21 BioWallacea Jurnal Ilmiah Ilmu Biologi Januari 2015 Vol. 1 No. 1, p 21-26 ISSN: 2442-2622 PENGARUH KEHADIRAN HEWAN PENDAMPING TERHADAP ABALON Halotis asinina PADA SISTEM MULTI TROPHIC SEA FARMING Faturrahman*, Sukiman, Immy Suci Rohyati, Hilman Ahyadi, Khaerul Ikhwan Program Studi Biologi, Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Mataram, Jl. Majapahit No. 62 Telp. (0370) 646506 Fax, (0370) 646506 Mataram-NTB *Korespondensi:
[email protected] Abalon (Haliotis asinina Linn. 1758) merupakan siput laut yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Budidaya abalon tropis secara monokultur menunjukkan produktivitas rendah dan disertai dengan tingginya angka mortalitas. Sistem Multi Trophic Sea Farming merupakan inovasi baru pada budidaya abalon yang diharapkan dapat mendukung kelangsungan hidup dan pertumbuhan abalon secara optimal. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi laju pertumbuhan abalon Haliotis asinina pada sistem MTSF yang diberi beberapa jenis hewan pendamping. Penelitian ini dilakukan di perairan laut Gerupuk, Lombok Selatan. Variabel yang diamati adalah pertumbuhan abalon berdasarkan pertambahan ukuran panjang cangkang, bobot, dan kelangsungan hidup. Data pertumbuhan dianalisis menggunakan analisis ragam dengan pola rancangan acak lengkap. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan bobot badan tertinggi diperoleh pada abalon yang disandingkan dengan kakap dan makroalga yaitu 1,482 g/hari, sedangkan nilai terendah pada abalon yang disandingkan dengan kerapu bebek dan makroalga yaitu 1,014 g/hari. Sedangkan pertumbuhan panjang cangkang tertinggi diperoleh pada abalon yang disandingkan dengan lobster dan makroalga yaitu 0,358 cm/30 hari, sedangkan nilai terendah pada abalon yang disandingkan dengan kerapu bebek dan makroalga, yaitu 0,107 cm/30 hari. Kelangsungan hidup abalon mencapai 100% pada tiap perlakuan. Kata kunci: Abalon Haliotis asinina, Multi Trophic Sea Farming PENDAHULUAN Abalon (Haliotis asinina Linn. 1758) merupakan siput laut yang bersifat herbivora, aktif memakan mikro dan makroalga pada malam hari (Setyono, 2009). Di Indonesia, siput ini banyak dijumpai di perairan Indonesia Timur seperti Nusa Tenggara Barat (NTB), terutama daerah Lombok selatan dan Sumbawa bagian selatan (Setyono, 2004). Dagingnya sangat populer karena kelezatan rasanya dan kandungan nutrisinya yang baik, tidak hanya mengandung protein yang tinggi tetapi juga mengandung zat yang bisa meningkatkan gairah seksual, menjaga stamina, menghaluskan kulit, meremajakan sel-sel tubuh dan anti kanker (Setyono, 2008) Tingginya nilai jual siput abalon, menyebabkan penangkapan di alam semakin intensif sehingga disinyalir telah mengalami tangkap lebih (over fishing), sehingga mengakibatkan stok alam terus menurun, berkurangnya hasil tangkapan, dan terancamnya kelestarian abalon (Setyono, 2009). Permintaan abalon terus meningkat namun produksi abalon baik dari hasil tangkapan alam maupun budidaya belum mampu memenuhi tingginya angka permintaan. Dilaporkan oleh Gordon dan Cook (2010), permintaan dunia terutama dari Negara-negara Asia terus meningkat dari 20000 metrik ton pada tahun 1970an menjadi lebih dari 40000 metrik ton pada tahun 2007, sementara itu produksi abalon dunia dari hasil tangkapan ternyata terus menurun dari 20000 metrik ton pada tahun 1975 menjadi kurang dari 9000 metrik ton tahun 2008. Keadaan
tersebut telah memancing daya tarik untuk mengembangkan budidaya abalon di dunia termasuk Indonesia mempunyai peluang yang besar untuk mengembangkan usaha budidaya abalon karena kaya akan sumberdaya pantai. Selama ini, para pengembang budidaya abalon tropis membudidayakan abalon secara monokultur, yaitu hanya membudidayakan satu komunitas dalam wadah pemeliharaan. Produktivitas abalon yang dibudidayakan secara monokultur relatif rendah, dan masih tingginya angka mortalitas yang mencapai 35% (Setyabudi dalam Faturrahman, 2005, Personal Communication). Sehingga, diperlukan suatu inovasi baru pada sistem budidaya abalon yang dapat mendukung kelangsungan hidup dan pertumbuhan abalon secara optimal, yaitu pengembangan budidaya abalon menggunakan sistem Multi Trophic Sea Farming (MTSF). Marikultur atau budidaya laut menggunakan MTSF diharapkan dapat mengoptimalkan hasil perikanan melalui pemanfaatan sistem budidaya dengan pendekatan alamiah ekosistem laut sehingga mengoptimalkan reduksi limbah, efisiensi pakan dan dapat meningkatkan keuntungan usaha serta memperkecil resiko usaha karena adanya diversifikasi produk. Dengan kata lain, apabila terjadi kegagalan panen pada abalon akibat serangan penyakit atau kualitas air yang memburuk tiba-tiba maka keuntungan masih dapat diperoleh (Teguh, 2011). MTSF merupakan salah satu bentuk dari budidaya laut dengan memanfaatkan penyediaan pelayanan ekosistem oleh organisme trofik rendah (seperti kerang-kerangan, abalon dan rumput laut) yang disesuaikan sebagai mitigasi terhadap limbah
22 dari organisme tingkat trofik tinggi (seperti ikan) (White, 2007 dalam Teguh, 2011). MTSF diterapkan sebagai solusi terhadap mitigasi limbah yang dikeluarkan dalam marikultur dan peningkatan efisiensi dari pakan sehingga tidak mencemari lingkungan. Pada penelitian ini telah dievaluasi laju pertumbuhan abalon Haliotis asinina pada sistem MTSF yang diberi beberapa jenis hewan pendamping. METODE PENELITIAN Benih hewan uji Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih abalon H.asinina 195 ekor dengan kisaran panjang cangkang 3-4,3 cm, kerapu bebek sebanyak 200 ekor dengan ukuran 5 cm, kakap sebanyak 200 ekor dengan ukuran 5 cm, lobster sebanyak 200 ekor dengan ukuran 5 cm, dan bawal sebanyak 200 ekor dengan ukuran 5 cm. Benih abalon H.asinina dari tangkapan alam di Kuta, sedangkan benih lobster dan makroalga Euchema cottoni diperoleh dari tangkapan alam dan hasil budidaya di teluk Gerupuk. Benih kakap, kerapu bebek, dan bawal diperoleh dari BBL Sekotong. Persiapan Keramba Jaring Apung MTSF Penelitian ini menggunakan 4 petak Keramba Jaring Apung (KJA) dalam sistem Multi Tropic Sea Farming (MTSF) masing-masing ukuran 2,5 x 2,5 m dengan jarak ±1 m antar petak (Gambar 3.1). Penelitian ini dirancang menggunakan rancangan acak kelompok (RAK), petakan KJA MTSF sebagai kelompok, dan Multi Trophic Sea Farmig sebagai perlakuan, yaitu A: Abalon 45 ekor + makroalga Euchema cottonii 500 g + lobster 200 ekor, B: Abalon 45 ekor + makroalga Euchema cottonii 500 g + kakap 200 ekor, C: abalon 45 ekor + makroalga Euchema cottonii 500 g + kerapu bebek 200 ekor, D: abalon 45 ekor + makroalga Euchema cottonii 500 g + bawal 200 ekor. Aklimatisasi dan Penebaran Benih Aklimatisasi benih abalon dilakukan langsung didalam wadah pemeliharaan dengan cara: kantong yang berisi benih diapungkan dalam wadah pemeliharaan selama 15-20 menit, kantong dibuka dan dimasukkan air dari luar kantong secara perlahan-lahan higga penuh, dibalik bagian dalam kantong menjadi luar kantong dan dibiarkan benih abalon lepas dengan sendirinya. Benih abalon yang masih menempel pada kantong dilepas dan dimasukkan kedalam wadah pemeliharaan. Pakan dan Pemberian Pakan Pakan yang digunakan adalah makroalga Gacilaria sp., sedangkan pemberian pakan dilakukan setiap 2 hari sekali sebanyak 10-30% total bobot populasi abalon dalam1 unit keranjang percobaan. Kemudian sisa pakan ditimbang menggunakan neraca analitik. Saat pemberian pakan, diperhatikan kebersihan dan kesegaran pakan. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya predator yang terbawa, dan menghindari pakan yang hampir atau telah mati yang dapat menimbulkan racun bagi benih abalon. Pengukuran Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Pertumbuhan Abalon
Peubah yang diamati meliputi pertambahan panjang cangkang, dan bobot badan yang dilakukan sebulan sekali yaitu, pada awal, tengah dan akhir penelitian. Pengukuran panjang cangkang dilakukan menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0,01 mm; sedangkan bobot badan diukur menggunakan neraca analitik dengan ketelitian 0,1 g. Pengukuran pertumbuhan (panjang cangkang, dan bobot badan) dilakukan dengan menghitung 45 ekor abalon H.asinina yang ditebar di setiap perlakuan. Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup abalon dihitung pada akhir penelitian, yaitu dengan cara menghitung jumlah abalon yang masih hidup. Pengontrolan Hewan Uji Pengontrolan benih abalon H.asinina dilakukan sebelum pemberian pakan dengan cara mengangkat wadah budidaya ke permukaan. Analisis Hubungan dan Pengaruh Perlakuan Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis ragam dengan pola rancangan acak kelompok (RAK). Selanjutnya data dianalisis dengan analisis sidik ragam dengan taraf kepercayaann 95%. Pada analisis ini digunakan uji BNJ (Beda Nyata Jujur) jika perlakuan yang diberikan berpengaruh nyata, serta untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap tujuan penelitian (Gesperz, 1991). Analisis Data Pertumbuhan Abalon Pertambahan mutlak panjang cangkang dan bobot dihitung dengan menggunakan rumus Effendie (1997) yaitu: L= Lt-Lo, untuk menghitung pertambahan mutlak panjang cangkang. G = Gt – Go, untuk menghitung pertambahan bobot mutlak. Keterangan: L : Pertumbuhan mutlak panjang cangkang biota uji (mm) Lt : Panjang cangkang rata-rata biota uji pada akhir penelitian (mm) Lo : Panjang cangkang rata-rata biota uji pada awal penelitian (mm) G : Pertumbuhan mutlak bobot biota uji (g) Gt : Rata-rata bobot biota uji pada akhir penelitian (g) Go : Rata-rata bobot biota uji pada awal penelitian (g) Laju pertumbuhan abalon dihitung berdasarkan rumus Zonneveld et al. (1991) yaitu:
Keterangan: G : Laju pertumbuhan (g/hari), Wt : Bobot pada akhir percobaan (g), Wo : Bobot pada awal percobaan (g), t : Lama percobaan (hari)
23 Kelangsungan Hidup Persentase kelangsungan hidup abalon dihitung berdasarkan rumus Effendie (1997) sebagai berikut: x 100 Keterangan: Sr : Survival rate (%), Nt : Jumlah pada akhir percobaan (ekor), No: Jumlah pada awal percobaan (ekor) HASIL DAN PEMBAHASAN Selama 60 hari penelitian dilakukan analisis mengenai pertumbuhan abalon dalam suatu sistem multi trophic sea farming. Hasil analisis tersebut diperoleh data tentang kelangsungan hidup, tingkat konsumsi pakan, pertambahan panjang cangkang, pertambahan bobot badan, dan kualitas air sebagai data penunjang. Tingkat Konsumsi Pakan dan Kelangsungan Hidup Pakan merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam menunjang keberhasilan budidaya abalon, kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Ketepatan jenis pakan yang diberikan menjadi pertimbangan utama dalam pemberian pakan. Jenis pakan abalon adalah seaweed yang biasa disebut makroalga, namun tidak semua dapat dimanfaatkan dengan baik sebagai sumber makanan (Tisna, 2008). Pada penelitian ini, jenis pakan yang diberikan adalah Gracillaria sp dengan selang waktu pemberian pakan 2 hari. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada tingkat konsumsi pakan pada tiap perlakuan, nilai tertinggi dijumpai pada perlakuan B yaitu dengan ratarata konsumsi pakan 167,00 g/2 hari, sedangkan tingkat konsumsi terendah dijumpai pada perlakuan D yaitu dengan rata-rata konsumsi 137,05 g/2 hari (Gambar 1).
Gambar
1. Tingkat konsumsi pakan abalon Haliotis asinina tiap perlakuan.
Keterangan: A: abalon + Euchema cottoni + ikan kerapu bebek; B: abalon + Euchema cottoni + ikan kakap; C: abalon + Euchema cottoni + lobster; D: abalon + Euchema cottoni + ikan bawal bintang
Tingginya tingkat konsumsi tersebut terkait dengan kebutuhan nutrisi abalon dalam pertumbuhan daging dan cangkangnya yang memerlukan zat pembentuk seperti protein dengan asam amino dan asam lemak tak jenuh (Fallu, 1991). Menurut Amini & Hastarini (2003) menyatakan bahwa rumput laut mengandung protein yang cukup baik utuk pertumbuhan manusia dan hewan. Menurut Chen (1984) dalam Pantjara (1994), pertumbuhan abalon paling cepat dengan pemberian pakan Gracillaria sp. Indartjo et al. (2007) melaporkan bahwa Gracillaria sp. merupakan pakan yang baik untuk pertumbuhan abalon dibandingkan Ulva sp. Dijelaskan pula bahwa pemberian pakan Gracillaria sp. memberikan pertumbuhan panjang cangkang yang paling tinggi untuk abalon H.asinina jika dibandingkan dengan pakan buatan (pellet). Sedangkan menurut Capinpin & Corre (1996), dengan menggunakan Gracillaria sp. sebagai pakan dapat memacu pertumbuhan dan dianggap cocok untuk budidaya abalon. Tabel
1.
Efisiensi pakan, konversi pakan dan kelangsungan hidup abalon tiap perlakuan.
Perlaku an
Efisiensi Pakan (%)
Konversi Pakan
Kelangsungan Hidup (%)
A
30,45
0,21
100
B
44,45
0,14
100
C
32,60
0,20
100
D
34,15
0,19
100
Efisiensi pakan merupakan perbandingan bobot badan yang dihasilkan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi, semakin besar nilai efisiensi pakan, maka akan baik pula abalon mampu memanfaatkan untuk menaikkan bobot daging yang dihasilkan. Efisiensi pakan dipengaruhi oleh pertambahan bobot abalon. Nilai efisiensi pakan yang lebih kecil menunjukkan bahwa abalon kurang baik dalam memanfaatkan pakan sehingga menghasilkan pertumbuhan yang kurang optimal. Berdasarkan perhitungan efisiensi pakan, persentase tertinggi diperoleh pada perlakuan B, yaitu 44,45%. Sedangkan nilai terendah dijumpai pada perlakuan A, yaitu 30,45%. Kenaikan bobot badan abalon sangat berkaitan dengan jumlah pakan yang mampu dikonsumsi. Pakan akan digunakan untuk kelangsungan hidup dan sisanya digunakan untuk pertumbuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari kelangsungan hidup abalon pada akhir peelitian mencapai 100%. Tingginya konsumsi pakan tersebut mampu menunjang kelangsungan hidup abalon. Kelangsungan hidup abalon yang dibudidayakan pada keramba jaring apung dengan sistem MTSF berada di atas 50%. Hal
24 tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Setyono (2003), melaporkan bahwa abalon Haliotis asinina yang dibudidayakan di keramba jaring apung diperoleh kelangsungan hidupnya mencapai 93-95%. Pertumbuhan abalon berdasarkan nilai konversi pakan (tabel 1) menunjukkan bahwa nilai terendah adalah perlakuan B dengan nilai 0,14, sedangkan nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan A, yaitu 0,21. Rasio konversi pakan tidak berbeda yaitu berkisar antara 0,140,21. Hal tersebut menunjukkan bahwa pakan yang diberikan cukup efektif dan sudah cukup memenuhi kebutuhan nutrisi untuk menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup abalon. Makroalga disamping memiliki kandungan protein dan lemak yang cukup baik juga mempunyai nilai EPA (C20:5w3) sebesar 10,87 mg/g dan DHA (C22:6w3) sebesar 18,48 mg/g. EPA dan DHA dalam makroalga merupakan bentuk asam lemak omega-3 yang diperlukan bagi pertumbuhan manusia maupun hewan seperti abalon (Amini & Hastarini, 2003). Pertumbuhan Abalon Pertumbuhan merupakan pertambahan jaringan yang diakibatkan oleh pembelahan sel secara mitosis. Hal ini terjadi apabila ada kelebihan input energi dan asam amino (protein) yang berasal dari makanan (Effendie, 1997). Oleh karena itu, pemberian jenis pakan yang tepat dan mengandung nutrisi yang cukup merupakan pendukung utama dalam pertumbuhan abalon. Pertambahan Bobot Badan dan Panjang Cangkang Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa pertumbuhan bobot badan dan panjang cangkang abalon pada masing-masing perlakuan setiap bulan mengalami peningkatan. Pada pertambahan bobot, nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan B yaitu dengan ratarata pertambahan bobot badan 1,482 g/30 hari, sedangkan nilai terendah diperoleh pada perlakuan A yaitu 1,014 g/30 hari seperti yang ditampilkan pada gambar 2. Namun setelah dilakukan analisis ragam pada bobot badan diperoleh hasil tidak berbeda nyata (p>0,05). Pertambahan panjang cangkang tertinggi diperoleh pada perlakuan C dengan nilai rata-rata 0,358 cm/30 hari, sedangkan nilai rata-rata terendah diperoleh pada perlakuan A yaitu dengan niai 0,0,107 cm/30 hari. Hasil uji analisis ragam pada pertambahan panjang cangkang juga menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (p>0,05). Hasil uji analisis ragam baik pada pertambahan bobot badan atau panjang cangkang menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (p>0,05) seperti yang ditampilkan pada tabel 1. Hal tersebut diduga karena kondisi lingkungan berada dalam keadaan normal, dan pemanfaatan pakan secara baik untuk mendukung pertumbuhan abalon. Selain itu, komoditas hewan
penyanding merupakan predator bagi abalon di alam sehingga pengaruh yang diberikan tidak jauh berbeda. Tabel 1. Laju Pertumbuhan bobot badan, panjang cangkang mutlak tiap perlakuan.
Perlaku an
Parameter Pertumbuhan
A
Bobot (g/hari) Panjang cangkang (cm/30 hari) Bobot (g/hari) Panjang cangkang (cm/30 hari) Bobot (g/hari) Panjang cangkang (cm/30 hari) Bobot (g/hari) Panjang cangkang (cm/30 hari)
B
C
D
Uji lanjut Rata-rata Rata-rata Panjang Bobot Cangkang Badan (cm/30 (g/hari) hari) 1,014a 0,107b 1,482a 0,184b 1,083a 0,358b 1,136a 0,351b
Keterangan: A: abalon + Euchema cottoni + ikan kerapu bebek; B: abalon + Euchema cottoni + ikan kakap; C: abalon + Euchema cottoni + lobster; D: abalon + Euchema cottoni + ikan bawal bintang Hines & Pears (1982) menyatakan bahwa sesuai dengan tipe habitatnya, setiap jenis abalon akan terancam oleh predator yang berbeda. Abalon muda yang menempati perairan dangkal biasanya akan menghadapi predator dari jenis-jenis siput karnivora, kepiting, gurita dan jenis-jenis ikan karang seperti kerapu, dan botana. Abalon dewasa biasanya dimakan oleh predator dari jenis karnivora (kerapu, kakap, pari), udang karang (lobster), dan bintang laut. Sama halnya dengan moluska lain, pertumbuhan abalon berlangsung sesuai penambahan umur. Pada saat berukuran kecil, pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan berukuran dewasa. Hal ini diduga bahwa makanan berfungsi untuk pertumbuhan, setelah mencapai ukuran dewasa pertumbuhan semakin lambat karena makanan digunakan untuk metabolisme dan tahap kematangan seksual. Shepherd (1988) menyatakan bahwa laju pertumbuhan bersifat linier pada lima tahun pertama dan dan menurun seiring dengan pertambahan panjang tubuhnya. Laju pertumbuhan abalon menunjukkan variasi dan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu suhu perairan, makanan (kualitas dan kuantitas) dan aktivitas pemijahan (Day and Fleming, 1992). Makanan merupakan sumber energi potensial yang dapat digunakan untuk melakukan segala keaktifan seperti pertumbuhan, pemijahan dan migrasi. Besarnya populasi dari suatu organisme dalam perairan laut dipengaruhi oleh makanan.
25 Setyono (2003) melaporkan bahwa abalon tropis H.asinina tumbuh mencapai ukuran layak tebar (10 mm) dalam waktu sekitar 3-5 bulan, mencapai matang gonad pada ukuran 40-50 mm. McNamura & Johnson (1995) juga melaporkan bahwa H.asinina di perairan tropis Heron Reef, Australia bagian timur tumbuh dari ukuran 20 mm ke 3,50 mm dalam waktu 6 bulan, dan dari 2,50 mm ke 55 mm dalam waktu satu tahun. Haliotis asinina mencapai ukuran layak jual (cocktail abalon, 50-60 mm) dalam waktu 12-18 bulan. Komposisi cangkang moluska terdiri atas 95%99% kalsium karbonat dan 5% lainnya terdiri atas bahan organik (Zhang & Zhang, 2006). Susanto et al. (2009) melaporkan bahwa rumput laut mempunyai kandungan kalsium mencapai 34, 52%. Abalon dapat tumbuh dengan baik pada kondisi yang sesuai dan dapat memanfaatkan pakan yang diberikan secara optimum. Hal ini didukung oleh pernyataan Gusrina (2008) yang menyatakan bahwa hampir pada semua jenis organisme akuatik yang dibudidayakan, konsumsi pakan pada awal perkembangan organisme lebih tinggi dibandingkan ketika pada saat dewasa sehingga hewan uji tersebut dapat tumbuh dengan baik. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan, terbatas pada ruang lingkup penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan abalone pada sIstem MTSF dipengaruhi oleh jenis hewan pendamping. Meskipun demikian, kehadiran hewan-hewan tersebut tidak mempengaruhi survival rate abalon.
DAFTAR PUSTAKA Amini, S. & Hastarini, E. 2003. Penelitian Kandungan Protein dan Asam Lemak pada Makroalga (rumput laut) yang Berasal dari Perairan Pantai Binuangeun, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Prosiding Seminar Nasional Perikanan Indonesia, 3:43-47. Capinpin, E.C. and K.G. Corre. 1996. Growth Rate of the Philipine. Abalone Haliotis asinina Fed an Artificial Diet and Macoalgae Aquaculture, 144:81-89. Day, R. W. And A.E. Fleming. 1992. The Determinants and Measurement of Abalone Growth. In: Sheperd, S.A., M.J. Tegner and S.A Guzman Del Proo (Eds), Abalone of the world: Biology, Fisheries and Culture. Fishing News Books, Oxford,.p. 141-168. Effendy, I.J. 1997. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri Cikurai. Bogor. Hal: 9-20. Fallu. 1991. Abalone Farming. Fishing News Book, Oshey Mead, Oxford Oxoel, England. Gesperz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Armico. Bandung. 472 p.
Gordon, H. R. And P. A. Cook.2000. World Abalone Suply, Markets and Pricing. Fourth International Symposium on Abalone Biology, Fisheries, and Couture, Cape Town, South Africa, February 611, 2000. Gusrina. 2008. Budidaya Ikan untuk SMK. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.284 p. Hines, A H. And J.S Pearse. 1982. Abalone, Shells, and Sea Otters: Dynamic of prey population in Central California. Ecology 63 (5): 1547-1560. Indarjo, A., H. Retno, I. Samidjan, S. Anwar. 2007. Pengaruh Pakan Gracillaria sp. Dan Pakan Buatan Terhadap Pertumbuhan Abalon (Haliotis asinina). Dalam Prosiding Seminar Nasional Moluska dalam Penelitian, Konservasi, dan Ekonomi. BRKP DKP RI bekerja sama dengan J. Ilmu Kelautan, FPIK Undip, Semarang. Hal: 215-228. Kantor MNKLH. 1988. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. No. Kep.02 I 1988 Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Leighton, D.I. 2008. Abalone Hatchery Manual. Aquaculture Technical Section, Aquaculture Development Division. Co. Dublin, Ireland. Vol. 95 p. Mahmud, A. 2003. Studi Kelimpahan dan Distribusi MataTujuh (Haliotis asinina da Haliotis varia) di Perairan Pantai Pulau Saponda Darat, Kecamatan Soropia, Kabupaten Kendari. Skripsi. Jurusan Perikanan. Fakultas Pertanian. Universitas Haluoleo. Kendari. 56 p. McNamura, D.C. and C.R. Johnson. 1995. Grow of the Ass’s Ear Abalone (Haliotis asinina L) on Heron Reef, Tropical Eastern Australia. Marine and Freshwater Research 46:571-574. Rifa’i, R.S. dan K Pertagunawan. 1983. Biologi Perikanan I. Penerbit CV. Kayago, Jakarta. Schmittou, H.R. 1991. Budidaya Keramba: Suatu Metode Produksi Ikan di Indonesia. FRDP. Puslitbang Perikanan. Jakarta. Indonesia 126 p. Setyabudi dalam Faturrahman. 2005. Personal Communication. Setyono, D. E. D. 2009. Abalon: Biologi dan Reproduksi. Jakarta: LIPI Press. Setyono, D. E. D. 2004. Abalone (Haliotis asinina L): 1. A Prospective Species for Aquaculture in Indonesia. Oseana, Vol. XXIX, No.2: 25-30. Setyono, D. E. D. 2003. Reproductive Biology and Seed Production Techniques for Tropical Abalone (Haliotis asinina L) in Eastern Indonesia. PhD Thesis, Otago University, New Zealand. 274 p. Shepherd, S.A. 1988. Studies on Southern Australian Abalon (Genus Haliotis). VII. Growth of Juvenile Haliotis laevigata. Aust. J. Mar. Freshwater. Res. 39: 177-183. Susanto, B., Rusdi, I., Ismi, S., & Rahmawati, R. 2009. Pembenihan dan Pembesaran (Haliotis squamata) di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol Bali. Prosiding Seminar
26 Nasional Moluska 2, “Moluska Peluang Bisnis dan Konservasi” FPIK-IPB. Bogor, V: 149-161. Teguh, L. Pambudi. 2011. Aplikasi IMTA untuk Evolusi Akuakultur Indonesia. Sebuah Kajian. Pukyong National University. Korea. Tisna, K. 2008. Teknik Budidaya Abalon (Haliotis asinina). Juknis Abalon BBL Lombok, Pecitan Jawa Timur. Zhang, C. & Zhang, R. 2006. Matrix Protein in the Outer Shells of Molluscs. Marine Biotechnology, 8: 572-586.