PENGARUH KONSENTRASI KOAGULAN GDL (Glucono δ Lactone) DAN SUHU AWAL KOAGULASI TERHADAP POLA ELEKTROFORESIS PROTEIN TERKOAGULASI SERTA KORELASINYA TERHADAP MUTU TEKSTUR CURD KEDELAI (Glycine max)
SKRIPSI
Victor Trisna F24062040
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
The Effect of Concentration Coagulant GDL (Glucono δ Lactone) and Initial Temperature of Coagulation to the Electrophoretic Pattern of Coagulated Protein and Its Corelation to Texture Quality of Soybean Curd (Glycine max) Victor Trisna and Dahrul Syah Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.
ABSTRACT Coagulated based product play important role in many processed food. Famous example of above product type are tofu (made from soybean). Soycurd is a coagulated soy protein product which is formed through additioning coagulating-agent (coagulant) into soymilk. Formation of curd structure is an important step that affect tofu’s texture and determines consumer’s acceptibility of product. The important characteristics of tofu-based products is texture sensation raised during chewing proces. This research aims to study the contribution of concentration of coagulant GDL (Glucono δ Lactone) and coagulation temperature in creating texture sensation. We expect that texture sensation can be understood through fraction of protein coagulated according to electrophoresis pattern by SDS-PAGE. The first coagulation experiment was done using different concentration of coagulant (0.4%, 0.8%, and 1.2% based on soymilk volume) and two intial temperature of coagulation (63 °C and 83 °C). Texture objective curd are measured with TA-XT2i. Iniatial temperature of coagulation, concentration GDL and interaction both give a significant effect to hardness and gumminess of curd. Coagulation at initial temperature 83 °C produce curd with higher hardness and gumminess value than coagulation at intial temperature 63 °C. Concentration GDL 0.8% produce curd with highest hardness and gumminess value, and the lowest value at concentration GDL 0.4%. Cohesiveness curd just affected by concentration GDL and interaction both. Concentration GDL 0.4% produce curd with lowest cohesiveness, and increase at concentration GDL 0.8% and 1.2%. Curd protein was extracted with Tris [Tris(hydroxymethyl)aminomethane] buffer (pH 8.4) containing 0.02M β-mercaptoethanol. Defatted soy flour was used as control. From electrophoresis result, it was known that almost all protein bands which appear in defatted soy flour also appear in all curd. Type of protein that appear in all curd was relatively same, the different just in the intensity of band. Proportion of each fraction was determined and will be correlated to texture sensation (subjective) and texture characteristics according TA-XT2i (objective). GDL with concentration 0.8% produce curd with highest hardness value 2.26 kg Force at 63 °C and 3.05 kg Force at 83 °C. Ratio 11S/7S and objective texture of curd have a correlation (0.297) for all curd, (0.749) for coagulated curd at 63 °C and (-0.156) for coagulated curd at 83 °C. Key words : Protein, Curd, Soybean, SDS, Coagulant, GDL
VICTOR TRISNA. F24062040. Pengaruh Konsentrasi Koagulan GDL (Glucono δ-Lactone) dan Suhu Awal Koagulasi terhadap Pola Elektroforesis Protein Terkoagulasi serta Korelasinya terhadap Tekstur Curd Kedelai (Glycine max). Di bawah bimbingan Dahrul Syah. 2011.
RINGKASAN
Soycurd atau yang secara konvesional dikenal sebagai tahu merupakan produk hasil koagulasi protein kedelai menggunakan bahan penggumpal (koagulan). Koagulasi merupakan tahapan kritis dalam pembentukan struktur curd yang akan mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap produk akhir. Penggunaan koagulan jenis tertentu akan menghasilkan tekstur tahu yang berbeda pula. Perbedaan tekstur curd yang dihasilkan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya varietas kedelai, mutu protein kedelai, kondisi proses saat koagulasi, metode pembuatan curd dan komposisi protein penyusun curd. Penelitian ini akan mempelajari pengaruh konsentrasi GDL dan suhu awal koagulasi terhadap profil koagulasi, pola elektroforesis total protein yang diekstraksi dengan metode Mujoo et al.(2003) yang dimodifikasi, proporsi masing-masing pita protein curd dan pengaruhnya terhadap tekstur curd yang diperoleh, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yang diperlukan dalam pengembangan produk berbasis curd. Penelitian ini terdiri dari dua tahap, tahap pertama merupakan tahap penelitian pendahuluan berupa penentuan proses pembuatan curd. Tahap kedua merupakan tahap analisis curd dan whey yang dihasilkan. Curd dihasilkan dengan menggunakan koagulan GDL (Glucono δ Lactone) dengan tiga konsentrasi (0.4%, 0.8% dan 1.2 %) dan dua suhu awal koagulasi yang berbeda (63 °C dan 83 °C). Analisis yang dilakukan meliputi analisis tekstur curd secara obyektif dan subyektif, analisis protein Kjedahl curd, analisis kadar air curd, analisis pH whey, penimbangan massa curd, pelarutan protein metode Mujoo et al. (2003) yang dimodifikasi, analisis protein Bradford dan analisis SDS-PAGE. Perlakuan suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL serta interaksi keduanya memberikan variasi terhadap profil koagulasi yang diperoleh. Parameter yang terukur meliputi pH whey, kadar protein whey dan curd, massa curd, kadar air curd serta total padatan curd. Perlakuan suhu awal koagulasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pH whey dan kadar protein whey. Perbedaan konsentrasi GDL yang ditambahkan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pH whey, kadar protein whey, kadar air curd dan total padatan curd. Interaksi kedua perlakuan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar protein whey, massa curd, kadar air curd dan kadar protein curd. Proses koagulasi yang lebih lambat dengan penambahan konsentrasi GDL 0.4% baik pada suhu awal koagulasi 63 °C maupun 83 °C cenderung menghasilkan data yang lebih beragam (antar pengulangan) dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi GDL yang lainnya. Suhu awal koagulasi, konsentrasi GDL dan interaksi keduanya pun memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kekerasan dan daya kunyah curd pada taraf 5%. Namun kohesivitas curd hanya dipengaruhi oleh konsentrasi GDL dan interaksi kedua perlakuan. Parameter tekstur curd yang dihasilkan menggunakan instrumen TA-XT2i menunjukkan bahwa nilai kekerasan dan daya kunyah sampel curd yang dikoagulasi pada suhu awal koagulasi 83 °C lebih tinggi dibandingkan curd yang dikoagulasi pada suhu awal koagulasi 63 °C dengan nilai rata–rata 2.15 kgF dan 1,95 kgF untuk kekerasan serta 0,79 kgF dan 0.88 kgF untuk daya kunyah. Pengaruh konsentrasi GDL terhadap kekerasan dan daya kunyah curd menunjukkan pola yang sama, yaitu nilai tertinggi pada konsentrasi GDL 0.8% dan yang terendah pada konsentrasi GDL 0.4%. Kisaran nilai untuk parameter kohesivitas sampel curd pada suhu awal koagulasi 63 °C dan 83 °C masing-masing adalah 39.86-40.36% dan
34.77-43.18%. Pengaruh konsentrasi GDL terhadap kohesivitas curd menunjukkan pola yang berbeda dengan pola kekerasan dan daya kunyah curd. Nilai kohesivitas terendah diperoleh pada konsentrasi GDL 0.4% dan meningkat pada konsentrasi GDL 0.8% dan 1.2% , namun peningkatan kohesivitas antar kedua konsentrasi tersebut (0.8% dan 1.2%) tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Penilaian kekerasan tekstur curd secara subyektif dilakukan dengan menggunakan persamaan hubungan antara nilai obyektif dan subyektif kekerasan tahu komersial, yang secara matematis dirumuskan y = 2.876x + 1.358 (R2 = 0.935), dengan x mewakili nilai kekerasan obyektif curd dan y mewakili nilai kekerasan subyektif curd. Berdasarkan persamaan tersebut, nilai kekerasan subyektif untuk curd berkisar antara 5.64 hingga 10.12 pada skala garis uji rating yang panjangnya 15 cm dengan skala 0 = sangat lunak dan 15 = sangat keras. Nilai persen recovery pelarutan protein curd GDL melalui metode Mujoo et al. (2003) yang dimodifikasi menunjukkan pola yang semakin menurun dengan peningkatan suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL. Pola penurunan nilai persen recovery pelarutan dengan peningkatan suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL tersebut diduga disebabkan oleh peningkatan interaksi antar protein curd sehingga lebih sulit untuk dilarutkan. Nilai persen recovery pelarutan pada suhu awal koagulasi 63 °C berkisar 58.23–68.28 % dan pada suhu awal koagulasi 83 °C berkisar 50.55–60.66%. Sebagai pembanding, dilarutkan pula protein dari tepung kedelai. Pelarutan protein tepung kedelai hanya menghasilkan nilai persen recovery sebesar 33.56%. Nilai persen recovery pelarutan yang relatif kecil ini diduga disebabkan oleh masih terkaitnya protein kedelai dalam matriksnya (saat dalam bentuk tepung) sehingga lebih sulit untuk dilarutkan. Analisis gel elektroforesis terhadap hasil pelarutan protein mengunjukkan pola pita protein yang relatif sama antara tepung kedelai dan semua sampel curd GDL. Pita-pita protein tersebut diduga merupakan subunit dari 11S dan 7S berdasarkan publikasi Mujoo et al. (2003) mengenai profil protein SDS-PAGE tujuh varietas kedelai. Proporsi pita protein subunit pada masing-masing curd menunjukkan perbedaan yang signifikan. Pengelompokan subunit-subunit protein tersebut menjadi 11S dan 7S serta rasio 11S/7S menghasilkan pola yang cukup bervariasi. Korelasi yang cukup besar (0.749) antara rasio 11S/7S curd dengan kekerasan curd terdapat pada suhu awal koagulasi 63 °C dengan tiga konsentrasi GDL. Sedangkan pada suhu awal koagulasi 83 °C dengan tiga konsentrasi GDL menunjukkan korelasi sebesar (-0.156). Pendugaan perbedaan korelasi antara rasio protein 11S/7S dengan kekerasan obyektif curd tersebut disebabkan oleh perbedaan kecepatan gelasi antara kedua protein tersebut, yang dipengaruhi oleh suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL. Perbedaan kecepatan gelasi kedua protein tersebut diduga menyebabkan perbedaan kombinasi tipe gel yang dihasilkan, yang pada akhirnya berdampak terhadap mutu tekstur curd.
PENGARUH KONSENTRASI KOAGULAN GDL (Glucono δ Lactone) DAN SUHU AWAL KOAGULASI TERHADAP POLA ELEKTROFORESIS PROTEIN TERKOAGULASI SERTA KORELASINYA TERHADAP MUTU TEKSTUR CURD KEDELAI (Glycine max)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh :
VICTOR TRISNA F24062040
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi
:
Pengaruh Konsentrasi Koagulan GDL (Glucono δ Lactone) dan Suhu Awal Koagulasi terhadap Pola Elektroforesis Protein Terkoagulasi serta Korelasinya terhadap Tekstur Curd Kedelai (Glycine max)
Nama
:
Victor Trisna
NIM
:
F24062040
Menyetujui,
Pembimbing
(Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP : 19650814.199002.1.001
Mengetahui, Ketua Departemen
(Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP : 19650814.199002.1.001
Tanggal Lulus
: 18 Januari 2011
PERNYATAAN MENGENAGI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Konsentrasi Koagulan GDL (Glucono δ Lactone) dan Suhu Awal Koagulasi terhadap Pola Elektroforesis Protein Terkoagulasi serta Korelasinya terhadap Tekstur Curd Kedelai (Glycine max) adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2011 Yang membuat pernyataan
Victor Trisna F24062040
iii
© Hak cipta milik Victor Trisna, tahun 2011 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
iv
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di Bogor,13 November 1986. Penulis merupakan anak terakhir dari enam bersaudara pasangan Djaja Trisna dan Henny Herawatie Djayadi. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SD Mardi Yuana I Bogor pada tahun 1998, sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTP Mardi Yuana I Bogor pada tahun 2001, dan sekolah lanjutan tingkat atas di SMA Mardi Yuana I Bogor pada tahun 2004. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD). Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, diantaranya menjadi anggota divisi snack (Food Proscessing Club, HIMITEPA IPB) serta kepanitian di berbagai kegiatan seperti LCTIP ( Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan) XVI, Seminar dan Pelatihan HACCP VI include ISO : 22000 dan International Seminar Current Issues and Challenges in Food Safety (Science-Based Approach for Food Safety Management) Penulis pernah mengikuti beberapa kegiatan seminar dan pelatihan seperti Seminar dan Pelatihan Vegetarian, Seminar Nasional Indonesia Food Expo dan Pelatihan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) VIII with ISO 22000. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Konsentrasi Koagulan GDL (Glucono δ- Lactone) dan Suhu Awal Koagulasi terhadap Pola Elektroforesis Protein Terkoagulasi serta Korelasinya terhadap Tekstur Curd Kedelai (Glycine max)” di bawah bimbingan Dr. Ir. Dahrul Syah
v
KATA PENGANTAR Puji dan syukur yang tak terhingga penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, Tuhan yang luar biasa yang telah memberikan berkat pertolongan, kesempatan dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi yang berjudul “Pengaruh Konsentrasi GDL (Glucono δ Lactone) dan Suhu Awal Koagulasi terhadap Pola Elektroforesis Protein Terkoagulasi serta Korelasinya terhadap Mutu Tekstur Curd Kedelai (Glycine max)” ini didasarkan pada penelitian yang telah dilaksanakan sejak Maret 2010 sampai November 2010 di Laboratorium SEAFAST Center IPB dan Laboratorium Departemen ITP IPB. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Orang tua penulis, Papa, Mama dan kakak atas cinta kasih, doa, nasihat, dan dukungan yang tiada berhenti kepada penulis. 2. Dr. Ir. Dahrul Syah selaku dosen pembimbing atas waktu, arahan, kesabaran, dan masukan yang diberikan selama penulis menjadi mahasiswa ITP. 3. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief DESS atas kesediannya menjadi dosen penguji dan atas kritik, saran dan masukan yang diberikan. 4. Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M. Si atas kesediannya menjadi dosen penguji dan atas kritik, saran dan masukan yang diberikan. 5. Rizal Fahmi STP dan RH. Fitri Faradilla, STP atas segala arahan, bimbingan dan masukannya. 6. Teman seperjuangan penulis: Yogi dan Dita atas kerja sama, kebersamaan dan bantuan yang diberikan selama melakukan penelitian. 7. Teman-teman panelis terlatih dalam bidang kekerasan tekstur curd, Trancy, Tami, Melia, Nadea, Lukman, Rozak, Belinda, Rossy, Ajeng, Nadiah, dan Chintia, atas kerja sama dan bantuannya selama ini. 8. Teman-teman Lab : Mba Maya, Mba dwi, Mba elvie, Mba desty dan Mba fidi, Wina, Eneng, Vani, Ipan, Jupe, Ipit, Adit, Dzikri, Saiha, Mario, Taufik dan Pales atas bantuan dan kebersamaannya. 9. Seluruh staf dan labor : Mba Ria, Bu Rohana, Bu Ntin, Kak Arif, Mas Marto, Mba Lyra, dan Mba Irine, Mba Ari, Abah, Pak Jun, Pak Deni, Bu Rub, Pak Gatot, Pak Wahid, Pak Yahya, Pak Sidiq, Pak Rojak dan Bu Antin untuk semua bimbingan, bantuan dan dukungan yang diberikan. 10. Teman satu bimbingan, Yogi, Yua dan Bojes. 11. Teman-teman ITP 43 untuk bantuan dan support yang diberikan. 12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis sangat mengharapkan saran dari berbagai pihak untuk memperbaiki dan menyempurnakan penulisan skripsi ini. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua yang membaca
Bogor, Januari 2011
Victor Trisna
vi
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................................................ vi DAFTAR TABEL ..................................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................. x DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................................. xi I. PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1 A. PENDAHULUAN ................................................................................................................. 1 B. TUJUAN PENELITIAN ........................................................................................................ 2 C. MANFAAT PENELITIAN..................................................................................................... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................................. 3 A. KEDELAI .............................................................................................................................. 3 1. Komposisi Kimia Kedelai ................................................................................................. 3 2. Protein Kedelai ................................................................................................................. 4 B. GELASI DAN KOAGULASI ................................................................................................. 7 1. Gelasi Protein ................................................................................................................... 7 2. Koagulasi Protein .............................................................................................................. 8 3. Curd Kedelai .................................................................................................................. 14 C. TEKSTUR ........................................................................................................................... 15 D. ANALISIS FRAKSI PROTEIN DI DALAM CURD............................................................. 17 1.
Teknik Pelarutan Protein ................................................................................................ 17
2.
Teknik Elektroforesis dalam Analisis Protein ................................................................. 18
3.
Interpretasi Pita Protein ................................................................................................. 20
III. METODE PENELITIAN ........................................................................................................... 22 A. BAHAN DAN ALAT ........................................................................................................... 22 B. METODE PENELITIAN ..................................................................................................... 22 1. Penelitian Pendahuluan ................................................................................................... 22 2. Penelitian Utama ............................................................................................................. 22 C. PROSEDUR ANALISIS ...................................................................................................... 25 1. Analisis Kadar Air Metode Oven (SNI 1992 yang dimodifikasi) ...................................... 25 2. Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl (AOAC 1995 yang dimodifikasi) ....................... 25 3. Pelarutan Protein (Mujoo et al. 2003 yang dimodifikasi) .................................................. 25 4. Analisis pH (Moizuddin et al. 1999) ................................................................................ 27 5. Analisis Kadar Protein Metode Bradford (Bradford 1976)................................................ 27 6. Analisis SDS-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (Laemmli 1970) ................................ 27 7. Analisis Gel Elektroforesis .............................................................................................. 29 8. Analisis Tekstur Curd secara Obyektif ............................................................................ 29 9. Analisis Tekstur Curd secara Subyektif ........................................................................... 29
D. RANCANGAN PERCOBAAN ............................................................................................ 30 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................................. 31 A. PENELITIAN PENDAHULUAN ........................................................................................ 31 B. PENELITIAN UTAMA ....................................................................................................... 32 1. Profil Koagulasi .............................................................................................................. 32 2. Analisis Tekstur Curd secara Obyektif (TA-XT2i)........................................................... 37 3. Analisis Tekstur Curd secara Subyektif ........................................................................... 39 4. Elektroforesis Fraksi Protein Curd................................................................................... 41 a.
Pelarutan Protein ...................................................................................................... 41
b.
Analisis GEL Elektroforesis ..................................................................................... 42
V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................................. 48 A. KESIMPULAN .................................................................................................................... 48 B. SARAN ............................................................................................................................... 48 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 50 LAMPIRAN .............................................................................................................................. 55
viii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel
1
Komposisi kimia kedelai dan bagian-bagiannya (%BK) .......................................... 4
Tabel
2
Komponen fraksi hasil ultrasentrifusa dari ekstrak protein kedelai ........................... 5
Tabel
3
Beberapa golongan bahan penggumpal (koagulan) protein kedelai .......................... 9
Tabel
4
Beberapa karakteristik mekanikal dan definisi dari grafik TPA.............................. 17
Tabel
5
Setting TA-XT2i untuk pengukuran TPA curd ...................................................... 29
Tabel
6
Trial penentuan konsentrasi GDL dengan suhu awal koagulasi 63 °C .................... 31
Tabel
7
Kadar protein whey berbagai perlakuan ................................................................. 34
Tabel
8
Kadar protein, massa, kadar air dan total padatan curd berbagai perlakuan ............ 35
Tabel
9
Hasil analisis protein curd .................................................................................... 41
Tabel
10
Nilai berat molekul pita protein tepung kedelai dan semua sampel curd................. 44
Tabel
11
Persentase fraksi protein SDS-PAGE .................................................................... 44
Tabel
12
Persentase protein 11S, 7S dan rasio 11S/7S SDS-PAGE ...................................... 46
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar
1
Struktur biji kedelai .......................................................................................... 3
Gambar
2
Profil protein tujuh varietas kedelai (Mujoo et al. 2003) .................................... 5
Gambar
3
Skematik struktur molekuler glisinin (Renkema et al. 2001) .............................. 6
Gambar
4
Struktur molekuler β-konglisinin (Renkema et al. 2001) .................................... 6
Gambar
5
Struktur dan karakteristik fisik gel pada beberapa pH (Foegeding 2005)............. 7
Gambar
6
Mekanisme gelasi protein dengan koagulan kalsium sulfat dan GDL................ 10
Gambar
7
Struktur GDL (Glucono δ Lactone) ................................................................ 10
Gambar
8
Skema hidrolisis GDL menjadi asam glukonat ................................................ 11
Gambar
9
Grafik perubahan pH terhadap waktu pada konsentrasi GDL 0.1%, 1% dan 10%.......................................................................................... 11
Gambar
10
Grafik perubahan pH terhadap waktu pada suhu 25 °C dan 35 °C (GDL 100 mmol/L) ......................................................................................... 11
Gambar
11
Skema pembuatan tahu Sumedang di pabrik „Diazara Tresna‟ (Fahmi 2010) ................................................................................................. 12
Gambar
12
Skema pembuatan tahu sutera skala laboratorium (Shen et al.1991) ................. 13
Gambar
13
Skematik penekanan curd “two-bite test” menggunakan TA-XT2i (Bourne 2002) ....................................................... 16
Gambar
14
Grafik TPA untuk produk pangan secara umum beserta parameter analisis dan perhitungannya ......................................................................................... 16
Gambar
15
Mekanisme pemutusan ikatan disulfida dengan tiol bebas (a) 2-mercaptoethanol dan (b) DTT (Rabilloud 1996) ...................................... 18
Gambar
16
Skematik elektroforesis SDS-PAGE ................................................................ 19
Gambar
17
Contoh persamaan regresi protein marker........................................................ 20
Gambar
18
Profil protein 11S dan 7S dari tujuh varietas kedelai (SDS-PAGE) .................. 21
Gambar
19
Skema penelitian utama .................................................................................. 23
Gambar
20
Skema pembuatan curd ................................................................................... 24
Gambar
21
Skema pelarutan protein metode Mujoo et al. (2003) yang dimodifikasi ........... 26
Gambar
22
Alat pencetak tahu skala laboratorium (a) yang dibuat mirip dengan alat cetak pada pabrik tahu “Diazara Tresna” ................................................... 32
Gambar
23
Grafik pH whey pada berbagai perlakuan ......................................................... 33
Gambar
24
Grafik TPA curd perlakuan 83 °C_0.8%.......................................................... 37
Gambar
25
Profil tekstur curd pada berbagai perlakuan ..................................................... 38
Gambar
26
Grafik tekstur penekanan curd untuk variabel suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL ............................................................................................. 41
Gambar
27
Profil SDS-PAGE total protein dengan GEL-DOC .......................................... 43
x
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran Lampiran
1 2a.
Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran
2b. 3 4 5
Lampiran Lampiran
6 7
Lampiran Lampiran
8 9
Lampiran Lampiran
10 11
Lampiran Lampiran
12 13
Lampiran Lampiran
14 15
Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran
16 17 17a 17b 17c 18 19
Lampiran Lampiran
20 21
Lampiran Lampiran
22 23
Lampiran
24
Lampiran Lampiran Lampiran
25 25a. 25b.
Larutan-larutan untuk SDS-PAGE ............................................................. 55 Larutan A (buffer tris pH 8.4 yang mengandung 0.02M 2-mercaptoetanol) ........................................................................... 56 Skema pelarutan protein (Mujoo et al. 2003) ............................................. 56 Kuesioner uji segitiga dan uji rangking untuk seleksi panelis ...................... 57 Kuesioner uji rating skala garus penekanan sampel curd............................. 58 Hasil pengukuran tekanan penekan cetakan curd di „Diazara Tresna‟ (Fahmi 2010) .................................................................. 59 Data analisis pH whey ............................................................................... 60 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh konsentrasi GDL dan suhu awal koagulasi terhadap pH whey ................................................ 60 Data analisis kadar protein metode Bradford untuk whey ........................... 62 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh konsentrasi GDL dan suhu awal koagualasi terhadap kadar protein whey .............................. 64 Data analisis massa curd ............................................................................ 65 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh konsentrasi GDL dan suhu awal koagulasi terhadap massa curd ............................................ 65 Data analisis total padatan curd.................................................................. 66 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh konsentrasi GDL dan suhu awal koagulasi terhadap total solid curd ...................................... 67 Data analisis kadar air curd (% basis basah) ............................................... 68 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh konsentrasi GDL dan suhu awal koagulasi terhadap kadar air curd (%basis basah) ................ 68 Data analisis tekstur obyektif curd ............................................................. 70 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk parameter tekstur obyektif curd ....... 72 Kekerasan curd.......................................................................................... 72 Kohesivitas curd........................................................................................ 73 Daya Kunyah curd..................................................................................... 74 Data analisis kekerasan penekanan curd (subyektif) ................................... 75 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk kekerasan penekanan curd (subyektif) ................................................................................................. 76 Data analisis kadar protein Bradford hasil pelarutan curd ........................... 78 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk kadar protein Bradford hasil pelarutan curd ........................................................................................... 81 Data analisis total protein metode Kjeldahl curd (% Basis basah) ............... 82 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh konsentrasi GDL dan suhu awal koagulasi terhadap kadar protein Kjeldahl curd (%BB) ....... 82 Hubungan Total Protein Kjeldahl, total protein pelarutan dan persen recovery pelarutan .................................................................... 83 Hubungan Rf dengan log BM pita protein .................................................. 84 Sampel tepung kedelai ............................................................................... 84 Sampel curd (6 sampel) ............................................................................. 85
xi
Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran
26a. 26b. 27 27a. 27b. 27c. 27d. 27e. 27f. 27g. 27h. 28.
Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran
28a. 28b. 28c. 29
Lampiran Lampiran
30 31
Proporsi fraksi protein dengan SDS-PAGE ................................................ 86 Dokumentasi Output software Image J (densitas pita protein). ................... 87 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pita protein SDS-PAGE ................... 89 Subunit α΄ dan α ........................................................................................ 89 Subunit β ................................................................................................... 90 Subunit asam (A3. A1. A2. A4) .................................................................... 91 Subunit basa .............................................................................................. 92 Subunit A5 ................................................................................................. 93 Protein Glisinin (11S) ............................................................................... 93 Protein β-konglisinin (7S) ......................................................................... 94 Rasio protein 11S dan 7S ........................................................................... 95 Hasil analisis korelasi kekerasan obyektif curd dengan rasio protein 11S/7S curd........................................................................... 97 Korelasi kekerasan dengan protein 11S/7S (suhu awal koagulasi 63 °C) ..... 97 Korelasi kekerasan dengan protein 11S/7S (suhu awal koagulasi 83 °C) ..... 98 Korelasi kekerasan dengan protein 11S/7S (semua sampel curd) ................ 99 Hasil analisis korelasi antara kadar protein, kadar air, total padatan dan parameter tekstur curd .................................................. 100 Hasil analisis korelasi antara beberapa parameter profil koagulasi ............ 101 Hasil analisis korelasi antara subunit 11S dan 7S terhadap kekerasan curd .......................................................................... 102
xii
I.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Kandungan protein kacang kedelai yang mencapai 44% (Koswara 1992) menyebabkan penggunaannya sebagai sumber protein nabati sudah banyak di minati di dunia. Pemanfaatan kacang kedelai pada produk pangan tidak lepas dari sifat fungisonal dari protein yang dimilikinya. Salah satu sifat fungsional protein kacang-kacangan yang sering dimanfaatkan untuk menghasilkan karakteristik organoleptik tertentu adalah sifat gelasi protein. Tahu atau tofu merupakan produk curd dari kacangkacangan yang memanfaatkan sifat gelasi protein. Pada pembuatan tahu, gelasi protein terjadi ketika koagulan ditambahkan ke dalam susu kedelai. Proses ini dikenal dengan koagulasi protein (Obatulu 2007). Fenomena koagulasi protein kacang-kacangan menjadi gumpalan yang disebut curd menjadi bagian penting dalam proses pengolahan produk seperti tahu. Curd yang terbentuk akan menentukan mutu akhir dari produk yang dihasilkan dan secara tidak langsung akan mempengaruhi preferensi konsumen terhadap produk tersebut. Produk tahu sendiri dikenal dalam berbagai jenis berdasarkan tingkat kekerasannya, dimulai dari tahu sangat keras (extra firm tofu) hingga tahu yang paling lembut (silken tofu) (Muchtadi, 2010). Perbedaan karakteristik dari berberapa jenis tahu tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Selain disebabkan oleh perbedaan proses pembuatannya, terdapat beberapa parameter lain yang menyebabkan perbedaan tekstur dari tahu yang dihasilkan seperti jenis dan konsentrasi koagulan, varietas kedelai yang digunakan, jumlah penambahan air saat pembuatan susu kedelai, suhu pemanasan susu kedelai dan kecepatan pengadukan(Blazek 2008; Mujoo et al. 2003). Tahu juga dapat digolongkan berdasarkan bahan penggumpal (koagulan) yang ditambahkan. Tahu pasar yang umum dikonsumsi sehari-hari dapat dihasilkan dengan penambahan koagulan batu tahu/ shioko (CaSO4). Tahu sutera (silken tofu) dapat dihasilkan dengan penambahan GDL (Glucono δ Lactone). Koagulan dalam hal ini, memberikan peran yang dominan terhadap karakteristik curd yang dihasilkan. Perbedaan dalam penggunaan jenis koagulan dengan konsentrasi tertentu akan memberikan variasi pembentukan curd, baik dalam hal kekerasan, mouthfeel maupun komponen proteinnya. Oleh karena itu, untuk memperoleh produk dengan karakteristik organoleptik yang seragam diperlukan pengetahuan mengenai profil koagulan serta sifat-sifat organoleptik yang dihasilkan, khususnya tekstur. Suatu koagulan memiliki mekanisme koagulasi yang spesifik tergantung dari jenis koagulan tersebut. Perbedaan mekanisme koagulasi ini lah yang diduga menyebabkan perbedaan komponen protein yang terendapkan dan interaksi protein-protein dalam curd yang berdampak pula terhadap tekstur produk selama berada di dalam mulut (mouthfeel). Penelitian mengenai korelasi antara profil protein curd yang terbentuk berdasarkan elektroforesis yang dikaitkan dengan sensasi tekstur tertentu belum banyak diteliti. Melalui penelitian ini, diharapkan akan diperoleh korelasi yang spesifik antara pengaruh penggunaan suhu awal koagulasi dan konsentrasi koagulan dengan fraksi protein curd. Selain itu diharapkan akan diperoleh pula hubungan antara fraksi endapan protein yang terbentuk dengan pengaruhnya terhadap tingkat kekerasan curd yang terbentuk, sehingga diharapkan dapat bermanfaat bagi proses pembuatan produk pangan berbasis curd.
B. TUJUAN Secara umum, tujuan penelitian ini adalah mempelajari karakteristik koagulasi protein dan hubungannya dengan tekstur curd yang dihasilkan. Secara khusus, tujuan penelitian ini dijabarkan sebagai berikut: 1. Mempelajari pengaruh konsentrasi koagulan GDL dan suhu awal koagulasi terhadap profil koagulasi protein serta pola elektroforesis protein terkoagulasi yang muncul. 2. Mempelajari tekstur curd yang dihasilkan secara obyektif serta sensasi subyektif yang dipengaruhi oleh konsentrasi koagulan GDL dan suhu awal koagulasi. .
C. MANFAAT Manfaat penelitian ini adalah memberikan dasar ilmiah dalam proses rekayasa pangan, khususnya dalam teknik pembuatan produk pangan berbasis curd.
2
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. KEDELAI Kedelai merupakan tanaman kacang-kacangan yang termasuk dalam famili Leguminosa, subfamili Papilionidae, genus Glycine dan spesies max, sehingga nama latinnya dikenal sebagai Glycine max (Koswara 1992). Struktur biji kedelai terdiri atas 3 bagian utama, yaitu kulit biji (hull), keping biji (kotiledon) dan hipokotil (Wolf 1989). Struktur biji kedelai secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur biji kedelai (Anonima 2010) Secara umum kedelai terdiri atas 8% kulit biji, 90% kotiledon dan 2% hipokotil (Handono, 1985). Kulit biji terdapat pada lapisan permukaan luar yang disusun oleh beberapa lapisan sel, sedangkan kotiledon adalah permukaan sel yang ditutupi oleh sel epidermis serta mengandung protein dan minyak pada bagian dalam (Wolf 1989). Penampakan fisik kedelai memiliki keragaman yang cukup luas. Warna, ukuran, bentuk biji, sifat fisik maupun sifat kimia kacang kedelai sangat bervariasi. Perbedaan ini dipengaruhi oleh faktor varietas dan keadaan lingkungan tanamnya (Smith dan Circle 1977). Seluruh bagian kedelai termasuk daun, batang dan bijinya dapat dimanfaatkan untuk pangan, obat dan pakan. Bagian keping biji (kotiledon) merupakan bagian yang paling umum untuk diolah menjadi berbagai produk olahan pangan. Hal tersebut disebabkan tingginya kandungan protein dan lemaknya (Wolf dan Cowan 1971)
1. Komposisi Kimia Kedelai Kedelai mengandung jumlah protein yang bervariasi antara 38% hingga 49% (Saidu 2005) Menurut Liu (1997), protein kedelai mengandung asam amino essensial yang lengkap dengan methionin sebagai asam amino pembatas. Leusin, isoleusin, lisin dan valin merupakan asam amino yang paling tinggi yang terkandung di dalam kedelai. Kadar protein kedelai yang tinggi menjadikan tanaman ini memiliki kualitas yang sama dengan protein hewani. Biji kedelai terdiri dari 7.3% kulit, 90.3% kotiledon dan 2.4% hipokotil. (Koswara 1992). Komposisi kimia bagian bji kedelai dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia kedelai dan bagian-bagiannya (% BK) Bagian kedelai
Protein (%)
Lemak (%)
Kadar abu (%)
Karbohidrat (%)
Biji utuh
34.9
18.1
4.9
34.8
Kotiledon
42.8
22.8
5.0
29.4
Kulit
8.8
1.0
4.3
85.9
Hipokotil
40.0
11.4
4.4
43.4
Sumber : Kawamura (1977)
Selain mengandung protein, kacang kedelai juga memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi. Kacang kedelai mengandung sekitar 18-20% lemak dan 85% dari jumlah tersebut terdiri dari asam lemak tak jenuh. Disamping itu, di dalam lemak kedelai terkandung beberapa fosfolipida yaitu lesitin, sepalin, dan lipositol (Koswara, 1992). Menurut Syarief dan Irawati (1988), lemak kedelai mengandung asam linoleat dan oleat, 10% palmitat, stearat dan palmitat (masing-masing 2%) Menurut Smith dan Circle (1977), vitamin-vitamin yang terdapat dalam kacang kedelai antara lain vitamin A, vitamin B terutama niasin, riboflavin, dan tiamin, vitamin D, E dan K. Sedangkan mineral yang dikandungnya antara lain Ca, P, Fe, Na, K dan yang terdapat dalam jumlah kecil Mg, Mn, Za, Co, Cu, Se dan F. Kandungan karbohidrat dalam kedelai sekitar 30% yang terdiri dari 15% karbohidrat tak dapat larut (insoluble carbohydrate) dan 15% karbohidrat yang dapat larut (soluble carbohydrate). Kedelai juga memiliki isoflavone dan zat anti-nutrisi seperti saponin, fosfolipid, protease inhibitor, fitat dan tripsin inhibitor (Saidu 2005). Selain itu kedelai mengandung senyawa penyebab off-flavor, yaitu glukosida, saponin, esterogen dan senyawa penyebab alergi (Koswara 1992).
2. Protein Kedelai Komponen kimia tertinggi dalam kedelai adalah protein, yaitu antara 38% hingga 49% (Saidu, 2005). Sekitar 90% protein kedelai adalah globulin yang terdapat sebagai protein cadangan, sisanya merupakan enzim-enzim intraseluler (lipoksigenase, urease dan amilase), hemaglutinin, protein inhibitor dan lipoprotein membran (Kinsella 1979). Globulin merupakan protein terpenting pada kedelai. Protein ini tidak larut dalam air di sekitar titik isoelektriknya tetapi akan segera larut dengan penambahan garam seperti natrium klorida atau kalsium klorida. Globulin larut dalam larutan garam encer pada pH di atas atau di bawah titik isoelektriknya (Pearson 1983). Pada pH sekitar 4.2-4.6, kelarutan protein kedelai mencapai minimum; kisaran pH tersebut dikenal sebagai titik isoelektrik protein kedelai (Berk 1992). Menurut Zayas (1997), kelarutan protein kedelai dalam air meningkat dengan meningkatnya pH dari 6 ke 8 dan suhu dari 10 oC sampai 70 oC. Ketika suhu meningkat, struktur protein terbuka (unfold) menjadi rantai lurus sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan interaksi antara protein dan air dan kelarutan protein kedelai pun ikut meningkat. Menurut Wolf dan Cowan (1975), protein kedelai terdiri dari campuran komponen-komponen yang mempunyai berat molekul 8 sampai 600 kilo Dalton. Melalui ultrasentrifugasi, protein kedelai dapat digolongkan menjadi empat golongan utama, yaitu protein 2S, 7S, 11S dan 15S (Tabel 2.). Protein kedelai juga dapat digolongkan ke dalam 4 fraksi berdasarkan kelarutannya, yaitu albumin (larut dalam air), globulin (larut dalam larutan garam), prolamin (larut dalam alkohol 70%) dan glutelin (larut dalam basa encer) (Belitz dan Grosch 1999).
4
Tabel 2. Komponen fraksi hasil ultrasentrifusa dari ekstrak protein kedelai Fraksi Persentase Komponen BM (kDa) Tripsin inhibitor 8 – 21.5 2S 22 Sitokrom C 12 7S 37 Hemaglutinin 110 Lipoksigenase 102 β - amilase 61.7 7 S globulin 180 – 210 11S 31 11S globulin 350 15S 11 Polimer 600 Sumber : Wolf dan Cowan (1975)
Globulin 7S dan 11S merupakan dua komponen utama protein cadangan biji kedelai. Kedua fraksi ini disebut sebagai protein cadangan karena tidak mempunyai aktivitas biologis kecuali sebagai asam amino cadangan untuk germinasi biji (Murphy 1985). Protein 7S dan 11S merupakan dua protein utama yang menyusun globulin dengan jumlah masing-masing sekitar 37% dan 31% dari total protein kedelai (Wolf dan Cowan 1975). Baik globulin 7S maupun globulin 11S terdiri atas subunit-subunit protein. Glisinin atau protein 11S tersusun atas polipeptida asam dan basa yang saling dihubungkan oleh ikatan disulfida. Sedangkan βkonglisinin atau protein 7S, merupakan protein dengan struktur trimer yang terdiri atas 3 tipe subunit (α‟, α dan β) (Liu et al. 2008). Identifikasi protein 7S dan 11S biasanya menggunakan elektroforesis, yang dapat menampilkan pita protein berdasarkan bobot molekulnya. Hasil publikasi Mujoo et al. (2003) mengenai profil protein tujuh varietas kedelai (SDS-PAGE) dapat dilihat pada Gambar 2.
7S
11S
Gambar 2. Profil protein tujuh varietas kedelai (SDS-PAGE) 1: Vinton-81; 2: S-20F8; 3: HP-204; 4: IA-2034; 5: Steyer; 6: IA-2020; 7: S-2020; M : marker (Mujoo et al. 2003).
5
a.
Fraksi 11 S (Glisinin) Glisinin merupakan protein heksamer (AB)6 dengan berat molekul berkisar 300-380 kDa. Subunit-subunit glisinin terdiri atas polipeptida asam (A) dan polipeptida basa (B) yang dihubungkan oleh ikatan disulfida (Blazek 2008). Polipeptida asam glisinin memiliki berat molekul sekitar 35 kDa, sedangkan polipetida basanya memiliki berat molekul sekitar 20 kDa (Mujoo et al. 2003). Glisinin mengandung paling sedikit 20 ikatan disulfida dan dua grup sulfhidril per mol protein (Draper dan Catsimpoolas 1978 dikutip oleh Nakamura et al. 1984). Ikatan disulfida ini dapat menyebabkan glisinin lebih tahan terhadap denaturasi. Struktur kuarterner glisinin stabil karena adanya interaksi elektrostatik dan hidrofobik serta ikatan disulfida (Badley et al. 1975; Peng et al. 1984). Skematik struktur molekuler glisinin dapat dilihat pada Gambar 3.
Monomer
Trimer
Hexamer
Gambar 3. Skematik struktur molekuler glisinin (monomer, trimer, dan heksamer); A: polipeptida asam; B : polipeptida basa; : ikatan disulfida (Renkema et al. 2001). b. Fraksi 7 S (β-konglisinin) Struktur kuarterner globulin 7S tersusun atas oleh 3 subunit yaitu, α‟, α dan β yang dihubungkan melalui interaksi hidrofobik dengan berat molekul sekitar 180 kDa (Kinsella 1985). Subunit α‟ memiliki berat molekul sekitar 72 kDa, sedangkan α dan β memiliki berat molekul masing-masing sekitar 68 dan 52 kDa (Mujoo et al. 2003). Kombinasi subunitsubunit tersebut memberikan berat molekul sekitar 180 kDa tergantung dari subunit penyusunnya (Blazek 2008). Fraksi 7S merupakan glikoprotein yang tidak mengandung grup sufhidril dan kandungan asam amino sulfurnya sedikit sekali (Nielson 1985 dikutip oleh Yu dan Damodaran 1991). Menurut Lewis dan Chen (1978) β-konglisinin merupakan glikoprotein yang mengandung 3.8-5.4% karbohidrat. Jenis gula yang terdapat dalam protein ini adalah manosa dan glukosamin. Struktur molekuler β-konglisinin dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur molekuler β-konglisinin (Renkema et al. 2001)
6
B. GELASI Vs KOAGULASI 1. Gelasi Protein Menurut Liu et al. (2008), protein kedelai memiliki banyak sifat fungsional yang telah dipelajari dengan sangat luas. Sifat fungsional itu diantaranya adalah kemampuan larut, kemudahan terdenaturasi oleh panas, kemampuan membentuk gel, emulsifier, kemampuan membentuk busa, kemampuan mengikat air (water holding capacity(WHC)), pembentuk karakteristik struktur, sifat reologi dan kemampuan membentuk tekstur. Pada umumnya, gelasi protein merupakan tahapan yang penting dalam menghasilkan produk pangan dengan mutu tekstur yang baik. Karakteristik mutu suatu produk pangan, khususnya sifat tekstur dan juiciness, ditentukan melalui kapasitas gelasi protein. Gel dapat bervariasi dalam hal sifat reologinya yaitu kekerasan, kelengketan, kohesivitas, dan adesivitas. Dalam hal ini, protein sering digunakan untuk menghasilkan sifat tekstur tertentu melalui fenomena gelasi protein. Sifat gelasi protein berhubungan dengan agregasi protein. Gelasi protein terjadi ketika protein beragregasi membentuk jaringan (Tay et al. 2005). Menurut Schmidt (1981) yang dikutip oleh Zayas (1997), gelasi protein adalah fenomena agregasi protein di mana interaksi polimer-polimer dan polimer-solven setimbang sehingga jaringan atau matriks tersier terbentuk. Agregasi protein sendiri menurut Tay et al. (2005) dapat terjadi melalui proses pemanasan, pengaturan pH atau pengaturan kekuatan ionik dalam larutan protein. Gel terbentuk ketika protein yang strukturnya terbuka sebagian (unfold) terurai menjadi segmen-segmen polipeptida yang kemudian berinteraksi pada titik tertentu untuk membentuk jaringan ikatan silang tiga dimensi. Protein dengan struktur unfold, dimana struktur sekundernya mengalami perubahan, diperlukan pada proses gelasi protein. Perubahan ini dapat terjadi melalui perlakuan panas, asam, alkali dan urea (Zayas 1997). Menurut Zayas (1997), pada proses pembentukan gel, transisi dari bentuk alami menjadi bentuk terdenaturasi merupakan prekursor penting dalam interaksi protein-protein. Jaringan gel baru akan terbentuk setelah sebagian protein mengalami denaturasi. Pembentukan gel protein merupakan hasil dari ikatan hidrogen, interaksi ionik dan hidrofobik, ikatan Van der Waals, dan ikatan kovalen disulfida. Stuktur dan karakteristk fisik gel pada beberapa pH dapat dilihat pada Gambar 5.
Protein awal
pH > pI *
pH ~ pI Kekuatan ion tinggi
Tipe Gel
:
particulate
fine-stranded*
WHC Fracture stress Fracture strain
: Rendah : Sedang - tinggi : Sedang – tinggi
Tinggi Sedang – tinggi Sedang – tinggi
pH < pI **
fine-stranded** Tinggi Rendah Rendah
Gambar 5. Struktur dan karakteristik fisik gel pada beberapa pH ( Foegeding 2005 )
7
Gel yang berbentuk fine-stranded memiliki penampakan gel yang transparan. Gel tipe ini terbentuk saat kondisi pH diatas atau dibawah pI dan saat kekuatan ioniknya rendah. Gel yang terbentuk saat pH diatas maupun dibawah pI memiliki karakteristik fisik yang berbeda. Gel yang terbentuk pada pH yang rendah memiliki karakteristik fisik yang lemah dan rapuh, sedangkan gel yang terbentuk pada pH yang tinggi memiliki karakter fisik yang kuat dan elastis. Tipe gel yang kedua yaitu particulate yang memiliki penampakan buram. Gel berbentuk particulate terbentuk saat minimumnya gaya tolak menolak seperti saat pH mendekati pI atau saat kekuatan ioniknya tinggi. Gel ini memiliki ukuran partikel yang besar dan WHC yang rendah sehingga teksturnya lebih kuat dibandingkan gel fine-stranded yang terbentuk pada pH tinggi, Sifat gelasi protein kedelai sering dihubungkan dengan keberadaan protein 7S dan 11S yang merupakan penyusun utama protein globulin kedelai. Kandungan protein 11S dan rasio 11S/7S dilaporkan memberikan korelasi positif terhadap kekerasan gel dari protein kedelai (Mujoo et al. 2003). Nakamura et al. (1984) yang dikutip oleh Yoshida et al. (1992) melaporkan bahwa kekerasan gel dari globulin 11S berbeda-beda antara varietas yang berbeda pada konsentrasi globulin yang sama. Mereka juga menunjukkan bahwa kekerasan gel meningkat sebanding dengan kandungan dari suatu subunit asam yang berberat molekul tinggi dalam total globulin 11S. Telah diketahui bahwa fraksi dengan berat molekul yang tinggi dalam suatu polimer akan membentuk gel dengan kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan fraksi dengan berat molekul yang lebih rendah (Watase dan Nishinari 1983 yang dikutip oleh Yoshida et al. 1992). Menurut Corredig (2006), gel yang diperoleh dari isolasi glisinin (11S) memberikan karakter gel yang lebih keras dibandingkan gel yang diperoleh dari β-konglisinin (7S), dan struktur jaringan yang terbentuk memiliki perbedaan antar keduanya, tergantung dari komposisi protein. Blazek (2008) melaporkan bahwa rasio 11S/7S mempengaruhi karakter kekerasan dan elastisitas gel. Glisinin berkontribusi terhadap peningkatan kekerasan dan kekokohan gel, sedangkan β-konglisinin memberikan pengaruh terhadap elastisitas gel yang dihasilkan. Gel dari globulin 11S yang dibuat dengan penambahan koagulan CaSO4 lebih keras dibandingkan gel dari globulin 7S. Fenomena tersebut berhubungan dengan kandungan ikatan disulfida yang lebih banyak pada globulin 11S. Hal serupa terjadi pada gel yang dibuat dengan penambahan koagulan Glucono δ Lactone (GDL) (Hashizume et al. 1975 yang dikutip oleh Kohyama dan Nishinari 1993).
2. Koagulasi Protein Koagulasi didefinisikan sebagai interaksi acak molekul-molekul protein yang menyebabkan pembentukan agregat-agregat protein baik bersifat larut ataupun tidak larut (Meng et al. 2002). Koagulasi dapat terjadi melalui penambahan bahan penggumpal protein (koagulan). Koagulasi susu kedelai merupakan langkah yang paling penting dalam proses pembuatan curd sekaligus menjadi tahapan paling sulit untuk dikendalikan karena merupakan hasil interaksi yang kompleks dari berbagai variabel (Prabhakaran et al. 2006; Blazek 2008). Penggunaan jenis maupun konsentrasi koagulan yang berbeda akan mempengaruhi rendemen, sifat tekstur dan flavor curd yang berbeda pula (Blazek 2008; Mujoo 2003). Menurut Obatolu (2007), proses koagulasi susu kedelai dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara jenis kedelai, suhu pemasakan susu kedelai, volume, kandungan padatan, pH, jenis dan jumlah koagulan serta waktu koagulasi. Menurut Blazek (2008), kurangnya jumlah koagulan yang digunakan untuk koagulasi akan menyebabkan pengendapan protein menjadi tidak sempurna serta menyulitkan proses pemisahan whey dan curd. Jumlah koagulan yang kurang juga akan menghasilkan pembentukan struktur matriks curd yang renggang karena tidak sempurnanya pengendapan, akibatnya curd yang terbentuk terlalu lunak
8
(Obatolu 2007). Sebaliknya, kelebihan jumlah koagulan akan membuat tekstur curd kedelai menjadi keras dan mengurangi palatabilitas. Perbedaan jenis koagulan yang digunakan akan menghasilkan perbedaan kandungan air di dalam curd. Hal ini disebabkan karena pembentukan struktur jaringan gel oleh koagulan dipengaruhi oleh perbedaan kekuatan anion dan kation terhadap kemampuan pengikatan air (WHC) dalam gel protein kedelai. Oleh karena itu, konsentrasi koagulan dan jenis anion ini mempengaruhi kekerasan curd yang dihasilkan (Prabhakaran 2006). Rendemen pembentukan curd juga dipengaruhi oleh penggunaan koagulan. Semakin lambat kemampuan koagulan dalam mengkoagulasi susu akan memberikan rendemen curd yang lebih baik karena agregat protein akan memerangkap air lebih banyak di dalam curd. Sebaliknya, koagulan yang mengkoagulasikan protein lebih cepat, kurang memerangkap air sehingga curd yang dihasilkan lebih sedikit (Obatolu 2007). Peningkatan temperatur koagulasi dan kecepatan pengadukan sesaat setelah penambahan koagulan juga akan menurunkan rendemen curd dan mempengaruhi kekerasan curd yang terbentuk (Blazek 2008). Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1984), bahan penggumpal protein kedelai dalam pembuatan tahu dapat digolongkan menjadi beberapa golongan, yaitu : 1) golongan garam klorida atau nigari; 2) golongan garam sulfat; 3) golongan lakton; dan 4) golongan asam. Beberapa contoh koagulan penggumpal protein kedelai dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Beberapa golongan bahan penggumpal (koagulan) protein kedelai Golongan
Contoh yang umum dipakai
Garam klorida (nigari)
MgCl2.6H2O, air laut, CaCl2, CaCl2.2H2O
Garam sulfat
CaSO4. 2H2O, MgSO4.7H2O
Lakton
C6H10O6 (glukono-δ-lakton)
Asam
Asam laktat, asam asetat, sari buah jeruk
Sumber : Shurtleff dan Aoyagi (1984)
Nigari alami diekstrak dari air laut dengan menghilangkan sebagian besar garam (NaCl) dan air. Koagulan jenis ini mengandung komponen mineral air laut alami terutama magnesium klorida. Penggunaan koagulan jenis nigari membutuhkan waktu pembuatan tahu yang cukup lama karena koagulan jenis ini harus ditambahkan sedikit demi sedikit dan perlahan-lahan, akibatnya dibutuhkan teknik yang baik dalam pembuatan tahu. Selain itu, penggunaan koagulan nigari akan menghasilkan tahu dengan tekstur yang cenderung kurang lembut (Shurtleff dan Aoyagi, 1984). Garam sulfat merupakan golongan koagulan yang paling banyak digunakan dalam pembuatan curd protein kedelai (Shurtleff dan Aoyagi, 1979). Koagulan ini akan terdispersi perlahan di dalam susu kedelai sehingga memberikan waktu koagulasi yang lambat (Shurtleff dan Aoyogi, 1984). Koagulan sulfat mengkoagulasi protein kedelai dengan cara membentuk jembatan antar molekul protein dan meningkatkan ikatan silang polimer sehingga terjadi agregasi protein (Obatolu, 2007). Pemakaian GDL sebagai koagulan akan menurunkan pH susu kedelai dan menyebabkan agregasi dari protein terdenaturasi dengan meningkatkan sifat hidrofobik dan ketidaklarutan (Kohyama dan Nishinari, 1993). Ilustrasi mekanisme gelasi dengan koagulan kalsium sulfat dan GDL dapat dilihat pada Gambar 6. Pengendapan menggunakan koagulan asam akan menurunkan pH sistem dan memungkinkan agregasi protein terjadi (Obatolu, 2007). Melalui proses pemanasan susu kedelai, sebagai prasyarat terbentuknya gel, struktur molekul protein kedelai akan terbuka (unfold), akibatnya ikatan hidrogen (-SH), ikatan disulfida (S-S), dan sisi rantai asam amino hidrofobik akan terekspos. Selanjutnya,
9
dengan penambahan koagulan, misalnya koagulan asam, muatan negatif molekul protein akan berkurang akibat protonasi COO- pada residu asam amino. Sebagai akibatnya, molekul-molekul protein akan cenderung saling mendekat karena memiliki muatan yang sama. Keadaan ini membuat ikatan hidrogen (-SH), ikatan disulfida (S-S) serta interaksi hidrofobik terjadi secara intermolekul. Reaksi ini memfasilitasi terjadinya agregasi protein membentuk struktur jaringan tiga dimensi gel curd (Liu et al 2004).
Gambar 6. Mekanisme gelasi protein dengan koagulan kalsium sulfat dan GDL (Kohyama et al., 1995) Bahan penggumpal lainnya yang biasa digunakan dalam pembuatan tahu secara tradisional adalah whey tahu. Whey tahu ini merupakan hasil pengepresan yang didiamkan semalam pada suhu kamar. Whey tersebut akan mengalami fermentasi oleh bakteri asam laktat yang dapat menggumpalkan protein kedelai menjadi tahu (Subardjo et al 1987). Glucono δ Lactone (GDL) adalah ester siklik netral asam glukonat yang berbentuk serbuk kristal putih. Asam glukonat diproduksi oleh fermentasi aerobik dari sumber karbohidrat. Setelah fermentasi, asam glukonat dimurnikan dan mengkristal menjadi GDL. Struktur GDL dapat dilihat pada Gambar 7.
δ
γ β
α
Gambar 7. Struktur Glucono δ Lactone (D-Gluconic acid δ lactone) Saat dilarutkan, GDL dapat larut dengan cepat dan terhidrolisis menjadi asam glukonat. Gugus karbonil pada asam glukonat yang terbentuk cenderung tidak stabil dan membentuk COO- dan H+, adanya H+ ini lah yang menyebabkan penurunan pH lingkungan. Skema hidrolisis GDL menjadi asam glukonat dapat dilihat pada Gambar 8.
10
Gambar 8. Skema hidrolisis GDL menjadi asam glukonat Proses hidrolisis GDL menjadi asam glukonat dapat dipercepat dengan meningkatkan suhu. Grafik perubahan pH terhadap waktu akibat pengaruh konsentrasi GDL dan suhu dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10.
Gambar 9. Grafik perubahan pH terhadap waktu pada konsentrasi GDL 0.1%, 1%, dan 10% (pada suhu 25 °C) (Anonimd 2010).
Gambar 10. Grafik perubahan pH terhadap waktu pada suhu 25 °C dan 35 °C (GDL 100 mmol/L) (Schwertfeger et al. 1999) GDL merupakan jenis koagulan yang biasa digunakan pada pembuatan tahu sutera (silken tofu). Pada pembuatan tahu sutera, hidrolisis GDL berlangsung lambat dan meningkat sering
11
meningkatnya suhu inkubasi. Walaupun mekanisme koagulasi karena adanya penurunan pH, proses koagulasi yang lambat menyebabkan curd yang dihasilkan memiliki tekstur yang lebih halus dibandingkan curd yang dihasilkan dengan menggunakan koagulan jenis asam. Proses pembuatan tahu sutera cukup berbeda dengan proses pembuatan tahu press. Perbedaan proses tersebut pula yang menyebabkan perbedaan karakteristik tahu yang dihasilkan. Skema pembuatan tahu press dan tahu sutera dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12.
Kedelai
Direndam air ± 4 jam
Dicuci, dibesihkan dan ditiriskan Digiling halus sambil ditambahkan air
Bubur Kedelai Mentah
Dimasukkan ke dalam kuali rebus berisi air panas dan dididihkan
Bubur Kedelai Matang
Disaring menggunakan kain saring
Ampas
Susu Kedelai
Dicuci dengan air panas
Ditambahkan dengan koagulan whey, diaduk
Didiamkan
Whey
Curd
Dicetak dan ditekan Ditiriskan
Direndam dalam larutan bumbu
Digoreng
Tahu Sumedang
Gambar 11. Skema pembuatan tahu Sumedang (tahu press)di pabrik „Diazara Tresna‟ (Fahmi 2010)
12
Kedelai
Dibersihkan dan dicuci
Direndam air dingin selama 12 jam Dikupas kulitnya
Dihancurkan memakai waring blander + air panas 2.5 : 1 sampai menjadi bubur
Ditambahkan air panas 1 : 3.5
Dipanaskan hingga mendidih selama 10 menit sambil diaduk
Disaring menggunakan kain saring dan diperas
Susu kedelai (kadar padatan ≥ 10%)
Didinginkan s/d suhu ruangan
GDL (3%) atau CaSO4(2.2%) dari bobot kering kedelai
Dilarutkan dengan air destilata sebanyak 2.5% dari volume susu kedelai
Wadah plastik 12 cmx 12cm x 4.5 cm (untuk GDL) dan 16 cm x 11cm x 4.5 cm (untuk CaSO4)
Wadah plastik ditutup
Dipanaskan dalam waterbath 90 °C selama 30-50 menit
Didinginkan (refrigerator)
Tahu Sutera (silken tofu)
Gambar 12. Skema pembuatan tahu sutera skala laboratorium (Shen et al. 1991)
13
3. Curd Kedelai Curd merupakan hasil penggumpalan protein dalam larutan susu. Gel dari protein kedelai ini, atau yang dikenal sebagai curd, memiliki kemampuan untuk membentuk matriks yang mampu menahan air, lemak, polisakarida, flavor dan komponen lainnya (Zayas 1997). Secara konvensional curd yang berasal dari susu kedelai ini dikenal sebagai tahu. Tahu adalah endapan protein yang dibuat dengan cara mengendapkan susu kedelai dengan koagulan sehingga dihasilkan endapan yang kompak, putih dan bertekstur lembut (Watanabe 1974). Tahapan pembuatan tahu terdiri atas dua tahap utama, yaitu pembuatan susu kedelai dan tahap koagulasi (penggumpalan) susu kedelai sehingga terbentuk curd yang selanjutnya dipress membentuk tahu (Shurtleff dan Aoyagi 1984). Kedelai yang akan dibuat susu terlebih dahulu direndam dalam air bersih (dengan perbandingan tertentu dengan berat kacang kedelai) dengan tujuan untuk melunakkan struktur seluler kedelai sehingga mempermudah dan mempercepat penggilingan serta menghasilkan ekstrak optimum. Lamanya perendaman perlu diperhatikan, karena perendaman yang terlalu singkat akan membuat biji kedelai sulit pecah ketika penggilingan, sedangkan bila terlalu lama akan terjadi pembentukan busa pada permukaan air rendaman akibat fermentasi kedelai (Subardjo et al. 1987). Kacang kedelai yang telah direndam kemudian digiling dengan penambahan air sehingga dihasilkan bubur kedelai. Tujuan penggilingan ini adalah untuk memperkecil ukuran-ukuran partikel sehingga meningkatkan efektivitas ekstraksi protein kedelai selama pemasakan (Shurtleff dan Aoyagi 1984). Bubur kedelai hasil penggilingan harus segera dimasak secepatnya. Penundaan pemasakan sampai 30 menit saja dapat menurunkan rendeman tahu (Subardjo et al. 1987). Menurut Supriatna (2005), untuk menghasilkan sari kedelai yang optimal dari segi kualitas dan kuantitasnya, bubur kedelai terlebih dahulu dimasak sebelum akhirnya disaring. Menurut Liu et al.(2004), pemanasan optimal dalam pembuatan susu kedelai dilakukan selama 3-10 menit setelah mendidih yang tujuannya untuk mengekstrak protein kedelai dan mendenaturasi protein serta memudahkan proses koagulasi. Fungsi lain dari pemanasan dalam pembuatan susu kedelai adalah mengurangi bau langu, menginaktifasi antitripsin, meningkatkan daya cerna dan menambah daya awet produk (Koswara 1992). Selama pemasakan perlu dilakukan pengadukan secara kontinyu agar tidak terjadi kegosongan. Pemasakan yang terlalu lama perlu dihindari karena selain menurunkan nlai gizi dan rasa tahu, tekstur tahu yang diperoleh pun menjadi kurang kompak dan tahu berwarna agak kecokelatan (Subardjo et al. 1987). Bubur kedelai kemudian disaring, penyaring yang biasa digunakan dipabrik tahu adalah penyaring berbahan kain blacu berwarna putih. Hasil dari penyaringan ini adalah susu kedelai. Proses selanjutnya adalah penggumpalan protein susu kedelai dengan penambahan koagulan. Menurut Shurtleff dan Aoyogi (1986), penambahan bahan penggumpal sebaiknya dilakukan setelah susu kedelai mencapai suhu 70-90 oC, hal ini tergantung dari jenis bahan penggumpal yang digunakan. Gumpalan protein yang terbentuk kemudian dipress dan dicetak. Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1984), untuk mendapatkan hasil yang baik pengepressan dilakukan pada tekanan sebesar 0.15-0.21 psi selama 15-20 menit. Obatolu (2007) melaporkan bahwa perbedaan karakteristik tekstur, khususnya kekerasan, dapat dihubungkan dengan kandungan air di dalam tahu. Tahu dengan kekerasan tinggi memiliki kemampuan menahan air (WHC) yang rendah. Hal ini disebabkan oleh curd yang terbentuk lebih rapat sehingga kemampuannya dalam menahan air berkurang. Sebaliknya tahu yang lunak memiliki matriks yang renggang sehingga air dapat terperangkap dalam jumlah yang lebih banyak. Tahu yang lunak memiliki kandungan air yang tinggi yaitu antara 84 hingga 90%. Tahu dengan kandungan air
14
yang tinggi secara visual akan memberikan penampakan yang lembut sedangkan tahu dengan kandungan air yang rendah cenderung memiliki penampakan yang kasar. C. TEKSTUR Tekstur merupakan aspek penting dalam penilaian mutu produk pangan oleh konsumen selain penampakan dan flavor. Menurut Smith (2004), tekstur menjadi faktor kunci penerimaan konsumen atas produk pangan. Bourne (2002), yang dikutip oleh Smith (2004), mendefinisikan sifat tekstur produk pangan sebagai sekelompok karakteristik fisik yang: (1) diperoleh dari elemen struktural produk pangan, (2) dipersepsikan oleh indera peraba, (3) berhubungan dengan deformasi, disintegrasi, dan gaya yang diberikan serta (4) diukur secara obyektif sebagai fungsi dari massa, waktu dan jarak. Persepsi manusia terhadap tekstur tidak hanya ditentukan ketika produk pangan berada di dalam mulut. Faktor lain seperti penampakan dan pengaruh indera pendengaran juga memberikan persepsi tentang tekstur suatu produk (Kilcast 2004). Persepsi tekstur yang diterima oleh manusia melalui indera peraba dapat diperoleh melalui dua cara, yaitu: somesthesis (secara taktil) yang merupakan respon yang diperoleh manusia melalui sentuhan dari kulit, dan kinesthesis yaitu respon yang diterima melalui aktivitas otot dan tendon. Stimulus sentuhan (somesthesis)dapat dilakukan melalui pengujian produk pangan menggunakan tangan dan jari sedangkan kontak oral (kinesthesis) diperoleh melalui pengujian di dalam mulut akibat aktivitas bibir, lidah, langit-langit mulut dan gigi (Kilcast 1999). Analisis tekstur produk pangan dapat dilakukan secara organoleptik menggunakan indera manusia ataupun secara instrumen menggunakan alat. Analisis tekstur secara organoleptik memberikan hasil yang subyektif dan beragam, tergantung pada penilaian yang diberikan oleh panelis dalam pengujian. Sebaliknya, analisis secara instrumen akan memberikan hasil yang lebih akurat karena bersifat obyektif (Peleg 1983). Menurut Smewing (1999), analisis tekstur dapat dilakukan menggunakan alat atau instrumen seperti Instron, LFRA Texture Analyser, dan Stable Micro System TA-XT2i Texture Analyser. Umumnya, karakteristik tekstur curd secara obyektif dianalisis menggunakan instrumen texture analyser TA-XT2i dengan metode Texture Profile Analysis (TPA). Menurut Szczesniac (1987) yang dikutip oleh Faridi dan Faubion (1990), tekstur merupakan atribut sensori yang hanya dipersepsikan, dijelaskan dan diukur dengan indera manusia seperi peraba, penglihatan dan pendengaran. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis sensori terhadap tekstur curd tersebut. Analisis sensori terhadap curd, termasuk dalam penilaian deskriptif yang membutuhkan panelis terlatih dalam bidang mutu tekstur curd. Menurut Kemp et al. (2009), analisis deskriptif hanya membutuhkan 6-18 panelis terlatih dengan kemampuan sensori yang baik dan telah menerima pelatihan. Kem et al. (2009) menyebutkan bahwa tujuan pelatihan panelis tidak hanya meningkatkan kemampuan panelis dalam mendeteksi, membedakan dan mendeskripsikan sampel, melainkan juga meningkatkan kepercayaan diri dan mengurangi ragam antar penelis. Texture Profile Analysis (TPA) merupakan bentuk penilaian obyektif dari analisis tekstur secara sensori. Pada TPA, probe akan melakukan kompresi sebanyak dua kali terhadap sampel. Hal ini dapat dianalogikan sebagai gerakan mulut pada saat mengunyah atau menggigit makanan (Larmond 1976). Oleh karena itu, TPA disebut juga sebagai “two-bite test”. Skematik penekanan curd “two-bite test” menggunakan TA-XT2i dapat dilihat pada gambar 13. Larmond (1976), menyatakan bahwa analisis menggunakan TPA merupakan analisis yang multipoint karena hanya dengan sekali analisis akan diperoleh nilai dari beberapa parameter tekstur. Parameter tekstur yang dapat diukur menggunakan TPA meliputi kekerasan, kerapuhan, elastisitas, kohesivitas, adesivitas, daya kunyah dan kelengketan. Grafik hasil pengukuran tekstur pangan secara umum dengan metode TPA dan perhitungan parameter mekanik dapat dilihat pada Gambar 14.
15
Probe yang bergerak Sampel Plat dasar
Penekanan pertama
a
b
Penekanan kedua
a
b
Gambar 13. Skematik penekanan curd “two-bite test” menggunakan TA-XT2i (Bourne 2002)
Gambar 14. Grafik TPA untuk produk pangan secara umum beserta parameter analisis dan perhitungannya (Anonimc, 2010) Szczesniak (1963) yang dikutip Faridi dan Faubion (1990) menyatakan bahwa parameterparameter tekstur yang digunakan untuk mengklasifikasikan atribut tekstur secara sensori terdiri atas tiga kategori, diantaranya: 1) karakteristik mekanikal, yaitu reaksi bahan pangan terhadap tekanan yang dipersepsikan oleh indra kinestetik, meliputi kekerasan, kohesivitas, viskositas dan kerenyahan; 2) karakteristik geometrikal, yaitu karakteristik yang berhubungan dengan ukuran, bentuk dan orientasi partikel yang dipersepsikan oleh syaraf pengecap dalam mulut atau dengan sentuhan meliputi
16
gritty, grainy, flaky, stringy, dan smooth; dan 3) karakteristik lain, meliputi atribut mouthfeel yang berhubungan dengan persepsi terhadap lemak dan air selama pengunyahan dan penelanan. Beberapa karakteristik mekanikal dan definisinya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Beberapa karakteristik mekanikal dan definisi dari grafik TPA Karakteristik
Kekerasan
Kerapuhan
Adesivitas
Definisi Sensorial Gaya yang diberikan hingga terjadi perubahan bentuk (deformasi) pada objek Titik dimana besarnya gaya yang diberikan membuat objek menjadi patah (break/fracture)
Definisi Instrumental Kekerasan
Kerapuhan
Gaya yang dibutuhkan untuk menahan tekanan yang timbul diantara permukaan objek dan permukaan benda lain saat terjadi kontak antara objek dengan benda tersebut
Adesivitas Elastisitas = L2/L1
Elastisitas
Laju suatu objek untuk kembali kebentuk semula setelah terjadi perubahan bentuk (deformasi)
L1
L2
Kohesivitas = B/A
Kohesivitas
Kekuatan dari ikatan-ikatan yang berada di dalam objek yang menyusun bentuk objek
Daya kunyah
Tenaga yang dibutuhkan untuk menghancurkan (memecah) pangan semi padat menjadi bentuk yang siap untuk ditelan.
Tenaga yang dibutuhkan untuk mengunyah (menghancurkan) pangan Kelengketan padat menjadi bentuk yang siap untuk ditelan. Sumber : DeMan (1985), Rosenthal (1999)
= Kekerasan x Kohesivitas
= Kekerasan x Kohesivitas x Elastisitas
D. ANALISIS FRAKSI PROTEIN DI DALAM CURD 1. Teknik Pelarutan Protein Ekstraksi protein curd merupakan tahapan untuk melarutkan protein curd agar dapat dianalisis menggunakan elektroforesis. Pelarutan protein didefinisikan sebagai pemutusan interaksi antara protein dengan zat pengganggu, menghilangkan zat pengganggu dan mencegah protein mengalami agregasi kembali selama pemisahan. Intinya proses ini bertujuan memecah gaya agregasi antara protein dengan komponen lain (Rabilloud 1996).
17
Umumnya rantai polipeptida tidak terikat dalam kompleks biologis oleh ikatan kovalen, kecuali ikatan disulfida, dan ikatan yang dibentuk oleh transglutaminase (TAG). TAG menginisiasi terbentuknya ikatan amida yang secara kimia tak dapat dibedakan dari ikatan peptida. Ikatan ini tidak dapat dipecah selain dengan mendegradasi protein tersebut menjadi bentuk asam aminonya. Sementara itu, ikatan disulfida merupakan ikatan kovalen yang dapat dengan mudah dirusak tanpa harus mendegradasi protein. Sebagai ikatan kovalen, ikatan disulfida dapat diputus secara kimiawi, namun reagen perusak harus dapat masuk dan kontak dengan ikatan disulfida tersebut. Sementara itu, ikatan disulfida terletak di dalam struktur protein sehingga dibutuhkan proses denaturasi untuk membuka sebagian struktur protein (unfold) dan reagen perusak pun dapat menyerang ikatan disulfida. Reagen perusak yang dapat memutus ikatan disulfida, antara lain merkaptoetanol, tiogliserol, sisteamin, ditiotreitol (DTT), atau ditioeritritol (DTE) (Rabilloud 1996). Prinsip dasar memutus ikatan disulfida adalah dengan menambahkan tiol bebas secara berlebih. Alkil tiol seperti 2-mercaptoethanol biasanya digunakan pada konsentrasi yang cukup tinggi (0.2 M) untuk memastikan kecukupan penggantian tiol yang berasal dari protein (Rabilloud 1996). Mekanisme pemutusan ikatan disulfida dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Mekanisme pemutusan ikatan disulfida dengan tiol bebas, a) reduksi dengan monotiol bebas (2-mercaptoethanol) dan b) reduksi dengan siklik ditiol (DTT) (Rabilloud 1996)
2. Teknik Elektroforesis Dalam Analisis Protein Elektroforesis didefinisikan sebagai migrasi molekul atau partikel bermuatan di dalam larutan atau medium melalui pengaruh medan listrik (Nielsen 2003). Migrasi partikel bermuatan tersebut dapat terjadi karena perbedaan muatan total, ukuran dan bentuk partikel (Pomeranz dan Meloan 1994). Metode analisis elektroforesis protein merupakan metode analisis yang memisahkan molekul protein berdasarkan berat molekulnya (Bolag dan Edelstein 1991). Teknik elektroforesis telah banyak digunakan dalam analisis protein untuk menentukan tingkat kemurnian sampel, berat molekul maupun titik isoelektrik (Copeland 1994), untuk menentukan komposisi protein dari suatu produk pangan (Nielsen 2003).
18
Pemisahan protein berdasarkan muatannya tergantung pada karakter asam dan basa protein. Hal ini ditentukan oleh jumlah dan jenis rantai samping (gugus R) yang dapat terionisasi dalam rantai polipeptida serta pH lingkungan. Pada pH lingkungan yang lebih besar daripada pH isoelektriknya (pI), protein akan memiliki muatan negatif sehingga migrasi protein akan menuju anoda yang bermuatan positif. Sebaliknya, bila pH lingkungan di bawah pI, muatan protein menjadi positif yang membuatnya akan bermigrasi menuju katoda yang bermuatan negatif (Autran 1996). Hal inilah yang menjadi dasar pemisahan protein dengan elektroforesis. Metode elektroforesis protein yang paling umum dan banyak dilakukan adalah SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrylamide Gel Electropho-resis). SDS-PAGE merupakan teknik elektroforesis dalam sistem buffer diskontinyu yang menggunakan dua tipe gel sebagai medianya, yaitu stacking gel dan separating gel. Sistem buffer yang diskontinyu membuat sampel terkonsentrasi dalam stacking gel sehingga menghasilkan resolusi yang lebih baik ketika pemisahan protein terjadi di separating gel (Garfin 1990). Skematik Elektroforesis SDS-PAGE dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Skematik electroforesis SDS-PAGE (Anonimb) Gel poliakrilamid dibentuk dari hasil ko-polimerisasi monomer akrilamid (CH2=CH-CO-NH2) dengan bantuan senyawa yang bertindak sebagai cross-linking agent yaitu N,N‟-metilen-bisakrilamid (CH2=CH-CO-NH-CH2-NH-CO-CH=CH2). Mekanisme polimerisasi akrilamid tersebut dikatalisis oleh TEMED (tetrametiletilendiamin) dan APS (amonium persulfat). TEMED akan menyebabkan pembentukan radikal bebas dari amonium persulfat yang mengakibatkan reaksi pembentukan akrilamid aktif. Akrilamid aktif ini akan bereaksi dengan akrilamid lainnya membentuk rantai polimer yang panjang. Hasil dari polimerisasi ini adalah terbentuknya gel dengan struktur jala dari rantai akrilamid. Ukuran pori dan jala gel tersebut ditentukan oleh jumlah akrilamid yang digunakan per unit volumenya dan derajat ikatan silangnya (Garfin 1990; Autran 1996). Sodium dodecyl sulfate (SDS) adalah detergen anionik yang paling umum digunakan dalam elektroforesis. SDS memiliki dua fungsi, yaitu : (1) untuk memisahkan protein-protein yang beragregasi, hidrofobik atau memiliki kelarutan yang rendah, seperti membran protein; dan (2) memisahkan protein berdasarkan bentuk, ukuran dan berat molekulnya. SDS menyelimuti protein dengan muatan negatif serta mengikat protein dengan rasio yang konstan, yaitu 1.4 g SDS per gram polipeptida (Garfin 1990; Autran 1996). Interaksi SDS dengan protein akan merusak seluruh ikatan non-kovalen protein sehingga struktur protein akan terbuka. Selanjutnya, penggunaan reducing agent seperti 2-merkaptoetanol atau
19
ditiothreitol akan membantu mendenaturasi protein melalui pemutusan ikatan disulfida pada protein sehingga memecahnya menjadi subunit-subunit protein. Akibatnya, mobilitas elektroforetik dari kompleks detergen-polipeptida hanya merupakan fungsi dari berat molekul protein (Garfin 1990). Penggunaan buffer dalam elektroforesis gel dapat digunakan dengan dua sistem, yaitu kontinyu (homogenous) dan diskontinyu (multiphasic) (Copeland 1994). Perbedaan mendasar pada sistem diskontinyu adalah penggunaan dua gel dalam satu slab, yaitu stacking gel dan separating gel. Buffer dan konsentrasi akrilamid yang digunakan pada kedua jenis gel tersebut berbeda (Boyer 1993). Pada stacking gel digunakan buffer dengan pH 6.8 dan konsentrasi akrilamid yang lebih rendah (ukuran pori besar) sedangkan pada separating gel digunakan buffer dengan pH 8.8 dan konsentrasi akrilamid yang tinggi (ukuran pori kecil) (Wilson dan Walker 2000). Hal ini akan menghasilkan pemisahan yang baik dengan pita yang tajam karena protein terkonsentrasi pada stacking gel dan mengalami resolusi yang tinggi pada separating gel.
3. Interpretasi Pita Protein Gel hasil elektroforesis menunjukkan pita-pita protein dengan berat molekul yang berbeda. Protein dengan berat molekul yang lebih besar akan tertahan diatas, sedangkan protein dengan berat molekul yang lebih kecil akan berada dibawah. Penentuan berat molekul pita protein sampel berdasarkan pita protein marker yang digunakan dapat menggunakan persamaan regresi antara mobilitas relatif (Rf) protein marker dengan logaritma dari berat molekul marker yang telah diketahui. Nilai Rf tersebut dirumuskan sebagai : jarak migrasi protein
Persamaan regresi marker tersebut dapat digunakan untuk menentukan berat molekul pita protein sampel ( dengan y = log BM protein dan x = nilai Rf pita protein). Contoh persamaan regresi marker dapat dilhat pada Gambar 17.
Gambar 17. Contoh persamaan regresi marker Interpretasi pita protein berdasarkan berat molekul ini umumnya dibandingkan dengan profil protein sejenis yang berasal dari pustaka lain. Profil protein kedelai dengan SDS-PAGE baik total protein maupun hasil pengisolasian protein 11S dan 7S sudah banyak dipublikasikan. Proses isolasi protein 11S dan 7S yang sering digunakan adalah metode Thanh dan Shibasaki (1976). Hasil publikasi Mujoo et al. (2003) mengenai profil protein isolasi 11S dan 7S dapat dilihat pada Gambar 18.
20
Gambar 18. Profil protein 11S dan 7S dari tujuh varietas kedelai dengan SDS-PAGE Angka ganjil = 11S dan angka genap = 7S Berdasarkan profil protein isolasi 11S dan 7S tersebut dapat digunakan untuk menginterpretasikan pita protein sejenis. Gambar diatas menunjukkan baik protein 11S maupun 7S memiliki beberapa pita protein yang sama dengan intensitas yang berbeda. Sehingga penentuan subunit pada masing-masing fraksi protein berdasarkan pita protein yang dominan (pita yang lebih tebal). Dimana protein 11S memiliki subunit golongan Asam (A1, A2 ,A3, A4, A5) dan Basa (B1,B2,B3,B4) dan protein 7S memiliki subunit α΄, α dan β. Namun berat molekul subunit-subunit pada protein 11S maupun 7S merupakan suatu kisaran, sehingga ada beberapa literatur yang menyatakan berat molekul yang berbeda-beda.
21
III.
METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kedelai impor yang diperoleh dari KOPTI (Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia) dan koagulan GDL (Glucono Delta Lactone) food grade. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis antara lain n-heksana PA, coomassie brilliant blue G-250 (CBBG), etanol 95%, asam fosforat 85%, dan bovine serum albumin (BSA), K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, Na2S2O3.5H2O, H3BO3, HCl, akuades, indikator MR-MB, akrilamid, N,N‟-metilen bisakrilamid, amonium persulfat (APS), sodium dodecyl sulfate (SDS), tetrametil-etilendiamin (TEMED), glisin, gliserol, bromphenol blue, coomassie brilliant blue R-250, methanol, asam asetat glasial, akua-biodestilat, standar low molecular weight protein (LMW). 2-mercaptoethanol, dan Tris(hydroxymethyl)aminomethane. Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan curd antara lain blender, heater, termometer, panci, kain saring, pencetak curd. Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah alat soxhlet, alat Kjeldahl, sentrifuge, perangkat alat elektroforesis, tabung Eppendorf, mikropipet, gelas piala, timbangan analitik, pH meter, labu takar, gelas ukur, hot plate, sudip, sarung tangan, spektrofotometer, tabung reaksi, kuvet, pipet, vortex, alat gelas untuk analisis sensori dan perangkat analisis tekstur (TA-XT2i).
B. METODE PENELITIAN Secara umum, penelitian ini terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama merupakan tahap persiapan berupa penguasaan teknik pembuatan curd dan penetapan proses standar pembuatan curd. Tahap kedua merupakan tahapan penelitian utama. Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap bahan baku kacang kedelai serta produk hasil berupa curd dan whey.
1.
Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi tahap penguasaan teknik pembuatan curd dengan mengadopsi metode pembuatan tahu di pabrik tahu lokal (“Diazara Tresna” di daerah Darmaga Bogor). Metode pembuatan curd tersebut telah dilakukan oleh Fahmi (2010), dimana telah diperoleh jumlah total penambahan air terbaik yaitu dengan perbandingan 1:15 berdasar berat kedelai, tekanan penekan curd sebesar 4.71 g/cm2 dan waktu penekanan selama 30 menit untuk menghasilkan curd yang baik. Pada penentuan proses untuk penelitian utama dilakukan trial and error terhadap suhu awal koagulasi, waktu koagulasi dan konsentrasi GDL yang diterapkan pada skala laboratorium.
2. Penelitian Utama Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap bahan baku tepung kedelai, curd yang diperoleh melalui standar proses pembuatan curd pada tahapan pertama, serta whey hasil sampingan produk curd. Analisis yang dilakukan meliputi analisis tekstur curd secara subyektif dan obyektif, analisis kadar protein dengan metode Kjeldahl, analisis kadar air, analisis pH whey, pelarutan protein, analisis kadar protein Bradford, dan analisis SDS-PAGE. Skema penelitian pada tahap analisis ini dapat dilihat pada Gambar 19.
22
Kacang kedelai
Susu kedelai
GDL 0.4%, 0.8% dan 1.2%
Tepung kedelai
Penghilangan Lemak
Koagulasi (20 menit) pada suhu awal 63 °C dan 83 °C
Pengukuran Kadar Protein Kjedahl
Whey Curd
Pelarutan total protein
Analisis Kadar air
filtrat
Elektroforesis SDS-PAGE
Analisis Obyektif Analisis Tekstur pH dan protein Bradford
Subyektif
Gambar 19. Skema penelitian utama
23
Analisis Protein Bradford
GEL
Analisis GEL
Dilakukan analisis terhadap sampel tepung kacang kedelai yang telah dihilangkan lemaknya. Analisis tersebut meliputi pengukuran kadar protein metode Kjedahl, pelarutan protein tepung kedelai metode Mujoo et al. (2003) yang dimodifikasi, analisis Bradford ekstrak tepung kedelai, elektroforesis SDS-PAGE dan analisis GEL elektroforesis. Sebelum proses koagulasi, kacang kedelai diekstrak menjadi susu kedelai dengan mengadopsi pembuatan susu kedelai Fahmi (2010). Skema pembuatan curd dapat dilihat pada Gambar 20. Kedelai *
Koagulan (GDL)
Dicuci dan direndam air (1:3) selama ±6 jam
Ditambahkan air (1:6)
Digiling
Ditambahkan air (1:4)
Bubur Kedelai
Ditimbang sesuai konsentrasi yang telah ditentukan (40 gram)
Dilarutkan dalam 100 ml aquades
Larutan stok GDL
(b) Dididihkan selama 10 menit sambil diaduk
Susu Kedelai **
Ampas Dibilas air mendidih (1:5)
Disaring
Dipanaskan (63 °C dan 83 °C)
Koagulan GDL ***
Dikoagulasi Susu Kedelai Didiamkan selama 20 menit
(a) Dicetak dan dipress dengan tekanan 4.71 g/cm2 selama 30 menit
*kacang kedelai 500g **susu kedelai @1200 ml *** GDL : 0.4%, 0.8% dan 1.2% dari vol. susu kedelai (larutan stok GDL 40%)
Whey
Curd
(c)
Gambar 20. Skema pembuatan curd meliputi: (a) persiapan susu, (b) persiapan koagulan dan (c) tahap pembentukan curd (Modifikasi metode Fahmi 2010) Pada proses koagulasi, susu kedelai dikoagulasi dengan menggunakan tiga konsentrasi GDL (0.4%, 0.8% dan 1.2%) dan dua suhu awal koagulasi (63 °C dan 83 °C). Kemudian dilakukan beberapa analisis terhadap curd yang dihasilkan meliputi, analisis kadar air, analisis tekstur obyektif dan subyektif. Sebelum analisis profil protein curd, pertama-tama curd dihilangkan kandungan lemaknya dengan cara merendam curd dalam heksan PA dengan perbandingan curd : heksan (1: 4) selama ± 6 jam, heksan dibuang melalui proses sentrifugasi pada kecepatan 12500 rpm selama 5 menit dan sisa heksan diuapkan disuhu ruang selama ± 2 jam. Curd yang telah bebas lemak dianalisis kadar proteinnya menggunakan metode Kjedahl dan pelarutan protein curd menggunakan metode Mujoo et al. (2003) yang dimodifikasi. Hasil pelarutan dianalisis kadar proteinnya menggunakan
24
metode Bradford dan dipisahkan secara elektroforesis SDS-PAGE. Gel elektroforesis dianalisis untuk mengetahui berat molekul (BM) pita protein, densitas pita protein dan identifikasi pita protein. Whey yang dihasilkan dari proses pembuatan curd dianalisis pH dan kadar proteinnya menggunakan metode Bradford.
C. PROSEDUR ANALISIS 1. Analisis Kadar Air Metode Oven (SNI 1992 yang Dimodifikasi) Sejumlah sampel curd (3-5g) dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Kemudian cawan dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 oC hingga diperoleh berat yang konstan. Perhitungan kadar air dilakukan berdasarkan berat basah dengan menggunakan rumus : Kadar air (%bb) Dimana : a = berat cawan dan sampel awal (g) b = berat cawan dan sampel akhir (g) c = berat sampel awal (g)
2.
Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl (AOAC 1995 yang dimodifikasi) Sejumlah sampel curd (100-250 mg) ditimbang ke dalam labu Kjeldahl. Kemudian ditambahkan 1.0 ± 0.1 g K2SO4 , 40 ± 10 mg HgO dan 2 ± 0.1 ml H2SO4. Sampel dididihkan selama 1-1.5 jam dengan kenaikan suhu secara bertahap sampai cairan menjadi jernih, lalu didinginkan. Sejumlah kecil akuades diteteskan secara perlahan lewat dinding labu kemudian labu digoyang pelan agar kristal yang terbentuk larut kembali. Isi labu kemudian dipindahkan ke dalam alat destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml akuades. Selanjutnya ditambahkan 810 ml larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3 ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer yang berisi 5 ml H3BO3 dan 2 tetes indikator metilen red-metilen blue (MRMB) diletakkan di bawah kondensor dengan kondisi ujung kondensor terendam di bawah larutan H3BO3. Destilasi dilakukan hingga diperoleh destilat sebanyak ± 15 ml. Destilat yang diperoleh selanjutnya diencerkan hingga ± 50 ml dan dititrasi dengan HCl terstandar sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Perhitungan kadar protein dilakukan dengan rumus : (ml HCl-ml blanko) %N x N HCl x 14.007 x 100 mg sampel g Kadar protein bahan basah % N x Faktor Konversi 100 g
3. Pelarutan Total Protein (Mujoo et al. 2003 yang dimodifikasi) Proses ini merupakan modifikasi dari metode Mujoo et al. (2003) pada beberapa bagian (Lampiran 2b.). Proses pelarutan protein yang telah dimodofikasi menggunakan larutan M (buffer tris pH 8.4 yang mengandung 0.02 M 2-mercaptoethanol). Sampel yang digunakan adalah tepung kedelai dan curd berbagai perlakuan yang telah dihilangkan lemaknya terlebih dahulu (halaman 24). Sebanyak 20 mg sampel curd dan tepung kedelai yang telah bebas lemak dimasukkan ke dalam tabung eppendorf 2 ml yang kemudian diekstraksi/dilarutkan sebanyak 3 tahapan. Pembuatan larutan M dapat dilihat pada Lampiran 2. Skema pelarutan protein dapat dilihat pada Gambar 21.
25
20 mg curd bebas lemak
Ditambah 0.5 ml pelarut M
Divorteks selama 1 menit Diinkubasi pada penangas air suhu 80 °C selama 1 jam ( vorteks tiap 10 menit selama 1 menit)
Disentrifuse (20 menit, 25 °C, 15000 rpm)
Endapan
Ditambah 0.5 ml pelarut M
Diinkubasi pada penangas air suhu 80 °C selama 1 jam ( vorteks tiap 20 menit selama 1 menit)
Disentrifuse (20 menit, 25 °C, 15000 rpm)
Filtrat Dimasukkan ke tabung eppendorf
Endapan
Ditambah 0.5 ml pelarut M
Diinkubasi pada penangas air suhu 80 oC selama 40 menit ( vorteks tiap 20 menit selama 1 menit)
Disentrifuse (20 menit, 25 oC, 15000 rpm)
Endapan
Gambar 21. Skema pelarutan protein metode Mujoo et al. (2003) yang dimodifikasi
26
4.
Analisis pH (Moizuddin et al. 1999) Tingkat keasaman whey hasil koagulasi dan pengepresan curd diukur dengan menggunakan pH meter pada suhu ruang
5.
Analisis Kadar Protein Metode Bradford (Bradford 1976) a.
Preparasi pereaksi Bradford Sebanyak 100 mg pewarna CBB G-250 dilarutkan ke dalam 50 ml etanol 95%. Selanjutnya ditambahkan 100 ml asam fosforat 85% dan ditepatkan hingga 1 liter dengan menggunakan akuades. Larutan kemudian disaring menggunakan kertas Whatman No.1 dan disimpan dalam botol gelap.
b.
Pembentukan kurva standar Sebanyak 100 ul larutan BSA (100-1000 µg/ml) dipipet ke dalam tabung reaksi berukuran 1.2 x 10 cm. Kemudian ditambahkan 5 ml pereaksi Bradford. Larutan kemudian divorteks dan diukur secara spektrofotometri pada λ 595 nm setelah 5 menit. Untuk blanko, sebanyak 100 µl akuades ditambahkan 5 ml perekasi Bradford dan diukur dengan cara yang sama. Kurva standar yang diperoleh digunakan untuk mengukur konsentrasi sampel.
c.
Pengukuran sampel Prinsip pengukuran kadar protein menggunakan metode Bradford adalah pengikatan pewarna CBBG yang terdapat dalam peraksi Bradford dengan protein yang mengandung residu asam amino dengan rantai samping aromatik (Tirosin, Triptofan dan Fenilalanin) atau bersifat basa (Arginin, Histidin dan Leusin) membentuk kompleks berwarna biru yang dapat diukur absorbansinya. Sampel yang digunakan adalah whey hasil koagulasi dan hasil pelarutan protein. Sebanyak 100 µl sampel dipipet ke dalam tabung reaksi berukuran 1.2 x 10 cm. Kemudian ditambahkan 5 ml pereaksi Bradford. Larutan kemudian divorteks dan didiamkan selama 5 menit, kemudian diukur absrobansinya menggunakan spektrofotometer SIMADZU UV-2450 (UV Vis Spectrofotometer) pada λ 595 nm.
6.
Analisis SDS-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (Laemmli 1970) Analisis SDS-PAGE dilakukan menggunakan gel akrilamid dengan konsentrasi separating gel 12% dan stacking gel 5%. Sampel yang dielektroforesis adalah supernatan hasil pelarutan protein dengan metode Mujoo et al. (2003) yang dimodifikasi dari sampel kacang kedelai giling dan curd kedelai. Tahapan yang harus dilakukan dalam melakukan SDS-PAGE adalah a) pembuatan separating gel; b) pembuatan stacking gel; c) preparasi dan injeksi sampel; d) running SDS-PAGE; e) pewarnaan gel; f) destaining gel; dan g) penentuan berat molekul protein-protein yang terpisahkan. Pembuatan larutan stok dan larutan kerja untuk analisis SDSPAGE dapat dilihat pada Lampiran 1. a)
Pembuatan separating gel Dua lempengan kaca (mini slab) yang akan digunakan sebagai cetakan gel dirangkai sesuai dengan petunjuk pemakaian. Sebanyak 4 ml larutan A dipipet ke dalam gelas piala, kemudian ditambahkan 2.5 ml larutan B dan 3.5 ml akua-biodestilat. Campuran kemudian diaduk perlahan dengan menggoyangkan gelas piala. Selanjutnya, sebanyak 50 µl APS 10% dan 5 µl TEMED ditambahkan ke dalam campuran dan diaduk kembali dengan
27
b)
perlahan. Campuran dimasukkan ke dalam lempengan kaca (mini slab) tanpa menimbulkan gelembung udara dengan menggunakan mikropipet sampai sekitar 1 cm dari atas lempengan. Bagian yang tidak diisi gel diberi akuades untuk meratakan gel yang terbentuk. Gel kemudian dibiarkan mengalami polimerisasi selama 30-60 menit. Pembuatan stacking gel
c)
Air dibuang dari atas separating gel dan dikeringkan dengan menggunakan tissue. Akua-biodestilat, larutan A, dan larutan C masing-maasing sebanyak, 0.67 ml, dan 1.0 ml dicampurkan ke dalam gelas piala dan diaduk perlahan dengan cara menggoyangkan gelas piala. Selanjutnya, sebanyak 30 µl APS 10% dan 5 µl TEMED ditambahkan ke dalam campuran dan diaduk kembali dengan perlahan. Campuran dimasukkan ke dalam mini slab, kemudian sisir dimasukkan dengan cepat tanpa menimbulkan gelembung udara. Stacking gel dibiarkan mengalami polimerisasi selama 30-60 menit. Setelah gel berpolimerisasi, sisir diangkat dari atas gel dengan perlahan dan slab ditempatkan ke dalam wadah elektroforesis. Buffer elektroforesis dimasukkan ke dalam wadah elektroforesis di bagian dalam dan luar agar gel terendam. Preparasi dan injeksi sampel
d)
Sebanyak 40 µl sampel dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf dan ditambahkan 10 µl buffer sampel. Tabung kemudian dipanaskan selama 5 menit dalam air mendidih 100 ˚C. Sampel kemudian siap diinjeksikan ke dalam sumur menggunakan mikropipet. Mikropipet dibilas menggunakan akuades setiap kali ingin memesukkan sampel lain. Pada salah satu sumur, ditempatkan sebanyak 7.5 µl protein marker. Running SDS-PAGE
e)
Katup elektroda dipasang dengan arus mengalir ke anoda. Sumber listrik dinyalakan dan dijaga konstan pada 70 V. Running dilakukan selama 180 menit sampai migrasi dye tersisa sekitar 0.5 cm dari dasar. Setelah selesai, aliran listrik dimatikan dan katup elektroda dilepaskan, lalu plat gel dipindahkan dari elektroda. Pewarnaan gel Gel diangkat dari slab dan dipindahkan ke dalam wadah tertutup yang telah berisi pewarna coomassie brilliant blue (kurang lebih 20 ml). Kemudian didiamkan selama 20 menit.
f)
Destaining gel
g)
Gel diangkat dan dicuci menggunakan akuades beberapa kali. Larutan penghilang warna ditambahkan (destaining solution) dan digoyangkan sesekali hingga latar belakang pita protein menjadi terang. Selanjutnya, larutan penghilang warna dibuang dan gel siap dianalisis. Penentuan berat molekul protein yang terpisahkan Berat molekul protein sampel dapat dihitung dari persamaan regresi antara mobilitas relatif protein marker (penanda protein) dengan logaritma dari berat molekul marker yang telah diketahui. Mobilitas relatif protein dihitung dengan membandingkan jarak migrasi protein diukur dari garis awal separating gel sampai ujung pita protein yang dibandingkan dengan jarak migrasi tracking dye. Mobilitas relatif tersebut dirumuskan sebagai: jarak migrasi protein
28
7.
Analisis Gel Electrophoresis Gel hasil elektroforesis SDS-PAGE tersebut di dokumentasikan dalam bentuk gambar dengan menggunakan Gel-Doc (Bio-rad). Hasil GEL-DOC tersebut kemudian dianalisis densitas pita proteinnya dengan menggunakan ImageJ 1.42q (software dari Wayne Rasband, National Institute of Health, USA (http://rsb.info.nih.gov/ij).
8.
Analisis Tekstur Curd secara Obyektif Tekstur curd dianalisis dengan metode Texture Profile Analysis (TPA) menggunakan alat TA-XT2i. Setting alat TA-XT2i untuk pengukuran TPA curd dapat dilihat pada Tabel 5. Sampel curd yang akan diuji merupakan sampel curd yang telah disimpan dalam rendaman air selama 1 malam di dalam lemari pendingin. Satu jam sebelum pengukuran, sampel curd di biarkan dahulu di suhu ruang. Pengukuran sampel curd dilakukan sebanyak empat kali dari empat titik yang berbeda. Sampel curd yang akan diukur dipotong berbentuk silinder dengan diameter ±3.5 cm. Sampel dianalisis menggunakan probe P/100 dengan diameter 100mm. Parameter yang diukur menggunakan metode TPA adalah kekerasan, kohesivitas dan daya kunyah curd. Tabel 5. Setting TA-XT2i untuk pengukuran TPA curd Pre-test speed
1.5 mm/sec
Test speed
1.5 mm/sec
Post-test speed
1.0 mm/sec
Target mode
0 = distance
Unit distance
% strain
Distance
60%
Time
5 sec
Trigger type
0 = Auto (force)
Unit force
grams
Trigger force
20 g
Tare mode
0 = Auto
Interpretasi beberapa parameter tekstur : Kekerasan menunjukkan besarnya gaya yang diberikan hingga obyek mengalami perubahan bentuk. Tekanan probe yang diberikan terhadap objek, menghasilkan grafik TPA yang meningkat hingga mencapai batas tertentu dimana objek akan mengalami perubahan bentuk dan pada saat objek hancur, grafik TPA akan menunjukkan pola penurunan. Sehingga parameter kekerasan dapat diperoleh dari nilai gaya pada puncak tertinggi di kurva pertama. Kohesivitas merupakan rasio usaha yang dibutuhkan untuk menekan pangan pada gigitan kedua dibandingkan dengan usaha yang dibutuhkan untuk menekan pada gigitan pertama. Luas area dibawah kurva merupakan integral dari waktu (t) terhadap gaya(F) yang setara dengan usaha. Sehingga parameter kohesivitas dapat diperoleh dari rasio luas area dibawah kurva kedua dengan luas area dibawah kurva pertama. Daya kunyah merupakan besarnya tenaga yang dibutuhkan untuk menghancurkan pangan semi padat menjadi bentuk yang siap ditelan. Parameter daya kunyah dipengaruhi oleh kekerasan dan kekompakan objek, sehingga merupakan hasil perkalian antara kekerasan dan kohesivitas.
29
Kelengketan merupakan besarnya tenaga yang dibutuhkan untuk mengunyah pangan padat menjadi bentuk yang siap ditelan. Parameter kelengketan merupakan perkalian antara kekerasan, kohesivitas dan elastisitas.
9.
Analisis Tekstur Curd secara Subyektif Serangkaian uji segitiga dan uji ranking terhadap kekerasan penekanan curd dilakukan dalam beberapa tahap untuk menyeleksi panelis. Dibutuhkan sebanyak 6-18 calon panelis yang selanjutnya akan diberikan pelatihan mengenai pengujian kekerasan curd menggunakan telunjuk dan ibu jari. Pelatihan yang dilakukan meliputi teknik pengujian, penyamaan persepsi kekerasan, penentuan sampel referen dan teknik penilaian organoleptik. Dalam proses pelatihan, dilakukan uji rating skala garis (0 = lunak dan 15 = keras) sampel tahu komersial terhadap sampel referen hingga diperoleh konsistensi panelis pada penilaian sampel tahu komersial. Penilaian subyektif terhadap beberapa tahu komersil tersebut dijadikan kurva standar hubungan antara tingkat kekerasan tahu (Hardness) dengan penilaian subyektifnya. Selanjutnya, panelis diminta menguji sampel tahu komersil lain yang belum pernah diujikan menggunakan uji rating skala garis. Kuesioner uji penekanan sampel curd dapat dilihat pada Lampiran 2. Pengolahan data uji penekanan menggunakan bantuan program statistik SPSS 15.0.
D. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan dua faktor dan dua kali ulangan. Faktor yang digunakan meliputi suhu awal koagulasi (α) dan konsentrasi koagulan GDL (β). Faktor suhu awal koagulasi terdiri atas dua taraf, yaitu suhu 63 °C (α1) dan suhu 83 °C (α2), sedangkan konsentrasi koagulan terdiri atas tiga taraf, yaitu 0.4% (β1), 0.8% N (β2), dan 1.2% (β3). Model matematika untuk rancangan percobaan ini adalah: Yijk µ + αi + βj + (αβ)ij + Σij dimana:
Yijk µ αi βj (αβ)i j Σij i j
respon pada perlakuan α ke-i, perlakuan β ke-j, ulangan ke-k = pengaruh rata-rata sebenarnya = pengaruh perlakuan suhu awal koagulasi ke-i = pengaruh perlakuan konsentrasi koagulan ke-j = pengaruh interaksi α ke-i dan β ke-j = pengaruh acak (galat pada perlakuan ke-i kelompok ke-j) = 1, 2 = 1, 2, 3
30
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penelitian Pendahuluan Penentuan Kondisi Optimum Koagulasi Glucono δ Lactone (GDL) merupakan jenis koagulan yang biasanya digunakan pada pembuatan tahu sutera (silken tofu), namun pada penelitian ini, GDL digunakan untuk pembuatan tahu press. Proses pembuatan tahu sutera cukup berbeda dengan proses pembuatan tahu press, perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan karakteristik tekstur tahu yang dihasilkan. Walaupun demikian untuk mempermudah penetapan konsentrasi, peneliti mengacu pada literatur pembuatan tahu sutera dengan mengambil kisaran konsentrasi 0.6% dari berat susu kedelai (Shurtleff dan Aoyagi 1979). Jumlah konsentrasi yang digunakan yaitu 0.4%, 0.8%, dan 1.2% namun berdasarkan volume susu kedelai (untuk mempermudah perhitungan). GDL yang ditambahkan sudah dalam bentuk larutan yang berasal dari larutan stok 40 % (b/v). Proses koagulasi dilakukan dengan menggunakan ketiga konsentrasi tersebut pada suhu awal 63 °C (suhu koagulasi minimum). Hasil pengamatan secara visual terhadap curd yang dihasilkan diperoleh bahwa pada konsentrasi 0.4% proses koagulasi berjalan sangat lambat dan protein belum terkoagulasi sempurna (whey masih berwarna putih susu), namun sudah terbentuk curd yang cukup banyak dan dapat dicetak. Kemudian pada konsentrasi 0.8% dan 1.2% proses koagulasi sudah berjalan sempurna dimana whey memiliki penampakan transparan. Dengan mempertimbangkan bahwa pada setiap konsentrasi GDL yang digunakan curd tebentuk, maka ketiga konsentrasi tetap digunakan untuk perlakuan selanjutnya. Data trial penentuan konsentrasi GDL dengan suhu awal koagulasi 63 °C dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Trial penentuan konsentrasi GDL dengan suhu koagulasi 63 °C Jumlah GDL yang ditambahkan Penggumpalan* Keterangan (%) 0.4 0.8
+++ +++++
whey keruh whey transparan
1.2
+++++
whey transparan
*Ket : + = intensitas penggumpalan
Jumlah koagulan yang dibutuhkan tergantung pada kadar padatan (protein) susu kedelai (Johnson dan wilson 1984). Menurut Blazek (2008), kurangnya jumlah koagulan yang digunakan untuk koagulasi akan menyebabkan pengendapan protein menjadi tidak sempurna serta menyulitkan proses pemisahan whey dan curd. Jumlah koagulan yang kurang juga akan menghasilkan pembentukan struktur matriks curd yang renggang karena tidak sempurnanya pengendapan, akibatnya curd yang terbentuk terlalu lunak (Obatolu 2007). Sebaliknya, kelebihan jumlah koagulan akan membuat tekstur curd kedelai menjadi keras dan mengurangi palatabilitas. Suhu awal koagulasi ditentukan melalui evaluasi partikel koagulat yang dihasilkan melalui koagulasi pada suhu awal 63 °C, 73 °C, dan 83 °C dengan penambahan GDL sebanyak 0.4% dari volume susu kedelai. Pada perlakuan suhu awal koagulasi terendah (63 °C) proses koagulasi dapat berlangsung walaupun lambat, kemudian pada suhu awal 73 °C proses koagulasi berlangsung cepat dan dihasilkan koagulat dengan ukuran yang besarnya secara visual sama dengan koagulat pada proses koagulasi pada suhu awal 83 °C. Dengan pertimbangan untuk dapat melihat pengaruh suhu
terhadap proses koagulasi serta tekstur curd yang dihasilkan secara nyata maka dipilih suhu awal koagulasi 63 °C dan 83 °C. Penentuan waktu koagulasi dilakukan dengan pengamatan terhadap waktu yang dibutuhkan untuk mengkoagulasi seluruh protein menggunakan koagulan GDL (Glucono δ Lactone) dengan konsentrasi yang telah ditetapkan. Indikator selesainya waktu koagulasi dilihat dari telah terpisahnya bagian curd dengan bagian whey dan warna whey menjadi jernih (transparan). Pada penelitian awal waktu koagulasi yang digunakan adalah 10 menit, namun data hasil pengukuran tekstur obyektif curd yang diperoleh sangat tidak konsisten antar pengulangan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh proses koagulasi yang belum berlangsung sempurna. Kemudian waktu koagulasi diperpanjang menjadi 20 menit, dan diperoleh data hasil pengukuran tekstur obyektif curd yang lebih konsisten dibandingkan dengan curd yang dikoagulasi selama 10 menit. Waktu koagulasi yang digunakan adalah 20 menit walapun untuk perlakuan suhu awal koagulasi 63 °C dan kensentrasi GDL 0.4%, proses koagulasi tetap belum sempurna. Pengepresan dilakukan dalam alat pencetak dari kayu yang didesain mirip alat pencetak yang ada di pabrik „Diazara Tresna‟ dan beban penekan berupa botol berisi air. Alat pencetak curd ini berukuran 10x10 cm2 dan berlubang-lubang kecil sebagai tempat keluarnya whey pres. Tekanan penekan curd ditentukan sebesar 4.71g/cm2 (Lampiran 4.) dengan lama penekanan selama 30 menit (Fahmi 2010). Sehingga besarnya tekanan yang harus diberikan adalah sebesar 471 gram (jumlah berat botol berisi air dengan tutup pencetak curd). Alat pencetak tahu yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 22.
(a)
(b)
Gambar 22. Alat pencetak tahu skala laboratorium (a) yang dibuat mirip alat pencetak tahu di pabrik „Diazara Tresna‟ (b) Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan seperti yang telah dibahas sebelumnya, dilakukan penetapan terhadap beberapa parameter proses yang akan digunakan pada penelitian utama yaitu : suhu awal koagulasi (63 °C dan 83 °C), konsentrasi GDL (0.4%, 0.8% dan 1.2%), waktu koagulasi (20 menit), berat penekanan 471 g dan waktu penekanan selama 30 menit.
B. Penelitian Utama 1.
Profil Koagulasi
Pembuatan curd dilakukan sesuai dengan prosedur pembuatan curd yang ditetapkan pada tahap pendahuluan. Proses diawali dengan membuat susu kedelai. Sebanyak 500 g kacang kedelai diekstrak menjadi susu kedelai dengan total penambahan air sebesar 1:15 (terhadap bobot kering kacang) sehingga dihasilkan total padatan susu kedelai sebesar ± 5% Brix (Fahmi 2010). Total padatan ini diasumsikan mewakili konsentrasi protein yang terdapat dalam susu. Total padatan susu kedelai
32
penting dalam tahap koagulasi susu, karena semakin banyak protein yang terdapat dalam susu, koagulan yang dibutuhkan akan semakin banyak (Blazek 2008). Proses koagulasi susu kedelai memerlukan pemanasan sebagai prekursor terjadinya agregasi protein (Boye et al. 1997). Pada penelitian ini, dilakukan dua kali pemanasan, yaitu: (1) pemanasan pada suhu 100 oC selama 3 menit saat pembuatan susu kedelai, yang tujuan utamanya adalah untuk mengekstrak protein kedelai serta mendenaturasi struktur alami protein kedelai, dan (2) pemanasan susu kedelai pada suhu perlakuan, yaitu 63 °C dan 83 °C sebelum tahap koagulasi yang tujuannya adalah mempercepat proses koagulasi protein. Koagulan yang digunakan adalah GDL yang dipersiapkan dalam bentuk larutan stok 40% (%b/v). Kemudian dilakukan penambahan GDL dengan konsentrasi 0.4%, 0.8%, dan 1.2 % dari volume susu kedelai pada masing-masing suhu awal koagulasi. Volume susu kedelai yang digunakan yaitu sebesar 1200ml untuk masing-masing perlakuan. Proses koagulasi dilakukan selama 20 menit, kemudian dilakukan pemisahan antara whey dan curd. Curd yang masih panas langsung di cetak dan diberi penekanan sebesar 471 g selama 30 menit. Perlakuan dengan suhu awal koagulasi 63 °C dan 83 °C pada konsentrasi GDL 0.4%, 0.8% dan 1.2% menunjukkan bahwa proses koagulasi terjadi pada pH yang berbeda. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 7), terlihat bahwa adanya pengaruh nyata suhu awal koagulasi terhadap pH whey yang dihasilkan. Koagulasi pada suhu awal 83 °C menghasilkan kondisi koagulasi pada pH yang lebih rendah dibandingkan koagulasi pada suhu awal 63 °C dengan rataan nilai pH masing-masing sebesar 5.17 dan 5.25. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan semakin meningkatnya suhu, proses hidrolisis GDL menjadi asam glukonat akan semakin cepat. Oleh karena itu pada suhu awal koagulasi 83 °C, asam glukonat yang terbentuk akan lebih banyak sehingga pH lingkungan akan menjadi lebih rendah dibandingkan pada suhu awal koagulasi 63 °C. Selain itu, peningkatan kosentrasi koagulan juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap pH whey. Semakin tinggi konsentrasi GDL yang ditambahkan, akan menyebabkan pH whey semakin rendah. Nilai pH whey yang tertinggi pada suhu awal koagulasi 63 °C dan 83 °C terjadi pada penambahan GDL 0.4% yaitu masing-masing sebesar 5.78 dan 5.71, sedangkan pH whey yang terendah terdapat pada penambahan GDL 1.2% yaitu masingmasing sebesar 4.82 dan 4.77. Grafik hubungan antara pH whey dengan suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL dapat dilihat pada Gambar 23. 7 6
6,41 5,78 d 5,14 c
pH
5
4,82 a
5,71 d 5,05 b a 4,77
4
Susu kedelai
3
GDL 0.4%
2
GDL 0.8% GDL 1.2%
1 0
60
80
Suhu Awal Koagulasi ( °C) Gambar 23. Grafik pH whey pada berbagai perlakuan
33
Menurut Pearson (1983), protein kedelai memiliki kelarutan minimum pada pH 3.75-5.25, sedangkan kelarutan maksimal protein kedelai pada sisi asam (di bawah titik isoelektriknya) terjadi pada pH 1.5-2.5 dan pada sisi basa (di atas titik isoelektriknya) pada pH 6.3. Nilai pH pada proses koagulasi akan berpengaruh terhadap banyaknya protein yang terkoagulasikan menjadi curd dan kadar protein yang ada di dalam whey hasil pengepresan curd. Nilai pH koagulasi yang mendekati titik isoelektrik protein kedelai akan lebih efektif dalam mengkoagulasikan protein kedelai dibandingkan nilai pH koagulasi yang jauh dari titik isoelektrik protein kedelai. Mekanisme koagulasi dengan koagulan GDL adalah dengan penurunan pH larutan susu mendekati pH isoelektrik protein kedelai. Pada saat pH larutan susu mendekati pH isoelekriknya, protein memiliki kelarutan minimum. Hal tersebut menyebabkan protein susu kedelai lebih mudah untuk membentuk agregat dan terkoagulasi. Pada proses koagulasi, tidak semua protein kedelai terkoagulasi membentuk matriks curd. Sebagian kecil protein kedelai yang tidak terkoagulasi masih terdapat dalam whey. Shurtleff dan Aoyagi (1979) mengindikasikan bahwa konsentrasi koagulan yang optimum adalah konsentrasi terendah yang dibutuhkan untuk menghasilkan transmittan whey yang tertinggi. Pengukuran transmittan pada whey sebenarnya untuk menduga jumlah protein yang terkoagulasi. Semakin tinggi nilai transmittan whey, mengindikasikan bahwa semakin banyak protein yang terkoagulasi. Namun pengukuran transmittan whey menghasilkan data yang sangat beragam sehingga untuk menduga jumlah protein yang terkoagulasi dilakukan pengukuran kadar protein whey menggunakan metode Bradford. Data kadar protein whey dan kadar protein curd dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kadar protein whey berbagai perlakuan Suhu Awal Koagulasi ( °C)
63
83
Konsentrasi GDL (%)
Kadar Protein whey *(mg/ml)
0.4
4,4789 b
0.8
0,7350 a
1.2
0,7464 a
0.4
0,8563 a
0.8
0,7449 a
1.2
0,8045 a
Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). *Diukur dengan metode Bradford
Kadar protein di dalam whey menunjukkan seberapa sempurna proses koagulasi protein, semakin rendah kadar protein whey menunjukkan semakin banyak protein yang terkoagulasi dan berarti akan meningkatkan kadar protein dan rendemen curd yang dihasilkan. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 9.), interaksi keduanya hanya memberikan pengaruh yang signifikan pada perlakuan suhu awal koagulasi 63 °C dengan konsentrasi GDL 0.4%. Kadar protein whey yang masih cukup tinggi saat penambahan GDL 0.4% pada suhu awal koagulasi 63 °C menandakan bahwa proses koagulasi belum berlangsung sempurna. Hal tersebut dapat didukung oleh rendahnya kadar protein dan rendemen curd yang dihasilkan (Tabel 8.) Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson 2-tailed (Lampiran 30.), kadar protein whey berkorelasi positif dengan pH whey (0.627) dan berkorelasi negatif dengan massa curd (-0.674) dan total padatan curd (-0.759). Namun kadar protein whey tidak
34
memiliki korelasi yang signifikan terhadap kadar protein curd, hal tersebut membutuhkan pendalaman yang lebih mengenai metode pengukuran kadar protein pada whey dan curd. Mengingat metode pengukuran kadar protein untuk whey menggunakan metode Bradford sedangkan pada curd menggunakan metode Kjedahl. Curd yang dihasilkan kemudian dianalisis kadar protein, massa, kadar air, dan pengukuran tekstur obyektif menggunakan (TA-XT2i). Data kadar air ini digunakan untuk mengonversi jumlah total padatan curd yang dihasilkan. Kadar protein, massa, kadar air dan total padatan curd masingmasing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Kadar Protein*, massa, kadar air dan total padatan curd
140.80±20.65 a
Kadar Air Curd** (g/100g) 83.62±1.41 c
Total Padatan Curd (g) 23.0631±3.38 a
14.01±2.76 c
183.35±8.98 b
80.55±0.69 ab
35.6660 ±1.75 a
63 °C_1.2%
13.17±3.73 bc
188.15±10.39 b
81.52±1.07 b
34.7701±1.92 a
83 °C_0.4%
10.95±1.77 abc
201.85±9.12 b
84.98±0.52 c
30.3179±1.37 a
83 °C_0.4%
10.87±1.51 ab
179.80±13.86 b
79.46±0.94 a
36.9390±2.85 a
83 °C_0.4%
10.24±0.97 ab
176.35±2.33 b
80.07±0.65 a
35.1466±0.47 a
Sampel
Kadar Protein Curd* (g/100g)
Massa Curd (g) ***
63 °C_0.4%
8.14±1.72 a
63 °C_0.8%
Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) *Diukur dengan metode Kjedahl basis basah **Diukur dalam basis basah *** Dari 500 g kacang kedelai
Interaksi antara suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap kadar protein curd pada taraf 5%. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 22.), pada suhu awal koagulasi 63 °C terlihat peningkatan kadar protein curd yang signifikan pada peningkatan konsentrasi GDL 0.4% menjadi 0.8%, namun kadar protein curd tidak mengalami perubahan yang signifikan pada konsentrasi GDL 1.2%. Peningkatan kadar protein curd tersebut disebabkan oleh proses koagulasi pada konsentrasi GDL 0.4% belum berlangsung sempurna, sehingga saat koagulasi sempurna (GDL 0.8%) protein yang terkoagulasi bertambah dan meningkatkan kadar protein curd. Kadar protein curd yang dikoagulasi pada suhu awal 83 °C tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena pada suhu awal koagulasi 83 °C, proses koagulasi sudah optimum sehingga jumlah protein yang mampu dikoagulasi relatif sama. Kadar protein curd yang tertinggi dihasilkan saat perlakuan suhu koagulasi 63 °C dengan penambahan GDL 0.8% (14.01 g/100g). Jika dikaitkan dengan pH whey yang dihasilkan, kadar protein curd tertinggi (60 °C_0.8%) terjadi pada saat whey memiliki nilai pH 5.14 (Gambar 21.). dan menurun dengan naik/turunnya pH whey. Hal tersebut disebabkan oleh pH lingkungan yang medekati pH isoelektrik protein yang menyebabkan proses koagulasi dapat lebih optimum dalam mengkoagulasi protein. Kondisi optimum koagulasi pada perlakuan ini dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu besarnya kadar protein dalam curd atau besarnya rendemen curd. Jika dilihat dari kadar protein curd maka kondisi optimum diperoleh pada saat perlakuan 63 °C_0.8% dan jika dilihat dari rendemen curd diperoleh saat perlakuan 83 °C_0.4%. Berdasarkan Tabel 8. dapat dilihat bahwa massa curd yang dihasilkan berkisar antara 140.80 – 201.85 g. Interaksi antara suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap massa curd yang terbentuk. Massa curd yang rendah pada perlakuan 63 °C_0.4% (140.80 g) disebabkan oleh proses koagulasi yang belum sempurna yang ditandai dengan penampakan whey yang masih berwarna putih susu. Whey yang masih berwarna putih susu mengindikasikan masih
35
terdapatnya protein susu kedelai yang belum terkoagulasi sehingga menyebabkan penurunan rendemen curd. Peristiwa koagulasi yang tidak sempurna tersebut disebabkan oleh proses koagulasi yang berjalan lambat, yang dapat disebabkan oleh suhu koagulasi yang terlalu rendah atau kurangnya jumlah koagulan yang ditambahkan (Shurtleff dan Aoyagi 1979). Menurut Blazek (2008) peningkatan temperatur koagulasi dan kecepatan pengadukan sesaat setelah penambahan koagulan juga akan menurunkan rendemen curd dan mempengaruhi kekerasan curd yang terbentuk. Pengaruh peningkatan suhu awal koagulasi maupun konsentrasi koagulan dapat mempercepat proses koagulasi dan berdampak terhadap menurunnya rendemen curd yang dihasilkan. Namun berdasarkan analisis ragam (Lampiran 11.), menunjukkan bahwa perlakuan peningkatan suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL yang digunakan hanya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap massa curd pada perlakuan 60 °C_0.4%, yang disebabkan oleh proses koagulasi yang belum sempurna. Pengaruh konsentrasi GDL dan suhu awal koagulasi terhadap kadar air curd seharusnya berbanding lurus dengan berat curd yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan karena gel dari protein kedelai ini, atau yang secara konvensional dikenal sebagai tahu, memiliki kemampuan untuk membentuk matriks yang mampu menahan air, lemak, polisakarida, flavor dan komponen lainnya (Zayas 1997). Sehingga pada umumnya rendemen curd yang besar disebabkan oleh kandungan kadar air yang cukup tinggi pula. Hal tersebut didukung oleh besarnya total padatan dari masing-masing perlakuan yang tidak berbeda nyata (Lampiran 13.) Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 15.) menunjukan bahwa perlakuan suhu awal koagulasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar air curd yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata kadar air pada suhu awal koagulasi 63 °C dan 83 °C masing-masing sebesar 81.90% dan 81.50%. Peningkatan suhu awal koagulasi dapat menyebabkan proses koagulasi berlangsung semakin cepat. Menurut Milewski (2001), pemanasan akan meningkatkan energi vibrasi dan rotasi protein terlarut. Semakin tinggi suhu pemanasan akan semakin tinggi pula energi vibrasi dan rotasi protein terlarut. Tingginya energi vibrasi dan rotasi ini menyebabkan peluang protein untuk bertabrakan dan menyatu menjadi lebih besar sehingga proses agregasi pun menjadi lebih cepat. Kecepatan koagulasi protein akan mempengaruhi banyaknya protein yang menyatu membentuk matriks curd dan kemampuan matriks protein untuk mengikat komponen lain, khususnya air yang pada akhirnya akan mempengaruhi tekstur curd yang dihasilkan. Konsentrasi GDL dan Interaksi antara suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar air curd. Pengaruh konsentrasi GDL terhadap kadar air curd menunjukkan bahwa dengan meningkatnya konsentrasi koagulan menyebabkan penurunan kadar air curd. Kadar air curd yang tertinggi baik pada suhu awal koagulasi 63 °C maupun 83 °C terdapat pada saat penambahan GDL 0.4%, yaitu masing-masing sebesar 83.62% dan 84.98%. Hal tersebut disebabkan oleh proses koagulasi yang berlangsung lebih lambat dibandingkan pada perlakuan GDL 0.8% dan 1.2%. Proses koagulasi yang lambat tersebut akan memberikan kesempatan curd untuk memerangkap air lebih banyak. Berdasarkan uji statistika Anova (Lampiran 15.), peningkatan konsentrasi GDL 0.8% dan 1.2 % tidak menunjukkan penurunan kadar air yang signifikan pada taraf 5%. Total padatan curd merupakan selisih antara massa total curd dengan massa air di dalam curd atau dapat diperoleh melaui perhitungan [ (1 - Kadar air curd) x Massa curd ]. Data ini mencerminkan massa padatan yang ada dalam curd, baik protein maupun nonprotein yang terperangkap dalam matriks curd. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 13.), hanya konsentrasi GDL yang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap total padatan curd, dimana total padatan curd terendah terjadi pada penambahan GDL dengan konsentrasi 0.4%, kemudian meningkat pada penambahan GDL 0.8% dan
36
1.2% (namun peningkatan total padatan pada konsentrasi GDL 0.8% dan 1.2% tidak signifikan pada taraf 5%). Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson 2-tailed (Lampiran 30.), total padatan curd berkorelasi positif dengan masa curd (0.684), dan berkorelasi negatif dengan pH (-0.773), kadar protein whey (-0.759) dan kadar air curd (-0.626) pada taraf 5%.
2.
Analisis Texture Curd secara Obyektif (TA-XT2i)
Sifat tekstural tahu memainkan peran penting dalam mempengaruhi kualitas dan penerimaan konsumen (Liu et al. 2004). Tekstur tahu yang baik memiliki penampakan yang lembut, kokoh, kompak namun tidak keras dan tidak terlalu elastis (Blazek 2008). Umumnya, karakteristik tekstur curd secara obyektif dianalisis menggunakan instrumen texture analyser TA-XT2i dengan metode Texture Profile Analysis (TPA). Analisis dilakukan terhadap parameter-parameter mekanik seperti kekerasan, kohesivitas dan daya kunyah (Prabhakaran et al. 2006). Curd yang dihasilkan direndam air dan disimpan didalam refrigerator selama 1 malam sebelum pengukuran TPA. Sebelum curd dianalisis, curd dikeluarkan dari refrigerator dan didiamkan selama 1 jam di suhu ruang. Curd dipotong berbentuk silinder dengan d ± 3.5 cm. Pengukuran sampel curd dilakukan sebanyak empat kali dari empat titik yang berbeda. Sampel curd yang akan diukur, dipotong berbentuk silinder dengan diameter ±1 cm. Sampel dianalisis menggunakan probe P/100 dengan diameter 100mm serta pengaturan alat seperti pada metode penelitian (Tabel 5.). Hasil pengukuran tekstur curd menggunakan TPA menghasilkan sebuah grafik, contoh grafik TPA curd pada perlakuan 83 °C_0.8% dapat dilihat pada Gambar 24.
Kekerasan
Kohesivitas = A 2/ A 1 Daya Kunyah = A 2/A 1 * Kekerasan Elastisitas = L 2/ L 1 Kelengketan = L 2/ L 1*Daya Kunyah
L1 L2 A1 A2
Gambar 24. Grafik TPA curd perlakuan (83oC_0.8%) Parameter Kekerasan dapat diperoleh dari puncak tertinggi pada kurva pertama, yang menggambarkan seberapa besar gaya yang diberikan hingga terjadi perubahan (deformasi) pada curd. Perubahan (deformasi) pada curd menyebabkan kurva mengalami penurunan setelah mencapai titik maksimumnya. Curd dengan nilai kekerasan paling rendah dihasilkan pada perlakuan suhu awal koagulasi 83 °C dengan penambahan GDL 0.4% (1.49 kg F) ,sedangkan nilai kekerasan curd yang paling tinggi dihasilkan pada perlakuan suhu awal koagulasi 83°C dengan penambahan GDL 0.8% (3.05 kg F). Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 17a.), perlakuan suhu awal koagulasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kekerasan curd yang dihasilkan. Koagulasi pada suhu awal 63 °C
37
menghasilkan curd yang lebih lunak daripada koagulasi pada suhu awal 83 °C dengan rataan nilai kekerasan masing-masing sebesar 1.95 kg F dan 2.16 kg F. Baik pada suhu awal koagulasi 63 °C dan 83 °C, penambahan GDL dengan konsentrasi 0.4% menghasilkan curd yang paling lunak, sedangkan penambahan GDL dengan konsentrasi 0.8% menghasilkan curd yang paling keras. Interaksi antara suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kekerasan curd, dimana nilai kekerasan curd meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi GDL dari 0.4% menjadi 0.8% kemudian menurun saat konsentrasi GDL 1.2%. Peristiwa ini terjadi karena struktur curd pada perlakuan konsetrasi 1.2% secara visual menunjukkan bentuk yang rapuh dan mudah pecah. Rapuhnya struktur curd secara visual ini disebabkan karena partikel koagulat yang terbentuk memiliki ukuran yang sangat kecil sehingga membuat curd sulit untuk dicetak. Menurut Puppo dan Anon (1999), pada pH asam gel yang terbentuk akan semakin mudah pecah seiring dengan menurunnya kemampuan menahan air (WHC).Menurut Hou et al. (1997), peningkatan konsentrasi koagulan dapat meningkatkan kekerasan tahu tetapi menyebabkan penurunan rendemen. Profil tekstur curd berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar 25. Pengaruh suhu awal koagulasi dapat dilihat pada konsentrasi 0.8%, dimana nilai kekerasan curd lebih tinggi pada suhu awal 83 °C (3.05 kgF) dibandingkan pada suhu awal 63 °C (2.26 kgF). Perbedaan kekerasan tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan kadar air curd, dimana kadar air curd pada perlakuan 83 °C_0.8% (79.46%) lebih rendah dibandingkan dengan kadar air curd perlakuan 63 °C_0.8% (80.55%). Peningkatan kekerasan curd seringkali dihubungkan dengan penurunan kemampuan matriks dalam menahan air (WHC) (Obatolu 2007). Curd yang keras memiliki struktur matriks yang padat karena molekul-molekul protein berdekatan satu dengan lainnya sebagai akibat dari hilangnya air pada tahap koagulasi. Pola peningkatan kekerasan berbanding terbalik dengan kadar air curd (Tabel 8.), kadar air yang tinggi pada curd akan menyebabkan curd menjadi lunak. Namun pengaruh besarnya kadar air terhadap kekerasan curd lebih mengarah kepada interaksinya di dalam curd dan bagaimana air terperangkap di dalamnya. 3,5
d
3 2,5 2
c
b
b
a
a
1,5
c
1 0,5
b
c
c
b b
d
b
a
a
b
b
0 63°C _0.4% 63°C_0.8% 63°C_1.2% 83°C_0.4% 83°C_0.8% 83°C_1.2% Kekerasan (kgF)
Kohesivitas
Daya Kunyah (kgF)
Gambar 25. Profil tekstur curd berbagai perlakuan Kekompakan struktur matriks curd yang ditunjukkan melalui parameter kohesivitas. Rosenthal (1999) menyebutkan bahwa kohesivitas adalah rasio usaha yang dibutuhkan untuk menekan pangan pada gigitan kedua dibandingkan dengan usaha yang dibutuhkan untuk menekan pada gigitan kedua.
38
Kohesivitas menggambarkan kekompakan dan kekokohan curd serta menunjukkan kekuatan ikatanikatan dalam curd yang menyusun bentuk curd. Besarnya nilai kohesivitas dapat diperoleh dari rasio antara luas area dibawah kurva puncak kedua dengan luas area dibawah kurva puncak pertama. Luas area dibawah puncak kurva merupakan integral waktu (t) terhadap gaya(F) yang setara dengan usaha. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 17b.), nilai kohesivitas curd dipengaruhi secara nyata oleh konsentrasi GDL dan interaksi antara suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL pada taraf 5%. Penambahan GDL dengan konsentrasi 0.4% menghasilkan curd dengan kohesivitas terendah, penambahan GDL dengan konsentrasi 0.8% dan 1.2% menghasilkan kohesivitas yang lebih tinggi namun besarnya tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Interaksi antara suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL memberikan pengaruh yang signifikan pada taraf 5%, dengan nilai kohesivitas terkecil pada perlakuan 83 °C_0.4%(34.77%) dan nilai kohesivitas yang tertinggi pada perlakuan 83 °C_0.8% (43.18%). Nilai kohesivitas yang kecil menunjukkan bahwa curd yang terbentuk memiliki struktur yang tidak kompak Partikel koagulat yang kecil ketika tahap koagulasi menjadi penyebab kurang kompaknya struktur curd. Daya kunyah (gumminess) sampel curd menunjukkan seberapa mudah sampel dipecah menjadi bagian-bagian kecil sebelum ditelan ketika sampel berada di dalam mulut. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 17), suhu awal koagulasi, konsentrasi GDL dan interaksi keduanya memberikan pengaruh yang signifikan pada taraf 5%. Curd yang dikoagulasi pada suhu awal 63° C memiliki daya kunyah yang lebih rendah daripada curd yang dikoagulasi pada suhu awal 83 °C dengan rata-rata nilai daya kunyah curd masing-masing sebesar 0.79 kg F dan 0.88 kgF. Daya kunyah yang rendah ini disebabkan curd yang dihasilkan pada suhu awal koagulasi 63 oC memiliki nilai kekerasan yang lebih kecil dibandingkan dengan curd yang dihasilkan pada suhu awal 83 oC. Selain itu, kekompakan struktur curd yang dihasilkan pada suhu awal koagulasi 63 oC lebih rendah daripada kekompakan struktur curd yang dihasilkan pada suhu awal koagulasi 83 oC. Menurut DeMan (1985), nilai gumminess(daya kunyah) dipengaruhi oleh kekerasan serta kekompakan sampel.Semakin tinggi kekerasan sampel dan semakin kompak struktur sampel tersebut akan membuat daya kunyahnya menjadi semakin tinggi. Pengaruh konsentrasi GDL terhadap daya kunyah curd menunjukkan pola perubahan yang sama dengan pola perubahan nilai kekerasan curd, dimana terjadi peningkatan daya kunyah curd seiring dengan peningkatan konsentrasi GDL dari 0.4% menjadi 0.8%, namun daya kunyah menurun saat peningkatan konsentrasi GDL menjadi 1.2%. Nilai daya kunyah curd terendah pada perlakuan suhu awal koagulasi 83 °C dengan penambahan GDL konsentrasi 0.4% (0.52 kgF) dan yang tertinggi pada suhu koagulasi awal 83 °C dengan penambahan GDL 0.8% (1.32 kgF). Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson 2-tailed (Lampiran 29.), kadar air memberikan korelasi negatif terhadap kekerasan (-0.810), kohesivitas (-0.762) dan daya kunyah curd (-0.832) pada taraf 5%. Semakin tinggi kadar air curd, semakin rendah nilai kekerasan, kohesivitas, dan daya kunyah curd. Lampiran 29. juga menunjukkan adanya korelasi positif antara parameter tekstur lain, yaitu kohesivitas dan daya kunyah, dengan kekerasan curd pada taraf 5%.
3.
Analisis Tekstur Curd secara Subyektif
Selain analisis tekstur secara obyektif, sampel curd juga dievaluasi secara subyektif dengan pendekatan penekanan dengan menggunakan telunjuk dan ibu jari. Pengujian sensori ini diperlukan untuk melihat respon konsumen terhadap sampel curd. Menurut Szczesniac (1987) yang dikutip oleh Faridi dan Faubion (1990) uji sensori dilakukan karena tekstur merupakan atribut sensori dimana hanya indera manusia seperi peraba, penglihatan dan pendengaran yang dapat mempersepsikan, menjelaskan dan mengukur tekstur.
39
Analisis kekerasan curd yang dilakukan oleh panelis terlatih dalam bidang kekerasan curd dengan menekan curd mentah menggunakan telunjuk dan ibu jari. Dalam hal ini, panelis tidak melakukan penilaian secara langsung terhadap curd hasil perlakuan suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL. Analisis subyektif kekerasan curd dilakukan menggunakan persamaan regresi hubungan antara tekstur obyektif dan subyektif tahu komersial. Tingkat kekerasan sampel curd yang diberi perlakuan berada didalam kisaran tingkat kekerasan tahu komersial tersebut. Penilaian kekerasan tahu komersial menggunakan uji rating skala garis dengan skala 0 = sangat lunak dan skala 15 = sangat keras. Sebelas panelis terlatih dalam bidang kekerasan curd dilibatkan dalam analisis kekerasan curd. Sebelumnya, sekitar 30 calon panelis diseleksi dengan uji segitiga dan uji rangking terhadap kekerasan beberapa curd kedelai komersial. Kuesioner uji segitiga dan uji rangking yang digunakan dalam proses seleksi ini dapat dilihat pada Lampiran 2. Sebanyak 12 calon panelis terlatih yang lolos seleksi kemudian dilatih dalam Focus Group Discussion (FGD). Dari 12 calon panelis yang lolos seleksi, hanya 11 orang yang aktif hingga akhir pelatihan. Menurut Kemp et al. (2009), analisis deskriptif hanya membutuhkan 6-18 panelis terlatih dengan kemampuan sensori yang baik dan telah menerima pelatihan. Pelatihan panelis bertujuan menyamakan persepsi semua panelis. Kesamaan persepsi merupakan prasyarat agar keragaman penilaian antar panelis dapat diminimalkan. Pelatihan panelis juga dilakukan agar panelis memberikan penilaian yang konsisten terhadap sampel curd yang sama. Kem et al. (2009) menyebutkan bahwa tujuan pelatihan panelis tidak hanya meningkatkan kemampuan panelis dalam mendeteksi, membedakan, dan mendeskripsikan sampel, melainkan juga meningkatkan kepercayaan diri dan mengurangi ragam antar penelis. Berdasarkan hasil seleksi, diperoleh enam merek curd komersial dengan kisaran kekerasan 0.46 kg F hingga 4.75 kg F. Curd yang terpilih sebagai sampel dapat dilihat pada Lampiran 18. Berdasarkan penilaian subyektif panelis dan obyektif TPA terhadap enam sampel tahu komersil, diperoleh persamaan garis y = 2.876 x + 1.358 dengan nilai R2 = 0.935. Persamaan garis tersebut dapat digunakan dalam penentuan penilaian subyektif terhadap curd GDL dengan memasukkan nilai obyektif kekerasan curd perlakuan sebagai variabel x. Hasil pengujian dan analisis ragam terhadap kekerasan curd dengan penekanan dapat dilihat pada Lampiran 17 dan Lampiran 18. Besar tingkat kekerasan curd secara subyektif dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan konsentrasi GDL dan interaksi antara suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL. Berdasarkan pengujian statistik, kekerasan curd secara subyektif yang tertinggi pada penambahan GDL 0.8% (8.99) dan yang terendah pada penambahan GDL 0.4% (5.79). Grafik pengaruh interaksi antara konsentrasi GDL dan suhu awal koagulasi terhadap kekerasan penekanan subyektif curd dapat dilihat pada Gambar 26. Interaksi antara suhu awal koagulasi dan konsetrasi GDL memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penilaian subyektif curd. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 19.), interaksi antara kedua variabel tersebut memberikan peningkatan yang signifikan terhadap kekerasan curd pada konsentrasi 0.8%. Berdasarkan penilaian subyektif pada penambahan GDL dengan konsentrasi 0.8%, kekerasan curd saat suhu awal koagulasi 83 °C (10.12) lebih tinggi dibandingkan dengan saat suhu awal koagulasi 63 °C (7.87).
40
Kekerasan Subyektif Curd
12 c 10 b
8 6
a
ab ab
a 63 60 CC
4
80 CC 83
2
0 0.4%
0.8%
1.2%
Konsentrasi GDL Huruf yang berbeda pada bar menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)
Gambar 26. Grafik tekstur penekanan (subyektif) untuk variabel suhu koagulasi dan konsentrasi GDL (0 = sangat lunak dan 15 = sangat keras)
4.
Elektroforesis Fraksi Protein Curd
a.
Pelarutan Protein
Proses pelarutan dilakukan pada sampel curd dan tepung kedelai menggunakan buffer [Tris(hydroxymethyl)aminomethane] pH 8.4 yang mengandung 0.02 M β–mercaptoethanol. Prinsip dari proses pelarutan protein adalah mereduksi ikatan-ikatan protein yang terbentuk, dimana β– mercaptoethanol memiliki peran sebagai reducing agent yang dapat memutuskan ikatan disulfida protein sehingga protein dapat terekstrak dari matriks pangan (Corredig 2006). Proses pelarutan dilakukan melalui tiga tahapan, kemudian hasil pelarutan protein dianalisis kadar proteinnya dengan metode Bradford (1979). Selanjutnya sampel (curd dan tepung kedelai) dianalisis kadar total proteinnya dengan metode mikro Kjeldahl (AOAC 1995). Sehingga berdasarkan hasil pengukuran kadar protein metode Bradford dan Kjeldahl, dapat dihitung besar persen recovery proses pelarutan protein. Data total protein (kjeldahl dan pelarutan), serta persen recovery pelarutan dapat dilihat pada Tabel 9.
Sampel Tepung Kedelai 60_0.4% 60_0.8% 60_1.2% 80_0.4% 80_0.8% 80_1.2%
Tabel 9. Hasil analisis protein curd Total Protein Total Protein Kjeldahl * Tereksrak * 39.85 8.14 a 14.01 c 13.17 bc 10.95 abc 10.87 ab 10.24 ab
13.38 5.61ab 8.17 c 7.59 bc 6.68 abc 6.17 abc 5.10 a
Recovery (%) 33.56 68.28b 58.76ab 58.23ab 60.66ab 56.82ab 50.55a
Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) * Diukur dalam satuan mg/100mg berat sampel
Proses pelarutan protein pada tepung kedelai menghasilkan persen recovery pelarutan yang paling rendah (33.56%), hal tersebut diduga disebabkan oleh masih terikatnya protein kedelai dalam
41
matriksnya (saat dalam bentuk tepung) sehingga lebih sulit untuk dilarutkan. Perlakuan suhu awal koagulasi atau konsentrasi GDL tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar protein curd yang dihasilkan. Namun interaksi kedua variabel tersebut memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap kadar protein curd. Peningkatan konsentrasi tidak menyebabkan peningkatan kadar protein curd secara signifikan kecuali pada suhu awal koagulasi 63 °C dimana terjadi peningkatan kadar protein curd saat peningkatan konsentrasi 0.4% menjadi 0.8%. Hal tersebut disebabkan oleh proses koagulasi pada konsentrasi 0.4% belum berlangsung sempurna sehingga tidak semua protein terkoagulasi. Pada perlakuan konsentrasi 0.8%, kadar protein curd meningkat yang disebabkan oleh proses koagulasi yang sudah berlangsung sempurna. Pengaruh suhu awal koagulasi terhadap jumlah protein yang dapat diekstrak menunjukkan bahwa rata-rata total protein yang dapat diekstraksi pada suhu awal koagulasi 63 °C (7.12mg/100mg) lebih besar dibandingkan pada suhu awal koagulasi 83 °C (5.98 mg/100ml). Hal tersebut diduga bahwa dengan meningkatnya suhu awal koagulasi menyebabkan interaksi antar molekul protein curd menjadi semakin kuat sehingga lebih sulit untuk diekstrak. Secara umum pengaruh peningkatan konsentrasi GDL pun menyebabkan penurunan jumlah total protein yang dapat diekstrak. Seperti yang sebelumnya dibahas, diduga pula bahwa dengan peningkatan konsentrasi GDL akan menyebabkan interaksi protein curd semakin kuat sehingga protein yang mampu diekstrak pun akan menurun. Berdasarkan data persen recovery pelarutan protein, dapat diketahui pula bahwa nilai persen recovery pelarutan menurun dengan peningkatan suhu awal koagulasi dan peningkatan konsentrasi GDL yang ditambahkan. Pola penurunan persen recovery pelarutan yang disebabkan oleh peningkatan suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL tersebut diduga pula disebabkan oleh interaksi protein curd yang semakin kuat. Besarnya nilai persen recovery pelarutan curd ini merupakan hal yang cukup penting dalam analisis selanjutnya. Semakin besar nilai persen recovery pelarutan, maka jumlah protein yang terdeteksi sebagai pita saat analisis elektroforesis akan semakin mewakili total protein di dalam curd.
b. Analisis GEL Elektroforesis Hasil pelarutan protein (tepung kedelai dan curd berbagai perlakuan) yang akan dianalisis elektroforesis terlebih dahulu dianalisis kadar proteinnya menggunakan metode Bradford. Hal tersebut bertujuan agar konsentrasi sampel tidak kurang dari batas deteksi pewarna yang digunakan (coomassie brilliant blue, batas deteksi 0.1 μg) (Bolag dan Edelstein 1991). Selain itu, dengan mengetahui kadar protein masing- masing sampel, maka jumlah protein yang akan diinjeksikan ke dalam mini slab elektroforesis dapat dibuat sama. Jumlah protein yang disuntikkan yaitu sebanyak 2.5 µg. Elektroforesis digunakan dalam penelitian ini karena memiliki peran sangat penting dalam pemisahan molekul-molekul biologi, khususnya protein. Selain tidak mempengaruhi struktur biopolimer, elektroforesis juga sangat sensitif terhadap perbedaan muatan dan berat molekul yang cukup kecil (Bachrudin 1999). Penggunaan SDS dan merkaptoetanol disertai dengan pemanasan akan memecah struktur tiga dimensi protein, terutama ikatan disulfida menjadi subunit-subunit polipeptida secara individual. SDS akan bereaksi dengan protein membentuk kompleks SDS-protein yang bermuatan negatif. Kemudian protein dialirkan dalam medium yang mengandung medan listrik sehingga senyawa protein yang bermuatan negatif akan bergerak ke arah elektroda yang polaritasnya berlawanan dengan muatan molekul protein. Prinsip inilah yang digunakan untuk memisahkan molekul-molekul dengan muatan berbeda. Menurut Pomeranz dan Meloan (1994), migrasi partikel bermuatan tersebut dapat terjadi akibat perbedaan muatan total, ukuran dan bentuk partikel
42
Marker, yang digunakan sebagai standar protein, dalam penelitian ini terdiri atas proteinprotein dengan berat molekul kecil (Low Molecular Weight). Marker (Fermentas) tersebut mengandung tujuh jenis protein standar, yaitu β-galactosidase (BM : 116 kDa), bovine serum albumin (BM : 66.2 kDa), ovalbumin (BM : 45 kDa), lactase dehidrogenase (BM : 35 kDa), REase BSP 981 (BM : 25 kDa), β-Lactoglobulin (BM : 18.4 kDa), dan lysozime (BM : 14.4 kDa). Gel hasil elektroforesis SDS-PAGE tersebut di dokumentasikan dalam bentuk gambar dengan menggunakan Gel-Doc (Bio-rad). Hasil dokumentasi gel menggunakan GEL-DOC dapat dilihat pada Gambar 27. 1
2
3
4
5
6
M
α΄ α β A3 Asam (A1,A2,A4)
Basa A5
Gambar 27. Profil SDS-PAGE totsl protein curd dengan GEL-DOC 1 : GDL 0.4% - 63 °C; 2 : GDL 0.8% - 63 °C; 3 : GDL 1.2% - 63 °C; 4 : GDL 0.4% - 83 °C; 5 : GDL 0.8% - 83 °C; 6 : GDL 1.2% - 83 °C; M : marker protein; T : tepung kedelai Pengaruh konsentrasi GDL dan suhu awal koagulasi terhadap profil protein berdasarkan SDSPAGE ternyata menunjukkan pita protein dengan pola yang relatif sama. Pita protein yang muncul untuk hasil pelarutan curd semua perlakuan (6 perlakuan) menunjukkan pola yang relatif sama pula seperti pita protein pada hasil pelarutan tepung kedelai. Pita protein tersebut diduga terdiri dari α‟, α, β yang merupakan subunit 7S (β-konglisinin) dan pita golongan Asam (A1, A2 ,A3, A4, A5) dan Basa (B1,B2,B3,B4) yang merupakan subunit 11S (Glisinin). Pendugaan tersebut berdasarkan data publikasi gel SDS-PAGE protein kedelai oleh Mujoo et al. (2003) (Gambar 2.) Analisis selanjutnya yaitu penentuan berat molekul masing-masing pita protein. Penentuan berat molekul pita protein dihitung berdasarkan kurva standar marker, yang diperoleh melalui hubungan antara mobilitas elektroforetik (Rf) dengan nilai logaritma berat molekul (Log BM) protein marker (Lampiran 22.) Data penentuan berat molekul dari masing-masing pita protein dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. menunjukkan berat molekul yang hampir sama antara sampel curd dan tepung kedelai. Berat molekul masing-masing subunit yaitu α΄ (76.71-83.70 kDa), subunit α (67.92-73.98 kDa), β (55.54-55.87 kDa), kelompok asam (A1,A2,A3 dan A4) (22.82-39.53kDa), A5 (12.04-12.41 kDa) dan kelompok basa (16.41-19.79 kDa).
43
Tabel 10. Nilai berat molekul pita protein sampel tepung kedelai dan semua sampel curd BM ( kDa ) Tepung Kedelai Curd GDL 83.70 82.92 76.71 77.70 73.57 73.98 67.94 67.92
Protein α΄ α β
55.54
55.87
A3
44.58
44.48
Asam
39.32 34.30 22.85 19.79 16.54
39.53 34.69 22.82 19.62 16.41
12.41
12.04
(A1,A2,A4) Basa A5
Hasil GEL-DOC tersebut kemudian dianalisis densitas pita proteinnya dengan menggunakan ImageJ 1.42q (software dari Wayne Rasband, National Institute of Health, USA (http://rsb.info.nih.gov/ij). Pengukuran densitas terhadap pita protein tersebut bertujuan untuk mengetahui persentase dari masing-masing pita tersebut. Dimana diduga bahwa terdapat perbedaan persentase pita protein pada masing- masing sampel yang disebabkan oleh perbedaan konsentrasi GDL dan suhu awal koagulasi. Data hasil analisis densitas pita protein dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Persentase fraksi protein SDS-PAGE Protein (%) Sampel
Tepung Kedelai
α΄ and α
Asam
β
(A3, A1, A2, A4)
Basa
A5
20.33
11.33
39.03
25.38
3.93
d
b
a
c
2.50b
63 °C_0.4%
29.15
7.56
36.39
24.40
63 °C_0.8%
23.36b
8.87c
38.90bc
26.37d
2.50b
63 °C_1.2%
28.70d
7.44b
40.00c
22.10a
1.76a
83 °C_0.4%
24.49c
6.06a
38.23b
28.88e
2.34ab
83 °C_0.8%
24.87c
6.20a
41.62d
24.49c
2.82b
83 °C_1.2%
22.28a
9.31c
42.75d
23.20b
2.46b
Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)
Perhitungan persentase subunit merupakan perbandingan luas area masing-masing pita dibagi dengan luas area seluruh pita, sehingga jumlah total seluruh pita adalah 100% (Lampiran 26b.). Berdasarkan uji statistika ANOVA (Lampiran 27) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap subunit-subunit protein 7S maupun 11S pada curd semua perlakuan. Perbedaan persentase pada masing-masing subunit protein tersebut merupakan sebuah kombinasi yang mungkin mempengaruhi profil parameter tekstur curd yang terbentuk.
44
Pada perhitungan proporsi subunit 11S dan 7S dalam curd, dilakukan pengelompokkan subunit berdasarkan kedekatan pita protein dalam gel elektroforesis dan bertujuan untuk mempermudah analisis perhitungan densitas pita protein. Pengelompokan subuit tersebut dibagi menjadi lima kelompok, yaitu subunit α‟ dan α, β, kelompok asam (A3, A1, A2, dan A4), kelompok basa, dan A5. Subunit α‟ dan α merupakan penyusun protein 7S (β-konglisinin). Menurut Mujo et al. (2003), subunit α‟ memiliki berat molekul sekitar 72 kDa, sedangkan α memiliki berat molekul sekitar 68 kDa. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 27a.), suhu awal koagulasi, konsentrasi GDL dan interaksi keduanya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proporsi subunit α‟ dan α. Pengaruh suhu awal koagulasi menunjukkan bahwa proporsi subunit α΄ and α pada curd yang dikoagulasi pada suhu awal 63 °C (27.07%) lebih tinggi dibandingkan curd yang dikoagulasi pada suhu awal 83 °C (23.88%). Pengaruh konsentrasi GDL menunjukkan bahwa proporsi subunit α‟ dan α tertinggi diperoleh saat penambahan GDL 0.4% dan yang terendah saat penambahan GDL 0.8%. Interaksi antara suhu koagulasi dan konsentrasi GDL pun memberikan pengaruh yang signifikan dengan proporsi subunit α‟ dan α tertinggi saat perlakuan 63 °C_0.4% (29.15%) dan yang terendah saat perlakuan 83 °C_1.2% (22.28%). Selain α‟ dan α, β-konglisinin (7S) juga tersusun atas polipeptida β yang memiliki berat molekul sekitar 52 kDa (Mujo et al. 2003). Analisis ragam (Lampiran 27b.) menunjukkan bahwa suhu awal koagulasi, konsentrasi GDL dan interaksi keduanya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proporsi subunit β dalam curd. Curd yang dikoagulasi pada suhu awal 63 °C memiliki proporsi subunit β (7.96%) yang lebih tinggi dibandingkan dengan curd yang dikoagulasi pada suhu awal 83 °C (7.19%). Uji Duncan terhadap konsentrasi GDL menunjukkan bahwa proporsi subunit β tertinggi diperoleh saat penambahan GDL 1.2% dan terendah saat penambahan GDL 0.4%. Interaksi antara suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL menunjukkan pengaruh yang signifikan dengan proporsi subunit β tertinggi saat perlakuan 83 °C_1.2% (7.56%) dan yang terendah saat perlakuan 83 °C_0.4% (6.06%). Subunit kelompok Asam (A3, A1, A2, dan A4) yang menjadi penyusun protein 11S merupakan subunit yang terbesar dibandingkan subunit lainnya. Analisis ragam (Lampiran 27c.) menunjukkan bahwa suhu awal koagulasi dan kosentrasi GDL memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proporsi subunit asam dalam curd. Pengaruh suhu awal koagulasi menunjukkan bahwa curd yang di koagulasi pada suhu awal 63 °C memiliki proporsi subunit asam yang lebih rendah dibandingkan curd yang dikoagulasi pada suhu awal 83 °C. Uji Duncan terhadap konsentrasi GDL dengan proporsi suubunit asam tertinggi diperoleh saat penambahan konsentrasi GDL 1.2% dan yang terendah saat penambahan GDL 0.4%. Selain subunit asam, protein 11S juga di susun oleh subunit basa. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 27d.), suhu awal koagulasi, konsentrasi GDL dan interaksi keduanya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proporsi subunit basa dalam curd. Suhu awal koagulasi 63 °C, cenderung menghasilkan curd dengan proporsi subunit basa yang lebih rendah dibandingkan dengan curd yang dikoagulasi pada suhu awal 83 °C. Pengaruh konsentrasi GDL terhadap proporsi subunit basa menunjukkan bahwa proporsi subunit basa tertinggi diperoleh saat penambahan GDL 0.4% dan yang terendah pada saat penambahan GDL 1.2%. Interaksi suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL pun memberikan pengaruh yang signifikan, dengan proporsi subunit basa tertinggi pada perlakuan 83 °C_0.4% (28.88%) dan yang terendah pada perlakuan 63 °C_1.2% (22.09%). Subunit A5 merupakan polipeptida penyusun protein 11S yang termasuk kelompok asam. Analisis ragam (Lampiran 27e.) menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proporsi subunit A5.
45
Banyak penelitian telah dilakukan terhadap pembuatan curd yang berasal dari bahan baku protein kedelai 11S dan 7S hasil pengisolasian. Telah dilaporkan pula bahwa curd yang dihasilkan dari protein 11S maupun 7S memberikan perbedaan karakteristik tekstur yang dihasilkan. Berbagai rasio antara subunit 11S /7S telah diujikan dan dikorelasikan terhadap parameter tekstur curd yang terbentuk. Dimana rasio 11S/7S yang lebih besar dilaporkan menyebabkan peningkatan kekerasan curd yang terbentuk (Mujoo et al. 2003). Namun pada pembuatan curd yang berasal dari protein kedelai alami, merupakan sebuah sistem kompleks yang merupakan interaksi banyak material, seperti protein, lemak, karbohidrat dan sebagainya. Oleh karena itu diduga terdapat pola yang berbeda mengenai rasio 11S/7S pada curd berbahan dasar protein kedelai alami dan curd berbahan dasar protein isolasi (11S dan 7S). Data persentase subunit 11S, 7S dan rasio 11S/7S seluruh perlakuan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Persentase protein 11S, 7S, dan rasio 11S/7S SDS-PAGE Protein Hardness Sampel (%) (kg F) 7S 11S 11S/7S 63 °C_0.4% 1.59a 36.71c 63.29a 1.72 a 63 °C_0.8%
32,23bc
67,77b
2,10 b
2.26c
63 °C_1.2%
36.14c
63.86a
1.77 a
1.99b
83 °C_0.4%
30.55a
69.45c
2.27 c
1.49a
83 °C_0.8%
31.07a
68.93c
2.22 c
3.05d
83 °C_1.2%
31.59ab
68.41bc
2.17 bc
1.93b
Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)
Hasil analisis densitas pita protein menunjukkan bahwa sebagian besar protein globulin penyusun curd didominasi oleh glisinin (11S), yang merupakan hasil penjumlahan polipeptida kelompok asam (A3, A1, A2, dan A4), kelompok basa dan A5, yaitu sekitar 64.97% untuk curd yang dikoagulasikan pada suhu awal 63 oC dan sekitar 68.93% untuk curd yang dikoagulasikan pada suhu awal 83 oC. Sedangkan kandungan β-konglisinin (7S) hanya sekitar 35.03% untuk curd yang dikoagulasikan pada suhu awal 63 oC dan sekitar 31.07 % untuk curd yang dikoagulasikan pada suhu awal 83 oC. Berdasarkan pengujian statistika mengenai korelasi antara rasio 11S/7S terhadap kekerasan curd GDL (Lampiran 28), diketahui bahwa jika pengujian dilakukan hanya menggunakan data suhu awal koagulasi 63 °C dan tiga konsentrasi GDL, tingkat korelasi antara kekerasan dan rasio 11S/7S sebesar 0.749. Hal tersebut menandakan bahwa adanya korelasi positif yang cukup besar antara peningkatan rasio 11S/7S pada curd dengan peningkatan kekerasannya. Pengujian dengan menggunakan data suhu awal koagulasi 83 °C dan tiga konsentrasi GDL menunjukkan korelasi yang berlainan yaitu sebesar -0.156. Nilai korelasi yang kecil menunjukkan tidak adanya korelasi antara rasio 11S/7S terhadap kekerasan curd. Tidak adanya korelasi yang signifikan pula terjadi jika semua data digabungkan, hasil pengujian menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0.297. Pola korelasi rasio protein 11S/7S yang dipengaruhi oleh perlakuan suhu awal koagulasi diduga disebabkan oleh perbedaan kecepatan gelasi antara protein 11S dan 7S. Menurut Nagano et al. (1994a,b), protein 7S dapat membentuk gel pada suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan protein 11S. Perlakuan suhu awal koagulasi 63 °C diduga menyebabkan protein 11S belum terkoagulasi sempurna, sehingga jumlah protein 11S yang terkoagulasi merupakan pengaruh dari pH. Oleh karena itu pada suhu awal koagulasi 63 °C, rasio protein 11S/7S berfluktuasi dan ternyata memiliki pola yang
46
sejalan dengan pola perubahan tingkat kekerasan curd. Fenomena pada perlakuan suhu awal koagulasi 83 °C, menunjukkan bahwa rasio protein 11S/7S pada semua konsentrasi GDL relatif memiliki besar yang sama, hal tersebut diduga pada suhu awal 83 °C, protein 11S yang belum terkoagulasi sempurna pada suhu awal 63 °C sudah terkoagulasi sempurna pada suhu ini, sehingga rasio protein 11S/7S yang dihasilkan relatif sama. Besarnya rasio 11S/7S yang relatif sama pada suhu koagulasi ini tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kekerasan curd, hal tesebut diduga karena sebenarnya tekstur curd lebih dipengaruhi oleh tipe gel penyusun curdnya. Dimana interaksi antara suhu koagulasi dan konsentrasi GDL diduga menyebabkan perbedaan kombinasi jumlah tipe gel penyusun curd, yang pada akhirnya berdampak terhadap tekstur curd.
47
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Suhu awal koagulasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap beberapa profil koagulasi seperti pH whey, kadar protein whey, kekerasan dan daya kunyah curd. Koagulasi pada suhu awal 83 °C menghasilkan pH whey dan kadar protein whey yang lebih rendah daripada curd yang dikoagulasi pada suhu awal 63 °C. Konsentrasi GDL yang ditambahkan memberikan pengaruh yang siginifikan terhadap pH whey, kadar protein whey, kadar air curd dan total padatan curd. Interaksi kedua perlakuan tersebut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar protein whey, kadar protein curd, massa curd dan kadar air curd. Konsentrasi GDL dan suhu koagulasi menunjukkan korelasi negatif dengan nilai persen recovery ekstraksi. Peningkatan suhu koagulasi dan konsentrasi GDL menyebabkan interaksi antar protein menjadi semakin kuat, sehingga lebih sulit untuk diekstraksi dan menurunkan nilai persen recovery ekstraksi. Suhu koagulasi dan konsentrasi GDL pun memberikan pengaruh terhadap pola pita fraksi protein yang muncul pada analisis elektroforesis. Meskipun secara visual pita fraksi protein yang terbentuk sama, namun ketebalan pita fraksi protein yang terbentuk berbeda. Ketebalan pita fraksi protein ini menunjukkan banyaknya protein ber-BM tertentu pada pita tersebut. Perbedaan ini diduga menunjukkan perbedaan proporsi subunit protein penyusun curd, dalam hal ini glisinin (11S) dan β-konglisinin (7S), yang merupakan protein dominan dalam kedelai. Curd yang dikoagulasi pada suhu awal 83 °C memiliki fraksi Asam (A1,A2,A3dan A4) dan Basa yang lebih tinggi daripada curd yang dikoagulasi pada suhu awal 63 °C. Sedangkan fraksi α, α΄ dan β pada curd yang dikoagulasi pada suhu awal 83 °C lebih rendah daripada curd yang dikoagulasi pada suhu awal 63 °C. Konsentrasi GDL memberikan pengaruh yang signifikan terhadap fraksi α, α΄, β, Asam (A1,A2,A3dan A4) dan Basa. Namun hanya pada fraksi β, Asam (A1,A2,A3,A4) dan Basa yang menunjukkan pola yang meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi GDL. Parameter tekstur curd erat kaitannya dengan profil koagulasi dan proporsi protein di dalam curd. Namun hanya kadar air curd yang berpengaruh nyata terhadap kekerasan, daya kunyah dan kohesivitas curd pada taraf 5%. Kadar air yang semakin tinggi menyebabkan kekerasan, daya kunyah dan kohesivitas curd menjadi lebih rendah. Namun pengaruh kadar air terhadap tekstur curd bukan hanya karena perbedaan nominalnya saja tetapi lebih kearah interaksinya di dalam curd dan bagaimana air terperangkap didalamnya. Rasio 11S/7S pada curd menunjukkan korelasi positif terhadap kekerasan curd sebesar 0.297 (untuk semua sampel curd). Pengelompokkan berdasarkan suhu koagulasinya menunjukkan nilai korelasi yang berbeda. Pada suhu awal koagulasi 63 °C dan tiga konsentrasi GDL menunjukkan korelasi positif (0.749), sedangkan pada suhu awal koagulasi 83 °C dan tiga konsentrasi GDL menunjukkan korelasi negatif (-0.156). Pendugaan perbedaan korelasi antara rasio protein 11S/7S dengan kekerasan obyektif curd disebabkan oleh perbedaan kecepatan gelasi antara kedua protein tersebut, yang dipengaruhi oleh suhu koagulasi dan konsentrasi GDL. Perbedaan kecepatan gelasi kedua protein tersebut diduga menyebabkan perbedaan kombinasi tipe gel yang dihasilkan, yang pada akhirnya berdampak terhadap mutu tekstur curd.
B. SARAN Proses pelarutan curd merupakan tahapan yang kritis dalam analisis protein curd menggunakan elektroforesis. Persentase pita protein yang terbentuk pada gel elektroforesis diduga dipengaruhi oleh
nilai persen recovery pelarutan. Sehingga masih diperlukannya penelitian lanjutan mengenai proses pelarutan curd yang mampu melarutkan curd dengan nilai persen recovery yang tinggi (± 75%). Analisis terhadap profil protein sebaiknya dilakukan pada kacang kedelai, susu kedelai, whey dan curd. Hal tersebut dilakukan untuk melihat secara keseluruhan perpindahan protein dalam proses koagulasi. Selain itu perlakuan yang digunakan lebih baik menggunakan 5-6 titik, sehingga trend perubahan dapat dilihat lebih lanjut. Pengaruh kadar air curd terhadap tekstur curd dapat dikaitkan dengan struktur curd yang terbentuk, sehingga dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai struktur curd secara mikroskopis menggunakan scanning electron microscopic (SEM) mengingat pengaruh kadar air yang sangat signifikan.
49
DAFTAR PUSTAKA
Anonima. 2010. http://www.extension.umn.edu/distribution/cropsystems/components/5701a.html [5 Desember 2010] ----------b. 2010. http://www.biotechbusters.co.cc/2008/08/sds-page_19.html [5 Desember 2010]. ----------c. 2010. http://128.121.92.221/texture_profile_analysis.html [5 Desember 2010]. ----------d. 2010. http:// www.jungbunzlauer.com [5 Desember 2010]. AOAC [Analysis of the Asociation of Official Agriculture Chemistry]. 1995. Microchemical Determination of Nitrogen. Method 960.52. Chapter 12,p.7. Autran JC. 1996. Elctrophoresis di dalam Lindex G (ed). 1996. Analytical Techniques for Foods and Agricultural Products. VCH Pub Inc, New York. Bachrudin Z. 1999. Petunjuk Laboratorium: Isolasi, Identifikasi, dan Pewarnaan Protein. Yogyakarta: PAU Bioteknologi UGM Badan Standardisasi Nasional. 1992. Penentuan Kadar Air (SNI 01-3182-1992). Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Badley RA, Atkinson D, Hauser H, Oldani D, Green JP and Stubbs JM. 1975. The Structure, Physical and Chemical Properties of the Soy Bean Protein Glisinin. Biochim. Biophys. Acta 412: 214228. Belitz HD and Grosch W. 1999. Food Chemistry. Springer-Verlag, Berlin. Berk Z. 1992. Technology of production of edible flours and protein products from soybean. FAO Agricultural Services Bulletin No. 97. Rome: Food and Agriculture Organization of The United Nations. Blazek V. 2008. Chemical and Biochemical Factors that Influence the Gelation of Soybean Protein and the Yield of Tofu. Thesis Faculty of Agriculture, Food and Natural Resources. Univ of Sydney, Sydney. Bollag DM and Edelstein SJ. 1991. Protein Method. Willey-Liss Inc, New York. Bourne MC. 2002. Food texture and viscosity second edition : concept and measurement. New York: Academic Press. 400 p. Boye JI, Ma CY, Harwalkar VR. 1997. Thermal Denaturation and Coagulation of Proteins di dalam Damodaran S dan Alain P (ed). 1997. Food Proteins and Their Applications. Marcel Dekker Inc, New York. Bradford M. 1976. A Rapid and Sensitive Method for the Quantification of Microgram Quantities of Protein Utilising the Principle of Protein Dye Binding. Anal. Biochem. 72: 248-254. Cai TD and Chang KC. 1998. Characteristics of Production-scale Tofu as Affected by Soymilk Coagulation Method: Propeller Blade Size, Mixing Time and Coagulant Concentration. Food Res. Int. 31: 289-295. Copeland RA. 1994. Methods for Protein Analysis: A Practical Guide Laboratory Protocol. 3rd ed. Chapman and Hall. New York, London.
Corredig M. 2006. Protein-protein Interaction in Food di dalam Gaonkar AG dan McPherson A (ed). 2006. Ingredient Interactions; Effect on Food Quality 2nd Edition. CRC Taylor & Francis, London. DeMan JM. 1985. Principles of Food Chemistry. The AVI Publishing Company Inc. Westport, Connecticut. Draper M and Catsimpoolas N. 1978. Disulfide and sulfhydryl groups in glisinin. Cereal Chemistry 55: 16–22. Fahmi R. 2010. Mempelajari Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Koagulan terhadap Pola Elektroforesis Protein Terkoagulasi serta Korelasinya terhadap Tekstur Curd Kedelai (Glycine max) yang Dihasilkan [skripsi]. Bogor : Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Faridi H and Faubion JM 1990. Dough Rheology and Baked Product Texture. An AVI Book, New York. Foegeding EA. 2005. Rheology, Structure and Texture Perception in Food Protein Gels di dalam Dickinson E (ed.) 2005. Food Hydrocolloids: Interactions, Microstructure and Processing. The Royal Society of Chemistry : 3-15. Garfin DE. 1990. One-Dimensional Gel Electrophoresis di dalam Deutscher MP (ed). 1990. Guide to Protein Purification. Academic Press Inc, London. Hashizume J, Hakamura H and Watanabe T. 1975. Influence of ionic strength on conformation changes of soybean proteins caused by heating and relationship of its conformation changes to gel formation. Agr Biol Chem 39(7): 1339. Hou HJ, Chang KC and Shih MC. 1997. Yield and Textural Properties of Soft Tofu as Affected by Coagulation Method. J. Food Sci. 62: 824-827. Johnson LD and Wilson LA. 1984. Influence of soybean variety and method of processing in tofu manufacturing : Comparison of methods for measuring soluble solids in soymilk. J Food Sci 49 : 202-204. Kemp SE, Hollowood T, and Hort J. 2009. Sensory Evaluation: A Practical Handbook. West Sussex: John Wiley and Sons Ltd. Kilcast D. 1999. Sensory techniques to study food texture. In: Rosenthal AJ (ed). Food Texture (Measurement and Perception). Gatherburg Maryland: Aspen Publishing Inc. Kilcast D. 2004. Measuring consumer perception of texture: an overview. In: Kilcast D (ed). Texture in Food Volume 2: Solid Foods. Cambridge England: Woodhead Publising Limited. Kinsella JE. 1979. Functional properties of soy protein. Journal of American Chemistry Society 50 : 242. Kinsella JE, German B and Damodaran S. 1985. Physicochemical and Functional Properties of Oilseed Proteins with Emphasis on Soy Proteins. In”New Protein Food,” Vol. V, Academic Press, New York. Kohyama K and Nishinari K. 1993. Rheological studies on the gelation process of soybeans 7S and 11S proteins in the presence of glucoono-δ-lactone. J Agric Food Chem 41 : 8-14. Kohyama K, Sano Y and Doi E. 1995. Rheological characteristics and gelation mechanism of tofu (soybean curd). J Agric Food Chem 43 (7): 1808-1812. Koswara S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai. PT Penebar Swadaya, Jakarta.
51
Laemmli UK. 1970. Cleavage of structural proteins during the assembly of the heat of bacteriophage T4. Nature 227: 680. Larmond E. 1976. The Texture Profile di dalam DeMan JM, Voisey PW, Rasper VF dan Stanley DW (eds.). 1976. Rheology and Texture in Food Quality. The AVI Publishing Company Inc., Westport, Connecticut. Lewis BA and Chen JH. 1979. Effect of Conformation and Structure Change Induced by Solvent and Limited Enzyme Modification on the Functionality of Soy Protein di dalam El AP (ed). 1979. Functionality and Protein Structure. American Chemical Society, Washington DC. Liu C, Wang X, Ma H, Zhang Z, Gao W and Xiao L. 2008. Functional properties of protein isolates from soybeans stored under various conditions. J Food Chem 111:29-37. Liu ZS, Chang SKC, Li LT and Tatsumi E. 2004. Effect of selective thermal denaturation of soybean proteins on soymilk viscosity and tofu‟s physical properties. J Food Res Intl. 37:815-822. Liu K. 1997. Soybean: Chemistry, Technology, and Utilization. Chapman and Hall International Thompson Publishing, New York. Meng GT, Ching KM and Ma CY. 2002. Thermal aggregation of globulin from an indigenous chinese legume, phaseolus angularis (red bean). J Food Chem 79:93-103. Milewski S. 2001. Protein structure and physicochemical properties. In: Sikorski ZE (ed). Chemical & Functional Properties of Food Proteins. Lancaster Pennsylvania: Technomic Publishing Company, Inc. Moizuddin S, Johnson LD and Wilson LA. 1999. Rapid method for determining optimum coagulant concentration in tofu manufacture. J Food Sci 64:4. Muchtadi D. 2010. Kedelai: Komponen untuk Kesehatan. Bandung: Alfabeta Mujoo R, Trinh DT and Ng PKW. 2003. Characterization of storage proteins in different soybean varieties and their relationship to tofu yield and texture. J Food Chem 82:265-273. Murphy PA. 1985. Structural Characteristic of Soybean Glisinin and and β-Konglisinin di dalam Shibles R (ed) World Soybean Reference Conference III: Proceedings. 1985. Westview Press. Inc., Colorado. Nagano T, Akasaka T and Nishinari K. 1994a. Dynamic viscoelastic properties of glisinin and βkonglisinin gels from soybeans. Biopolymers 34: 1303–1309. Nagano T, Mori H and Nishinari K. 1994b. Effect of heating and cooling on the gelation kinetics of 7S globulin from soybeans. Journal of Agricultural and Food Chemistry 42: 1415-1419. Nakamura T, Utsumi S and Mori T. 1984. Network Structure Formation in Thermally Induced Gelation of Glisinin. J Agri. Food Chem. 32: 349-352. Nielsen SS. 2003. Food Analysis. 3rd Edition. Plenum Publisher, New York Nielson NC. 1985. Structure of Soy Proteins di dalam Altschul AM and Wilcke HL (eds). New Protein Foods, Seed Storage Proteins. Academic Press, Orlando, FL, USA. Obatolu VA. 2007. Effect of different coagulants on yield and quality of tofu from soymilk. J Eur Food Res and Tech 226:467-427. Pearson AM. 1983. Soy Protein di dalam Hudson PJF (ed). Development in Food Protein-2. The Applied Science Publisher, London. Peleg M. 1983. The semantics of rheology and texture. J Food Techl 11:54-61.
52
Peng IC, Quass DW, Dayton WR and Allen CE. 1984. The Physicochemical and Functional Properties of Soybean 11S Globulin - A Review. Cereal Chem. 61: 480-490. Pomeranz Y and Meloan CL. 1994. Food Analysis: Theory and Practice. 3rd ed. Chapman and Hall an International Thomson Publ. Co, New York. Prabhakaran MP, Perera CO and Valiyaveettil S. 2006. Effect of different coagulants on the isoflavone levels and physical properties of prepared firm tofu. J Food Chem 99:492-499. Puppo MC and Anon MC. 1999. Rheological properties of acidic soybean protein gels: salt addition effect. J Food Hydrocolloid 13: 167-176. Rabilloud, T. (1996) Solubilization of proteins for electrophoretic analysis A - Review. Electrophoresis 17 : 813-829. Renkema JMS. 2001. Formation, Structure and Rheological Properties of Soy Protein Gels. PhD Thesis, Wageningen University, The Netherlands. Rosenthal AJ. 1999. Food Texture, Measurement and Perception. Maryland: An Aspen Publication. Saidu JEP. 2005. Development, Evaluation And Characterization Of Protein-Isoflavone Enriched Soymilk. Dissertation Faculty of Agricultural and Mechanical. Louisiana State University and College, Louisiana. Schmidt R. 1981. Gelation and Coagulation. Pages 131-147 in Cherry P, ed. Protein Functionality in Foods, ASC Symposium Series 147. American Chemical Society, Washington DC. Schwertfeger M and Buchheim W. 1999. Coagulation of skim milk under hydrostatic pressure with acidification by glucono-δ- lactone. J Dairy 9 : 487-492. Shen CF, De Man L, Buzzell RI dan De Man JM. 1991. Yield and quality of Tofu as affected by soybean and soymilk characteristics : glucono-delta-lactone coagulant. J Food Sci. 56 : 109. Shurtleff W and Aoyagi A 1979. Tofu and Soymilk Production, In The Book of Tofu Vol. II. New Age Food Study, Lafayette. Shurtleff W and Aoyagi A. 1984. Tofu and Soymilk Production, In The Book of Tofu Vol. II. New Age Food Study, Lafayette. Smewing J. 1999. Hydrocolloids di dalam Rosenthal AJ. 1999. Food Texture : Measurement and Perception. Aspen Publisher, Gaithersburg, Maryland. Smith AC. 2004. Texture and Mastication di dalam Kilcast D (ed). 2004. Texture in Food Vol. II: Solid Foods. Woodhead Publising Limited, England. Smith AK and Circle SJ. 1977. Chemical Composition of Seed di dalam Smith AK dan Circle SJ (ed) . 1977. Soybean : Chemistry and Technology. The AVI Publishing Co. Inc., Westport Connecticut. Subardjo SK, Ridwan IN dan Handono SW. 1987. Penerapan Teknologi Pengawetan Tahu. BPPIHP, Bogor. Supriatna D. 2005. Membuat Tahu Sumedang. Penebar Swadaya, Jakarta. Syarief R dan Irawati. 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian. Medyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Szczesniak AS. 1987. Relationship of texture to food acceptance and nutrition. In Solms J, Booth DA, Pangborn RM and Raunhardt O (Eds.), Food acceptance and nutrition pp. 157–172. New York: Academic Press.
53
Tay SL, Xu GQ and Perera CO. 2005. Aggregation Profile of 11S, 7S and 2S coagulated with GDL. J Food Chem 91:457-462. Thanh VH and Shibasaki K. 1976. Major proteins of soybean seeds, subunit structure of βconglycinin. J Agric Food Chem 26: 692-698. Wang CR and Chang SK. 1995. Physicochemical properties and tofu quality of soybean cultivar proto. J Agric Food Chem 43:3029–3034. Wilson K and Walker J. 2000. Principles and Techniques of Practical Biochemistry. 5th ed. England: Cambridge University Press. Wolf WJ and Cowan JC. 1975. Soybeans as a Food Source. CRC Press, Cleveland, USA. Yoshida M, Kohyama K and Nishinari K. 1992. Gelation properties of soymilk and soybean 11S globulin from Japanese-grown soybeans. Biosci Biotech Biochem 56 (5) : 725-728. Yu M and Damodaran S. 1991. Kinetics of destabilization of soy protein foams. J Agric Food Chem 39:1563. Zayas J.F. 1997. Functionality of Protein in Food. Springer-Verlag Berlin Heidelberg, Jerman.
54
LAMPIRAN
Lampiran 1. Larutan-larutan untuk SDS-PAGE Larutan stok : 1.
Larutan A (Akrilamid 30%; 0.8 bisakrilamid). 100 ml Sebanyak 30.0 g akrilamid dan 0.8 g N.N‟-metilen-biasakrilamid dilarutkan dalam 100 ml akuades. Saring larutan melalui filter 0.45 μm. Pada waktu penimbangan selalu harus menggunakan sarung tangan dan tutup wadah dengan parafilm selama proses pelarutan. Larutan akrilamid dapat disimpan selama beberapa bulan dalam lemari pendingin bersuhu 4oC.
2.
Larutan B (4x Tris-Cl/SDS. pH 8.8). 100 mL Sebanyak 18.17 g Tris base dan 4 ml 10% SDS dilarutkan dalam 40 ml akuades. Tepatkan pada pH 8.8 dengan 1 N HCl. Tambahkan akuades hingga volume total 100 ml. Saring larutan melalui filter 0.45 μm.
3.
Larutan C (4x Tris-Cl/SDS. pH 6.8). 100 ml Sebanyak 6.05 g Tris base dan 4 ml 10% SDS dilarutkan dalam 40 ml akuades. Tepatkan pada pH 6.8 dengan 1 N HCl. Tambahkan akuades hingga volume total 100 ml. Saring larutan melalui filter 0.45 μm.
4.
10% APS. 0.5 ml Dibuat segar setiap kali akan melakukan elektroforesis. Larutkan 0.05 g amonium persulfat dalam 0.5 ml akuades.
5.
5x SDS/ buffer elektroforesis. 1 L Larutkan 15.1 g Tris base. 72.0 g glisin. dan 5.0 g SDS dalam 800 ml akuades. Setelah larut. tepatkan volume hingga 1.0 L. Untuk membuat 1x SDS/buffer elektroforesis. encerkan 1 bagian volume larutan di atas dalam 4 bagian volume akuades.
6.
2x SDS/buffer sampel. 100 ml Campurkan 30 ml 10%SDS. 10 ml gliserol (50%). 5.0 ml 2-merkaptoetanol. 12.5 ml 4x TrisCl/SDS pH 6.8 dan 5-10 mg brompgenol blue. Tepatkan volume hingga 100 ml dengan akuades. Simpan pada suhu rendah.
7.
Larutan pewarna (staining) Sebanyak 1 gram coomasie brilliant blue R-250. 450 ml metanol. dan 100 ml asam asetat glasial dilarutkan dalam 450 ml akuades.
8.
Larutan penghilang warna (destaining) Sebanyak 100 ml metanol dan 100 ml asam asetat glasial dilarutkan dalam 800 ml akuades.
55
Lampiran 2a. Larutan M (buffer tris pH 8.4 yang mengandung 0.02 M 2-mercaptoetanol) 1.
Larutan M. 50 ml Sebanyak 79 µl 2-mercaptoethanol ditambah dengan buffer tris pH 8.4 hingga volumenya tepat 50 ml.
2.
Stok buffer tris pH 8.4 (Deutscher. 1990). 200 ml Sebanyak 50 ml tris 0.2 M ditambah dengan 16.5 ml HCl 0.2 M. kemudian tepatkan dengan akuades hingga tepat 200 ml.
3.
Larutan tris 0.2 M. 100ml Sebanyak 2.42 g tris (hydroxymethyl-aminomethane) ditambah dengan akuades hingga tepat 100ml.
Lampiran 2b. Skema Pelarutan Protein Mujoo et al. (2003)
20 mg curd bebas lemak
Ditambah 0.5 ml ( 0.03M buffer tris pH 8.0 yang mengandung 0.01M 2-mercaptoetanol)
Diinkubasi selama 1 jam, dan divorteks setiap 10 menit
Disentrifuse (20 menit, suhu ruang, 11000 g)
Supernatan
Endapan
56
Lampiran 3. Kuesioner uji segitiga dan uji rangking untuk seleksi panelis UJI SEGITIGA Nama : .............................................. Produk : Tahu Instruksi :
Tanggal
: .............................................
Di hadapan anda terdapat 3 sampel dimana terdapat 2 sampel yang sama dan 1 sampel beda. Ambil dan tekan sampel dengan ujung jari telunjuk dan ibu jari secara berurut dari kiri ke kanan. Penekanan hanya diperbolehkan satu kali (tiap set) dan tidak diperkenankan mengulang penekanan. Identifikasi sampel mana yang mempunyai kekerasan berbeda dengan memberikan tanda (√) pada kolom di bawah ini : Set 1 Kode Sampel Sampel beda Set 2 Kode Sampel Sampel beda Set 3 Kode Sampel Sampel beda
UJI RANGKING Nama : .............................................. Produk : Tahu Instruksi :
Tanggal
: .............................................
Urutkan sampel-sampel tahu di bawah ini berdasarkan tingkat kekerasan dari dari yang paling keras (tulis angka 1 di bawah kode sampel) hingga yang paling lunak (tulis angka 3 di bawah kode sampel). Ujilah masing-masing sampel dengan melakukan penekanan sampel menggunakan ujung jari telunjuk dan ibu jari secara berurutan dari kiri ke kanan. Penekanan hanya diperbolehkan satu kali (tiap set) dan tidak diperkenankan mengulang penekanan. Set 1 Kode Sampel Rangking Set 2 Kode Sampel Rangking Set 3 Kode Sampel Rangking
57
Lampiran 4. Kuisioner uji rating skala garis penekanan sampel curd. UJI RATING
Nama
: .....................
Tanggal: .................
Instruksi : Di hadapan anda telah tersedia 3 sampel berkode. Berikan penilaian tingkat kekerasan sampel berkode melalui penekanan menggunakan telunjuk dan ibu jari dan kemudian plotkan dengan memberi tanda pada garis di bawah ini. Kode sampel : ...............
Sangat lunak
Sangat keras
Kode sampel : ...............
Sangat lunak
Sangat keras
Kode sampel : ...............
Sangat lunak
Sangat keras
58
Lampiran 5. Hasil pengukuran tekanan penekan cetakan curd di „Diazara Tresna‟ (Fahmi 2010) Massa dan Dimensi Penekan Cetakan
Ulangan 1 2 3 Rataan
Penekan Cetakan 1 Massa Dimensi (kg) (cm2) 3.00 42.0 x 41.8 3.00 41.0 x 41.9 2.50 41.8 x 41.8 2.83 1740.25
Penekan Cetakan 1 Massa Dimensi (kg) (cm2) 2.75 41.5 x 41.5 2.50 41.7 x 41.4 2.25 41.5 x 41.5 2.50 1723.63
Penekan Cetakan 1 Massa Dimensi (kg) (cm2) 2.50 41.7 x 41.6 2.50 41.7 x 41.6 2.25 41.6 x 41.5 2.42 1731.95
Beban penekan Ulangan 1 2 3 Rataan
Massa Beban 1 (kg) 6.00 5.50 5.75 5.75
Massa Beban 2 (kg) 5.50 5.50 5.75 5.58
Massa Beban 3 (kg) 5.25 5.50 5.50 5.42
2.83 + 2.50 + 2.42 2.58 3 1740.25 + 1723.63 + 1731.95 Dimensi rata-rata penekan cetakan (cm2) 1731.94 3 5.75 + 5.58 + 5.42 Massa rata-rata beban penekan (kg) 5.58 3 F (massa penekan cetakan + massa beban penekan) Tekanan press tahu (P) A dimensi cetakan penekan Massa rata-rata penekan cetakan (kg)
2.58 + 5.58 kg 1731.94 cm2 4.71 g/cm2
59
Lampiran 6. Data analisis pH whey Suhu Awal Koagulasi ( °C)
Konsentrasi (%)
0.4
63
0.8
1.2
0.4
83
0.8
1.2
Lampiran 7.
Repetisi
pH
Rataan Duplo
1-a
5.71
5.71
1-b
5.72
2-a
5.85
2-b
5.85
1-a
5.09
1-b
5.09
2-a
5.19
2-b
5.19
1-a
4.81
1-b
4.81
2-a
4.84
2-b
4.84
1-a
5.64
1-b
5.65
2-a
5.79
2-b
5.78
1-a
4.99
1-b
4.98
2-a
5.11
2-b
5.11
1-a
4.74
1-b
4.74
2-a
4.81
2-b
4.80
Rataan Hitung
5.78 ± 0.10 5.85 5.09
5.14 ± 0.07
5.19 4.81 4.82 ± 0.02 4.84 5.64 5.71 ± 0.10 5.78 4.98 5.05 ± 0.09 5.11 4.74 4.77 ± 0.05 4.80
Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh konsentrasi GDL dan suhu awal koagulasi terhadap pH whey. Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: pH Ty pe II I Sum Source of Squares df Mean Square Corrected Model 3,815a 5 ,763 Intercept 652,397 1 652,397 SK ,030 1 ,030 kons 3,783 2 1,891 SK * kons ,002 2 ,001 Error ,069 18 ,004 Total 656,280 24 Corrected Total 3,883 23 a. R Squared = ,982 (Adjusted R Squared = ,977)
F 199,525 170623,1 7,873 494,663 ,214
Sig. ,000 ,000 ,012 ,000 ,810
60
Post Hoc Konsentrasi GDL pH a,b
Duncan
Konsentrasi 1.2% 0.8% 0.4% Sig.
N 8 8 8
1 4,7988
Subset 2
3
5,0937 1,000
1,000
5,7487 1,000
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,004. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8,000. b. Alpha = , 05.
Pos Hoc Interaksi pH Duncana,b Subset Interaksi 80_1.2% 60_1.2% 80_0.8% 60_0.8% 80_0.4% 60_0.4% Sig.
N 4 4 4 4 4 4
1 4,7725 4,8250
2
3
4
5,0475 5,1400
,245
1,000
1,000
5,7150 5,7825 ,140
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,004. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4, 000. b. Alpha = ,05.
61
Lampiran 8. Data analisis kadar protein metode Bradford untuk whey Standar BSA ulangan 1.
Standar BSA ulangan 2.
Stok BSA = 1.0300 mg/ml
Stok BSA = 1.0400 mg/ml Vol stok Vol BSA Konsentrasi Akuades (ml/ml (mg/ml) (ml) akuades)
Vol stok BSA (ml/ml akuades) 0.03 0.05 0.20 0.3 0.4 0.50 0.60 0.80 1.00
Vol Akuades (ml) 0.97 0.95 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.20 0.00
Konsentrasi (mg/ml)
Absorbansi
0.0309 0.0515 0.2060 0.3090 0.4120 0.5150 0.6180 0.8240 1.0300
0.01085 0.03006 0.13145 0.21005 0.32378 0.44012 0.52719 0.72815 0.88538
mg protein standar 0.00309 0.00515 0.02060 0.03090 0.04120 0.05150 0.06180 0.08240 0.10300
Absorbansi
mg protein standar
0.03
0.97
0.03120
0.08356
0.00312
0.1
0.9
0.10400
0.15172
0.01040
0.3
0.7
0.31200
0.24718
0.03120
0.4
0.6
0.41600
0.31615
0.04160
0.5
0.5
0.52000
0.40678
0.05200
0.6
0.4
0.62400
0.47633
0.06240
0.8
0.2
0.83200
0.60585
0.08320
1.0
0.0
1.04000
0.75714
0.10400
Standar BSA 2 Standar BSA 1 Absorbansi
Absorbansi
1,00
0,80
y = 9,008x - 0,0348 R² = 0,9961
0,80 0,60
0,60 0,40 0,20
0,40
0,00
0,20
0,00
0,00 0,00
62
y = 6,5994x + 0,0606 R² = 0,9962
0,05 Konsentrasi (mg)
0,10
0,15
0,02
0,04
0,06
0,08
Konsentrasi (mg)
0,10
0,12
Suhu Awal Koagulasi ( °C)
Konsentrasi (%)
Repetisi
Absorbansi
Konsentrasi (mg/ml)
Bobot 1 (kg)
Absorbansi
Konsentrasi (mg/ml)
Bobot 2 (kg)
Protein total (mg/ml)
1-a
0.33148 0.35429 0.42293 0.41902 0.32321 0.34372 0.27637 0.31277 0.41843 0.41611 0.42677 0.45033 0.29688 0.35625 0.44934 0.48502 0.61060 0.62447 0.35652 0.37187 0.79289 0.79478 0.44333 0.44899
0.41 0.43 0.55 0.54 0.40 0.42 0.33 0.38 0.50 0.50 0.55 0.59 0.37 0.43 0.59 0.64 0.72 0.73 0.45 0.47 0.92 0.92 0.58 0.59
0.36 0.36 0.38 0.38 0.38 0.38 0.42 0.42 0.38 0.38 0.37 0.37 0.44 0.44 0.43 0.43 0.41 0.41 0.5 0.5 0.38 0.38 0.35 0.35
1.11754 1.09979 0.64746 0.66650 0.93509 0.92847 0.67683 0.71098 0.80251 0.81651 0.59462 0.59554 1.09679 1.08078 0.50616 0.50159 0.94574 0.89349 0.61549 0.66714 0.86868 0.86557 0.63646 0.62846
1.28 1.26 0.89 0.92 1.08 1.07 0.93 0.99 0.93 0.95 0.81 0.81 1.26 1.24 1.35 1.34 1.09 1.03 0.84 0.92 1.00 1.00 0.87 0.86
0.58 0.58 0.58 0.58 0.55 0.55 0.53 0.53 0.63 0.63 0.62 0.62 0.41 0.41 0.42 0.42 0.53 0.53 0.36 0.36 0.47 0.47 0.49 0.49
3.3129 3.2740 5.5900 5.7619 0.7991 0.8041 0.6634 0.7212 0.7691 0.7778 0.7141 0.7284 0.7965 0.8220 0.9652 0.9857 0.9262 0.9002 0.6127 0.6590 0.9653 0.9644 0.7507 0.7472
1-b 0.4
2-a 2-b 1-a 1-b
63
0.8
2-a 2-b 1-a 1-b
1.2
2-a 2-b 1-a 1-b
0.4
2-a 2-b 1-a 1-b
83
0.8
2-a 2-b 1-a 1-b
1.2
2-a 2-b
63
Rataan plo (mg/ml)
Rataan Hitung (mg/ml)
3.2934 4.4847 5.6759 0.8016 0.7470 0.6923 0.7734 0.7473 0.7212 0.8093 0.8924 0.9755 0.9132 0.7745 0.6358 0.9648 0.8569 0.7489
Lampiran 9. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh konsentrasi GDL dan suhu awal koagulasi terhadap kadar protein whey metode Bradford. Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kadar Protein Whey Ty pe II I Sum Source of Squares df Mean Square Corrected Model 45,240a 5 9,048 Intercept 48,198 1 48,198 SK 7,959 1 7,959 Kons 19,404 2 9,702 SK * Kons 17,876 2 8,938 Error 5,861 18 ,326 Total 99,299 24 Corrected Total 51,101 23 a. R Squared = ,885 (Adjusted R Squared = ,853)
Post Hoc Konsentrasi GDL
F 27,785 148,012 24,442 29,794 27,449
Sig. ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
Kadar Protein Whey
a,b
Duncan
konsentrasi 0.8% 1.2% 0.4% Sig.
N 8 8 8
Subset 1 ,7607 ,8021
2
2,6885 ,886 1,000 Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,326. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8,000. b. Alpha = ,05.
Post Hoc Interaksi
Kadar Protein Whey a,b
Duncan
Interaksi 63C_0. 8% 63C_1. 2% 83C_0. 8% 83C_1. 2% 83C_0. 4% 63C_0. 4% Sig.
N 4 4 4 4 4 4
Subset 1 ,7470 ,7474 ,7745 ,8569 ,8924
2
4,4847 ,749 1,000 Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,326. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. b. Alpha = ,05.
64
Lampiran 10. Data analisis massa curd Suhu Awal Koagulasi (°C)
Konsentrasi (%) 0.4
63
0.8
1.2
0.4
83
0.8
1.2
Repetisi
Bobot (g)
1
126.2
2
155.4
1
189.7
2
177.0
1
180.8
2
195.5
1
208.3
2
195.4
1
170.0
2
189.6
1
178.0
2
174.7
Rataan (g) 140.80 ± 20.65
183.35 ± 8.98
188.15 ± 10.39
201.85 ± 9.12
179.80 ± 13.86
176.35 ± 2.33
Lampiran 11. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh konsentrasi GDL dan suhu awal koagulasi terhadap massa curd Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Bobot curd Ty pe II I Sum Source of Squares df Mean Square Corrected Model 4178,777a 5 835,755 Intercept 381847,363 1 381847,363 SK 696,163 1 696,163 Kons 299,832 2 149,916 SK * Kons 3182,782 2 1591,391 Error 895,740 6 149,290 Total 386921,880 12 Corrected Total 5074,517 11 a. R Squared = ,823 (Adjusted R Squared = ,676)
F 5,598 2557,756 4,663 1,004 10,660
Sig. ,029 ,000 ,074 ,421 ,011
65
Pos Hoc Interaksi massa curd Duncana,b Subset interaksi 63C_0. 4% 83C_1. 2% 83C_0. 8% 63C_0. 8% 63C_1. 2% 83C_0. 4% Sig.
N 2 2 2 2 2 2
1 140,8000
2
176,3500 179,8000 183,3500 188,1500 201,8500 1,000 ,096 Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 149,290. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000. b. Alpha = ,05.
Lampiran 12 . Data analisis total padatan curd Suhu Awal
Konsentrasi
Koagulasi (°C)
(%)
Repetisi
Bobot (g)
1
126.2
0.4
63
Total solid
(%BB)
(g)
23.06 ± 3.38
2
155.4
25.4545
1
189.7
36.8967
0.8
80.55
35.66 ± 1.75
2
177.0
34.4265
1
180.8
33.4118 81.52
34.77 ± 1.92
2
195.5
36.1284
1
208.3
31.2867
0.4
84.98
30.32 ± 1.37
2
195.4
29.3491
1
170.0
34.9180
0.8
79.46
36.93 ± 2.85
2
189.6
38.9438
1
178.0
35.4754
1.2
80.07 2
174.7
Rata-rata (g)
20.6716 83.62
1.2
83
Kadar air
35.15 ± 0.47
34.8177
66
Lampiran 13. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh konsentrasi GDL dan suhu awal koagulasi terhadap total padatan curd Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: total solid Ty pe II I Sum Source of Squares df Mean Square Corrected Model 270,943a 5 54,189 Intercept 12790,977 1 12790,977 SK 26,407 1 26,407 kons 216,558 2 108,279 SK * kons 27,979 2 13,989 Error 28,376 6 4,729 Total 13090,296 12 Corrected Total 299,319 11 a. R Squared = ,905 (Adjusted R Squared = ,826)
F 11,458 2704,611 5,584 22,895 2,958
Sig. ,005 ,000 ,056 ,002 ,128
Post Hoc Konsentrasi GDL total soli d Duncana,b Subset konsentrasi 0.4% 1.2% 0.8% Sig.
N 4 4 4
1 26,6905
2
34,9583 36,2963 1,000 ,418 Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 4,729. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. b. Alpha = ,05.
67
Lampiran 14. Data analisis kadar air curd (% basis basah) Suhu Awal Koagulasi (°C)
Konsentrasi (%)
0.4
63
0.8
1.2
0.4
83
0.8
1.2
Repetisi
Kadar Air (g/100g)
1-a 1-b 2-a 2-b 1-a 1-b 2-a 2-b 1-a 1-b 2-a 2-b 1-a 1-b 2-a 2-b 1-a 1-b 2-a 2-b 1-a 1-b 2-a 2-b
82.39 82.57 85.37 84.15 80.80 81.31 80.41 79.67 80.80 80.51 81.97 82.81 85.43 85.32 84.29 84.87 78.93 80.82 78.75 79.33 80.91 80.22 79.43 79.72
Rataan Duplo (g/100g) 82.48
Rataan Hitung (g/100g)
83.62 ± 1.41
84.76 81.05
80.55 ± 0.69
80.04 80.66
81.52 ± 1.07
82.39 85.38
84.98 ± 0.52
84.58 79.87
79.46 ± 0.94
79.04 80.57
80.07 ± 0.65
79.58
Lampiran 15. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh konsentrasi GDL dan suhu awal koagulasi terhadap kadar air (%BB) curd
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kadar air Ty pe II I Sum Source of Squares df Mean Square Corrected Model 93,895a 5 18,779 Intercept 160194,092 1 160194,092 SK ,936 1 ,936 kons 83,614 2 41,807 SK * kons 9,345 2 4,673 Error 15,516 18 ,862 Total 160303,503 24 Corrected Total 109,411 23 a. R Squared = ,858 (Adjusted R Squared = ,819)
F 21,786 185841,2 1,086 48,500 5,421
Sig. ,000 ,000 ,311 ,000 ,014
68
Post Hoc Konsentrasi GDL Kadar air a,b
Duncan
Konsentrasi 0.8% 1.2% 0.4% Sig.
N 8 8 8
Subset 1 80,0025 80,7963
2
84,2988 ,104 1,000 Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,862. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8,000. b. Alpha = ,05.
Post Hoc Interaksi Kadar air a,b
Duncan
Interaksi 83C_0.8% 83C1.2% 63C_0.8% 63C_1.2% 63C_0.4% 83C_0.4% Sig.
N 4 4 4 4 4 4
1 79,4575 80,0700 80,5475
,132
Subset 2
3
80,5475 81,5225
,155
83,6200 84,9775 ,053
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,862. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. b. Alpha = ,05.
69
Lampiran 16. Data analisis tekstur obyektif curd
Sampel
Konsentrasi (%)
Repetisi 1-a 1-b
Suhu Koagulasi 63 °C
0.4
0.8
1.2
70
1-c 2-a 2-b 2-c 1-a 1-b 1-c 2-a 2-b 2-c 1-a 1-b 1-c 2-a 2-b 2-c
Kekerasan (kg F)
Rataan Plo (kg F)
Rataan Hitung (kg F)
2.0180
Rataan Plo
Rataan Hitung
0.4396
1.9660 1.8630 1.1720 1.2880 1.2610 2.3620
1.9490
2.1380 2.2420 2.3320 2.1880
2.2473
2.3160 2.0660 2.0570 1.9070 1.8700 1.9430 2.1100
Kohesivitas
1.5947 ± 0.50 1.2403
2.2630 ± 0.02 2.2787
2.0100 1.9922 ± 0.02 1.9743
Rataan Plo (kg F)
Rataan Hitung (kg F)
0.8871
0.4704 0.4385 0.3410 0.3525 0.3728 0.3917
0.4495
0.3940 0.4031 0.3839 0.4185
0.3963
0.4306 0.4452 0.4020 0.3912 0.3793 0.3732 0.4007
Daya Kunyah (kg F)
0.4025 ± 0.06 0.3554
0.4036 ± 0.01 0.4110
0.4128 0.3986 ± 0.02 0.3844
0.9249 0.8169 0.3996 0.4540 0.4701 0.9251
0.8763
0.8423 0.9038 0.8952 0.9157
0.8904
0.9973 0.9198 0.8270 0.7460 0.7093 0.7252 0.8456
0.6588 ± 0.31 0.4412
0.9132 ± 0.03 0.9361
0.8309 0.7955 ± 0.05 0.7600
Sampel
Konsentrasi (%)
Suhu Koagulasi 83 °C
0.4
0.8
1.2
Repeti si
Kekerasan (kg F)
Rataan Plo (kg F)
1-a 1-b
1.3120 1.3940 1.3990
1.3683
1-c 2-a 2-b 2-c 1-a 1-b 1-c 2-a 2-b
2.9760 3.0700 3.0760 3.1460
2-c 1-a 1-b 1-c
2.9300 1.8990 1.9730 1.9760 2.0630 1.8570 1.8140
2-a 2-b 2-c
71
1.6310 1.5500 1.6380 3.0730
Rataan Hitung (kg F)
1.4873 ± 0.17 1.6063
3.0397 3.0452 ± 0.01 3.0507
1.9493 1.9303 ± 0.03 1.9113
Kohesivitas 0.3600 0.3422 0.3560 0.3389 0.3194 0.3698 0.4293 0.4418 0.4500 0.4224 0.4230 0.4239 0.4330 0.4569 0.4331 0.3961 0.3837 0.4262
Rataan Plo
Rataan Hitung
0.3527 0.3477 ± 0.01 0.3427
0.4404 0.4318 ± 0.01 0.4231
0.4410 0.4215 ± 0.03 0.4020
DayaKunyah (kg F)
Rataan Plo (kg F)
0.4724 0.4770 0.4980
0.4825
0.5527 0.4950 0.6058 1.3192 1.3149 1.3816 1.2994 1.3308 1.2421 0.8224 0.9015 0.8558 0.8172 0.7126 0.7731
Rataan Hitung (kg F)
0.5168 ± 0.05 0.5512
1.3386 1.3147 ± 0.03 1.2907
0.8599 0.8138 ± 0.06 0.7676
Lampiran 17. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk parameter tekstur curd Lampiran 17a. Kekerasan (Hardness) curd Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kekerasan Ty pe II I Sum Source of Squares df Mean Square Corrected Model 9,464a 5 1,893 Intercept 151,602 1 151,602 SK ,376 1 ,376 Kons 7,582 2 3,791 SK * Kons 1,506 2 ,753 Error 1,027 30 ,034 Total 162,092 36 Corrected Total 10,491 35 a. R Squared = ,902 (Adjusted R Squared = ,886)
F 55,300 4429,331 10,979 110,766 21,995
Sig. ,000 ,000 ,002 ,000 ,000
Pos Hoc Konsentrasi GDL Kekerasan a,b
Duncan
konsentrasi 0.4% 1.2% 0.8% Sig.
N 12 12 12
Subset 2
1 1,5410
3
1,9613 1,000
2,6541 1,000
1,000
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,034. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12, 000. b. Alpha = ,05.
Pos Hoc Interaksi Kekerasan Duncana,b Subset interaksi 83C_0.4% 63C_0.4% 83C_1.2% 63C_1.2% 63C_0.8% 83C_0.8% Sig.
N 6 6 6 6 6 6
1 1,4873 1,5947
2
3
4
1,9303 1,9922 2,2630 ,323
,567
1,000
3,0452 1,000
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,034. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000. b. Alpha = ,05.
72
Lampiran 17b. Kohesivitas (Cohesiveness) curd Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kohesiv itas Ty pe II I Sum Source of Squares df Mean Square Corrected Model 253,215a 5 50,643 Intercept 57873,155 1 57873,155 SK ,137 1 ,137 Kons 123,851 2 61,926 SK * Kons 129,227 2 64,613 Error 251,868 30 8,396 Total 58378,238 36 Corrected Total 505,083 35 a. R Squared = ,501 (Adjusted R Squared = ,418)
F 6,032 6893,271 ,016 7,376 7,696
Sig. ,001 ,000 ,899 ,002 ,002
Post Hoc Konsentrasi GDL Kohesivi tas Duncana,b konsentrasi 0.4% 1.2% 0.8% Sig.
N 12 12 12
Subset 1 37,5088
2
41,0064 41,7689 1,000 ,524 Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 8,396. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12,000. b. Alpha = ,05.
Post Hoc Interaksi
Kohesivi tas
Duncana,b Subset interaksi 83C_0. 4% 63C_1. 2% 63C_0. 4% 63C_0. 8% 83C_1. 2% 83C_0. 8% Sig.
N 6 6 6 6 6 6
1 34,7719
2
39,8615 40,2458 40,3623 42,1514 43,1756 1,000 ,085 Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 8,396. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000. b. Alpha = ,05.
73
Lampiran 17c. Daya Kunyah (Gumminess) curd Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Day a Kuny ah Ty pe II I Sum Source of Squares df Mean Square Corrected Model 2,223a 5 ,445 Intercept 25,127 1 25,127 SK ,077 1 ,077 Kons 1,678 2 ,839 SK * Kons ,468 2 ,234 Error ,384 30 ,013 Total 27,735 36 Corrected Total 2,607 35 a. R Squared = ,853 (Adjusted R Squared = ,828)
F 34,700 1961,099 6,022 65,487 18,253
Sig. ,000 ,000 ,020 ,000 ,000
Pos Hoc Konsentrasi GDL Daya Kunyah Duncana,b konsentrasi 0.4% 1.2% 0.8% Sig.
N
Subset 2
1 ,5878
12 12 12
3
,8046 1,000
1,1140 1,000
1,000
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,013. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12, 000. b. Alpha = ,05.
Post Hoc Interaksi Daya Kunyah a,b
Duncan
Subset interaksi 83C_0.4% 63C_0.4% 63C_1.2% 83C_1.2% 63C_0.8% 83C_0.8% Sig.
N 6 6 6 6 6 6
1 ,5168
2
3
4
,6588 ,7955 ,8138 ,9132 1,000
1,000
,098
1,3147 1,000
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,013. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000. b. Alpha = ,05.
74
Lampiran 18. Data analisis kekerasan penekanan curd (subyektif) Penilain subyektif panelis terhadap 6 tahu komersil : No.
Mico (Padat) 4.10
Kongkee
Trancy Tami Melia Nadea Lukman Rozak Belinda Rossy Ajeng Nadiah Chintia Rata-rata SD RSD a
1.00 0.95 1.20 1.00 1.20 1.00 1.00 1.00 0.95
3.35 3.60 3.30 4.80
Giant
Traditional
Gemelli
Sakura
5.05 5.90 5.45 5.50 5.55
14.05 14.10 13.95 14.05 13.90 14.00
12.10
5.20 7.55 6.33 7.00 7.35
6.10 5.55 5.80
3.80 1.00 1.03 0.09 8.46
3.83 0.51 13.41
5.61 0.30 5.34
14.00 14.10 14.00 14.00 14.02 0.06 0.42
11.30 11.35 11.20 11.60 12.25 11.80
7.40
11.66 0.38 3.25
6.80 0.82 12.08
Nilai Kekerasan tahu obyektif dan subyektif : Kongkee 0.456 1.03
obyektif Subyektif
Mico (Padat) 0.699 3.83
Giant 1.649 5.61
Traditional 4.747 14.02
Gemelli 3.136 11.66
Sakura 1.410 6.80
Kurva standar permodelan :
Hubungan Kekerasan Obyektif dengan Subyektif Curd Komersial 16,00 14,00
Rating Subyektif
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Panelis
y = 2.876x + 1.358 R² = 0.935
12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 0,000
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
Kekerasan Obyektif (Kg F)
75
Nilai Kekerasan curd GDL secara subyektif berdasarkan persamaan garis: y = 2.876x + 1.358 dan R² = 0.935
Suhu awal koagulasi (°C)
Konsentrasi (%)
Repetisi
Kekerasan Obyektif (kg F)
Kekerasan Subyektif
1
1.9490
6.9633
2
1.2403
4.9251
1
2.2473
7.8212
2
2.2787
7.9115
1
2.0100
7.1388
2
1.9743
7.0361
1
1.3683
5.2932
2
1.6063
5.9777
1
3.0397
10.1002
2
3.0507
10.1318
1
1.9493
6.9642
2
1.9113
6.8549
0.4
63
0.8
1.2
0.4
83
0.8
1.2
Rataan Kekerasan subyektif 5.94
7.87
7.09
5.64
10.12
6.91
Lampiran 19. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk kekerasan penekanan curd Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kekerasan Ty pe II I Sum Source of Squares df Mean Square Corrected Model 26,095a 5 5,219 Intercept 632,462 1 632,462 SK 1,036 1 1,036 Kons 20,907 2 10,454 SK * Kons 4,152 2 2,076 Error 2,327 6 ,388 Total 660,884 12 Corrected Total 28,422 11 a. R Squared = ,918 (Adjusted R Squared = ,850)
F 13,455 1630,601 2,671 26,951 5,352
Sig. ,003 ,000 ,153 ,001 ,046
76
Post Hoc Konsentrasi GDL Kekerasan Duncana,b konsentrasi 0.4% 1.2% 0.8% Sig.
N
1 5,7898
4 4 4
Subset 2
3
6,9985 1,000
1,000
8,9912 1,000
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,388. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4, 000. b. Alpha = ,05.
Post Hoc Interaksi Kekerasan Duncana,b Interaksi 83C_0.4% 63C_0.4% 83C_1.2% 63C_1.2% 63C_0.8% 83C_0.8% Sig.
N 2 2 2 2 2 2
1 5,6354 5,9442 6,9096 7,0875
,069
Subset 2
3
6,9096 7,0875 7,8664 ,188
10,1160 1,000
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,388. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000. b. Alpha = ,05.
77
Lampiran 20. Data analisis kadar protein Bradford hasil ekstraksi curd Standar BSA ulangan 1 Vol stok BSA (ml) 0.3
Vol aquades (ml)
Konsentrasi (mg/ml)
Absorbansi
0.7
0.309
0.34593
mg protein standar 0.0309
0.4
0.6
0.412
0.4581
0.0412
0.5
0.5
0.515
0.53958
0.0515
0.6
0.4
0.618
0.6283
0.0618
1.030
0.98177
0.1030
1.0 0.0 Stok BSA = 1.03 mg/ml
Standar BSA ulangan 2 Vol stok BSA (ml) 0.2
Vol aquades (ml)
Konsentrasi (mg/ml)
Absorbansi
0.8
0.210
0.22052
mg protein standar 0.0210
0.3
0.7
0.315
0.33656
0.0315
0.4
0.6
0.420
0.45627
0.0420
0.6
0.4
0.630
0.63692
0.0630
1.0
0.0
1.050
1.05367
0.1050
Stok BSA = 1.05 mg/ml
78
Suhu Koagulasi ( °C)
Konsentrasi (%)
0.4
63
0.8
1.2
Repetisi
Vstok (mL)
1-a 1-b 1-c 1-d 2-a 2-b 2-c 2-d 1-a 1-b 1-c 1-d 2-a 2-b 2-c 2-d 1-a 1-b 1-c 1-d 2-a 2-b 2-c 2-d
1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5
FP
Vreaksi (ml)
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
Absorbansi
Kons Rx (mg)
Kons (mg)
0.2342 0.2342 0.2342 0.2342 0.42723 0.39905 0.3389 0.33681 0.6154 0.6813 0.6415 0.6679 0.5819 0.6094 0.5531 0.5723 0.5962 0.6314 0.6501 0.6975 0.5391 0.5217 0.4734 0.4672
0.0500 0.0496 0.0598 0.0558 0.0389 0.0356 0.0287 0.0285 0.0687 0.0766 0.0718 0.0750 0.0567 0.0598 0.0534 0.0556 0.0664 0.0706 0.0728 0.0785 0.0523 0.0506 0.0456 0.0450
1.4999 1.4885 1.7954 1.6746 1.1663 1.0691 0.8616 0.8544 2.0605 2.2967 2.1542 2.2486 1.7001 1.7950 1.6008 1.6670 1.9916 2.1180 2.1849 2.3550 1.5698 1.5167 1.3686 1.3497
Ms awal curd (mg) 23.8 22.6 23.8 22.6 24.3 23.2 24.3 24.4 25.0 22.6 25.0 23.0
Kadar Protein (mg/100mg curd) 6.3020 6.2542 7.9441 7.4097 4.9006 4.4921 3.8123 3.7803 8.4793 9.4514 9.2855 9.6922 6.9961 7.3870 6.8998 7.1853 7.9665 8.4721 9.6679 10.4205 6.2791 6.0666 5.9504 5.8682
Rataan plo (mg/100mg)
Rataan Hitung (mg/100mg)
Rataan
6.2781 6.9775 7.6769 5.61 4.6963 4.2463 3.7963 8.9653 9.2271 9.4889 8.17 7.1916 7.1171 7.0426 8.2193 9.1317 10.0442 7.59 6.1728 6.0411 5.9093
79
Suhu Koagulasi ( °C)
Konsentrasi (%)
0.4
83
0.8
1.2
80
Repetisi
Vstok (mL)
FP
Vreaksi (ml)
1-a 1-b 1-c 1-d 2-a 2-b 2-c 2-d 1-a 1-b 1-c 1-d 2-a 2-b 2-c 2-d 1-a 1-b 1-c 1-d 2-a 2-b 2-c 2-d
1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
Absorbansi 0.5692 0.5646 0.5658 0.6089 0.4567 0.4600 0.4336 0.4552 0.5205 0.5142 0.5184 0.5435 0.4131 0.4500 0.3963 0.4464 0.4604 0.4733 0.4508 0.4987 0.3827 0.3525 0.3360 0.3935
Kons Rx (mg)
Kons (mg)
0.0632 0.0626 0.0628 0.0679 0.0439 0.0443 0.0416 0.0438 0.0573 0.0566 0.0571 0.0601 0.0373 0.0415 0.0353 0.0411 0.0427 0.0442 0.0416 0.0471 0.0364 0.0333 0.0316 0.0375
1.8948 1.8783 1.8828 2.0373 1.3175 1.3275 1.2466 1.3127 1.7200 1.6976 1.7125 1.8026 1.1177 1.2448 1.0595 1.2326 1.2809 1.3253 1.2478 1.4129 1.0909 0.9984 0.9478 1.1240
Ms awal curd (mg) 24.0 24.5 24.0 24.5 24.0 23.0 24.0 23.0 23.0 22.7 24.0 23.0
Kadar Protein (mg/100mg curd) 7.8951 7.8261 7.6847 8.3155 5.3995 5.4407 5.3046 5.5861 7.1667 7.0732 7.4458 7.8373 4.6569 5.1868 4.6066 5.3591 5.5690 5.7623 5.4970 6.2243 4.5455 4.1600 4.1208 4.8868
Rataan plo (mg/100mg)
Rataan Hitung (mg/100mg)
Rataan
7.8606 7.9304 8.0001 6.68 5.4201 5.4327 5.4453 7.1200 7.3807 7.6415 6.17 4.9219 4.9524 4.9829 5.6657 5.7631 5.8606 5.10 4.3527 4.4283 4.5038
Lampiran 21. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk kadar protein Bradford ekstrasi curd Bradford ekstraksi Duncana Subset f or alpha = .05 1 2 3 4 5,0957 4 5,6119 5,6119 4 6,1666 6,1666 6,1666 4 6,6815 6,6815 6,6815 4 7,5864 7,5864 4 8,1721 ,177 ,096 ,091 Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4, 000. interaksi 80_1.2% 60_0.4% 080_0.8% 80_0.4% 60_1.2% 60_0.8% Sig.
N
81
Lampiran 22. Data analisis total protein metode Kjeldahl (%basis basah) curd Suhu Koagulasi ( °C)
Konsentrasi (N)
Repetisi 1-a
0.4
1-b 2-a 2-b 1-a
63
0.8
1-b 2-a 2-b 1-a
1.2
1-b 2-a 2-b 1-a
0.4
1-b 2-a 2-b 1-a
83
0.8
1-b 2-a 2-b 1-a
1.2
1-b 2-a 2-b
Kadar Protein (g/100g)
9.62 9.62 6.49 6.81 16.39 16.39 11.97 11.29 16.39 16.39 10.23 9.65 12.03 12.86 9.24 9.65 11.59 11.59 11.71 8.62 10.42 11.33 10.23 8.97
Rataan Duplo (g/100g)
Rataan Hitung (g/100g)
9.62 8.14 ± 1.72 6.65 16.39 14.01 ± 2.76 11.63 16.39 13.17 ± 3.73 9.94 12.45 10.95 ± 1.77 9.45 11.59 10.87 ± 1.51 10.16 10.88 10.24 ± 0.97 9.60
Lampiran 23. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pengaruh konsentrasi GDL dan suhu awal koagulasi terhadap kadar protein Kjeldahl curd (%basis basah) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kadar Protein Curd Ty pe II I Sum Source of Squares df Mean Square Corrected Model 88,969a 5 17,794 Intercept 3025,811 1 3025,811 SK 7,042 1 7,042 Kons 36,411 2 18,205 SK * Kons 45,516 2 22,758 Error 92,598 18 5,144 Total 3207,378 24 Corrected Total 181,567 23 a. R Squared = ,490 (Adjusted R Squared = ,348)
F 3,459 588,182 1,369 3,539 4,424
Sig. ,023 ,000 ,257 ,051 ,027
82
Post Hoc Interaksi
Kadar Protein Curd
a,b
Duncan
Interaksi 63C_0.4% 83C_1.2% 83C_0.8% 83C_0.4% 63C_1.2% 63C_0.8% Sig.
N 4 4 4 4 4 4
1 8,1350 10,2375 10,8775 10,9450
,124
Subset 2
3
10,2375 10,8775 10,9450 13,1650 ,110
10,8775 10,9450 13,1650 14,0100 ,088
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 5,144. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. b. Alpha = ,05.
Lampiran 24. Hubungan total protein Kjeldahl, total protein pelarutan dan persen recovery pelarutan.
*
Sampel
Total Protein Kjeldahl (mg/100mg)
Total protein pelarutan (mg/100mg)
Recovery (%) *
Tepung Kedelai 63°C_0.4% 63°C _0.8% 63°C _1.2% 83°C _0.4% 83°C _0.8% 83°C _1.2%
39.85 8.14 a 14.01 c 13.17 bc 10.95 abc 10.87 ab 10.24 ab
13.38 5.61ab 8.17 c 7.59 bc 6.68 abc 6.17 abc 5.10 a
33.56 68.28b 58.76ab 58.23ab 60.66ab 56.82ab 50.55a
x 100
83
Lampiran 25. Hubungan Rf dengan log BM pita protein Lampiran 25a. Sampel tepung kedelai Rf marker (x)
BM marker
Log BM (y)
0.0955
116.0
2.0645
0.1846
66.2
1.8209
0.3042
45.0
1.6532
0.4043
35.0
1.5441
0,50
0.5491
25.0
1.3979
0,00
0.7105
18.4
1.2648
0.8051
14.4
2,50 y = -1,1774x + 2,0713 R² = 0,9649
Log BM
2,00 1,50 1,00
0,00
0,50
1,00
Rf
1.1584
Persamaan garis : y = -1.1774x + 2.0713 R2 = 0.9649
Rf tepung 0.1262 0.1584 0.1738 0.2032 0.2775 0.3585 0.4048 0.4552 0.6050 0.6582 0.7243 0.8302
log BM tepung 19.227 18.849 18.667 18.321 17.446 16.491 15.947 15.353 13.589 12.963 12.185 10.939
BM tepung 83.70 76.71 73.57 67.94 55.54 44.58 39.32 34.30 22.85 19.79 16.54 12.41
M: Marker
T : Tepung kedelai
84
Lampiran 25b. Sampel curd (6 sampel) Kurva standar marker BM marker
Log BM (y)
2,50
0.0937
116.0
2.0645
2,00
0.1922
66.2
1.8209
0.3122
45.0
1.6532
0.4203
35.0
1.5441
0.5762
25.0
1.3979
0.7467
18.4
1.2648
0.8428
14.4
1.1584
Log BM
Rf marker (x)
y = -1,114x + 2,0644 R² = 0,965
1,50 1,00 0,50 0,00 0,00
Persamaan garis y = -1.114x + 2.0644 R2 = 0.965
Rf 0.130808 0.156189 0.175322 0.208642 0.284785 0.373682 0.419628 0.470519 0.633867 0.692698 0.762463 0.883119
log BM 1.91868 1.90405 1.869091 1.831972 1.74715 1.648118 1.596935 1.540241 1.358272 1.292734 1.215017 1.080606
M
D1
0,50 Rf
D2
D3
1,00
D4
D5
D6
BM 82.92387 77.69722 73.97605 67.91603 55.86631 44.47522 39.53072 34.69297 22.81772 19.62159 16.40653 12.03943
D1 D2 D3 M
: 63 °C-0.4% : 63 °C-0.8% : 63 °C-1.2% : Marker
D4 D5 D6
: 83 °C-0.4% : 83 °C-0.8% : 83 °C-1.2%
85
Lampiran 26a. Proporsi fraksi protein dengan SDS-PAGE Sampel
Tepung Kacang Kedelai
Curd 0.4% . 63 °C
Curd 0.8% . 63 °C
Curd 1.2% . 63 °C
Curd 0.4% . 83 °C
Curd 0.8% . 83 °C
Curd 1.2% . 83 °C
Fraksi * a b c d e Total a b c d e Total a b c d e Total a b c d e Total a b c d e Total a b c d e Total a b c d e Total
U1 Luas Area 5269.50 3146.89 10223.85 6830.32 1177.23 26647.79 3854.55 957.68 4895.98 3216.86 324.97 13250.04 4884.26 1882.46 8005.18 5834.95 717.04 21323.88 3680.43 916.97 5080.57 2835.08 221.85 12734.90 3535.72 878.68 5539.23 4003.81 299.39 14256.82 4071.72 1023.68 6734.40 4100.64 512.75 16443.18 3252.77 1191.39 6297.76 3417.81 377.68 14537.41
* a : subunit α΄ dan α b : subunit β
U2 % Protein 19.77 11.81 38.37 25.63 4.42 100.00 29.09 7.23 36.95 24.28 2.45 100.00 22.91 8.83 37.54 27.36 3.36 100.00 28.90 7.20 39.89 22.26 1.74 100.00 24.80 6.16 38.85 28.08 2.10 100.00 24.76 6.23 40.96 24.94 3.12 100.00 22.38 8.20 43.32 23.51 2.60 100.00
Luas Area 5347.21 3105.48 10035.73 6401.49 896.87 25786.77 3760.55 983.68 4634.57 3137.33 319.39 12835.51 4072.13 1539.92 6757.81 4426.93 343.97 17140.77 3471.60 905.97 4808.15 2623.84 181.73 11991.29 3459.31 865.26 5306.10 4013.52 320.80 13964.99 3897.01 975.97 6481.23 3816.69 414.63 15585.53 3073.06 1427.58 5804.69 3156.28 314.56 13776.16
U3 % Protein 20.74 12.04 38.92 24.82 3.48 100.00 29.30 7.66 36.11 24.44 2.49 100.00 23.76 8.98 39.43 25.83 2.01 100.00 28.95 7.56 40.10 21.88 1.52 100.00 24.77 6.20 38.00 28.74 2.30 100.00 25.00 6.26 41.58 24.49 2.66 100.00 22.31 10.36 42.14 22.91 2.28 100.00
Luas Area 5095.50 2520.53 9902.90 6395.78 967.87 24882.58 3726.84 999.39 4632.28 3138.45 328.68 12825.63 3880.01 1460.21 6585.52 4294.81 352.68 16573.23 3631.31 970.97 5143.45 2846.67 258.56 12850.95 3358.89 815.85 5316.10 4192.18 368.51 14051.53 3724.89 915.56 6341.52 3603.15 401.21 14986.33 3069.36 1299.21 5926.52 3210.98 346.26 13852.33
c : subunit asam (A3. A1. A2. A4)
% Protein 20.48 10.13 39.80 25.70 3.89 100.00 29.06 7.79 36.12 24.47 2.56 100.00 23.41 8.81 39.74 25.91 2.13 100.00 28.26 7.56 40.02 22.15 2.01 100.00 23.90 5.81 37.83 29.83 2.62 100.00 24.86 6.11 42.32 24.04 2.68 100.00 22.16 9.38 42.78 23.18 2.50 100.00
Rataan % Protein 20.33 11.33 39.03 25.39 3.93 29.15 7.56 36.39 24.40 2.50 23.36 8.87 38.90 26.37 2.50 28.70 7.44 40.01 22.10 1.76
6.06 38.23 28.89 2.34 24.87 6.20 41.62 24.49 2.82 22.28 9.31 42.75 23.20 2.46
e : subunit A5
d : subunit basa
86
Lampiran 26b. Dokumentasi Output software Image J (densitas pita protein). a. Perlakuan suhu awal koagulasi 63 °C – Konsentrasi GDL 0.4%
1
2
3
4
5
b. Perlakuan suhu awal koagulasi 63 °C – Konsentrasi GDL 0.8%
1
2
3
4
5
c. Perlakuan suhu awal koagulasi 63 °C – Konsentrasi GDL 1.2%
1
2
3
4
5
87
d. Perlakuan suhu awal koagulasi 83 °C – Konsentrasi GDL 0.4%
1
2
3
4
5
e. Perlakuan suhu awal koagulasi 83 °C – Konsentrasi GDL 0.8%
1
2
3
4
5
f. Perlakuan suhu awal koagulasi 83 °C – Konsentrasi GDL 1.2%
1
* 1 : subunit α΄ dan α 2 : subunit β
2
3
4
3 : subunit asam (A3. A1. A2. A4)
5
5 : subunit A5
4 : subunit basa
Proporsi masing-masing subunit = luas area subunit / luas area total x 100%
88
Lampiran 27. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk pita protein SDS-PAGE Lampiran 27a. Subunit α΄ dan α Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: protein 1 Ty pe II I Sum Source of Squares df Mean Square Corrected Model 119,760a 5 23,952 Intercept 11683,090 1 11683,090 SK 45,761 1 45,761 Kons 21,927 2 10,963 SK * Kons 52,073 2 26,036 Error 1,272 12 ,106 Total 11804,122 18 Corrected Total 121,032 17 a. R Squared = ,989 (Adjusted R Squared = ,985)
F 225,926 110200,5 431,635 103,411 245,587
Sig. ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
Post Hoc Konsetrasi GDL protei n 1 Duncana,b konsentrasi 0.8% 1.2% 0.4% Sig.
N
Subset 2
1 24,1167
6 6 6
3
25,4933 1,000
1,000
26,8200 1,000
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,106. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6, 000. b. Alpha = ,05.
Post Hoc Interaksi
protei n 1
a,b
Duncan
Subset interaksi 83C_1.2% 63C_0.8% 83C_0.4% 83C_0.8% 63C_1.2% 63C_0.4% Sig.
N 3 3 3 3 3 3
1 22,2833
2
3
4
23,3600 24,4900 24,8733
1,000
1,000
,175
28,7033 29,1500 ,119
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,106. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,05.
89
Lampiran 27b. Subunit β Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: protein 2 Ty pe II I Sum Source of Squares df Mean Square Corrected Model 26,766a 5 5,353 Intercept 1032,548 1 1032,548 SK 2,653 1 2,653 Kons 7,391 2 3,696 SK * Kons 16,721 2 8,361 Error 2,720 12 ,227 Total 1062,034 18 Corrected Total 29,485 17 a. R Squared = ,908 (Adjusted R Squared = ,869)
F 23,620 4556,030 11,705 16,307 36,891
Sig. ,000 ,000 ,005 ,000 ,000
Post Hoc Konsentrasi GDL protei n 2 Duncana,b konsentrasi 0.4% 0.8% 1.2% Sig.
N 6 6 6
1 6,8083
Subset 2
3
7,5367 1,000
1,000
8,3767 1,000
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,227. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6, 000. b. Alpha = ,05.
Post Hoc Interaksi protei n 2 a,b
Duncan
interaksi 83C_0.4% 83C_0.8% 63C_1.2% 63C_0.4% 63C_0.8% 83C_1.2% Sig.
N 3 3 3 3 3 3
1 6,0567 6,2000
Subset 2
3
7,4400 7,5600
,719
,763
8,8733 9,3133 ,280
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,227. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,05.
90
Lampiran 27c. Subunit asam (A3. A1. A2. A4) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: protein 3 Ty pe II I Sum Source of Squares df Mean Square Corrected Model 80,353a 5 16,071 Intercept 28296,619 1 28296,619 SK 26,596 1 26,596 Kons 52,952 2 26,476 SK * Kons ,805 2 ,402 Error 5,546 12 ,462 Total 28382,518 18 Corrected Total 85,899 17 a. R Squared = ,935 (Adjusted R Squared = ,909)
Post Hoc Konsentrasi GDL
F 34,774 61228,95 57,550 57,290 ,870
Sig. ,000 ,000 ,000 ,000 ,444
protei n 3
Duncana,b konsentrasi 0.4% 0.8% 1.2% Sig.
N 6 6 6
Subset 2
1 37,3100
3
40,2617 1,000
41,3750 1,000
1,000
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,462. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6, 000. b. Alpha = ,05.
Post Hoc Interaksi protei n 3 a,b
Duncan
Subset interaksi 63C_0.4% 83C_0.4% 63C_0.8% 63C_1.2% 83C_0.8% 83C_1.2% Sig.
N 3 3 3 3 3 3
1 36,3933
2 38,2267 38,9033
1,000
3
4
38,9033 40,0033
,246
,071
41,6200 42,7467 ,065
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,462. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,05.
91
Lampiran 27d. Subunit Basa Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: protein 4 Ty pe II I Sum Source of Squares df Mean Square Corrected Model 87,564a 5 17,513 Intercept 11165,161 1 11165,161 SK 6,894 1 6,894 Kons 50,260 2 25,130 SK * Kons 30,410 2 15,205 Error 3,728 12 ,311 Total 11256,453 18 Corrected Total 91,292 17 a. R Squared = ,959 (Adjusted R Squared = ,942)
Post Hoc Konsentrasi GDL
F 56,368 35936,79 22,191 80,885 48,939
Sig. ,000 ,000 ,001 ,000 ,000
protei n 4
Duncana,b konsentrasi 1.2% 0.8% 0.4% Sig.
N 6 6 6
1 22,6483
Subset 2
3
25,4283 1,000
1,000
26,6400 1,000
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,311. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6, 000. b. Alpha = ,05.
Post Hoc Interaksi protei n 4 a,b
Duncan
interaksi 63C_1.2% 83C_1.2% 63C_0.4% 83C_0.8% 63C_0.8% 83C_0.4% Sig.
N 3 3 3 3 3 3
1 22,0967
2
Subset 3
4
5
23,2000 24,3967 24,4900 26,3667 1,000
1,000
,841
1,000
28,8833 1,000
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,311. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3, 000. b. Alpha = ,05.
92
Lampiran 27e. Subunit A5 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: protein 5 Ty pe II I Sum Source of Squares df Mean Square Corrected Model 1,852a 5 ,370 Intercept 103,344 1 103,344 SK ,373 1 ,373 Kons ,918 2 ,459 SK * Kons ,561 2 ,281 Error 1,570 12 ,131 Total 106,766 18 Corrected Total 3,422 17 a. R Squared = ,541 (Adjusted R Squared = ,350)
F 2,832 790,060 2,849 3,510 2,146
Sig. ,065 ,000 ,117 ,063 ,160
Lampiran 27f. Protein Glisinin (11S) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: 11S Ty pe II I Sum Source of Squares df Mean Square a Corrected Model 107,787 5 21,557 Intercept 80682,784 1 80682,784 SK 70,448 1 70,448 Kons 17,796 2 8,898 SK * Kons 19,542 2 9,771 Error 4,260 12 ,355 Total 80794,831 18 Corrected Total 112,047 17 a. R Squared = ,962 (Adjusted R Squared = ,946)
F 60,723 227268,3 198,440 25,065 27,523
Sig. ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
Post Hoc Konsentrasi GDL 11S Duncana,b Subset konsentrasi 1.2% 0.4% 0.8% Sig.
N 6 6 6
1 66,1317 66,3700
2
68,3500 ,502 1,000 Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,355. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000. b. Alpha = ,05.
93
Post Hoc Interaksi
11S
Duncana,b Interaksi 63C_0.4% 63C_1.2% 63C_0.8% 83C_1.2% 83C_0.8% 83C_0.4% Sig.
N 3 3 3 3 3 3
1 63,2900 63,8567
Subset 2
67,7700 68,4067
,267
,215
3
68,4067 68,9300 69,4500 ,063
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,355. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,05.
Lampiran 27g. Protein β–konglisinin (7S) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: 7S Ty pe II I Sum Source of Squares df Mean Square Corrected Model 107,752a 5 21,550 Intercept 19662,106 1 19662,106 SK 70,448 1 70,448 Kons 17,745 2 8,873 SK * Kons 19,558 2 9,779 Error 4,267 12 ,356 Total 19774,125 18 Corrected Total 112,019 17 a. R Squared = ,962 (Adjusted R Squared = ,946)
F 60,610 55298,81 198,133 24,954 27,503
Sig. ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
Post Hoc Konsentrasi GDL 7S a,b
Duncan
konsentrasi 0.8% 0.4% 1.2% Sig.
N 6 6 6
Subset 1 31,6533
2
33,6283 33,8700 1,000 ,496 Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,356. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000. b. Alpha = ,05.
94
Post Hoc Interaksi
7S
Duncana,b Interaksi 83C_0.4% 83C_0.8% 83C_1.2% 63C_0.8% 63C_1.2% 63C_0.4% Sig.
N
1 30,5467 31,0733 31,5967
3 3 3 3 3 3
,062
Subset 2
3
31,5967 32,2333
,215
36,1433 36,7100 ,267
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,356. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,05.
Lampiran 27h. Ratio protein 11S dan 7S (11S/7S) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: 11S/7S Ty pe I II Sum Source of Squares df Mean Square Model 75,921a 6 12,654 SK ,576 1 ,576 Kons ,128 2 ,064 SK * Kons ,145 2 ,072 Error ,043 12 ,004 Total 75,964 18 a. R Squared = , 999 (Adjusted R Squared = ,999)
F 3525,749 160,502 17,858 20,180
Sig. ,000 ,000 ,000 ,000
Post Hoc Konsentrasi GDL 11S/7S a,b
Duncan
konsentrasi 1.2% 0.4% 0.8% Sig.
N 6 6 6
Subset 1 1,9667 2,0000
2
2,1600 ,354 1,000 Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,004. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000. b. Alpha = ,05.
95
Post Hoc Interaksi 11S/7S a,b
Duncan
Interaksi 63C_0.4% 63C_1.2% 63C_0.8% 83C_1.2% 83C_0.8% 83C_0.4% Sig.
N 3 3 3 3 3 3
1 1,7233 1,7667
Subset 2
2,1000 2,1667
,393
,198
3
2,1667 2,2200 2,2767 ,053
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,004. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,05.
96
Lampiran 28. Hasil analisis korelasi kekerasan dengan protein 11S/7S Lampiran 28a. Korelasi kekerasan dengan protein 11S/7S (suhu awal koagulasi 63 °C) Correlati ons
kekerasan objekt if
kekerasan subjektif
11S
7S
11S/7S
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
kekerasan objektif 1
kekerasan subjekt if 1,000** ,000 9 9 1,000** 1 ,000 9 9 ,761* ,761* ,017 ,017 9 9 -,761* -,761* ,017 ,017 9 9 ,749* ,749* ,020 ,020 9 9
**. Correlation is signif icant at the 0.01 lev el (2-tailed). *. Correlation is signif icant at the 0.05 lev el (2-tailed).
97
11S ,761* ,017 9 ,761* ,017 9 1 9 -1,000** ,000 9 ,999** ,000 9
7S -,761* ,017 9 -,761* ,017 9 -1,000** ,000 9 1 9 -,999** ,000 9
11S/7S ,749* ,020 9 ,749* ,020 9 ,999** ,000 9 -,999** ,000 9 1 9
Lampiran 28b. Korelasi kekerasan dengan protein 11S/7S (suhu awal koagulasi 83 °C) Correlati ons
kekerasan objekt if
kekerasan subjektif
11S
7S
11S/7S
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
kekerasan objektif 1
kekerasan subjekt if 1,000** ,000 9 9 1,000** 1 ,000 9 9 -,148 -,150 ,704 ,701 9 9 ,151 ,153 ,698 ,695 9 9 -,156 -,158 ,688 ,685 9 9
**. Correlation is signif icant at the 0.01 lev el (2-tailed).
98
11S -,148 ,704 9 -,150 ,701 9 1 9 -1,000** ,000 9 ,999** ,000 9
7S ,151 ,698 9 ,153 ,695 9 -1,000** ,000 9 1 9 -,999** ,000 9
11S/7S -,156 ,688 9 -,158 ,685 9 ,999** ,000 9 -,999** ,000 9 1 9
Lampiran 28c. Korelasi kekerasan dengan protein 11S/7S untuk semua perlakuan Correlati ons
kekerasan objekt if
kekerasan subjektif
11S
7S
11S/7S
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
kekerasan objektif 1
kekerasan subjekt if 1,000** ,000 18 18 1,000** 1 ,000 18 18 ,314 ,315 ,204 ,203 18 18 -,313 -,314 ,205 ,204 18 18 ,297 ,298 ,232 ,230 18 18
**. Correlation is signif icant at the 0.01 lev el (2-tailed).
99
11S ,314 ,204 18 ,315 ,203 18 1 18 -1,000** ,000 18 ,999** ,000 18
7S -,313 ,205 18 -,314 ,204 18 -1,000** ,000 18 1 18 -,999** ,000 18
11S/7S ,297 ,232 18 ,298 ,230 18 ,999** ,000 18 -,999** ,000 18 1 18
Lampiran 29. Hasil analisis korelasi antara kadar protein, kadar air, total padatan dan parameter tekstur curd Correlati ons
protein curd
kadar air curd
total padatan curd
kekerasan curd
kohesiv itas curd
day a kuny ah curd
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
protein curd 1 12 -,297 ,348 12 ,421 ,172 12 ,254 ,425 12 ,190 ,554 12 ,232 ,467 12
*. Correlation is signif icant at the 0.05 lev el (2-t ailed). **. Correlation is signif icant at the 0.01 lev el (2-t ailed).
100
kadar air curd -,297 ,348 12 1 12 -,626* ,029 12 -,810** ,001 12 -,762** ,004 12 -,832** ,001 12
total padatan curd ,421 ,172 12 -,626* ,029 12 1 12 ,571 ,052 12 ,144 ,655 12 ,490 ,106 12
kekerasan kohesiv itas day a kuny ah curd curd curd ,254 ,190 ,232 ,425 ,554 ,467 12 12 12 -,810** -,762** -,832** ,001 ,004 ,001 12 12 12 ,571 ,144 ,490 ,052 ,655 ,106 12 12 12 1 ,675* ,985** ,016 ,000 12 12 12 ,675* 1 ,785** ,016 ,002 12 12 12 ,985** ,785** 1 ,000 ,002 12 12 12
Lampiran 30. Hasil analisis korelasi antara beberapa parameter profil koagulasi. Correlati ons pH pH
Brad_w
Prot _C
Massa_C
KA_C
Totalpdt
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 12 ,627* ,029 12 -,431 ,162 12 -,247 ,440 12 ,786** ,002 12 -,773** ,003 12
Brad_w ,627* ,029 12 1 12 -,561 ,058 12 -,674* ,016 12 ,483 ,112 12 -,759** ,004 12
*. Correlation is signif icant at the 0.05 lev el (2-tailed). **. Correlation is signif icant at the 0.01 lev el (2-tailed).
101
Prot _C -,431 ,162 12 -,561 ,058 12 1 12 ,353 ,260 12 -,297 ,348 12 ,421 ,172 12
Massa_C -,247 ,440 12 -,674* ,016 12 ,353 ,260 12 1 12 ,089 ,784 12 ,684* ,014 12
KA_C Totalpdt ,786** -,773** ,002 ,003 12 12 ,483 -,759** ,112 ,004 12 12 -,297 ,421 ,348 ,172 12 12 ,089 ,684* ,784 ,014 12 12 1 -,626* ,029 12 12 -,626* 1 ,029 12 12
Lampiran 31. Hasil analisis korelasi subunit 11S dan 7S terhadap kekerasan curd Correlati ons
kekerasan objekt if
kekerasan subjektif
p1
p2
p3
p4
p5
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
kekerasan objektif 1
kekerasan subjekt if 1,000** ,000 18 18 1,000** 1 ,000 18 18 -,241 -,242 ,335 ,333 18 18 -,122 -,122 ,630 ,631 18 18 ,538* ,538* ,021 ,021 18 18 -,238 -,237 ,342 ,343 18 18 ,331 ,331 ,180 ,179 18 18
**. Correlation is signif icant at the 0.01 lev el (2-tailed). *. Correlation is signif icant at the 0.05 lev el (2-tailed).
p1 = Sububit α΄ dan α p2 = Subunit β p3 = Sububit asam
102
p4 = subunit basa p5 = A5
p1 -,241 ,335 18 -,242 ,333 18 1 18 -,322 ,192 18 -,544* ,020 18 -,365 ,137 18 -,393 ,107 18
p2 -,122 ,630 18 -,122 ,631 18 -,322 ,192 18 1 18 ,203 ,420 18 -,375 ,125 18 -,096 ,706 18
p3 ,538* ,021 18 ,538* ,021 18 -,544* ,020 18 ,203 ,420 18 1 18 -,450 ,061 18 -,043 ,866 18
p4 -,238 ,342 18 -,237 ,343 18 -,365 ,137 18 -,375 ,125 18 -,450 ,061 18 1 18 ,355 ,148 18
p5 ,331 ,180 18 ,331 ,179 18 -,393 ,107 18 -,096 ,706 18 -,043 ,866 18 ,355 ,148 18 1 18