Kultul Jaringan Tembakau PENGARUH KOMBINASI ZAT PENGATUR TUMBUH IAA DAN KINETIN TERHADAP MORFOGENESIS PADA KULTUR IN VITRO TANAMAN TEMBAKAU (Nicotiana tabacum L. var. Prancak-95) Noer Laily Desriatin Program Studi Biologi, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Jl. Raya ITS, Sukolilo-Surabaya 10111 Email :
[email protected]
ABSTRACT
The research was aimed to find a combination of IAA and Kinetin concentration effective for the induction of morphogenesis of tobacco leaf explants (Nicotiana tabacum L. var. Prancak-95). This research was carried out in the plant tissue culture laboratory, department of Biology ITS, Surabaya. This research was designed with completely randomize design with two factors. The first factor was the IAA concentration, consisted of six levels i.e. 0 ppm; 0.5 ppm; 1 ppm; 1,5 ppm; 2 ppm; and 2,5 ppm. The second factor was Kinetin concentration, consisted of five levels i.e. and 0 ppm ; 1 ppm; 2 ppm, 3 ppm, and 4 ppm. The result showed that the addition of combinations of growth regulators IAA and Kinetin effect on the number of shoots and number of roots. The highest amount of shoot proliferation was obtained from treatment with 2 ppm IAA and 3 ppm Kinetin (56 shoots/explant), while the highest root proliferation was obtained from treatment of 2,5 ppm IAA and 0 ppm (8 roots/explants). The most dominant callus obtained were white in colour and compact in texture. The key words: Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95, IAA, Kinetin, Callus, Plant Tissue Culture
PENDAHULUAN Produksi tembakau tertinggi di Indonesia berasal dari propinsi Jawa Timur yaitu sebesar 56 %, Jawa Tengah 26 %, dan NTB 17 %. Sedangkan sisanya berasal dari propinsi DI Yogyakarta, Sumatra Utara, Jawa Barat, dan Bali (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian. 2002). Sentra produksi tembakau terbesar di Jawa Timur terletak di pulau Madura (Nadira, 2009). Penyebaran tembakau ke berbagai daerah diikuti dengan proses adaptasi. Adanya seleksi alam dan seleksi yang dilakukan oleh manusia menyebabkan di setiap daerah tersebut tembakau menampilkan ciri tertentu. Tembakau Madura merupakan salah satu tembakau lokal aromatis yang dikembangkan di Pulau Madura. Mutu tembakau Madura yaitu memiliki aroma dan rasanya gurih (Suwarso, 1999). Karakter kimia tembakau Madura antara lain kadar nikotin sedang, dan kadar gula tinggi (Suwarso, 2004). Penelitian ini menggunakan tembakau Madura var. Prancak-95 yang memiliki kadar nikotin sedang yaitu 2,31 % (Soetopo, 2006).
Ciri tembakau Madura yang khas, menjadikan permintaan akan tembakau Madura meningkat. Namun ada kendala yang dihadapi dalam produksi tembakau Madura yaitu bibit tembakau yang diusahakan petani masih heterogen karena tembakau bisa melakukan penyerbukan secara silang. Hal itu bisa disebabkan oleh tidak ada pengawasan terhadap benih atau bibit yang dibawa masuk dari luar Madura, dan sistem penangkaran benih belum standard terkoordinasi. Permasalahan ini bisa teratasi dengan perbanyakan tanaman secara vegetatif melalui kultur jaringan. Kultur jaringan merupakan suatu teknik isolasi bagian tanaman, seperti jaringan, organ atau embrio, lalu dikultur pada medium buatan yang steril sehingga bagian tanaman tersebut mampu bergenerasi dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap (Winata, 1987 dalam Zulkarnain, 2009). Metode kultur jaringan dapat menghasilkan tanaman baru dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang relatif singkat, dimana tidak bergantung pada musim. Keunggulan lain dari kultur jaringan yaitu memperoleh sifat fisiologi
Kultul Jaringan Tembakau dan morfologi sama persis dengan tanaman induknya (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Sehingga penyediaan bibit akan selalu terpenuhi dan bibit yang akan disebar ke masyarakat bersifat persis dengan tanaman induknya. Media tanam memberikan pengaruh yang besar terhadap keberhasilan kultur jaringan. Dalam media tanam kultur jaringan terdapat penambahan zat pengatur tumbuh. Tanaman membutuhkan zat pengatur tumbuh alami (fitohormon) untuk proses pertumbuhan, yaitu zat pengatur tumbuh auksi dan sitokinin. Zat pengatur tumbuh berfungsi merangsang pertumbuhan, misalnya pertumbuhan akar, tunas, perkecambahan dan sebagainya (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Zat pengatur tumbuh golongan auksin terdiri dari Indo Asam Asetat (IAA), Indol Asam Butirat (IBA), Naftalen Asam Asetat (NAA), dan 2,4 D. Zat pengatur tumbuh golongan sitokinin terdiri dari Kinetin, Zeatin, Ribosil, dan Bensil Aminopurin (BAP) (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Dalam pertumbuhan jaringan, sitokinin bersama-sama dengan auksin memberikan pengaruh interaksi terhadap deferensiasi jaringan (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Komposisi auksin dan sitokinin dalam media kultur in vitro memainkan peranan penting dalam induksi dan regenerasi kalus menjadi tunas (Zheng et al. 1999; dalam Kadir, 2007). Berdasarkan penelitian Maryanto (1991), eksplan tembakau yang digunakan adalah daun muda yang ditanam pada medium MS (Murashige Skoog), yaitu pada konsentrasi 2 : 3 telah berhasil menginduksi tunas dan akar (Maryanto, 1991). Sedangkan konsentrasi 2 : 3 pada penelitan Ali et al hanya mampu menginduksi kalus dan tunas pada varietas yang berbeda. Mengacu pada penelitian tersebut, maka dilakukan penelitian dengan berbagai konsentrasi yaitu 0 - 2,5 ppm untuk IAA dan 0 – 4 ppm untuk Kinetin. Penelitian ini bertujuan mendapatkan kombinasi konsentrasi IAA dan Kinetin yang efektif untuk induksi morfogenesis eksplan daun tembakau (Nicotiana tabacum var. Prancak-95).
METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan bahan kultur Nicotiana tabacum L. var Prancak-95 diperoleh dari Greenhouse PT. Sadhana. Sedangkan penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai bulan Mei 2010 di Laboratorium Kultur Jaringan Jurusan Biologi FMIPA ITS. Cara Kerja Tahap Persiapan a. Sterilisasi Ruang Bagian dalam laminar air flow disemprot dengan alkohol 70%. Kemudian lampu ultraviolet (UV) dinyalakan selama 1 jam. Saat akan digunakan, lampu neon dan kipas dinyalakan (Zulkarnain, 2009). b. Sterilisasi Alat Alat-alat dissecting set dan glass ware yang akan digunakan dicuci terlebih dahulu dan dikeringkan kemudian dibungkus dengan kertas payung, sedangkan mulut botol ditutup dengan alumunium foil. Selanjutnya alat-alat disterilisasi di dalam autoclaf dengan suhu 121°C selama 15 menit (Santoso, 2003). Saat proses inokulasi eksplan, alat-alat dissecting set disterilisasi dengan alkohol 96% dan dibakar dengan nyala api spiritus setiap kali akan digunakan di laminar air flow (Fitrianti, 2006). c. Sterilisasi Media Media yang digunakan adalah media Murashige and Skoog atau MS (lampiran 1) di masukkan ke dalam botol kultur dan disterilisasi dengan autoklaf dengan suhu 1210C selama 15 menit (Hendaryono dan Wijayani, 1994). d. Sterilisasi Eksplan Sterilisasi permukaan eksplan daun terdiri dari 2 tahap sterilisasi yaitu sterilisasi tahap I yang dilakukan di ruang persiapan dan sterilisasi tahap II yang dilakukan di laminar air flow. Sterilisasi tahap I meliputi: Daun tembakau muda (daun ketiga sampai kelima dari pucuk) diambil dari green house dibilas dengan air mengalir hingga bersih. Sedangkan sterilisasi tahap II dilakukan setelah sterilisasi tahap I, meliputi: Daun direndam dalam larutan etanol 70% selama 25 detik, kemudian dibilas dengan aquades steril selama 5 menit, selanjutnya disterilisasi dengan 1% sodium hypochLorite (Bayclin ™ 5,25%) selama ± 10 menit. Kemudian dibilas dengan aquades steril selama 5 menit sebanyak 3 kali. Selanjutnya eksplan diambil dengan pinset dan ditiriskan pada cawan petri yang berisi kertas saring. (Fowke, L.C. et al, 1983).
Kultul Jaringan Tembakau Pembuatan Media a. Pembuatan Stok Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) IAA dan Kinetin Pembuatan larutan stok IAA (MERCK) 100 ppm dilakukan dengan penimbangan bahan sebanyak 10 mg lalu ditambahkan 50 ml aquades steril ke dalam erlenmeyer 100 ml. Sambil diaduk, diteteskan larutan KOH 1 N sampai larut (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Larutan ditambahkan aquades hingga volumenya mencapai 100 ml (Zulkarnain, 2009). Pembuatan larutan stok Kinetin 100 ppm dilakukan dengan penimbangan bahan sebanyak 10 mg dan ditambahkan 50 ml aquades steril ke dalam erlenmeyer 100 ml. Larutan HCl 1 N diteteskan sampai larut. Larutan ditambahkan aquades steril sampai 100 ml. Stok zat pengatur tumbuh disimpan dalam erlenmeyer 100 ml dan ditutup dengan alumunium foil serta diberi label. Semua larutan stok ZPT disimpan dalam lemari pendingin (Zulkarnain, 2009). Penghitungan volume larutan stok yang dicari menggunakan rumus di bawah ini :
V1.M1 = V2.M2 (Hendaryono dan Wijayani, 1994) Keterangan : V1 = volume larutan stok yang dicari M1 = konsentrasi larutan stok yang tersedia V2 = volume larutan stok yang akan dibuat M2 = konsentrasi larutan stok yang akan dibuat b. Pembuatan Media Kultur (Media MS) Media kultur yang digunakan adalah media Morashige-Skoog (MS) modifikasi yang terdiri dari unsur mikro, makro, sukrosa, vitamin, agar, dan ZPT (IAA dan Kinetin). Untuk pembuatan media MS, erlenmeyer berukuran 1 liter disiapkan lalu sebanyak 500 ml medium MS cair siap pakai yang sudah mengandung unsur mikro, unsur makro, sukrosa, vitamin, dipanaskan sambil diaduk-aduk. Kemudian ditambahkan zat pengatur tumbuh IAA sesuai konsentrasi (dalam hal ini digunakan konsentrasi 0 ppm; 0,5 ppm; 1 ppm; 1,5 ppm; 2 ppm; dan 2,5 ppm) dan Kinetin (dalam hal ini digunakan konsentrasi 0 ppm; 1 ppm; 2 ppm; 3 ppm; dan 4 ppm) sambil diaduk hingga homogen. Langkah selanjutnya yaitu diukur pH larutan 5,8 menggunakan pH meter. Apabila terlalu asam ditambahkan KOH dan apabila terlalu basa ditambahkan HCl. Jika pH telah sesuai, medium MS cair ditambahkan agar-agar sebanyak 8 gr. Media dididihkan dan diaduk
hingga agar-agar larut dan tercampur rata kemudian dibagi media sekitar 20 ml/botol ke dalam botol kultur dalam keadaan masih cair. Botol kultur ditutup rapat dengan penutup plastik dan diautoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Setelah itu, diberi label sesuai perlakuan dan disimpan di dalam ruang steril (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Inokulasi Eksplan Eksplan daun yang telah steril diletakkan dalam cawan Petri steril yang telah dilapisi kertas tissue steril untuk menyerap aquades. Kemudian eksplan daun dipotongpotong di atas cawan Petri dengan ukuran ± 1 cm2. Lalu eksplan daun ditanam dalam media dengan bagian abaksial yang kontak dengan media (Dhaliwal et al, 2003). Satu botol kultur diisi dua eksplan. Botol ditutup rapat dan diberi label yaitu tanggal dilakukan inokulasi eksplan dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan. Eksplan yang telah ditanam dalam botol kultur diatur pada rak-rak kultur bertingkat. Pada tingkat rak diberi penyinaran dengan lampu flourescen 40 Watt (Gunawan, 1995 dalam Fitrianti, 2006). Selanjutnya eksplan diinkubasi dalam ruang kultur pada suhu 25°C dengan fotoperiode 12 jam terang dan 12 jam gelap selama 30 hari. Rancangan Penelitian dan Hipotesis Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor (Faktor 1= konsentrasi IAA dan Faktor 2=konsentrasi Kinetin) dan masing-masing 4 kali ulangan. Rancangan penelitian disajikan pada tabel 3. 1 di bawah ini. Tabel 3.1 Perbandingan Komposisi ZPT IAA dan Kinetin pada perlakuan
IAA(I)
Kinetin(K) 0 ppm 1 ppm 2 ppm 3 ppm 4 ppm
0 ppm
0,5 ppm
1 ppm
1,5 ppm
2 ppm
2,5 ppm
I0K0 I0K1 I0K2 I0K3 I0K4
I0,5K0 I0,5K1 I0,5K2 I0,5K3 I0,5K4
I1K0 I1K1 I1K2 I1K3 I1K4
I1,5K0 I1,5K1 I1,5K2 I1,5K3 I1,5K4
I2K0 I2K1 I2K2 I2K3 I2K4
I2,5K0 I2,5K1 I2,5K2 I2,5K3 I2,5K4
Uji Kuantitatif Jika eksplan yang dikulturkan membentuk tunas atau akar, maka seluruh data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan ANOVA dan jika ada pengaruh maka dilanjutkan dengan uji Tukey dengan tingkat kesalahan 5% menggunakan Minitab.
Kultul Jaringan Tembakau Uji Kualitatif a. Kalus Jika eksplan yang dikulturkan membentuk kalus maka dilakukan pengamatan secara deskriptif yang meliputi warna dan tekstur kalus. Warna kalus yang terbentuk antara lain putih, putih kehijauan, hijau, dan coklat. Tekstur kalus yang terbentuk meliputi kompak dan remah. b. Respon Callogenesis dan Organogenesis Pengukuran persentase callogenesis ( persentase eksplan berkalus) dan organogenesis eksplan secara tidak langsung dan langsung (persentase eksplan bertunas, persentase eksplan berakar, persentase eksplan bertunas dan berakar). HASIL DAN PEMBAHASAN Respon Calogenesis Eksplan daun tembakau Nicotiana tabacum L. Prancak-95 yang diinokulasi pada medium MS dengan beberapa kombinasi zat pengatur tumbuh IAA yaitu 0 ppm; 0,5 ppm; 1 ppm; 1,5 ppm; 2 ppm; 2,5 ppm, dan Kinetin yaitu 0 ppm; 1 ppm; 2 ppm; 3 ppm; 4 ppm memberikan respon yang bervariasi. Respon tersebut ditunjukkan dengan persentase respon calogenesis dan organogenesis seperti pada Lampiran V. Semua eksplan yang merespon organogenesis terjadi secara tidak langsung, artinya melewati tahap calogenesis (pembentukan kalus) terlebih dahulu. Pada penelitian Dhaliwal (2003) dan Ali (2007), organogenesis yang terbentuk pada eksplan daun tembakau dengan kultivar yang berbeda juga terbentuk respon calogenesis terlebih dahulu. Laporan tersebut dipertegas oleh Santoso (2003), bahwa eksplan daun mempunyai kemampuan tumbuh lebih cepat dalam pembentukan kalus dibandingkan jenis eksplan yang lain. Kalus merupakan proliferasi massa sel yang belum terdiferensiasi (Hendaryono dan Daisy, 1994). Kalus yang awalnya sedikit semakin bertambah banyak baik volume ataupun jumlah kemudian merespon organogenesis. Semakin bertambahnya volume dan jumlah kalus menunjukkan adanya proliferasi pada sel. Eksplan yang hanya merespon kalus tanpa diikuti organogenesis terlihat pada perlakuan I0K0 (Gambar 4.1) yaitu perlakuan tanpa penambahan zat pengatur tumbuh. Pada kombinasi I0K0, pembentukan kalus terjadi karena peran hormon endogen. Hormon endogen menginduksi sebatas proliferasi sel tanpa diikuti differensiasi sel kearah organogenesis. Untuk penginduksian organogenesis dibutuhkan
penambahan hormon eksogen (zat pengatur tumbuh) supaya level hormon dalam sel eksplan meningkat. Jacobsen (1990) dalam Amin, et al (2007) menyatakan bahwa konsentrasi hormon di dalam sel tergantung pada level hormon endogen dan hormon eksogen. Kalus tumbuh disekitar irisan daun yang merupakan respon terhadap perlukaan pada daun, hal ini sesuai penelitian Irawati (2005) bahwa kalus tumbuh pada permukaan irisan eksplan daun, karena sel-sel parenkimnya menjadi meristematik ketika terjadi perlukaan. Eksplan yang terinisiasi membentuk kalus, menurut Suryowinoto (1990) dalam Santoso (2003), disebabkan karena sel-sel kontak dengan media terdorong menjadi meristematik dan selanjutnya aktif mengadakan pembelahan seperti jaringan penutup luka.
Kalus
Gambar 4.1 Eksplan Berkalus pada Kombinasi I0K0 Kalus pada hari ke-30 menunjukkan kualitas morfologi yang berbeda. Morfologi yang diamati terdiri dari tekstur dan warna kalus. Berdasarkan hasil penskoringan terhadap tekstur dan warna kalus ditunjukkan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Tekstur dan Warna kalus terhadap Semua Perlakuan dengan Empat Ulangan
IAA(I)
Kinetin(K)
0 ppm
0 ppm
1a
1 ppm 2 ppm 3 ppm 4 ppm
2a 1a 1a 1a
0,5 ppm
1 ppm
1a dan 4a 1a 1a 2a 1a
1a dan 4a 1a 1a 1a 1a
1,5 ppm
2 ppm
4a
4a
1a 1a 1a 2a
1a 1a 1a 1a
Keterangan Skoring Warna Kalus: Warna putih skor 1 Warna hijau skor 3 Warna putih kehijaua skor 2 Warna coklat skor 4 Keterangan Skoring Tekstur Kalus : a Tekstur kalus kompak skor 1
2,5 ppm 1a dan 4a 1a 1a 2a 1a
Kultul Jaringan Tembakau Berdasarkan Tabel 4.1 tekstur kalus yang terbentuk untuk semua eksplan yaitu kompak. Kalus dikatakan kompak apabila antara sel atau kumpulan sel yang lain tidak mudah dipisahkan (Amin, et al, 2007). Kalus kompak ada hubungannya dengan kandungan sukrosa, menurut Leupin et al (2000) konsentrasi sukrosa 10-100 gram per liter pada penelitiannya bisa membentuk kalus yang kompak. Pada penelitian ini menggunakan medium MS, dimana penambahan sukrosanya yang digunakan yaitu 30 gram per liter medium MS. Jadi konsentrasi sukrosa yang digunakan sesuai dengan penyataan Leupin et al. selain itu, sukrosa berfungsi sebagai bahan pembentuk dinding sel yang terdiri rantai selulosa yang rantainya sulit untuk diputuskan (Campbell, 2002). Peran dari zat pengatur tumbuh auksin untuk melonggarkan serat-serat dinding sel. Saat dinding sel lebih fleksibel, sel bebas mengambil tambahan air dan zat hara melalui osmosis. Sel eksplan tersebut mulai mengembang dan memberikan dorongan melawan dinding selnya, menghasilkan tekanan turgor. Beda potensial air dan zat terlarut dalam sel akan mencapai titik konsentrasi yang sama, kondisi ini akan menyebabkan sel turgid. Sel turgid dengan penambahan sitokinin akan mempengaruhi pembelahan dan pemanjangan sel sehingga pembentukan dinding sel semakin cepat. Warna kalus yang terbentuk pada semua eksplan terdiri dari warna putih, putih kehijauan, hijau, dan coklat. Berdasarkan Tabel 4.1 warna pada semua perlakuan didominasi oleh warna putih (Tabel 4.1). Warna kalus putih diduga sebagai jaringan parenkin yang mengandung butiran pati yang merupakan polisakarida simpanan pada tumbuhan. Kalus terdiri dari massa sel, dimana di dalam sel terdapat bermacam-macam organel plastida yang memiliki pigmentasi yang berbeda-beda. Leukoplas merupakan plastid yang tidak berpigmen dan berfungsi menyimpan hasil metabolisme, salah satunya yaitu pati (Mulyani, 2006). Kalus yang mengandung unsur berwarna hijau diduga kalus yang mengandung klorofil. Menurut Mulyani (2006), plastid yang mengandung pigmen klorofil adalah kloroplas. Sedangkan kalus yang berwarna coklat merupakan kalus yang menghasilkan senyawa fenol akibat dari respon perlukaan. Semua eksplan yang dilukai berpotensi untuk mengeluarkan senyawa fenol. Menurut Sugiri (2005), senyawa fenol keluar akibat pecahnya vakuola yang ditimbulkan dari proses perlukaan. Warna kalus yang terbentuk ditunjukkan oleh Gambar 4.2
kalus
kalus
a
c
kalus
kalus
Gambar 4.2 Warna Kalus (a) Putih, (b) Putih kehijauan, (c) Hijau, (d) Coklat Respon Organogenesis (Jumlah Tunas dan Jumlah Akar) Menurut Hendaryono dan Wijayanti (1994), penggunaan zat pengatur tumbuh akan mengiduksi pembentukan kalus, tunas, dan akar. Hasil penelitian yang dilakukan selama 30 hari menunjukkan bahwa eksplan daun tembakau Nicotiana tabacum L. Prancak-95 yang diinokulasi dalam medium MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh IAA (auksin) dan Kinetin (sitokinin) dalam berbagai kombinasi konsentrasi telah memberikan respon pertumbuhan tunas dan akar. Hasil analisa statistik juga menyatakan bahwa interaksi antara IAA dan Kinetin berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas dan akar (Lampiran VI). Respon organogenesis dari berbagai perlakuan ditunjukkan pada Tabel 4.2 dan 4.3. Tabel 4.2 Rerata Respon Tunas per Eksplan Daun Tembakau Nicotiana tabacum L. Prancak-95 selama 30 Hari
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata dengan uji Tukey (α = 5%).
b
d
Kultul Jaringan Tembakau Tabel 4.3 Rerata Respon Akar per Eksplan Daun Tembakau Nicotiana tabacum L. Prancak-95 selama 30 Hari
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata dengan uji Tukey (α = 5%).
Gambar 4.3 Grafik Interaksi IAA dan Kinetin terhadap Respon Tunas
Berdasarkan Tabel 4.2 terlihat bahwa pada pemberian Kinetin tunggal hanya mampu menginduksi tunas. Terbukti bahwa peran dari sitokinin bekerja dalam pembentukan tunas. Sesuai dengan pernyataan Wetherell (1982) dalam Yunus (2007), sitokinin mempunyai dua peran penting untuk propagasi secara in vitro yaitu merangsang pembelahan sel dan merangsang pertumbuhan tunas dan daun. Sedangkan pada perlakuan IAA tunggal (Tabel 4.3) hanya mampu menginduksi akar, yang terjadi pada penambahan konsentrasi 1 ppm IAA. Fungsi dari IAA terbukti yaitu berperan dalam penginduksian akar. Diperjelas oleh Wattimena (1991) dalam Yunus (2007) bahwa untuk pertumbuhan akar hanya diperlukan auksin tanpa sitokinin atau sitokinin dalam konsentrasi rendah. Berdasarkan Gambar 4.3 Grafik respon organogenesis dengan rata-rata tertinggi 56 jumlah tunas per eksplan yaitu terjadi pada perlakuan I2K3 (Gambar 4.5) dan berbeda secara signifikan dengan perlakuan yang lain. Hal ini berkaitan dengan kerja rasio kedua hormon, bahwa konsentrasi Kinetin lebih yang tinggi daripada konsentrasi IAA akan menginduksi kearah pembentukan tunas. Berdasarkan Gambar 4.4 Grafik menunjukkan respon organogenesis yang berbeda yaitu pada perlakuan I2,5K0 (Gambar 4.6) merupakan respon organogenesis akar dengan rerata tertinggi yaitu 8 akar per eksplan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan tidak hadirnya Kinetin dan konsentrasi IAA yang tunggal akan memacu pembentukan akar. Kondisi ini dipertegas oleh penelitian Kishor (1983), konsentrasi IAA tunggal mampu mengiduksi jumlah akar tertinggi pada konsentrasi 2 ppm.
Gambar 4.5 Eksplan Bertunas pada Kombinasi I2K3
Gambar 4.4 Grafik Interaksi IAA dan Kinetin terhadap Respon Akar
Gambar 4.6 Eksplan Berakar pada Kombinasi I2,5K0
Kultul Jaringan Tembakau ppm dan Kinetin 1 ppm) mampu menginduksi tunas dan akar dalam satu eksplan. 3. Organogenesis terjadi secara tidak langsung, yaitu melewati calogenesis dimana warna dominan kalus yang terbentuk berwarna putih dan bertekstur kompak.
Pada perlakuan kombinasi antara IAA dan Kinetin dengan berbagai rasio lebih merespon kearah pembentukan tunas daripada akar. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan Tabel 4.3. Terlihat bahwa kerja dari Kinetin sebagai sitokinin lebih dominan daripada IAA sebagai auksin. Hal tersebut diduga karena sifat dari masing-masing zat pengatur tumbuh yang berbeda, dimana IAA memiliki sifat yang mudah terdegradasi akibat adanya enzim oksidatif. George (1993) menyebutkan bahwa auksin mengalami oksidasi salah satu pemicunya adalah hadirnya sitokinin. Dipertegas oleh Humphries (1960) dalam George (1993) bahwa sitokinin tinggi akan mencegah pertumbuhan akar dan penghantaran respon auksin dalam inisiasi akar. Namun dijumpai pula dalam interaksi IAA dan Kinetin mampu menginduksi akar dan tunas dalam satu eksplan yaitu pada kombinasi konsentrasi I2K1 dan I2,5K1 (Gambar 4.7). Hal ini sesuai dengan pendapat Ali (2007) bahwa keseimbangan antara auksin dan sitokinin mampu mengontrol pembentukan akar, tunas dan kalus secara in vitro. 1 Akar
Akar
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Ahmad dan Soedarmanto. 1982. Budidaya Tembakau. CV Yasaguna : Jakarta Ali, G., F. Hadi, Z. Ali, M. Tariq, and M. A. Khan. 2007. Callus Induction and in vitro Complete Plant Regeneration of Different Cultivars ot Tobacco (Nicotiana tabacum L.) on Media of Different Hormonal Concentration. Biotechnology. Vol 6(4): 561-566
2
Amin et al. 2007. Induksi Kalus dari Daun Nilam Kultivar Lhoksemauwe, Sidikalang, dan Tapaktuan dengan 2,4D. Zuriat. Vol 18 no 2 Juli-Desember Basuki. 1999. Biologi dan Morfologi Tembakau Madura. Balai Penelitian Temabakau dan Tanaman Serat : Malang Campbell, Reece and Mitchel. 2003. Biologi. Edisi kelima jilid 2 (terjemahan). Jakarta: Erlangga.
Gambar 4.7 (1) Eksplan Terinduksi Tunas dan Akar pada Perlakuan I2K1, (2) Eksplan Terinduksi Tunas dan Akar pada Perlakuan I2,5K1 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Penambahan zat pengatur tumbuh dengan kombinasi IAA dan Kinetin berpengaruh terhadap morfogenesis eksplan daun tembakau Nicotiana tabacum L. Prancak-95. 2. Respon rerata tunas tertinggi (56 tunas/eksplan) terjadi pada perlakuan I2K3 (IAA 2 ppm dan Kinetin 3 ppm), sedangkan untuk rerata akar tertinggi (8 akar/eksplan) terjadi pada perlakuan I2,5K0 (IAA 2,5 ppm dan Kinetin 0 ppm). Dan pada perlakuan I2K1 (IAA 2 ppm dan Kinetin 1 ppm) dan I2,5K1 (IAA 2,5
Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian. 2002. Produksi tembakau menurut propinsi, Indonesia 2001. Perkembangan Pertembakauan di Indonesia. Dhaliwal, H. S., E. C. Yeung, and T. A. Thorpe. 2003. TIBA Inhibition of in vitro Organogenesis in excised Tobacco Leaf Explants. In Vitro Cell. Dev. Biol.-Plant 40:235. Fitrianti, A. 2006. Efektivitas Asam 2,4 Diklorofenoksiasetat (2,4-D) dan Kinetin pada Medium MS dalam Induksi Kalus Sambiloto dengan Eksplan Potongan Daun. Skripsi. Biologi FMIPA UNS: Semarang Fowke, L. C., P. J. Rennie, and F. Constable. 1983. Organelles Associated with the Plasma Membran of Tobacco Leaf
Kultul Jaringan Tembakau Protoplast. Plant Cell Report 2(1983): 292-295 George. 1993. Plant Propagation by Tissue Culture Part 1 The Technology. Exegetics : England Gunawan, L.W., 1988. Teknik kultur jaringan tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan, Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor. Bogor. Heddy’s. 1986. Hormon Tumbuh. Rajawali : Jakarta Hendaryono, D. P. 1994. Teknik Kultur Jaringan (Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara VegetatifModern). Kanisius : Yogyakarta Irawati. 2005. Pembentukan Kalus dan Embriogenesis Kultur Pelepah Daun dan Daun Caladium hibrida. Berita Biologi. Vol 7 no. 5 Agustus
Rachman. 1999. Teknik Budidaya Tembakau. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat : Malang Rahardjo. 1988. Kultur Jaringan Teknik Perbanyakan Tanaman secara Modern. Penebar Swadaya : Jakarta Santoso. 2003. Kultur Jaringan Tanaman. UMM Press : Malang Sari, Tyas Wulan. 2009. Penagruh Hormon Indol Acetic Acid (IAA) terhadap Induksi Kalus Eucheuma cotonii. Skripsi. Biologi FMIPA ITS : Surabaya Sholeh dan Machfudz. 1999. Sifat Iklim dan Penentuan Waktu Tanam Tembakau Madura. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat : Malang Soetopo. 2006. Panduan Teknis Budidaya Tembakau Madura. Dinas Kehutanan dan Perkebunan : Pamekasan
Kadir, A. 2007. ”Induksi dan Perbanyakan Populasi kalus, Regenerasi Tanaman serta Uji Respon Kalus Terhadap Konsentrasi PEG dan Dosis Iradiasi Sinar Gamma.” Jurnal-jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, volume 9, No 1. Kishor, P. B. K. dan A. R. Mehta. 1983. Osmotic Involvement and Organogenesis in Callus Culture of Nicotiana tabacum L. Proc.Indian natn. Sci. Acad. 6(1983): 729-734
Sugiri. 2005. Pembentukan Kalus Embrioid Kultur Ovary Pisang melalui beberapa Komposisi Media Kuktur. Makalah Program S3 Mei 2005
Leupin. 2000. Compact callus induction and plant regeneration of a non-flowering vetiver from Java. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 62: 115–123, 2000.
Suwarso. 1997. SK Mentan No.731/Kpts/TP.240/7/97. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat : Malang
Machfudz dan Sholeh. 1999. Sifat Tanah Tembakau Madura. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat : Malang Mulyani. 2006. Anatomi Tumbuhan. Kanisius : Yogyakarta Nadira. 2009. Respon Penawaran Tembakau Madura (Nicotiana tabacum L.) (Studi Kasus di Kabupaten Pamekasan, Madura – Jawa Timur). Skiripsi. Sosiala Ekonomi Pertanian Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Univesitas Brawijaya : Malang
Suryowinoto, M., 1996. Pemuliaan Tanaman secara In Vitro. Kanisius : Yogtakarta Suwarso. 1999. Pemuliaan Tembakau Madura. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat : Malang
Suwarso. 2004. Sosialisasi Tembakau Madura Rendah Nikotin. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat : Malang Tsuyuki. 1999. Simple and Rapid Regeneration of Shoot and Root from Micro-Callus Culture in Nicotiana tabacum L.. Plant Biotechnology, 16(4), 273-277 Judd. 2002. Plant Systematics. Sinauer Associates, Inc. Publisher : Sunder Land, Massachusetts U.S.A Wetter, L.R. 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman. Penerbit ITB : Bandung
Kultul Jaringan Tembakau Yunus. 2007. Pengaruh IAA dan Kinetin terhadap Pertumbuhan Eksplan Bawang Merah (Allium ascalonicum) secara In Vitro. Jurnal Akta Agrosa. No1 halm 5358 ISSN 1410-3354 Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Bumi Aksara: Jakarta