PENGARUH DINAMIKA OSEANOGRAFI PERAIRAN INDONESIA TERHADAP PRODUKTIFITAS PRIMER PERIODE EL-NINO (AGUSTUS 2002) DAN LA-NINA (SEPTEMBER 1998) The Effect of Dynamical Oceanography in Indonesian Water againts Primary Productivity on Period of El-Nino (August 2002) and La-Nina (September 1998) Wingking Era Rintaka, Titri Yan Rizki Balai Penelitian dan Observasi Laut Jalan Baru Perancak, Jembrana Bali Phone/Fax : 0365 44278/0365 44278 Email :
[email protected] [email protected] Abstrak Perairan Indonesia merupakan suatu perairan luas dengan dinamika laut yang unik. Beragamnya kondisi batimetri perairan serta kompleksnya fenomena klimatologis yang mempengaruhi seperti monsun, El-Nino dan La-Nina menghasilkan kondisi perairan yang sangat dinamis yang dapat terlihat melalui pola sebaran paramater fisisnya seperti salinitas dan temperatur yang bervariasi di tiap wilayah perairan Indonesia. Sebagai negara yang memiliki potensi perikanan yang melimpah, perlu dikaji bagaimana kondisi perairan Indonesia yang dinamis tersebut mempengaruhi perikanan tangkap di Indonesia, yang dapat diwakili dengan kondisi kesuburan atau produktivitas primernya. Nilai salinitas, temperatur, dan densitas di perairan Indonesia didapatkan dari hasil model numerik hidrodinamika tiga dimensi menggunakan HAMburg Shelf Ocean Model (HAMSOM) dengan model baroklinik. Daerah yang dikaji meliputi seluruh perairan Indonesia dengan batas 95,5 °BT – 141 °BT dan 5,5 °LU – 11 °LS. Model disimulasikan saat musim tenggara dimana terjadi banyak upwelling pada tahun yang mewakili kejadian El-Nino dan La-Nina yaitu Agustus 2002 dan September 1998 dan akan dikaitkan dengan perhitungan nilai produktivitas primer (NPP) di perairan Indonesia dengan menggunakan data satelit dan metode Vertically Generalized Productivity Model (VGPM) yang telah dilakukan oleh Putri, et.al (2009). Hasil perbandingan menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara dinamika parameter fisis dengan kondisi kesuburan perairan. Daerah dengan kondisi kesuburan yang baik, yang diwakili oleh nilai produktivitas primer yang tinggi, ditandai dengan nilai salinitas yang tinggi, temperatur yang rendah dan densitas yang tinggi yang tampak terutama di daerah pesisir seperti di pantai selatan Kalimantan dan di pantai barat daya Papua. El-Nino menyebabkan upwelling meningkat di perairan Indonesia sehingga terjadi peningkatan produktivitas primer perairan, sebaliknya La-Nina menyebabkan berkurangnya upwelling sehingga nilai produktivitas primer menurun. Kata kunci : dinamika, salinitas, temperatur, El-Nino, La-Nina, produktivitas primer Abstract Indonesian waters have a unique characteristic. The diversity and complexity of the condition of waters bathymetry and climatological phenomenon that affects such as monsoon, ENSO, and Dipole Mode produces a highly dynamic water conditions which can be seen through the 1
distribution patterns of phisics parameters such as salinity, temperature, and density which varies in Indonesian waters. As a country that has the potential for abundant fisheries, it is essensial to study how the dynamic conditions of the Indonesia water affect the fisheries in Indonesia, which can be represented with fertility conditions or primary productivity. Values of salinity, temperature, and density in the waters of Indonesia were obtained from threedimensional hydrodynamic numerical model using the Hamburg Shelf Ocean Model (HAMSOM) with baroclinic mode. The area studied includes all Indonesia waters with the limit of 95.5 ° E - 141 ° East longitude and 5.5 ° N - 11 ° S latitude. The model simulated at south east monsoon in the year representing the occurrence of ENSO in 1998 and 2002 and will be associated with the calculation of the value of primary productivity (NPP) in Indonesian waters using satellite data and methods of Vertically Generalized Productivity Model (VGPM) done by the Putri, et.al (2009).The results of the comparison showed that there were links between the dynamics of physical parameters with the conditions of fertility waters. Areas with good fertility conditions, represented by a high primary productivity values, characterized by high salinity values, low temperature and high density. This evident especially in coastal areas like the south coast of Borneo and on the southwest coast of Papua. Key words: dynamics, salinity, temperature, ENSO, primary productivity PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang dilewati oleh garis katulistiwa serta dikelilingi oleh dua samudra dan dua benua. Posisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi meridional (Utara-Selatan) dikenal sebagai Sirkulasi Hadley dan sirkulasi zonal (Timur-Barat) dikenal sebagai Sirkulasi Walker, dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi keragaman iklim di Indonesia. Pergerakan matahari yang berpindah dari 23,5o Lintang Utara ke 23,5o Lintang Selatan sepanjang tahun mengakibatkan timbulnya aktivitas moonson yang juga ikut berperan dalam mempengaruhi keragaman iklim. Faktor lain yang diperkirakan ikut berpengaruh terhadap keragaman iklim di Indonesia ialah gangguan siklon tropis. Semua aktivitas dan sistem ini berlangsung secara bersamaan sepanjang tahun akan tetapi besar pengaruh dari masing-masing aktivitas atau sistem tersebut tidak sama dan dapat berubah dari tahun ke tahun (Boer, 2003).1 Salah satu akibat dari penyimpangan iklim yang terjadi di Indonesia adalah fenomena El-Nino dan La-Nina. Fenomena El-Nino dan La-Nina akan menyebabkan penurunan dan peningkatan jumlah curah hujan dan suhu permukaan laut untuk beberapa daerah di Indonesia. Penurunan dan peningkatan jumlah curah hujan dan suhu permukaan laut akan sangat berpengaruh pada distribusi kesuburan perairan yang ada di perairan Indonesia. Salah satu indikator lokasi yang kaya akan sumberdaya lautnya adalah kesuburan perairan. Kesuburan suatu perairan salah satunya dapat ditentukan oleh kandungan produktivitas primer sebagai laju fotosintesis fitoplankton. Suatu perairan dapat dikatakan subur jika tingkat produktivitasnya tinggi. Produktivitas primer merupakan laju pengikatan energi melalui fotosintesis. Besarnya nilai produktivitas primer bergantung pada klorofil dan sinar matahari. Produksi primer kotor maupun bersih umumnya dinyatakan dalam jumlah gram Karbon (C) yang terikat per satuan luas atau volume air laut per interval waktu. Jadi, produktivitas dapat dilaporkan sebagai jumlah gram karbon per m2 per hari (g/m2/hari) atau per tahun (g/m2/tahun). Keterkaitannya dengan upwelling, daerah upwelling dapat diidentifikasi dengan melihat besarnya nilai produktivitas primer di perairan tersebut. Dengan kata lain, nilai produktivitas primer yang tinggi di suatu perairan dapat mengindikasikan perairan tersebut 2
merupakan daerah terjadinya upwelling. Upwelling merupakan peristiwa naiknya massa air dari lapisan bawah ke permukaan perairan (Nontji, 1987).2 Secara fisis daerah upwelling ditandai dengan massa air yang lebih dingin, dan salinitas yang lebih tinggi dengan daerah sekitarnya. Secara kimiawi ditandai dengan tingginya zat hara (fosfat dan nitrat) dan secara biologis umumnya ditandai dengan tingginya kandungan plankton atau klorofil-a. Kajian nilai produktivitas primer dilakukan di perairan Indonesia pada periode El-Nino dan La-Nina tahun 1998 dan 2002 baik terhadap ruang maupun terhadap waktu. Identifikasi gejala upwelling di perairan Indonesia dilakukan berdasarkan variabilitas produktivitas primer dan sebaran parameter oseanografi lainnya. Penentuan daerah upwelling ini nantinya diharapkan dapat memberikan informasi lebih untuk pemanfaatan sumberdaya laut lebih optimum. BAHAN DAN METODE Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi nilai salinitas, temperatur, dan densitas di perairan Indonesia didapatkan dari hasil model numerik hidrodinamika tiga dimensi menggunakan HAMburg Shelf Ocean Model (HAMSOM) dengan model baroklinik. Daerah yang dikaji meliputi seluruh perairan Indonesia dengan batas 5,5 ° LU - 11° LS dan 95° BT - 141° BT (Gambar 1). Model disimulasikan saat musim tenggara dimana terjadi banyak upwelling pada pada tahun yang mewakili kejadian ENSO 1998 dan 2002 yang kemudian akan dikaitkan dengan perhitungan nilai produktivitas primer (NPP) di perairan Indonesia dengan menggunakan data satelit dan metode Vertically Generalized Productivity Model (VGPM) (Behrenfeld dan Falkowski, 1997) yang telah dilakukan dalam penelitian Suciaty dkk. (2008)3.
Gambar 1. Lokasi Kegiatan Riset Konsentrasi Net Primary Production (NPP) dihitung menggunakan algoritma model Vertically Generalized productivity Model, VGPM, dengan memperhitungkan pengaruh jumlah klorofil-a, durasi cahaya perhari PAR dan laju fotosintesis :
Eo
∑ PPeu = 0.66125* PBopt Eo + 4.1 Csur * Deu * Hirr
[1]
dimana : PPeu : Produktivitas primer harian di lapisan eufotik (mgC/m2*day) Pbopt : Indeks laju fotosintesis optimum (mgC/(mgChl)*h) Eo : Radiasi matahari untuk fotosintesis (PAR)(W/m2) Csur : Klorofil-a di permukaan (mgChl/m3) 3
Deu : Kedalaman eufotik (m) Hirr : Durasi cahaya per hari (h) Indeks laju fotosintesis optimim (Pbopt) pada zona eufotik dianggap sebagai intensitas pelepasan karbon maksimum per hari pada zona yang sama. Penentuan indeks ini dapat diketahui dari temperatur air permukaan. Kedalaman lapisan eufotik (Deu) adalah kedalaman dimana besar intensitas cahaya hanya 1% dari intensitas cahaya dipermukaan air yang erat kaitannya dengan kandungan klorofil-a dipermukaan (Csur). Pada perairan tropis diasumsikan cahaya matahari berlangsung selama 12 jam dalam sehari. Perhitungan dengan metode VGPM ini menggunakan data satelit AVHRR-NOAA dan SEAWIFS (Suciaty dkk., 2008)4. Model numerik hidrodinamika digunakan untuk memperoleh kondisi parameter-parameter oseanografi perairan Indonesia. Dengan melalukan simulasi model di wilayah perairan Indonesia ini, maka akan diperoleh pola sebaran baik horizontal maupun vertikal dari masingmasing parameter oseanografi. HAMburg Shelf Ocean Model (HAMSOM) merupakan salah satu model laut yang telah banyak digunakan dan diterapkan di dunia (Backhaus, 1985 dan Pohlmann, 1996 dalam Putri, 2005). Model ini telah pula diterapkan untuk perairan Indonesia dan telah divalidasi dengan hasil yang cukup baik untuk perairan Indonesia (Putri,2011). Kemudian Model HAMSOM disimulasikan secara 3D dengan mode baroklinik dimana perubahan densitas dan gaya pembangkit atmosfer diperhatikan. Persamaan utama yang digunakan dalam model ini adalah persamaan momentum, persamaan vertikal hidrostatik, persamaan kontinuitas, dan persamaan kekekalan temperatur dan salinitas (Putri, 2005 dan 2009b)5 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada saat terjadi El-Nino pada bulan Agustus 2002 di perairan Indonesia bagian barat (timur Sumatera, Selat Karimata, Laut Jawa) salinitas dan densitas tinggi, yang akan diikuti dengan temperatur rendah di wilayah-wilayah tersebut dibandingkan pada kondisi normal. Temperatur yang rendah diikuti dengan naiknya produktivitas primer lautan. Di wilayah dengan nilai temperatur rendah terlihat pula nilai NPP yang tinggi . Tingginya nilai NPP tersebut menunjukkan tingkat kesuburan perairan yang tinggi (Gambar 2). Salah satu indikator lokasi yang kaya akan sumberdaya lautnya adalah kesuburan perairan. Kesuburan suatu perairan salah satunya dapat ditentukan oleh kandungan produktivitas primer sebagai laju fotosintesis fitoplankton. Suatu perairan dapat dikatakan subur jika tingkat produktivitasnya tinggi. Temperatur yang rendah serta tingginya nilai NPP di wilayah pesisir pantai barat dan selatan Kalimantan juga disebabkan faktor lokal berupa banyak terdapat muara-muara sungai besar yang menyebabkan penurunan salinitas dan densitas dan peningkatan temperatur. Fenomena El-Nino juga terlihat di perairan timur Indonesia seperti yang terlihat pada Gambar 3.
4
Temperature Agustus 2002
Salinitas Agustus 2002
Densitas Agustus 2002
NPP Agustus 2002
Gambar 2. Hasil simulasi model numerik parameter fisik (temperatur, salinitas, densitas) dengan hasil model NPP perairan barat Indonesia pada bulan Agustus 2002 yang mewakili periode El-Nino kuat Pada Gambar 3 terlihat pada periode El-Nino kuat yang diwakili bulan Agustus 2002, salinitas dan densitas besar di sebagian besar Laut Arafuru. Di wilayah-wilayah tertentu seperti di sepanjang pantai barat Papua terlihat nilai temperatur yang kecil dan mempunyai nilai NPP yang tinggi, hal ini cenderung disebabkan arus permanen dari utara yang menyusur pesisir daratan Papua, arus musiman dari Laut Banda melintas seluruh Laut Arafura sebagai akibat dari proses upwelling yang terjadi di Laut Banda seperti yang dijelaskan oleh Wyrtki (1961)6. Temperatur minimum hampir di sebagian besar wilayah perairan timur Indonesia (Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, Talaud) yang menghadap ke Samudera Pasifik. Beberapa daerah-daerah perairan Indonesia yang mengalami upwelling akibat pengaruh pola angin muson adalah Laut Banda, dan Laut Arafura (Wyrtki, 1961)6, selatan Jawa dan Bali dan Laut Timor (Tubalawony, 2000).7
5
Temperatur Agustus 2002
Densitas Agustus 2002
Salinitas Agustus 2002
NPP Agustus 2002
Gambar 3 Hasil simulasi model numerik parameter fisik (temperature, salinitas, densitas) dengan hasil model NPP perairan timur Indonesia pada bulan Agustus 2002 yang mewakili periode El-Nino kuat
Sedangkan pada saat terjadinya La-Nina pada bulan September 1998 di wilayah Samudera India dan barat Sumatera mempunyai temperatur yang lebih tinggi, sebaliknya saat terjadi ElNino, wilayah tersebut mempunyai temperatur rendah. Temperatur yang besar di wilayah tersebut diikuti dengan salinitas dan densitas yang kecil. Sedangkan di Selat Malaka, pantai timur Sumatera dan selatan Kalimantan nilai temperatur yang besar, salinitas dan densitas yang kecil relatif stabil pada kondisi El-Nino maupun La-Nina hal ini disebabkan karena pengaruh faktor lokal banyaknya sungai besar yang bermuara disana, begitu juga dengan nilai NPP nya yang selalu tinggi (Gambar 4).
6
Temperatur September 1998
Salinitas September 1998
Densitas September 1998
NPP September 1998
Gambar 4 Hasil simulasi model numerik parameter fisik (temperature, salinitas, densitas) dengan hasil model NPP perairan barat Indonesia pada bulan September 1998 yang mewakili periode La-Nina Sedangkan untuk perairan timur Indonesia (Gambar 5) terlihat pada periode La-Nina yang diwakili bulan September 1998, temperatur besar di laut Halmahera, utara Maluku, yang berasal dari samudera Pasifik utara dan laut Arafuru, laut Banda yang berasal dari samudera Pasifik selatan. Nilai temperatur dan NPP di pesisir barat pulau Papua relatif stabil saat kondisi El-Nino maupun La-Nina hal ini dapat disebabkan oleh arus permanen dari utara yang menyusur pesisir daratan Papua, arus musiman dari Laut Banda melintas seluruh Laut Arafura sebagai akibat dari proses upwelling yang terjadi di Laut Banda seperti yang dijelaskan oleh Wyrtki (1961)8
7
Temperatur September 1998
Salinitas September 1998
Densitas September 1998
NPP September 1998
Gambar 5. Hasil simulasi model numerik parameter fisik temperature, salinitas , densitas dengan hasil model NPP perairan timur Indonesia pada bulan September 1998 yang mewakili periode La-Nina Pada periode El-Nino terlihat pada Gambar 2 dan 3 fenomena terjadinya upwelling monsunal semakin kuat , sedangkan pada periode La-Nina fenomena upwelling monsunal melemah, lihat Gambar 4 dan 5. Hal ini terlihat jelas di perairan barat Indonesia terutama selatan kalimantan, barat Kalimantan dan selatan Jawa saat El-Nino upwelling monsunal terlihat kuat dan saat La-Nina upwelling monsunal terlihat lemah, fenomena ini juga terlihat pada gambar NPP-nya. Hasil keluaran model ini memperkuat hasil kajian yang dilakukan oleh Nontji 20069, di Laut Banda dimana El-Nino memberikan pengaruh dalam meningkatnya produktivitas fitoplankton di perairan. Pada periode El-Nino kuat tahun dapat memperkuat dan memperpanjang masa produktif Laut Banda hingga melampaui batas musim tenggara (south-east monsoon). El-Nino menyebabkan upwelling meningkat di perairan Indonesia sehingga produktivitas perairan juga mengalami peningkatan.
8
Di perairan timur Indonesia (Gambar 3 dan Gambar 5) terutama di pantai barat Pulau Papua nilai produktifitas selalu tinggi sepanjang tahun baik pada periode monsunal (pengaruh monsun) maupun intraseasonal (pengaruh El-Nino dan La-Nina), lebih disebabkan karena faktor lokalnya. Berdasarkan penelitian INDOTROPICS yang dilakukan oleh Wenno,dkk. (2002) dalam Suciaty (2008)10, didapatkan bahwa selama musim peralihan II di perairan Muara Sungai Digul tercatat tiga sistem aliran massa air yang berbeda arah, yaitu arus permanen dari utara yang menyusur pesisir daratan Papua dengan kecepatan lemah, arus musiman dari Laut Banda melintas seluruh Laut Arafura sebagai akibat dari proses upwelling yang terjadi di Laut Banda seperti yang dijelaskan oleh Wyrtki (1961)11 dan aliran Sungai Digul yang cukup deras pada waktu air surut. Selama periode pasang massa air Laut Arafura menyusup ke Sungai Digul dengan jarak sampai dengan 60 mil dari muara ke arah daratan. Pada saat periode surut seluruh massa air Laut Arafura yang menyusup ke Sungai Digul tadi kembali dilimpahkan ke laut dengan kecepatan yang cukup tinggi sehingga pada waktu bertemu dengan dua aliran massa air yang lain terjadi proses divergensi pada jarak sekitar 30 mil dari muara ke arah laut. Massa air yang dilimpahkan kembali ke laut setelah melintasi sungai sejauh 60 mil dari muara membawa serta nutrien yang cukup banyak dan oleh proses divergensi tersebut disebarkan ke arah barat, utara, maupun selatan secara merata. Penyebaran yang merata inilah yang menyebabkan kesuburan Laut Arafura sepanjang waktu yang mengandung cukup banyak nitrat dan fosfat yang baik untuk peningkatan laju fotosintesis oleh fitoplankton. Seperti yang terlihat pada sebaran produktivitas primer, wilayah Laut Arafura ini sepanjang waktu memiliki kandungan produktivitas yang tinggi. Studi ini baru mengkaji kaitan antara parameter fisis dengan produktivitas primer secara spasial pada waktu tertentu. Kedepannya perlu dikaji lebih lanjut dari sisi deret waktu (data panjang) karena pada daerah tertentu tidak terlihat korelasi secara langsung antara kondisi parameter fisis dengan produktivitas primer, melainkan terdapat time lag (jeda waktu) yang perlu dipelajari faktor-faktor penyebabnya. KESIMPULAN Hasil perbandingan secara spasial menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara dinamika parameter fisis dengan kondisi kesuburan perairan. Daerah dengan kondisi kesuburan yang baik, yang diwakili oleh nilai produktivitas primer yang tinggi, ditandai dengan nilai salinitas yang tinggi, temperatur yang rendah dan densitas yang tinggi. Hal ini tampak terutama di daerah pesisir seperti di pantai selatan Kalimantan dan di pantai barat daya Papua. Pada periode El-Nino fenomena terjadinya upwelling monsunal semakin kuat , sedangkan pada periode La-Nina fenomena upwelling monsunal melemah. Hasil keluaran model ini memperkuat hasil kajian yang dilakukan oleh Nontji (2006)9, di Laut Banda dimana El-Nino memberikan pengaruh dalam meningkatnya produktivitas fitoplankton di perairan. El-Nino menyebabkan upwelling meningkat di perairan Indonesia sehingga terjadi peningkatan produktivitas primer perairan, sebaliknya La-Nina menyebabkan berkurangnya upwelling sehingga nilai produktivitas primer menurun. DAFTAR PUSTAKA 1
Boer, Rizaldi. 2003, Penyimpangan Iklim di Indonesia, Makalah Seminar Nasional Ilmu Tanah, KMIT, Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta 2 Nontji, A. 1987, Laut Nusantara, Djambatan Jakarta
9
3,4,10
Suciaty, Fitri, Mutiara R. Putri, Ivonne M. Radjawane. 2008. Identifikasi Upwelling dengan Menggunakan Nilai Produktivitas Primer di Perairan Indonesia Bagian Timur. Institut Teknologi Bandung 5 Putri, M. R., 2005, Study of Ocean Climate Variability (1959-2002)in the Eastern Indian Ocean, Java Sea and Sunda Strait Using the HAMburg Shelf Ocean Model, Disertasi Doktor. Universit¨at Hamburg. Putri, M.R., T.Y. Rizki (2011). Watermass Transport Variability in Sunda Strait, paper presented at International Seminar on Marine, Institute for Marine Research and Observation, Research and Development Centre for Marine and Coastal Resources, Agency for Marine and Fisheries Research and Development. 6,8,11 Wyrtki, K., 1961, Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. Naga Report Vol. 2, Univ. of California, Scripps Institution Oceanography, La Jolla, California 7 Tubalawony Simon, 2001. Pengaruh Faktor-Faktor Oseanografi Terhadap Produktivitas Primer Perairan Indonesia 9 Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton. Pusat Penelitian Oseanolografi (P2O)-Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI). Jakarta: 163-222
10