PENGARUH DIMETIL SULFOKSIDA (DMSO) TERHADAP PENETRASI KRIM ASAM KOJAT SECARA IN VITRO Sity Muzdalifah Dali, Robert Tungadi, Dewi Rahmawaty Moo*) Jurusan Farmasi, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan Universitas Negeri Gorontalo
*)
Email :
[email protected]
ABSTRAK Asam kojat merupakan salah satu senyawa yang dapat menghambat aktivitas enzim tirosinase sehingga menghambat pembentukan melanin dan memutihkan kulit. Di sisi lain, asam kojat bersifat hidrofilik yang menjadikannya sulit untuk berpenetrasi ke dalam kulit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan Dimetil Sulfoksida (DMSO) sebagai bahan penetrant enhancer terhadap penetrasi krim asam kojat secara in vitro. Krim dibuat dalam 4 formula yang memiliki variasi konsentrasi DMSO 0%, 3%, 5% dan 7%. Pengujian penetrasi krim asam kojat menggunakan sel Difusi Franz dan kulit tikus putih sebagai membran difusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa krim F4 dengan kandungan DMSO 7% merupakan formula terbaik dalam membantu penetrasi asam kojat dengan jumlah kumulatif terpenetrasi sebesar 59,2963 g/cm2, persen terpenetrasi sebesar 4,839% dan fluks 23,7185 µg/cm2/jam. Dari hasil analisis statistik menggunakan One Way ANOVA (Analysis of Variance) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna (p < 0,01) dari konsentrasi DMSO terhadap persentase terpenetrasi krim asam kojat secara in vitro. Kata Kunci : Asam Kojat, Krim, DMSO, Penetrasi, Sel Difusi Franz
*)
Robert Tungadi, S.Si., M.Si., Apt, Dewi Rahmawaty Moo, S.Farm., M.Sc., Apt
PENDAHULUAN Asam kojat merupakan senyawa yang memiliki khasiat sebagai pemutih kulit. Asam kojat bekerja dengan cara menghambat aktivitas dari enzim tirosinase yang bertanggung jawab dalam pembentukan melanin (Baldrich, et al., 1998). Hal inilah yang merupakan pertimbangan untuk memformulasikan asam kojat ke dalam bentuk sediaan kosmetik topikal berupa krim. Salah satu hal yang harus diperhatikan untuk memformulasi sediaan krim adalah kemampuan penetrasi zat aktif untuk menembus lapisan-lapisan kulit. Stratum korneum adalah lapisan pelindung utama dan memberikan tahanan terbesar sehingga penetrasi obat melalui lapisan ini merupakan tahapan yang menentukan kecepatan penetrasi (Sinha, V.R dan Kaur, M.P, 2000). Asam kojat bersifat hidrofilik, dimana untuk senyawa hidrofilik, stratum corneum memberikan tahanan difusi 1000 kali untuk penetrasi ke dalam (Riviere dan Papich, 2001), sementara asam kojat akan memberi efek sebagai pemutih jika mampu menembus stratum korneum dan mencapai lapisan basal. Oleh karena itu, dalam memformulasikan asam kojat dalam bentuk sediaan krim, dibutuhkan suatu bahan tertentu dengan tujuan membantu meningkatkan penetrasi asam kojat melewati stratum korneum. Penetrant enhancer atau peningkat penetrasi adalah bahan yang digunakan untuk meningkatkan permeabilitas stratum korneum dengan cara berinteraksi dengan
komponen stratum korneum yaitu protein dan lipid (Williams dan Barry, 2004). DMSO dapat merubah konformasi keratin stratum corneum dari α–helical conformation menjadi β–sheet conformation (Trommer and Neubert, 2006). DMSO dapat meningkatkan fluks obat melalui interaksinya dengan lipid pada stratum corneum, merubah struktur protein, yang menyebabkan terjadinya perubahan nilai koefisien partisinya (Shembale et al., 2010). Oleh karena itu perubahanperubahan ini yang menjadi dasar DMSO dapat berperan sebagai peningkat penetrasi zat aktif pada membran kulit melalui proses difusi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh DMSO terhadap penetrasi krim asam kojat secara in vitro dan mengetahui stabilitas fisik dari formula krim asam kojat yang memiliki penetrasi terbaik. METODE PENELITIAN Bahan Asam kojat, DMSO, asam stearat, TEA, lipochol®, lanolin, gliserin, metil paraben, propil paraben, asam sitrat monohidrat, natrium sitrat dihidrat, paraffin cair, jasmine oil, metilen blue, natrium hidroksida, kalium dihidrogen fosfat, eter, tikus putih (Rattus novergicus). Alat Sel difusi Franz, spektrofotometer UV-VIS (Perkin Elmer, Singapore), homogenizer (Ultra-turrax IKA T25 Digital), pH meter, viskometer Brookfield (DV-E Viscometer), timbangan analitik (A&D Company), pengaduk magnetik (BioSan), syringe 5 ml
2
(Terumo corp, Philipina), penangas air (Memmert, Jerman), lemari pendingin (Panasonic), oven (Memmert), silet (The Gillete Company, Jerman), pisau bedah, gunting bedah, papan bedah, alat-alat gelas (Schott Duran, Jerman). Pembuatan Krim Asam Kojat Krim asam kojat dibuat dalam 4 formula dengan variasi DMSO pada konsentrasi 0%, 3%, 5% dan 7% (Tabel 1). Tabel 1. Formulasi Krim Konsentrasi (% b/b) Bahan F1 F2 F3 F4 Asam 1 1 1 1 Kojat DMSO 3 5 7 Asam 6 6 6 6 Stearat TEA 3 3 3 3 Lipochol® 5 5 5 5 Gliserin 5 5 5 5 Metil 0,18 0,18 0,18 0,18 Paraben Propil 0,02 0,02 0,02 0,02 Paraben BHT 0,1 0,1 0,1 0,1 Asam 0,19 0,19 0,19 0,19 Sitrat Natrium 0,23 0,23 0,23 0,23 Sitrat Lanolin 2 2 2 2 Jasmine 0,05 0,05 0,05 0,05 Oil Parafin 15 15 15 15 Cair Aquadest 62,2 59,2 57,2 55,2 Fase minyak dibuat dengan melebur paraffin cair, asam stearat, lipochol®, BHT, lanolin, dan jasmine oil di atas penangas air pada suhu 70°C. Sementara fase air dibuat
dengan memanaskan trietanolamin, gliserin, metil paraben, propil paraben, asam sitrat, natrium sitrat dan air suling pada suhu yang sama. Asam kojat dan DMSO ditambahkan setelah pemanasan. Pembuatan krim dilakukan dengan mencampurkan kedua fase menggunakan ultraturrax pada kecepatan 3000 rpm sampai terbentuk masa krim yang homogen. Studi Penetrasi Krim Asam Kojat Kurva Baku Asam Kojat Larutan asam kojat pada seri konsentrasi 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, 4 ppm, 5 ppm, dan 6 ppm diukur serapannya pada panjang gelombang (λ) 270 nm dengan spektrofotometer UV-VIS. Kemudian dibuat kurva kalibrasi dan persamaan regresinya. Perolehan Kembali Asam Kojat Sediaan krim asam kojat ditimbang secara seksama sebanyak 1 gram, kemudian dilarutkan dengan dapar fosfat 25 mL dan disaring. Larutan tersebut kemudian dipipet sebanyak 0,5 mL dan dicukupkan volumenya dengan dapar fosfat hingga 25 mL selanjutnya dianalisis dengan spektrofotometer UV-VIS. Penyiapan Kulit Tikus Tikus dibius dengan etil asetat hingga mati. Selanjutnya bulu tikus dicukur secara hati-hati. Kulit tikus disayat pada bagian perut (abdomen) dan direndam dalam dapar fosfat pH 7,4 selama 30 menit. Uji Difusi Uji penetrasi dilakukan dengan menggunakan sel difusi Franz. Kompartemen reseptor diisi dengan dapar fosfat pH 7,4 dan
3
Analisis Data Data hubungan antara masing-masing formulasi dengan persentase asam kojat terpenetrasi dianalisis dengan metode One Way ANOVA (Analysis of Variance) menggunakan SPSS versi 16. Evaluasi Sediaan Krim Evaluasi sediaan krim meliputi pemeriksaan organoleptis dan homogentitas, pengukuran pH, pengukuran viskositas, penentuan tipe krim dan pemeriksaan stabilitas krim berdasarkan pemisahan fase dengan metode Freeze and Thaw. HASIL PENELITIAN Kurva Baku Asam Kojat Kurva baku asam kojat yang diperoleh selanjutnya diregresikan hubungan antara konsentrasi terhadap absorbansi menghasilkan persamaan garis y = -1,227 + 0,183x dengan nilai r = 0,994 yang menunjukkan bahwa hasil kurva baku tersebut bersifat linier.
Uji Difusi Parameter uji difusi dalam penelitian ini adalah jumlah kumulatif terpenetrasi (Q), persentase terpenetrasi (%), dan fluks (J). Jumlah kumulatif terpenetrasi untuk F1, F2, F3 dan F4 ditunjukkan pada gambar 1. Dimana berdasarkan kurva tersebut dapat diamati bahwa jumlah kumulatif asam kojat terpenetrasi berbanding lurus dengan waktu, semakin panjang waktu, semakin besar pula jumlah kumulatif asam kojat yang terpenetrasi. Namun untuk F1 dan F2 dapat dilihat bahwa peningkatan jumlah kumulatif asam kojat yang terpenetrasi tidak berbeda jauh. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi DMSO 3% belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penetrasi krim asam kojat melalui membran kulit tikus. Adapun peningkatan terbesar dari jumlah kumulatif asam kojat yang terpenetrasi adalah pada F4 dengan konsentrasi DMSO 7%. Sehingga dapat diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi DMSO, jumlah kumulatif asam kojat yang terpenetrasi semakin besar. Jumlah kumulatif (µg/cm2)
dijaga suhunya 37 ± 1°C, serta diaduk dengan stirer berkecepatan konstan. Kemudian kulit tikus diletakkan di antara kompartemen donor dan kompartemen reseptor dengan posisi stratum korneum menghadap ke atas. Sampel 1 g diaplikasikan pada permukaan kulit. Kemudian, pada menit ke-0, 30, 60, 90, dan 120 sampel diambil sebanyak 2,5 ml dari kompartemen reseptor menggunakan syringe dan segera digantikan dengan dapar fosfat pH 7,4 sejumlah volume yang sama. Sampel diukur serapannya pada panjang gelombang 270 nm dengan spektrofotometer UV-VIS.
70 60 50 40 F1
30 20
F2
10
F3
0
F4 0
1
2
3
Waktu (jam)
Gambar 1. Kurva Jumlah Kumulatif Asam Kojat Terpenetrasi
4
Selain jumlah kumulatif asam kojat, parameter lainnya dalam pengujian penetrasi zat adalah persentase terpenetrasi. Seperti halnya jumlah kumulatif, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa persentase asam kojat terpenetrasi selama 2,5 jam dari F1 yang tidak mengandung DMSO dengan F2 yang mengandung DMSO sebanyak 3% tidak berbeda jauh. Sehingga dapat diketahui bahwa penggunaan DMSO pada konsentrasi 3% belum memberikan pengaruh yang besar terhadap penetrasi asam kojat. Adapun persentase asam kojat terbesar terjadi pada F4 dengan konsentrasi DMSO 7% (gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi DMSO, semakin besar pula persentase asam kojat yang terpentrasi. 6
4
90
F1
3
F2
2
F3 F4
1 0 0
1
2
3
Waktu (jam)
Gambar 2. Kurva Persentase Asam Kojat Terpenetrasi
80
Fluks (µg/cm2/jam)
Persen Terpenetrasi (%)
5
cepat untuk F1, F2, F3 dan F4. Dimana pada perhitungan berdasarkan persamaan hukum Fick ini, sediaan krim F4 memiliki nilai fluks yang terbesar dibandingkan ketiga formula lainnya. Kemudian nilai fluks mengalami penurunan dan akhirnya kurva cenderung menjadi datar yang menggambarkan bahwa keadaan masa tunak (steady state) sudah dicapai. Adapun keadaan masa tunak ini menunjukkan bahwa nilai fluks sudah tidak dipengaruhi oleh gradien konsentrasi sehingga dapat dianggap sebagai nilai fluks yang mendekati konstan. Pada awal pelepasan zat aktif, masih terdapat perbedaan gradien konsentrasi yang cukup besar antara kompartemen donor dan reseptor sehingga keadaan steady state belum dicapai. Gradien konsentrasi merupakan suatu gaya dorong (driving force) bagi suatu zat aktif untuk melewati membran secara difusi pasif (Martin, et al., 1993).
70 60 50
F1
40
F2
30
F3
20
F4
10 0 0
1
2
3
Waktu (jam)
Gambar 3 menunjukkan nilai fluks yang diperoleh dari persamaan hukum Fick pertama yang diplotkan terhadap waktu. Nilai fluks dari keempat formula meningkat pada menit ke-30 yang menunjukkan bahwa terjadi pelepasan yang relatif
Gambar 3. Profil Fluks Asam Kojat Terpenetrasi Secara keseluruhan, sediaan krim F4 dengan konsentrasi DMSO 7% memiliki jumlah kumulatif, 5
persentase terpenetrasi serta laju penetrasi (fluks) lebih besar dibandingkan ketiga formula lainnya (tabel 2) Tabel 2. Hasil Uji Penetrasi Krim Asam Kojat Q J (µg/ Sediaan % (µg/cm2) cm2/jam) F1 46,2476 3,739 18,4990 F2 48,1333 3,906 19,2533 F3 56,8517 4,634 22,7407 F4 59,2963 4,839 23,7185 DMSO itu sendiri memiliki mekanisme yakni dapat melarutkan lemak sehingga membentuk saluran air dalam stratum korneum yang akan meningkatkan permeabilitas (Benson, 2005; Forstrer, et al., 2009). Selain memfluidisasi lipid, DMSO juga dapat berinteraksi dengan keratin di dalam korneosit dan mengakibatkan terjadinya kerusakan di dalam korneosit sehingga koefisien difusi meningkat dan permeabilitas juga meningkat. Dimana DMSO bekerja dengan merubah konformasi keratin stratum corneum dari α–helical conformation menjadi β–sheet conformation (Trommer and Neubert, 2006). Molekul DMSO juga memodifikasi peptida atau protein dalam domain lipid bilayer sehingga meningkatkan permeabilitasnya (Benson, 2005). Hal ini terbukti pada penelitian bahwa semakin tinggi konsentrasi DMSO yang digunakan, maka semakin efektif pula DMSO dalam meningkatkan penetrasi zat. Evaluasi Sediaan Krim Pengujian organoleptis dan homogenitas terhadap krim F4 menunjukkan bahwa pada minggu
ke-0 sediaan krim F4 memiliki aroma khas melati, warna putih, dan memiliki tekstur yang homogen. Warna putih diperoleh karena tidak terdapat komponen berwarna yang ditambahkan ke dalam krim. Warna ini bertahan hingga minggu ke-4 menunjukkan bahwa tidak terdapat kerusakan senyawa di dalam krim yang menyebabkan reaksi perubahan warna. Sedangkan aroma khas melati tersebut diperoleh dari jasmine oil yang digunakan sebagai pengaroma dalam formula yang bertahan hingga minggu ke-4 pengujian. Hal ini menunjukkan bahwa minyak melati yang dimasukkan ke dalam formula krim tidak mengalami oksidasi atau penguraian sehingga karakteristik aroma melati dari sediaan bertahan hingga 1 bulan. Krim tetap homogen hingga minggu ke-4 diduga berhubungan dengan proses pencampuran pada saat pembuatan. Sehingga dapat diketahui bahwa pencampuran krim dengan kecepatan 3000 rpm selama ± 3 menit dapat menghasilkan sediaan yang homogen hingga 1 bulan penyimpanan. Tabel 3. Hasil Uji Organoleptis dan Homogenitas Sediaan Krim F4 Minggu Warna Bau Homogenitas ke0 Putih Khas Homogen Melati 1 Putih Khas Homogen Melati 2 Putih Khas Homogen Melati 3 Putih Khas Homogen Melati 4 Putih Khas Homogen Melati
6
Pengujian pH sediaan dilakukan dengan menggunakan pH meter, dimana pH sediaan dipertahankan dengan dapar sitrat pada pH 4,7 untuk mempertahankan pH stabilitas asam kojat dan untuk menyesuaikan dengan pH kulit (4,5 – 6,5) sedangkan pada pengujian diperoleh pH sediaan adalah 5. pH ini bertahan hingga minggu ke-4 pengujian. Sehingga dapat diketahui bahwa komponen asam sitrat dan garamnya dalam formulasi efektif dalam mempertahankan pH sediaan hingga ±1 bulan penyimpanan. Pada sediaan krim, pengukuran dengan pH meter agak sulit dilakukan karena pH meter tidak memberikan hasil yang konstan. Untuk itu dilakukan pula pengukuran pH dengan menggunakan indikator universal untuk meyakinkan bahwa pH sediaan krim berada pada interval pH yang diharapkan. Tabel 4. Hasil Uji pH Sediaan Krim F4
Minggu ke0 1 2 3 4
pH 5 5 5 5 5
Pengujian viskositas sediaan dilakukan dengan menggunakan viskometer Brookfield dengan spindel nomor 5 pada kecepatan 30 rpm. Hasil pengujian menunjukkan bahwa viskositas krim semakin meningkat hingga minggu ke-4 penyimpanan. Dimana suatu emulsi dianggap ideal jika viskostasnya tidak berubah, meskipun kebanyakan emulsi masih dapat diterima apabila memperlihatkan sedikit kenaikan viskositas pada awal hingga akhir
penyimpanan (Lachman, 1994). Hal ini menunjukkan bahwa F4 adalah formula yang stabil, dimana semakin tinggi viskositas, semakin lambat pula droplet-droplet berkoalesensi. Tabel 5. Hasil Uji Viskositas Sediaan Krim F4 Minggu Viskositas ke(Poise) 0 6733,2 1 6918,5 2 7106,5 3 7194,5 4 7342,5 Pengujian tipe krim dilakukan dengan menggunakan bahan metilen blue. Adapun krim F4 setelah dilakukan pengujian, krim menjadi warna biru homogen yang membuktikan bahwa tipe krim adalah M/A. Hal ini disebabkan oleh metilen blue bersifat polar dan hanya bercampur dengan fase air, sehingga untuk fase M/A yang memiliki fase eksternal air, krim akan menjadi biru yang homogen ketika diteteskan bahan tersebut. Berbeda halnya jika metilen blue diteteskan pada krim tipe A/M, air menjadi fase terdispersi / fase internal, sehingga warna biru hanya dapat dilihat sebagai tititk-titik kecil pada sediaan krim.
Gambar 4. Hasil Uji Tipe Krim Sediaan Krim F4
7
Pengujian stabilitas krim berdasarkan pemisahan fase dengan metode Freeze Thaw dilakukan selama 7 siklus. Dimana sediaan ditempatkan pada suhu ekstrim (4°C dan 40°C) setiap satu siklus untuk mengetahui pengaruh kedua suhu tersebut terhadap stabilitas krim. Berdasarkan penelitian, krim F4 tidak mengalami pemisahan sejak siklus pertama hingga siklus ke tujuh. Stabilitas krim ini juga didukung oleh penggunaan Lipochol® sebagai peningkat viskositas yang efektif memperlambat terjadinya penggabungan droplet-droplet minyak sehingga krim tetap stabil hingga pengujian ± 1 bulan. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) Ada pengaruh penambahan Dimetil Sulfoksida (DMSO) terhadap penetrasi krim asam kojat secara in vitro. Dimana semakin tinggi konsentrasi DMSO, semakin besar pula asam kojat yang terpenetrasi menembus membran kulit tikus. 2) Sediaan krim F4 merupakan sediaan yang stabil dari segi organoleptis dan homogenitas, tipe krim, pH, viskositas, serta pemeriksaan stabilitas krim dengan metode Freeze Thaw. DAFTAR PUSTAKA Benson, H.A. 2005. Transdermal Drug Delivery: Penetration Enhancement Techniques. Current Drug Delivery. 23-33 Forster, M., Bolzinger, M.A., Fessi, H & Briancon, S. 2009. Topical Delivery of
Cosmetics and Drugs and Delivery. Eur J Dermatol, 309-323 Lachman, L., et al. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri Edisi Ketiga. Diterjemahkan oleh Siti Suyatmi. UI Press: Jakarta Martin, A., et al. 1993. Farmasi Fisik. Edisi Ketiga Jilid 2. Diterjemahkan oleh Yoshita. UI-Press: Jakarta. 830-835 Riviere. J.E., dan Papich, M.G. 2001. Potential and Problems of Developing Transdermal Patches for Veterinary Applications. Advanced Drug Delivery Reviews. 50: 175203 Serra-Baldrich, E., Tribo, M.J., and Camarasa, J.G. 1998. Allergic contact dermatitis from kojic acid. Contact Dermat.1998. p.86–87 Shembale, Borole, Lohiya, R.T. 2010. Useful Permeation Enhancers for Transdermal Drug Delivery: A Revew. Int. J. Pharm. Research & Developments, 5 July 2012, www.jprd.com Sinha, V.R dan Kaur, M.P. 2000. Permeation Enhancer for Transdermal Drug Delivery. Drug Dev Ind Pharm., 26, 1131-1140 Trommer, H., dan Neubert, R.H.H. 2006. Overcoming The Stratum Corneum: The Modulation of Skin Penetration. Skin Pharmacology and Physiology Williams, A.C dan Barry, B.W. 2004. Penetration Enhancers, Advanced Drug Delivery Reviews, 56, 603-618
8