PENGARUH KEKRISTALAN PLASTIK DAN BLOWING AGENT SUPERKRITIS TERHADAP STRUKTUR FOAM PLASTIK MIKROSELULAR Putu Teta P. A., Ismail, Anton S., Judjono S., dan Sumarno* Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember, ITS - Surabaya Telp. : +62-31-5946240, 5961317 ; Fax : +62-31-5999282; E-mail :
[email protected] Abstrak Telah dipelajari tentang pengaruh kekristalan plastik pada plastik tak berkristal (polystyrene) dan berkristal (polypropylene) terhadap struktur foam plastik mikroselular. Blowing agent yang digunakan adalah fluida karbon dioksida dan nitrogen superkritis. Proses dilakukan pada temperatur tinggi dan tekanan konstan 17 MPa dengan proses batch. Didapatkan bahwa struktur sel mikroselular pada masing-masing jenis plastik berbeda. Hasil tersebut dipengaruhi oleh kelarutan blowing agent dalam plastik, seperti yang dijelaskan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Didapatkan bahwa temperatur yang dibutuhkan untuk pembetukan sel dalam plastik non-kristal lebih rendah dibandingkan plastik berkristal. Selain jenis plastik, juga diteliti tentang pengaruh jenis blowing agent yang digunakan terhadap struktur sel yang dihasilkan pada plastik mikroselular. Pada plastik tak berkristal, densitas sel semakin menurun dan diameter sel semakin meningkat dengan naiknya temperatur hingga 433 K. Diatas temperatur tersebut terjadi sebaliknya. Sedangkan pada plastik berkristal, sel mikroselular baru terbentuk pada temperatur mulai dari 443 K. Dibawah temperatur tersebut, belum terbentuk sel yang disebabkan oleh meningkatnya kekristalan plastik dengan naiknya temperatur penjenuhan/pemenasan. 1. Pendahuluan Plastik foam (selular) merupakan material yang dibuat dengan cara mendispersikan gelembung gas ke dalam plastik padat untuk membentuk sel atau kantong. Ukuran sel yang dihasilkan pada pemrosesan plastik selular ini lebih besar dari 100 µm. Konsep untuk pembuatan plastik mikroselular, yang merupakan pengembangan dari pemrosesan selular, ditemukan oleh Suh pada awal tahun 1980. Plastik jenis ini memiliki ukuran sel yang lebih kecil dari 10 µm dan range densitas sel yang lebih luas dari 109 sel/cm3. Selain itu, plastik mikroselular memiliki ukuran sel yang seragam dan isotropik. Karena keunikan sifat tersebut, plastik mikroselular memiliki sifat mekanis yang lebih bagus dibandingkan antara lain ketahanan yang lebih tinggi, lebih keras, dan memiliki kelangsungan hidup yang lebih lama. Selain itu, plastik mikroselular juga dapat digunakan untuk insulator thermal dan insulator listrik. Pengembangan pertama proses ini dilakukan dengan menggunakan proses batch pada polimer amorphous. Sel yang dihasilkan dalam pemrosesan tersebut memiliki ukuran antara 0.2-25 µm (Martini, 1984). Struktur mikroselular dihasilkan melaui proses penjenuhan plastik dengan blowing agent, yang diikuti pengurangan tekanan secara cepat untuk menciptakan ketidakstabilan thermodinamika dalam system. Ketidakstabilan thermodinamika tersebut akan mendorong terjadinya nukleasi dan pertumbuhan sel dalam jumlah besar. Proses nukleasi sel pada plastik mikroselular tersebut ada tiga macam, yaitu : Nukleasi homogen, nukleasi heterogen dan nukleasi campuran (Colton dan Suh, 1992). Ketiga macam nukleasi tersebut dipelajari pada polystyrene (plastik tak berkristal) dengan penambahan zat additif zinc stearat. Nukleasi homogen terjadi bila hanya terdapat larutan polystyrene-zinc stearat yang bercampur homogen, sedangkan nukleasi heterogen terjadi apabila selain larutan tersebut juga terdapat partikel zinc stearat. Fluida superkritis karbon dioksida dan nitrogen telah banyak digunakan dalam sintesa dan proses plastik mikroselular (Goal & Beckman, 1993). Karena sifatnya yang unik, yaitu densitas seperti liquid dan diffusivitas seperti gas, maka fluida superkritis dapat dengan cepat terabsorpsi ke dalam plastik. Hal ini dapat menurunkan temperatur gelas (Tg) polimer padat dan viskositas polimer. Kelarutan blowing agent tersebut kedalam plastik padat telah dipelajari pada polystyrene dan polypropylene (Sato, 1999). Ditemukan bahwa kelarutan karbon dioksida lebih tinggi dibandingkan nitrogen. Selain itu juga ditemukan bahwa kelarutan kedua jenis gas dalam polypropylene lebih tinggi dibandingkan kelarutannya dalam polystyrene. Kelarutan karbon dioksida dalam polypropylene 2 kali lebih besar dibandingkan dalam polystyrene. Sedangkan untuk nitrogen, jumlah gas yang terlarut dalam polypropylene 1.7 kali lebih besar dibandingkan kelarutannya dalam polystyrene. Kelarutan blowing agent ke dalam plastik berpengaruh terhadap struktur sel yang dihasilkan (Sumarno, 2000). Pada tekanan 25 MPa, struktur sel untuk sistem polystyrene-nitrogen baru dapat tebentuk pada suhu 373 K. Sedangkan untuk sistem polystyrene-karbon dioksida, pada suhu tersebut sudah terbentuk sel yang memilikiukuran seragam. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa pada temperatur 433 K, untuk system
polystyrene-nitrogen terjadi peristiwa shattering atau hancurnya struktur foam menjadi bubuk setelah pendinginan mendadak. Selain blowing agent, struktur sel mikroselular juga dipengaruhi oleh jenis platik yang digunakan. Pada suhu yang sama, struktur sel yang terbentuk pada plastik tak berkristal tidak sama dengan struktur sel yang terbentuk pada plastik berkristal. Seperti diketahui bahwa pada saat gas masuk ke dalam polimer, sifat fisik akan berubah oleh adanya gas terlarut dalam polimer. Pada plastik berkristal, kelarutan gas akan meningkatkan derajat kekristalan polimer. Pengaruh gas terhadap kekristalan polimer dan pengaruh kekristalan polimer terhadap pemrosesan plastik mikroselular telah dipelajari terhadap system PET/CO2 (Baldwin, 1996). Nukleasi sel dalam plastik semikristal, tidak tergantung pada temperatur proses. Karena gas tidak dapat larut dalam struktur kristal, maka larutan polimer-gas selama pemrosesan plastik mikroselular adalah nonuniform (Chul B. Park, 1996). Untuk plastik berkristal, kelarutan gas kedalam polimer justru meningkatkan keteraturan polimer matriks selama pelarutan gas. Penelitian yang dilakukan untuk plastik berkristal, dilakukan pada tekanan rendah dan temperatur tinggi. Dalam penelitian ini akan dilakukan pemrosesan plastik mikroselular pada temperatur dan tekanan tinggi baik pada plastik non-kristal (polystyrene) ataupun berkristal (polypropylene). Selain pengaruh jenis plastik, juga dipelajari pengaruh blowing agent (karbon dioksida dan nitrogen) terhadap struktur sel yang dihasilkan. 2. Metodologi Penelitian Material Jenis plastik yang digunakan adalah polystyrene (Idemitsu Petrochemicals (Ichihara, Japan),HH30) dan polypropylene (Polytama Propindo, PT). Masing memiliki ketebalan 1.3 mm dan 2 mm. Blowing agent karbon dioksida dan Nitrogen digunakan tanpa perlakuan lebih lanjut yang masing-masing memiliki tekanan 7 dan 150 atm. Peralatan Penelitian Peralatan penelitian yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1. Peralatan ini terdiri dari tiga bagian utama, yaitu bagian supply gas, bagian instrumentasi dan bagian penjenuhan. Bagian pertama terbagi dalam dua nagian, yaitu; Bagian A, adalah penyuplai gas nitrogen yang terdiri dari tabung gas nitrogen, gas booster, dan kompressor. Bagian B adalah bagian penyuplai gas karbon dioksida, yaitu tabung gas karbon dioksida, filter, dan thermal pressure vessel. Instrumentasi alat terdiri dari pressure gauge, safety valve, dan indicator tekanan. Bagian terakhir yaitu bagian penjenuhan terdiri dari tangki penjenuhan dan air bath. Prosedur Penelitian Pertama, sample diletakkan dalam tangki penjenuhan, kemudian tangki dimasukkan ke dalam air bath. Tangki divakumkan dengan menggunakan pompa vakum dengan membukan valve V8. Selanjutnya, gas nitrogen dialirkan ke dalam tangki penjenuhan secara perlahan hingga tekanan yang diinginkan tercapai. Apabila tekanan gas belum mencapai tekanan yang diinginkan, valve V1 dan V2 ditutup, gas booster dan kompressor dihidupkan untuk menaikkan tekanan gas nitrogen. Valve V2 dibuka kembali untuk mengalirkan gas nitrogen ke dalam tangki penjenuhan. Setelah tekanan yang diinginkan tercapai, valve V7 dan V9 ditutup dan proses penjenuhan dimulai dengan menghidupkan air bath pada temperatur penjenuhan yang ditentukan. Apabila kita menggunakan gas karbon dioksida sebagai blowing agent, semua valve yang terhubung dengan tabung gas nitrogen dipastikan dalam keadaan tertutup. Proses peletakan sample ke dalam tangki penjenuhan adalah sama dengan diatas dan dilanjutkan dengan proses pemvakuman tangki penjehuhan untuk menghilangkan gas nitrogen dari dalam tangki pipa peralatan. Setelah proses pemvakuman selesai, semua valve ditutup kembali. Valve V3, V4 dan V5 dibuka untuk menyuplai gas karbon dioksida kedalam thermal pressure vessel yang sebelumnya telah direndam air es. Setelah satu jam, valve V4 dan V3 ditutup, dan air es dalam bak diganti degnan air mendidih hingga tekanan gas karbon dioksida naik hingga tekanandiatas tekanan kritisnya. Kenaikan tekanan karbon dioksida dibaca pada pressure gauge dengan membuka valve V6. Bila tekanan telah mencapai 10 MPa atau lebih, maka valve V7 dan V9 dibuka untuk mengalirkan karbon dioksida superkritis kedalam tangki penjenuhan dan proses penjenuhan dimulai. Proses penjenuhan, untuk masing-masing blowing agent yang digunakan, dilakukan dengan cara yang sama. Apabila waktu penjenuhan pada tekanan dan temperatur tertentu tercapai, maka dilakukan proses dekompresi (penurunan tekanan) dengan membuka valve V10 secara mendadak. Kemudian dilakukan proses pemanasan sample dalam tangki dengan menggunakan kapasitas panas dari tray dan tangki. Setelah proses pemanasan, air pendingin dialirkan ke dalam tangki, kemudian sample dikeluarkan untuk selanjutnya dianalisa dan dikarakterisasi.
Air Pendingin Thermometer Digital V1
2
V8
V7
V3 1
8
V6
V4
V2
7
Tape heater
V5
Pompa vakum
V9
4
9 V10
6
6
10 11
Bagian B
Bagian A 1. Tabung N2 2. Gas Booster 3. Compressor 4. Tabung CO2 5. Filter
6. Thermal Pressure Vessel 7. Valve Pengaman 8. Pressure Gauge 9. Digital Pressure Indikator 10. High Vessel Pressure 11. Air Bath
3. Hasil dan Diskusi Pengaruh jenis plastik dan blowing agent yang digunakan terhadap struktur sel mikroselular akan dibahas berdasarkan perubahan kelarutan, densitas sel, diameter sel dan volume ekspansi pada masing-masing system larutan polimer-gas. Perubahan tersebut diamati pada berbagai macam temperatur penjenuhan/pemanasan dan tekanan konstan 17 MPa. Kelarutan Blowing Agent Kelarutan blowing agent nitrogen dan karbon dioksida diinvestigasi pada berbagai macam temperatur penjenuhan dan tekanan tetap 17 MPa. Pengaruh temperatur penjenuhan terhadap kelarutan blowing agent dapat dilihat pada grafik 2. Dapat dilihat bahwa pengaruh temperatur terhadap kelarutan masing-masing blowing agent dalam polimer berbeda. Kelarutan karbon dioksida lebih tinggi dibandingkan kelarutan nitrogen dalam polimer. Hal ini disebabkan karena diffusivitas gas karbon dioksida lebih tinggi dari nitrogen, sehingga karbon dioksida lebih mudah melarut ke dalam polimer. Kelarutan blowing agent ke dalam polimer sangat berpengaruh terhadap struktur sel yang dihasilkan. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan untuk masing-masing sistem polimer-blowing agent dibawah ini. Sistem Polystyrene (PS) –Karbon dioksida dan Nitrogen Pengaruh temperatur penjenuhan terhadap densitas dan diameter sel rata-rata dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4. Dari Gambar tersebut terlihat bahwa diameter sel mencapai nilai maksimal dan densitas sel minimum pada 433 K. Untuk system PS-CO2 pada temperatur dibawah 433 K, terjadi penurunan densitas sel. Pada temperatur tinggi, turunnya viskositas polimer tidak hanya dipengaruhi oleh gas terlarut namun juga dipengaruhi oleh tingginya temperatur operasi. Hal ini berarti bahwa walaupun kelarutan gas karbon dioksida semakin rendah pada temperatur tinggi, namun viskositas polimer akan turun karena pengaruh temperatur. Selain itu, tingginya temperatur dan tekanan operasi meningkatkan kecepatan nukleasi dan pertumbuhan sel, sehingga terjadi kompetisi antara keduanya untuk proses pembentukan sel. Seiring dengan diffusi gas ke dalam sel, konsentrasi gas yang tersisa tidak mencukupi untuk pembentukan nuclei baru yang stabil. Gas akan cenderung bergabung kedalam sel yang sudah ada untuk proses pertumbuhan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan naiknya diameter sel seiring dengan naiknya temperatur penjenuhan/pemanasan. Pada temperatur diatas 433 K terjadi penyimpangan dari kecenderungan diatas, dimana diameter sel menurun dan densitas sel meningkat. Dengan naiknya temperatur, sel akan tumbuh hingga mencapai ukuran maksimalnya dan dinding sel pun semakin menipis. Viskositas plastik yang semakin turun dan difusivitas gas yang semakin tinggi dengan naiknya temperatur mengakibatkan kecepatan gas untuk keluar sample juga semakin tinggi. Keluarnya gas akan mengakibatkan kontraksi pada dinding sel yang tipis, sehingga sel tidak dapat lagi mempertahankan ukurannya dan terjadi peristiwa penyusutan. Peristiwa penyusutan inilah yang menyebabkan ukuran sel yang dihasilkan
lebih kecil dan densitas sel meningkat. Fenomena ini juga terjadi pada system PS-N2 seperti terlihat pada Gambar 4. Nilai densitas sel minimum dan diameter sel maksimum pada temperatur 433 K. Pengaruh temperatur penjenuhan terhadap rasio ekspansi volume untuk polystyrene dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6. Rasio ekspansi volume, untuk sistem PS-CO2 mengalami kenaikan seiring dengan naiknya temperatur hingga temperatur 433 K. Tetapi diatas temperatur 433 K, terjadi penurunan rasio ekspansi volume. Untuk sistem PS-N2 juga terjadi kenaikan rasio ekspansi volume dan akan turun pada temperatur diatas 413 K. Dri kedua gambar tersebut terlihat bahwa perubahan rasio ekspansi volume untuk sistem PS-CO2 lebih besar dibandingkan sistem PS-N2. Hal ini disebabkan karena konsentrasi gas karbon dioksida yang terlarut dalam plastik lebih besar dibandingkan nitrogen. Tingginya konsentrasi gas dalam plastik mengakibatkan turunnya viskositas plastik, sehingga sel akan lebih mudah untuk berekspansi. Garis putus-putus menggambarkan rasio ekspansi ideal, dengan asumsi bahwa semua gas yang terlarut dalam polystyrene digunakan untuk mengekspansikan plastik. Perubahan struktur sel pada berbagai macam temperatur penjenuhan diperlihatkan pada Gambar 7 untuk system PS-CO2 dan Gambar 8 untuk system PS-N2. Sistem Polypropylene (PP)-Karbon dioksida dan Nitrogen Polypropylene merupakan plastik yang memiliki struktur kristal dan gaya tarik antar rantai yang kuat. Hal ini mengakibatkan plastik jenis ini lebih sulit untuk membentuk foam dibandingkan plastik non-kristal (polystyrene). Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa kelarutan gas dalam polypropylene lebih besar dibandingkan polystyrene. Dalam Gambar 9 dan 10 terlihat bahwa pada kondisi operasi yang sama yaitu temperatur sampai 443 K dan 17 MPa, pada polypropylene belum menunjukkan adanya struktur sel yang terbentuk. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kekristalan plastik karena adanya gas dalam daerah kristal. Dengan semakin tingginya kekristalan plastik, mengakibatkan sulitnya sel untuk tumbuh. Kekristalan inilah yang membedakan struktur sel untuk plastik tak berkristal (PS) dan plastik berkristal (PP). Ketika temperatur diatas 443 K, terjadi peningkatan diameter rata-rata dan densitas sel yang signifikan. Hal ini disebabkan karena pada temperatur diatas 443 K, polypropylene berada diatas titik lelehnya, dimana viskositas plastik dan tegangan permukaan plastik sangat rendah. Turunnya sifat fisik polimer serta tingginya konsentrasi gas dalam polimer, mengakibatkan meningkatkan laju nukleasi dan pertumbuhan sel meningkat. Adanya fenomena ini memberikan informasi bahwa untuk pemrosesan plastik berkristal hendaknya dilakukan pada temperatur mendekati atau diatas titik lelehnya. Pengaruh temperatur penjenuhan terhadap rasio ekspansi volume untuk polypropylene dapat dilihat pada grafik 11 dan 12. Rasio ekspansi volume, untuk sistem PP-CO2 dan PP-N2 tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan dengan naiknya temperatur hingga 443 K. Tetapi diatas temperatur 443 K tersebut, terjadi kenaikan rasio ekspansi volume yang sangat besar. Hal ini dikarenakan pada temperatur diatas 443 K, terjadi nukleasi dan pertumbuhan sel seperti yang dijelaskan diatas. Perubahan struktur plastik pada sistem polypropylene karbon dioksida dan nitrogen dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14. Dari gambar tersebut terlihat bahwa struktur sel baru terbentuk pada temperatur diatas 433 K. 4. Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa blowing agent dan jenis plastik yang digunakan sangat berpengaruh terhadap struktur sel yang dihasilkan. Kelarutan karbon dioksida yang lebih tinggi dibandingkan nitrogen, menyebabkan laju nukleasi sel pada sistem polimer-karbon dioksida lebih tinggi dibandingkan sistem polimer-nitrogen. Selain blowing agent yang digunakan, pembentukan sel pada plastik mikroselular juga dipengaruhi oleh kekristalan plastik. Adanya gas terlarut dalam plastik berkristal justru meningkatkan derajat kekristalan plastik itu sendiri. Struktur kristal pada plastik akan menghambat nukleasi dan pertumbuhan sel. Hal ini terbukti dengan sulitnya pembentukan sel pada plastik berkristal dibandingkan plastik non-kristal. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4.
Martini-Vveddensky (1982), Microcellular closed cell foams and their method of manufacture. US Patent 4473665. Jonathan S. Colton and Nam P. Suh, 1987, “Nucleation of Microcellular Foam : Theory and Practice”, Polym. Eng. Science J.,Vol. 27, No. 7, hal. 500. Satish K. Goal and Eric J. Beckman, 1994, “Generasion of Microcellular Polymeric Foam Using supercritical Carbon Dioxide. I: Effect of Pressure and Temperature on Nucleation”, Polym. Eng. Science J.,Vol. 34, No. 14, hal. 1137. Y. Sato, K. Fujiwara, Tadao Takikawa, Sumarno, S. Takishima, H. Masuoka, 1999, “Solubilities and diffusion coefficient of carbon dioxide and nitrogen in polypropylene, high density polyethylene, and polystyrene under high pressures and temperatures”, Fluid Phase Equilibria J. 162, hal 261.
5.
Sumarno, Tomoko Sunada, Yoshiyuki Sato, Shigeki Takashima, and Hirokatsu Masuoka, 2000, “Polystyrene microcellular plastic generation by quick heating process at high temperature”, Polym. Eng. Science J.,Vol. 40, No. 7, hal. 1510.
PS-CO2 Tekanan 17 MPa