Volume 20, No.1 Maret Th. 2016
ISSN 0853-6627
KINERJA Jurnal Bisnis dan Ekonomi Volume 20, No. 1 Maret 2016 : 1 - 94
Gender, Tingkat Pendidikan dan Lama Usaha Sebagai Determinan Penghasilan UMKM Kota Surabaya Romauli Nainggolan Pengaruh Kredibilitas Endorser Pada Niat Beli Konsumen dan Tingkat Kepercayaan Pada Iklan Daniel Yudistya Wardhana Optimalisasi Kinerja Karyawan Sarung Tenun Dengan Peningkatan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Desy Herma Fauza Pengukuran Tingkat Kesehatan dan Gejala Financial Distress Pada Bank Umum Syariah di Indonesia Junaidi Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Desentralisasi di Indonesia Lestari Agusalim Implementasi Perda 8 Tahun 2010 Tentang Pengalihan BPHTB Untuk Meningkatkan PAD Kabupaten Jombang Dwi Ermayanti Analisis Pengendalian Kualitas Produk Dengan Metode Six Sigma Pada Perusahaan Percetakan PT. Okantara Rr. Rieka F.Hutami dan Camelia Yunitasari
KINERJA JURNAL BISNIS DAN EKONOMI Volume 20, No.1 Maret 2016
ISSN 0853-6627
Diterbitkan Oleh Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Ketua Editor Sang Ayu Putu Piastini G. Andreas Lako Nurul Indarti Ihyaul Ulum FX. Soewarto Firmansyah J. Sukmawati Lena Ellitan I Putu Sugiartha Sanjaya Lincolin Arsyad Roberto M. Arguelles
Editor Ahli Unika Soegijapranata Semarang Universitas Gadjah Mada Universitas Muhammadiyah Malang Universitas Atma Jaya Yogyakarta Universitas Diponegoro Semarang Universitas Atma Jaya Yogyakarta Unika Widya Mandala Surabaya Universitas Atma Jaya Yogyakarta Universitas Gadjah Mada Saint Louis University of Philippines
Editor Pelaksana Mahestu N. Krisjanti Anna Purwaningsih Sigit Triandaru Manajemen Usaha F. Joki Hartono Tri. N. Aditya Octabrian Sekretariat Editor Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jl. Babarsari 43 Yogyakarta 55281 Telp. (0274) 487711 ext 3132 Email :
[email protected]
KINERJA Jurnal Bisnis dan Ekonomi diterbitkan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY). Jurnal ini terbit dua kali dalam setahun, setiap bulan September dan Maret. Editor menerima naskah yang belum diterbitkan media lain. Pedoman penulisan naskah untuk KINERJA tercantum pada bagian akhir jurnal ini. Volume
Nomer
Bulan
Tahun
Halaman
ISSN
20
1
Maret
2016
1 - 94
0853 - 6627
Volume 20, No. 1 Maret 2016
ISSN 0853-6627
KINERJA JURNAL BISNIS DAN EKONOMI
DAFTAR ISI Daftar Isi Gender, Tingkat Pendidikan dan Lama Usaha Sebagai Determinan Penghasilan UMKM Kota Surabaya Romauli Nainggolan..................................................................................................................................... 1-12 Pengaruh Kredibilitas Endorser Pada Niat Beli Konsumen dan Tingkat Kepercayaan Pada Iklan Daniel Yudistya Wardhana .......................................................................................................................... 13-28 Optimalisasi Kinerja Karyawan Sarung Tenun Dengan Peningkatan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Desy Herma Fauza ...................................................................................................................................... 29-41 Pengukuran Tingkat Kesehatan dan Gejala Financial Distress Pada Bank Umum Syariah di Indonesia Junaidi ......................................................................................................................................................... 42-52 Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Desentralisasi di Indonesia Lestari Agusalim .......................................................................................................................................... 53-68 Implementasi Perda 8 Tahun 2010 Tentang Pengalihan BPHTB Untuk Meningkatkan PAD Kabupaten Jombang Dwi Ermayanti ............................................................................................................................................. 69-80 Analisis Pengendalian Kualitas Produk Dengan Metode Six Sigma Pada Perusahaan Percetakan PT. Okantara Rr. Rieka F.Hutami dan Camelia Yunitasari ................................................................................................. 81-94 Pedoman Penulisan Indeks Artikel
Gender, Tingkat Pendidikan dan Lama Usaha Sebagai Determinan Penghasilan UMKM Kota Surabaya (Romauli Nainggolan)
GENDER, TINGKAT PENDIDIKAN DAN LAMA USAHA SEBAGAI DETERMINAN PENGHASILAN UMKM KOTA SURABAYA Romauli Nainggolan IBM lecturer at Ciputra University
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh perbedaan gender, tingkat pendidikan dan lama usaha terhadap penghasilan pemilik UMKM kota Surabaya. Oleh karena itu, peneliti akan menganalisa pengaruh perbedaan gender, tingkat pendidikan dan lamanya usaha terhadap penghasilan UMKM di Surabaya. Ada sekitar 3.947 pemilik UMKM yang dikelola oleh pemerintah kota Surabaya, namun tidak semua produktif. Untuk menganalisis data, pengumpulan data dilakukan melalui survei dan wawancara semi-struktural kepada pemilik UKM di Surabaya. Peneliti menggunakan analisis regresi logistik pada program SPSS dengan jumlah sampel 170 pemilik UMKM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan gender secara signifikan mempengaruhi pendapatan dari UKM. Tapi tingkat pendidikan dan usia bisnis tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan UKM. Kata kunci: perbedaan gender, tingkat pendidikan, usia bisnis, UKM di Surabaya
Abstract
The purpose of this research is to test the influence gender differences, level of education and business age to income of Small Medium Enterprises (SMEs) in Surabaya. This researcher will analyze the influence gender differences, the level of education and business agetowards the income of SMEs in Surabaya. There are more than 3.947 SMEs managed by government of Surabaya, but they are not all productive. In order to analyze the data, the collection of data is done through survey and semi-structural interview to the owners of SMEs in Surabaya. The researcher utilizes ordinary logistic regression analysis SPSS program while the sample size is 170 owners of SMEs. Results show that gender differencessignificantly influences the income of the SMEs.But level of education and business age not significantly influences the income of the SMEs. Key words: gender differences, level of education, business age, SMEs in Surabaya
1. PENDAHULUAN
Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) mendapat perhatian besar dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Karena UMKM memberi sumbangsih yang signifikan dalam mengatasi masalah pengangguran dan mengurangi angka kemiskinan. Angka kemiskinan mengalami penurunan pada bulan September 2011 jika dibandingkan dengan bulan Maret 2011 (BPS, 2011). Penurunan kemiskinan tersebut disebabkan adanya
1
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 1-12
peningkatan produksi manufaktur mikro dan kecil. Hal ini juga dialami Negara Ghana dimana usaha mikro kecil menengah mampu menurunkan tingkat kemiskinan dan pemerintah setempat memberi kebijakan memberi bantuan kredit bagi usaha mikro kecil (Daniel A, 2010, pp 201) Kegiatan UMKM bukan hanya mengurangi kemiskinan, namun menambah peluang kesempatan kerja dan pendapatan keluarga.Apalagi banyak perusahaan yang PHK tenaga kerja pabrik menambah daftar tugas pemerintah untuk menekan angka pengangguran dan membuka lapangan kerja baru. Berdasarkan data tahun 2014 dari Kementerian Koperasi dan UKM, sampai tahun 2012, UMKM telah mampu menyerap 107.657.509 orang tenaga kerja atau 97,16 % tenaga kerja bergerak di bidang UMKM. Sampai tahun 2012, jumlah unit UMKM di Indonesia adalah sebanyak 56.534.592 unit usaha atau sebesar 99,99 % dan didominasi oleh usaha mikro dengan persentase sebesar 98,79 % (Kementerian Koperasi dan UKM 2014). Kota Surabaya salah satu kotamadya yang berkembang dalam program UMKM. Karena itu, pemerintah daerahfokus mengembangkan UMKM yang dikelola kementrian koperasi dengan caramemberi pelatihan, memberikan pendampingan usaha bahkan membantu sebagian modal bagi UMKM yang baru membuka usaha. Namun kenyataannya tidak semua UMKM di Surabaya ini memiliki produktivitas yang tinggi. Ada banyak UMKM yang rendah produktivitasnya. Rendahnya produktivitas dapat terlihat dari pendapatan yang masih rendah, jumlah produksi barang tidak mengalami peningkatan dan sempitnya area pemasaran produk jadi UMKM. Keadaan ini disebabkan oleh masalah internal yang dihadapi UMKM yaitu: rendahnya kualitas sumberdaya manusia, lemahnya kewirausahaan dari para pemilik UMKM, dan terbatasnya akses UMKM terhadap permodalan, informasi, teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Terkait dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia terlihat dari jenjang tingkat pendidikan pemilik UMKM masih rendah. Kadang kala tingkat pendidikan yang rendah sebagai alasan ketidakmampuan mereka memajukan usaha maupun meningkatkan produktivitas. Kebanyakan pemilikan UMKM memiliki jenjang pendidikan di SMA dan jarang sampai ke jenjang Sarjana (S1).Ditemukan bahwa dari 140 jumlah responden pemilik UMKM 2008 di Surabaya mempunyai beraneka ragam latar belakang pendidikan yaitu Sekolah Dasar (SD) berjumlah 21 orang dan SMP sebanyak 17 orang serta SMU sebanyak 72 orang. Disimpulkan bahwa sebanyak 73% pemilik UMKM berlatar belakang pendidikan di bawah S1 (Ardiana, 2010). Dengan latar pendidikan yang masih terbatas mempengaruhi keterbatasan produktivitas usaha. Hal ini disebabkan kurangnya keterampilan, pengalaman dan pengetahuan pemilik UMKM. Disamping rendahnya pendidikan pemilik UMKM ini ada faktor lain yang dihadapi yaitu kemampuan yang berbeda dari pemilik UMKM dari segi gender dimana sebagian pemilik adalah lelaki dan sebagian wanita. Terdapat stereotipe dimana perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Dianggap bahwa produktivitas wanita lebih rendah dibandingkan produktivitas yang dilakukan oleh laki laki (Seon M.K, 2014). Padahal keterlibatanwanita dalam UMKM bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup keluarga dan tidak sedikit wanita saat ini mulai berperan sebagai pencari nafkah bagi keluarga. Di Negara Negara berkembang banyak pemilik usaha mikro merupakan para wanita (Sharma et al., 2012) demi alasan untuk bertahan hidup (Selamat et al., 2011) sehingga mereka berkontribusi terhadap keluarga, kelompok dan negaranya. Selain kendala tingkat pendidikan yang rendah dan perbedaan gender, tak sedikit pemilik usaha ini sudah berdiri cukup lama namun penghasilan yang diperoleh masih rendah. Idealnya semakin lama berdiri suatu usaha maka semakin besar peluang untuk makin maju dan semakin tinggi tingkat pendapatannya. Karena pengalaman kerja dan penguasaan keterampilan menjadikan pemilik usaha dapat berinovasi dan berkreasi. Ternyata di lapangan ditemukan bahwa beberapa pemilik usaha UMKM yang sudah lama berdiri kalah bersaing dengan pemilik UMKM
2
Gender, Tingkat Pendidikan dan Lama Usaha Sebagai Determinan Penghasilan UMKM Kota Surabaya (Romauli Nainggolan)
yang baru berdiri. Khususnya untuk jenis usaha yang sama seperti usaha pembuatan tempe, produksi sepatu dan handcraft. 1.1. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang yang dihadapi pemilik UMKM Kota Surabaya maka penelitian iniakan menjawab permasalah yaitu 1. Bagaimana pengaruh gender terhadap penghasilan pemilik UMKM Kota Surabaya? 2. Bagaimana pengaruh tingkat pendidikan terhadap penghasilan pemilik UMKM Kota Surabaya? 3. Bagaimana pengaruh lama usaha terhadap penghasilan pemilik UMKM Kota Surabaya? 1.2. Tujuan Penelitian Hasil penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui pengaruh gender terhadap penghasilan pemilik UMKM Kota Surabaya. 2. Mengetahui pengaruh tingkat pendidikan (level of education) terhadap penghasilan pemilik UMKM Kota Surabaya. 3. Mengetahui pengaruh lama usaha terhadap penghasilan pemilik UMKM Kota Surabaya.
2. KAJIAN TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Tingkat Pendidikan Investasi dalam bidang pendidikan mempunyai pengaruh langsung terhadap produktivitas individu dan penghasilan (Baum, 1988, pp 178). Adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pendapatan dimana sumber daya manusia mampu meningkatkan kualitas hidupnya melalui suatu proses pendidikan, latihan, dan pengembangan yang menjamin produktivitas kerja yang semakin meningkat. Sehingga akhirnya menjamin pula pendapatan yang cukup dan kesejahteraan hidupnya yang semakin meningkat”(Sagir, 1989,60). Artinya secara teori bahwa semakin tinggi pendidikan seorang usahawan makatinggi juga penghasilan yang diperoleh. Pendidikan berdampak kepada produktivitas usaha seperti yang dialami oleh Negara Afrika selatan. Pendidikan yang semakin rendah sejak tahun 2006 ke tahun 2011 berdampak kepada semakin rendahnya aktivitas kegiatan usaha di Negara Afrika Selatan (GEM 2011). Penelitian tahun 2012 di Mdatsane daerah Afrika Selatan dengan Objek penelitian di bagi atas Usia pemilik usaha, tingkat pendidikan dan lamanya usaha. Sampel data sebanyak 36 responden yang merupakan pemilik usaha tersebut. Ditemukan bahwa pengalaman bekerja, tingkat pendidikan dan lamanya bisnis secara bersama-sama berdampak signifikan terhadap penghasilan usaha tersebut (Chiliya, N, 2012). 2.2. Gender Teori tentang perbedaan gender antara pria dan wanita dibagi menjadi dua pendekatan dalam teori Social Capital yaitu: pendekatan struktur jaringan social dan pendekatan sumber jaringan social (Klyver & Terjesen, 2007; Lin, 2005). Dalam pendekatan struktur jaringan social ada ikatan kerja “kuat” dan “lemah”. Ikatan kerja “kuat” mengacu kepada pria dan ikatan kerja “lemah” mengacu kepada wanita. Dari pendekatan ini wanita dianggap lemah mulai dari membangun usaha, membuka jaringan kerja, lemah dalam strategi usaha. Sehingga wanita cenderung untuk membuka usaha mikro karena keterbatasan kemampuan jaringan dan strategi.Bukan hanya itu, terlalu banyak perbedaan gender dalam pasar kerja pengaruhi prestasi dalam pekerjaan (Bengtsson,Sanandaji & Johannesson, 2012). 3
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 1-12
Wanita memilih usaha mikro karena adanya ketidaksetaraan gender dalam pasar tenaga kerja dan fleksibilitas waktu dan peluang ekonomi dalam bisnis (Dumas, 1999). Perbedaan gender dalam jaringan ekonomi sosial berdampak pada hasil usaha. Hasilnya kebanyakan wanita bergerak di usaha mikro, karena anggapan bawah wanita sebagai jaringan lemah dan sumber daya yang dihargai lebih murah atau rendah. Karena perbedaan gender yang masih diterima masyarakat luas maka hal ini memberi dampak pada hasil usaha yang di bangun oleh wanita (Seon Mi Kim, 2014). Oleh Karena itu partisipasi perempuan dalam usaha mikro meningkat secara signifikan, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Wanita lebih memilih usaha mikro dikarenakan usaha ini tidak perlu modal besar (Tundui, 2011). Alasan karena tidak memiliki jumlah modal awal yang besar, dan tidak memiliki keterampilan kewirausahaan serta pengalaman bisnis yang luas menjadi pilihan wanita membuka usaha mikro. Wanita bekerja dan membuka usaha mikro pada umumnya juga di pengaruhi oleh factor rendahnya tingkat pendapatan keluarga dan harus mengingkatkan kelangsungan hidup. Namun, kegiatan ini memiliki tingkat kelangsungan hidup yang cukup memadai walaupun pertumbuhannyamasih rendah karena persaingan pasar dan potensi penghasilan lebih rendah. Di seluruh dunia, tingkat pengusaha laki-laki lebih tinggi dari perempuan, misalnya di Amerika Serikat, 14% laki-laki pemilik usaha sedangkan 8% perempuan dan di Eropa angka pengusaha laki laki 19% dan pengusaha wanita 10% (Bengtsson et al, 2012).Di Indonesia, masyarakat sedang mengalami perkembangan dari masyarakat yang agraris kemasyarakatan industri. Dalam proses tersebut pengintegrasian wanita dalam pembangunan, terutama wanita dari golongan ekonomi lemah, yang berpenghasilan rendah perlu di galakkan, melalui peningkatan kemampuan dan ketrampilan untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi produktif, dalam rangka memperluas kesempatan kerja dan menciptakan usaha bagi diri sendiri. Hal ini sangat perlu sebab wanita dari golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, umumnya melakukan peran ganda karena tuntutan kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bangsa (mansyur Amin, 1992). 2.3. Lama usaha Lama Usaha adalah lamanya seorang pengusaha atau pedagang menjalankan usahanya. Lama pembukaan usaha dapat mempengaruhi tingkat pendapatan karena lamanya seorang pelaku usaha atau bisnis menekuni bidang usahanya akanmempengaruhi produktivitasnya atau keahliannya, sehingga dapat menambah efisiensi dan mampu menekan biaya produksi lebih kecil dari pada hasil penjualan. Selain itu, Keterampilan berdagang makin bertambah dan semakin banyak pula relasi bisnis maupun pelanggan yang berhasil di jaring (Asmie, 2008). Semakin lama menekuni bidang usaha perdagangan akan makin meningkatkan pengetahuan tentang selera ataupun perilaku konsumen (Wicaksono, 2011). 2.4. Penghasilan usaha Satu tujuan yang dimiliki setiap pedagang yaitu mencapai keuntungan maksimal sehingga pendapatan meningkat, kesejahteraanpun akan ikut meningkat juga. Pengertian penghasilan atau pendapatan usaha (operating income) menurut Kamus Ekonomi Bisnis Perbankan (1999:310) disamakan dengan laba usaha (operating income) yaitu pendapatan usaha dari hasil operasi/kegiatan usaha. Sadono sukirno (2002: 391) pendapatan pengusaha merupakan keuntungan. Dalam kegiatan perusahaan, keuntungan ditentukan dengan cara mengurangi berbagai biaya yang dikeluarkan dari hasil penjualan yang diperoleh. Oleh sebab itu tolak ukur suatu usaha tersebut berhasil atau gagal di nilai dari penghasilan yang diterima oleh pemiliknya.
4
Gender, Tingkat Pendidikan dan Lama Usaha Sebagai Determinan Penghasilan UMKM Kota Surabaya (Romauli Nainggolan)
2.5. Model Analisis Model Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Regresi Logistic Ordinal. Regresi logistik ordinal merupakan salah satu metode statistika untuk menganalisis variabel respon (dependen) yang mempunyai skala data ordinal dan terdiri tiga kategori atau lebih. Variabel prediktor (independen) yang dapat disertakan dalam model berupa data kategori atau kontinu yang berjumlah dua variabel atau lebih. Model yang dapat dipakai untuk regresi logistik ordinal adalah model logit. Model logit tersebut adalah cumulative logit models. Pada model logit ini sifat ordinal dari respon Y dituangkan dalam peluang kumulatif sehingga cumulative logit models merupakan model yang didapatkan dengan membandingkan peluang kumulatif yaitu peluang kurang dari atau sama dengan kategori respon ke-j pada p variabel prediktor yang dinyatakan dalam vektor ~ x, P(Y ≤ j| ~ x ), dengan peluang lebih besar dari kategori respon ke-j, P(Y>j| ~ x ) (Hosmer dan Lemeshow, 2000). Persamaan model sebagai berikut : P (Y ≤ j | X) =α + π1 (X1) +π2 (X2) ++π3 (X3) Dimana: j = 1, 2, ..., j Y = Penghasilan pemilik UMKM (rupiah) X1 = Gender X2 = Tingkat pendidikan X3 = Lama usaha (Tahun) π = Koefisian α = Intercept Variabel dependent (Y) jumlah penghasilan pemilik UMKM di kategorikan dalam 5 kode. Sedangkan variable independent X1 yaitu gender merupakan variable dummy (0 = laki laki, 1 = perempuan). Variable X2 yaitu tingkat pendidikan dikategorikan dalam 5 jenjang pendidikan SD, SMP, SMA, Diploma, Sarjana. Dan variable X3 lama usaha dengan data skala ratio. 2.6. Hipotesis penelitian Hipotesa dalam penelitian ini adalah: 1. Gender berpengaruh signifikan terhadap penghasilanpemilik UMKM 2. Tingkat pendidikan berpengaruh signifikan terhadap penghasilan pemilik UMKM 3. Lama usaha berpengaruh signifikan terhadap penghasilan pemilik UMKM
3. METODE PENELITIAN
3.1. Analisis statistik Dengan mengkombinasi dua metode pengumpulan data yaitu data kualitatif dan kuantitatif mulai dari pengumpulan data sampai menganalisa data. Data kualitatif didapatkan dari wawancara yang mendalam dan di kelompokkan sesuai dengan deskripsi kualitatif dengan batasan yang telah ditentukan dan relasi antara kategori telah diidentifikasi. Selanjutnya data kuantitatif di olah dalam program computer.Untuk memperoleh gambaran masing masing variable dan melihat pengaruh antar variabel, analisis statistika yang digunakan dalam mengolah data yaitu program SPPS (Statistical program for social science). Program ini adalah program computer statistic yang dapat mengolah data statistic dengan tepat dan akurat menjadi hasil output yang diharapkan para peneliti.
5
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 1-12
Analisis data adalah pengolahan data yang diperoleh dengan menggunakan rumus atau dengan aturan-aturan yang ada sesuai dengan pendekatan penelitian (Arikunto, 2006: 239). Tujuan analisis data untuk menguji hipotesis yang di susun peneliti dan membuat kesimpulan akhir penelitian. 3.2. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pemilik UMKM kota Surabaya. Karena kota Surabaya sangat luas sehingga pengumpulan data dibagi atas 5 wilayah yaitu Surabaya Barat, Surabaya Timur, Surabaya Selatan, Surabaya Utara dan Surabaya Pusat. Seluruh populasi ini adalah pemilik UMKM yang terdata di kantor pemerintah Kota Surabaya di tahun 2015. Tercatat di Departemen Kesejahteraan pemerintah Surabaya sebanyak 3.947 pemilik UMKM di kota Surabaya. Sampel merupakan kumpulan data yang diambil mewakili populasi. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2007). Pengambilan sampel dilakukan dengan cara propotional random sampling. Propotional random sampling adalah metode pemilihan sampel dengan cara membagi populasi kedalam kelompok-kelompok secara proporsional (Sugiarto, 2003:73). Sampel ditentukan secara proporsional mewakili setiap wilayah Surabaya dimana ada 5 wilayah dalam penelitian ini. Hal ini bertujuan supaya ada pemerataan dalam survey UMKM serta menghindari terjadi ketimpangan survey data. Karena jumlah pemilik UMKM Surabaya sebanyak 3.947 orang, maka sampel yang di ambil menggunakan perhitungan rumus Slovin dengan tingkat kesalahan 7,5 persen dengan rincian sebagai berikut :
N=
N 1 + N(e)2
Dimana: n = Jumlah sampel yang diinginkan. N = Populasi. e = Tingkat kesalahan 3.947 N= 1 + 3.947(0,075)2 N = 170 Tabel 1. Sampel Penelitian Surabaya selatan Surabaya utara Surabaya timur Surabaya barat Surabaya pusat Total
Wilayah
Sumber : Diolah, Pemerintah Kota Surabaya, 2015
Sampel 35 32 31 32 40 170
3.3. Defenisi Operasional Variabel Variable dalam penelitian ini meliputi 4 variabel antara lain 3 variabel bebas dan 1 variabel terikat. Varibel terikat (Y) yaitu penghasilan pemilik UMKM kota Surabaya. Variable tingkat penghasilan di kelompokan berdasarkan 6
Gender, Tingkat Pendidikan dan Lama Usaha Sebagai Determinan Penghasilan UMKM Kota Surabaya (Romauli Nainggolan)
5kategori yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Dengan acuan bahwa penghasilan sangat rendah dan rendah berada di bawah Upah Minimum Regional (UMR) Surabaya pada tahun 2015 berada pada kisaran Rp 2.710.000. Adapun defenisi operasional masing masing variable yaitu a. Variable terikat (Y) penghasilan pemilik UMKM dibagi 5 kategori kode : 1 = sangat rendah; penghasilan di bawah 1,5 juta setiap bulan 2 = rendah ; penghasilan diantara 1,5 juta s/d 2,7 juta setiap bulan 3 = sedang; penghasilan diantara 2,7 juta s/d 5 juta setiap bulan 4 = tinggi ; penghasilan antara 5 juta s/d 15 juta setiap bulan 5 = sangat tinggi; penghasilan diatas 15 juta setiap bulan b. Variabel bebas (X1) gender adalahvariable dummy. Kode 0 = pria, 1= wanita. c. Variabel bebas (X2) tingkat pendidikan menggunakan data skala ordinal dengan 5 kategori kode yaitu : 0 = TK, 1 = SD, 2 = SMP, 3= SMA, 4 = Diploma, 5 = Sarjana d. Variabel bebas (X3) lama usaha adalah lama berdirinya usaha dalam jumlah (tahun). 3.4. Kerangka Konseptual Penelitian Kerangka konseptual dalam penelitian ini berdasarkan landasan teori dan penelitian terdahulu sebagai berikut :
Gambar 1. Kerangka Konseptual
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Dekriptif Untuk memperoleh gambaran masing masing variable penelitian, maka berikut ini dipaparkan statistic deksriptif pada tabel di bawah ini.
7
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 1-12
Table 2. Analisis Deskriptif Penghasilan
Gender Tingkat Pendidikan
Valid Missing Total
N 64 40 25 22 19 37 133 22 27 86 9 26 170 0 170
sangat rendah rendah sedang tinggi sangat tinggi laki laki perempuan SD SMP SMA diploma sarjana
Sumber : data diolah, 2016
Marginal Percentage 37.6% 23.5% 14.7% 12.9% 11.2% 21.8% 78.2% 12.9% 15.9% 50.6% 5.3% 15.3% 100.0%
Dari hasil statistik deskriptif diatas menunjukkan bahwa data yang dianalisis sebesar 170 dan semuanya terolah serta tidak ada yang kosong. Hal ini dapat dilihat dari total, valid dan missing. Dari 170 data, untuk penghasilan kategori sangat rendah ada 64, kategori rendah ada 40, kategori sedang ada 25, kategori tinggi ada 22 dan kategori sangat tinggi ada 19. Sedangkan untuk Gender laki laki ada 37, wanita ada 133. Sedangkan untuk tingkat pendidikan SD ada 22, SMP ada 27, SMA ada 88, Diploma ada 9 dan sarjana ada 26. 4.2. Hasil Uji Statistik Setelah data dikumpulkan dan diolah dalam program SPSS maka diperoleh hasilnya seperti dibawah ini. Table 3. Model Fitting Information Model Intercept Only Final
-2 Log Likelihood 373.232 355.433
Chi-Square
df
Sig.
17.798
6
.007
Dari hasil uji statisik dalam model fiiting information diketahui bahwa model persamaan regresi logistic ordinal adalah signifikan dipergunakan. Dikatakan siginikan karena Sig ≤ α (0.05) dengan nilai sig 0,007. Artinya model dengan variabel bebas lebih baik daripada model tanpa variabel bebas. Table 4. Goodness-of-Fit Pearson Deviance
8
Chi-Square 324.057 284.153
df 314 314
Sig. .336 .886
Gender, Tingkat Pendidikan dan Lama Usaha Sebagai Determinan Penghasilan UMKM Kota Surabaya (Romauli Nainggolan)
Hasil Goodness of Fit menunjukkan bahwa ada kesesuaian model. Dikatakan sesuai bila Sig ≥ α (0.05) karena nilai Sig 0.336 berada di atas 0.05. Table 5. Parameter Estimates Threshold
Location
[Y = 1] [Y = 2] [Y = 3] [Y = 4] x3 [x1=0] [x1=1] [x2=1] [x2=2] [x2=3] [x2=4] [x2=5]
Estimate -.824 .227 .986 1.963 .019 1.017 0a -.634 -.673 -.787 -.955 0a
df 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0
Sig. .030 .543 .010 .000 .270 .007 . .241 .180 .053 .181 .
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -1.565 -.082 -.505 .960 .236 1.736 1.146 2.779 -.015 .054 .281 1.753 . . -1.695 .426 -1.657 .311 -1.586 .012 -2.354 .443 . .
Parameter Estimates menunjukkan bahwa koefisien variable (X3) lama usaha tidak signifikan karena Sig ≥ α (0,05) bernilai 0.27 diatas 0.05. Koefisien variabel (X2) tingkat pendidikantidak signifikan karena Sig ≥ α (0,05) bernilai diatas 0.05. Koefisien variable (X1) gender signifikan karena Sig ≤ α (0,05) bernilai 0.007 dibawah 0.05. Gender laki laki (X1=0) dibandingkan dengan perempuan (X1=1) berpengaruh terhadap penghasilan pemilik UMKM. Dari hasil uji statistic diperoleh persamaan regresi logistic ordinal yaitu : ln(Y ≤ 0 / P(Y > 0) = 0,986 + 1,017 gender – 0,634 tingkat Pendidikan + 0,019 lama usaha ln(Y ≤ 0 / P(Y > 0) = 1,963 + 1,017 gender – 0,637 tingkat pendidikan + 0,019 lama usaha Interpretasi dari persamaan diatas adalah a. Tanda (+) pada variabel gender berarti gender (laki laki dibanding perempuan ) lebih besar memberi pengaruh terhadap penghasilan pemilik UMKM dengan tingkat penghasilan diatas 2,7 Juta. b. Koefisien variabel gender = 1,017 berarti gender laki laki 1,017 kali lebih besar dibanding perempuan dalam mendapatkan penghasilan diatas 2,7 Juta. 4.3. Pembahasan Gender terhadap penghasilan
Penelitian ini menunjukkan bahwa gender berpengaruh signifikan terhadap penghasilan yang didapat. Kuatnya pengaruh gender laki laki sebesar 1.017 kali dibandingkan wanita dalam memperoleh penghasilan UMKM. Artinya laki laki lebih besar pengaruhnya dalam mencapai penghasilan di atas UMR yaitu 2,7 juta. Implikasinya adalah perbanyak jumlah laki laki dalam membuka usaha UMKM. Walaupun data statistic menunjukkan pemilik UMKM adalah 78,2% perempuan dan sisanya 21,8 % laki laki.Desakan akan kebutuhan hidup mendorong wanita untuk bekerja dan berdampak baik bagi perekonomian keluarga.
9
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 1-12
Hal ini diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan Dumas (1999) yang membuktikan bahwa wanita secara signifikan memilih usaha mikro karena adanya ketidaksetaraan gender dalam pasar tenaga kerja dan fleksibilitas waktu dan peluang ekonomi dalam bisnis. Hal serupa ditemukan dalam penelitian di sector usaha mikro di Afika Selatan, dimana Gender berpengaruh signifikan dalam kinerja bisnis (Simon Rapipere,2014). Tingkat Pendidikan Terhadap Penghasilan Penelitian ini menunjukkan bahwa tinggi atau rendahnya tingkat pendidikan pemilik UMKM tidak berpengaruh terhadap penghasilan yang diperoleh. Implikasinya adalah tidak perlu sekolah yang tinggi bila sekedar mendapatkan penghasilan sebesar UMR. Sesuai dengan penelitian Tarigan (2006) bahwa tingkat pendidikan tidak berdampak nyata kepada pendapatan karena letak lokasi di pedalaman atau pedesaan tidak punya pilihan kegiatan usaha atau jenis pekerjaan. Hal ini berarti agar tingkat pendidikan berpengaruh terhadap tingkat penghasilan, maka harus terdapat pilihan atas jenis pekerjaan dan di dalam masing-masing jenis pekerjaan terdapat penjenjangan jabatan. Namun, dalam penelitian ini tidak dilakukan di desa atau daerah terpencil melainkan di kota besar Surabaya sehingga ada anomali yang terjadi. Hal ini tidak mengejutkan karena jenis dari pekerjaan wirausahawan sebagian besar adalah pedagang. Usaha dagang yang masih usaha mikro kecil menengah. Penelitian ini mendukung hasil dari penelitian Putra (2005) yang menemukan bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap besar kecilnya penghasilan pelaku pedagang kaki lima di kota Medan. Kesamaan penelitian ini terletak pada letak usaha dari para pelaku UMKM yang berada di kota besar. Membuka usaha di kota besar tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan karena disebabkan persaingan usaha yang besar serta kecilnya modal usaha yang membuat pelaku UMKM sulit untuk berkembang. Di penelitian ini rata-rata tingkat pendidikan responden yang masih SMA dan sederajat menunjukkan bahwa pendidikan SMA tidak mampu untuk memberikan bekal ilmu pengetahuan bagi para pelaku usaha yang cukup dalam menjalankan bisnis mereka. Lama usaha terhadap penghasilan Penelitian ini menunjukkan bahwa lama berdirinya usaha tidak berpengaruh terhadap penghasilan UMKM. Ternyata semakin lama usaha UMKM, tidak dijadikan pengalaman bagi pemilik UMKM untuk mengembangkan usaha dan produktivitasnya.Hasil kuesioner menunjukkan responden di kota Surabaya sebagian besar adalah pedagang. Ada usia UMKM yang baru 1 tahun namun penghasilan yang didapat hampir sama dengan pemilik UMKM yang sudah 20 tahun. Selanjutnya perlu adanya evaluasi bagi pemilik UMKM yang sudah lama berdiri namun tidak memgalami kemajuan yang signifikan.
5. PENUTUP
Penelitian ini mengungkapkan bahwa laki laki lebih produktif dalam meningkatkan penghasilan keluarga. Namun baik laki laki maupun perempuan dapat berproduksi dalam membuka usaha yang dimulai dari usaha mikro. Dengan ketekunan dan kerja keras akan meningkatkan penghasilan setiap orang sekalipun tidak memiliki jenjang pendidikan yang tinggi. Karena tingkat pendidikan bukan factor utama meningkatnya penghasilan seseorang. Kegiatan wirausaha dapat dilakukan oleh perempuan dan laki laki dengan latar pendidikan apa saja yang diperoleh. Dengan demikian terbuka kesempatan bagi semua pemilik UMKM kota Surabaya untuk memajukan usahanya apalagi dalam menghadapi persaingan yang kompetitif masyarakat ekonomi ASEAN yang telah di mulai tahun 2015.
10
Gender, Tingkat Pendidikan dan Lama Usaha Sebagai Determinan Penghasilan UMKM Kota Surabaya (Romauli Nainggolan)
5.1. Keterbatasan Adapun keterbatasan dalam penelitian ini adalah belum adanya pengelompokan jenis usaha yang dilakukan berupa sector perdagangan barang atau jasa. Keterbatasan yang lain dikarenakan lokasi penelitian adalah kota besar, maka jenis usaha tidak memasukkan jenis usaha pertanian, perikanan dan budidaya peternakan. Secara umum, kegiatan usaha pemilik UMKM masih di sector perdagangan dengan jumlah tenaga kerja 1 – 4 orang yang terdiri dari anggota keluarga sebagai tenaga kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Agyapong, D., 2010. Micro, Small and Medium Enterprises’ Activities, Income Level and Poverty Reduction in Ghana – A Synthesis of Related Literature. Department of Management Studies, School of Business, University of Cape Coast, Cape Coast, Ghana. Ardiana, I.D.K.R., 2010. Kompetensi SDM UKM dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja UKM di Surabaya. Jurnal manajemen dan Kewirausahaan, 12(1) Arikunto S., 2002. Prosedur Suatu Penelitian: Pendekatan Praktek. Edisi Revisi Kelima. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Baum, W. C., Tolbert, S.M., 1998. Investasi dalam Pembangunan. Terjemahan Bassilius BengoTeku, Jakarta, Universitas Indonesia. Bengtsson, O, Sanandaji, T. & Johannesson, M., 2012. Do women have a less entrepreneurial personality?. Research Institute of Industrial economics Working paper, No: 944, 1-31. Chiliya, N., 2012. Impact of level of Education and Experience on Profitability of Small Grocery Shops inSouth Africa. Journal of Management Economic, p. 462-470. Dumas, 1999. Training for microenterprise creation: The case of Center for Women and Enterprise. International Journal of Economic Development, 1(2), p.201-220. Global Entrepreneurship Monitor (GEM), 2011. Report on Higher Expectation Entrepreneurship. Online:www. gemconsortium.org (accessed on 1 June 2012) Hosmer, D. W., dan Lemeshow, S., 2000, Applied Logistic Regression, John Wiley & Sons, Inc., New York. Ekpe, I., dan Norsiah, M., dan Margaret I.E., 2015.Social Networks and Women Micro Enterprise Performance: A Conceptual Framework. Klyver dan Terjesen., 2007. Entrepreneurial network composition: An analysis across venture development stage and gender. Women in Management Review, 22(8), p.68–68. Lin, N.,2005. A network theory of social structure and action. New York: Cambridge University Press. Mansour, M.A., 1992. Environment-Sustainable Development Conferences: Rio De Janeiro, Brazil. Macomber; ILO. 2006.Global Report under the follow-up to the ILO Declaration on Fundamental Principles and Rightsat Work. INTERNATIONAL LABOUR CONFERENCE, 95th Session. Putra, M., 2005. Evrizal. Analisis Peran Pedagang Kaki Lima terhadap Pengembangan Wilayah di Kecamatan Medan Kota. Tesis. Medan, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Sagir, H.S., 1989. Membangun Manusia Karya–Masalah Ketenagakerjaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta, Pustaka Sinar harapan. Selamat, N. H., Abdul-Razak, R. R., Gapor, S. A. dan Sanusi, Z. A., 2011. Survival through entrepreneurship: Determinants of successfulmicro-enterprises in Balik Pulau, Penang Island, Malaysia. British Journal of Arts and Social Sciences 3 (1), 23-37.
11
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 1-12
Seon M.K., 2014. The Impact of Gender and Social Networks on Microenterprise Business Performance. New Jersey: School of Social Science and Human Services. Sharma, A., Sapnadua, M.S. dan Hatwal, V., 2012. Microenterprise development and rural women entrepreneurship: Way for economicempowerment. A Journal of Economics and Management, 1 (6). Simon, R., dan Shepherd D., 2014.The Role of Gender and Education on Small Business Performance in the South African Small Enterprise Sector, Mediterranean Journal of Social Sciences MCSER Publishing, 5(9). Sugiarto, 2003.Teknik Sampling p.83. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sugiyono, 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sukirno, S., 2002. Teori Mikro Ekonomi. Cetakan Keempat Belas Rajawali. Press: Jakarta. Tarigan, R., 2004.Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta, P.T. Bumi Aksara. Tundui, C., dan Tundui, H., 2011.Survival, Growth Strategies and Performance of Women Owned Micro and Small Business in Tanzania. International Journal of Business & Management, 7(8).
12
Pengaruh Kredibilitas Endorser Pada Niat Beli Konsumen dan Tingkat Kepercayaan Pada Iklan (Daniel Yudistya Wardhana)
PENGARUH KREDIBILITAS ENDORSER PADA NIAT BELI KONSUMEN DAN TINGKAT KEPERCAYAAN PADA IKLAN Daniel Yudistya Wardhana Universitas Atma Jaya Yogyakarta
[email protected]
Abstract
The use of celebrity endorser as a marketing communication strategy provides a higher degree of appeal and attention compare to non-celebrity endorser. Corporates invest high budget to promote their brand image through celebrity endorsement in order to transfer the celebrity attributes such as attractiveness, expertise and trustworthiness to their brand. Generally the result of this study are showing different influence from source of message that have high credibility and trusted. In the case of Sim Card Provider, the credibility of celebrity has attracted the consumer to buy the product but it is not the case with the Instant Coffee product, consumers tends to believe to non-celebrity. Keywords: Credibility, Celebrity and Non-Celebrity, Purchase Intention, Advertising Believability
Abstrak
Penggunaan endorser selebriti dalam strategi komunikasi pemasaran menghasilkan tingkat ketertarikan dan perhatian yang tinggi dibandingkan endorser non-selebriti. Perusahaan menginvestasikan dana yang besar untuk menaikkan citra mereknya melalui endorser selebriti dengan tujuan agar tiga kriteria menarik, keahlian dan dapat dipercaya dapat disalurkan ke merek yang didukung. Secara umum hasil dari studi ini menunjukkan perbedaan pengaruh dari sumber pesan dengan kredibilitas yang tinggi dan dapat dipercaya. Dalam produk Sim Card, kredibilitas model selebriti dianggap menarik konsumen untuk membeli produk namun tidak dengan produk Kopi Instan, konsumen cenderung mempercayai model non-selebriti. Kata Kunci: Krediilitas, Selebriti dan Non-Selebriti, Niat Beli, Tingkat Kepercayaan Pada Iklan
1. PENDAHULUAN
Sebagai media yang sangat fleksibel dalam cara menampilkan bentuknya, iklan dapat diaplikasikan pada banyak hal, misalnya iklan dalam bentuk penayangan di televisi, radio, internet atau dikenal dengan istilah iklan elektronik dan juga iklan dalam majalah, surat kabar dan lain-lain atau dikenal dengan istilah iklan cetak (Kotler & Keller, 2010). Iklan sebagai bagian dari promosi produk bertujuan untuk menawarkan keunggulan produk sehingga dapat masuk ke benak konsumen. Iklan dapat membangkitkan niat konsumen agar membeli dan mengonsumsi
13
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 13-28
suatu produk yang ditawarkan secara berkelanjutan yang berujung pada kepuasan dan loyalitas konsumen (Tjiptono, 2010). Dalam upayanya untuk mencapai kesejahteraan jangka panjang, perusahaan perlu melakukan segala cara oleh karena tantangan pasar semakin besar sehingga informasi mengenai keinginan konsumen demi keberlanjutan usaha menjadi hal utama (Brosekhan & Velayutham, 2011). Para pelaku usaha melihat media promosi sebagai ujung tombak pengenalan produknya. Persaingan yang semakin ketat dalam hal penetrasi pasar membuat perusahaan semakin mengedepankan kegiatan periklanan untuk mendekatkan produknya kepada konsumen (Oyeniyi, 2010). Dari sudut pandang periklanan, perusahaan dengan teratur menerapkan strategi komunikasi tertentu yang dirancang untuk menarik perhatian konsumen mereka dan untuk membedakan produk mereka dari produk pesaing dengan harapan memengaruhi perilaku pembelian (Kamins et al, 1989). Kenyataan yang harus dihadapi oleh para pelaku usaha adalah banyaknya pesaing dengan strategi serupa sehingga perlu adanya bentuk promosi yang berbeda untuk dapat bertahan di dalamnya, hal itulah yang menjadikan inovasi, kreativitas dan kepekaan para pelaku usaha sangatlah penting (Nugroho, 2003). Menampilkan iklan melalui media dianggap sangat efektif untuk memberikan stimulus kepada konsumen. Pengamat pemasaran menemukan adanya fenomena pergantian daya tarik dari sosok model iklan selebriti dan atlit ke model yang dianggap tidak memiliki daya tarik secara fisik dan hal itu dianggap menjadi fenomena yang menarik (Menon, Boone dan Rogers,1999). Ohanian (1991) telah meneliti mengenai hubungan tiga faktor yaitu attractiveness, trustworthiness dan expertise seorang endorser dengan niat beli konsumen. Berkaitan dengan penelitian tersebut, ditemukan alasan mengapa seorang endorser selebriti terkenal dapat memberikan pengaruh bagi konsumen. Selebriti akan menarik perhatian melalui iklan dan pesan yang dibawakan, mereka dianggap sangat menghibur, tampak meyakinkan dan dapat dipercaya. Elemen-elemen tersebut menguatkan pandangan secara umum bahwa selebriti kebanyakan tidak hanya menginginkan bayaran semata tetapi juga termotivasi dengan menggunaan produk yang didukung (Jain, 2011) Dalam penelitian lain mengenai endorser, Lafferty dan Goldsmith (1999) mengemukanan bahwa konsumen akan lebih tertarik untuk membeli sebuah produk ketika kredibilitas perusahaannya dianggap tinggi dibanding yang rendah, dan tertarik membeli ketika kredibilitas selebriti endorser dianggap tinggi dibanding yang rendah, temuan tersebut menguatkan bukti adanya korelasi positif antara kredibilitas endorser atau perusahaan terhadap niat beli. Hal utama yang diterima dari pengaruh tersebut berasal dari kredibilitas sumber pengaruh, jika sumbernya dianggap kredibel, konsumen akan menerima pengaruh informasi yang didapat secara akurat dan menggunakannya.
2. KAJIAN TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Komunikasi Pemasaran Kotler dan Keller (2010) menegaskan bahwa pelaku usaha modern harus mengelola suatu sistem komunikasi yang secara langsung atau tidak mampu menginformasikan (to inform), mengajak (to persuade) dan mengingatkan (to remind) konsumen akan produknya. Sistem penginformasian tersebut akan memberikan dampak kepada konsumen yaitu melalui beberapa efek tertentu (Tjiptono, 2010), meliputi: • Efek kognitif, yaitu membentuk kesadaran informasi tertentu. • Efek afeksi, yaitu memberikan pengaruh untuk melakukan sesuatu yang diharapkan yakni realisasi pembelian. • Efek konatif atau perilaku, yaitu membentuk pola khalayak menjadi pelaku selanjutnya yang diharapkan adalah pembelian ulang.
14
Pengaruh Kredibilitas Endorser Pada Niat Beli Konsumen dan Tingkat Kepercayaan Pada Iklan (Daniel Yudistya Wardhana)
Salah satu strategi yang dianggap menarik bagi sektor korporasi adalah menggunakan pendekatan celebrity endorsement dalam iklan (Oyeniyi, 2010). Namun, dorongan untuk melakukan praktek pemasaran yang intens tidak hanya meningkatkan customer awareness melainkan hingga niat untuk membeli yang menghasilkan asosiasi positif atas suatu produk dan pada akhirnya timbul perilaku pembelian atau konsumsi (Jain, 2011 dalam Oyeniyi, 2010). Perusahaan dunia telah banyak berinvestasi dalam penyesuaian citra mereknya dengan selebriti yang akan digunakan dalam iklan. Selebriti yang dianggap sesuai dapat dilihat dari faktor menarik tidaknya dan disukai atau tidak selebriti tersebut oleh konsumen (Atkin and Block, 1983), dan perusahaan banyak yang merencanakan untuk menggunakan komunikasi pemasaran untuk menransfer citra selebriti ke dalam mereknya (Hunt, 2000). 2.2. Endorser Selebriti Para selebriti adalah orang-orang yang menikmati pengakuan oleh sebagian besar publik dalam kelompok tertentu. Dimana atribut seperti attractiveness, gaya hidup mewah atau suatu keahlian khusus hanya merupakan sebagian contoh lain dari karakteristik umum yang biasanya membedakan selebriti dengan khalayak umum. Terminologi selebriti itu sendiri mengacu pada individu yang dikenal publik (aktor, olahragawan, entertained an lainnya) atas keberhasilan dan prestasinya diarea yang sesuai dengan produk yang didukung dalam suatu iklan (Friedman and Friedman, 1979 dalam Hunt, 2000). Endorsement adalah saluran dari komunikasi pemasaran dimana selebriti berlaku sebagai representasi dari suatu merek tertentu dan menegaskan bahwa merek yang direpresentasikan mewakili personality, popularity dan status dalam masyarakat atau expertise akan suatu bidang. Dalam pasar merek dengan tingkat lokal, regional dan internasional, endorsement selebriti dipercaya dapat memberikan perbedaan dari merek satu dengan yang lainnya (Roll, 2006 dalam Mukerjee, 2009). Dalam sebuah studi eksperimen yang dilakukan oleh Tripp (1994) ditemukan efek negatif dari endorser selebriti, yaitu menampakkan sosok selebriti terlalu sering dalam iklan berdampak negatif pada niat beli konsumen. Berdasar temuan tersebut, pemasar harus memahami risiko penggunaan selebriti walaupun produk yang ditawarkan dianggap berkaitan erat dengan selebriti yang dipilih. Menon, Boone dan Rogers (1999) meneliti mengenai nilai tambah pada penjualan jika suatu produk diiklankan dengan menggunakan selebriti atau non-selebriti dan efektivitas penggunaan iklan tersebut kaitannya dengan tingkat kepercayaan pada iklan (advertising beliavibility). Endorsement selebriti efektif hanya jika ada hubungan positif antara merek dan selebriti yang mewakilinya. Namun demikian, hubungan positif tersebut juga memiliki asosiasi dengan risiko (Till, 1998 dalam Oyeniyi 2010). 2.3. Kredibilitas Endorser Konsumen menilai kredibilitas sumber pesan antara lain melalui penampilan, reputasi dan citranya di masyarakat. Beberapa penelitian memaparkan temuan bahwa kredibilitas endorser sangat memengaruhi proses penerimaan pesan oleh konsumen (Friedman and Friedman, 1979 dalam Hunt, 2000). Ketika endorser diterima dengan baik dan kredibel, konsumen akan lebih mempercayai pesan yang disampaikan. Berlawanan dengan itu, ketika endorser dianggap tidak kredibel dan tidak dipercaya, konsumen akan menerima pesan dengan skeptis bahkan menolaknya. Shimp (2003) menjelaskan sumber informasi informal yang dikenal dengan istilah opinion leaders, memberikan pengaruh keuntungan psikologis yang tinggi secara tidak kelihatan. Seseorang memberikan rekomendasi akan suatu barang atau jasa kepada orang lain lebih kepada kepuasan pribadi sebagai seorang “ahli” dalam bidang tertentu.
15
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 13-28
Trustworthiness, secara umum dianggap sebagai dimensi dan landasan utama kredibilitas dari seorang sumber atau ahli dalam bidang tertentu (Friedman and Friedman, 1979 dalam Hunt, 2000). Hal tersebut merujuk kepada kepercayaan konsumen akan informasi yang didapatkan secara obyektif dan jujur (Ohanian, 1991). Expertise, yang dianggap juga sebagai sumber kredibilitas adalah sejauh mana sumber informasi dianggap menjadi sumber dari pernyataan yang benar (Hovland, et al, 1953 dalam Ohanian, 1991). Saat ini, orang cenderung untuk menempatkan penekanan yang besar pada attractiveness dan kebanyakan iklan saat ini menampilkan model yang memiliki penampilan fisik. Dalam beberapa hal, penampilan fisik yang menarik dari sumber informasi atau model iklan menular kepada produknya, dan meningkatkan citra produknya dan memberikan hasil perubahan perilaku positif konsumen (Kahle & Homer 1985 dalam Ohanian, 1991). Berikut adalah tabel dari tiga atribut kredibilitas endorser. Tabel 1. Source Credibility Scale
Sumber: Journal of Marketing Management, Celebrity Endorser a Literature Review 1999, 15. 2.4. Niat Beli Konsumen Kotler & Keller (2010), mengemukakan tujuan dari kegiatan pemasaran adalah memengaruhi konsumen untuk akhirnya bersedia membeli barang dan jasa perusahaan pada saat mereka membutuhkan. Berdasarkan teori pengambilan keputusan oleh konsumen, Schiffman & Kanuk (2004) mengemukakan bahwa niat membeli (purchase intention) adalah kecenderungan untuk membeli produk (merek) tertentu untuk memuaskan suatu kebutuhan. Konsumen akan mempunyai perilaku pembelian atau tidak dipengaruhi oleh tingkat kepuasan atau ketidakpuasan tertentu. Menurut Solomon (2014), kedua hal tersebut akan memengaruhi tingkah laku berikutnya. Jika konsumen merasa puas, untuk selanjutnya dia akan memperlihatkan peluang membeli yang lebih tinggi dalam kesempatan berikutnya, sebaliknya jika konsumen tidak merasa puas, selanjutnya konsumen mungkin akan menunda atau bahkan tidak melakukan pembelian kembali.
3. METODE PENELITIAN
Model yang digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari penelitian sebelumnya oleh Menon, Boone dan Rogers (1999) yaitu model hubungan kredibilitas endorser iklan (trustworthiness, attractiveness, dan expertise) baik selebriti atau non-selebriti dengan tingkat kepercayaan pada iklan dan pengaruhnya pada niat beli konsumen dengan definisi operasional sebagai berikut:
16
Pengaruh Kredibilitas Endorser Pada Niat Beli Konsumen dan Tingkat Kepercayaan Pada Iklan (Daniel Yudistya Wardhana)
1. Kredibilitas endorser, menunjukkan bagaimana persepsi konsumen mengenai daya tarik model terhadap model iklan, keahlian model dan kepercayaan terhadap model iklan produk tersebut. Kredibilitas akan tercermin lewat penampilan model, wajah model, kejujuran model dalam beriklan, kemampuan model dan pengalaman model. 2. Niat Beli Konsumen, merupakan persepsi konsumen terhadap seberapa besar keinginan konsumen untuk membeli produk dengan model iklan selebriti dan non-selebriti. 3. Trustworthiness, menunjukkan sejauh mana konsumen yakin akan suatu iklan produk. Tingkat kepercayaan pada iklan ditunjukkan lewat keyakinan konsumen pada iklan, dampak positif yang diterima konsumen dan sejauh mana harapan konsumen terpenuhi melalui iklan produk tertentu. 3.1. Preliminary Study Preliminary study pada penelitian ini dilakukan untuk menentukan produk apa saja yang dianggap mewakili produk yang dikenal dan beredar di Indonesia dan untuk mengetahui kualitas dan jenis produk yang diteliti. Pemilihan produk juga telah sesuai dengan jenis iklan produk tersebut yang menggunakan dua jenis iklan yaitu dengan model selebriti dan model non-selebriti. Melalui data hasil riset dari Top Brand (2015) diperoleh hasil sebagai berikut yaitu produk unggulan provider Simcard Telkomsel dan Luwak White Coffee. Tabel 2. Top Brand Simcard Prabayar Telkomsel Simpati XL Prabayar IM3 Kartu As Tri ‘3’
Merek
% 34,6% 14,1% 14,0% 10,1% 9,0%
Sumber: Top Brand Award 2015
Kategori TOP TOP TOP
Penelitian ini menggunakan produk yang menempati peringkat pertama dan kedua, karena dianggap sangat mewakili produk yang paling sering dibeli oleh konsumen. Berdasar hasil preliminary study produk yang digunakan sebagai obyek penelitian adalah dua produk yang menjadi Top Brand di Indonesia pada tahun 2015, yaitu provider Simcard Telkomsel dan Luwak White Coffee. Preliminary study ini dilakukan untuk menegaskan dan mengkonfirmasi apakah produk yang diteliti sesuai dengan teori dan relevan untuk penelitian ini dan tidak menimbulkan bias pada produk yang diteliti. Tabel 3. Top Brand White Coffee Luwak White Coffee ABC White Coffee TOP White Coffee Kopiko White Coffee Kapal Api White Coffee
Merek
Sumber: Top Brand Award 2015
% 72,5% 10,5% 8,3% 3,1% 3,0%
Kategori TOP TOP TOP
17
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 13-28
3.2. Uji Validitas dan Reliabilitas Uji Validitas ini digunakan untuk mengetahui apakah item-item pertanyaan di dalam kuesioner mempunyai ketepatan dan kecermatan dalam melakukan fungsi pengukurannya. Apabila skala pengukuran tidak valid maka tidak bermanfaat bagi peneliti karena tidak mengukur apa yang seharusnya dilakukan (Sekaran, 2006). Tabel 4. KMO and Bartlett’s Test
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. Bartlett's Test of Sphericity
.811
Approx. Chi-Square
601.599
Df
71
Sig.
.000
Sumber: data diolah
Hasil Kaiser-Meyer-Olkin Measure (KMO) sebesar 0,811 dengan signifikansi 0,000 menyatakan bahwa nilai tersebut dapat ditoleransi untuk diterima sebagai instrumen penelitian. Melalui hasil tabel 3.3, Total Variance Explained menyatakan bahwa 12 item instrumen penelitian dianggap mampu menjelaskan total variansi dalam analisis yaitu sebesar 71%. Tabel 5. Rotated Component Matrix (a)
Rotated Component Matrix(a)
Variabel Kredibilitas Endorser
Component
Item Pertanyaan
1
A1
.729
.850
A2
.800
.840
A3
.805
.800
A4
.807
.711
2
3
MSA
T1
.744
.851
T2
.702
.822
E1
.680
.750
E2
.700
.700
Niat Beli
NB1
.743
.816
Tingkat Kepercayaan pada Iklan
AB1
.666
.813
AB2
.770
.723
AB3
.733
.849
Extraction Method: Principal Component Analysis. Rotation Method: Varimax with Kaiser a Rotation converged in 5 iterations. Sumber : data diolah
18
Normalization.
Pengaruh Kredibilitas Endorser Pada Niat Beli Konsumen dan Tingkat Kepercayaan Pada Iklan (Daniel Yudistya Wardhana)
Keandalan (reliability) suatu pengukuran menunjukkan sejauh mana pengukuran tersebut tanpa bias dan karena reliability menjamin pengukuran tersebut konsisten. Hal itu merupakan indikasi mengenai stabilitas dan konsistensi sebuah pengukuran. Untuk itu sebelum hasil kuesioner digunakan untuk data penelitian akan dilakukan uji coba instrumen terlebih dahulu. Uji Reliabilitas ini digunakan untuk menunjukan sejauh mana suatu pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran lakukan berulang-ulang. Untuk menguji reliabilitas, digunakan metode Cronbach’s Alpha, uji ini juga digunakan pada penelitian sebelumnya. Konsistensi instrumen dilihat dari semakin tinggi koefisien semakin baik instrumen pengukuran dilakukan. Tabel 6. Hasil Uji Reliabilitas Variabel Penelitian Kredibilitas Endorser
Cronbach’s Alpha
Niat Beli
.810
Tingkat Kepercayaan Pada Iklan
.763
.802
Sumber: data primer diolah
Item Pertanyaan A1 A2 A3 A4 T1 T2 E1 E2
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach’s Alpha if item deleted
NB 1
.829 .814 .726 .862 .782 .803 .733 .655
.701 .710 .716 .726 .677 .797 .694 .679
.771
.900
.799 .676 .731
.900 .910 .907
AB1 AB2 AB3
Status Reliable Reliable Reliable Reliable Reliable Reliable Reliable Reliable Reliable Reliable Reliable Reliable
3.3. Hipotesis Penelitian Berdasarkan penelitian oleh Mennon, Boone, dan Rogers (1999) dikatakan bahwa iklan dengan menggunakan model yang berbeda akan berpengaruh pada niat beli konsumen. Kredibilitas model yang digunakan dalam iklan juga berpengaruh pada niat beli konsumen (Atkin dan Block,1983). Berdasarkan definisi di atas maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut: H01 : Tidak ada perbedaan signifikansi pengaruh kredibilitas endorser selebriti atau non-selebriti dalam suatu iklan pada niat beli konsumen. Ha1 : Ada perbedaan signifikansi pengaruh kredibilitas endorser selebriti dengan non-selebriti dalam suatu iklan pada niat beli konsumen. Berdasarkan identifikasi hasil penelitian sebelumnya, kredibilitas endorser juga berhubungan dengan tingkat kepercayaan pada iklan. Temuan penelitian oleh Kamins (1983) menunjukkan hasil perbandingan pada iklan dengan endorser yang berbeda memiliki hubungan pada kepercayaan konsumen. Berdasarkan definisi tersebut maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut : H02 : Tidak ada perbedaan signifikansi hubungan dari kredibilitas endorser selebriti atau non-selebriti dalam suatu iklan dengan tingkat kepercayaan pada iklan. Ha2 : Ada perbedaan signifikansi hubungan dari kredibilitas endorser selebriti atau non-selebriti dalam suatu iklan dengan tingkat kepercayaan pada iklan. 19
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 13-28
3.4. Obyek Penelitian Hasil dari preliminary study menunjukan bahwa produk sim card dan instant coffee berada pada peringkat teratas. Hasil sampel iklan yang didapat adalah produk Simcard Telkomsel dengan dua tipe endorser yang berbeda. Endorser selebriti yang menjadi model iklan tersebut adalah bintang film dan model, Rio Dewanto, sedangkan sampel iklan kedua adalah produk Luwak White Coffee, dengan model selebriti seorang bintang film dan model internasional Lee Min Ho dari Korea Selatan dan sampel kedua untuk kedua produk tersebut adalah seorang model orang biasa. 3.5. Metode Analisis Data 3.6. Multivariate Analysis of Variance (MANOVA) Pengolahan data dilakukan dengan analisis korelasi dan MANOVA. MANOVA merupakan analisis varian yang mempunyai variabel dependen lebih dari satu (metrik atau interval) dan variabel independen jumlahnya dapat satu atau lebih (non-metrik atau nominal). Analisis menggunakan MANOVA lebih menitikberatkan pada perbedaan antara kelompok atau kategori tertentu dan mengukur perbedaan tersebut secara bersama-sama, baik digunakan pada desain eksperimental atau non-eksperimental (Hair, Et al, 2006), dalam penelitian ini ditunjukkan pada perbedaan kelompok model dengan selebriti dan non-selebriti. Berikut adalah gambar model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dengan variabel Kredibilitas Endorser sebagai variabel independen dan Niat Beli dan Tingkat Kepercayaan Pada Iklan sebagai variabel dependen.
Gambar 1. Model Penelitian
Sumber: Adaptasi dari Menon, Boone dan Rogers, 1999.
3.7. Uji F Hasil signifikansi pada pengujian ini jika memenuhi nilai < 0,05 maka dapat diartikan bahwa hubungan variabel dependen dengan variabel independen signifikan. Uji signifikansi dengan nilai p, jika besarnya nilai p < 0,05 dapat diartikan signifikan. Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan dalam kerangka model penelitian mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen (Hair, et al, 2006).
20
Pengaruh Kredibilitas Endorser Pada Niat Beli Konsumen dan Tingkat Kepercayaan Pada Iklan (Daniel Yudistya Wardhana)
3.8. Uji Korelasi Merupakan salah satu ukuran yang dapat di gunakan untuk mengetahui erat tidaknya hubungan antar variabel. Erat tidaknya hubungan antar variabel dalam uji ini dinyatakan dalam bentuk koefisien korelasi (r). Koefisien korelasi dapat digunakan untuk mengetahui erat tidaknya hubungan korelasi atau korelasi linier antara dua variabel dan juga mengetahui arah hubungan antara dua variabel. Uji korelasi ini tidak membedakan jenis variabel. Pada penelitian ini digunakan Korelasi Pearson, hal tersebut dikarenakan sampel data termasuk sampel besar yaitu lebih dari 30, yaitu 110 sampel.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah keseluruhan kuesioner yang disebarkan oleh peneliti mencapai 120 responden, namun hanya 115 responden yang mengembalikan langsung kepada peneliti. Peneliti menetapkan 110 kuesioner yang layak untuk diolah sedangkan 5 kuesioner berisi data yang dirasa tidak diisi dengan benar. 4.1. Hasil Uji Korelasi Telkomsel Selebriti Melalui hasil pada Tabel 4.1 terlihat bahwa signifikansi hubungan antara variabel kredibilitas endorser dengan niat beli dan tingkat kepercayaan pada iklan menunjukkan nilai sebesar 0,000(<0,05) atau menunjukkan hubungan signifikan. Koefisien korelasi antara kredibilitas endorser dengan niat beli sebesar 0,417 atau korelasi lemah dan dengan tingkat kepercayaan pada iklan sebesar 0,444 atau korelasi antar variabel kuat. Tabel 7. Correlations Credible
Purchase
Advertise
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Credible 1
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
110 .427(**) .000 110 .430(**) .000 110
Purchase .417(**) .000 110 1 110 .544(**) .000 110
Advertise .444(**) .000 110 .544(**) .000 110 1 110
4.2. Hasil Uji Korelasi Telkomsel Non-Selebriti Melalui hasil pada Tabel 4.2 terlihat bahwa signifikansi hubungan antara variabel kredibilitas endorser dengan niat beli dan tingkat kepercayaan pada iklan menunjukkan nilai sebesar 0,000(<0,05) atau menunjukkan hubungan signifikan. Koefisien korelasi antara kredibilitas endorser dengan niat beli sebesar 0,464 dan dengan tingkat kepercayaan pada iklan sebesar 0,601 atau keduanya menunjukkan korelasi antar variabel kuat.
21
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 13-28
Tabel 8. Correlations Credible
Purchase
Advertise
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Credible 1 110 .499(**) .000 110 .521(**) .000 110
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Purchase .464(**) .000 110 1 110 .545(**) .000 110
Advertise .601(**) .000 110 .540(**) .000 110 1 110
4.3. Hasil Uji Korelasi Luwak White Coffee Selebriti Melalui hasil pada Tabel 4.3 dapat kita simpulkan bahwa signifikansi hubungan antara variabel kredibilitas endorser dengan niat beli menunjukkan nilai sebesar 0,002 (<0,05) dan tingkat kepercayaan pada iklan sebesar 0,001 (<0,05) atau menunjukkan hubungan signifikan. Koefisien korelasi antara kredibilitas endorser dengan niat beli sebesar 0,299, menunjukkan korelasi lemah dan dengan tingkat kepercayaan pada iklan sebesar 0,325 atau korelasi antar variabel lemah. Tabel 9. Correlations Credible
Purchase
Advertise
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Credible 1
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
22
110 .299(**) .002 110 .325(**) .001 110
Purchase .299(**) .002 110 1 110 .338(**) .000 110
Advertise .329(**) .001 110 .329(**) .000 110 1 110
Pengaruh Kredibilitas Endorser Pada Niat Beli Konsumen dan Tingkat Kepercayaan Pada Iklan (Daniel Yudistya Wardhana)
4.4. Hasil Uji Korelasi Luwak White Coffee Non-Selebriti Tabel 10. Correlations Credible
Purchase
Advertise
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Credible
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
1
110 .297 (**) .009 110 .480(**) .000 110
Purchase .286(**) .009 110 1 110 .607(**) .000 110
Advertise .499(**) .000 110 .597(**) .000 110 1 110
Melalui hasil pada Tabel 4.4 dapat kita simpulkan bahwa signifikansi hubungan antara variabel kredibilitas endorser dengan niat beli menunjukkan nilai sebesar 0,009(<0,05) dan dengan tingkat kepercayaan pada iklan sebesar 0,000(<0,05) berarti hubungan antar variabel dianggap signifikan. Koefisien korelasi antara kredibilitas endorser dengan niat beli sebesar 0,286, menunjukkan korelasi lemah dan dengan tingkat kepercayaan pada iklan sebesar 0,480 atau korelasi antar variabel dianggap kuat. 4.5. Hasil Uji MANOVA Uji MANOVA dilakukan untuk mencari hubungan dan pengaruh dari variabel kredibilitas endorser pada niat beli dan tingkat kepercayaan pada iklan. Hasil uji MANOVA mengindikasikan adanya pengaruh antar variabel yang ditunjukkan melalui beberapa hasil pengujian dan nilai signifikansi tertentu. 4.6. Hasil Uji MANOVA Iklan Telkomsel Selebriti Hasil Box’s Text menunjukkan F test dari Telkomsel Selebriti menunjukkan bahwa nilai F test sebesar 1,162 dengan signifikansi 0,033. Tingkat signifikansi yang <0,05 tidak dapat memenuhi asumsi varian yang sama. Hasil Multivariate Test menunjukkan Hotelling T pada Telkomsel Selebriti menunjukkan nilai F Test sebesar 3,133 dengan tingkat signifikansi 0,000. Hal tersebut menunjukkan ada perbedaan hubungan signifikan antara kredibilitas endorser dengan niat beli dan tingkat kepercayaan pada iklan. Untuk hasil Levene’s Test, signifikansi variabel niat beli menunjukkan tingkat signifikansi sebesar 0,055 sedangkan untuk variabel tingkat kepercayaan pada iklan menunjukkan tingkat signifikansi sebesar 0,080. Hasil dari Test Beetwen Two Subject menunjukkan pengaruh signifikansi untuk variabel independen pada variabel dependen. Nilai F Test pengaruh kredibilitas endorser pada niat beli sebesar 3,445 dengan signifikansi 0,000. Sedangkan nilai F Test pada pengaruh kredibilitas endorser pada tingkat kepercayaan pada iklan sebesar 3,600 dengan signifikansi 0,000. 4.7. Hasil Uji MANOVA IklanTelkomsel Non-Selebriti Hasil dari Box’s Test pada Telkomsel Non-Selebriti menunjukkan bahwa nilai F test sebesar 1,209 dengan signifikansi 0,191. Tingkat signifikansi yang <0,05 menunjukkan bahwa hasil uji Box ini tidak dapat memenuhi
23
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 13-28
asumsi varian yang sama. Hasil dari Multivariate Test menunjukkan Hotelling T pada Telkomsel Non-Selebriti menunjukkan nilai F Test sebesar 2,923 dengan tingkat signifikansi 0,000. Hal tersebut menunjukkan ada hubungan signifikan antara kredibilitas endorser dengan niat beli dan tingkat kepercayaan pada iklan. Untuk Levene’s Test, hasil signifikansi variabel niat beli menunjukkan tingkat signifikansi sebesar 0,053 sedangkan untuk variabel tingkat kepercayaan pada iklan menunjukkan tingkat signifikansi sebesar 0,001 atau memenuhi asumsi dasar uji MANOVA dengan varian yang sama. Walaupun tidak memenuhi asumsi dasarnya, hasil uji tersebut dapat diterima jika masih dalam rasio varian 3 atau kurang dari 3. Sedangkan hasil Test of Between Subject Effect menunjukkan nilai F Test pengaruh kredibilitas endorser pada niat beli sebesar 2,123 dengan signifikansi 0,003. Nilai F Test pada pengaruh kredibilitas endorser pada tingkat kepercayaan pada iklan sebesar 3,331 dengan signifikansi 0,000, menunjukkan adanya perbedaan pengaruh signifikan antara variabel dependen pada variabel independen. 4.8. Hasil Uji MANOVA Iklan Luwak White Coffee Selebriti Hasil Box’s Text dari Luwak White Coffee Selebriti menunjukkan bahwa nilai F test sebesar 1,719 dengan signifikansi 0,033. Tingkat signifikansi yang <0,05 tidak dapat memenuhi asumsi varian yang sama. Hasil Multivariate Test menunjukkan nilai Hotelling T pada Luwak White Coffee Selebriti menunjukkan nilai F Test sebesar 1,597 dengan tingkat signifikansi 0,020. Hal tersebut menunjukkan ada hubungan signifikan antara kredibilitas endorser dengan niat beli dan tingkat kepercayaan pada iklan. Untuk hasil Levene’s Test signifikansi variabel niat beli menunjukkan tingkat signifikansi sebesar 0,012 sedangkan untuk variabel tingkat kepercayaan pada iklan menunjukkan tingkat signifikansi sebesar 0,005. Test of Between Subject Effect menunjukkan nilai F Test pengaruh kredibilitas endorser pada niat beli sebesar 2,660 dengan signifikansi 0,005. Sedangkan nilai F Test pada pengaruh kredibilitas endorser pada tingkat kepercayaan pada iklan sebesar 1,909 dengan signifikansi 0,019. 4.9. Hasil Uji MANOVA Iklan Luwak White Coffee Non-Selebriti Hasil dari Box’s Text pada Luwak White Coffee Non-Selebriti menunjukkan bahwa nilai F test sebesar 1,699 dengan signifikansi 0,029. Multivariate Test menunjukkan hasil Hotelling T pada Luwak White Coffee Non-Selebriti dengan nilai F Test sebesar 2,678 dengan tingkat signifikansi 0,000. Hal tersebut menunjukkan ada hubungan signifikan antara kredibilitas endorser dengan niat beli dan tingkat kepercayaan pada iklan. Untuk hasil Levene’s Test, signifikansi variabel niat beli menunjukkan tingkat signifikansi sebesar 0,033 sedangkan untuk variabel tingkat kepercayaan pada iklan menunjukkan tingkat signifikansi sebesar 0,065. Untuk hasil Test of Between Subject Effect, nilai F Test pengaruh kredibilitas endorser pada niat beli sebesar 3,422 dengan signifikansi 0,000. Sedangkan nilai F Test pada pengaruh kredibilitas endorser pada tingkat kepercayaan pada iklan sebesar 3,412 dengan signifikansi 0,000, menunjukkan adanya perbedaan pengaruh signifikan antara variabel dependen pada variabel independen. 4.10. Hasil Uji Hipotesis Pengembangan hipotesis penelitian ini mengajukan 2 hipotesis yang diuji dengan analisis MANOVA, serta diukur ketepatannya dengan melihat nilai statistik F dan nilai Hotelling T².
24
Pengaruh Kredibilitas Endorser Pada Niat Beli Konsumen dan Tingkat Kepercayaan Pada Iklan (Daniel Yudistya Wardhana)
4.11. Hasil Uji Hipotesis Iklan Telkomsel Selebriti Pengujian hipotesis pertama pada produk Telkomsel dengan model selebriti dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan signifikan pengaruh kredibilitas endorser selebriti atau non-selebriti pada niat beli konsumen. Hasil uji MANOVA mengindikasikan terdapat perbedaan signifikan pengaruh kredibilitas endorser selebriti pada niat beli konsumen (F = 3.445, Sig = .000). Pengujian hipotesis kedua pada produk Telkomsel dengan model selebriti dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan signifikan hubungan kredibilitas endorser selebriti dengan non-selebriti dengan tingkat kepercayaan pada iklan. Hasil uji MANOVA mengindikasikan terdapat perbedaan signifikan hubungan kredibilitas endorser selebriti dengan tingkat kepercayaan pada iklan (F = 3,600, Sig = .000). 4.12. Hasil Uji Hipotesis Iklan Telkomsel Non-Selebriti Pengujian hipotesis pertama pada produk Telkomsel dengan model non-selebriti dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan signifikan pengaruh kredibilitas endorser selebriti dengan non-selebriti pada niat beli konsumen. Hasil uji MANOVA mengindikasikan terdapat perbedaan signifikan pengaruh kredibilitas endorser nonselebriti dengan selebriti pada niat beli konsumen (F = 2.123, Sig = 0.003). Pengujian hipotesis kedua pada produk Telkomsel dengan model non-selebriti dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan signifikan hubungan kredibilitas endorser selebriti dengan non-selebriti dengan tingkat kepercayaan pada iklan. Hasil uji MANOVA mengindikasikan terdapat perbedaan signifikan hubungan kredibilitas endorser non-selebriti dengan selebriti pada tingkat kepercayaan pada iklan (F = 3.331, Sig = 0.000). 4.13. Hasil Uji Hipotesis Iklan Luwak White Coffee Selebriti Pengujian hipotesis pertama pada produk Luwak White Coffee dengan model selebriti dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan signifikan pengaruh kredibilitas endorser selebriti dengan non-selebriti pada niat beli konsumen. Hasil uji MANOVA mengindikasikan tidak terdapat perbedaan signifikan pengaruh kredibilitas endorser selebriti dengan non-selebriti pada niat beli konsumen (F = 2.660 Sig = 0.005). Pengujian hipotesis kedua pada produk Luwak White Coffee dengan model selebriti dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan signifikan hubungan kredibilitas endorser selebriti dengan non-selebriti dengan tingkat kepercayaan pada iklan. Hasil uji MANOVA mengindikasikan terdapat perbedaan signifikan hubungan kredibilitas endorser selebriti dengan non-selebriti pada tingkat kepercayaan pada iklan (F = 1.909, Sig = 0.019). 4.14. Hasil Uji Hipotesis Luwak White Coffee non-selebriti Pengujian hipotesis pertama pada produk Luwak White Coffee dengan model non-selebriti dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan signifikan pengaruh kredibilitas endorser selebriti dengan non-selebriti pada niat beli konsumen. Hasil uji MANOVA mengindikasikan terdapat perbedaan signifikan pengaruh kredibilitas endorser non-selebriti pada niat beli konsumen (F = 3.422, Sig = 0.000). Pengujian hipotesis kedua pada produk Luwak White Coffee dengan model non-selebriti dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan signifikan hubungan kredibilitas endorser selebriti dengan non-selebriti pada tingkat kepercayaan pada iklan. Hasil uji MANOVA mengindikasikan terdapat perbedaan signifikan hubungan kredibilitas endorser non-selebriti dengan selebriti pada tingkat kepercayaan pada iklan (F = 3.412, Sig = 0.000).
25
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 13-28
4.15. Pembahasan Hasi pada produk Telkomsel menunjukkan perbedaan pengaruh kredibilitas endorser pada niat beli konsumen yaitu konsumen kurang berniat untuk membeli produk tersebut ketika diiklankan oleh endorser nonselebriti dan lebih berniat untuk membeli jika diiklankan oleh endorser selebriti. Konsumen percaya pada iklan secara keseluruhan dan informasi yang diberikan baik fitur, harga dan tampilan iklan, hal tersebut dikarenakan konsumen memerlukan informasi yang cukup dari produk tersebut, hal tersebut secara teoritis telah dipaparkan oleh Kotler dan Keller (2010) yang menegaskan bahwa konsumen lebih senang jika suatu produk menampilkan kualitas, tampilan dan fiturnya. Hasil uji hipotesis pada iklan Telkomsel menunjukkan bahwa kredibilitas endorser selebriti (F=3.445) lebih berpengaruh pada niat beli dibandingkan dengan non-selebriti (F=2.123), sedangkan konsumen lebih percaya pada iklan Telkomsel dengan endorser selebriti (F= 3.600) dibandingkan dengan non-selebriti (F=3.331). Produk Luwak White Coffee menunjukkan perbedaan pengaruh kredibilitas endorser pada niat beli konsumen yaitu konsumen kurang berniat untuk membeli produk tersebut ketika diiklankan oleh endorser selebriti dan lebih berniat untuk membeli jika diiklankan oleh endorser non-selebriti. Hasil uji hipotesis pada Luwak White Coffee menunjukkan bahwa kredibilitas endorser non-selebriti (F=3.422) lebih berpengaruh pada niat beli dibandingkan dengan selebriti (F=2.660), sedangkan konsumen lebih percaya pada iklan Luwak White Coffee dengan endorser non-selebriti (F= 3.412) dibandingkan dengan selebriti (F=1.909). Kredibilitas endorser selebriti yang dinilai rendah tersebut dikarenakan bahwa model selebriti yang digunakan dianggap kurang dapat dipercaya sebagai model yang kredibel dalam mengiklankan produk Luwak White Coffee, walaupun model tersebut bertaraf internasional namun dianggap tidak mewakili produk tersebut. Hal tersebut dimungkinkan karena pada produk convenience goods, konsumen cenderung untuk melakukan pemilihan produk secara cepat dan melakukan pembelian dengan frekuensi yang tinggi (Tjiptono, 2010). Untuk tingkat kepercayaan pada iklan, konsumen percaya pada kedua iklan secara keseluruhan yaitu informasi yang diberikan antara lain keunggulan produk, jenis, dan rasa dalam produk tersebut serta tampilan iklan, hal tersebut dikarenakan pada produk convenience goods seperti Luwak White Coffee tidak terlalu memerlukan usaha yang lebih dalam mencari informasi produk dan untuk melakukan pembelian produk, konsumen cenderung melakukan perbandingan yang minimum. Pada produk Luwak White Coffee, kredibilitas endorser sebagai pembawa pesan iklan tidak menjadi alasan konsumen untuk memercayai produk tersebut, hal tersebut ditunjukkan pada hasil hipotesis bahwa tidak ada pengaruh signifikan kredibilitas endorser produk Luwak White Coffee dengan endorser selebriti. Konsumen cenderung memperhatikan faktor isi pesan iklan karena produk instant coffee dianggap sebagai produk yang tidak memiliki umur ekonomis yang lama.
5. PENUTUP
5.1. Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan kesesuaian dengan pendapat Lafferty dan Goldsmith (1999) bahwa konsumen akan lebih tertarik untuk membeli sebuah produk ketika ketika kredibilitas seorang endorser dianggap tinggi dibanding yang rendah, temuan pada penelitian ini juga menunjukkan adanya korelasi positif antara kredibilitas endorser terhadap niat beli. Hal terpenting yang diterima dari pengaruh tersebut berasal dari kredibilitas sumber pengaruh, jika sumbernya dianggap kredibel dan mewakili maka konsumen akan menerima pengaruh
26
Pengaruh Kredibilitas Endorser Pada Niat Beli Konsumen dan Tingkat Kepercayaan Pada Iklan (Daniel Yudistya Wardhana)
(informasi) secara akurat dan menggunakannya. Lebih jauh dapat ditemukan bahwa kredibilitas endorser baik selebriti atau non-selebriti berhubungan dengan tingkat kepercayaan konsumen pada iklan, hal tersebut sesuai dengan pendapat bahwa dewasa ini ditemukan adanya fenomena pergantian daya tarik dari sosok model selebriti dan atlit ke model yang dianggap tidak memiliki daya tarik secara fisik (Menon, Boone dan Rogers, 1999). Dari hasil penelitian ini, kedua produk penelitian memiliki kecenderungan perbedaan dalam product involvement. Konsumen cenderung menganggap perlunya keterlibatan yang tinggi dalam memilih dan memutuskan membeli produk sim card. Sedangkan untuk produk instant coffee konsumen menganggap tidak memerlukan keterlibatan yang tinggi dalam memilih dan memutuskan membeli produk tersebut. Temuan tersebut menunjukkan bahwa keputusan pemilihan model iklan atau endorser perlu melihat sejauhmana tingkat keterlibatan konsumen dalam pemilihan produk dan melakukan keputusan pembelian. 5.2. Saran Saran bagi penelitian selanjutnya adalah dapat membandingkan beberapa merek produk yang berbeda, untuk memperoleh hasil temuan yang lebih luas, karena dimungkinkan adanya perbedaan persepsi terhadap model iklan pada produk lain. Kedalaman informasi dalam iklan juga perlu diperhatikan untuk melihat seberapa dalam keterlibatan konsumen dalam memilih dan melakukan keputusan pembelian. Disarankan juga bagi penelitian selanjutnya untuk menganalisis efektifitas iklan dengan memperluas dimensi penelitian tidak hanya kredibilitas endorser tetapi juga dapat dengan menggunakan metode ekperimen dengan produk fiksi (Friedman and Friedman, 1979 dalam Hunt, 2000).
DAFTAR PUSTAKA
Atkin, C. and Block, M., 1983. Effectiveness of celebrity endorsers. Journal of advertising research. Brosekhan, A.A. and Velayutham, C.M., 2013. Consumer Buying Behaviour–A Literature Review. IOSR Journal of Business and Management, 9. Hair, J.F., Anderson, R.E., Tatham, R.L. and Black, W.C., 2006. Multivariate data analysis 6th edition prentice hall. New Jersey. Hunt, J.B., 2009. The Impact of Celebrity Endorsers on Consumers’ Product Evaluations: A Symbolic Meaning Approach. University of North Carolina. Jain, V., 2011. Celebrity endorsement and its impact on sales: A research analysis carried out in India. Global Journal of Management and Business Research, 11(4). Kamins, M.A., Brand, M.J., Hoeke, S.A. and Moe, J.C., 1989. Two-sided versus one-sided celebrity endorsements: The impact on advertising effectiveness and credibility. Journal of advertising, 18(2), pp.4-10.\ Lafferty, B.A. and Goldsmith, R.E., 1999. Corporate credibility’s role in consumers’ attitudes and purchase intentions when a high versus a low credibility endorser is used in the ad. Journal of business research, 44(2), pp.109116. Menon, M.K., Boone, L.E. and Rogers, H.P., 2001. Celebrity Advertising: An assessment of its relative effectiveness. Journal Of Advertising Research. Mukherjee, D., 2009. Impact of celebrity endorsements on brand image. Available at SSRN 1444814. Nugroho, S.J., 2003. Perilaku konsumen konsep dan implikasi untuk strategi dan penelitian pemasaran. Penerbit Penada Media, Jakarta. Ohanian, R., 1991. The impact of celebrity spokespersons’ perceived image on consumers’ intention to purchase. Journal of advertising Research.\ 27
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 13-28
Oyeniyi, O., 2014. Celebrity Endorsements And Product Performance: A Study Of Nigerian Consumer Markets. Management and Marketing Journal, 12(1), pp.41-51. Schiffman, L.G. and Kanuk, L.L., L, 2007. Consumer Behavior, 9. Prentice Hall. Sekaran, U., 2006. Metodologi penelitian untuk bisnis. Jakarta: Salemba Empat. Shimp, T., 2003. Advertising, Promotion and Supplemental Aspects of Integrated Marketing Communications, Thomson. Solomon, M.R., 2014. Consumer behavior: buying, having, and being. Engelwood Cliffs, NJ: Prentice Hall. Tjiptono, Fandy.2010. Strategi Pemasaran.Edisi III. Jogjakarta. Penerbit Andi. Top Brand Index 2015 Fase 1.[online] available at http://www.topbrand-award.com/top-brand-survey/survey-result/ top_brand_index_2015_fase_1
28
Optimalisasi Kinerja Karyawan Sarung Tenun Dengan Peningkatan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (Desy Herma Fauza)
OPTIMALISASI KINERJA KARYAWAN SARUNG TENUN DENGAN PENINGKATAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA Desy Herma Fauza Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Dian Nuswantoro
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja karyawan pada industri sarung tenun di Pekalongan. Populasi dalam penelitian ini adalah 10 industri sarung tenun di kota Pekalongan dengan total responden sebanyak 105 karyawan dengan teknik purposive sampling. Analisis SEM digunakan untuk menganalisis pengaruh pelatihan kerja dan motivasi kerja sebagai variabel eksogen, kompetensi sebagai variabel intervening, dan kinerja sebagai variabel endogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan kerja berpengaruh positif terhadap kompetensi, kompetensi berpengaruh positif terjadap kinerja, kompetensi memediasi hubungan antara pelatihan kerja dan kinerja, dan motivasi kerja berpengaruh positif terhadap kinerja. Kata kunci : Pelatihan Kerja, Kompetensi, Motivasi Kerja, Kinerja
Abstract
This research aims to analyze the employee’s performance of woven sarong industries in Pekalongan. The population is 10 woven sarong industries in Pekalongan with a total respondents size of 105 weaving employees obtained using Purposive Sampling technique. SEM analysis was used to examine the effect of job training and work motivation as the exogenous variable, competence as the intervening variable, and job performance as the endogenous variable. The results show that job trainning has a positive effect on the competence, competence has a positive effect on the job performance, the competence mediates the relationship between job training and job performance, and work motivation has a positive effect on the job performance. Keywords: Job Training, Competence, Work Motivation, Job Performance
1. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang memiliki berbagai sektor yang memiliki peranan penting dalam pembangunan perekonomian, salah satu diantaranya adalah industri kecil dan menengah. Peranannya dalam menstimulus dinamisasi ekonomi menjadikan industri kecil dan menengah ini menduduki posisi yang strategis. Dari segi demografis, keberadaan industri ini sebagai salah satu sektor yang mampu menyerap tenaga kerja akibat angkatan kerja yang tidak terserap dalam dunia kerja menjadikan industri kecil dan menengah tersebut cukup mampu memberikan peluang untuk bekerja. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, keberadaan 29
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 29-41
industri kecil dan menengah tersebut mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 9,14 juta orang, dan ditargetkan mampu berkontribusi hingga 50% terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional pada 2025 (Kemenperin, 2012). Salah satu industri kecil dan menengah yang cukup potensial dan sedang digalakkan oleh pemerintah adalah industri sarung tenun ikat. Berdasarkan data yang telah diperoleh, permintaan akan produk ini terus meningkat terutama untuk tenun halus (Kemenperin, 2012). Namun disayangkan, peningkatan permintaan produk sarung tenun tersebut tidak diimbangi dengan jumlah tenaga kerja yang memiliki keahlian dalam proses tenun dan minat masyarakat yang dapat dikategorikan rendah untuk menggeluti pekerjaan tersebut. Selain itu, kurangnya tenaga ahli tenun juga dipengaruhi oleh bergabungnya penenun yang sudah ahli dengan industri partai yang lebih besar yang memberikan upah dan kesejahteraan yang lebih baik dan mendirikan home industry. Jumlah karyawan tenun sangatlah minim sehingga terjadi saling berebut karyawan tenun antara home industry dengan industri sarung tenun lainnya yang lebih besar. Perusahaan merekrut karyawan yang belum memiliki keahlian menenun sebagai karyawan baru, sehingga berdampak pada hasil produksi karena hasil sarung tenun memiliki kualitas kurang baik yang tentunya menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Sebagai langkah untuk menyiasati penurunan kinerja tersebut, pengelola usaha menyiasatinya dengan memberikan pelatihan kerja. Namun demikian, lamanya waktu pelatihan yang diberikan dan tingkat kerumitan yang semakin sulit disetiap pelatihannya menjadikan realisasi waktu pelatihan tidak sesuai dengan yang dijadwalkan sehingga akan menghambat kecepatan proses produksi. Berdasarkan data yang diperoleh dari pemilik industri sarung tenun di Pekalongan, diketahui bahwa permintaan tenun halus hingga saat ini terus meningkat hingga 70% - 80% sedangkan permintaan tenun kasar meningkat hanya 20% - 30%. Adanya ekspor sarung tenun ke negara-negara Timur Tengah yang mencapai 1000 kodi per ekspor mengharuskan setiap industri harus mampu meningkatkan kinerjanya baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Namun yang terjadi adalah tenaga kerja pada waktu tertentu sulit didapat terutama saat adanya pesanan dari mancanegara. Oleh sebab itu, setiap industri harus dapat memberdayakan sumber daya yang ada dengan meningkatkan kinerjanya agar dapat berproduksi dengan maksimal. Penjelasan di atas menjadi dasar penelitian ini, mengingat diperlukannya optimalisasi kinerja karyawan di industri sarung tenun melalui peningkatan faktor-faktor yang mempengaruhinya, antara lain pelatihan kerja, kompetensi, dan motivasi kerja.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Setiap pegawai atau karyawan dalam organisasi dituntut untuk memberikan kontribusi positif melalui kinerja yang baik, mengingat kinerja organisasi tergantung pada kinerja karyawannya. Menurut Robbins (2008) mendefinisikan kinerja yaitu suatu hasil yang dicapai oleh pegawai dalam pekerjaanya menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan. Kinerja mempunyai arti penting bagi karyawan, adanya penilaian kinerja berarti karyawan tersebut mendapat perhatian dari atasan, disamping itu dengan adanya penilaian kinerja, tentunya akan menambah gairah kerja karena dengan penilaian kinerja ini dimungkinkan karyawan yang berprestasi akan dipromosikan, dikembangkan dan diberi penghargaan atas prestasi, dan begitu pula sebaliknya. Beberapa faktor yang dapat memengaruhi kinerja karyawan, salah satunya adalah pelatihan yang didapatkan oleh karyawan. Pelatihan karyawan merupakan aktivitas sumber daya manusia yang penting. Ketika permintaan pekerjaan berubah, kemampuan karyawan pun harus berubah (Robbins, 2008). Pelatihan (training) adalah sebuah proses dimana orang mendapatkan kapabilitas untuk membantu pencapaian tujuan- tujuan organisasional (Mathis dan Jackson, 2009:301). Dengan adanya pelatihan, akan semakin membantu karyawan memahami pengetahuan
30
Optimalisasi Kinerja Karyawan Sarung Tenun Dengan Peningkatan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (Desy Herma Fauza)
dan ketrampilan yang belum dikuasai sebelumnya. Selain itu kemampuan karyawan yang beragam, akan lebih berkembang dengan diadakannya pelatihan kerja yang sesuai. Menurut Noe (2002:4), pelatihan merupakan usaha yang direncanakan oleh perusahaan (organisasi) untuk memfasilitasi pembelajaran kompetensi karyawan yang berhubungan dengan pekerjaan. Kompetensi tersebut meliputi pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku-perilaku yang dipandang penting atau berpengaruh langsung terhadap kinerja karyawan. Tujuan utama pelatihan adalah agar pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku-perilaku tersebut dapat diterapkan dalam aktifitas sehari-hari dalam lingkungan kerja. Faktor lain yang dapat memengaruhi kinerja adalah kompetensi karyawan. Konsep kompetensi telah lama menjadi kajian, bahkan telah menjadi bahan perdebatan dalam berbagai jurnal, majalah, dan buku teks. Akan tetapi, konsep kompetensi mulai populer kira-kira pada 1990-an atau bahkan tahun 2000-an khususnya di Indonesia. Terkait dengan hal ini, terdapat beberapa pengertian atau definisi tentang kompetensi. Menurut Boyatzis (2008), kompetensi adalah karakteristik–karakteristik yang berhubungan dengan kinerja unggul dan atau efektif di dalam pekerjaan. Motivasi (Motivation) adalah keinginan dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut bertindak. Orang biasanya bertindak karena satu alasan : untuk mencapai tujuan. Jadi motivasi adalah sebuah dorongan yang diatur oleh tujuan dan jarang muncul dalam kekosongan. Memahami motivasi sangatlah penting karena kinerja, reaksi terhadap kompensasi, dan persoalan sumber daya manusia (SDM) yang lain dipengaruhi dan mempengaruhi motivasi (Mathis dan Jackson, 2009:114). Motivasi mengacu pada proses dimana usaha seseorang diberi energi, diarahkan, dan berkelanjutan menuju tercapainya suatu tujuan. Definisi ini memiliki tiga elemen kunci: energi, arah, dan ketekunan (Noe, 2011). Adapun pengembangan hipotesis dalam penelitian ini antara lain: 1) Hubungan antara pelatihan kerja dengan kompetensi Seiring dengan perkembangan persaingan dunia usaha, pelatihan menjadi hal yang cukup penting bagi kelancaran kinerja sebuah usaha. Pelatihan memberikan berbagai manfaat baik bagi karyawan maupun bagi pemilik. Sebagai karyawan yang membutuhkan ketrampilan sebagai dasar pengetahuan dalam mengerjakan pekerjaannya, tentunya akan menjadikan pelatihan sebagai modal dasar untuk menambah wawasan tentang ketrampilan yang lain. Dengan adanya pelatihan, karyawan akan memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang pekerjaan baik di bagian mereka yang sekarang maupun bagian pekerjaan yang lain dan pelatihan juga memberikan gambaran lain berkaitan dengan masa depan mereka. Bagi pemilik, pelatihan merupakan aset. Karena dengan melatih dan mengelola karyawan, sebuah usaha akan memiliki sumber daya yang lebh berkulaitas untuk memperlancar tercapainya tujuan-tujuan sebuah usaha. Hubungan pelatihan kerja dengan kompetensi dapat dilihat melalui penelitian yang dilakukan oleh Pasaribu (2005) menyatakan bahwa pelatihan yang diberikan memberi kontribusi pengaruh terhadap peningkatan kompetensi. Hal ini diketahui, adanya korelasi antara pelatihan terhadap peningkatan kompetensi pengusaha kecil yang diperoleh dengan metode korelasi product moment pearson. Besarnya pengaruh pelatihan terhadap peningkatan kompetensi dapat disimpulkan dengan angka yaitu setiap 1 kali pelatihan memberikan pengaruh terhadap peningkatan kompetensi sebesar 20,17. Dengan demikian dapat terlihat bahwa semakin sering mengikuti pelatihan maka kompetensi setiap karyawan akan semakin meningkat. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H1 : Pelatihan kerja berpengaruh positif terhadap kompetensi 2) Hubungan antara kompetensi dengan kinerja karyawan Bagi setiap perusahaan, mengenali kompetensi setiap karyawannya merupakan suatu kebutuhan yang perlu mendapatkan perhatian lebih dari manajemen perusahaan. Dengan mengenali kompetensi masing31
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 29-41
masing karyawan, maka perusahaan akan lebih tepat membuat keputusan dalam menempatkan karyawan. Penelitian Mujanah (2009) menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara kompetensi terhadap kinerja karyawan. Hal ini menunjukkan bahwa jika kompetensi berpengaruh terhadap kinerja karyawan dengan kategori baik, maka kinerja karyawan akan baik. Adapun hasil penelitian yang tidak signifikan juga ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh penelitian Rahayu dan Pujaningsih (2010) bahwa kompetensi memiliki hubungan positif tetapi tidak signifikan terhadap kinerja karyawan. Dari beberapa penelitian terdahulu tersebut maka dapat diketahui bahwa kompetensi pun memiliki pengaruh terhadap kinerja karyawan. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H2 : Kompetensi berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan 3) Hubungan antara pelatihan kerja dengan kinerja karyawan melalui kompetensi sebagai variabel intervening Pelatihan menjadi suatu kebutuhan yang sangat penting diberikan oleh perusahaan guna pengembangan sumber daya manusia agar setiap karyawan memiliki keterampilan dan kemampuan yang dapat lebih menunjang kinerja mereka. Pelatihan memiliki tujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan keterampilan yang telah dimiliki untuk menjadikan kualitas sumber daya manusia yang lebih baik. Berdasarkan uraian tersebut terlihat bahwa pelatihan baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki pengaruh terhadap kinerja karyawan. Kompetensi dapat diartikan sebagai kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan, ketrampilan dan keahlian pada setiap karyawan yang dapat mengembangkan pengetahuan dan kemampuan dalam meningkatkan kinerjanya. Dalam hal ini berarti semakin tinggi kompetensi seorang karyawan maka mereka akan berusaha untuk kinerja yang lebih baik. Kompetensi ini sangat diperlukan untuk mendukung hasil produksi. Setiap karyawan yang mengikuti pelatihan diharapkan akan lebih meningkatkan kompetensinya agar sesuai dengan yang diharapkan oleh perusahaan sehingga akan menghasilkan kinerja yang lebih baik. Dalam hal ini kompetensi berperan sebagai mediasi antara pelatihan kerja terhadap kinerja. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Kunartinah dan Sukoco (2010) menyatakan bahwa kompetensi tidak memediasi hubungan pengaruh pendidikan dan pelatihan kinerja guru. Hal tersebut dibuktikan bahwa pengaruh langsungnya lebih besar dibandingkan pengaruh tidak langsungnya. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H3 : Pelatihan kerja berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan melalui kompetensi sebagai variabel intervening 4) Hubungan antara motivasi kerja terhadap kinerja karyawan Motivasi merupakan suatu bentuk dorongan baik internal maupun eksternal pada masing-masing individu yang dapat mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung pada produktivitas mereka masing-masing. Motivasi setiap karyawan berbeda- beda antara lain motivasi kebutuhan ekonomi, motivasi kebutuhan akan pekerjaan, motivasi mencoba sesuatu yang baru, memperoleh ketrampilan baru ataupun hanya mengisi waktu luang. Namun demikian terdapat pula karyawan yang memiliki motivasi tetapi menurut mereka tidak menjadikan mereka lebih giat dalam bekerja. Perbedaan motivasi kerja akan mempengaruhi hasil kerja setiap karyawan. yang berarti bahwa semakin tingginya motivsi kerja setiap karyawan maka akan semakin meningkatkan kinerja karyawan. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H4 : Motivasi kerja berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan
32
Optimalisasi Kinerja Karyawan Sarung Tenun Dengan Peningkatan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (Desy Herma Fauza)
3. METODE PENELITIAN
3.1. Pemilihan Sampel dan Pengukuran Data Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini yang terdiri atas variabel endogenus, variabel eksogenus, dan variabel intervening. Variabel endogenus yang digunakan dalam penelitian ini adalah kinerja karyawan. Sedangkan variabel eksogenus yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelatihan kerja dan motivasi kerja. Variabel intervening yang digunakan dalam penelitian ini adalah kompetensi. Adapun responden dalam penelitian ini sebanyak 105 karyawan di industri sarung tenun di Pekalongan. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan Purposive Sampling, dengan kriteria hanya karyawan di bagian penenunan kain yang menjadi responden dalam penelitian ini. Data dikumpulkan dengan metode observasi, wawancara, dan kuesioner. Pernyataan atau pertanyaan dalam kuesioner dibuat dengan menggunakan Skala Likert. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model kausalitas atau hubungan pengaruh. Untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini maka alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah SEM atau Structural Equation Modelling yang dioperasikan melalui program AMOS. 3.2. Pengukuran Variabel 1. Variabel pelatihan kerja, instrumen yang digunakan terdiri dari 5 item pertanyaan dengan menggunakan skala Likert 5 poin. Indikator yang digunakan dalam variabel pelatihan kerja ini antara lain kebutuhan pelatihan, jenis pelatihan, waktu pelatihan, kuantitas pelatihan, dan peningkatan ketrampilan (Mas’ud, 2004). 2. Variabel motivasi kerja, instrumen yang digunakan terdiri dari 5 item pertanyaan dengan menggunakan skala Likert 5 poin. Indikator yang digunakan dalam variabel motivasi kerja antara lain dorongan bekerja, rasa aman bekerja, ekan kerja, penghargaan diri, pengembangan diri (Mas’ud, 2004). 3. Variabel kompetensi, instrumen yang digunakan terdiri dari 3 item pertanyaan dengan menggunakan skala Likert 5 poin. Indikator yang digunakan dalam variabel kompetensi antara lain pengetahuan, ketrampilan, kemampuan (Mas’ud, 2004). 4. Variabel Kinerja, instrumen yang digunakan terdiri dari 5 item pertanyaan dengan menggunakan skala Likert 5 poin. Indikator yang digunakan dalam variabel kinerja antara lain kuantitas kerja, kualitas kerja, efektivitas, ketepatan karyawan, kreativitas karyawan (Mas’ud, 2004). 3.3. Model Persamaan Struktural Model persamaan struktural yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Kompetensi = γ1 Pelatihan kerja + Z1 Kinerja Karyawan = γ2 Motivasi kerja + β1 Kompetensi + Z2
(1) (2)
Langkah pertama dalam evaluasi model yang sudah dihasilkan dalam analisis SEM adalah memperhatikan sepenuhnya asumsi-asumsi dalam SEM, misalnya: (1) ukuran sampelnya, (2) normalitas dan linearitas data yang digunakan, (3) kemungkinan adanya outlier yang ekstrem, (4) kemungkinan terjadi multicollinearity dan singularity (kombinai linear dari variabel yang dianalisis). Setelah asumsi-asumsi tersebut terpenuhi maka barulah dilakukan uji kesesuaian dan uji statistik. Untuk keperluan ini Ferdinand (2002:61) merangkum pendapat para ahli tentang berbagai kriteria yang dapat dijadikan pedoman dalam melakukan uji kesesuaian (uji fit) yang dikenal dengan “Goodness-of-Fit Index” seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut ini:
33
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 29-41
Tabel 1. Goodness-of-Fit Index Goodness-of Fit Index X2 – Chi-square Significance Probability RMSEA GFI AGFI CMIN/DF TLI CFI
Cut-off Value Diharapkan kecil ≥ 0,05 ≤ 0,08 ≥ 0,90 ≥ 0,90 ≤ 2,00 ≥ 0,95 ≥ 0,95
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Faktor Konfirmatori Tahap analisis faktor konfirmatori konstruk variabel pelatihan kerja diperoleh hasil sebagai berikut:
Gambar 1. CFA Konstruk Pelatihan Kerja Berdasarkan gambar diatas, diketahui bahwa indikator yang mempunyai estimate tertinggi terhadap pelatihan kerja adalah indikator PK3 (waktu pelatihan) yaitu sebesar 0,85, yang artinya pada pelatihan kerja yang memberikan kontribusi tinggi adalah waktu pelatihan yang diberikan pada karyawan sedangkan yang terendah adalah indikator PK1 (kebutuhan pelatihan) yaitu sebesar 0,72, yang artinya pada pelatihan kerja yang memberikan kontribusi rendah pada kebutuhan pelatihan.
34
Optimalisasi Kinerja Karyawan Sarung Tenun Dengan Peningkatan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (Desy Herma Fauza)
Gambar 2. CFA Konstruk Kompetensi dan Kinerja Karyawan Berdasarkan Gambar 3 bahwa indikator yang mempunyai estimate tertinggi terhadap kompetensi adalah indikator KP2 (keterampilan) yaitu sebesar 0,88, yang artinya dalam variabel kompetensi ini yang memberikan kontribusi tinggi adalah indikator keterampilan. Sedangkan yang terendah adalah indikator KP3 (kemampuan) yaitu sebesar 0,79, yang artinya dalam variabel kompetensi ini yang memberikan kontribusi rendah adalah indikator kemampuan. Sedangkan untuk konstruk kinerja karyawan, indikator yang mempunyai estimate tertinggi adalah KIN5 (kreativitas karyawan) yaitu sebesar 0,86, yang artinya dalam variabel kinerja karyawan ini yang memberikan kontribusi tetinggi adalah indikator kreativitas karyawan. Dan yang terendah adalah KIN1 (pengetahuan karyawan) yaitu sebesar 0,77, yang artinya dalam variabel kinerja karyawan ini yang memberikan kontribusi rendah adalah indikator pengetahuan karyawan.
Gambar 3. CFA Konstruk Motivasi Kerja
35
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 29-41
Berdasarkan Gambar 4 terlihat bahwa parameter p di atas 0,05 (0.179) yang menunjukkan bahwa model telah fit dan juga loading factor untuk semua indikator telah di atas 0,4 serta tidak ada nilai variance yang negatif. Indikator yang mempunyai estimate tertinggi terhadap motivasi kerja adalah indikator MK2 (fasilitas perusahaan) yaitu sebesar 0.82, yang artinya dalam variabel motivasi kerja ini yang memberikan kontribusi tertinggi adalah indikator fasilitas perusahaan. Sedangkan yang terendah adalah indikator MK3 (hubungan dengan rekan kerja) yaitu sebesar 0.76 dan indikator MK5 (pengembangan diri) yaitu sebesar 0.76, yang artinya dalam variabel motivasi kerja ini yang memberikan kontribusi rendah adalah indikator hubungan dengan rekan kerja dan indikator pengembangan diri. Hasil pengujian model SEM dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 2. Hasil Analisis SEM
Goodness- of-Fit Index
Cut-off value
Full Model
X2 – Chi-square Probability RMSEA GFI AGFI CMIN/DF TLI CFI
Diharapkan kecil ≥ 0.05 ≤ 0.08 ≥ 0.90 ≥ 0.90 ≤ 2.00 ≥ 0.95 ≥ 0.95
140.893 0.210 0.025 0.886 0.858 1.034 0.975 0.990
Keterangan Baik Baik Baik Marginal Marginal Baik Baik Baik
Model persamaan struktural ini telah memenuhi kriteria model fit yaitu ditunjukan dengan nilai Chi-squares = 140.893 dengan tingkat probabilitas diatas p= 0.05 dan loading factor untuk semua indikator sudah berada di atas 0,5. Begitu juga dengan nilai kriteria lainnya seperti CMIN/DF=1.034; CFI=0.990; TLI=0.975; RMSEA=0.025 yang sudah memenuhi krieria yang disyaratkan masing-masing. Tetapi tidak dengan GFI=0.886; AGFI=0.858 yang nilainya masih kurang dari nilai yang disyaratkan yaitu ≥0,90. 4.2. Uji Hipotesis Dengan terpenuhinya asumsi SEM, selanjutnya akan dilakukan pengujian hipotesis. Pengujian dilakukan dengan melihat critical ratio pada regression weight sebagai berikut: Tabel 3. Hasil Uji Hipotesis Kompetensi <--- Pelatihan_Kerja Kinerja_karyawan <--- Motivasi_Kerja Kinerja_karyawan <--- Pelatihan_Kerja Kinerja_karyawan <--- Kompetensi
36
Estimate 0.624 0.420 0.192 0.443
S.E. 0.128 0.109 0.133 0.108
C.R. 4.532 3.854 1.447 3.760
P *** *** 0.148 ***
Optimalisasi Kinerja Karyawan Sarung Tenun Dengan Peningkatan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (Desy Herma Fauza)
Berdasarkan hasil dari persamaan struktural diperoleh hasil pengujian hipotesis sebagai berikut: a) Pengujian Hipotesis 1: Berdasarkan hasil pengolahan data, parameter estimasi hubungan antara pelatihan kerja terhadap kompetensi diperoleh sebesar 0.624. Pengujian hubungan kedua variabel tersebut menujukkan nilai C.R = 4.532 dengan probabilitas = 0.000 (p < 0.05). Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa semakin tinggi pelatihan kerja maka kompetensi karyawan akan semakin tinggi pula. Dengan demikian hipotesis 1 diterima karena terdapat korelasi positif antara pelatihan kerja terhadap kompetensi. Hal tersebut diperkuat dengan hasil pengolahan data yang menunjukkan nilai probability 0.000 telah memenuhi syarat < 0.05 dan nilai C.R 4.532 juga telah memenuhi syarat ≥ ± 1.96. b) Pengujian Hipotesis 2: Parameter estimasi hubungan antara kompetensi terhadap kinerja karyawan diperoleh sebesar 0.443. Pengujian hubungan kedua variabel tersebut menunjukkan nilai C.R = 3.760 dengan probabilitas = 0.000 (p < 0.05). Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa semakin tinggi kompetensi maka kinerja karyawan akan semakin tinggi pula. Dengan demikian hipotesis 2 diterima karena terdapat korelasi positif antara kompetensi terhadap kinerja karyawan. Hal tersebut diperkuat dengan hasil pengolahan data yang menunjukkan nilai probability 0.000 telah memenuhi syarat < 0.05 dan nilai C.R 3.760 juga telah memenuhi syarat ≥ ± 1.96. c) Pengujian Hipotesis 3: Berdasarkan hasil olah data menunjukkan bahwa pengaruh tidak langsung pelatihan kerja terhadap kinerja karyawan melalui kompetensi sebesar 0.200. Hasil analisis pengaruh pelatihan kerja terhadap kompetensi menunjukkan hasil yang signifikan, yaitu nilai C.R atau t hitung lebih besar dari t tabel (4.532 > 1.96) dengan nilai probability sebesar 0.000. Pengaruh kompetensi terhadap kinerja karyawan menunjukkan hasil yang signifikan, yaitu nilai C.R atau nilai t hitung lebih besar dari t tabel (3.760 > 1.96) dengan nilai probability sebesar 0.000. Sedangkan pengaruh langsung pelatihan kerja terhadap kinerja karyawan melalui kompetensi sebesar 0.142. Namun, pengaruh langsung pelatihan kerja terhadap kinerja karyawan juga menunjukkan hasil yang tidak signifikan, yaitu C.R atau t hitung lebih kecil dari t tabel (1.447 < 1.96) dengan nilai probability sebesar 0.148. Maka H3 yang menyatakan bahwa pelatihan kerja berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan melalui kompetensi kerja sebagai variabel intervening, terbukti atau diterima. Hal ini dikarenakan koefisien pengaruh tidak langsungnya lebih besar daripada koefisien pengaruh langsungnya dan pada pengaruh tidak langsung menunjukkan hasil yang signifikan sehingga membuktikan bahwa kompetensi merupakan variabel intervening. d) Pengujian Hipotesis 4: Parameter estimasi hubungan antara motivasi kerja terhadap kinerja karyawan diperoleh sebesar 0.420. Pengujian hubungan kedua variabel tersebut menunjukkan nilai C.R = 3.854 dengan probabilitas = 0,000 (p < 0,05). Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa semakin tinggi motivasi kerja maka kinerja karyawan akan semakin tinggi pula. Dengan demikian hipotesis 4 diterima karena terdapat korelasi positif antara motivasi kerja terhadap kinerja karyawan. Hal tersebut diperkuat dengan hasil pengolahan data yang menunjukkan nilai probability 0,000 telah memenuhi syarat < 0,05 dan nilai C.R 3.854 juga telah memenuhi syarat ≥ ± 1,96. 4.3. Pelatihan kerja berpengaruh positif terhadap kompetensi Berdasarkan hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa adanya hubungan yang positif antara pelatihan kerja dan kompetensi. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap diadakannya pelatihan kerja maka akan meningkatkan kompetensi karyawan tenun baik dari segi pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan mereka. Pelatihan kerja yang diberikan pada dasarnya dapat diberikan membantu meningkatkan kemampuan karyawan, 37
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 29-41
jenis pelatihan yang diterima sudah sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan karyawan, waktu pelaksanaan pelatihan, antara pelaksanaan dengan yang dibutuhkan sudah sesuai, kuantitas pelatihan yang diberikan dengan kebutuhan peningkatan ketrampilan sudah sesuai, jenis pelatihan yang diterima sesuai dengan kebutuhan dalam meningkatkan ketrampilan karyawan sehingga dengan kondisi yang demikian tentunya akan meningkatkan kompetensi. Perusahaan perlu memaksimalkan sumber daya manusianya melalui pelatihan agar dapat meningkatkan kompetensi karena faktanya dilapangan setiap pengusaha mengalami kesulitan mencari tenaga ahli. Melihat hal ini, maka pengusaha melakukan pelatihan untuk karyawannya. Dengan demikian, apabila semakin banyak karyawan yang terlatih maka akan semakin banyak karyawan yang bisa melakukan tenun halus karena permintaan tenun halus yang tinggi namun masih terhambat karena kurangnya tenaga ahli. Selain itu tidak menutup kemungkinan bahwa satu orang karyawan akan mengerjakan dua pekerjaan sekaligus semisal pekerjaan yang tidak terlalu berat dengan pekerjaan yang ringan seperti menenun kasar dengan mencelup warna. Ini juga dapat menjadi solusi bagi pengusaha yang kekurangan tenaga kerja. Maka dapat dikatakan bahwa pentingnya pelatihan kerja lebih lanjut karena memang banyak karyawan yang benar- benar memerlukan pelatihan yang cukup agar memenuhi kompetensi yang diharapkan. 4.4. Kompetensi berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa adanya hubungan yang positif antara kompetensi dan kinerja karyawan. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap karyawan yang meningkat kompetensinya maka kinerjanya juga akan mengalami peningkatan. Karyawan yang kompetensinya meningkat maka pengetahuan, kemampuan dan ketrampilannya yang dimiliki pun akan sesuai dengan yang dibutuhkan pekerjaan. Kompetensi setiap karyawan akan mempengaruhi hasil kinerja mereka masing- masing sebagai contoh karyawan tenun kasar apabila meningkatkan kompetensinya mempelajari tenun halus maka akan menjadi karyawan tenun halus sehingga kualitas mereka meningkat dan bagi pengusaha sendiri jumlah karyawan tenun halusnya pun akan bertambah. Mengingat jumlah permintaan tenun halus yang tinggi tetapi jumlah tenaga ahli tenun halus yang terbatas, akan sangat potensial sekali bagi pengusaha yang kesulitan dalam mencari tenaga kerja tenun halus dan memberdayakan karyawan tenun kasar agar memiliki kompetensi menenun halus. Maka dapat disimpulkan bahwa kompetensi yang meningkat, akan meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan karyawan yang dibutuhkan oleh perusahaan sehingga kinerja karyawan akan meningkat. 4.5. Pelatihan kerja berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan melalui kompetensi Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, menunjukkan bahwa pelatihan kerja berpengaruh terhadap kinerja karyawan melalui kompetensi, yang berarti kompetensi memediasi pelatihan kerja terhadap kinerja karyawan. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap karyawan yang mengikuti pelatihan kerja maka akan meningkatkan kompetensinya sehingga kinerjanya juga akan mengalami peningkatan. Kompetensi merupakan tujuan yang hendak dicapai setelah melakukan pelatihan sehingga akan meningkatkan kinerja karyawan. Dengan mengadakan pelatihan maka akan meningkatkan kompetensi yang akan berpengaruh terhadap peningkatan kinerja karyawan. Hal ini sejalan dengan tujuan semula dari diadakannya pelatihan yaitu dengan adanya pelatihan, akan semakin membantu karyawan memahami pengetahuan dan ketrampilan yang belum dikuasai sebelumnya. Selain itu kemampuan karyawan yang beragam, akan lebih berkembang dengan diadakannya pelatihan kerja yang sesuai karena pada dasarnya setiap perusahaan menginginkan kinerja karyawan yang lebih baik. Dalam hal ini semakin sering karyawan mengikuti pelatihan maka semakin berkompeten dalam bidangnya, semakin meningkat pengetahuannya mengenai skill yang sudah dikuasai maupun skill baru, semakin bertambah ketrampilannya, semakin meningkat kemampuannya 38
Optimalisasi Kinerja Karyawan Sarung Tenun Dengan Peningkatan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (Desy Herma Fauza)
sehingga dengan kualitas sumber daya yang meningkat maka akan meningkatkan kinerja karyawan. Seperti halnya pada karyawan yang baru direkrut seringkali belum memahami secara benar bagaimana melakukan pekerjaan, begitu juga dengan karyawan yang sudah bekerja ditempat tersebut yang belum begitu menguasai atau hendak menambah ketrampilan baru karena menyesuaikan dengan permintaan pasar yang semakin meningkat, perubahanperubahan metode kerja baru, ketidakseragaman ketrampilan yang dimiliki pada masing-masing karyawan guna meningkatkan daya saing perusahaan dan memperbaiki produktivitas karena untuk saat ini persaingan pada industri tenun sangat ketat dengan permintaan yang tinggi namun tenaga ahli yang terbatas. Sehingga daya saing perusahaan tidak bisa lagi hanya dengan mengandalkan aset berupa modal yang dimiliki, tetapi juga harus sumber daya manusia yang menjadi elemen paling penting untuk meningkatkan daya saing sebab sumber daya manusia merupakan aspek utama yang harus dimiliki perusahaan untuk dapat tetap bertahan dalam persaingan. Hal ini dilakukan untuk menjamin kualitas dan kuantitas produksi dalam arti meningkatkan kinerja karyawan. 4.6. Motivasi kerja berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa motivasi kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap karyawan yang meningkatkan motivasinya maka kinerjanya juga akan mengalami peningkatan yang signifikan. Motivasi merupakan suatu bentuk dorongan baik internal maupun eksternal pada masing-masing individu yang dapat mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung pada produktivitas mereka masing-masing. Motivasi yang ditunjukkan setiap karyawan dalam bekerja dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor dari dalam diri maupun perusahaan. Adanya keinginan mencukupi kebutuhan hidup dan mendapatkan penghasilan yang besar merupakan faktor yang muncul dari dalam diri, sementara adanya target kerja dan tuntutan untuk menjalankan tugas tepat waktu, motivasi mencoba sesuatu yang baru, memperoleh ketrampilan baru ataupun hanya mengisi waktu luang merupakan beberapa faktor dari luar (perusahaan) yang akan memotivasi karyawan untuk bekerja lebih baik. Ini menunjukkan bahwa motivasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan, dengan demikian diketahui bahwa setiap faktor motivasi kerja mempengaruhi setiap karyawan untuk meningkatkan kinerjanya.
5. PENUTUP
5.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini membuktikan bahwa pelatihan kerja berpengaruh terhadap kompetensi karyawan. Hal ini membuktikan bahwa setiap diadakannya pelatihan kerja maka akan meningkatkan kompetensi karyawan baik dari segi pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan. Kompetensi berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Hal ini membuktikan bahwa setiap karyawan yang meningkatkan kompetensinya maka kinerjanya juga akan mengalami peningkatan. Kompetensi mampu memediasi hubungan antara pelatihan kerja terhadap kinerja karyawan. Hal ini membuktikan bahwa setiap karyawan mengikuti pelatihan kerja maka akan meningkatkan kompetensinya sehingga kinerjanya juga akan meningkat. Begitu pula dengan motivasi kerja yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan, yang mengindikasikan bahwa semakin tinggi motivasi kerja seorang karyawan maka akan semakin meningkatkan kinerjanya.
39
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 29-41
5.2. Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini masih memiliki beberapa keterbatasan antara lain : 1. Berdasarkan hasil pengolahan data, terdapat dua kriteria yang nilainya masih di bawah nilai yang disyaratkan (≥0.90), yaitu GFI= 0,886 dan AGFI= 0,858. 2. Populasi dalam penelitian ini hanya menggunakan 10 industri sarung tenun, dikarenakan perijinan yang sulit di dapat dari seluruh para pemilik industri sarung tenun yang ada di kota Pekalongan. 3. Kurangnya pemahaman dari responden terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner serta sikap kepedulian dan keseriusan dalam menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang ada menjadi kendala dalam penelitian ini. Hal ini diakui oleh peneliti sebagai keterbatasan disebabkan karena peneliti tidak menggunakan metode wawancara secara mendalam dengan semua responden dalam penelitian ini. 5.3. Implikasi Manajerial Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai landasan bagi para pemilik industri sarung tenun untuk dapat meningkatkan kompetensi para karyawannya dan dapat memberikan motivasi yang lebih baik kepada karyawan, salah satunya dengan memberikan pelatihan kerja secara rutin agar para karyawan memiliki keahlian yang lebih baik sehingga untuk jangka panjang akan berdampak pada peningkatan kinerja para karyawan sarung tenun. 5.4. Saran Penelitian Selanjutnya 1. Agenda penelitian mendatang hendaklah mengembangkan lebih jauh model penelitian ini dengan menggunakan variabel-variabel lain yang belum dimasukkan dalam penelitian ini,misalnya kepuasan kerja, gaya kepemimpinan, dll. 2. Skala yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala Likert yang memiliki interval ganjil. Kecenderungan kuesioner yang menggunakan interval ganjil adalah responden yang kurang memahami pertanyaan atau pernyataan kuesioner akan memilih interval tengah, yaitu netral. Sehingga pada penelitian selanjutnya, disarankan peneliti menggunakan interval genap dengan menghilangkan pilihan netral.
DAFTAR PUSTAKA
Boyatzis, R.E., 2008. Competencies in 21st Century. Journal of Management Development Vol. 27 No.1, Emerald Group Publishing Limited. Ferdinand, A., 2002. Structural Equation Modelling dalam Penelitian Manajemen. BP : UNDIP, Semarang. Ghozali, I., 2008. Model Persamaan Struktural Konsep dan Aplikasi dengan Program AMOS 16.0. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Hasibuan, M.S.P., 2005. Manajemen sumber Daya Manusia (Edisi Revisi). Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. Kemenperin., 2012. Daya Saing IKM Perlu Ditingkatkan. Online: http://neo.kemenperin.go.id/artikel/5210/DayaSaing-IKM-PerluDitingkatkan, [diakses: 18 Oktober 2015]. Kunartinah, dan Sukoco, F. 2010. Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan, Pembelajaran Organisasi terhadap Kinerja dengan Kompetensi sebagai Mediasi. Jurnal Bisnis Ekonomi (JBE), 17(1), Hal.74- 84. Mas’ud, F., 2004. Survai Diagnosis Organisasional. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Mathis, L.R., dan Jackson, J.H., 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Salemba Empat, Jakarta.
40
Optimalisasi Kinerja Karyawan Sarung Tenun Dengan Peningkatan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (Desy Herma Fauza)
Mujanah, S., 2009. Pengaruh Pelatihan, Kompetensi dan Kompensasi terhadap Motivasi Kerja dan Dampaknya tehadap Kinerja Karyawan di PT Merpati Nusantara Surabaya. Ekonomi dan Bisnis, 13(2), Hal.55-62. Noe, R.A., 2002. Employee Training and Development. McGraw-Hill, New York. Noe, R. A., Hollenbeck, J. R., Gerhart, B., & Wright, P. M. 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia: Mencapai Keunggulan Bersaing. Salemba Empat: Jakarta. Pasaribu, S. E. (2005). Analisis Peningkatan Kompetensi Pengusaha Kecil Sesudah Mengikuti Pelatihan Kewirausahaan Yang Diselenggarakan Swisscontact Medan. Jurnal Sistem Teknik Industri, 6(5), 49-52. Rahayu, B.S., dan Pujaningsih G.S., 2010. Pengaruh Motivasi, Lingkungan Kerja, Kepemimpinan dan Kompetensi terhadap Kinerja Tenaga Tutor Program Paket B Pendidikan Luar Sekolah dengan Kepuasan Kerja sebagai Variabel Pemoderasi di Kabupaten Karanganyar. Excellent, 1(1), Maret. Robbins, S.P., dan Judge, T.A., 2008. Perilaku Organisasi. Penerbit Salemba Empat, Jakarta.
41
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 42-52
PENGUKURAN TINGKAT KESEHATAN DAN GEJALA FINANCIAL DISTRESS PADA BANK UMUM SYARIAH DI INDONESIA Junaidi STIE Muhammadiyah Palopo
[email protected]
Abstrak
Kondisi ekonomi yang tidak stabil menyebabkan perlunya kehati-hatian stakeholders untuk membuat keputusan ekonomi. Salah satu indikator yang digunakan adalah prediksi kebangkrutan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat kesehatan dan kebangkrutan bank Syariah di Indonesia mengunakan model Grover, Altman, Springate dan Zmijewski serta tingkat keakuratannya serta perbedaan dari keempat modeng pengujian tersebut. Penelitian ini mengambil sampel seluruh bank Syariah di Indonesia tahun 2010 – 2014 kecuali Maybank Syariah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antara model Grover, Altman dan Springate terdapat perbedaan yang signifikan, namun hasilnya bisa digunakan untuk memprediksi kebangkrutan bank Syariah di Indonesia. Sedangkan model Zmijewski tidak bisa digunakan. Kata kunci: Stakeholders, Model Grover, Altman, Springate, Zmijewski
Abstract
This study aims to assess the financial condition of Islamic banking based on ratio analysis and the score given the economic conditions. so be greeting one consideration for stakeholders to take economic decisions. One indicator used is the prediction of bankruptcy. The purpose of this study to determine the level of health and bankruptcy Islamic bank in Indonesia using models Grover, Altman, Springate and Zmijewski and the level of accuracy as well as the difference of the fourth Modeng the test. This study took a sample of the entire Islamic bank in Indonesia in 2010 - 2014 except for Maybank Syariah. The results of this study indicate that among the models Grover, Altman and Springate there are significant differences, but the results can be used to predict bankruptcy Islamic bank in Indonesia. While Zmijewski models can not be used. Key words: Stakeholders, Model Grover, Altman, Springate, Zmijewski
42
Pengukuran Tingkat Kesehatan dan Gejala Financial Distress Pada Bank Umum Syariah di Indonesia Junaidi
1. PENDAHULUAN
Keberadaan perbankan syariah di Indonesia saat ini kian berkembang dan diakui eksistensinya. Sebagaimana lembaga keuangan konvensional, bank syariah juga memiliki wewenang dalam melakukan banyak aktivitas. Dalam menjalankan aktivitasnya bank syariah tentunya dihadapkan pada berbagai macam risiko inherent (melekat). Risiko yang tidak terdeteksi dan tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan kerugian bagi bank. Risiko tersebut bisa berupa penurunan tingkat kesehatan bank hingga risiko kebangkrutan. Kondisi perekonomian di Indonesia yang kadang masih sangat rentan terhadap krisis serta keuntungan bank Syariah yang cenderung turun mengakibatkan tingginya potensi risiko untuk mengalami kesulitan keuangan atau bahkan kebangkrutan. Kesalahan prediksi terhadap kelangsungan operasi suatu perusahaan di masa yang akan datang dapat berakibat fatal yaitu kehilangan pendapatan atau investasi yang telah ditanamkan pada suatu perusahaan. Oleh karena itu, pentingnya suatu model prediksi kebangkrutan suatu perusahaan menjadi hal yang sangat dibutuhkan oleh berbagai pihak seperti pemberi pinjaman, investor, pemerintah, akuntan, dan manajemen (Zu’amah, 2005). Asumsi kelangsungan usaha digunakan suatu entitas bisnis dalam menjalankan usahanya dan dianggap mampu mempertahankan usahanya dalam jangka panjang dan tidak akan dilikuidasi dalam jangka pendek. Kelangsungan usaha dipakai sebagai asumsi dalam pelaporan keuangan dan berhubungan dengan kemampuan satuan usaha dalam memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo tanpa melakukan penjualan sebagian besar aktiva kepada pihak luar melalui bisnis biasa, restrukturisasi utang, perbaikan operasi yang dipaksakan dari luar dan kegiatan serupa yang lain (SPA No. 570). Pradhan (2011) menilai bahwa tindakan untuk memperbaiki keadaan keuangan setelah menerima peringatan dini untuk kebangkrutan tergantung pada penggunaan kapasitas sektor tertentu dan ketersediaan pilihan keuangan perusahaan tersebut. Seperti yang dinyatakan Nidhi dan Saini (2013) bahwa keadaan keuangan perusahaan dapat dinilai menggunakan rasio keuangan standar. Dalam perkembangannya muncul berbagai model dalam memprediksi kebangkrutan sebagai antisipasi dan sistem peringatan dini terhadap financial distress. Faktor modal dan risiko keuangan ditengarai mempunyai peran penting dalam menjelaskan fenomena kepailitan/ tekanan keuangan perusahaan. Dengan terdeteksinya lebih awal sangat memungkinkan bagi perusahaan, investor dan para kreditur (lembaga keuangan) serta pemerintah melakukan langkah-langkah antisipatif agar dampaknya tidak meluas. Beberapa penelitian tentang prediksi kebangkrutan bank Syariah di Indonesia diantaranya Endri (2009) mengunakan model Z-Score menyatakan hasilnya kurang dari 1,81 (semua bank syariah masuk kategori tidak aman). Menurut Endri model Z-Score kurang sesuai jika digunakan untuk memprediksi kemungkinan kebangkrutan pada industri perbankan syariah karena model Z-Score dibentuk dari studi empirik terhadap industri manufaktur yang tentunya sangat berbeda dengan industri manufaktur. Namun Rohmah (2015) mengemukakan seluruh bank Syariah di Indonesia masuk kategori sehat (aman). Beberapa peneliti yang mengunakan alat deteksi kebangkrutan secara bersamaan yaitu model Altman Z-score (1968), model Springate (1978), model Zmijewski (1983) serta model Grover diantaranya Hadi dan Anggraeni (2008) yang menyatakan bahwa model prediksi Altman merupakan prediktor terbaik di antara ketiga prediktor yang dianalisa yaitu Altman model, Zmijewski model dan Springate model, tetapi selisih dengan Springate tidak terlalu jauh. Model Springate masih memberikan hasil prediksi yang lebih baik dibandingkan model Zmijewski. Sedangkan model Zmijewski tidak dapat digunakan untuk memprediksi delisting perusahaan di BEI.
43
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 42-52
Hasil berbeda diungkapkan Prihanthini dan Sari (2013) yang menyatakan adanya perbedaan signifikan antara model Grover dengan model Altman Z-Score, model Grover dengan model Springate, serta model Grover dengan model Zmijewski serta tingkat akurasi tertinggi yang diraih model Grover kemudian disusul oleh model Springate, model Zmijewski, dan terakhir model Altman Z-score pada perusahaan F & B di BEI. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan uji prediksi kebangkrutan pada Bank Umum Syariah (BUS) dengan menggunakan pendekatan model Grover, Altman, Springate dan Zmijewski. Studi ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada BUS dan para stakeholder mengenai kondisi keuangan serta mengambil langkahlangkah strategis dalam pengambilan keputusan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Financial Distress dan kebangkrutan Menurut Plat dan Plat (2002) (dalam Luciana, 2006:1) financial distress sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Hofer (1980:20) dan Whitaker (1999:124) mengumpamakan kondisi financial distress sebagai suatu kondisi dari perusahaan yang mengalami laba bersih (net profit) negatif selama beberapa tahun. Sementara itu Luciana (2004) mendefinisikan kondisi financial distress sebagai suatu kondisi di mana perusahaan mengalami delisted akibat laba bersih dan nilai buku ekuitas negatif berturut-turut setelah perusahaan tersebut di merger. Sementara Kahya dan Theodossiou (1999:324), mengkategorikan kondisi financial distress berdasarkan kriteria debt default, yaitu terjadinya kegagalan membayar utang atau terdapat indikasi kegagalan membayar utang (debt default) dengan melakukan negosiasi ulang dengan kreditur atau institusi keuangan lainnya, dimana informasi mengenai debt default dan indikasi debt default diambil dari informasi Wall Street Journal Index (WSJI). Kebangkrutan biasanya diartikan sebagai kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi perusahaan untuk menghasilkan laba serta likuidasi perusahaan atau penutupan perusahaan. Kebangkrutan sebagai kegagalan didefinisikan dalam beberapa arti, yaitu: kegagalan ekonomi dan kegagalan keuangan (Adnan dan Kurniasih, 2000:137) yang berarti bahwa perusahaan kehilangan uang atau pendapatan perusahaan dan tidak menutup biayanya sendiri, ini berarti tingkat labanya lebih kecil dari biaya modal atau nilai sekarang dari arus kas perusahaan lebih kecil dari kewajiban. Kegagalan terjadi bila arus kas sebenarnya dari perusahaan tersebut jatuh di bawah arus kas yang diharapkan. Bahkan kegagalan dapat juga berarti bahwa tingkat pendapatan atau biaya historis dari investasinya lebih kecil daripada biaya modal perusahaan. Kegagalan keuangan (financial failure) dapat diartikan sebagai insolvensi yang membedakan antara dasar arus kas dan dasar saham. Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan adalah kebangkrutan didefinisikan dalam ukuran sebagai kekayaan bersih negatif dalam neraca konvensional atau nilai sekarang dan arus kas yang diharapkan lebih kecil dari kewajiban. Selanjutnya studi Beaver (1966) menggunakan univariate discriminant anlysis dalam memprediksi kebangkrutan dan menyimpulkan bahwa rasio working capital funds flow/total asset dan net income/total assets mampu membedakan perusahaan yang akan pailit dengan yang tidak pailit secara tepat masing-masing sebesar 90 persen dan 88 persen dari sampel yang digunakan (Argyris, 2006:12). Altman (1968) (dalam Esmeralda et.al, 2004), melakukan penelitian pada topik yang sama seperti topik penelitian yang dilakukan oleh Beaver tetapi Altman menggunakan teknik multivariate discriminant analysis dan menghasilkan model dengan 7 rasio keuangan. Dalam penelitiannya, Altman menggunakan sampel 33 pasang perusahaan yang pailit dan tidak pailit dengan model yang disusunnya secara tepat mampu mengidentifikasikan
44
Pengukuran Tingkat Kesehatan dan Gejala Financial Distress Pada Bank Umum Syariah di Indonesia Junaidi
90 persen kasus kepailitan pada satu tahun sebelum kepailitan terjadi. Altman (1968) mempelopori penggunaan multivariate discriminant analysis (MDA) dalam memprediksi corporate failure. Sejak itu prediksi untuk kegagalan perusahaan merupakan topik yang menarik untuk dibahas. Di Indonesia, penelitian yang membandingkan kemampuan model prediksi kebangkrutan untuk memprediksi delisting suatu perusahaan belum banyak dilakukan, padahal kondisi perekonomian di Indonesia sangat rentan bagi kelangsungan usaha suatu perusahaan. Oleh karena itu, adanya model prediksi kebangkrutan yang dibangun dari rasio-rasio keuangan sangat diperlukan sebagai evaluasi dini bagi para pemakai laporan keuangan untuk menilai kelangsungan hidup suatu perusahaan. 2.2. Model Grover Model Grover merupakan model yang diciptakan dengan melakukan pendesainan dan penilaian ulang terhadap model Altman Z-Score. Jeffrey S. Grover menggunakan sampel sesuai dengan model Altman Z-score pada tahun 1968, dengan menambahkan tiga belas rasio keuangan baru. Sampel yang digunakan sebanyak 70 perusahaan dengan 35 perusahaan yang bangkrut dan 35 perusahaan yang tidak bangkrut pada tahun 1982 sampai 1996. Jeffrey S. Grover (2001) menghasilkan fungsi sebagai berikut : O-Score = 1,650X1 + 3,404X3 – 0,016ROA + 0,057 .........................................(1) Dimana : X1 = Working capital/Total assets X3 = Earnings before interest and taxes/Total assets ROA = net income/total assets Model Grover mengkategorikan perusahaan dalam keadaan bangkrut dengan skor kurang atau sama dengan -0,02 (Z ≤ -0,02). Sedangkan nilai untuk perusahaan yang dikategorikan dalam keadaan tidak bangkrut adalah lebih atau sama dengan 0,01 (Z ≥ 0,01). 2.3. Model Altman Z-Score Pada tahun 1968, Altman menerapkan Multiple Discriminant Analysis untuk pertama kalinya. Analisis diskriminan yang dilakukan Altman dengan mengidentifikasikan rasio-rasio keuangan menghasilkan suatu model yang dapat memprediksi perusahaan yang memiliki kemungkinan tinggi untuk bangkrut dan tidak bangkrut. Fatmawati (2012) menyatakan model prediksi ini mengalami beberapa revisi hingga menjadi persamaan baru yang telah disesuaikan agar prediksi dapat dilakukan terhadap perusahaan swasta dan tidak hanya sebatas perusahaan manufaktur yang telah go public. Anjum (2012) berpendapat bahwa model ini dapat diterapkan pada ekonomi modern yang mampu memprediksi kebangkrutan hingga satu, dua, dan tiga tahun ke depan. Pendapat senada juga diberikan Hayes, dkk (2010) serta Odipo dan Sitati (2010) bahwa model ini memiliki tingkat akurasi yang tinggi yaitu di atas 80 %. Model yang dikenal sebagai Revised Altman’s Z-Score dengan fungsi diskriminan sebagai berikut (Altman, 2000) : Z = 6,56X1 + 3,26X2 + 6,72X3 + 1,05X4 .....................................................(2)
45
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 42-52
Dimana: X1 = Working Capital / Total Asset X2 = Retained Earnings / Total Asset X3 = Earning Before Interest and Taxes/Total Asset X4 = Book Value of Equity / Book Value of Total Debt Model Altman Z-Score mengklasifikasikan perusahaan dengan skor < 1,1 berpotensi untuk mengalami kebangkrutan. Skor 1,1 – 2,60 diklasifikasikan sebagai grey area, sedangkan perusahaan dengan skor > 2,60 diklasifikasikan sebagai perusahaan yang tidak berpotensi mengalami kebangkrutan. 2.4. Model Springate Gordon L.V Springate (1978) menghasilkan model prediksi kebangkrutan yang dibuat dengan mengikuti prosedur model Altman. Model prediksi kebangkrutan yang dikenal sebagai model Springate ini menggunakan 4 rasio keuangan yang dipilih berdasarkan 19 rasio-rasio dengan metode : S = 1,03 A + 3,07 B + 0,66 C +0,4 D ..............................................................( 3) Dimana : A = Working Capital/Total Asset B = Net Profit before Interest and Taxes/Total Asset C = Net Profit before Taxes/Current Liabilities D = Sales / Total Asset Model Springate ini mengklasifikasikan perusahaan dengan skor Z > 0,862 merupakan perusahaan yang tidak berpotensi bangkrut, begitu juga sebaliknya jika perusahaan memiliki skor Z < 0,862 diklasifikasikan sebagai perusahaan yang tidak sehat dan berpotensi untuk bangkrut. 2.5. Model Zmijewski Model prediksi yang dihasilkan oleh Zmijewski pada tahun 1983 merupakan hasil riset selama 20 tahun yang ditelaah ulang Model ini menghasilkan rumus sebagai berikut : X = -4,3 - 4,5X1 + 5,7X2 – 0,004X3 .................................................................(4) Dimana : X1 = ROA (Return on Asset) X2 = Leverage (Debt Ratio) X3 = Likuiditas (Current Ratio) Jika skor yang diperoleh sebuah perusahaan dari model prediksi kebangkrutan ini melebihi 0 maka perusahaan diprediksi berpotensi mengalami kebangkrutan. Sebaliknya, jika sebuah perusahaan memiliki skor yang kurang dari 0 maka perusahaan diprediksi tidak berpotensi untuk mengalami kebangkrutan.
46
Pengukuran Tingkat Kesehatan dan Gejala Financial Distress Pada Bank Umum Syariah di Indonesia Junaidi
2.6. Hipotesis H1 : Model Grover dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan bank Syariah di Indonesia. H1 : Model Altman Z-score dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan bank Syariah di Indonesia. H3 : Model Springate dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan bank Syariah di Indonesia. H4 : Model Zmijewski dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan bank Syariah di Indonesia. H5 : Terdapat perbedaan antara model Grover, Altman, Springate dan Zmijewski dalam memprediksi kebangkrutan bank Syariah di Indonesia.
3. METODE PENELITIAN
3.1. Data dan Sumber Data Data yang digunakan adalah data kuantitatif, yaitu data yang diukur dalam suatu skala numerik (angka). Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu data laporan keuangan bank umum Syariah di Indonesia periode 2010-2014 kecuali MayBank karena datanya tidak tersedia. 3.2. Teknik Analisis Data Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini digunakan teknik uji beda one way annova terhadap Model Grover O-Score, Model Altman Z-score, Model Springate S-Score dan Model Zmijewski X-Score. Kriteria pengujian hipotesis dalam penelitian ini adalah : Nilai Probabilitas P 1-2 % Signifikan kuat, 2-3 % Signifikan moderat, 3-4 Signifikan lemah dan 5 % tidak signifikan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penghitungan Model-model Prediksi Kebangkrutan Tabel 1. Perhitungan Analisis Kebangkrutan Model Grover NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
KODE BANK BSM BMI BPS BBS BRIS BNIS BMS BVS BCAS BJBS
Sumber: Data diolah 2016
TAHUN 2010 0,91 0,83 1,46 0,16 1,34 1,26 1,14 1,45 1,52 0,70
2011 0,90 0,95 1,67 0,16 0,79 1,04 0,98 1,66 1,44 1,70
2012 1,05 0,88 1,61 0,16 0,86 0,95 1,17 1,45 1,47 0,48
RATA2013 0,98 0,73 1,56 1,28 0,83 0,95 1,31 1,56 1,51 0,52
2014 1,08 0,79 1,51 1,39 1,21 1,16 1,29 1,54 0,89 1,81
RATA 0,98 0,84 1,56 0,63 1,01 1,07 1,18 1,53 1,36 1,04
Keseluruhan bank Syariah yang dijadikan sampel yang terdapat di tabel 1. memiliki skor rata-rata diatas nilai cutoff, yaitu melebihi -0,02. Hal ini berarti bahwa tidak ada bank syariah yang diprediksi akan mengalami kebangkrutan dari model Grover. Jika menggunakan data bank Syariah yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI)
47
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 42-52
dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2015, maka hasil prediksi model Grover sesuai dengan kenyataannya. Karena saat ini, keseluruhan sampel bank Syariah masih beroperasi dengan baik. Tabel 2. Perhitungan Analisis Kebangkrutan Model Z Score NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
KODE BANK BSM BMI BPS BBS BRIS BNIS BMS BVS BCAS BJBS
Sumber: Data diolah
TAHUN 2010 0,92 1,03 7,91 0,12 1,58 2,00 0,93 4,68 3,60 0,70
2011 0,94 1,02 17,06 0,17 0,88 1,42 0,80 3,12 2,66 1,17
2012 1,05 0,80 3,28 0,14 0,79 1,08 0,96 1,79 2,04 0,36
RATA2013 1,00 0,75 2,21 1,02 0,84 0,88 1,16 2,22 2,02 0,38
2014 1,21 0,87 2,08 1,41 1,00 1,30 1,36 3,11 2,43 1,12
RATA 1,02 0,89 6,51 0,57 1,02 1,34 1,04 2,98 2,55 0,75
Tabel 2 hasil analisis keuangan bank Syariah tahun 2014 mengunakan model Altman menunjukkan hasil yang relatif berbeda dengan model Glover. Hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa BMI dan BRIS termasuk dalam kategori bank yang berpotensi mengalami kesulitan keuangan. Hal ini dapat dilihat dari Z-Score-nya lebih kecil dari 1,1. Dilihat dari segi kinerja keuangan BRIS sejak tahun 2011 terus mengalami perbaikan, sementara BMI tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Jika ditelusuri satu persatu dari variabel di atas, nilai pada tiap variabel sangat kecil. Pada variabel X1 (net working capital/total assets) angkanya sangat kecil berkisar dari 0,44 – 0,77. Hal ini disebabkan rendahnya net working capital pada BMI dan BRIS. Net working capital pada perbankan memang kecil jika dibandingkan dengan perusahaan manufaktur, tidak menutup kemungkinan net working capital pada perbankan negatif. Hal ini disebabkan perbankan sebagai financial intermediary, di mana kegiatan perbankan menghimpun dana pihak ketiga kemudian menyalurkannya kepada pihak yang membutuhkankan dana, sehingga kewajiban lancar perbankan lebih besar dibandingkan kewajiban jangka panjangnya. Pertumbuhan aset lancar BMI dan BRIS selalu dibayangi dengan peningkatan kewajiban lancar. Pada variabel X2 (retained earning/total assets) BMI dan BRIS juga menunjukkan nilai yang sangat kecil. Hal ini disebabkan laba yang dibukukan oleh BMI dan BRIS masih kecil, setelah dibagikan deviden laba ditahan menjadi lebih kecil lagi sedangkan pada sisi aset terjadi peningkatan sehingga terjadi penurunan nilai. Untuk meningkatkan nilai pada variabel ini manajemen BMI dan BRIS perlu meningkatkan laba yang signifikan. Variabel X3 (earning before interest and taxes/ total assets) juga menunjukkan nilai yang kecil, kecilnya nilai variabel X3 disebabkan laba yang dihasilkan oleh BMI dan BRIS masih relatif kecil. laba tahun berjalan BMI sejak tahun 2012 dan BRIS sejak tahun 2013 setiap tahunnya mengalami penurunan sedangkan total aset BMI dan BRIS tiap tahunnya mengalami peningkatan. Sejak tahun 2012 nilai Z-score BMI terus mengalami penurunan, sebaliknya BRIS sejak tahun 2012 terus mengalami peningkatan. Hal itu disebabkan peningkatan pada laba tahun berjalan tidak sebanding dengan peningkatan aset BMI.
48
Pengukuran Tingkat Kesehatan dan Gejala Financial Distress Pada Bank Umum Syariah di Indonesia Junaidi
Untuk variabel X4 (book value of equity/ book value of total liabilities) mengalami penurunan nilai tiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh nilai buku ekuitas BMI dan BRIS nilainya tetap sedangkan total aset dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada variabel kelima X5, Revenue/total assets memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan variabel-variabel lainnya. Hal ini menunjukkan sales atau pendapatan BMI dan BRIS cukup baik. Terjadinya peningkatan pendapatan tiap tahun masih diimbangi peningkatan aset tiap tahun. Tabel 3. Perhitungan Analisis Kebangkrutan Model Springate NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
KODE BANK BSM BMI BPS BBS BRIS BNIS BMS BVS BCAS BJBS
Sumber: Data diolah
TAHUN 2010 1,62 1,55 1,86 1,14 1,85 1,79 1,81 1,92 1,94 1,61
2011 1,61 1,63 2,06 1,14 1,52 1,69 1,69 2,12 1,89 2,18
2012 1,72 1,58 2,04 1,14 1,57 1,63 1,83 1,92 1,91 1,41
RATA2013 1,66 1,48 1,98 1,82 1,56 1,63 1,90 1,98 1,93 1,44
2014 1,69 1,51 1,97 1,88 1,77 1,76 1,87 1,95 1,55 2,21
RATA 1,66 1,55 1,98 1,42 1,65 1,70 1,82 1,98 1,85 1,77
Dari tabel 3. dapat dijelaskan bahwa seluruh bank Syariah yang dijadikan sampel memiliki skor ratarata diatas nilai cutoff yaitu diatas 0,086 . Hal ini menandakan bahwa jika bank Syariah di Indonesia di analisis mengunakan model Springate semua kinerja keuangan perbankan Syariah dalam kondisi baik. Tabel 4. Perhitungan Analisis Kebangkrutan Model Zmijewski NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
KODE BANK BSM BMI BPS BBS BRIS BNIS BMS BVS BCAS BJBS
Sumber: Data diolah
TAHUN 2010 0,37 0,44 -0,08 1,77 0,50 0,39 0,70 0,22 0,50 3,88
2011 0,33 0,39 -0,35 2,67 0,67 0,41 1,01 -0,02 0,52 4,16
2012 0,42 0,70 0,19 2,63 0,92 0,73 0,70 0,53 0,69 4,47
RATA2013 0,47 0,65 0,20 -1,99 0,98 1,04 0,29 0,06 0,55 4,39
2014 0,21 0,45 0,38 0,42 1,07 0,38 0,08 -0,25 0,44 4,51
RATA 0,36 0,52 0,07 1,10 0,83 0,59 0,56 0,11 0,54 4,28
49
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 42-52
Model Zmijewski memiliki nilai cutoff sebesar 0, jika suatu perusahaan memiliki skor lebih dari 0 maka perusahaan diprediksi mengalami kebangkrutan, begitu pula sebaliknya. Tabel 4. menunjukkan bahwa hanya pada tahun 2014 hanya BVS yang memiliki skor rata-rata diatas nilai cutoff. Hal ini menandakan model Zmijewski kurang dapat digunakan dalam memprediksi kinerja keuangan khususnya perbankan syariah. 4.2. Signifikansi Perbedaan Model-model Prediksi Kebangkrutan Tabel 5. Hasil Uji Paired Sample Test antara Model Grover dengan Model Altman, Model Springate dan Model Zmijewski selama periode 2010-2014. Signifikansi Model
Model Altman
Model Springate
Model Zmijewski
Prediksi
t Hitung
Sig
t Hitung
Sig
t Hitung
Sig
Model Grover
-14,071
0,12
-5,800
0,000
-2,916
0,004
Sumber: Data diolah
Pengujian paired sample test antara model Grover dengan model Altman menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik . Kedua model menghasilkan thitung sebesar -14,071, sehingga disimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan antara model Grover dengan model Altman Z-Score. Pengujian model Grover dengan model Springate juga menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan hasil thitung sebesar -5,800, berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara model Grover dengan model Springate. Pengujian terakhir antara model Grover dengan model Zmijewski, pengujian ini juga menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik. Pengujian kedua model menghasilkan thitung sebesar -2,916, sehingga disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara model Grover dengan model Zmijewski dalam memprediksi kebangkrutan pada perbankan Syariah di Indonesia.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, analisis data menunjukkan hasil yang mendukung hipotesis yang diajukan sebelumnya. Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1) Model Grover, model altman dan model springate hasilnya sesuai fakta serta akurasi 100 % dan digunakan dalam memprediksi kebangkrutan bank Syariah di Indoensia. Hasil ini mendukung penelitian sebelumnya seperti Hadi dan Anggraeni (2008). Sedangkan model Zmijewski tidak dapat digunakan dalam memprediksi kebangkrutan bank Syariah. Hasil ini mendukung penelitian Casterella, dkk. (2000), Fanny dan Saputra (2005), Hadi dan Anggraeni (2008) yang mengungkapkan kelemahan model Zmijewski dalam memprediksi kebangkrutan dengan tingkat akurasi 0 %. 2) Terdapat perbedaan yang signifikan antara model Grover, Altman, Springate dan Zmijewski dalam memprediksi kebangkrutan bank Syariah di Indonesia. Namun model Glover, Altman dan Springate memberikan hasil yang sama dan sesuai fakta sedangkan model Zmijewski memberikan hasil yang berbeda dan tidak sesuai dengan fakta yang ada. Hasil ini sesuai dengan Prihanthini dan Sari (2013), Rohman (2015) dan berbeda dengan kesimpulan Endri (2009).
50
Pengukuran Tingkat Kesehatan dan Gejala Financial Distress Pada Bank Umum Syariah di Indonesia Junaidi
Dari kesimpulan yang telah dikemukakan, maka saran-saran yang dapat diberikan untuk menunjang penelitian berikutnya adalah : 1) Laporan keuangan dari perbankan Syariah biasanya hanya mencantumkan beberapa rasio-rasio keuangan perusahaan. Sebaiknya perusahaan juga mencantumkan rasio-rasio yang relevan dengan kondisi perbanksan dan menyampaikan fakta yang ada sesuai kondisi bank Syariah tersebut. 2) Hasil dari analisis prediksi kebangkrutan tidak sepenuhnya tepat, namun hasil analisis tetap penting dilakukan untuk memberikan peringatan-peringatan dini tentang adanya sinyal-sinyal kesulitan keuangan pada bank Syariah, sehingga manajer dapat melakukan langkah-langkah antisipasi agar perusahaan tidak benar-benar mengalami kesulitan. 3) Pada penelitian selanjutnya, disarankan untuk menambah jumlah sampel termasuk bank konvensional, periode penelitian serta menggunakan model-model prediksi yang lain, agar mendapatkan hasil bisa digunakan sebagai pembanding dan penelitian akan menjadi lebih baik.
REFERENSI
Adnan. M.A dan Kurniasih E, 2000, Analisis tingkat kesehatan perusahaan untuk memprediksi potensi kebangkrutan dengan pendekatan Altman, JAAI : Vol 4 Nomor 2 Adnan, M. A dan Taufik, M, 2001, Analisis ketepatan prediksi metode Altman terhadap terjadinya likuidasi pada lembaga perbankan. Jurnal Ekonomi dan Auditing Vol 5, No. 2, Desember. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta. Altman. E. I, 1968, Financial Ratios, Discriminant Analysis and The Prediction of Corporate Bankcrupty. The Journal of Finance, 23(4), pp. 589-609. Altman, E. I, 2000, Predicting financial distress of companies: Revisiting the Zscore and Zeta® Models. Updated from E. Altman, Financial Ratios, Discriminant Analysis and the Prediction of Corporate Bankruptcy, Journal of Banking & Finance, 1. Anjum, Sanobarm, 2012, Business bankruptcy prediction models: A significant study of the Altman’s Z-score model. Asian Journal of Management Research 3(1), Rayalaseema University. Argyris A, 2006, Predicting financial distress using Neural Networks:Another episode to the serial?, Thesis of Master of Degree, Hanken, Swedish School of Economic and Business Administration, Department of Accounting, Caudill, M., & Butler, C. (1991). Naturally Intelligent Systems (1st ed.). Cambridge, USA: The MIT Press. Atmini, S. dan Wuryan, A, 2005, Manfaat laba dan Arus Kas untuk Memprediksi Kondisi Financial Distress pada Perusahaan Textile Mill Products dan Appareal and Other Textile Products yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta, SNA VIII: hal 460-474. Endri, 2009, Prediksi Kebangkrutan Bank Untuk Menghadapi Dan Mengelola Perubahan Lingkungan Bisnis: Analisis Model Altman’s Z-Score. Perbanas Quarterly Review, 2(1). Esmeralda O.l., Petrova,M., and Spieler, A.C., 2004, Does corporate governance impact the probability and resolution of financial distress, Department of Finance, Warrington School Business, University of Florida Fatmawati. M., 2012, Penggunaan The Zmijewski Model, The Altman Model dan The Springate Model Sebagai Prediktor Delisting. Jurnal Keuangan Dan Perbankan 16(1), h:56-65. Hadi, S. dan Anggraeni. A, 2008, Pemilihan Prediktor Delisting Terbaik (Perbandingan Antara The Zmijewski Model, The Altman Model, Dan The Springate Model). Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia.
51
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 42-52
Hayes, S.K., Hodge, K.A., and Hughes, L.W. 2010. A Study of the Efficacy of Altman’s Z To Predict Bankruptcy of Specialty Retail Firms Doing Business in Contemporary Times. Economics & Business Journal: Inquiries & Perspectives 3(1). University of Nebraska at Kearney and Central Washington University. Hofer. C. W, 1980, Turnaround strategies, Journal of Business Strategy 1: 19 31. Holmen. S.J, 1988, Using financial ratio to predict bankruptcy: An evaluation of classic models using recent evidence, Akron Business and Economic Review;19,1; ABI/INFORM Global pg.52. Imanzadeh, P., Jouri-Mehdi. M and Petro. S, 2011, A Study of the Application of Springate and Zmijewski Bankruptcy Prediction Models in Firms Accepted in Tehran Stock Exchange. Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 5(11): 1546-1550 . Islamic Azad University, Iran. Kahya E. and Theodossiou P., 1999, Predicting corporate financial distress: A Time-Series CUSUM Methodology. Review of Quantitative Finance and Accounting, 13,4; ABI/INFORM Global pg.323. Luciana. S A., 2004, Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi financial distress suatu perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia (JRAI), Vol 7. No.1. Luciana, S.A., 2006, Prediksi kondisi financial distress perusahaan go public dengan menggunakan analisis multinomial logit, Jurnal Ekonomi dan Bisnis : Vol. XII No. 1 Nidhi, A., and Jatinderkumar, R.S., 2013, Time Series Model for Bankruptcy Prediction via Adaptive Neuro-Fuzzy Inference System. International Journal of Hybrid Information Technology. 6(2). India. Odipo M.K., dan Sitati. A., 2010, Evaluation Of Applicability Of Altman’s Revised Model in Prediction Of Financial Distress: A Case Of Companies Quoted in The Nairobi Stock Exchange. Journal of Business Failure Prediction. Pradhan, R., 2011, Prediction Of Z Score For Private Sector Banking Firms. International Referred Research Journal. 2(22). Prihanthini, N.M., dan Sari, M.R., 2013, Prediksi kebangkrutan dengan model Grover, Altman Z-Score, Springate dan Zmijewski pada perusahaan Food and Beverage di BEI, E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 5.2 : 417-435. Rohmah. S., 2015, Prediksi kebangkrutan BUS menurut metode Altman Z-Score, Keuangan dan Perbankan Syariah : Prosiding Penelitian SPeSIA Whitaker. R. B., 1999, The early stages of financial distress, Journal of Economics and Finance, 23: 123-133. Zulkarnain, M.S., and Kassim, N.A.A., 2004, Assessing corporate financial distress in an emerging capital market. Department of Accounting and Finance. Faculty of Economics and Management: University Putra Malaysia. Zu’amah. S, 2005, Perbandingan Ketepatan Klasifikasi Model Prediksi Kepailitan Berbasis Akrual dan Berbasis Aliran Kas, SNA VIII : hal 441-459.
52
Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Desentralisasi di Indonesia Lestari Agusalim
PERTUMBUHAN EKONOMI, KETIMPANGAN PEDAPATAN DAN DESENTRALISASI DI INDONESIA Lestari Agusalim Universitas Trilogi
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh desentralisasi dalam mendistribusikan pendapatan nasional untuk mengurangi ketimpangan pendapatan di Indonesia. Data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu PDB sebagai representasi pendapatan nasional dan data indeks gini sebagai representasi tingkat ketimpangan pendapatan dengan rentang waktu 1978-2015. Metode analisis menggunakan regresi linear dengan pendekatan OLS dimana Indeks gini digunakan sebagai variabel dependen, dan PDB sebagai variabel independen. Selain itu, terdapat variabel independen lainnya, yaitu variabel dummy desentralisasi yang berguna untuk mengetahui pengaruh desentralisasi terhadap ketimpangan pendapatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari aspek ekonomi, desentralisasi belum mampu mendistribusikan pertumbuhan ekonomi untuk memperkecil ketimpangan pendapatan masyarakat. Kata Kunci: Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan, Desentralisasi
Abstract
This research aims to analyze the effect of decentralization on national income distribution and the reduce of income Inequality in Indonesia. This research used secondary data with gross domestic product (GDP) representing national income and gini index data representing income inequality from 1978 to 2015. An OLS Linear Regression approach was employed where the gini index was the dependent variable, and the independent variables were GDP and the Dummy for decentralization implementation. The result revealed that decentralization had not been able to distribute economic growth to minimize income Inequality. Keywords: Economic Growth, Income Inequality, Decentralization
1. PENDAHULUAN
Sistem desentralisasi yang diterapkan sejak lahirnya era reformasi merupakan bentuk penolakan terhadap sistem sentralisasi yang telah gagal dalam berbagai aspek untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari aspek ekonomi, sistem sentralisasi berpegang teguh pada konsep pusat pertumbuhan. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Fancois Perroux penganut aliran ekonomi keseimbangan umum. Ia menyatakan bahwa teori pusat pertumbuhan didefinisikan sebagai suatu gugus industri yang mampu 53
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 53-68
membangkitkan pertumbuhan ekonomi yang dinamis dan mempunyai kaitan yang kuat melalui hubungan inputoutput di sekitar leading industry (Setiadi 2009). Pendukung teori ini percaya bahwa pemerintah di negara berkembang dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan dengan melakukan investasi yang besar pada industri padat modal di pusat kota. Teori pusat pertumbuhan juga ditopang oleh kepercayaan bahwa kekuatan pasar bebas melengkapi kondisi terjadinya trickle down effect dan menciptakan spread effect pertumbuhan ekonomi dari perkotaan ke pedesaan. Pandangan ini mengacu pada pandangan ekonomi neo-klasik dimana pembangunan dapat dimulai hanya dalam beberapa sektor yang dinamis, mampu memberikan rasio output yang tinggi dan pada wilayah tertentu, yang dapat memberikan dampak yang luas dan dampak ganda pada sektor lain dan wilayah yang lebih luas. Kaum ekonomi neo-klasik berprinsip bahwa kekuatan pasar akan menjamin keseimbangan dalam distribusi spasial ekonomi dan proses trickle down effect dengan sendirinya akan terjadi ketika kesejahteraan di perkotaan tercapai dan dimulai dari level yang tinggi seperti kawasan perkotaan ke kawasan yang lebih rendah seperti kawasan hinterland dan perdesaan (Mercado, 2002). Paradigma pusat pertumbuhan ekonomi dikritik oleh berbagai pihak karena dalam realitasnya trickle down effect tidak terwujud, yang terjadi malah sebaliknya, yaitu trickle up effect. Pembagian “kue kesejahteraan” bukan dari atas ke bawah, tetapi kekayaan daerah mengalir ke pusat. Ini adalah bentuk dari hasil praktek teori ekonomi neo-klasik yang melahirkan ketimpangan pendapatan. Myrdal berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi terpusat menghasilkan suatu proses sirkuler yang membuat pemilik modal mendapat keuntungan semakin banyak, dan mereka yang tidak memiliki modal menjadi semakin miskin. Proses ini semakin memperlebar ketimpangan pembangunan di negara-negara terbelakang. Ketimpangan ini disebabkan oleh sistem ekonomi yang bermotif mengejar laba. Motif inilah yang mendorong berkembangnya pembangunan berpusat di daerah yang memiliki potensi keuntungan yang besar, sementara daerah lain tetap terlantar. Hal ini disebabkan kekuatan pasar bebas, yang cenderung memperlebar dibandingkan mempersempit ketimpangan regional. Perpindahan modal juga cenderung meningkatkan ketimpangan wilayah. Di wilayah maju, permintaan yang meningkat akan merangsang investasi yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan menyebabkan putaran kedua investasi dan seterusnya. Lingkup investasi yang lebih baik pada sentra-sentra pengembangan dapat menciptakan kelangkaan modal di wilayah terbelakang (Jhingan, 1993). Todaro dan Smith (2003) memberikan deskripsi serupa yang menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang cepat tidak dengan sendirinya memperbaiki distribusi keuntungan bagi segenap penduduk. Pertumbuhan yang cepat berakibat buruk kepada kaum miskin, karena mereka akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan struktural pertumbuhan modern. Pemikir lain seperti Baudrillard (2011) juga mengkritik secara tajam ideologi pertumbuhan. Ia menyatakan bahwa ideologi pertumbuhan hanya menghasilkan dua hal, yaitu kemakmuran dan kemiskinan. Makmur bagi yang diuntungkan dan miskin bagi yang dipinggirkan. Perdebatan mengenai pembangunan ekonomi tidak akan pernah berhenti. Setiap negara memiliki pandangan dan sikap tersendiri untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya. Banyak pihak perpendapat bahwa keadilan dan kesejahteraan sosial pada masyarakat majemuk harus memperhatikan karakteristik daerah seperti perbedaan budaya, kepercayaan, kekayaan daerah dan lain sebagainya. Perbedaan ini mengharuskan pengaturan yang berbeda pula. Artinya, hal ini hanya mungkin terlaksana dalam pemerintahan desentalistik. Sistem ini bisa juga disebabkan oleh kesenjangan ekonomi, sosial, kesenjangan hak-hak antara kelompok mayoritas dan minoritas atau karena pemerintahan yang sentralistik tidak mampu memahami aspirasi daerah. Saat Indonesia menentukan sikap untuk berubah haluan dari sistem sentrlistik menjadi sistem desentralisasi, maka diharapkan mampu memperbaiki distribusi pendapatan diantara warga negaranya dan hal-hal lain sepertinya yang 54
Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Desentralisasi di Indonesia Lestari Agusalim
diuraikan di atas. Sistem desentralisasi efektif dilaksanakan pada tahun 2001 walaupun undang-undang mengenai desentralisasi telah disahkan pada pertengahan tahun 1999. Dalam rangka menyongsong dua dekade desentralisasi, perlu dilakukan evaluasi apakah sistem ini mengarah pada perwujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia atau tidak. Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi menunjukkan kinerja yang positif tetapi ketimpangan pendapatan semakin melebar. Aspek pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari pergerakan pendapatan domestik bruto (PDB), sementara itu ketimpangan pendapatan dengan melihat indeks gini. Indeks gini tercatat mengalami peningkatan dari 0.33 pada tahun 2001 naik menjadi 0.41 pada 2015. Kondisi ini semakin ironis, karena sebelum diberlakukanya desentralisasi indeks gini tidak pernah mencapai angka 0.41. Ini adalah tantangan berat bagi pemerintah pusat dan daerah untuk menurunkan ketimpangan pendapatan. Perkembangan PDB dan indeks gini dapat dilihat pada Gambar 1.
Sumber: BPS, 2016 (diolah) Gambar 1. Perbandingan PDB dan Indeks Gini Tahun 1978-2015 Dalam menyikapi pergerakan data pada Gambar 1, terdapat pandangan tradisonal yang menyatakan bahwa ketidakmerataan distribusi pendapatan adalah syarat perlu bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pendapatan yang tinggi yang dimiliki oleh segelintir orang akan menaikkan tabungan dan meningkatkan investasi serta pertumbuhan ekonomi. Setelah itu barulah terjadi trickle down effect (Djojohadikusumo, 1994). Padangan ini sebenarnya persis sama dengan pemikir teori pusat pertumbuhan. Merujuk pada latar belakang, penulis ingin mengkaji lebih dalam apakah dengan diberlakukannya desentralisasi dapat mengurangi ketimpangan pendapatan sehingga mampu mensejahterakan seluruh masyarakat Indonesia. Secara ringkas tujuan penetilian ini sebagai berikut: 1. Menganalisis apakah pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan ketimpangan pendapatan di Indonesia dengan diberlakukannya desentralisasi. 2. Memberikan rekomendasi kebijakan dalam rangka penurunan ketimpangan pendapatan di Indonesia.
55
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 53-68
2. KAJIAN TEORITIS
2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi 2.1.1. Teori Solow-Swan Model Solow-Swan menyatakan pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, kemajuan teknologi dan output saling berinteraksi dalam proses pertumbuhan ekonomi (Mankiw, 2007). Dalam model neo-klasik Solow-Swan dipergunakan suatu bentuk fungsi produksi yang lebih umum, yang bisa menampung berbagai kemungkinan substitusi antar modal dan tenaga kerja (Boediono, 1992). Pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh kemampuan suatu negara untuk meningkatkan kegiatan produksinya yang tidak hanya ditentukan oleh potensi negara yang bersangkutan, tetapi juga ditentukan pula oleh mobilitas tenaga kerja dan mobilitas modal antar negara. Secara umum, pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan kemampuan suatu perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa. Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara. Pertumbuhan ekonomi akan menunjukkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu. Pendapatan masyarakat diperoleh melalui proses penggunaan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan barang dan jasa, sehingga menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor produksi yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi maka diharapkan pendapatan masyarakat sebagai pemilik faktor produksi juga akan meningkat. Pertumbuhan ekonomi biasanya diukur dengan menggunakan data Produk Domestik Bruto (Sukirno, 2006). 2.1.2. Teori Pertumbuhan Kuznet Menurut Kuznets (1971) pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang
dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaianpenyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada. Kuznet menyodorkan suatu hipotesis mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi suatu negara dengan ketimpangan distribusi pendapatan di antara penduduknya berbentuk U terbalik. Hal ini menyatakan bahwa pada awal pertumbuhan (yang diukur dengan produk nasional bruto per kapita), kesenjangan distribusi pendapatan (diukur dengan indeks Gini) semakin tinggi. Namun pada tahap tertentu, kesenjangan distribusi pendapatan akan menurun (Todaro, 2003). 2.2. Ketimpangan Pendapatan Ketimpangan pendapatan adalah menggambarkan distribusi pendapatan di suatu negara pada kurun waktu tertentu. Kaitan antara kemiskinan dan ketimpangan pendapatan ada beberapa pola, yaitu (Tarigan, 2002): Tabel 1. Kaitan Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan No. 1 2 3 4 5 6
56
Pendapatan Tinggi Tinggi Rendah Rendah Bervariasi Bervariasi
Ketimpangan Pendapatan Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah
Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Desentralisasi di Indonesia Lestari Agusalim
Salah satu cara untuk menentukan tingkat ketimpangan pendapatan dengan menggunakan indeks gini. Cara ini memperhatikan seluruh lapisan penerima pendapatan. Nilai indeks gini terletak antara nol sampai dengan satu, dengan kategori: • Bila indeks gini = 0, ketimpangan pendapatan merata sempurna, artinya setiap orang menerima pendapatan yang sama dengan yang lainnya. • Bila indeks gini = 1, artinya ketimpangan pendapatan timpang sempurna atau pendapatan itu hanya diterima oleh satu orang atau satu kelompok saja. Berdasarkan kategori di atas, tingkat kertimpangan pendapatan dibagi menjadi lima seperti yang terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Tingkat Ketimpangan Pendapatan Indeks Gini Indeks Gini ≥ 0.80 0.60-0.79 0.40-59 0.20-0.39 <0.20
: : : : :
Keterangan ketimpangan sangat tinggi ketimpangan tinggi ketimpangan sedang ketimpangan rendah ketimpangan sangat rendah
2.3. Desentralisasi Desentralisasi adalah restrukturisasi atau reorganisasi wewenang sehingga ada sebuah sistem tanggung jawab bersama antara institusi pemerintah pada tingkat pusat dan daerah menurut prinsip subsidiaritas, sehingga bisa meningkatkan keseluruhan kualitas dan keefektifan sistem pemerintahan, dan juga meningkatkan wewenang dan kapasitas daerah. Dengan desentralisasi, diharapkan mampu memberikan peluang bagi terciptanya pemerintahan yang baik, seperti meningkatkan peluang masyarakat untuk berpartisipasi dalam bidang ekonomi, sosial, dan berbagai keputusan politik; membantu kapasitas rakyat yang masih dalam taraf berkembang, dan memperluas tanggung jawab, transparansi, dan akuntabilitas Desentralisasi mensyaratkan adanya reformasi dalam hubungan pusat dan daerah disertai otonomi pemerintahan daerah. Ketika pemerintah daerah dan masyarakat lokal mencapai tingkatan otonomi, keduanya dapat memberdayakan sumberdaya lokal demi mencapai taraf pembangunan ekonomi yang tinggi di daerahnya masing-masing (UNDP, 1997). Ide tentang desentralisasi berangkat dari suatu antithesis terhadap sentralisasi. Sistem sentralisasi dianggap selalu melakukan unifikasi kekuasaan politik dan ekonomi pada tangan pemerintah pusat, maka sebaliknya desentralisasi mengajukan gagasan tentang pembagian kekuasaan politik, ekonomi, dan wewenang administrasi antara pemerintah pusat dan daerah (Hidayat, 2005). Menurut Allen, munculnya wacana desentralisasi bukan semata dihubungkan dengan tidak berhasilnya perencanaan terpusat tetapi juga adanya kesadaran bahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks yang tidak dapat dengan mudah dikendalikan dan direncanakan dari pusat. Oleh sebab itu, para pendukung desentralisasi menyodorkan berbagai argumen rasional tentang pentingnya desentralisasi dalam perencanaan dan administrasi (Kuncoro, 2004). Smith menyebutkan sedikitnya ada tiga alasan utama untuk mengaplikasikan densetralisasi, yaitu; untuk menciptakan efisiensi penyelenggaraan administrasi pemerintahan, untuk memperluas otonomi daerah, dan pada beberapa kasus sebagai strategi untuk mengatasi instabilitas politik (Hidayat, 2005). Hirawan (2007) menyampaikan hal serupa, bahwa otonomi daerah adalah landasan tujuan demokratisasi dan demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan desentralisasi bertujuan menciptakan proses pengambilan keputusan publik
57
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 53-68
yang demokratis dan memberikan pelayanan masyarakat yang jauh lebih baik. Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam penyelenggarakan pemerintahan diharapkan membangun perekonomi dengan tujuan akhirnya mensejahterakan masyarakat. Di Indonesia, desentralisasi mulai diterapkan sejak memasuki era reformasi, dengan menerbitkan UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah dan sekaligus menjadi awal era baru desentralisasi fiskal di Indonesia yang mulai efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Proses pelaksanaannya mengalami penyempurnaan terhadap kedua UU yang telah ada. Pada tahun 2004, UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (PKPD) diganti dengan UU No. 33 tahun 2004. 2.4. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Ketimpangan Pendapatan Kuznetz (1971) menemukan hubungan antara tingkat pendapatan dan distribusi pendapatan berbentuk U terbalik. Menurutnya pada awal proses pembangunan, ketimpangan distribusi pendapatan meningkat karena proses urbanisasi dan industrialisasi, pada akhir proses pembangunan, ketimpangan pendapatan mengalami penurunan, yaitu pada saat sektor-sektor ekonomi di daerah perkotaan sudah mampu menyerap sebagian besar tenaga kerja yang berasal dari pedesaan. Terdapat beberapa studi studi empiris yang mencoba menguji hipotesis Kusnetz, dengan menggunakan data makro dari sejumlah negara. Sebagian besar studi-studi tersebut mendukung hipotesis Kuznets, sedangkan sebagian lainnya menolak. Hasil penelitian Deininger dan Squire (1996) tidak menunjukkan adanya suatu relasi yang jelas antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan. Walaupun hipotesis itu diterima, tetapi sebagian besar membuktikan bahwa hubungan negatif antara pertumbuhan dan ketimpangan dalam jangka panjang hanya terjadi pada kelompok negara-negara industri maju. Studi lain dengan pendekatan analisis deret waktu, misalnya oleh Ravallion dan Datt (1996) yang menemukan bahwa di India selama periode 1950-1990 pendapatan rata-rata per kapita meningkat di sisi lain ketimpangan pendapatan mengalami penurunan. Berikutnyanya, hasil penelitian Wahyuni (2004) menemukan adanya hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan. Apabila pertumbuhan ekonomi meningkat maka ketimpangan pendapatan mengalami penurunan. Selanjutnya, Waluyo (2004) meneliti hubungan antara tingkat ketimpangan distribusi pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara. Kesimpulan penelitian tersebut menunjukkan bahwa hubungan negatif dan signifikan antara distribusi pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi. 2.5. Hubungan Desentralisasi dengan Ketimpangan Pendapatan Menurut Amir (2012) tujuan pokok kebijakan desentralisasi adalah untuk; (1) menghilangkan kesenjangan yang ada, baik kesenjangan vertikal maupun kesenjangan horizontal, (2) menciptakan demokratisasi di Indonesia, sehingga kekuasaan tidak terpusat di suatu tempat, (3) meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat, dan (4) menciptakan efek penyebaran antardaerah. Dengan diberlakukannya kebijakan desentralisasi diharapkan ketimpangan pendapatan semakin sempit. Menurut penelitian Akai dan Sakata (2005) desentralisasi fiskal dapat menjadi alat untuk meningkatkan efisiensi sektor publik dan mengurangi kesenjangan antardaerah. Mereka menjelaskan sistem otonomi akan mampu menurunkan ketimpangan pendapatan lebih besar dibanding sistem sentralistik, apabila pemerintah daerah lebih intensif memajukan daerahnya. Pemerintah daerah harus mengeluarkan kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi yang dapat mensejahterakan masyarakat. 58
Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Desentralisasi di Indonesia Lestari Agusalim
Namun demikian beberapa penilitian menunjukkan bahwa masih terdapat hubungan yang samar antara desentralisasi dengan ketimpangan pendapatan. Nurana dan Muta’ali (2010) menemukan terjadi fluktuasi tingkat ketimpangan perkembangan wilayah selama 1995-2009 di kawasan Ciayumajakuning. Hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan otonomi daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan ketimpangan perkembangan wilayah. Bonet (2006) menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap disparitas pendapatan regional di Kolombia. Penelitian ini membuktikan bahwa setelah diberlakukannya desentralisasi fiskal, pertumbuhan ekonomi menhalami peningkatan di setiap daerah tetapi diikuti oleh semakin tingginya disparitas pendapatan antar wilayah selama periode penelitian. Sebabnya karena; (1) alokasi sumber-sumber penerimaan pemerintah daerah lebih besar untuk pengeluaran rutin dibanding pengeluaran investasi. (2) lemahnya kapasitas kelembagaan pemerintah daerah, (3) kurangnya insentif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dan (4) kurangnya redistribusi transfer nasional. Penelitian lain terkait dengan desentralisasi dilakukan juga oleh Tiebout (1956) yang menemukan hubungan positif antara desentralisasi fiskal dan ketimpangan wilayah melalui sifat mobilitas wajib pajak. Masyarakat (wajib pajak) dapat secara bebas memilih wilayah mana yang akan ditempati dengan mempertimbangkan selera dan besarnya pengenaan pajak di daerah tersebut. Wilayah yang memiliki fasilitas dan pelayanan publik yang berkualitas tinggi akan lebih dipilih dibandingkan dengan wilayah yang pelayanan publiknya kurang memadai.
3. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Keuangan Republik Indonesia, dan berbagai literatur dari internet serta publikasi ilmiah yang dapat menunjang penelitian ini. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan data yang digunakan adalah data time series. Data yang dibutuhkan adalah; (1) PDB ADHB tahun 1978-2015 dan (2) Indeks Gini tahun 1978-2015. 3.2. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data Dalam pengumpulan data digunakan metode dokumentasi, yaitu suatu cara memperoleh data atau informasi dengan jalan melihat kembali laporan tertulis baik berupa angka maupun keterangan (Arikunto, 2012). Pengolahan data dalam kajian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan software EViews 8, Microsoft Office Excel 2016.
3.3. Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan kuantitatif. Analisis deskriptif adalah metode analisis dengan cara mendeskripsikan faktor-faktor yang berhubungan dengan permasalahan yang dimaksud. Sementara itu, analisis kuantitatif bersifat hitungan dengan mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data dalam bentuk angka dengan menggunakan model ekonometrika untuk mengetahui pengaruh yang ditimbulkan oleh variabelvariabel independen (PDB dan variabel dummy) terhadap variabel dependen (Indeks Gini).
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Variabel PDB berpengaruh negatif signifikan terhadap variabel indeks gini.
2. Variabel dummy berpengaruh negatif signifikan terhadap variabel indeks gini.
Hipotesis tersebut akan diuji melalui suatu model ekonometrika. Hipotesis yang dibuktikan bahwa produk domestik bruto (PDB) mempunyai korelasi yang signifikan terhadap indeks gini. Setelah terbentuk model
59
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 53-68
ekonometrika, model ini akan digunakan untuk menguji desentralisasi mempunyai korelasi positif terhadap indeks gini. Perbandingan koefisien variabel dummy dan perkalian antara PDB dengan dummy variabel (PDB*Dummy) untuk mengetahui perubahan dengan atau tanpa desentralisasi yang dilakukan setiap kenaikan dari nilai PDB terhadap indeks gini. Untuk mengetahui apakah variabel tersebut berpengaruh atau tidak terhadap indeks gini dapat diketahui dari nilai t statistic dan nilai probability. Pengaruh dari desentralisasi terhadap indeks gini dapat dilihat dari tanda koefisien dummy dan koefisien PDB*Dummy apakah positif atau negatif, sehingga dapat dibuktikan bahwa dengan adanya desentralisasi terjadi peningkatan atau penurunan indeks gini dari setiap kenaikan PDB. Teknik analisis data dengan estimasi persamaan linier dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (least square method). Penggunaan metode ini mengharuskan memenuhi asumsi-asumsi sebagai berikut (Arikunto., 2012); 1. Model regresi merupakan linier dalam parameter.
2. Error term (m) memiliki distribusi normal, variabel dependen dan distribusi sampling koefisien regresi memliki distribusi normal. Maka nilai harapan dan rata-rata kesalahan nol. 3. Varians tetap atau bersifat homoscedasticity.
4. Hubungan antara variabel bebas dengan error term tidak ada.
5. Korelasi serial atau autokorelasi di error term tidak ada.
6. Hubungan antarvariabel bebas tidak terjadi.
Berdasarkan penjelasan tersebut, model regresi linier berganda yang digunakan sebagai berikut:
Model persamaan regresi berganda di atas dimodifikasi dimana variabel independennya (PDB) diubah menjadi persamaan logaritma natural. Hal ini bertujuan agar memudahkan intepretasi hasil pengolahan data. Bentuk logaritma natural digunakan karena pada umumnya nilai variabel sangat besar dan satuan variabel satu dengan lainnya berbeda. Setelah mengalami perubahan, Maka model persamaannya yang di atas diubah berikut ini:
Keterangan : GINI = Indeks Gini LNGINI = Bentuk Logaritma Indeks Gini PDB = Pendapatan Domestik Bruto LNPDB = Bentuk logaritma narural dari Pendapatan Domestik Bruto D = Variabel Dummy (D=0 sebelum desentralisasi, D=1 sesudah desentralisasi) = Konstanta = Parameter estimasi m = Error term Model regresi yang diperoleh dari metode kuadrat terkecil mengharuskan model regresi yang menghasilkan estimator linear yang tidak bias yang terbaik (Best Linear Unbias Estimator/BLUE). Oleh karena itu, harus dilakukan uji asumsi klasik untuk memastikan bahwa model yang digunakan bersifat robust. Selain itu, untuk melihat signifikansi dari model penelitian digunakan pengujian statistik. 60
Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Desentralisasi di Indonesia Lestari Agusalim
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Uji Stasioneritas Data Data runtun waktu seringkali tidak stationer sehingga menyebabkan hasil regresi meragukan atau disebut regresi lancung. Suatu data dikatakan stasioner jika memenuhi tiga kriteria yaitu jika rata-rata dan variannya konstan sepanjang waktu dan kovarian antara dua data runtut hanya tergantung dari kelambanan antara dua periode waktu. Ada beberapa metode uji stasioner, dalam penelitian ini akan menggunakan uji akar-akar unit (unit root test) dan dikenal dengan uji akar unit Dickey-Fuller (DF). Prosedur untuk menentukan data stasioner dengan cara membandingkan antara nilai statistik DF dengan nilai kritisnya. Jika nilai absolut ADF lebih besar dari nilai kritisnya, maka data yang diamati menunjukkan stationer dan jika sebaliknya nilai absolut statistik ADF lebih kecil dari nilai kritisnya maka data tidak stationer. Data stasioner apabila nilai Augmented Dickey-Fuller test statistic (ADF) lebih besar dari nilai kritis pada level 1%, dapat dilihat pada Tabel 3. Terlihat variabel penelitian stasioner pada 1st differnce. Selanjutnya data yang telah stasioner inilah yang digunakan di dalam model. Tabel 3. Hasil Uji Stasioneritas Augmented Dickey Fuller No.
Variabel
1 2 3 4
LNGINI LNPDB D DLNPDB
t-statistic -1.1241 -1.8570 -0.7758 -0.6024
Level Probability 0.6959 0.3482 0.8142 0.8580
Keterangan: Semua signifikan dalam level 1%
Tingkat Stasioneritas Keterangan tidak stasioner tidak stasioner tidak stasioner tidak stasioner
t-statistic -5.5622 -5.3268 -6.0000 -5.9990
1st Difference Probability Keterangan 0.0000 stasioner 0.0001 stasioner 0.0000 stasioner 0.0000 stasioner
4.2. Uji Asumsi Klasik 4.2.1. Uji Normalitas Untuk mendeteksi apakah residualnya berdistribusi normal atau tidak dengan membandingkan nilai Jarque Bera (JB) dengan χ2 tabel, yaitu: • Jika nilai JB > χ2 tabel, maka residualnya berdistribusi tidak normal.
• Jika nilai JB < χ2 tabel, maka residualnya berdistribusi normal.
Berdasarkan hasil pengujian asumsi klasik menggunakan EViews 8, diperoleh nilai Jarque-Bera sebesar 7.9419 dengan probabilitas sebesar 0,0188. Sementara itu nilai χ2 tabel sebesar 7.8147 dengan probabilitas 0.05. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa residual berdistribusi normal.
61
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 53-68
9
Series: Residuals Sample 1978 2015 Observations 38
8 7 6 5 4 3 2 1 0 -0.06
-0.04
-0.02
0.00
0.02
0.04
0.06
0.08
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-2.68e-16 -0.014189 0.109686 -0.056470 0.045116 1.115834 3.188708
Jarque-Bera Probability
7.941927 0.018855
0.10
Gambar 2. Hasil Uji Normalitas 4.2.2. Uji Autokorelasi Untuk mendeteksi gejala autokorelasi dilakukan melalui uji Durbin Watson (DW). Syarat tidak terjadi gejala autokorelasi adalah apabila nilai DW lebih besar atau sama dengan nilai du dan lebih kecil dari nilai 4–du. Atau dengan kata lain syarat tidak terjadi autokorelasi adalah nilai DW berada diantara du ≤ DW ≤ 4-du. Dengan n= 38 dan jumlah variabel bebas = 3, diperoleh nilai dl = 1,3177 dan nilai du = 1,6563. Nilai DW hitung adalah sebesar 1,9744 berarti DW lebih besar dari nilai du, dan lebih kecil dari 4-du yaitu 2,3437. Nilai DW in terletak diantara du dan (4-du) sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam hal ini tidak terjadi autokorelasi. 4.2.3. Uji Multikolineritas Pengujian terhadap gejala multikolinieritas hanya dilakukan ketika jumlah variabel independen dalam penelitian berjumlah lebih dari 1. Apabila kita menggunakan analisis regresi linier berganda yang memiliki variabel dummy seperti dalam penelitian ini, maka uji asumsi multikolinieritas tidak perlu dilakukan, karena pada dasarnya uji multikolinieritas ini adalah menguji ada atau tidaknya hubungan antara variabel independen. Jadi apabila kita hanya menggunakan 1 variabel independen dan variabel dummy maka uji multikolinieritas ini tidak perlu dilakukan. 4.2.4. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas merupakan kondisi dimana varian (σ2) dari faktor penggangu atau error term tidak sama untuk semua observasi atau pengamatan atas variabel bebas. Untuk melihat apakah terdapat heteroskedastisitas dalam model akan digunakan white test. Adapun kaidah keputusannya adalah sebagai berikut: • H0 = residual bersifat homoskedastisitas • H1 = residual bersifat heteroskedastisitas Berdasarkan hasil analisis residual menggunakan EViews 8, diperoleh white test sebesar 4.8421 dengan probabilitas 0,1837. Dengan demikian nilai probabilitas white test lebih besar dari nilai Alpha 0.05, sehingga kita tidak dapat menolak H0 dan menyimpulkan bahwa tidak terdapat heteroskedastisitas dalam model. Secara jelas hasil pengujian heterokedastisitas tersaji dalam Tabel 4.
62
Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Desentralisasi di Indonesia Lestari Agusalim
Tabel 4. Hasil Uji Heteroskedastisitas Heteroskedasticity Test: White F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
1.655049 4.842162 4.242168
Prob. F(3,34) Prob. Chi-Square(3) Prob. Chi-Square(3)
0.1950 0.1837 0.2365
4.3. Analisis Hasil Regresi Berdasarkan hasil analisis menggunakan EViews 8 diperoleh hasil regresi seperti yang tertera pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Regresi Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNPDB D (dummy) DLNPDB C
-0.026596 -2.469718 0.172915 -0.779085
0.008758 0.307879 0.020777 0.106409
-3.036920 -8.021717 8.322495 -7.321625
0.0046 0.0000 0.0000 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.756334 0.734834 0.047065 0.075313 64.33047 35.17834 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-1.063868 0.091398 -3.175288 -3.002910 -3.113957 1.974474
Dependent Variable: LNGINI Sebelum menjelaskan pengaruh desentralisasi dalam mendistribusikan pendapatan nasional untuk mengurangi ketimpangan pendapatan di Indonesia, perlu dilakukan uji statistik seperti uji koefisien determinasi, uji F dan uji t. Berdasarkan hasil pengolahan data didapat nilai R2 sebesar 0.7563, seperti yang terlihat pada Tabel 5. Hal ini menunjukkan bahwa variabel yang dipilih pada variabel independen secara bersama-sama dapat menjelaskan keragaman variabel dependen dengan kontribusi sebesar 75,63 persen, sedangkan sisanya sebesar 24.37 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar variabel yang digunakan pada penelitian ini. Selanjutnya dilakukan uji F untuk mengetahui secara keseluruhan apakah variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen. Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai probabilitas F-hitung dengan tingkat signifikansi 5% atau 0.05. Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai probabilitas F-hitung (F-statistic) ternyata lebih kecil dari 0.05. Artinya, secara keseluruhan variabel independen, secara bersama-sama memberikan pengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Terakhir dilakukan uji t untuk menentukan apakah variabel-variabel independen dalam persamaan regresi secara individu signifikan dalam memprediksi nilai variabel dependen. Pengujian ini dilakukan dengan 63
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 53-68
membandingkan nilai probabiltas t-hitung terhadap tingkat signifikansi α (5% atau 0,05), dengan kriteria pengujian jika probabilitas t-hitung > α (0,05) maka pengaruh variabel independen itu tidak signifikan, sehingga H0 diterima, yang artinya variabel independen tidak mempengaruhi secara individual variabel dependennya, sebaliknya jika probabilitas t- hitung < α (0,05) maka pengaruhnya signifikan, sehingga H1 diterima, yang artinya variabel independen dapat mempengaruhi secara individual variabel dependennya. Dari hasil output regresi yang dirangkum pada Tabel 5. dapat dilihat bahwa probabilitas t-hitung berturut-turut untuk variabel LNPDB, variabel D (dummy), dan variabel DLNPDB adalah sebesar 0.0046, 0.0000 dan 0.0000. Hal ini menunjukkan bahwa variabel LNPDB, D (dummy), dan DLNPDB secara individual signifikan atau berpengaruh terhadap variabel LNGINI. Penjelasan Hasil Regresi Berdasarkan hasil uji amsumsi klasik, model menghasilkan estimator linear yang tidak bias yang terbaik. Setelah diketahui tidak adanya gangguan asumsi klasik, selanjutnya dapat disimpulkan signifikansi hasilnya menggunakan uji F dan uji t. Besaran koefisien dan interpretasi hasil regresi, adalah sebagai berikut: a. Variabel LNPDB sebesar -0.0265 Setiap kenaikan PDB sebesar satu persen maka akan menurunkan indeks gini sebesar 0.0265 persen. Bila diasumsikan pada tahun 2016 terjadi kenaikan PDB sebesar 5.3 persen (asumsi pertumbuhan ekonomi dalam RAPBN 2016) maka akan menurunkan indeks gini sebesar 0.1409 persen. Artinya, bila pada tahun 2015 indeks gini sebesar 0.41 maka dengan asumsi pertumbuhan tahun 2016 sebesar 5.3 persen, maka indeks gini turun menjadi 0.409. Hasil ini menunjukkan bahwa tanpa melihat ada atau tidaknya desentralisasi setiap kenaikan pendapatan nasional akan mengurangi ketimpangan pendapatan. b. Variabel Dummy sebesar -2.4697 Dengar diberlakukannya desentralisasi secara efektif sejak tahun 2001 mengakibatkan indeks gini menurun sebesar -2.4697 persen dengan asumsi variabel lainnya tetap. c. Variabel DLNPDB sebesar 0.1729
Setelah diterapkannya desentralisasi sejak tahun 2001 mengakibatkan setiap kenaikan satu persen dalam PDB maka akan meningkatkan indeks gini sebesar 0.1464 persen (-0.0265 + 0.1729). Artinya, setelah desentralisasi dilaksanakan, setiap peningkatan satu persen PDB akan meningkatkan indeks gini sebesar 0.1464 persen. Bila diasumsikan pada tahun 2016 terjadi kenaikan PDB sebesar 5.3 persen (asumsi pertumbuhan ekonomi dalam RAPBN 2016) maka akan meningkatkan indeks gini sebesar 0.1464 persen. Artinya, bila pada tahun 2015 indeks gini sebesar 0.41 maka dengan asumsi pertumbuhan tahun 2016 sebesar 5.3 persen, maka indeks gini naik menjadi 0.413. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan diterapkannya desentralisasi maka setiap kenaikan pendapatan nasional akan mengurangi ketimpangan pendapatan. d. Konstanta sebesar 0.7790 Apabila PDB tidak mengalami perubahan, indeks gini akan meningkat sebesar 0.7790 persen. Dengan demikian persamaan hasil regresi di atas dapat ditulis dengan persamaan logaritma sebagai berikut: Sebelum Desentralisasi LNGINI = 0.7790 – 0.0265LNPDB Setelah Desentralisasi LNGINI = 0.7790-2.4697D +(-0.0265+1729)LNPDB atau LNGINI = -1.6907 + 0.1464LNPDB
64
Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Desentralisasi di Indonesia Lestari Agusalim
Berdasarkan persamaan di atas, dapat dilihat bahwa dengan diberlakukannya desentralisasi malah meningkatkan indeks gini sebesar 0.1199 persen. Hasil analisis ini memberikan informasi berharga bahwa dengan diberlakukannya desentralisasi belum mampu menurunkan ketimpangan pendapatan. Hal ini didukung oleh informasi yang diterima dari BPS sebagaimana yang terlihat pada Tabel 6 yang menunjukkan bahwa distribusi pendapatan di pulau-pulau besar di Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan. Tahun 2000 merupakan warisan distribusi pendapatan pada era pemerintahan menganut sistem sentralisasi. Sejak diberlakukannya desentralisasi secara efektif pada tahun 2001 hingga tahun 2014 ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap distribusi pendapatan di pulau-pulau besar Indonesia. Tabel 6. Distribusi PDRB atas dasar harga berlaku (persen) Pulau Sumatera Jawa Kalimantan Nusa Tenggara Sulawesi Maluku Papua Total
Sumber: BPS (diolah)
2000 22.51 59.43 9.13 2.81 4.24 0.32 1.57 100
2014 23.17 57.41 8.71 2.87 5.63 0.52 1.69 100
Pada Gambar 3, dapat dilihat dengan jelas bagaimana alokasi pengeluaran negara, dimana anggaran untuk pengeluaran pemerintah pusat rata-rata sebesar 68 persen, sedangkan sisanya digunakan untuk transfer ke daerah yaitu sebesar 32 persen. Pembagian anggaran tersebut menyebabkan terjadinya ketimpangan fiskal vertikal. Alokasi dana yang ditransfer ke daerah tersebut kemudian harus dibagi dengan seluruh kabupaten yang ada di Indonesia. Tentu anggaran tersebut belum cukup untuk melakukan pembangunan di daerah. Selain itu, dari keseluruhan pengeluaran pemerintah, hanya sebesar 9.12 persen digunakan untuk belanja modal. Dengan struktur anggaran seperti ini tentu sulit bagai pemerintah untuk melaksanakan pembangunan ekonomi, dan menyelesaikan ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah.
65
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 53-68
Sumber: BPS 2015 (diolah) Gambar 3. Realisasi Pengeluaran Negara 2007-2014
Selain itu, aspek lain yang mengemuka adalah soal perimbangan keuangan, dimana semangat dari konsep UU No. 33/2004 menjamin berlakunya pembangunan secara adil dan berkelanjutan antar daerah. Di sini muncul masalah berkenaan dengan alokasi yang cenderung tidak adil sesuai dengan amanat UU diatas. Sekedar contoh, kabupaten maju yang memiliki indeks fiskal tinggi dan indeks kemiskinan rendah justru mendapatkan dana transfer tinggi, rata-rata sebesar Rp 716 miliar (2010). Sebaliknya, yang tergolong tertinggal (183 kabupaten) yang mempunyai indeks fiskal rendah dan indeks kemiskinan tinggi malah memperoleh alokasi yang rendah, rata-rata sebesar Rp 486 miliar (2010). Jika konsep yang berlaku sekarang terus dipertahankan, maka akan sulit bagi daerah tertinggal mengejar daerah maju dalam pembangunan, sehingga konsep dana transfer ke depan perlu penyempurnaan (Ismail, et al., 2014). Masalah lainnya, pengeluaran paling besar untuk pemerintah daerah adalah untuk penyelenggaraan administrasi pemerintahan, yang menyerap sebanyak 32 persen dari seluruh pengeluaran pemerintah daerah. Ditambah lagi, lebih dari setengah kenaikan alokasi DAU yang seharusnya digunakan untuk peningkatan penyediaan layanan kepada masyarakat digunakan untuk membiayai belanja pegawai pemerintah provinsi dan kabupaten/kota (World Bank, 2007). Selain persoalan fiskal, sejak penerapan otonomi daerah, sekitar 70 persen dari total kepala dan wakil kepala daerah diseret ke meja hijau. Anehnya, data statistik itu tidak menggentarkan pejabat-pejabat lain (KPK, 2016). Penelitian ini menunjukkan desentralisasi tidak serta merta dapat mengurangi ketimpangan pendapatan di Indonesia, bahkan setelah berjalan hampir dua dekade. Terdapat banyak persoalan multidimesi yang harus diselesaikan untuk menunjang agar ketimpangan pendapatan dapat diturunkan. Beberapa pemikir ekonomi yang mengkritik teori ekonomi pertumbuhan. Tidak peduli suatu negara menganut sistem sentralisasi atau desentralisasi, pertumbuhan ekonomi tetap akan menciptakan ketimpangan pendapatan seperti yang dikemukakan oleh Baudrillard (2011), bahwa pertumbuhan ekonomi adalah fungsi kemakmuran dan kemiskinan, dimana yang makmur semakin makmur dan yang miskin semakin miskin. Di era desentralisasi proses trickle up effect tetap saja terjadi, dimana kekayaan daerah terus mengalir ke atas/pusat. 66
Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Desentralisasi di Indonesia Lestari Agusalim
5. PENUTUP
5.1. Kesimpulan Merujuk pada latar belakang, tujuan, dan hasil penelitian, dapat disimpulkan beberapa hal diantaranya; (1) pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap indeks gini sebelum diterapkan desentralisasi fiskal. Setiap kenaikan satu persen PDB akan menurunkan indeks gini sebesar 0.0265 persen, (2) pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap indeks gini setelah diberlakukannya desentralisasi. Setiap kenaikan satu persen dalam PDB meningkatkan indeks gini sebesar 0.1199 persen. Artinya semakin tinggi pertumbuhan ekonomi semakin tinggi pula ketimpangan pendapatan sejak desentralisasi diterapkan, dan (3) Ketimpangan pendapatan oleh banyak faktor seperti masih kurang adilnya alokasi pengeluaran pemerintah pusat dan daerah, pengeluaran untuk belanja modal masih sangat rendah, banyaknya kepala daerah yang terjerat masalah hukum. 5.2. Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka ke depan konsep APBN perlu memperhatikan poin-poin berikut. Pertama, alokasi belanja harus diperbaiki dengan memberikan porsi yang lebih besar kepada anggaran pembangunan/belanja modal. Penghematan yang paling mungkin dilakukan diambil dari pos belanja barang dan efisiensi anggaran kementerian dan lembaga, sambil mengurangi praktik korupsi yang terjadi selama ini. Kedua, dana perimbangan seharusnya mempertimbangkan aspek keadilan, yakni daerah yang indeks fiskalnya rendah dan indeks kemiskinannya tinggi seharusnya mendapatkan alokasi dana yang lebih besar. Ketika, dana transfer dimasa depan harusnya juga ditingkatkan, minimal 50 persen dari APBN agar daerah lebih punya ruang dalam membangun wilayahnya. Keempat, penerapan secara utuh sistem pemerintahan daerah yang transparan, akuntabel, efisien dan efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Akai N, Sakata, M. 2005. Fiscal Decentralization, Comittment and Regional Inequality: Evience from StateLevel Cross-sectional Data for the United States. CIRJE-F-315. (http://www.cirje.e.u-tokyo.ac.jp/research/ dp/2005/2005cf315.pdf, diakses tanggal 5 Februari 2016). Amir H. 2012. Ketimpangan Antar-Wilayah Melebar atau Merapat?. Warta Fiskal, V, hal 16-19. (http://www.fiskal. kemenkeu.go.id/2010/kliping/wartafiskal/edisi_5_2012/files/edisi-5.pdf, diakses pada 05 Februari 2016). Arikunto. 2012. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Bina Aksara. Jakarta Baudrillard JP. 2011. Masyarakat Konsumsi. Bantul. Penerbit:Kreasi Wacana. Boediono. 1992.Teori Pertumbuhan Ekonomi. Seri Sinopsis Pengantar Ilmu ekonomi. Edisi 1. Cetakan Ke 5. Jogyakarta. BPFE. Bonet, Jaime. 2006. Fiscal Decentralization and Regional Income Disparities: envidence from the Colombian experience. original version. Deininger K dan Squire L. 1996. Measuring Inequality: A New Data Base (Online). World Bank. (http://www.cid. harvard.edu/hiid/537.pdf, diakses tanggal 5 Februari 2016) Djoyohadikusumo, S. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Cetakan pertama. Jakarta.Penerbit PT. Pustaka LP3ES. Hidayat, S. 2005. Otonomi Daerah, Pilkada dan Komitmen Desentralisasi Politik: Tinjauan atas tiga UU mengenai Otonomi Daerah dalam Pilkada Langsung, Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance. Partnership dan Pusat Kajian Ilmu Politik Fisip UI. Jakarta.
67
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 53-68
Hirawan, S.B. 2007. Desentralisasi Fiskal Sebagai Suatu Upaya Meningkatkan Penyediaan Layanan Publik (Bagi Orang Miskin) di Indonesia. Jakarta: UI. Jhingan M.L. 1993. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta Raja Grafindo Perkasa. Ismail, M., Santoso,D.B., dan Yustika, A.E., 2014. Sistem Ekonomi Indonesia: tafsiran Pancasila dan UUD 1945. Jakarta. Penerbit Erlangga. Kuncoro M, 2004, Otonomi dan Pembangunan Daerah. Jakarta. Erlangga. Kuznets S. 1971. Economics Growth of Nations. Cambridge: Harvard University Press. Mankiw NG. 2007. Makroekonomi: Edisi 6. Pent. Fitria Liza dan Imam Nurmawan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Mercado, R.G. 2002. Regional Development in the Philippine: A Review of Experience, State of the Art and Agenda for Research and Action. Discussion Paper Series. Philippine Institute for Development Studies. Ravallion M dan Datt G. 1996. How important to India’s poor is the sectoral composition of economic growth? World Bank Economic Review 10 (1), 1-25. Sukirno S. 2006. Ekonomi Pembangunan Proses Masalah dan Dasar Kebijakan. Cetakan Ketiga. Jakarta. Penerbit Kencana. Setiadi H. 2009. Konsep Pusat-Pinggiran: Sebuah Tinjauan Teoritis. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. Working Paper No. KKI-01/KBP-PW/2009. Taringin, R. 2002. Rencana Pembangunan Wilayah. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Medan. Tiebout C. 1956. “A Pure Theory of Local Expenditures”, Journal of Political Economy, 64, pp.416-424 . Todaro MP dan SC Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jilid 1. Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga. Todaro MP. 2003. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Alih Bahasa: Aminuddin dan Drs. Mursid. Jakarta: Ghalia Indonesia. UNDP. 1997. Reconceptualising Governance: Discussion paper No.2. The Principles of Good Governance. Wahyuni H. 2004. Is There A Link Between Increased Growth And Reduced Income Inequality? Analysis Of CrossCountry Studies. Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Vol 1, No.1, Februari, hal 1-9. Waluyo J. 2004. Hubungan antara tingkat kesenjangan Pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi: Suatu studi lintas negara”. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol. 9 No. 1, Juni, hal: 1-20. World Bank. 2007. Kajian Pengeluaran Publik: Memaksimalkan Peluang Baru. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007. Jakarta.
68
Implementasi Perda 8 Tahun 2010 Tentang Pengalihan BPHTB Untuk Meningkatkan PAD Kabupaten Jombang (Dwi Ermayanti)
IMPLEMENTASI PERDA 8 TAHUN 2010 TENTANG PENGALIHAN BPHTB UNTUK MENINGKATKAN PAD KABUPATEN JOMBANG Dwi Ermayanti STIE PGRI Dewantara Jombang
[email protected]
Abstrak
Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) merupakan salah satu sumber pendapatan daerah. Pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah diawali dengan perumusan kebijakan yang dituangkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi UU NO. 8 Tahun 2010 serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi untuk meningkatkan PAD Kabupaten Jombang. Kesimpulan penelitian adalah Implementasi Perda No. 8 tahun 2010 tentang Pengalihan BPHTB, berhasil mencapai tujuannya yaitu meningkatkan PAD di Kabupaten Jombang. Peneliti berharap selanjutnya Pemerintah Kabupaten Jombang lebih menekankan lagi Peraturan Daerah BPHTB dan membuat kebijakan bagi wajib pajak yang melanggar peraturan yang ada. Kata kunci: BPHTB, PBB, Pajak dan Retribusi Daerah
Abstract
Regional autonomy has broad implications on the regional authority to explore and manage local revenue sources. Tax on Acquisition of Land and Building (BPHTB) is one source of local revenue. The BPHTB diversion becomes the local tax started by the policies formulation that set forth in Law No. 28, 2009 on Taxes and Retribution Regional. This study aims to determine the implementation of Law NO. 8 of 2010 on BPHTB to increase Jombang district PAD and determine the factors that affect the implementation of Law NO. 8 of 2010 on BPHTB, to improve Jombang district PAD. The conclusion of the study is the implementation of Regulation No. 8, 2010 on BPHTB diversion, succeeded in achieving its goal of increasing PAD in Jombang. The researchers hope to the Jombang District Government to emphasizes again the BPHTB Regional Regulation and create taxpayers policies for anyone violate the rules Keywords: Tax on Acquisition of Land and Building, Taxes and Retribution Regional
1. PENDAHULUAN
Otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggung jawab yang dilimpahkan pemerintah pusat kepada daerah menuntut pemerintah daerah membentuk badan yang mempunyai tugas untuk mengelola keuangan daerah dan kekayaan daerah. Kabupaten Jombang sebagai daerah otonom juga memiliki badan yang berfungsi mengelola 69
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 69-80
keuangan dan kekayaan daerah yaitu dengan membentuk Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Jombang berkedudukan sebagai unsur penunjang pemerintah daerah yang dipimpin oleh seorang kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati melalui sekretaris daerah. DPPKAD mempunyai tugas membantu Bupati dalam penyelenggaraan pemerintah darah di bidang pengelolaan keuangan dan kekayaan daerah. Dalam menyelengarakan tugas sebagaimana dimaksud, DPPKAD Kabupaten Jombang mempunyai fungsi perumusan kebijakan teknis di bidang pengelolaan keuangan dan kekayaan daerah dan pemberian pelayanan penunjang penyelenggaraan pemerintah daerah. Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari pajak pusat menjadi pajak daerah, merupakan langkah strategis dalam dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia. Kebijakan pengalihan BPHTB ini ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah pada tanggal 15 September 2009 dan Perda No. 8 tahun 2010. Masa transisi pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah berlangsung selama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang efektif berlaku menjadi pajak daerah paling lambat pada tanggal 1 januari 2011, namun bagi daerah yang sudah siap melakukan pemungutan BPHTB sebelum 1 januari 2011 diperbolehkan dengan ketentuan memiliki dasar hukum untuk memungut BPHTB. Selama proses pengalihan tersebut Pemerintah Pusat memerintahkan kepada tiap-tiap daerah Kabupaten/ Kota untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan sarana dan prasarana, serta kebijakan yang mendukung terlaksananya kebijakan pengalihan BPHTB. Kebijakan pengalihan BPHTB sebagai pajak daerah didasarkan pada pemikiran bahwa BPHTB dianggap memenuhi kriteria sebagai pajak daerah yang baik, dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), meningkatkan akuntabilitas daerah (local accountability), serta berdasarkan praktik internasional (internationally good practice). Kabupaten Jombang sebagai daerah otonom harus benar-benar mampu mengelola sumber penerimaan daerah terutama pendapatan asli daerahnya khusunya retrebusi dan pajak daerah karena peranan Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Jombang memang sangat besar dalam kontribusinya terhadap pelaksanaan otonomi daerah penarikan pajak, retribusi, dan peranan BUMD harus benar-benar memberikan kontra prestasi langsung kepada masyarakat pengguna jasa. Potensi penerimaan daerah di Kabupaten Jombang sebenarnya sangatlah banyak, wilayah di kabupaten Jombang terdapat banyak perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Tumbuh dan berkembangnya kawasan ekonomi bisa dijadikan salah satu sumber PAD, hal tersebut berhubungan dengan pajak daerah dan retribusi daerah. Apa lagi di bagian lain wilayah Kabupaten Jombang, juga terdapat pusat pertokoan yang tentu saja terdapat area parkir bagi kendaraan, namun dengan kondisi wilayah ekonomi seperti yang tersebut di atas apakah bisa menjadikan PAD sebagai sumber utama bagi pendapatan daerah di kabupaten Jombang juga memiliki juga memiliki potensi yang lain seperti tempat wisata. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan pokok masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Implementasi UU NO. 8 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Jombang? 2. Faktor apa yang mempengaruhi Implementasi UU NO. 8 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB), untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Jombang?
70
Implementasi Perda 8 Tahun 2010 Tentang Pengalihan BPHTB Untuk Meningkatkan PAD Kabupaten Jombang (Dwi Ermayanti)
2. KAJIAN TEORITIS
Kebijakan pengalihan BPHTB ini ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah pada tanggal 15 September 2009 dan Perda No. 8 tahun 2010. Masa transisi pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah berlangsung selama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang efektif berlaku menjadi pajak daerah paling lambat pada tanggal 1 januari 2011, namun bagi daerah yang sudah siap melakukan pemungutan BPHTB sebelum 1 januari 2011 diperbolehkan dengan ketentuan memiliki dasar hukum untuk memungut BPHTB. 2.1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Berbicara mengenai BPHTB sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UU No. 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. “Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.” Sedangkan “Perolehan 6 hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan”. DPP / Dasar pengenaan Pajak BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Bajak atau disingkat menjadi NPOP. NPOP dapat berbentuk harga transaksi dan nilai pasar. Jika nilai NPOP tidak diketahui atau lebih kecil dari NJOP PBB, maka NJOP PBB dapat dipakai sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB. BPHTB yaitu pajak yang harus dibayar akibat perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan 2.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sumber-sumber Penerimaan Daerah untuk melaksanakan azas desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan (pasal 5 Undang-undang Nomor 33 tahun 2004). Sedangkan Pendapatan Daerah itu sendiri bersumber dari: 1. Pendapatan Asli Daerah, 2. Dana perimbangan dan 3. Lain-lain Pendapatan Adapun sumber-sumber pendapatan asli daerah menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004 yaitu: 1. Pendapatan asli daerah (PAD) yang terdiri dari: 1) Hasil pajak daerah yaitu pungutan daerah menurut peraturan yang ditetapkan oleh daerah untuk pembiayaan rumah tangganya sebagai badan hukum publik. Pajak daerah sebagai pungutan yang dilakukan pemerintah daerah yang hasilnya digunakan untu pengeluaran umum yang balas jasanya tidak langsung diberikan sedang pelaksanannya bisa dapat dipaksakan. 2) Hasil retribusi daerah yaitu pungutan yang telah secara sah menjadi pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik pemerintah daerah bersangkutan. Retribusi daerah mempunyai sifat-sifat yaitu pelaksanaannya bersifat ekonomis, ada imbalan langsung walau harus memenuhi persyaratan-persyaratan formil dan materiil, tetapi ada alternatif untuk mau tidak membayar, merupakan pungutan yang sifatnya budgetetairnya tidak menonjol, dalam hal-hal tertentu retribusi daerah adalah pengembalian biaya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat. 3) Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Hasil perusahaan milik daerah merupakan pendapatan daerah dari keuntungan bersih perusahaan daerah yang berupa dana pembangunan daerah dan bagian untuk anggaran belanja daerah yang disetor ke kas daerah, baik perusahaan daerah yang dipisahkan, sesuai dengan motif pendirian dan pengelolaan, maka sifat
71
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 69-80
perusahaan dareah adalah suatu kesatuan produksi yang bersifat menambah pendapatan daerah, memberi jasa, menyelenggarakan kemamfaatan umum, dan memperkembangkan perekonomian daerah. 4) Lain-lain pendapatan daerah yang sah ialah pendapatan-pendapatan yang tidak termasuk dalam jenis-jenis pajak daerah, retribusli daerah, pendapatan dinas-dinas. Lain-lain usaha daerah yang sah mempunyai sifat yang pembuka bagi pemerintah daerah untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan baik berupa materi dalam kegitan tersebut bertujuan untuk menunjang, melapangkan, atau memantapkan suatu kebijakan daerah disuatu bidang tertentu 2.3. Implementasi Kebijakan Menurut Lineberry (1978) pengambilan kebijakan (policy-making) tidaklah berakhir pada saat kebijakan itu dikemukakan atau diusulkan, tetapi merupakan kontinuitas dari pembuatan kebijakan. Dengan demikian kebijakan hanyalah merupakan sebuah awal dan belum dapat dijadikan indikator dari keberhasilan pencapaian maksud dan tujuan. Proses yang jauh lebih esensial adalah pada tataran implementasi kebijakan yang ditetapkan. Kebijakan tidak lebih dari suatu perkiraan (forecasting) akan masa depan yang masih bersifat semu, abstrak, dan konseptual. Oleh karena itu, setelah dilahirkannya sebuah kebijakan maka kebijakan itu akan masuk pada tahap implementasi agar dapat diketahui sejauh mana keberhasilan pencapaian maksud dan tujuan. Namun ketika telah masuk di dalam tahapan implementasi dan terjadi interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan, barulah keberhasilan maupun ketidakberhasilan kebijakan akan diketahui. Kebijakan-kebijakan hanya akan berupa impian atau rencana yang bagus, yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan). Oleh karenanya ditarik suatu kesimpulan bahwa implementasi merupakan unsur yang sangat penting sebagai kontinuitas dari munculnya suatu kebijakan. Setelah kebijakan diimplementasikan terhadap sekelompok objek kebijakan baik itu masyarakat maupun unit-unit organisasi, maka bermunculanlah dampak-dampak sebagai akibat dari kebijakan yang dimaksud. Irfan Islamy (2000:28) mengatakan bahwa setiap kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan akan membawa dampak tertentu terhadap kelompok sasaran, baik yang positif (intended) maupun yang negatif (unintended). Untuk itu tinjauan efektifitas kebijakan, selain pencapaian tujuan harus diupayakan pua untuk meminimalisir ketidakpuasan (dissatisfaction) dari seluruh stakeholder. Dengan demikian deviasi dari kebijakan tidak terlampau jauh dan niscaya akan mencegah terjadinya konflik di masa yang akan datang 2.4. Rerangka Konseptual Reformasi Perpajakan daerah pada tahun 2009 yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang No. 28 tahun 2009 dan Perda No. 8 tahun 2010 yang telah berdasarkan peraturan yang lebih tinggi tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, membawa perubahan besar dalam pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagai salah satu pajak properti di Indonesia. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dipungut mulai 1 Juli 1998 (berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dikeluarkan pada tanggal 29 Mei 1997) sebagai pajak pusat diubah menjadi pajak daerah dan menjadi salah satu jenis pajak kabupaten/kota. Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 yang dibreakdown dalam Perda No. 8 tahun 2010 yang telah berdasarkan peraturan yang lebih tinggi, perubahan status Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari pajak pusat menjadi pajak daerah ditetapkan mulai berlaku sejak tahun 2011. Satu konsekuensi mendasar untuk melaksanakan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 adalah setiap pemerintah kabupaten/kota yang ingin memungut Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagai sumber penerimaan daerahnya harus 72
Implementasi Perda 8 Tahun 2010 Tentang Pengalihan BPHTB Untuk Meningkatkan PAD Kabupaten Jombang (Dwi Ermayanti)
terlebih dahulu menetapkan peraturan daerah tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang menjadi dasar hukum pemungutannya. Tentunya agar dapat diimplementasikan dengan baik pemerintah daerah juga harus menetapkan aturan pelaksanaannya, mengingat hal-hal yang diatur dalam peraturan daerah umumnya adalah ketentuan pokok saja. Aturan pelaksanaan ini biasanya diwujudkan dalam bentuk peraturan bupati atau peraturan walikota tentang ketentuan teknis pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam penyusunan aturan pelaksanaan, satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengadaptasi aturan pelaksanaan Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam bentuk peraturan pemerintah, peraturan dan keputusan Menteri Keuangan, peraturan dan keputusan Direktur Jenderal Pajak, serta surat edaran Direktur Jenderal Pajak dalam pembuatan peraturan bupati/walikota tentang aturan pelaksanaan pemungutan (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) PBHTB. Apabila dikaitkan dengan salah satu fungsi pajak sebagai sumber penerimaan bagi negara (fungsi budgeter pajak) pemberlakuan BPHTB dilatar belakangi oleh pemikiran untuk meningkatkan penerimaan negara, terutama penerimaan daerah, yang penting bagi penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan nasional. Hal ini mendasarkan pemikiran bahwa subyek pajak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan mendapatkan keuntungan ekonomis dari pemilik suatu tanah dan bangunan sehingga dianggap wajar jika diwajibkan untuk menyerahkan sebagian nilai ekonomis yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran BPHTB. Agar pelaksanaan Undang-Undang BPHTB dapat berlaku secara efektif maka diperlukan kepastian hukum dalam melaksanakan pemungutan BPHTB dalam meningkatkan PAD sehingga wajib pajak dan pejabat umum yang berwenang tidak melakukan penyimpangan dalam pemenuhan kewajiban pajak. Disamping itu ketentuan yang diatur dalam UU BPHTB tidak membahas secara mendalam tentang aturan hak perolehan hak atas tanah dan bangunan sehingga sangat diperlukan peran aktif Direktorat Jenderal Pajak dengtan DPPKAD kabupaten Jombang untuk memasyarakatkan peraturan perpajakan dengan melakukan sosialiasasi perpajakan agar masyarakat dan para pejabat yang berkepentingan dapat memahami aturan pajak secara benar. Pada dasarnya aturan pajak dapat berhasil dengan baik dan mencapai target penerimaan pajak, tidak terlepas dari cara pelaksanaan pemungutan pajak yang dilakukan dengan baik dan juga meningkatkan sosialisasi perpajakan. Berdasarkan kerangka teoritis dapat digambarkan sebagai berikut: Kebijakan pengalihan BPHTB Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah pada tanggal 15 September 2009 dan Perda No. 8 tahun 2010 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Gambar 1. Rerangka Konseptual Sumber: Data diolah 2016 73
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 69-80
3. METODE PENELITIAN
Objek penelitian berada di kabupetan Jombang dengan data sekunder berupa dokumen tertulis yang diperoleh dari arsip-arsip validasi atas pemungutan BPHTB yang ada di DPPKAD Kabupaten Jombang. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik convience sampling dikarenakan data yang diperlukan berupa data kualitatif melalui survey. Metode yang digunakan adalah model interaktif yang terdiri dari tiga alur kegiatan terjadi secara bersamaan setelah masa pengumpulan data, yaitu reduksi data, penyajian data dan Menarik kesimpulan/verifikasi
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, salah satu jenis pajak pusat yang dialihkan menjadi pajak daerah adalah BPHTB. Kebijakan pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah dilakukan melalui suatu proses pembahasan rancangan undang-undang yang cukup panjang antara pemerintah dan dewan perwakilan rakyat. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor strategis serta kondisi daerah yang berbeda-beda, pemerintah dan dewan perwakilan rakyat akhirnya menyepakati pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah dengan beberapa kondisi, antara lain: (1) pemungutan BPHTB dapat dilakukan oleh daerah secara optimal, dan (2) pelayanan kepada masyarakat tidak mengalami penurunan. Dengan Masa transisi pengalihan BPHTB ditetapkan selama 1 (satu) tahun sejak berlakunya UU Nomor 28 Tahun 2009 dan mulai efektif menjadi pajak daerah pada tanggal 1 Januari 2011. Selama masa transisi, Pemerintah melakukan berbagai kegiatan untuk mempersiapkan daerah menerima pengalihan BPHTB dari pemerintah pusat. Dalam pelaksanaan pengalihan suatu jenis pajak, akan terdapat sejumlah kendala dan hambatan, terlebih-lebih apabila jenis pajak tersebut merupakan jenis pajak baru bagi daerah seperti BPHTB. Dalam proses pengalihan BPHTB, akan terdapat beberapa kendala, baik yang bersumber dari kekurangsiapan pemerintah pusat, kekurangsiapan pemerintah daerah, kondisi di lapangan, dan lain-lain. Kendala yang timbul perlu mendapat penanganan segera dan dicarikan pemecahannya untuk kelancaran pemungutan pajak daerah. Hampir seluruh instansi terkait, utamanya jajaran Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri, memberikan kontribusi yang signifikan dalam memperlancar pemungutan BPHTB oleh daerah. Namun demikian, persiapan yang matang dan partisipasi aktif dari pemerintah daerah dalam mengimplementasikan UU Nomor 28 Tahun 2009 merupakan faktor penentu kelancaran pengalihan BPHTB menjadi pajak 15 daerah. Tinjauan pelaksanaan pengalihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah ditujukan untuk memperoleh gambaran mengenai proses pengaliihan BPHTB yang dilakukan oleh Indonesia dengan melihat kelemahan dan kebaikan dalam implementasiya. Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan survai dan analisis berdasarkan fakta dan informasi serta data yang objektif sehingga dapat dilihat keberhasilan dan kekurangan dalam proses pengalihan BPHTB. Dari gambaran yang diperoleh dalam implementasi pengalihan BPHTB yang telah dilakukan, dapat diambil langkah-langkah lanjutan untuk lebih mengoptimalkan pemungutan BPHTB. Hasil pemungutan BPHTB sekarang telah sah dan resmi menjadi pajak daerah, maka hasil dari pemungutan BPHTB merupakan penerimaan Daerah, untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan untuk membiaya pembangunan-pembangunan di Kabupaten Jombang. Hasil dari pemungutan BPHTB melebihi dari target yang telah ditentukan oleh DPPKAD Kabupaten Jombang. Dan Dengan adanya hasil pemungutan BPHTB sebagai pajak daerah, pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Jombang telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan dan pemungutan BPHTB lebih efektif dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jombang
74
902141 37927
realisasi
1.127079929
Pertumbuhan
0.817124048
Sumber: DPPKAD, Tahun 2016
Pertumbuhan
514300 04580
28619 37800
Hasil Penge-lolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan
Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
0.953303083
Pertumbuhan
629402 65579
25392 50080
61,399,604, 457.52
58,532,432, 236.00
Hasil Retribusi Daerah
177842 28520
0.855052747
152064 53443
0.926165939
835532 61780
target
2010
Pertumbuhan
PAJAK DAERAH
Pertumbuhan
PAD
Ket
1.09154 E+11
realisasi
1.86051 E+11
0.908584629
1.69043 E+11
66869 37839
18,311,819, 028.00
0.815894027
54558 32645
190230 22752 0.886335944
0.884759438
16,201,554, 711.00
168607 88825
0.927724756
1.01265 E+11
target
2011
1.24799 E+11
realisasi
3.04233 E+11
0.950731306
2.89244 E+11
90279 01353
21,945,014, 078.00
0.765446821
69103 78387
247051 70574 0.82728941
0.975316405
21,403,332, 249.00
204383 25989
0.928903985
1.15926 E+11
target
2012
245184 00000
0.99339118
2.7538 E+11
187086 28249
2.77212 E+11
0.524287981
98087 08932
0.897559479
25,495,452, 458.00
0.76889303
318879 20746
1.64389 E+11
realisasi
0.849277142
1.39612 E+11
target
2013
22,883,685, 017.00
Tahun 2014
3.22466 E+11
1.035681518
3.33972 E+11
0.85793171
131941 60512
153790 33510
32,329,180, 044.00
0.871422416
1.057732293
34,195,617, 747.00
321795 33254
369275 94068
1.85092 E+11
realisasi
0.935828309
1.73214 E+11
target
Tabel 1. Pertumbuhan Realisasi Komponen PAD Tahun 2010-2015
4.70504 E+11
0.920435762
4.33069 E+11
1.282708788
27875 815861
217319 91025
32,556,321, 839.00
0.796362618
0.956695216
31,146,477, 365.00
53172 537925
667692 53998
3.04065 E+11
realisasi
0.836599314
2.54381 E+11
target
2015
0.937658
0.895558
0.954228
0.834226
0.90075
Rata-rata
Implementasi Perda 8 Tahun 2010 Tentang Pengalihan BPHTB Untuk Meningkatkan PAD Kabupaten Jombang (Dwi Ermayanti)
75
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 69-80
Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah Kabupaten Jombang hampir selalu mengalami pertumbuhan. Rata-rata pertumbuhan pendapatan tertinggi ada pada komponen hasil retribusi daerah yang tumbuh sebesar 95,42%, diikuti oleh lain-lain pendapatan asli daerah yang sah tumbuh sebesar 93,76% dan dana PAD tumbuh sebesar 90,07%. Pertumbuhan yang cukup tinggi pada komponen hasil retribusi daerah selama kurun waktu empat tahun tersebut disebabkan oleh perubahan kebijakan pemerintah. 4.1. Hubungan BPHTB Terhadap peningkatan PAD Kabupaten Jombang Tabel 2. Kontribusi BPHTB terhadap Pendapatan Asli Daerah Ket 2011 2012 2013 2014 2015
Sumber: DPPKAD, Tahun 2016
Realisasi BPHTB 2,931,189,290.00 5,997,262,530.00 5,905,331,650.00 9,361,321,066.00 8,492,049,949.00
Realisasi PAD 109,154,035,427.86 124,799,217,856.05 164,389,353,734.76 185,091,678,239.59 304,065,181,093.38
% 0,026 0,048 0,035 0,050 0,027
Kontribusi BPHTB terhadap Pendapatan Asli Daerah dari tahun 2011 sampai dengan 2012 terus mengalami peningkatan secara signifikandari 0,026 menjadi 0,048, namun pada tahun 2013 kontribusi BPHTB mengalami penurunan dari pada sebesar 0,035. Penurunan ini terjadi karena sektor penerimaan PAD dari non pajak ada kenaikan misalkan dari sisi retribusi, kemudian naik lagi pada tahun 2014 menjadi 0,050. Tahun 2015 kontribusi penerimaan BPHTB mengalami penurunan dari 0,050 menjadi 0,027. Hal ini terjadi karena selain dari penambahan pendapatan dari sisi pajak yang lain seperti diatas juga karena adanya penambahan sektor pajak lain yaitu pajak minerba (mineral batuan bukan logam) yang baru muncul ditahun 2015 sehingga sebenarnya PAD secara umumnya naik tetapi nampak diprosentase BPHTB terkesan turun namun penambahan peritem pajak dari tahun ketahun mengalami kenaikan secara menyeluruh. Dari hasil target dan realisasi Pendapatan Asli Daerah yang diolah oleh DPPKAD Kabupaten Jombang, dapat diketahui bahwa kontribusi BPHTB terhadap dana bagi hasil sangat baik dan signifikan. Dengan adanya kontribusi tersebut, dapat dikatakan bahwa pemungutan BPHTB selama menjadi pajak daerah, hasilnya bisa lebih efektif.
76
Implementasi Perda 8 Tahun 2010 Tentang Pengalihan BPHTB Untuk Meningkatkan PAD Kabupaten Jombang (Dwi Ermayanti)
Tabel 3. Kontribusi BPHTB terhadap Dana Bagi Hasil 2011 2,931,189,290.00
2012 5,997,262,530.00
Tahun 2013 5,905,331,650.00
2014 9,361,321,066.00
2015 8,492,049,949.00
59,338,233,157.00
67,179,738,315.00
74,975,780,651.00
80,859,273,353.00
55,100,653,670.00
0.049
0.089
0.078
0.11
0.15
KET BPHTB Dana Bagi Hasil Kontribusi BPHTB terhadap Dana Bagi Hasil
Sumber: DPPKAD, Tahun 2016 4.2. Implementasi Perda NO. 8 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Jombang Pusat perhatian yang pertama-tama dalam penelitian ini adalah mengenai penerapan Perda Nomor 8 Tahun 2010 yang dalam masa otonomi daerah ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti, idealnya pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi ketergantungan secara keuangan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri, yang salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah yang sebelumnya cenderung membebani Dana Alokasi Umum (DAU) dimana dana tersebut bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang dialokasikan oleh pemerintah pusat. Dengan dikeluarkannya regulasi yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di daerah, pemerintah daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan secara maksimal khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan tentu saja dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranya adalah pajak daerah dalam hal ini kewenangan memungut dan mengelola BPHTB yang menjadi unsur PAD yang utama di Kota Jombang pada khususnya Dalam pelaksanaan sumber daya manusia, anggaran, dan peralatan tersebut diatas memang menemui berbagai macam kendala antara lain dimana wajib pajak tidak mengajukan permohonan yang dilampiri persyaratan yang lengkap seperti sket lokasi dan mengisi formulir/blangko BPHTB sesuai dengan harga perolehan dan keadaan yang sebenarnya, sehingga apabila menimbulkan kecurigaan seperti luas bangunan yang jauh lebih kecil daripada luas tanah perlu dilakukan cek lapangan, namun segala kendala dan persoalan yang terjadi tetap bisa terpecahkan.
5. PENUTUP
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat dikemukakan kesimpulan Implementasi Perda no. 8 tahun 2010 tentang BPHTB, untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (Studi Kasus Di DPPKAD Kab. Jombang) adalah : 1. Sudah terdapat beberapa persiapan yang dilakukan dalam pelaksanaan BPHTB yang beralih sistem, seperti Peraturan Daerah Kabupaten Jombang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
77
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 69-80
Bangunan, perlu disusun Tata Cara Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan salah satunya terdapat alur penerimaan dan pelayanan untuk pelaksanaan pembayaran BPHTB, syarat syarat yang harus dipersiapkan wajib pajak, juga beberapa persiapan lainnya yang dilakukan di DPPKAD. Tercatat selama periode pengamatan dalam Laporan Anggaran dan Realisasi Pendapatan kabupaten Jombang Tahun 2011 sampai dengan 2012 mencapai peningkatan yang cukup signifikan. Dari yang dianggarkan 139.612.120.593,18 dengan realisasi 164.389.353.734,76 dengan keseluruhan PAD yang menjadi target Pemerintah Daerah. Dengan demikian PAD dengan adanya kontribusi BPHTB menurut anggaran adalah sebesar Rp. 3.000.000.000,00 dan target yang dapat dicapai adalah sebesar Rp. 5.997.262.530,00 sehingga bisa dikatakan bahwa BPHTB berhasil menyumbang hampir setengah dari total PAD yaitu 49,13% karena kesiapan dari DPPKAD kabupaten Jombang yang terus menjadi fokus utama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat wajib pajak BPHTB. 2. Faktor-faktor yang menyebabkan Implementasi PERDA No. 8 Tahun 2010 Tentang Pengalihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB), Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (Studi Kasus Di DPPKAD Kab. Jombang) adalah : a. Karena masih kurangnya komunikasi antara pihak DPPKAD dengan masyarakat yang tinggal di pedesaan, sehingga masih banyak transaksi peralihan hak atas tanah dan bangunan yang belum dilaporkan oleh masyarakat. b. Masih adanya masyarakat yang melaporkan kewajiban perpajakannya tidak seperti yang seharusnya, masyarakat memanipulasi harga jual tanah dan atau bangunan agar pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dibayarkan kecil. 5.2. Saran 1. Legalitas dan transparansi dari proses pengalihan pajak BPHTB hendaknya harus disosialisasikan dengan lebih jelas dan terarah sehingga mudahkan pemahaman dari masyarakat pembayar pajak BPHTB. 2. Kebijakan mengenai pajak BPHTB yang dibuat oleh Pemerintah Daerah harus didasarkan tidak hanya untuk meningkatkan pendapatan daerah tetapi juga bermanfaat untuk masyarakat secara luas.
DAFTAR PUSTAKA
Anon., n.d. Undang-Undang RI no. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. s.l.:s.n. Anon., Undang-Undang RI No.33 Tahun 2004 Tentang Pertimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah . s.l.:s.n. ARIWIRAWAN, S. (2014). Analisis implementasi dan peranan pajak bumi dan bangunan perkotaan pedesaan (PBB-P2) dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) di Kabupaten Sinjai (Doctoral dissertation). Asshiddqie, J., 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta Barat: Bhuana Ilmu Populer . Bagong, S.S., 2008. Metode Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta : Kencana. Bratakusumah, S. D. dan Solihin, D., 2001. Otonomi Penyelengaraan Pemerintah Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama . Chusnul, C., 2007. Pengaruh Peran Koordinasi Pemungutan Terhadap BPHTB di Propinsi DKI Jakarrta Dengan Sistem Self Assement.
78
Implementasi Perda 8 Tahun 2010 Tentang Pengalihan BPHTB Untuk Meningkatkan PAD Kabupaten Jombang (Dwi Ermayanti)
Fauzan, M., 2012. Akuntansi dan Efektivitas Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kota Semarang Periode Tahun 2008-2011. Diponegoro Journal Of Accounting Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012. Gunadi, 2002. Ketentuan Dasar Pajak Penghasilan. Jakarta: Salemba Empat. Halim, A., 2002. Seri Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat. Halim, A. dan Damayanti, T., 2007. Seri Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Pengelola Keuangan Daerah. yogyakarta : UPP STIM YKPN. Hasan , M. I., 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta : Ghalia. Huda, N., 2009. Hukum Pemerintahan Daerah. 1 ed. Bandung: Nusa Media. Kuntana, M., 1984. Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Otonom dan Wilayah Administratif. Bandung: Armico. Masri, S. dan Efendi, S., 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.. Nurcholis, H., 2007. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: Grasindo. Rianto, N., 2000. Otonomi Daerah Desentralisasi Tanpa Revolusi. Jakarta: Elex Media Komputindo. Rianto, N., 2003. Kebijakan Publik, Fomulasi, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta: Elex Media Komputindo. Rianto, N., 2008. Public Policy : Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan. Jakarta: Elex Media Komputindo. Santoso, A. W., Nangoi, G. B., & Pusung, R. J. (2015). Evaluasi pemungutan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (bphtb) di dinas pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset daerah (dppkad) kabupaten halmahera utara. Jurnal riset ekonomi, manajemen, bisnis dan akuntansi, 3(1), 398-407 Siahaan, S.P.M., 2005. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta: Rajawali Pers. Silitonga, R. L. 2012. Intensifikasi pemungutan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (bphtb) di kota semarang berdasarkan perda kota semarang nomor 2 tahun 2011. Unnes law journal, 1(1). Siregar, D.D., 2004. Manajemen Aset, Strategi Penataan Konsep Pembangunan Berkelanjutan Secara Nasional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama . Soewardi, T. J., dan Ananda, C. F. 2014. Dinamika pengelolaan bphtb setelah dialihkan menjadi pajak daerah (studi kasus pada kota kediri di provinsi jawa timur). Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB Universitas Brawijaya, 2(2). Siswanto, S., 2006. Hukum Pemerintahan di Daerah Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Nugroho S.T., 2007. Paradigma Baru Pengelola Keuangan Daerah Dalam Penyusunan APBD di Era Otonomi. Malang: banyumedia . Soehino, 1991. Perkembangan Pemerintah Daerah. Yogyakarta: Liberty. Steers, R. M., 1984. Efektivitas Organisasi. Jakarta: Erlangga. Sumitro, R., 2000. Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan. IX ed. Bandung: Eresco. Surakhmad , W., 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah 9 Dasar Metode Teknik. Bandung: Tarsito. Sutedi, A., 2009. Implikasi Hukum atas Sumber Pembiayaan Daerah dalam Kerangka Otonomi Daerah. Jakarta : Sinar Grafika . Syamsudin, H., 2007. Desentralisasi dan Otonomi Daerah ( Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. Jakarta: LIPI Press. Tjandra, R., 2008. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya . Wahyudi, K., 2004. Desentralisasi Fiskal “ Politik dan Perubahan Kebijakan 1974-2007. Jakarta: Prenada Media Group. Wasistiono, S., n.d. Kapita Selekta Pengelngaraaan Pemerintah Daerah. Bandung: Alqpint Jatinangor. Widjaja, H., 2002. Otonomi Derah dan Daerah Otonom. 2 ed. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 79
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 69-80
Widjaja, H., 2007. Penyelengara Otonom Daerah di Indonesia. Jakarta: PT: Raja Grafindo Persada . Winarna, A. S., n.d. Otonomi Daerah di Era Reformasi. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Winarno, S., 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah : Dasar Metode dan Teknik. Bandung: Tarsito. Yeni, A., 2008. Hubungan Keungan Daerah Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Jakart: Rajawali Pers.
80
Analisis Pengendalian Kualitas Produk Dengan Metode Six Sigma Pada Perusahaan Percetakan PT. Okantara (Rr. Rieka F. Hutami dan Camelia Yunitasari)
ANALISIS PENGENDALIAN KUALITAS PRODUK DENGAN METODE SIX SIGMA PADA PERUSAHAAN PERCETAKAN PT. OKANTARA Rr. Rieka F.Hutami 1, Camelia Yunitasari 2 1,2 Fakultas Ekonomi & Bisnis/ Universitas Telkom
[email protected]
Abstract
This study aims to analyze the implementation of quality control in printing company, causes defective product brochures, as well as knowing the quality control measures that can be implemented based on the analysis of Six Sigma DMAIC approach. We used production data spesific on number of defective product brochures PT Okantara in the period May 2013 - April 2015. The results of this analysis indicate the performance of the production process during the month of May 2013 - April 2015 resulted in sigma level is at 3.78. The root causes of the five factors that cause deviation by a factor method. Priority proposed repairs done on the potential causes are worth RPN 859 are factors working procedures in the corporate environment is not running properly Keywords: Six Sigma, Quality Control, Product Defects, DMAIC
Abstrak
measures that can be implemented based on the analysis of Six Sigma DMAIC approach. We used production data spesific on number of defective product brochures PT Okantara in the period May 2013 - April 2015. The results of this analysis indicate the performance of the production process during the month of May 2013 - April 2015 resulted in sigma level is at 3.78. The root causes of the five factors that cause deviation by a factor method. Priority proposed repairs done on the potential causes are worth RPN 859 are factors working procedures in the corporate environment is not running properly Penelitian ini memiliki tujuan untuk melakukan analisis dari implementasi kontrol kualitas pada perusahaan yang bergerak di bidang industri percetakan dan grafika yang memiliki tingkat rata-rata pencetakan brosur cacat yang tinggi. Dalam penelitian ini dilakukan analisis dengan pendekatan six sigma DMAIC. Data diperoleh dari Keywords: Six Sigma, Quality Control, Product Defects, DMAIC
1. PENDAHULUAN
Terdapat peningkatan di beberapa sektor industri di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir (Thornton, 2015), khususnya di industri percetakan dan grafika (http://analisadaily.com, 2015). Informasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa industri percetakan serta reproduksi media skala mikro dan kecil pada triwulan I-2014 meningkat dibanding triwulan sebelumnya yaitu mencapai 10,17%. (Adam dalam vivanews, 2014). 81
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 83-96
Selain merupakan kondisi yang positif, beberapa perusahaan juga menganggap hal ini adalah sebuah ancaman yang menyebabkan persaingan makin ketat yang mengharuskan perusahaan memiliki pembeda dari perusahan lainnya (Zimmerer, 2008, p.161). Di Indonesia, tercatat sejumlah 492 perusahaan percetakan yang resmi terdaftar pada data Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (KEMENPERIN). Meskipun pada kenyataannya diperkirakan jumlah perusahaan percetakan lebih dari 10.000 perusahaan(Print media, 2015). Perusahaan percetakan terbanyak ada di Pulau dan Jawa Timur menjadi provinsi kedua terbanyak untuk keberadaan perusahan-perusahaan tersebut dengan jumlah 108 perusahaan, setelah sebelumnya DKI Jakarta menempati peringkat teratas dengan jumlah 142 perusahaan (Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, 2015). Surabaya merupakan salah satu kota besar di Jawa Timur yang mengalami pertumbuhan seiring bertambahnya wirausaha muda yang bergerak di sektor industri kreatif guna untuk memenuhi permintaan pasar terhadap solusi cetak dan percetakan digital, selain karena Surabaya adalah kota terbesar kedua setelah Jakarta, Surabaya pun dianggap sebagai pintu masuk ke Indonesia Timur (Citra dalam antarajatim, 2015). PT. Okantara adalah salah satu perusahaan yang hadir dalam industri percetakan di Jawa Timur yang berlokasi di Surabaya. Perusahaan yang telah mampu menyediakan jasa percetakan besar seperti kebutuhan kampanye, brosur, serta majalah ini sudah berdiri selama 14 tahun. Berdasarkan data produksi brosur dalam 2 tahun terakhir total jumlah produksi adalah sebanyak 673.000 lembar. Jumlah produksi dalam sebulan adalah 28.042 lembar, dengan rata-rata brosur cacat adalah sebanyak 1.278 lembar brosur yang cacat. Tingkat kecacatan tertinggi pada Oktober 2014 yaitu 5,05% dan tingkat kecacatan terendah pada Maret 2014 yaitu 3,60%. Seharusnya tingkat produk cacat dapat ditekan dan perusahaan mampu melakukan proses produksi yang lebih baik karena adanya tingkat kecacatan terendah sebesar 3,16% tersebut. Dari data tersebut, didapatkan bahwa rata-rata produk yang cacat masih sebesar sebesar 4,57%. Meminimalisir cacat produksi, memangkas waktu pembuatan produk, dan menghilangkan biaya adalah merupakan cara dalam mengendalikan kualitas yang diharapkan dapat menjaga kepuasan konsumen (Byungwan, 2012, p.98). Cacat produksi akan berdampak buruk bagi perusahaan, dimana akan banyak waktu yang terbuang serta bertambahnya biaya produksi karena harus memproduksi ulang produk tersebut. Terlebih lagi jika produk cacat sampai ketangan konsumen, ini akan mempengaruhi citra dari perusahaan sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan hilangnya peluang bisnis dimasa mendatang serta menurunnya pangsa pasar (Iqbal, 2004, p.86). Saat citra perusahaan menurun karena kepuasan konsumen berkurang akibat produk cacat, maka dapat dipastikan konsumen tersebut dapat mencari perusahaan lain yang dianggap memberikan kepuasan yang lebih karena dasar dari loyalitas sendiri terdapat dalam kepuasan pelanggan oleh karena itu saat kepuasaan pelanggan semakin tinggi maka tingkat loyalitas konsumen akan semakin tinggi pula (Arifin, 2011, p.133). Pernyataan tersebut didukung oleh data produksi salah satu jasa yang disediakan PT. Okantara, yaitu brosur dalam periode Mei 2013 sampai dengan April 2015. Untuk terus dapat bersaing, PT. Okantara harus mencapai kecacatan terendah dan akan lebih baik lagi jika dapat meminimalisir tingkat cacat produk, sehingga dapat meningkatkan kepuasan konsumen. Sesuai dengan latar belakang di atas, dalam penelitian ini akan dibahas mengenai penerapan pengendalian kualitas brosur pada PT. Okantara berdasarkan metode six sigma, sehingga dapat diketahui apa saja faktor penyebab timbulnya brosur cacat pada PT. Okantara menggunakan metode six sigma dengan pendekatan DMAIC.
82
Analisis Pengendalian Kualitas Produk Dengan Metode Six Sigma Pada Perusahaan Percetakan PT. Okantara (Rr. Rieka F. Hutami dan Camelia Yunitasari)
2. KAJIAN TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Manajemen Kualitas Manajemen kualitas merupakan salah satu aspek dalam sepuluh keputusan dalam manajemen operasi yang memiliki peran penting bagi perusahaan.(Heizer dan Render (2011, p.3). Menurut Gaspersz (2011, p.9) manajemen kualitas adalah suatu cara yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja secara terus-menerus pada setiap level operasi atau proses, dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi dengan menggunakan semua sumber daya manusia dan modal yang tersedia. Hal ini bertujuan untuk mengetahui keinginan pelanggan terhadap kualitas, serta menentukan prosedur baku untuk mencapai syarat standar kualitas tersebut. Perusahaan yang berada pada persaingan baik perusahaan besar maupun kecil bergantung kepada cara mereka mengelola kualitasnya, terutama karena biaya untuk kualitas penting bagi keberlangsungan perusahaan, penerapan manajemen kualitas seperti Six Sigma dan pendekatan lainnya (TQM,Kaizen, dan lain-lain) sangat diperlukan (Deshmukh & Chavan,p.157). 2.2. Pengendalian Kualitas Dengan Six Sigma Menurut Gaspersz (2011, p.10) pengendalian kualitas adalah penggabungan teknik serta aktivitas operasional yang dimaksudkan untuk memenuhi syarat standar sebuah kualitas. Penentuan waktu dalam melakukan pengendalian kualitas dilakukan pada saat tahap perencanaan untuk mengukur kinerja aktual. Mukherjee (2006, p.267). Terdapat 4 pengelolaan kualitas yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja, terdiri dari Statistical Process Control (SPC), Total Quality Management (TQM), Sistem Manajemen Mutu ISO seri 9000 dan Six Sigma. (Syukron dan Kholil, 2013, p.11). Six Sigma merupakan pendekatan yang banyak digunakan untuk mengidentifikasi dan menghilangkan cacat, kesalahan atau kegagalan pada proses bisnis dengan cara fokus pada kinerja proses yang memiliki arti penting bagi konsumen (Anthony, 2008, p.420-423). Six sigma juga digunakan untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi gagal, kesalahan dan kegagalan yang mungkin berakibat pada suatu proses atau system (Nakhai & Neves, 2009). Namun, tidak hanya semata-mata menghilangkan cacat yang merupakan tujuan khususnya, Six Sigma memiliki fungsi yang lebih besar yaitu fokus kepada kontrol kualitas, dimana pada fungsi ini diharapkan adanya tindakan pencegahan dari memproduksi barang cacat (Nakhai & Neves, 2008, p.664). Selain sebagai alat statistik, filosofi manajemen operasi, dan metode analisis, six sigma juga dianggap sebagai budaya bisnis, dimana kesuksesan six sigma tidak hanya bergantung kepada metode dan alat statistik saja melainkan komitmen dari manajemen level atas yang menjamin keterlibatan karyawan dalam organisasi (Tjahjono, et al.,2010). Pada six sigma, tindakan pencegahan ini berupa pencapaian target kualitas yang diharapkan adalah 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO) untuk setiap transaksi produk (barang dan/atau jasa) dalam upaya meningkatkan kualitas menuju kesempurnaan (zero defect – kegagalan nol) dalam Gaspersz (2008, p.310). Untuk menuju tujuan tersebut digunakan 5 tahapan pengaplikasian pengendalian kualitas dengan six sigma. Tahapan tersebut terdiri dari Define, Measure, Analyze, Improve serta Control (DMAIC). Pada tahap Define digunakan tools diagram SIPOC (as-is) seperti pada penelitian (Aditya, 2013:38) untuk mengetahui alur proses bisnis saat ini. Pada tahap Measure digunakan tools perhitungan DPMO seperti pada penelitian Jirasukprasert (2013, p.9) untuk mengetahui tingkat sigma perusahaan saat ini berdasarkan produksinya. Pada tahap Anaylze digunakan tools diagram sebab-akibat seperti pada penelitian Ferirra (2013, p.1466) untuk mengetahui akar penyebab kecacatan pada produksi dan five whys seperti pada penelitian Aditya (2013, p.44) untuk menganalisis lebih dalam penyebab paling dasar dari akar penyebab yang sebelumnya telah ditemukan. Pada tahap Improve digunakan tools diagram SIPOC (to-be) menurut Reinke (2010, p.27) untuk mengembangkan alur proses bisnis yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya dan FMEA seperti pada penelitian Karandikar (2014, p.2549)
83
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 83-96
untuk mengidentifikasi kegagalan serta mengukur tingkat keparahan efek sehingga dapat dijadikan rekomendasi tindakan untuk mengurangi atau menghilangkan penyebab kecacatan. Terakhir pada tahap control digunakan tools control chart menggunakan p-chart seperti pada penelitian Artharn (2013, p.27) untuk mengetahui apakah produksi terdapat dalam batas kendali dilihat dari produksi cacatnya. 2.3. Penerapan Six Sigma di UMKM Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa Six Sigma banyak diterapkan di perusahaan besar dan masih sedikit bukti yang menunjukkan bahwa UMKM menerapkan six sigma (Deshmukh & Chavan,p.157). Manfaat penerapan Six Sigma di perusahaan besar terhadap peningkatan kualitasnya dan bagaimana hal tersebut juga berdampak bagi kepuasan konsumen dapat dijadikan pertimbangan bagi UMKM untuk menerapkan Six Sigma. Studi yang dilakukan oleh Deshmukh & Chavan (2012, p.165) menunjukkan bahwa beberapa area di UMKM yang dapat diperhatikan sebagai aspek pendukung kualitas adalah komitmen manajemen, strategi bisnis, ketersediaan sumber daya, peningkatan kemampuan teknis serta budaya yang berorientasi kepada kualitas di UMKM yang tidak dikelola dengan baik. Kebanyakan pelaku usaha menerapkan budaya kualitas dengan cara yang tidak sistematis, namun hal ini perlu kajian mendalam. Meskipun demikian salah satu potensi yang memudahkan penerapan Six Sigma di UMKM adalah lebih mudah mendapatkan dukungan dan komitmen manajemen, namun tantangan lainnya adalah mendapatkan pegawai yang terlatih dan terdidik untuk menerapkan Six Sigma ini. Meskipun ada pegawai, mereka sudah tidak memiliki waktu untuk mengikuti pelatihan karena kesibukan dengan kegiatan operasional perusahan sehar-hari (Anthony, 2008,p.423). Oleh sebab itu, studi mengenai penerapan Six Sigma di UMKM masih memiliki peluang besar untuk dilakukan.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian mixed methods. Menurut Sugiyono, (2012, p.404) metode penelitian kombinasi (mixed methods) adalah suatu metode penelitian dimana mengkombinasikan atau menggabungkan antara metode kuantitatif dan metode kualitatif untuk digunakan secara bersama-sama dalam suatu kegiatan penelitian, sehingga diperoleh data yang lebih komperhensif, valid, reliabel dan obyektif. Penelitian ini menggunakan dua tipe data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer yang didapat dari hasil wawancara dan observasi. Wawancara digunakan untuk mengklarifikasi hasil perhitungan, dimana wawancara ini dilakukan kepada narasumber yang terpilih sebagai sampel dengan menggunakan teknik sampel purposive, yaitu direktur yang juga merangkap sebagai manajer produksi dari PT Okantara dan karyawan bagian produksi yang membantu menjelaskan serta mengumpulkan data yang dibutuhkan. Sementara observasi dilakukan dengan cara observasi pasif, dimana peneliti mengamati lokasi objek penelitian tanpa ikut terlibat dalam kegiatan apapun (Nawawi,2012, p.186). Data sekunder didapat dari data produksi yang dimiliki oleh PT Okantara, dengan sampel yang dipilih adalah data produksi brosur serta data produksi cacat brosur perbulan dalam rentan waktu Mei 2013 - April 2015 dikarenakan pada rentang waktu inilah data dianggap lengkap. Untuk mengetahui validitas data, digunakan dua metode yang berbeda. Trianggulasi teknik digunakan untuk menguji keabsahan hasil wawancara. Sementara untuk data sekunder karena data tersebut sudah melalui pengolahan maka dalam penelitian ini digunakan uji normalitas untuk mengetahui sebaran data yang didapat apakah sudah berdistribsi normal dengan menggunakan teknik uji kolmogorov smirnov serta uji liliefors digunakan sebagai bentuk koreksi dari uji kolmogorov smirnov dengan bantuan program SPSS Versi 21.
84
Analisis Pengendalian Kualitas Produk Dengan Metode Six Sigma Pada Perusahaan Percetakan PT. Okantara (Rr. Rieka F. Hutami dan Camelia Yunitasari)
Tabel 1. Hasil Normalitas SPSS Produksi Cacat
statistic .166 .130
Kolmogorov-Smirnov df 24 24
Sig. .087 .200*
statistic .885 .933
Shapiro-Wilk df 24 24
Sig. .010 .114
Tabel.1 menunjukkan bahwa nilai Sig. data produksi 0,087 sedangkan data cacat 0,200. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, dengan taraf signifikansi uji sebesar 0,05 maka data produksi berdistribusi normal karena 0,087 > 0,05 dan data cacat berdistribusi normal karena 0,200 > 0,05. Dapat dikatakan bahwa data yang diuji ini adalah sampel yang dapat mewakili populasi data produksi dan data cacat PT Okantara.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 . Analisis Pengendalian Kualitas Untuk Mengurangi Produk Cacat Brosur Pada PT Okantara Menggunakan Metode Six Sigma Metode analisa pengendalian kualitas untuk mengurangi produk cacat di PT Okantara menggunakan metode six sigma dan DMAIC yang menjabarkan lima langkah prosedur penerapan solusi dari akar penyebab masalah kualitas yang memiliki hubungan dalam tiap tahapnya. Tiap tahapnya saling berurutan saling menguatkan hasil yang didapat sehingga pada akhirnya dapat ditemukan cara terbaik sebagai pengendalian kualitas. Tahap DMAIC dalam six sigma terdiri dari Define, Measure, Analyze, Improve dan Control (DMAIC). Penjelasan secara rinci akan dijelaskan dalam sub bab selanjutnya. 4.1.1 . Tahap Pertama: Define Tahap pertama dalam DMAIC adalah Define dilakukan dengan mendefinisikan alur proses bisnis yang saat ini terjadi pada PT Okantara. Diagram SIPOC (as-is) digunakan untuk menyajikan alur proses dari pemasok hingga sampai ke tangan konsumen. Diagram SIPOC (as-is) pada produksi brosur PT Okantara dapat dilihat pada Gambar 1. berikut.
Gambar 1. Diagram SIPOC (As-Is) Produksi Brosur PT Okantara 85
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 83-96
Berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini, pada tahap define, PT Okantara memiliki informasi jelas mengenai supplier, input, process, output serta customer yang terlibat dalam proses bisnis mereka saat ini. Hal ini menunjukan bahwa PT Okantara telah memiliki dasar alur proses yang jelas. Sejalan dengan apa yang diungkapkan Aditya (2013, p.38) dalam penelitian terdahulu bahwa perusahaan dikatakan berkualitas apabila memiliki sistem produksi yang baik dengan proses yang terkendali salah satunya dengan memiliki penggambaran proses produksi yang jelas. Penggambaran proses produkti tersebut dapat digambarkan menggunakan diagram SIPOC (as-is). 4.1.2 . Tahap Kedua: Measure Langkah kedua yang digunakan dalam metode six sigma adalah measure. Tahap ini dilakukan dengan perhitungan menggunakan data produksi dan data cacat produksi brosur PT Okantara periode Mei 2014 sampai dengan April 2015. Rumus DPU (defect per unit) sebagai penghitung proporsi cacat produk dan DPMO (defect per million opportunity) sebagai penghitung produk cacat dalam satu juta kesempatan untuk kemudian menemukan letak level sigma perusahaan berdasarkan hasil produksinya. Tabel 2 . Data Produksi Cacat PT Okantara Mei 2013 - April 2015
Total
Potongan Tidak Sesuai 9.165
Warna Tidak Rata 8.948
Robek
Terlipat
Jumlah Cacat
7.636
4.927
30.676
Jumlah Produksi 673.000
Untuk perhitungan DPU dan DPMO rumus yang digunakan adalah DPU = Jumlah Cacat = 30.676 = 0,04558098 Jumlah produksi 673.000 DPMO = Jumlah Cacat Jumlah kesempatan
x 1.000.000 = 11.395,2452 673.000 x 4
Perhitungan dari keempat kriteria cacat brosur dalam dua tahun terakhir pada PT Okantara menghasilkan defect per unit (DPU) sebesar 0,04558098 dan defect per million oportunity (DPMO) sebesar. 11.395,2452. Berdasarkan tabel konversi sig sigma , maka 11.395,2452 DPMO berada pada:
12.225 - 11.395,2452 = 11.395,2452 – 10.724 829,7548X - 3.153,06824 = 1.501X =
3,75 - X X -3,8 2.517,1695 - 671,2452X 5.670,23774
X = 3,77764007
Hasil ini menunjukkan bahwa berdasarkan tabel konversi sig sigma, kualitas produksi PT Okantara berada pada sigma level 3,7 ~ 4 dengan nilai 11.395,2452 DPMO. PT Okantara berada diatas sigma level 3 dengan nilai DPMO 66.807 dan dibawah sigma level 5 dengan nilai DPMO 233. Meskipun level yang dicapai termasuk dalam level rata-rata industri di USA, namun untuk menjadi industri kelas dunia, PT Okantara harus dapat mencapai sigma level 6 Gasperz (2008). Untuk mencapai sigma level 6 tersebut, PT Okantara paling tidak harus menghasilkan 86
Analisis Pengendalian Kualitas Produk Dengan Metode Six Sigma Pada Perusahaan Percetakan PT. Okantara (Rr. Rieka F. Hutami dan Camelia Yunitasari)
sekitar 3 brosur cacat per sejuta produksi. Sesuai dengan penelitian terdahulu sebagaimana diungkapkan oleh Jirasukprasert (2013, p.9) yaitu apabila sebuah perusahaan belum dapat mencapai sigma level 6, maka dapat digolongkan masih belum menjadi perusahaan yang kompetitif. Meskipun demikian, hal ini dapat dimaklumi karena untuk berpindah dari satu level sigma ke satu level lain memang memerlukan waktu yang tidak singkat. 4.1.3 . Tahap Ketiga : Analyze Tahap ini dilakukan dengan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi dan yang paling dominan yang menyebabkan terjadinya kecacatan produk sehingga dapat dilakukan perbaikan. Tools yang digunakan untuk menganalisis faktor tersebut yaitu diagram sebab-akibat.
Gambar 2. Diagram Potongan Tidak Sesuai
Gambar 3. Diagram Warna Tidak Sesuai
87
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 83-96
Gambar 4. Diagram Sobek Tidak Rata
Gambar 5. Diagram Terlipat Tahap kelima dari DMAIC adalah analyze yang mempergunakan dua alat yang saling berhubungan. Alat pertama yang digunakan adalah diagram sebab-akibat. Melalui diagram ini ditemukan penyebab kecacatan pada 5 faktor utama yaitu manusia, metode, bahan baku, mesin dan lingkungan. Setelah ditelaah menggunakan alat kedua yaitu analisis five whys, penyebab dapat diperkecil lagi kemungkinannya. Five whys menemukan bahwa akar permasalahan yang paling mendasar dari kelima faktor tersebut adalah faktor metode yang selanjutnya akan dibahas lebih lanjut tentang cara-cara yang dilakukan untuk memperbaiki penyebab kecacatan melalui SIPOC (tobe) pada langkah selanjutnya.
88
Analisis Pengendalian Kualitas Produk Dengan Metode Six Sigma Pada Perusahaan Percetakan PT. Okantara (Rr. Rieka F. Hutami dan Camelia Yunitasari)
Hasil analisa menggunakan diagram sebab-akibat diketahui ada empat kriteria kecacatan brosur di PT Okantara diantaranya adalah kriteria cacat potongan tidak sesuai, kriteria warna tidak rata, kriteria sobek dan kriteria terlipat yang banyak dipengaruhi oleh faktor mesin dengan jumlah 4. Sedangkan untuk kriteria sobek dan terlipat, masing-masing faktor yang paling banyak mempengaruhi adalah faktor manusia, mesin dan bahan baku yang sama-sama berjumlah 2 serta faktor bahan baku dengan jumlah 3. Dengan mengetahui faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab kecacatan, maka PT Okantara dapat menentukan langkah-langkah untuk meminimalisir akan terjadinya sebab-sebab tersebut dikemudian hari sehingga kecacatan dapat dihindari. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ferreira et al (2013, p.1466) dalam penelitiannya, dimana diagram sebab-akibat dapat mengidentifikasi potensi sebab kecacatan. Kemudian sebab-sebab yang berpotensi tinggi akan dihilangkan atau diubah sehingga proses produksi juga akan lebih efektif. Untuk five whys yang masih dalam tahap analyze, pada penelitian ini diperoleh akar-akar penyebab dari tiap faktor penyebab dari kriteria cacat. Dari ketiga akar masalah yang paling banyak muncul ini, dapat menghasilkan 40 potensi penyebab kecacatan produk. Sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Aditya (2013, p.44) dimana analisis five whys dapat mengungkap akar permasalahan mendasar dari banyaknya penyebab, sehingga pada akhirnya permasalahan dapat lebih cepat dan tepat diatasi karena merujuk langsung ke akar 4.1.4 . Tahap Keempat: Improved Berbeda pada tahap SIPOC (as-is) pada langkah define, SIPOC (to-be) menjelaskan alur proses dari pemasok hingga ke tangan konsumen yang akan diinginkan PT Okantara kedepannya sebagai proses peningkatan kualitas. Diagram SIPOC (to-be) pada produksi brosur PT Okantara dapat dilihat pada gambar berikut
Gambar 6. Diagram SIPOC (To-Be) Produksi Brosur PT Okantara Untuk FMEA pada kriteria cacat pada brosur dilakukan diskusi dengan pihak PT Okantara. Pemberian bobot pada bobot occurance, severity dan detectability berdasarkan rating occurance, rating severity, dan rating detectability disertai diskusi dengan manajer produksi dan pegawai bagian produksi didapat tiga urutan tertinggi penyebab potensial kecacatan adalah sebagai berikut.
89
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 83-96
Tabel 4. FMEA Total Kriteria Cacat PT. Okantara No 1 2 3
Penyebab Potensial Metode Karyawan Mesin
Total RPN 859 710 472
Dari tiga kriteria cacat, faktor metode mendapatkan urutan RPN terbesar dengan total 859 dan dibawahnya berturut-turut terdapat faktor karyawan dengan RPN sebesar 710 serta faktor mesin dengan RPN sebesar 472. Penyebab yang dianggap paling potensial ini akan menjadi faktor yang diutamakan untuk dilakukan perbaikan guna peningkatan kualitas. Dalam tahap improve, terdapat dua tools yaitu SIPOC (to-be) dan FMEA. Untuk SIPOC (to-be), PT Okantara memiliki gambaran jelas dimana untuk kedepannya, mereka akan melakukan perubahan untuk perbaikan diantaranya kerjasama dengan supplier. Hal ini dimaksudkan agar perusahaan dapat meningkatkan kualitas produksi sehingga menghasilkan produk yang memiliki nilai jual lebih untuk konsumennya. Pertimbangan perubahan-perubahan pada alur proses yang akan mendatang tidak terlepas dari dasar alur proses yang sebelumnya telah dibuat. Melihat alur proses yang sekarang (SIPOC as-is) dengan hasil produk yang dihasilkan, perusahaan dapat memutuskan apakah kedepannya akan melakukan perubahan atau tidak berkaitan dengan produk yang dihasilkan tersebut. Alur proses yang saat ini digunakan memang penting adanya, begitu pula alur proses yang diharapkan kedepannya (SIPOC to-be), karena perusahaan tidak hanya harus menjaga kualitas produknya tetapi juga harus terus berkembang dan berinovasi. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Reinke (2010, p.27) dimana SIPOC (tobe) menjadikan SIPOC (as-is) sebagai dasar perbandingan guna memeriksa dan memastikan komponen penting dalam mengembangkan SIPOC yang lebih baik, sehingga elemen terakhir, yaitu pelanggan, selalu puas dengan apa yang dihasilkan perusahaan. Langkah selanjutnya dalam tahap improve adalah menentukan area perbaikan yang perlu di prioritaskan untuk mengurangi peluang terjadinya kegagalan di kemudian hari dengan menggunakan teknik FMEA. Hasil penelitian mengenai pembobotan kriteria cacat brosur dilakukan dengan melakukan diskusi dengan pihak PT Okantara dimana hasilnya diketahui pada kriteria potongan tidak sesuai, faktor metode dianggap sebagai penyebab paling potensial dengan total RPN sebesar 462. Sedangkan untuk kriteria warna tidak rata, faktor manusia dianggap sebagai penyebab paling potensial dengan total RPN sebesar 270. Kemudian untuk kriteria sobek, faktor metode dianggap sebagai penyebab paling potensial dengan total RPN sebesar 317. Serta pada kriteria terlipat, faktor bahan dianggap sebagai penyebab paling potensial dengan total RPN sebesar 168. Penyebab yang dianggap paling potensial ini akan menjadi faktor yang diutamakan untuk dilakukan perbaikan guna peningkatan kualitas. Hal ini diungkapkan pula pada penelitian terdahulu milik Karandikar (2014, p.2549) dimana FMEA dapat mengidentifikasi dimana dan bagaimana terdapat kemungkinan penyebab potensial kecacatan sehingga dapat diputuskan penyebab paling utama yang harus dibenahi. 4.1.5 . Tahap Kelima : Control Tahap ini berfungsi untuk mengetahui data yang ada diluar garis kendali yang ada dapat langsung dikenali sebagai variabel tidak normal yang harus diperhatikan dan dicari penyebabnya dengan cara menetapkan batasbatas kendali. Data yang digunakan dalam tahap control diambil dari data produksi PT Okantara. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan Statistical Process Control (SPC) dengan jenis P-Chart terhadap jumlah produksi
90
Analisis Pengendalian Kualitas Produk Dengan Metode Six Sigma Pada Perusahaan Percetakan PT. Okantara (Rr. Rieka F. Hutami dan Camelia Yunitasari)
brosur periode Mei 2013 sampai dengan April 2015. Grafik p-chart produksi PT. Okantara dapat dilihat pada tabel berikut.
Gambar 7. Grafik P-Chart Produksi PT. Okantara Gambar 7. menunjukan bahwa terdapat beberapa data perbulan yang tidak memenuhi batas toleransi yang diinginkan. Didapatkan bahwa batas maksimun toleransi kecacatan PT Okantara menggunakan p-chart adalah sebesar 4%. Sampel ke 3,11, 19 dan 24 yaitu pada bulan Juli 2013, Maret 2014, November 2014 serta April 2015 berada dibawah batas bawah yang menandakan dalam 4 bulan tersebut terdapat banyak pengerjaan ulang (rework), sedangkan sampel ke 13, 18, dan 23 yaitu pada bulan Mei 2014, Oktober 2015, dan Maret 2015 berada di batas atas yang menandakan dalam tiga bulan tersebut terdapat banyak produk terbuang (scrap). Total keseluruhan terdapat tujuh titik yang out of control dalam dua tahun terakhir, dengan kata lain proporsi produk cacat masih dalam batas kendali, Tetapi masih diperlukan adanya pengendalian kualitas karena 7 produksi lainnya berada di luar batas kendali. Sejalan dengan yang dikemukakan Artharn ( 2013, p.27) dalam penelitian terdahulu bahwa p-chart mampu menentukan standar untuk mengontrol proporsi produk cacat, sehingga dapat dilakukan penanggulangan.
5. PENUTUP
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian yang dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat empat kriteria produk cacat pada brosur yang dihasilkan PT Okantara selama periode Mei 2013 - April 2015 terdiri dari potongan tidak rata (9.165 brosur), warna tidak rata (8.948 brosur), robek (7.636 brosur) dan terlipat (4.927 brosur). Empat kriteria produk cacat yang terjadi di PT. Okantara yang menempatkan level sigma PT Okantara di 3,8 dengan DPMO sebesar 11.395, 2452. Produk cacat karena potongan tidak sesuai, warna tidak rata, sobek dan terlipat dipengaruhi oleh faktor mesin. Khusus untuk produk cacat karena kriteria sobek dan terlipat selain dipengaruhi oleh mesin juga dipengaruhi oleh faktor manusia dan bahan baku. Dari kelima
91
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 83-96
faktor tersebut, faktor yang paling dasar sebagai penyebab kecacatan berdasarkan analisis five whys adalah faktor metode. Kemudian analisis lebih lanjut menggunakan metode FMEA didapat faktor manusia sebagai penyebab kedua. Hasil dari P-Chart menunjukkan ada 7 titik produksi yang tidak dalam batas kendali, maka terindikasi bahwa PT Okantara belum sepenuhnya mampu mengendalikan kualitas produk brosur. 2. PT Okantara belum melakukan upaya pengendalian kualitas dengan metode yang baku. Pengendalian kualitas yang dilakukan terbatas pada upaya perbaikan dan bukan pada upaya pencegahan, sehingga solusi yang diambil merupakan solusi jangka pendek dan tidak menyelesaikan permasalahan secara tuntas sampai ke akar permasalahan. Hal ini bisa disebabkan karena ketidaktahuan pelaku UMKM mengenai Six Sigma dan alat pengendali mutu lainnya, seperti studi yang dilakukan oleh Deshmukh & Chavan (2012,p.164). 5.2. Saran Adapun saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Aspek Praktis Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan, maka dapat disarankan untuk perusahaan beberapa hal sebagai berikut: a) Merujuk pada hasil penelitian, dimana faktor metode yang merupakan penyebab utama dari semua kriteria cacat, sebaiknya PT Okantara membuat prosedur atau standar baku yang dapat dijadikan acuan dalam melayani pesanan konsumen. Hal ini sangat berhubungan erat dengan manusia atau karyawan sebagai faktor terpenting kedua yang menimbulkan cacat. Adanya prosedur standar dapat membantu karyawan untuk mengerjakan pesanan dari pelanggan sehingga dapat mengurangi resiko cacat yang disebabkan oleh karyawan. Prosedur standar yang dimaksud diantaranya prosedur yang berisi metode untuk memotong, metode untuk mengatasi warna agar rata serta metode untuk mengatasi agar kertas tidak terlipat atau sobek. Selain, kedua penyebab utama di atas, sebaiknya PT Okantara juga melakukan pemeriksaan fisik terhadap alat-alat atau mesin yang digunakan sehingga alat atau mesin tersebut bisa bekerja optimal. b) Secara kontinu perusahaan perlu melakukan evaluasi pengendalian kualitas baik dengan menggunakan metode six sigma atau metode lainnya sesuai kebutuhan. Fokus kepada kualitas merupakan hal yang penting bagi konsumen, sehingga perlu dibangun kesadaran bagi pegawai PT Okantara terhadap pentingnya pengendalian kualitas. Hal ini terkait hasil wawancara, dimana masih banyak yang beranggapan PT Okantara adalah perusahannya berskala kecil, membuat kepemilikan SOP dianggap tidak terlalu penting. Oleh karena itu, sesuai dengan hasil penelitian ini, diharapkan PT Okantara memiliki SOP yang rinci dan lengkap sebagai pedoma prosedur guna mengatur semua metode-metode dalam proses kerja perusahaan. Namun, tujuan dari penerapan six sigma belum tentu berhasil tanpa didukunng budaya bisnis yang baik serta dukungan dari manajemen tingkat atas yang menjamin keterlibatan semua karyawan dalam menerapkan six sigma.(Tjahjono et al, 2010). c) Diperlukan bantuan dari akademisi untuk menginformasikan mengenai alat pengendali kualitas seperti Six Sigma, TQM atau SPC untuk membantu UMKM meningkatkan kualitas produknya dan mengurangi beban produksi yang dikeluarkan dikarenakan produk cacat. 2. Aspek Teoritis a) Adapun saran untuk penelitian selanjutnya adalah untuk meneliti dengan penggunakan data hasil produksi dengan rentang 3 sampai dengan 5 tahun, agar perhitungan dan analisis lebih spesifik. Penambahan metode lean six sigma terhadap proses produksi dapat diusulkan untuk mengetahui alur pada proses produksi yang membebankan dan tidak diperlukan. Selain itu, memilih objek studi yang lain dalam 92
Analisis Pengendalian Kualitas Produk Dengan Metode Six Sigma Pada Perusahaan Percetakan PT. Okantara (Rr. Rieka F. Hutami dan Camelia Yunitasari)
lingkup UMKM sangat disarankan melihat belum banyak studi yang dilakukan agar hasil penelitian dapat digeneralisir. b) Penelitian ini merupakan studi empiris yang belum dapat digeneralisir karena menggunakan hanya satu sampel perusahaan. Namun di sisi lain penelitian ini dilakukan dengan analisis yang sangat mendalam. Saran untuk penelitian berikutnya adalah melakukan studi dengan memperbesar sampel yang terdiri dari beberapa perusahaan dalam satu industri yang sama sehingga hasilnya dapat digeneralisir.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, M., 2014. Pemilu, Industri Percetakan Skala Kecil dan Mikro Tumbuh 10%. [Online]. Available at: http:// bisnis.news.viva.co.id/news/read/501315-pemilu--industri-percetakan-skala-kecil-dan-mikro-tumbuh-10[Accessed 30 October 2015]. Aditya, S., Jabbar, A., Rambe, M., dan Siregar, K., 2013. Pengendalian Kualitas Dengan Menggunakan Diagram Kontrol Mewma Dan Pendekatan Lean Six Sigma Di Pt. XYZ. e-Jurnal Teknik Industri FT USU. 3(5) Antony, J., 2008. Can Six Sigma be effectively implemented in SMEs?. International Journal of Productivity and Performance Management, 57(5), 420–423 Arifin, A. L., 2011. Bacaan Wajib Semua Sales. Jakarta: Visimedia. Artharn, P., dan Rojanarowan, N., 2013., Defective Reduction on Dent Defects in Flexible Printed Circuits Manufacturing Process. IOSR Journal Of Engineering. 3(5), 23 – 28. Byung-Wan, K., 2012., 27 Prinsip Pengembangan Pribadi Dan Organisasi Ala Samsung. Jakarta: PT Mizan Publika. BPS., 2015. Kondisi Bisnis dan Ekonomi Konsumen Meningkat. [Online]. Available at: http://www.bps.go.id/brs/ view/id/1173 [Accessed 21 December 2015]. Chitra, M., 2013. Pertumbuhan Indonesia, Terbaik Kesepuluh Di Dunia. [Online] Available:at:http://finansial.bisnis. com/read/20130930/9/166112/pertumbuhan-indonesia-terbaik-kesepuluh-di-dunia [Accessed 31 March 2016]. Citra, A., 2015. Industri Grafika Jatim Tumbuh. [Online]. Available at: http://www.antarajatim.com/lihat/berita/158339/ industri-grafika-jatim-tumbuh [Accessed 23 December 2015]. Deshmukh, S. V., dan Chavan, A. 2012. Six Sigma and SMEs: a critical review of literature. International Journal of Lean Six Sigma, 3(2), 157-167. Ferreira, L.M.D., Silva, C., dan Mesquita, C. 2013. Using the Six Sigma Methodology to Imrprove an Internal Logistic Process. Switzerland. Springer International Publishing. Gaspersz, V., 2008. Total Quality Management. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum. Gaspersz, V., 2011. Total Quality Management untuk Praktisi Bisnis dan Industri. Bogor: Vinchristo Publication. Grant Thornton. 2015. Dynamism Score - Overall (Global). [Online]. Available at: https://www.globaldynamismindex. com/gdi.html#map/overall/yearly [Accessed 22 December 2015]. Grant Thornton. 2015. Economic growth and strong workforce boost Indonesia’s position in global business growth environment index. [Online]. Available at: http://www.grantthornton.global/en/press/press-releases-2015/ economic-growth-and-strong-workforce-boost-indonesias-position-in-global-business-growth-environmentindex/ [Accessed 22 December 2015]. Heizer,J dan Render, B., 2011. Operations Management – 10 ed. England. Pearson-Prentice Hall. Heizer,J dan Render, B., 2014. Operations Management – Sustainability and Supply Chain Management – 11 Ed. England. Pearson Education Limited.
93
KINERJA, Volume 20, No.1, Th. 2016: Hal. 83-96
Iqbal, M., dan Simanjuntak, K.M.M., 2004. Solusi Jitu Bagi Pengusaha Kecil Dan Menengah, Pedoman Menjalankan Usaha. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Jirasukprasert, P., Arturo Garza-Reyes, J., Kumar, V., dan K. Lim, M. (2014). A Six Sigma and DMAIC application for the reduction of defects in a rubber gloves manufacturing process. International Journal of Lean Six Sigma, 5(1), 2-21. Karandikar, V., Sane, S., Sane, S., Jahagirdar, S., dan Shinde, S. (2014). Process Improvement in a Filter Manufacturing Industry through Six Sigma DMAIC Approach. International Journal of Current Engineering and Technology, 4(4), 2546-2556. Kemenperin., 2015. Direktori Perusahaan Industri. [Online]. Available at: http://www.kemenperin.go.id/direktoriperusahaan [23 Desember 2015]. Mukherjee, P. N. 2006. Total Quality Management. New Delhi: Pratince. Nakhai, B., & Neves, J. S. 2009. The challenges of Six Sigma in improving service quality. International Journal of Quality & Reliability Management, 26(7), 663-684. Nawawi, I., (2012). Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Aplikasi Interdisipliner untuk Ilmu Sosial, Ekonomi/ Ekonomi Islam, Agama, Manajemen dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: CV. Dwiputra Pustaka Jaya. Oskar, M., 2015. Wawancara Tentang Perkembangan PT. Okantara. Surabaya. Print Media, 2015. Kiat Menghadapi MEA 2015 : TINGKATKAN EFISIENSI KERJA. [Online]. Available at: http:// www.indonesiaprintmedia.com [Accessed 23 December 2015]. Print Media, 2015. Polling Top Print. [Online]. Available at: http://www.indonesiaprintmedia.com/polling-top-print. html [Accessed 23 Desember 2015]. Print Media, 2015. Print Media Indonesia. (Edisi 67). Bogor: CV. Print Media Indonesia. Reinke, P.C., 2010. The New Brass Ring: Dmadd, Process Improvement for the 21st Century. USA: Eloquent Books. Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta. Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Manajemen. Bandung: Alfabeta. Syukron, A dan Kholil, M., 2013. Six SIgma: Quality for Business Improvment. Yogyakarta: Graha Ilmu. Tjahjono, B., Ball, P., Vitanov, V. I., Scorzafave, C., Nogueira, J., Calleja, J., ... & Srivastava, S. 2010. Six Sigma: a literature review. International Journal of Lean Six Sigma, 1(3), 216-233. Zimmerer, T.W., dan Scaborough, N.M., 2008. Kewirausahaan dan Manajemen Usaha Kecil. Edisi 5. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
94
PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL KINERJA Ketentuan Umum 1. KINERJA mempublikasikan artikel kajian empiris, baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. 2. KINERJA terbit dua kali dalam satu tahun (Maret dan September). 3. Setiap artikel yang dikirim ke KINERJA harus belum pernah dipublikasikan dalam majalah atau jurnal nasional ataupun internasional manapun. Pelanggaran atas ketentuan ini menjadi tanggung jawab penulis. 4. Penentuan artikel yang dimuat dalam KINERJA ditempuh melalui proses dua proses yaitu editorial oleh editor dan blind review oleh reviewer yang telah ditunjuk oleh editor dengan mempertimbangkan hal-hal antara antara lain : ● Relevansi dengan disiplin ilmu Manajemen, Akuntansi dan Ilmu Ekonomi ● Kesesuaian antara judul dengan isi ● Logika dan gaya penulisan ilmiah dalam penyusunan ● Kesesuaian antara aktualisasi tema, penalaran dan analisis ● Penggunaan referensi yang memadai (diprioritaskan yang menggunakan > 50% pustaka primer internasional) 5. Apabila dipandang perlu, editor berhak untuk merubah kalimat, tanpa mengubah maksud yang ingin disampaikan penulis dalam artikel. Format Penulisan Umum Pedoman penulisan artikel dalam KINERJA yang perlu diperhatikan oleh penulis : a. Sistematika penulisan dalam artikel setidaknya terdiri atas bagian-bagian sebagai berikut : ● Judul Artikel Singkat dan efisien dalam penggunaan kata (10 – 15 kata). ● Abstract/Abstrak Memuat secara garis besar masalah, tujuan dan temuan penulis. Bila artikel dalam bahasa Indonesia abstract disajikan dalam bahasa Inggris, begitu juga sebaliknya. Abstract/Abstrak disajikan di awal teks, ditulis dengan panjang 100 s/d 200 kata. Abstract diikuti dengan sedikitnya empat keywords untuk memudahkan penyusunan indeks artikel. Abstract diikuti dengan maksimal empat kata kunci/ keywords untuk memudahkan penyusunan indeks artikel. ● Pendahuluan menguraikan latar belakang, fenomena atau motivasi penyusunan artikel, perumusan masalah, tujuan penelitian serta organisasi penulisan artikel apabila memang diperlukan. ● Kajian Teoritis (dan Pengembangan Hipotesis)* jika menggunakan hipotesis Berisi logika pengembangan kajian teoritis, hasil riset terdahulu yang relevan, pengembangan hipotesis (jika ada) dan kerangka model penelitian. ● Hasil dan Pembahasan Pada bagian ini disampaikan hasil analisis data dan disertai dengan pembahasan serta diskusi penalaran logis. ● Penutup Pada bagian ini paling tidak berisi simpulan, keterbatasan penelitian , implikasi penelitian dan saran untuk penelitian selanjutnya.
● Daftar Pustaka Berisi pustaka primer (disarankan >50%), sekunder dan media lain yang digunakan sebagai acuan (terutama pada kajian teoritis dan pembahasan) dalam melakukan penulisan ilmiah. Sangat disarankan untuk menggunakan pustaka primer (Jurnal) internasional bereputasi untuk meningkatkan kualitas artikel. b. Artikel menggunakan kertas A4, rata kiri, dengan satu spasi (single space), untuk kutipan langsung yang panjang (lebih dari tiga baris atau lebih dari 50 kata) diketik dengan menjorok ke kanan 2 cm, terpisah dari badan tulisan dengan idented style c. Panjang artikel antara 4000 s/d 7000 kata (words) (ditulis dengan huruf Times New Roman ukuran 12 point). d. Batas atas dan bawah, sisi kanan dan kiri 3 cm. e. Halaman muka artikel setidak-tidaknya menyebutkan judul artikel dan identitas penulis dan abstract/ abstrak. f. Semua halaman termasuk referensi diberikan nomor urut halaman. g. Setiap tabel dan gambar diberi nomor urut, serta judul yang sesuai dengan isi tabel dan gambar serta sumber kutipan. h. Catatan kaki digunakan hanya untuk perluasan informasi yang jika dimasukkan dalam teks bisa mengganggu kontinuitas bacaan. i. Kutipan dan daftar pustaka secara konsisten menggunakan Harvard System of Referencing (5th edition). Contoh penulisan kutipan dan daftar pustaka dapat dilihat pada Template Penulisan Jurnal KINERJA. Ketentuan penulisan dapat diunduh pada: http://libweb.anglia.ac.uk/referencing/files/QuickHarvardGuide2015.pdf http://libweb.anglia.ac.uk/referencing/files/Harvard_referencing_2015.pdf j. Template penulisan Jurnal KINERJA dapat diunduh pada www.bit.ly/kinerja2016 k. Artikel dikirimkan melalui e-mail ke :
[email protected] dengan format file .doc atau .docx dengan nama file [Nama penulis–Instansi/Universitas–Judul Artikel] l. Untuk versi OJS pada terbitan 2016 akan digunakan website www.ojs.uajy.ac.id untuk proses pengiriman artikel dan korespondensi dengan editor KINERJA. m. Alamat korespondensi POS dikirimkan ke penyunting KINERJA dengan alamat : Pusat Pengembangan Ekonomi dan Bisnis Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jl. Babarsari 43, Yogyakarta Telp : (0274) 487711. Ext : 2133 Fax : (0274) 4852274 Email :
[email protected] Web : www.ojs.uajy.ac.id
INDEKS JURNAL KINERJA, Volume 19, No. 1, Maret Tahun 2015 No.
Judul
Penulis
Halaman
1
Shaping of Security Policy in an Indonesian Bank: Interpreting Institutionalization and Structuration
M. Faisal Nasution Gurpreet Dhillon Roberto Akyuwen
1-15
2
Pengukuran Efektifitas Pengiklanan Lingkungan Melalui Iklan Televisi (Pendekatan Model Aida)
Atika Robiatun Adawiyah Sis Albari
16-26
3
Daya Saing Unggul Melalui Loyalitas Dan Marketing 3.0 Serta Dimensi Inovasi Pada Program Pascasarjana di Jakarta
Wilhelmus Hary Susilo
27-41
4
Working Shift Differences and their Effects on Employees’ Job Fatigue Levels: An Empirical Evidence From Hotel Industry In Surabaya
Priscillia Alvionita. Ch Frederica Angelina. T Serli Wijaya
42-53
5
Pengaruh Auditor-Client Social Mismatch dan Tipe Supervisor Terhadap Kualitas Audit
Nur Cahyonowati Dasrono
54-67
6
Analisis Jumlah Kendraan Bermotor Di Daerah Istimewa Yogyakarta (1990–2012)
I. Agus Wantara
68-83
7
Pengaruh Kualitas Audit Terhadap Manajemen Laba Melalui Aktivitas Riil
Nico Raditya Boedhi Dewi Ratnaningsih
84-98
JURNAL KINERJA, Volume 19, No. 2, September Tahun 2015 No.
Judul
Penulis
Halaman
1
Peningkatan Tarif Cukai Rokok dan Dampaknya terhadap Perekonomian dan Pendapatan Sektoral Jawa Tengah
Fatoni Ashar Firmansyah
99-114
2
Persepsi Terhadap Makanan Tradisional Jawa Timur: Studi Awal Terhadap Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta di Surabaya
Priskila Adiasih Ritzky K.M.R. Brahmana
115-128
3
Dampak Implementasi Rgec Terhadap Nilai Perusahaan Yang Go Public di Bursa Efek Indonesia
Wardoyo Rizki Muti Agustini
129-142
4
Dampak Struktur Pasar dan Efsiensi Terhadap Kinerja Bank Pembangunan Daerah
Rizky Yudaruddin
143-152
5
Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Kinerja Usaha Industri Kecil dan Menengah di Purwokerto Utara
Wida Purwidianti Tri Septin M Rahayu
153-163
6
Pengaruh Komitmen Organisasional terhadap Senjangan Anggaran dengan Ideologi Etis sebagai Variabel Pemoderasi
Sri Widodo
164-175
7
Pengaruh Lingkungan Kerja Non Fisik Terhadap Kepuasan Kerja Dosen Tetap (Studi Pada Fakultas Komunikasi dan Bisnis Universitas Telkom Bandung)
Astadi Pangarso Vidi Ramadhyanti
176-196