PENGARUH DELIGNIFIKASI MENGGUNAKAN Phanerochaete chrysosporium DAN HIDROLISIS OLEH KAPANG SELULOLITIK TERHADAP KUALITAS TONGKOL JAGUNG SEBAGAI PAKAN TERNAK
SKRIPSI
JULIANDO SARAGIH F34060005
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
THE EFFECT OF DELIGNIFICATION USING Phanerochaete chrysosporium AND HYDROLYSIS BY CELLULOLYTIC FUNGI TO CONCORB QUALITY AS LIVESTOCK FEED Juliando Saragih, Liesbetini Hartoto, and Titi Candra Sunarti Department of Agricultural Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone 62 251 8624622, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT Concorb was one of the agricultural waste that has potency for ruminant feed. Concorb has high fiber content, but it has limited application since its low digestibility and protein content. Lignin in corncob should be liberate from cellulose and hemicellulose in the fiber substances. This research used white-root fungus of Phanerochaete chrysosporium for delignification and fungi Aspergillus niger and Trichoderma viride for hydrolysis the delignified corncob to increase its digestibility as feed. Urea and ammonium sulphate were added to enrich the corncob during hydrolysis in solid-state cultivation. After 20 days of biodelignification, 17.76 % of lignin was removed. Cultivation of delignified corncob by cellulolytic fungi increased the total and reducing sugar contents. The best hydrolysis treatment obtained from T. viride enriched with ammonium sulphate while A. niger with urea. T. viride increased 14.11 % of dry matter and 13.76 % of organic matter digestibilities. A. niger increased 15.03 % of dry matter and 8.11 % of organic matter digestibilities. Increasing of oligosacaride content made hydrolized corncob as prebiotic for better feed quality. Mixing isolates between A. niger and T. viride hydrolysis is expected to give better results in next research.
Keywords : Concorb, Biodelignification, hydrolysis, Phanerochaete chrysosporium, Aspergillus niger, Trichoderma viride
Juliando Saragih. F34060005. Pengaruh Delignifikasi Menggunakan Phanerochaete chrysosporium dan Hidrolisis oleh Kapang Selulolitik terhadap Kualitas Tongkol Jagung sebagai Pakan Ternak. Di bawah bimbingan Liesbetini Hartoto dan Titi Candra Sunarti. 2010
RINGKASAN
Tongkol jagung merupakan salah satu limbah pertanian yang potensial untuk dimanfaatkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, produksi tongkol jagung di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 17,5 juta ton. Menurut Irawadi (1990), limbah pertanian (termasuk tongkol jagung) mengandung selulosa (40-60 %), hemiselulosa (20-30 %), dan lignin (15-30 %). Sampai saat ini, tongkol jagung sudah dimanfaatkan sebagai pakan tambahan pada hewan ruminansia. Kandungan selulosa tongkol jagung yang tinggi dapat dijadikan sumber energi utama yang menyokong pertumbuhan, reproduksi, dan produksi hewan ruminansia. Akan tetapi, pemanfaatan tongkol jagung sebagai pakan tidak dapat dimaksimalkan karena kandungan protein dan tingkat kecernaan yang rendah. Rendahnya kemampuan mikroba dalam rumen untuk merombak lapisan polisakarida dinding sel diakibatkan oleh keberadaan lapisan lignin yang membungkus selulosa dan hemiselulosa. Hidrolisis selulosa maupun hemiselulosa oleh rumen akan berjalan dengan lebih baik jika sebelumnya lapisan lignin telah didegradasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh delignifikasi tongkol jagung menggunakan kapang Phanerochaete chrysosporium dan memanfaatkannya sebagai bahan pakan ternak melalui proses hidrolisis oleh kapang selulolitik. Kapang selulolitik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Trichoderma viride dan Aspergillus niger. Penelitian ini terbagi menjadi tiga tahap, yaitu persiapan tongkol jagung, delignifikasi, dan hidrolisis. Pada tahap persiapan dilakukan analisa komposisi bahan awal (proksimat, lignin, selulosa, hemiselulosa, gula pereduksi, dan total gula). Tahap delignifikasi oleh P. chrysosporium dilakukan untuk melepaskan komponen lignin pada tongkol jagung dan memudahkan hidrolisis selulosa. Tahap hidrolisis dilakukan untuk mengetahui kemampuan kapang selulolitik Aspergillus niger dengan Trichoderma viride dalam menghidrolisis selulosa. Selain itu dikaji juga kemampuan kedua kapang tersebut untuk memanfaatkan sumber nitrogen sebagai komponen media pertumbuhan. Sumber nitrogen yang digunakan yaitu urea dan amonium sulfat (ZA). Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan kadar lignin pada bahan awal sebesar 10.97 % (b.k) menurun menjadi 9.02 % (b.k) pada bahan hasil delignifikasi atau terjadi penurunan sebesar 17.76 % (b.k). Selain lignin, kadar hemiselulosa juga menurun sebesar 51.41 % (b.k) pada bahan awal menjadi 44.61% (b.k) pada bahan hasil delignifikasi atau menurun sebesar 13.22 % (b.k). Dari hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa kapang P. chrysosporium tidak hanya mendegradasi lignin, tetapi juga sekaligus memproduksi enzim xilanase untuk memecah hemiselulosa menjadi senyawa lebih sederhana. Hidrolisis tongkol jagung terdelignifikasi oleh T. viride dengan penambahan ZA menunjukkan hasil penurunan kandungan selulosa, peningkatan total gula, dan peningkatan gula pereduksi yang paling baik dibandingkan penambahan urea. Perlakuan ini dapat meningkatkan kandungan gula pereduksi dari 0,25 % sampai 0.52 % dan total gula dari 0.52 % sampai 1.08 %. Hidrolisis tongkol jagung terdelignifikasi oleh A. niger dengan penambahan urea juga juga menunjukkan penurunan kandungan selulosa, serta peningkatan gula pereduksi dan total gula. Perlakuan ini meningkatkan gula pereduksi dari 0.16 % menjadi 0.35 % dan total gula dari 0.57 % sampai 0.62 %. Secara keseluruhan, hidrolisis T. viride dengan penambahan amonium sulfat menunjukkan peningkatan total gula dan gula pereduksi yang lebih baik dibandingkan hasil kultivasi A. niger dengan penambahan urea. Analisa daya cerna tongkol jagung hasil perlakuan kultivasi terbaik secara in vitro menunjukkan peningkatan kecernaan bahan kering dan bahan organik. Hidrolisis tongkol jagung terdelignifikasi oleh T. viride dengan penambahan amonium sulfat meningkatkan kecernaan bahan kering sebesar 14.11 % dan kecernaan bahan organik sebesar 13.76 %. Sedangkan hidrolisis tongkol jagung terdelignifikasi oleh A. niger dengan penambahan urea meningkatkan kecernaan bahan kering sebesar 15.03 % dan kecernaan bahan organik sebesar 8.11 %. Secara keseluruhan, tongkol jagung
hasil delignifikasi dan hidrolisis belum dapat memenuhi kelayakan sebagai pakan ternak berbentuk konsentrat. Namun demikian, kerusakan pada ikatan lignoselulosa akan memudahkan degradasi selulosa oleh mikroba rumen. Selain itu, peningkatan komponen oligosakarida dalam bahan memungkinkan tongkol jagung hasil hidrolisis dapat berperan sebagai prebiotik yang dapat meningkatkan kecernaan bahan pakan.
PENGARUH DELIGNIFIKASI MENGGUNAKAN Phanerochaete chrysosporium DAN HIDROLISIS OLEH KAPANG SELULOLITIK TERHADAP KUALITAS TONGKOL JAGUNG SEBAGAI PAKAN TERNAK
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh JULIANDO SARAGIH F34060005
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Skripsi
:
Pengaruh Delignifikasi Menggunakan Phanerochaete chrysosporium dan Hidrolisis oleh Kapang Selulolitik terhadap Kualitas Tongkol Jagung sebagai Pakan Ternak
Nama
:
Juliando Saragih
NIM
:
F34060005
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS) NIP : 19550904 198003 2 001
(Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MSi.) NIP : 19661219 199103 2 001
Mengetahui : Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian,
(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP : 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus : 09 November 2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Pengaruh Delignifikasi Menggunakan Phanerochaete chrysosporium dan Hidrolisis oleh Kapang Selulolitik terhadap Kualitas Tongkol Jagung sebagai Pakan Ternak” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2010 Yang membuat pernyataan
Juliando Saragih F34060005
RIWAYAT HIDUP Juliando Saragih dilahirkan di Pematang Raya, Sumatera Utara pada tanggal 16 Juli 1988 dari ayah bernama Judiaman Saragih dan ibu yang bernama Demianna Purba. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari tahun 1993 di Taman Kanak-kanak Bina Insani. Pada tahun 1994 sampai tahun 2000 penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Dasar Inpres 097800 Kampung Jawa, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Pematang Raya dari tahun 2000 sampai tahun 2003. Tahun 2003 sampai tahun 2006 penulis menanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Pematang Raya.Tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan di Tingkat Persiapan Bersama Kampus Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis melanjutkan pendidikan di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB dari tahun 2004. Penulis telah melakukan praktek lapang di PT. PG. Madukismo, Bantul, Yogyakarta. Penulis mengakhiri masa studi di IPB setelah menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Delignifikasi Menggunakan Phanerochaete chrysosporium dan Hidrolisis oleh Kapang Selulolitik terhadap Kualitas Tongkol Jagung sebagai Pakan Ternak”.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan segala berkat dan anugrah, sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul “Pengaruh Delignifikasi Menggunakan Phanerochaete chrysosporium dan Hidrolisis oleh Kapang Selulolitik terhadap Kualitas Tongkol Jagung sebagai Pakan Ternak” dilaksanakan di Laboratorium Bioindustri, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor sejak bulan Maret hingga Agustus 2010. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari adanya bimbingan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS selaku dosen pembimbing I dan Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MSi selaku dosen pembimbing II yang telah sabar membimbing, memberikan pengarahan, kritik, saran, dan informasi untuk mendukung pendidikan dan penyelesaian skripsi penulis di Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA, IPB 2. Bapak Ir. Andes Ismayana, MT selaku dosen penguji yang telah memberi saran dan kritikan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini 3. Seluruh keluarga yang senantiasa mendukung penulis dalam doa dan motivasi untuk manjalani hari-hari dengan penuh rasa syukur 4. Rekan-rekan di Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB, terkhusus Kopelkhuers yang mendukung penulis dalam setiap kesulitan dan masalah 5. Seluruh dosen yang telah membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB 6. Bu Ega, Pak Edy, Pak Darwan, Pak Gun, dan seluruh karyawan Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA yang telah banyak memberikan bantuan 7. Pangeran, Yulia, Cucu, Winda, Yana, Martin, Yuli, Sarfat, Siska, Sely, Laura, Mumun, dan temanteman TIN 43 yang menjadi rekan seperjuangan di kampus selama menempuh studi 8. Rano, Dwiko, Rio, Rudi, Juan, dan seluruh penghuni Malea Putra atas kebersamaan dan saling mendukung selama masa studi. 9. Seluruh pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan skripsi ini. Terimakasih semuanya. Tentunya skripsi ini belum sempurna, tetapi penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang menyusun maupun yang membaca.
Bogor, November 2010
Juliando Saragih
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................
ii
DAFTAR TABEL....................................................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................................................
vi
I.
PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ..................................................................................................
1
B. TUJUAN .......................................................................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. TONGKOL JAGUNG ..................................................................................................
3
B. Phanerochaete chrysosporium .....................................................................................
4
C. Trichoderma viride .......................................................................................................
6
D. Aspergillus niger ...........................................................................................................
7
E. DELIGNIFIKASI BIOLOGIS ......................................................................................
8
F. HIDROLISIS SELULOLITIK .....................................................................................
9
G. PAKAN TERNAK RUMINANSIA ............................................................................ 10 III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT ................................................................................................... 12 1.
Bahan ..................................................................................................................... 12
2.
Alat ........................................................................................................................ 12
B. METODE PENELITIAN.............................................................................................. 12 1.
Karakterisasi Bahan Baku ..................................................................................... 12
2.
Delignifikasi Biologis ........................................................................................... 13
3.
Hidrolisis Oleh Kapang Selulolitik....................................................................... 14
4.
Rancangan Percobaan ........................................................................................... 15
ii
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. DELIGNIFIKASI TONGKOL JAGUNG ................................................................. 18 B. HIDROLISIS TONGKOL JAGUNG ........................................................................ 22 1. Perlakuan Hidrolisis .............................................................................................. 22 2. Karakteristik Produk Hasil Hidrolisis................................................................... 23
V.
a.
Komponen Proksimat .................................................................................. 23
b.
Komponen Serat........................................................................................... 27
c.
Struktur Mikroskopik Tongkol Jagung Hasil Hidrolisis ............................. 30
d.
Pembentukan Oligosakarida ........................................................................ 33
e.
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik (in vitro) ............................. 37
KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ........................................................................................................... 40 B. SARAN........................................................................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 41 LAMPIRAN ............................................................................................................................. 46
iii
DAFTAR TABEL Halaman 1. Komposisi tongkol jagung (Johnson 1991) ........................................................................
4
2. Komponen mineral pertumbuhan kapang P. chrysosporium ............................................. 13 3. Perubahan komposisi tongkol jagung sebelum dan setelah delignifikasi .......................... 19 4. Komposisi kimia bekatul (substrat inokulum) .................................................................... 23 5. Hasil analisia proksimat tongkol jagung sebelum dan setelah hidrolisis ........................... 25 6. Hasil analisa komponen serat tongkol jagung sebelum dan setelah hidrolisis................... 29 7. Perubahan gula pereduksi, total gula, dan derajat polimerisasi produk sebelum dan setelah hidrolisis ................................................................................ 34 8. Peningkatan kecernaan bahan kering dan bahan organik tongkol jagung terhidrolisis ................................................................................................. 38
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Konfigurasi dinding sel tanaman (Perez et al. 2002)..........................................................
3
2. Skema sistem degradasi lignin oleh P. chrysosporium ......................................................
5
3. Struktur mikroskopik miselia P. chrysosporium ................................................................
5
4. T. viride di tanah (a) dan struktur mikroskopis (b) .............................................................
7
5. A. niger dalam bentuk spora (a) dan struktur mikroskopis (b) ...........................................
8
6. Hidrolisis selulosa menjadi glukosa (Lynd et al. 2002) ..................................................... 10 7. Diagram alir proses delignifikasi tongkol jagung ............................................................. 16 8. Diagram alir proses hidrolisis tongkol jagung terdelignifikasi ......................................... 17 9. Struktur mikroskopis tongkol jagung awal dan terdelignifikasi ....................................... 21 10. Perubahan nilai protein kasar bahan pada perlakuan berbeda ......................................... 26 11. Struktur tongkol jagung (hidrolisis Aspergillus niger) .................................................. 31 12. Struktur tongkol jagung (hidrolisis Trichoderma viride).................................................. 33 13. Perubahan nilai kandungan total gula pada perlakuan hidrolisis...................................... 35 14. Perubahan nilai kandungan gula pereduksi ....................................................................... 36
v
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Prosedur analisis kimia ........................................................................................................ 47 2. Foto aliran proses delignifikasi ........................................................................................... 55 3. Foto aliran proses Hidrolisis................................................................................................ 56 4. Foto bahan sebelum dan setelah 20 hari delignifikasi ........................................................ 57 5. Data Analisa Proksimat Hidrolisis Tongkol Jagung ........................................................... 58 6. Dokumentasi sampel hasil hidrolisis ................................................................................... 61 7. Analisa Statistik Terhadap Kadar Protein ........................................................................... 62 8. Data Analisa Komponen Serat Hidrolisis Tongkol Jagung ................................................ 64 9.
Data Analisa Pembentukan Gula Hidrolisis Tongkol Jagung .......................................... 66
10. Analisa Statistik Terhadap Pembentukan Gula ................................................................. 67 11. Kecernaan bahan kering dan bahan organik hasil hidrolisis............................................. 69
vi
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Tongkol jagung merupakan salah satu bagian terbesar dari buah jagung yang menjadi tempat menempelnya seluruh biji jagung. Tongkol jagung umumnya menjadi limbah yang dibuang begitu saja di lingkungan dan terurai secara alami di alam. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, produksi jagung di Indonesia pada tahun 2009 adalah 17.6 juta ton pipilan kering dan diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya, sedangkan produksi tongkol jagung pada tahun yang sama mencapai 17.5 juta ton. Demikian halnya peningkatan produksi jagung akan diikuti peningkatan produksi tongkol jagung setiap tahunnya. Tongkol jagung sebagai salah satu limbah sektor pertanian memiliki kandungan serat yang terdiri dari komponen lignoselulosa yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Keberadaan komponen serat ini terutama selulosa sangat memungkinkan pemanfaatan tongkol sebagai pakan ternak ruminansia. Namun demikian, lapisan komponen lignoselulosa yang kuat dapat menyulitkan mikroba rumen ternak untuk mencerna tongkol jagung sebagai pakan. Dengan demikian dibutuhkan proses penguraian komponen lignoselulosa untuk meningkatkan kemampuan rumen mencerna tongkol jagung. Kebutuhan akan pakan ruminansia yang berkualitas merupakan suatu masalah yang penting untuk dipenuhi pada saat ini. Secara umum ruminansia diberi pakan rumput segar yang dapat diperoleh dengan mudah dari alam. Namun kebutuhan pakan di saat padang rumput berkurang dan musim kemarau tetap harus disediakan. Menurut Djajanegara (1999), ada beberapa kendala penyediaan pakan hijauan yaitu, terjadinya perubahan fungsi lahan sumber hijauan menjadi pemukiman, lahan tanaman pangan, dan tanaman industri. Di sisi lain, limbah pertanian seperti tongkol jagung, jerami, ampas tebu, ampas tebu, dan bahan sejenis lain dapat dijadikan sumber pakan bagi ternak ruminansia. Akan tetapi limbah pertanian dan perkebunan ini umumnya mempunyai kandungan protein dan kecernaan yang rendah. Rendahnya kecernaan ini diakibatkan keberadaan lignin yang menghalangi proses perombakan polisakarida dinding sel oleh mikroba yang terdapat pada rumen. Lapisan lignin dan hemiselulosa yang terikat merupakan bagian yang penting untuk dipisahkan dari tongkol jagung sehingga selulosa dapat dihidrolisa. Menurut Suparjo (2008), struktur berkristal serta adanya lignin dan hemiselulosa disekeliling selulosa merupakan hambatan utama dalam menghidrolisis selulosa. Kristalisasi selulosa dan pengerasan fibril selulosa oleh lignin membentuk suatu senyawa lignoselulosa yang keras. Efisiensi pemanfaatan selulosa sebagai sumber energi bagi ternak ruminansia sangat tergantung pada kemampuan ternak untuk memutus ikatan yang memproteksi selulosa dari serangan enzim selulase. Selulosa dan hemiselulosa pada lignoselulosa tidak dapat dihidrolisis oleh enzim selulase dan hemiselulase kecuali lignin yang ada pada substrat dilepaskan terlebih dahulu. Pemisahan lignin dan penguraian ikatan hemiselulosa dapat dilakukan dengan proses delignifikasi menggunakan bahan kimia, enzim, maupun pemanfaatan mikroba (Martina 2002). Delignifikasi dilakukan sebagai proses pendahuluan untuk memudahkan pelepasan selulosa dan menghilangkan lignin yang terkandung dalam tongkol jagung. Hidrolisis dilakukan untuk memutus sisa ikatan lignin dan hemiselulosa di sekitar selulosa sekaligus menguraikan selulosa menjadi glukosa.
1
Pemanfaatan mikroba merupakan salah satu alternatif yang diharapkan akan menguntungkan dibandingkan pemanfaatan bahan kimia ataupun enzim secara langsung. Penggunaan bahan kimia dalam untuk menghidrolisis selulosa sulit diterapkan karena membutuhkan energi yang tinggi, bahan kimia yang tidak sedikit, dan menghasilkan limbah yang berbahaya (Martina 2002). Hidrolisis dengan menggunakan enzim secara langsung juga baik untuk dilakukan, namun biaya yang sangat tinggi dapat menghalangi terlaksananya penelitian. Dengan kondisi tersebut, pemanfaatan mikroba untuk menghilangkan lignin dan hidrolisis selulosa yang terkandung dalam tongkol jagung merupakan salah satu cara yang baik dilakukan untuk mengubah tongkol menjadi pakan yang baik bagi ruminansia. Kapang Phanerochaete chrysosporium merupakan salah satu jenis kapang pelapuk putih yang baik untuk mendegradasi lignin sekaligus menguraikan ikatan polimer hemiselulosa dan selulosa. Menurut Hataka (2001), kapang pelapuk putih P. chrysosporium mampu mendegradasi lignin dan hemiselulosa lebih banyak dibandingkan selulosa, sehingga baik dimanfaatkan untuk proses delignifikasi. Bahan selanjutnya dihidrolisis dengan memanfaatkan kapang selulolitik. Trichoderma viride dan Aspergillus niger merupakan dua jenis kapang diharapkan dapat menghidrolisis selulosa sehingga daya cerna terhadap tongkol jagung dapat ditingkatkan. Penambahan sumber nitrogen dalam substrat pertumbuhan kapang juga diharapkan dapat meningkatkan kandungan protein tongkol jagung sebagai pakan ternak ruminansia.
B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh delignifikasi menggunakan kapang Phanerochaete chrysosporium dan hidrolisis oleh kapang selulolitik (Trichoderma viride dan Aspergillus niger) terhadap kualitas tongkol jagung yang akan digunakan sebagai bahan pakan ternak.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. TONGKOL JAGUNG Tongkol jagung merupakan salah satu limbah hasil pertanian dari buah jagung. Secara keseluruhan total bobot total, jagung terdiri dari 30 % bagian berupa tongkol jagung, sedangkan sisanya adalah biji dan kulit (Koswara 1991). Menurut Irawadi (1990), limbah pertanian (termasuk tongkol jagung) mengandung selulosa (40-60%), hemiselulosa (20-30%), dan lignin (15-30%). Komponen selulosa, hemiselulosa, dan lignin dalam tongkol jagung terikat satu sama lain dengan ikatan yang kompleks seperti terlihat pada Gambar 1. Menurut Perez et al. (2002), lapisan dinding sekunder terluar (S1) mempunyai struktur serat menyilang, lapisan S2 mempunyai mikrofibril yang paralel terhadap poros lumen, dan lapisan S3 mempunyai mikrofibril yang berbentuk heliks. Mikrofibril dikelilingi oleh hemiselulosa dan lignin. Bagian antara dua dinding sel disebut lamela tengah (M) dan diisi oleh hemiselulosa dan lignin. Selulosa secara alami terproteksi dari degradasi dengan adanya hemiselulosa dan lignin.
Gambar 1. Konfigurasi dinding sel tanaman (Perez et al. 2002)
Sampai saat ini tongkol jagung sudah dimanfaatkan untuk menghasilkan beberapa produk bernilai tambah seperti bioetanol, pakan ternak, maupun pengganti bahan bakar secara langsung. Sebagai pakan ternak, bahan yang mengandung komponen lignoselulosa (termasuk tongkol jagung) memiliki dua kelemahan yaitu tingkat kecernaan yang rendah dan kandungan protein yang rendah (Artika 2000). Karakteristik dan dan komposisi tongkol jagung dapat dilihat di Tabel 1. Serat kasar yang tinggi yang terkandung di dalam tongkol jagung merupakan bahan yang penting yang memungkinkan tongkol jagung dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Selulosa yang
3
tinggi dalam serat dapat dicerna oleh ternak ruminansia. Menurut Lynd et al. (2002), ternak ruminansia dapat memanfaatkan selulosa sebagai sumber energi utama dalam menyokong pertumbuhan, produksi, dan reproduksi. Selulosa merupakan komponen penyusun dinding sel tanaman yang tidak pernah ditemukan secara murni di alam, tetapi berikatan dengan bahan lain, yaitu lignin dan hemiselulosa.
Tabel 1. Komposisi Kimia Tongkol Jagung Komponen Air
% b.k 9.40
Komponen
% b.k
Protein N x 6,25
2.5
Selulosa
41
Lemak kasar
0.5
Hemiselulosa
36
Serat kasar
32
Xilan
30
Abu
1.5
Lignin
6
Ekstrak bebas nitrogen
53.5
Pektin
3
Neutral Deterjen Fiber
83
Total nutrien dapat dicerna
42
Pati
0.014
Sumber : Johnson (1991)
Struktur berkristal serta adanya lignin dan hemiselulosa disekeliling selulosa merupakan hambatan utama dalam menghidrolisis selulosa. Pemanfaatan selulosa oleh ternak sangat bergantung pada kemampuan ternak untuk memutus ikatan yang memproteksi selulosa. Pemutusan ikatan lignin yang memproteksi selulosa inilah yang disebut sebagai delignifikasi. Menurut Hofrichter (2002), lignin merupakan senyawa yang heterogen dengan berbagai tipe ikatan sehingga tidak dapat diuraikan oleh enzim hidrolisis. Namun lignin dapat didegradasi oleh kapang pelapuk kayu dan secara sempurna hanya oleh kapang pelapuk putih. Kapang Phanerochaete chrysosporium merupakan salah satu kapang yang dapat menguraikan ikatan dan mendegradasi lignin dengan bantuan enzim pendegradasi lignin.
B. Phanerochaete chrysosporium Phanerochaete chrysosporium adalah kapang pendegradasi lignin dari kelas Basidiomycetes yang tumbuh dalam bentuk sekumpulan miselia dan berkembang biak secara aseksual (melalui spora) atau secara seksual (Dhawale dan Katrina 1993). Kapang P. chrysosporium dapat mendegradasi lignin dan senyawa turunannya secara efektif dengan cara menghasilkan enzim peroksidase ekstraseluler yang berupa lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP) yang sama efektifitasnya dengan H2O2. Menurut Johjima et al. (1999), kapang P. chrysosporium dapat mendegradasi lignin dan berbagai polutan aromatik selama fase pertumbuhan stasioner yang dipacu oleh kekurangan nutrisi pada substrat. Skema sistem degradasi lignin oleh kapang tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
4
Gambar 2. Skema sistem degradasi lignin oleh Phanerochaete chrysosporium (Akhtar et al., 1997)
Menurut Fadillah et al. (2008), kapang P. chrysosporium dapat mendegradasi lignin pada batang jagung sebesar 81.4 % setelah inkubasi pada suhu 38 oC selama 30 hari. Degradasi lignin juga diikuti dengan degradasi selulosa walaupun jumlahnya relatif lebih sedikit yaitu sebesar 22.3 % setelah 30 hari inkubasi. P. chrysosporium adalah jenis kapang yang termasuk kelas Basidiomycetes tingkat tinggi yang dapat membentuk badan buah. Badan buah kelas Basidiomycetes memiliki ukuran yang beraneka ragam, mulai dari yang berukuran mikroskopik sampai dengan yang bergaris tengah sepanjang 3 kaki (Alexopoulus dan Mims 1979). Umumnya pada media dengan kandungan nitrogen yang rendah, P. chrysosporium mampu mendegradasi sebagian besar zat warna. Pada media dengan konsentrasi nitrogen yang cukup tinggi, fraksi zat warna yang terserap oleh biomassa akan meningkat. Struktur mikroskopis miselia P. chrysosporium dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur mikroskopis miselia P. chrysosporium (Michel 1999)
5
Untuk tumbuh dan berkembang dengan baik P. chrysosporium membutuhkan lingkungan dengan kondisi yang sesuai dengan karakteristiknya. Beberapa faktor fisiologis yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang adalah suhu, oksigen, konsentrasi ion hidrogen (pH), dan nutrisi. Lingkungan fisik lain yaitu cahaya dan aerasi serta lingkungan biologis seperti interaksi dengan mikroba lain, juga akan mempengaruhi laju degradasi oleh kapang. Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan kapang P. chrysosporium adalah antara 20-30 oC. Kapang ini dapat mengambil oksigen secara bebas dari udara untuk keperluan respirasi agar pertumbuhannya optimum. Kekurangan oksigen dapat menyebabkan terjadinya akumulasi karbon dioksida (CO2), sehingga pertumbuhan kapang terhambat. Umumnya kapang lebih menyukai suasana asam untuk pertumbuhannya. Kisaran pH optimum untuk kapang dari kelas Basidiomycetes adalah pH 4.5 – 5.5 (Chang dan Hayes 1978). Proses delignifikasi diharapkan dapat mendegradasi dan melepaskan ikatan lignin yang melapisi selulosa. Menurut Adaskaveg et al. (1995), P. chrysosporium mendegradasi komponen lignoselulosa secara selektif yaitu mendegradasi lignin substrat yang berwarna coklat dan meninggalkan selulosa yang berwarna putih. Dengan demikian lepasnya lignin tanpa terurainya selulosa akan memudahkan hidrolisis selulosa oleh kapang selulolitik.
C. Trichoderma viride Trichoderma viride adalah salah satu jenis kapang yang bersifat selulolitik karena dapat menghasilkan selulase (Wood 1985). Kapang ini mampu menghidrolisis selulosa tingkat tinggi dan memiliki kemampuan mensintesis beberapa komponen lignoselulosa yang terikat kuat dengan ikatan hidrogen. T. viride mampu menghasilkan selulase yang menghidrolisis selulosa pada biji-bijian sehingga dapat dicerna ternak. Selain itu T. viride mempunyai kemampuan meningkatkan protein bahan pakan dan pada bahan berselulosa mampu menghasilkan enzim selulase (Poesponegoro 1976). Kusumaningtyas dan Djaenudin (2006), menambahkan bahwa T. viride merupakan kapang yang bersifat antagonis terhadap berbagai jenis kapang patogen pada tanaman sehingga dapat dijadikan agen kontrol biologi. Trichoderma adalah kapang penghuni tanah yang dapat diisolasi dari perakaran tanaman lapangan (Gambar 4). Spesies Trichoderma di samping sebagai organisme pengurai, dapat juga berfungsi sebagai agen hayati dan stimulator pertumbuhan tanaman. Beberapa spesies Trichoderma telah dilaporkan sebagai agen hayati adalah T. harzianum, T. viride, dan T. konigii yang berspektrum luas pada berbagai tanaman pertanian. Biakan Trichoderma dalam media aplikatif seperti dedak dapat diberikan ke areal pertanaman dan berlaku sebagai biodekomposer. Dengan demikian Trichoderma viride memiliki kemampuan mendekomposisi limbah organik (rontokan dedaunan dan ranting tua) menjadi kompos yang bermutu. Selain itu, Trichoderma dapat juga digunakan sebagai biofungisida karena mampu menghambat pertumbuhan beberapa kapang penyebab penyakit pada tanaman antara lain Rigidiforus lignosus, Fusarium oxysporum, Rizoctonia solani, dan Sclerotium rolfsii (Ramada 2008). Ramada (2008) menyatakan bahwa pupuk biologis Trichoderma dapat dibuat dengan inokulasi biakan murni pada media aplikatif seperti dedak, sedangkan biakan murni dapat dibuat melalui isolasi dari perakaran tanaman, serta dapat diperbanyak dan diremajakan kembali pada media PDA (Potato Dextrose Agar).
6
(a)
(b)
Gambar 4. T. viride di tanah (a) dan struktur mikroskopis (b) (Volk 2006) Kapang Trichoderma viride juga digunakan untuk meningkatkan nilai manfaat jerami padi melalui kultivasi, karena kapang ini mempunyai sifat selulolitik dan mengeluarkan enzim selulase yang dapat merombak selulosa menjadi selobiosa hingga akhirnya menjadi glukosa. Proses yang terjadi ketika jerami padi dikultivasi menggunakan Trichoderma viride adalah terjadinya degradasi terhadap dinding sel yang diselaputi oleh lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Akibat degradasi ini, sebagian lignin akan terurai, sedangkan selulosa dan hemiselulosa juga akan terurai menjadi glukosa (Mandels dan Reese 1957).
D. Aspergillus niger Aspergillus niger termasuk kapang selulolitik yang menghasilkan selulase untuk menghidrolisis selulosa (Usama et al. 2008). Frazier dan Westhoff (1981), menyatakan bahwa Aspergillus niger merupakan kapang yang termasuk dalam genus Aspergillus, famili Moniliaceae, ordo Monoliales, dan kelas Fungi imperfecti. Aspergillus adalah kapang yang hifanya berseptat dan sporanya bersifat aseksual. Spora aspergillus berbentuk globula dan konidianya kasar dengan beberapa pita yang berpigmen. Ada dua macam pita pada Aspergillus, yaitu hifa yang terletak pada bagian terendam dari substrat, berfungsi untuk menyerap zat hara, sedangkan bagian yang menghadap ke permukaan berfungsi sebagai alat reproduksi. A. niger dapat tumbuh dengan cepat, sehingga dapat digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam glukonat, dan pembuatan beberapa enzim seperti amilase, pektinase, amiloglukosidase, dan selulase. Menurut Villena (2007), A. niger dapat memproduksi enzim lignoselulotik seperti enzim selulase dan enzim xilanase. A. niger dapat tumbuh pada suhu 35 ºC-37 ºC (optimum), 6 ºC-8 ºC (minimum), 45 ºC-47 ºC (maksimum), dan memerlukan oksigen yang cukup (Frazier dan Westhoff 1981). A. niger memiliki bulu dasar berwarna putih atau kuning dengan lapisan konidiospora tebal berwarna coklat gelap sampai hitam. Kepala konidia berwarna hitam, bulat, cenderung memisah menjadi bagian-bagian yang lebih longgar dengan bertambahnya umur. Konidiospora memiliki dinding yang halus, tetapi juga berwarna coklat. A. niger mempunyai koloni pada medium Czapek’s Dox mencapai diameter 4-5 cm dalam 7 hari dan terdiri dari suatu lapisan yang kompak berwarna putih hingga kuning dan suatu lapisan konidiofor yang lebat yang berwarna coklat tua hingga hitam. Konidia berbentuk bulat hingga semibulat, berwarna coklat, dan memiliki ornamentasi berupa tonjolan dan duri-duri yang tidak beraturan (Gambar 5).
7
A. niger memerlukan mineral (NH4)2SO4, KH2PO4, MgSO4, urea, CaCl2.7H2O, FeSO4, dan MnSO4.H2O untuk dapat tumbuh dengan baik. Bahan organik dengan kandungan nitrogen tinggi dapat dikomposisi lebih cepat dari pada bahan organik yang rendah kandungan nitrogennya pada tahap awal dekomposisi. Penurunan bahan organik disebabkan pemanfaatan karbon dan nitrogen sebagai sumber energi oleh A. niger untuk bahan penunjang pertumbuhan. A. niger dalam pertumbuhannya dipengaruhi langsung oleh zat makanan yang terdapat dalam substrat. Dalam hal ini molekul sederhana yang terdapat di sekeliling hifa dapat langsung diserap sedangkan molekul yang lebih kompleks harus dipecah dahulu sebelum diserap ke dalam sel.
(a)
(b)
Gambar 5. A. niger dalam bentuk spora (a) dan struktur mikroskopis (b) (Stajich 2007) Berdasarkan penelitian Sumangat (2003), kapang A. niger memiliki kemampuan untuk meningkatkan kadar protein pada kultivasi bahan berserat tinggi dengan adanya penambahan amonium sulfat (ZA) sebagai sumber nitrogen. Penelitian Sumangat (2003) menunjukkan adanya peningkatan kandungan protein pada serat jambu mete sampai 17 % melalui kultivasi dengan penambahan amonium sulfat sebanyak 3 % bahan. Menurut Garaway dan Evans (1984) dan Cochrane (1958) di dalam Risfaheri (1998), A. niger menghasilkan enzim urease yang dapat digunakan untuk menghidrolisis urea menjadi ion NH4+ dan CO2. Selanjutnya ion NH4+ ini digunakan untuk pembentukan asam amino yang merupakan penyusun protein.
E. DELIGNIFIKASI BIOLOGIS Lignin merupakan polimer tiga dimensi yang terdiri dari unit fenil propan yang diikat dengan ikatan eter (C-O-C) dan ikatan karbon (C-C). Lignin bersifat tahan terhadap hidrolisis karena adanya ikatan arilalkil dan ikatan eter. Lignin dengan struktur tiga dimensi merupakan material yang paling kuat dalam biomassa, serta sangat resisten terhadap degradasi, baik secara biologi, enzimatis, maupun kimia (Judoamidjojo et al. 1989). Menurut Fridia (1989), secara umum proses delignifikasi biologis merupakan perlakuan pendahuluan terhadap bahan baku, sehingga mempermudah pelepasan hemiselulosa, dan proses ini berfungsi untuk menghilangkan lignin. Pada proses delignifikasi, lignin dihilangkan, sehingga hemiselulosa dan selulosa mudah dihidrolisis. Menurut Anggraini (2003) delignifikasi dilakukan
8
dengan merendam serbuk tongkol jagung dalam larutan NaOCl 1 % selama 5 jam pada suhu 28 oC. Lignin akan terlarut pada fraksi cairan, sedangkan fraksi padatan merupakan hemiselulosa dan selulosa. Menurut Fengel dan Wegener (1995), bahan yang dikenai proses delignifikasi selain mengalami penurunan kandungan ligninnya juga mengalami penurunan selulosa dan hemiselulosa. Proses delignifikasi yang baik adalah yang menghasilkan holoselulosa dengan kandungan sisa lignin yang rendah, hilangnya polisakarida minimal, serta terjadi degradasi oksidatif dan hidrolitik selulosa minimal. Johjima et al. (1999) menambahkan bahwa delignifikasi atau degradasi lignin dilakukan oleh kapang Phanerochaete chrysosporium karena mampu menghasilkan lignin peroksidase (LiP) dan manganese peroksidase (MnP) sebagai produk metabolit sekunder. Kedua jenis enzim ini diproduksi untuk memecah lignin sekaligus memenuhi kebutuhan karbon Selulosa diekstraksi dengan cara merendam bahan hasil proses delignifikasi dalam larutan NaOH 15 % selama 24 jam pada suhu 28 oC (Anggraini 2003). Hemiselulosa yang terkandung pada bahan akan terlarut pada bahan tersebut. Fraksi padatan merupakan selulosa tongkol jagung. Pemisahan dilakukan menggunakan kain saring dengan dibilas dengan air berulang kali hingga pH 8. Kemudian dilakukan pencucian dan pengeringan. Pengeringan dilakukan pada suhu 50 oC selama 48 jam.
F. HIDROLISIS SELULOLITIK Hidrolisis adalah kelanjutan proses delignifikasi yang dilakukan untuk memecah selulosa menjadi monomer glukosa yang mudah dicerna oleh hewan ruminansia. Degradasi selulosa terjadi akibat adanya produksi enzim selulase yang yang dihasilkan oleh kapang selulolitik. Enzim merupakan katalis yang spesifik, seperti halnya enzim selulase dapat menghidrolisis selulosa dengan sedikit hasil samping. Enzim selulase yang berasal dari kapang merupakan suatu campuran yang terdiri atas tiga enzim yaitu endo β-glukonase, selobiohidrolase, dan β-glukosidase yang bekerja secara sinergi dalam menghidrolisis selulosa berkristal menjadi glukosa. Selobiohidrolase menyerang struktur berkristal selulosa dan menghasilkan selobiosa (disakarida). Endo beta glukonase menghidrolisis bagian amorf selulosa menjadi senyawa–senyawa dengan bobot molekul yang lebih kecil (beta– oligomer menjadi glukosa) (Sasaki 1982). Menurut Wasserman (1984), hidrolisis selulosa dengan enzim dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakan enzim yang telah diisolasi dari sumbernya atau dengan menggunakan mikroba penghasil enzim selulase. Enzim selulase pada umumnya tidak tahan terhadap panas. Aktivitasnya akan hilang sebanyak 50 % dengan pemanasan selama dua jam pada suhu 60 oC. Selulosa merupakan polimer yang tersusun atas unit-unit glukosa melalui ikatan α-1-4-glikosida dengan bentuk yang menumpuk dan terikat menjadi serat yang sangat kuat. Selulosa mempunyai dua macam ikatan hidrogen, yaitu hidrogen intramolekul dan ikatan hidrogen intermolekul. Struktur fibril dan kuatnya ikatan hidrogen menyebabkan selulosa bersifat tidak larut dalam berbagai pelarut (Achmadi 1989). Pemutusan ikatan pada selulosa untuk menghasilkan monomer glukosa disajikan pada Gambar 6. Gambar 6 menunjukkan sistem kerja enzim menghidrolisis selulosa menjadi glukosa dan gula sederhana lainnya. Enzim endoglukanase menghidrolisis secara acak bagian amorf selulosa serat menghasilkan oligosakarida dengan panjang yang berbeda dan terbentuknya ujung rantai
9
baru. Enzim eksoglukanase bekerja terhadap ujung pereduksi dan non pereduksi rantai polisakarida selulosa dan membebaskan glukosa yang dilakukan oleh enzim glukanohidrolase atau selobiosa yang dilakukan oleh enzim selobiohidrolase. Hidrolisis bagian berkristal hanya dapat dilakukan secara efisien oleh enzim eksoglukanase. Hasil kerja sinergis endoglukanase dan eksoglukanase menghasilkan molekul selobiosa. Hidrolisis selulosa secara efektif memerlukan enzim β-glukanase yang memecah selobiosa menjadi dua molekul glukosa (Howard 2003: Lynd et al. 2002). Hidrolisis dapat terjadi baik pada selulosa maupun hemiselulosa. Hemiselulosa dapat didegradasi menjadi xilosa dengan menggunakan asam dan enzim. Hidrolisis hemiselulosa secara asam dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, hidrolisis dengan menggunakan suhu tinggi atau menggunakan asam konsentrasi tinggi (Kosaric et al. 1983). Selain penggunaan asam dan panas, hidrolisis selulosa dan hemiselulosa juga dapat dilakukan dengan pemanfaatan enzim. Menurut Saddler (1993), hidrolisis sempurna xilan memerlukan aktivitas sinergis kelompok enzim hemiselulosa (hidrolitik), di antaranya adalah enzim endo-β-xilanase dan exo-β-xilosidase.
Gambar 6. Hidrolisis selulosa menjadi glukosa (Lynd et al. 2002)
G. PAKAN TERNAK RUMINANSIA Pakan ternak ruminansia dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu golongan pakan hijauan dan golongan pakan tambahan berupa konsentrat. Pakan hijauan dapat diperoleh dari jenis rumput, kacang-kacangan, daun pisang, daun nangka, dan hijauan lain. Pakan konsentrat adalah pakan tambahan yang kandungan proteinnya tinggi, diusahakan murah harganya, serta tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Jenis pakan ini dapat diperoleh dari limbah pertanian seperti tongkol jagung, ampas bir, bekatul, onggok, dan tetes. Untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak, dikenal istilah complete feed atau pakan lengkap yang berasal dari bahan bukan hijauan. Complete feed merupakan pakan yang terbuat dari limbah pertanian yang diformulasikan sedemikian sehingga semua nutrisi kebutuhan ternak ruminansia bisa dipenuhi. Kandungan
10
protein dan serat kasar yang dapat memenuhi kebutuhan ternak ruminansia masing-masing sebesar > 8 % dan > 15 % (Riwantoro 2005). Riwantoro (2005) juga menyatakan bahwa bahan-bahan yang biasa digunakan untuk pembuatan complete feed antara lain : (1) sumber serat kasar (jerami kedelai, tongkol jagung, pucuk tebu dan lain-lain), (2) sumber energi (pollard, dedak padi, bungkil tapioka, tetes dan lainlain), (3) sumber protein (bungkil kopra, bungkil sawit, bungkil minyak biji kapok atau klenteng, kulit kopi, kulit kakao, urea dan lain-lain), dan (4) sumber mineral (tepung tulang, campuran mineral, garam dapur dan lain-lain).
11
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku utama dalam penelitian ini adalah tongkol jagung manis kering yang diperoleh dari daerah Leuwiliang, Bogor. Kapang yang digunakan untuk proses delignifikasi adalah fungi pelapuk putih jenis Phanerochaete chrysosporium yang diperoleh dari Laboratorium Patologi, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Kapang lain yang digunakan adalah kapang selulolitik Aspergillus niger dan Trichoderma viride yang diperoleh dari Laboratorium Bioindustri, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bahan-bahan lain yang digunakan dalam proses delignifikasi dan hidrolisis tongkol jagung antara lain, media PDA (Potato Dextrose Agar), PDB (Potato Dextrose Broth), bekatul, spiritus, alkohol, akuades, glukosa, dan sumber mineral untuk media yang meliputi KH2PO4, MgSO4.7H2O, CaCl2.H2O, FeCl3.6H2O, ZnSO4.7H2O, CuSO4.5H2O. Bahan untuk analisis hasil delignifikasi dan hidrolisis adalah air destilata, heksan, H2SO4, NaOH, akuades, fenol, DNS (Dinitrosalisilat), natrium sulfit, Cetyl Trimethyl Amonium Bromida, pereaksi Neutral Detergent Fiber (NDF), enzim α-Amilase, bufer fosfat, dan bahan-bahan lain.
2. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain hammer mills, disc milling cutter, neraca analitik, penyaring 40-60 mesh, oven, otoklaf, inkubator, jarum Ose, plastik wrap, tabung reaksi, cawan petri, labu ukur, labu Erlenmeyer, aluminium foil, desikator, labu didih, tabung Soxhlet, kertas saring, sudip, penjepit, pengaduk kaca, gelas penyaring, kain saring, magnetic stirrer, gelas kimia, pipet, sumbat kapas, ruang asap, pompa vakum, pembakar Bunsen, clean bench, dan orbital shaker.
B. METODE PENELITIAN 1. Karakterisasi Bahan Baku Bahan baku berupa tongkol jagung dijemur dan dikeringkan untuk memudahkan proses pengolahan. Selanjutnya tongkol jagung kering dikecilkan ukurannya menggunakan hammer mill hingga ukuran ± 20 mesh dan dilanjutkan dengan disc milling cutter hingga ± 40 mesh. Pada tahap awal ini dilakukan uji proksimat, yaitu uji kadar air, protein kasar, lemak kasar, abu, serat kasar, serta penghitungan karbohidrat (by difference). Selain itu juga dilakukan analisis komponen serat yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Prosedur analisis untuk karakterisasi bahan baku disajikan pada Lampiran 1.
12
2. Delignifikasi Secara Biologis a. Persiapan Substrat Tongkol jagung berukuran 40 mesh dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer dan selanjutnya diberi tambahan mineral (Tabel 2) untuk persiapan pertumbuhan P. chysosporium.
Tabel 2. Komponen mineral untuk pertumbuhan P.chrysosporium Komponen
Jumlah (g/150 ml)
KH2PO4
7.20
MgSO4.7H2O
1.50
CaCl2.H2O
0.30
FeCl3.6H2O
0.045
ZnSO4.7H2O
0.023
CuSO4.5H2O
0.015
MnSO4.H2O
0.03
Sumber : Fadillah et al., (2008)
Larutan mineral selanjutnya ditambahkan ke dalam bahan dengan perbandingan 1.5 ml/g bahan padatan tongkol jagung. Campuran tongkol jagung dan mineral disterilisasi menggunakan otoklaf dengan suhu 121 oC selama 15 menit. b. Penyiapan Inokulum Kultur yang baik dijadikan inokulum adalah kultur yang segar. Untuk menyegarkan dan menumbuhkan kultur kapang yang telah disimpan sebagai stok kultur dalam cawan petri maka perlu dilakukan peremajaan kultur. Biakan Phanerochaete chrysosporium diremajakan dengan cara menginokulasikan kultur pada media agar miring Potato Dextrose Agar (PDA) yang sebelumnya telah disterilkan pada otoklaf selama 30 menit pada suhu 121oC. Selanjutnya kultur diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruang (30 oC). Untuk melihat pertumbuhan kapang pada media dilakukan pengamatan secara visual karena penampakan miselia pada media terlihat dengan jelas. Media yang digunakan untuk perbanyakan kultur adalah media cair Potato Dextrose Broth. Medium sebanyak 225 ml disiapkan, disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit dalam otoklaf, dan diinokulasi kapang segar setelah suhunya < 30 oC. Inokulasi dilakukan dengan mengambil 1-2 Ose isolat agar miring dan dicampurkan ke dalam media Potato Dextrose Broth (PDB). Inkubasi dilakukan pada shaker dengan kecepatan 140 rpm selama 6 hari.
13
c. Proses Kultivasi Sebanyak 150 g tongkol jagung yang telah tercampur dengan 225 ml larutan mineral disiapkan dalam keadaan steril untuk kultivasi. Media steril diinokulasi setelah suhunya di bawah 38 oC. Inokulasi inokulum cair dilakukan dengan perbandingan 0.25 ml/g tongkol jagung kering, sehingga suspensi kapang P. chrysosporium yang diinokulasi adalah sebanyak 37.5 ml untuk 150 g bahan kering. Proses kultivasi dilakukan pada suhu 30 oC selama 20 hari. Pertumbuhan kapang dihentikan dengan sterilisasi bahan dalam otoklaf bersuhu 121 oC selama 30 menit dan sterilisasi sinar ultraviolet selama 2 jam. d. Proses Hilir Tongkol jagung hasil delignifikasi diberi perlakuan pencucian dengan akuades bersuhu 60 oC untuk melarutkan lignin yang terlepas dan meregangkan ikatan lignoselulosa. Volume air yang digunakan untuk mencuci lignin adalah 500 ml/150 g tongkol awal. Tongkol jagung terdelignifikasi selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 50 oC selama 48 jam. Tongkol jagung hasil pencucian dan pengeringan disebut sebagai tongkol jagung terdelignifikasi. Bahan ini selanjutnya dianalisis untuk mengetahui perubahan yang terjadi terhadap kadar air, protein kasar, lemak kasar, abu, serat kasar, total gula, gula pereduksi, lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Prosedur analisis tongkol jagung terdelignifikasi disajikan pada Lampiran 1. Diagram alir proses delignifikasi dapat dilihat pada Gambar 7 dan Lampiran 2.
3. Hidrolisis Oleh Kapang Selulolitik a. Persiapan Substrat Bahan yang digunakan untuk proses hidrolisis selulolitik adalah tongkol jagung yang sebelumnya telah melalui proses delignifikasi sebanyak 75 g. Serbuk limbah tongkol jagung tersebut dimasukkan dalam wadah plastik, ditambah air sampai kadar 67 %, diberi perlakuan penambahan urea atau penambahan amonium sulfat 3 % (b/b). Selanjutnya bahan disterilisasi dalam otoklaf dengan suhu 121 oC selama 15 menit. b. Penyiapan Inokulum Biakan Aspergillus niger dan Trichoderma viride segar diperoleh dengan peremajaan pada media Potato Dextrose Agar (PDA) yang sebelumnya telah disterilkan di otoklaf selama 15 menit pada suhu 121oC. Selanjutnya kultur diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruang (30oC). Media yang digunakan pada perbanyakan kultur untuk penyiapan inokulum adalah media bekatul. Sebanyak 67.5 g bekatul kering direndam dalam 200 ml akuades selama 24 jam dan ditiriskan kemudian dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer dan disumbat kapas. Media disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit dalam otoklaf selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang (30oC) selama beberapa jam sampai siap diinokulasi kapang. Inokulasi kultur A. niger dan T. viride diawali dengan menambahkan 10 ml akuades steril ke dalam biakan (dalam PDA). Selanjutnya miselia dan spora tercampur dalam akuades
14
dan dituang merata ke dalam media bekatul. Inokulum selanjutnya diinkubasi selama 10 hari pada suhu ruang. Pada kondisi tersebut terlihat adanya pertumbuhan spora pada permukaan bekatul. c. Proses Kultivasi Inokulasi dilakukan setelah suhu media tongkol jagung steril berada di bawah 30 oC. Inokulum yang akan digunakan sebelumnya diaduk terlebih dahulu untuk meratakan kultur kapang yang tumbuh di dalam media. Inokulum T. viride dan A. niger diinokulasi masingmasing pada media yang berbeda sesuai dengan perlakuan yang digunakan. Inokulum yang diinokulasi adalah 15 % (b/b) dari bobot tongkol jagung hasil delignifikasi yang digunakan. Kultivasi dilakukan pada inkubator suhu ruang (± 25 oC) selama 9 hari d. Proses Hilir Tongkol jagung yang telah dikultivasi selama 9 hari selanjutnya dikeringkan untuk menghindari terjadinya perubahan komposisi bahan akibat aktivitas kapang. Selanjutnya tongkol jagung dianalisis kadar air, protein kasar, abu, lemak kasar, serat kasar, total gula, gula pereduksi, lignin, selulosa, hemiselulosa, dan daya cerna bahan secara in vitro. Prosedur analisis bahan hasil hidrolisis disajikan pada Lampiran 1. Diagram alir proses hidrolisis dapat dilihat pada Gambar 8 dan Lampiran 3.
4. Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial 3 x 2 dengan dua ulangan. Faktor pertama menunjukkan jenis sumber nitrogen, yaitu perlakuan penambahan urea [(CO(NH2)2], perlakuan penambahan amonium sulfat (ZA=[(NH4)2SO4]), dan perlakuan tanpa penambahan sumber nitrogen. Faktor kedua adalah waktu pengambilan sampel dalam kultivasi yaitu hari ke-0 dan hari ke-9. Model Rancangan Percobaan Acak Kelompok adalah sebagai berikut (Mattjik et al. 2006) : Yijk = u + Ai + Bj + ABij + €k(ij) Yijk u Ai Bj ABij €k(ij)
= variable respon dari hasil observasi ke-k yang terjadi karena pengaruh taraf faktor ke-i faktor jenis sumber nitrogen dan tarat ke-j waktu = nilai tengah populasi = efek dari taraf ke-i faktor jenis sumber nitrogen = efek dari taraf ke-j faktor waktu = efek interaksi antara taraf ke-i faktor jenis sumber nitrogen dan taraf ke-j faktor waktu = galat percobaan dari perlakuan jenis sumber nitrogen ke-i dan perlakuan waktu ke-j pada pengamatan ke-k.
Perlakuan rancangan percobaan dilakukan pada tahap hidrolisis tongkol jagung dengan pemanfaatan dua jenis kapang yang berbeda. Kapang yang pertama adalah Aspergillus niger
15
dan yang kedua adalah Trichoderma viride. Pengamatan dilakukan terhadap pembentukan oligosakarida (total gula) dan perubahan kadar protein. Data tersebut kemudian diolah dengan menggunakan program SPSS 15.0 untuk melihat keragaman yang terjadi pada setiap perlakuan dan interaksi antara perlakuan. Uji lanjut Duncan dilakukan jika terjadi pengaruh yang signifikan antara bahan pada perlakuan yang berbeda, sehingga dapat diketahui perbedaan yang terjadi antar level.
Biakan P. chrysosporium
Tongkol jagung kering (40 mesh) Campuran mineral
Penyegaran P. chrysosporium (agar cawan petri, suhu 30 oC, 6 hari)
Pembuatan inokulum (media PDB, 6 hari)
Inokulum cair P. chrysosporium (25 % v/b)
Delignifikasi (inkubasi suhu 30 oC, selama 20 hari)
Sterilisasi (suhu 121 oC selama 30 menit)
Pencucian dengan akuades bersuhu 60 oC
Tongkol jagung hasil delignifikasi
Analisis proksimat, lignin, hemiselulosa, selulosa, gula pereduksi, total gula, daya cerna in vitro
Gambar 7.
Diagram alir proses delignifikasi tongkol jagung dengan kapang Phanerochaete chrysosporium
16
Tongkol jagung hasil delignifikasi Biakan T. viride / A. niger Hidrolisis selulosa Penyegaran (agar miring, suhu 30 oC, 6 hari)
Inokulasi untuk inokulum (media bekatul, 10 hari)
• • • •
(A.niger , T.viride), (urea 3% (b/b), ZA 3% (b/b), dan tanpa sumber nitrogen tambahan) Suhu kamar, 9 hari, aerobik Kadar air 67 % (v/b)
Pengeringan inokulum padat (15 % b/b)
(Oven suhu 50 oC, 48 jam)
Analisa proksimat, lignin, ADF, NDF, gula pereduksi, total gula, dan daya cerna in vitro
Gambar 8.
Diagram alir proses hidrolisis tongkol jagung terdelignifikasi dengan kapang selulolitik.
17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tongkol jagung merupakan bahan yang mengandung komponen lignoselulosa yaitu lignin, selulosa, hemiselulosa, dan bahan ekstraktif lainnya. Seluruh komponen lignoselulosa ini merupakan sumber bahan organik yang dapat diperbaharui. Dalam hal produksi bahan pakan, selulosa merupakan komponen dalam tongkol jagung yang dapat dicerna oleh ternak ruminansia. Namun, pemanfaatannya terbatas karena adanya lignin yang merupakan komponen terikat pada selulosa dan tidak dapat dicerna oleh ternak. Proses delignifikasi diharapkan dapat melepaskan lignin, agar hidrolisis kapang selulolitik dapat berlangsung lebih baik. Dengan demikian kandungan selulosa dalam bahan menurun dan dihasilkan gula sederhana yang lebih mudah dicerna.
A. DELIGNIFIKASI TONGKOL JAGUNG
Bahan baku tongkol jagung merupakan bahan dengan karakteristik tertentu seperti kadar air, abu, serat kasar, protein kasar, dan lemak kasar. Kadar serat yang tinggi pada tongkol jagung terdiri dari lignin, hemiselulosa, dan selulosa. Hasil hidrolisis terhadap selulosa akan menghasilkan gula sederhana. Selain itu tongkol jagung yang dipersiapkan untuk menjadi pakan harus diketahui daya cernanya. Hasil analisis komponen kimia tongkol jagung awal disajikan pada Tabel 3. Karakteristik tongkol jagung dipengaruhi oleh jenis jagung, lahan penanaman, dan perlakuan yang diberikan selama jagung sebelum dan setelah dipanen. Hasil analisis tongkol jagung yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan dengan hasil analisis tongkol jagung yang dilakukan oleh Johnson (1991) pada Tabel 1. Seperti halnya pada pengujian diperoleh kadar serat yang lebih tinggi dan protein kasar yang lebih rendah dibandingkan data pada Tabel 1. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh umur jagung yang lebih tua, sehingga menghasilkan kadar serat yang lebih tinggi. Kadar air merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap mutu dan daya simpan bahan. Tongkol jagung mempunyai kadar air sebesar 10.71 % (Tabel 3), yang berarti bahwa bahan dalam keadaan relatif kering dan dapat disimpan dalam waktu yang lama. Hasil penelitian juga menunjukkan kadar serat yang tinggi dan protein yang rendah pada tongkol jagung. Keadaan inilah yang menyebabkan rendahnya mutu dan daya cerna ternak terhadap tongkol jagung. Kandungan selulosa sebesar 34.90 % dalam serat menunjukkan pentingnya proses degradasi selulosa. Selain itu, komponen lignin sebesar 10.97 % juga menjadi suatu alasan pentingnya dilakukan proses delignifikasi. Tongkol jagung merupakan bahan dengan penampang dinding sel yang sangat kompleks dengan lapisan lignin, hemiselulosa, dan selulosa. Karakteristik ini menyebabkan tongkol jagung lebih sulit untuk diuraikan dibandingkan bahan berserat lainnya. Untuk memudahkan pemanfaatan tongkol jagung, pada pendahuluan penelitian dilakukan proses pengecilan ukuran tongkol jagung menjadi ukuran tepung ± 40 mesh. Ukuran yang lebih halus juga bermanfaat untuk memudahkan kapang pendegradasi lignin untuk melepaskan kandungan lignin yang terkandung di dalam tongkol jagung. Keberadaan tongkol jagung dalam keadaan kering bermanfaat untuk memudahkan pengecilan ukuran tongkol jagung sekaligus mencegah tumbuhnya mikroba jenis tertentu sebelum tongkol dimanfaatkan untuk proses penelitian.
18
Konfigurasi dinding sel tanaman yang terdiri dari lapisan-lapisan lignin, hemiselulosa, dan selulosa (Gambar 1). Lapisan lignin merupakan lapisan paling luar yang membungkus selulosa dan hemiselulosa. Lapisan lignin tidak hanya membungkus selulosa dari satu sisi saja, tetapi secara keseluruhan lignin membungkus selulosa baik dari bagian luar maupun bagian dalam dinding sel tanaman. Pencacahan tongkol jagung akan menyebabkan luas permukaan tumbuh yang lebih besar dan diharapkan meningkatkan kinerja kapang P. chrysosporium untuk mendegradasi lignin dari dinding sel tanaman.
Tabel 3. Perubahan komposisi tongkol jagung sebelum dan setelah delignifikasi Bahan awal
Hasil
sebelum
Delignifikasi, pencucian, dan
delignifikasi
pengeringan
(% b.k)
(% b.k)
Air ( % b.b)
10.71
6.67
Abu
1.89
3.52
Protein kasar
0.67
3.73
Lemak kasar
2.35
2.65
Serat kasar
88.64
58.99
5.76
31.10
Lignin
10.97
9.02
Hemiselulosa
51.41
44.61
Selulosa
34.90
38.27
Gula pereduksi
0.07
0.08
Total gula
1.45
0.36
Komponen
Komponen proksimat
Karbohidrat (by difference) Komponen serat Komponen gula
Proses delignifikasi dalam penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan kapang pendegradasi lignin jenis pelapuk putih yaitu P. chrysosporium. Kapang P. chrysosporium memiliki kemampuan degradasi lignin yang baik dan hanya menguraikan komponen serat lain dalam jumlah yang kecil. Kapang akan mendegradasi lignin menjadi produk yang larut dalam air dan CO2 (Boyle et al. 1992), sehingga bahan hasil delignifikasi diberi perlakuan pencucian dengan air. Suhu air yang digunakan untuk melarutkan bahan hasil degradasi lignin adalah 60 oC dengan tujuan agar lignin dapat terlarut lebih sempurna dan ikatan lignoselulosa dapat direnggangkan. Renggangnya ikatan lignoselulosa akan memudahkan hidrolisis tongkol jagung. Namun demikian, penggunaan suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan lignin akan terurai menjadi asam format, metanol, asam asetat, aseton, dan vanillin (Jujoamidjoyo et al. 1989) Pengaruh degradasi kapang P. chrysosporium terhadap kandungan lignin dalam tongkol jagung dapat diketahui dari analisis lignin yang dilakukan terhadap bahan. Hasil penelitian memperlihatkan adanya penurunan lignin dari bahan awal terhadap bahan hasil delignifikasi (Tabel 3). Tongkol jagung yang pada awalnya mengandung lignin sampai 10.97 % mengalami penurunan sebesar 17.76 % sehingga kadar lignin tongkol jagung setelah delignifikasi menjadi
19
9.02 %. Selain lignin, hemiselulosa juga mengalami penurunan sampai 13.22 % terhadap kadar hemiselulosa awal. Penurunan kandungan hemiselulosa disebabkan oleh adanya penguraian hemiselulosa oleh kapang P. chrysosporium menjadi ikatan-ikatan yang lebih sederhana. Menurut Perez et al. (2002), kapang P. chrysosporium menghasilkan enzim endoxilanase yang berperan dalam pemecahan xilan menjadi oligosakarida. Xilan adalah karbohidrat utama yang menyusun hemiselulosa. Hasil analisis menunjukan adanya peningkatan kadar protein kasar dari hasil proses delignifikasi terhadap tongkol jagung. Kadar protein kasar sebesar 0.67 % pada bahan sebelum delignifikasi meningkat menjadi 3.73 % setelah delignifikasi. Adanya miselium kapang yang tersisa di dalam bahan hasil delignifikasi dapat meningkatkan kandungan protein dalam tongkol jagung terdelignifikasi. Menurut Darma (2002), kandungan protein dalam biomassa miselium atau tubuh buah jamur adalah ± 9.25 %. Berbeda dengan protein, kandungan lemak kasar dalam tongkol jagung terdelignifikasi tidak menunjukkan peningkatan. Dengan demikian dapat dikatakan proses delignifikasi tidak berpengaruh terhadap kadar lemak bahan. Kadar serat kasar mengalami penurunan sebagai akibat dari berkurangnya kandungan lignin dan hemiselulosa dalam bahan. Selain itu penurunan serat juga dapat diperngaruhi oleh terlarutnya komponen serat lain seperti pektin dan gum oleh proses pencucian. Penguraian hemiselulosa menjadi xilan dan gula sederhana lainnya juga menyebabkan turunnya kandungan serat kasar dalam bahan. Gula sederhana dan komponen lain akan terhitung sebagai komponen karbohidrat (by difference). Keadaan inilah yang menyebabkan meningkatnya karbohidrat (by difference) dalam bahan. Data hasil analisis gula pereduksi pada tongkol jagung sebelum dan setelah delignifikasi tidak menunjukkan perubahan yang cukup signifikan, sehingga dapat diketahui bahwa perlakuan delignifikasi tidak memberi pengaruh yang nyata terhadap peningkatan kadar gula pereduksi pada bahan. Hal tersebut memperlihatkan rendahnya kemampuan kapang P. chrysosporium untuk menghasilkan enzim pendegradasi selulosa menjadi gula sederhana. Berbeda dengan gula pereduksi, analisis total gula menunjukkan penurunan total gula pada tongkol jagung yaitu 1.45 % sebelum delignifikasi dan 0.36 % setelah delignifikasi. Sebenarnya penurunan ini tidak disebabkan oleh proses delignifikasi, tetapi adanya penurunan total gula diakibatkan proses pencucian tongkol jagung terdelignifikasi dengan air panas setelah delignifikasi. Pencucian tongkol jagung hasil delignifikasi melarutkan glukosa, xilan, gula sederhana, serta monosakarida dan disakarida lain yang larut dalam air. Kapang P. chrysosporium mendegradasi lignin pada fase stasioner yang merangsang pembentukan enzim. Fase ini diindikasi dengan terlihatnya spora pada media pertumbuhan kapang sebagai akibat kondisi kekurangan nutrisi. Menurut Johjima et al. (1999), kapang P. chrysosporium dapat mendegradasi lignin dan berbagai polutan aromatik selama fase pertumbuhan stasioner yang dipacu oleh kekurangan nutrisi dalam substrat, sehingga menghasilkan dua enzim peroksidase yaitu lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP). Penanaman kapang P. chrysosporium dilakukan dengan pemberian substrat cair untuk mendukung pertumbuhan kapang menjadi lebih baik seperti digambarkan foto pertumbuhan kapang pada Lampiran 4. Dengan lapisan dinding struktur tongkol jagung yang sulit diuraikan, maka penambahan substrat cair sampai 150 % (substrat cair/tongkol jagung) dimaksudkan untuk menumbuhkan kapang secara maksimum di tahap awal, sehingga dihasilkan enzim yang tinggi pada fase stasioner. Selama fase stasioner, enzim LiP akan memecah unit non fenolik yang menyusun 90 % lignin, sedangkan enzim MnP memutus unit fenolik yang menyusun lignin (Johjima 1999).
20
Gambar 9 memperlihatkan adanya perbedaan struktur mikroskopis tongkol jagung sebelum didelignifikasi dengan tongkol jagung hasil delignifikasi. Gambar (a) merupakan struktur tongkol jagung berukuran 40 mesh yang belum diberi perlakuan apa pun. Struktur yang terlihat terputusputus adalah akibat pengecilan ukuran tongkol jagung, namun dalam hal ini struktur bahan masih kompleks terdiri dari lapisan lignin, hemiselulosa, dan selulosa. Menurut Lynd (2002), delignifikasi dapat dilakukan dengan pengecilan ukuran bahan, akan tetapi hal tersebut tidak dapat mengubah struktur molekul tongkol jagung secara keseluruhan.
Gambar 9.
(a)
(b)
(c)
(d)
Pengamatan mikroskopis (a) tongkol jagung awal, (b) tongkol jagung hasil delignifikasi, (c) tongkol jagung awal (terpolarisasi), (d) tongkol jagung hasil delignifikasi (terpolarisasi). Perbesaran 400 x.
Gambar 9 (b) merupakan struktur tongkol jagung setelah proses delignifikasi. Struktur yang terlihat pada gambar ini lebih acak dan berongga dibandingkan dengan struktur tongkol jagung awal yang tersusun rapat. Bagian yang berongga adalah struktur tongkol jagung yang telah terpisahkan dari lapisan lignin. Walaupun lapisan lignin tidak terlepas seluruhnya oleh proses delignifikasi, namun ikatan lignoselulosa yang lebih berrongga oleh enzim pendegradasi lignin akan memudahkan degradasi selulosa dan hemiselulosa di lapisan dalam tongkol jagung. Gambar 9 (c dan d) merupakan penampakan struktur mikroskopis tongkol jagung dengan bantuan cahaya (polarisasi). Kedua gambar ini juga menunjukkan adanya perbedaan yang jelas dari struktur tongkol jagung sebelum dan setelah delignifikasi. Gambar (c) yang merupakan struktur tongkol jagung awal memperlihatkan struktur yang rapat. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya rongga yang memperlihatkan struktur penampang yang lebih jelas. Bagian penampang
21
yang rapat dan berwarna kecoklatan merupakan struktur penyusun bahan yang belum terhidrolisis. Gambar (d) memperlihatkan adanya pantulan cahaya sebagai akibat dari struktur yang longgar dan memungkinkan cahaya tembus dan ditunjukkan bagian berwarna putih. Bagian berongga ini adalah struktur yang awalnya dilapisi oleh lignin, tetapi menjadi longgar karena terlepasnya lignin oleh proses delignifikasi. Selain itu struktur yang kosong disebabkan terlepasnya fraksi terlarut tertentu dalam bahan, baik oleh proses delignifikasi maupun proses pencucian.
B. HIDROLISIS TONGKOL JAGUNG Hidrolisis tongkol jagung dilakukan terhadap tongkol jagung hasil delignifikasi dengan tujuan untuk menguraikan komponen selulosa yang terdapat dalam tongkol jagung menjadi gula sederhana. Keberadaan kandungan gula yang meningkat dan komponen selulosa yang berkurang menjadi parameter yang baik untuk pemanfaatan tongkol jagung sebagai pakan ternak.
1. Perlakuan Hidrolisis Penelitian ini memanfaatkan dua jenis kapang selulolitik yaitu Aspergillus niger dan Trichoderma viride. Kedua jenis kapang ini memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim selulolitik untuk mendegradasi selulosa ataupun hemiselulosa yang terkandung di dalam tongkol jagung. Karakteristik tongkol jagung dengan kandungan serat yang tinggi membutuhkan kultur kapang yang proporsional dan aktif untuk mendegradasi selulosa. Dengan demikian, diperlukan perbanyakan kultur dalam bentuk inokulum. Substrat inokulum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bekatul dengan karakteristik kandungan nitrogen (N) yang tinggi. Kandungan protein dan karbohidrat yang tinggi dalam bekatul diharapkan menjadi subsrat penyedia karbon (C) dan nitrogen (N) untuk perbanyakan inokulum lebih cepat. Komponen kimia dalam bekatul yang digunakan sebagai substrat inokulum disajikan pada Tabel 4. Kandungan nitrogen yang tinggi dalam substrat inokulum diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan kapang selulolitik, sehingga diperoleh inokulum dengan konsentrasi miselium kapang yang baik untuk menghidrolisis tongkol jagung secara langsung. Inokulum yang siap dan baik ditanam ke tongkol jagung adalah inokulum yang pada berada pada pertumbuhan kapang fase stasioner yang ditunjukkan dengan munculnya spora. Menurut Suhartono (1989), organisme pembentuk spora biasanya memproduksi enzim tertentu pada fase pasca eksponensial. Jadi dapat diduga bahwa pada saat aktivitas enzim yang dihasilkan tinggi, maka kapang telah berada pada fase stasioner. Rendahnya sumber C dan N dalam inokulum selama fase stasioner akan mengarahkan kapang untuk menghidrolisis tongkol jagung secara langsung. Dengan demikian dapat diperoleh degradasi komponen lignoselulosa yang lebih baik. Hidrolisis tongkol jagung ataupun hidrolisis selulosa dapat dilakukan dengan memanfaatkan beberapa cara seperti hidrolisis enzimatik dan hidrolisis asam. Menurut Subekti (2006), hidrolisis enzim lebih banyak menghasilkan gula dibandingkan hidrolisis asam. Hal ini terjadi karena enzim selulase yang dihasilkan mikroba merupakan enzim kompleks, sehingga tongkol jagung dapat dihidrolisis dengan sempurna. Howard (2003) menyatakan
22
bahwa degradasi selulosa oleh fungi merupakan hasil kerja sekelompok enzim selulolitik yang bekerja secara sinergis. Enzim selulolitik terdiri dari enzim endoglukanase, eksoglukanase, dan β-glukanase. Produksi enzim oleh kapang sebenarnya dipengaruhi oleh pola pertumbuhan mikroba yaitu fase adaptasi, fase eksponensial, dan fase stasioner. Menurut Darwis et al. (1995), pada awal kultivasi aktivitas enzim selulase masih sangat rendah. Aktivitas enzim akan meningkat sejalan dengan bertambahnya waktu kultivasi dan menurun pada hari ke-10.
Tabel 4. Komposisi kimia bekatul (substrat inokulum) Komponen
% b.k
Air (% b.b)
9.26
Lemak Serat
16.34 13.42
Protein
14.56
Abu Karbohidrat (by difference)
12.19 39.10
2. Karakteristik Produk Hasil Hidrolisis Proses kultivasi tongkol jagung terdelignifikasi dengan memanfaatkan kapang selulolitik akan menyebabkan adanya perubahan komposisi bahan selama kultivasi. Perubahan dapat terjadi karena penggunaan nutrisi yang terkandung dalam bahan untuk pertumbuhan kapang. Selain itu kapang juga dapat memanfaatkan menghasilkan enzim yang mendegradasi kandungan serat dalam bahan sebagai sumber nutrisi. Dengan demikian perubahan dapat terjadi pada seluruh komponen yang terkandung dalam tongkol jagung yang dikultivasi. a. Komponen Proksimat Analisis proksimat tongkol jagung hasil hidrolisis dilakukan untuk mengetahui adanya perubahan komposisi yang terjadi pada tongkol jagung sebelum dan setelah hidrolisis. Pengamatan yang dilakukan adalah terhadap kadar air, abu, lemak kasar, protein kasar, dan serat kasar. Hasil analisis proksimat terhadap bahan dengan perlakuan sumber nitrogen dan jenis kapang yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 5 dan Lampiran 5. Bahan yang digunakan dalam penelitian dikeringkan, sehingga kadar air bahan berada pada kisaran 3 % sampai 10 %. Bahan dalam keadaan kering bermanfaat untuk menghindari perubahan komposisi jika disimpan dalam jangka waktu yang lebih lama. Keberadaan kapang pada substrat dengan kadar air yang rendah juga dapat menghambat pertumbuhan spora kapang yang tercampur di dalam bahan kering siap uji. Dengan demikian terjadinya hidrolisis lanjut yang berpengaruh terhadap komposisi bahan dapat diminimalkan. Secara umum kultivasi tongkol jagung memanfaatkan kapang selulolitik menyebabkan terjadinya penurunan kandungan protein dan lemak dalam bahan. Penurunan ini dapat disebabkan oleh pemanfaatan komponen protein dan lemak sebagai nutrisi yang mendukung pertumbuhan kapang selama fase eksponensial. Menurut Fardiaz (1988),
23
kapang memanfaatkan karbohidrat, protein, dan lemak untuk pertumbuhan dan pembentukan massa sel kapang yang dapat menghasilkan CO2, H2O, dan energi. Perlakuan penambahan sumber nitrogen dalam proses hidrolisis tongkol jagung dengan kapang selulolitik adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mengetahui apakah sumber nitrogen berpengaruh terhadap komponen protein kasar pada bahan tongkol jagung. Secara umum, hasil analisis kadar protein kasar tongkol jagung menunjukkan perbedaan kemampuan kapang A. niger dan T. viride dalam menguraikan urea ataupun amonium sulfat. Berdasarkan analisa statistik yang dilakukan pada taraf α = 0.05, penambahan sumber nitrogen dan interaksi penambahan nitrogen dengan waktu memberi pengaruh nyata terhadap kadar protein kasar kultivasi A. niger. Sedangkan waktu kultivasi tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan kandungan protein kasar. Uji lanjut Duncan pada taraf α = 0.05 menunjukkan perlakuan urea sebagai sumber nitrogen memberikan hasil yang berbeda nyata. Analisa statistik untuk hasil kultivasi T. viride menunjukkan adanya pengaruh nyata interaksi penambahan nitrogen dengan waktu terhadap protein kasar dalam bahan. Berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf α = 0.05, pengaruh ini tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap kandungan protein dalam bahan. Analisa statistik terhadap kadar protein dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil penelitian menunjukkan bahwa A. niger merupakan jenis kapang yang mampu memanfaatkan sumber nitrogen serta meningkatkan kadar protein kasar dengan adanya protein sel setelah proses hidrolisis. Kemampuan A. niger meningkatkan kadar protein tongkol jagung terlihat dari peningkatan kadar protein kasar setelah kultivasi dengan penambahan amonium sulfat sebagai sumber nitrogen. Namun, kemampuan tersebut tidak terlihat pada bahan yang diberi perlakuan penambahan urea. Tongkol jagung dengan penambahan amonium sulfat mengalami peningkatan kadar protein kasar sampai 73.77 % terhadap kadar protein awal (Tabel 5). Sedangkan tongkol jagung dengan penambahan urea mengalami penurunan protein kasar sebagai akibat dari penggunaan nitrogen sebagai substrat oleh kapang dan tidak diimbangi oleh sumbangan protein sel kepada kapang. Menurut Tjakradidjaja et al. (2007), kultivasi dengan kapang dapat mengakibatkan sedikit penurunan pada protein kasar bahan. Selama proses kultivasi berlangsung, kandungan protein substrat dapat menurun karena proses proteolitik (penguraian protein untuk pertumbuhan), tetapi dapat juga meningkat karena terjadi perombakan bahan kering dan terbentuknya protein tubuh kapang (Wang et al. 1979). T. viride juga dapat dinyatakan sebagai kapang yang dapat memanfaatkan bahan yang mengandung nitrogen untuk meningkatkan kadar protein. Dengan demikian T. viride memiliki kemampuan untuk meningkatkan protein kasar yang terkandung dalam tongkol jagung, baik dengan penambahan urea maupun dengan penambahan amonium sulfat. Data menunjukkan kemampuan T. viride meningkatkan protein kasar dari 1.64 % menjadi 2.86 % pada tongkol jagung yang ditambahkan urea. Selain itu T. viride juga mampu meningkatkan kandungan protein kasar tongkol jagung bersubstrat ZA sebesar 20.89 % terhadap bahan awal.
24
Tabel 5. Hasil analisis proksimat tongkol jagung sebelum dan setelah hidrolisis
Abu
Serat Kasar (% b.k)
(% b.k)
Perlakuan
Protein kasar
Lemak kasar
(% b.k)
(% b.k)
Karbohidrat (by difference) (% b.k)
H0
H9
H0
H9
H0
H9
H0
H9
H0
H9
AU
5.74
3.76
49.26
55.78
3.30
3.00
2.94
1.55
38.77
35.90
AZ
5.36
4.22
52.05
57.73
1.22
2.12
1.38
1.80
39.99
34.13
AT
5.03
4.46
49.92
58.68
1.93
1.73
3.46
1.78
39.65
33.35
VU
4.59
5.46
52.72
58.99
1.64
2.86
2.14
1.32
38.92
31.36
VZ
5.26
4.80
51.34
57.41
2.01
2.43
2.32
2.11
39.07
33.26
VT
4.87
4.73
52.59
57.62
2.72
0.83
2.10
1.35
37.72
35.48
Keterangan : A : hidrolisis A. niger V : hidrolisis T. viride T : tanpa penambahan sumber nitrogen H 0 : sebelum hidrolisis (hari ke-0)
U : urea sebagai sumber nitrogen Z : amonium sulfat (ZA) sebagai sumber nitrogen H 9 : setelah hidrolisis (hari ke-9)
25
Perubahan kandungan protein kasar pada bahan tongkol jagung dipengaruhi oleh perbedaan pertumbuhan kapang pada masing-masing perlakuan. Substrat dengan pertumbuhan kapang yang lebih baik akan meningkatkan protein lebih tinggi dibandingkan dengan substrat lain yang pertumbuhan kapangnya kurang baik. Protein kasar hasil kultivasi dapat berupa protein sel yang berasal dari kapang T. viride yang digunakan dalam kultivasi dan nitrogen yang berasal dari amoniasi. Menurut Prayuwidayati (2008), hanya protein dari amonisasi yang berpengaruh terhadap kecernaan bahan pakan. Namun demikian, protein mikroba berperan penting untuk meningkatkan kandungan nitrogen atau produksi amonia. Gambar 10 menunjukkan adanya perubahan protein kasar yang terkandung dalam bahan dengan perlakuan yang berbeda. Dari Gambar 10 tersebut dapat diketahui adanya peningkatan protein kasar pada bahan yang diberi perlakuan penambahan amonium sulfat dan penambahan urea pada hidrolisis menggunakan T. viride. Sebaliknya penurunan kandungan protein kasar terjadi pada tongkol jagung yang tidak ditambah sumber nitrogen untuk kedua kapang dan perlakuan urea pada hidrolisis Aspergillus niger. Kandungan protein pada kultivasi A. niger dengan penambahan urea memang menurun, namun kadar protein setelah hidrolisis tetap lebih tinggi dibandingkan hasil kultivasi yang lain. Urea mampu meningkatkan kandungan protein kasar dalam tongkol jagung lebih baik dibandingkan amonium sulfat. Sebagai sumber nitrogen, urea dapat menyediakan kebutuhan nitrogen lebih baik dibandingkan amonium sulfat. komposisi nitrogen dalam urea berdasarkan perbandingan bobot molekul adalah 46.67 % sedangkan komposisi nitrogen dalam amonium sulfat berdasarkan bobot molekul adalah 20.51 %. Tersedianya sumber nitrogen yang lebih tinggi memampukan kapang tumbuh lebih baik dan akan meningkatkan kadar protein jika protein tubuh kapang terbentuk.
3,50 3,00 2,50 Protein kasar 2,00 % bk 1,50 1,00 0,50 0,00
H 0 H 9 AU
AZ
AT
VU
VZ
VT
perbedaan perlakuan Keterangan : A : hidrolisis A. niger V : hidrolisis T. viride T : tanpa penambahan sumber nitrogen H 9 : setelah hidrolisis (hari ke-9)
U : urea sebagai sumber nitrogen Z : ZA sebagai sumber nitrogen H 0 : sebelum hidrolisis (hari ke-0)
Gambar 10. Perubahan nilai protein kasar bahan pada perlakuan berbeda
Kapang membutuhkan substrat nitrogen untuk pertumbuhan dan aktivitas kapang. Hal ini terbukti dengan menurunnya kandungan protein kasar pada bahan yang tidak diberi
26
penambahan sumber nitrogen. Baik Aspergillus niger maupun Trichoderma viride memanfaatkan unsur nitrogen yang terkandung di dalam tongkol jagung untuk pertumbuhan kapang, sehingga pada kedua perlakuan terlihat adanya penurunan total kandungan nitrogen bahan. Abu merupakan mineral dalam bahan yang tidak mudah terbakar selama proses pembakaran. Kadar abu dipengaruhi oleh jenis bahan yang dianalisis, kondisi bahan, umur bahan, dan faktor lain yang berpengaruh terhadap karakteristik bahan (Darliah 2008). Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan bahan anorganik dan unsur mineral yang terdapat dalam suatu bahan. Hasil pengamatan menunjukkan kadar abu bahan secara umum tidak berubah secara signifikan dengan persentase penurunan yang sangat kecil yaitu lebih kecil dari 1 %. Menurut Fardiaz dan Rambitan (1989), serat kasar merupakan residu dari bahan makanan atau pertanian setelah diberi perlakuan asam dan alkali mendidih. Secara umum serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, dan bahan ekstraktif lainnya. Secara keseluruhan, hidrolisis dengan perlakuan kapang berbeda dan menggunakan sumber nitrogen yang berbeda menunjukkan kadar serat yang meningkat. Secara teoritis, kadar serat bahan akan menurun oleh adanya proses degradasi selulosa oleh A. niger atau T. viride. Degradasi selulosa yang terjadi di dalam bahan diindikasi oleh peningkatan kadar total gula. Kadar serat dapat meningkat sebagai akibat adanya kandungan serat dalam miselium dan spora kapang yang teranalisis sebagai serat kasar. Keberadaan spora yang cukup banyak dapat terlihat secara kasat mata seperti tergambar pada foto bahan hasil hidrolisis di Lampiran 6. Anonim (2010), menyatakan bahwa miselium kapang memiliki kandungan serat yang berkisar antara 7.4-27.6%. Gandjar et al. (2006) menambahkan bahwa salah satu komponen penting dinding sel kapang adalah khitin dan kitosan. Kedua komponen terebut terhitung sebagai serat kasar pada analisis proksimat. Dengan demikian, peningkatan kandungan serat kasar dapat disebabkan oleh keberadaan spora dan miselium kapang dalam bahan yang diuji. Peningkatan serat pada seluruh perlakuan setelah proses hidrolisis tongkol jagung juga berkaitan dengan susut bobot yang terjadi selama proses kultivasi. Menurut Artika (2010), peningkatan susut bobot disebabkan oleh adanya pemanfaatan komponen non-serat oleh kapang, sehingga mengakibatkan perubahan komposisi substrat. Perubahan komposisi substrat menyebabkan perubahan nilai serat secara persentase, sehingga persentase serat menjadi lebih tinggi. b. Komponen Serat Serat merupakan komponen utama yang mendukung kinerja dari mikroba rumen yang ada di dalam saluran pencernaan ternak. Secara umum komponen serat kasar terdiri dari komponen selulosa, hemiselulosa, lignin, pektin, gum, dan komponen residu lainnya. Lignin, hemiselulosa, dan selulosa merupakan lapisan penyusun dinding sel tanaman termasuk tongkol jagung. Agar menghasilkan hidrolisis yang berjalan dengan baik, perlakuan delignifikasi dibutuhkan untuk mengurangi keberadaan lignin yang membungkus holoselulosa di bagian terluar, sehingga selulosa maupun hemiselulosa dapat didegradasi.
27
Hasil pengamatan pada Tabel 6 menunjukkan adanya peningkatan pada jumlah komponen NDF (Neutral Detergent Fiber) pada seluruh perlakuan. Demikian halnya ADF (Acid Detergent Fiber) juga mengalami peningkatan pada seluruh perlakuan kultivasi. Menurut Monro (1996), NDF menyatakan jumlah lignin, selulosa, dan hemiselulosa dalam serat bahan, sedangkan ADF menyatakan jumlah selulosa dan lignin yang terkandung di dalam serat bahan. Selama proses kultivasi tongkol jagung oleh kapang selulolitik, kapang memanfaatkan nutrisi yang terkandung di dalam substrat untuk mempertahankan pertumbuhan kapang. Hal inilah yang diduga menyebabkan berkurangnya bahan ekstraktif yang terkandung pada seluruh perlakuan bahan hasil kultivasi. Dalam kondisi kehabisan nutrisi, kapang akan menghasilkan selulase untuk mendegradasi selulosa menjadi gula sederhana. Dengan demikian seharusnya kadar NDF yang terkandung dalam bahan berkurang. Peningkatan kandungan bahan NDF secara persentase dapat disebabkan oleh terjadinya susut bobot bahan selama proses kultivasi dengan berkurangnya bahan ekstraktif yang dimanfaatkan oleh kapang. Hasil penelitian Artika (2010) menunjukkan bahwa selama proses kultivasi, pemanfaatan kapang selulolitik akan menyebabkan peningkatan susut bobot seiring dengan bertambahnya waktu kultivasi. Kultivasi media padat dengan T. viride selama 9 hari dapat menurunkan susut bobot bahan sampai pada kisaran 40-50 %. Beberapa faktor yang menyebabkan susut bobot pada proses kultivasi adalah adanya pelepasan karbondioksida oleh respirasi sel. Selain itu, proses kultivasi di suhu ruang juga memungkinkan adanya air dalam media padat yang lepas oleh proses penguapan. Dengan demikian, penurunan bobot tidak sepenuhnya bergantung pada pertumbuhan biomassa, tetapi dapat digunakan untuk menduga seberapa jauh bahan dikonversi menjadi biomassa. Selama proses kultivasi, kapang dapat mendegradasi selulosa dengan baik jika selulosa dalam keadaan bebas dari ikatan lignin dan hemiselulosa. Dalam kondisi tertentu, kapang juga dapat menghasilkan enzim yang dapat mendegradasi lignin maupun hemiselulosa dengan tujuan untuk mendapatkan selulosa. Widjaja (2008), menyatakan bahwa Aspergillus niger dapat menghasilkan enzim xilanase yang mampu mendegradasi hemiselulosa terbesar 32,83% dan degradasi lignin sebesar 23,12% pada proses biobleaching industri kertas. Keadaan ini menunjukkan bahwa kapang selulolitik dapat mendegradasi komponen lignoselulosa secara acak. Hal ini jugalah yang memungkinkan dihasilkannya data komponen serat yang beragam setelah kultivasi (Lampiran 8). Degradasi selulosa yang oleh selulase yang dihasilkan kapang selulolitik dilakukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pertumbuhan biomassa. Penanaman kultur dorman (hidup tetapi tidak tumbuh) ke dalam substrat tongkol jagung dalam penelitian ini dilakukan untuk mempercepat degradasi selulosa oleh kapang. Proses kultivasi akan meningkatkan total gula dalam bahan, jika degradasi selulosa menghasilkan gula melebihi kebutuhan pertumbuhan biomassa. Sebaliknya kebutuhan nutrisi yang tidak diimbangi degradasi selulosa akan menurunkan total gula dalam bahan. Adanya peningkatan total gula yang terjadi dalam bahan membuktikan bahwa kapang memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mendegradasi selulosa. Peningkatan gula pereduksi setelah kultivasi juga menunjukkan adanya pemecahan selulosa menjadi gula-gula sederhana. Glukosa yang terbentuk ini kemudian dipakai lagi oleh kapang sehingga kadarnya menjadi turun kembali. Menurut Rao et al. (1986), kehadiran produk hidrolisis selulosa terutama glukosa dapat menghambat kerja hidrolitik enzim selulase.
28
Tabel 6. Hasil analisis komponen serat tongkol jagung sebelum dan setelah hidrolisis
Perlakuan
ADF
NDF
Bahan ekstraktif
Selulosa
Hemiselulosa
Kadar lignin
(% b.k)
(% b.k)
(% b.k)
(% b.k)
(% b.k)
(% b.k)
H0
H9
H0
H9
H0
H9
H0
H9
H0
H9
H0
H9
AU
39.09
46.01
73.56
76.88
23.93
19.02
35.65
34.97
23.93
19.02
9.82
9.21
AZ
38.88
44.16
73.74
79.26
23.68
16.77
36.08
39.06
23.68
16.77
9.24
9.83
AT
39.26
44.79
78.02
83.38
19.21
12.88
40.15
42.33
19.21
12.88
7.35
11.03
VU
38.31
55.08
76.56
76.60
18.01
16.74
42.69
33.85
18.01
16.74
10.44
7.61
VZ
38.86
47.14
77.66
73.70
20.94
19.85
39.17
29.03
20.94
19.85
6.82
10.85
VT
39.21
49.80
79.32
78.82
19.74
15.49
39.22
35.02
19.74
15.49
9.25
9.98
Keterangan : A : hidrolisis A. niger V : hidrolisis T. viride T : hidrolisis tanpa penambahan sumber nitrogen H 9 : setelah hidrolisis (hari ke-9)
U : urea sebagai sumber nitrogen Z : ZA sebagai sumber nitrogen H 0 : sebelum hidrolisis (hari ke-0)
29
Tujuan utama hidrolisis adalah terdegradasinya selulosa menjadi gula yang lebih sederhana. Kultivasi yang diharapkan adalah keadaan yang menyebabkan semakin tingginya kandungan selulosa yang terdegradasi. Namun demikian, proses hidrolisis tidak sepenuhnya hanya terjadi pada selulosa, tetapi dapat terjadi juga pada hemiselulosa. Data hasil analisis pada Tabel 6 menunjukkan adanya penurunan kadar selulosa pada seluruh bahan tongkol jagung yang dihidrolisis oleh kapang T. viride. Perlakuan penambahan amonium sulfat dan kultivasi selama 9 hari menurunkan kadar selulosa 25.88 % terhadap selulosa awal. Penambahan urea pada substrat menyebabkan penurunan selulosa sebesar 20.70 % terhadap selulosa awal, sedangkan kultivasi substrat tanpa penambahan sumber nitrogen menurunkan kadar selulosa hanya sebesar 10.70 % terhadap selulosa awal. Hal ini menunjukkan bahwa T. viride merupakan kapang selulolitik yang baik untuk degradasi selulosa. Hidrolisis oleh A. niger sebaliknya menunjukkan peningkatan kadar selulosa setelah bahan dikultivasi selama 9 hari. Baik pada perlakuan penambahan amonium sulfat dan tanpa sumber nitrogen menunjukkan peningkatan kadar selulosa 8.25 % dan 5.42 % terhadap kandungan selulosa awal. Kultivasi dengan penambahan urea menunjukkan penurunan kadar selulosa sampai 1.90 % terhadap selulosa awal. Berdasarkan data ini diketahui bahwa A. niger bersifat selulolitik, namun kurang baik untuk mendegradasi selulosa pada tongkol jagung dibandingkan T. viride. Selulosa sebagai penyusun utama dinding sel tanaman merupakan komponen yang berikatan sangat erat dengan lignin dan hemiselulosa. Menurut Coughlan (1989), selulosa terdiri dari 15–14000 unit molekul glukosa dengan rantai panjang yang terhubung secara bersama melalui ikatan hidrogen dan gaya van der Waals. Selulosa tidak larut dalam air dingin, air panas, asam panas, maupun alkali panas, sehingga dapat diketahui bahwa perlakuan pencucian sebelum hidrolisis tidak berpengaruh terhadap kandungan selulosa dalam bahan tongkol jagung. Secara umum kandungan serat dalam tongkol jagung akan berpengaruh terhadap kecernaan bahan sebagai pakan ternak ruminansia. Penurunan kandungan selulosa oleh proses hidrolisis belum dapat menjadikan tongkol jagung sebagai pakan konsentrat yang baik. Hal ini disebabkan kandungan serat kasar yang masih tinggi dan di atas 15 %. Selain itu, persentase ADF dan NDF yang semakin tinggi akan menurunkan kecernaan bahan. Sutardi (1980), menyatakan bahwa kandungan ADF dan lignin pada hijauan erat hubungannya dengan daya cerna pakan ternak. Kadar lignin yang tinggi akam mengakibatkan rendahnya koefisien cerna bahan pakan. c. Struktur Mikroskopis Tongkol Jagung Hasil Hidrolisis Pengamatan mikroskopis struktur dinding penampang tongkol jagung hasil delignifikasi dilakukan untuk mengetahui dan melihat ada tidaknya perubahan struktur serat akibat hidrolisis kapang selulolitik. Pengamatan struktur dengan perbesaran sampai 400 x akan memperlihatkan lapisan lapisan dinding dengan kerapatan penampang yang berbeda dan adanya bagian berongga sebagai dampak penguraian atau pemotongan ikatan. Gambar 11 menunjukkan struktur tongkol jagung sebagai hasil hidrolisis kapang Aspergillus niger. Penampang yang tidak teratur, berongga, dan acak merupakan hasil degradasi dinding sel yang terjadi karena adanya degradasi selulosa menjadi gula sederhana. Bagian yang terlihat berwarna hitam pada keseluruhan gambar merupakan
30
spora dari A. niger yang terdapat di dalam bahan tongkol jagung terhidrolisis. Spora-spora tersebut menempel pada bagian serat tongkol jagung karena dihasilkan selama fase generatif kapang.
U~a
U~b
Z~a
Z~b
T~a Gambar 11.
T~b
Struktur mikroskopik tongkol jagung hasil hidrolisis A. niger dengan mikroskop cahaya (a) dan cahaya terpolarisasi (b) dengan penambahan urea (U), ZA (Z) dan tanpa penambahan sumber N (T)
Pengamatan mikroskopik tidak terpolarisasi sebenarnya tidak dapat membandingkan secara jelas perbedaan hasil degradasi selulosa oleh kapang. Namun demikian penampang yang tidak teratur dengan serat yang berongga-rongga pada keseluruhan perlakuan penelitian menunjukkan kemampuan A. niger untuk menghidrolisis selulosa pada seluruh perlakuan. Pengamatan struktur mikroskopis bahan dengan polarisasi dapat memberi kemudahan untuk mengidentifikasi bagian-bagian serat yang masih tertinggal di dalam
31
bahan. Bagian berwarna kemerahan pada pengamatan adalah struktur amorf dan fraksi terlarut pada bahan, bagian berwarna biru menunjukkan struktur kristalin, sedangkan bagian berwarna keemasan adalah struktur dinding sel yang masih kompak dan belum terdegradasi dengan baik. Menurut Fengel dan Wegener (1984), selulosa mengandung sekitar 85 % bagian berkristal dan sisanya adalah bagian amorf. Umumnya setelah selulosa amorf dilepaskan, akan diperoleh partikel berbentuk batang dari selulosa kristalin. Hasil pengamatan di Gambar 11 menunjukkan struktur serat kristalin yang merata pada hidrolisis A. niger dengan tambahan amonium sulfat. Struktur pada bahan dengan kode U ~ b dan T ~ b terlihat masih terdiri dari penampakan keemasan atau struktur selulosa yang masih kompak. Namun demikian, pengamatan ini tidak dapat digunakan untuk menyatakan keadaan bahan secara keseluruhan karena sampel yang berupa bubuk halus memiliki penampakan yang berbeda sebagai akibat perbedaan kinerja kapang penghidrolisis pada masing-masing penampang tongkol jagung. Gambar 12 menunjukkan struktur mikroskopik penampang serat tongkol jagung yang dihidrolisis oleh kapang T. viride. Struktur pada pengamatan tidak terpolarisasi memperlihatkan bagian penampang serat yang acak berongga seperti halnya pada penampang tongkol jagung terhidrolisis A. niger. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum kapang T. viride memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mendegradasi selulosa pada seluruh perlakuan penelitian. Struktur penampang yang menunjukkan adanya bagian yang berwarna kemerahan adalah struktur amorf dan fraksi terlarut sebagai hasil hidrolisis. Pada gambar berkode U, Z, T (b), hanya terlihat sedikit bagian serat kristalin (biru), dan sedikit struktur serat yang masih kompleks (keemasan). Dengan demikian dapat diketahui adanya kemampuan degradasi selulosa yang lebih baik dari T. viride dibandingkan dengan A. niger. Menurut Susetyaningsih (2010), molekul selulosa membentuk mikrofibril yang terdiri dari daerah teratur (kristalin) dan diselingi daerah amorf yang kurang teratur. Beberapa mikrofibril membentuk fibril yang akhirnya menjadi serat selulosa. Selulosa yang strukturnya padat dan kompak akan mengalami hidrolisis akibat adanya enzim selulase. Enzim akan menyerang sturuktur selulosa terutama pada bagian amorf, sehingga kekompakannya akan berkurang. Semakin lama waktu hidrolisis, maka semakin banyak juga bagian yang diserang oleh enzim. Hasil pengamatan mikroskopik secara keseluruhan memperlihatkan pengaruh hidrolisis tongkol jagung terhadap kerusakan struktur bahan, baik amorf maupun kristalin. Rusaknya struktur lignoselulosa oleh enzim yang dihasilkan oleh kapang akan memudahkan tongkol jagung untuk diuraikan oleh mikroba rumen dalam proses pencernaan pakan.
32
U~a
U~b
Z~a
Z~b
T~a Gambar 12.
T~b
Struktur mikroskopik tongkol jagung hasil hidrolisis T. viride dengan mikroskop cahaya (a) dan cahaya terpolarisasi (b) dengan penambahan urea (U), ZA (Z) dan tanpa penambahan sumber N (T)
d. Pembentukan Oligosakarida Total gula merupakan gula terlarut yang dilepaskan dari hasil hidrolisis selulosa dengan menggunakan kapang selulolitik. Total gula hasil hidrolisis dianalisis dengan menggunakan metode Fenol dengan prinsip bahwa gula sederhana, oligosakarida, polisakarida, dan turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat menghasilkan warna orange yang stabil. Hasil penelitian menunjukkan nilai total gula yang berbeda-beda untuk setiap perlakuan dalam penelitian (Tabel 7). Secara keseluruhan, perlakuan dalam penelitian mengakibatkan penurunan kandungan total gula setelah melalui proses hidrolisis kapang selulolitik. Khusus untuk perlakuan tongkol jagung bersubstrat amonium sulfat yang dihidrolisis Trichoderma viride terjadi peningkatan total gula sampai 107 % terhadap
33
kandungan total gula awal. Perlakuan lain yang masih menunjukkan peningkatan kandungan total gula adalah hidrolisis Aspergillus niger dengan substrat urea yaitu peningkatan sebesar 8.77 % terhadap bahan awal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Narasimha et al. (2006), bahwa urea adalah substrat yang optimal dan efisien dalam proses kultivasi untuk menghasilkan enzim selulase. Perlakuan penambahan sumber nitrogen dalam substrat kapang selulolitik akan memenuhi kebutuhan nitrogen yang mempercepat pertumbuhan kapang. Sumber nitrogen yang baik akan menunjukkan pertumbuhan kapang yang lebih baik dan memungkinkan kapang untuk mendegradasi selulosa yang terdapat dalam tongkol jagung untuk memenuhi kebutuhan karbon. Kapang yang tidak mampu menghidrolisis selulosa dengan baik akan memanfaatkan gula yang terkandung dalam bahan untuk pertumbuhannya sehingga kadar gula dalam tongkol jagung berkurang. Hidrolisis dengan kultivasi selama 9 hari menunjukkan bahwa kapang T. viride memiliki kemampuan mendegradasi selulosa lebih baik dibandingkan A. niger. Selain itu, kapang T. viride memiliki kemampuan tumbuh yang lebih baik pada perlakuan penambahan amomium sulfat dibandingkan dengan urea. Menurut Enari (1983), kapang T. viride memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim endoglukanase dalam jumlah besar, namun sedikit menghasilkan β-glukosidase. Endoglukanase merupakan enzim yang menyerang bagian amorf serat kasar, sedangkan β-glukosidase mengubah selobiosa dan oligosakarida menjadi glukosa. Dengan demikian, kapang T. viride memiliki sistem produksi enzim yang baik untuk mendegradasi selulosa.
Tabel 7. Perubahan gula pereduksi, total gula, dan derajat polimerisasi produk sebelum dan setelah hidrolisis Gula Pereduksi
Total Gula
(% b.k)
(% b.k)
Perlakuan
Derajat Polimerisasi
H0
H9
H0
H9
H0
H9
AU
0.16
0.35
0.57
0.62
3.55
1.78
AZ
0.41
0.22
0.87
0.69
2.13
3.08
AT
0.33
0.23
0.80
0.62
2.45
2.73
VU
0.25
0.26
0.56
0.55
2.22
2.09
VZ
0.25
0.52
0.52
1.08
2.08
2.08
VT
0.22
0.18
0.69
0.31
3.18
1.76
Keterangan : A : hidrolisis A. niger V : hidrolisis T. viride T : hidrolisis tanpa penambahan sumber nitrogen H 9 : setelah hidrolisis (hari ke-9)
U : urea sebagai sumber nitrogen Z : ZA sebagai sumber nitrogen H 0 : sebelum hidrolisis (hari ke-0)
Berdasarkan analisa statistik yang dilakukan pada taraf α = 0.05, sumber nitrogen dan waktu berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai kandungan total gula bahan hasil kultivasi A. niger. Sedangkan interaksi antar faktor tidak memberi pengaruh nyata terhadap total gula. Uji lanjut Duncan pada taraf α = 0.05 menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada kandungan total gula baik dengan penambahan urea maupun amonium sulfat. Analisa
34
statistik pada hasil kultivasi T. viride menunjukkan adanya pengaruh nyata penambahan sumber nitrogen, waktu, serta interaksinya terhadap kandungan total gula bahan. Berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf α = 0.05, penambahan amonium sulfat memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap total gula bahan. Data pembentukan gula secara keseluruhan disajikan pada Lampiran 9 dan analisis statistik total gula disajikan pada Lampiran 10. Gambar 13 menunjukkan perbedaan yang nyata dari perubahan nilai total gula bahan sebelum dan setelah hidrolisis kapang selulolitik. Secara keseluruhan total gula tongkol jagung hasil hidrolisis tertinggi mencapai 1.08 % yaitu pada perlakuan hidrolisis T. viride dan amonium sulfat sebagai sumber nitrogen. Dengan adanya pengaruh nyata perlakuan penambahan sumber nitrogen terhadap total kandungan gula dalam bahan, maka dari data dapat disimpulkan bahwa penambahan amonium sulfat mempengaruhi peningkatan total gula pada kultivasi dengan T. viride. Demikian halnya penambahan urea mempengaruhi peningkatan total gula pada kultivasi dengan A. niger. Semakin tinggi aktifitas enzim selulase dalam suatu proses hidrolisis, maka total gula dan gula pereduksi yang dihasilkan semakin tinggi juga. Gambar 13 menunjukkan terjadinya perubahan kandungan gula pereduksi yang berbeda-beda untuk setiap perlakuan kultivasi yang dilakukan. Peningkatan kadar gula pereduksi pada kultivasi A.niger dengan subsrat urea menunjukkan kemampuan kapang untuk menghasilkan enzim β-glukosidase yang dapat memecah selobiosa menjadi molekul glukosa. Menurut Lynd et al. (2003), dalam proses hidrolisis, enzim endoglukanase bekerjasama dengan enzim exoglukananse dan β-glukosidase untuk menghidrolisis selulosa. Endoglukanase berperan menghidrolisis secara acak bagian amorf selulosa serat menjadi oligosakarida. Enzim eksoglukanase bekerja pada ujung pereduksi dan non-pereduksi rantai polisakarida menghasilkan selobiosa dan selobiosa dipecah menjadi dua glukosa oleh enzim β-glukosidase.
1,20 1,00 0,80 Total gula 0,60 (% b.k) 0,40
H 0 H 9
0,20 0,00 AU
AZ
AT VU VZ Perbedaaan perlakuan
Keterangan : A : hidrolisis A. niger V : hidrolisis T. viride T : hidrolisis tanpa penambahan sumber nitrogen H 9 : setelah hidrolisis (hari ke-9)
VT
U : urea sebagai sumber nitrogen Z : ZA sebagai sumber nitrogen H 0 :sebelum hidrolisis (hari ke-0)
Gambar 13. Perubahan nilai kandungan total gula pada perlakuan hidrolisis
35
Hidrolisis kapang memanfaatkan T. viride juga menunjukkan adanya peningkatan gula pereduksi pada perlakuan penambahan amonium sulfat sebagai sumber nitrogen. Gambar 14 memperlihatkan peningkatan gula pereduksi pada perlakuan ini yaitu 0.25 % sebelum hidrolisis dan 0.52 % setelah hidrolisis atau peningkatan 108 % terhadap bahan awal. Hal ini menunjukkan kemampuan T. viride dengan penambahan ZA untuk menghidrolisis selulosa lebih baik dibandingkan kapang yang lain. Hidrolisis dengan T. viride dengan penambahan urea menunjukkan peningkatan gula pereduksi yang rendah.
0,60 0,50 0,40 Gula pereduksi (% b.k )
0,30
H 0
0,20
H 9
0,10 0,00 AU
AZ
AT VU VZ Perbedaan perlakuan
Keterangan : A : hidrolisis A. niger V : hidrolisis T. viride T : hidrolisis tanpa penambahan sumber nitrogen H 9 : setelah hidrolisis (hari ke-9)
Gambar 14.
VT
U : urea sebagai sumber nitrogen Z : ZA sebagai sumber nitrogen H 0 : sebelum hidrolisis (hari ke-0)
Perubahan nilai gula pereduksi tongkol jagung sebelum dan setelah hidrolisis
Berbeda dengan perlakuan penambahan urea, kultivasi A. niger dengan penambahan amonium sulfat dan tanpa sumber nitrogen menunjukkan kandungan gula pereduksi yang lebih rendah dibandingkan bahan awal. Demikian juga kultivasi T. viride tanpa penambahan sumber nitrogen menunjukkan keadaan yang sama. Secara umum, kapang A. niger dan T. viride memiliki kemampuan untuk mendegradasi selulosa menjadi selobiosa dan gula sederhana. Menurut Gong dan Tsao (1979), enzim selulase yang dihasilkan oleh genus Trichoderma terdiri dari selobiohidrolase sebagai komponen yang paling banyak, sedangkan enzim selulase yang dihasilkan Aspergillus didominasi oleh komponen β-glukosidase. Dalam keadaan inilah kemampuan A. niger untuk mansintesis selulase terhambat sebagai akibat adanya penumpukan glukosa dan gula lain yang mudah digunakan sebagai media pertumbuhan (fenomena represi katabolit). Aktivitas enzim selulase mendegradasi selulosa yang terkandung dalam bahan akan meningkatkan kadar gula pereduksi dan total gula. Akan tetapi, kapang juga memanfaatkan gula pereduksi yang terbentuk sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan dan pembentukan biomassa. Penurunan gula pereduksi dalam hal ini akan diikuti dengan semakin rendahnya total gula dalam bahan. Dengan demikian, penurunan selulosa tidak dapat memastikan gula yang terkandung dalam bahan tetap ataupun meningkat.
36
Derajat polimerisasi (DP) merupakan perbandingan antara total gula dengan gula pereduksi yang menunjukkan seberapa besar rantai polisakarida yang dapat dipecah menjadi monosakarida. Semakin kecil nilai derajat polimerisasi menunjukkan semakin baik proses pemutusan ikatan selulosa yang terjadi dan semakin tingginya gula sederhana yang terbentuk. Hasil pengamatan menunjukkan nilai derajat polimerisasi yang berkisar antara 1.76-3.08. Data hasil hidrolisis (Tabel 7) menunjukkan nilai derajat polimerisasi terendah pada perlakuan kultivasi T. viride tanpa penambahan sumber nitrogen, sedangkan yang tertinggi pada kultivasi A. niger dengan penambahan amonium sulfat. Perubahan nilai DP yang tidak sama pada setiap perlakuan dapat dipengaruhi oleh kemampuan kapang mendegradasi selulosa menjadi gula sederhana dan pemanfaatan gula kembali oleh kapang. Keadaan ini dipengaruhi jumlah dan kemampuan kerja enzim selulase yang dapat dihasilkan kapang. Kerja enzim endoglukanase dan eksoglukanase akan meningkatkan kandungan total gula, tetapi belum berarti meningkatkan gula pereduksi. Keberadaan dan aktivitas enzim β-glukosidase selanjutnya mendegradasi selobiosa menjadi gula sederhana, sekaligus meningkatkan persentase gula pereduksi dalam total gula. Menurut Artika (2010), peningkatan derajat polimerisasi dapat disebabkan oleh meningkatnya total gula sebagai akumulasi gula dalam bentuk yang kompleks. Menipisnya kandungan gula sederhana akan memaksa kapang selulolitik untuk memproduksi kembali enzim ekstraseluler untuk mencerna serat sebagai sumber karbon pertumbuhannya. Dengan demikian, hidrolisis selulosa yang baik ditandai dengan kemampuan kapang menguraikan selulosa sampai menjadi gula sederhana. Nilai DP yang rendah menunjukkan terbentuknya komponen oligosakarida pada akhir kultivasi. Keberadaan oligosakarida dalam pakan dapat meningkatkan nilai nutrisi tongkol jagung sebagai pakan ternak ruminansia. Oligosakarida dalam pakan dapat meningkatkan kecernaan bahan dengan mempercepat pertumbuhan bakteri dan protozoa yang terdapat dalam rumen hewan ruminansia. Dengan demikian tongkol jagung hasil hidrolisis dapat berperan sebagai senyawa prebiotik dalam pakan. Menurut Roberfoird (1997), prebiotik merupakan komponen zat makan yang menyebabkan kesehatan pada inangnya dengan cara selektif menstimulasi pertumbuhan atau aktivitas beberapa bakteri yang menguntungkan dalam saluran cerna. Penyediaan nutrisi dalam pakan untuk pertumbuhan mikroba rumen akan membantu fungsi rumen bekerja dengan baik untuk mencerna pakan.
e. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik (In Vitro) Kecernaan bahan makanan adalah bagian bahan makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan dan tidak dibuang bersama feses. Bagian ini diasumsikan terserap dalam tubuh ternak. Kecernaan biasanya dinyatakan dalam persen terhadap bahan kering pakan. Jika dinyatakan dalam persen terhadap konsumsi pakan, maka disebut koefisien cerna (Cullinson 1978). Menurut Ranjhan (1977), nilai kecernaan bahan pakan merupakan salah satu peubah kualitas bahan pakan. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian daya cerna untuk mengetahui pengaruh perlakuan hidrolisis terhadap peningkatan daya cerna tongkol jagung terdelignifikasi sebagai pakan. Pengujian dilakukan terhadap bahan dengan peningkatan kandungan gula tertinggi sebagai parameter hasil degradasi selulosa. Nilai
37
koefisien cerna bahan kering (KCBK) dan koefisien cerna bahan organik (KCBO) disajikan pada Lampiran 11. Hasil penelitian pada Tabel 8 menunjukkan peningkatan persentase KCBK tongkol jagung hasil kultivasi terbaik dari masing-masing kapang selulolitik. Peningkatan kecernaan tertinggi diperoleh pada kultivasi menggunakan A. niger dengan penambahan urea yaitu 15.03 % terhadap tingkat kecernaan bahan kering awal. Demikian juga halnya kultivasi menggunakan kapang T. viride juga menunjukkan peningkatan persentase KCBK. Peningkatan kecernaan tongkol jagung hasil kultivasi terbaik kapang T. viride adalah 14.11 %. Nilai KCBK yang lebih tinggi pada bahan menunjukkan bahwa serat yang terdapat dalam bahan lebih mudah dicerna oleh mikroba rumen.
Tabel 8. Peningkatan kecernaan bahan kering dan bahan organik tongkol jagung terhidrolisis Peningkatan KCBK
Peningkatan KCBO
(% b.k)
(% b.k)
AU
15.03
8.11
VZ
14.11
13.76
Perlakuan
Keterangan : A : hidrolisis A. niger V : hidrolisis T. viride
U : urea sebagai sumber nitrogen Z : ZA sebagai sumber nitrogen
Menurut McDonald et al. (1995), kandungan serat bahan sangat berpengaruh terhadap nilai kecernaan bahan. Semakin tinggi kandungan serat maka kecernaan akan semakin rendah sebagai akibat kemampuan mikroba rumen berbeda untuk mencerna serat kasar. Perbedaan peningkatan dalam penelitian ini berkaitan dengan kadar selulosa bahan tongkol jagung yang telah dihidrolisis. Kandungan selulosa yang tinggi menyebabkan rendahnya kemampuan mikroba rumen untuk mencerna bahan. Kecernaan bahan pada perlakuan VZ seharusnya lebih tinggi dibandingkan perlakuan AU, karena kandungan selulosa yang lebih rendah. Akan tetapi kandungan lignin yang lebih tinggi pada hasil kultivasi VZ mengurangi kecernaan bahan, sehingga KCBK lebih rendah. Sutardi (1980) menambahkan bahwa KCBK juga dapat dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda. Selain KCBK, koefisien cerna bahan organik (KCBO) dianalisis untuk mengetahui persentase bahan organik yang dapat dicerna oleh ruminansia dari keseluruhan bahan kering yang dicerna. Menurut McDonald et al. (1995), KCBO adalah salah satu faktor utama yang menyatakan nilai nutrisi dari pakan ternak (hijauan). Hasil penelitian menunjukkan peningkatan persentase KCBO sebesar 8.11 % untuk tongkol jagung hasil kultivasi AU (Tabel 8). Tongkol jagung hasil kultivasi VZ meningkatkan KCBO sebesar 13.76%. Perbedaan peningkatan ini diduga dipengaruhi oleh kandungan total gula yang berbeda dalam bahan. Kandungan gula yang tinggi dalam bahan VZ memungkinkan bahan organik dalam bahan tercerna lebih baik dibandingkan kultivasi AU. Selain sebagai nutrisi, kandungan gula akan memudahkan aktivitas mikroba rumen untuk menguraikan selulosa. Menurut Sutardi (1980), KCBO memiliki kecenderungan yang sama dengan KCBK karena bahan kering suatu makanan sebagian besar terdiri dari bahan organik (karbohidrat,
38
lemak, protein). Secara umum, kecernaan bahan kering dan bahan organik dalam bahan dipengaruhi oleh kandungan serat kasar dan bahan organik dalam bahan serta kemampuan mikroba rumen untuk mencerna pakan. Menurut Ahmad (2001), ada tiga hal yang mempengaruhi kecernaan bahan yaitu total pakan yang dapat larut, jumlah mikroba, dan aktivitas enzim yang diproduksi oleh mikroba. Kecernaan bahan kering tongkol jagung hasil hidrolisis berada pada kisaran 26.41 % sampai 26.62 %, sedangkan kecernaan bahan organik tongkol jagung hasil hidrolisis berada pada kisaran 19.96 % sampai 21.00 % (Lampiran 11). Berdasarkan hasil penelitian Tjakradidjaja (2005), kecernaan bahan kering serat sawit, jerami padi, rumput gajah hasil kultivasi bakteri selulolitik simbion rayap tanah adalah 8.87 %, 13.76 %, dan 20.68 %. Kecernaan bahan organik serat sawit, jerami padi, dan rumput gajah adalah 7.47 %, 12.09 %, dan 12.47 %. Data tersebut menunjukkan bahwa kecernaan tongkol jagung terhidrolisis lebih tinggi dibandingkan serat sawit, jerami padi, dan rumput gajah yang telah dikultivasi dengan bakteri selulolitik. Dengan demikian tongkol jagung terhidrolisis masih layak untuk dijadikan campuran ransum pakan ternak.
39
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Kapang pelapuk putih Phanerochaete chrysosporium memiliki kemampuan untuk mendegradasi lignin sampai 17.76 % dari bahan tongkol jagung dengan proses biodelignifikasi selama 20 hari. Namun kapang P. chrysosporium juga dapat menghasilkan enzim lain seperti endoxilanase yang juga mendegradasi komponen hemiselulosa selama proses biodelignifikasi. Kapang Aspergillus niger dan Trichoderma viride merupakan dua jenis kapang yang baik untuk menghidrolisis selulosa. Hal ini dibuktikan dengan hasil kultivasi yang memperlihatkan peningkatan gula pereduksi dan total gula pada perlakuan kedua kapang. Kapang T. viride memiliki kemampuan degradasi selulosa yang lebih baik jika dibandingkan dengan A. niger. Pembentukan oligosakarida pada tongkol jagung hasil hidrolisis memungkinkan peran tongkol jagung berperan sebagai pakan prebiotik yang meningkatkan kecernaan bahan. Hal ini terbukti dengan peningkatan kecernaan tongkol jagung setelah hidrolisis dibandingkan tongkol jagung terdelignifikasi. Secara umum, perlakuan kultivasi T. viride dengan penambahan amonium sulfat dan kultivasi A. niger dengan penambahan urea merupakan perlakuan yang terbaik dalam hidrolisis tongkol jagung memanfaatkan kapang selulolitik. Kedua perlakuan ini memberikan hasil penurunan selulosa, peningkatan gula pereduksi, peningkatan total gula, serta peningkatan kecernaan bahan kering dan bahan organik yang terbaik dari seluruh perlakuan yang dilakukan.
B. SARAN 1. Penelitian lanjutan dengan memanfaatkan campuran isolat kapang selulolitik dalam kultivasi atau hidrolisis 2. Perlakuan penambahan sumber nitrogen dalam proses hidrolisis dengan kadar > 3 % sumber nitrogen terhadap bahan
40
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi S. 1989. Kimia Kayu. Diktat PAU Ilmu Hayati. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Adaskaveg JE, RL Gilbertson, MR Dunlap. 1995. Effects of Incubation Time and Temperature on In Vitro Selective Delignification of Silver Leaf Oak by Zanoderma colossum. Appl. Environ. Microbiol. 61:138-144. Ahmad W. 2001. Potensi Aneka Limbah Agroindustri Sebagai Pakan Sapi Perah. [Skripsi]. Bogor : Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Institut Pertanian Bogor. Akhtar M, RA Blanchette, TK Kirk. 1997. Fungal Delignification and Biomechanical Pulping of Wood. Adv. in Biochem. Eng. Biotechnol. 57:159-195. Alexopoulos CJ. dan CW Mims. 1979. Introductiory Mycology. 3rd edition. John Wiley & Sons, New York. Anggraini F. 2003. Kajian Ekstraksi dan Hidrolisis Xilan dari (Zea mays L.).[Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Tongkol
Jagung
Anonim. 2010. Jamur Kuping. http://id.wikipedia.org . [12 Agustus 2010] AOAC. 1984. Official Methods Analysis the Association of Official Analytical Chemist. 14th ed. AOAC, Inc. Arlington. Virginia. Apriyantono A, D. Fardiaz, NL Puspitasari, Sedarnawati, S Budiyanto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Penerbit Institut Pertanian Bogor, Bogor. Artika AYR. 2010. Kajian Hidrolisis Tongkol Jagung Oleh Kapang Selulolitik Menggunakan Kultivasi Media Padat Untuk Produksi Pakan. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Peratnian, IPB. Boyle CD, BR Kropp, ID Reid. 1992. Solubilization and Mineralization of Lignin by White Rot Fungi. Appl. Environ. Microbiol. 58:3217-3224. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai. http://www.bps.go.id. [09 Juli 2010]. Chang H. dan Hayes MJ. 1978. Lignin Biodegradation Microbiology Chemistry & Potensial Application. CRC Press Inc., Boca Rotan, Florida. Clemants LD, Beek SR. 1985. Best Available Technology Plant for Conversion of Cotton Residues (Celulose Waste) to Etanol. Biotechnol. Bioeng. Symp. 15 : 579 – 598. Coughlan MP. 1989. Enzyme System for Lignocelluloses Degradation. Elsevier Applied Science, New York. Crips C, JA Bumpus, SD Aust. 1990. Biodegradation of Azo and Heterocyclic Dyes by Phanerochaete chrysosporium. Appl. Environ. Microbial 56(4) : 1114 – 1118.
41
Cullison AE. 1978. Feed and Feeding. Prentice Hall of Indian Private Ltd. New Delhi Darliah Y. 2008. Produksi Xilosa dari Tongkol Jagung (Zea mays L.) dengan Hidrolisis Asam Klorida. [Skripsi]. Bogor : Fateta IPB. Darma IGKT. 2002. Diktat: Budidaya Jamur Pangan. Laboratorium Pathology Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB, Bogor. Hal 44-58. Darwis AA, Illah S, Tun TI, Safriani. 1995. Kajian Kondisi Fermentasi pada Produksi Selulase dari Limbah Kelapa Sawit (Tandan Kosong dan Sabut) oleh Neurospora sitophila. J. Teknol. Ind. Pert. 5 (3) 199-207. Dhawale SS, Katrina K. 1983. Alternative Methods for Production and Staining of Phanerochaete chrysosporium Basidiospores. J. Appl. and Environ. Microbiol. 1993 : 1675 – 1677. Djajanegara A. 1999. Local livestock feed resources. Di dalam : Livestock Industries of Indonesia Prior to the Asian Financial Crisis. RAP Publication 1999/37. Bangkok : FAO Regional Office for Asia and the Pacific. Hal 23-39 Enari TM. 1983. Microbial Cellulose. Di dalam : WM Fogarty, editor. Microbial Enzime and Biotechnology Applied Science Publisher. New York. Fardiaz S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas dan Lembaga Swadaya Informasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fardiaz S, Rambitan. 1989. Karakteristik Sifat Fisiko-Kimia dan Fungsional Pati Beberapa Varietas Jagung. [Laporan Penelitian]. Bogor : Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan, PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Fengel D, G. Wegener. 1995. Wood : Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Terjemahan S. Hardjono. UGM. Press, Yogyakarta. . 1984. Wood : Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Walter de Gruyter, Berlin Frazier WC, DC Westhoff. 1981. Food Microbiology. Tata McGraw Hill Pub. Co. Ltd. New Delhi. Fridia T. 1989. Pengaruh Cara Delignifikasi Terhadap Sakarifikasi Limbah Lignoselulotik. [Skripsi]. Bogor : Fateta IPB. Gundjar IW, Sjamsuridzal, A Oetari. 2006. Mikologi : Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Gong CS, GT Tsao. 1979. Cellulose and Biosynthesis Regulation. Di dalam D. Pearlman (ed). Annual Report on Fermentation Process. Academic Press. New York Irawadi TT. 1990. Selulase. PAU-Biotek. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Johnson LA. 1991. Corn : Production, Processing, and Utilization. Di dalam K.J. Lorentz and K. Pulp (ed). Handbook of Cereal Science and Tecnology. Marcell Dekker, Inc., New York.
42
Judoamidjoyo RM, EG Said, L Hartoto. 1989. Biokonversi. Depdikbud. Dirjen Pendidikan Tinggi. Bogor : Pusat Antar Universitas Bioteknologi, IPB. Kosaric H, A Wieczorek, GP Cosentino, RJ Magee, JE Prenosil. 1983. Ethanol Fermentation. Di dalam H. Dellweg. Biotechnology Vol. 3. Verlag Chemie, Weinheim. Kusumaningtias E, Djaenudin G. 2006. Penghambatan Pertumbuhan Fusarium moniliforme oleh Trichoderma viride. Bogor : Balai Pertanian Veteriner. Mandels M. 1970. Cellulases. In. G. T. Tsao (ed) Annual Report on Fermentation Processes. Vol 5. New York : Academic Press. Martina A, N Yuli, M Sutisna. 2002. Optimasi Beberapa Faktor Fisik Terhadap Laju Degradasi Selulosa Kayu Albasia (Paraserianthes falcataria (L.)) Nielsen dan Karboksimetilselulosa (CMC) Secara Enzimatik oleh Fungi. Jurnal Natur Indonesia 4(2): 156-163. Mattjik AA, IM Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan. Bogor : IPB Press. McDonald P, RA Edwards, JFD Greenhalgh, CA Morgan. 1995. Animal Nutrition. 4th Ed. New York : Longman Scientific and Technical. Michel
F. 1999. Wood Degrader. Ohio Agricultural Research and Development Center.http://mecrobezoo.commtechlab.msu.edu/zoo/microbes/p_chryso. html.). [02 Oktober 2010].
Monro JA. 1996. Dietary Fiber. New Zealand Institute for Crop and Food Research Ltd. New Zealand. Narasimha G, Sridevi A, Buddolia V, Subbosh CM, Rajashekar RB. 2006. Nutrient Effects on Production of Cellulolytic Enzymes by Aspergillus niger. African J. of Biotechnol. V. 5 (5) : 472-476. Poesponegoro M. 1976. Fermentasi Substrat Padat. Laporan Ceramah Ilmiah. Lembaga Kimia Nasional LIPI. Prayuwidayati M, Yusuf W. 2008. Penggunaan Bagas Tebu Teramoniasi Dan Fermentasi Dalam Ransum Ternak Domba. Lampung : Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Ramada
A. 2008. Pupuk Biologis Trichoderma. http:// organicindonesianvanilla. blogspot.com/2008/01/pupuk-biologis-trichoderma.html.[10 Agustus 2010].
Ranjhan SK. 1977. Animal Nutrition and Feeding Practical in India. Vikas Publishing House PVT. Ltd, New Delhi. Risfaheri. 1998. Kajian Biokonversi Buah Semu Jambu Mente sebagai Pakan Ternak melalui Fermentasi Padat. [Tesis]. Bogor : Pasca Sarjana IPB. Riswan K. 2008. Proses Hidrolisis dan Aplikasinya di Industri. www.risvank.com, Sugar Technology and Research, Pasuruan. [04 Januari 2010].
43
Riwantoro. 2005. Konservasi Plasma Nutfah Domba Garut dan Strategi Pengembangannya Secara Berkelanjutan. [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana.Institut Pertanian Bogor. Roberfoird M. 1997. Health Benefits of Non-Digestible Oligosaccharides, Dietary fibre in Health and Desease. Kritchevsky and Bonfield, editor. New York : Plenum Press. Saddler JN. 1993. Bioconversion of Forest and Agricultural Plant Residues. CAB International, United Kingdom. Sasaki T. 1982. Enzymatic Saccharification of Rice Hull Cellulose. Trop. J. Agric. Res. Japan 16 (2) : 144 – 150. Sumangat D, BS Sembiring, C Winarti. 2003. Biokonversi Buah Semu Jambu Mente Menjadi Konsentrat Protein Mikrobial. Buletin TRO Vol. XIV No. 2. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Indonesia Suhartono MT. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Bogor : PAU IPB. Susetyaningsih P. 2010. Perbaikan Proses Sakarifikasi Tongkol Jagung Dengan Enzim Kombinasi Bakteri Selulolitik dan Xilanolitik untuk Produksi Etanol. [Tesis]. Bogor : Pasca Sarjana IPB. Sutardi T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Bogor : Departemen Ilmu Makanan Ternak. Orasi Ilmiah, Institut Pertanian Bogor. Stajich
J. 2007. Not One, but Two Aspergillus niger Genome http://www.fungalgenomes.org/blog/2007/01/not-one-but-two-aniger-genomesequences/feed/. [10 Oktober 2010].
Sequences.
Tjakradidjaja AS, KG Wirawan. 2005. Peningkatan Nilai Guna Pakan Berserat Melalui Pemanfaatan Bakteri Selulolitik Simbion Rayap Tanah. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) IPB, Bogor. Tjakradidjaja AS, Surhayadi, Andriani. 2007. Fermentasi Bungkil Jarak Pagar (Jatropha curcas .L) Dengan Berbagai Kapang Sebagai Upaya Penurunan Kadar Serat Kasar dan Zat Antinutrisi. Prosiding Konferensi Jarak Pagar Menuju Bisnis Jarak Pagar yang Fleksibel. Selasa, 19 Juni 2007. Institut Pertanian Bogor, Bogor, Hal 1-10. Villena GK, Marcel GC. 2007. Production of lignocellulolytic enzymes by Aspergillus niger biofilms at variable water activities. Electronic J. of Biotechnol. Chile: V.10 (1) : 124-140. Volk TJ. 2006. Fungal diseases that must be overcome to have a traditional thanksgiving dinner. http://TomVolkFungi.net. [10 Oktober 2010]. Wang DIC, CL Cooney, AL Demain, P Dunnil, AF HumPerey, MD Lily. 1979. Fermentation and Enzymes Technology. John Wiley and Son, New York. Wasserman RA. 1984. Thermostable Enzyme Production. Food Technol 2 : 78 – 89. Widjaja A. 2008. Pengurangan Kadar Lignin Ramah Lingkungan Pada Industri Pulp dan Kertas oleh Enzim Xilanase dari Aspergillus niger. http://digilib.its.ac.id [10 Oktober 2010].
44
Wiloso IE. 1996. Dekolorisasi Orange II dalam Air Limbah oleh Phanerochaete chrysosporium. Serpong : Puslitbang Kimia Terapan – LIPI, PUSPITEK. Wood TM. 1985. Aspects of the Biochemistry of Cellulose Degradation. p. 173-187. Di dalam J. F. Kennedy, G. O. Phillips, D. J. Wedlock, and P. A. Williams (eds). Celllose and its Derivate; Chemistry, Biochemistry and Applications. Ellis Horwood Ltd, John Wiley and Sons. New York.
45
LAMPIRAN
46
Lampiran 1. Prosedur analisis kimia 1. Analisis Proksimat a) Kadar Air (AOAC 1984) Penentuan kadar air dilakukan berdasarkan TAPPI 264 om-88. Proses pengujian diawali dengan pemanasan cawan alumunium dalam oven dengan suhu 105±3ºC selama lebih kurang 24 jam. Setelah cawan porselen dioven, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Selanjutnya, tongkol jagung sebanyak 1-2 g dimasukkan ke dalam cawan kemudian ditimbang (B). Berat Kering Cawan (BKC) diperoleh melalui penimbangan serbuk yang telah dipanaskan dalam oven bersuhu 105±3ºC hingga beratnya tetap. Nilai kadar air dihitung berdasarkan rumus: Kadar air %
B
BKC x 100 % B
Keterangan: B = Bobot awal bahan (g) BKC = Bobot akhir bahan (g) b) Kadar Abu (AOAC, 1984) Cawan porselin dikeringkan dalam oven 105°C selama beberapa jam, kemudian didinginkan dalam eksikator dan bobot awal ditimbang (x). Sampel bahan ditimbang dengan berat kira-kira 5 g (y) dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Sampel tersebut dipijarkan di atas nyala api pembakar bunsen sampai titik berasap lagi, kemudian dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan suhu 400–600°C. Sesudah sampel abu berwarna putih, seluruh sampel diangkat dan didinginkan dalam eksikator. Setelah kira-kira 1 jam sampel ditimbang kembali (z). Rumus penentuan kadar abu menggunakan rumus sebagai berikut: Kadar abu
100%
Kadar bahan organik dapat diketahui dengan rumus sebagai berikut : Bahan Organik (BO) = (Bahan Kering (BK) – Abu) % c) Kadar Protein Kasar (AOAC 1984) Prinsip analisis adalah pengukuran kadar nitrogen (N) dari sampel dengan menggunakan Metode mikroKjeldahl. Ada 3 tahap analisis protein yaitu : 1. Tahap Destruksi 2. Tahap Destilasi 3. Tahap Titrasi Cara Kerja : Kira-kira sebanyak 0.3 g sampel (x) ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik, setelah itu sampel dimasukkan ke dalam labu destruksi. Kedalam labu ditambahkan kira-kira
47
3 sendok kecil katalis campuran (selenium 4 g + CuSO4.5H2O 3 g + Na2SO4 190 g) serta 20 ml H2SO4 pekat teknis secara homogen. Campuran tersebut dipanaskan dengan alat destruksi mula-mula pada posisi low selama 10 menit, kemudian pada posisi medium selama 5 menit dan high sampai larutan menjadi jernih dan berwarna hijau kekuningan; proses ini berlangsung di dalam ruang asam. Setelah itu labu destruksi didinginkan dan larutan tersebut di masukkan ke dalam labu penyuling dan diencerkan dengan 300 ml akuades yang tidak mengandung N. Tambahkan beberapa butir batu didih dan larutan dijadikan basa dengan menambahkan kira-kira 100 ml NaOH 33%. Kemudian labu penyuling dipasang dengan cepat di atas alat penyuling. Proses penyulingan ini diteruskan hingga semua N telah tertangkap oleh H2SO4 yang ada di dalam labu Erlenmeyer atau bila 2/3 dari cairan dalam labu penyuling telah menguap (Tahap Destilasi). Labu Erlenmeyer yang berisi hasil sulingan tersebut diambil dan kelebihan H2SO4 dititer kembali dengan menggunakan larutan NaOH 0.3 N. Proses titrasi berhenti setelah terjadi perubahan warna dari biru kehijauan yang menandakan titik akhir titrasi. Volume NaOH dicatat (z ml), kemudian dibandingkan dengan titar blanko (y ml). (Tahap Titrasi). Rumus penentuan kadar protein kasar sebagai berikut: Protein kasar
y
z x titar NaOH x 0.014 x 6.25 x 100 % bobot sampel x g
d) Kadar Lemak Kasar (Metode Soxhlet) Prinsip : Ekstraksi lemak dengan menggunakan pelarut organik. Cara Kerja : Sebuah labu lemak dengan menggunakan beberapa butir batu didih di dalamnya, dikeringkan di dalam oven dengan suhu 105 – 110°C selama 1 jam. Labu didinginkan dalam eksikator selama 1 jam dan ditimbang [(a) g]. Sampel ditimbang kira-kira 1 g [(x) g] dengan catatan jumlah sampel juga tergantung dengan kadar lemak bahan. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam selongsong yang terbuat dari kertas saring dan ditutup dengan kapas yang bebas lemak. Selongsong dimasukkan ke dalam alat FATEX-S dan ditambahkan larutan petroleum Eter sebagai larutan pengekstrak. Alat FATEX-S diatur suhunya pada 60°C dan waktu selama 25 menit. Proses ekstraksi dilakukan sampai alat berbunyi, kemudian larutan petroleum eter diturunkan bersama lemak yang telah larut. Lakukan proses evaporasi dengan mengubah suhu pada 105°C sampai alat FATEX-S berbunyi. Proses ekstraksi dan evaporasi dilakukan sebanyak 2 kali. Selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam alat pengering oven dengan suhu 105°C selama kira-kira 1 jam. Setelah itu didinginkan di dalam eksikator selama 1 jam dan ditimbang kembali ((b) g). Rumus penentuan kadar lemak kasar sebagai berikut: Kadar lemak kasar
a b x 100 % bobot awal bahan x g
48
e) Kadar Serat Kasar (AOAC 1984) Prinsip :
Serat kasar adalah semua zat-zat organik yang tidak dapat larut dalam H2SO4 0.3 N dan dalam NaOH 1.5 N yang berturut-turut dipanaskan selama 30 menit. Serat kasar terdiri dari sellulosa, hemisellulosa, lignin dan silika serta sebagian pentosanpentosan. Cara Kerja : Sampel ditimbang seberat 1 g (x) dan dimasukkan ke dalam gelas piala 500 ml. Sampel ditambahkan 50 ml H2SO4 0.3 N dan dipanaskan hingga mendidih selama 30 menit.
Setelah itu ke dalam gelas piala ditambahkan pula 25 ml NaOH 1.5 N dan terus dididihkan kembali selama 30 menit kedua. Waktu pendidihan diperhatikan agar api tidak terlalu besar dan cairan tidak meluap dan tumpah. Sebuah kertas saring ditimbang seberat (a) g. Cairan tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring yang sudah ditimbang sebelumnya dan dilakukan penyaringan dengan menggunakan corong Buchner. Proses penyaringan berturut-turut dicuci dengan : 50 ml air panas; 50 ml H2SO4 0.3 N; 50 ml air panas ; 25 ml Aceton Kertas saring dan isinya dimasukkan ke dalam cawan porselin dan dikeringkan di dalam oven dengan suhu 105°C. Kertas saring dan isisnya yang telah dikerngkan didinginkan dalam eksikator selama 1 jam dan timbang (y) g. Setelah itu kertas saring dan isinya dipijarkan di dalam tanur sampai menjadi putih dan dinginkan kembali serta timbang (z) g. Rumus penentuan kadar serat kasar sebagai berikut: Kadar serat kasar
y
z x
a
100 %
2. Analisis Komponen Serat
a) Analisis ADF (Apriyantono et al. 1989) Prinsip : sampel diekstrak dengan larutan ADF (setil trimetil amonium bromida dalam H2SO4 1 N), sehingga seluruh komponen selain komponen ADF larut. Komponen yang tidak larut kemudian disaring, dikeringkan, ditimbang, dan dikoreksi dengan kandungan mineral yang ada dalam komponen tersebut dengan cara menyabunkannya sehingga tinggal hanya mineral saja. Cara kerja : Sampel dalam bentuk tepung lolos ayakan 30 mesh ditimbang sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer
dan
Larutan ADF sebanyak 100 ml ditambahkan dan selanjutnya dididihkan pada pendingin tegak selama 60 menit Campuran bahan disaring dengan menggunakan saringan filter gelas 2-G-3. Endapan yang diperoleh dicuci dengan akuades panas beberapa kali Endapan dicuci kembali dengan aseton beberapa kali
49
Filter gelas dan endapan dikeringkan dalam oven bersuhu 100 oC sampai diperoleh berat tetap (sekitar 8 jam), selanjutnya ditimbang Filter gelas kering diabukan pada tanur bersuhu 450-500 oC hingga diperoleh berat tetap (sekitar 3 jam), selanjutnya ditimbang Perhitungan : a : bobot filter dan endapan setelah dikeringkan (g) b : bobot filter dan endapan setelah diabukan (g) c : bobot awal sampel (g) Persen kadar ADF Kadar Hemiselulosa %
a
b c
ADF %
100 % lignin %
b) Analisis NDF (Apriyantono et al. 1989) Prinsip : sampel diekstrak dengan larutan NDF sehingga seluruh komponen selain komponen NDF larut. Komponen yang tidak larut kemudian disaring, dikeringkan, ditimbang, dan dikoreksi dengan kandungan mineralnya yang ada dalam komponen tersebut Untuk sampel yang mengandung pati, maka patinya harus dihidrolisis dulu dengan menggunakan enzim α-amilase, jika tidak pati tersebut akan menyulitkan penyaringan. Cara kerja : Sampel dalam bentuk tepung lolos ayakan 30 mesh ditimbang sebanyak 0.5 g dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer Larutan α-amilase ditambahkan sebanyak 30 ml dan dilakukan inkubasi pada suhu 40 0C selama 16 jam (semalam) Larutan NDF sebanyak 200 ml dan 0.5 g Na2SO4 ditambahkan dan selanjutnya dididihkan pada pendingin tegak selama 60 menit Campuran bahan disaring dengan menggunakan saringan filter gelas 2-G-3. Endapan yang diperoleh dicuci dengan akuades panas beberapa kali Endapan dicuci kembali denagn aseton beberapa kali Filter gelas dan endapan dikeringkan dalam oven bersuhu 100 0C sampai diperoleh berat tetap (sekitar 8 jam), selanjutnya ditimbang Filter gelas kering diabukan pada tanur bersuhu 450-500 0C hingga diperoleh berat tetap (sekitar 3 jam), selanjutnya ditimbang Perhitungan : a : bobot filter dan endapan setelah dikeringkan (g) b : bobot filter dan endapan setelah diabukan (g) c : bobot awal sampel (g) Persen kadar NDF Kadar Selulosa %
a
b c
NDF %
100 % ADF %
50
c)
Analisis lignin (Apriyantono et al. 1989) Prinsip : mula-mula sampel diekstrak dengan larutan ADF sehingga seluruh komponen selain selulosa dan lignin larut. Selulosa yang ada dalam residu kemudian dihidrolisa dengan menggunakan H2SO4 72% sehingga yang tertinggal dalam residu hanya lignin. Cara kerja : Sampel dalam bentuk tepung lolos ayakan 30 mesh ditimbang sebanyak 0.5 g dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer/labu didih Larutan ADF sebanyak 100 ml ditambahkan dan selanjutnya dididihkan pada pendingin tegak selama 60 menit Campuran bahan disaring dengan menggunakan saringan filter gelas 2-G-4 Filter gelas yang berisi residu ditempatkan pada gelas piala 100 ml Larutan H2SO4 72% dingin (15 oC) ke dalam filter gelas, diaduk dengan gelas pengaduk sampai terbentuk pasta halus Dengan gelas pengaduk tetap dalam gelas piala, pasta yang terbentuk dibiarkan selama 3 jam pada suhu 20-23 oC sambil diaduk setiap 1 jam sekali Penyaringan filter gelas dilakukan dengan menggunakan penyaring vakum. Residu dicuci dengan air panas sampai filtrate bebas asam (cek dengan kertas lakmus). Bagian pinggir gelas filter dan gelas pengaduk juga dicuci dengan air panas residu dicuci kembali denagn aseton beberapa kali (2-3 kali) Filter gelas dan endapan dikeringkan dalam oven bersuhu 100 oC sampai diperoleh berat tetap (sekitar 8 jam), selanjutnya ditimbang Filter gelas kering diabukan pada tanur bersuhu 450-500 oC hingga diperoleh berat tetap (sekitar 3 jam), selanjutnya ditimbang Perhitungan : a : bobot filter dan endapan setelah dikeringkan (g) b : bobot filter dan endapan setelah diabukan (g) c : bobot awal sampel (g) Persen kadar lignin
c
100 %
3. Analisis Pembentukan Oligosakarida
a) Kadar Gula Pereduksi (Apriyantono et al. 1989) Pereaksi DNS dibuat dengan melarutkan 10.6 g asam dinitrosalisilat, 19.8 g NaOH ke dalam 1416 ml aquades. Selanjutnya ke dalamya ditambahkan 306 g natrium kalium tartarat (Na-K-tartarat), 8.3 g Na-metabisulfit dan 7.6 fenol yang telah dicairkan pada suhu 50 0C. Bahan-bahan tersebut cicampurkan hingga larut secara merata. Keasaman dari pereaksi DNS yang dihasilkan ditentukan dengan cara mentitrasi sebanyak 3 ml larutan DNS dengan HCl 0.1 N dan indikator fenoftalein. Banyaknya titran harus berkisar antara 5-6 ml. untuk setiap kekuranga HCl 0.1 N pada titrasi ditambahkan 2 g NaOH.
51
Contoh yang digunakan untuk pengujian adalah dalam bentuk cair dan jernih. Bahan selanjutnya dimasukkan sebanyak 1 ml ke dalam tabung reaksi dan ditambah dengan 3 ml pereaksi DNS. Campuran bahan dipanaskan dalam air mendidih selama 5 menit, dan kemudian didinginkan sampai suhu kamar. Jika contoh campuran terlalu pekat, maka perlu dilakukan pengenceran sampai serukur pada kisaran 0.2 – 0.8 absorbansi pada panjang gelombang 550 nm. Untuk blanko digunakan aquades dan kurva standar (baku) yang dibuat dengan menggunakan glukosa murni pada kisaran konsentrasi 0.1 – 0.5 mg/ml.
Kurva Standar DNS (550 nm) 1,2
y = 3,660x + 0,070 R² = 0,998
absorbansi
1
A
0,8
B
0,6
C
0,4 0,2 0 0
0,1
0,2
0,3
Konsentrasi glukosa (mg/ml)
Absorbansi Standar Gula Pereduksi Absorbansi
Konsentrasi glukosa (mg/ml)
A
B
C
0
0.083
0.076
0.075
0.1
0.415
0.417
0.416
0.15
0.626
0.623
0.623
0.2
0.792
0.795
0.794
0.25
0.999
1.001
1.007
b) Total Gula (Apriyantono et al. 1989) Sebanyak 2 ml larutan contoh dipipet ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya 1 ml larutan fenol 5 % ditambahkan ke dalam bahan dan dikocok. 5 ml larutan asam sulfat pekat ditambahkan ke dalam bahan dengan cepat atau menuang secara tegak lurus ke permukaan larutan. Campuran larutan dibiarkan selama 10 menit, dikocok dan diukur absorbansinya pada alat spektrofotometer. Panjang gelombang yang digunakan adalah 490 nm.
52
Kurva Standar Total Gula (490 nm) Absorbansi Standar Total Gula Konsentrasi glukosa (mg/ml)
Absorbansi
0
0.111
0.01
0.366
0.02
0.607
0.03
0.883
0.04
1.137
Kurva Fenol 1,2
y = 25,69x + 0,107 R² = 0,999
Absorbans
1 0,8 0,6
Absorbans
0,4 0,2 0 0
0,01
0,02
0,03
0,04
0,05
Konsentrasi glukosa (mg/ml)
3. Analisis Daya Cerna In Vitro Metode in vitro yang digunakan adalah metode dua tahap (Tilley dan Terry, 1963). 1 g sampel sesuai dengan perlakuan dimasukkan ke dalam tabung fermentor, kemudian ditambahkan 12 ml larutan Mc Dougall dan 8 ml cairan rumen. Tabung dikocok dengan menggunakan gas CO2 selama 30 detik untuk menciptakan suasana anaerob dan ditutup denagn karet berventilasi. Tabung selanjutnya dimasukkan ke dalam shaker waterbath dengan suhu 39 oC. Untuk analisis konsentrasi KCBK dan KCBO, proses fermentasi dihentikan setelah inkubasi selama 24 jam. Pada akhir fermentasi tutup tabung dibuka kemudian ditambahkan 0.2 ml HgCl2 jenuh untuk membunuh mikroba. Tabung disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Supernatant dibuang dan ke dalam endapan ditambahkan pepsin-HCl 0.2 % sebanyak 20 ml, kemudian dilakukan inkubasi selama 24 jam dalam suasana aerob (tutup dibuka) pada shaker water bath.
53
Setelah 24 jam, sampel dalam tabung diambil dengan cara disaring menggunakan pompa vakum. Sebelumnya kertas saring Whatman no. 41 dan cawan porselen dimasukkan ke dalam oven 105 oC selama satu jam, didinginkan, dan ditimbang. Hasil penyaringan (kertas saring + sampel) tersebut dimasukkan ke dalam tabung dengan suhu 600 oC selama 6 jam dan hasilnya ditimbang. Kadar bahan organik dihitung dengan mengurangi bahan kering dengan kadar abu yang didapat.
% KCBK
% KCBO
BK asal
BK Residu BK asal
BK blanko
BK asal
BK Residu BO asal
BK blanko
x 100 %
x 100 %
54
Lampiran 2. Foto alur proses delignifikasi
3 2
1
4 5
6
Keterangan : Gambar di atas menunjukkan alur proses delignifikasi tongkol jagung mulai dari persiapan bahan sampai pada hasil tongkol jagung terdelignifikasi 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tongkol jagung awal yang diperoleh dari daerah Leuwiliang Bogor Tongkol jagung dengan ukuran 40 mesh setelah penghancuran dengan hammer mills dan disc milling cutter Biakan awal kapang P. chrysosporium yang diperoleh dari Laboratorium Patologi Fahutan IPB Perbanyakan biakan dalam kultur cair Potato Dextrose Broth (PDB) Tongkol jagung yang sudah dikultivasi selama 20 hari dengan kapang pelapuk putih Phanerochaete chrysosporium Tongkol jagung hasil kultivasi yang sudah dicuci dengan air panas 60 oC dan pengeringan pada suhu 50 oC selama 48 jam.
55
Lampiran L 3. 3 Foto alira an proses hiidrolisis
Kultuur kapang di ag gar mirinng diinokulasi ke k dalam m bekatul untuuk menghhasilkan inokuluum kapang
Tongkkol jagung hasiil deelignifikasi diinookulasi dengan inokkulum kapang dallam bekatul
Tonngkol jagung hassil hidrolisis seteelah inkubasi sellama 9 hari
a. Trichodeerma viride
bb. Aspergillus niger n
5 56
Lampiran 4. Foto bahan tongkol jagung sebelum dan setelah 20 hari delignifikasi
a) delignifikasi hari ke-0
Keterangan :
b) delignifikasi hari ke-20
Gambar di atas menunjukkan perbedaan kondisi bahan tongkol jagung sebelum proses delignifikasi dan setelah kultivasi berjalan selama 20 hari. Secara kasat mata, terlihat adanya pertumbuhan kapang dengan adanya miselia berwarna putih yang menyebar di seluruh permukaan bahan mapun di dalam tumpukan bahan. Umumnya kapang akan tumbuh baik di bagian permukaan karena kecukupan sumber oksigen, sedangkan tongkol jagung di bagian bawah ditumbuhi kurang baik. Perlakuan pengocokan dilakukan untuk membagi rata degradasi lignin oleh kapang Phanerochaete chrysosporium pada seluruh bahan.
57
Lampiran 5. Data analisis proksimat hidrolisis tongkol jagung A. Perubahan kadar air Standar
Jenis bahan
Perlakuan
UL 1
UL 2
Rata-rata
H0
AU
3.59
3.03
3.31
0.40
AZ
3.77
2.96
3.37
0.57
AT
3.78
3.08
3.43
0.49
VU
3.27
3.30
3.29
0.02
VZ
2.94
3.29
3.12
0.25
VT
3.12
3.37
3.25
0.18
AU
5.18
4.94
5.06
0.17
AZ
4.33
5.22
4.77
0.63
AT
4.52
4.05
4.29
0.33
VU
9.23
9.55
9.39
0.22
VZ
5.92
7.27
6.59
0.95
VT
7.88
5.54
6.71
1.66
H9
Deviasi
B. Data perubahan kadar abu UL 1
UL 2
Rata-rata
Standar
(% b.k)
(% b.k)
(% b.k)
Deviasi
AU
6.29
5.19
5.74
0.78
AZ
5.49
5.22
5.36
0.19
AT
5.17
4.90
5.03
0.19
VU
4.85
4.32
4.59
0.37
VZ
5.40
5.12
5.26
0.20
VT
4.83
4.92
4.87
0.06
AU
4.61
2.91
3.76
1.20
AZ
4.12
4.33
4.22
0.15
AT
4.67
4.24
4.46
0.30
VU
5.17
5.76
5.46
0.42
VZ
4.78
4.82
4.80
0.03
VT
4.72
4.74
4.73
0.01
Jenis bahan
Perlakuan
H0
H9
58
C. Data perubahan kadar protein kasar UL 1
UL 2
Rata-rata
Standar
(% b.k)
(% b.k)
(% b.k)
Deviasi
AU
3.47
3.13
3.30
0.24
AZ
0.99
1.45
1.22
0.33
AT
1.84
2.02
1.93
0.13
VU
1.31
1.97
1.64
0.47
VZ
2.84
1.17
2.01
1.18
VT
3.27
2.17
2.72
0.78
AU
2.74
3.25
3.00
0.36
AZ
2.13
2.10
2.12
0.02
AT
1.61
1.84
1.73
0.16
VU
2.92
2.81
2.86
0.08
VZ
2.23
2.62
2.43
0.27
VT
0.96
0.70
0.83
0.18
UL 1
UL 2
Rata-rata
Standar
(% b.k)
(% b.k)
(% b.k)
Deviasi
Jenis bahan
Perlakuan
H0
H9
D. Data perubahan kadar lemak kasar Jenis bahan
Perlakuan
H0
AU
3.02
2.86
2.94
0.11
AZ
1.70
1.06
1.38
0.45
AT
3.74
3.19
3.46
0.39
VU
2.48
1.81
2.14
0.47
VZ
2.03
2.62
2.32
0.42
VT
1.18
3.02
2.10
1.30
AU
1.25
1.86
1.55
0.43
AZ
1.55
2.05
1.80
0.36
AT
1.73
1.83
1.78
0.07
VU
1.57
1.07
1.32
0.35
VZ
2.01
2.21
2.11
0.14
VT
1.36
1.34
1.35
0.01
H9
59
E. Data perubahan kadar serat kasar UL 1
UL 2
Rata-rata
Standar
(% b.k)
(% b.k)
(% b.k)
Deviasi
AU
48.00
50.51
49.26
1.77
AZ
52.24
51.86
52.05
0.27
AT
50.30
49.55
49.92
0.53
VU
53.30
52.13
52.72
0.83
VZ
51.38
51.31
51.34
0.05
VT
52.21
52.96
52.59
0.53
AU
54.82
56.75
55.78
1.37
AZ
58.29
57.18
57.73
0.78
AT
58.70
58.65
58.68
0.03
VU
57.10
60.88
58.99
2.67
VZ
57.42
57.40
57.41
0.02
VT
54.70
60.54
57.62
4.13
Jenis bahan
Perlakuan
H0
H9
Keterangan : A : hidrolisis A. niger V : hidrolisis T. viride T : hidrolisis tanpa penambahan sumber nitrogen H 9 : setelah hidrolisis (hari ke-9)
U : urea sebagai sumber nitrogen Z : ZA sebagai sumber nitrogen H 0 : sebelum hidrolisis (hari ke-0)
60
Lampiran 6. Gambar produk tongkol jagung setelah hidrolisis
A1U
A2U
A1Z
A2Z
A1T
A2T
V1U
V2U
V1Z
V2Z
V1T
V1T
Keterangan : A : hidrolisis A. niger V : hidrolisis T. viride T : hidrolisis tanpa penambahan sumber nitrogen 2 : perlakuan pengulangan ke-2
U : urea sebagai sumber nitrogen Z : ZA sebagai sumber nitrogen 1 : perlakuan pengulangan ke-1
61
Lampiran 7. Analisis statistik terhadap kadar protein A. Kultivasi Aspergillus niger Variabel bebas : Kadar_Protein Sumber keragaman Nitrogen
Jumlah
Derajat
kuadrat
kebebasan
tengah
(Df)
Kuadrat tengah
F-hitung
Signifikansi
5.278
2
2.639
52.414
.000
Waktu
.049
1
.049
.981
.367
Nitrogen * Waktu
.887
2
.443
8.805
.023
Ulangan
.085
1
.085
1.688
.250
Error
.252
5
.050
Total
65.381
12
6.551
11
Corrected Total
Ket : nilai signifikansi ≤ nilai α (0.05) menyatakan adanya pengaruh nyata terhadap kadar protein
Uji Lanjut Duncan (α = 0.05) Kadar_Protein Nitrogen
N
Subset
1
2
1
Kelompok Duncan
Z
4
1.667500
A
T
4
1.827500
A
U
4
Sig.
3.147500 .360
B
1.000
Ket : Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor yang tidak berbeda nyata Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor yang berbeda nyata
62
B. Kultivasi Trichoderma viride Variable bebas : Kadar_Protein Sumber keragaman
Jumlah
Derajat
kuadrat
kebebasan
tengah
(df)
Kuadrat tengah
F-hitung
Signifikansi
Nitrogen
.564
2
.282
.716
.533
Waktu
.020
1
.020
.051
.831
5.229
2
2.615
6.639
.039
.364
1
.364
.924
.381
Error
1.969
5
.394
Total
60.105
12
8.146
11
Nitrogen * Waktu Ulangan
Corrected Total
Ket : nilai signifikansi ≤ nilai α (0.05) menyatakan adanya pengaruh nyata terhadap kadar protein
Uji Lanjut Duncan (α = 0.05) Kadar_Protein Nitrogen
N
Subset
Kelompok
1
1
Duncan
T
4
1.775000
A
Z
4
2.215000
A
U
4
2.252500
A
Sig.
.342
Ket : Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor yang tidak berbeda nyata Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor yang berbeda nyata
63
Lampiran 8. Data analisis komponen serat hidrolisis tongkol jagung A. Data perubahan kadar lignin UL 1
UL 2
Rata-rata
Standar
(% b.k)
(% b.k)
(% b.k)
Deviasi
AU
11.53
8.11
9.82
2.42
AZ
11.39
7.09
9.24
3.04
AT
7.38
7.33
7.35
0.04
VU
11.78
9.10
10.44
1.90
VZ
6.66
6.99
6.82
0.24
VT
6.83
11.67
9.25
3.42
AU
8.69
9.72
9.21
0.73
AZ
9.78
9.87
9.83
0.06
AT
9.80
12.26
11.03
1.73
VU
7.84
7.38
7.61
0.32
VZ
9.23
12.47
10.85
2.29
VT
10.81
9.15
9.98
1.18
UL 1
UL 2
Rata-rata
Standar
(% b.k)
(% b.k)
(% b.k)
Deviasi
AU
38.03
40.15
39.09
1.50
AZ
38.70
39.06
38.88
0.25
AT
37.75
40.76
39.26
2.13
VU
39.00
37.62
38.31
0.98
VZ
39.42
38.30
38.86
0.79
VT
36.60
41.81
39.21
3.68
AU
47.50
44.52
46.01
2.11
AZ
42.86
45.47
44.16
1.85
AT
45.52
44.06
44.79
1.03
VU
56.27
49.89
53.08
4.51
VZ
45.96
48.32
47.14
1.67
VT
49.10
50.50
49.80
0.99
Jenis bahan
Perlakuan
H0
H9
B. Data perubahan kadar ADF Jenis bahan
H0
H9
Perlakuan
64
C. Data perubahan kadar NDF Jenis bahan
H0
H9
UL 1
UL 2
Rata-rata
Standar
(% b.k)
(% b.k)
(% b.k)
Deviasi
AU
71.84
75.28
73.56
2.43
AZ
75.96
71.52
73.74
3.14
AT
78.60
77.44
78.02
0.82
VU
76.64
76.48
76.56
0.11
VZ
78.76
76.56
77.66
1.56
VT
79.84
78.84
79.34
0.71
AU
76.20
77.56
76.88
0.96
AZ
80.80
77.72
79.26
2.18
AT
86.12
80.64
83.38
3.87
VU
75.12
78.08
76.60
2.09
VZ
72.80
74.60
73.70
1.27
VT
78.08
79.56
78.82
1.05
Perlakuan
Keterangan : A : hidrolisis A. niger V : hidrolisis T. viride T : hidrolisis tanpa penambahan sumber nitrogen H 9 : setelah hidrolisis (hari ke-9)
U : urea sebagai sumber nitrogen Z : ZA sebagai sumber nitrogen H 0 : sebelum hidrolisis (hari ke-0)
65
Lampiran 9. Data analisis pembentukan gula hidrolisis tongkol jagung A. Data perubahan kadar gula pereduksi Jenis bahan
H0
H9
UL 1
UL 2
Rata-rata
Standar
(% b.k)
(% b.k)
(% b.k)
Deviasi
AU
0.15
0.17
0.16
0.01
AZ
0.41
0.41
0.41
0.36 x 10-2
AT
0.29
0.37
0.33
0.06
VU
0.31
0.20
0.25
0.08
VZ
0.13
0.37
0.25
0.17
VT
0.19
0.24
0.22
0.04
AU
0.46
0.24
0.35
0.15
AZ
0.23
0.22
0.22
0.26 x 10-2
AT
0.23
0.23
0.23
0.48 x 10-2
VU
0.35
0.18
0.26
0.12
VZ
0.65
0.38
0.52
0.19
VT
0.19
0.17
0.18
0.01
UL 1
UL 2
Rata-rata
Standar
(% b.k)
(% b.k)
(% b.k)
Deviasi
Perlakuan
B. Data perubahan kadar total gula Jenis bahan
Perlakuan
H0
AU
0.57
0.56
0.57
0.40 x 10-2
AZ
0.95
0.80
0.87
0.11
AT
0.81
0.79
0.80
0.02
VU
0.60
0.52
0.56
0.06
VZ
0.38
0.66
0.52
0.20
VT
0.65
0.74
0.69
0.06
AU
0.57
0.66
0.62
0.06
AZ
0.66
0.72
0.69
0.05
AT
0.57
0.68
0.62
0.08
VU
0.52
0.58
0.55
0.04
VZ
1.11
1.05
1.08
0.04
VT
0.22
0.40
0.31
0.13
H9
Keterangan : A : hidrolisis A. niger V : hidrolisis T. viride T : hidrolisis tanpa penambahan sumber nitrogen H 9 : setelah hidrolisis (hari ke-9)
U : urea sebagai sumber nitrogen Z : ZA sebagai sumber nitrogen H 0 : sebelum hidrolisis (hari ke-0)
66
Lampiran 10. Analisis statistik terhadap total gula
1. Kultivasi Aspergillus niger Variabel bebas : Total_Gula
Source
Jumlah
Derajat
Kuadrat
kebebasan
Kuadrat
tengah
(df)
tengah
Signifikansi F-hitung
Nitrogen
.074
2
.037
7.653
.030
Waktu
.032
1
.032
6.567
.050
Nitrogen * Waktu
.036
2
.018
3.776
.100
Ulangan
.001
1
.001
.129
.735
Error
.024
5
.005
Total
5.967
12
.166
11
Corrected Total
Ket : nilai signifikansi ≤ nilai α (0.05) menyatakan adanya pengaruh nyata terhadap kandungan total gula
Uji Lanjut Duncan (α = 0.05) Total_Gula Nitrogen
N
Subset
1
2
U
4
.592100
T
4
.712225
Z
4
Sig.
Kelompok Duncan
1
.058
A .712225
AB
.781600
B
.216
Ket : Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor yang tidak berbeda nyata Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor yang berbeda nyata
67
2. Kultivasi Trichoderma viride Dependent Variable: Total_Gula Sumber keragaman
Jumlah
Derajat
kuadrat
kebebasan
tengah
(df)
Kuadrat tengah
F-hitung
Signifikansi
Nitrogen
.204
2
.102
10.804
.015
Waktu
.009
1
.009
.997
.364
Nitrogen * Waktu
.443
2
.221
23.502
.003
Ulangan
.019
1
.019
2.043
.212
Error
.047
5
.009
Total
5.330
12
.722
11
Corrected Total
Ket : nilai signifikansi ≤ nilai α (0.05) menyatakan adanya pengaruh nyata terhadap kandungan total gula
Uji Lanjut Duncan (α = 0.05) Total_Gula Nitrogen
N
Subset
1
2
1
Kelompok Duncan
T
4
.502675
A
U
4
.554900
A
Z
4
Sig.
.801400 .481
B
1.000
Ket : Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor yang tidak berbeda nyata Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor yang berbeda nyata
68
Lampiran 11. Kecernaan bahan kering dan bahan organik hasil hidrolisis terbaik
Perlakuan
Hasil Delignifikasi
Hasil Hidrolisis
KCBK (% b.k)
KCBO (% b.k)
KCBK (% b.k)
KCBO (% b.k)
AU
23.14
18.46
26.62
19.96
VZ
23.14
18.46
26.41
21.00
Keterangan : AU = tongkol jagung hasil kultivasi A. niger dengan penambahan urea VZ = tongkol jagung hasil kultivasi T. viride dengan penambahan amonium sulfat
69