PENGARUH KADAR TANIN PADA TEH CELUP TERHADAP ANEMIA GIZI BESI (AGB) PADA IBU HAMIL DI UPT PUSKESMAS CITEUREUP KABUPATEN BOGOR TAHUN 2012
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Epidemiologi
PUTRI BUNGSU 1106120235
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM MAGISTER EPIDEMIOLOGI KOMUNITAS DEPOK DESEMBER 2012
45 Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
46
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
47
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
48
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
49
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
50
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
52
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
53
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
54
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
55
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
56
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
57
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
58
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
60
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
61
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
62
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
63
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Kehamilan adalah masa seorang wanita membawa embrio atau fetus di dalam tubuhnya. Dimana dalam kondisi tersebut seorang wanita merasa makin merasa kesempurnaan sebagai seorang calon ibu. Namun pada kenyataannya, ibu hamil adalah salah satu kelompok yang paling rawan dalam berbagai aspek, salah satunya terhadap pangan dan gizi (Tristiyanti, 2006). Salah satu permasalahan yang seringkali menyertai ibu hamil yaitu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) darah kurang dari normal, disebut juga dengan istilah anemia. Anemia terdapat pada 1,62 juta jiwa di dunia yaitu mencapai 24,8% populasi dunia di tahun 2008. Prevalensi anemia saat kehamilan tahun 1993-2005 mencakup 41,8% populasi penderita anemia di dunia yaitu sebanyak 56 juta jiwa penduduk dunia. Lebih dari 80% negara di dunia mengalami masalah kesehatan masyarakat sedang ke berat akibat anemia pada ibu hamil (WHO, 2008). Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010 tercatat bahwa 40% anemia ibu hamil di indonesia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa 40% kematian ibu disebebkan oleh perdarahan pada saat melahirkan dan anemia gizi merupakan faktor pencetus penting dari kematian ibu melahirkan. Diperkirakan sebesar 20% kematian itu berkaitan dengan rendahnya kadar hemoglobin (anemia gizi) selama kehamilan. Pada kehamilan, penyebab tersering anemia adalah defisiensi zat-zat nutrisi. Penyebab mendasar anemia nutrisional berupa asupan gizi tidak terpenuhi, absorpsi tidak adekuat, peningkatan kehilangan zat gizi, peningkatan kebutuhan, dan utilisasi nutrisi homopoietik berkurang. Sekitar 75% anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi. Selain itu, defisiensi asam folat dan vitamin B12 juga merupakan penyebab yang sering ditemui (Santi, 2007). Menurut Royston (1994), bahwa salah satu penyebab kematian obstetrik tidak langsung pada kasus
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
64
kematian langsung tetapi disebabkan antara lain adalah anemia. Prawirohardjo (2002), mengungkapkan ”anemia defisiensi zat besi merupakan masalah gizi yang paling lazim didunia dan menjangkiti lebih dari 600 juta manusia. Dengan frekuensi yang masih cukup tinggi berkisar antara 10% dan 20 %”. Hal ini juga diungkapkan oleh Simanjuntak tahun 1992, bahwa sekitar 70% orang di Indonesia menderita anemia gizi. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa barat, didapatkan bahwa prevalensi anemia pada ibu hamil sebesar 47,8% ( Tristiyanti, 2006)
Santi (2007) menyatakan bahwa salah satu penyebab anemia PADA IBU HAMIL yaitu adanya perubahan fisiologis karena kehamilan yang diperberat dengan kondisi kurang gizi, vitamin B12, asam folat dan Vitamin C. Faktor resiko lain yang menyebabkan anemia pada ibu hamil adalah sering mengkonsumsi pangan yang mengandung zat yang dapat menghambat penyerapan zat besi, seperti fitat dan tanin. Selain itu, paritas tinggi, jarak kelahiran pendek, ANC/perawatan kehamilan tidak memadai dan tingkat sosial ekonomi yang rendah juga menjadi faktor resiko terjadinya anemia pada ibu hamil”. Hemoglobin pada ibu hamil merupakan salah satu variabel yang menjadi perhatian untuk menilai status anemia ibu hamil. Angka hemoglobin pada ibu hamil bukan hanya menggambarkan status anemia, melainkan juga bisa menjadi acuan asupan gizi selama kehamilan serta tingkat pengetahuan ibu mengenai perilaku yang tidak dianjurkan selama kehamilan, seperti halnya mengkonsumsi teh, kopi dan alkohol.
Teh adalah jenis minuman yang paling banyak dikonsumsi manusia dewasa setelah air dan diperkirakan manusia mengkonsusi teh tak kurang dari 120 ml setiap harinya (Damayanthi, 2008). Teh memiliki potensi sebagai penyebab anemia karena disinyalir mampu mengabsorbsi mineral sebagai bentuk zat besi. Hal ini dikaitkan dengan peranan tanin yang terdapat dalam kandungan teh. Mineral makanan sebagai salah satu pembentuk zat besi bila bereaksi dengan tanin akan membentuk ikatan komplek yang tidak larut salam sistem pencernaan, akibat mineral makanan tidak berfungsi lagi dan dikeluarkan oleh tubuh dalam
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
65
bentuk feses. Tanin memiliki kekuatan untuk mengikat protein sehingga mempunyai kemampuan mengabsorbsi sari makanan. Profil teh sebagai minuman kaya manfaat serta menjadi salah satu teman bagi ibu hamil dalam melewati fase mual (ngidam) dapat menjadikan bomerang tidak hanya bagi kesehatan ibu selama kehamilan dan masa persalinan, tetapi juga berdampak buruk bagi bayi. Kemudahan mengkonsumsi teh dalam berbagai kemasan secara tidak langsung turut meningkatkan dampak anemia pada ibu hamil serta angka berat bayi lahir rendah (BBLR) ataupun prematuritas dan mortalitas. Seiring dengan perkembangan teknologi yang memanjakan masyarakat dengan segala kemudahan memiliki berbagai efek yang berdampak pada kesehatan. Salah satunya kemudahan dalam mengkonsumsi makanan. Tidak sulit kita jumpai berbagai minuman dengan berbagai kemasan yang di nilai higenis dan aman di lingkungan sekitar kita dengan harga yang terjangkau.
Walaupun
beberapa makanan dan minuman tersebut telah lulus uji sebagai makanan aman untuk konsumsi, tetapi pengetahuan serta kesadaran masyarakat dalam aturan konsumsi juga tidak kalah penting dalam menjamin kesehatan. Hal diatas merupakan salah satu hambatan dalam mencapai keberhasilan program yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak serta menurunkan angka mortalitas dan morbiditas ibu dan anak.
Pada ibu hamil, anemia gizi besi dapat mengakibatkan keguguran, lahir mati, kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah, perdarahan sebelum atau sewaktu melahirkan dan kematian ibu (Khodyat 1995 dalam Khomsan 1997). Berdasarkan data dan informasi diatas serta dampak yang cukup besar bagi kesehatan maka peneliti tertarik untuk melakukan studi yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh kadar tanin pada teh celup terhadap anemia gizi besi (AGB) pada ibu hamil.
1.2. Perumusan Masalah Sejalan dengan perkembangan teknologi di berbagai bidang termasuk bidang nutrisi, maka semakin bervariasi pula outcome yang berdampak pada kesehatan baik bersifat positif maupun negatif. Kemudahan dalam akses pemenuhan
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
66
kebutuhan nutrisi juga menuntut masyarakat untuk lebih teliti sebagai konsumen. Tidak sedikit penelitian yang melaporkan kejadian penyakit akibat kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai nutrisi serta dampak negatif yang mungkin timbul. Diantaranya yaitu konsumsi teh yang merupakan salah satu penghambat penyerapan zat besi dalam makanan. Teh yang juga merupakan penghambat zat besi pada makanan turut menyumbang kenaikan angka anemia pada ibu hamil, dimana angka prevalensi anemia gizi besi dengan analisa serum ferritin pada ibu hamil di Kabupaten Bogor mencapai 33,3% sebagai salah satu dampak kurangnya pengetahuan mengenai asupan nutrisi yang baik bagi ibu selama kehamilan (Barunawati, 2000). Berdasarkan rumusan di atas, maka peneliti tertarik untuk melihat pengaruh kadar tanin pada teh terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil di Puskesmas Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor tahun 2012.
1.3.Pertanyaan Penelitian 1.3.1. Apakah ada pengaruh kadar tanin pada teh celup terhadap Anemia Gizi Besi (AGB) pada ibu hamil setelah dikontrol variabel covariat? 1.3.2. Apakah ada pengaruh kadar tanin pada teh celup terhadap Anemia Gizi Besi (AGB) pada ibu hamil sebelum dikontrol variabel covariat? 1.3.3. Apa pengaruh dari usia ibu, aktivitas ibu hamil, usia kehamilan, jumlah kehamilan, jarak kelahiran, status konsumsi tablet tambah darah (TTD), pola konsumsi protein hewani, pola konsumsi protein nabati, pola konsumsi nutrisi pengikat absorbs zat besi, pola konsumsi penghambat absorbs zat besi, konsumsi tablet tambah darah, status gizi ibu hamil pada hubungan kadar tannin teh celup terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil?
1.4.Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh kadar tanin teh celup terhadap Anemia Gizi Besi (AGB) pada ibu hamil setelah dikontrol variabel covariat. 1.4.2. Tujuan Khusus
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
67
a) Melihat pengaruh kadar tanin teh celup terhadap Anemia Gizi Besi (AGB) pada ibu hamil sebelum dikontrol variabel covariat. b) Mengatahui pengaruh dari usia ibu, aktivitas ibu hamil, usia kehamilan, jumlah kehamilan, jarak kelahiran, status konsumsi tablet tambah darah (TTD), pola konsumsi protein hewani, pola konsumsi protein nabati, pola konsumsi nutrisi pengikat absorbs zat besi, pola konsumsi penghambat absorbs zat besi, konsumsi tablet tambah darah, status gizi ibu hamil pada hubungan kadar tannin teh celup terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil.
1.5.Manfaat Penelitian a) Hasil penelitian ini memberikan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat mengenai perilaku mengkonsumsi teh yang baik tanpa harus mengurangi segudang manfaat dari teh. b) Hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah teori dan pengetahuan mengenai pengaruh kadar tanin pada teh terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil. c) Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang sejenis.
1.6.Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan di Puskesmas Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor, dimana subjek penelitian yaitu ibu hamil pada
usia kehamilan >16 minggu
(trimester Kedua dan Ketiga). Pelaksanaan penelitian dimulai di minggu ketiga pada bulan September sampai dengan bulan Desember 2012.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
68
Bab 2 Tinjauan Pustaka
2.1. Kehamilan 2.2.1. Perubahan hematologis pada kehamilan Kehamilan merupakan urutan kejadian yang secara normal terdiri atas pembuahan, implantasi, pertumbuhan embrio, pertumbuhan janin, dan berakhir pada kelahiran bayi (Yongky, 2004). Selama masa kehamilan terjadi pembentukan jaringan-jaringan baru melalui
beberapa
tahapan
tertentu.
Jaringan-jaringan
yang
terbentuk tumbuh dan berkembang dalam janin, meliputi janin serta jaringan-jaringan lain yang berfungsi sebagai pendukung yang mampu menjaga kelangsungan hidup janin. Jaringan ini meliputi plasenta, amnion, yolksac, dan chorion (Hardinsyah & Martianto, 1992) Pada masa kehamilan terjadi perubahan dalam tubuh ibu, yaitu dengan adanya janin dalam kandungan. Selain itu terjadi pula pertumbuhan berbagai organ sebagai pendukung proses kehamilan, seperti
alat
kandungan
dengan
adneksanya,
mamae,
dan
sebagainya (Sediaoetama, 1987) Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992), selama kehamilan terjadi
dua
proses
anabolik.
Proses
pertama
merupakan
pertumbuhan serta pematangan plasenta dan janin yang selanjutnya menjadi bayi. Proses kedua merupakan penyesuaian fisiologik dan metabolik yang dialami ibu hamil. Proses-proses tersebut dikatalisis oleh perubahan-perubahan kelenjar endokrin ibu. Keadaan ini mengakibatkan ukuran uterus, payudara, volume darah ibu, cairan ketuban, massa jaringan lemak membesar. Kehamilan selalu berhubungan dengan perubahan fisiologis yang berakibat peningkatan volume cairan dan sel darah merah serta penurunan konsentrasi protein pengikat gizi dalam sirkulasi darah,
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
69
begitu juga dengan penurunan gizi mikro (Parra BE, Manjarres LM 2005 diacu dalam Tristiyanti 2006)
Adaptasi anatomis, fisiologis, dan biokimiawi terhadap kehamilan sangat besar. Banyak dari perubahan-perubahan tersebut segera terjadi setelah fertilisasi dan berlanjut selama kehamilan. Sebagian besar adaptasi pada kehamilan terjadi sebagai respon terhadap rangsangan fisiologis yang ditimbulkan oleh janin. Salah satu perubahan yang terjadi selama kehamilan adalah perubahan hematologis. Perubahan pada sistem ini berupa peningkatan volume darah ibu, penurunan hemoglobin dan hematokrit, peningkatan kebutuhan besi, perubahan pada leukosit dan sistem imunologis, serta kehilangan darah yang terjadi selama proses kelahiran (Cunningham dkk., 2006) 2.2.1.1. Volume darah Volume darah ibu meningkat secara nyata selama kehamilan. Tingkat ekspansi sangat bervariasi, dimana pada beberapa wanita hanya terjadi peningkatan sedang dan pada wanita lain peningkatan hampir berlipat ganda. Peningkatan volume darah disebabkan oleh meningkatnya plasma dan eritrosit. Peningkatan plasma biasanya lebih banyak daripada eritrosit pada sirkuliasi ibu. Menurut Harstad dkk (1992), peningkaan kadar eritropoietin plasma ibu dan produksi tertinggi eritrosit setelah usia gestasi 20 minggu menyebabkan hiperplasia erithosid sedang dalam sumsum tulang belakang, dan hitung retikulosit sedikit meningkat pada kehamilan normal. Pritchard (1965) menyatakan
janin
tidak
berperan
penting
dalam
hiervolemia, sebab keadaan ini juga dapat terjadi pada beberapa wanita dengan mola hidatidosa. Pada wanita normal, volume darah saat aterm meningkat kira-kira 40% – 45% di atas volume saat tidak hamil. Volume darah ibu
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
70
mulai meningkat pada trimester pertama, bertambah cepat pada trimester kedua, kemudian naik dengan kecepatan yang lebih pelan pada trimester ketiga untuk mencapai kecepatan konstan (kondisi plateu) pada beberapa minggu akhir kehamilan. Peningkatan progresif volume darah terjadi pada minggu ke-6 sampai ke-8, dan mencapai puncak pada minggu ke-32 sampai ke-34. Volume darah akan kembali seperti semula pada 2-6 minggu setelah persalinan. Hipovolemia yang diinduksi oleh kehamilan mempunyai beberapa fungsi penting sebagai berikut : a) Untuk memenuhi kebutuhan uterus yang membesar dan sistem vaskuler yang hipertrofi. b) Untuk melindungi ibu dan janin terhadap efek dari gangguan aliran balik vena pada posisi terlentang dan berdiri tegak. c) Untuk menjaga ibu dari efek samping kehilangan darah selama persalinan (Cunningham dkk. ,2006) 2.2.1.2. Konsentrasi hemoglobin dan hematokrit Konsentrasi hemoglobin dan hematokrit sedikit menurun selama kehamilan normal walaupun terdapat peningkatan eritropoiesis. Jika dibandingkan dengan peningkatan volume plasma, peningkatan volume eritrosit sirkulasi tidak begitu banyak, sekitar 450 ml atau 33%. Akibat nya, viskositas (Cunningham
darah dkk.,
secara 2006).
keseluruhan Konsentrasi
menurun hemoglobin
tertinggi terdapat pada trimester pertama, mencapai nilai terandah pada trimester kedua, dan mulai meningkat kembali pada trimester ketiga. Konsentrasi hemoglobin rata-rata adalah 12,73 ± 1,14 g/dl pada trimester pertama, 11,41 ± 1,16 g/dl pada trimester kedua, dan 11,67 ± 1,18 g/dl pada trimester ketiga (Tristiyanti, 2006). Pada
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
71
sebagian besar wanita, konsentrasi hemoglobin di bawah 11,0 g/dl, terutama di akhir kehamilan, dianggap abnormal dan biasanya lebih berhubungan dengan defisiensi besi daripada hipervolemia graidarum (Santi, 2006). 2.2.1.3. Metabolisme besi Peningkatan volume eritrosit dan massa hemoglobin selama kehamilan berhubungan dengan jumlah besi yang tersedia dari cadangan besi dalam tubuh ibu hamil. Ratarata volume total eritrosit meningkat sekitar 450 ml dalam sirkulasi, dimana dalam 1 ml eritrosit normal terkandung 1,1 mg besi. Dari 1000 mg kebutuhan besi pada kehamilan, sekitar 300 mg ditrasfer secara aktif ke janin dan plasenta, serta sekitar 200 mg hilang di sepanjang jalur ekskresi normal. Keadaan ini tetap terjadi walaupun ibu kekurangan zat besi. Bila zat besi tersebut tersedia, 500 mg besi lainnya akan digunakan dalam eritrosit. Akibatnya, semua zat besi akan terpakai selama paruh akhir kehamilan dan dibutuhkan zat besi yang cukup besar selama paruh kedua kehamilan. Pritchard dan Scott (1970) menuliskan kebutuhan zat besi selama paruh kedua kehamilan tersebut sekitar 6-7 mg/hari. Dalam keadaan tidak ada zat besi suplemental, konsentrasi hemoglobin dan hematokrit turun cukup besar saat volume darah ibu bertambah, meskipun absorpsi zat besi dari traktus gatrointestinal tampak meningkat. Pada ibu dengan anemia defisiensi berat, produksi hemoglobin dalam janin tidak akan terganggu. Hal ini disebabkan perolehan besi dari plasenta ibu cukup untuk menghasilkan kadar hemoglobin normal untuk janin (Cunningham dkk., 2006)
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
72
2.2.1.4. Fungsi leukosit dan sistem imunologis Selama kehamilan, jumlah leukosit akan meningkat sekitar 5.000 – 12.000 per μl. Pada saat kelahiran dan masa nifas, jumlah leukosit mencapai puncak, yaitu antara 14.000 – 16.000 per μl. Distribusi tipe sel juga berubah selama kehamilan. Pada awal kehamilan, aktivitas leukosit alkalin fosfatase dan C-Reactive Protein (CRP) meningkat. Selain itu, reaktan serum akut dan Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) meningkat akibat dari peningkatan plasma globulin dan fibrinogen. Pada trimester ketiga kehamilan, jumlah granulosit dan limfosit CD8 T meningkat, tetapi limfosit dan monosit CD4 T menurun (Cunningjam dkk., 2066). 2.2.1.5. Kehilangan darah Pada mayoritas wanita, separuh dari eritrosit yang ditambahkan ke sirkulasi ibu selama masa kehamilan akan hilang saat kelahiran pervaginam normal sampai beberapa hari setelahnya. Kehilangan ini terjadi melalui tempat implantasi plasenta, plasenta, episiotomi atau laserasi, dan lokia. Pritchard (1965) dan Ueland (1976) menyatakan sekitar 500–600 ml darah pra kelahiran akan hilang saat kelahiran per aginam bayi tunggal sampai setelahnya. Sedangkan, sekitar 1000 ml darah hilang pada sectio sesarea
dan kelahiran per
vaginam
bayi
kembar
(Cunningham dkk., 2006).
2.2.2. Kebutuhan Ibu di masa kehamilan Selama kehamilan, kebutuhan akan vitamin dan mineral akan meningkat. Dalam Nutrition During Pregnancy yang diterbitkan oleh National of Science, USA diacu dalam Hardinsyah dan Briawan (2000) direkomendasikan pemberian suplemen zat gizi mikro pada ibu hamil seperti zat besi (Fe), Zinc (Zn), cuprum (Cu),
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
73
iodium (I), vitamin A, asam folat, dan asam lemak omega 3 (DHA). Pertimbangannya adalah karena adanya peningkatan kebutuhan fisiologis tubuh untuk pertumbuhan janin (Tristiyanti, 2006). Adanya kenaikan volume darah pada saat kehamilan akan meningkatkan kebutuhan zat besi. Jumlah elemental Fe pada bayi baru lahir kira-kira 300 mg dan jumlah yang diperlukan ibu untuk mencegah anemia akibat meningkatnya volume darah adalah 500 mg, terutama dibutuhkan pada setengah akhir kehamilan. Pada diet yang adekuat kandungan Fe sekitar 10-15 mg sehingga Fe pada diet hanya memenuhi sedikit kebutuhan Fe pada ibu hamil (105 – 20% dari kebutuhan). Oleh karena itu diperlukan suplemen Fe (Yongky, 2004). Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 35 gr di dalam tubuh manusia dewasa (Almatsier, 2002). Zat gizi besi (Fe) merupakan kelompok mineral yang diperlukan, sebagai inti dari hemoglobin, unsur utama sel darah merah. Fungsi sel darah merah itu penting mengingat tugasnya antara lain sebagai sarana transportasi zat gizi, dan terutama juga oksigen yang diperlukan pada proses fisiologis dan biokimia dalam setiap jaringan tubuh (Harli, 1999). Zat besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh. Zat ini terutama diperlukan dalam hemopoiesis (pembentukan darah), yaitu dalam sintesa hemoglobin (Sediaoetama, 1987).
Kandungan besi dalam tubuh sangat kecil, yaitu sekitar 35 mg per kg berat badan wanita atau 50 mg per kg berat badan pria. Besi yang ada dalam tubuh berasal dari tiga sumber, yaitu besi yang diperolah dari perusakan sel-sel darah merah (hemolisis), besi yang diambil dari cadangan yang tersimpan dalam tubuh, serta besi hasil penyerapan saluran cerna (Winarno, 1997). Mengingat kebutuhan zat besi selama kehamilan sangat tinggi, FAO/WHO (2001) diacu dalam WNPG (2004) menganjurkan agar wanita hamil, khususnya
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
74
trimester 2 dan 3 mendapatkan tambahan (pil) besi dengan dosis 100 mg/hari. Selama masa kehamilan (280 hari) terjadi kehilangan besi basal 250 mg, kebutuhan janin dan plasenta 315 mg dan kebutuhan untuk meningkatkan massa hemoglobin (termasuk simpanan) 500 mg atau total sekitar 1.1 gr. Pada trimester pertama belum ada kebutuhan yang meningkat drastis sehingga kecukupan besi pada trimester pertama sama dengan kecukupan pada wanita dewasa yang masih menstruasi, yaitu 26 mg/hari. Kebutuhan zat besi menurut trimester yaitu : a) Pada trimester I, zat besi yang dibutuhkan adalah ±1 mg/hari, yaitu untuk kebutuhan basal = 0,8 mg/hari ditambah dengan kebutuha janin dan red cell mass = 30–40 mg. b) Pada trimester II, zat besi yang dibutuhkan adalah ±5 mg/hari, yaitu untuk kebutuhan basal = 0,8 mg/hari ditambah dengan kebutuhan red cell mass = 300 mg dan conceptus = 115 mg. c) Pada trimester III, zat besi yang dibutuhkan adalah 5 mg/hari, yaitu untuk kebutuhan basal = 0,8/hari, ditambah dengan kebutuhan red cell mass = 150 mg dan conceptus = 223 mg. Atas dasar hal tersebut diatas, maka kebutuhan zat besi pada trimester II dan III aka jauh lebih besar dari jumlah zat besi yag di dapat dari makanan, walaupun makanan mengandung zat besi yang tinggi bioavabilitasnya kecuali jika wanita itu pada sebelum hamil telah mempunyai reserve zat besi yag tinggi yaitu lebih besar dari 500 mg di dalam tubuhnya. Wanita yang mempunyai simpanan zat besi lebih besar dari 500 mg jarang ada walau pun pada masyarakat yang maju sekalipun apalagi pada negara-negara yang sedag berkembang. Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme seperti terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, dan besi non heme dalam makanan nabati. Besi heme merupakan bagian kecil dari besi yang diperolah makanan. Akan tetapi yang dapat diabsobsi mencapai 25% sedangkan besi non heme hanya 5% (Almatsier, 2002). Sumber zat besi yang terpenting dalam diet
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
75
adalah daging dan hati, ikan dan daging unggas yang harus dikonsumsi setiap hari karena selain sebagai sumber zat besi, heme juga dapat mendorong absorbsi besi non heme. Sumber besi non heme yang tinggi kandungan zat besinya adalah kacang-kacangan, sayuran berwarna hijau, umbi-umbian, dan buah-buahan (Darlina, 2003). Menurut Almatsier (2002), makan besi heme dan non heme secara bersama dapat meningkatkan penyerapan zat besi non heme. Daging, ayam, dan ikan mengandung suatu faktor yang membantu penyerapan besi. Faktor ini terdiri atas asam amino yang mengikat besi dan membantu penyerapannya. Susu sapi, keju, dan telur tidak mengandung faktor ini hingga dapat membantu penyerapan zat besi. Polifenol seperti tanin dalam teh, kopi, sayuran tertentu, mengikat besi heme membentuk kompleks besi-tannat yang tidak larut sehingga zat besi tidak dapat diserap dengan baik (Alsuhendra, 2005).
Zat
besi
pada
saat
kehamilan
digunakan
untuk
perkembangan janin, plasenta, ekspansi sel darah merah, dan untuk kebutuhan basal tubuh (Darlina, 2003).Pembuangan zat besi dari tubuh terjadi melalui beberapa jalan, diantaranya adalah melalui keringat (0,2 0 1,2 mg/hari), air seni (0,1 mg/hari) dan melalui feses serta darah menstruasi (0,5 – 1,4 mg/hari) (Winarno,1997). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil, terutama di pedesaan Indonesia mengkonsumsi pangan pokok, pangan hewani, dan buah dalam jumlah yang tidak memadai (Tristiyanti 2006 diacu dalam Hardiyansyah dan Briawan 2000). Hal tersebut berimplikasi pada tidak terpenuhi kebutuhan energi, protein, dan berbagai mineral yang penting bagi kehamilan seperti Fe, I, dan Zn serta vitamin, terutama vitamin C dan asam folat. Menurut Riyadi et al. (1997), konsumsi zat besi ibu hamil dibedakan antara konsumsi tinggi
(≥15
mg/kapita/hari)
dan
konsumsi
rendah
(<15
mg/kapita/hari).
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
76
2.2.3. Anemia Ibu hamil Masa
kehamilan
merupakan
masa
dimana
tubuh
sangat
membutuhkan asupan makan yang maksimal baik untuk jasmani maupun rohani (selalu rileks dan tidak stress). Di masa-masa ini pula, wanita hamil sangat rentan terhadap menurunnya kemampuan tubuh untuk bekerja secara maksimal.Wanita hamil biasanya sering mengeluh, sering letih, kepala pusing, sesak nafas, wajah pucat dan berbagai macam keluhan lainnya. Semua keluhan tersebut merupakan indikasi bahwa wanita hamil tersebut sedang menderita anemia pada masa kehamilan. Penyakit terjadi akibat rendahnya kandungan hemoglobin dalam tubuh semasa mengandung. Anemia ini secara sederhana dapat kita artikan dengan kurangnya sel-sel darah merah di dalam darah daripada biasanya. Anemia dalam kehamilan ialah suatu kondisi ibu dengan kadar haemoglobin dibawah 11 gr % terutama pada trimester I dan trimester ke III. Kadar Hb yang normal untuk wanita hamil trimester akhir minimal 10,5 g/dL. Jika kurang, disebut anemia. Pada wanita tidak hamil, kadar normal Hb adalah 12-16 g/dL. Anemia dalam masa kehamilan merupakan hal yang sering terjadi. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa 35-75% perempuan pada negara berkembang dan 18% perempuan pada negara maju mengalami anemia dalam masa kehamilan. Anemia dalam kehamilan dapat dibagi menjadi dua yaitu anemia akibat perubahan yang normal terjadi dalam kehamilan dan anemia akibat adanya hal yang tidak normal. Anemia dapat timbul tanpa adanya abnormalitas selama masa kehamilan karena selama kehamilan, jumlah plasma ibu meningkat sampai 50% (sekitar 1000 cc). Jumlah sel darah juga meningkat, tapi hanya 25% dan baru timbul pada kehamilan akhir. Hal inilah yang menyebabkan kadar hemoglobin merosot. (WHO, 2008).
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
77
2.2.4. Anemia Gizi besi Anemia gizi merupakan hasil daripada kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial, seperti zat besi asam folat dan vitamin B12 yang sangat dibutuhkan untuk pembentukan sel-sel darah merah. Zat-zat gizi lainnya yang juga dibutuhkan ialah protein, vitamin C, pyridoxine dan copper (Husaini, 1989). Dalam keadaan normal, simpanan zat besi, asam folat dan vitamin B12 cukup didalam badan. Bila simpanan ini berkurang jumlahnya akan terjadi ketidakseimbangan zat-zat gizi tersebut didalam badan namun belum menunjukkan kelainan bioklinis atau klinis. Tetapi bila jumlah ini berkurang terus, akhirnya sampai pada keadaan yang disebut anemia. Jumlah sel darah merah tidak cukup banyak diproduksi, mengakibatkan kadar Hb di dalam darah menjadi rendah. Anemia gizi karena kurang zat besi adalah yang paling umum terjadi di masyarakat. Meskipun demikian, pada situasi tertentu misalnya pada wanita hamil trimester ketiga dan bayi premature, kekurangan asam folat dapat menyebabkan anemia, kekurangan vitamin B12 dapat pula terjadi pada orang-orang yang sering mengalami malabsorbsi. Pada penelitian di masyarakat, penentuan asam folat dan vitamin B12 dalam darah kurang penting dilakukan, kecuali ada indicator sebelumnya bahwa di daerah yag bersangkutan banyak ditemukan defisiensi asam folat atau vitamin B12. Jika dipandang dari segi kesehatan masyarakat praktis, anemia gizi selalu diasosiasikan sebagai anemia gizi zat besi (Almatsier, 2002).
Penyebab anemia yang paling sering pada kehamilan selain anemia fisiologis yang telah dijelaskan di atas adalah anemia defisiensi besi. Kekurangan zat gizi yang satu ini merupakan penyebab 75% kasus anemia dalam kehamilan. Angka kejadiannya pada trimester pertama hanya 3-9%, dan meningkat 1? Caranya adalah dengan memeriksakan kadar simpanan besi yaitu fetritin dan kadar besi
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
78
dalam darah yaitu serum iron. Kadar serum iron dan ferritin yang rendah jelas menggambarkan keadaan defisiensi besi. Namun terkadang, defisiensi besi belum sampai menyebabkan simpanan besi tubuh berkurang sehingga yang terlihat dalam pemeriksaan adalah kadar serum iron yang turun. Jika pasien minum suplementasi besi beberapa hari sebelum pemeriksaan pun, kadar serum iron dapat terlihat normal. Oleh karena itu, diskusikanlah hasil pemeriksaan dengan dokter untuk mendapatkan interpretasi yang benar. (Buana, 2004)
2.2.5. Penilaian Status Zat Besi Ada beberapa indicator laboratorium untuk menentukan status besi (Nyoman, 2002 dalam Ballada Santi 2006) yaitu: a) Hemoglobin (Hb) Hemoglobin
adalah parameter yang digunakan secara luas
untuk menetapkan prevalensi anemia. Hb merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah. Hb dapat diukur secara kimia dalam jumlah Hb/100 ml gram darah dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah.
Kandungan Hb yang rendah dengan demikian
mengindikasi anemia. Nilai normal yang paling sering dinyatakan adalah 14 – 18 gram/100 ml untuk laki-laki dan 12 – 16 gram/ 100 ml untuk wanita (gram/100 ml sering disingkat dengan gr % atau gr/dl). Beberapa literatur menunjukkan nilai lebih rendah sehingga pasien tidak dianggap anemia sampai Hb kurag dari 13 gr/100 ml untuk laki-laki dan 11 gr/100 ml untuk wanita. Kesalahan rata-rata nilai Hb antara 2% - 3% bergantung metode yang digunakan. Metode yang lebih dulu dikenal adalah Sahli, dalam metode ini Hb dihidrolisis dengan HCL menjadi globin ferro-heme. Kemudian diperbandingkan dengan warna standar dengan mata telanjang sehingga
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
79
subjektivitas sangat berpengaruh karena disamping factor mata, ketajaman,
penyinaran dapat
juga
mempengaruhi
hasil
pembacaan. Akan tetapi untuk daerah yang belum mempunyai peralatan canggih atau pemeriksaan di lapangan, metode sahli masih memadai dan bila pemeriksanya telah terlatih hasilnya dapat diandalkan. Metode Cyanmethemoglobin
merupakan
metode yang lebih canggih daripada metode sahli. Pada metode ini
Hb
dioksidasi
oleh
Kalium
Ferrosianida
menjadi
methemoglobulin yang bereaksi dengan ion sianida (CN2-) membentuk sian-methemoglobulin yang berwarna merah. Intensitas warna dibaca dengan fotometer dan dibandingkan dengan warna standar, sehingga hasilnya lebih objektif. Alat fotometer sangat mahal sehingga belum semua laboratorium di daerah memiliki sehingga metode sahli masih digunakan. b) Hematocrit (HCT) Adalah volume eritrosit yang dipisahkan dari plasma dengan cara memutarnya di dalam tabung khusus yang nilainya dinyatakan dalam persen (%). Persentase massa sel darah merah pada volume darah yang asli merupakan hematocrit. Hematocrit bergantung sebagia besar pada jumlah sel darah merah. Hematocrit biasanya hamper 3 kali nilai hemoglobin. Nilai normal adalah 40% - 54% untuk laki-laki dan 37% - 47% untuk wanita. Kesalahan rata-rata pada prosedur HCT kira-kira 1% - 2%. c) Ferritin Serum (Sf) Untuk menilai status besi dalam hati perlu mengukur kadar ferritin. Bayak ferritin yang dikeluarkan ke dalam darah secara proporsional menggambarkan banyaknya simpanan zat besi dalam hati. Apabila didapat serum ferritin sebesar 30 mg/dl darah merah berarti di dalam hati terdapat 30 x 10 mg = 300 mg ferritin. Dalam keadaan normal kadar ferritin pada laki-laki
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
80
90 µg/dl darah merah dan wanita sebanyak 30 µg/dl darah merah (Husaini, 2004). d) Transferring Saturation (TS) Penentuan kadar zat besi dalam serum merupakan satu cara menentukan status besi. Salah satu indikator lainnya adalah Total Iron Binding Capacity (TIBC) dalam serum. Kadar TIBC ini meningkat pada penderita anemia karena kadar besi dalam serum menurun sedangkan TIBC meningkat pada keadaan defisiensi besi maka rasio keduanya (Transferrin Saturation) lebih sensitive. Apabila TS>16% pembentukan sel-sel darah merah dalam sumsum tulang belakang dan keadaan ini disebut defisiensi besi. e) Free eryrocytes protophophyrin (FEP) Apabila penyediaan zat besi tidak cukup banyak untuk pembentukan sel-sel darah merah di sumsum tulang maka sirkulasi FEP di darah meningkat walau belum tampak anemia. Dalam keadaan normal kadar FEP berkisar 35–50 µg/dl darah merah, tetapi apabila kadar FEP dalam darah >100 µg/dl darah merah menunjukkan individu menderita kekuragan besi. Anemia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat maka prediksi status besi denga menggunakan kadar Hb masih layak untuk dilakukan di lapangan selama alternative lain yang mudah dan sederhana belum tersedia, walaupun demikian perlu juga diketahui status gizi. Karena cara-cara seperti FEP, TS. SF dan Hematocrit sulit dilakukan di lapangan karena mahal dan rumit, maka pengukuran kadar Hb masih layak dilakukan.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
81
2.2.6. Indikator pada Defisiensi Besi Besi merupakan suatu zat yag penting untuk proses metabolism yang berkaitan dengan transportasi oksigen, metabolisme oksidatif dan pertumbuhan selular. Berikut tabel indikator pada defisensi besi:
Tabel 2.1. Indikator Defisiensi Besi. Indikator
Normal
Serum Ferritin
130
(µg/l)
35(F)
TIBC (µg/l)
330
Transferrin
Pengurangan
Defisiensi
Defisiensi
simpanan zat
awal zat
zat besi/
besi
besi
anemia
(M), < 13
< 13
< 13
360
390
410
35
30
< 15
< 15
EP (µg/dl rbc)
30
30
100
200
STfR (mg/l)
5.5
5.5
10
14
Erithrosit
Normal
Normal
Normal
Mycrocytic,
Saturasi (%)
(Hb,Ht,rbc
hypochromic
indices)
anemia*
Sumber : Bothwell et al., Brittenham, Looker et al *level ktiris untuk diagnose anemia (konsentrasi hemoglobin, g/dl) : 6 bulan sd 5 tahun, 11.0 ; 5 sd 11 tahun, 11.5 ; 12 sd 13 tahun, 12.0 ; wanita menstruasi, 12.0 ; ibu hamil, 11.0 ; Pria, 13.0 nilai kritis hemoglobin adalah untuk individu yang tinggal di ketinggian permukaan laut. Nilai hemoglobin berbeda untuk daerah yang tinggi.
(Ramakrishnan, 2000)
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
82
2.2.7. Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada ibu hamil 2.2.7.1. Umur ibu saat hamil Umur ibu pada saat hamil akan mempengaruhi timbulnya anemia. Bila umur ibu pada saat hamil relativ muda (<20 tahun) akan beresiko anemia. Hal itu dikarenakan pada umur
tersebut
masih
terjadi
pertumbuhan
yang
membutuhkan zat gizi lebih banyak dibandingkan dengan umur diatasnya. Bila zat gizi yang dibutuhkan tidak terpenuhi, akan terjadi kompetisi zat gizi antara ibu dengan janin yang dikandungnya (Wijianto, 2002). Menurut Depkes RI (2001), kadar Hb 7.0–10.0 g/dl banyak ditemukan pada kelompok umur <20 tahun (46%) dan kelompok umur ≥ 35 tahun (48%). 2.2.7.2. Pendidikan Ibu Rendahnya
tingkat
pendidikan
ibu
hamil
dapat
menyebabkan keterbatasan dalam upaya menangani masalah gizi dan kesehatan keluarga (Wijiyanto 2992 diacu dalam Tristiyanti, 2006). Ibu hamil dengan tingkat pendidikan rendah (tidak sekolah, tidak tamat SD dan tamat SD) sebanyak 66.15% menderita anemia dan merupakan prevalensi terbesar dibandingkan dengan kategori pendidikan sedang maupun tinggi (Mulyono 1994 diacu dalam Wijianto 2002). Pendidikan formal sangat penting dalam menentukan status gizi keluarga. Kemampuan baca tulis di pedesaan akan membantu dalam memeprlancar komunikasi dan penerimaan
informasi,
dengan
demikian
informasi
tentang kesehatan akan lebih mudah diterima oleh keluarga (Sukarni, 1989). Tingkat pendidikan yang dicapai seseorang mempunyai hubungan nyata dengan pengetahuan gizi dari makanan yang dikonsumsinya (Handayani, 2000).
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
83
2.2.7.3. Pengetahuan gizi Pengetahuan gizi dan kesehatan merupakan salah satu jenis
pengetahuan
yang
dapat
diperoleh
melalui
pendidikan. Pengetahuan gizi dan kesehatan akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Semakin banyak pengetahuan tentang gizi dan kesehatan, maka semakin beragam pula jenis makanan yang dikonsumsi sehingga
dapat
memenuhi
kecukupan
gizi
dan
memepertahankan kesehatan individu (Suhardjo, 1989). Didapat data sebanyak 57,5% ibu hamil yang anemia memiliki
tingkat
pengetahuan
gizi
yang
kurang,
sedangkan 50,0% ibu hamil anemia memiliki tingkat pengetahuan gizi baik (Tristiyanti, 2006). 2.2.7.4. Pekerjaan Ibu Status pekerjaan biasanya erat hubungannya dengan pendapatan seseorang atau keluarga. Ibu hamil yang tidak bekerja kemungkinan akan menderita anemia lebih besar dibandingkan pada ibu yang berkerja. Hal ini disebabkan pada ibu yang berkerja akan menyediakan makanan, terutama yang mengandung sumber zat besi dalam jumlah yang cukup dibandingkan ibu yang tidak berkerja (Wijianto,
2002).
Pada
penelitain
sebelumnya
disimpulkan sebanyak 92,5% ibu hamil dengan status anemia tidak berkerja, sedangkan 7,5% ibu hamil yag menderita anemia berkerja (Tristiyanti, 2006). 2.2.7.5. Pendapatan Ibu Dengan meningkatnya pendapatan perorangan, terjadilah perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi, pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan. Kadang-kadang perubahan utama yang terjadi dalam kebiasaan makanan ialah pangan yang dimakan lebih
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
84
mahal (Suhardjo, 1989). Pengeluaran pangan merupakan sejumlah uang
yang digunakan untuk melakukan
pembelian pangan (Tristiyanti, 2006). 2.2.7.6. Usia kehamilan Kebutuhan zat gizi pada ibu hamil terus meningkat sesuai dengan bertambahnya umur kehamilan. Apabila terjadi peningkatan kebutuhan zat besi tanpa disertai oleh pemasukan yang cukup, maka cadangan besi akan menurun dan dapat mengabaikan anemia. Meningkatnya kejadian anemia dengan bertambahnya umur kehamilan disebabkan
terjadinya
perubahan
fisiologis
pada
kehamilan yang dimulai pada minggu ke-6, yaitu bertambahnya volume plasma dan mencapai puncaknya pada minggu ke-26 sehingga terjadi penurunan kadar Hb (Suwardono dan Soemantri, 1995 diacu dalam Darlina, 2003). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di Kabupaten Lampung Utara didapatkan hasil 66,7% ibu hamil anemia pada trimester ketiga, 38,7% pada trimester kedua dan 50,7% pada trimester pertama (Buana, 2004). 2.2.7.7. Jarak kelahiran Salah satu penyebab yang dapat mempercepat terjadinya anemia pada wanita adalah jarak kelahiran yang pendek (Soejonoes, 1991 dalam Darlina, 2003). Hal ini disebabkan karena adanya kekurangan nutrisi yang merupakan mekanisme biologis dari pemeulihan faktor hormonal (Malem, 1998 diacu dalam Darlina, 2003). Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 1995) jarak persalinan yang baik adalah minimal 24 bulan. 2.2.7.8. Paritas Paritas atau jumlah persalinan juga berhubungan dengan anemia. Hasil SKRT 1985-1986 yang diacu dalam
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
85
Wijianto (2002) menyatakan bahwa prevalensi anemia pada kelompok paritas 0 lebih rendah daripada paritas 5 ke atas. Semakin sering seorang wanita melahirkan maka semakin besar resiko kehilangan darah dan berdampak pada penurunan kadar Hb. Setiap kali wanita melahirkan, jumlah zat besi yang hilang diperkirakan sebesar 250 mg. Hal
tersebut akan lebih berat lagi apabila jarak
melahirkan relatif pendek. Hasil yang didapat pada penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa anemia lebih banyak terjadi pada ibu hamil yang mempunyai anak >2 (60%) dibanding ibu hamil yang memiliki anak <2 (48%) (Buana, 2004). 2.2.7.9. ANC (Ante Natal Care) Departemen kesehatan RI menganjurkan agar setiap ibu hamil
diperiksa
kehamilan
(ANC)
oleh
petugas
kesehatan, minimal harus menerima 5T. Arti dari 5T yaitu ibu hamil yang melakukan ANC pernah ditimbang badan, diukur tensi/tekanan darah, menerima tablet Fe, menerima imunisasi TT dan diperiksa tinggi fundus uteri (SKRT, 2001). Pemeriksaan kehamilan sangat penting bagi ibu hamil untuk mendeteksi keadaan hamil yang mungkin membahayakan kesehatan ibu dan janin secara dini. Dengan pemeriksaan kehamilan secara rutin, maka ibu yang menderita anemia dapat ditanggulangi dengan pemberian tablet besi (Buana, 2004). 2.2.7.10. Kurang Energi Kronis (KEK) Gizi seimbang adalah pola konsumsi makanan sehari-hari yang sesuai dengan kebutuhan gizi setiap individu untuk hidup
sehat
dan
produktif.
Setiap
orang
harus
mengkonsumsi minimal satu jenis bahan makanan dari tiap-tiap golongan bahan makanan (sumber karbohidrat, hewani, nabati, sayur, dan buah) dalam sehari dengan
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
86
jumlah yang mencukupi (Kodyat, 1995 dalam Darlina, 2003). Angka kecukupan energi (AKE) adalah rata-rata tingkat konsumsi energi dari pangan yang seimbang dengan pengeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh (berat) dan tingkat kegiatan fisik agar hidup sehat dan dapat melakukan kegiatan ekonomi dan sosial yang diharapkan. Untuk ibu hamil, AKE termasuk kebutuhan energi untuk pertumbuhan janin dan cadangan energi (hardinsyah dan Tambunan, 2004). Timbulnya masalah gizi pada ibu hamil, seperti kejadian KEK tidak terlepas dari keadaan sosial, ekonomi, dan bio-sosial dari ibu hamil dan keluarganya seperti tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, konsumsi pangan, umur, paritas, dan sebagainya. Salah satu cara menilai status gizi ibu hamil yaitu dengan menggunakan teknik estimasi berat badan ibu hamil sebelum dan menilai penambahan berat yang adekuat selama kehamilan (estimation of pre-pregnancy weight and adequacy of weight gain during pregnancy). Untuk melakukan analisis pada sampel, ibu hamil harus memiliki 2 ukuran berat badan selama kehamilan, dengan ukuran berat badan pertama di ukur pada 6 bulan pertama kehamilan dan berat badan berikutnya diukur selama bulan ketujuh dan kesembilan. Karena angka kenaikan berat badan antara pengukuran pertama dan kedua diukur untuk mengestimasi total kenaikan berat badan selama kehamilan, maka dibutuhkan pengukuran berat badan pertama dan kedua yang memiliki jarak setidaknya 11 minggu (Achadi, 1995). 2.2.7.11. Konsumsi Zat Besi Sumber makanan yang kaya akan zat besi dan mudah diserap dalam tubuh pada umumnya terdapat dalam
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
87
golongan hewani seperti hati, ikan, telur, dan daging. Disamping itu terdapat bahan makanan sumber nabati yang kaya akan zat besi dan sudah umum serta banyak dikonsumsi, seperti daun singkong, kangkung, dan sayuran berwarna hijau. Tetapi zat besi yang ada dalam makanan tersebut sukar untuk diabsorbsi (1-6%) (Depkes, 1995). Absorbsi zat besi dalam tubuh dibagi berdasarkan pola menu makanan sehari-hari. Pertama, pola menu yang tergolong rendah penyerapan zat besinya (sekitar 5%) bila makanan tersebut teridiri dari nasi, umbi-umbian, kacangkacangan dan sedikit mengandung daging, ikan, ayam, dan vitamin C. pola menu seperti ini banyak mengandung phytat, serat, polyphenol, dan
bekatul yang dapat
menghambat penyerapan zat besi. Kedua, menu makanan yang mempunyai penyerapan zat besi sedang (sekitar 10%) terdiri atas nasi, roti, umbi-umbian atau jagung, sayur-sayuran dan buah-buahan serta sering ada daging, ikan, atau ayam walau jumlahnya sedikit didalam menu sehari-hari. Ketiga, makanan yang tergolong mempunyai absorbsi zat besinya tinggi (sekitar 15%) biasanya terdiri dari beraneka ragam bahan makanan dan hewani . Ada dua bentuk zat besi yang ada dalam tubuh, yaitu bentuk heme berasal dari makanan kelompok hewani dan non heme berasal dari makanan kelompok nabati atau tumbuh-tumbuhan. Seluruh Fe yang ada dalam makanan, rata-rata lebih dari 88% terdiri dari non heme (Santi, 2006).
Menurut Dettels (1997), heme iron merupakan sumber makanan yang siap diserap dan tidak dipengaruhi oleh unsur lain yang ada di dalam makanan, sedangkan inorganic iron tidak langsung diserap da kadang-kadang
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
88
sagat dipengaruhi oleh factor lain yang ada dalam makanan. Makanan yang berasal dari hewani dan dengan adanya vitamin C aka meningkatkan daya serap dari inorganic iron, sedangkan makanan yang terdiri dari bahan utama sereal da umbi-umbian, kemungkinan bayak mengandung zat besi, akan tetapi dengan tidak adanya vitamin C sebagai co-factor, akan menyebabkan daya serap Fe tetap rendah. Bahan makanan sumber Fe yang dikonsumsi sehari-hari sangat besar pengaruhnya dalam hal absorbsi. Kehilangan Fe yang diserap bervariasi antara 1-20% tergatung dari makanannya. Makanan yang haya terdiri dari sayuran saja mempunyai daya serap paling rendah, dan daging menempati posisi teratas karena heme daging paling baik untuk diabsorbsi (Tristiyanti, 2006). Heme dapat diserap sekitar 25% aka tetapi non heme diserap hanya 1-6% dan secara umum keadaan atau status Fe dalam tubuh seseorang tergantung dari jumlah protein yag ada, vitamin C yag diserap, asamasam yang dapat meningkatkan penyerapan Fe, phytat dan beberapa zat yang menghambat penyerapan. Angka kecukupan protein merupakan rata-rata konsumsi protein untuk menyeimbangkan protein yang hilang ditambah sejumlah tertentu agar mencapai hampir semua populasi sehat (97,5%) di suatu kelompok umur, jenis kelamin, dan ukuran tubuh tertentu pada tingkat aktifitas sedang (Setiawan dan Rahayuningsih, 2004). 2.2.7.12. Faktor Peningkat dan Penghambat absrobsi zat besi Ada dua
factor yang berpengaruh dalam
proses
penyerapan Fe dalam tubuh, antara lain factor yang mempercepat atau meningkatkan penyerapan dan faktor yang menghambat penyerapan zat besi.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
89
a) Faktor Peningkat Zat dari bahan makanan yang dapat meningkatkan penyerapan Fe antara lain asam sitrat, asam askorbat, cysteine-containing peptides, ethanol, asam laktat, malic dan lactaric acids, hasil fermentasi yang terdapat dalam guafa dan faw-faw, daging, daging babi, hati, ayam, ikan, jeruk, pir, apel, nanas, cauliflower, pisang, manga, wortel, kentang, labu, brokoli, tomat, turnip, selada, cabe hijau, anggur merah, anggur putih, miso dari besar dan saus kedelai (Husaini, 1989). Sumber makanan hewani seperti daging, ikan, dan ayam jika ada dalam makanan walaupun dalam jumlah sedikit akan dapat meningkatkan penyerapan zat besi non heme yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. b) Faktor Penghambat Selain
senyawa-senyawa
meningkatkan
yang
penyerapan,
berperan
telah
dalam
teridentifikasi
beberapa senyawa yang dapat mengganggu atau menghambat penyerapan zat besi. Senyawa tersebut mampu berikatan dengan zat besi membentuk senyawa kompleks yang bersifat tidak larut sehingga sulit atau tidak bisa diserap melintasi dinding usus. Senyawasenyawa yang termasuk sebagai inhibitor penyerapan zat besi antara lain tanin, fitat dan serat pangan. Tanin yang banyak terdapat di dalam teh merupakan inhibitor potensial karena dapat mengikat zat besi secara kuat membentuk Fe-tanat yang bersifat tidak larut. Fitat pada kulit serealia diketahui dapat menghambat penyerapan zat besi. Selain itu, serat pangan juga dapat menghalangi penyerapan zat besi den beberapa mineral lainnya. Meskipun demikian, efek serat pangan terhadap penyerapan zat besi masih
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
90
relatif kecil dibandingkan tanin dan fitat (Schmidl & Labuza 2000). 2.2.7.13. Infeksi dan Penyakit Beberapa infeksi penyakit memeperbesar risiko anemia. Infeksi itu umumnya adalah cacing dan malaria. Pada daerah-daerah tropis, lembab, dan sanitasi lingkungan yang buruk, anemia gizi diperberat keadaannya oleh investasi cacing. Cacing tambang menempel pada dinding usus dan memakan darah. Akibat gigitan, sebagian darah hilang dan dikeluarkan dari badan bersama tinja (Husaini 1989 dalam Santi, 2006). Ibu yang sedang hamil sangat peka terhadap infeksi dan penyakit menular. Beberapa diantaranya meskipun tidak mengancam nyawa ibu, tetapi tidak dapat menimbulkan dampak berbahaya bagi janin. Diantaranya, dapat mengakibatkan abortus, pertumbuhan janin terhambat, bayi mati dalam kandungan, serta cacat bawaan. Penyakit infeksi yang diidap ibu hamil biasanya tidak diketahui saat kehamilan. Hal itu baru diketahui setelah bayi lahir dengan kecacatan. Pada kondisi terinfeksi penyakit, ibu hamil akan kekurangan banyak cairan tubuh serta zat gizi lainnya (Hardisyah, 2000). Seseorang dapat terkena anemia karena meningkatnya kebutuhan tubuh akibat
kondisi fisiologis (hamil,
kehilangan darah karena kecelakaan, pasca bedah atau menstruasi), adanya penyakit kronis atau infeksi (infeksi cacing tambang, malaria, TBC) (Anonim, 2006). 2.2.8. Dampak Anemia Efek anemia bagi ibu dan janin bervariasi dari ringan sampai berat. Bila kadar hemoglobin lebih rendah dari 6 g/dL, maka dapat timbul komplikasi yang signifikan pada ibu dan janin. Kadar hemoglobin serendah itu tidak dapat mencukupi kebutuhan oksigen janin dan dapat menyebabkan gagal jantung pada ibu. Beberapa penelitian
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
91
juga menemukan hubungan antara anemia ibu pada trimester satu dan dua dengan kelahiran prematur (kurang dari 37 minggu). Selain itu anemia pada ibu hamil juga menyebabkan hambatan pada pertumbuhan janin baik sel tubuh maupun sel otak, Abortus, lamanya waktu partus karena kurang daya dorong rahim, pendarahan post – partum, rentan infeksi, rawan dekompensasi cordis pada penderita dengan Hb kurang dari 4 g–persen. Hipoksia akibat anemia dapat menyebabkan shock bahkan kematian ibu saat persalinan, meskipun tak disertai pendarahan, kematian bayi dalam kandungan, kematian bayi pada usia sangat muda serta cacat bawaan, dan anemia pada bayi yang dilahirkan (Harli, 1999).
2.2. Teh 2.2.1. Sejarah teh Teh adalah minuman yang sangat akrab dalam kehidupan seharihari. Dalam masyarakat Indonesia, teh hampir menjadi substitusi. Konon penemua teh oleh sang kaisar terjadi secara tidak sengaja. Suatu hari ketika ia beristirahat dalam perjalanan jauh bersama rombongan, tiba-tiba saja sehelai daun teh dari tanaman yang ada di kebun tempatnya beristirahat jatuh ke dalam salah satu baskom yang berisi air panas. Ketika air yang sudah tercampur denga daun teh itu mengeluarkan aroma yang sedap dan warnanya berubah menjadi kecoklatan secara spontan Sang Kaisar langsung tergoda untuk meminumnya. Aromanya yang sedap, rasanya yang sepat dan pahit ternyata sangat disukai oleh Sang Kaisar. Kaisar percaya rasa sepat dan pahit itu dapat membuat tubuh lebih segar. Sejak itu Kaisar Shen Nung kerap kali meminum teh dan sejak itu pula teh menjadi sangat popular di seluruh penjuru Cina (Ajisaka, 2012). Tanaman teh masuk pertama kali di Indonesia pada tahun 1684, berupa biji teh dari Jepang yang dibawa oleh orang Jerman bernama Andreas Cleyer dan ditanam sebagai tanaman hias di Jakarta. Pada tahun 1694, seorang pendeta bernama F. Valentijn mengatakan bahwa telah melihat perdu
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
92
teh muda berasal dari cina, tumbuh di taman Istana Gubenur Jendral Champhusy di Jakarta (Diniatik, 2007). Saat ini teh telah mendominasi di lebih dari 45 negara dan dikonsumsi di lebih dari 115 negara di seluruh dunia. Irlandia adalah konsumen terbesar di dunia. Di sini setiap orang rata-rata mengkonsumsi teh delapan gelas sehari. Namun produsen sekaligus konsumen terbesar teh adalah India. Di negeri ini di mana saja dan kapan saja, chai (teh) menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari (Ajisaka, 2012).
2.2.2. Manfaat teh Konon seorang penikmat teh memiliki pembawaan yang jauh lebih rasional dan tenang dibandingkan penikmat kopi ataupun wine. Selain itu, orang yang memiliki kebiasaan minum teh dalam hidupnya juga akan tampak lebih muda dibandingkan dengan orangorang seusianya (Ajisaka, 2012). Sekarang tanaman teh dijadikan sebagai bahan obat tradisional yang berkhasiat mengobati sakit kepala, diare, diabetes, mengurangi karang gigi, kolesterol dan gliserida hipertensi, infeksi saluran cerna, antikanker, penyubur dan menghitamkan rambut (Andi nur, 2006).
2.2.3. Jenis dan Pengolahan teh a) Teh hijau Teh hijau bisa disebut sebagai teh yang memiliki potensi khasiat untuk kesehatan yang paling baik. Hal ini dikarenakan pada teh hijau kandungan katekin dapat dipertahankan secara lebih utuh. Zay yang merupakan komponen bioaktif itu dapat dipertahankan dengan cara menginaktivasi enzim polifenol oksidasi baik melalui proses pelayuan maupun pemanasan. Pada proses pengolahan lainnya, katekin dioksidasi menjadi senyawa orthoquinon, bisflaanol, theaflavin dan thearubigin yang kemampuannya tidak sehebat katekin. Pengolahan teh hijau di Indonesia mengikuti serangkaian proses fisik dan mekanis tanpa
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
93
atau sedikit mengalami proses oksimasi terhadap daun teh melalui sistem panning. Tahapan pengolahannya terdiiri atas pelayuan, penggulungan, pengeringan, sortasi dan gradinasi serta pengemasan. b) Teh hitam / Merah Secara umum, pengolahan teh hitam di Indonesia dapat dikategorikan dalam dua sistem, yaitu sistem Orthodox dan sistem baru seperti CTC (Crushing-Tearing-Curling) dan LTP (Lowrie Tea Processor). Meski sistem yang digunakan berbeda, secara prinsip proses pengolahannya tidak jauh berbeda. c) Teh putih Teh putih adalah jenis teh yang paling langka sekaligus paling mahal di dunia, yang pada awalnya hanya dikonsumsi oleh Kaisar China dan anggota istana sejak zaman Dinasti Tang (618-907). Teh putih terbaik dibuah hanya dari tunas varietas Camellia Sinensis , yang ditanam didaerah pegunungan tinggi di Provinsi Fujian (China), sebagai tempat asal teh putih pertama (Original) dan terbaik di dunia. Teh putih dengan kualitas terbaik dipetik hanya dalam waktu dua hari (Supreme Grade) hingga dua minggu (High Grade) setiap tahunnya pada awal musim semi, saat tunas daun teh belum terbuka dan masih diselimuti bulu-bulu halus berwarna putih. Teh ini dihasilkan dari pucuk daun yang tak mengalami proses oksidasi dan sebelum dipetik teh ini sengaja dilindungi dari sinar matahari untuk menghadang pembentukan klorofil (zat penghijau daun). Pemrosesan teh putih dilakukan secara tradisional, alami dan sangat minimal dan hanya meliputi pelayuan dan pengeringan segera
setelah
proses
penetikan
dilakukan.
Teh
putih
dikeringkan secara alami dengan bantuan angin dan sinar matahari pegunungan, tanpa melalui proses fermentasi maupun penggilingan sehingga tidak merusak bentuk teh putih yang sebenarnya. Teh yang langka ini dipetik secara hati-hati dengan
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
94
tangan. Yang diambil hanya tunas dan daun teh termuda dengan standar yang sangat ketat yang diwariskan secara turun-temurun sejak zaman Dinasti Ming (1364-1644). Minimnya pemrosesan menjadikan teh putih memiliki kandungan antioksidan polifenol dan katekin tertinggi, lebih tinggi dari teh hijau maupun teh hitam. Penelitian terbaru pada teh putih yang berasal dari Fujian, China menyebutkan bahwa 1 cangkir teh putih mempunyai kandungan antioksidan dan setara dengan 12 gelas jus jeruk segar. d) Teh Oolong Nama oolong diambil dari nama pria Cina yakni Wu Long atau Oolong. Pria ini menemukan teh oolong secara tidak sengaja dengan mendapati daun tehnya telah teroksidasi oleh matahari dan memberikan hasil seduhan yang enak. Teh oolong berasal dari satu spesies tumbuhan teh Camellia Sinensis sama dengan teh hijau, teh putih maupun teh merah. Perbedaan antara teh oolong dengan teh lainnya yaitu pada proses pembuatan dan pengeringannya. Teh oolong ditempatkan dalam kondisi kelembapan dan temperatur tertentu untuk memungkinkan oksidasi. Namun, proses oksidasi hanya dilakukan setengah jalan. Daun-daun teh oolong tidak dibuat untuk pecah, sehingga sebagian struktur sel daun masih relatif menyatu. Perbedaan proses inilah yang membuat setiap jenis teh memiliki manfaat berlainan, meski berasal dari daun tumbuhan yang sama. Oksidasi setengah inilah yang justru memberi manfaat besar, bahkan dianggap yang terbaik dari tipe fermentasi teh lain (teh hijau dan teh hitam) e) Teh hitam Istilah teh hitam selain digunakan sebagai padanan teh merah juga digunakan sebagai sebutan untuk teh tua atau teh yang sengaja disimpan bertahun-tahun. Teh ini memiliki aroma
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
95
lembut dan berwarna kehitaman. Dapat menghilangkan lemak dan koleterol dan berasal dari Yunan (China) f) Teh bunga Teh ini diproses dengan cara pengasapan dan penambahan teh hijau atau merah dengan bunga-bungan alami. Teh bunga yang paling populer adalah teh melati yang merupakan campuran teh hijau atau teh oolong yang dicampur bunga melati. Bungabunga lain yang sering dijadikan campuran teh adalah mawar, seroja, leci dan seruni. (Ajisaka, 2012) 2.2.4. Kandungan Kimia Teh Untuk mengetahui apakah teh itu bermanfaat atau berbahaya, maka dapat dilihat dari kandungan teh itu sendiri. Daun teh mengandung kafein, theofilin, tanin, xan-thine, adenine, minyak asiri, kuersetin, naringenin, dan natural fluoride a) Kafein Daun teh mengandung kafein (2 – 3%). Kandungan kafein inilah yang menjadi masalah utama manfaat dari teh. Di dalam minuman teh mengandung kurang lebih 40 mg kafein. Kafein ialah alkaloid yang tergolong dalam famili methylxanthine bersama-sama senyawa teofilin dan teobromin. Kafein ialah serbuk putih yang pahit. Kafein mempunyai daya kerja sebagai stimulan
sistem
syaraf
pusat,
stimulan
otot
jantung,
meningkatkan aliran darah melalui arteri koroner, relaksasi otot polos bronki, dan aktif sebagai diuretika, dengan tingkatan yang berbeda. Dan, tidak sama dengan yang lain, daya kerja sebagai stimulan sistem syaraf pusat dari kafein sangat menonjol sehingga umumnya digunakan sebagai stimulan sentral. Terlalu banyak kafein dapat menyebabkan intoksikasi kafein (yaitu mabuk akibat kafein). Gejala penyakit ini ialah keresahan, kerisauan, insomnia, keriangan, muka merah, kerap kencing (diuresis), dan masalah gastrointestial. Gejala-gejala ini bisa
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
96
terjadi walaupun hanya 250 mg kafein yang diambil. Jika lebih dari 1 g kafeina diambil dalam satu hari, gejala seperti kejangan otot (muscle twitching), kekusutan pikiran dan perkataan, aritmia kardium (gangguan pada denyutan jantung) dan bergejolaknya psikomotor (psychomotor agitation) bisa terjadi. Intoksikasi kafein juga bisa mengakibatkan kepanikan dan penyakit kerisauan. Setiap orang berbeda kadar kepekaannya terhadap kafein. Beberapa kepekaan terhadap pengaruh kafein terhadap ibu yang sedang hamil telah diungkapkan, yaitu dapat menyebabkan kelahiran bayi yang cacat. Penelitian terhadap manusia dan hewan belum konklusif hasilnya; apakah benar dengan konsumsi normal sehari-hari dapat mengakibatkan kelahiran bayi yang cacat. Walaupun demikian karena adanya ketidakpastian dalam penelitian terhadap manusia dan telah adanya bukti yang nyata bahwa beberapa bayi cacat terjadi pada hewan percobaan, maka dapat disarankan untuk perempuan yang sedang hamil untuk mengurangi konsumsi kafeinnya perhari. Bagi orang yang mempunyai tekanan darah tinggi, teh memang dapat membantu melindungi jantung. Akan tetapi bagi yang telah terlanjur menderita penyakit jantung, mereka harus menghindari minum teh kental, karena kadar kafein dalam teh bisa merangsang orang dan menaikkan tekanan darahnya. Bila mereka tetap minum teh maka jantungnya akan berdetak cepat, merasa sangat gelisah bahkan mengalami arrhythmia atau tidak adanya irama jantung. Konsumsi teh bagi masyarakat Indonesia, seperti telah menjadi tradisi yang mengakar dan sulit untuk ditinggalkan. Disatu sisi, kafein merupakan senyawa yang bermanfaat bagi manusia, yang telah
memberikan
banyak
keuntungan
terutama
untuk
meningkatkan daya konsentrasi dan menambah kenikmatan
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
97
dalam mengkonsumsi suatu minuman. Tetapi di sisi lain, kafein juga diketahui merupakan senyawa beracun, yang dapat menganggu kesehatan manusia dan keturunannya. Walaupun teh mempunyai manfaat bagi kesehatan tetapi juga ada pengaruh negative yang didapatkan dari teh dengan adanya kandungan kafein seperti yang telah dijelaskan di atas. Maka sebaiknya teh diminum secara teratur dan dengan takaran yang tepat (Putra, 2008). b) Xanthine Di dalam kopi, teh dan coklat terdapat senyawa kimia dari golongan yang sama yaitu xantin. Derivat xantin terdiri dari kafein, teofilin dan teobromin. Di dalam kopi disebut kafein, teh mengandung kafein dan teofilin, sedangkan coklat mengandung kafein dan teobromin. Di dalam tubuh, derivat xantin dapat menyebabkan perangsangan terhadap susunan saraf pusat, sistem pernafasan, sistem pembuluh darah dan jantung. Itulah sebabnya jika kita minum minuman yang mengandung derivat xantin dalam jumlah wajar, dapat menyebabkan tubuh terasa lebih segar dan energik. Pada dosis sedang, xantin dapat menyebabkan kenaikan sekresi asam
lambung
yang
berlangsung
lama,
sehingga
bisa
memperbesar resiko penyakit lambung (maag) atau memperberat penderita penyakit tukak lambung dan tukak usus halus. Penderita penyakit lambung sebaiknya menghindari minuman xantin. Xantin
terutama
kafein
dapat
menyebabkan
kenaikan
metabolisme basal sekitar 10-25% dari metabolisme normal, dengan efek maksimal 1-3 jam sesudah meminum 2-3 gelas kopi atau teh. Dampak kenaikan metabolisme basal, diantaranya badan terasa gerah, berkeringat, kulit hangat, kemerah-merahan, cepat merasa lapar, dsb (Mentyadiputra, 2012). c) Theofilin
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
98
Theofilin dapat ditemukan dalam jumlah kecil di dalam daun teh dan diperoleh dengan cara ekstraksi. Theofilin mengkristal dengan satu molekul air kristal. Kristal theofilin berwarna putih dengan titik lebur 268°C. Theofilin sukar larut dalam air dingin, tetapi mudah larut dalam air panas dan larutnya bereaksi netral. Kristal theofilin tidak berbau, berasa pahit, dan berkhasiat diuretik. d) Tanin Tanin dinamakan juga asam tanat dan asam galotanat, ada yang tidak berwarna tetapi ada juga yang berwarna kuning atau coklat. Asam tanat mempunyai berat molekul 1.701, Tanin terdiri dari sembilan molekul asam galat dan molekul glukosa. Tanin merupakan substrat kompleks yang berada pada beberapa tanaman. Tanin memiliki campuran polifenol yang sulit untuk dipisahkan karena substrat ini sulit untuk mengkristal, mudah teroksidasi dan berpolimerisasi dalam larutan dan kelarutannya dalam pelarut sangat rendah. oleh karena itu untuk memisahkan atau mengisolasikan senyawa tanin sangat sulit. Tanin juga dapat menyamak kulit dengan cara mengikat protein menjadi tahan terhadap enzim proteoilitik. Tanin terbagi menjadi 2 kelas secara kimia yaitu berdasarkan adanya gugus fenolik yang tercakup pada masing=masing kelas. Kelas pertama terdiri asam gallic yang berhubungan dengan ikatan polyhidrik yang merupakan esterifikasi dari glukosa. Sedangkan kelas kedua menujukkan yang merupakan nonhydrooable yang juga mengandung gugus fenol tetapi jarang yang berikatan dengan karbohidrat dan protein. Atau lebih dikenal dengan kelas yang terkondensasi dan kelas yang terhidrolisis. Proses fermentasi pada teh hitam dapat mengubah sebagian tanin menjadi senyawa turunan yaitu theoflavin dan thearubigin. Dengan terbentuknya senyawa turunan maka kadar tanin dalam daun teh akan berkurang sehingga kadar tanin dalam teh hitam lebih rendah dari teh hijau.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
99
Karena memiliki kandungan tanin lebih tinggi maka teh hijau dapat melarutkan tanin lebih banyak dari teh hitam sehingga kadar tanin dalam air hasil pencelupan teh hijau lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar tanin dalam air hasil pencelupan teh hitam. Perbedaan kadar komposisi kimia daun teh dipengaruhi oleh
faktor
lingkungan
(saat
penanaman)
seperti
suhu,
kelembaban dan tinggi rendahnya permukaan tanah. Selain itu, perbedaan tersebut juga disebabkan oleh adanya perbedaan ukuran dan jumlah ukuran partikel bahan. Tanin merupakan golongan flavonoid dimana senyawa ini bukan merupakan salah satu nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. Akan tetapi keberadaan tanin dalam tubuh sangat bermanfaat yaitu berperan sebagai antioksidan. Katekin merupakan penyusun tanin dimana katekin ini mempunyai sifat antioksidatif yang berperan dalam melawan radikal bebas yang sangat berbahaya bagi tubuh karena dapat menimbulkan berbagai penyakit, salah satunya yaitu kanker (Mentyadiputra, 2012). e) Adenin Adenin atau 6-aminopurin, C5H5N5, merupakan suatu purin yang
terdapat
desoksiribonukleat,
dalam
asam-asam
ribonukleat
nukleosida-nukleosida,
dan
nukleotida-
nukleotida dan koenzima-koenzima penting lain. Berupa jarumjarum putih, tak berbau, rasanya asin, hanya larut sedikit dalam air dingin dan alkohol, larut dalam air mendidih dan tak larut dalam eter dan chloroform. Adenin diperoleh dari ekstraksi daun teh atau dari asam urat. Digunakan dalam obat-obatan dan dalam penelitian bidang biokimis (Victoria, 2011). f) Minyak atsiri Minyak atsiri, atau dikenal juga sebagai minyak eterik (aetheric oil), minyak esensial (essential oil), minyak terbang (volatile oil), serta minyak aromatik (aromatic oil), adalah kelompok besar minyak nabati yang berwujud cairan kental pada suhu ruang
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
100
namun mudah menguap sehingga memberikan aroma yang khas. Minyak atsiri merupakan bahan dasar dari wangi-wangian atau minyak gosok (untuk pengobatan) alami. Di dalam perdagangan, hasil sulingan (destilasi) minyak atsiri dikenal sebagai bibit minyak wangi. Minyak atsiri bersifat mudah menguap karena titik uapnya rendah. Selain itu, susunan senyawa komponennya kuat memengaruhi saraf manusia (terutama di hidung) sehingga seringkali memberikan efek psikologis tertentu. Setiap senyawa penyusun memiliki efek tersendiri, dan campurannya dapat menghasilkan rasa yang berbeda. Karena pengaruh psikologis ini,
minyak atsiri merupakan komponen penting dalam
aromaterapi atau kegiatan-kegiatan liturgi dan olah pikiran/jiwa, seperti yoga atau ayurveda. Sebagaimana minyak lainnya, sebagian besar minyak atsiri tidak larut dalam air dan pelarut polar lainnya. Dalam parfum, pelarut yang digunakan biasanya alkohol. Dalam tradisi timur, pelarut yang digunakan biasanya minyak yang mudah diperoleh, seperti minyak kelapa. Secara kimiawi, minyak atsiri tersusun dari campuran yang rumit berbagai senyawa, namun suatu senyawa tertentu biasanya bertanggung jawab atas suatu aroma tertentu. Sebagian besar minyak atsiri termasuk dalam golongan senyawa organik terpena dan terpenoid yang bersifat larut dalam minyak atau lipid (Anonim, 2012).
2.2.5. Faktor yang mempengaruhi efektifitas dari Kandungan Teh a) Teknik penyeduhan Proses penyeduhan merupakan proses ekstraksi atau pemisahan satu atau lebih komponen. Penyeduhan merupakan proses ekstraksi dari padat cair, artinya pemisahan senyawa padat (theaflavin,
thearubigin,
cafein,
dan
lain-lain)
dengan
menggunakan air sebagai pelarutnya.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
101
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyeduhan adalah suhu air atau kondisi penyeduhan dan lama penyeduhan. Semakin tinggi suhu air atau proses penyeduhan, kemampuan air dalam mengekstrak kandungan kimia yang terdapat dalam teh akan semakin tinggi, demikian juga halnya dengan lama penyeduhan, lama penyeduhan akan mempengaruhi kadar bahan terlarut, intensitas warna serta aroma. b) Kualitas teh Sejumlah penelitain menyatakan bahwa mutu teh dibentuk di kebun. Dengan kata lain, baik tidaknya kualitas teh akan sangat tergantung pada kualitas daun teh. Proses pengolahannya hanya berfungsi untuk memperthankan kualitas yang sudah ada jangan sampai mengalami penurunan yang cukup serius. Mutu atau grade teh ini akan berbanding lurus dengan kandungan kimia yang dapat larut dalam air. Semakin tinggi mutu atau grade teh, maka kandungan kimia yang dapat larut dalam air adalah lebih banyak. Menurut SNI 01-1902 tahun 2000 bahwa syarat minimal kandungan kimia yang dapat larut dalam air adalah 32%. c) Air penyeduh Kualitas air secara kimia ditentukan oleh pH dan kandungan garam-garam terlarut. Kandungan garam-garam terlarut akan mempengaruhi sifat kesadahan dan daya ekstraksi air. Pengaruh air terhadap warna dan rasa seduhan tah dihubungkan dengan kemampuan air untuk mengekstraksi komponen teh terutama theaflavin dan thearubigin pada teh hitam atau katekin pada teh hijau. Komponen kimia teh lebih cepat larut dalam air lunak dibandingkan denga air yang bersifat sadah. Hasil penelitian menyebutkan bahwa air yang paling baik untuk proses penyeduhan adalah air sumber yang berasal dari daerah pegunungan. Hal inilah yang menyebabkan mengapa menyeduh teh dengan air dari Jakarta lebih gelap bila dibandingkan dengan
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
102
air yang berasal dari Pangalengan meskipun kandungan teh dan teknik penyeduhan yang sama. d) Dosis Dalam minum teh dosisnya harus benar-benar mendapatkan perhatian. Dalam teh terkandung zat yang disebut kafein. Kafein pada teh (tehine) dapat menyebabkan proses penyerapan makanan menjadi terhambat. Batas aman untuk mengkonsumsi kafein dalam sehari adalah 750 mg/hari atau setara dengan 5 cangkir teh berukuran 200 ml. Kalau mengkonsumsi lebih dari ukuran itu maka akan bisa menyebabkan terjadinya keracunan kafein kronis. Bila setiap hari kita mengkonsumsi teh melebihi batas aman, maka lambat laun akan muncul tanda dan gejala seperti gangguan pencernaan makanan (dispepsia), rasa lemah, gelisah, tremor, sukar tidur, tidak nafsu makan, sakit kepala, pusing (vertigo), bingung, berdebar, sesak nafas, dan kadang sukar buang air besar. e) Ukuran material dan Lama pencelupan Pada penelitian sebelumnya didapatkan hasil bahawa lama pencelupan (teh celup) selama 8 menit dengan jenis teh hijau mempunyai kadar tanin tertinggi yaitu 83,503 ppm. Hal ini karena teh celup yang digunakan memiliki ukuran bahan yang kecil dengan jumlah yang lebih banyak. Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Suyitno (1989), bahwa material yang dihancurkan sampai ukuran kecil, sel yang dirusak lebih banyak sehingga pelarut dapat lebih cepat mengalir ke bagian sel. Selain itu lama pencelupan 8 menit merupakan waktu yang cukup lama sehingga tanin dapat larus maksimal dimana Suyitno (1989) juga mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kelarutan suatu zat adalah waktu, dimana semakin lama waktu kontak maka semakin banyak zat yang larut dalam air. (Suryaningrum , 2006)
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
103
2.2.6. Langkah-langkah (Algoritma) untuk memprediksi penyerapan zat besi yang merupakan efek konsumsi teh Teh secara umum dikonsumsi sebagai minuman yang menyertai makanan ringan. Minuman ini memiliki kandungan komposisi Phenolic dan sudah terbukti secara kuat merupakan pernghambat penyerapan zat besi non-heme. Secangkir teh (± 200ml) dapat menurunkan penyerapan zat besi ± 75 sd 85%. Variasi dari hasil studi yang berbeda kemungkinan berkaitan dengan perbedaan jumlah komposisi phenolic tadi di dalam teh yang dihasilkan dari perbedaan jumlah, merk dan lamanya teh iyu dicelupkan. Secangkir kopi (± 150ml) dapat menurunkan penyerapan zat besi ±60 %. Ketika teh atau kopi disajikan bersamaan dengan makanan ringan yang mengandung ±100 gram daging (protein hewani) penghambat penyerapan zat besi berkurang 50%. Hal ini sesuai dengan persamaan : Ratio Penyerapan (Absorbtion Ratio) = (1 + 0,01M), dimana M yaitu Meat (daging/Protein hewani). Berkaitan dengan kandungan komposisi Phenolic, kopi diharapkan mengurangi penyerapan zat besi bahkan melebihi dari yang pernah diobservasi. Ini dikenal bahwa kopi menstimulasi sekresi gastrik dari asam Hidroklorida. Kemungkinan ini dievaluasi dengan mengukur penghambatan penyerapan zat besi dari kopi pada pasien dengan Pentagastrin-proven achlothydria dan ditemukan bahwa pada pasien tersebut memiliki efek penghambatan zat besi adalah dua kali lebih tinggi (ratio penyerapan : 0.19 dibandingkan 0.39)pada orang yang sehat yang memiliki kaitan kandungan komposisi phenolic dalam kopi (Hultthen L et al, 1995 dalam Hallberg dan Hulthen, 2000). Untuk mengabaikan masalah yang ditemukan ketiga algoritma itu diaplikasikan kedalam kasus kopi dan teh, karena variasi didalam kandungan ikatan besi pholifenol dan perbedaan waktu ekstrasi dari minuman, maka digunakan faktor 15mg asam tanic sama dengan 1 cangkir kopi regular dan 30 mg asam tanic sama dengan 1 cangkir
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
104
teh. Nilai ini diaplikasi pada minuman yang dikonsumsi bersama makanan ringan atau beberapa jam setelah makanan ringan. Perlu diperhatikan kopi yang kuat mungkin mengurangi penyerapan besi lebih dari kopi regular (50 mg asam tanic sama dengan memberikan faktor asam tanic sebesar 0.17). dan untuk teh yang kuat atau jenis lain mungkin mengurangi penyerapan zat besi labih banyak lagi. Hal ini ditemukan pada teh hijau, misalnya faktor asam tanic 0.17 mengurangi penyerapaan besi sebesar 85% (Hallberg and Hulthen, 2000).
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
105
BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1.Kerangka Teori Berdasarkan teori Hendrik L. Blum, derajat kesehatan dipengaruhi oleh 4 faktor utama yang saling terikat yaitu faktor herediter, lingkungan (fisik, Biologi dan Kimia), Pelayanan kesehatan dan Perilaku (Sosial dan Budaya).
Herediter :
Agama Pendidikan Usia Kehamilan Paritas
Tingkat Kecukupan Gizi
Penyakit Infeksi
Adat budaya Prilaku konsumsi penghambat konsumsi pengikat zat besi Perilaku konsumsi pengikat zat besi
Kadar Serum Ferritin
Lingkungan Fisik, Kimia dan Biologi
Modifikasi HL Blum, 1974
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
106
3.2.Kerangka Konsep
Anemia Gizi Besi (Analisa Serum Ferritin)
Kadar tanin pada teh
HEREDITER
Usia Ibu hamil Pekerjaan Usia Kehamilan (Trimester) Jarak kehamilan Jumlah kelahiran (Paritas) Status Gizi Ibu Hamil (LILA)
PERILAKU
Pola Konsumsi Protein Hewani Pola Konsumsi Protein Nabati Pola Konsumsi Pengikat absorbsi zat besi (Fe) Pola Konsumsi Penghambat absorbsi zat besi (Fe) Konsumsi tablet tambah darah
Pada studi ini peneliti bertujuan melihat pengaruh kadar tannin yang diukur secara kuatitatif dari perilaku konsumsi teh pada ibu hamil yang dampaknya akan berpengaruh pada status anemia ibu hamil. Beberapa faktor kovariat yang turut digali pada penelitian ini yaitu usia ibu hamil, pekerjaan ibu, jumlah kehamilan, jarak kelahiran (Paritas), pola konsumsi
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
107
protein nabati dan hewani, pola konsumsi pengikat dan penghambat zat besi, konsumsi tablet tambah darah dan juga status gizi ibu hamil (LILA).
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
3.3. Definisi Operasional Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Variabel Independen Kadar tanin Melakukan wawancara untuk menggali Kadar informasi mengenai perilaku mengelola teh dan Tanin teh dalam teh yang frekuensi meminum teh selanjutnya melakukan dikonsumsi simulasi untuk membuat teh (berdasarkan dari oleh ibu lama mencelup dan kantung teh dan sumber air hamil. yang digunakan dalam menyeduh teh), sampel teh akan diuji kadar taninnya dengan metode Titrimetri dengan permanganat. Kemudian kadar tanin yang didapat dari hasil uji laboratorium dimanfaatkan sebagai landasan untuk membuat skoring sesuai frekuensi konsumsi per hari. Dari hasil skoring tersebut maka didapatkan level paparan berdasarkan kadar tanin masing-masing responden per hari, maka peneliti membagi kedalam 4 level, dimana level 1 digolongkan ke dalam kategori kadar tanin rendah per hari, level 2 dan level 3 digolongkan sebagai kadar tanin sedang per hari dan level 4 digolongkan sebagai kadar tanin tinggi per harinya. Dari 3 kategori ini, ekspose merupakan ibu hamil dengan kategori kadar tanin sedang dan tinggi sedangkan ibu hamil dengan kategori kadar tanin rendah sebagai unekspose
Alat Ukur
Kategori
Kuesioner FFQ Test Laboratorium (Metode Titrimetri dengan permanganat)
1=Kadar tanin tinggi ( kuartil 4 : ≥ 0.29 mg/mL) 2=Kadar tanin rendah (kuartil 2 dan 3 ; 0.038 – 0.28) 3=kadar tanin rendah (kuartil 1 : ≤ 0.037)
45 Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
Maka, Ekspose : kadar tanin sedang dan tinggi Unekspose : kadar tanin rendah
Skala
ordinal
46
Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur
Alat Ukur
Kategori
Skala
Variabel Dependen Anemia Gizi Besi
Status keadaan dimana kadar Serum Ferritin ibu hamil lebih rendah dari nilai normal, yaitu <13 μg/l
Melakukan pemeriksaan darah kadar Serum Ferritin ibu hamil, dengan pengambilan darah vena dan di analisa ke Laboratorium Prodia Jakarta
1=Anemia Gizi Besi (Serum Ferritin < 13,0 ng/l) 2=Bukan Anemi Gizi Besi (Serum Ferritin ≥ 13,0 ng/l)
Ordinal
Variabel Covariat Usia Ibu Hamil
Usia ibu saat dalam kondisi hamil dalam tahun menurut ulang tahun terakhir pada saat dilakukan penelitian
Wawancara
Kuesioner
1 = < 20 tahun dan > 35 tahun 2 = 20 tahun – 35 tahun (Purnawan, 1998 dalam Tristiyanti, 2006)
Ordinal
Usia Kehamilan
Jumlah waktu yang telah dijalani dalam masa kehamilannya dihitung dari haid terakhir
Wawancara
Kuesioner
1 = Trimester III ( > 28 minggu) 2 = Trimester II ( > 14 – 28 minggu) (Buana, 2004)
Ordinal
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
47
Variabel Jarak Kelahiran Paritas
Aktivitas ibu (Pekerjaan)
Definisi Operasional Jarak Kelahiran antara kelahiran terakhir dengan sebelumnya Jumlah kelahiran yang dialami oleh ibu, baik kelahiran dengan bayi hidup maupun bayi mati, dengan jumlah bayi yang dilahirkan tunggal atau kembar
Berat atau ringannya kegiatan yang dilakukan responden seharihari termasuk pekerjaan rumah tangga atau pun pekerjaan yang dilakukan oleh responden untuk mendapatkn imbalan
Cara Ukur
Alat Ukur
Wawancara
Kuesioner
Kategori
Skala
1 = < 2 tahun 2 = ≥ 2 tahun
Ordinal
Ordinal
Wawancara
Kuesioner
1 = > 2 orang 2 = ≤ 2 orang
Wawancara
Kuesioner
1=wanita dengan pekerjaan Nominal ringan (ibu rumah tangga, tidak berkerja) 2=wanita dengan pekerjaan berat (petani, tukang cuci, pekerjaan dengan mobilitas tinggi, atlit, pekerjaan sebagai operator, dokter, kerja kantor, ahli hukum, guru, juru rawat, industri ringan, kerja di toko tetapi sebagai ibu rumah tangga juga tanpa pembantu dan tanpa bantuan mesin.(WHO, 2002)
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
48
Variabel Konsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas tinggi
Konsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas rendah
Definisi Operasional
Cara Ukur
Frekuensi konsumsi rata-rata dari jenis makanan sumber hewani/Heme berupa : daging, Ayam, dan Ikan (Citrakesuma, 2002). Sebelum dilakukan kategori, hasil frekuensi konsumsi per hari kemudian dibagi kedalam dua kategori yang dibatasi (cut of point) nilai median sehingga didapat nilai di bawah nilai median sebagai pola makan jarang dan nilai di atas nilai median sebagai pola makan sering. Frekuensi konsumsi rata-rata dari jenis makanan sumber hewani/Heme berupa : telur (Citrakesuma, 2002). Sebelum dilakukan kategori, hasil frekuensi konsumsi per hari kemudian dibagi kedalam dua kategori yang dibatasi (cut of point) nilai median sehingga didapat nilai di bawah nilai median sebagai pola makan jarang dan nilai di atas nilai median sebagai pola makan sering.
Alat Ukur
Kategori
Skala
Wawancara
FFQ
Heme dengan Bioavabilitas tinggi : 1 = jarang ( < 2 kali per hari) 2 = sering ( ≥ 2 kali per hari)
Ordinal
Wawancara
FFQ
Heme dengan Bioavabilitas rendah : 1 = Jarang ( < 0.57 kali per hari) 2 = sering ( ≥ 0.57 kali per hari)
Ordinal
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
49
Konsumsi nabati dengan bioavaiabilitas tinggi
Frekuensi konsumsi rata-rata dari jenis makanan sumber nabati/non-heme berupa : brokoli, kol, kembang kol, labu, wortel, dan kentang (Citrakesuma, 2002). Sebelum dilakukan kategori, hasil frekuensi konsumsi per hari kemudian dibagi kedalam dua kategori yang dibatasi (cut of point) nilai median sehingga didapat nilai di bawah nilai median sebagai pola makan jarang dan nilai di atas nilai median sebagai pola makan sering.
Wawancara
FFQ
Heme dengan Bioavabilitas tinggi : 1 = jarang ( < 1.143 kali per hari) 2 = sering ( ≥ 1. 143 kali per hari)
Ordinal
Konsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas rendah
Frekuensi konsumsi rata-rata dari jenis makanan sumber nabati/non-heme berupa : kacang tanah, terung dan olahan tepung (Citrakesuma, 2002). Sebelum dilakukan kategori, hasil frekuensi konsumsi per hari kemudian dibagi kedalam dua kategori yang dibatasi (cut of point) nilai median sehingga didapat nilai di bawah nilai median sebagai pola makan jarang dan nilai di atas nilai median sebagai pola makan sering.
Wawancara
FFQ
Heme dengan Bioavabilitas rendah : 1 = Jarang ( < 1.143 kali per hari) 2 = sering ( ≥ 1.143 kali per hari)
Ordinal
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
50
Konsumsi Penghambat (inhibitor) zat besi
Frekuensi konsumsi rata-rata dari jenis makanan sumber pengikat absorbsi zat besi : jeruk, pepaya, lemon, jambu biji, stroberi, dan tomat (Citrakesuma, 2002). Sebelum dilakukan kategori, hasil frekuensi konsumsi per hari kemudian dibagi kedalam dua kategori yang dibatasi (cut of point) nilai median sehingga didapat nilai di bawah nilai median sebagai pola makan jarang dan nilai di atas nilai median sebagai pola makan sering.
Wawancara
FFQ
1 = rendah (< 2 kali per hari) 2 = tinggi (≥ 2 kali per hari)
Ordinal
Konsumsi Peningkat zat besi
Frekuensi konsumsi rata-rata dari jenis makanan sumber penghambat zat besi : kopi, coklat, teh, keju, minuman bersoda, es krim/olahan susu, selai kacang, olahan kedelai dan obat aspirin, antasida dan sejenisnya (Citrakesuma, 2002). Sebelum dilakukan kategori, hasil frekuensi konsumsi per hari kemudian dibagi kedalam dua kategori yang dibatasi (cut of point) nilai median sehingga didapat nilai di bawah nilai median sebagai pola makan jarang dan nilai di atas nilai median sebagai pola makan sering.
Wawancara
FFQ
1 = rendah ( < 100) 2 = tinggi ( ≥ 100)
Ordinal
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
51
Konsumsi tablet tambah darah
Status konsumsi tablet tablet besi selama kehamilan
Wawancara
Kuesioner
Status Gizi Ibu hamil (LILA)
Hasil pengukuran lingkar lengan atas menggunakan pita ukur lingkar lengan atas pada pertengahan lengan kiri yang di posisikan menjadi bentuk siku. .
Wawancara
Pita LLA dan Kuesioner
1 = tidak mengkonsumsi 2 = mengkonsumsi (Purnawan, 1998 dalam Tristiyanti, 2006)
Ordinal
1 = Beresiko KEK (< 23,5 cm) 2 = Tidak Beresiko KEK ( ≥ 23,5 cm) (Buana, 2004)
Ordinal
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
53
3.4.Hipotesa Penelitian Ada perbedaan pada kejadian anemia zat besi (Fe) antara ibu yang mengkonsumsi
teh dengan
frekuensi
sering
terhadap
ibu
yang
mengkonsumsi teh jarang selama kehamilan setelah dikendalikan oleh faktor usia ibu hamil, pekerjaan ibu, usia kehamilan (trimester), jumlah kehamilan, jarak kelahiran (Paritas), pola konsumsi protein nabati dan hewani, pola konsumsi pengikat dan penghambat zat besi, konsumsi tablet tambah darah dan juga status gizi ibu hamil (LILA).
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
54
Bab 4 METODE PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini yaitu desain penelitian observasional analitik Cross Sectional dengan model kausalitas.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor. Dimana Pemilihan puskesmas dilakukan dengan cara random dari 7 UPT Puskesmas yang masuk pada kriteria. Dimana kriteria puskesmas yang terpilih dalam daftar random yaitu Puskesmas yang dinilai memiliki lokasi terjangkau bagi peneliti, serta Puskesmas yang memiliki
wilayah
dengan
karateristik
masyarakat
bervariasi.
Penelitian ini dilakukan pada minggu ketiga bulan September sampai dengan Desember 2012.
4.3. Populasi Penelitian Populasi penelitian yaitu seluruh ibu hamil yang berada di wilayah kerja UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten bogor tahun 2012.
4.4. Sampel Penelitian Sampel penelitian terdiri dari kelompok ekspose dan kelompok unekspose oleh tannin teh. Sampel yang terpilih pada penelitian ini yaitu sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi dalam sampel yaitu: ibu dengan usia kehamilan ≥16 minggu, ibu hamil yang memiliki data riwayat ANC lengkap, dan bersedia menjadi responden. Sedangkan kriteria eksklusi dalam sample yaitu: ibu hamil yang mempunyai penyakit infeksi atau kronis yang berhubungan dengan kelainan darah sebagai penyakit penyerta kehamilan, sampel yang mengkonsumsi selain teh celup
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
55
4.5. Jumlah Sampel Jumlah sampel ditentukan dengan rumus hypothesis testing untuk Cross Sectional, sebagai berikut : [
]
Dimana,
Keterangan : P1
= Probabilitas kelompok ekspose yang menjadi
kasus P0
= Probabilitas kelompok unekspose yag menjadi
kasus Z1-α/2
= tingkat kepercayaan 95% = 1,960
Z1-β
= tingkat kekuatan studi (power) 80%= 0,842
(Z1-α/2 + Z1-β )²
= 7,849
Maka, [
]
[
]
n = 44,49 45 sampel
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (pilot study) mengenai “faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia pada ibu hamil di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa barat” , didapatkan bahwa proporsi bukan kasus yang tereskpose (P1) sebesar
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
56
41%. Dalam penelitian ini peneliti mengasumsikan bahwa resiko ekspose sebesar 2 kali dari yang tidak terekspose (PR=2). Maka didapatkan minimal sampel yang dibutuhkan dalam penelitain ini dengan total 90 sampel yang terdiri dari 45 sampel ekspose dan 45 sampel unekspose.
4.6. Cara dan instrumen pengumpulan data Penelitian ini mengunakan data primer. Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti terlebih dahulu melakukan pemilihan ibu hamil yang dianggap eligible berdasarkan kriteria inklusi. Selanjutnya dilakukan pemilihan secara random sebanyak 100 ibu hamil. Untuk menghemat watu dan mempermudah pengambilan data, maka peneliti dibantu oleh 5 bidan desa dan 50 kader puskesmas untuk membuat suatu acara pertemuan guna mengumpulkan responden terpilih dalam satu hari. Pada hari yang sama peneliti melakukan pengumpulan data untuk menilai status paparan dan status outcome. Peneliti melakukan wawancara untuk menggali informasi mengenai perilaku mengelola teh dan frekuensi meminum teh selanjutnya melakukan simulasi untuk membuat teh (berdasarkan dari lama mencelup dan kantung teh dan sumber air yang digunakan dalam menyeduh teh), sampel teh akan diuji kadar taninnya dengan metode Titrimetri dengan permanganat. Kemudian kadar tanin yang didapat dari hasil uji laboratorium dimanfaatkan sebagai landasan untuk membuat skoring sesuai frekuensi konsumsi per hari. Dari hasil skoring tersebut maka didapatkan level paparan berdasarkan kadar tanin masing-masing responden per hari, maka peneliti membagi kedalam 4 level, dimana level 1 digolongkan ke dalam kategori kadar tanin rendah per hari, level 2 dan level 3 digolongkan sebagai kadar tanin sedang per hari dan level 4 digolongkan sebagai kadar tanin tinggi per harinya. Dari 3 kategori ini, ekspose merupakan ibu hamil dengan kategori kadar tanin sedang dan tinggi sedangkan ibu hamil dengan kategori kadar tanin rendah sebagai unekspose. Selanjutnya dalam pengukuran
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
57
outcome, peneliti melakukan pengukuran kadar serum Ferritin dengan cara pengambilan darah vena sampel. Pengukuran tersebut dilakukan di Laboratorium Prodia, Jakarta. Pengambilan sampel darah dilakukan oleh petugas yang telah terlatih, sampel darah diambil melalui vena radialis sebelah kiri dengan posisi duduk. Alat yang dipergunakan dalam pengambilan darah yaitu, vacutainer dan needle wing berukuran 27½, dan tabung kimia. Sebelum dilakukan penusukan, dilakukan
pengecekan
lokasi
penusukan
disterilkan
dengan
menggunakan alkohol swab, derajat penusukan jarum sebesar 30-45° dari permukaan kulit dengan jarum menghadap keatas. Selanjutnya setelah tabung terisi oleh darah, luka tusukan segera di tutup oleh kapas alkohol guna mengentikan perdarahan sekaligus membersihkan bekas luka. Darah dalam tabung kimia langsung dilakukan pemutaran guna proses pemisahan serum yang akan dianalisa dan dibawa oleh kurir
ke
Laboratorium
Prodia
dengan
menggunakan
termos
pengiriman darah yang telah ter-standar kurang dari 24 jam setelah pengambilan.
Selain dari informasi paparan dan outcome, peneliti juga menggali informasi mengenai karateristik ibu hamil (usia, pekerjaan, usia kehamilan,
peritas,
jumlah
kelahiran),
perilaku
ibu
dalam
mengkonsumsi tablet tambah darah selama kehamilan. Selain itu digali pula mengenai informasi asupan makan heme, non heme, pengikat zat besi dan penghambat zat besi dengan menggunakan FFQ (Frequency Food Quasionare) dimana hasil ukur ditentukan dengan metode skoring. Dilakukan pula pengukuran LILA yang dikerjakan oleh bidan desa untuk menilai status gizi ibu hamil.
4.7. Pengolahan data Data yang terkumpul diolah dengan menggunakan komputer dengan program software analisa data melalui beberapa tahap yaitu entry data, cleaning data dan recoding beberapa data jika diperlukan.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
58
4.8. Analisa Data Analisa data yang terkumpul dianalisis dan interpretasi guna menguji hipotesis: Analisa yang dilakukan yaitu : 4.8.1. Analisa unisvariat Analisis univariat digunakan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi dan proporsi dari masing-masing variabel yaitu variabel kadar tanin mg/mL per hari, usia ibu, status pekerjaan ibu, usia kehamilan ibu, jumlah kelahiran, jarak kehamilan, pola konsumsi protein hewani, pola konsumsi protein nabati, pola konsumsi penghambat absorbsi zat besi, pola konsumsi pengikat absorbsi zat besi, dan konsumsi tablet tambah darah.. 4.8.2. Analisa bivariat Untuk melihat pengaruh frekuensi dalam konsumsi teh terhadap anemia pada ibu hamil digunakan uji Cox regression.. Pengujian ini dilakukan oleh karena nilai prevalensi kejadian anemia gizi besi di populasi sampel melebihi dari 10% selain itu penelitian ini tidak memenuhi asumsi steady state sehingga ukuran HR lebih tepat digunakan untuk menilai besar resiko terjadinya anemia gizi besi diantara ibu hamil dengan kadar tanin rendah, sedang dan tinggi (Rothman, 1995). 4.8.3. Analisa stratifikasi Sebelum memasuki analisis multivariat, maka terlebih dahulu dilakukan analisis stratifikasi guna melihat pengaruh dari masing-masing kovariat terhadap pengaruh frekuensi konsumsi teh terhadap anemia pada ibu hamil. Dari analisis ini dapat dilihat
secara
eye-balling
apakah
kovariat
merupakan
confounder atau kemungkinan variabel kovariat berinteraksi terhadap eksposure.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
59
4.8.4. Analisa multivariat Analisis multivariat yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis Cox Regression, dimana bertujuan untuk mengontrol variabel kovariat
yang berperan sebagai confounder bagi
hubungan antara variabel bebas dengan variabel kofariat yang berperan sebagai confounder bagi hubungan antara variabel kadar tanin teh celup (mg/mL per hari) dengan variabel anemia gizi besi..
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
60
BAB 5 Hasil Penelitian
5.1. Keadaan umum wilayah peneitian 5.1.1. Kabupatan Bogor Kabupaten bogor termasuk dalam wilayah administratif Propinsi Jawa Barat. Luas wilayah Kabupetn Bogor sekitar 299.019,06 Ha terdiri dari 40 Kecamatan, 411 desa dan 17 kelurahan, 2.770 RW, 15.124 RT. Secara geografis terletak antara 6.19° - 6.47° LS dan 106.21° - 107.13° BT, sebelah utara berbatasan dengan wilayah DKI Jakart, Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bekasi, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur, Purwakarta, dan Karawang, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak, Pandeglang dan Serang.
Kabupaten Bogor dibagi menjadi 3 wilayah Pembangunan yaitu wilayah pembangunan Barat terdiri dari kecamatan Jasinga, Parung panjang, Tenjo, Cigudeg, Sukajaya, Nanggung, Leuwiliang, Cibungbulang, Ciamea, Paminjahan, Rumpin, Tenjolaya dan Kecamatan Leuwisadeng. Wilayah pembangunan Tengah terdiri dari 20 kecamatan yaitu kecamatan Gunung sindur, Parung, Ciseeng, Kemang, Rancabungur, Cibinong, Sukaraja, Bojong gede, Dramaga, Cijeruk, Caringin, Ciawi, Megamendung, Cisarua, Citeureup, Babakan madang, Ciomas, Tamansari, Tajurhalang, dan Kecamatan Cigombong. Wilayah pembangunan timur terditi dari 7 Kecamatan
yaitu
Kecamatan
Gunung
Putri,
Cileungsi,
Klapanunggal, Jonggol, Sukamakmur, Cariu dan Kecamatan Tanjung sari. 5.1.2. UPT Puskesmas Citeureup UPT Puskesmas Citeureup mempunyai wilayah kerja secara keseluruhan terdiri dari 12 Desa dan 2 Kelurahan. Terbagi dalam 3
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
61
wilayah kerja, dan yang menjadi wilayah kerja UPT Puskesmas Citeureup adalah 3 Desa dan Kelurahan yaitu Desa Citeureup Kelurahan Puspanegara, Kelurahan Karang Asen Barat, Desa Karang Asem Timur dan Desa Puspasari. Wilayah kerja UPF Puskesmas Leuwinutung adalah terdiri dari 5 Desa yakni Desa Leuwinutung, Desa Sanja, Desa Tangkil, Desa Sukahati dan Desa Hambalang. Sedangkan UPF Puskesmas Tajur memiliki luas wilayah kerja yang terdiri dari 4 desa, yaitu Desa Tajur, Desa Pasir Mukti, Desa Tarikolot dan Desa Gunungsari.
Upaya kesehatan dibidang pelayanan kesehatan ibu, khususnya mengenai pemeriksaan Antenatal Care (ANC) terhadap ibu, idealnya dilakukan sebanyak 4 kali selama masa kehamilannya dengan interval waktu 1 kali pada kehamialn trimester I, 1 kali pada kehamilan trimester II dan 2 kali pada kehamilan trimester III, sehingga indicator keberhasilan yang dipakai adalah kunjungan ke1 (K1) sebesar 90% dan kunjungan ke-4 (k4) sebesar 80% dari seluruh Ibu hamil. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan (Nakes) termasuk persalinan pendampingan mencapai 89,9% lebih dari target 80%. Hasil cakupan yang baik ini karena beberapa hal, antara lain karena masyarakat sudah lebih senang bersalin ditolong oleh bidan/nakes, sebagian besar bidannya tinggal di tempat, sudah dimanfaatkannya Kantong Persalinan, selain itu juga karena banyak sarana kesehatan Swasta yang terdapat di Kecamatan Citeureup dan sudah bermitra baik dengan Puskesmas serta Pertemuan Pembinaan IBI yang rutin. Sepanjang kurun tahun 2011 di Kecamatan Citeureup ditemukan 8 kasus kematian Ibu/Maternal. Sedang kematian Bayi yang tercatat ada 12 kasus.
Pelayanan gizi yang dilaksanakan di UPT Puskesmas Citeureup adalah penimbangan balita secara rutin setiap bulan di posyandu serta pada bulan Februari dan Agustus secara serentak melalui
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
62
kegiatan Bulan Penimbangan Balita (BPB) bersamaan dengan pemberian vitamin A dosis tinggi pada semua bayi umur 6-11 blan dan balita 12-59 bulan, setelah itu dilaksanakan pula kegiatan Validasi Balita Gizi Buruk. Selain melakukan penimbangan balita, terhadap sasaran ibu hamil Puskesmas juga memberikan Tablet Fe minimal 90 tablet selama masa kehamilannya dan Ibu Nifas sebanyak 30 tablet. Disamping itu khusus Ibu Nifas juga diberikan vitamin A dosis tinggi. Cakupa distribusi Fe-1 102,05% lebih dari target 90% dan Fe-3 Bumil 82,29% labih dari target 84% serta Fe Bufas 97% melebihi target 90%.
5.2. Analisis Univariat 5.2.1. Distribusi Kejadian Anemia Gizi Besi (Analisa Serum Ferritin) pada Ibu Hamil Dari total 94 ibu hamil yang ikut sampai dengan tahap analisa, sebanyak 36 ibu hamil (38,3%) memiliki kadar serum ferritin dibawah angka normal (< 13 ng/ml) dan dinyatakan sebagai ibu hamil dengan anemia gizi besi. Selebihnya 58 ibu hamil (61,7%) memiliki kadar serum ferritin normal (> 13 sd 150 ng/ml) dan dinyatakan sebagai ibu hamil tanpa anemia gizi besi. Berikut tabel distribusi kejadian anemia gizi besi pada ibu hamil.
Tabel 5.1 Distribusi Kejadian Anemia Gizi Besi (Analisa Serum Ferritin) pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Status Anemia Gizi Besi (Analisa Serum Ferritin) Anemia Gizi Besi (Serum Ferritin Rendah) Tidak Anemia Gizi Besi (Serum Ferritin Normal) Total
Frekuensi
Persentase
36
38,3
58
61,7
94
100
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
63
5.2.2. Gambaran Konsumsi teh pada ibu hamil Sebanyak 83 ibu hamil (88,3%) mengkonsumsi teh celup dengan frekuensi bervariasi, selebihnya sebanyak 11 ibu hamil (11,7%) tidak mengkonsumsi teh celup. Tabel 5.2 Distribusi Konsumsi teh pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Konsumsi Teh
Frekuensi
Persentase(%)
Ya Tidak
84 10 94
89,4 10,6 100
Total 5.2.3. Gambaran paparan tannin teh celup
Untuk mendapatkan tingkatan paparan pada ibu hamil, maka dilakukan tahapan yang menghasilkan gambaran sebagai berikut : 5.2.3.1. Gambaran perilaku mengolah teh celup pada ibu hamil Tabel 5.3 Distribusi Sumber Air Panas dalam Menyeduh Teh Celup pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Sumber Air Panas Frekuensi Persentase(%) Tidak mengkonsumsi teh 10 10.6 Air dimasak mendidih 32 34 Air Dispenser 52 55.4 94 100 Total Dari total 94 ibu yang mengkonsumsi teh celup, sebanyak 10 ibu hamil (10.6%) tidak mengkonsumsi teh celup, 32 ibu hamil (34%) menggunakan air panas yang dimasak mendidih untuk menyeduh kantung teh sedangkan selebihnya yaitu 52 ibu hamil (55.4%) menggunakan air panas yang berasal dari dispenser.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
64
5.2.3.2. Gambaran perilaku lama mencelup kantung teh pada ibu hamil Tabel 5.4 Distribusi Perilaku Lama Mencelup Kantung Teh pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Lama Mencelup Frekuensi Persentase(%) Tidak mengkonsumsi teh 10 10.6 1 menit 9 9.6 5 menit 40 42.5 8 menit 35 37.3 94 100 Total Dari total 94 ibu hamil yang mengkonsumsi teh, sebanyak 10 ibu hamil (10.6%) tidak mengkonsumsi teh celup, 9 ibu hamil (9.6%) mencelup kantung teh teh selama 1 menit, 40 ibu hamil (42.5%) mencelup kantung teh selama 5 menit dan selebihnya yaitu sebanyak 35 ibu hamil (37.3%) mencelup kantung teh selama 8 menit. 5.2.3.3. Gambaran kandungan tanin teh celup berdasarkan parilaku mengolah teh pada ibu hamil (hasil uji Laboratorium Biofarmaka IPB) Tabel 5.5 Distribusi Kandungan Tanin Teh Celup Berdasarkan Perilaku Mengolah Teh pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Sumber Air Lama Mencelup Kandungan Frekuensi % Panas Kantung Teh Tanin (mg/mL) 0 10 10.6 Tidak Konsumsi Teh 0.26 21 22.3 Air Dimasak 1 menit 0.29 25 26.6 Mendidih 5 menit 0.35 6 6.4 8 menit 0.21 14 14.9 Air Panas 1 menit 0.25 15 16.0 Dispenser 5 menit 0.30 3 3.2 8 menit Total 94 100 Dari total 94 ibu hamil, sebanyak 10 ibu hamil mengkonsumsi teh celup dengan kandungan tanin sebesar 0 mg/mL oleh karena ibu hamil tidak mengkonsumsi teh. Sebanyak 21 ibu hamil (22.3%) mengkonsumsi teh celup yang diolah dengan air yang dimasak
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
65
mendidih dan dengan lama pencelupan 1 menit sehingga menghasilkan kadar tanin sebesar 0.26. Sebanyak 25 ibu hamil (26.6%) mengkonsumsi teh celup yang diolah dengan air yang dimasak mendidih dan dengan lama pencelupan 5 menit sehingga menghasilkan kadar tanin sebesar 0.29. Sebanyak 6 ibu hamil (6.4%) mengkonsumsi teh celup yang diolah dengan air yang dimasak mendidih dan dengan lama pencelupan 8 menit sehingga menghasilkan kadar tanin sebesar 0.35. Sebanyak 14 ibu hamil (14.9%) mengkonsumsi teh celup yang diolah dengan air panas dari dispenser dan dengan lama pencelupan 1 menit sehingga menghasilkan kadar tanin sebesar 0.21. Sebanyak 15 ibu hamil (16%) mengkonsumsi teh celup yang diolah dengan air panas dari dispenser dan dengan lama pencelupan 5 menit sehingga menghasilkan kadar tanin sebesar 0.25. Sebanyak 3 ibu hamil (3.2%) mengkonsumsi teh celup yang diolah dengan air panas dari dispenser dan dengan lama pencelupan 8 menit sehingga menghasilkan kadar tanin sebesar 0.30. 5.2.3.4. Gambaran kandungan tanin teh celup berdasarkan frekuensi minum per hari pada ibu hamil Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Konsumsi Teh Per Hari pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Variabel Mean SD Minimal - Maksimal Median Frekuensi
0.96
Konsumsi Teh
0.57
1.22
0-7
Dari hasil analisa frekuensi konsumsi teh celup per hari, maka didapatkan nilai rata-rata dari frekuensi konsumsi teh celup yaitu 0.96 kali per hari dengan nilai median yaitu 0.57 kali per hari dan SD sebesar 1.22. nilai minimal frekuensi per hari yaitu 0 dan nilai maksimal frekuensi yaitu 7 kali per hari. Setelah didapatkan nilai frekuensi per hari maka dapat dinilai kadar tanin teh celup yang dikonsumsi ibu hamil per hari dengan tabel berikut :
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
66
Tabel 5.7 Distribusi Kandungan Tanin Teh Celup Berdasarkan Perilaku Mengolah Teh Dihubungkan dengan Frekuensi Per Hari dalam Kuartil pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Sumber Lama Frekuensi Konsumsi Teh per Hari Air Panas
Mencelup (kandungan tanin)
Air
Tidak
dimasak
Konsumsi teh
Kuartil 1
Kuartil 2
Kuartil 3
Kuartil 4
n
%
n
%
n
%
n
%
8
24.2
1
4.5
0
0
1
6.7
10
30.3
7
31.8
1
4.2
3
20
8
24.2
6
27.3
6
25
5
33.3
2
6.1
0
0
3
12.5
1
6.7
4
12.1
3
13.6
5
20.8
2
13.3
1
3.0
4
18.2
7
29.2
3
20
0
0
1
4.5
2
8.3
0
0
33
100
22
100
24
100
15
100
mendidih 1 menit (0.26) 5 menit (0.29) 8 menit (0.35) Air Pans
1 menit
Dispenser
(0.21) 5 menit (0.25) 8 menit (0.300
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
67
5.2.3.5. Gambaran kandungan tanin teh celup dengan frekuensi per hari (mg/mL) pada ibu hamil Tabel 5.8 Distribusi Kadar Tanin Berdasarkan Konsumsi per Hari pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Variabel Mean SD Minimal - Maksimal Median Kadar Tanin per hari
0.261
0.335
0 – 2.03
0.157 Dari hasil analisa kadar tanin teh celup per hari, maka didapatkan nailai rata-rata dari kadar tanin teh celup per hari yaitu 0.96 mg/mL per hari dengan nilai median yaitu 0.157 mg/mL per hari dan SD sebesar 0.335. nilai minimal kadar tanin per hari yaitu 0 mg/mL per hari dan nilai maksimal kadar tanin per hari yaitu 0.03 mg/mL per hari.
Tabel 5.9 Distribusi Kandungan Tanin Teh Celup dengan Frekuensi per Hari (mg/mL per hari) pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Kadar tanin per hari Kategori Frekuensi % Tanin Kuartil 1 (0 – 0.037)
Tinggi
Kuartil 2 (0.038 – 0.157) Kuartil 3 (0.158 – 0.28) Kuartil 4 (0.29 – 2.03)
Sedang Rendah
Total
26
27.6
20
21.4
24
25.5
24
25.5
94
100
Berdasarkan hasil diatas maka didapatkan sebanyak 26 ibu hamil (27.6%) mengkonsumsi teh dengan kandungan tanin tinggi, 44 ibu hamil (46.9%) mengkonsumsi teh dengan kandungan tanin sedang, dan selebihnya sebanyak 24 ibu hamil (25.5%) mengkonsumsi teh dengan kandungan tanin rendah.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
68
5.2.3.6. Jarak konsumsi teh celup terhadap waktu makan Sebanyak
94
ibu
hamil,
10
ibu
(10.6%)
tidak
mengkonsumsi teh celup, 56 ibu (59.6%) mengkonsumsi teh celup < 2 jam sebelum dan sesudah makan sedangkan 28 ibu (29.8%) mengkonsumsi teh ≥ 2 jam sebelum atau sesudah makan. Tabel 5.10 Distribusi Jarak Konsumsi Teh terhadap Waktu Makan pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Jarak waktu Frekuensi Persentase (%) Tidak mengkonsumsi
20
10.6
< 2 jam
56
59.6
≥ 2 jam
28
29.8
94
100
Total
Gambaran kadar tanin teh pada ibu hamil Berdasarkan hasil skoring antara kandungan tannin teh celup berdasarkan sumber air panas dan lama mencelup teh yang di kolaborasikan dengan nilai frekuensi teh masing-masing responden, maka didapat sebanyak 23 ibu hamil (24,5%) mengkonsumsi teh dengan
kandungan
tannin
tinggi,
49
ibu
hamil
(52,1)
mengkonsumsi teh dengan kandungan tannin sedang, dan selebihnya sebanyak 22 ibu hamil (23,4%) mengkonsumsi teh dengan kandungan tannin rendah.
5.2.4. Gambaran usia ibu hamil Dari total 94 ibu hamil yang ikut sampai dengan tahap analisa, ibu hamil yang berusia < 20 tahun dan ≥ 35 tahun sebanyak 19 orang (20,2%). Sedangkan ibu hamil yang berusia 20 sd 35 tahun berjumlah 75 orang (79,8%).
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
69
Tabel 5.11 Distribusi Usia Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Usia Ibu Hamil
Frekuensi
Persentase(%)
Usia < 20 tahun dan > 35 tahun 20 sd 35 tahun Total
19 75 94
20,2 79,8 100
5.2.5. Gambaran status pekerjaan pada ibu hamil Sebanyak 87 ibu hamil (92,6%) dengan status tidak berkerja atau sebagai ibu rumah tangga, sedangkan selebihnya yaitu 7 ibu hamil (7,4%) dengan status berkerja. Tabel 5.12 Distribusi Status Pekerjaan Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Status Pekerjaan Ibu Tidak berkerja/IRT Berkerja Total
Frekuensi
Persentase(%)
87 7 94
92,6 7,4 100
5.2.6. Gambaran Usia Kehamilan Ibu Didapatkan sebanyak 57 ibu hamil (60,6%) dengan usia kehamilan > 28 minggu (trimester ketiga), sedangkan selebihnya berusia >14 sd 28 minggu (trimester kedua) yaitu 37 ibu hamil (39,4%)
Tabel 5.13 Distribusi Usia Kehamilan Ibu di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Usia Kehamilan (Trimester) Trimester 3 Trimester 2 Total
Frekuensi
Persentase(%)
71 23
75.5 24.5
94
100
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
70
5.2.7. Gambaran Jarak kehamilan Dari total 94 ibu hamil didapatkan sebanyak 42 ibu (44,7%) memiliki jarak kehamilan < 2 tahun sedangkan 52 ibu (55,3%) memiliki jarak kelahiran ≥ 2 tahun dari kehamilan sebelumnya.
Tabel 5.14 Distribusi Jarak Kelahiran Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Jarak Kelahiran
Frekuensi
< 2 tahun ≥ 2 tahun
42 52 94
Total
Persentase (%) 44,7 55,3 100
5.2.8. Gambaran Jumlah Kelahiran (Paritas) Sebanyak 36 ibu hamil (38,3%) memiliki jumlah kelahiran > 2 anak sebelum kehamilan sekarang, sedangkan 58 ibu hamil (61,7%) memiliki jumlah kelahiran ≤ 2 anak sebelum kehamilan sekarang. Tabel 5.15 Distribusi Jumlah Kelahiran (Paritas) Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Jumlah Kelahiran (Paritas) > 2 anak ≤ 2 anak Total
Frekuensi
Persentase(%)
36 58 94
38,3 61,7 100
5.2.9. Gambaran Status Konsumsi Tablet Tambah Darah (TTD) Dari total ibu hamil, sebanyak 10 ibu (10,6%) yang tidak mengkonsumi tablet tambah darah selama kehamilan, sedangkan selebihnya sebanyak 84 ibu (89,4%) mengkonsumsi tablet tambah darah selama kehamilan.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
71
Tabel 5.16 Distribusi Status Konsumsi Tablet Tambah Darah (TTD) Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Status Konsumsi TTD
Frekuensi
Persentase(%)
Tidak Ya
10 84 94
10,6 89,4 100
Total
5.2.10. Gambaran Status Gizi Ibu hamil (pengukuran LLA) Berdasarkan pengukuran lingkar lengan atas (LLA), sebanyak 13 ibu hamil (13,8%) memiliki resiko Kurang energi kronik (KEK), sedangkan 81 ibu hamil (86,2%) tidak beresiko kurang energy kronik. Tabel 5.17 Distribusi Status Gizi Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Status Gizi Ibu Hamil
Frekuensi
Persentase(%)
Beresiko KEK (LLA < 23,5) Tidak beresiko KEK (LLA ≥ 23,5) Total
13
13,8
81
86,2
94
100
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
72
5.2.11. Gambaran pola konsumsi Ibu hamil Berikut hasil analisa yang didapat dari data pola konsumsi protein hewani, protein nabati, pengikat absorbsi zat besi dan penghambat absorbsi zat besi. Tabel 5.18 Distribusi pola konsumsi Protein Hewani (Heme), Protein Nabati (non-Heme), Pengikat Absorbsi Zat Besi, Penghambat Absorbsi Zat Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Pola Konsumsi Mean SD Minimal Median Maksimal Protein Hewani Bioavaiabiltas tinggi 0.1 0.101 0–6 0.071 Bioavaiabiltas Rendah 0.066 0.569 0–3 0.057 Protein Nabati Bioavaiabiltas tinggi 0.145 0.741 0–3 0.114 Bioavaiabiltas tinggi 0.096 0.981 0–6 1 0.137 1.53 0–9 Pengikat Zat Besi 1 0.194 1.253 0-6 Penghambat Zat Besi 2 5.2.11.1. Gambaran pola konsumsi protein hewani (Heme) Pada konsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas tinggi, 45 ibu hamil (47,9%) mengkonsumsi dengan pola jarang, 49 ibu hamil (52,1%) mengkonsumsi dengan dengan pola sering. Sedangkan protein hewani dengan bioavaiabilitas rendah, 45 ibu hamil (47,9%) mengkonsumsi dengan pola jarang, 49 ibu hamil (52,1%) mengkonsumsi dengan pola sering.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
73
Tabel 5.19 Distribusi pola konsumsi Protein Hewani (Heme) pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Konsumsi Protein Frekuensi Persentase(%) Hewani (Heme) Bioavailabilitas Tinggi Jarang 45 47,9 Sering 49 52,1 Total 94 100 Bioavailabilitas Rendah Jarang 45 47,9 Sering 49 52,1 Total 94 100
5.2.11.2. Gambaran pola konsumsi protein nabati ( non heme) Pada konsumsi protein nabati (non heme) dengan bioavaiabilitas
tinggi,
45
ibu
hamil
(47,9%)
mengkonsumsi dengan pola jarang, 49 ibu hamil (52,1%) mengkonsumsi dengan pola sering. Sedangkan protein nabati dengan bioavaiabilitas rendah, 44 ibu hamil (46,8%) mengkonsumsi dengan pola jarang, 50 ibu hamil (53,2%) mengkonsumsi dengan pola sering.
Tabel 5.20 Distribusi pola konsumsi Protein Nabati (Non Heme) pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Konsumsi Protein Frekuensi Persentase(%) Nabati (Non Heme) Bioavailabilitas Tinggi Jarang 45 47,9 Sering 49 52,1 Total 94 100 Bioavailabilitas Rendah Jarang 44 46,8 Sering 50 53,2 Total 94 100
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
74
5.2.11.3. Gambaran pola konsumsi pengikat absobsi zat besi (Enhauncer Fe) Pada konsumsi pengikat absobsi zat besi (enhauncer Fe), 45 ibu hamil (47,9%) mengkonsumsi dengan pola jarang, 49 ibu hamil (52,1%) mengkonsumsi dengan pola sering. Tabel 5.21 Distribusi Pola Konsumsi Pengikat Absorbsi Zat Besi (Enhauncer Fe) pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Konsumsi Pengikat Absorbsi Zat Besi (Enhauncer Fe) Jarang Sering Total
Frekuensi
Persentase(%)
45 49 94
47,9 52,1 100
5.2.11.4. Gambaran pola konsumsi penghambat absobsi zat besi (Inhibitor Fe) Pada konsumsi penghambat absobsi zat besi (inhibitor Fe), 43 ibu hamil (54,7%) mengkonsumsi dengan pola jarang, 51 ibu hamil (54,3%) mengkonsumsi dengan pola sering. Tabel 5.22 Distribusi Pola Konsumsi Penghambat Absorbsi Zat Besi (Inhibitor Fe) pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Konsumsi Penghambat Absorbsi Zat Besi (Inhibitor Fe) Jarang Sering Total
Frekuensi
Persentase(%)
43 51 94
45,7 54,3 100
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
75
5.3. Analisis Bivariat 5.3.1. Pengaruh kadar tannin terhadap anemia gizi besi (analisa serum ferritin) pada ibu hamil Dari 23 ibu hamil yang memiliki kadar tannin tinggi, terdapat 11 ibu hamil (47,8%) menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 12 ibu hamil (52,2%) tidak menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal), dari 49 ibu hamil yang memiliki kadar tannin sedang, terdapat 21 ibu hamil (42,9%) menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 28 ibu hamil (57,1%) tidak menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal), Sedangkan dari 22 ibu hamil yang memiliki kadar tannin rendah, terdapat 4 ibu hamil (18,2%) menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 18 ibu hamil (81,8%) tidak menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal). Tabel 5.23 Hubungan Kadar Tanin dengan Anemia Gizi Besi (Analisa Serum Ferritin) pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Kadar Tanin Anemia Gizi Besi Total PR P value (Analisa Serum ( 95% CI ) Ferritin) Rendah Normal Tanin Tinggi 11 14 26 2,77 0.08 ( ≥ 0,29 (46.2%) (53.8%) (100%) (0.89 – 8.6) mg/mL) Tanin Sedang 20 24 49 2.73 0.06 ( 0.038 – 0.28 (45.5%) (54.5%) (100%) (0.9 – 7.9) mg/mL) Tanin Rendah 4 20 24 ( ≤ 0,037 (16.7%) (83.3%) (100%) mg/mL) 36 58 94 Total (38.3%) (61.7%) (100%) Hasil uji statistic diperoleh nilai P (P value) sebesar 0.08 ( α=0,05), menunjukkan bahwa hubungan antara kadar tannin tinggi dengan anemia gizi besi tidak significan secara statistic. Dari analisa ini didapatkan nilai PR sebesar 2.77 (CI 95% 0.89 –
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
76
8.6). Maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa prevalens ibu hamil dengan kadar tannin tinggi 2.77 kali lebih tinggi untuk menderita anemia gizi besi dibandingkan ibu hamil dengan kadar tannin rendah. Selanjutnya Hasil uji statistic diperoleh nilai P (P value) sebesar 0.06 ( α>0,05), menunjukkan bahwa hubungan antara kadar tannin sedang dengan anemia gizi besi tidak significan secara statistic. didapatkan pula nilai PR sebesar 2.73(CI 95% 0.9 – 7.9). Maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa prevalens ibu hamil dengan kadar tannin sedang 2.73 kali lebih tinggi untuk menderita anemia gizi besi dibadingkan ibu hamil yang memiliki kadar tannin rendah.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
77
5.3.2. Pengaruh faktor lain terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil Tabel 5.24 Hubungan Variabel Covariat dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Anemia Gizi Besi (Serum Ferritin) Total PR Variabel (95% CI) Rendah Normal n % N % n % Usia Ibu < 20 tahun dan > 35 tahun 20 sd 35 tahun Pekerjaan Tidak Berkerja Berkerja Usia Kehamilan Trimester 3 Trimester 2 Jarak Kehamilan < 2 tahun ≥ 2 tahun Jumlah Kelahiran >2 anak ≤ 2 anak Konsumsi TTD Tidak Konsumsi Konsumsi Status Gizi Ibu Kurang Energi Kronik Tidak Berseiko KEK Hewani Bio.Tinggi Jarang Sering Hewani Bio.Rendah Jarang Sering Nabati Bio.Tinggi Jarang Sering Nabati Bio.Rendah Jarang Sering Pengikat Abs. Fe Jarang Sering Penghambat Abs.Fe Jarang Sering
P Value
4 32
21.1 42.7
15 43
78.9 57.3
19 75
100 100
2.03 90.7 – 5.70
35 1
40.2 14.3
52 6
59.8 85.7
87 7
100 100
0.35 (0.05 – 2.6)
0.3
30 6
42.3 26.1
41 17
57.5 73.9
71 23
100 100
1.62 (0.8 – 3.4)
0.22
13 23
31 44.2
29 29
69 55.8
42 52
100 100
1.42 (0.72 – 2.8)
0.3
11 25
30.6 43.1
25 33
69.4 56.9
36 58
100 100
1.4 (0.7 – 2.6)
0.34
4 32
40 38.1
6 25
60 61.9
10 84
100 100
0.95 (0.4 – 2.6)
0.93
5 31
38.5 38.3
8 50
61.5 61.7
13 81
100 100
0.99 (0.39 – 2.6)
0.99
17 19
37.8 38.8
28 30
62.2 61.2
45 49
100 100
1.03 (0.5 – 1.97)
0.94
12 24
26.7 49
33 25
73.3 51
45 49
100 100
1.84 (0.9 – 3.6)
0.08
20 16
44.4 32.7
25 33
55.6 67.3
45 49
100 100
0.73 (0.4 – 1.4)
0.36
14 22
31.8 44
30 28
68.2 56
44 50
100 100
1.38 (0.7 – 2.7)
0.34
15 21
33.3 42.9
30 28
66.7 57.1
45 49
100 100
1.3 (0.7 – 2.5)
0.46
14 22
32.6 43.1
29 29
67.4 56.9
43 51
100 100
1.32 (0.7 – 2.6)
0.4
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
0.18
78
5.3.2.1. Pengaruh usia ibu terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil Dari 19 ibu hamil yang berusia < 20 tahun dan > 35 tahun, terdapat 4 ibu hamil (21,1%) menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 15 ibu hamil (78,9%) tidak menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal), Sedangkan dari 75 ibu hamil yang berusia 20 sd 35 tahun, terdapat 32 ibu hamil (42,7%) menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 43 ibu hamil (5,3%) tidak menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal). Hasil uji statistic diperoleh nilai P (P value) sebesar 0,142 ( α=0,05), menunjukkan bahwa hubungan antara usia ibu hamil dengan anemia gizi besi tidak significan secara statistic. Dari analisa ini didapatkan nilai PR sebesar 0,49 (CI 95% 0,2 – 1,23). Maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan ibu hamil dengan usia < 20 tahun dan > 35 tahun dapat menurunkan resiko sebesar 51% untuk menderita anemia gizi dibadingkan ibu hamil yang berusia 20 sd 35 tahun. 5.3.2.2. Pengaruh status pekerjaan ibu terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil Dari 87 ibu hamil yang tidak berkerja, terdapat 35 ibu hamil (40,2%) menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 52 ibu hamil (59,8%) tidak menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal), Sedangkan dari 7 ibu hamil yang berkerja, terdapat 1 ibu hamil (14,3%) menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 6 ibu hamil (85,7%) tidak menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal). Hasil uji statistic diperoleh nilai P (P value) sebesar 0,244 ( α=0,05), menunjukkan bahwa hubungan antara pekerjaan ibu dengan anemia gizi besi tidak significan secara statistic. Dari analisa ini didapatkan nilai PR sebesar 2,82 (CI 95% 0,45 – 17,6). Maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan ibu hamil dengan status tidak berkerja beresiko 2,82 kali lebih besar untuk
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
79
menderita anemia gizi besi dibandingkan ibu hamil yang berkerja. 5.3.2.3. Pengaruh usia kehamilan ibu terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil Dari 57 ibu hamil dengan usia kehamilan trimester ketiga, terdapat 22 ibu hamil (38,6%) menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 35 ibu hamil (61,4%) tidak menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal), Sedangkan dari 37 ibu hamil dengan usia kehamilan trimester kedua, terdapat 14 ibu hamil (37,8%) menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 23 ibu hamil (62,2%) tidak menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal). Hasil uji statistic diperoleh nilai P (P value) sebesar 1,00 ( α=0,05), menunjukkan bahwa hubungan antara usia kehamilan dengan anemia gizi besi tidak significan secara statistic. Dari analisa ini didapatkan nilai PR sebesar 1,02 (CI 95% 0,6 – 17,3). Maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan tidak ada perbedaan resiko untuk menderita anemia gizi besi antara usia kehamilan trimester 3 dengan usia kehamilan trimester kedua. 5.3.2.4. Pengaruh Jarak Kehamilan ibu terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil Dari 42 ibu hamil dengan jarak kehamilan < 2 tahun, terdapat 13 ibu hamil (31%) menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 29 ibu hamil (69%) tidak menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal), Sedangkan dari 52 ibu hamil dengan jarak kehamilan ≥ 2 tahun, terdapat 23 ibu hamil (44,2%) menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 29 ibu hamil (55,8%) tidak menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal). Hasil uji statistic diperoleh nilai P (P value) sebesar 0,27 ( α=0,05), menunjukkan bahwa hubungan antara jarak kehamilan dengan anemia gizi besi
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
80
tidak significan secara statistic. Dari analisa ini didapatkan nilai PR sebesar 0,7 (CI 95% 0,41 – 1,21). Maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan ibu hamil dengan jarak kehamilan < 2 tahun
dapat menurunkan resiko sebesar 30% untuk
menderita anemia gizi dibadingkan ibu hamil yang memiliki jarak kehamilan ≥ 2 tahun. 5.3.2.5. Pengaruh Jumlah Kelahiran (Paritas) terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil Dari 36ibu hamil dengan jumlah kelahiran > 2 anak, terdapat 11 ibu hamil (30,6%) menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 25 ibu hamil (69,4%) tidak menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal), Sedangkan dari 58 ibu hamil dengan jumlah kelahiran ≤ 2 anak, terdapat 25 ibu hamil (43,1%) menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 33 ibu hamil (56,9%) tidak menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal). Hasil uji statistic diperoleh nilai P (P value) sebesar 0,32 ( α=0,05), menunjukkan bahwa hubungan antara jumlah kelahiran (paritas) dengan anemia gizi besi tidak significan secara statistic. Dari analisa ini didapatkan nilai PR sebesar 0,71 (CI 95% 0,4 – 1,26). Maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan ibu hamil dengan jumlah kelahiran (paritas) > 2 anak dapat menurunkan resiko sebesar 29% untuk menderita anemia gizi dibandingkan ibu hamil yang memiliki jumlah kelahiran ≤ 2 anak. 5.3.2.6. Pengaruh konsumsi tablet tambah darah (TTD) terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil Dari 10 ibu hamil yang tidak mengkonsumsi tablet tambah darah (TTD), terdapat 4 ibu hamil (40%) menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 6 ibu hamil (60%) tidak menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal), Sedangkan dari 84 ibu hamil yang mengkonsumsi tablet tambah darah (TTD), terdapat 32 ibu hamil (38,1%)
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
81
menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 52 ibu hamil (61,9%) tidak menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal). Hasil uji statistic diperoleh nilai P (P value) sebesar 1,0 ( α=0,05), menunjukkan bahwa hubungan antara konsumsi tablet tambah darah (TTD) dengan anemia gizi besi tidak significan secara statistic. Dari analisa ini didapatkan nilai PR sebesar 1,05 (CI 95% 0,47 – 2,35). Maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan tidak ada perbedaan resiko untuk menderita anemia gizi besi
antara ibu hamil yang tidak
mengkonsumsi tablet tambah darah (TTD) dibandingkan ibu hamil yang mengkonsumsi tablet tambah darah (TTD). 5.3.2.7. Pengaruh status gizi ibu hamil terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil Dari 13 ibu hamil yang beresiko KEK, terdapat 5 ibu hamil (38,5%) menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 8 ibu hamil (61,5%) tidak menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal), Sedangkan dari 81 ibu hamil yang tidak beresiko KEK, terdapat 31 ibu hamil (38,3%) menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin rendah) dan 50 ibu hamil (61,7%) tidak menderita anemia gizi besi (Serum Ferritin normal). Hasil uji statistic diperoleh nilai P (P value) sebesar 1,00 ( α=0,05), menunjukkan bahwa hubungan antara status gizi ibu hamil dengan anemia gizi besi tidak significan secara statistic. Dari analisa ini didapatkan nilai PR sebesar 1,0 (CI 95% 0,48 – 2,2). Maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan tidak ada perbedaan resiko untuk menderita anemia gizi besi antara status gizi ibu hamil yang beresiko KEK dengan yang tidak beresiko KEK.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
82
5.3.2.8. Pengaruh
konsumsi
protein
hewani
(heme)
dengan
bioavaiabilitas tinggi terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil Dari 45 ibu hamil yang mengkonsumsi protein hewani (heme) bioavaiabilitas tinggi dengan pola jarang, terdapat 17 ibu hamil (37.8%) menderita anemia gizi besi dan 28 ibu hamil (62.2%) tidak menderita anemia gizi besi, sedangkan dari 49 ibu hamil yang mengkonsumsi protein hewani bioavaiabilitas tinggi dengan pola sering, terdapat 19 ibu hamil (38.3%) menderita anemia gizi besi dan 30 ibu hamil (61.2%) tidak menderita anemia gizi besi. Hasil uji statistik diperoleh nilai P (Pvalue) sebesar 0.94 (α > 0.05), menunjukkan bahwa hubungan antara pola konsumsi protein hewani bioavaiabilitas tinggi per hari pada ibu hamil dengan anemia gizi besi tidak signifikan secara statistik. Dari analisa ini didapatkan nilai PR sebesar 1.03 (CI 95% 0.53 – 1.97). maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan tidak ada perbedaan besar prevalensi untuk menderita anemia gizi besi antara konsumsi protein hewani bioavaiabilitas tinggi per hari dengan pola sering dengan konsumsi protein hewani bioavaiabilitas tinggi per hari dengan pola jarang pada ibu hamil. 5.3.2.9. Pengaruh
konsumsi
protein
hewani
(heme)
dengan
bioavaiabilitas rendah terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil Dari 45 ibu hamil yang mengkonsumsi protein hewani (heme) bioavaiabilitas tinggi dengan pola jarang, terdapat 12 ibu hamil (26.7%) menderita anemia gizi besi dan 33 ibu hamil (73.3%) tidak menderita anemia gizi besi, sedangkan dari 49 ibu hamil yang mengkonsumsi protein hewani bioavaiabilitas tinggi dengan pola sering, terdapat 24 ibu hamil (49%) menderita anemia gizi besi dan 25 ibu hamil
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
83
(51%) tidak menderita anemia gizi besi. Hasil uji statistik diperoleh nilai P (Pvalue) sebesar 0.08 (α > 0.05), menunjukkan bahwa hubungan antara pola konsumsi protein hewani bioavaiabilitas tinggi per hari pada ibu hamil dengan anemia gizi besi tidak signifikan secara statistik. Dari analisa ini didapatkan nilai PR sebesar 1.84 (CI 95% 0.9 – 3.6). maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan prevalensi konsumsi protein hewani bioavaiabilitas rendah per hari 1.84 kali lebih tinggi untuk menderita anemia gizi besi antara pola konsumsi sering dengan pola jarang pada ibu hamil. 5.3.2.10. Pengaruh konsumsi protein nabati (non-heme) dengan bioavaiabilitas tinggi terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil Dari 45 ibu hamil yang mengkonsumsi protein nabati (nonheme) bioavaiabilitas tinggi dengan pola jarang, terdapat 20 ibu hamil (44.4%) menderita anemia gizi besi dan 25 ibu hamil (55.6%) tidak menderita anemia gizi besi, sedangkan dari 49 ibu hamil yang mengkonsumsi protein hewani bioavaiabilitas tinggi dengan pola sering, terdapat 16 ibu hamil (7.3%) menderita anemia gizi besi dan 33 ibu hamil (61.2%) tidak menderita anemia gizi besi. Hasil uji statistik diperoleh nilai P (Pvalue) sebesar 0.36 (α > 0.05), menunjukkan bahwa hubungan antara pola konsumsi protein hewani bioavaiabilitas tinggi per hari pada ibu hamil dengan anemia gizi besi tidak signifikan secara statistik. Dari analisa ini didapatkan nilai PR sebesar 0.73 (CI 95% 0.38 – 1.42). maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa prevalens ibu yang mengkonsumsi proyein nabati bioavaiabilitas tinggi dengan pola jarang sebsar 27% lebih rendah untuk menderita anemia gizi besi dibandingkan ibu yang mengkonsumsi protein nabati bioavaiabilitas tinggi dengan pola sering.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
84
5.3.2.11. Pengaruh konsumsi protein nabati (non-heme) dengan bioavaiabilitas rendah terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil Dari 45 ibu hamil yang mengkonsumsi protein nabati (nonheme) bioavaiabilitas rendah dengan pola jarang, terdapat 14 ibu hamil (31.8%) menderita anemia gizi besi dan 30 ibu hamil (68.2%) tidak menderita anemia gizi besi, sedangkan dari 50 ibu hamil yang mengkonsumsi protein hewani bioavaiabilitas tinggi dengan pola sering, terdapat 22 ibu hamil (44%) menderita anemia gizi besi dan 28 ibu hamil (56 %) tidak menderita anemia gizi besi. Hasil uji statistik diperoleh nilai P (Pvalue) sebesar 0.34 (α > 0.05), menunjukkan bahwa hubungan antara pola konsumsi protein hewani bioavaiabilitas tinggi per hari pada ibu hamil dengan anemia gizi besi tidak signifikan secara statistik. Dari analisa ini didapatkan nilai PR sebesar 1.38 (CI 95% 0.7 – 2.7). maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa prevalens ibu yang mengkonsumsi protein nabati bioavaiabilitas rendah dengan pola jarang 1.38 kali lebih tinggi untuk menderita anemia gizi besi dibandingkan ibu yang mengkonsumsi protein nabati bioavaiabilitas tinggi dengan pola sering. 5.3.2.12. Pengaruh konsumsi pengikat zat besi (enhauncer Fe) per hari terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil Dari 45 ibu hamil yang mengkonsumsi pengikat zat besi (enhauncer Fe) per hari dengan pola jarang, terdapat 15 ibu hamil (33.3%) menderita anemia gizi besi dan 30 ibu hamil (66.7%) tidak menderita anemia gizi besi, sedangkan dari 49 ibu hamil yang mengkonsumsi protein hewani bioavaiabilitas tinggi dengan pola sering, terdapat 21 ibu hamil (42.9%) menderita anemia gizi besi dan 28 ibu hamil (57.1 %) tidak menderita anemia gizi besi. Hasil uji statistik diperoleh nilai P (Pvalue) sebesar 0.46 (α > 0.05), menunjukkan bahwa
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
85
hubungan antara pola konsumsi pengikat zat besi (enhauncer Fe) per hari pada ibu hamil dengan anemia gizi besi tidak signifikan secara statistik. Dari analisa ini didapatkan nilai PR sebesar 1.3(CI 95% 0.66 – 2.5). maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa prevalens ibu yang mengkonsumsi pengikat zat besi (enhauncer Fe) per hari dengan pola jarang 1.3 kali lebih tinggi untuk menderita anemia gizi besi dibandingkan ibu yang mengkonsumsi pengikat zat besi (enhauncer Fe) per hari pola sering. 5.3.2.13. Pengaruh konsumsi penghambat zat besi (inhibitor Fe) per hari terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil Dari 45 ibu hamil yang mengkonsumsi penghambat zat besi (enhauncer Fe) per hari dengan pola jarang, terdapat 14 ibu hamil (32.6%) menderita anemia gizi besi dan 29 ibu hamil (67.4%) tidak menderita anemia gizi besi, sedangkan dari 51 ibu hamil yang mengkonsumsi protein hewani bioavaiabilitas tinggi dengan pola sering, terdapat 22 ibu hamil (43.1%) menderita anemia gizi besi dan 29 ibu hamil (56.9 %) tidak menderita anemia gizi besi. Hasil uji statistik diperoleh nilai P (Pvalue) sebesar 0.41 (α > 0.05), menunjukkan bahwa hubungan antara pola konsumsi penghambat zat besi (enhauncer Fe) per hari pada ibu hamil dengan anemia gizi besi tidak signifikan secara statistik. Dari analisa ini didapatkan nilai PR sebesar 1.32(CI 95% 0.6 – 2.59). maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa prevalens ibu yang mengkonsumsi penghambat zat besi (inhibitor Fe) per hari dengan pola jarang 1.3 kali lebih tinggi untuk menderita anemia gizi besi dibandingkan ibu yang mengkonsumsi penghambat zat besi (inhibitor Fe) per hari pola sering.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
86
5.4. Pengaruh kadar tannin teh terhadap anemi gizi besi (analisa serum ferritin) dengan pengaruh faktor resiko lain 5.4.1. Gambaran pengaruh usia ibu terhadap hubungan kadar tannin dengan anemia gizi besi pada ibu hamil Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi besi yang dipengaruhi oleh usia ibu hamil, maka didapatkan dari total 19 ibu hamil yang berusia < 20 tahun dan > 35 tahun terdapat diantaranya 2 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 2 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan tidak ada ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 5 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 5 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 5 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal). Selanjutnya dari total 75 ibu hamil yang berusia
20 sd 35 tahun terdapat
diantaranya 10 ibu hamil
dengan kadar tannin tinggi, 18 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 4 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 9 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 19 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 15 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal)
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
87
Usia Ibu Hamil
Usia < 20 dan > 35 tahun Usia 20 sd 35 tahun
Tabel 5.25 Pengaruh Usia Ibu terhadap Hubungan Kadar Tanin dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Kadar Anemia Gizi Besi PR Tanin
Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total
SF Rendah n % 2 28.6 2 28.6 0 0 4 21.1 10 52.6 18 48.6 4 21.1 32 42.7
SF Tinggi N % 5 71.4 5 71.4 5 100 15 78.9 9 47.4 19 51.4 15 78.9 43 57.3
Total n % 7 100 7 100 5 100 19 100 19 100 37 100 19 100 75 100
PR tanin tinggi-rendah = sedang-rendah = -
0.068
PR tanin tinggi-rendah = 2.83 sedang-rendah = 2.93
0.075
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.87 (CI 95% 0.92 – 8.9) PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.65 (CI 95% 0.9 – 7.7)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.87 dengan CI 95% 0.92 – 8.9 dan PR adjusted pada kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.65 dengan CI 95% 0.9 – 7.7 dan PR bivariat/crude untuk kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika peneliti menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted = PR Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable usia bukan merupakan variable confounding (confouder Variabel). Sedangkan dalam penilaian potensial efek modifikasi tidak dapat terlihat interaksi secara statistik oleh karena pada strata pertama terdapat nilai 0 pada salah satu sel dan juga belum ditemukan interaksi biologis pada teori yang ada. 5.4.2. Gambaran pengaruh status pekerjaan ibu terhadap hubungan kadar tannin dengan anemia gizi besi pada ibu hamil Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi besi yang dipengaruhi oleh usia ibu hamil, maka didapatkan dari total 87 ibu hamil yang tidak berkerja/IRT terdapat diantaranya 11
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P Value
88
ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 20 ibu hamil dengan kadar tanin sedang
dan 4 ibu hamil dengan kadar tannin rendah
menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 13 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 23 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 16 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal). Selanjutnya dari total 7 ibu hamil tidak berkerja terdapat diantaranya 1 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, tidak ada ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 1 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 1 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 4 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal)
Usia Kehamilan
Trimester ketiga
Trimester Kedua
Tabel 5.26 Pengaruh Status Pekerjaan Ibu terhadap Hubungan Kadar Tanin dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Kadar Anemia Gizi Besi PR Tanin
Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total
SF Rendah n % 11 45.8 20 46.5 4 20 35 40.2 1 50 0 0 0 0 1 14.3
SF Tinggi N % 13 54.2 23 53.5 16 80 52 59.8 1 50 1 100 4 100 6 85.7
Total n % 24 100 43 100 20 100 87 100 2 100 1 100 1 100 7 100
PR tanin tinggi-rendah = 2.19 sedang-rendah = 3.02
0.09
PR tanin tinggi-rendah = sedang-rendah = -
0.09
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.63 (CI 95% 0.84 – 8.2) PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.51 (CI 95% 0.85 – 7.4)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.63 dengan CI 95% 0.84 – 8.2 dan PR adjusted pada kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.51 dengan CI 95% 0.85 – 7.4 dan PR bivariat/crude untuk kadar tanin
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P Value
89
tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR Bivariat/crude kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika peneliti menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted = PR Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable usia bukan merupakan variable confounding (confouder Variabel). Sedangkan dalam penilaian potensial efek modifikasi tidak dapat terlihat interaksi secara statistik oleh karena pada strata pertama terdapat nilai 0 pada salah satu sel dan juga belum ditemukan interaksi biologis pada teori yang ada. 5.4.3. Gambaran pengaruh usia kehamilan (trimester) ibu terhadap hubungan kadar tannin dengan anemia gizi besi pada ibu hamil Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi besi yang dipengaruhi oleh usia kehamilan ibu hamil, maka didapatkan
dari total 57 ibu hamil yang usia kehamilan > 28
minggu (trimsetr ketiga) terdapat diantaranya 9 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 11 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 2 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 10 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 13 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 12 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal). Selanjutnya dari total 37 ibu dengan usia kehamilan > 14 sd 28 minggu (trimester kedua) terdapat diantaranya 3 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 9 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan2 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 4 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 11 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 8 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal).
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
90
Status Pekerjaan Ibu
Tidak Berkerja / IRT Berkerja
Tabel 5.27 Pengaruh Usia Kehamilan Ibu terhadap Hubungan Kadar Tanin dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Kadar Anemia Gizi Besi PR Tanin
Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total
SF Rendah n % 9 47.4 11 45.8 2 14.3 22 38.6 3 42.9 9 45 2 20 14 37.8
SF Tinggi N % 10 52.6 13 54.2 12 85.7 35 61.4 4 57.1 11 55 8 80 23 62.2
Total n % 19 100 24 100 14 100 57 100 7 100 20 100 10 100 37 100
PR tanin tinggi-rendah = 2.67 sedang-rendah = 2.59
PR tanin tinggi-rendah = 2.0 sedang-rendah = 2.91
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.77 (CI 95% 0.89 – 8.63) PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.73 (CI 95% 0.93 – 7.9)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.77 dengan CI 95% 0.89 – 8.63 dan PR adjusted pada kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.73 dengan CI 95% 0.93 – 7.9 dan PR bivariat/crude untuk kadar tanin tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR Bivariat/crude kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika peneliti menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted = PR Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable usia kehamilan bukan merupakan variable confounding (confouder Variabel). Sedangkan dalam penilaian potensial ada atau tidaknya efek modifikasi, maka didapatkan nilai yang sama antara strata pertama dengan strata kedua, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel usia kehamilan bukan variabel yang berpotensi sebagai efek modifikasi pada hubungan kadar tanin terhadap anemia gizi besi.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P Value
0.08
0.067
91
5.4.4. Gambaran pengaruh jarak kehamilan ibu terhadap hubungan kadar tannin dengan anemia gizi besi pada ibu hamil. Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi besi yang dipengaruhi oleh jarak kehamila ibu hamil, maka didapatkan dari total 42 ibu hamil yang usia kehamilan ≥ 2 tahun terdapat diantaranya 4 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 7 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 2 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 8 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 13 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 8 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal). Selanjutnya dari total 52 ibu dengan jarak kehamilan < 2 tahun terdapat diantaranya 8 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 13 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 2 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 6 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 11 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 12 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal).
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
92
Jarak Kehamilan
< 2 tahun
≥ 2 tahun
Tabel 5.28 Pengaruh Jarak Kehamilan Ibu terhadap Hubungan Kadar Tanin dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Kadar Anemia Gizi Besi PR Tanin
Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total
SF Rendah n % 4 33.3 7 35 2 20 13 31 8 57.1 13 54.2 2 14.3 23 44.2
SF Tinggi N % 8 66.7 13 65 8 80 29 69 6 42.9 11 45.8 12 85.7 29 55.8
Total n % 12 100 20 100 10 100 42 100 14 100 24 100 14 100 52 100
PR tanin tinggi-rendah = 1.67 sedang-rendah = 1.75
0.073
PR tanin tinggi-rendah = 4.0 sedang-rendah = 3.79
0.063
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.81 (CI 95% 0.9 – 8.7) PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.76 (CI 95% 0.95 – 8.09)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.81 dengan CI 95% 0.9 – 8.7 dan PR adjusted pada kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.76 dengan CI 95% 0.95 – 8.09 dan PR bivariat/crude untuk kadar tanin tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR Bivariat/crude kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika peneliti menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted = PR Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable usia kehamilan bukan merupakan variable confounding (confouder Variabel). Sedangkan dalam penilaian potensial ada atau tidaknya efek modifikasi, maka didapatkan nilai yang berbeda antara strata pertama dengan strata kedua, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel jarak kehamilan merupakan variabel yang berpotensi sebagai efek modifikasi pada hubungan kadar tanin terhadap anemia gizi besi. Tetapi setalh dilakukan Homogenity test, didapatkan hasil > 0.05 sehingga dapat disimpulkan tidak adanya interaksi statistik antara variabel jarak kehamilan dengan kadar
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P Value
93
tanin teh celup. Secara teori belum terbukti adanya interaksi biologis antara jarak kehamilan dengan kadar tanin teh celup. 5.4.5. Gambaran pengaruh jarak kelahiran ibu terhadap hubungan kadar tannin dengan anemia gizi besi pada ibu hamil Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi besi yang dipengaruhi oleh jarak kelahiran, maka didapatkan dari total 36 ibu hamil yang jarak kelahiran ≥ 2 anak terdapat diantaranya 4 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 7 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan tidak ada ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 6 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 13 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 6 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal). Selanjutnya dari total 58 ibu dengan jarak kelahiran < 2 anak terdapat diantaranya 8 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 13 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 4 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 8 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 11 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 14 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal).
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
94
Jarak Kelahiran
≤ 2 anak
>2 anak
Tabel 5.29 Pengaruh Jumlah Kelahiran Ibu terhadap Hubungan Kadar Tanin dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Kadar Anemia Gizi Besi PR Tanin
Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total
SF Rendah n % 4 40 7 35 0 0 11 30.6 8 50 13 54.2 4 22.2 25 43.1
SF Tinggi N % 6 60 13 65 6 100 25 69.4 8 50 11 45.8 14 77.8 33 56.9
Total n % 10 100 20 100 6 100 36 100 16 100 24 100 18 100 58 100
PR tanin tinggi-rendah = sedang-rendah = -
0.063
PR tanin tinggi-rendah = 2.25 sedang-rendah = 2.44
0.048
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.93 (CI 95% 0.94 – 9.1) PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.97(CI 95% 1.00 – 8.76)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.93 dengan CI 95% 0.94 – 9.1 dan PR adjusted pada kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.97 dengan CI 95% 1.00 – 8.76 dan PR bivariat/crude untuk kadar tanin tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR Bivariat/crude kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika peneliti menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted ≠ PR Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable jumlah kelahiran
merupakan
variable
yang
berpotensi
sebagai
confounding (confouder Variabel). Sedangkan dalam penilaian potensial efek modifikasi tidak dapat terlihat interaksi secara statistik oleh karena pada strata pertama terdapat nilai 0 pada salah satu sel dan juga belum ditemukan interaksi biologis pada teori yang ada.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P Value
95
5.4.6. Gambaran pengaruh Konsumsi Tablet Tambah Darah (TTD) ibu terhadap hubungan kadar tannin dengan anemia gizi besi pada ibu hamil Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi besi yang dipengaruhi oleh konsumsi tablet tambah darah, maka didapatkan
dari total 10 ibu hamil yang tidak mengkonsumsi
terdapat diantaranya 1 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 3 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan tidak ada ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 1 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 2 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 3 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal). Selanjutnya dari total 84 ibu yang mengkonsumsi tablet tambah darah terdapat diantaranya 11 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 17 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 4 ibu hamil dengan
kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi
(serum ferritin rendah). Sedangkan 13 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 22 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 17 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal).
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
96
Status Konsumsi TTD
Tidak
Ya
Tabel 5.30 Pengaruh Konsumsi Tablet Tambah Darah (TTD) Ibu terhadap Hubungan Kadar Tanin dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Kadar Anemia Gizi Besi PR Tanin
Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total
SF Rendah n % 1 50 3 60 0 0 4 40 11 45.8 17 43.6 4 19 32 38.1
SF Tinggi N % 1 50 2 40 3 100 6 60 13 54.2 22 56.4 17 81 52 61.9
Total n % 2 100 5 100 3 100 10 100 24 100 39 100 21 100 84 100
PR tanin tinggi-rendah = sedang-rendah = -
0.077
PR tanin tinggi-rendah = 2.41 sedang-rendah = 2.29
0.07
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.78 (CI 95% 0.89 – 8.6) PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.73 (CI 95% 0.93 – 7.99)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.78 dengan CI 95% 0.89 – 8.6 dan PR adjusted pada kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.73 dengan CI 95% 0.93 – 7.99 dan PR bivariat/crude untuk kadar tanin tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR Bivariat/crude kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika peneliti menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted = PR Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable konsumsi tablet tambah darah bukan merupakan variable confounding (confouder Variabel). Sedangkan dalam penilaian potensial efek modifikasi tidak dapat terlihat interaksi secara statistik oleh karena pada strata pertama terdapat nilai 0 pada salah satu sel dan juga belum ditemukan interaksi biologis pada teori yang ada.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P Value
97
5.4.7. Gambaran pengaruh Status Gizi Ibu terhadap hubungan kadar tannin dengan anemia gizi besi pada ibu hamil Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi besi yang dipengaruhi oleh status gizi ibu hamil, maka didapatkan dari total 13 ibu hamil yang memiliki status gizi kurang energi kronik (KEK) terdapat diantaranya 2 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 2 ibu hamil dengan kadar tanin sedang 1 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 4 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 1 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 3 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal). Selanjutnya dari total 81 ibu yang tidak beresiko kurang energi kronik (KEK) terdapat diantaranya 10 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 18 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 3 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 10 ibu hamil dengan kadar
tannin tinggi, 23 ibu hamil dengan kadar tanin
sedang dan 17 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal).
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
98
Status Gizi
Kurang Energi Kronik (KEK) Tidak KEK
Tabel 5.31 Pengaruh Status Gizi Ibu terhadap Hubungan Kadar Tanin dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Kadar Anemia Gizi Besi PR Tanin
Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total
SF Rendah n % 2 33.3 2 66.7 1 25 5 38.5 10 50 18 43.9 3 15 31 38.3
SF Tinggi N % 4 66.7 1 33.3 3 75 8 61.5 10 50 23 56.1 17 85 50 61.7
Total n % 6 100 3 100 4 100 13 100 20 100 41 100 20 100 81 100
PR tanin tinggi-rendah = 1.33 sedang-rendah = 2.07
0.08
PR tanin tinggi-rendah = 3.33 sedang-rendah = 2.93
0.067
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.76 (CI 95% 0.89 – 8.6) PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.74 (CI 95% 0.93 – 8.05)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.76 dengan CI 95% 0.89 – 8.6 dan PR adjusted pada kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.74 dengan CI 95% 0.93 – 8.05 dan PR bivariat/crude untuk kadar tanin tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR Bivariat/crude kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika peneliti menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted = PR Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable status gizi ibu bukan merupakan variable confounding (confouder Variabel). Sedangkan dalam penilaian potensial ada atau tidaknya efek modifikasi, maka didapatkan nilai yang berbeda antara strata pertama dengan strata kedua, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel status gizi ibu merupakan variabel yang berpotensi sebagai efek modifikasi pada hubungan kadar tanin terhadap anemia gizi besi. Tetapi setelah dilakukan Homogenity test, didapatkan hasil > 0.05 sehingga dapat disimpulkan tidak adanya interaksi statistik antara variabel status gizi ibu dengan kadar tanin
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P Value
99
teh celup. Secara teori belum terbukti adanya interaksi biologis antara status gizi ibu dengan kadar tanin teh celup. 5.4.8. Gambaran Pola Konsumsi Protein Hewani (Heme) terhadap hubungan kadar tannin dengan anemia gizi besi pada ibu hamil a) Protein Hewani (Heme) dengan Bioavaiabilitas tinggi Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi besi yang dipengaruhi oleh pola konsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas tinggi, maka didapatkan dari total 45 ibu hamil yang memiliki jarang mengkonsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas tinggi terdapat diantaranya 6 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 9 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 2 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 7 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 9 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 12 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal). Selanjutnya dari total
49 ibu jarang
mengkonsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas tinggi terdapat diantaranya 6 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 11 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 2 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 7 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 15 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 8 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal).
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
100
Pola Konsumsi Protein Hewani dg Bio. Tinggi Jarang
Sering
Tabel 5.32 Pengaruh Pola Konsumsi Protein Hewani dengan Bioavaiabilitas Tinggi terhadap Hubungan Kadar Tanin dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Kadar Anemia Gizi Besi PR Tanin
Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total
SF Rendah n % 6 46.2 9 50 2 14.3 17 37.8 6 46.2 11 42.3 2 20 19 38.8
SF Tinggi N % 7 53.8 9 50 12 85.7 28 62.2 7 53.8 15 57.7 8 80 30 61.2
Total n % 13 100 18 100 14 100 45 100 13 100 26 100 10 100 49 100
PR tanin tinggi-rendah = 3.23 sedang-rendah = 3.5
0.07
PR tanin tinggi-rendah = 2.31 sedang-rendah = 2.12
0.06
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.78 (CI 95% 0.89 – 8.64) PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.75 (CI 95% 0.9 – 8.1)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.78 dengan CI 95% 0.89 – 8.64 dan PR adjusted pada kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.75 dengan CI 95% 0.9 – 8.1 dan PR bivariat/crude untuk kadar tanin tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR Bivariat/crude kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika peneliti menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted = PR Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable pola konsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas
tinggi
ibu
bukan
merupakan
variable
confounding (confouder Variabel). Sedangkan dalam penilaian potensial ada atau tidaknya efek modifikasi, maka didapatkan nilai yang berbeda antara strata pertama dengan strata kedua, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel pola konsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas tinggi ibu merupakan variabel yang berpotensi sebagai efek modifikasi pada
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P Value
101
hubungan kadar tanin terhadap anemia gizi besi. Secara teori dan beberapa penelitian telah menyimpulkan bahwa tanin dapat menghambat zat besi yang terdapat di protein hewani dengan bioavaiabilitas tinggi jika dikonsumsi secara bersamaan atau dalam rentang waktu < 2 jam. Hal ini terjadi karena sifat tanin sebagai penghambat absorbsi zat besi. Tetapi setelah dilakukan Homogenity test, didapatkan hasil > 0.05 sehingga dapat disimpulkan tidak adanya interaksi statistik antara variabel pola konsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas tinggi dengan kadar tanin teh celup. Dalam penelitian ini belum terbukti adanya interaksi biologis antara variabel pola konsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas tinggi dengan kadar tanin teh celup oleh karena jumlah sampel yang kurang untuk membuktikan adanya interaksi secara statistik. b) Protein Hewani (Heme) dengan Bioavaiabilitas rendah Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi besi yang dipengaruhi oleh pola konsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas rendah, maka didapatkan dari total 45 ibu hamil yang memiliki jarang mengkonsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas rendah terdapat diantaranya 3 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 8 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 1 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 5 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 14 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 14 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal). Selanjutnya dari total 49 ibu jarang mengkonsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas rendah terdapat diantaranya 9 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 12 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 3 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 9 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 10 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
102
6 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal).
Pola Konsumsi Protein Hewani dg Bio.Rendah Jarang
Sering
Tabel 5.33 Pengaruh Pola Konsumsi Protein Hewani dengan Bioavaiabilitas Rendah terhadap Hubungan Kadar Tanin dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Kadar Anemia Gizi Besi PR Tanin
Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total
SF Rendah n % 3 37.5 8 36.4 1 6.7 12 26.7 9 50 12 54.5 3 33.3 24 49
SF Tinggi N % 5 62.5 14 63.6 14 93.3 33 73.3 9 50 10 45.5 6 66.7 25 51
Total n % 8 100 22 100 15 100 45 100 18 100 22 100 9 100 49 100
PR tanin tinggi-rendah = 5.63 sedang-rendah = 5.45
0.14
PR tanin tinggi-rendah = 1.50 sedang-rendah = 1.64
0.09
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.36 (CI 95% 0.75 – 7.47) PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.56 (CI 95% 0.87 – 7.5)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.36 dengan CI 95% 0.75 – 7.47 dan PR adjusted pada kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.56 dengan CI 95% 0.87 – 7.5 dan PR bivariat/crude untuk kadar tanin tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR Bivariat/crude kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika peneliti menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted ≠ PR Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable pola konsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas
rendah
merupakan
variable
confounding
(confouder Variabel). Sedangkan dalam penilaian potensial ada atau tidaknya efek modifikasi, maka didapatkan nilai yang berbeda antara strata pertama dengan strata kedua, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel pola konsumsi protein
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P Value
103
hewani dengan bioavaiabilitas rendah ibu merupakan variabel yang berpotensi sebagai efek modifikasi pada hubungan kadar tanin terhadap anemia gizi besi. Secara teori dan beberapa penelitian telah menyimpulkan bahwa tanin dapat menghambat zat besi yang terdapat di protein hewani dengan bioavaiabilitas tinggi jika dikonsumsi secara bersamaan atau dalam rentang waktu < 2 jam. Hal ini terjadi karena sifat tanin sebagai penghambat absorbsi zat besi. Tetapi setelah dilakukan Homogenity test, didapatkan hasil > 0.05 sehingga dapat disimpulkan tidak adanya interaksi statistik antara variabel pola konsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas rendah dengan kadar tanin teh celup. Dalam penelitian ini belum terbukti adanya interaksi biologis antara variabel pola konsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas rendah dengan kadar tanin teh celup oleh karena jumlah sampel yang kurang untuk membuktikan adanya interaksi secara statistik. 5.4.9. Gambaran Pola Konsumsi Protein Nabati (Non-Heme) terhadap hubungan kadar tannin dengan anemia gizi besi pada ibu hamil a) Protein Nabati (Non-Heme) dengan Bioavaiabilitas tinggi Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi besi yang dipengaruhi oleh pola konsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas tinggi, maka didapatkan dari total 45 ibu hamil yang memiliki jarang mengkonsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas tinggi terdapat diantaranya 7 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 11 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 2 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 5 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 10 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 10 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal). Selanjutnya dari total 49 ibu jarang mengkonsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas tinggi terdapat diantaranya 5 ibu hamil dengan
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
104
kadar tannin tinggi, 9 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 2 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 9 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 14 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 10 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal).
Pola Konsumsi Protein Nabati dg Bio. Tinggi Jarang
Sering
Tabel 5.34 Pengaruh Pola Konsumsi Protein Nabati dengan Bioavaiabilitas Tinggi terhadap Hubungan Kadar Tanin dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Kadar Anemia Gizi Besi PR Tanin
Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total
SF Rendah n % 7 58.3 11 52.4 2 16.7 20 44.4 5 35.7 9 39.1 2 16.7 16 32.7
SF Tinggi N % 5 41.7 10 47.6 10 83.3 25 55.6 9 64.3 14 60.9 10 83.3 33 67.3
Total n % 12 100 21 100 12 100 45 100 14 100 23 100 12 100 49 100
PR tanin tinggi-rendah = 3.50 sedang-rendah = 3.14
0.07
PR tanin tinggi-rendah = 2.14 sedang-rendah = 2.35
0.06
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.8 (CI 95% 0.9 – 8.6) PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.75 (CI 95% 0.94 – 8.04)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.8 dengan CI 95% 0.9 – 8.6 dan PR adjusted pada kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.75 dengan CI 95% 0.94 – 8.04 dan PR bivariat/crude untuk kadar tanin tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR Bivariat/crude kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika peneliti menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted = PR Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable pola konsumsi protein nabatai dengan bioavaiabilitas tinggi ibu bukan merupakan variable
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P Value
105
confounding (confouder Variabel). Sedangkan dalam penilaian potensial ada atau tidaknya efek modifikasi, maka didapatkan nilai yang berbeda antara strata pertama dengan strata kedua, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel pola konsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas tinggi ibu merupakan variabel yang berpotensi sebagai efek modifikasi pada hubungan kadar tanin terhadap anemia gizi besi. Tetapi setelah dilakukan Homogenity test, didapatkan hasil > 0.05 sehingga dapat disimpulkan tidak adanya interaksi statistik antara variabel pola konsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas tinggi dengan kadar tanin teh celup. Dalam penelitian ini belum terbukti adanya interaksi biologis antara variabel pola konsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas tinggi dengan kadar tanin teh celup dan secara teori belum terbukti adanya interaksi biologis antara pola konsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas tinggi dengan kadar tanin teh celup. b) Protein Nabati (Non-Heme) dengan Bioavaiabilitas rendah Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi besi yang dipengaruhi oleh pola konsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas rendah, maka didapatkan dari total 44 ibu hamil yang memiliki jarang mengkonsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas rendah terdapat diantaranya 2 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 11 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 1 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 9 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 12 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 9 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal). Selanjutnya dari total 50 ibu jarang mengkonsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas rendah terdapat diantaranya 10 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 9 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 3 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
106
besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 5 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 12 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 11 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal).
Pola Konsumsi Protein Nabati dg Bio.Rendah Jarang
Sering
Tabel 5.35 Pengaruh Pola Konsumsi Protein Nabati dengan Bioavaiabilitas Rendah terhadap Hubungan Kadar Tanin dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Kadar Anemia Gizi Besi PR Tanin
Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total
SF Rendah n % 2 18.2 11 47.8 1 10 14 31.8 10 66.7 9 42.9 3 21.4 22 44
SF Tinggi N % 9 81.8 12 52.2 9 90 30 68.2 5 33.3 12 57.1 11 78.6 28 56
Total n % 11 100 23 100 10 100 44 100 15 100 21 100 14 100 50 100
PR tanin tinggi-rendah = 1.82 sedang-rendah = 4.78
0.07
PR tanin tinggi-rendah = 3.11 sedang-rendah = 2.0
0.058
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.77 (CI 95% 0.89 – 8.6) PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.83 (CI 95% 0.96 – 8.3)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.77 dengan CI 95% 0.89 – 8.6 dan PR adjusted pada kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.83 dengan CI 95% 0.96 – 8.3 dan PR bivariat/crude untuk kadar tanin tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR Bivariat/crude kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika peneliti menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted = PR Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable pola konsumsi protein nabatai dengan bioavaiabilitas rendah ibu bukan merupakan variable confounding (confouder Variabel). Sedangkan dalam penilaian potensial ada atau tidaknya efek modifikasi, maka didapatkan
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P Value
107
nilai yang berbeda antara strata pertama dengan strata kedua, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel pola konsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas rendah ibu merupakan variabel yang berpotensi sebagai efek modifikasi pada hubungan kadar tanin terhadap anemia gizi besi. Tetapi setelah dilakukan Homogenity test, didapatkan hasil > 0.05 sehingga dapat disimpulkan tidak adanya interaksi statistik antara variabel pola konsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas rendah dengan kadar tanin teh celup. Dalam penelitian ini belum terbukti adanya interaksi biologis antara variabel pola konsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas rendah dengan kadar tanin teh celup dan secara teori belum terbukti adanya interaksi biologis antara pola konsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas rendah dengan kadar tanin teh celup. 5.4.10. Gambaran Pola Konsumsi Pengikat Absorbsi Zat Besi (Enhauncer Fe) terhadap hubungan kadar tannin dengan anemia gizi besi pada ibu hamil Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi besi yang dipengaruhi oleh pola konsumsi pengikat absorbsi zat besi, maka didapatkan
dari total 45 ibu hamil yang memiliki
jarang mengkonsumsi pengikat absorbsi zat besi terdapat diantaranya 4 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 10 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 1 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 6 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 10 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 14 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal). Selanjutnya dari total
49 ibu jarang mengkonsumsi pengikat
absorbsi zat besi terdapat diantaranya 8 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 10 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 3 ibu hamil dengan
kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi
(serum ferritin rendah). Sedangkan 8 ibu hamil dengan kadar
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
108
tannin tinggi, 14 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 6 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal).
Pola Konsumsi Pengikat Abs. Zat Besi Jarang
Sering
Tabel 5.36 Pengaruh Pola Konsumsi Pengikat Absorbsi Zat Besi (Enhauncer Fe) terhadap Hubungan Kadar Tanin dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Kadar Anemia Gizi Besi PR Tanin
Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total
SF Rendah n % 4 40 10 50 1 6.7 15 33.3 8 50 10 41.7 3 33.3 21 42.9
SF Tinggi N % 6 60 10 50 14 93.3 30 66.7 8 50 14 58.3 6 66.7 28 57.1
Total n % 10 100 20 100 15 100 45 100 16 100 24 100 9 100 49 100
PR tanin tinggi-rendah = 6.0 sedang-rendah = 7.5
0.09
PR tanin tinggi-rendah = 1.5 sedang-rendah = 1.25
0.07
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.68 (CI 95% 0.85 – 8.4) PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.66 (CI 95% 0.9 – 7.84)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.68 dengan CI 95% 0.85 – 8.4 dan PR adjusted pada kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.66 dengan CI 95% 0.9 – 7.84 dan PR bivariat/crude untuk kadar tanin tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR Bivariat/crude kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika peneliti menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted = PR Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable pola konsumsi pengikat absorbsi zat besi ibu bukan merupakan variable confounding (confouder Variabel). Sedangkan dalam penilaian potensial ada atau tidaknya efek modifikasi, maka didapatkan nilai yang berbeda antara strata pertama dengan strata kedua, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel pola konsumsi protein nabati
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P Value
109
dengan bioavaiabilitas rendah ibu merupakan variabel yang berpotensi sebagai efek modifikasi pada hubungan kadar tanin terhadap anemia gizi besi. Secara teori dan beberapa penelitian telah menyimpulkan bahwa tanin dapat menghambat zat besi yang terdapat di makanan yang bersifat sebagai pengikat zat besi jika dikonsumsi secara bersamaan atau dalam rentang waktu < 2 jam. Hal ini terjadi karena sifat tanin yang bertentangan yaitu sebagai penghambat
absorbsi
zat
besi.
Tetapi
setelah
dilakukan
Homogenity test, didapatkan hasil > 0.05 sehingga dapat disimpulkan tidak adanya interaksi statistik antara variabel pola konsumsi pengikat absorbsi zat besi dengan kadar tanin teh celup. Dalam penelitian ini belum terbukti adanya interaksi biologis antara variabel pola konsumsi pengikat absorbsi zat besi dengan kadar tanin teh celup dan secara teori belum terbukti adanya interaksi biologis antara pola konsumsi pengikat absorbsi zat besi dengan kadar tanin teh celup. 5.4.11. Gambaran Pola Konsumsi Penghambat Absorbsi Zat Besi (Inhibitor Fe) terhadap hubungan kadar tannin dengan anemia gizi besi pada ibu hamil Dari analisa hubungan kadar tannin per hari terhadap anemia gizi besi yang dipengaruhi oleh pola konsumsi penghambat absorbsi zat besi, maka didapatkan
dari total 43 ibu hamil yang memiliki
jarang mengkonsumsi penghambat absorbsi zat besi terdapat diantaranya 5 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 6 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 3 ibu hamil dengan kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi (serum ferritin rendah). Sedangkan 5 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 11 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 13 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal). Selanjutnya dari total 51 ibu jarang mengkonsumsi penghambat absorbsi zat besi terdapat diantaranya 7 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 14 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 1 ibu
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
110
hamil dengan
kadar tannin rendah menderita anemi gizi besi
(serum ferritin rendah). Sedangkan 9 ibu hamil dengan kadar tannin tinggi, 13 ibu hamil dengan kadar tanin sedang dan 7 ibu hamil dengan kadar tannin rendah tidak menderita anemia gizi besi (serum ferritin normal).
Pola Konsumsi Penghambat Abs. Zat Besi Jarang
Sering
Tabel 5.36 Pengaruh Pola Konsumsi Penghambat Absorbsi Zat Besi (Inhibitor Fe) terhadap Hubungan Kadar Tanin dengan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor Tahun 2012 Kadar Anemia Gizi Besi PR Tanin
Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total
SF Rendah n % 5 50 6 35.3 3 18.8 14 32.6 7 43.8 14 51.9 1 12.5 22 43.1
SF Tinggi N % 5 50 11 64.7 13 81.2 29 67.4 9 56.2 13 48.1 7 87.5 29 56.9
Total n % 10 100 17 100 16 100 43 100 16 100 27 100 8 100 51 100
PR tanin tinggi-rendah = 2.67 sedang-rendah = 1.88
0.13
PR tanin tinggi-rendah = 3.5 sedang-rendah = 4.15
0.08
PR adjusted tanin tinggi-rendah = 2.45 (CI 95% 0.78 – 7.76) PR adjusted tanin sedang-rendah = 2.62 (CI 95% 0.88 – 7.77)
Dari tabel diatas terdapat nilai masing-masing strata, dimana PR adjusted pada kadar tanin tinggi terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.45 dengan CI 95% 0.78 – 7.76 dan PR adjusted pada kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar = 2.62 dengan CI 95% 0.88 – 7.77 dan PR bivariat/crude untuk kadar tanin tinggi terhadap rendah sebesar 2.77 dan PR Bivariat/crude kadar tanin sedang terhadap kadar tanin rendah sebesar 2.73, jika peneliti menetapkan confounding sebesar 10%, maka PR Adjusted ≠ PR Crude. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variable pola konsumsi penghambat absorbsi zat besi merupakan variable confounding (confouder Variabel). Sedangkan dalam penilaian potensial ada atau tidaknya efek modifikasi, maka didapatkan nilai
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
P Value
111
yang berbeda antara strata pertama dengan strata kedua, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel pola konsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas rendah ibu merupakan variabel yang berpotensi sebagai efek modifikasi pada hubungan kadar tanin terhadap anemia gizi besi. Secara teori dan beberapa penelitian telah menyimpulkan bahwa tanin teh merupakan salah satu komponen makanan yang bersifat sebagai penghambat absorbsi zat besi. Tetapi setelah dilakukan Homogenity test, didapatkan hasil > 0.05 sehingga dapat disimpulkan tidak adanya interaksi statistik antara variabel pola konsumsi penghambat absorbsi zat besi dengan kadar tanin teh celup. Dalam penelitian ini belum terbukti adanya
interaksi
biologis
antara
variabel
pola
konsumsi
penghambat absorbsi zat besi dengan kadar tanin teh celup dan secara teori belum terbukti adanya interaksi biologis antara pola konsumsi penghambat absorbsi zat besi dengan kadar tanin teh celup.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
112
5.5. Analisa Multivariat Hasil uji bivariate yang yang tergambar dalam tabel 5.21 maka diseleksi beberapa variabel untuk masuk ke dalam analisa multivariat. Tabel 5.38 Penyaringan Variabel untuk diikutsertakan ke dalam analisa mutivariat kejadian Anemia Gizi Besi NO
Variabel
P value
Exp(B)
1
Usia ibu hamil *
0.256
0.512
2
Status Pekerjaan (Tidak)
0.562
1.851
3
Trimester ( ketiga)*
0.990
1.005
4
Jarak Kehamilan ( < 2 tahun)*
0.583
0.808
5
Jumlah anak / Paritas (> 2 anak)*
0.548
0.779
6
Konsumsi TTD (tidak)*
0.956
1.033
7
Status gizi (beresiko KEK)*
0.935
0.958
8
Heme dgn Bio. tinggi (jarang)*
0.635
1.183
9
Heme dgn Bio. rendah (jarang)
0.186
0.604
10
Non-Heme dgn Bio. tinggi (jarang)
0.227
1.564
11
Non-Heme dgn Bio. rendah (jarang)
0.197
0.610
12
Enhauncer Fe*
0.851
1.079
13
Inhibitor Fe*
0.845
0.929
14
Kadar tannin (Tinggi thd Rendah)
0.131
2.524
15
Kadar tannin (Sedang thd Rendah)
0.095
2.668
*Tidak diikutsertakan ke dalam permodelan. ** diikutsertakan dalam permodelan karna alasan substansi yang dianggap penting (variable independen)
Setelah dilakukan penyaringan dari variable bivariate, maka didapatkan 4 variabel yang memenuhi syarat (P ≤ 0,25) yaitu variable Pola konsumsi protein hewani (heme) dengan bioavaiabilitas rendah, dan Pola konsumsi protein Nabati (Non-Heme) dengan bioavaiabilitas tinggi, Pola konsumsi protein Nabati (Non-Heme) dengan bioavaiabilitas rendah, dan kadar tanin pada teh celup. Selain itu diikutkan juga variabel usia ibu hamil karena dianggap sebagai variabel yang penting secara substansi. Kelima variabel
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
113
tersebut di analisa dengan menggunakan Cox Regression dengan metode Backward LR, dengan tahapan perubahan besar resiko pada variabel independen sebagai berikut : Tabel 5. 39 Tahapan Analisa Multivariat pada Pengaruh Kadar Tanin Teh Celup terhadap Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Citeureup Kabupaten Bogor tahun 2012 NO
Variabel
P Value
PR
Perubahan PR
1
2
3
4
Usia ibu
0.186
0.491
Protein Hewani dg Bio.Rendah
0.186
0.620
Protein Nabati dg Bio.Tinggi
0.143
1.659
Protein Nabati dg Bio.Rendah
0.220
0.647
Kadar Tanin Pada Teh Celup
0.111
2.540
Usia ibu
0.181
0.485
Protein Hewani dg Bio.Rendah
0.17
0.609
Protein Nabati dg Bio.Tinggi
0.222
0.513
Kadar Tanin Pada Teh Celup
0.111
2.552
Usia ibu
0.225
0.522
Protein Hewani dg Bio.Rendah
0.198
0.628
Kadar Tanin Pada Teh Celup
0.117
2.507
Usia ibu
0.183
0.492
Kadar Tanin Pada Teh Celup
0.068
2.869
0.6%
1.1%
0.67%
13.6%
Dari tabel diatas , tidak terjadi perubahan HR melebihi batasan peneliti (10%) sehingga terdapat 2 variabel covariat yang dinaytakan sebagai variabel confounder . sehingga didapatkan permodelan terakhir sebagai berikut:
:
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
114
Tabel 5. 40 Variabel yang ikutserta dalam permodelan terakhir NO
Variabel
B
PR
CI 95%
1
Protein Hewani dg Bio.Rendah
0.023
1.024
0.56- 1.85
2
Usia Ibu
-0.76
0.493
0.17 – 1.41
3
Kadar Tanin pd Teh Celup
1.044
2.840
0.9 – 9.06
Hasil PR Adjusted variabel kadar tanin sebesar 2.840 (CI 95% 0.9 – 9.06) yang artinya prevalens ibu hamil dengan kadar tanin yang tinggi 2.084 kali lebih tinggi untuk menderita anemia gizi besi dibandingkan ibu dengan kadar tani rendah per harinya setelah di kontrol oleh variabel usia ibu dan pola konsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas rendah. Dari hasil analisa multivariat dengan model final, didapatkan pula faktor yang paling dominan yang berperan dalam kejadian anemia gizi besi yaitu variabel kadar tanin teh celup. Dari tabel di atas dibuat persamaan dari model terakhir, sebagai berikut :
Kadar Srum Ferritin = ho + e
0.023 (heme bio rendah)-0.76(usia ibu)+1.044(tanin teh celup)
Dengan demikian, meskipun hubungan tanin pada teh celup secara statistik tidak significan tetapi kadar tanin, asupan protein hewani dengan bioavaiabilitas rendah dan usia ibu dapat memprediksi terjadi kadar serun ferritin ibu hamil.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
115
BAB 6 Pembahasan
6.1.
Keterbatasan Penelitian Beberapa cara telah dilakukan oleh peneliti guna meminimalkan adanya bias baik berupa bias seleksi, bias informasi, mapun confounding. Dimana peneliti telah melakukan penggalian informasi pada variabel covariat yang dianggap berpotensi sebagai confounder lebih dalam pada tahap design, menggunakan instrument berupa kuesioner yang telah terstruktur sehingga tidak ada peluang diagnostic Bias pada wawancara, serta
melakukan
pengukuran
dengan
test
laboratorium
guna
mengkonfirmasi secara pasti status paparan dan outcome sehingga terhindar dari ancaman validitas internal. Namun, pada studi ini peneliti belum mampu mengontrol semua hal sehingga masih terdapat beberapa kelemahan yang perlu dijelaskan dalam bab ini.
Penelitian ini menggunakan desain Cross sectional analytic dimana kelemahan desain ini yaitu adanya peluang temporal ambiguity bias akibat desain ini tidak dapat menentukan kausalitas, tetapi pada penelitian ini telah ditentukan variabel independen utama sebagai penyebab dari outcome berdasarkan teori yang ada dan dari penelitian-penelitian sebelumnya. Pada studi ini peneliti melakukan pemilihan sampel dengan metode random sampling
dari daftar ibu hamil di UPT Puskesmas
Citeureup yang terlebih dahulu dipilih berdasarkan kriteria inklusi. Tetapi adanya kemungkinan terjadi random error atau chance sehingga mengakibatkan presisi penelitian ini rendah (melebar). Presisi yang rendah (lebar) pada hasil penelitin ini bias juga disebabkan oleh penggalian faktor resiko lain diluar faktor resiko utama yang terlalu banyak.
Terlihat besaran resiko cukup tinggi tetapi Confidence Interval berada di batas nilai null value dan melewati null value serta nilai probabilitas (P
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
116
value) juga tidak menunjukkan signifikansi. Hal ini terjadi oleh karena jumlah sampel yang pada awalnya dihitung dengan memprediksi populasi eksposure terdiri dari dua populasi yaitu ekspose dan unekspose, tetapi pada tahap analisa peneliti memutuskan untuk membagi menjadi tiga level erksposure dengan beberapa pertimbangan sehingga sampel yang semula dihitung tidak cukup untuk membuktikan signifikansi secara. Untuk kemungkinan recall bias pada penelitian ini sangat kecil oleh karena FFQ dan penilaian paparan merupakan suatu kebiasaan responden yang dikerjakan sehari-hari.
Bias lain yang dialami oleh penelitian ini yaitu measurement Bias dimana peneliti mengasumsikan perilaku responden dalam lama merendam kantung teh, penggunaan sumber air panas dan frekuensi dalam mengkonsumsi teh dianggap stabil (tidak berubah) tetapi pada realitanya tidak mungkin terjadi sehingga menghasilkan bias dimana peneliti tidak bisa mengontrol.
6.2. Karateristik Ibu hamil Dari total 104 ibu hamil yang memenuhi kriteria inklusi, sebanyak 94 ibu hamil (participant rate 90,4%) yang bisa diikutkan sampai pada tahap analisa. 10 ibu hamil non participant terdiri dari 6 ibu mengkonsumsi teh tubruk , 2 ibu mengkonsumsi teh kemasan yang kemudian di ekskusi dari studi. 2 ibu hamil tidak dapat melanjutkan wawancara oleh karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan.
Dari seluruh ibu hamil yang diikutkan ke dalam analisa didapat prevalensi anemia gizi besi (analisa serum ferritin) yaitu yang memiliki nilai serum ferritin < 13 µg/dl sebesar 38,3%. Angka ini lebih rendah dibandingkan angka yang didapat di penelitian Maria (2002) di Kabupaten Demak tahun 2002 yang menemukan prevalnesi anemia gizi besi dengan analisa serum ferritin sebesar 53,7%. Barunawati (2000) mendapatkan prevalensi pada studinya di Kecamatan Leuwiliang,
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
117
Kabupaten Bogor tahun 2000 sebesar 33,3% ibu hamil yang memiliki kadar serum ferritin di bawah normal. Sedangkan penelitian Tristiyanti (2006) yang juga di lakukan di Kota Bogor pada tahun 2006 sebesar 62,5% yang dilakukan analisa Hemoglobin. Perbedaan angka tersebut disebabkan oleh perbedaan budaya dalam mengkonsumsi makanan dan perbedaan indicator pengukuran, dimana dapat disimpulkan bahwa analisa serum ferritin lebih tepat digunakan dalam menangkap kasus anemia gizi besi dibandingkan analisa hemoglobin, oleh karena penurunan hemoglobin tidak hanya disebabkan oleh defisiensi Fe tetapi juga dipengaruhi oleh defisiensi asam folat, anemia hemolitik, dsb.
Berdasarkan hasil skoring antara kandungan tannin teh celup berdasarkan sumber air panas dan lama mencelup kantung teh yang dikolaborasikan dengan nilai frekuensi konsumsi teh per hari masing-masing responden, di dapatkan 89,4% ibu hamil mengkonsumsi teh dimana 47,9% nya dengan kadar tannin tinggi (≥ 2,00 mg/mL). Pada penelitian Tristiyanti (2006), sebesar 60,9% responden mengkonsumsi teh dengan frekuensi 130 kali sebulan. Pada penelitian ini, 20,2% ibu berusia < 20 dan > 35 tahun, yaitu usia yang beresiko untuk mengandung janin. Usia ibu hamil merupakan salah satu factor yang dapat mempengaruhi kejadian anemia karena berpengaruh terhadap kemampuan biologis untuk melahirkan, tubuh harus siap secara fisik maupun psikis (Santi, 2007).
Sebagian besar ibu hamil tidak berkerja/ibu rumah tangga (92,6%) sisanya berkerja sebagai buruh pabrik (7,45%). Pekerjaan berpengaruh terhadap anemia karena ibu hamil mempunyai pendapatan untuk meningkatkan kualitas makanan yang diolah dikeluarga, tetapi status pekerjaan yang cukup berat juga turut serta dalam mnentukan resiko anemia pada ibu hamil jika tidak diseimbangkan pola asupan makanan dan istirahat. Sebanyak 54,3% ibu hamil memiliki jarak kelahiran < 2 tahun dari kehamilan sebelumnya. Jarak kelahiran yang berdekatan beresiko meningkatkan anemia gizi besi pada ibu, hal ini berhubungan
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
118
dengan peningkatan kebutuhan zat besi pada masa kehamilan. Jumlah kehamilan (paritas) berhubungan erat dengan anemia gizi besi, dimana dengan banyaknya jumlah keluarga (anak) berpotensi menurunkan kualitas asupan makanan seimbang terutama pada keluarga di ekonomi dengan pendapatan rendah. Pada penelitian ini sebanyak 38,3% ibu hamil memiliki > 2 anak. Lebih dari 80% ibu hamil mengaku mengkonsumsi tablet tambah darah baik yang diberikan oleh bidan/Puskesmas maupun tablet yang dibeli secara mandiri. Dari pengukuran lingkar lengan atas yang dilakukan oleh para bidan desa saat mengumpulkan data, didapat sebanyak 13,8% ibu hamil yang memiliki LLA < 23,5 dan digolongkan sebagai ibu hamil yang beresiko KEK. Hal ini berkaitan dengan rasa mual yang dikeluhkan ibu sehingga asupan makanan selama hamil tidak tercukupi.
Berdasarkan penggalian informasi mengenai perilaku mengkonsumsi teh serta metoda membuat teh sehari-hari, didapatkan sebanyak 55,3% ibu menyeduh the dengan menggunakan air panas yang dimasak mendidih, selebihnya sebanyak 34,7% menggunakan air panas dari dispenser. Sedangkan dalam perilaku lama mencelupkan kantung teh, sebanyak 10,7% ibu mencelupkan kantung selama 1 menit, 47% ibu mencelupkan kantung teh selama 5 menit dan selebihnya sebanyak 41,7% ibu mencelupkan kantung teh selama 10 menit.
Pada penelitian ini ibu hamil yang jarang mengkonsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas tinggi dan rendah masing-masing sebanyak 47,9%. Ibu hamil yang mengkonsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas tinggi sebanyak 47,9% dan ibu hamil yang jarang mengkonsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas rendah sebanyak 46,8%. Untuk konsumsi pengikat absorbsi zat besi (enhauncer Fe) sebanyak 47,9% persen yang mengkonsumsi
dengan
pola
jarang
sedangkan
untuk
konsumsi
penghambat zat besi (inhibitor) sebanyak 45,7% yang mengkonsumsi dengan pola jarang.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
119
6.3. Pengaruh kadar tannin terhadap anemia gizi besi (analisa serum ferritin) pada ibu hamil Dengan mengabaikan adanya pengaruh dari factor resiko lain, maka didapatkan hasil bahwa ibu hamil yang memiliki kadar tannin tinggi per hari ( > 2,00 mg/mL) 1,217 kali lebih beresiko menderita anemia gizi besi dibandingkan ibu hamil yang memiliki kadar tannin rendah perharinya. Dimana dari 45 ibu hamil yang memiliki kadar tannin tinggi, 19 ibu memiliki kadar serum ferritin yang rendah dan 26 ibu memiliki kadar serum ferritin normal. Selebihnya dari total 49 ibu hamil yang memiliki kadar tannin rendah per harinya, sebanyak 17 ibu memiliki kadar serum ferritin yang rendah dan 32 ibu memiliki kadar serum ferritin normal. Tidak jauh berbeda dengan penelitain sebelumnya, Tristiyanti (2006) mendapatkan hasil sebanyak 36 ibu hamil yang mengkonsumsi teh 0-8 kali per bulan, sebanyak 23 ibu menderita anemia dan sisanya sebanyak 13 ibu tidak menderita anemia. Sedangkan pada dari total 28 ibu yang mengkonsumsi teh dengan frekuensi 9-30 kali sebulan, sebanyak 17 ibu menderita anemia dan 11 ibu tidak menderita anemia. Hal ini berarti bahwa semakin sering frekuensi konsumsi teh, maka semakin rendah zat besi yang diserap oleh tubuh.
6.4. Pengaruh kadar tannin teh terhadap anemi gizi besi (analisa serum ferritin) dengan pengaruh faktor resiko lain 6.4.1. Pengaruh usia ibu terhadap hubungan kadar tannin pada anemia gizi besi (analisa serum ferritin) ibu hamil Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa adanya perbedaan resiko antara ibu yang berusia < 20 tahun dan > 35 tahun dengan ibu yang berusia 20 sd 35 tahun. Dimana ibu yang berusia < 20 tahun dan > 35 tahun yang memiliki kadar tannin tinggi per harinya beresiko 2,1 kali untuk menderita anemia gizi besi dibandingkan ibu yang berusia sama yang memiliki kadar tannin lebih rendah per harinya. Sedangkan pada ibu yang berusia 20 sd
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
120
35 tahun yang memiliki kadar tannin tinggi perharinya beresiko 1,2 kali untuk menderita anemia gizi besi dibandingkan ibu dengan usia yang sama yang memiliki kadar tannin lebih rendah per harinya. Belum ada penelitian yang menggali secara khusus mengenai pengaruh kadar tannin pada anemia gizi besi jika dipengaruhi oleh usia ibu hamil, tetapi secara statistik telah ditemukan bahwa usia ibu pada saat hamil berhubungan dengan kejadian anemia. Buana (2004) mendapatkan hasil bahwa ibu hamil yang memiliki usia beresiko (< 20 tahun dan > 35 tahun) memiliki resiko 5,04 kali untuk menderita anemia dibandingkan ibu yang memiliki usia tidak beresiko ( 20 sd 35 tahun). Perbedaan resiko ini bermakna secara statistic dengan nilai P sebesar 0,0005.
6.4.2. Pengaruh status pekerjaan terhadap hubungan kadar tannin pada anemia gizi besi (analisa serum ferritin) ibu hamil Hamper seluruh ibu hamil yang ikut dalam penelitian ini sebagai sampel berstatus tidak berkerja/ ibu rumah tangga. Sehingga analisa hanya dilakukan pada ibu hamil dengan status berkerja. Hasil analisa dapat disimpulkan bahwa ibu hamil yang berkerja / ibu rumah tangga yang mempunyai kadat tannin tinggi beresiko 1,2 kali untuk menderita anemi gizi besi dibandingkan ibu tidak berkerja/ibu rumah tangga yang memiliki kadar tannin lebih rendah per harinya. Belum ditemukan penelitian yang menggali mengenai pengaruh tannin teh terhadap anemia gizi besi yang dipengaruhi oleh status pekerjaan ibu hamil. Tetapi beberapa penelitian telah membuktikan secara statistik bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistic antara status pekerjaan dengan kejadian anemia. Santi (2006) mendapatkan hasil uji statistik yaitu tidak ada perbedaan yang bermakna dari latar belakang pekerjaan ibu. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang diungkapkan oleh penelitian Buana, dimana penelitian ini menghasilkan besaran
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
121
resiko yang mendekati nilai null yaitu mendekati tidak adanya resiko.
6.4.3. Pengaruh usia kehamilan ibu terhadap hubungan kadar tannin pada anemia gizi besi (analisa serum ferritin) ibu hamil Uisa kehamilan pada penelitian ini terdiri dari ibu hamil dengan usia trimester kedua dan trimester ketiga. Dari hasil analisa didapatkan hasil bahwa ibu dengan usia kehamilan trimester kedua ( > 14 minggu sd 28 minggu) yang memiiki kadar tannin tinggi perharinya
beresiko
1,56
kali
untuk
menderita
anemia
dibandingkan ibu dengan usia kehamilan yang sama yang memiliki kadar tannin rendah perharinya.
Sedangkan ibu dengan usia
kehamilan trimester ketiga (> 28 minggu) tidak memiliki perbedaan resiko antara ibu yang memiliki kadar tannin tinggi ataupun rendah. Belum ada penelitian yang menggali secara khusus mengenai pengaruh kadar tannin / frekuensi konsumsi teh pada anemia gizi besi yang dipengaruhi oleh usia kehamilan ibu, tetapi beberapa penelitian telah menemukan hubungan antara usia kehamilan dengan kejadian anemia ibu hamil. Darlina dan Hardinsyah (2003) menemukan prevalensi yang berbeda antara kejadian anemia di masing-masing usia ibu hmail, dimana kejadian anemia ibu hamil trimester II ( 43,0%) lebih tinggi dibandingkan trimester III (36,3%). Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Suwandono dan Soemantri (1995) yang diacu dalam Tristiyanti (2006) yang menyatakan bahwa meningkatnya kejadian anemia dengan bertambahnya umur kehamilan disebabkan terjadinya perubahan fisiologis pada kehamilan yang dimulai pada minggu ke-6, yaitu bertambhanya volume plasma dan mencapai puncaknya pada minggu ke-26 sehingga terjadi penurunan kadar hemoglobin. Peningkatan
volume
plasma
darahterjadi
lebih
dahulu
dibandingkan produksi sel darah merah. Kondisi ini menyebabkan pembentukan sel darah merah terjadi pada pertengahan akhir
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
122
kehamilan sehingga konsentrasi mulai meningkat pada trimetsre ketiga kehamilan.
6.4.4. Pengaruh Jarak kehamilan terhadap hubungan kadar tannin pada anemia gizi besi (analisa serum ferritin) ibu hamil Tidak ada perbedaan kejadian anemia antara ibu yang memiliki jarak kelahiran ≥ 2 tahun antara ibu yang memiliki kadar tannin tinggi dengan ibu yang memiliki kadar tannin rendah. Berbeda hal nya dengan ibu yang memiliki jarak kelahiran < 2 tahun, dimana ibu yang memiliki kadar tannin tinggi beresiko 1,2 kali dibandingkan yang memiliki kadar tannin rendah. Belum ada penelitian yang menggali secara khusus mengenai pengaruh kadar tannin / frekuensi konsumsi teh pada anemia gizi besi yang dipengaruhi oleh jarak kelahiran, tetapi hal ini sesuai dengan teori yang ada dimana salah satu penyebab yang dapat memepercepat terjadinya anemia pada wanita adalah jarak kelahiran yang pendek .Hal ini disebabkan karena adanya kekurangan nutrisi yang merupakan mekanisme biologis dari pemulihan factor hormonal (Tristiyanti, 2006).
6.4.5. Pengaruh jumlah kehamilan (paritas) terhadap hubungan kadar tannin pada anemia gizi besi (analisa serum ferritin) ibu hamil Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa ada perbedaan resiko antara ibu yang memiliki paritas tinggi (> 2 anak) dengan ibu yang memiliki paritas rendah ( ≤ 2 anak).dimana ibu yang memiliki paritas tinggi yang memiliki kadar tannin tinggi beresiko 1,4 kali untuk menderita anemia gizi besi dibandingkan ibu dengan paritas sama yang memiliki kadar tannin rendah. Sedangkan ibu yang memiliki paritas rendah yang memiliki kadar tannin tinggi memiliki resiko 1,2 kali untuk menderita anemia gizi besi dibandingkan ibu dengan paritas yang sama yang memiliki kadar tannin lebih rendah perharinya. Paritas atau jumlah persalinan juga
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
123
berhubungan dengan anemia, semakin sering seorang wanita melahirkan maka semakin besar resiko kehlangan darah dan berdampak pada penurunan kadar hemoglobin (wijianto dalam Tristiyanti, 2006). Hal ini berbeda dengen penelitin sebelumnya, Tristiyanti (2006) menunjukkan hasil berupa tidak ada hubungan yang nyata antara paritas dengan status anemia gizi besi. Tidak adanya hubungan antara paritas dengan status anemia gizi besi tersebut diduga karena homogenitas paritas responden, dimana seluruh responden termasuk kedalam kategori paritas rendah.
6.4.6. Pengaruh konsumsi tablet tambah darah terhadap hubungan kadar tannin pada anemia gizi besi (analisa serum ferritin) ibu hamil Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa tidak ada perbedaan besar resko anemia gizi besi antara ibu hamil yang mengkonsumsi tablet tambah darah dengan ibu hamil yang tidak mengkonsumsi tablet tambah darah. Dimana masing-masing ibu yang memiliki kadar tannin beresiko 1,2 kali lebih tinggi dibandingkan ibu yang memiliki kadar tannin yang lebih rendah per harinya. Hal ini berbeda
dengan
penelitian
sebelumnya,
Buana
(2004)
mendapatkan hasil bahwa adanya kecenderungan semakin kecil ibu hamil mengkonsumsi tablet besi semakin besar kemungkinan untuk menderita anemia dan sebaliknya. Perbedaan hasil ini disebabkan oleh karena homogenitas pada responden yang mengkonsumsi tablet tambah darah. Penelitian Gabrielli dan De sandre (1995) yang sebelumnya dilakukan di Italia berupa case report mendapatkan hasil pada seorang wanita muda berusia 25 tahun yang menderita anemia gizi besi (serum ferritin 3.8 ng/mL), dimana anemia yang diderita tidak membaik dengan menggunakan terapi tablet
tambah darah sampai pada wanita tersebut
menghentikan kebiasaan minum teh yang biasa dilakukan. Hal ini menyimpulkan bahwa tablet tambah darah tidak berfungsi atau
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
124
berkurang fungsinya jika masih mengkonsumsi teh selama pengobatan.
6.4.7. Pengaruh status gizi ibu terhadap hubungan kadar tannin pada anemia gizi besi (analisa serum ferritin) ibu hamil Pada penelitian ini tidak ditemukan perbedaan resiko antara ibu yang memiliki status gizi beresiko KEK dengan ibu yang memiliki status gizi tidak beresiko KEK. Dimana ibu dengan status gizi yang baik maupun yang buruk yang memiliki kadar tannin tinggi bereseiko 1,2 kali untuk menderita anemia gizi besi dibandingkan ibu yang memiliki kadar tannin rendah. Pada penelitian sebelumnya Buana (2004) memiliki hasil yang berbeda, dimana ibu hamil yang mempunyai LLA beresiko KEK mempunyai peluang 4,5 kali untuk menderita anemia dibandingkan ibu hamil yang tidak mempunyai resiko KEK. Perbedaan hasil analisa ini terjadi oleh karena homogenitas responden. Ibu hamil yang diikutkan dalam analisa sebagian besar memiliki status gizi baik (LLA ≥ 23,5).
6.4.8. Pengaruh pola konsumsi protein hewani (heme) dan protein nabati (Non-heme) terhadap hubungan kadar tannin pada anemia gizi besi (analisa serum ferritin) ibu hamil Pola konsumsi protein hewani (heme) dan protein nabati (nonheme) masing-masing dibagi menjadi 2, yaitu konsumsi protein hewani dengan bioavabilitas tinggi dan protein hewani (heme) dengan bioavaiabilitas rendah, serta protein nabati (non-heme) dengan bioavaiabilitas tinggi dan protein nabati (non-heme) dengan bioavaiabilitas rendah.
Pada protein hewani dan protein nabati dengan bioavaiablitas tinggi, pola frekuensi jarang pada ibu hamil yang memiliki kadar tannin tinggi lebih meningkatkan resiko untuk menderita anemia
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
125
gizi besi (protein hewani 1.83 kali dan protein nabati 1.4 kali) dibandingkan ibu yang mengkonsumsi pola frekuensi sering baik pada protein hewani maupun protein nabati dengan bioavaiabilitas tinggi. Pada protein hewani dengan bioavaiabilitas rendah, ibu yang mengkonsumsi dengan pola sering maupun jarang tidak memiliki perbedaan secara bermakna untuk beresiko menderita anemia gizi besi. Sedangkan pada protein nabati dengan bioavaiabilitas tinggi, ibu yang memiliki pola frekuensi jarang dan memiliki kadar tanin tinggi memiliki kemampuan untuk proteksi diri dari anemia sebesar 0.73 kali dibandingkan ibu yang memiliki pola frekuensi sering. Pada penelitian ini dilakukan penggalian mengenai asupan makanan protein hewani yanitu frekuensi konsumsi daging, ayam, ikan dan telur.
Sesuai dengan hasil diatas,
Misterianingtiyas dkk (2007)
mendapatkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat konsumsi protein dan zat besi mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian anemia pada ibu hamil. Hasil uji statistic
Regresi
Linier
pada
tingkat
kepercayaan
95%
menunjukkan hubungan tingkat konsumsi protein terhadap kejadian anemia diperolah OR=0,286 yang berarti nahwa setiap penambahan 1 gram proyein akan meningkatkan kadar Hb sebesar 28,6% dari kadar Hb awal. Sedangkan hubungan tingkat konsumsi zat besi terhadap kejadian anemia diperoleh OR=0,215 yang berarti bahwa setiap penambahan 1 mg zat besi akan meningkatkan kadar Hb sebesr 21,5% dari kadara Hb awal. Protein merupakan senyawa yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi dalam tubuh. Bahan pengan yang mempunyai kualitas protein yang baik adalah bahan pangan yang berasal dari hewan, hal ini dikarenakannkandungan proyein dari pangan hewani lebih tinggi jika dibandingkan dengan pangan nabati. Selain itu, bahan pangan hewani merupakan bahan pangan dengan daya absorpsi zat besi yang baik. Namun, bahan
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
126
pangan sumber protein yang sering dikonsumsi oleh responden merupakan bahan pangan nabati yang mempunyai daya serap zat besi rendah seperti tahun dan tempe.
Hubungan negative antara konsumsi teh (dan kopi) dan status zat besi yang diukur dengan serum ferritin dilakukan pada studi dengan presentase defisiensi zat besi yang cukup tinggi (Soustre, 1986) dengan ukuran korelasi sebesar r = -0.20. hasil ini tidak di adjust pada faktor intake makanan yang dapat mempengaruhi bioavaiabilitas. Hubungan signifikan mungkin dapat hilang oleh karena asupan kopi dan produk diet lainnya, tetapi bukan konsumsi teh (Soustre, 1986 diacu dalam Temme, 2002).
Penelitian lain (van de Vijver et al, 1999) mendapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi teh dan rendahnya status zat besi yang dilakukan di Eropa. Selain itu di China (Root et al, 1999) dengan presentase rendah pada penderita defisiensi besi, juga menghasilkan bahwa tidak ada hubungan dengan kadar serum ferritin. Pada studi yang dilakukan di China menunjukkan dimana wanita dapat beradaptasi dengan baik terhadap intake besi dan bioavaiabilitas dengan rentang yang luas (Van de Vijver, 1999 dan Root at et al, 1999 diacu dalam Temme, 2002).
6.4.9. Pengaruh pola konsumsi pengikat absorbsi zat besi (enhauncer Fe) terhadap hubungan kadar tannin pada anemia gizi besi (analisa serum ferritin) ibu hamil Dari hasil analisis didapatkan ibu yang mengkonsumsi pengikat absorbs zat besi dengan pola frekuensi jarang dan memiliki kadar tannin tinggi
beresiko
1,7 kali untuk menderita anemia
dibandingkan ibu yang memiliki kadar tannin rendah. Sedangkan pada ibu yang mengkonsumsi dengan pola sering dan memiliki kadar tannin tinggi tidak memiliki perbedaan resiko terhadap ibu
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
127
yang memiliki kadar tannin rendah. Dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa tingkat penyerapan zat besi dapat ditingkatkan dengan penambahan factor yang mempermudah. Vitamin C dapat meningkatkan absorbs besi non heme hingga emapt kali lipat. Di dalam tubuh, vitamin C dan besi membentuk senyawa kompleks askorbat-besi sehingga lebih mudah diserap oleh usus. Karena itu, sayuran hijau dan buah-buahan yang mengandung vitamin C tinggi sangat baik sebagai sumber zat besi ( Nailul Izah, 2011).
6.4.10. Pengaruh pola konsumsi penghambat absorbsi zat besi (Inhibitor Fe) terhadap hubungan kadar tannin pada anemia gizi besi (analisa serum ferritin) ibu hamil Pada konsumsi penghambat absorbsi zat besi dengan pola frekuensi jarang, tidak ada perbedaan resiko bagi ibu yang memiliki kadar tannin tinggi dengan ibu yang mempunyai kadar tnin rendah. Sedangkan pada pola frekuensi sering, ibu yang memiliki kadar tannin tinggi beresiko 1,2 kali untuk menderita anemia gizi besi dibandingkan ibu yang memiliki kadar tannin rendah. Raspati (2010) dan Anwar (2009) dalam Nailul Izah (2011) menyatakn bahwa makanan selain memiliki zat yang membantu peningkatan penyerapan zat besi, terdapat pula zat yang menghambat
penyerapan
zat
besi.
Jenis
makanan
yang
mengandung asam tanat (terdapat dalam the dan kopi), kalsium, fitata, polifenol, oksalat, fosfat, dan obat-obatan (antacid, tetrasiklin dan kolestriamin) akan mengurangi penyerapan zat besi. Zat besi dengan senyawa tersebut akan membentuk senyawa kompleks yang sulit utnuk diserap usus. Dalam penelitian sebelumnya, Nailul Izah (2011) mendapatkan hasil bahwa responden yang mengkonsumsi makanan yang mengandung factor pengahambat absorbs Fe minimal 1 kali sehari mempunyai kemungkinan menderita anemia sebesar 2,091 kali dibandingkan yang tidak anemia.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
128
6.5. Pengaruh kadar tannin teh terhadap anemia gizi besi (analisa serum ferritin) pada ibu hamil setelah di control oleh faktor resiko lain. Setelah dilakukan analisa multivariate dengan tujuan mengontrol variabel yang dianggap sebagai variabel confounder yang dapat mempengaruhi besar resiko sebenarnya, maka didapatkan hasil pengaruh kadar tannin terhadap anemia gizi besi setalh di control oleh variabel pekerjaan, perilaku lama mencelup teh, sumber air panas yang digunakan untuk menyeduh teh, pola konsumsi protein hewani dan pola konsumsi protein nabati. Didapatkan hasil dengan besar OR adjusted sebsar 1,949 (CI 95% 0,630 – 6,027) yang artinya bahwa ibu yang memiliki kadar tannin tinggi perharinya memiliki resiko 1,9 kali untuk menderita anemia gizi besi dibandingkan ibu yang memiliki kadar tannin rendah per harinya. Sesuai dengan penelitian sebelumnya, Akhmadi (2003) dalam Harnany (2006) bahwa kebiasaan minum the dan kopi berselang kurang dari 2 jam dari saat makan mempunyai resiko menderita anema hamper 2 kali (OR= 1,84). Tristiyanti (2006) melakukan uji korelasi rank spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara frekuensi konsumsi the dengan kadar hemoglobin. Meskipun demikina, terdapat hubungan nyata negative antara frekuensi konsumsi teh dengan konsumsi zat besi (r=0,247 ; p< 0,05). Hal ini berarti bahwa semakin sering frekuensi konsumsi the, maka semakin rendah zat besi yang dikonsumsi. Sebagaimana yang diketahui bahwa salah satu penyebab anemia adalah rendahnya konsumsi zat besi. Dengan demikian hubungan antara frekuensi konsumsi teh dengan status anemia merupakan suatu hubungan tidak langsung.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
129
BAB 7 Kesimpulan dan Saran
7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan: 1) Pada tahap analisa multivariate, didapatkan hasil bahwa ibu hamil dengan kadar tannin yang tinggi beresiko 2,84 kali untuk menderita anemia gizi besi (analisa serum ferritin) setelah di control variabel pola konsumsi protein hewani (heme) dengan bioavaiablitias rendah dan variabel usia ibu. 2) Dari hasil analisa bivariate antara variabel independen dengan variabel dependen tanpa memperhitungkan pengaruh dari variabel lain, maka dapat disimpulkan bahwa ibu yang memiliki kadar tannin tinggi perharinya beresiko 2,77 kali untuk menderita anemia gizi besi dibandingkan ibu yang memiliki kadar tannin lebih rendah. 3) Dari hasil analisa stratifikasi ditemukan bahwa variabel jumlah kelahiran dan konsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas rendah memiliki pengaruh sebagai potensial confounding terhadap hubungan kadar tannin teh celup dengan anemia gizi besi. Dan variabel jarak kehamilan, status gizi ibu, konsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas tinggi, konsumsi protein nabati dengan bioavaiabilitas rendah, konsumsi makanan pengikat absorbsi zaat besi, dan konsumsi makanan penghambat absorbsi zat besi memiliki pengaruh sebagai potensial efek modifikasi tetapi setelah di uji variabel-variabel tersebut dinyatakan tidak berinteraksi secara statistik maupun biologis. Sedangkan variabel konsumsi protein hewani dengan bioavaiabilitas tinggi dan rendah memiliki interaksi terhadap kadar tanin tetapi secara statistik belum dapat dibuktikan oleh karena kurangnya jumlah sampel pada penelitian. 7.2. Saran
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
130
Berdasarkan kesimpulan yang ada, maka peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut : 1) Perlu adanya sosialisasi yang lebih mengenai perilaku beresiko dalam mengkonsumsi makanan/minuman yang berpengaruh pada perubahan manfaat dari makanan yang dikonsumsi oleh ibu hamil, sebagai salah satu contohnya yaitu konsumsi teh yang tidak sesuai dengan waktu mengakibatkan terbuangnya zat besi yang dibutuhkan tubuh. 2) Perlu adanya informasi tambahan bagi masyarakat khususnya para ibu hamil mengenai asupana makanan baik dan tidak baik bagi kesehatan ibu dan janin. Sekaligus dapat menjadikan ibu dan keluarga ibu hamil lebih bijak dalam memilih makanan yang bermutu baik. 3) Perlu adanya penelitian yang lebih mendalam yang berkaitan dengan jumlah sampel yang lebih banyak sehingga dapat memberikan hasil yang lebih baik, presisi yang lebih sempit sehingga dapat menggali lebih dalam mengenai kemungkinan adanya efek yang dapat memodifikasi hasil hubungan kadar tannin teh celup pada kejadian anemia gizi besi pada ibu hamil. 4) Perlu adanya penelitian lanjut dengan menggunakan design lebih sempurna sehingga dapat menentukan hubungan kausalitas antara kadar tanin pada teh terhadap penurunan kadar serum ferritin.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
131
Daftar Pustaka
Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Achadi E. L, Hansell M. J, Sloan N.L, Anderson M. A. 1995. Women’s Nutritional Status, Iron Consumption and Weight Gain Pregnancy in Relation to Neonatal Weight and Length in West Java Indonesia. Jakarta. International Journal of Gynecology and Obstetrics p: 48-S103-S119. Ajisaka. 2012. Teh Dahsyat dan Khasiatnya. Surabaya : Penerbit Stomata. Buana A. 2004. Status Anemia Gizi Ibu Hamil dan Hubungannya dengan Beberapa Faktor di Kecamatan Abung Surakarta Kabupaten Lampung Utara tahun 2004 (Tesis). Depok : Program Studi Magister IKM FKMUI. Cunningham, et al. 2006. Obstetric Williams. Edisi 21. Jakarta : EGC. Damayanthi E, Kusharto C. M, Suprihartini R, Rohdiana D. 2008. Studi Kandungan Katekin dan Turunannya sebagai Antioksidan Alami serta Karateristik Organoleptik Produk Teh Murbei dan Teh Camellia-Mirbei. Jakarta : Media Gizi dan Keluarga edisi 32(1) : 95-103. Darlina. 2003. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia Gizi pada Ibu Hamil (Skripsi). Bogor : Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertania Bogor. Darlina, Hardinsyah. 2003. Faktor Resiko Anemia pada Ibu Hamil di Kota Bogor. Media Gizi Keluaarga Edisi Desember 2003, 27(2):34-41. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2001. Laporan Survei Kesehatan Rumah Tangga 2001 : Studi Tindak Lanjut Ibu Hamil. Jakarta : Depkes RI. Diniatik, Soemardy E, Indri K. 2007. Perbandingan Kadar Flavonoid Total dan Tanin Total pada Teh Hijau dan Teh Hitam Camellia Siniesis (L)O.K. Jakarta : Pharmacy Vol.05 No.03hal : 143-152. Effendi YH, D Briawan, M Barunawati. 2000. Keragaan Konsumsi Pangan dan Kadar Serum Darah Mineral Besi (Fe) dan Seng (Zn) dalam Setum Darah Ibu Hamil. Media Gizi dan Keluarga tahun XXIV No.1. Handayani, R. 2000. Pengaruh Keadaan Sosio-Ekonomi terhadap Pola Konsumsi Makan dan Hubungannya dengan Zobesitas pada Lansia [skripsi]. Bogor : Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumbedaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
132
Hardinsyah. 2000. Studi Analisis Faktor-faktor Sosial, Ekonomi, dan Biologi yang Mempengaruhi Kejadian KEK pada Ibu Hamil. Bogor : Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. _________, D Briawan. 2000. Dampak Pemberian Biskuit Maltigizi pada Pertambahan Berat Badan Ibu Hamil. Media Gizi dan Keluarga tahun XXIV No.2 : 132-138. _________, D Martianto. 1992. Gizi Terapan. Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebidayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. _________, V Tambunan. 2004. Angka Kecukupan Energi, Lemak, dan Serat Makanan. Di dalam : Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding Widya Karya Pangan dan Gizi VIII; Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta : Persagi. 317. Harli
M. 1999. Mengatasi penyebab Anemia Kurang Gizi. http://www.indomedia.com/intisari/1999/oktober/anemia.htm (tanggal akses : 3 Juni 2012)
Karyadi E. 2001. Mabuk Pagi, Ibu Hamil Bisa Kurang Gizi. http://www.indomedia.com/intisari/2001/Sept/warna_hamil.htm. (tanggal akses : 3 Juni 2012) Khomsan A. 1997. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku tentang Anemia pada Peserta dan Bukan Peserta Program Suplementasi Tablet Besi pada Ibu Hamil. Media Gizi Keluarga tahun XXI No.2 : 1-7. __________, 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor : Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. King J. C , et al. 2006. Obstetric Williams. Edisi 21. Jakarta : EGC. Mentayadiputra.A, 2011. Kadar Tanin pada Teh Bunga. http://adyisvip.blogspot.com/2011/10/Kadar-tanin-pada-teh-bunga.html (tanggal akses : 8 Juni 2012) Nelson M, Poulter J. 2004. Impact of Tea Drinking on Iron Status in the UK : a review. England : The British Dietetic Association Ltd. Journal Human Nutrition dietet, 17, pp: 43-54.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
133
Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan (PPKP) Deptan & GMSK-IPB. 2005. Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Bogor : Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor. Riyadi H, Hardinsyah, F Anwar. 1997. Faktor-faktor Resiko Anemia pada Ibu Hamil. Media Gizi dan Keluarga tahun XXI No.2. Santi B. 2007. Pengaruh Pemberian Suplemen Tablet Besi folat dan Suplemen Multivitamin Mineral terhadap Kadar Hemoglobin pada Ibu Hamil Anemia di Kabupaten Kuningan tahun 2006(tesis). Depok : Program Studi Magister IKM FKMUI. Soediaoetama A. D. 1987. Ilmu Gizi. Jakarta : Dian Rakyat. Setiawan B, S Rahayuningsih. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Air. Di dalam : Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding Widya Karya Pangan dan Gizi VIII; Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta : Persegi. 355. Slamet. 1993. Analisis Kuantitatif untuk Data Sosial. Solo : Dabara Publidher. Slamet J S. 1996. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Suhardjo. 1989. Sosiso Budaya Gizi. Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pagan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Sukarni MC. 1989. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Bogor : Pusat Antar Universitas. Pagan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Suryaningrum R. D, Sulthan M, Profiadi S, Maghfiroh K. 2006. Sebagai Upaya Peningkata Nilai Guna Teh Celup. Malang : Jurusan Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Muhammadiyah Malang. Tristiyanti W.F. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Anemia pada Ibu Hamil di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor Jawa Barat (skripsi). Bogor : Program Studi Sarjana Gizi Masyarakat dan Sumber daya Keluarga, Fakultas Pertanian , Institut Pertania Bogor. Wallace H.M, Gold E. M, Lis E. F. 1973. Maternal and Child Health Practice. USA : Charles C Thomas Publisher. WHO. 2000. A Health Profile Women of South-East Asia. New De;hi : Regional Publication SEARO No.34. WHO.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
134
Wijanto. 2002. Dampak Suplementasi Tablet Tambah Darah (TTD) dan Faktorfaktor yang Berpengaruh terhadap Anemia Gizi Ibu Hamil di Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah (Skripsi). Bogor : Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Yongky. 2004. Pertumbuhan dan Perkembangan Prenatal(Tesis). Bogor : Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Zheng W, et al. 1996. Tea consumption and Cancer Incidence in a Prospective Cohort Study of Postmenopausal Women. American Journal of epidemiology Vol.144 No.02 p:175-182.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
135
Inform Concern Form
Pengaruh Kadar Tanin pada teh terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil di UPT Puskesmas Citeureup, Kabupaten Bogor tahun 2012 Peneliti : Putri Bungsu Program Studi Magister Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Penjelasan Penelitian Sejalan dengan perkembangan teknologi di berbagai bidang termasuk bidang nutrisi, maka semakin bervariasi pula outcome yang berdampak pada kesehatan baik bersifat positif maupun negatif. Kemudahan dalam akses pemenuhan kebutuhan nutrisi juga menuntut masyarakat untuk lebih teliti sebagai konsumen. Tidak sedikit penelitian yang melaporkan kejadian penyakit akibat kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai nutrisi serta dampak negatif yang mungkin timbul. Diantaranya yaitu konsumsi teh yang merupakan salah satu penghambat zat besi dalam makanan. Barbagai macam produk teh kemasan dangan suguhan variasi rasa serta harga yang terjangkau akhir-akhir ini dapat ditemukan secara mudah tidak hanya di supermarket besar melainkan juga mudah ditemukan di warung-warung sederhana. Teh kemasan dengan suhu rendah dimana menjadikan produk ini sebagai minuman populer diberbagai kalangan, mengingat segudang manfaat teh dan juga rasa minuman yang menjadikan teh sebagai minuman favorit para ibu hamil saat menghilangkan dahaga. Penelitian ini bertujuan tertarik untuk melihat pengaruh frekuensi konsumsi teh terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil di Kabupaten bogor tahun 2012. Tahapan kegiatan yang dilaksanakan pada penelitian ini adalah : 1. Pemeriksaan darah (Serum ferritin)
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
136
2. Wawancara oleh peneliti tentang identitas, riwayat kehamilan, konsumsi tablet tambah darah dan konsumsi makanan selama kehamilan da perilaku mengolah serta mengkonsumsi teh. Identitas ibu akan kami rahasiakan.
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
137
Lembar persetujuan Mengikuti penelitian tentang pengaruh frekuensi teh terhadap anemia gizi besi pada ibu hamil di Kabupaten Bogor tahun 2012
Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : ........................................................................................................................ Umur : ........................................................................................................................ Alamat : ........................................................................................................................ Setelah membaca dan menerima informasi tentang maksud dan tujuan dari penelitian/survey ini, maka Saya telah memahaminya dan dengan sukarela ikut berpartisipasi dalam penelitian/survey ini.
Mengetahui, 2012
Bogor, Agustus
Peneliti
Hormat Saya
________________ __________________
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
138
E. Perilaku Konsumsi Teh 1. Apakah ibu pernah mimun teh Sering Jarang Tidak pernah
(lanjut ke lembar terakhir, FFQ)
2. Apa jenis teh yang sering di konsumsi (dibantu dengan alat berupa foto kemasan teh) (jawaban boleh lebih dari satu) Teh celup Teh saring Teh tubruk Teh kemasan (botol/kotak) Lain-lain, sebutkan_________________________________
Bila mengkonsumsi teh celup 1. sebutkan merk teh yang digunakan________________________ (hijau/hitam)
Frekuensi dan Kuantitas 2. Apa wadah/tempat yang biasa di gunakan dalam mengkonsumsi teh cangkir Gelas Botol ukuran :
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
139
3. seberapa sering mengkonsumsi teh celup? < 1 kali sebulan 1-3 kali sebulan 1 kali per minggu 2-4 kali per minggu 5-6 kali per minggu 1 kali per hari 2-3 kali per hari 4-5 kali per hari ≥ 6 kali per hari
4. Berapa rentang waktu antara makan dengan minum teh segera setelah makan < 2 jam setelah/sebelum makan ≥ 2 jam setelah /sebelum makan Lain-lain, sebutkan_________________________________ 5. Berapa banyak cangkir/ gelas / botol yang dihabiskan setiap kali minum <1 1 2 ≥3 Metode Pembuatan Teh celup 6. Apa Wadah/ Tempat yag biasa dipergunaka dalam menyeduh / membuat teh celup cangkir gelas Ukuran Teko Botol Ukuran 7. berapa jumlah kantong teh yang dicelupkan setiap kali membuat teh 1 kantong 1 -3 kantong
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
140
> 3 kantong 8. Berapa lama kantong di celupkan < 1 menit 1-3 menit 3-8 menit > 8 menit 9. Air yang digunakan pada saat pencelupan teh Air yang dimasak mendidih Air panas dispenser/ teko listrik Air biasa
Bila mengkonsumsi teh seduh 1. sebutkan merk teh yang digunakan________________________ (hijau/hitam)
2. Apa wadah/tempat yang biasa di gunakan dalam mengkonsumsi teh cangkir Gelas Botol ukuran : 3. seberapa sering mengkonsumsi teh celup? < 1 kali sebulan 1-3 kali sebulan 1 kali per minggu 2-4 kali per minggu 5-6 kali per minggu 1 kali per hari 2-3 kali per hari 4-5 kali per hari ≥ 6 kali per hari 4. Berapa rentang waktu antara makan dengan minum teh segera setelah makan < 2 jam setelah/sebelum makan
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
141
≥ 2 jam setelah /sebelum makan Lain-lain, sebutkan_________________________________
5. Berapa banyak cangkir/ gelas / botol yang dihabiskan setiap kali minum <1 1 2 ≥3 Metoda Pembuatan Teh Seduh 6. Apa Wadah/ Tempat yang biasa dipergunakan dalam menyeduh / membuat teh seduh/siram cangkir gelas Ukuran _________ lainnya __________________ 7. Berapa banyak teh yang digunakan_________________________________________________ 1/2 sendok makan 1 sendok makan > 2 sendok makan 8. Berapa lama pengendapan teh dalam tempat diseduhnya teh__________________________ < 1 menit 1-2 menit 2-7 menit >7 menit 9. Apa wadah/tempat yang biasa digunakan dalam melarutkan teh yang telah diseduh cangkir Gelas Botol ukuran : Teko 6. Air yang digunakan pada saat menyeduh teh Air mendidih Air panas dari dispenser/teko listrik Air biasa
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
142
Bila mengkonsumsi teh kemasan 1. Sebutkan merk teh yang digunakan________________________
2. seberapa sering mengkonsumsi teh celup? < 1 kali sebulan 1-3 kali sebulan 1 kali per minggu 2-4 kali per minggu 5-6 kali per minggu 1 kali per hari 2-3 kali per hari 4-5 kali per hari ≥ 6 kali per hari 3. Berapa rentang waktu antara makan dengan minum teh segera setelah makan < 2 jam setelah/sebelum makan ≥ 2 jam setelah /sebelum makan Lain-lain, sebutkan_________________________________ 4. Berapa Jumlah yang dihabiskan pada satu kali pembelian Habis seluruhnya Setengah botol/kemasan < setengah botol/kemasan
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
143
FOOD FREQUENCY QUESIONARE Konsumsi heme, non-heme, inhibitor dan enhaucer Jenis bahan makanan
Frekuensi Makan Ukuran Per hari
Ket Per minggu
Per Bulan
Sumber Heme Bioavailabilitas Tinggi Daging (50 gram) Ayam (50 gram) Ikan (50 gram) Bioavailabilitas Rendah Telur (60 gram) Sumber Non- Heme Bioavailabilitas Tinggi Brokoli Kol Kembang Kol Labu wortel Kentang Bioavailabilitas Rendah Kacang Tanah terung Tepung terigu Enhaucer Fe jeruk (100gram) Pepaya (100gram) Lemon Jambu biji Stroberi
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
144
Tomat Inhibitor Fe Teh (200ml) Kopi (200ml) Cokelat Keju minuman bersoda Es Krim/Susu Selai Kacang Kedelai Obat : aspirin, Antasida
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
145
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012
146
Universitas Indonesia Pengaruh kadar..., Putri Bungsu, FKM UI, 2012