PENGARUH KONSUMSI MINUMAN BEROKSIGEN TERHADAP PERFORMA OLAHRAGA, KADAR PROTEIN CD4, CD8, CD56 DAN IL-6 SERTA MALONALDEHIDA
CESAR WELYA REFDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Konsumsi Minuman Beroksigen terhadap Performa Berolahraga, Kadar Protein CD4, CD8, CD56 dan Interleukin-6 serta Malonaldehida adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2013 Cesar Welya Refdi NRP F251110221
RINGKASAN CESAR WELYA REFDI. Pengaruh Konsumsi Minuman Beroksigen terhadap Performa Olahraga, Kadar Protein CD4, CD8, CD56 dan IL-6 serta Malonaldehida. Dibimbing oleh FRANSISKA R ZAKARIA dan PUSPO EDI GIRIWONO. Oksigen merupakan zat yang essensial bagi hidup manusia, sebagaimana air dan makanan. Oksigen berlimpah tersedia di udara dan dapat dinikmati secara bebas. Namun beberapa kalangan sering mengalami keterbatasan dalam memperoleh oksigen yang cukup. Pada olahragawan, dalam akitivitas olahraganya membutuhkan oksigen yang lebih banyak dan tidak dapat diperoleh sepenuhnya lewat hirupan udara. Keterbatasan oksigen pada olahragawan ini dapat mengakibatkan energi yang dihasilkan tidak cukup untuk berolahraga dalam jangka waktu lama dan mengakibatkan penumpukan asam laktat di otot yang akan menurunkan performa dan prestasi olahragawan. Oksigen dibutuhkan oleh sel-sel normal di dalam tubuh termasuk sel-sel imun. Di dalam sistem imun terdapat berbagai macam sel yang secara terstuktur menjaga pertahanan tubuh. Protein CD4 yang merupakan protein penanda pada sel Th (T helper), protein CD8 merupakan protein penanda pada sel Tc (T cytotoxyc), protein CD56 merupakan protein penanda sel Natural Killer (NK), dan IL-6 yang merupakan sitokin yang dihasilkan dari otot, dan meningkat pada respon terhadap kontraksi otot dan berolahraga. Kebutuhan oksigen ini mendorong para ilmuwan dan industri untuk menciptakan alternatif suplai oksigen di dalam tubuh melalui air minum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsumsi minuman beroksigen terhadap kadar laktat, Energy Expenditure, protein CD4, CD8, CD56 dan IL-6. Selain itu, melihat keamanan konsumsi minuman beroksigen berdasarkan kadar malonaldehida. Penelitian dimulai dengan melakukan rekrutmen responden dari mahasiswa Institut Pertanian Bogor yang gemar berolahraga. Populasi subjek dipilih berjumlah 17 orang mahasiswa IPB berdasarkan kriteria berolahraga aktif, yaitu berolahraga secara rutin minimal 20-30 menit perharinya, tiga kali dalam seminggu atau setara. Olahraga yang dilakukan seperti futsal (47.06%), badminton (29.41%), tenis meja (5.88%), bersepeda (5.88%), beladiri (5.88%) dan jogging (5.88%). Responden terdiri dari pria dengan usia antara 20-27 tahun, merupakan mahasiswa S1 (76.47%) dan mahasiswa S2 (23.53%). Sebelum dilakukan intervensi, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan klinis terhadap masing-masing responden. Responden yang dipilih adalah mahasiswa yang dinyatakan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan oleh dokter di Klinik dr Katili, Dramaga. Selanjutnya dilakukan sosialisasi. Pada sosialisasi diberikan penjelasan tentang minuman beroksigen, manfaat¸ cara konsumsi yang benar, tahapan penelitian yang akan dilakukan dan penandatanganan informed consent (surat perjanjian) bagi responden yang bersedia mengikuti penelitian. Pada jangka pendek, 12 orang responden (mahasiswa, laki-laki) mengkonsumsi 385 ml minuman beroksigen dengan berbagai konsentrasi (50, 80 dan 130 ppm) dan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), 15 menit sebelum treadmill dan setelah treadmill (10 km/jam). Pengukuran kadar laktat dilakukan sebelum dan setelah treadmill dan 5 menit setelah mengkonsumsi minuman
beroksigen kembali. Pada jangka panjang, 17 orang responden (mahasiswa, lakilaki) mengkonsumsi minuman beroksigen (100 ppm) dua kali sehari selama 21 hari. Plasma darah dan limfosit yang diambil sebelum dan setelah intervensi untuk dilakukan analisa sesuai parameter. Konsumsi minuman beroksigen dapat menurunkan kadar laktat setelah berolahraga lebih tinggi daripada AMDK dan menghasilkan energy expenditure lebih tinggi dibandingkan AMDK pada jangka pendek, namun tidak signifikan berdasarkan analisa statistik (p>0.5). Pada intervensi jangka panjang selama 21 hari menunjukkan minuman beroksigen meningkatkan kadar protein CD4 dan CD8, namun tidak signifikan berdasarkan analisa statistik (p>0.5). Sedangkan kadar protein CD56 meningkat siginifikan (p<0.5), hal ini menunjukkan adanya peningkatan kesehatan dan sistem imun. Selain itu, minuman beroksigen tidak memberikan dampak negatif yang ditunjukkan dengan tidak meningkatkan kadar malonaldehida sebagai parameter stress oksidatif, dan tidak meningkatkan kadar Interleukin-6 yang menjadi indikator inflamasi. Hasil penelitian ini menjawab tujuan penelitian mengenai pengaruh konsumsi minuman beroksigen. Dari hasil penelitian mendukung temuan bahwa konsumsi minuman beroksigen tidak berpengaruh pada kadar laktat dan Energy Expenditure sebagai parameter performa saat berolahraga pada konsumsi jangka pendek maupun jangka panjang dan tidak mempengaruhi kadar protein CD4 dan CD8 pada konsumsi jangka panjang. Sedangkan konsumsi minuman beroksigen selama 21 hari dapat meningkatkan kadar protein CD56. Selain itu, konsumsi minuman beroksigen dinyatakan aman. Kata
Kunci:
minuman beroksigen, malonaldehida
performa
olahraga,
sistem
imun,
SUMMARY CESAR WELYA REFDI. The Effect of Oxygenated Water on Exercise Performance, CD4, CD8, CD56, IL-6 and Malonaldehyde Content. Supervised by FRANSISKA R ZAKARIA and PUSPO EDI GIRIWONO. Oxygen is an essential substance for human life, as well as water and food. Oxygen is available in the air and can be enjoyed for free. However, many people have problems in obtaining sufficient oxygen. Exercise requires more oxygen and cannot be fully obtained by respiration. Limited supply of oxygen result energy will not be sufficient to exercise in the long term and the buildup of lactic acid in the muscles will cause weariness and further degrade the performance and achievements of athlete. Oxygen is needed by normal cells in the body, including immune cells. Within the immune system, there are several kind of cells that maintain the body's defenses: CD4, CD8, CD56 and IL-56. CD4 protein is a marker protein of Th cells (T helper), CD8 protein is a protein marker of Tc cells (T cytotoxyc), CD 56 protein is a protein marker of Natural Killer cells (NK), and IL-6 is a cytokine produced by muscle cells. In response to muscle contraction from activity or exercise. The oxygen requirements promote scientists and industry to create an alternative oxygen supply in the body through drinking water. This study aimed to determine the effect of oxygenated water consumption to lactate levels, energy expenditure, CD4 , CD8 , CD56 and IL-6 protein content. In addition, to study the consumer safety based on malonaldehyde levels. The study was conducted by recruiting subjects from IPB student who likes to exercise. Selected subject population numbered 17 IPB students who active exercise, ie exercise regularly at least 20-30 minutes per day, three times a week or the equivalent. The sports are futsal (47.06%), badminton (29.41%), table tennis (5.88%), cycling (5.88%), martial arts (5.88%) and jogging (5.88%). Respondents consisted of men between the ages of 20-27 years, S1 students (76.47%) and S2 students (23:53%). Before the intervention, medical check prior to each respondent. Respondents were selected are students who are otherwise healthy based on the results of medical checked by a physician at the Clinic Dr. Katili, Dramaga. Furthermore socialization. In socialization explanation is given as oxygenated water, benefits¸ correct way of consumption, stage of research to be conducted and signing the informed consent (letter of agreement) for respondents who are willing to join the study. In short-term, twelve male student volunteers drank 385 ml oxygenated water (50, 80 and 130 ppm) or mineral water, 15 minutes before treadmill and after treadmill (10 Kmh). The lactic acid concentration was measured before and after treadmill, and 5 minutes after the reconsumption of the oxygenated water. In long-term, seventeen male student volunteers drank oxygenated water twice a day (100 ppm) for 21 days. The blood plasma and lymphocyte sampled before and after intervention were analyzed according to the parameters. Consumption of oxygenated water can lower lactate levels after exercise more than mineral water, and generate higher energy expenditure than mineral water in the short term, but statistic test results show that there is no significant
difference between two groups (p>0.5). In the long-term intervention for 21 days showed that oxygenated water can increased levels of CD4 and CD8 content, statistic test results show that there is no significant difference (p>0.5). The levels of CD56 increased significantly (p<0.5), this indicates an increase in health and immune system. In addition, oxygenated water can be declared safe by levels of IL-6 as inflammatory parameters and malonaldehyde as oxidative stress parameters. The results of this study answer the purpose of research on the effect of oxygenated water consumption. The result of this research support the present findings indicate that oxygenated water consumption does not effect on the levels of lactate and Energy Expenditure as performance parameters during exercise in the short-term and long-term consumption and does not affect the protein levels of CD4 and CD8 on the long-term consumption. While the consumption of oxygenated water can increase levels of CD56 protein for 21 days. In addition, the consumption of oxygenated water declared safe. Keywords: exercise performance, immune system, malonaldehyde, oxygenated water
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH KONSUMSI MINUMAN BEROKSIGEN TERHADAP PERFORMA OLAHRAGA, KADAR PROTEIN CD4, CD8, CD56 DAN IL-6 SERTA MALONALDEHIDA
CESAR WELYA REFDI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Dr Elvira Syamsir, STP, MSi
Judul Tesis
Nama NIM
: Pengaruh Konsumsi Minuman Beroksigen terhadap Performa Olahraga, Kadar Protein CD4, CD8, CD56 dan IL-6 serta Malonaldehida : Cesar Welya Refdi : F251110221
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
A
Prof Dr Ir Fransiska Rungkat- Zakaria, MSc Ketua
Puspo Edi Giriwono, PhD Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
/'
Prof Dr Ir Ratih Dewantf-Hariyadi
Tanggal Ujian: 16 Oktober 2013
Tanggal Lulus:
1 1 DEC 2013
Judul Tesis
Nama NIM
: Pengaruh Konsumsi Minuman Beroksigen terhadap Performa Olahraga, Kadar Protein CD4, CD8, CD56 dan IL-6 serta Malonaldehida : Cesar Welya Refdi : F251110221
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Fransiska Rungkat- Zakaria, MSc Ketua
Puspo Edi Giriwono, PhD Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Ratih Dewanty-Hariyadi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 16 Oktober 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh Konsumsi Minuman Beroksigen terhadap Performa Berolahraga, Kadar Protein CD4, CD8, CD56 dan Interleukin-6 serta Malonaldehida” ini. Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam program studi Ilmu Pangan pada Program PASCASARJANA Institut Pertanian Bogor. Dalam penyusunan tesis ini, berbagai pihak telah banyak memberikan dorongan, bantuan serta masukan sehingga dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : Ibu Prof Dr Ir Fransiska Rungkat Zakaria, MSc selaku ketua komisi pembimbing utama yang telah banyak memberikan pengetahuan, bimbingan dan doa restunya. Bapak Puspo Edi Giriwono, PhD selaku pembimbing yang telah memberikan pengetahuan dan bimbingannya yang sangat bermanfaat bagi penyusunan tesis ini. Beasiswa Ungguluan DIKTI atas segala bantuan dana dan kemudahan yang telah diberikan selama pendidikan. PT Triusaha Mitraraharja (Garuda Food) atas segala bantuan moril dan materiil sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan sangat baik. Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET) terutama kepada Bapak April H Wardhana, SKH, MSi, PhD dan Drh Didik T Subekti, MKes selaku pembimbing di Laboratorium Parasitologi BBALITVET, Pak Hendra Wijaya, MSi, dan Bu Sri Yadial Chalid, Msi yang telah memberikan berbagai informasi, pengetahuan dan bimbingannya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik. Laboratorium Somatokinetika Universitas Negeri Jakarta atas izin penggunaan alat dan laboratorium, informasi, dan uluran tangan sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan semestinya. Dekan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr, beserta seluruh staf atas segala bantuan dan kemudahan yang telah diberikan selama pendidikan. Papa dan Mama tercinta, Aan Refdi, SH dan Luciana SH, beserta adikku tersayang Cesar Fathia Refdi, yang selalu memberikan dukungan moril dan materiil sehingga tugas akhir ini dapat terlaksana dengan baik. Tim Penelitian Air Minum Beroksigen Intan, Kak Gina, Mbak Wira, Charles dan Ardi. Responden Penelitian Minuman Beroksigen pada Mahasiswa Gemar Berolahraga (Ruslan, Ilham, Dimas, Daniel, Kak Putu, Juanda, Faris, Bg Fajri, Danang, Kak Redo, Budi, Risqi, Agit, Dian, Abbas, Edi, Hendi). Mahasiswa Ilmu Pangan IPB, Anggota Ikatan Mahasiswa Pasca SumBar (IMPACS), Warga Wisma Rosa, sahabat-sahabat tercinta, atas segala jerih payah, dorongan, kesabaran dan perhatiannya selama ini serta yang terpenting kebersamaan yang terbaik dalam situasi yang paling buruk yang pernah dihadapi. Kepada semua pihak yang membantu terlaksananya tesis ini, terima kasih atas dukungan dan doanya selama ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih banyak kekurangan, oleh karenanya kritik dan saran sangat penulis harapkan guna menyempurnakan penulisan ini. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan semoga tesis ini dapat berguna bagi kita semua. Bogor, 29 November 2013 Cesar Welya Refdi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 2 3 3 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Air minum beroksigen tinggi Jalur transport oksigen dari air minum beroksigen tinggi Kondisi Olahraga Sistem imun Malonaldehida
5 5 6 7 8 11
3 METODE Waktu dan Tempat Bahan Alat Prosedur Analisis Data Tahap Penelitian
12 12 12 13 13 13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
16
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
41 41 41
DAFTAR PUSTAKA
41
LAMPIRAN
45
DAFTAR TABEL Karakteristik Demografi Responden Kondisi Kesehatan Responden Hasil Pemeriksaan Hematologi Responden Analisis statistik kadar laktat Rasio Peningkatan dan Penurunan Kadar Laktat Hasil Analisis Statistik Kadar Protein CD4 Hasil Analisis Statistik Kadar Protein CD8 Hasil Analisis Statistik Kadar Protein CD56 Analisa statistik perubahan kadar Interleukin-6 sebelum dan setelah intervensi 10 Analisis statistik perubahan kadar malonaldehida 1 2 3 4 5 6 7 8 9
17 18 19 25 26 31 31 32 35 37
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Keberadaan CD4 dan CD8 pada permukaan sel T Mekanisme pertahanan sel Tc dan sel NK Peningkatan kadar laktat sebelum - setelah treadmill Penurunan kadar laktat setelah treadmill – setelah konsumsi AO Rataan ± SD peningkatan kadar laktat sebelum-setelah treadmill Rataan ± SD penurunan kadar laktat setelah treadmill- setelah komsumsi minuman beroksigen Rataan ± SD energy expenditure responden pada saat melakukan treadmill Rataan ± sd optical density CD4 Nilai optical density CD4 responden sebelum dan sesudah intervensi Nilai optical density CD8 responden sebelum dan sesudah intervensi Rataan ± SD optical density CD8 Rataan ± SD optical density CD56 Nilai optical density CD56 responden sebelum dan sesudah intervensi Rataan ± SD optical density Interleukin 6 sebelum dan setelah intervensi Perubahan nilai optical density IL-6 responden sebelum dan sesudah intervensi Kurva Standar TEP Rataan ± SD kadar malonaldehida responden sebelum dan setelah intervensi Kadar malonaldehida responden sebelum dan setelah intervensi Hasil analisis respon awal responden Penerimaan responden terhadap produk selama 21 hari intervensi Jumlah responden dalam keberlanjutan konsumsi Jumlah responden dalam keberlanjutan konsumsi
10 10 22 24 24 25 28 30 30 31 32 32 33 34 35 36 37 37 39 39 40 41
DAFTAR LAMPIRAN Kuesioner Informed consent Persetujuan Etik (Ethical Approval) Penelitian
45 577 599
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Oksigen merupakan zat yang essensial bagi hidup manusia, sebagaimana air dan makanan. Oksigen berlimpah tersedia di udara dan dapat dinikmati secara bebas. Namun beberapa kalangan sering mengalami keterbatasan dalam memperoleh oksigen yang cukup. Pada olahragawan, dalam akitivitas olahraganya membutuhkan oksigen yang lebih banyak dan tidak dapat diperoleh lewat hirupan udara. Tubuh memiliki sistem homeostatis, jika dibutuhkan energi dalam jumlah banyak, maka tubuh akan memproduksi Adenosin Tri Posphat (ATP) dalam jumlah yang lebih banyak pula. Pada produksi ATP, oksigen berfungsi sebagai penangkap elektron terakhir, dimana setiap molekul oksigen akan bereaksi dengan empat H+ menghasilkan dua molekul H2O. Semakin banyak jumlah ATP yang dibutuhkan maka semakin banyak oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh. Konsumsi O2 saat istirahat pada orang dewasa adalah sekitar 250 mL/menit dan meningkat hingga lebih dari 4000 mL/menit saat olahraga berat (Ward 2007). Keterbatasan oksigen pada olahragawan ini dapat mengakibatkan respirasi aerob akan beralih ke respirasi anaerob secara otomatis. Siklus krebs dan rantai transport elektron tidak akan berjalan, sebaliknya terjadi fermentasi asam piruvat menghasilkan asam laktat (Campbell, et al. 2000). Total energi yang dihasilkan pada respirasi anaerob sangat kecil yaitu hanya 2 ATP dari proses glikolisis, dibandingkan dengan 38 ATP dari respirasi aerob. Energi ini tidak akan cukup untuk menjalankan fungsi-fungsi tubuh dalam jangka waktu lama. Selain itu, penumpukan asam laktat di otot akan menyebabkan kelelahan dan lebih lanjut menurunkan performa dan prestasi olahragawan. Kebutuhan oksigen ini mendorong para ilmuwan dan industri untuk menciptakan alternatif suplai oksigen di dalam tubuh melalui air minum. Oksigen yang masuk melalui saluran pencernaan dapat berdifusi ke dalam darah dan diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan oksigen dalam tubuh serta memberikan efek menguntungkan bagi kesehatan konsumen ( Speit et al. 2002). Forth dan Adam (2001), dalam percobaannya menggunakan kelinci mengamati adanya peningkatan tekanan parsial oksigen dalam vena porta hepatica kelinci setelah diberi minum air berkadar oksigen 80 ppm. Ini membuktikan bahwa oksigen dari air minum beroksigen dapat masuk ke dalam sistem peredaran darah melalui saluran pencernaan. Hal ini menjadi acuan bagi industri untuk membuat minuman beroksigen dengan kadar oksigen minimal 80 ppm. Namun, Piantadosi (2006) menyebutkan bahwa penyerapan air beroksigen oleh usus secara signifikan tidak memberikan pengaruh pada performa seseorang yang berolahraga. Kelemahan dari penelitian Piantadosi hanya mengukur saturasi oksigen yang peningkatannya tidak dapat dilihat pada orang yang sehat terlebih pula gemar berolahraga. Adanya keraguan penyerapan oksigen oleh usus telah dijawab oleh penelitian Nestle (2004) yang dibuktikan menggunakan metode Magneting Resonance Imaging (MRI). Penelitian Nestle membuktikan bahwa meminum air beroksigen yang kandungan CO2 yang rendah, dapat meningkatkan jumlah oksigen pada lumen oral cavity dan usus.
2 Oksigen yang cukup juga berperan dalam memperoleh metabolisme sel yang normal, termasuk pada sel-sel imun. Di dalam sistem imun terdapat berbagai macam sel yang secata terstuktur menjaga pertahanan tubuh. CD4 yang merupakan protein penanda pada sel Th (T helper) dan berfungsi untuk aktivasi macrofag dan produksi antibodi, CD8 merupakan protein penanda pada sel Tc (T cytotoxyc) yang berfungsi untuk membunuh sel-sel termutasi (sel kanker dan tumor) dan sel yang terinfeksi oleh virus, CD56 merupakan protein penanda sel Natural Killer (NK) yang berfungsi membunuh sel tumor dan sel terinfeksi virus secara spesifik atau non spesifik (Orange dan Ballas 2006) serta Interleukin-6 yang mengalami peningkatan pada saat terjadi kontraksi otot namun berperan penting pada respons fase akut (Whitham et al. 2012). Penelitian Gruber et al. (2005) menunjukkan terdapat peningkatan sel CD4, CD8 dan sedikit penurunan NK setelah responden mengkonsumsi minuman dengan kadar oksigen 190.675.0 mg O2/l H2O 3 kali sehari selama 28 hari. Hal ini menunjukkan perubahan kadar protein CD4, CD56 dan IL-6 dapat diamati sebagai parameter manfaat oksigen terhadap sistem imun pada mahasiswa yang gemar berolahraga. Selain itu, efek negatif yang dikhawatirkan adalah pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS). Radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif yang diproduksi dalam jumlah yang normal, penting untuk fungsi biologis, seperti sel darah putih yang menghasilkan H2O2 untuk membunuh beberapa jenis bakteri dan jamur serta pengaturan pertumbuhan sel, namun ia tidak menyerang sasaran spesifik, sehingga ia juga akan menyerang asam lemak tidak jenuh ganda dari membran sel, organel sel, atau DNA, sehingga dapat menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi sel (Heryani et al., 2011). Perubahan kadar malonaldehida (MDA) plasma responden menjadi indikator keamanan konsumsi minuman beroksigen. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelitian untuk menjawab secara objektif manfaat dan keamanan minuman beroksigen. Perumusan Masalah Beberapa masalah yang diangkat pada penelitian ini antara lain: 1. Apakah konsumsi minuman beroksigen dapat menurunkan produksi laktat pada saat berolahraga pada jangka pendek dan konsumsi jangka panjang 2. Apakah konsumsi minuman beroksigen dapat meningkatkan energi yang dihasilkan pada saat berolahraga pada jangka pendek dan jangka panjang 3. Apakah konsumsi minuman beroksigen secara teratur dapat meningkatkan kadar protein CD4, CD8, CD56 dan menjaga kadar Interleukin-6 4. Apakah konsumsi minuman beroksigen aman untuk dikonsumsi berdasarkan kadar malonaldehida
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji manfaat dan keamanan konsumsi minuman beroksigen berdasarkan kadar laktat dan energi yang dihasilkan pada saat berolahraga, kadar protein CD4, CD8, CD56 dan IL-6 dan kadar malonaldehida.
3
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan membantu peneliti dan pihak terkait dalam menjawab secara objektif mengenai manfaat minuman beroksigen terhadap performa olahraga, sistem imun dan melihat pula aspek keamanannya
Hipotesis Konsumsi minuman beroksigen dapat menurunkan produksi laktat dan meningkatkan energi yang dihasilkan saat berolahraga, menstimulasi peningkatan kadar CD4, CD8, CD56 dan menjaga kadar Interleukin-6. Selain itu, konsumsi minuman beroksigen secara teratur tidak memicu terjadinya kenaikan malonaldehid dalam darah.
4 Ruang Lingkup Penelitian Tahap 1 Pengurusan Izin Tahap 2 Rekruitmen Responden
Pengurusan Ethical Clearance di Komisi Etik Balibangkes Survey Calon Responden ke Unit Kegiatan Olahraga, Gedung Olahraga IPB Sosialisasi Personal Pemeriksaan Kesehatan (MCU) di Klinik dr Katili, Dramaga Seleksi Responden berdasarkan Hasil Pemeriksaan Kesehatan Sosialisasi Massal kepada Calon Responden
Tahap 3 Uji Jangka Pendek (n=12 responden)
Uji Jangka Pendek (Uji performa melihat pengaruh terhadap Laktat dan Energy Expenditure) (AMDK, AO 50, 80 dan 130 ppm)
Tahap 4 Uji Jangka Panjang (n=17 responden)
Pengambilan Darah Isolasi Limfosit Limfosit
Plasma
Intervesi minuman beroksigen 100 ppm (21 hari) dan wawancara Pengambilan Darah
Uji performa melihat Laktat dan Energy Expenditure (100 ppm) Tahap 5 Analisis Limfosit dan Plasma
Isolasi Limfosit Limfosit
Pengukuran Kadar Protein CD4, CD8, dan CD56
Plasma
Pengukuran kadar malonaldehida dan Interleukin-6
Verifikasi hasil analisis dengan riwayat responden
5
2 TINJAUAN PUSTAKA Air minum beroksigen tinggi Air adalah pelarut tempat terjadinya hampir semua reaksi biologis (selain yang menjadi lipid membran), sehingga air merupakan 50-70% massa tubuh, yaitu sekitar 40 liter pada orang dengan berat badan 70 kg. Sifat alamiah membran biologis memungkinkan air bergerak bebas di dalam tubuh, tetapi zat yang terlarut di dalamnya tidak (Ward 2007). Pada dasarnya, kelarutan oksigen dalam air sangat rendah sekali. Hal ini terlihat dari nilai koefisien solubilitasnya dalam air yang sangat kecil, yaitu 0,024 (Guyton dan Hall 1996). Air segar dari mata air hanya mengandung 10-12 ppm oksigen dan jumlah ini akan turun menjadi 5-7 ppm pada air yang telah diolah untuk diminum (Speit et al. 2002). Adanya teknologi injeksi oksigen pada suhu rendah dan tekanan tinggi memungkinkan kelarutan oksigen dalam air meningkat sehingga konsentrasinya dalam air dapat mencapai 120 ppm. Hal ini sesuai prinsip Le Chatelier, yaitu pemberian tekanan pada suatu sistem dalam kesetimbangan akan mengakibatkan sistem berubah kearah kesetimbangan baru untuk mengatasi tekanan tersebut (Mortimer 1975). Proses produksi air minum beroksigen tinggi terdiri dari tahap pemurnian dan tahap penginjeksian gas oksigen. Tahap pemurnian dimulai dengan mengalirkan air ke tempat penampungan air untuk disaring dengan bantuan silika. Selanjutnya, ditambahkan karbon aktif untuk menghilangkan bau yang tidak sedap. Zat-zat organik dihilangkan dengan bantuan manganese filter, kemudian air dilewatkan pada pori-pori yang berdiameter 5µm sehingga molekul-molekul besar tidak bisa melewati filter dan terpisah dari air. Tahap selanjutnya dilakukan proses reverse osmosis dengan tujuan untuk menahan bakteri, lemak protein, laktosa dan mineral (garam) namun melewatkan air. Reverse osmosis menggunakan tekanan 30-60 bar untuk melewatkan pelarut dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi melalui membrane dengan ukuran pori-pori 10-4-10-3 µm (Purnama 2004). Reverse osmosis memisahkan zat terlarut dengan berat molekul rendah (seperti garam) dari larutan dengan menggunakan tekanan tinggi untuk mengatasi tekanan osmotik larutan. Setelah melewati proses reverse osmotic I, air ditampung dalam tangki intermediate untuk menyeimbangkan pH (7.2-7.5). Air lalu dilewatkan pada cartridge filter II untuk mencegah pencemaran dari proses sebelumnya. Air diberikan tekanan lagi pada proses reverse osmosis II dengan tujuan untuk mencapai efisiensi pemisahan air dari zat-zat organic lain sebesar 100%. Air tersebut dimasukkan di dalam tangki untuk ozonisasi dengan sinar UV agar menuntaskan mikroorganisme yang masih tersisa. Setelah tahap permurnian selesai, air diinjeksikan dengan oksigen sebanyak 130 mg/l dengan menggunakan tekanan > 1 Bar dalam kemasan dalam botol plastik yang terbuat dari bahan HDPE (high density polyethilen) dengan tekanan oksigen dan diberi label. Untuk mengkonsumsinya dianjurkan menggunakan sedotan dan dihabiskan dalam satu kali minum untuk memastikan oksigen dapat dikonsumsi minimal 80 mg/l.
6
Jalur transpor oksigen dari air minum beroksigen tinggi Air minum beroksigen akan melewati saluran pencernaan dan berdasarkan penelitian diabsorbsi di usus halus. Pertama air masuk melalui mulut, esofagus dan lambung. Hingga mencapai lambung pelepasan oksigen terjadi secara lambat, hal ini dibuktikan oleh Nestle (2004) menggunakan teknik MRI. Di esofagus terdapat lapisan epitel pipih yang berlapis banyak sehingga oksigen tidak memiliki kesempatan untuk menembus lapisan tersebut. Selain di esofagus, di lambung pun tidak terjadi banyak penyerapan oksigen karena sel-sel epitel lambung impermeable terhadap air karena tidak dilengkapi dengan fasilitator transport nutrisi dan air. Dilambung hanya terjadi percernaan oleh HCl dan pepsin (Tan 2005). Zat dibawa ke seluruh tubuh melalui kombinasi aliran massif dan difusi. Aliran massif yaitu transport dengan menggunakan media pembawa (darah, udara), difusi pasif adalah pergerakan menuruni gradien konsentrasi dan transpor untuk melewati jarak dekat misalnya transpor untuk melewati membran. Difusi melewati membran dipengaruhi oleh permeabilitas membran. Absorbsi oksigen tinggi dari air minum ini terjadi melalui difusi pasif. Dinding usus halus berlipatlipat menjadi banyak tonjolan kecil seperti jari yang berbentuk vili (jamak dari villus). Oksigen masuk melalui epitel silindris dan jaringan ikat serta pembuluh darah kapiler yang terdapat dijaringan ikat vili-vili usus. Setiap villus berisi satu pembuluh limfatik buntu disebut lakteal dan juga jalinan kapiler. Sebagian besar nutrisi diabsorbsi di pembuluh ini. Aliran vena dari usus halus, usus besar, pankreas dan juga beberapa bagian lambung akan melewati hamparan kapiler (capillarity bed) kedua untuk diproses lebih lanjut sebelum memasuki sirkulasi (Ward 2007). Salah satu faktor utama dalam proses difusi ke pembuluh darah kapiler adalah perbedaan konsentrasi. Konsentrasi oksigen dalam vena (pembuluh balik) yang rendah (PO2 vena = 40 mmHg) memungkinkan terjadinya difusi oksigen ke dalam pembuluh darah vena jika konsentrasi oksigen di jaringan sekitarnya lebih besar. Pembuluh-pembuluh darah dari saluran pencernaan termasuk lambung dan usus bermuara ke vena porta hati. Dengan terjadinya peningkatan konsentrasi oksigen 10 mmHg mengakibatkan PO2 vena porta hati menjadi 58 mmHg sehingga terjadi peningkatan kadar oksigen dalam plasma darah atau peningkatan saturasi oksigen oleh Hemoglobin (Hb). Peningkatan persentasi oksigen yang terjadi dalam vena porta hati dapat meningkat mencapai sekitar 88%, bila seluruh 58 mmHg oksigen berikatan dengan hemoglobin. Di dalam organ hati, oksigen dari pembuluh vena saluran pencernaan maupun pembuluh arteri dari bilik kiri jantung akan digunakan untuk proses metabolisme menghasilkan energi (ATP) untuk efektivitas kerja hati. Konsumsi O2 saat istirahat pada orang dewasa adalah sekitar 250 mL/menit dan meningkat hingga lebih dari 4000 mL/menit saat olahraga berat. Namun demikian, solubilitas O2 di plasma tetap rendah dan pada PO2 sebesar 13 kPa darah hanya mengandung 3 mL/L O2 terlarut dalam larutan. Oleh karena itu, sebagian besar O2 yang diangkut terikat dengan hemoglobin di sel darah merah. (Ward 2007).
7 Kondisi Olahraga Olahraga menurut hakekatnya adalah aktivitas otot-otot besar yang menggunakan energi tertentu untuk meningkatkan kualitas hidup (Wulanjani 2010). Kegiatan fisik dan olahraga secara teratur bermanfaat untuk meningkatkan kebugaran, mencegah kelebihan berat badan, meningkatkan fungsi jantung, paru dan otot, meningkatkan suplai darah ke hati, membantu mempertahankan kekuatan otot dan kelenturan tulang sendi serta memperlambat proses penuaan, membantu mengurangi kegelisahan dan tidur lebih nyenyak, membantu mengatur nafsu makan (FAO 1997). Depkes (2002) menjelaskan bahwa olahraga yang baik dilakukan dengan melihat intensitas latihan (frekuensi dan lama latihan). Latihan fisik olahraga dengan frekuensi 3 kali seminggu dengan durasi waktu minimal 30 menit membantu untuk mempertahankan kesehatan fisik. Olahraga secara kontinu dan homogen selama 20-30 menit, dilakukan 3-5 kali seminggu, jalan, lari lambat, renang, bersepeda merupakan olahraga dengan kategori intensitas rendah (Cooper (1994) dalam Santosa dan Dikdik (2012)). Pada saat berolahraga, proses produksi energi di dalam sel otot akan berlangsung tepatnya di dalam mitokondria sel. Di dalam mitokondria, lemak atau karbohidrat akan dioksidasi untuk menghasilkan molekul energi ATP (adenosin trifosfat) yang merupakan sumber energi di dalam sel-sel tubuh. Selain menghasilkan energi, proses ini menghasilkan juga asam laktat yang dapat menghambat proses metabolisme pembentukan energi selanjutnya. Selama kebutuhan oksigen terpenuhi, oksigen sisa yang ada di dalam darah digunakan untuk menguraikan asam laktat dalam menghasilkan energi kembali. Proses produksi energi di dalam tubuh dapat berjalan melalui dua proses metabolisme yaitu metabolisme aerobik dan metabolisme anaerobik. Metabolisme energi pembakaran lemak dan karbohidrat dengan kehadiran oksigen (O2) disebut dengan metabolisme aerobik. Sedangkan proses metabolisme energi tanpa kehadiran oksigen (O2) disebut dengan metabolisme anaerobik (Campbell 2000). Metabolisme energi secara aerobik dapat menyediakan energi bagi tubuh untuk jangka waktu yang panjang sedangkan metabolisme energi anerobik mampu untuk menyediakan energi secara cepat di dalam tubuh namun hanya untuk waktu yang terbatas yaitu sekitar 5-10 detik. Pada olahraga dengan intensitas rendah tubuh secara dominan akan mengunakan metabolisme aerobik untuk menghasilkan energi. Apabila terjadi peningkatan intensitas olahraga hingga mencapai titik metabolisme energi aerobik tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan energi sesuai dengan laju yang dibutuhkan, maka energi secara anaerobik akan diperoleh dari simpanan Creatine Phosphate (PCr) dan juga karbohidrat yang tersimpan sebagai glikogen di dalam otot. Metabolisme energi secara aerobik disebutkan merupakan proses yang bersih karena tidak menghasilkan produk samping. Hal ini berbeda dengan sistem anaerobik yang akan menghasilkan produk samping berupa asam laktat yang akumulasinya akan membatasi efektivitas kontraksi otot yang juga dapat menimbulkan rasa nyeri. Reaksi keseluruhan glikolisis aerob adalah: Glukosa + 2NAD+ + 2Pi + 2ADP 2piruvat + 2NADH + 4H+ + 2ATP + 2 H2O
Bila sel mempunyai kapasitas oksidasi yang tinggi serta tersedia sejumlah mitokondria, enzim-enzim mitokondria dan oksigen, NADH akan ditransfer ke
8 rantai transport elektron mitokondria dan piruvat akan dioksidasi lengkap menjadi CO2 via siklus asam trikarboksilat (TCA). Membran mitokondria impermiabel untuk NADH, karena itu transfer ekivalen tereduksi dari sitosol ke dalam mitokondria memerlukan mekanisme shuttle (ulang-alik), baik proses ulang-alik malat-aspartat maupun ulang-alik gliserol 3-fosfat. Dalam oksidasi aerobik glukosa menjadi piruvat dan subsekuen oksidasi menjadi CO2, permolekul glukosa menghasilkan fosfat energi tinggi sebesar 38 ATP. Pada kondisi kapasitas oksidatif oleh sel mitokondria terbatas atau karena ketidakadaan oksigen, NADH yang dihasilkan glikolisis direoksidasi melalui perubahan piruvat menjadi laktat oleh laktat dehidrogenase. Perubahan glukosa menjadi laktat tersebut disebut glikolisis anaerob. Reaksi keseluruhannya: Glukosa + 2 ADP + 2 Pi 2 laktat + 2 ATP + 4 H+ +2 H2O Meningkatnya kadar asam laktat tersebut akan mengganggu k eseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh, sehingga menyebabkan menurunnya kekuatan dan kecepatan kontraksi atau gerakan otot (Guyton dan Hall 1996). Terkait dengan kesehatan dan performa secara umum diketahui bahwa prioritas utama dalam pemantauan status gizi pada olahragawan adalah menjaga keseimbangan energi. Oleh karena itu, di samping kadar laktat, salah satu parameter performa olahraga lainnya adalah otal energi saat berolahraga yang biasa disebut Energy Expenditure. Energi yang dibutuhkan untuk suatu aktivitas ditulis dalam kilokalori atau kilojoule per kilogram berat badan atau oksigen yang dibutuhkan dalam mililiter per kilogram berat badan. Energy Expenditure pada saat istirahat adalah 4,2 kj per kg berat badan per jam atau 3,5ml O2 per kg per menit (Bouchard dan Katzmarzyk 2010). Sistem imun Organisme multiseluler seperti manusia membutuhkan sistem transpor untuk zat dari dan ke sel. Media transport tersebut terdapat di sistem kardiovaskuler yaitu darah. Komponen utama darah yaitu plasma serta sel darah merah dan sel darah putih. Sel darah merah (eritrosit) berperan dalam untuk transport gas respirasi dan mengandung hemoglobin, sedangkan sel darah putih (leukosit) yang merupakan bagian aktif dari sistem pertahanan tubuh (Ward 2007). Sistem imun melawan invasi patogen dengan dua cara; 1) Respons alamiah nonspesifik yang teraktivasi dengan cepat yang seringkali bermanifestasi sebagai inflamasi; dan 2) Imunitas adaptif dimana sel-sel imun menghasilkan antibodi sebagai respons terhadap adanya protein asing. Respons alamiah memberikan peratahanan nonspesifik terhadap semua organisme yang menginvasi tubuh, sebaliknya respons imun adaptif dirancang untuk menghancurkan organisme tertentu dengan mengenali molekul penanda (protein) yang disebut antigen yang bisa dikenali oleh antigen spesifik. Sistem ini normalnya dapat membedakan antara protein sendiri dan protein asing (Ward 2007). Efektor imunitas yaitu sel darah putih (limfosit) memiliki dua bentuk utama yaitu sel T dan sel B. Sel T dan sel B yang telah memiliki reseptor untuk antigen yang telah disajikan (dan hanya sel tersebut) akan mengalami proliferasi klonal. Beberapa sel T yang teraktivasi (sel T sitotoksik) akan membunuh sel terinfeksi apapun yang ditemuinya dan sel T lainnya (sel T helper) akan
9 memfasilitasi produksi antibodi spesifik terhadap antigen, melalui sel B yang teraktivasi (Roitt 2011). Sistem ini memakan waktu 5 hari untuk berespons sempurna terhadap paparan awal antigen tetapi beberapa limfosit yang terstimulasi akan berdiferensiasi menjadi sel T memori, yang memungkinkan respon terjadi lebih cepat jika antigen tersebut kembali menginvasi tubuh pada kesempatan berikutnya (Ward 2007). Respon sistem imun sangat bergantung kepada kemampuan sistem imun untuk mengenali molekul asing (antigen) yang terdapat pada patogen potensial dan membangkitkan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan sumber antigen yang bersangkutan. Proses pengenalan antigen dilakukan oleh unsur utama sistem imun yaitu limfosit yang kemudian diikuti oleh fase efektor yang melibatkan berbagai jenis sel (Kresno 2001). Sel limfosit T CD4 dan sel T CD8 Mekanisme molekuler yang mendasari perkembangan sel T menjadi sel T CD4 dan CD8 telah banyak dipelajari, hasilnya menunjukkan bahwa berbagai molekul turut berperan serta dalam pematangan sel T menjadi subpopulasi sesuai dengan fungsinya (Kresno 2001). CD4 (Cluster of Differensiation 4) adalah glikoprotein yang diekspresikan pada permukaan sel T-helper, regulasi sel T, monosit, makrofag, dan sel dendritik. CD4 adalah co-reseptor yang membantu reseptor sel T (TCR) dalam mengaktifkan sel T menyusul interaksi dengan antigen-presenting cell. Tes CD4 mengukur jumlah sel T berisi reseptor CD4. Hasil biasanya diukur dalam jumlah sel per mikro liter (mm) darah. Jumlah CD4 kurang dari 200 sel per mikroliter dalam individu HIV yang positif didiagnosa sebagai AIDS. Hasil tes CD4 biasanya dilaporkan sebagai jumlah sel CD4 yang ada dalam satu milliliter kubik darah (biasanya ditulis mm3). Jumlah CD4 yang normal biasanya berkisar antara 500 dan 1600. Jumlah CD4 umumnya menurun perlahan-lahan pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). CD8 (Cluster of Differensiation 8) adalah transmembran glikoprotein yang berfungsi sebagai reseptor untuk sel T (TCR). Nilai untuk CD8 absolut adalah 531 sel/µl dan nilai normalnya 190 – 1140 sel/µl. Berat molekul CD8 sekitar 13,463.2 Da. Sebagian besar sel CD4 mengenali antigen yang ditampilkan bersama MHC kelas II dan sel-sel ini terutama berfungsi sebagai sel T helper. Sel-sel CD8 mengenali antigen yang ditampilkan bersama MHC I dan berfungsi terutama dalam dekstrusi sel terinfeksi virus atau mikroorganisme intraseluler lain. Baik sel T CD4 maupun CD8 dapat memprodukisi limfokin atau Interleukin. Untuk mengawali respon imun, reseptor αβ pada permukaan sel T berikatan dengan komplek MHC kelas I dan kelas II yang mengandung fragmen antigen atau fragmen self-peptidase yang dihasilkan oleh degradasi protein baik yang disintesis oleh sel yang sama (untuk MHC-I) atau yang diproses oleh sel lain (untuk MHCII). Pada umumnya respons imun seluler diawali dengan interaksi antara sel Th dengan antigen yang disajikan oleh APC atau interaksi antara sel T sitotoksik (Tc) dengan sel sasaran (kontak antar sel).
10
Gambar 1. Keberadaan CD4 dan CD8 pada permukaan sel T (Sumber: Roitt 2011) Sel Natural Killer (CD56) Sel Natural Killer adalah sel T cytotoxic yang tidak memerlukan MHC untuk mengenal antigen (MHC-unrestricted). Populasi sel ini dapat membunuh sel sasaran secara spontan tanpa sensitisasi terlebih dahulu dan tanpa tergantung produk-produk MHC, karena itulah disebut Natural Killer. Sel ini tidak memiliki ciri CD8. Namun sel ini memiliki reseptor untuk komplemen C3 dan reseptor untuk Fc. Sel-sel ini bersifat non-fagositik, non-adheren dan secara fenotip berbeda dengan sel T maupun sel B. Untuk membedakannya dengan sel T maupun sel B, sel ini memiliki penanda permukaan CD16 (yang merupakan reseptor untuk Fc) dan CD56. Ciri permukaan CD56 dapat digunakan untuk memastikan bahwa sel itu adalah NK (Kresno 2001).
Gambar 2. Mekanisme pertahanan sel Tc dan sel NK (Sumber: Roitt 2011) Sel NK memegang peranan penting dalam pertahanan alamiah terhadap pertumbuhan sel kanker dan berbagai penyakit infeksi, terutama virus tanpa sensititasi terlebih dahulu. Sebagian besar sel NK (95%) dapat berfungsi sebagai sel yang membunuh sel sasaran yang terinfeksi virus dan sel sasaran lain yang dilapisi IgG sehingga sel NK berfungsi sebagai sel sitotoksik yang bergantung pada antibody (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity = ADCC) (Kresno 2001). Sel NK juga memiliki reseptor lain yaitu immunoglobulin like receptors yang dapat berfungsi sebagai penghambat pembunuhan sehingga disebut sebagai killer inhibitor receptor. Lisis pada sel NK dapat terjadi dalam waktu beberapa menit setelah paparan. Mekanisme sitolisis berlangsung dalam 4 tahap sama seperti sel efektor lain, yaitu: 1) pengikatan sel sasaran; 2) aktivasi sel efektor
11 melalui sinyal dan transduksi sinyal; 3) melancarkan lethal hit kepada sel sasaran; dan 4) pelepasan sel NK dari sel sasaran (Kresno 2001). Interleukin-6 (IL-6) Interleukin-6 dahulu dikenal sebagai IFN-β2, hepatocyte stimulating factor dan plasmocytoma growth factor. IL-6 dibentuk oleh banyak sel dan berpengaruh pada banyak jenis sel sasaran. IL-6 diproduksi oleh beberapa jenis sel yang berbeda, tetapi sumber utama in vivo dirangsang oleh monosit /makrofag, fibroblas dan sel endotel vascular (Akira et al. 1993). Selain itu juga ditemukan bahwa selama kondisi istirahat, 10 - 35% dari IL-6 tubuh diproduksi oleh jaringan adiposa (Mohamed-Ali et al. 1997). IL-6 juga dianggap sebagai "myokine", sitokin yang dihasilkan dari otot, dan meningkat pada respon terhadap kontraksi otot. Hal ini secara signifikan meningkat seiring dengan aktivitas atau olahraga dan mendahului munculnya sitokin lain dalam sirkulasi. Selama berolahraga, IL-6 bertindak seperti hormon untuk memobilisasi substrat ekstraseluler dan/atau menambah pengiriman substrat tersebut. Interleukin-6 diproduksi secara lokal dalam otot rangka dan terbukti meningkat jumlahnya pada plasma selama olahraga. Produksi IL-6 selama berolahraga berbanding lurus dengan intensitas dan durasi olahraga dan menciptakan kondisi rendah glikogen di otot sehingga merangsang produksi IL-6. IL-6 yang dihasilkan otot dilepaskan ke dalam sirkulasi selama olahraga dalam jumlah tinggi dan IL-6 bekerja seperti hormon memberikan signal ke hati dan jaringan adiposa, sehingga memberikan kontribusi bagi pemeliharaan homeostasis glukosa selama berolahraga dan memediasi lipolisis selama olahraga. IL-6 dari otot ini juga dapat bekerja sebagai sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α (Pedersen 2001). Selain itu, osteoblas mensekresikan IL-6 untuk merangsang pembentukan osteoklas. Sel otot polos di pembuluh darah juga memproduksi IL-6 sebagai sitokin pro-inflamasi. Malonaldehida Radikal bebas yang diproduksi dalam jumlah normal, sesungguhnya penting untuk menjaga fungsi biologis. Namun, jika jumlahnya berlebihan, ia akan mencari pasangan elektronnya dengan merampas secara radikal dari molekul lain yang mengakibatkan kerusakan oksidatif jaringan yang sering dikenal sebagai stres oksidatif (Sies 1985). Latihan anaerobik dan stres oksidatif saling terkait karena latihan anaerobik intensitas tinggi menyebabkan kerusakan protein, lipid dan asam nukleat di dalam sel-sel otot dan darah. Latihan anaerobik kronis mempertinggi stres oksidatif dalam tubuh. Malonaldehida (MDA) merupakan produk hasil oksidasi lipid di dalam tubuh dan dapat digunakan sebagai indeks ketengikan oksidatif dalam makanan (Bird dan Drapper 1984). MDA biasanya dijumpai juga sebagai produk samping biosintesis dari prostaglandin dan produk yang dihasilkan radikal bebas di dalam tubuh. MDA terutama dihasilkan pada reaksi penguraian sel. Secara biologis MDA dihasilkan dari berbagai macam reaksi. Reaksi-reaksi tersebut misalnya adalah kebocoran sistem mitokondria, oksidasi lipida, olahraga berat,
12 dekomposisi asam amino dan komponen karbohidrat serta reaksi yang melibatkan radikal bebas. Asam lemak tak jenuh (PUFA) sangat mudah mengalami oksidasi karena memiliki karbon metilen pada bagian ikatan rangkap yang sangat sensitif terhadap pengurangan oksigen dan pembentukan senyawa radikal. Oksigen dapat melekat pada asam lemak yang kehilangan hidrogen dan membentuk senyawa radikal yang nantinya akan menghasilkan senyawa aldehid dan keton akibat bereaksi dengan lemak lain. MDA adalah salah satu senyawa aldehid yang bersifat toksik terhadap sel, senyawa aldehid lainnya adalah hidroaxialkenal. Konsentrasi MDA di dalam materi biologi telah digunakan secara luas sebagai indikator keberadaan radikal bebas. Keberadaan MDA dapat menyebabkan sitotoksisitas, mutagenitas, kerusakan membran dan modifikasi enzim di dalam tubuh (Muchtadi et al. 1993). Menurut Conti et al. (1991), analisa konsentrasi MDA dapat menggunakan metode TBA. MDA dapat bereaksi dengan TBA membentuk senyawa komplek MDA-TBA melalui reaksi nucleophilic addition reaction. Senyawa MDA-TBA yang terbentuk memiliki warna merah jambu yang dapat diukur menggunakan spektrofotometer.
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari – Juni 2013 di Laboratoriumm Somatokinetika FIK-UNJ Jakarta, Laboratorium Parasitologi - Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalitvet) Bogor, serta Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Kimia Departemen ITP, IPB Bogor. Bahan Bahan utama yang digunakan adalah sampel minuman beroksigen yang berkadar oksigen 50, 80 dan 130 ppm untuk jangka pendek dan 100 ppm untuk jangka panjang (@385 ml/botol). Produksi, pengemasan dan pelabelan dilakukan di PT Triusaha Mitraraharja (Garuda Food). Bahan yang digunakan pada saat pengambilan darah dan isolasi limfosit adalah EDTA 1%, PBS (Sigma-P3563), cairan histopaque (fycoll-hypaque) (Sigma-1077). Bahan kimia yang digunakan untuk perhitungan jumlah sel adalah Tripan Blue. Bahan kimia yang digunakan untuk analisa dengan ELISA adalah PBS (Sigma-P3563), skim milk 5%, antibodi monoklonal anti-CD4 human produced in mouse (sc-70665 Santa Cruz), antibodi monoklonal anti-CD8 human produced in mouse (GTX83296 GeneTex), antibodi monoklonal anti-CD56 human produced in mouse (GTX76336 GeneTex), antibodi monoklonal anti-IL-6 human produced in mouse (sc-28343 Santa Cruz), antibodi sekunder (antibodi poliklonal Horse Radish Peroxidase IgG anti-mouse (GTX26789 Horse Radish Peroxidase-conjugated goat anti-mouse IgG Polyclonal antibody)), antibodi sekunder (antibodi poliklonal Horse Radish Peroxidase IgG anti-rabbit (SC-2030 Santa Cruz Horse Radish Peroxidaseconjugated goat anti-rabbit IgG- Polyclonal antibody)), stop solution (H2SO4 1 M), substrat 3,3′,5,5′-Tetramethylbenzidine (TMB) (Sigma T4444) dan akuades.
13 Reagen yang digunakan untuk analisis malonaldehida adalah asam trikloroasetat (TCA), asam tiobarbiturat (TBA) dan BHT. Sebagai standar digunakan larutan standar tetraetoksipropana (TEP). Alat Pada jangka pendek, alat yang digunakan untuk uji performa adalah treadmill (Woodway) dan cardiorespiratory fitness test “Fitmate” (Cosmed) dengan protokol lari 10 km/jam. Alat tersebut dihubungkan dengan monitor pemantau EKG. Laktat diukur dengan Accutrend Lactate (ex Roche). Pada jangka panjang, alat-alat yang digunakan adalah vacutainer berisi EDTA 0.1%, venoject, tabung sentrifus, sentrifus, vortex, freezer -20°C, tabung reaksi dengan tutup, mikropipet, microplate 96 well, inkubator dan ELISA reader (Labsystem Multiscan EX) dengan filter 450 nm. Alat untuk analisis MDA adalah tabung reaksi, labu ukur, gelas piala, pipet mikro, sentrifus, vortex, penangas air, dan ELISA reader (Labsystem Multiscan EX) 540 nm.
Prosedur Analisis Data Pengolahan data dilakukan secara bertahap, dimulai dari data yang terkumpul di lapangan hingga data hasil analisis di laboratorium. Data kuantitatif konsumsi pangan (food recall) dan kuesioner diambil pada 3 hari pertama dan 3 hari terakhir (food recall) dan wawancara dilakukan pada hari ke-4, ke-7, ke-14 dan ke-21. Data yang terkumpul di lapangan akan diperiksa oleh peneliti dan diinput ke komputer. Sedangkan data yang diperoleh dari laboratorium dianalisis statistik menggunakan software statistik (Minitab 14). Tahap Penelitian Pemilihan Responden, Sosialisasi dan Intervensi Penelitian dilakukan dengan pengujian darah responden. Populasi subjek dipilih berjumlah 17 orang mahasiswa IPB berdasarkan kriteria berolahraga aktif, yaitu berolahraga secara rutin minimal 20-30 menit perharinya, tiga kali dalam seminggu atau setara. Olahraga yang dilakukan seperti tenis meja, basket, berenang, sepak bola, badminton, jogging rutin atau olahraga lainnya. Responden terdiri dari pria dengan usia antara 17-30 tahun dan merupakan mahasiswa Institut Pertanian Bogor. Sebelum dilakukan intervensi, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan klinis terhadap masing-masing responden. Pemeriksaan klinis yang dilakukan meliputi pemeriksaan kesehatan fisik organ luar, seperti mata, lidah, telinga, dan denyut jantung (elektrokardiografi), pemeriksaan laju pernafasan (spirometri), rontgen dan pengukuran tekanan darah. Subjek juga tidak memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, penyakit kardiorespirasi dan ginjal (berdasarkan pemeriksaan). Dari pemeriksaan tersebut didapatkan hasil bahwa secara keseluruhan responden dalam kondisi sehat jasmani dan tidak menderita penyakit apapun. Pembatasan juga diberlakukan terhadap aktivitas harian masing-masing responden. Mereka diperbolehkan untuk melakukan aktivitas sesuai dengan
14 kepentingan dan kewajiban masing-masing, berolahraga dan tidak diperkenankan untuk merokok, minum alkohol, melakukan aktivitas fisik terlalu berat atau maksimal, ataupun berjaga tidak tidur sampai larut malam (begadang). Oleh karena seluruh responden merupakan mahasiswa IPB yang bertempat tinggal di daerah Dramaga, maka aktivitas sehari-hari yang mereka lakukan didominasi oleh kegiatan di rumah, di kampus dan olahraga yang secara umum tergolong pada pekerjaan menengah sampai tinggi yang tidak terlalu mengeluarkan banyak energi seperti atlit. Berbagai ketentuan tersebut sesuai dengan isi surat perjanjian (Informed consent) yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu penulis selaku peneliti dan pihak responden sebagai subjek penelitian ini. Dengan adanya surat perjanjian, maka responden memiliki kewajiban untuk memenuhi dan mengikuti prosedur yang ditetapkan selama intervensi berlangsung. Pengujian Manfaat Minuman Beroksigen Secara Akut (Jangka Pendek) Sebelum melakukan treadmill telah dilakukan pencatatan terhadap berat dan tinggi badan untuk menentukan Indeks Masa Tubuh (IMT) dan pemeriksaan kesehatan untuk memastikan responden dalam keadaan sehat dan mampu melakukan latihan fisik. Setiap responden melakukan treadmill empat kali sesuai konsentrasi oksigen yang terlarut di dalam air (Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), 50, 80 dan 130 ppm) pada hari yang berbeda. Responden berlari sampai kemampuan maksimum dengan protokol 10 km/jam. Pengukuran kadar laktat dilakukan sebelum dan setelah melakukan treadmill. Lalu dilanjutkan dengan meminum minuman beroksigen (sesuai konsentrasi perlakuan) dan diukur kadar laktatnya pada 5 menit setelah meminum minuman beroksigen tersebut. Pengukuran kadar laktat menggunakan alat Accutrend Lactat (Roche) dengan mengambil darah dari jari tangan responden. Energy Expenditure (EE) diukur selama responden berada di atas treadmill secara otomatis tercatat pada alat. Denyut nadi maksimum dan tekanan darah dikontrol selama responden berada di atas treadmill secara otomatis pada alat. Pengujian Manfaat Minuman Beroksigen Secara Kronis (Jangka Panjang) Pengambilan Darah Pengambilan darah responden (17 orang) dilakukan sebelum dan sesudah konsumsi air beroksigen sebanyak 385 ml dua kali sehari (pagi dan sore hari) selama 21 hari. Kemudian dilakukan pengujian beberapa parameter terhadap darah responden sebelum dan sesudah perlakuan. Selain itu juga dilakukan kuesioner dan monitoring terhadap kebiasaan, jenis dan jumlah makan, minum dan merokok. Pengambilan darah dilakukan oleh petugas medis dengan mengikuti prosedur standar klinik. Darah yang diambil dari pembuluh vena mediana cubiti sebanyak 15 ml. Pengambilan darah dilakukan setelah responden menandatangani surat persetujuan (informed consent). Selanjutnya darah disentrifus untuk mendapatkan plasma dan limfosit. Darah yang sudah terpisah akan disimpan pada freezer dengan suhu -20 ºC untuk selanjutnya digunakan pada analisis biokimia darah. Parameter kesehatan yang diuji pada sampling darah yaitu: kadar malonaldehida, analisis kadar CD56, CD4, CD8 , Interleukin-6.
15 Analisa Kadar Malonaldehid (MDA) Plasma (Erniati et al. 2012) Sebanyak 100 µl plasma darah atau standar TEP ditambahkan dengan 75 µl larutan TCA 20% (dalam HCl 0.6 mol/L HCl). Setelah itu didinginkan dalam es selama 20 menit. Campuran tersebut disentrifus pada 5000 rpm selama 20 menit. 100 µl yang diperoleh ditambahkan 20 µl pereaksi TBA dan didihkan selama 30 menit. Setelah didinginkan campuran tersebut dimasukkan dalam microplate 96well dan dibaca serapannya dengan Microplate reader pada panjang gelombang 540 nm. Kurva standar dibuat dengan melarutkan 2,5 mmol 1,1,3,3-tetraetoksi propane dalam 1 L aquadest yaitu 30 µl TEP/50 ml, dan diencerkan kembali menjadi 0.001 µl/ml. Kemudian dibuat larutan standar dengan konsentrasi 0.0002, 0.0004, 0.0006, 0.0008 dan 0.001 µl/ml. Hasil pengukuran sampel kemudian dibandingkan dengan kurva standar TEP (1,1,3,3 tetraetoksipropana). Penetapan MDA dihitung dengan membandingkan absorbansi dengan kurva standar memakai tetraetoksipropan (TEP), menggunakan persamaan Y = aX + b. Analisis Kadar CD4, CD8, CD56 dan Interleukin-6 Isolasi limfosit (Damayanthi et al 2004) Campuran darah dan EDTA disentrifus pada 1500 rpm selama 10 menit. Plasma dialikuot dan disimpan pada suhu ± -20°C sampai dilakukan analisis. Buffycoat dilewatkan secara perlahan-lahan di atas fycoll-hypaque melalui dinding tabung kemudian disentrifus pada 2500 rpm selama 30 menit. Selanjutnya dilakukan pencucian limfosit yang bertujuan untuk menghilangkan monosit, plasma dan ficoll-hypaque yang mengkontaminasi. Pencucian ini dilakukan dengan cara menambahkan PBS dan sentrifus pada 1500 rpm selama 10 menit. Setelah itu, buang larutan dan sisakan pelet limfosit yang terdapat pada bagian bawah tabung sentrifus. PBS ditambahkan kembali pada tabung sentrifus yang mengandung pelet limfosit dan dilakukan perhitungan menggunakan pewarna trifan blue dengan alat hemositometer. Jumlah sel disetarakan hingga didapatkan populasi makrofag 106 sel/ml. Suspensi dengan konsentrasi yang sama dapat disimpan dalam freezer bersuhu ± -20°C sampai siap dilakukan analisis selanjutnya. Metode ELISA untuk Perhitungan Kadar CD4, CD8, dan CD56 (Zakaria et al. 2006) Suspensi limfosit 100 µl dimasukkan ke dalam microplate 96 well, kemudian diinkubasi pada suhu 4oC selama 1 malam. Cairan dalam microplate dibuang dan dicuci dengan 300 µl PBST (yaitu larutan PBS dengan 0.05% Tween 20). Selanjutnya ditambahkan 100 µl skim milk 3% pada masing-masing well dan diinkubasi pada 37oC selama 2 jam. Cairan dalam microplate dibuang dan dicuci dengan PBST. Kemudian ditambahkan antibodi primer (monoclonal anti CD4/CD8/CD3/CD56) sebanyak 100 µl (sesuai dengan konsentrasi yang direkomendasikan) dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 jam. Cairan dalam microplate dibuang dan dicuci dengan PBST. Antibodi sekunder (antibodi HRP IgG anti-mouse atau antibodi HRP IgG anti-rabbit untuk antibodi primer CD4) ditambahkan sebanyak 100 µl dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 1 jam. Cairan dalam microplate dibuang dan dicuci dengan PBST. Lalu substrat TMB ditambahkan sebanyak 50 µl dan diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit dan ditambahkan stop solution. Penghitungan waktu inkubasi dimulai sejak
16 penambahan substrat pada well terakhir. Selanjutnya microplate dibaca dengan Elisa Reader pada panjang gelombang 450 nm. Perhitungan kadar Interleukin-6 dengan Metode ELISA (Zakaria et al. 2006) Plasma sebanyak 100 µl dimasukkan ke dalam microplate 96 well, kemudian diinkubasi pada suhu 4oC selama 1 malam. Cairan dalam microplate dibuang (dengan cara membalik microplate dan dihentakkan) dan dicuci dengan 300 µl PBST (yaitu larutan PBS dengan 0.05% Tween 20). Selanjutnya ditambahkan 100 µl skim milk 3% pada masing-masing well dan diinkubasi pada 37oC selama 2 jam. Cairan dalam microplate dibuang dan dicuci dengan PBST. Kemudian ditambahkan antibodi primer (monoclonal anti-IL-6) sebanyak 100 µl (1:5000) dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 jam. Cairan dalam microplate dibuang dan dicuci dengan PBST. Antibodi sekunder (antibodi HRP IgG Antimouse) ditambahkan sebanyak 100 µl (1:10.000) dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 1 jam. Cairan dalam microplate dibuang dan dicuci dengan PBST. Substrat TMB ditambahkan sebanyak 50 µl dan diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit kemudian dilakukan penambahan 50 µl stop solution. Penghitungan waktu inkubasi dimulai sejak penambahan substrat pada well terakhir. Selanjutnya microplate dibaca dengan Elisa Reader pada panjang gelombang 450 nm.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik responden Responden dari penelitian ini merupakan mahasiswa IPB yang gemar berolahrga. Responden diperoleh berdasarkan hasil survey ke unit kegiatan olahraga mahasiswa IPB dan juga mahasiswa yang aktif berolahraga di lingkungan IPB. Responden yang dipilih merupakan mahasiswa IPB berolahraga aktif, yaitu secara rutin berolahraga minimal 20-30 menit setiap hari tiga hari perminggu atau setara. Olahraga yang dilakukan seperti tenis meja, basket, futsal, sepak bola, badminton, bersepeda, bela diri, jogging rutin atau olahraga lainnya. Berdasarkan hasil survey tersebut dilakukan sosialisasi awal secara personal untuk meminta kesediaannya menjadi responden. Kesediaan responden dengan keterangan yang jelas sejak awal diharapkan dapat meminimalisiir kemunduran responden dari penelitian ini. Atas kesediaannya, calon responden diminta untuk mengikuti pemeriksaan kesehatan yang dilakukan di Klinik dr Katili, Dramaga, Bogor. Keseragaman dalam beberapa aspek seperti jenis kelamin, tempat tinggal, kecenderungan usia diharapkan dapat menurunkan bias pada penelitian ini.
17 Berikut karakteristik responden yang berjumlah 17 orang. Tabel 1 Karakteristik Demografi Responden Karakteristik Responden Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total Usia Dewasa (20-27 tahun) Total Pendidikan Terakhir SMA Strata 1 (S1) Total Pekerjaan Mahasiswa S1 Mahasiswa S2 Total Tempat tinggal Dramaga, Bogor Uang Saku perbulan Rp. 500.000-1.000.000 Rp. 1.000.000 - 1.500.000 > Rp. 1.500.000
Jumlah
Persentase (%)
17 17
100 0 100
17 17
100 100
12 5 17
70.59 29.41 100
13 4 17
76.47 23.53 100
17
100
14 2 1
82.35 11.76 5.88
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan kesehatan fisik organ luar, seperti mata, lidah, telinga, dan denyut jantung (elektrokardiografi), pemeriksaan laju pernafasan dengan spirometri, rontgen dan pengukuran tekanan darah. Subjek juga dipastikan tidak memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, penyakit kardiorespirasi dan ginjal (berdasarkan pemeriksaan dan kuesioner). Dari pemeriksaan tersebut diperoleh 15 responden yang dinyatakan dalam kondisi sehat jasmani dan tidak menderita penyakit apapun dan 2 orang responden memiliki gejala bronkitis, namun berdasarkan hasil spirometri (pemeriksaan fungsi paru) dinyatakan dapat mengikuti penelitian. Kondisi kesehatan yang baik pada usia produktif menjadi kriteria penting dalam penelitian karena masih memiliki metabolisme tubuh yang masih normal dan kondisi kesehatan yang baik ini dapat memperkecil variasi antar responden. Kondisi kesehatan responden di awal penelitian berdasarkan wawancara dan pemeriksaan kesehatan ditampilkan pada Tabel 2 dan Tabel 3.
18
Tabel 2. Kondisi Kesehatan Responden Karakterisasi Indeks Massa Tubuh (IMT) (kg/m2): Normal (18,5
Jumlah
Persentase (%)
9 3 5 17
52.94 17.65 29.41 100
15 2
88.24 11.76
17
100
10 7
58.8 41.2
17
100
17
100
15 2
88.24 11.76
17
0 100
17
0 100
-
-
17 8 5 1 1 1 1
100 47.06 29.41 5.88 5.88 5.88 5.88 0
16 1
94.12 5.88
-
19 Tabel 3.Hasil Pemeriksaan Hematologi Responden Hematologi Hemoglobin Normal (12-16 g/dl) Rendah (<12 g/dl) Tinggi (>16 g/dl) Total Hematokrit Normal (40-50%) Rendah (<40%) Tinggi (>16 g/dl) Total Leukosit Normal (4000-10000 µl) Rendah (<4000 µl) Tinggi (>10000 µl) Total Trombosit Normal (150000-400000) Rendah (<12 g/dl) Tinggi (>16 g/dl) Total Eritrosit Normal (33-36 g/dl) Hitung Jenis: - Basofil (0-1 %) - Eusonofil (1-3%) - Neutrofil Bersegmen (50-70%) - Neutrofil Berbatang (0-6%) - Limfosit Normal (20-40%) Melebihi Normal (>40%) - Monosit Normal (2-8%) Melebihi Normal (>8%) Laju Endap Darah (LED) Normal (0-15 mm/jam) Melebihi Normal (>15 mm/jam)
Jumlah
Persentase (%)
16 0 1 17
94.12 0 5.88 100
16 1 0 17
94.12 5.88 0 100
16 0 1 17
94.12 0 5.88 100
16 0 1 17
94.12 0 5.88 100
17
100
17 17 17 17
100 100 100 100
16 1
94.12 5.88
16 1
94.12 5.88
13 4
76.47 23.53
Pemeriksaan hematologi berkaitan dengan pemeriksaan darah total. Kadar hemoglobin merupakan parameter yang paling berhubungan dengan asupan oksigen. Berdasarkan azas Le-Chatelier, dengan berkurangnya gas oksigen akan berakibat kadar HbO2 di dalam darah menurun. Akibat yang ditimbulkan dari
20 keadaan tersebut, suplai oksigen ke seluruh jaringan akan berkurang. Kondisi tersebut akan mengakibatkan tubuh berusaha beradaptasi dengan memproduksi hemoglobin sebanyak-banyaknya. Berdasarkan pemeriksaan kesehatan, 16 dari 17 responden memiliki Hb normal, dan 1 orang memiliki Hb yang tinggi. Hb tinggi memiliki kelebihan, yaitu dapat meningkatkan pengikatan oksigen oleh darah. Sehingga orang dengan kadar Hb yang tinggi biasanya memiliki nafas yang panjang dan daya tahan aktifitas fisik yang baik. Bahkan beberapa atlit sengaja menaikkan kadar Hb-nya (Theml et al 2004). Kadar hematokrit normal terdapat pada 16 responden, namun terdapat responden dengan kadar hematokrit yang rendah. Rendahnya kadar hematokrit terjadi dengan pasien yang mengalami kehilangan darah akut, anemia, leukemia, penyakit hodgkins, limfosarcoma, mieloma multiple, gagal ginjal kronik, sirosis hepatitis, malnutrisi, atau hanya karena defisiensi vit B dan C, kehamilan, SLE, athritis reumatoid, dan ulkus peptikum (Sutedjo 2008). Jumlah leukosit 1 dari 17 responden cukup tinggi, namun peningkatan ini dapat terjadi setelah melakukan aktifitas fisik yang sedang, karena masih cukup normal, tidak lebih dari 11.000/μl. Trombosit merupakan bagian dari sel darah yang berfungsi membantu dalam proses pembekuan darah dan menjaga integritas vaskuler. Seorang responden memiliki jumlah trombosit yang tinggi disebut trombositosis, namun jumlah yang masih mendekati normal tidak mengakibatkan penyakit penggumpalan yang berbahaya. Di samping itu 1 dari 17 orang responden memiliki kadar leukosit dan monosit yang melebihi normal. Selain itu juga dioeriksa Laju Endap Darah (LED). Laju endap darah (erithrocyte sedimentation rate, ESR) adalah kecepatan sedimentasi eritrosit dalam darah yang belum membeku, dengan satuan mm/jam. LED 4 orang responden melebihi batas normal. LED dijumpai meningkat selama proses inflamasi akut, infeksi akut dan kronis, kerusakan jaringan (nekrosis), penyakit kolagen, rheumatoid, malignansi, dan kondisi stress fisiologis (misalnya kehamilan) (Sutedjo 2008). Pengetahuan responden terhadap minuman beroksigen perlu diketahui untuk melihat bagaimana pengetahuan dan pengalaman responden terhadap produk minuman beroksigen. Dalam penelitian ini, informasi diperoleh berdasarkan wawancara sesuai dengan kuesioner (Lampiran 1). Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa 15 responden mengetahui minuman beroksigen, 11 orang mengetahui manfaatnya dan 1 orang pernah mengkonsumsi minuman beroksigen sebelum penelitian ini. Responden yang secara keseluruhan hanya terdiri dari pria dengan usia antara 17-25 tahun (dewasa) memungkinkan responden lebih dapat menerima maupun mencari informasi sendiri dan lebih mudah dalam penyerapan informasi baru (Zakaria 2011). Selain itu, responden yang terdiri dari 13 mahasiswa Strata 1 dan 4 Mahasiswa Strata 2 menunjukkan kuatnya kemampuan dalam menerima informasi baru, mencari seluas-luasnya informasi serta diharapkan lebih menjaga keakuratan penelitian yang diikuti. Responden yang telah lulus pemeriksaan kesehatan dan bersedia menjadi responden diundang untuk mengikuti sosialisasi massal dalam rangka memberikan pengetahuan mengenai produk minuman beroksigen serta manfaatnya. Selain itu juga disosialisasikan manfaat penelitian, tahap-tahap penelitian serta cara mengkonsumsi minuman beroksigen yang benar dan
21 dianjurkan. Cara mengkonsumsi yang dianjurkan adalah memeriksa tekanan terlebih dahulu lalu membolak-balikkan botol untuk memastikan kemasan dan minuman dalam kondisi baik, membuka tutup botol dan disarankan langsung segera dihabiskan, jika tidak mampu menghabiskan disarankan untuk menutup botol kembali. Pada kegiatan sosialisasi dilakukan pula penandatanganan surat perjanjian (informed consent) (Lampiran 2). Berbagai ketentuan yang dilakukan selama penelitian sesuai dengan isi surat perjanjian (informed consent) yang disepakati bersama oleh kedua belah pihak, yaitu penulis selaku peneliti dan pihak responden sebagai subjek penelitian ini. Dengan adanya surat perjanjian, maka responden memiliki kewajiban untuk memenuhi dan mengikuti prosedur yang ditetapkan selama penelitian jangka pendek maupun intervensi yang berlangsung selama 21 hari (jangka panjang). Pengujian manfaat minuman beroksigen secara akut (jangka pendek) Pengujian jangka pendek dilakukan untuk melihat manfaat minuman beroksigen dengan beberapa tingkat konsentrasi oksigen terlarut (50, 80 dan 130 ppm) terhadap performa olahraga 12 responden yang ditunjukkan dari kadar laktat dan Energy Expenditure serta menentukan konsentrasi paling efektifnya dengan melalukan latihan fisik (treadmill) dengan menggunakan treadmill (Woodway) dan cardiorespiratory fitness test “Fitmate” (Cosmed) dengan protokol lari 10 km/jam. Alat tersebut dihubungkan dengan monitor pemantau EKG. Pengukuran terhadap berat dan tinggi badan telah dilakukan sebelumnya dan dilakukan pencatatan pada alat. Populasi responden melakukan treadmill (latihan fisik) masing-masing empat kali berdasarkan konsentrasi oksigen yang terlarut di dalam air (air minum dalam kemasan, 50, 80 dan 130 ppm) pada hari yang berbeda, kemudian dilakukan kembali percobaan yang sama pada akhir intervensi 21 hari. Pemeriksaan kesehatan dilakukan sesaat sebelum treadmill untuk memastikan responden dalam keadaan sehat dan mampu melakukan latihan fisik dengan treadmill. Kadar Laktat Respon asam laktat sebagai akibat dari suatu latihan pada akhir-akhir ini cukup mendapat perhatian yang besar dari para ahli fisiologi, khususnya berkaitan dunia keolahragaan. Kadar asam laktat menjadi salah satu variabel yang sering diukur dan digunakan untuk mengetahui kinerja atlet. Ambang anaerobik (anaerobic threshold) adalah saat mulainya asam laktat terkumpul dalam jaringan otot dan darah sebagai hasil sampingan glikolisis anaerobik akibat dari suatu intensitas latihan (Lamont, 1992). Pada saat ambang anaerobik terjadi seorang atlet akan menggunakan energinya dari semula dominan dengan sistem aerobik menjadi sistem anaerobik. Jika seorang atlet telah melampaui ambang anaerobik, maka ia akan bekerja pada sistem anaerobik, sehingga mengakibatkan ia mudah lelah dan aktivitas akan terhenti. Apabila seseorang terus meneruskan beraktivitas pada sistem anaerobik, maka ia akan semakin banyak hutang oksigen, dan berakibat semakin banyak asam laktat yang menumpuk dalam tubuh. Kumpulan asam laktat ini akan menghalangi, kemudian menghentikan sama sekali penyediaan energi, yang diproduksi oleh ATP (Adenosin Tri Pospat). Oleh karena itu jika seseorang
22 sedang berlari jauh, mengalami banyak hutang oksigen, yang disebabkan aktivitas anaerobik, maka ia tidak akan dapat meneruskan langkahnya lebih lama lagi, atlet tersebut akan mengurangi kecepatannya, atau bahkan berhenti sama sekali untuk membayar hutang oksigen selama ia berlari. Pada penelitian ini, responden yang telah mengkonsumsi minuman beroksigen berolahraga lari pada treadmill sampai kemampuan maksimum. Pengukuran kadar laktat dilakukan sebelum melakukan treadmill dan setelah treadmill, dilanjutkan dengan meminum minuman beroksigen (sesuai konsentrasi perlakuan) dan diukur kadar laktatnya pada 5 menit setelah meminum minuman beroksigen tersebut. Pengukuran kadar laktat menggunakan alat Accutrend Lactat (Roche) dengan mengambil darah dari jari tangan responden. Pada percobaan ini, diharapkan minuman beroksigen dengan konsentrasi tertentu dapat menurunkan produksi laktat selama treadmill dan mempercepat penurunan laktat setelah treadmill setelah mengkonsumsi minuman beroksigen. Asam laktat diproduksi secara terus menerus di dalam tubuh. Meskipun demikian jumlah asam laktat dalam tubuh relatif tetap. Gambar 3 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar laktat akibat treadmill. Kadar laktat dalam berolahraga termasuk treadmill diharapkan tidak meningkat dengan cepat karena dapat menurunkan performa olahraga terutama pada olahraga dalam jangka waktu lama. Peningkatan kadar laktat dengan mengkonsumsi minuman beroksigen sebelum treadmill meningkat seiring peningkatan konsentrasi oksigen dalam air minum. Berbeda jika minuman beroksigen dikonsumsi pada saat setelah treadmill (Gambar 4), penurunan kadar laktat paling cepat pada minuman beroksigen mulai dari 80 ppm, 130 ppm dan 100 ppm (jangka panjang). 16
Kadar laktat (mmol/l)
14 12
AMDK
10 50 ppm
8
80 ppm
6 4
130 ppm
2 Jk Panjang (100 ppm)
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Responden
Gambar 3 Peningkatan kadar laktat sebelum - setelah treadmill Pada orang sehat dalam keadaan sedang istirahat, jumlah asam laktat sekitar 1-2 mM/l, 1- 1.8 mM/l (Fox 1993). Batas toleransi terhadap ketinggian konsentrasi asam laktat pada otot dan darah selama melakukan aktivitas latihan fisik tidak diketahui secara pasti. Namun demikian, toleransi kadar asam laktat
23 pada manusia diperkirakan mencapai diatas 20 mM/l darah dan 25 mM/l kg berat otot basah, dan bahkan bisa mencapai diatas 30 mM/l pada latihan dinamis dengan intensitas tinggi. Pada penelitian ini, dari 12 responden diperoleh kadar laktat terendah 1.4 mM/l yaitu sebelum treadmill dan tertinggi 15.7 mM/l. Nilai kadar laktat ini menunjukkan nilai yang masih berada pada batas toleransi. Waktu penurunan kadar asam laktat darah dan otot diperlukan kurang lebih 60 menit pemulihan untuk menyingkirkan tumpukan asam laktat. Pada subyek yang lari di treadmill membutuhkan waktu yang kurang lebih sama untuk menurunkan kadar asam laktatnya. Pada umumnya dibutuhkan waktu 25 menit untuk menyingkirkan separuh dari tumpukan asam laktat setelah berolahraga maksimal. Ini berarti bahwa untuk menghilangkan 95% dari tumpukan asam laktat diperlukan waktu kurang lebih 60 menit setelah olahraga maksimal. Perbedaan antara 2 pengamatan ini terutama terlihat dari konsumsi minuman beroksigen 130 ppm, pada konsumsi sebelum treadmill justrukurang efektif karena meningkatkan kadar laktat, sedangkan konsumsi setelah treadmill menurunkan kadar laktat lebih cepat. Peningkatan kadar laktat dengan mengkonsumsi minuman beroksigen tidak memberikan efek penghambatan produksi laktat jika dikonsumsi sebelum treadmill. Hal ini didukung penelitian Willmert et al. (2002), konsumsi minuman beroksigen dengan konsentrasi oksigen yang lebih rendah (13.5 ml/L) sebelum treadmill juga tidak memberikan efek nyata terhadap laktat. Faktanya pemulihan asam laktat adalah berkisar 60 menit, puncak penumpukan asam laktat terjadi pada 5 menit setelah latihan (Fox,1993). Meningkatnya kadar asam laktat dalam otot dan darah akan mengakibatkan terjadinya perubahan pH menjadi asam. Perubahan ini berdampak kurang menguntungkan bagi aktivitas sel akibat terganggunya kinerja sejumlah enzim untuk proses metabolisme. Untuk menstabilkan pH otot seperti kondisi sebelum latihan dibutuhkan 30-35 menit waktu pulih (Costill, 2008). Namun responden yang mengkonsumsi minuman beroksigen setelah treadmill ternyata dapat menurunkan kadar laktat dengan cukup cepat yaitu pada kurang dari 25 menit (Gambar 4). Dengan pengamatan 5 menitpun sudah ditemukan penurunan hingga setengahnya yaitu 6,7 mM/l dengan konsumsi minuman beroksigen 130 ppm. Hal ini menunjukkan, penyerapan minuman beroksigen khususnya 130 ppm lebih tinggi pada keadaan kurang oksigen/hipoksia (setelah treadmill) sehingga lebih berfungsi pada pemulihan laktat (kelelahan).
24 8
Kadar laktat (mmol/l)
7
AMDK
6 5
50 ppm
4
80 ppm
3 130 ppm
2 1
Jk Panjang (100 ppm)
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Responden
Gambar 4 Penurunan kadar laktat setelah treadmill – setelah konsumsi AO
Rataan±SD perubahan kadar laktat (mmol/l)
Rataan dan standar deviasi masing-masing perlakuan sampel sebelumsetelah treadmill dan setelah treadmill-setelah mengkonsumsi minuman beroksigen dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6. 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 AMDK
50 ppm
80 ppm
130 ppm
Konsentrasi Minuman Beroksigen
Jk Panjang (100 ppm)
Gambar 5 Rataan ± SD peningkatan kadar laktat sebelum-setelah treadmill
25
Rataan ±SD perubahan kadar laktat (mmol/l)
Konsentrasi Minuman Beroksigen AMDK
50 ppm
80 ppm
130 ppm
Jk Panjang (100 ppm)
0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12
Gambar 6 Rataan ± SD penurunan kadar laktat setelah treadmill- setelah komsumsi minuman beroksigen Pemusnahan asam laktat darah terjadi melalui oksidasi dalam serabut otot, laktat yang tidak teroksidasi akan berdifusi dari otot yang aktif ke dalam kapiler dan akan menuju hati. Melalui siklus Cori laktat dapat diubah menjadi piruvat, jika ada oksigen akan diubah menjadi glukosa. Glukosa ini dapat dimetabolisme oleh otot yang aktif atau disimpan dalam otot sebagai glikogen untuk digunakan kemudian (Sport Advisor 2007). Tetapi menurut Petersen (2005), ada bukti bahwa bukan organ hati saja yang bisa mengubah asam laktat darah melalui siklus Cori, tetapi jaringan otot merah, jantung, dan otak secara langsung dapat mengoksidasi asam laktat sehinggan bisa digunakan menjadi energi. Berdasarkan analisis statistik, perbedaan antara konsumsi air minum dalam kemasan, minuman beroksigen 50 ppm, 80 ppm, 130 ppm serta 100 ppm setelah jangka panjang menunjukkan hasil yang tidak berbeda signifikan (Tabel 4). Tabel 4 Analisis statistik kadar laktat Kadar laktat (mmol/l) a
Sebelum dan setelah treadmill b Setelah treadmill dan 5 menit minuman AO ab
Rataan ± Rataan ± Rataan ± SD SD (AO SD (AO (AMDK) 50 ppm) 80 ppm)
Rataan ± SD (AO 130 ppm)
Rataan ± SD (AO 100 ppm)
One way ANOVA
7,6 ± 2,4 7,6 ± 2,3 7,9 ± 2,6 8,8 ±2,8
8,1 ±2,4 p = 0,764
2,0 ± 1,8 2,5 ± 1,3 2,4 ± 1,4 2,8 ± 1,6
2,6 ±1,5 p = 0,733
p -value > alpha (0.05), maka Terima H0, artinya tidak berbeda nyata
Perubahan kadar laktat dapat dilihat berdasarkan rasio peningkatan kadar laktat sesuai dengan konsumsi sebelum treadmill dan penurunan kadar laktat dalam pemulihan setelah mengkonsumsi minuman. Peningkatan dengan nilai
26 lebih rendah yang diinginkan dilihat dari nilai rasio yang rendah, sedangkan rasio penurunan yang tinggi menunjukkan penurunan yang lebih tinggi sesuai harapan. Rasio peningkatan dan penurunan kadar laktat serta analisis statistiknya ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5. Rasio Peningkatan dan Penurunan Kadar Laktat Rasio Peningkatan Kadar Laktat Setelah Treadmill dengan Konsumsi N o. AMDK
50 ppm
80 ppm
130 ppm
100 ppm (jangka panjang)
Rasio Penurunan Kadar Laktat akibat Konsumsi Setelah Treadmill
AMDK
50 ppm
80 ppm
130 ppm
100 ppm (jangka panjang)
3.26 3.17 3.97 3.10
2.88 3.55 3.49 7.50
3.77 5.21 4.75 3.79
4.64 3.42 6.67 4.66
4.45 4.89 4.76 3.62
1.31 1.07 1.52 1.18
1.09 1.21 1.40 1.12
1.43 1.27 1.31 1.20
1.08 1.41 1.72 1.35
1.41 1.69 1.23 1.24
5 6 7 8 9 10
2.48 2.79 2.08 3.34 2.63 3.54
2.56 3.11 2.02 3.08 2.82 3.38
2.62 2.46 2.29 2.56 2.79 2.32
2.88 2.43 3.21 3.45 1.88 2.63
1.89 2.42 2.43 2.14 3.64 2.66
1.49 1.07 1.00 1.43 1.09 1.51
1.35 1.22 1.70 1.56 1.18 1.63
1.24 0.99 1.53 1.13 1.23 1.45
1.09 1.20 1.29 1.29 1.19 0.94
1.20 1.02 1.51 1.14 1.25 1.09
11 12
5.07 2.57
3.68 3.44
3.97 2.44
4.41 4.38
2.66 3.85
1.04 1.03
1.19 1.34
1.22 1.08
1.33 1.44
1.50 1.18
3.17
3.46
3.25
3.72
3.28
1.23
1.33
1.26
1.28
1.29
0.79
1.36
1.02
1.30
1.05
0.20
0.20
0.16
0.20
0.19
p-value
SD
Rataan
1 2 3 4
0.762
0.754
Peningkatan kadar laktat jika diamati berdasarkan rasionya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar laktat dengan mengkonsumsi minuman beroksigen. Peningkatan kadar laktat terendah pada konsumsi AMDK yaitu meningkatkan kadar laktat 3.17 kali dari kadar laktat awal, sedangkan tertinggi pada konsumsi minuman beroksigen 130 ppm. Jika diamati konsumsi minuman beroksigen pada saat pemulihan, minuman beroksigen dapat menurunkan kadar laktat lebih cepat dibandingkan AMDK, dengan penurunan 1.26-1.33 kali dari
27 kadar laktat setelah treadmill. Hal ini sesuai dengan perubahan kadar laktat. Hasil statistik menunjukkan perbedaan antar perlakuan tidak berbeda signifikan. Energy Expenditure (EE) Energy Expenditure (EE) diukur selama responden berada di atas treadmill secara otomatis tercatat pada alat. Data dari tiap responden harus dimasukkan ke dalam alat untuk memproses data secara otomatis. Data yang dimasukkan adalah berat badan, tinggi badan dan usia. Responden berlari dengan protokol 10 km/jam hingga kemampuan maksimun, dan pada akhir treadmill computer akan menunjukkan rekaman performa responden tersebut. Energy Expenditure merupakan energi yang dikeluarkan atau digunakan oleh tubuh. Perbedaan energi seseorang berbeda karena perbedaan berat, tinggi dan usia orang tersebut yang akan menghasilkan energi metabolisme basal yang berbeda-beda. Selain itu jarak yang ditempuh akan juga menentukan kalori yang digunakan responden. Pada alat telah terhitung secata otomatis energi maksimum yang dikeluarkan setiap responden. Energy Expenditure yang diamati pada penelitian ini merupakan jumlah energi yang dikeluarkan atau digunakan oleh tubuh saat melakukan uji performa (treadmill) pada VO2 max. VO2 max adalah kemampuan maksimal seseorang untuk memasukkan oksigen, yang biasanya dicapai ketika sesorang melakukan aktivitas sampai lelah. Hasil menunjukkan bahwa secara rata-rata energi yang dapat dimanfaatkan oleh responden lebih besar dengan mengkonsumsi minuman beroksigen dibandingkan dengan hanya mengkonsumsi minuman dalam kemasan biasa. Hal ini terjadi karena pada awal latihan (olahraga) laju pemakaian oksigen meningkat dengan tiba-tiba, tapi membutuhkan waktu antara 2 atau 3 menit untuk mencapai tingkatan yang dituntut oleh kerja yang cukup berat. Ketidaklancaran dalam respon VO2 max ini menandakan bahwa metabolisme aerobik tidak dapat merespon dengan cukup cepat untuk memenuhi seluruh kebutuhan energi tubuh selama peralihan dari istirahat ke olahraga. Selama periode peralihan ini tubuh menimbun kekurangan oksigen. Keadaan seperti ini sering disebut “Oxygen Defisit” (Fox 1993). Dengan adanya pasokan oksigen dari minuman beroksigen mengakibatkan energi masih dapat dihasilkan. Pada saat kapasitas aerobik maksimal tercapai, energi yang dikeluarkan mencapai maksimum. Total energi yang dikeluarkan (total energy output) tersebut sebenarnya tidak hanya dipasok oleh sistem energi aerobik saja, tetapi juga melibatkan dukungan energi anaerobik (Burke 1990). Namun hasil pengujian ANOVA secara statistik (TK 95%) dengan software Minitab 14 menunjukkan hasil tidak berbeda nyata antara air minum dalam kemasan dengan air minum beroksigen pada konsentrasi 50, 80, dan 130 ppm terhadap EE. VO2max merupakan salah satu kriteria performa atlit. Kategori performa tersebut dibagi menjadi Very Poor : < 37,1, Poor : 37,1 – 41,0, Fair : 41,0 - 44,2, Good : 44,2 - 48,2, Excellent: 48,2 - 54,0, dan Superior : > 54,0. Jika energi yang digunakan dibagi menurut kategori VO2 maxnya, maka pada responden yang memiliki VO2 max yang tinggi (VO2 max ≥ 44,2, mulai kategori good), maka minuman beroksigen cenderung dapat meningkatkan energi lebih tinggi pada intervensi jangka panjang (100 ppm). Namun, berdasarkan analisis statistik
28
Energy Expenditure (kkal/jam)
perbandingan ini masih tidak signifikan. Rata-rata dan standar deviasi energi yang dibutuhkan keseluruhan responden, responden dengan VO2 max tinggi dan responden dengan VO2 max rendah ditampilkan pada Gambar 7. 1,200.00 AO 0 ppm
1,000.00 800.00
AO 50 ppm
600.00
AO 80 ppm
400.00
AO 130 ppm
200.00 AO Jk Panjang (100 ppm)
Keseluruhan Responden Responden Responden VO2 max VO2 max (n=12) tinggi (n=7) rendah (n=5)
Gambar 7 Rataan ± SD Energy Expenditure responden pada saat melakukan treadmill Pengujian manfaat minuman beroksigen secara kronis (jangka panjang) Pada intervensi jangka panjang selama 21 hari, setiap responden diberikan 2 botol minuman beroksigen dengan kadar oksigen 100 ppm (385 ml) untuk dikonsumsi di pagi dan sore hari. Untuk mengkonsumsi minuman beroksigen distandarisasi sampel diminum dua kali sehari yaitu pagi (jam 06.00 - 08.00) dan sore (16.00 -18.00), kecuali jika berpuasa saat sahur dan berbuka. Komentar selama intervensi sampel diisi di dalam kuesioner setiap hari, terkait apa yang dirasakan (penilaian subjektif), seperti : berasa lebih segar, sendawa, dan lain-lain. Food recall mencatat konsumsi makanan dan minuman harian responden yaitu disampling pada 3 hari pertama dan 3 hari terakhir. Penyeragaman makanan diatur hanya di malam hari selama intervensi, terkait kegiatan mahasiswa pagi dan siang hari cenderung seragam karena berada di sekitar kampus dan tempat tinggal. Selama intervensi dilakukan juga pembatasan terhadap aktivitas harian masing-masing responden. Responden diperbolehkan untuk melakukan aktivitas seperti perkuliahan sesuai dengan kepentingan dan kewajiban masing-masing, berolahraga seperti biasanya minimal 3 kali seminggu dengan durasi waktu minimal 20-30 menit atau setara. Aktivitas olahraga juga diamati jenis olahraganya dan berapa lama (durasi). Responden tidak diperkenankan untuk merokok, minum alkohol, melakukan aktivitas fisik terlalu berat, ataupun berjaga tidak tidur sampai larut malam (begadang). Wawancara dilakukan pada hari ke 4 untuk melihat respon awal responden, hari ke-7 dan hari ke-14 untuk melihat respon setelah mengkonsumsi, dan hari ke-21 untuk melihat respon setelah mengkonsumsi dan keinginan dari responden untuk mengkonsumsi minuman beroksigen kembali setelah penelitian selesai.
29 Parameter yang diamati pada jangka panjang, selain pengukuran kadar laktat dan Energy Expenditure pada uji performa, juga dilakukan analisis cplasma darah dan limfosit (sebelum dan sesudah intervensi). Pada jangka panjang diikuti oleh 17 responden yang diambil darahnya sebelum dan setelah intervensi 21 hari. Pengambilan darah diambil oleh tenaga ahli medis di Klinik dr Katili, Dramaga. Sebelum diambil darahnya, responden diperiksa berat badan dan tekanan darahnya. Darah diambil sebanyak ±15 ml diambil menggunakan venoject dan vacutainer yang berisi EDTA. EDTA berguna untuk mencegah terjadinya pembekuan darah, dengan menggunakan EDTA fibrinogen yang merupakan terjadinya pembekuan darah akan mengendap sehingga sel-sel limfosit tidak akan terperangkap pada fibrinogen dan dapat diisolasi dengan mudah. Darah yang diperoleh langsung disentrifus untuk memisahkan plasma dan mengisolasi limfositnya. Isolasi limfosit segera setelah dilakukan pengambilan darah. Darah yang ada dalam vacutainer berisi EDTA dipindahkan ke dalam tabung sentrifus, kemudian disentrifus pada 1500 rpm selama 10 menit pada suhu 4°C. Bagian darah yang lebih berat (sel darah merah) akan berada pada bagian paling bawah. Plasma dialikuot sesuai dengan lebutuhan analisa dan disimpan pada suhu -20 °C. Sedangkan buffycoat yang yang berada di antara lapisan sel darah merah dan plasma dicuci dengan hingga memperoleh cairan yang berisis sel limfosit. Jumlah sel disetarakan dengan alat hemositometer, hingga didapatkan populasi makrofag 106 sel/ml. Suspensi dengan konsentrasi yang sama dapat disimpan dalam freezer bersuhu -20°C sampai siap dilakukan analisis selanjutnya. Pada plasma responden diperiksa kadar malonaldehida dan kadar Interleukin-6, sedangkan pada sel limfosit diperiksa kadar protein CD4, CD8, dan CD56. Kadar Protein CD54, CD8 dan CD56 pada sel limfosit Limfosit dengan konsentrasi yang sama diukur kadar proteinnya dengan menggunakan teknik ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) dengan metode indirect ELISA. Prinsip teknik ELISA adalah ikatan antigen-antibodi untuk menentukan konsentrasi protein tertentu yang dideteksi dengan terbentuknya intensitas warna akibat penambahan antibodi sekunder yang telah berlebel enzim HRP (Horse Radish Perosksidase) yang bereaksi dengan substrat 3,3′,5,5′-Tetramethylbenzidine (TMB). Intensitas warna yang terbentuk akan menghasilkan absorbansi atau Optical Density (OD) yang diperoleh dengan menfggunakan Elisa Reader pada panjang gelombang 450 nm. Semakin besar OD yang diperoleh menunjukkan semakin banyak kadar protein yang dideteksi. Limfosit adalah salah satu jenis sel darah putih yang bertanggung jawab pada sistem pertahanan tubuh. Sebanyak 20 persen dari semua leukosit dalam sirkulasi darah orang dewasa adalah limfosit, yang terdiri dari sel T dan sel B yang merupakan kunci pengontrol sistem imun (Baratawidjaja 2006). CD4 adalah molekul permukaan sel T helper. Sel Th mengaktifkan makrofag untuk membunuh mikroba dan sel T cytotoxic yang membunuh sel terinfeksi dan mengeliminasi sumber infeksi. Dalam mendeteksi kadar protein CD4 pada sel limfosit digunakan Antibodi primer Monoclonal anti-CD4 human produced in mouse (sc-70665 Santa Cruz) dengan perbandingan 1 : 2000 dan Antibodi sekunder ), Antibodi sekunder (antibodi Horse Radish Peroxidase IgG anti-rabbit (Santa Cruz HRP-conjugated
30
Rataan ± SD OD Protein CD 4
goat anti-rabbit IgG-HRP (SC-2030) dengan perbandingan 1:1000. Hasil pengamatan dilakukan terhadap limfosit sebelum dan sesudah intervensi. Berdasarkan hasil penilitian, data cenderung menunjukkan kenaikan kadar CD4 berdasarkan rataan optical densitynya. Berikut rataan dan SD optical density CD4 (Gambar 8).
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 SEBELUM
SESUDAH
Gambar 8 Rataan ± SD optical density CD4 Gambar 9 menunjukkan bahwa peningkatan kadar CD4 terjadi setelah intervensi pada 12 orang responden, namun terdapat 5 responden yang mengalami penurunan kadar protein CD4 yaitu responden 1, 2, 6, 11 dan 17. Banyaknya jumlah CD4 yang dapat mengenali antigen yang dipresentasikan bersama MHC-II oleh APC, maka akan meningkatkan produksi sitokin sehingga merangsang proliferasi dari sel plasma untuk memproduksi antibodi. Jumlah CD4 berkorelasi dengan keparahan penyakit, seperti temuan Ray (2006) dimana subyek dengan positif HIV mempunyai CD4 yang sangat rendah yaitu <200 sel/ul, sedangkan range normal CD4+ adalah 410-1590 sel/ul. Optical Density Protein CD 4
0.450 0.400 0.350
Sebelum Intervensi
0.300 0.250
Sesudah Intervensi
0.200 0.150 0.100 0.050 0.000 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17
Responden
Gambar 9 Nilai optical density CD4 responden sebelum dan sesudah intervensi Namun secara statisik peningkatan kadar protein CD4 akibat konsumsi minuman beroksigen ini tidak signifikan kenaikannya. Hasil analisis statistik terhadap rata-rata optical density kadar CD4 dapat dilihat pada Tabel 6.
31 Tabel 6 Hasil Analisis Statistik Kadar Protein CD4 Parameter Statistik
Sebelum Intervensi
Setelah Intervensi
Uji t-berpasangan
Rata-rata (n=17) Standar deviasi
0.160118 0.081586
0.175235 0.065659
p = 0.301
Karena p-value 0.301 > alpha (0.05), maka Terima H0, artinya tidak terjadi peningkatan signifikan .
CD8 adalah molekul permukaan sel T limfosit dan terutama berfungsi sebagai sel T sitotoksik pada imunitas seluler spesifik. CD8 merupakan sel efektor utama yang berperan untuk eliminasi virus. Sel T CD8 yang keluar dari timus disebut juga CTL/Tc. CD8 mengenal antigen yang dipresentasikan bersama molekul MHC-1. Molekul MHC-1 ditemukan pada semua sel tubuh yang bernukleus, dan fungsi utama sel CD8 adalah menyingkirkan sel terinfeksi virus. Pada analisis kadar protein CD8 digunakan Antibodi Monoclonal anti-CD8 human produced in mouse (GTX83296 GeneTex) sebagai antibodi primer dengan perbandingan 1 : 1000 dan antibodi sekunder (antibodi HRP IgG anti-mouse (GTX26789 HRP-conjugated goat anti-mouse IgG Polyclonal antibody) dengan perbandingan 1:1000. Berdasarkan hasil pembacaan dengan Elisa Reader, diperoleh bahwa terjadi peningkatan optical density hanya pada 8 responden saja, sedangkan responden yang mengalami penurunan optical density CD8 terdapat 9 orang responden (Gambar 10).
Optical Density Protein CD 8
1.600 1.400 1.200 1.000
Sebelum Intervensi
0.800 0.600
Setelah Intervensi
0.400 0.200 0.000 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17
Responden
Gambar 10 Nilai optical density CD8 responden sebelum dan sesudah intervensi Secara statistik pun tidak menunjukkan perubahan yang signifikan pada OD CD8 seperti terlihat pada Tabel 7 dan Gambar 11. Proteksi utama respon imun spesifik terhadap bakteri interaseluler dilakukan dengan melisiskan sel terinfeksi oleh CD8 selain aktivasi makrofag oleh sel CD4 (Ernawati 2009). Tabel 7 Hasil Analisis Statistik Kadar Protein CD8 Parameter Statistik Sebelum Intervensi Rata-rata (n=17) 0.821353 Standar deviasi 0.265226
Setelah Intervensi 0.841176 0.306163
Uji t-berpasangan p = 0.415
Karena p-value 0.415 > alpha (0.05), maka Terima H0, artinya tidak terjadi peningkatan signifikan
Rataan ± SD OD Protein CD 8
32
1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 SEBELUM
SESUDAH
Gambar 11 Rataan ± SD optical density CD8 Berbeda dengan kadar CD4 dan CD8, kadar CD56 meningkat secara signifikan. Peningkatan kadar protein CD56 ini menunjukkan peningkatan kadar sel Natural Killer (NK). Peningkatan optical density CD56 terjadi pada 13 responden. Hasil analisis statitik ditampilkan pada Tabel 8 dan Gambar 12. Tabel 8 Hasil Analisis Statistik Kadar Protein CD56 Parameter Statistik Sebelum Intervensi Rata-rata (n=17) 0,2735 Standar deviasi 0,0521
Setelah Intervensi 0,3164 0,1012
Uji t-berpasangan p = 0.039*
Rataan ± SD OD Protein CD56
*Karena p-value 0.039 < alpha (0.05), maka Terima H0, artinya terjadi peningkatan signifikan
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
*
SEBELUM
SESUDAH
Gambar 12 Rataan ± SD optical density CD56 Dalam mendeteksi kadar protein CD56 pada sel limfosit ini digunakan antibodi monoklonal anti-CD56 human produced in mouse (GTX76336 GeneTex) dengan perbandingan 1 : 1000 dan antibodi sekunder (antibodi HRP IgG anti-mouse (GTX26789 HRP-conjugated goat anti-mouse IgG Polyclonal antibody) dengan perbandingan 1:1000. Hasil pengamatan dilakukan terhadap limfosit responden sebelum dan sesudah intervensi ditampilkan pada Gambar 13.
33
Optical Density Protein CD 56
0.600 0.500 Sebelum Intervensi
0.400 0.300
Sesudah Intervensi
0.200 0.100 0.000 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17
Responden
Gambar 13 Nilai optical density CD56 responden sebelum dan sesudah intervensi Sel NK berperan penting di dalam kesehatan manusia. Hasil review oleh Whiteside dan Herberman (1994) menunjukkan bahwa penurunan jumlah sel NK atau aktifitas sel NK berhubungan dengan berkembangnya kanker, atau infeksi virus baik yang bersifat akut maupun kronis. Sel NK berpartisipasi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengaturan dan jaringan komunikasi sistem imunitas. Sel NK meningkat dengan cepat sebagai petunjuk adanya sel yang akan membunuh tetapi juga mampu memberi respon dengan cepat terhadap sitokin dan faktor faktor yang terlibat dalam interaksi antara sel imun dan non imun. Rendahnya sel NK juga merupakan pertanda yang buruk seperti infeksi virus papilla yang menyebabkan cervical carcinoma, sehingga Anderson (2005) menyatakan bahwa jumlah sel NK yang cukup dapat melindungi seseorang dari infeksi yang mematikan. Penilitian yang dilakukan oleh Warburg dalam Mathis (2007) pada metsbolisme dan respirasi seluler, menemukan sel kanker dapat hidup dan tumbuh jika terjadi keterbatasan oksigen. Sesuai dengan Mc Mahon (2005) yang menyimpulkan mekanismenya bahwa untuk bertahan hidup sel-sel kanker harus berfungsi secara anaerobik. Menurut Whiteside dan Herberman (1994) jumlah sel NK diluar nilai normal baik dibawah atau diatas ambang nilai normal terdapat dua kategori. Jumlah sel NK abnormal yang bersifat permanen dan sementara, dimana yang bersifat sementara dapat ditemukan pada orang-orang yang mengalami ketidak teraturan siklus tidur, exercise, situasi stress, sedang menderita influenza, atau terserang infeksi virus yang lebih berat lagi. Hubungan yang erat antara sel NK sebagai pertahanan non-spesifik dengan pertahanan humoral (CD4), dan pertahanan seluler (CD8). Temuan tersebut diperkuat oleh beberapa hasil penelitian yang di rangkum oleh Anderson (2005) bahwa sel NK mempunyai 2 efek perlindungan tubuh yaitu produksi sitokin seperti INF, TNF dan melalui efek sitotoksik dari granula yang diproduksi oleh membran sel NK. Dengan granula yang sitotoksik ini dapat membantu CD8 untuk menyingkirkan atau memusnahkan antigen intraseluler, dan perlindungan melalui produksi sitokin. Dengan demikian sel NK membantu proliferasi sel B untuk
34 memacu sel plasma menghasilkan antibodi yang berperan dalam immunitas humoral. Kadar Interleukin-6
Rataan ± SD OD Interleukin-6
Kadar Interleukin-6 cenderung meningkat dengan adanya aktivitas olahraga, hal ini sesuai dengan Pedersen et al. (2001), yang menunjukkan bahwa konsentrasi Interleukin-6 (IL-6) plasma meningkat hingga >100 kali lipatan selama latihan otot. Temuan dari peningkatan kadar IL-6 setelah latihan sangat konsisten, namun penampakan IL-6 dalam sirkulasi tergantung pada beberapa faktor, termasuk intensitas latihan, durasi, dan mode. Minuman beroksigen diharapkan dapat meningkatkan durasi olahraga sehingga dimungkinkan adanya kenaikan IL-6. Namun, kadar Interleukin-6 juga merupakan salah satu indikator terjadinya inflamasi layaknya TNF-α (Pedersen, 2001). peningkatan dalam plasma IL-6 merupakan konsekuensi dari respon imun karena kerusakan lokal pada otot yang bekerja. Oleh karena itu, kenaikan dalam jumlah tinggi juga tidak diharapkan. Pada penelitian terhadap responden gemar berolahraga, kadar Interleukin-6 berdasarkan rataan optical densitynya menunjukkan penurunan. Perubahan optical density ditampilkan pada Gambar 14.
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 SEBELUM
SESUDAH
Gambar 14 Rataan ± SD optical density Interleukin-6 sebelum dan setelah intervensi Pada Gambar 15 menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar Interleukin-6 pada 13 responden dan terjadi peningkatan pada seorang responden, yaitu responden 16. Penurunan kadar Interleukin-6 ditampilkan pada Gambar 15.
35 Responden
Perubahan OD IL-6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 0.01 0 -0.01 -0.02 -0.03 -0.04 -0.05 -0.06 -0.07 -0.08 -0.09
Gambar 15 Perubahan nilai optical density IL-6 responden sebelum dan sesudah intervensi Perubahan kadar Interleukin-6 akibat intervensi tidak signifikan secara statisik. Hasil analisis statistik terhadap rata-rata optical density kadar Interleukin6 dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Analisa statistik perubahan kadar Interleukin-6 sebelum dan setelah intervensi Parameter Statistik Sebelum Intervensi Setelah Intervensi Uji t-berpasangan Rata-rata (n=17) 0,20224 0,22975 p = 1.00 Standar deviasi 0,02016 0,01729 Karena p-value 1.00 > alpha (0.05), maka Terima H0, artinya tidak terjadi peningkatan signifikan
Produksi IL-6 lokal terhubung dengan kontraksi otot dan bukan karena efek sistemik, karena IL-6 mRNA meningkat hanya di otot dari kaki dan pada saat latihan (bergerak) bukan di kaki yang beristirahat. Seperti telah dibahas, dalam studi sebelumnya kami tidak dapat mendeteksi IL-6 mRNA dalam otot rangka yang beristirahat. Diperkirakan hal ini yang menyebabkan responden dengan frekuensi olahraga yang cukup, namun kadar Interleukin-6 tidak meningkat signifikan. Namun pada hasil keseluruhan responden terdapat 1 orang yang mengalami kenaikan kadar Interleukin-6. Walaupun peningkatan tidak signifikan namun perbedaan dengan responden lain tampak nyata. Berdasarkan pemeriksaan kesehatan, kuesioner dan hasil wawancara, responden 13 memiliki riwayat hepatitis A dan juga hasil pemeriksaan dokter menunjukkan adanya gejala bronkitis. Penelitian oleh Lin et al (2001) mendapatkan hubungan yang bermakna antara IL-6 dan CRP pada pasien asma akut dengan r = 0,36; p < 0,01. Penelitian Mariadi (2008) juga menunjukkan apapun penyakit yang mendasari terjadinya proses inflamasi akan menghasilkan IL-6 yang selanjutnya akan memacu produksi CRP (C-Reactive Protein) di hati.
36 Kadar Malonaldehida Pengujian keamaan minuman beroksigen dilakukan terhadap kadar malonaldehida darah responden yang gemar berolahraga. Latihan fisik secara otomatis akan meningkatkan konsumsi oksigen sebesar 15 kali lipat dari konsumsi normal dalam aliran darah. Otot yang aktif dapat meningkatkan kebutuhan oksigen 100 kali lipat dari kondisi pasif (Cooper 2002). Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan kebutuhan ATP sedangkan persediaan ATP di intra seluler sangat terbatas, sehingga terjadi terus-menerus pembentukan ATP melalui proses oksidatif, siklus krebs, dan transport elektron. Pada proses pembentukan ATP memerlukan oksigen, konsumsi oksigen pada rantai pernapasan di mitokondria berpengaruh terhadap peningkatan produksi radikal bebas (Sjodin, 1990). Mengingat manfaat yang diperoleh untuk menaikkan performa, diharapkan tidak terjadi kenaikan yang signifikan pada radikal bebas yang ditunjukkan dengan kadar malonaldehida responden. Kadar malonaldehida dihitung dari hasil plotting kurva standar yang dihitung menggunakan standar TEP (1,1,3,3 tetraetoksipropana). Persamaan regresi linear yang didapatkan adalah Y = 0.134x + 0.037. Persamaan regersi linear ini diperoleh dari kurva standar TEP pada gambar 16.
Absorbansi
0.8 y = 0.134x + 0.037 R² = 0.994
0.6 0.4 0.2 0 0
2 4 Konsentrasi TEP
6
Gambar 16 Kurva Standar Tetraetoksipropana (TEP)
Nilai koefisien relasi (r) dari persamaan pada Tabel x adalah 0,994.Nilai r yang mendekati 1 menunjukkan bahwa kurva tersebut linier dan ada hubungan antara konsentrasi larutan TEP dengan serapan. Hasil pengukuran terhadap kadar malonaldehida plasma darah terhadap responden diambil darah menunjukkan penurunan pada sebelum dan sesudah intervensi dengan minuman beroksigen, yaitu dari 0.864±0.182 nmol/ml menjadi 0.772±0.185 nmol/ml. Secara keseluruhan, nilai MDA dari responden cenderung menurun. Hal ini tampak pada Gambar 17. Penelitian dengan hasil yang sama juga diperoleh Handajani et al. (2009) yang menunjukkan penurunan kadar MDA pada subyek diabetes mellitus setelah mengkonsumsi air minum beroksigen selama 45 hari.
Rataan ± SD kadar MDA (nmol/ml)
37 1.200 1.000 0.800 0.600 0.400 0.200 0.000 Sebelum
Sesudah
Gambar 17 Rataan ± SD kadar malonaldehida responden sebelum dan setelah intervensi. Gambar 18 menunjukkan penurunan kadar malonaldehida terjadi pada 10 responden, sedangkan peningkatan terjadi pada 7 responden. Penurunan maupun peningkatan ini tidak signifikan berdasarkan uji t-perbandingan (Tabel 10). Tabel 10 Analisis statistik perubahan kadar malonaldehida Parameter Statistik Sebelum Intervensi Setelah Intervensi Uji t-berpasangan (nmol/ml) (nmol/ml) Rata-rata (n=17) 0.864025 0.772278 p = 0.188 Standar deviasi 0.181600 0.184721 Karena p-value 0.188 > alpha (0.05), maka Terima H0, artinya tidak terjadi peningkatan signifikan
Kadar MDA (nmol/ml)
1.600 1.400 1.200 1.000
Sebelum Intervensi
0.800
Setelah Intervensi
0.600 0.400
Terjadi peningkatan
0.200 0.000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Responden
Gambar 18 Kadar malonaldehida responden sebelum dan setelah intervensi Terdapatnya 7 responden yang mengalami peningkatan kadar MDA dapat disebabkan oleh banyak hal. Radikal bebas dapat terbentuk secara endogen maupun eksogen. Secara endogen radikal bebas terbentuk dari reaksi biokimia di
38 dalam tubuh, sedangkan secara eksogen radikal bebas dapat terbentuk dari luar tubuh seperti terpapar polusi, asap rokok, makanan, obat-obatan, ataupun iradiasi yang kemudian bereaksi di dalam tubuh ( Ramadhani 2009). Berdasarkan analisis food recall dan wawancara terlihat bahwa 6 dari 7 responden tersebut memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan gorengan dan berminyak berlebihan. Konsumsi makanan gorengan dalam jumlah banyak sangatlah mengkhawatirkan. Pemanfaatan minyak kelapa bekas di Indonesia masih bersifat kontroversial, sampai saat ini sebagian minyak bekas dari perusahaan besar dijual ke pedagang kaki lima yang kemudian digunakan untuk menggoreng makanan dagangannya dan sebagian lain dibuang (Suess, 2006). Berbagai macam gejala keracunan, seperti iritasi saluran pencernaan, pembengkakan organ tubuh, depresi pertumbuhan dan kematian telah diobservasi pada hewan yang diberi minyak/lemak yang dipanaskan dan telah teroksidasi. Minyak kelapa yang telah rusak dapat juga merusak tekstur, flavour dari bahan pangan yang digoreng (Rorong et al. 2008). Andarwulan (1997) menyatakan bahwa minyak goreng yang digunakan dalam proses penggorengan sejumlah besar akan dipanaskan pada suhu mencapai 162-196 °C dengan kondisi bahan pangan yang terendam dan digunakan secara kontinu akan menghasilkan asam lemak bebas pada minyak goreng tersebut. Sudarmadji et al. (2003) juga menjelaskan hal yang seiring, menggoreng berulangkali mudah mengalami ketengikan dan semakin tinggi nilai TBA menyebabkan minyak semakin tengik. Sedangkan 1 dari 7 responden memperlihatkan konsumsi gorengan yang rendah. Kemungkinan terjadinya kenaikan tidak dapat diketahui pasti, namun berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan, responden ini terdeteksi gejala bronkitis. Berbagai penyakit termasuk bronkitis disebabkan oksidan yang berasal dari Reactive Oxygen Species (ROS) seperti radikal bebas yang akan menyebabkan malonaldehid selama produksi peroksida lipid (Mahanom et al., 2011). LDL yang termodifikasi (OxLDL) merupakan gabungan dari lipoprotein dengan tingkat modifikasi bervariasi, termasuk salah satunya adalah malonaldehida. Peningkatan OxLDL ini akan mengakibatkan terjadinya inflamasi kronis yang memicu peningkatan sekresi sitokin inflamasi seperti TNF-α dan IL-6 (Djohari dan Syamsu 2009). Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kadar malonaldehida dan IL-6, memperlihatkan bahwa terjadi beberapa peningkatan malonaldehida responden namun belum menunjukkan dampak inflamasi yang signifikan.
Analisis Penerimaan Responden Respon Awal Produk minuman beroksigen merupakan produk yang cukup baru. Terlihat dari jumlah responden yang pernah mengkonsumsi minuman beroksigen sebelum dilakukannya penelitian hanya 1 orang. Hal ini menjadi sesuatu yang baru untuk dikonsumi. Oleh karena itu dibutuhkan suatu penilaian terhadap respon awal responden saat mengkonsumsi. Hasil analisis respon awal responden ditampilkan pada Gambar 19.
39 Biasa 16
Terganggu 17
16
10 7 1 Rasa
1
0
Aroma
Warna
After taste
Gambar 19 hasil analisis respon awal responden Berdasarkan hasil wawancara tersebut terlihat bahwa secara umum responden tidak terganggu dengan rasa, aroma dan warna pada awalnya, sedangkan faktor yang paling mengganggu adalah faktor aftertaste. Berdasarkan wawancara, terganggunya 10 responden ini karena rasa yang agak pahit, serta menimbulkan kembung dan dingin di perut.
Penerimaan Sensori Responden 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Suka Total kesukaan overall
After taste
Warna
Aroma
Rasa
After taste
Warna
Aroma
Rasa
After taste
Warna
Aroma
Rasa
Agak Suka Agak Tidak suka Menolak
Gambar 20 penerimaan responden terhadap produk selama 21 hari intervensi
Gambar 20 memperlihatkan penerimaan sensorik responden terhadap produk selama 21 hari. Jumlah menolak sangat sedikit dibandingkan yang lain, penolakan terdapat pada aftertaste. Hal ini juga yang menimbulkan ketidaksukaan responden sejak awal. Namun, jika diamati pada akhir intervensi aftertaste sudah dapat diterima. Berdasarkan wawancara, responden menyatakan dapat menerima aftertaste tersebut jika minuman beroksigen dikonsumsi dalam keadaan dingin. Perubahan Status Kesehatan Setelah Konsumsi Minuman Beroksigen Kesehatan merupakan suatu fokus baru bagi konsumen pangan. Hal ini terjadi karena meningkatnya jumlah penyakit degeneratif. Konsumen menengah ke atas saat ini mampu mengkonsumsi pangan dengan harga yang relatif tinggi
40 demi mendapatkan manfaat kesehatan. Dalam penelitian ini terdapat tujuan khusus untuk meningkatkan kualitas kesehatan responden. Responden diberikan kesempatan untuk mengungkapkan perubahan kesehatannya pada saat wawancara. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh bahwa peningkatan kesehatan secara subjektif dirasakan responden setelah mengkonsumsi selama 1 minggu pertama, kemudian responden merasakan kesehatannya tidak terlalu meningkat dari minggu sebelumnya sejak mengkonsumsi minuman beroksigen. Hal ini terlihat dari jumlah responden yang menyatakan kesehatannya terasa lebih baik 76.47% pada minggu pertama konsumsi, 58.82% setelah pada minggu kedua konsumsi dan 52.9% pada minggu ketiga konsumsi (Gambar 21). 90.0% 76.47%
80.0% 70.0%
58.82%
60.0%
52.9% 47.06%
50.0%
41.2%
40.0% 30.0%
23.5%
20.0% 10.0% 0.0% Minggu ke-1
Minggu ke-2 Biasa
Minggu ke-3
Terasa lebih baik
Gambar 21 Perbaikan kesehatan responden secara subyektif
Keberlanjutan Konsumsi Menurut Grifin dan Ebert (2003), terdapat lima tahapan keputusan pembelian yang diambil oleh konsumen yaitu pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian dan evaluasi pasca pembelian. Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner, pandangan responden terhadap keberlanjutan konsumsi 65% menyatakan mau, 17% ragu-ragu dan 18% tidak mau. Keputusan responden ini terkait dengan pengenalan kebutuhan yang telah dilakukan selama intervensi. Kepercayaan terhadap produk meningkat sesuai dengan manfaat yang dirasakan. Namun terdapat 35% yang belum mau melanjutkan, hal ini dimungkinkan terkait pada evaluasi alternatif karena terdapat berbagai banyak minuman yang disediakan untuk pemulihan atau kesegaran terutama setelah berolahraga. Berikut jumlah responden berkaitan dengan keberlanjutan konsumsi.
41 Tidak Mau 18%
Ragu-ragu 17%
Mau 65%
Gambar 22 Jumlah responden dalam keberlanjutan konsumsi
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pengujian kadar laktat dan Energy Expenditure sebagai parameter performa saat berolahraga tidak dipengaruhi (p>0.05) oleh minuman beroksigen, meskipun nilai rataan penurunan kadar laktat lebih tinggi dibandingkan dengan air minum biasa dan rataan Energy Expenditure lebih tinggi jika mengkonsumsi minuman beroksigen. Hal ini cukup dapat mendukung performa dan pemulihan setelah berolahraga. Pengujian kadar CD4 dan CD8 tidak dipengaruhi (p>0.05), namun kadar CD56 meningkat signifikan (p>0.05). Minuman beroksigen tidak memberikan dampak negatif pada parameter malonaldehida sebagai parameter stress oksidatif, dan tidak meningkatkan kadar Interleukin-6 yang menjadi indikator inflamasi.
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pengaturan pola makan, aktivitas dan olahraga pada intervensi jangka panjang minuman Beroksigen misalnya langsung pada atlit yang dikarantina.
DAFTAR PUSTAKA Akira S, Taga T, Kishimoto T. 1993. Interleukin-6 in biology and medicine. Advances in immunology 54, 1–78. Andarwulan A, Sadikin YT, dan Winarno FG. 1997. Pengaruh lama penggorengan dan penggunaan adsorben terhadap mutu minyak goreng bekas penggorengan tahutempe. Buletin Teknol. dan Industri Pangan. 8 (1) : 40-45. Anderson SK. 2005. Biology of Natural Killer cells: What is the relationship between Natural Killer cells and cancer? Will an increased number and/or
42 function of Natural Killer cells result in lower cancer incidence? J. Nutr. 135: 2910S. Baratawidjaja. 2006. Immunologi dasar. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bird RP, Draper HH. 1984. Comparative studies on different methods of Malonaldehyde determination. Methods in Enzymology. Bouchard, Claude, Katzmarzyk PT. 2010. Physical Activity and Obesity. 2nd edition. Human Kinetics. United States. Burke, RJ, Taylor AH, Daniel JV, Leith L. 1990. Perceived stress, psychological burnout and paths to turnover intentions among sport officials. Journal of Applied Sport Psychology (JASP). 2(1): 84 – 97. Campbell NA, Mitchell LG, Reece JB. 2000. Biologi Concept and Connection, 3rd edition. Addison Wesley Longman, Inc., San Fransisco, California. Conti M, Moramd PC, Levillaind P, Lemonnier A. 1991. Improve Fluorometric Determination of Malonaldehyde. J Clin Chem Soc 103: 6472-6477 Cooper, C.E., Vollaard, N.B., Choueiri, T. & Wilson, M.T. 2002. Exercise, Free Radicals and Oxidative Stress. Biochem. Soc. Tras, 30: 280-285 Damayanthi E, Muchtadi D, Zakaria FR, Yarief H, Wijaya CH, Damardjati DS. 2004. Aktivitas antioksidan minyak bekatul padi awet dan fraksinya secara in vitro. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 15 (1): 11-19. Depkes. 2002. Panduan kesehatan olahraga bagi petugas kesehatan. Departemen Kesehatan RI (ID). Djohar, Meiriza, Syamsu. 2009. Modified Low Density Lipoprotein (LDL) in Atherogenesis Process. Review. The Indonesian Journal of Medical Science 8 (1): 502-510. Ernawati, F. 2009. Pengaruh Suplementasi Multivitamin-Mineral terhadap Imunitas Humoral, Selular dan Status Zat Gizi Antioksidan [Tesis]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Erniati, Fransiska RZ, Bambang PP. 2012. Efek konsumsi minuman bubuk kakao (Theobroma cacao L.) bebas lemak terhadap sifat antioksidatif limfosit subyek perempuan. J Teknol . dan Industri Pertanian, V0l XXIII tahun 2012: 81-85. FAO/WHO/UNU (1997). Energy and Protein Requirements. Report of a joint expert consultation. WHO Technical Report Series No. 724, WHO, Geneva. Forth W dan Adam, O. 2001. Uptake of Oxygen From The Intestine-Experiments with Rabbits. European Journal of Medical Research, 6(11): 488-492. Fox, E. L., Bowers, R. W., & Foss, M. L. (1993). The physiological basis for exercise and sport (5th ed.). Dubuque, IA: WC Brown. Grifin RW, Ebert RJ. 2003. Bisnis. Edisi keenam. Jilid 1. Jakarta: PT Prenhallido. Gruber, Rudolf, S. Axmann, dan M.H. Schoenberg. 2005. The influence of oxygenated water on the immune status, liver enzymes, and the generation ofoxygen radicals: a prospective, randomised, blinded clinical study. Clinical Nutrition (2005) 24, 407–414 Guyton A.C dan Hall J.E. 1996. Textbook of Medical Physiology. W. B. Sounders Company. Philadelphia, Pennsylvania. Halliwel, B, gutteride, JMC, dan Cross, CE. 1992. Free radicals, antioxidants and human diseases: where are we now. Journal Laboratory Clinical Medical vol 119 (6): 598-620.
43 Handajani, Yvonne S, Riki Tenggara, Fransiscus D Suyatna, Charles Surjadi, Nelly T Widjaja. 2009. The effect of oxygenated water in Diabetes Mellitus. Med J Indones Vol.18, No.2, April - June 2009. Kresno, Siti Boediana. 2001. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Lin RY, Trivino MR, Curry A. Interleukin 6 and C-reactive protein levels in patients with akut allergic reactions: an emergency departmentbased study. Ann Allergy Asthma Immunol 2001;87(5): 412-6. Mahanom, Azizah HA, Suhaila M, Nazamid S, Maznah I, Hair MB. 2011. Effect of Centella asiatica extract and powder on hydrogen peroxide-treated SpragueDawley rats. J Trop Agric Fd Sc 39 (1 ): 001 – 010. Mariadi, I Ketut, I Dewa Nyoman Wibawa. 2008. Hubungan antara Interleukin- 6 dan c-reactive protein pada sirosis hati dengan perdarahan saluran makanan bagian atas. Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RS Sanglah Denpasar. J Peny Dalam, Volume 9 Nomor 3 September 2008 : 194-202. Mathis, TH. 2007. Benefit of long-Term Ingestion of oxygen enriched water. http://http://www.oxygenorchard.com/wp-content/uploads/2011/04/Benefitsof-Long-Term-Ingestion.pdf [10 Juli 2012] McMahon, Ray MC. 2005. Cellular Extraction Therapy (CET): a possible treatment for cancer?. Gen Sci J: 1-5. Mohamed-Ali, V., Goodrick, S., Rawesh, A., Katz, D. R., Miles, J. M., Judkin, J. S., Klein, S. & Coppack, C. 1997. Subcutaneous Adipose tissue releases Interleukin-6, but not tumour necrosis Factor-a, in vivo. Journal of clinical endocrinology and Metabolism 82, 4196–4200. Mortimer, C.E. 1975. Biochemistry, A Conceptual Approach. Third Edition. D. Van Nostrand Company. New York. Muchtadi, D., N.S. Palupi, dan M Astawan. 1993. Metabolisme zat gizi: Sumber, Fungsi dan Kebutuhan bagi Tubuh Manusia. Jilid II. Pustaka Sinar Harapan, Nestle, N., Wunderlich, A., Nussle-Kugele, K. 2004. In vivo observation of oxygen-supersaturated water in human mouth and stomach. Magnetic Resonance Imaging, 22 (4): 551-556. Orange JS, Ballas ZK. 2006. Natural killer cells in human health and disease. Clinical Immunology 118: 1-10. Pedersen, Bente Klarlund Pedersen, Adam Steensberg and Peter Schjerling. 2001. Muscle-derived Interleukin-6: possible biological effects. Journal of Physiology (2001), 536.2, pp.329–337. Piantadosi CA. 2006. Oxygenated water and athletic oerformance. Br J Sports Med 2006;40:740. doi: 10.1136/bjsm.2006.028936. Purnama, L. 2004. Teknologi Produksi Air Beroksigen. Persentasi Diskusi Ilmiah Air Minum Penambah Oksigen . R & K Health Living dan Fateta-IPB. Bogor (ID). Ray K, Gupta SM, Bala M, Muralidhar S, Kumar J. 2006. CD4/CD8 Lymphocyte counts in healthy, HIV-positive individuals & AIDS patients. Indian J Med Res 124:319-330. Roitt, 2011. Essential Immunology. 12th edition. Oxford: Blackwell Science Limited.
44 Rorong ,Johnly, Henry Aritonang dan Ferdinan P Rant. 2008. Sintesis metil ester asam lemak dari minyak kelapa hasil pemanasan. Chem. Prog. Vol. 1, No. 1, 2008. Santosa HYS dan Dikdik ZS. 2012. Fisiologi Olahraga: Fungsi Tubuh Manusia pada Olahraga untuk Kesehatan dan Prestasi. Remaja Rosdakarya, Bandung. Sies H. 1985. Oxidative Stress. London : Academic Press. Sjodin, Bertil., Westing, Hellsten, Ylva. and Apple, Fred S. 1990. Biochemical Mechanisms for Oxigen Free Radical Formation During Exercise. Sports Medicine, 10(4): 236-254 Speit, G., Schutz P., Trenz, K., dan Rothuss, A. 2002. Oxygenated Water dose not Induce Genotoxic Effect in The Comet Assay. Toxycology Letters 133: 203-210. Sudarmaji, S dkk. 2007. Analisa untuk bahan Pangan dan pertanian. Yogyakarta. Liberty. Sutedjo AY. 2008. Mengenal penyakit melalui hasil pemeriksaan laboratorium. Amara Books. Yogyakarta. Tan, M.I. 2005. Transport Oksigen ke Dalam Sel dan Penggunaannya dalam Proses Respirasi. Persentasi Diskusi Ilmiah Air Minum Penambah Oksigen. R & K Health Living dan Fateta-IPB. Bogor (ID). Theml H, Diem H, Haferlach T. 2004. Color atlas of hematology; principal microscopic and clinical diagnosis. 2nd ed. Stuttgart. Thieme. Ward, Jeremy P.T, Robert W Clarke dan Roger W.A. Linden. 2007. At a Glance Fisiologi. Erlangga. Jakarta. Whiteside T and Herberman R. 1994. Mini review, Role of Human Natural Killer Cells in Health and Disease. Cinical and Diagnostic Laboratory Immunology, P 125-133. American Society for Microbiology. Whitham, Martin, Chan MS, Martin P, Matthews VB, Prelovsek O, Lunke S, ElOsta A, Broenneke H, Alber J, Brüning JC, Wunderlich FT, Lancaster GI, Febbraio MA. 2012. Contraction-induced IL-6 gene transcription in skeletal muscle is regulated by c-jun terminalkinase/Activator protein-1. J Biol Chem. DOI: 10.1074/jbc.M111.310581. Willmert N, Porcari JP, Foster C, Doberstein S, Brice G. 2002. The effects of oxygenated water on exercise physiology during Incremental exercise and recovery. J Exerc Physiol online 5 (4):16-21. Wulanjani. 2010. Olahraga. Diakses pada: http://wulanjani.wordpress.com/2012/12/12/ Zakaria FR, Worawattanamateekul W, Lawhavinit O. 2006. Production of fish serum products as substitute for fetal bovine serum in hybridoma cell cultures from surimi industrial waste. Kasetsart Journal (Natural Science) 40: 198-205. Zakaria FR. 2011. Pemanfaatan provitimain A minyak sawit merah untuk mengatasi kekurangan vitamin A di masyarakat Indonesia (Program Sawita). [Laporan Akhir]. Bogor. Institut Pertanian Bogor (ID)
45 Lampiran 1 Kuesioner
PEMANFAATAN PRODUK MINUMAN BEROKSIGEN PADA MAHASISWA BEROLAHRAGA
Panduan Wawancara 1: BIODATA RESPONDEN RAHASIA
Jaga Kerahasiaan Semua Data & Informasi dari Responden
A. IDENTITAS RESPONDEN Nama Umur Jenis Kelamin L/P Alamat Tel/Hp TB/BB Pekerjaan Pendapatan per bulan Tipe COPD/PPOK Denyut nadi
cm
B. IDENTITAS FASILITATOR Nama Dept/PS Strata
No 1 2 3
No
1 2 3 4 5 6
C. PENGENALAN MINUMAN BEROKSIGEN Item Tidak Mengetahui tentang minuman beroksigen Mengetahui manfaat minuman beroksigen Pernah mencoba minuman beroksigen
kg
Pencatat Tgl wawancara
Ya
Sebutkan: - kapan: - frekuensi:
D. RIWAYAT KESEHATAN 3 BULAN TERAKHIR Penyakit Frekuensi ≥4x 2-x 1x
Tidak Pernah
ISPA Alergi Sakit Menahun, sebutkan … Penyakit kardiovaskular Penyakit hati, dst yang berkaitan dengan parameter Lainnya, sebutkan … Menurut pengamatan anda, secara keseluruhan status kesehatan responden termasuk: ( ) Baik ( ) Cukup Baik ( ) Kurang Baik ( ) Tidak Baik
Waktu terkena & lama sakit
46
No
E. KEBIASAAN MAKAN 1. FFQ (Food Frequency Questionnaire) Jenis Makanan > 1x/hr 1x/hr 1 Sumber Karbohidrat: a. Nasi b. Mie c. Roti d. Lainnya, sebutkan… 2 Sumber protein hewani: a. Daging merah, sebutkan b. Daging unggas, sebutkan c. Makanan laut, sebutkan d. Telur e. Lainnya, sebutkan… 3Sayuran , sebutkan …
4 Buah-buahan, sebutkan … 5 Cemilan, sebutkan … 6 Minuman a. Air putih b. Teh c. Kopi d. Susu e. Minuman lainnya, sebutkan 7 Makanan atau minuman instan, , sebutkan
Frekuensi > 1x /mg
1 x/mgg
> 1 x/bln
1x/bln
47
No
2. FOOD RECALL Waktu Pagi 1
2
Selingan
3
Siang
4
Selingan
5
Malam
Jenis Makanan
F. RIWAYAT KONSUMSI OBAT, MAKANAN/MINUMAN HERBAL No Nama & Jenis Obat / Food Supplement 1x > 1x/hr 1x/hr /mg 1 2 3 4 5
N o
G. KEBIASAAN OLAHRAGA Jenis Olahraga > 1x/hr 1x/hr
1 2 3 4 5 H. KEBIASAAN MEROKOK 1 Ya ….. batang/hari 2 Tidak
FOOD
Jumlah
SUPPLEMENT,
Frekuensi > 1x/mg
>1 x/bln
1x/bln
DAN Fungsi Obat, food supplement, dan herbal
Frekuensi > 1x /mg
1 x/mg
> 1 x/bln
1x/bln
48 I. KEBIASAAN KONSUMSI MINUMAN Jenis Frekuensi Minuman > > 1x 1x/hr 1x/hr /mg 1x/mg
No
Nama Minuman >1 x/bln
1 x/bln
1 2 3 4 5 J. AKTIVITAS UMUM HARIAN Tulislah aktivitas umum harian yang Anda lakukan beserta waktu pelaksanaan dalam satu hari No Jam Jenis Aktivitas week day Holiday 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 dst K. KEBIASAAN TIDUR / KECUKUPAN ISTIRAHAT No. Waktu tidur Lama waktu tidur Jam tidur (…. s.d ……) 1. Siang hari 2. Malam hari 3. Begadang : sering / tidak. Jam tidur rata-rata saat begadang: Secara keseluruhan status kecukupan istirahat responden: cukup / tidak
49
PEMANFAATAN PRODUK MINUMAN BEROKSIGEN PADA MAHASISWA BEROLAHRAGA
Panduan Wawancara 2: Respon Awal (setelah mengonsumsi selama 4 hari) RAHASIA
Jaga Kerahasiaan Semua Data & Informasi dari Responden
A. IDENTITAS RESPONDEN Nama Umur Jenis Kelamin L/P Alamat Tel/Hp TB/BB Pekerjaan Pendapatan per bulan Tipe COPD/PPOK Denyut nadi
cm
B. KESAN SAAT MENGONSUMSI N Atribut Biasa saja
kg
Terganggu, sebutkan bentuk gangguan
o 1 2 3 4
Rasa Aroma/bau Warna After taste
C. KELANJUTAN PARTISIPAN 1 Tetap mengikuti 2 Berhenti, alasan… ( (
) ada pengganti ) tidak ada pengganti
50 D. FOOD RECALL N Waktu o 1
Pagi
2
Selingan
3
Siang
4
Selingan
5
Malam
Jenis Makanan
Jumlah
51 PEMANFAATAN MINUMAN BEROKSIGEN PADA MAHASISWA BEROLAHRAGA
Panduan Wawancara 3: Respon Setelah Mengonsumsi Selama 7 Hari RAHASIA
Jaga Kerahasiaan Semua Data & Informasi dari Responden
A. IDENTITAS RESPONDEN Nama Umur Jenis Kelamin L/P Alamat Tel/Hp TB/BB Pekerjaan Pendapatan per bulan Tipe COPD/PPOK Denyut nadi
cm
kg
B. KESAN TENTANG KEMASAN PRODUK Respon terhadap kemasan ( ) menarik, alasan ……. ( ) kurang menarik, alasan…
No
C. PENERIMAAN PRODUK Atribut Suka
1 2 3 4
Rasa Aroma/bau Warna After taste
Agak Suka
Penerimaan Agak Tidak Suka
Tidak Suka
52 D. FOOD RECALL No Waktu Pagi 1
2
Selingan
3
Siang
4
Selingan
5
Malam
Jenis Makanan
Jumlah
Komentar responden (mengenai konsumsi produk): adakah manfaat yang dirasakan : a. Ada, sebutkan ................................................... b. Tidak, alasan .................................................... - komentar lain : ........................................................................................................... -
53
PEMANFAATAN MINUMAN BEROKSIGEN PADA MAHASISWA BEROLAHRAGA
Panduan Wawancara 4: Respon Setelah Mengonsumsi Selama 14 Hari RAHASIA
Jaga Kerahasiaan Semua Data & Informasi dari Responden
A. IDENTITAS RESPONDEN Nama Umur Jenis Kelamin L/P Alamat Tel/Hp TB/BB Pekerjaan Pendapatan per bulan Tipe COPD/PPOK Denyut nadi
cm
kg
B. PENERIMAAN PRODUK No Atribut Suka 1 2 3 4
Agak Suka
Penerimaan Agak Tidak Suka
Tidak Suka
Rasa Aroma/bau Warna After taste C. BERKAITAN DENGAN PERBAIKAN KESEHATAN YANG DIRASAKAN ( ) Terasa lebih baik ( ) Tidak ada perubahan
No
1 2 3 4 5 6
D. RIWAYAT KESEHATAN 14 HARI TERAKHIR Penyakit ≥4x ISPA Alergi Alergi terhadap makanan Penyakit kardiovaskular Penyakit hati, dst yang berkaitan dengan parameter Lainnya, sebutkan …
2-x
Frekuensi 1x
Tidak Pernah
54 No 1
E. FOOD RECALL Waktu Pagi
2
Selingan
3
Siang
4
Selingan
5
Malam
Jenis Makanan
Jumlah
55 PEMANFAATAN MINUMAN BEROKSIGEN PADA MAHASISWA BEROLAHRAGA
Panduan Wawancara 5: Respon Setelah Mengonsumsi Selama 21 Hari RAHASIA
Jaga Kerahasiaan Semua Data & Informasi dari Responden
A. IDENTITAS RESPONDEN Nama Umur Jenis Kelamin L/P Alamat Tel/Hp TB/BB Pekerjaan Pendapatan per bulan Type COPD/PPOK Denyut nadi
No
cm
B. PENERIMAAN PRODUK Atribut Mau
1 2 3 4
kg
Agak Mau
Penerimaan Agak Menolak
Rasa Aroma/bau Warna Respon keseluruhan C. BERKAITAN DENGAN PERBAIKAN KESEHATAN YANG DIRASAKAN ( ) Terasa lebih baik ( ) Tidak ada perubahan
No
1 2 3 4 5
6
D. RIWAYAT KESEHATAN 21 HARI TERAKHIR Penyakit Frekuensi ≥4x 2-x 1x
Tidak Pernah
ISPA Alergi Alergi terhadap makanan Penyakit kardiovaskular Penyakit hati, dst yang berkaitan dengan parameter Lainnya, sebutkan …
Menurut pengamatan fasilitator, secara keseluruhan status kesehatan responden termasuk: ( ) Baik ( ) Cukup baik ( ) Kurang baik ( ) Tidak baik
Menolak
56 No 1
E. FOOD RECALL Waktu Pagi
2
Selingan
3
Siang
4
Selingan
5
Malam
Jenis Makanan
Jumlah
F. KONSUMSI SELANJUTNYA Setelah selesai program Kemauan responden mengkonsumsi Minuman Beroksigen: ( ) Mau Bila untuk mengonsumsi minuman beroksigen harus membeli: ( ) Mau ( ) Mau, asal harga terjangkau ( ) Tidak mau ( ) Ragu-ragu Alasan :………………………………………… ( ) Tidak mau Alasan: ( ) Belum dapat merasakan manfaat mengonsumsi minuman beroksigen ( ) Belum dapat menerima rasa/bau/warnanya
57 Lampiran 2 Informed consent INFORMED CONSENT Kami meminta Anda bersama 45 orang lainnya untuk turut terlibat dalam penelitian berjudul “Manfaat Air Minum Beroksigen terhadap Stamina Mahasiswa dan Penderita COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease)”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti manfaat pemberian air minum beroksigen tinggi pada kondisi berolahraga sebagai penambah atau pendamping keterbatasan suplai oksigen. Pada penelitian jangka pendek, akan diukur performa berolahraga lari pada treadmill dan kadar laktat pada telinga. Lalu Anda akan diminta untuk meminum 1 botol air minum beroksigen (@ 385 ml) yang dihabiskan dalam waktu kurang dari 10 menit. Setelah itu, performa olahraga dan kadar laktat diukur lagi. Kadar laktat diukur sebelum dan setelah lari di treadmill. Pada alat treadmill tersebut terukur fungsi kerja paru-paru, jantung dan waktu endurance (waktu mengalami kelelahan). Pada penelitian jangka panjang, Anda akan diberikan 2 botol air minum beroksigen setiap hari selama 21 hari (masing-masing pada pagi dan sore hari). Untuk memastikan air minum beroksigen dikonsumsi secara tepat, maka tim peneliti akan memantau ketika Anda meminumnya. Di hari ke 1, 4, 7, 14, dan 21 kami akan melakukan wawancara untuk menanyakan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pengambilan Darah Pada waktu penelitian jangka panjang (selama 21 hari), Anda kami minta untuk memberikan 30 ml (2 sendok makan) darah yang akan kami ambil sebanyak 2 kali, yaitu di awal dan di akhir penelitian. Prosedur ini menyebabkan rasa sakit sedikit, tetapi hanya sesaat. Darah ini akan diperiksa untuk mengetahui kadar oksigen darah, lipid darah, glukosa darah, SGOT & SGPT, indikator stres oksidatif, enzim anti-oxidatif, dan sel-sel darah putih (imunitas). Risiko dan Usaha Penjagaan Ada risiko sedikit infeksi berkaitan dengan pengambilan darah dari lengan. Namun infeksi ini rasanya tak mungkin akan terjadi karena kulit Anda dibersihkan dahulu dan kami hanya menggunakan jarum yang steril, selain itu pengambilan darah akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih. Air minum beroksigen yang diberikan juga telah terbukti keamanannya. Manfaat Berolahraga dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan kondisi anaerobik, dimana terjadinya kekurangan tersedianya dan suplai oksigen dari paru untuk kebutuhan jaringan otot. Olahraga sejenis ini biasa dilakukan untuk membangun otot beserta kekuatan dan kecepatannya yang seringkali dilakukan oleh atlet tipe non-endurance atau dimana stamina untuk jarak jauh dan waktu lama bukan prioritas. Keterbatasan penyediaan oksigen oleh pernapasan menjadi titik kritis performa olahragawan tersebut, sehingga terdapat peluang ketersediaan oksigen terlarut dalam air minumnya untuk dimanfaatkan guna meningkatkan durasi kerja otot secara aerobik (membutuhkan oksigen) sebelum performanya menurun akibat
58 kondisi anaerobik dan meningkatnya asam laktat. Dengan diberikan air minum beroksigen, diharapkan akan menambah jumlah oksigen yang masuk ke dalam tubuh sehingga status kesehatan menjadi lebih baik. Kerahasiaan Catatan mengenai pemeriksaan Anda akan dirahasiakan. Kalaupun dikaji kembali oleh badan-badan kesehatan pemerintah, Anda hanya akan dikenal dengan sebuah nomor saja, dan tidak akan diketahui siapa yang turut mengambil bagian dalam penelitian ini. Pertanyaan-pertanyaan Bila ada pertanyaan mengenai penelitian ini, mengenai hak-hak Anda, atau Anda hendak melaporkan efek dari intervensi yang diberikan, harap Anda melapor kepada Prof. Dr. Ir. Fransiska Rungkat-Zakaria, MSc yang dapat dihubungi melalui telepon (0251) 626725. Atau melalui surat dengan alamat Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, PO BOX 220, Bogor 16002. Partisipasi Sukarela Keikutsertaan Anda dalam penelitian ini bersifat sukarela dan tidak ada unsur pemakksaan. Dokter dapat memutuskan bahwa Anda tidak boleh lagi ikut serta dalam penelitian ini, terlepas dari keinginan Anda untuk tetap berpartisipasi atau tidak. Keputusan ini diambil dengan selalu memperhatikan hal yang terbaik bagi Anda. Yaitu untuk melindungi Anda terhadap kemungkinan buruk dari air minuman beroksigen. Tandatangan Saya telah membaca atau dibacakan kepada saya apa yang tertera di atas ini, dan saya telah diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan membicarakan proyek penelitian ini dengan para anggota tim penelitian. Saya memahami maksud dan risiko, lamanya waktu, dan prosedur penelitian ini. Dengan membubuhkan tandatangan di bawah ini, saya menegaskan keikutsertaan saya secara sukarela dalam proyek penelitian ini. Dan saya telah menerima tembusan dari surat persetujuan ini.
Tanda tangan dan nama sukarelawan Tanggal
Tanda tangan dan nama saksi Tanggal
Tanda tangan dan nama peneliti Tanggal
59 Lampiran 3 Persetujuan Etik (Ethical Approval) Penelitian
60
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 21 Desember 1988 dari Ayahanda Aan Refdi, SH dan Ibunda Luciana, SH. Penulis adalah putri pertama dari dua bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus pada Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Andalas. Pada tahun 2011 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan Program Magister pada Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dengan beasiswa dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Republik Indonesia melalui Program Beasiswa Unggulan tahun 2011.