1
PENGARUH KITOSAN TERHADAP PENYAKIT KERDIL HAMPA PADA TANAMAN PADI
VERONICA TIURIDA APRILIANA SIMANJUNTAK
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ABSTRAK
VERONICA TIURIDA APRILIANA SIMANJUNTAK. Pengaruh Kitosan terhadap Penyakit Kerdil Hampa pada Tanaman Padi. Dibimbing oleh SURYO WIYONO dan GEDE SUASTIKA. Kitosan merupakan senyawa biopolimer yang dapat memacu respon biokimia pertahanan tanaman terhadap infeksi patogen. Penelitian ini bertujuan menguji keefektifan kitosan dalam menekan Rice ragged stunt virus (RRSV). Perlakuan yang digunakan adalah penyemprotan kitosan dengan konsentrasi 0.1% dan 1% masing-masing sebelum dan setelah inokulasi. Sebagai pembanding digunakan tanaman yang tidak diinokulasi dan tanaman diinokulasi tanpa kitosan. Inokulasi dilakukan dengan menggunakan vektor Nilaparvata lugens pada 21 hari setelah tanam (HST). Setiap perlakuan terdiri dari tiga ulangan dengan tiga rumpun tanaman padi, disusun dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK). Parameter pengamatan meliputi pertumbuhan tanaman berupa tinggi dan jumlah anakan tanaman serta kejadian dan keparahan penyakit. Data yang diperoleh dianalisis ANOVA pada taraf 5% dan uji lanjut Duncan. Semua perlakuan kitosan secara umum meningkatkan pertumbuhan tanaman dibandingkan kontrol positif. Tanaman yang diberi perlakuan kitosan mempunyai gejala ringan yang meliputi beberapa daun menggulung dan agak mengeriting, sedangkan tanaman kontrol positif menunjukkan gejala lebih parah berupa kerusakan sedang sampai berat yang meliputi sebagian besar helaian daun kasar atau menggulung, pembengkakan tulang daun, jumlah anakan sedikit, dan kerdil. Kejadian penyakit terendah ditunjukkan pada perlakuan kitosan 1% yang disemprotkan sebelum inokulasi (44.44%) sedangkan kejadian penyakit perlakuan lainnya 100%. Perlakuan kitosan 1% sebelum inokulasi secara nyata menekan keparahan penyakit kerdil hampa sebesar 40.74%, sedangkan perlakuan lain tidak berpengaruh nyata. Kata kunci: Padi, RRSV, Kitosan
PENGARUH KITOSAN TERHADAP PENYAKIT KERDIL HAMPA PADA TANAMAN PADI
VERONICA TIURIDA APRILIANA SIMANJUNTAK A34070040
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Nama NRP
: Pengaruh Kitosan terhadap Penyakit Kerdil Hampa pada Tanaman Padi : Veronica Tiurida Apriliana Simanjuntak : A34070040
Disetujui, Dosen Pembimbing 1
Dosen Pembimbing 2
Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc. Agr. NIP. 19690212 199203 1003
Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc. NIP. 19620607 198703 1003
Diketahui, Ketua Departemen Proteksi Tanaman
Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si. NIP. 19650621 198910 2001
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 13 April 1989 sebagai anak pertama dari pasangan Lorentz Simanjuntak dan Magdalena Silitonga. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bandar Lampung pada tahun 2007 dan diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima di Departemen Proteksi Tanaman pada tahun 2008. Selama kuliah di IPB penulis pernah bergabung di organisasi Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) tahun 2008 dan pernah magang di Balai Penelitian Tanaman, Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (BALITKABI), Malang pada tahun 2009.
PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul “Pengaruh Kitosan terhadap Penyakit Kerdil Hampa pada Tanaman Padi” dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada November 2011 sampai April 2012. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada orangorang yang telah membantu penulis, mulai dari kegiatan penelitian sampai dengan selesainya tugas akhir ini. Khususnya kepada: 1. Ayah dan ibu serta adik-adik tercinta yang telah memberikan dukungan moral maupun materi, kasih sayang, dan doa restu kepada penulis. 2. Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc. Agr. dan Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc. yang telah memberikan bimbingan, bantuan, arahan, masukan, serta nasehat kepada penulis sejak awal penelitian sampai akhir penyusunan skripsi ini. 3. Dr. Ifa Manzila, M.Si. yang banyak membantu kinerja deteksi virus di Laboratorium Mikrobiologi, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen) dan pencarian tanaman bergejala RRSV di daerah Subang. 4. Semua laboran Departemen Proteksi Tanaman khususnya bapak Dadang yang membantu di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, mbak Tuti yang membantu di Laboratorium Virologi Tumbuhan, dan bapak Saefuddin serta bapak Mamat yang membantu penelitian di Rumah Kaca University Farm, Institut Pertanian Bogor. 5. Teman-teman laboratorium Virologi Tumbuhan: mbak Pipit, Rita Kurnia Apindiati serta teman-teman Laboratorium Mikrobiologi, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen) yang membantu selama proses penelitian sampai penyusunan tugas akhir.
Bogor, Juni 2012
Veronica Tiurida
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI........................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL ...............................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
xi
PENDAHULUAN ..............................................................................................
1
Latar Belakang ........................................................................................... Tujuan Penelitian ....................................................................................... Manfaat Penelitian .....................................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................
3
Tanaman Padi ............................................................................................ Taksonomi Tanaman Padi............................................................................. Morfologi Tanaman Padi .............................................................................. Hama Dan Penyakit Tanaman Padi ............................................................. Virus Kerdil Hampa................................................................................... Taksonomi Virus Kerdil Hampa .................................................................. Partikel Virus Kerdil Hampa ........................................................................ Gejala Virus Kerdil Hampa .......................................................................... Penularan Virus Kerdil Hampa .................................................................... Wereng Batang Coklat............................................................................... Taksonomi Wereng Batang Coklat .............................................................. Morfologi Dan Biologi Wereng Batang Coklat ......................................... Biotipe Wereng Batang Coklat .................................................................... Kitosan dan Penggunaannya untuk Pengendalian Penyakit Tanaman ...... Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) ................
3
BAHAN DAN METODE ..................................................................................
3 3 5
6 6 7 7 8
10 10 11 12
13 15 17
Waktu dan Tempat Penelitian.................................................................... 17 Bahan dan Alat .......................................................................................... 17 Metode Penelitian ...................................................................................... 17 Penyediaan Tanaman Sumber Inokulum .................................................... 17 Deteksi Virus Kerdil Hampa pada Tanaman Sumber Inokulum dengan Metode RT-PCR ........................................................................................................... 18 Penanaman Tanaman Uji .............................................................................. 19 Perbanyakan Wereng Batang Coklat ........................................................... 19 Periode Makan Akuisisi ................................................................................ 20 Inokulasi .......................................................................................................... 20 Pembuatan Larutan Kitosan .......................................................................... 20 Perlakuan ......................................................................................................... 20 Parameter Pengamatan .............................................................................. 21 Pertumbuhan Tanaman .................................................................................. 22 Analisis Data.............................................................................................. 22
viii HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... Hasil ........................................................................................................... Gejala ............................................................................................................... Pengaruh Perlakuan Kitosan terhadap Kejadian Penyakit dan Keparahan Penyakit ........................................................................................................... Pengaruh Perlakuan Kitosan terhadap Pertumbuhan Tanaman ............... Deteksi RRSV dengan RT-PCR................................................................... Pembahasan Umum ...................................................................................
23
23 23 23 24 28
28
KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................................
32
Kesimpulan ................................................................................................ Saran ..........................................................................................................
32 32
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
33
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Pengaruh perlakuan kitosan terhadap kejadian dan keparahan penyakit kerdil hampa pada 35 HSI.....................................................
25
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Gejala serangan RRSV pada sumber inokulum ………………………… 2. Tinggi tanaman akibat perlakuan kitosan pada 0-7 HSI, 7-14 HSI, 14-21 HSI, 21-28 HSI, dan 28-35 HSI ………………………………………… 3. Pengaruh kitosan terhadap tinggi tanaman…………………...………… 4. Perbandingan tinggi tanaman antara perlakuan ch sb 1 dan kontrol negatif……………………………………...……………………………
23
25 26
26
5. Jumlah anakan pada 7 HSI, 14 HSI, 21 HSI, 28 HSI, dan 35 HSI.…..…
27
6. Pengaruh kitosan terhadap jumlah anakan...……………………………
27
7. Hasil amplifikasi DNA genom virus dengan metode RT-PCR menggunakan pasangan primer spesifik untuk RRSV...……..…………
28
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Pengaruh kitosan terhadap tinggi tanaman …………………………
37
2
Pengaruh kitosan terhadap jumlah anakan tanaman ………………..
38
3.
Pengaruh kitosan terhadap persentase kejadian penyakit (KP) …….
39
4.
Pengaruh kitosan terhadap persentase keparahan penyakit (P) …….
40
5.
Hasil analisis ragam pertumbuhan tinggi tanaman pada 0 HSI …….
41
6.
Hasil analisis ragam pertumbuhan tinggi tanaman pada 7 HSI …….
41
7.
Hasil analisis ragam pertumbuhan tinggi tanaman pada 14 HSI …...
42
8.
Hasil analisis ragam pertumbuhan tinggi tanaman pada 21 HSI …...
42
9.
Hasil analisis ragam pertumbuhan tinggi tanaman pada 28 HSI …...
43
10. Hasil analisis ragam pertumbuhan tinggi tanaman pada 35 HSI …...
43
11. Hasil analisis ragam jumlah anakan pada 0 HSI …………………
44
12. Hasil analisis ragam jumlah anakan pada 7 HSI …………………
44
13. Hasil analisis ragam jumlah anakan pada 14 HSI ………………..
45
14. Hasil analisis ragam jumlah anakan pada 21 HSI ………………..
45
15. Hasil analisis ragam jumlah anakan pada 28 HSI …………………
46
16. Hasil analisis ragam jumlah anakan pada 35 HSI ………………..
46
17. Data hasil pengamatan ……………………………………………...
47
18. Hasil analisis ragam kejadian penyakit pada 0 HSI ………………... 47 19. Hasil analisis ragam kejadian penyakit pada 7 HSI ………………... 47 20. Hasil analisis ragam kejadian penyakit pada 14 HSI ………………. 48 21. Hasl analisis ragam kejadian penyakit pada 21 HSI ……………….. 48 22. Hasil analisis ragam kejadian penyakit pada 28 HSI ………………. 49 23. Hasil analisis ragam kejadian penyakit pada 35 HSI ………………. 50 24. Hasil analisis ragam keparahan penyakit pada 0 HSI …………….... 50 25. Hasil analisis ragam keparahan penyakit pada 7 HSI ……………… 50 26. Hasil analisis ragam keparahan penyakit pada 14 HSI …………….. 51 27. Hasil analisis ragam keparahan penyakit pada 21 HSI …………….. 51 28. Hasil analisis ragam keparahan penyakit pada 28 HSI …………….. 52 29. Hasil analisis ragam keparahan penyakit pada 35 HSI …………….. 52
PENDAHULUAN
Latar Belakang Rice ragged stunt virus (RRSV) dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat, tepi daun tidak rata, berlekuk-lekuk atau sobek-sobek dan terjadi pembengkakan tulang daun atau pembentukan puru yang berwarna kuning pucat sampai coklat serta terjadi pembelitan daun, malai tidak dapat keluar dengan sempurna, dan gabah hampa. RRSV pertama kali dilaporkan terdapat di Indonesia pada tahun 1976 yaitu di daerah Pandeglang, Jawa Barat (Hibino et al. 1977). Setahun kemudian virus ini dilaporkan terdapat di Cotabato Utara, Mindanau, Filipina. Saat ini, penyakit kerdil hampa dilaporkan telah menyebar di negaranegara Asia termasuk China, India, Jepang, Malaysia, Filipina, Sri Langka, Taiwan, dan Thailand (Ling et al. 1978). Sampai saat ini belum ada laporan tentang varietas padi yang tahan terhadap RRSV. Varietas yang tahan terhadap wereng coklat belum tentu tahan terhadap serangan RRSV yang ditularkan oleh hama ini. Menurut Hibino et al. (1977), pada tingkat serangan yang tinggi, penyakit kerdil hampa dapat menyebabkan penurunan produksi sampai 50%. Di India kerugian hasil mencapai 80-100%. Hasil survei di Indonesia menunjukkan apabila tanaman terinfeksi 34-76% maka berkurangnya hasil panen mencapai 53-82%. Beberapa upaya pengendalian dapat dilakukan seperti misalnya melalui pengendalian vektor virus dan penggunaan bahan-bahan antiviral. Pengendalian vektor virus dapat dilakukan dengan kultur teknis yaitu membersihkan gulma serta penggunaan insektisida. Upaya pengendalian virus tanaman yang umum dilakukan adalah dengan menggunakan varietas yang tahan yang contohnya adalah varietas Ciherang. Varietas ini banyak ditanam petani di daerah sentra pertanaman padi Bogor, Karawang dan Subang. Varietas ini sebenarnya merupakan varietas tahan terhadap wereng batang coklat (WBC) biotipe 2 dan 3 tetapi baru-baru ini dilaporkan sudah mulai terkena serangan WBC biotipe 3 yang cukup berat (Ratna et al. 2008). Salah satu teknik baru yang digunakan dalam pengendalian penyakit adalah dengan menginduksi ketahanan sistemik yang terdapat pada tanaman dengan
2 bahan tertentu. Ketahanan sistemik dari suatu tanaman dapat diaktifkan dengan menginduksi gen-gen ketahanan yang terdapat di dalam tanaman. Salah satu agen yang dapat menginduksi ketahanan tanaman adalah ekstrak tumbuhan (Hersanti 2003) dan kitosan (Vasyukova et al. 2001). Kitosan merupakan produk turunan dari kitin yang banyak terdapat pada serangga, krustasea, dan fungi, yang merupakan biopolimer alami kedua terbanyak di alam setelah selulosa (Sanford & Hutchings 1987). Diperkirakan lebih dari 109-1010 ton kitosan diproduksi di alam tiap tahun. Indonesia sebagai negara maritim sangat berpotensi menghasilkan kitin dan kitosan. Data statistik menunjukkan bahwa negara yang memiliki industri pengolahan kerang menghasilkan sekitar 56 200 ton limbah/tahun. Limbah tersebut dapat diproses dan diubah menjadi kitosan. Oligomer kitosan adalah produk yang termahal, yaitu senilai $ 60 000/ton (Sanford 1989). Kitosan memiliki banyak kegunaan di antaranya sebagai bahan pengawet alami dan bahan kosmetik. Selain itu kitosan juga digunakan untuk menekan perkembangan penyakit tanaman yang disebabkan oleh cendawan, bakteri, dan virus. Wang et al. (2007) melaporkan bahwa pelapisan kitosan dengan konsentrasi 2% pada buah mangga mampu menghambat perkembangan penyakit antraknosa. Selain itu kitosan dilaporkan juga mampu untuk menekan infeksi Alfalfa mosaic virus (AMV) (Pospieszny et al. 1991) dan infeksi Potato spindle tuber viroid (PSTVd) (Pospieszny 1993). Hingga saat ini belum ada penelitian tentang efektifitas kitosan terhadap RRSV pada tanaman padi. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas kitosan untuk mengendalikan penyakit kerdil hampa pada tanaman padi.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dasar bagi pemanfaatan kitosan untuk menekan penyakit kerdil hampa pada tanaman padi.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Padi Taksonomi Tanaman Padi Padi (Oryza sativa L.) termasuk dalam famili Gramineae, sub famili Oryzoideae, suku Oryzeae dan genus Oryza. Padi termasuk golongan tanaman semusim yaitu tanaman yang biasanya berumur pendek, kurang dari satu tahun dan hanya satu kali berproduksi, setelah berproduksi akan mati atau dimatikan. Tanaman padi dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu kelompok Indica (padi bulu) yang umumnya terdapat di negara-negara tropik seperti Indonesia dan Japonica (padi cere) yang umumnya terdapat di negara-negara bukan tropik atau sub tropik seperti Jepang (Nasoetion 2001). Padi merupakan tanaman pangan berumpun. Tanaman pertanian kuno ini berasal dari dua benua, yaitu Asia dan Afrika Barat tropis dan subtropis. Bukti sejarah menunjukkan bahwa penanaman padi di Zhejiang (Cina) sudah dimulai pada 3.000 tahun SM. Fosil butir padi dan gabah ditemukan di Hastinapur Uttar Pradesh India sekitar 100-800 SM. Tanaman padi di Indonesia berasal dari perantau-perantau Malaysia yang membawa tanaman padi sekitar tahun 1.500 SM (Siregar 1980). Morfologi Tanaman Padi Bagian-bagian tanaman padi secara garis besar terdiri atas dua, yaitu bagian vegetatif (akar, batang, anakan, daun) dan bagian generatif (malai, buah padi). Akar tanaman padi dapat dibedakan menjadi akar tunggang, akar serabut/adventif, akar rambut, dan akar tajuk. Akar tunggang ialah akar yang tumbuh pada saat benih berkecambah. Akar serabut/adventif ialah akar yang tumbuh setelah 5-6 hari terbentuk akar tunggang. Akar rambut ialah bagian akar yang keluar dari akar tunggang dan akar serabut. Akar tajuk ialah akar yang tumbuh dari ruas batang terendah. Bagian akar yang telah dewasa/lebih tua dan telah mengalami perkembangan berwarna coklat, sedangkan akar yang masih baru/masih muda berwarna putih (Aak 2001).
4 Tanaman padi mempunyai batang yang beruas-ruas. Panjang batang tergantung jenisnya. Pada ruas batang bawah pendek, semakin ke atas mempunyai ruas batang yang makin panjang. Ruas pertama dari atas merupakan ruas terpanjang. Ruas batang padi berongga dan bulat. Di antara ruas batang padi terdapat buku, tiap-tiap buku duduk sehelai daun. Batang baru muncul pada ketiak daun. Batang baru dapat disebut batang sekunder apabila batang tersebut terletak pada buku terbawah (Aak 2001). Tanaman padi membentuk rumpun dengan anakannya, biasanya anakan akan tumbuh pada dasar batang. Pembentukan anakan terjadi secara bersusun yaitu anakan pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Setiap tanaman padi mempunyai jumlah anakan yang berbeda-beda sehingga berpengaruh terhadap umur penanaman selanjutnya. Anakan tumbuh pada umur 10 hari setelah penanaman di sawah (Aak 2001). Ciri khas daun padi adalah sisik dan telinga daun. Hal ini menyebabkan daun padi dapat dibedakan dari jenis rumput yang lain. Bagian-bagian dari daun padi yaitu helaian daun yang bentuknya memanjang terletak pada batang padi, pelepah daun merupakan bagian daun yang menyelubungi batang, lidah daun yang terletak pada perbatasan antara helaian daun dan upih (Aak 2001). Sekumpulan bunga padi (spikelet) yang keluar dari buku paling atas dinamakan malai. Sumbu utama malai adalah ruas buku yang terakhir pada batang. Panjang malai tergantung pada varietas padi yang ditanam dan cara bercocok tanam. Jumlah cabang pada setiap malai berkisar antara 15-20 buah, setiap malai bisa mencapai 100-120 bunga (Aak 2001). Bunga padi merupakan bunga telanjang yang mempunyai satu bakal buah, enam buah benang sari, serta dua tangkai putik. Bakal buah mengandung air (cairan) untuk kebutuhan lodikula, warnanya keunguan/ungu tua. Benang sari terdari dari tangkai sari, kepala sari, dan kandung serbuk. Tangkai sari padi tipis dan pendek, sedangkan pada kepala sari terletak kandung serbuk yang berisi tepung sari (pollen). Lodikula merupakan daun mahkota yang telah berubah bentuk yang berfungsi mengatur pembukaan bunga (Aak 2001). Gabah atau buah padi adalah ovary yang telah masak, bersatu dengan lemma (sekam mahkota terbawah pada bunga tanaman padi) dan palea (sekam
5 mahkota yang letaknya di atas lemma pada bunga tanaman padi). Buah ini merupakan hasil penyerbukan dan pembuahan yang mempunyai bagian-bagian antara embrio yang terletak pada bagian lemma, endosperm yang merupakan bagian dari buah atau biji padi yang besar dan bekatul merupakan bagian buah padi yang berwarna coklat (Aak 2001). Pertumbuhan tanaman padi terdiri dari fase vegetatif, fase reproduktif, dan masa pemasakan. Lama fase vegetatif adalah 60-70 hari, terdiri dari fase bibit berkecambah (kurang dari 21 hari) dan fase pertunasan sampai tercapai jumlah maksimum. Lama fase reproduksi adalah 36 hari, terdiri dari fase primordia (60-70 hari setelah tabur benih, fase pemanjangan ruas dan bunting (kurang lebih 75 hari sesudah tabur benih), fase heading diikuti keluarnya malai dari pelepah daun benderadan fase berbunga kira-kira 100 hari sesudah telur. Fase pemasakan berlangsung 25-35 hari meliputi fase masak susu, fase masak tepung, fase masak gabah, dan fase lewat masak yaitu setelah gabah masak ditandai dengan mengeringnya daun dari bawah secara berangsur-angsur yang akhirnya kering dan mati. Pemupukan dilakukan untuk memenuhi nutrisi yang diperlukan tanaman padi. Pupuk yang digunakan sebaiknya kombinasi antara pupuk organik dan pupuk buatan. Pupuk organik yang diberikan berupa pupuk kandang atau pupuk hijau dengan dosis 2-5 ton/ha. Pupuk organik diberikan saat pembajakan/cangkul pertama. Selain pupuk organik diberikan juga pupuk kimia dengan dosis 200 kg urea/ha, 75-100kg SP-36/ha, dan 75-100 kg KCl/ha. Urea diberikan 2-3 kali yaitu 14 HST, 30 HST, dan menjelang primordia bunga. Pupuk SP-36 dan KCl diberikan saat tanam atau 14 HST. Jika digunakan pupuk majemuk dengan perbandingan 15-15-15, dosisnya 300 kg/ha. Pupuk majemuk diberikan setengah dosis saat tanaman berumur 14 HST, sisanya menjelang primordial bunga (50 HST). Hama Dan Penyakit Tanaman Padi Hama yang umum menyerang tanaman padi antara lain: penggerek batang padi (Scirpophaga incertulas (penggerek batang kuning), S. innotata (penggerek batang putih), Chilo suppressalis (penggerek batang bergaris)), wereng batang
6 coklat (Nilaparvata lugens Stal), wereng hijau (Nephottetix virescens), kepinding tanah (kepinding tanah Malaya Scotinophara coarctata dan kepinding tanah Jepang Scotinophara lurida), walang sangit (Leptocorisa oratorius Fabricius), tikus (Rattus argentiventer) , ganjur (Orseolia oryzae Wood-Mason), hama putih palsu (Cnaphalocrocis medinalis), hama putih (Nymphula depunctalis), ulat grayak (Spodoptera mauritia acronyctoides), ulat tanduk hijau (Melanitis leda ismene Cramer), ulat jengkal palsu hijau (Naranga aenescens), orong-orong (Gryllotalpa orientalis Burmeister), lalat bibit (Hydrellia philippina Ferino), keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck), burung (Lonchura spp., Ploceus sp.). Beberapa patogen yang menginfeksi tanaman padi antara lain: hawar daun bakteri
(Xanthomonas
campestris
pv.
oryzae),
bakteri
daun
bergaris
(Xanthomonas campestris pv. oryzicola), blast (Pyricularia grisea), hawar pelepah daun (Rhizoctonia solani Kuhn), busuk batang (Magnaporthe salvinii, Helminthosporium sigmoideum var. irregulare), busuk pelepah (Sarocladium oryzae (Sawada) Gums dan Hawksworth), bercak coklat (Helmintosporium oryzae), bercak Cercospora (Cercospora oryzae), hawar daun jingga, tungro (virus tungro), kerdil rumput, dan kerdil hampa yang ditularkan oleh wereng batang coklat.
Virus Kerdil Hampa Taksonomi Virus Kerdil Hampa Virus kerdil hampa adalah virus yang relatif baru ditemukan, termasuk kelompok Reovirus (Shikata et al 1978 dalam Ling 1978) dan dimasukkan dalam sub kelompok Acanthovirus (Ling et al. 1978). Nama lain virus ini adalah Infectious gall virus. Virus kerdil hampa (Rice Ragged Stunt Virus) disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh wereng coklat (Nilaparvata lugens). Umumnya virus kerdil hampa menyerang tanaman padi usia 30 hari dan serangan tidak terjadi secara cepat. Kejadian penyakit kerdil hampa tersebut baru muncul jika wereng sudah berada di lahan sejak lama.
7 Penyakit kerdil hampa merupakan penyakit yang sudah lama dikenal pada tanaman padi sawah dan pertama kali ditemukan di Pandeglang, Jawa Barat tahun 1976. Kemudian pada tahun 1977 ditemukan di beberapa daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi, dan Lombok (Hibino et al. 1977). Virus ini sebelumnya mungkin telah terdapat di Indonesia tetapi gejalanya tertutup gejala kerdil rumput. Kenyataannya, di daerah-daerah yang banyak ditanam kultivar padi yang resisten terhadap kerdil rumput maka kerdil hampa akan banyak terlihat. Hasil survei di Indonesia menunjukkan bila tanarnan terinfeksi 34-76%, maka berkurangnya hasil panen mencapai 53-82%. Partikel Virus Kerdil Hampa Virus kerdil hampa mempunyai partikel yang berbentuk polihedral dengan ukuran antara diameter 50-70 nm. Partikel ini banyak terdapat pada sel-sel floem dan sel-sel puru (Shikata et al. 1978). Hibino et al. (1977) melaporkan bahwa penyakit kerdil hampa disebabkan oleh virus yang berbentuk bulat dengan ukuran 60 nm. Sifat fisik virus kerdil hampa adalah sebagai berikut: ketahanan suhu 4◦C adalah 7 hari, batas pengenceran 10-5 (daun) dan 10-6 (serangga), panas inaktivasi 60◦C dan stabil pada pH 6-9. Gejala Virus Kerdil Hampa Gejala penyakit yang ditimbulkan virus kerdil hampa berbeda pada setiap tahap perkembangan tanaman. Gejala muncul atau terlihat lebih kurang 3-4 minggu setelah inokulasi virus pada tanaman. Gejala pada tanaman muncul 10-36 hari setelah inokulasi. Sedangkan Hibino et al. (1977) melaporkan bahwa kirakira 2 minggu setelah inokulasi gejala pertama muncul. Tanaman terlihat kerdil dan daun berwarna hijau tua. Satu bulan setelah inokulasi, terlihat daun memilin dan robek-robek pada tepinya. Kira-kira dua bulan setelah inokulasi, gejala tidak jelas pada daun-daun yang baru. Tanaman menjadi lebih kerdil dan daun-daun lebih pendek. Kekerdilan merupakan gejala yang sangat jelas pada awal pertumbuhan dan jelas terlihat dari kejauhan (Ling et al. 1978). Pada awal pertumbuhan, daun-daun yang robek belum dominan tapi tepi daun jelas tidak beraturan. Kerusakan dapat dilihat sebelum helai daun membuka. Bagian daun yang robek biasanya menjadi
8 klorotik kemudian keputih-putihan dan bagian daun yang putih menjadi kuning atau kuning kecoklatan. Daun-daun yang robek lebih banyak terdapat pada helai daun apabila dibandingkan dengan pada pelepah daun. Pada helai daun, bagian yang robek lebih banyak terdapat pada satu sisi (Ling et al. 1978). Daun yang memilin terjadi pada ujung helai daun. Pertama-tama terlihat satu putaran, kemudian putarannya menjadi bayak sampai berbentuk seperti spiral. Keadaan ini disebabkan oleh pertumbuhan daun yang tidak seimbang pada kedua sisi daun yang terinfeksi (Ling et al. 1978). Gejala lain yang tampak dari penyakit kerdil hampa adalah pembengkakan tulang daun. Pembengkakan ini disebabkan oleh perkembangan sel-sel floem dalam berkas jaringan. Bagian yang membengkak (puru) ini lebih banyak terdapat pada pelepah daun apabila dibandingkan dengan pada helai daun. Ukuran panjang puru adalah 0.1 mm sampai 1 mm. Warna puru bervariasi, kira-kira 82% kuning muda atau putih, 2% coklat muda, 6% coklat tua dan 10% kombinasi. Warna puru tidak mengalami perubahan seperti daun mati. Pada helai daun bagian atas dan pelepah daun bagian bawah banyak ditemukan puru (Ling et al. 1978). Pada tahap lanjut dari pertumbuhan tanaman, daun bendera tanaman sakit menjadi lebih pendek, seringkali terlihat terpilin dan robek-robek pada tepi daunnya. Malai juga menjadi lebih pendek dan keluarnya malai tidak sempurna (Hibino et al., 1977; Ling et al. 1978). Selain itu pembungaan juga terlambat (Ghosh & John 1980). Pada tanaman sakit seringkali dihasilkan percabangan dari buku-buku batang bagian bawah. Percabangan semakin bertambah dengan bertambahnya umur tanaman. Akibat percabangan, malai yang dihasilkan seringkali lebih kecil dan lebih banyak jumlahnya jika dibandingkan dengan tanaman yang tidak bercabang. Pada tanaman sakit hanya sedikit ditemukan bulir yang berisi atau bulir pada umumnya kosong (Ling et al. 1978). Tanaman sakit dapat bertahan hidup lama sesudah pembungaan, yaitu lebih dari 6 bulan di rumah kaca IRRI (Ling 1977). Penularan Virus Kerdil Hampa Virus kerdil hampa tidak dapat ditularkan secara mekanik, melalui biji atau melalui organisme dalam tanah tetapi hanya dapat ditularkan oleh wereng batang
9 coklat. Wereng batang coklat (Nilparvata lugens Stal) merupakan salah satu serangga hama penting pada tanaman padi karena selain dapat merusak secara langsung, juga dapat sebagai penular penyakit virus kerdil rumput dan kerdil hampa (Hibino et al. 1977). Serangga tersebut dapat menularkan penyakit virus kerdil hampa sampai akhir masa hidupnya, tetapi tidak dapat menularkan kepada keturunannya lewat telur (Ling et al. 1978). Ketiga biotipe wereng batang coklat dapat menularkan virus ini dengan efektivitas yang sama. Hubungan virus dengan vektornya adalah secara persisten. Nimfa dan imago dapat menularkan virus (Ling et al. 1978). Menurut Ghosh dan John (1980), nimfa lebih efisien daripada imago dalam menularkan virus kerdil hampa. Persentase penularan nimfa instar pertama 19.3%, instar kedua 25.8%, instar ketiga 29%, instar keempat 27.6% dan instar kelima 21.4%. Periode makan akuisisi terpendek lebih kurang delapan jam dan periode latennya rata-rata lebih kurang sembilan hari (2-33 hari). Periode makan inokulasi minimum lebih kurang satu jam dan bila periode makan inokulasinya diperpanjang sampai satu hari maka tanaman yang terinfeksi akan bertambah banyak. Periode retensinya berkisar antara 3-35 hari (rata-rata 15 hari) atau 1335% dari lama hidupnya. Penularan virus adalah transtadial tetapi tidak transovarial. Periode inkubasinya dalam tanaman 2-3 minggu, sedangkan inkubasi virus dalam tubuh serangga berkisar 5-18 hari. Hibino et al. (1977) melaporkan bahwa tanaman yang terserang kerdil hampa menunjukkan suatu penyembuhan sementara, karena gejala dapat hilang tetapi akan timbul kembali. Persentase tertinggi serangga yang infektif dapat menularkan virus adalah pada hari kesembilan setelah makan akuisisi. Jumlah hari untuk menularkan virus berkisar dari 3-100% atau rata-rata 41% dari sejak serangga mulai efektif sampai kematiannya. Makin tua serangga tersebut makin menurun kemampuan menularkan virus (Ling et al. 1978). Kemampuan menularkan virus kerdil hampa oleh wereng batang coklat biotipe 1, 2, dan 3 tidak berbeda nyata (Ling & Aguiero 1977). Menurut Ling et al. (1977), wereng batang coklat yang aktif menularkan virus kerdil hampa berkisar dari 14-76%. Antara serangga betina dan jantan, persentase yang aktif sebagai penular hampir sama (46% dan 42%), begitu juga
10 antara bentuk-bentuk bersayap pendek dan panjang (42% dan 48%). Di Indonesia menurut Hibino et al. (1977) rata-rata 11% populasi wereng batang coklat aktif menularkan virus kerdil hampa, sedangkan di Jepang menurut Shikata et al. (1978) rata-rata 28%. Lamanya makan akuisisi mempengaruhi banyaknya serangga yang aktif sebagai penular yaitu dengan makan akuisisi yang lamanya berkisar dari 5-26.7%. Jumlah bibit yang terinfeksi dipengaruhi oleh lamanya makan inokulasi serangga dan banyaknya serangga tersebut. Terdapat kecendrungan bahwa makin lama makan inokulasi dan makin banyak jumlah serangga vektor wereng batang coklat makin tinggi persentase bibit padi yang terinfeksi (Hibino et al. 1977). Mekanisme pertahanan inang terhadap patogen terdiri dari pertahanan struktural melalui hambatan fisik yang menekan patogen saat masuk ke dalam tanaman dan pertahanan biokimia sel serta jaringan tanaman dengan memproduksi substansi yang bersifat toksin terhadap patogen (Agrios 2005). Matthews (1991) juga melaporkan bahwa mekanisme reaksi ketahanan tanaman terhadap infeksi virus dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu tanaman resisten, tanaman toleran, dan tanaman rentan. Tanaman resisten menunjukkan reaksi hipersensitif dengan mematikan sel-sel terlokalisasi pada tempat yang diinfeksi tanpa penyebaran virus lanjut sehingga pertumbuhan patogen dapat dibatasi. Pada tanaman toleran, virus dapat bereplikasi dan menyebar ke dalam tanaman tetapi pengaruhnya terhadap hasil hanya sedikit. Pada tanaman rentan, virus bereplikasi dan menyebar ke dalam tanaman yang mengakibatkan pengaruh terhadap hasil yang signifikan bahkan kematian pada tanaman.
Wereng Batang Coklat Taksonomi Wereng Batang Coklat Wereng batang coklat termasuk dalam ordo Hemiptera, subordo Auchenorrhyncha,
infraordo
Fulgoromorpha,
family
Delphacidae,
genus
Nilaparvata, dan spesies Nilaparvata lugens. Anggota genus Nilaparvata mempunyai ciri berupa antena pendek dengan terminal arista, tarsi terbagi tiga ruas, pada ujung tibia tungkai belakang terdapat taji yang besar dan pada pertemuan sayap depan terdapat titik hitam atau ptero-stigma. Wereng coklat
11 menusukkan stiletnya ke dalam ikatan pembuluh vaskular tanaman inang dan menghisap cairan tanaman dalam jaringan floem. Wereng batang coklat tersebar di wilayah Palaeartik (Cina, Jepang, dan Korea), wilayah Oriental (Bangladesh, Kamboja, India, Malaysia, Serawak, Taiwan, Muangthai, Vietnam, Indonesia, dan Filipina), serta wilayah Australian (Australia, Kepulauan Fiji, Kaledonia, Mikronesia, Kepulauan Solomon, dan Papua Nugini) (Baehaki 1993). Morfologi Dan Biologi Wereng Batang Coklat Morfologi suatu serangga dapat dilihat dari bentuk tubuh, ukuran, dan warna dari masing-masing fase perkembangan. N. lugens membutuhkan waktu sekitar 50 hari untuk menyelesaikan siklus hidupnya yang diawali dengan peletakan telur oleh imago betina (Rismunandar 1993). N. lugens menghasilkan telur berbentuk lonjong dan diletakkan berkelompok seperti sisiran pisang di dalam jaringan pelepah daun yang menempel pada batang. Warna telur transparan keputihan dengan panjang 1.3 mm. Kemudian telur akan menetas 7–10 hari setelah diletakkan dan berkembang menjadi nimfa (Harahap & Tjahjono 1997). Nimfa terdiri dari 5 fase perkembangan (instar) yang berlangsung selama 12-15 hari. Setiap instar dapat dibedakan dari ukuran tubuh dan bakal sayap yang semakin membesar. Nimfa instar pertama berwarna putih keabu-abuan dengan panjang 0,6 mm, sedangkan instar kelima berwarna coklat dengan panjang 2.0 mm. Perubahan warna tubuh dari putih keabu-abuan lalu menjadi coklat terjadi secara bertahap sesuai dengan perkembangan instar. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan periode nimfa yaitu 12.82 hari (Harahap & Tjahjono 1997). Mochida et al. (1977) mengungkapkan bahwa siklus hidup wereng batang coklat relatif pendek, tergantung pada temperatur dan ketersediaan makanan. Pada suhu 25°C siklus hidupnya adalah 28-32 hari dan pada suhu 28°C siklus hidupnya 23-25 hari. Lama siklus hidup wereng batang coklat dari telur sampai menjadi dewasa diperlukan waktu antara 21-24 hari, dengan rata-rata 22.5 hari. Setelah imago warna tubuhnya coklat kekuningan sampai coklat tua. Panjang tubuh imago jantan 2-3 mm dan imago betina 3-4 mm. Imago betina mempunyai abdomen yang lebih gemuk daripada imago jantan. Seekor imago betina dapat berkopulasi lebih dari sekali selama hidupnya, sedangkan yang jantan dapat mengawini paling banyak 9 ekor betina selama 24 jam (Mochida et al.
12 1977). Pada fase imago N. lugens siap berkopulasi dan meletakkan telur. Seekor imago betina dalam masa hidupnya selama 10-24 hari mampu meletakkan telur sebanyak 300-350 butir (Harahap & Tjahjono 1997). N. lugens dewasa mempunyai 2 bentuk sayap yaitu makroptera (bentuk yang bersayap panjang) dan brakhiptera (bentuk yag bersayap pendek). Makroptera yaitu wereng batang coklat yang mempunyai sayap depan dan sayap belakang secara normal, sedangkan brakhiptera yaitu wereng batang coklat yang mempunyai sayap depan dan sayap belakang yang tumbuh tidak normal (Mochida 1977). Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kedua bentuk sayap ini diantaranya adalah kepadatan populasi, ketersediaan inang, dan umur tanaman (Baehaki 1993). Biotipe Wereng Batang Coklat Ketahanan varietas padi terhadap wereng batang coklat dianggap sama karena adanya penolakan rasa oleh serangga. Pada varietas tahan, wereng coklat dapat menghisap cairan sel tanaman dari pembuluh tapis dengan stiletnya tetapi tidak terus menerus. Hal ini diduga karena adanya bahan kimia yang menghalangi penghisapan itu. Hambatan ini mengakibatkan angka kematian nimfa tinggi dan kesuburan wereng coklat menurun. Populasi wereng coklat sebelum varietas tahan digunakan disebut biotipe satu. Varietas tahan seperti IR 26, yang tahan terhadap wereng coklat biotipe satu, ternyata di Sumatera Utara dalam waktu lima musim sudah tidak tahan lagi, karena populasi wereng coklat sudah menjadi biotipe dua. Pada waktu ini di Indonesia pada umumnya populasi wereng coklat terdiri dari biotipe dua, dan di Sumatera Utara serta di tempat lain ada yang sudah menjadi biotipe tiga. Secara morfologi, wereng coklat biotipe baru ini sama dengan wereng coklat biotipe sebelumnya. Perbedaannya hanya secara fisiologi dan biokimia, karena wereng coklat biotipe baru ini dapat makan dan berkembang pada varietas yang dulunya tahan. Menurut Ling et al. (1978), semua biotipe wereng coklat dapat menularkan virus kerdil hampa. Tidak terdapat perbedaan dalam hal persentase serangga yang aktif, periode laten, jumlah tanaman yang terinfeksi per serangga dan periode retensi.
13
Kitosan dan Penggunaannya untuk Pengendalian Penyakit Tanaman Kitosan adalah poli –(2-amino-2-deoksi-β-(1-4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C6H11NO4)n yang dapat diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitosan juga dijumpai secara alamiah di beberapa organisme. Proses deasetilasi kitosan dapat dilakukan dengan cara kimiawi maupun enzimatik. Proses kimiawi menggunakan basa, misalnya NaOH dan dapat menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi, yaitu mencapai 8593% (Tsigos et al. 2000). Namun, proses kimiawi menghasilkan kitosan dengan bobot molekul yang beragam dan deasetilasinya juga sangat acak (Martinou et al. 1995; Tsigos et al. 2000), sehingga sifat fisik dan kimia kitosan tidak seragam. Selain itu, proses kimiawi juga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, sulit dikendalikan, dan melibatkan banyak reaksi samping yang dapat menurunkan rendemen (Chang et al. 1997; Tokuyasu et al. 1997). Proses enzimatik dapat menutupi kekurangan proses kimiawi. Pada dasarnya deasetilasi secara enzimatik bersifat selektif dan tidak merusak struktur rantai kitosan sehingga menghasilkan kitosan dengan karakteristik yang lebih seragam agar dapat memperluas bidang aplikasinya (Tokuyasu et al. 1997). Kitosan merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan dengan rotasi spesifik [α]D11 -3 hingga -10° (pada konsentrasi asam asetat 2%). Kitosan larut pada kebanyakan larutan asam organik pada pH sekitar 4.0, tetapi tidak larut pada pH lebih besar dari 6.5, juga tidak larut dalam pelarut air, alkohol, dan aseton. Dalam asam mineral pekat seperti HCl dan HNO3, kitosan larut pada konsentrasi 0.15-1.1%, tetapi tidak larut pada konsentrasi 10%. Kitosan tidak larut dalam H2SO4 pada berbagai konsentrasi, sedangkan di dalam H3PO4 tidak larut pada konsentrasi 1% sementara pada konsentrasi 0.1% sedikit larut. Perlu diketahui bahwa kelarutan kitosan dipengaruhi oleh bobot molekul, derajat deasetilasi, dan rotasi spesifiknya yang beragam bergantung pada sumber dan metode isolasi serta transformasinya. Kitosan sendiri adalah kitin yang telah dihilangkan gugus asetilnya dan hanya menyisakan gugus amina bebas yang menjadikannya bersifat polikationik dan merupakan polimer rantai linier glukosamin. Berat molekul kitosan sekitar
14 1.036 x 105 dalton tergatung proses pembuatannya. Kitosan mudah mengalami degradasi secara biologi dan tidak beracun (Kurt et al. 1991). Kitosan merupakan polimer yang diperoleh dari kulit terluar dari krustacea seperti kepiting dan udang (Sanford & Hutchings 1987; Sanford, 1989). Kitosan mempunyai muatan positif dengan banyak polimer yang secara fisiologis dan biologis unik dan digunakan dalam berbagai bidang industri seperti tat alias (lotion dan krim wajah), makanan (pengawet, antioksidan, antimikroba), bioteknologi, farmakologi, dan obat-obatan serta pertanian (fungisida, elisitor) (Ren et al. 2001). Penelitian menggunakan kitosan dalam pengendalian berbagai jenis patogen seperti cendawan, bakteri, dan virus saat ini telah banyak dilakukan. Kitosan bukan hanya efektif dalam menghentikan pertumbuhan patogen, tetapi juga merubah morfologi, struktur, dan disorganisasi molekul dari sel jamur (Benhamou 1992). Pertumbuhan miselium dapat dihentikan atau menjadi lambat ketika media pertumbuhan jamur menggunakan kitosan. Peningkatan konsentrasi kitosan mengakibatkan
pertumbuhan
Alternaria
alternate,
Botrytis
cinerea,
Colletrotichum gloeosporioides, dan Rhizopus stolonifer, menurun (El Ghaouth et al. 1992). Hal yang sama dilaporkan pada Sclerotinia sclerotiorum saat konsentrasi kitosan ditingkatkan dari 1% sampai 4% (Cheah et al. 1997). Penelitian lain menunjukkan penurunan pertumbuhan linier dari Rhizoctonia fragariae dengan konsentrasi kitosan yang meningkat secara bertahap 0.5-6.0 mg/ml (Wade & Lamondia 1994). Pertumbuhan miselium Fusarium solani f.sp. phaseoli dan F. solani f.sp pisi dapat dihambat dengan kitosan pada konsentrasi rendah, masing-masing 12 mg/ml dan 18 mg/ml (Hadwiger & Beckman 1980; Kendra & Hadwiger 1984). Kitosan mempunyai sifat anticendawan dan lebih baik dari kitin. Jika kitosan ditambahkan pada tanah, maka akan menstimulir pertumbuhan mikroba yang dapat mengurai cendawan. Selain itu kitosan dapat merangsang akumulasi fitoaleksin jaringan tanaman inang, kitinase, β glukanase dan lipoksigenase yang berguna untuk menghambat infeksi cendawan pada jaringan tanaman (Vasyukova et al. 2001).
15 Kitosan juga dapat memberikan pengaruh hambatan pada penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus dan viroid dengan meningkatkan respon hipersensitif inang terhadap infeksi virus (Pospieszny et al. 1991). Sebagai contoh, pada daun kacang, infeksi lokal yang disebabkan oleh Alfalfa mosaic virus (AMV) dapat ditekan dengan penyemprotan kitosan 0.1% atau ditambahkan pada inokulum (Pospieszny et al. 1991). Hal tersebut juga dilaporkan pada daun tomat yang terinfeksi Potato spindle tuber viroid (PSTVd) dan diberi perlakuan dengan kitosan pada konsentrasi yang sama (Pospieszny 1997).
Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) Teknik RT-PCR ini sangat berguna untuk mendeteksi ekspresi gen, amplifikasi RNA sebelum dilakukan kloning dan analisis, maupun diagnosis agensia infektif maupun penyakit genetik (Yuwono 2006). Teknik
RT-PCR
merupakan teknik yang digunakan untuk mendeteksi virus yang memiliki genom RNA seperti sebagian besar virus tumbuhan sehingga diperlukan modifikasi teknik PCR karena molekul sasarannya adalah RNA. RT-PCR merupakan teknik PCR yang dapat menggandakan RNA menjadi DNA. Teknik RT-PCR terdiri atas dua reaksi
yaitu reaksi transkripsi balik (reverse transcription) yang
menggunakan genom RNA virus sebagai cetakan dan menghasilkan cDNA primer (untai tunggal) serta reaksi penggandaan PCR. Primer yang digunakan sesuai dengan virus yang akan dideteksi (Akin 2006). PCR merupakan teknik yang relatif sederhana dan merupakan teknik penggandaan (amplifikasi) dengan menggunakan DNA primer yang memiliki runutan nukleotida khas untuk molekul asam nukleat yang akan dideteksi. Primer merupakan molekul oligonukleotida yang disintesis in vitro dan runutan nukleotidanya disesuaikan dengan genom virus yang akan dideteksi. PCR hanya akan menggandakan asam nukleat yang sesuai dengan primer. RT-PCR menggunakan sepasang primer yang berkomplemen dengan sikuen yang jelas dari masing-masing dua untai cDNA. Primer tersebut kemudian diperpanjang dengan bantuan enzim DNA polymerase dan akan menghasilkan sebuah untai ganda pada setiap siklusnya dan seterusnya mengikuti amplifikasi logaritmik. RT-PCR meliputi tiga tahap utama. Tahap pertama adalah reverse transcription (RT) atau transkripsi balik, RNA ditranskrip balik menjadi cDNA
16 menggunakan enzim reverse transcriptase dan primer. Tahap ini sangat penting dalam kaitannya dengan proses PCR untuk amplifikasi DNA dengan bantuan DNA polymerase sebab DNA polymerase hanya dapat bekerja pada template yang berupa DNA. Tahapan RT dapat dilakukan dalam tabung yang sama dengan PCR (one-step PCR) atau pada tabung yang terpisah (two-step PCR) menggunakan suhu berkisar 40°C sampai 50°C, tergantung pada karakteristik reverse transcriptase yang digunakan.
Tahap berikutnya adalah denaturasi
dsDNA pada 95°C, pada tahap ini dua untai DNA akan terpisah dan primer dapat mengikat pada untai tersebut jika temperaturnya diturunkan kemudian yang selanjutnya akan dimulai rantai reaksi baru. Kemudian suhu diturunkan hingga mencapai suhu annealing yang bervariasi tergantung primer yang digunakan. Temperatur annealing dipilih untuk PCR tergantung langsung pada panjang dan komposisi dari primer tersebut. Hal ini merupakan hasil dari perbedaan ikatan hidrokarbon antara A-T (2 ikatan) dan G-C (3 ikatan). Temperatur annealing biasanya berkisar 5 derajat di bawah Tm (melting temperature) terendah dari pasangan primer yang digunakan. Tahap akhir adalah amplifikasi PCR yang merupakan proses dilakukannya perpanjangan DNA menggunakan primer yang memerlukan Taq DNA polymerase yang termostabil, biasanya pada suhu 72°C, yang merupakan suhu optimal untuk aktivitas enzim polymerase. Lamanya masa inkubasi tiap temperatur, perubahan suhu, dan jumlah siklus dikontrol secara terprogram menggunakan programmable thermal cycler. Analisa produk PCR tergantung pada kebutuhan PCR (Addy 2009). Indikasi adanya virus dengan teknik ini diamati dengan elektroforesis menggunakan gel Agarosa (Akin 2006).
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai November 2011 hingga April 2012, bertempat di Laboratorium Mikologi Tumbuhan dan Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Rumah Kaca University Farm, Institut Pertanian Bogor, serta Laboratorium Mikrobiologi, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen), Bogor.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini berupa inokulum bergejala RRSV asal Situ Gede, Bogor, tanaman padi sehat varietas Ciherang, wereng batang coklat (WBC) Nilaparvata lugens biotipe 2, kitosan Di-Maak konsentrasi 2% (produksi PT. Saha Bhojana Paripurna, Jakarta, Under License of chitosan Thailand), air, tanah, pupuk NPK, satu set Qiagen RNeasy Plant Mini Kits, komponen RT PCR, komponen PCR, dan primer RRSV. Alat yang digunakan adalah baki plastik berukuran 33 cm x 25 cm, ember plastik besar diameter 25 cm dan tinggi 17.5 cm, aspirator plastik, kurungan plastik untuk ember besar berdiameter 20 cm dan tinggi 70 cm yang pada bagian permukaan atasnya ditutup kain kasa, gelas ukur, label nama, tabung reaksi, phmeter, hand sprayer, pipet mikro, pistil, mortar, mesin PCR, dan kamera digital.
Metode Penelitian Penyediaan Tanaman Sumber Inokulum Sumber inokulum yang memiliki gejala kerdil, daun berwarna hijau tua, daun memilin, robek-robek pada tepinya, diambil dari Subang; Sawah Baru, Dramaga, Bogor; dan Situ Gede, Cikarawang, Bogor. Tanaman padi yang bergejala tersebut diambil dan ditanam kembali di ember agar tanaman tetap segar sampai akan digunakan untuk inokulasi dan deteksi RRSV.
18 Deteksi Virus Kerdil Hampa pada Tanaman Sumber Inokulum dengan Metode RT-PCR Jaringan daun padi sumber inokulum sebanyak 0.1 g didinginkan dengan nitrogen cair, kemudian dilumatkan dengan mortar sampai menjadi tepung halus dan RNA total diekstraksi menggunakan RNeasy Plant Mini Kits (Qiagen). RNA hasil ekstraksi disintesis menjadi cDNA dengan menggunakan teknik RT. Reaksi RT dibuat dengan total volume 10 µl yang mengandung 2 µl RNA total, 2 µl buffer RT 10X, 0.35 µl 50 mM DTT (dithiothreitol), 0.5 µl 10 mM dNTP (deoksiribonukleotida triphosphat), 0.35 µl M-MuLV Rev, 0.35 µl RNase inhibitor, 0.75 µl oligo (dT), dan 3.7 µl H2O. Reaksi RT dilakukan dalam sebuah Automated Thermal cycler (Gene Amp PCR System 9700; PE Applied Biosystem, USA) yang diprogram untuk satu siklus pada suhu 25ºC selama 5 menit, 42ºC selama 60 menit, dan 70ºC selama 15 menit. Siapan cDNA hasil RT digunakan sebagai template dalam reaksi PCR. Reaktan PCR dengan total volume 20 µl terdiri atas 1 µl masing-masing primer spesifik RRSV-R (5‟-TCG CAT TAA AGA ATT GCC CTC-3‟) dan RRSV-F (5‟-GTA ACT GGT TCT GCC CCG CC-3'), 0.5 µl Taq DNA polymerase, 4 µl buffer PCR 10x + Mg
2+
, 0.5 µl 10 mM dNTP, 11 µl ddH2O, dan 2 µl cDNA.
PCR dilakukan pada Automated Thermal cycler (Gene Amp PCR System 9700; PE Applied Biosystem, USA). Proses ini didahului dengan denaturasi awal pada 94ºC selama 5 menit, dilanjutkan dengan 35 siklus yang terdiri dari denaturasi pada 94ºC selama 30 detik, penempelan primer (annealing) pada 55ºC selama 1 menit, dan pemanjangan (extension) pada 72ºC selama 1 menit, dan diikuti pemanjangan akhir pada 72ºC selama 7 menit. Amplikon hasil PCR dielektroforesis dengan 1% agarose gel yang mengandung ethidium bromida (EtBr) dan TAE bufer dengan voltase 90 V selama 30 menit. Hasil elektroforesis divisualisasikan dengan Transluminator UV dan didokumentasikan dengan kamera digital. Deteksi ini dilakukan pada awal sebelum perlakuan supaya dipastikan sumber inokulum yang akan digunakan adalah benar-benar tanaman yang terinfeksi RRSV. Deteksi dilakukan kembali pada akhir pengamatan setelah perlakuan supaya hasil perlakuan dapat dibandingkan dengan sumber inokulum. Deteksi ini dilakukan selain untuk tanaman penelitian di rumah kaca, juga untuk
19 tanaman-tanaman padi dari daerah lain yang diduga terinfeksi RRSV sebagai pembanding dengan hasil perlakuan. Penanaman Tanaman Uji Varietas padi yang digunakan adalah varietas Ciherang yang disemai di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB dengan cara benih direndam terlebih dahulu selama semalam serta tanah dilumpurkan di dalam baki selama satu hari. Setelah itu, benih yang telah direndam tersebut langsung disebar atau disemai pada baki plastik berukuran 33 cm x 25 cm yang diisi dengan tanah yang telah dilumpurkan sebelumnya. Setelah berumur dua minggu bibit padi dipindahkan ke dalam ember berisi tanah dan diisi air secukupnya. Penanaman dilakukan di Rumah Kaca University Farm, IPB. Setiap ember ditanami satu bibit tanaman padi. Pada penelitian ini dilakukan sebanyak enam perlakuan dengan ulangan sebanyak tiga kali, tiap ulangan ada tiga unit tanaman sehingga digunakan 54 ember tanaman perlakuan. Perbanyakan Wereng Batang Coklat Wereng batang coklat (WBC) biotipe 2 (imago) diambil dari rumah kaca BALITPA, Sub BB Padi, Kebun Percobaan Muara, Bogor. WBC tersebut dibiakkan pada tanaman padi varietas Ciherang. Benih disemai di dalam baki plastik berukuran 33 cm x 25 cm yang sebelumnya telah diberi tanah basah secukupnya, kemudian dipelihara setiap hari. Setelah benih tumbuh, menjadi bibit, dan berumur tiga minggu, 12 bibit tanaman padi dipindahkan ke enam ember yang berisi tanah. Masing-masing ember diisi dua bibit tanaman padi. Tanaman padi tersebut dipelihara dan digunakan untuk inang perbanyakan WBC. WBC diambil dengan aspirator plastik dan dipindahkan ke tanaman padi yang telah berumur 21 hari setelah tanam (HST). Padi yang telah diinfestasi WBC tersebut dikurung dengan plastik berbentuk silinder diameter 20 cm dan tinggi 70 cm yang pada bagian permukaan atasnya ditutup kain kasa. Setelah lima hari infestasi, imago WBC dikeluarkan dengan harapan telur yang diletakkan dapat menghasilkan nimfa instar satu yang berumur relatif sama. Nimfa dipelihara sampai menjadi imago. Setiap dua sampai tiga hari sekali sumber pakan diganti sesuai kebutuhan untuk keberlangsungan hidup WBC.
20
Periode Makan Akuisisi Nimfa instar tiga WBC dipelihara pada tanaman padi asal Situ Gede, Bogor, yang bergejala RRSV (sumber inokulum). Tanaman kemudian ditutup dengan sungkup plastik yang berukuran tinggi 70 cm dan diameter 20 cm. Setelah sembilan hari, serangga dipindahkan ke tanaman padi varietas Ciherang yang sehat. Inokulasi Proses inokulasi dilakukan setelah sembilan hari masa akuisisi. WBC dipindahkan dengan aspirator plastik ke sejumlah tanaman padi sehat kemudian diberi kurungan kasa. Inokulasi dilakukan pada tanaman padi umur 21 HST. WBC dibunuh setelah 24 jam dengan harapan tidak ada lagi WBC yang hidup atau berkembangbiak pada tanaman-tanaman inokulasi yang dapat menyebabkan tanaman terkena serangan WBC kemudian mati duluan sebelum muncul gejala RRSV yang diharapkan. Pembuatan Larutan Kitosan Konsentrasi kitosan yang digunakan pada penelitian ini sebesar 0.1% dan 1% (w/v). Kitosan yang digunakan adalah kitosan dengan nama dagang Di-Maak dengan konsentrasi 2%. Konsentrasi diturunkan hingga 0.1% dan 1% dengan cara diencerkan menggunakan akuades sampai setiap konsentrasi untuk satu perlakuan didapatkan sebanyak 180 ml. Kitosan yang sudah diencerkan dengan konsentrasi tersebut disemprotkan pada tanaman padi satu hari sebelum dan sesudah diinokulasi RRSV. pH diatur menjadi 6.0 dengan penambahan NaOH. Perlakuan Adapun perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Perlakuan kitosan 0.1% sebelum inokulasi (ch sb 0.1) 2. Perlakuan kitosan 0.1% setelah inokulasi (ch st 0.1) 3. Perlakuan kitosan 1% sebelum inokulasi (ch sb 1) 4. Perlakuan kitosan 1% setelah inokulasi (ch st 1) 5. Perlakuan non kitosan tetapi diinokulasi (K+) 6. Kontrol sehat (K-)
21
Parameter Pengamatan Adapun parameter pengamatan yang diamati adalah sebagai berikut: Perkembangan Penyakit Parameter yang digunakan untuk mengetahui perkembangan penyakit yaitu kejadian penyakit dan keparahan penyakit. a. Kejadian penyakit Persentase kejadian penyakit dihitung dengan rumus Sinaga (2006): n KP =
x 100% N
Keterangan : KP
= kejadian penyakit (% tanaman bergejala)
n
= tanaman bergejala
N
= jumlah tanaman yang diamati
b. Keparahan penyakit Perhitungan keparahan penyakit ditentukan dengan menggunakan skala yang telah ditentukan sebelum dilakukan pengamatan. Pengamatan dilakukan pada saat tanaman berumur 0 MSI sampai 5 MSI. Adapun skala yang digunakan seperti yang telah dibuat oleh Komisi Nasional Plasma Nutfah, Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian (2003) sebagai berikut: 0-Tidak ada gejala 3-Terjadi reduksi tinggi tanaman 0-10%, tidak ada daun kasar/menggulung, pembengkakan tulang daun kecil dan sangat sedikit, biasanya pada leher daun 5-Terjadi reduksi tinggi tanaman 0-10%, 1-2 helai daun menunjukkan gejala kasar/menggulung, sedikit pembengkakan tulang daun pada bagian leher daun 7-Terjadi reduksi tinggi tanaman 11-30%, 3-4 helai daun menunjukkan gejala kasar/menggulung, lebih banyak terjadi pembengkakan tulang daun pada bagian leher daun dan beberapa pada helaian dan pelepah daun
22 9-Terjadi reduksi tinggi tanaman hingga >30%, sebagian besar helaian daun menunjukkan gejala kasar/menggulung, terjadi pembengkakan tulang daun umumnya pada bagian helaian dan pelepah daun Persentase keparahan penyakit dihitung dengan rumus Sinaga (2006): P=
Keterangan:
P
= keparahan penyakit
n
= jumlah tanaman yang diamati pada kategori serangan
v
= nilai kategori serangan
Z
= nilai skala kategori serangan tertinggi
N
= jumlah seluruh tanaman yang diamati
Pertumbuhan Tanaman Pertumbuhan tanaman yang diamati adalah tinggi tanaman dan jumlah anakan. Penghitungan tinggi dan jumlah anakan tanaman dilakukan pada 0 sampai 5 minggu setelah inokulasi (MSI) (0, 1, 2, 3, 4, 5 MSI = 0, 7, 14, 21, 28, 35 HSI). Analisis Data Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL). Data penelitian ditabulasi dengan program Microsoft Office Excel 2007 dan Statistical Analysis System (SAS) for windows versi 9.1.3, lalu dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5% untuk pengujian di rumah kaca.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Gejala Gejala merupakan ekspresi dari tanaman akibat adanya gangguan fungsi fisiologis baik disebabkan oleh patogen maupun kekurangan unsur hara. Tanaman yang diberi perlakuan kitosan memiliki gejala kerusakan ringan yang meliputi beberapa daun menggulung, agak mengeriting, dan dapat juga dikatakan bahwa gejala dari tanaman yang diberi perlakuan kitosan adalah gejala yang tidak jelas atau tidak khas karena pengaruh dari kitosan itu sendiri. Sedangkan gejala tanaman kontrol positif menunjukkan gejala yang lebih parah berupa kerusakan sedang sampai berat yang meliputi sebagian besar helaian daun menunjukkan gejala kasar atau menggulung, pembengkakan tulang daun, jumlah anakan sedikit, dan kerdil. a
b
Gambar 1 Gejala serangan RRSV pada sumber inokulum meliputi (a) kerdil, (b) daun bendera membentuk spiral, dan pada hasil perlakuan meliputi (c) daun menggulung, (d) daun mengeriting, (e) daun kasar, (f) seperti gerigitan
24
Pengaruh Perlakuan Kitosan terhadap Kejadian Penyakit dan Keparahan Penyakit Kejadian penyakit. Pada tanaman perlakuan yang menunjukkan kejadian penyakit terendah adalah pada konsentrasi 1% sebelum inokulasi (ch sb 1), sedangkan perlakuan lain menunjukkan kejadian penyakit yang tidak berbeda nyata dengan kontrol positif tanpa perlakuan kitosan yaitu 100% (Tabel 1). Keparahan penyakit. Secara umum perlakuan kitosan menurunkan keparahan penyakit. Perlakuan penyemprotan kitosan 1% sebelum inokulasi mempunyai keparahan penyakit yang lebih rendah dan berbeda nyata tetapi perlakuan lain tidak berbeda nyata dengan kontrol positif (Tabel 2). Dengan demikian perlakuan penyemprotan kitosan 1% sebelum inokulasi mampu menghambat keparahan penyakit kerdil hampa sebesar 40.74%. Pengaruh Perlakuan Kitosan terhadap Pertumbuhan Tanaman Tinggi tanaman. Tinggi tanaman merupakan salah satu aspek dalam perkembangan vegetatif. Tinggi merupakan pertumbuhan dari tanaman secara vertikal dan setiap harinya mengalami perubahan. Secara umum, perlakuan kitosan berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dibandingkan dengan kontrol positif tanpa perlakuan. Perlakuan kitosan menunjukkan pengaruh terhadap tinggi tanaman mulai terlihat pada 7 HSI. Walaupun tanaman terinfeksi RRSV, namun pertumbuhannya hampir sama baiknya dengan tanaman sehat (Gambar 2 dan 3, Lampiran 1) dan pertumbuhan yang paling mendekati tanaman sehat yaitu tanaman perlakuan ch sb 1 dengan konsentrsi kitosan 1% yang disemprotkan sebelum inokulasi (Gambar 4, Lampiran 1). Jumlah anakan. Jumlah anakan yang dihasilkan oleh tanaman perlakuan lebih banyak dibandingkan dengan tanaman kontrol negatif yang dapat dilihat mulai dari 7 HSI (Gambar 5, Lampiran 2). Hal ini menunjukkan konsentrasi kitosan dapat mempengaruhi pertumbuhan jumlah anakan tanaman. Perlakuan yang jumlah anakannya paling banyak dan melampaui jumlah anakan kontrol negatif adalah ch sb 1 atau perlakuan kitosan 0.1% sebelum inokulasi (Gambar 6, Lampiran 2).
25
Tabel 1 Pengaruh perlakuan kitosan terhadap kejadian dan keparahan penyakit kerdil hampa pada 35 HSI Perlakuan K (-) K (+) Ch st 1 Ch sb 1 Ch st 0.1 Ch sb 0.1
Kejadian Penyakit 0% (0/9) 100% (9/9) 100% (9/9) 44.44% (4/9) 100% (9/9) 100% (9/9)
Keparahan Penyakit 0.00 ± 0.00 a 72.83 ± 8.55 c 67.9 ± 4.28 c 32.1 ± 28.04 b 62.96 ± 7.41 c 70.37 ± 0 c
1
K (-): Kontrol negatif (tanpa inokulasi tanpa kitosan), K (+): Kontrol positif (inokulasi tanpa kitosan), ch st 1: Perlakuan setelah inokulasi dengan kitosan 1%, ch sb 1: Perlakuan sebelum inokulasi dengan kitosan 1%, ch st 0.1: Perlakuan setelah inokulasi dengan kitosan 0.1%, ch sb 0.1: Perlakuan sebelum inokulasi dengan kitosan 0.1%. 2 Angka yang diikuti huruf mutu berbeda menunjukkan hasil berbeda nyata (uji selang berganda Duncan α=0.05) 3 HSI : Hari setelah inokulasi
K (-): kontrol negatif/tanaman sehat K (+): kotrol positif/diinokulasi virus non kitosan Ch st 1: kitosan 1% setelah inokulasi Ch sb 1: kitosan 1% sebelum inokulasi Ch st 0.1: kitosan 0.1% setelah inokulasi Ch sb 0.1: kitosan 0.1% sebelum inokulasi
Gambar 2 Tinggi tanaman akibat perlakuan kitosan pada 0-7 HSI, 4-14 HSI, 1421 HSI, 21-28 HSI, dan 28-35 HSI
26
Gambar 3
Pengaruh kitosan terhadap tinggi tanaman. Dari kiri: K (-) atau tanaman sehat, K (+) atau tanaman diinokulasi virus non kitosan, ch st 1 atau kitosan 1% setelah inokulasi, ch sb 1 atau kitosan 1% sebelum inokulasi, ch st 0.1 atau kitosan 0.1% setelah inokulasi, dan ch sb 0.1 atau kitosan 0.1% sebelum inokulasi
Gambar 4 Perlakuan kitosan 1% sebelum inokulasi (kanan) menunjukkan tinggi yang hampir sama dengan K (+) atau tanaman sehat (kiri)
27
K (-): kontrol negatif/tanaman sehat K (+): kotrol positif/diinokulasi virus non kitosan Ch st 1: kitosan 1% setelah inokulasi Ch sb 1: kitosan 1% sebelum inokulasi Ch st 0.1: kitosan 0.1% setelah inokulasi Ch sb 0.1: kitosan 0.1% sebelum inokulasi
Gambar 5 Jumlah anakan akibat perlakuan kitosan pada 35 HSI
Gambar 6 Pengaruh kitosan terhadap jumlah anakan. Tanaman padi yang diberi perlakuan kitosan 0.1% sebelum inokulasi (kanan) mempunyai jumlah anakan lebih banyak dibandingkan tanaman yang tidak diberi kitosan (kiri)
28 Deteksi RRSV dengan RT-PCR Setelah akhir perlakuan, tanaman dideteksi dengan menggunakan metode RT-PCR. Pita DNA tanaman yang diinokulasi menunjukkan positif mengandung RRSV. Ukuran pita DNA tanaman hasil inokulasi sama dengan ukuran pita DNA sumber inokulum yaitu 610 bp (Hoang 2010). Pita DNA tanaman hasil inokulasi lebih redup dibandingkan pita DNA sumber inokulum. Hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh kitosan (Gambar 7).
M
1
2
3
4
5
6
500 bp
7
8
9
610 bp
250 bp
Gambar 7
Hasil amplifikasi DNA genom virus dengan metode RT-PCR menggunakan pasangan primer spesifik untuk RRSV. Lajur M: marker 1kb DNA ladder (Promega, USA); lajur 1: tanaman padi sumber inokulum; lajur 2: tanaman hasil perlakuan kitosan; lajur 3: tanaman padi kontrol negatif; lajur 4-8: tanaman padi bergejala RRSV asal Subang (4, 7, dan 8 yang positif); lajur 9: tanaman padi bergejala RRSV asal Sawah Baru
Pembahasan Umum Perlakuan penyemprotan pada penelitian ini diawali dengan proses inokulasi. Keberhasilan inokulasi merupakan kunci utama untuk melaksanakan tahap selanjutnya pada proses perlakuan. RRSV tidak dapat ditularkan secara mekanik, melalui biji atau melalui organisme dalam tanah tetapi hanya dapat ditularkan oleh wereng batang coklat (Nilparvata lugens Stal) (Hibino et al. 1977). Oleh sebab itu, proses inokulasi pada penelitian ini menggunakan wereng batang coklat (WBC) yang penggunaannya dikhususkan nimfa instar ketiga
29 karena menurut Ghosh dan John (1980), nimfa lebih efisien daripada imago dalam menularkan RRSV. Persentase penularan nimfa instar pertama 19.3%, instar kedua 25.8%, instar ketiga 29%, instar keempat 27.6% dan instar kelima 21.4%. Selain ketepatan dari vektor, inokulasi juga didukung dari sumber inokulum. Maka sebelum penularan, sumber inokulum dideteksi terlebih dahulu dengan metode RT-PCR. Setelah hasil deteksi menunjukkan positif RRSV maka tahap penularan dapat dilaksanakan. Gejala hasil inokulasi dapat terlihat jelas setelah pengamatan selama 35 HSI. Keberhasilan inokulasi juga dapat dilihat dari hasil deteksi RT-PCR sumber inokulum dan tanaman perlakuan (Gambar 7). Terbukti bahwa ukuran pita DNA tanaman perlakuan penyemprotan kitosan sama dengan ukuran pita DNA sumber inokulum yaitu 610 bp (Hoang 2010). Namun di antara keduanya yang membedakan adalah terangnya pita DNA. Hal ini dapat dilihat bahwa pita DNA hasil perlakuan penyemprotan kitosan lebih redup dibandingkan dengan terang pita DNA sumber inokulum. Perlakuan kitosan 1% sebelum inokulasi (ch sb 1) mempunyai nilai kejadian penyakit paling rendah (44.44%). Sedangkan perlakuan lainnya mempunyai kejadian penyakit 100% seperti kontrol positif sehingga kejadian penyakit pada perlakuan kitosan 1% sebelum inokulasi berbeda nyata dengan kejadian penyakit perlakuan lainnya. Hal sama terjadi pada keparahan penyakit dimana perlakuan kitosan 1% sebelum inokulasi memiliki keparahan penyakit terendah (32.09%) yang berbeda nyata, baik dengan perlakuan kitosan lain maupun dengan kontrol positif (Tabel 1, Lampiran 17). Gejala tanaman yang diberi perlakuan kitosan adalah kerusakan ringan yang meliputi beberapa daun menggulung, agak mengeriting, dan dapat juga dikatakan bahwa gejala dari tanaman yang diberi perlakuan kitosan adalah gejala yang tidak jelas atau tidak khas karena pengaruh dari kitosan itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan kitosan 1% sebelum inokulasi paling efektif terhadap kejadian dan keparahan penyakit kerdil hampa pada tanaman padi. Selain berpengaruh dan berbeda nyata pada kejadian dan keparahan penyakit, kitosan 1% sebelum inokulasi juga berpengaruh terhadap tinggi tanaman. Perlakuan ini mempunyai rata-rata tinggi tanaman (86.14 cm) yang
30 berbeda nyata dengan kontrol positif (45.99 cm) (Gambar 3, Lampiran 1). Perlakuan ini juga memiliki rata-rata tinggi tanaman yang paling mendekati ratarata tinggi tanaman sehat (Gambar 4). Sedangkan untuk jumlah anakan, kitosan 0.1% sebelum inokulasi mempunyai rata-rata jumlah anakan yang paling banyak dan berbeda nyata dengan kontrol positif (Gambar 5, Lampiran 2). Kemampuan kitosan dalam merangsang pertumbuhan disebabkan oleh sifat kitosan yang mampu
meningkatkan
respon
terhadap
hormon
giberelin
dan
auksin
(Uthairatanakij et al. 2007). Pada umumnya kitosan berpengaruh dalam menekan penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus. Kitosan dilaporkan mampu menekan infeksi Tobacco necrosis virus, Tobacco mosaic virus, Peanut stunt virus, Cucumber mosaic virus, dan Potato virus X (Pospieszny et al. 1991; Chirkov 2002; Pospieszny 1997; Struszczyk 2002). Khusus konsentrasi kitosan 1%, Haryanto (2010) dan Ramadhan (2012) mengemukakan bahwa kitosan konsentrasi 1% memberikan hasil terbaik dalam penekanannya terhadap infeksi Bean common mosaic virus pada tanaman kacang panjang. Penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan penyemprotan kitosan konsentrasi 1% sebelum inokulasi mampu menghambat kejadian dan keparahan penyakit serta meningkatkan tinggi tanaman. Waktu aplikasi penyemprotan kitosan berhubungan dengan kemampuan kitosan itu sendiri. Kitosan termasuk senyawa kimia yang mampu mengaktifkan sistem pertahanan kemudian menginduksi produksi masal konstituen pertahanan yang terdiri dari berbagai protein defensif atau yang dikenal sebagai pathogenesis-related (PR) protein yang mampu melindungi tanaman dari serangan patogen. PR protein memiliki peranan dalam pencegahan multiplikasi, penyebaran, dan lokalisasi virus pada jaringan tanaman yang diinokulasi. PR protein juga akan terakumulasi banyak pada tempat terjadinya infeksi (Naylor et al. 1998). Untuk mendukung kinerja PR protein tersebut maka waktu aplikasi penyemprotan kitosan yang terbaik adalah sebelum inokulasi agar peranan PR protein dapat bekerja maksimal. Sedangkan waktu aplikasi penyemprotan kitosan setelah inokulasi, menurut Ramadhan (2012) membuat peranan PR protein dalam kitosan kurang efektif dan dinilai terlambat
31 dalam pencegahan multiplikasi, penyebaran, dan lokalisasi virus pada jaringan tanaman yang diinokulasi.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pada konsentrasi dan waktu aplikasi kitosan yang diuji, perlakuan penyemprotan kitosan 1% sebelum inokulasi paling efektif dalam menekan kejadian dan keparahan penyakit kerdil hampa, serta meningkatkan tinggi tanaman. Hal ini ditunjukkan dengan persentase kejadian dan keparahan penyakit yang paling kecil dan berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lain serta untuk tinggi tanaman, perlakuan ini paling mendekati tinggi tanaman sehat. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai optimasi perlakuan konsentrasi kitosan untuk mendapatkan penekanan penyakit kerdil hampa yang lebih tinggi, kajian mekanisme penekanan infeksi RRSV yang disebabkan oleh perlakuan kitosan, pengujian waktu dan frekuensi aplikasi kitosan yang tepat pada tanaman, dan efektivitas aplikasi kitosan dalam percobaan lapang.
DAFTAR PUSTAKA Aak. 2001. Budidaya Tanaman Padi. Yogyakarta: Kanisius. Addy
HS. 2009. Biotechnology molecular. http://tophotnews.wordpress.com/2009/11/25/reverse-transcription-pcr-rtpcr/ [21 Januari 2012].
Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. New York: Academic Press. Akin HM. 2006. Virologi Tumbuhan. Yogyakarta: Kanisius. Ardjasa WS, Sudaryanto B. 2002. Komponen unggulan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan budidaya padi pada lahan sawah irigasi di Lampung. Makalah seminar IPTEK Padi pada Pekan Padi Nasional I di Balitpa, Sukamandi, 5 Maret 2002. 19 p. Babang Suprihatno et al. 2010. Deskripsi Varietas Padi. Subang: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Baehaki SE. 1993. Berbagai Hama Serangga Padi. Bandung: Angkasa. [BBPTP] Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2006. Deskripsi Varietas Padi. Sukamandi: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Benhamou N, Theriault G. 1992. Treatment with chitosan enhances resistence of tomato plants to the crown and root pathogen Fusarium oxysporum f. sp. radicis-lycopersici. Physiol. Mol. Plant Pathol. 41: 34-52. Chang KL, Tsai G, Lee J, Fu WR. 1997. Heterogeneous N-deacetylation of chitin in alkaline solution. Carbohydrate Res. 303: 327-332. Cheah LH, Page BBC, Sheperd R. 1997. Chitosan coating for inhibition of Sclerotina carrots. N. Z. J. Crop Hort Sci. 25: 89-90. Chirkov SN. 2002. The antiviral activity of chitosan (review). App Biochem Microbiol 38:1–8. El Ghaouth A, Arul J, Asselin A, Benhamou N. 1992. Antifungal activity of chitosan on post-harvest pathogens: induction of morphological and cytological alterations in Rhizopus stolonifer. Mycol. 96: 769-779. Ghosh, A. V. T. John. 1980. Rice ragged stunt virus disease in India. Plant Dis 64: 1032-1033. Hadwiger LA, Beckman JM. 1980. Chitosan asa component of pea-Fusarium solani interactions. Plant Physiol. 66: 205-211. Harahap IS, Tjahjono B. 1997. Pengendalian Hama Penyakit Padi. Jakarta: Swadaya. Haryanto. 2010. Pemanfaatan kitosan untuk menekan infeksi virus mosaik pada tanaman kacang panjang (Vigna unguiculata subsp. sesquipedalis) [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hersanti. 2003. Pengujian potensi ekstrak 37 spesies tumbuhan sebagai agen penginduksi ketahanan sistematik tanaman cabai merah terhadap Cucumber Mosaic Virus. J Fitopatol Indones 7(2): 54-58.
34 Hibino H, Roechan M, Sudarisman S, Tantera DM. 1977. A virus disease of rice (kerdil hampa) transmitted by brown planthopper, Nilaparvata lugens Stal, in Indonesia. Contr Centr Res Inst Agric Bogor 35: 15 p. Hoang HTT, Lam ND, Nguyan CN, Chu HH. 2010. Genetic variation of Rice ragged stunt virus isolated in Vietnam [Unpublished]. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/FR696611.1 [ 29 Maret 2012]. Kendra DF, Hadwiger LA. 1984. Characterization of the smallest chitosan oligomer that is maximally antifungal to Fusarium solani and elicits pisatin formation by Pisum sativum. Mycol. 8: 276-281. Kurt ID, Varum KM, Smidsord O. 1991. Chitosan crosslinked with Mo (VI) polyxyanions effect of chemical properties. Di dalam : Brine CJ, Sandford PA, Zikakis JP, Editor. Advances in Chitin and Chitosan. New York. Elsevier Applied Science. Ling KC, Tiongco ER, Aguiero VM. 1977. Transmission of rice ragged stunt disease. Int. Rice Res. Newsl. 2 (6) : 11-12. Ling KC, Tiongco ER, Aguiero VM. 1978. Rice ragged stunt disease in the Philippines. IRRI Res. Paper Series. 16: 25 p. Matthews REF. 1991. Plant Virology. Ed ke-3. London: Academic Press. Mochida O, Suryana T, Hendarsih, Wahyu A. 1977. Identification, biology, occurrence and appearance of the brown planthopper. Papper Presented at the Pasific. Science Association Symp. Denpasar. Indonesia. Nasoetion AH. 2001. Pengantar ke Ilmu-Ilmu Pertanian. Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa. Naylor M, Murphy AM, Berry JO, and Carr JP. 1998. Salicylic acid can induce resistance to plant virus movement. Molecular Plant Microbe Interac 11: 860-866. Pospieszny H, Chirkov S, Atabekov J. 1991. Induction of antiviral resistance in plants by chitosan. Plant Sci 79: 63-68. Pospieszny H. 1993. Effect of chitosan on infection of potato spindle tuber viroid (PSTV). 6th International Congress of Plant Pathology Montreal. Canada. Pospieszny H. 1997. Antiviroid activity of chitosan. Crop Protec 16: 105-106. Ramadhan Rizki. 2012. Evaluasi beberapa konsentrasi kitosan terhadap penekanan infeksi Bean common mosaic potyvirus pada tanaman kacang panjang (Vigna sinensis) [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ratna ES, Kartohardjono A, Hidayat P. 2008. Asimetri sayap dan adaptasi feral kepik predator Cyrtorhinus lividipennis Reuter. (Hemiptera: Miridae). [Abstrak]. Di dalam: Pemberdayaan keanekaragaman serangga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Buku panduan seminar nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI); LIPI Cibinong, 18-19 Maret 2008. Darmaga Bogor: PEI. Abstrak –O50.
35 Ren H, Endo H, Hayashi T. 2001. Antioxidative and antimutagenic activities and polyphenol content of pesticide-free and organically cultivated green vegetable using water-soluble chitosan as a soil modifier and leaf surface spray. J. Food Agric Sci. 81: 1426-1432. Sandford PA. 1989. Chitin and Chitosan. Skjak-braek, Athonsen G, Sandford TP, editor. Elsevier Applied Science, London and New York. Sandford PA, Hutchings GP. 1987. Industrial polysaccharides. Di dalam: Yalpani M, Editor. Chitosan a natural cationic biopolymer: Industrial applications. Amsterdam: Elsevier. Hlm 363-376. Sinaga MS. 2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Depok: Penebar Swadaya. Shikata ER, Senboku TE, Tiongco, Ling KC. 1978. Transmission of rice ragged stunt disease by Nilaparvata lugens in Japan. Int. Rice Res. Newsl. 3 (2) : 8. Siregar H. 1980. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Jakarta: Sastra Hudaya. Struszczyk MH. 2002. Chitin and chitosan - Part II Applications of Chitosan. Polimery 47: 396–403. Tokuyasu K, Ono H, Kameyama MO, Hayashi K, Moil Y. 1997. Deacetylation of Chitin Oligosaccharides of dp 2-4 by Chitin Deacetylase from Colletotrichum Lindemuthianum. Carbohydrate Res. 303:353-358. Tsigos I, Martinou A, Kafetzopoulos D, Bouriotis V. 2000. Chitin Deacetylases: New, Versatile Tools in Biotechnology. TIBTECH. 18:305-312. Uthairatanakij A, Silva JAT, Obsuwan K. 2007. Chitosan for improving orchid production and quality. J. Orchid Sci and Biotech 1: 1-5. Vasyukova NI, Zinov‟eva SV, ll‟inskaya LI, Perekhod EA Chalenko GI, Gerasimova NG, ll‟ina AV, Varmalov VP, Ozeretskovskaya OL. 2001. Modulation of plant resistance to desease by water-soluble chitosan. App Biochem Microbiol 37 (1): 103-109. Wade HE, Lamondia JA. 1994. Chitosan inhibits Rhizoctonia fragariae but not Strawberry black root rot. Adv. Strawberry Res. 13: 26-31. Wang J, Wang B, Jiang B, dan Zhao Y. 2007. Quality and shelf life of mango (Mangifera indica l. cv. „Tainong‟) coated by using chitosan and polyphenols. SAGE Publications. Food Sci Tech Int 13 (4): 317-322. Yuwono T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Yogyakarta: di Offset.
LAMPIRAN
37
Lampiran 1 Pengaruh kitosan terhadap tinggi tanaman Perlakuan
Tinggi tanaman (cm) 0 HSI
7 HSI
14 HSI
21 HSI
28 HSI
K (-)
81.68 ± 5.02 c
91.66 ± 11.17c
97.50 ± 14.08 c
K (+)
38.12 ± 6.18 a
38.75 ± 6.02 a
41.11 ± 8.21 a
42.97 ± 9.72 a
45.56 ± 14.39 a
45.99 ± 15.70 a
Ch st 1
54.20 ± 11.4 b
58.76 ± 14.34 b
65.52 ± 20.97 b
69.78 ± 25.57 b
74.01 ± 27.90 b
76.35 ± 30.32 b
Ch sb 1
53.53 ± 12.18 b
60.08 ± 13.56 b
67.88 ± 16.95 b
73.64 ± 16.39 b
80.17 ± 16.87 b
86.14 ± 17.28 b
Ch st 0.1
50.58 ± 12.67 b
56.83 ± 13.45 b
65.10 ± 15.56 b
69.23 ± 17.72 b
74.41 ± 22.22 b
76.63 ± 26.49 b
Ch sb 0.1
55.45 ± 14.8 b
55.45 ± 14.81 b
65.96 ± 22.31 b
69.19± 25.26 b
72.74 ± 22.16 b
75.02 ± 31.88 b
101.28 ± 15.68 c 108.53 ± 15.22 c
35 HSI 114.59 ± 16.04 c
1
K (-): Kontrol negatif (tanpa inokulasi tanpa kitosan), K (+): Kontrol positif (inokulasi tanpa kitosan), ch st 1: Perlakuan setelah inokulasi dengan kitosan 1%, ch sb 1: Perlakuan sebelum inokulasi dengan kitosan 1%, ch st 0.1: Perlakuan setelah inokulasi dengan kitosan 0.1%, ch sb 0.1: Perlakuan sebelum inokulasi dengan kitosan 0.1%. 2 Angka yang diikuti huruf mutu berbeda menunjukkan hasil berbeda nyata (uji selang berganda Duncan α=0.05) 3 HSI : Hari setelah inokulasi
37
38
Lampiran 2 Pengaruh kitosan terhadap jumlah anakan tanaman Perlakuan
Jumlah Anakan 0 HSI
7 HSI
14 HSI
21 HSI
28 HSI
35 HSI
K (-) K (+)
2.22± 1.39 b 0.33± 0.71a
2.77± 1.48 d 0.44± 0.88 b
3.44± 1.51 b 0.55± 1.13 a
2.55± 1.24 a 0.55± 1.33 a
2.99± 1.41 a 0.77± 1.64 a
3.88 ± 1.83 ab 0.77± 1.64 a
Ch st 1
0.77± 1.20 a
0.77± 1.20 c
1 ± 1.5 a
4.106± 4.17 a
4.44± 4.56 a
5.66 ± 4.39 ab
Ch sb 1
0.88 ± 0.78 a
1.1± 0.93 a
1.66± 1.32 a
4.33± 3.04 a
5.00± 3.54 a
5.66± 3.28 ab
Ch st 0.1
0.66± 1.12 a
0.77± 1.30 a
1.11± 1.76 a
3.55± 3.13 a
4.11± 3.30 a
4.77± 3.31 ab
Ch sb 0.1
0.99± 1.41 a
0.99± 1.41 a
1.44 ± 2.13 a
5.22± 8.41 a
6.11± 8.57 a
6.88± 8.31 b
Catatan kaki seperti pada Lampiran 1.
38
39 Lampiran 3 Pengaruh kitosan terhadap kejadian penyakit (KP) Perlakuan
KP 0 HSI
7 HSI
14 HSI
21 HSI
28 HSI
35 HSI
K (-)
0.00 ± 0.00
0.00 ± 0.00 a
0.00 ± 0.00 a
0± 0 a
0.00 ± 0.00 a
0.00± 0 a
K (+)
0.00 ± 0.00
55.55 ± 19.24 b
55.55 ± 19.24 b
55.55± 19.24 c
Ch st 1
0.00 ± 0.00
11.11 ± 19.24 a
33.33 ± 33.33 ab
33.33 ± 33.33 abc 100.00 ± 0.00 c 100.00 ± 0.00 c
Ch sb 1
0.00 ± 0.00
11.11 ± 19.24 a
11.11 ± 19.24 a
11.11 ± 19.24 ab 44.44± 38.49 b
Ch st 0.1
0.00 ± 0.00
11.11 ± 19.24 a
11.11 ± 19.24 a
44.44 ± 19.24 bc 100.00 ± 0.00 c 100.00 ± 0.00 c
Ch sb 0.1
0.00 ± 0.00
0.00 ± 0.00 a
33.33 ± 33.33 ab
33.33 ± 33.33 abc 77.77± 19.24 c
100.00 ± 0.00 c 100.00 ± 0.00 c 44.44± 38.48 b 100.00 ± 0.00 c
Catatan kaki seperti pada Lampiran 1.
39
40 Lampiran 4 Pengaruh kitosan terhadap keparahan penyakit (P) P Perlakuan
0 HSI
7 HSI
14 HSI
21 HSI
28 HSI
35 HSI
K (-) K (+)
0.00 ± 0.00
0.00 ± 0.00 a
0.00 ± 0 .00a
0.00± 0.00a
0.00 ± 0.00 a
0.00 ± 0.00 a
0.00 ± 0.00
18.51 ± 6.41 b
30.85 ± 10.69 b
30.85 ± 10.69 b
58.02± 8.55 c
72.83± 8.55 c
Ch st 1
0.00 ± 0.00
3.70 ± 6.41 a
13.57 ± 11.90 a
18.51 ± 18.51 b
55.55± 0 c
67.9± 4.28 c
Ch sb 1
0.00 ± 0.00
3.70 ± 6.41 a
6.17 ± 10.69 a
6.17 ± 10.68 a
27.20± 23.81 b
32.1± 28.04 b
Ch st 0.1
0.00 ± 0.00
3.70 ± 6.41 a
6.17 ± 10.69 a
14.81 ± 6.41 b
55.55± 0 c
62.96± 7.41 c
Ch sb 0.1
0.00 ± 0.00
0.00 ± 0.00 a
13.57 ± 11.90 a
18.51 ± 18.51 b
50.61± 13.01 c
70.37± 0 c
Catatan kaki seperti pada Lampiran 1.
40
41 Lampiran 5 Hasil analisis ragam pertumbuhan tinggi tanaman pada 0 HSI Sumber Jumlah Kuadrat keragaman kuadrat Db tengah F Sig. Blok 399.316 2 199.658 6.306 .017 Perlakuan 3051.819 5 610.364 19.278 .000 Error 316.614 10 31.661 Total 3767.749 17 terkoreksi a R Squared = .916 (Adjusted R Squared = .857)
Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 2 3 K (+) 3 38.1200 Ch st 0.1 3 50.5867 Ch sb 1 3 53.5300 Ch st 1 3 54.2067 Ch sb 0.1 3 55.4500 K (-) 3 81.6833 Sig. 1.000 .346 1.000 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
Lampiran 6 Hasil analisis ragam pertumbuhan tinggi tanaman pada 7 HSI Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung Pr > F keragaman bebas kuadrat tengah Blok Perlakuan Error Total terkoreksi
449.209 4457.993 272.216
2 5 10
5179.417
17
224.604 891.599 27.222
a R Squared = .947 (Adjusted R Squared = .911)
Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 2 3 K (+) 3 38.7500 Ch sb 0.1 3 55.4500 Ch st 0.1 3 56.8333 Ch st 1 3 58.7633 Ch sb 1 3 60.0867 K (-) 3 91.6633 Sig. 1.000 .334 1.000 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
8.251 32.753
.008 .000
42 Lampiran 7 Hasil analisis ragam pertumbuhan tinggi tanaman pada 14 HSI Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung Pr > F keragaman bebas kuadrat tengah Blok Perlakuan Error Total terkoreksi
742.338 4825.189 498.857
2 5 10
6066.385
17
371.169 965.038 49.886
7.440 19.345
.010 .000
a R Squared = .918 (Adjusted R Squared = .860)
Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 2 3 K (+) 3 41.1100 Ch st 0.1 3 65.1067 Ch st 1 3 65.5200 Ch sb 0.1 3 65.9633 Ch sb 1 3 67.8943 K (-) 3 97.5067 Sig. 1.000 .661 1.000 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
Lampiran 8 Hasil analisis ragam pertumbuhan tinggi tanaman pada 21 HSI Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung Pr > F keragaman bebas kuadrat tengah Blok Perlakuan Error Total terkoreksi
999.619 5152.802 623.582
2 5 10
6776.003
17
499.809 1030.560 62.358
a R Squared = .908 (Adjusted R Squared = .844)
Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 2 3 K (=) 3 42.9733 Ch sb 0.1 3 69.1967 Ch st 0.1 3 69.2300 Ch st 1 3 69.7867 Ch sb 1 3 73.6400 K (-) 101.286 3 7 Sig. 1.000 .534 1.000 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
8.015 16.526
.008 .000
43 Lampiran 9 Hasil analisis ragam pertumbuhan tinggi tanaman pada 28 HSI Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung Pr > F keragaman bebas kuadrat tengah Blok Perlakuan Error Total terkoreksi
1460.046 6057.145 805.686
2 5 10
8322.876
17
730.023 1211.429 80.569
9.061 15.036
.006 .000
a R Squared = .903 (Adjusted R Squared = .835)
Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 2 3 K (+) 3 45.5633 Ch sb 0.1 3 72.7433 Ch st 1 3 74.0100 Ch st 0.1 3 74.4100 Ch sb 1 3 80.1733 K (-) 108.530 3 0 Sig. 1.000 .366 1.000 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
Lampiran 10 Hasil analisis ragam pertumbuhan tinggi tanaman pada 35 HSI Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung Pr > F keragaman bebas kuadrat tengah Blok Perlakuan Error Total terkoreksi
1830.948 7307.058 1068.054
2 5 10
10206.060
17
915.474 1461.412 106.805
a R Squared = .895 (Adjusted R Squared = .822)
Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 2 3 K (+) 3 45.9967 Ch sb 0.1 3 75.0267 Ch st 1 3 76.3533 Ch st 0.1 3 76.6300 Ch sb 1 3 86.1433 K (-) 114.596 3 7 Sig. 1.000 .247 1.000 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
8.571 13.683
.007 .000
44
Lampiran 11 Hasil analisis ragam jumlah anakan pada 0 HSI Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung keragaman bebas kuadrat tengah Blok Perlakuan Error Total terkoreksi
5.847 6.332 3.249
2 5 10
15.427
17
2.923 1.266 .325
8.999 3.898
Pr > F .006 .032
a R Squared = .789 (Adjusted R Squared = .642)
Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 2 K (+) 3 .3300 Ch st 0.1 3 .6667 Ch st 1 3 .7733 Ch sb 1 3 .8833 Ch sb 0.1 3 .9967 K (-) 3 2.2200 Sig. .216 1.000 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
Lampiran 12 Hasil analisis ragam jumlah anakan pada 7 HSI Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung keragaman bebas kuadrat tengah Blok Perlakuan Error Total terkoreksi
81.064 21636.158 98.882
2 5 10
21816.104
17
40.532 4327.232 9.888
4.099 437.614
a R Squared = .995 (Adjusted R Squared = .992)
Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 2 3 Ch st 0.1 3 .7767 Ch sb 0.1 3 .9967 Ch sb 1 3 1.1067 K (+) 3 38.7500 Ch st 1 3 58.7633 K (-) 3 Sig. .905 1.000 1.000 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
4
91.6633 1.000
Pr > F .050 .000
45 Lampiran 13 Hasil analisis ragam jumlah anakan pada 14 HSI Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung keragaman bebas kuadrat tengah Blok Perlakuan Error Total terkoreksi
10.125 15.253 9.459
2 5 10
34.837
17
5.063 3.051 .946
5.352 3.225
Pr > F .026 .054
a R Squared = .728 (Adjusted R Squared = .538)
Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 2 K (+) 3 .5533 Ch st 1 3 1.0000 Ch st 0.1 3 1.1100 Ch sb 0.1 3 1.4433 Ch sb 1 3 1.6633 K (-) 3 3.4400 Sig. .227 1.000 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
Lampiran 14 Hasil analisis ragam jumlah anakan pada 21 HSI Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung keragaman bebas kuadrat tengah Blok Perlakuan Error Total terkoreksi
66.323 40.558 70.320
2 5 10
177.201
17
a R Squared = .603 (Adjusted R Squared = .325)
Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 K (+) 3 .5533 K (-) 3 2.5533 Ch st 0.1 3 3.5533 Ch st 1 3 4.1067 Ch sb 1 3 4.3300 Ch sb 0.1 3 5.2200 Sig. .078 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
33.161 8.112 7.032
4.716 1.154
Pr > F .036 .395
46 Lampiran 15 Hasil analisis ragam jumlah anakan pada 28 HSI Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung keragaman bebas kuadrat tengah Blok Perlakuan Error Total terkoreksi
80.011 51.065 76.891 207.967
2 5 10 17
40.005 10.213 7.689
5.203 1.328
Pr > F .028 .328
a R Squared = .630 (Adjusted R Squared = .371)
Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 K (+) 3 .7733 K (-) 3 2.9967 Ch st 0.1 3 4.1100 Ch st 1 3 4.4400 Ch sb 1 3 5.0000 Ch sb 0.1 3 6.1100 Sig. .058 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
Lampiran 16 Hasil analisis ragam jumlah anakan pada 35 HSI Sumber keragaman Derajat Jumlah Kuadrat F hitung bebas kuadrat tengah Blok Perlakuan Error Total terkoreksi
65.825 68.020 68.836 202.681
2 5 10 17
a R Squared = .660 (Adjusted R Squared = .423)
Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 2 K (+) 3 .7733 K (-) 3 3.8867 3.8867 Ch st 0.1 3 4.7767 4.7767 Ch sb 1 3 5.6633 5.6633 Ch st 1 3 5.6633 5.6633 Ch sb 0.1 3 6.8867 Sig. .062 .226 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
32.913 13.604 6.884
4.781 1.976
Pr > F .035 .168
47
Lampiran 18 Hasil analisis ragam kejadian penyakit pada 0 HSI Tidak bisa dianalisis ragam karena nilai semunya 0
Lampiran 19 Hasil analisis ragam kejadian penyakit pada 7 HSI Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung keragaman bebas kuadrat tengah Blok Perlakuan Error
864.025 6418.469 2098.346
2 5 10
Total terkoreksi
9380.840
17
a R Squared = .776 (Adjusted R Squared = .620)
432.012 1283.694 209.835
2.059 6.118
Pr > F .178 .008
48 Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 2 Ch sb 0.1 3 .0000 K (-) 3 .0000 Ch st 0.1 3 11.1100 Ch sb 1 3 11.1100 Ch st 1 3 11.1100 K (+) 3 55.5500 Sig. .406 1.000 The error term is Mean Square(Error) = 209.835. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
Lampiran 20 Hasil analisis ragam kejadian penyakit pada 14 HSI Sumber Derajat bebas Jumlah Kuadrat F hitung keragaman kuadrat tengah Blok Perlakuan Error
9689.420(a) 6233.321 3209.235
7 5 10
Total terkoreksi
12898.654
17
1384.203 1246.664 320.923
4.313 3.885
Pr > F .019 .032
a R Squared = .751 (Adjusted R Squared = .577)
Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 2 K (-) 3 .0000 Ch st 0.1 3 11.1100 Ch sb 1 3 11.1100 Ch sb 0.1 3 33.3300 33.3300 Ch st 1 3 33.3300 33.3300 K (+) 3 55.5500 Sig. .063 .177 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
Lampiran 21 Hasil analisis ragam kejadian penyakit pada 21 HSI Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung keragaman bebas kuadrat tengah Blok Perlakuan Error
3456.099 6418.469 3209.235
2 5 10
Total terkoreksi
13083.803
17
a R Squared = .755 (Adjusted R Squared = .583)
1728.049 1283.694 320.923
5.385 4.000
Pr > F .026 .030
49
Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 2 3 K (-) 3 .0000 Ch sb 1 3 11.1100 11.1100 Ch sb 0.1 3 33.3300 33.3300 33.3300 Ch st 1 3 33.3300 33.3300 33.3300 Ch st 0.1 3 44.4400 44.4400 K (+) 3 55.5500 Sig. .059 .059 .187 a.Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
Lampiran 22 hasil analisis ragam kejadian penyakit pada 28 HSI Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung keragaman bebas kuadrat tengah Blok Perlakuan Error
864.173 24938.766 2839.235
2 5 10
Total terkoreksi
28642.173
17
432.086 4987.753 283.923
a R Squared = .901 (Adjusted R Squared = .831)
Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 2 3 K (-) 3 .0000 Ch sb 1 3 44.4400 Ch sb 0.1 3 77.7733 Ch st 0.1 100.000 3 0 Ch st 1 100.000 3 0 K (+) 100.000 3 0 Sig. 1.000 1.000 .163 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
1.522 17.567
Pr > F .265 .000
50 Lampiran 23 hasil analisis ragam kejadian penyakit pada 35 HSI Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung keragaman bebas kuadrat tengah Blok Perlakuan Error
493.728 27161.284 2468.642
2 5 10
Total terkoreksi
30123.654
17
246.864 5432.257 246.864
1.000 22.005
Pr > F .402 .000
a R Squared = .918 (Adjusted R Squared = .861)
Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 2 3 K (-) 3 .0000 Ch sb 1 3 44.4400 Ch sb 0.1 100.000 3 0 Ch st 0.1 100.000 3 0 Ch st 1 100.000 3 0 K (+) 100.000 3 0 Sig. 1.000 1.000 1.000 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
Lampiran 24 hasil analisis ragam keparahan penyakit pada 0 HSI Tidak bisa dianalisis ragam karena nilai semunya 0
Lampiran 25 hasil analisis ragam keparahan penyakit pada 7 HSI Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung Pr > F keragaman bebas kuadrat tengah Blok 96.003 2 48.001 2.059 .178 Perlakuan 713.163 5 142.633 6.118 .008 Error 233.150 10 23.315 Total 1042.316 17 terkoreksi a R Squared = .776 (Adjusted R Squared = .620)
51 Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 2 Ch sb 0.1 3 .0000 K (-) 3 .0000 Ch st 0.1 3 3.7033 Ch sb 1 3 3.7033 Ch st 1 3 3.7033 K (+) 3 18.5167 Sig. .406 1.000 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
Lampiran 26 hasil analisis ragam keparahan penyakit pada 14 HSI Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung Pr > F keragaman bebas kuadrat tengah Blok 676.434 2 338.217 5.874 .021 Perlakuan 1716.209 5 343.242 5.961 .008 Error 575.794 10 57.579 Total 2968.438 17 terkoreksi a R Squared = .806 (Adjusted R Squared = .670
Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 2 K (-) 3 .0000 Ch st 0.1 3 6.1700 Ch sb 1 3 6.1700 Ch sb 0.1 3 13.5767 Ch st 1 3 13.5767 K (+) 3 30.8567 Sig. .072 1.000 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
Lampiran 27 hasil analisis ragam keparahan penyakit pada 21 HSI Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung Pr > F keragaman bebas kuadrat tengah Blok 950.753 2 475.376 4.953 .032 Perlakuan 1736.732 5 347.346 3.619 .040 Error 959.830 10 95.983 Total 3647.314 17 terkoreksi a R Squared = .737 (Adjusted R Squared = .553)
52 Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 2 K (-) 3 .0000 Ch sb 1 3 6.1700 Ch st 0.1 3 14.8133 14.8133 Ch sb 0.1 3 18.5133 18.5133 Ch st 1 3 18.5133 18.5133 K (+) 3 30.8567 Sig. .059 .091 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
Lampiran 28 hasil analisis ragam keparahan penyakit pada 28 HSI Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung Pr > F keragaman bebas kuadrat tengah Blok 413.040 2 206.520 1.713 .229 Perlakuan 8034.022 5 1606.804 13.329 .000 Error 1205.539 10 120.554 Total 9652.601 17 terkoreksi a R Squared = .875 (Adjusted R Squared = .788)
Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 2 3 K (-) 3 .0000 Ch sb 1 3 27.1567 Ch sb 0.1 3 50.6133 Ch st 0.1 3 55.5500 Ch st 1 3 55.5500 K (+) 3 58.0200 Sig. 1.000 1.000 .458 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
Lampiran 29 hasil analisis ragam keparahan penyakit pada 35 HSI Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung Pr > F keragaman bebas kuadrat tengah Blok 390.063 2 195.031 1.322 .309 Perlakuan 12716.624 5 2543.325 17.239 .000 Error 1475.331 10 147.533 Total 14582.018 17 terkoreksi a R Squared = .899 (Adjusted R Squared = .828)
53 Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan Perlakuan Subset N 1 2 3 K (-) 3 .0000 Ch sb 1 3 32.0967 Ch st 0.1 3 62.9600 Ch st 1 3 67.9000 Ch sb 0.1 3 70.3700 K (+) 3 72.8333 Sig. 1.000 1.000 .375 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.