (Sigma, USA), dan 10% fetal bovine serum/FBS (Sigma, USA). Maturasi oosit dilakukan pada inkubator 5% CO2 suhu 39°C selama 24 jam.
Fertilisasi Oosit in vitro (IVF) Fertilisasi oosit dilakukan menggunakan semen beku sapi yang berasal dari Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Lembang, Bandung. Proses thawing dilakukan dengan menempatkan straw ke dalam air bersuhu 37°C selama 30 detik. Selanjutnya semen dimasukkan ke dalam tabung sentrifus steril 15 mL (Corning Centristar®) yang berisi 4 mL medium fertilisasi (Suzuki et al., 2000) dan disentrifugasi pada kecepatan 700 g suhu 28°C selama delapan menit. Setelah sentrifugasi, supernatan dibuang dan sisa spermatozoa sebagai endapannya dilakukan pengenceran menggunakan medium fertilisasi hingga mencapai konsentrasi akhir 2x106 spermatozoa/mL. Spermatozoa yang telah disiapkan dibuat dalam bentuk drop pada petri dish (Nunclon, Denmark) masing-masing sebanyak 100 µL untuk 10-20 oosit dan ditutup dengan mineral oil. Masing-masing kelompok oosit (BCB+, BCB, dan kontrol) yang telah dimaturasi dicuci sebanyak dua kali dalam medium fertilisasi dan kemudian dipindahkan ke dalam drop spermatozoa untuk proses fertilisasi. Inkubasi oosit dengan spermatozoa dilakukan selama 14 jam dalam inkubator 5% CO2 suhu 39°C. Evaluasi Keberhasilan dan Analisis Statistika Evaluasi keberhasilan maturasi inti oosit dilakukan dengan mengamati persentase oosit yang mampu mencapai tahap metafase II, sedangkan tingkat fertilisasi dievaluasi berdasarkan pada terbentuknya dua atau lebih pronukleus. Kedua parameter tersebut dianalisis di bawah mikroskop (Olympus IX 70, Japan) menggunakan lensa dengan fitur bright field setelah dilakukan pewarnaan dengan aceto orcein 2% (Setiadi dan Supriatna, 2010). Perbandingan status inti oosit dan oosit yang terfertilisasi pada masing masing kelompok perlakuan (BCB+, BCB-, dan kontrol) diuji secara statistika menggunakan analisis sidik ragam atau Analysis of Variance pada taraf nyata 95%. Apabila terdapat perbedaan yang nyata di antara perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji Fisher Protected Least Significant Difference (FPLSD). Data diolah menggunakan program Statview.
244
Zultinur Muttaqin, et al
Jurnal Veteriner
HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Maturasi Inti Oosit Tingkat pematangan inti oosit merupakan salah satu parameter dan indikator kuat yang sering digunakan untuk mengetahui kompetensi perkembangan oosit selanjutnya. Berlanjutnya meiosis I dimulai dengan terjadinya germinal vesicle breakdown (GVBD), kemudian berlanjut dan mencapai puncaknya pada tahap metafase II (MII) (Gambar 1). Tingkat maturasi inti oosit pada kelompok pewarnaan BCB dan kontrol disajikan pada Tabel 1. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar (di atas 90%) oosit dari seluruh kelompok perlakuan memiliki kemampuan awal untuk terjadinya GVBD yang menunjukkan bahwa oosit mampu mengalami tahap awal meiosis. Namun demikian, sebagian besar kelompok oosit BCB- tidak mampu melanjutkan sampai ke tahap MII dan lebih banyak (P<0,05) tertahan di metafase I (MI) (41,7±0,30%). Data ini mengindikasikan bahwa
kelompok oosit BCB- belum memiliki kompetensi penuh untuk berkembang lebih lanjut. Hal ini disebabkan oosit BCB- masih termasuk ke dalam kategori oosit yang sedang tumbuh yang belum menyelesaikan fase pertumbuhannya di dalam folikel (Ericsson et al., 1993; Fakruzzaman et al., 2013), mengalami defisiensi sitoplasmik (Salamone et al., 2001) yang ditandai dengan aktivitas G6PD yang tinggi. Penyebab lainnya, kemungkinan oosit tersebut berada pada tahap awal terjadinya degenerasi (Opiela et al., 2008), karena oosit yang secara morfologi terseleksi baik, tetapi setelah dipaparkan BCB dan masuk ke dalam kategori oosit BCB-, teramati sebanyak 6,3±0,10% mengalami degenerasi. Hal ini diduga karena oosit dengan perubahan apoptotik yang mungkin telah terjadi, menjadi lebih sensitif terhadap pewarnaan BCB (Katska-Ksiazkiewic et al., 2007). Lebih lanjut Opiela et al., (2008), menunjukkan bahwa oosit yang terpapar BCB memiliki kecenderungan untuk mengalami
Gambar 1. Status inti oosit metafase II (MII) setelah maturasi in vitro (A); Pembentukan 2 pronukleus (PN) pada oosit sapi setelah fertilisasi in vitro (B) (tanda panah); perbesaran 200x. Tabel 1. Tingkat maturasi inti oosit sapi setelah pewarnaan Brilliant Cresyl Blue Status Inti Oosit n (% ± SD) Perlakuan
Kontrol BCB+ BCB-
Jumlah Oosit
GV
GVBD (D)
MI
A/T I
MII
Degenerasi
48 0 (0,0± 0.00) 2 (4,2±0,08) 9 (18,8± 0,10)a 0 (0,0±0,00) 37 (77,1±0,32)a 0 (0,0±0,00) 61 0 (0,0± 0,00) 1 (1,6±0,04) 11 (18,0±0,17)a 1 (1,6±0,04) 48 (78,7±0,41)a 0 (0,0±0,00) 48 2 (4,2± 0,12) 7 (14,6±0,17) 20 (41,7±0,30)b 0 (0,0±0,00) 16 (33,3±0,13)b 3 (6,3±0,10)
Keterangan : a,b, superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). GV: Germinal vesicle; GVBD: Germinal vesicle breakdown / D: Diakinesis; MI: Metafase I; A/ T I: Anafase-Telofase I; MII: Metafase II.
245
Jurnal Veteriner Juni 2015
Vol. 16 No. 2 : 242-248
Tabel 2. Tingkat fertilisasi oosit sapi setelah pewarnaan Brilliant Cresyl Blue. Perlakuan
Kontrol BCB+ BCB-
Jumlah Oosit
55 59 66
Tingkat Fertilisasi n (% ± SD)
13 (23,6±0,05)a 18 (30,5±0,04)b 9 (13,6±0,03)c
Pembentukan Pronukleus n (% ± SD) Normal
Polispermia
12 (21,8±0,04)a 18 (30,5±0,04)b 9 (13,6±0,03)c
1 (1,8±0,04) 0 (0,0±0,00) 0 (0,0±0,00)
Keterangan : a,b, superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Normal: membentuk dua Pronukleus (PN); Polispermia: membentuk >2 PN; Tingkat fertilisasi: jumlah oosit yang dapat membentuk dua atau lebih PN dari keseluruhan jumlah oosit yang difertilisasi.
apoptosis, meskipun secara statistika dari hasil analisis protein tidak meneguhkan kejadian apoptosis tersebut. Proses apoptosis, dengan atresia folikel yang selalu terjadi dimulai dari tahap rekruitmen, seleksi, dengan hanya didapatkannya satu folikel dominan pada sapi (Senger, 2003). Hasil penelitian lebih lanjut menunjukkan adanya perbedaan signifikan (P<0,05) dalam persentase oosit yang mencapai maturasi inti (MII) antara kelompok oosit BCB+ dan kelompok oosit BCB- (78,7±0,41% vs 33,3±0,13%). Data ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada babi (Roca et al., 1998), kambing (Rodriguez-Gonzalez et al., 2002), sapi (Alm et al., 2005), kerbau (Manjunantha et al., 2007), dan domba (Setiadi dan Supriatna, 2010), bahwa prosedur seleksi oosit menggunakan pewarna BCB sebelum maturasi dapat digunakan secara efektif untuk memilih serta membedakan oosit yang lebih kompeten untuk berkembang. Para peneliti menunjukkan bahwa perbedaan kompetensi perkembangan ini terkait dengan diameter oosit (Rodriguez-Gonzalez et al., 2002; Pujol et al., 2004; Karami-Shabankareh et al., 2012), ekspresi gen adiponectin dan reseptornya (adipoR1 dan adipoR2) (Tabandeh et al., 2012), akumulasi lipid (Sierard et al., 2006; Castaneda et al., 2013), dan sintesis RNA serta akumulasi komponen sitoplasma yang cukup untuk perkembangan awal oosit dan embrio (Torner et al., 2008) pada kelompok oosit BCB+ lebih baik dibandingkan oosit kelompok BCB-. Tingkat Fertilisasi Oosit Oosit yang terfertilisasi dicirikan dengan terbentuknya dua atau lebih pronukleus (Gambar 1). Tingkat fertilisasi oosit pada kelompok pewarnaan BCB dan kontrol disajikan
pada Tabel 2. Hasil penelitian menunjukkan tingkat fertilisasi kelompok oosit BCB+ lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan kelompok oosit BCB- (30,5±0,04% vs 13,6±0,03%). Data ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada kambing prapubertas (Rodriguez-Gonzalez et al., 2003) dan kerbau (Manjunatha et al., 2007). Rendahnya tingkat fertilisasi yang dihasilkan pada kelompok oosit BCB- sebagai salah satu sebab dari belum sempurnanya atau abnormalnya maturasi sitoplasmik disertai dengan rendahnya angka maturasi inti. Kishida et al., (2004) menyatakan bahwa keberhasilan proses fertilisasi harus diikuti dengan tercapainya maturasi inti dan sitoplasmik pada saat maturasi. Oosit BCB+ cenderung lebih dapat menyelesaikan maturasi inti dan sitoplasmik dibandingkan oosit BCB- (Isizhaki et al., 2009). Adanya keterlambatan dalam onset ekspresi protein pada oosit BCB- berkaitan dengan keterlambatan pada replikasi mitokondrial DNA (Spikings et al., 2007), serta akumulasi sitoplasmik lipid yang lebih rendah pada oosit BCB- (Castaneda et al., 2013) menjadikan oosit BCB- memiliki kemampuan untuk terfertilisasi yang lebih rendah dibandingkan oosit BCB+. Hasil penelitian lebih lanjut menunjukkan tingkat fertilisasi kelompok oosit BCB+ lebih tinggi secara signifikan (P<0,05) dibandingkan kelompok oosit kontrol (30,5±0,04% vs 23,6±0,05%). Hal ini mengindikasikan seleksi oosit dengan BCB lebih menjamin kompetensi perkembangan oosit yang lebih baik dibandingkan hanya dengan seleksi secara morfologi. Kematangan sitoplasmik pada oosit BCB+ sangat diperlukan dan erat kaitannya pada aktivitas oosit dalam proses fertilisasi serta perkembangan embrionik selanjutnya, seperti
246
Zultinur Muttaqin, et al
Jurnal Veteriner
yang dilaporkan oleh Alm et al., (2005), bahwa dengan tingkat kematangan inti yang sama antara oosit BCB+ dan kontrol, tetapi pada perkembangan selanjutnya didapatkan persentase angka blastosis yang lebih baik secara signifikan pada oosit BCB+ dibandingkan dengan oosit kontrol. SIMPULAN Dari hasil penelitian yang dapat disimpulkan bahwa seleksi kompetensi oosit menggunakan pewarna BCB sebelum naturasi efektif untuk dapat memilih oosit dengan kemampuan maturasi dan fertilisasi yang lebih baik. SARAN Diperlukan studi lebih lanjut dalam pembuktian kompetensi perkembangan oosit sampai ke tahapan embrio dari oosit yang diseleksi menggunakan pewarna BCB. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Bakrie Center Foundation (BCF) yang telah memberikan dukungan dana penelitian pada program beasiswa Bakrie Graduate Fellowship (BGF) periode 2013-2014.
DAFTAR PUSTAKA Alm H, Torner H, Lohrke B, Viequtz T, Ghoneim IM, Kanitz W. 2005. Bovine blastocyst development rate in vitro is influenced by selection of oocytes by brillant cresyl blue staining before IVM as indicator for glucose 6 phosphate dehydrogenase activity. Theriogenology 63(8): 2194-2205. Bhojwani S, Alm H, Torner H, Kanitz W, Poehland R. 2007. Selection developmentally competent oocytes through brilliant cresyl blue stain enhances blastocyst development rate after bovine nuclear transfer. Theriogenology 67: 341-345. Castaneda CA, Kaye P, Pantaleon M, Philips N, Norman S, Fry R, D’Occhio MJ. 2013. Lipid content, active mitochondria and brilliant cresyl blue staining in bovine oocytes. Theriogenology 79: 417-422.
Ericsson SA, Boice ML, Funahashi, H Day BN. 1993. Assesment of porcine ocytes using brilliant cresyl blue. Theriogenology 39: 214. Fakruzzaman MD, Bang JL, Lee KL, Kim SS, Ha AN, Ghanem N, Han CJ, Cho KW, White KL, Kong IK. 2013. Mitocondhrial content and gene expression profiles in oocyte-derived embryos of cattle selected on the basis of brilliant cresyl blue staining. Anim Reprod Sci 142: 19-27. Ferreira EM, Vireque AA, Adona PR, Meirelles FV, Ferriani RA, Navarro PA. 2009. Cytoplasmic matration of bovine oocytes: structural and biochemical modifications and acquisition of developmental competence. Theriogenology 71: 836-848. Ginther OJ, Bergfelt DR, Kulick LJ, Kot K. 1999. Selection of the dominant follicle in cattle: establishment of follicle deviation in less than 8 h through depression of FSH concentrations. Theriogenology 52: 10791093. Isizhaki C, Watanabe H, Bhuiyan MMU, Fukui Y. 2009. Developmental competence of oocytes selected by brilliant cresyl blue and matured individually in a chemically defined culture medium. Theriogenology 72: 72-80. Jortzik E, Mailu BM, Preuss J, Fischer M, Bode L, Rahlfs S, Becker K. 2011. Glucose 6 phospate dehydrogenase 6 phosphogluconalactonase: a unique bifunctional enzyme from plasmodium falciparum. J Biochem (436): 641-650. Karami-Shabankareh H, Mirshamsi SM. 2012. Selection developmentally competent sheep oocytes using the brilliant cresyl blue test and the relationship to follicle size and oocyte diameter. Small Ruminant Research 105: 244-249. Katska-Ksiazkiewicz L, Opiela J, Rynska B. 2007. Effects of oocyte quality, semen donor and embryo co-culture system on the efficiency of blastocyst prodction in goats. Theriogenology 68: 736-744. Kishida R, Lee ES, Fukui Y. 2004. In vitro maturation of porcine oocytes using a defined medium and developmental capacity after intracytoplasmic sperm injection. Theriogenology 62: 1663-1676.
247
Jurnal Veteriner Juni 2015
Vol. 16 No. 2 : 242-248
Manjunatha BM, Gupta PS, Devaraj M, Ravindra JP, Nadi S. 2007. Selection of developmentally competent buffalo oocytes by brilliant cresyl blue staining before IVM. Theriogenology 68(9): 1299-1304.
Salamone DF, Damiani P, Fissore RA, Robl JM, Duby RT. 2001. Biocemical and developmental evidence that ooplasmic maturation of prepubertal bovine oocytes is comprimised. Biol Reprod 64: 1761-1768.
Marks DB, Marks AS, Smith CM. 1996. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah Pendekatan Klinis. EGC (US): Williams and Wilkins.
Senger PL. 2003. Pathways to Pregnancy and Parturition. 2nd ed. Washington: Current Conceptions Inc. Pp 169-171.
Opiela J, Katska-Ksiazkiewizt L, Lipinski D, Slomski R, Bzowska M, Rynska B. 2008. Interaction among activity of glucose 6 phosphat dehidrogenase in immature oocytes, expression of apoptosis related genes bcl-2 and bax and developmental competence following ivp in cattle. Theriogenology 69(5): 546–555. Pereira GR, Lorenzo PL, Carneiro GF, BilodeauGoeseels S, Kastelic JP, Esteller-Vico A, Liu IKM. 2010. Selection of developmentally competent immature equine oocytes by brilliant cresyl blue stainingprior to maturation with equine growth hormone in vitro. Anim Reprod Sci 121: 248-249. Pujol M, Lopez-Bejar M, Paramio MT. 2004. Develepmental competence of heifer oocytes selected using the brilliant cresyl blue test. Theriogenology 61: 735-744. Roca J, Martinez E, Vazquez JM, Lucas X. 1998. Selection of immature pig oocytes for homologous in vitro penetration assays with the brilliant cresyl blue test. Reprod Fertil Dev 10: 479-485. Rodriguez-Gonzalez E, Lopez-Bejar M, Velilla E, Paramio MT. 2002. Selection of prepubertal goat oocytes using the brilliant cresyl blue test. Theriogenology 57: 1397-1409. Rodriguez-Gonzalez E, Lopez-Bejar M, Izquierdo D, Paramio MT. 2003. Developmental competence of prepubertal goat oocyte selected with brilliant cresyl blue and matured with cyteamine supplementation. Reprod Nutr Dev 43: 179-187.
Setiadi MA, Supriatna I. 2010. Seleksi kemampuan pematangan oosit domba menggunakan teknik brilliant cresyl blue. J Veteriner 11(4): 251-256. Sierard MA, Richard F, Blondin P, Robert C. 2006. Contribution of the oocytes to embryo quality. Theriogenology 65: 126-136. Spikings EC, Alderson J, S.t. John JC. 2007. Regulated mitochondrial DNA replication during oocyte maturation is essential for successful porcine embryonic development. Biol Reprod 76: 327-335. Suzuki K, Eriksson B, Shimizu H, Nagai T, Rodriguez-Martinez H. 2000. Effect of hyaluronan on monospermic penetration of porcine oocytes fertilized in vitro. Int J Androl 23: 13-21. Tabandeh MR, Golestani N, Kafi M, Hosseini A, Saeb M, Sarkoohi P. 2012. Gene expression of adinopectin and adinopectin receptors in dominant and atretic follicels and oocytes screened based on brilliant cresyl blue staining. Anim Reprod Sci 131: 30-40. Tiffin GJ, Rieger D, Betteridge KJ, Yadav BR, King WA. 1991. Glucose and glutamine metabolism in pre-attachment cattle embryos in relation to sex and stage development. J Reprod Fertil 93: 125-132. Torner H, Ghanem N, Ambros C, Holker M, Tornek W, Phatsara C, Alm Sirard MA, Kanitz W, Schellander K, Tesfaye D. 2008. Molecular and subcellular characterisation of oocytes screened for their developmental competence based on glucose-6-phospate dehydrogenase activity. Reproduction 135: 197-212.
248