Prosiding
”Pengembangan Sumber Daya Pedesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan III”
ISBN 978-979-9204-88-2
ANALISIS HASIL DELIGNIFIKASI SEKAM PADI YANG BERPOTENSI SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETANOL Oleh Ari Asnani, Nuniek Ina Ratnaningtyas, Sri Suhermiyati Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Sekam padi merupakan bahan baku bioetanol Generasi II. Biokonversi sekam menjadi bioetanol diawali dengan tahapan pre-treatment (proses delignifikasi). Berkaitan dengan hal tersebut, maka tujuan penelitian adalah delignifikasi sekam padi menggunakan jamur Marasmius sp dan jamur Phanerochaete chrysosporium; serta komparasi proses delignifikasi menggunakan metode kimia dan enzimatis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa delignifikasi enzimatik sekam padi oleh jamur Marasmius sp memberikan hasil yang lebih baik daripada jamur P.chrysosporium. Pengamatan hari ke-30 menghasilkan penurunan kadar lignin 70,89% dengan Marasmius sp dan 59,39% dengan P.chrysosporium. Kadar selulosa menurun 13,68% (rendemen 39,34%) oleh Marasmius sp dan 12,16% (rendemen 40,03%) oleh P.chrysosporium. Delignifikasi kimiawi sekam padi menghasilkan rendemen selulosa 36,37%. Hal ini menunjukkan bahwa proses delignifikasi enzimatik menghasilkan rendemen selulosa yang lebih baik daripada delignifikasi kimiawi. Kata kunci: bioetanol, delignifikasi, lignin
ABSTRACT Rice husk can be used as a raw material for the second-generation bioethanol. Bioconversion of rice husks into bioethanol begins with the pre-treatment stage (delignification process). In this regard, the purpose of the research was delignification using rice husks with Marasmius sp and Phanerochaete chrysosporium fungus, as well as comparative delignification processes using chemical and enzymatic methods. The results of the research showed that enzymatic delignification of rice husk by Marasmius sp gave better results than that with P.chrysosporium. Observation in the 30-th day decreased levels of lignin produced by 70.89% using Marasmius sp; and by 59.39% using P.chrysosporium. Cellulose content decreased 13.68% (39.34% yield) by Marasmius sp and 12.16% (40.03% yield) by P.chrysosporium. Chemical delignification of rice husk produces cellulose yielded 36.37%. These suggests that the process of enzymatic delignification of cellulose produced a better yield than chemical delignification. Keyword: bioethanol, delignification, lignin
87
Prosiding
”Pengembangan Sumber Daya Pedesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan III”
ISBN 978-979-9204-88-2
PENDAHULUAN Bioetanol adalah bahan bakar substitusi bensin premium (gasoline) yang berasal dari fermentasi glukosa secara anaerob. Bietanol Generasi I menggunakan bahan baku berpati yang mengandung polimer glukosa. Hidrolisis bahan baku berpati akan menghasilkan monomer glukosa yang selanjutnya difermentasi untuk membentuk bioetanol. Bahan baku berpati diperoleh dari tetes tebu atau karbohidrat dari tanaman berpati seperti singkong, ubi jalar, jagung dan sagu (Wahyudi, 2006). Permasalahan yang dihadapi adalah keterbatasan bahan baku. Tetes tebu banyak diekspor, sedangkan produksi singkong, ubi dan sagu lebih dikembangkan sebagai bahan baku pangan dan industri. Road map sektor energi bioetanol telah menetapkan arah penelitian dan pengembangan jangka panjang (2016-2025) untuk berfokus pada Bioetanol Generasi II dengan menggunakan enzim selulase dan bahan baku lignoselulosa. Contoh bahan baku yang merupakan lignoselulosa adalah limbah pertanian, sekam padi dengan nilai ekonomi yang rendah. Fenomena semacam ini terjadi hampir di semua sentra-sentra penggilingan padi. Oleh karena itu, produksi bioetanol dari sekam padi akan sejalan dengan upaya penanggulangan limbah pertanian, peningkatan nilai ekonomi limbah pertanian, sekaligus upaya pemenuhan kebutuhan kebutuhan energi masyarakat yang semakin meningkat (Soerawidjaja, 2008). Permasalahan yang muncul adalah struktur karbohidrat komplek penyusun sekam padi membutuhkan sistem multi-enzim karbohidrase untuk menghidrolis polimer karbohidrat secara simultan. Hidrolisis polimer lignoseluosa harus dilakukan untuk membuka jalan menuju struktur polimer selulosa sehingga enzim selaluse dapat memecah selulosa menjadi monomer glukosa (Rubin, 2008). Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang akan dikaji pada penelitian ini adalah bagaimana potensi jamur Marasmius sp dan Phanerochaete chrysosporium untuk mendegradasi lignoselulosa sekam padi. Adapun tujuan penelitian adalah 1) karakterisasi sekam padi, 2) delignifikasi sekam padi menggunakan jamur Marasmius sp dan P.chrysosporium, dan 3) komparasi proses delignifikasi secara enzimatik dan kimiawi.
METODE ANALISIS Penelitian dilakukan selama tujuh bulan, yaitu bulan Mei hingga November 2013, di laboratorium Biokimia, Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknik, Unsoed. Bahan utama yang digunakan adalah sekam padi dari penggilingan Padi UD Lesung Semi 88
Prosiding
”Pengembangan Sumber Daya Pedesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan III”
ISBN 978-979-9204-88-2
Banjarnegara, jamur Marasmius sp dan jamur P.chrysosporium dari Laboratorium Mikrobiologi koleksi sekolah Ilmu Hayati dan Teknologi, ITB. Tahapan penelitian meliputi 1) karakterisasi sekam padi; 2) delignifikasi sekam padi menggunakan Marasmius sp dan P.chrysosporium; 3) komparasi proses delignifikasi menggunakan metode kimia dan enzimatis. Penelitian dilakukakan secara eksperimental laboratorium dan setiap perlakuan diulang tiga kali. Sekam padi digiling hingga berbentuk serbuk lalu diayak dengan ukuran lolos 40 mesh. Serbuk sekam dikering-udarakan dan dianalisis kadar air, lignin, dan selulosa. Setelah perlakuan jamur Marasmius dan P. Chrysosporium, serbuk sekam juga dianalisis kadar lignin dan selulosa untuk mengetahui perubahan kadar karena perlakuan. Karakterisasi sekam padi dilakukan sesuai prosedur TAPPI (Technical Association of The Pulp and Paper Industry), yaitu: (1) Penentuan kadar air dilakukan berdasarkan TAPPI 264 om-88.; (2) Penentuan Bilangan Kappa dilakukan berdasarkan TAPPI T 236. Kadar lignin diperoleh melalui konversi Bilangan Kappa dikalikan faktor 0,147. Lignin (%) = Bilangan Kappa x 0,147.; (3) Penentuan kadar selulosa dilakukan berdsarkan TAPPI T 17 m-55. Delignifikasi enzimatik sekam padi merupakan modifikasi dari formulasi Tien and Kirk (1986) dan prosedur Fadilah dkk (2008). Komposisi media kultur terdiri dari 25 g KH2PO4; 5 g MgSO4.7H2O; 1 g CaCl2.H2O; 0,15 g FeCl3.6H2O; 0,09 g ZnSO4.7H2O; 0,05 g CuSO4.5H2O; dan 0,1 g MnSO4.H2O, yang dilarutkan dalam akuades hingga menjadi 500 ml larutan media kultur. Proses delignifikasi dilakukan dengan mencampurkan 10 g serbuk sekam padi dengan 1% glukosa, 0,03% yeast, dan 0,05% Tween 80. Campuran diaduk sampai rata, kemudian ditambahkan 20 ml media kultur. Campuran disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit. Selanjutnya didinginkan, dan diinokulasi dengan sekeping jamur diameter 0,8 cm. Inkubasi dilakukan dalam inkubator suhu 34 oC selama interval waktu 0, 10, 20, dan 30 hari. Prosedur delignifikasi secara kimiawi serbuk sekam padi diadaptasi dari Sunarti dan Richana (2007). Proses delignifikasi dilakukan dengan merendam 10 g serbuk sekam padi dalam 100 mL NaOCl 1% selama 5 jam pada suhu ruang. Serbuk yang telah terdelignifikasi kemudian dibilas secara berulang dengan akuades, dan dikeringkan dengan oven pada suhu 50 oC. Isolasi selulosa dilakukan dengan merendam 10 g serbuk hasil delignifikasi dalam larutan 95 mL NaOH 15% selama 24 jam pada suhu ruang. Fraksi
89
Prosiding
”Pengembangan Sumber Daya Pedesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan III”
ISBN 978-979-9204-88-2
selulosa kemudian dicuci berulang-ulang dengan akuades, dan dikeringkan dengan oven pada suhu 50 oC hingga kadar air sekitar 10%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel sekam padi diperoleh dari mitra Mitra UD Lesung Semi Banjarnegara pada bulan Juni 2013. Sekam kemudian dikeringkan lalu digiling hingga menjadi serbuk sekam padi. Hasil analisis kimia (Tabel 1) menunjukkan bahwa sekam padi memiliki kadar selulosa tinggi (45,57%), sedangkan kadar lignin termasuk sedang (20,47%) karena berada diantara 18-33%. Tabel 1. Komposisi Kimia Sekam Padi No. 1. 2. 2. 3.
Komponen Kadar Air Kadar Abu Kadar Lignin Kadar Selulosa
Kadar (%) 5,75 19,28 20,47 45,57
Pertumbuhan Jamur di Media Sekam Padi Pertumbuhan jamur Marasmius sp pada media serbuk sekam padi diamati dengan mengukur diameter pertumbuhan radial miselium di cawan petri. Sebaliknya, pertumbuhan jamur P. chrysosporium tidak dapat diamati melalui pembentukan miselium, karena yang tampak hanya spora-spora berwarna putih (Gambar 1). Berdasarkan hasil pengamatan, jamur Marasmius sp relatif lebih cepat tumbuh dibandingkan dengan jamur P. chrysosporium di media serbuk sekam padi. Kadar air yang tinggi, dimana perbandingan serbuk sekam terhadap larutan media adalah 1:2 menunjukkan pertumbuhan yang relatif lebih cepat dibandingkan serbuk sekam:larutan media sebesar 1:1. Larutan media yang digunakan tersusun atas KH2PO4; MgSO4.7H2O; CaCl2.H2O; FeCl3.6H2O; ZnSO4.7H2O; CuSO4.5H2O; dan MnSO4.H2O, yang mengandung 1% glukosa, 0,03% yeast, serta 0,05% Tween 80. Uji coba pertumbuhan jamur juga dilakukan pada media sekam padi yang belum diubah menjadi serbuk sekam. Hal ini dilakukan untuk menyederhanakan proses delignifikasi sekam padi, yaitu pengecilan ukuran menjadi serbuk, di tingkat petani khususnya Mitra UD Lesung Semi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Marasmius sp lebih mampu tumbuh di media sekam padi dibandingkan P.chrysosporium.
90
Prosiding
”Pengembangan Sumber Daya Pedesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan III”
ISBN 978-979-9204-88-2
Uji coba pertumbuhan jamur juga dilakukan menggunakan baglog serbuk sekam padi dengan kadar air 60%. Pertumbuhan jamur menggunakan baglog ditujukan untuk efisiensi proses delignifikasi serbuk sekam padi dalam jumlah yang besar. Berbeda dengan pertumbuhan jamur di cawan petri, media yang digunakan di baglog jauh lebih sederhana, yaitu campuran serbuk sekam, kapur, gypsum, dan CaCO3. Hal ini dilakukan untuk menyederhanakan bahan-bahan kimia yang harus digunakan di tingkat petani, khususnya Mitra UD Lesung Semi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jamur Marasmius sp dan P.chrysosporium juga mampu tumbuh menggunakan media campuran serbuk sekam padi, kapur, gypsum, dan CaCO3 dengan kadar air 60%. Pertumbuhan jamur yang relatif lambat. Hingga akhir pengamatan selama 30 hari, hanya terlihat pertumbuhan miselium Marasmius sp, atau spora P. Chrysosporium, sedangkan pertumbuhan tubuh buah jamur belum muncul.
6 hari
[A] 5 hari
7 hari
6 hari 7 hari [B] 5 hari Gambar 1. Hasil pengamatan pertumbuhan (A) Marasmius sp , dan (B) Phanerochaete chrysosporium di Media Serbuk Sekam Padi selama 5, 6, dan 7 hari. Delignifikasi Enzimatik Sekam Padi Serbuk
sekam
padi
yang
telah
diberi
perlakuan
Marasmius
sp,
dan
P.Chrysosporium diharapkan mampu menurunkan kadar lignin (Irawati, dkk., 2009). Analisis kadar lignin dilakukan selang interval 10 hari, yaitu hari ke-0, 10, 20, dan 30. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar lignin secara signifikan hingga pengamatan hari ke-30. Semakin lama masa inkubasi, penurunan kadar lignin semakin bertambah. (Tabel 2). Perlakuan menggunakan kapang Marasmius sp menunjukkan penurunan hingga 70,89% dibandingkan menggunakan P.Chrysosporium 91
Prosiding
”Pengembangan Sumber Daya Pedesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan III”
ISBN 978-979-9204-88-2
dengan penurunan kadar lignin hanya 59,39%. Hal ini diduga karena Marasmius sp lebih mampu menggunakan sekam padi sebagai substrat yang ditandai dengan pertumbuhan Marasmius sp yang lebih baik daripada P. Chrysosporium.
Tabel 2. Delignifikasi Enzimatik Sekam Padi Kadar Lignin [%] Kadar Selulosa [%] Pengamatan [Hari] M P M P 1. 0 20,47 20,47 45,57 45,57 2. 10 15,03 15,31 43,34 44,89 3. 20 11,26 12,82 42,24 43,98 4. 30 5,96 8,31 39,34 40,03 70,89% 59,39% 13,68% 12,16% Penurunan M = Marasmius sp.; P = P. Chrysosporium
No.
Analisis kadar selulosa dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kadar selulosa. Perlakuan menggunakan Marasmius sp menunjukkan penurunan kadar selulosa 13,68%, dibandingkan P.Chrysosporium yang hanya menunjukkan penurunan kadar selulosa hanya 12,16% (Tabel 2). Ketika lignin telah terurai dari struktur kompleks penyusun dinding sel, maka struktur selulosa akan lebih terbuka sehingga selulosa lebih mudah terdegradasi. Semakin baik penguraian lignin, maka selulosa yang terdegradasi juga akan semakin banyak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Marasmius sp mampu menguraikan lignin lebih baik daripada P. Chrysosporium sehingga penurunan kadar selulosa oleh Marasmius sp lebih tinggi daripada penurunan kadar selulosa karena perlakuan
P.Chrysosporium. Semakin lama masa inkubasi, penurunan kadar selulosa
semakin bertambah.
Delignifikasi Kimiawi Sekam Padi Serbuk sekam padi kering telah mengalami pengecilan ukuran untuk memperluas permukaan sehingga proses delignifikasi secara kimia dapat berlangsung optimal. Delignifikasi diawali dengan perendaman serbuk sekam padi dalam larutan NaOCl untuk memecah ikatan karbon dan struktur lignin sehingga memisahkan bagian lignin dari selulosa. Endapan yang diperoleh merupakan serbuk sekam padi yang telah terbebas dari lignin. Hasil penelitian menghasilkan rendemen endapan hasil proses delignifikasi 41,52% dari rerata berat awal sebuk sekam padi 50,365 g (Tabel 3).
92
Prosiding
”Pengembangan Sumber Daya Pedesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan III”
ISBN 978-979-9204-88-2
Tabel 3. Delignifikasi Kimiawi Sekam Padi No. Endapan 1. Sekam Padi Terdelignifikasi 2. Selulosa
Rendemen (%) 41,52 36,37
Endapan hasil proses delignifikasi kemudian direaksikan dengan NaOH 15% untuk mengekstrak xilan yang merupakan komponen utama hemiselulosa. Penggunaan NaOH 15% diduga mampu mengembangkan intrafibril selulosa sehingga meningkatkan luas permukaan spesifik dan larutnya hemiselulosa dalam NaOH. Endapan yang diperoleh adalah fraksi selulosa dari sekam padi. Hasil penelitian menghasilkan rendemen selulosa 36,37% dari rerata berat awal serbuk sekam padi 50,365 g (Tabel 3). Perolehan selulosa berdasarkan proses kimiawi lebih sedikit daripada kadar selulosa awal (45,57%) maupun selulosa hasil proses enzimatik. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh proses transfer endapan secara manual yang tidak optimum karena residu yang diperoleh sangat halus sehingga menyulitkan penyaringan endapan.
Kajian Produksi Bioetanol Kajian produksi bioetanol dilakukan dengan mereaksikan substrat hasil proses delignifikasi enzimatik, dan substrat selulosa hasil delignifikasi kimiawi. Proses fermentasi dilakukan secara batch fermentation process. Hasil uji pendahuluan menunjukkan terbentuknya bioetanol yang ditunjukan dengan pengamatan timbulnya gas CO2 pada sistem. Kesulitan yang dihadapi adalah substrat berupa campuran yang menyulitkan terjadinya kontak antara substrat, enzim selulase, dan fermentasi lanjutan menggunakan yeast S. cereviseae. Hingga saat ini, kajian produksi bioetanol masih terus diteliti.
KESIMPULAN Serbuk sekam padi yang diteliti mengandung kadar air 5,75%, kadar abu 19,28%, kadar lignin 20,47% dan kadar selulosa 45,57%. Delignifikasi enzimatik sekam padi oleh Marasmius sp memberikan hasil yang lebih baik daripada P.chrysosporium. Pengamatan hari ke-30 menghasilkan penurunan kadar lignin 70,89% oleh Marasmius sp dan 59,39% oleh P.chrysosporium. Kadar selulosa menurun 13,68% (rendemen 39,34%) oleh Marasmius sp dan 12,16% (rendemen 40,03%) oleh P.chrysosporium. Adapun delignifikasi kimiawi sekam padi hanya menghasilkan rendemen selulosa 36,37%.
93
Prosiding
”Pengembangan Sumber Daya Pedesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan III”
ISBN 978-979-9204-88-2
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini terlaksana atas biaya DIPA Universitas Jenderal Soedirman sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Kegiatan Penelitian Nomor: 2740/UN23.10/PN/2013, tanggal 6 Mei 2013.
DAFTAR PUSTAKA Fadilah, Sperisa Distantina, Enny Kriswiyanti Artati, dan Arif Jumari, 2008. Biodelignifikasi Batang Jagung Dengan Jamur Pelapuk Putih Phanerochaete chrysosporium, Equilibrium, Vol.7, No.1, hal. 7 – 11. Irawati, D., N.R. Anwar, W. Syafii, dan I.M. Artika, 2009. Pemanfaatan Serbuk Kayu Untuk Produksi Etanol Dengan Perlakuan Pendahuluan Delignifikasi Menggunakan Jamur Phanerochaete chrysosporium, J. Ilmu Kehutanan, Vol. III (1), hal. 13-22. Kementrian Negara Riset dan Teknologi R.I., 2006, Indonesia 2005-2025. Buku Putih Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bidang Sumber Energi Baru dan Terbarukan untuk Mendukung Keamanan dan Ketersediaan Energi Tahun 2025, 101 hal, Kemenristek R.I, Jakarta. Rubin, E.M. 2008. Genomics of Cellulosic Biofuels, Nature, No. 454, pp. 841-845. Soerawidjaja, T. H., 2008. Teknologi BBN Generasi 2 dan Prospeknya di Indonesia. Lokakarya Operasionalisasi Permen ESDM No. 32 Tahun 2008. Dewan Riset Nasional, Jakarta 1 – 2 Desember 2008. Sunarti, T.C., dan N. Richana. 2007. Produksi Selulase oleh Trichoderma viride Pada media Tongkol Jagung Dan Fraksi Selulosanya. J. Pascapanen 4(2) 2007 : 57-64. [TAPPI] Technical Association of The Pulp and Paper Industry. 1996. TAPPI Test Method. Atlanta: TAPPI Press. Tien, M., and T.K. Kirk, 1986, Lignin-degrading enzyme from Phanerochaete chrysosporium: Purification, characterization, and catalytic properties of a unique H202-requiring oxygenase, Proc.Natl. Acad. Sci., Vol.81, pp. 2280-2284. Wahyudi, B, 2006, Kebijakan Industri Biodiesel dan Bioetanol di Indonesia, Workshop Nasional Bisnis Biodiesel dan Bioetanol di Indonesia, Jakarta, 2006.
94