Pengaruh Jenis Katalisator pada Sintesis Senyawa 2-Feniletil Heptanoat dari 2-Feniletanol dan Asam Heptanoat Menggunakan Metode Dean-Stark Trap Iryanthi F. Saiful1a, Firdausa, Nunuk H. Soekamtoa 1 Alamat korespondensi:
[email protected] a Jurusan Kimia FMIPA Universitas Hasanuddin Abstrak. Sintesis senyawa 2-feniletil heptanoat menggunakan katalisator H2SO4, H3BO3, dan AlCl3 dengan metode Dean-Stark trap telah dilakukan. Sintesis ini melibatkan reaksi esterifikasi antara 2-feniletanol dan asam heptanoat. Benzena ditambahkan ke dalam campuran reaksi untuk memindahkan air yang terbentuk dari campuran tersebut. Hasil yang diperoleh diidentifikasi menggunakan spektrofotometer FTIR dan 1H-NMR. Senyawa yang diperoleh berupa cairan berwarna coklat tua dengan bau yang khas. Rendamen senyawa 2-feniletil heptanoat yang disintesis menggunakan katalis H2SO4 dan H3BO3 berturut-turut adalah 14,7 % dan 3,6 % sedangkan sintesis 2-feniletil heptanoat menggunakan katalis AlCl3 tidak dapat terbentuk. Metode Dean-Stark Trap dengan berbagai jenis katalisator tersebut tidak dapat memberikan hasil yang lebih banyak dari penelitian sebelumnya yang menggunakan metode esterifikasi Fischer. Berdasarkan besar rendamen yang diperoleh, katalis H2SO4 merupakan katalis yang paling baik digunakan dalam sintesis 2-feniletil heptanoat. Kata kunci: 2-feniletil heptanoat, Dean-Stark trap, katalisator, reaksi esterifikasi Abstract. Synthesis of 2-phenylethyl heptanoate using H2SO4, H3BO3, and AlCl3 catalysts through Dean-Stark trap method has been conducted. This synthesis involved an esterification between 2-phenylethanol and heptanoic acid. Some benzene was added into the solution to remove the formed water from the solution. The results were identified using IR spectrophotometer and 1H-NMR. The compound was dark brown liquid with a specific odor. The yields of 2-phenylethyl heptanoate for H2SO4 and H3BO3 catalysts were 14.7 % and 3.6 %, respectively, whereas the synthesis of 2-phenylethyl heptanoate using AlCl3 was not formed. Dean-Stark trap method using the catalysts could not give a higher yield than the previous research using Fischer esterification. According to value of yields, H2SO4 was the best catalyst for the synthesis of 2-phenylethyl heptanoate. Keywords: 2-phenylethyl heptanoate, Dean-Stark trap, catalyst, esterification PENDAHULUAN Esterifikasi melibatkan reaksi antara asam karboksilat dan alkohol yang dipanaskan dan dikatalisis dengan asam (biasanya HCl atau H2SO4) menghasilkan senyawa ester dan air. Meskipun reaksi ini bersifat reversibel, tetapi reaksi ini dapat diarahkan ke kanan atau ke arah produk dengan cara menambahkan reagen yang digunakan secara berlebih atau ester dan/atau air dipindahkan segera setelah terbentuk (Lacaze-Dufaure dan Mouloungi, 2000; Figueiredo dkk., 2010).
Pemindahan air ini dapat dilakukan dengan metode Dean-Stark trap, yaitu distilasi azeotropik dengan benzena (Firdaus dkk., 2009). Penelitian mengenai penggunaan Dean-Stark trap pada esterifikasi telah banyak dilakukan sebelumnya, antara lain oleh Khire dkk. (2012) yang memperoleh rendamen senyawa butil asetat dengan kisaran antara 39,28 % - 93,57 %. Rendamen tersebut lebih tinggi daripada senyawa butil asetat yang disintesis 1
melalui metode refluks konvensional, yaitu 30,30 % - 72,81%. Rendamen beberapa ester estolida yang tinggi (94 % - 98,5 %) juga diperoleh oleh Harry-O’kuru dkk. (2001) dan rendamen dibutilftalat ester sebesar 97 % diperoleh oleh Sheshmani dkk. (2011). Senyawa 2-feniletil propanoat (Fadel, 2012), 2-feniletil pentanoat (Vega, 2012), dan 2-feniletil heptanoat (Nur, 2012) telah disintesis menggunakan metode esterifikasi Fischer dan terbukti berpotensi meningkatkan aktivitas antibiotik INH, SM, dan ETA terhadap M. turbeculosis strain H37Rv. Senyawa 2-feniletil heptanoat memiliki keaktifan tertinggi tetapi rendamen yang diperoleh cukup rendah, yaitu 24,41 %. Rendahnya rendamen reaksi tersebut diduga karena kesetimbangan reaksi lebih cenderung ke arah kiri. Liu dkk. pada tahun 2005 telah mempelajari efek air terhadap esterifikasi yang dikatalisis oleh asam sulfat dan menemukan bahwa air dapat mendeaktifasi efek asam sulfat sebagai katalis. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk menggeser kesetimbangan ke kanan melalui pemindahan air segera pada saat terbentuk. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan rendamen reaksi esterifikasi adalah melalui penggunaan metode Dean-Stark trap. Pelarut yang digunakan pada metode ini harus dapat membentuk campuran azeotrop dengan air dan memiliki berat jenis yang lebih ringan dari berat jenis air, misalnya benzena; sehingga dengan pemanasan, air dan benzena akan menguap secara azeotrop dan tertampung pada dasar alat Dean-Stark trap dan menimbulkan dua lapisan. Dengan demikian, air akan terpisah dari campuran reaksi dan kesetimbangan akan bergeser ke kanan atau ke arah pembentukan ester sehingga diharapkan rendamen senyawa ester yang dihasilkan akan lebih besar (Firdaus dkk., 2009; Yan dkk., 2001).
Penggunaan H2SO4 sebagai katalis dalam reaksi esterifikasi menggunakan metode Dean-Stark trap perlu ditinjau kembali karena fungsi H2SO4 dalam esterifikasi Fischer adalah mengkatalisis reaksi dan menyerap atau mengikat air (Cotton dan Wilkinson, 2009). Jadi, bila digunakan katalis H2SO4 dalam metode Dean-Stark trap, kemungkinan air tidak dapat terbawa oleh benzena. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mensintesis senyawa 2-feniletil heptanoat menggunakan metode Dean-Stark trap dengan beberapa jenis katalisator, yaitu H2SO4 yang merupakan katalisator asam Bronsted, AlCl3 yang merupakan katalisator asam Lewis, serta H3BO3 yang memiliki sifat kedua jenis katalisator tersebut. Perlakuan ini dilakukan agar rendamen yang diperoleh lebih besar daripada penelitian sebelumnya. Hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam penggunaan senyawa tersebut di bidang industri, terutama di bidang industri obat-obatan dan kesehatan. METODE PENELITIAN Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah asam heptanoat p.a., 2-feniletanol p.a., H2SO4 p.a., AlCl3, H3BO3, NaHCO3 5%, Na2SO4 anhidrat, benzena p.a., akuades, kertas saring, aluminium foil, dan tissue roll. Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah labu leher tiga, termometer 200 OC dan 300 OC, aspirator air, penangas minyak, kondensor air, statif, klem, neraca analitik, alat Dean-Stark trap, seperangkat alat destilasi vakum, Büchi Rotavapor R-200, refraktometer ATAGO, FTIR Shimadzu IRPrestige-21, 1H-NMR JEOL, heating stirrer, dan alat-alat gelas yang umum digunakan dalam laboratorium.
2
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Desember 2013 di Laboratorium Organik Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin. Pengujian spektrofotometri FTIR dilakukan di Laboratorium Terpadu Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin. Pengujian 1H-NMR dilakukan di LIPI Serpong. Sintesis 2-Feniletil Heptanoat Senyawa 2-feniletanol sebanyak 11,94 mL (0,100 mol), asam heptanoat sebanyak 7,08 mL (0,050 mol), benzena sebanyak 15 mL, dan H2SO4 pekat sebanyak 1,3326 mL (0,025 mol) dimasukkan ke dalam labu leher tiga yang telah dirangkai dengan alat Dean-Stark trap dan dilengkapi dengan kondensor udara serta termometer 200 OC lalu direfluks. Campuran didinginkan lalu dicuci dengan NaHCO3 5% hingga pH netral kemudian dicuci sebanyak empat kali dengan 5 mL akuades. Setelah itu, campuran dikeringkan dengan Na2SO4, didekantasi, dan disaring. Filtrat
dievaporasi lalu didestilasi vakum. Destilat dan residu yang diperoleh diukur indeks biasnya dengan refraktometer. Hasil yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan spektrofotometer FTIR dan 1H-NMR. Prosedur di atas diulangi dengan menggunakan katalis H3BO3 sebanyak 1,5258 g dan AlCl3 sebanyak 3,3335 g. HASIL DAN PEMBAHASAN Sintesis 2-Feniletil Heptanoat Menggunakan Katalis H2SO4 Sintesis 2-feniletil heptanoat dari 2-feniletanol dan asam heptanoat menggunakan katalis H2SO4 diawali dengan merefluks campuran selama 2 jam pada suhu 90 OC. Benzena menguap secara azeotrop dengan air lalu terkondensasi dan menetes ke dasar alat Dean-Stark trap. Air dan benzena akan membentuk dua lapisan dimana air berada di lapisan bawah karena berat jenisnya lebih besar daripada benzena sehingga air mudah dipisahkan. Waktu refluks dipantau melalui uji KLT. Refluks dihentikan ketika pereaksi pembatas sudah habis bereaksi dan telah terbentuk noda produk seperti Gambar 1.
Gambar 1. Kromatogram campuran hasil refluks pada sintesis terkatalis H2SO4 (a) Jam ke-2; (b) Jam ke-4 Gambar 1(a) merupakan KLT hasil pengujian campuran yang direfluks ketika memasuki jam ke-2 dan dibandingkan dengan noda reaktannya. Noda yang terbentuk dengan Rf yang berbeda dengan
noda reaktan diduga noda produk. Noda asam heptanoat sebagai pereaksi pembatas tidak tampak sehingga dapat disimpulkan bahwa asam heptanoat telah habis bereaksi. Noda di bawah noda produk 3
merupakan noda 2-feniletanol yang berlebih. Pengujian dilakukan kembali pada jam ke-4 dan noda yang terbentuk ternyata sama dengan pengujian sebelumnya (Gambar 1(b)). Hal ini mengindikasikan bahwa refluks telah dapat dihentikan dan proses refluks yang dilakukan cukup 2 jam saja. Campuran berwarna hijau bening setelah direfluks dan memiliki pH 1 karena adanya katalis H2SO4 di dalamnya. Fasa organik berwarna kuning keruh setelah pencucian dan berwarna
kuning bening setelah dikeringkan. Hal ini terjadi akibat tidak ada lagi H2SO4 dan air yang terkandung di dalamnya. Pemurnian dilakukan menggunakan destilasi vakum berpenangas minyak karena titik didih reaktan yang tersisa, yaitu 2-feniletanol dan asam heptanoat cukup tinggi, berturutturut 219-221 OC dan 173,8 OC. Walaupun destilasi vakum dapat menurunkan titik didih senyawa dalam sistem, namun titik didih reaktan masih di atas titik didih air. Data parameter proses destilasi yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Data parameter proses destilasi pada sintesis 2-feniletil heptanoat menggunakan katalis H2SO4 Parameter Dest. 1 Dest. 2 Dest. 3 Dest. 4 Dest. 5 Dest. 6 Residu Suhu uap 92-96 (OC) Indeks Bias 1,5146 (20 OC) Berat (g) 1,0938
72-81
58
75-78
65-74
66-78
-
1,5040
1,5041
1,4909
1,4851
1,4880
-
0,4649
0,1762
0,3711
1,3963
1,4339
1,7176
Ketidakstabilan suhu uap destilat yang dihasilkan disebabkan oleh gangguan teknis pada pompa vakum yang digunakan sehingga tekanan udara dalam sistem tidak stabil dan berpengaruh pada suhu uap destilat. Residu yang berupa cairan diduga senyawa target karena secara teori 2feniletil heptanoat memiliki titik didih tertinggi dibandingkan dengan reaktanreaktannya. Destilat 1 hingga destilat 6 diduga adalah 2-feniletanol yang berlebih karena nilai indeks biasnya mendekati nilai indeks bias 2-feniletanol secara teori, yaitu 1,530. Indeks bias residu tidak terdeteksi karena warnanya sangat pekat, yaitu coklat kehitaman. Spektrum IR (KBr) dari residu υmaks(cm-1): 3062,96 dan 3028,24 (C-H aromatik), 2954,95; 2927,94; dan 2860,43 (C-H alifatik), 1735,93 (C=O ester), 1602,85 dan 1546,91 (C=C aromatik), 1458,18 (-CH2-), 1384,89 (CH3-), dan 1166,93 (C-O ester). Berdasarkan penjelasan tersebut, spektrum IR dari residu hasil sintesis bersesuaian dengan gugus-gugus fungsi pada senyawa target
dan memiliki rendamen sebesar 14,7 % dengan mekanisme reaksi seperti pada Gambar 2. Sintesis 2-Feniletil Heptanoat Menggunakan Katalis H3BO3 Sintesis 2-feniletil heptanoat dari 2-feniletanol dan asam heptanoat menggunakan katalis H3BO3 diawali dengan merefluks campuran selama 6 jam pada suhu 101-103 OC. Hasil pemantauan waktu refluks dapat dilihat pada Gambar 3. Proses refluks pada jam ke-2 belum menunjukkan adanya produk yang terbentuk karena noda yang tampak hanyalah noda 2-feniletanol (Gambar 3(a)). Noda asam heptanoat juga tidak tampak karena kuantitasnya yang kecil dalam campuran. Pengujian dilakukan kembali pada jam ke-4 dan dibandingkan dengan noda reaktannya (Gambar 3(b)). Noda produk telah terbentuk tetapi tipis. Refluks terus dilanjutkan hingga jam ke-6 dan noda produk lebih tebal dibandingkan sebelumnya (Gambar 3(c)). Hal ini terjadi karena reaksi masih sementara berjalan 4
pada jam ke-4 sehingga menghasilkan noda produk yang ketebalannya berbeda. Pengujian KLT pada jam ke-7 tidak menunjukkan perubahan yang berarti dari pengujian sebelumnya (Gambar 3(d)). Hal C6H13
O
ini mengindikasikan bahwa refluks dapat dihentikan pada jam ke-6. Campuran berwarna kuning bening setelah direfluks dan memiliki pH 1 karena adanya katalis H3BO3 di dalamnya. H+
C
C6H13
OH C
OH
OH O H
H OH O C
OH
C6H13
H O
H
O C
OH
O
-H2O
O C
C6H13
H
C6H13
- H+
O
O C C6H13
2-feniletil heptanoat
Gambar 2. Mekanisme reaksi sintesis senyawa 2-feniletil heptanoat (Nur, 2012).
Gambar 3. Kromatogram campuran hasil refluks pada sintesis terkatalis H3BO3 (a) Jam ke-2; (b) Jam ke-4; (c) Jam ke-6; (d) Jam ke-7
5
Fasa organik berwarna kuning keruh setelah pencucian dan berwarna kuning bening setelah dikeringkan. Data parameter proses destilasi yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 2. Destilat 1 dan
destilat 2 diduga adalah 2-feniletanol yang berlebih karena nilai indeks biasnya mendekati nilai indeks bias 2-feniletanol secara teori, yaitu 1,530.
Tabel 2. Data parameter proses destilasi pada sintesis 2-feniletil heptanoat menggunakan katalis H3BO3 Parameter Dest. 1 Dest. 2 Residu Suhu uap 88-116 (OC) Indeks Bias 1,5098 (20 OC) Berat (g) 2,6130
95-121
-
1,4873
1,4771
1,5941
0,4272
ester (1166,93). Berdasarkan penjelasan tersebut, spektrum IR dari residu hasil sintesis bersesuaian dengan gugus-gugus fungsi pada senyawa target dan memiliki rendamen sebesar 3,6 % dengan mekanisme reaksi seperti pada Gambar 4.
Spektrum IR dari residu υmaks (cm ): 3062,96 dan 3026,31 (C-H aromatik), 2956,87; 2927,94; dan 2858,51 (C-H alifatik), 1735,93 (C=O ester), 1602,85 dan 1539,20 (C=C aromatik), 1458,18 (-CH2-), 1384,89 (CH3-), dan C-O -1
OH
C6H13
B
O HO
C
C6H13
OH
O
OH
C
B
OH
OH
OH
OH O H H OH O C
O
C6H13
B(OH)3
H H
O
O
O C C6H13
-H2O, -B(OH)3
O
O C C6H13
B(OH)3
2-feniletil heptanoat
Gambar 4. Mekanisme reaksi sintesis 2-feniletil heptanoat menggunakan katalis H3BO3 Sintesis 2-Feniletil Heptanoat Menggunakan Katalis AlCl3 Sintesis 2-feniletil heptanoat dari 2feniletanol dan asam heptanoat
menggunakan katalis AlCl3 diawali dengan merefluks campuran selama 2 jam pada suhu 92 OC. Hasil pantauan refluks melalui KLT dapat dilihat pada Gambar 5. Pada 6
kromatogram (Gambar 5(a)) memperlihatkan terbentuknya produk pada jam ke-2 dengan adanya noda yang memiliki Rf yang berbeda dengan noda reaktan. Noda asam heptanoat sebagai pereaksi pembatas tidak tampak sehingga dapat disimpulkan bahwa asam heptanoat telah habis bereaksi. Noda 2-feniletanol yang berlebih berada di bawah noda
produk. Pengujian dilakukan kembali pada jam ke-4 dan noda yang terbentuk ternyata sama dengan pengujian sebelumnya (Gambar 5(b)). Hal ini mengindikasikan bahwa refluks telah dapat dihentikan dan proses refluks yang dilakukan cukup 2 jam saja. Campuran berwarna kuning bening setelah direfluks dan memiliki pH 1 karena adanya katalis AlCl3 di dalamnya.
Gambar 5. Kromatogram campuran hasil refluks pada sintesis terkatalis AlCl3 (a) Jam ke-2; (b) Jam ke-4 Fasa organik berwarna kuning keruh setelah pencucian dan berwarna kuning bening setelah dikeringkan. Data parameter proses destilasi yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 3. Destilat yang diperoleh diduga adalah 2-feniletanol berlebih beserta pengotor lainnya karena indeks biasnya mendekati indeks bias
senyawa tersebut secara teori, yaitu sekitar 1,530. Residu tidak dapat diukur indeks biasnya karena wujudnya berupa padatan kuning seperti kristal sehingga langsung dikarakterisasi menggunakan FTIR untuk mengetahui gugus fungsi yang terkandung di dalamnya.
Tabel 3. Data parameter proses destilasi pada sintesis 2-feniletil heptanoat menggunakan katalis AlCl3 Parameter Dest. 1 Dest. 2 Dest. 3 Residu Suhu uap 42-120 (OC) Indeks Bias 1,4952 (20 OC) Berat (g) 1,1873 Spektrum IR dari residu υmaks (cm-1): 3062,96 dan 3028,24 (C-H aromatik), 2956,87; 2927,94; dan 2856,58 (C-H alifatik), 1737,86 (C=O ester), 1579,70 (C=C olefin), 1463,97 (-CH2-), 1382,96 (CH3-), dan 1165 (C-O ester). Pita
70-139
94-104
-
1,5027
1,4919
-
3,0780
0,7109
0,5650
serapan C=C olefin yang sangat kuat seharusnya tidak ada dalam spektrum karena senyawa target tidak mengandung gugus tersebut. Penyimpangan ini diduga terjadi akibat terlalu tingginya suhu pada saat destilasi vakum pada proses 7
pemurnian yang menyebabkan senyawa target teroksidasi. Hal ini juga mempengaruhi wujud senyawa yang diperoleh. Secara teori, senyawa seharusnya berwujud cair sedangkan hasil yang diperoleh berupa padatan seperti kristal. Rendamen senyawa tidak dapat dihitung karena hasil yang diperoleh bukan senyawa murni.
Karakterisasi Senyawa Menggunakan 1 H-NMR Residu sintesis terkatalis H3BO3 digunakan dalam analisis 1H-NMR. Spektrum 1H-NMR 2-feniletil heptanoat yang diperoleh menggunakan pelarut kloroform dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Spektrum 1H-NMR 2-feniletil heptanoat Puncak multiplet (G) sekitar δ 7 ppm berasal dari proton-proton gugus aromatik. Proton orto dan para memiliki kerapatan elektron yang lebih besar dibandingkan proton meta karena gugus fenil berikatan dengan gugus alkil yang bersifat mendorong elektron. Oleh karena itu, proton orto dan para berada pada rentang δ 7,2 ppm sedangkan proton meta berada pada rentang δ 7,3 ppm. Puncak multiplet yang timbul diakibatkan oleh banyaknya interaksi proton yang terjadi, baik interaksi antar proton aromatik maupun interaksi antara proton aromatik dengan proton substituen. Puncak triplet pada δ 4,2895 ppm (E) dan δ 2,9379 ppm (F) berasal dari proton gugus metilen yang menunjukkan bahwa produk berupa senyawa ester. Puncak triplet (D) pada δ 2,2816 ppm berasal dari proton gugus
metilen yang berikatan langsung dengan karbon gugus karboksilat sedangkan puncak (A) pada δ 0,8807 ppm berasal dari gugus metil terujung dari rantai alkil. Keberadaan rantai hidrokarbon jenuh juga didukung dengan adanya puncak pentet (C) pada δ 1,5889 ppm yang berasal dari proton gugus metilen dan puncak sextet (B) pada δ 1,2737 ppm yang berasal dari proton tiga gugus metilen. Keenam proton tersebut memiliki lingkungan kimia yang sama atau efek induksi dari gugus karboksilat tidak begitu berpengaruh. Berdasarkan uraian ini, maka struktur yang disarankan bersesuaian dengan struktur senyawa target. Penentuan Katalisator Terbaik Berdasarkan rendamen senyawa yang diperoleh, katalis H2SO4 merupakan 8
katalis yang paling bagus digunakan untuk mensintesis 2-feniletil heptanoat menggunakan metode Dean-Stark trap karena rendamennya yang paling besar di antara katalis lainnya (14,7 %). Hal ini disebabkan karena sifatnya sebagai asam Bronsted dimana proton bersifat labil dan mudah bereaksi, terutama dalam reaksi fasa cair (Khire dkk., 2012). Sebaliknya, sintesis menggunakan katalis AlCl3 sulit dilakukan karena sifatnya sebagai asam Lewis menimbulkan tegangan sterik yang besar dimana pasangan elektron bebas oksigen pada gugus karboksilat memanfaatkan orbital kosong pada Al untuk bereaksi dengan AlCl3. Efek sterik ini didukung oleh panjangnya rantai karbon pada asam heptanoat sehingga menyebabkan reaksi sulit berjalan dan kesetimbangan reaksi dapat bergeser kembali ke arah reaktan. Sintesis menggunakan katalis H3BO3 juga sulit karena waktu refluks yang dibutuhkan cukup lama dan rendamennya rendah (3,6 %). Hal ini kemungkinan diakibatkan H3BO3 lebih cenderung bersifat seperti asam Lewis. Pasangan elektron bebas oksigen pada gugus karboksilat asam heptanoat memanfaatkan orbital kosong yang dimiliki oleh boron untuk bereaksi dengan H3BO3 sehingga timbul tegangan sterik. Efek pelarut yang digunakan diduga juga memiliki peran penting dalam perolehan rendamen yang rendah. Sheshmani dkk. (2011) menemukan bahwa titik didih pelarut yang tinggi dapat meningkatkan suhu reaksi sehingga reaksi dapat berjalan lebih cepat dan sempurna. Penelitian ini menggunakan benzena sebagai pelarut yang memiliki titik didih yang rendah (80 OC) sehingga reaksi berjalan kurang sempurna. Rendahnya rendamen senyawa (14,7 % dan 3,6 %) yang diperoleh mengindikasikan bahwa sintesis 2-feniletil heptanoat kurang cocok jika dilakukan menggunakan metode Dean-Stark trap. Hal ini terbukti oleh penelitian Nur (2012) yang mensintesis senyawa 2-feniletil
heptanoat menggunakan metode esterifikasi Fischer memperoleh rendamen yang lebih besar (24,41 %). Selain itu, tingginya suhu pemurnian diduga juga memiliki peran dalam perolehan rendamen yang rendah dimana senyawa yang telah terbentuk mengalami dekomposisi pada suhu tinggi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Jenis katalisator yang digunakan pada reaksi sintesis 2-feniletil heptanoat dari 2-feniletanol dan asam heptanoat menggunakan metode Dean-Stark trap berpengaruh terhadap rendamen reaksi. Katalis yang paling baik digunakan adalah H2SO4 dengan rendamen sebesar 14,7 %. Saran Sintesis 2-feniletil heptanoat sebaiknya dilakukan menggunakan metode lain dengan jenis katalisator yang lebih banyak. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Firdaus, MS. selaku pembimbing utama dan Ibu Prof. Dr. Nunuk Hariani S., MS. selaku pembimbing pertama, atas bimbingan, motivasi, dan nasehatnya; Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan Nasional atas bantuan Hibah Penelitian Program Kreativitas Mahasiswa; dan semua pihak yang telah banyak membantu sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. DAFTAR PUSTAKA Cotton, F. A. dan Wilkinson, G., 2009, Kimia Anorganik Dasar, diterjemahkan oleh Sahati Suharto, 2009, UI-Press, Jakarta. Fadel, A., 2012, Potensi 2-Feniletil Propanoat untuk Meningkatkan Aktivitas Antibiotik INH, SM, dan ETA Terhadap M. tuberculosis 9
Strain H37Rv, Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar. Firdaus, Soekamto, N. H., Karim, A., 2009, Sintesis 4Hidroksisinamamida dari Asam 4Hidroksinanamat melalui Reaksi Esterifikasi dan Amonolisis, Indonesia Chimica Acta, 2(2), 3743. Figueiredo, K. C. S., Salim, V. M. M., and Borges, C. P., 2010, Ethyl Oleate Production By Means of Pervaporation-Assisted Esterification Using Heterogeneous Catalysis, Brazilian Journal of Chemical Engineering, 27(4), 609617. Harry-O’kuru, R. E., Isbell, T. A., and Weisleder, D., 2001, Synthesis of Estolide Esters from cis-9Octadecenoic Acid Estolides, JAOCS, 78(3), 219-222. Khire, S., Bhagwat, P. V., Fernandes, M., Gangundi, P. B., and Vadalia, H., 2012, Esterification of Lower Aliphatic Alcohols with Acetic Acid in Presence of Different Acid Catalysts, Indian Journal of Chemical Technology, 19, 342-350. Lacaze-Dufaure, C. and Mouloungi, Z., 2000, Catalysed or Uncatalysed Esterification Reaction of Oleic Acid with 2-Ethyl Hexanol, Applied Catalysis A: General, 204, 223-227. Liu, Y., Lotero, E., and Goodwin, J. G., 2005, Effect of Water on Sulfuric Acid Catalyzed Esterification, Journal of Molecular Catalysis A: Chemical, 245, 132-140. Nur, A., 2012, Potensi 2-Feniletil Heptanoat untuk Meningkatkan Aktivitas Antibiotik INH, SM, dan ETA Terhadap M. tuberculosis Strain H37Rv, Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar. Sheshmani, S., Fashapoyeh, M. A., Mirzaei, M., Rad, B. A., Ghortolmesh, S. N., and Yousefi, M., 2011, Preparation, Characterization, and Catalytic Application of Some Polyoxometalates with Keggin, Wells-Dawson, and Preyssler Structures, Indian Journal of Chemistry, 50, 1725-1729. Vega, M. C., 2012, Potensi 2-Feniletil Pentanoat untuk Meningkatkan Aktivitas Antibiotik INH, SM, dan ETA Terhadap M. tuberculosis Strain H37Rv, Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar. Yan, Y., Bornscheuer, U. T., Stadler, G., Lutz-Wahl, S., Reuss, M., and Schmid, R. D., 2001, Production of Sugar Fatty Acid Esters by Enzymatic Esterification in a Stirred-Tank Membrane Reactor: Optimization of Parameters by Response Surface Methodology, JAOCS, 78(2), 147-152.
10