PENGARUH BEBERAPA METODE INOKULASI TERHADAP INFEKSI JAMUR FUSARIUM OXYSPORUM SCHLECHT. DAN ACREMONIUM KILIENSE GRÜTZ. PADA POHON GAHARU (AQUILARIA MALACCENSIS LAMK.) Noorhamsyah Politeknik Pertanian Negeri Samarinda ABSTRACT. Influences of Some Inoculation Methods on the Infection of Fusarium oxysporum Schlecht. and Acremonium kiliense Grütz., Fungi in Trees of Agarwood (Aquilaria malaccensis Lamk.). The aims of this research were to determine: (1) the growth speed of Fusarium oxysporum and Acremonium kiliense mycelia in the media of potato dextrose agar (PDA), (2) the germination percentage of their spores, (3) the symptoms of infected trees, (4) the most effective inoculum to infect gaharu trees between mycelium+spore, spores only and PDA only, (5) the most efective inoculation method to induce disease in gaharu trees and (6) the most effective fungus to infect gaharu trees. This research was carried out at Forest Protection Laboratory, Faculty of Forestry, Mulawarman University, Tissue Culture Laboratory and Arboretum of Samarinda Agricultural State Polytechnique. This research was designed in completely randomized, where healthy trees with a diameter of more than 10 cm were selected as samples in purposive sampling method. The total of inoculated trees were 30 trees, consisted of each 10 trees were treated by making hole with a drill, injured with a chisel and uninjured trees, respectively. Results of this research showed that the mycelium growth of F. oxysporum in petri dish contained PDA was faster than that of A. kiliense, they were 4.60 mm/day and 4.56 mm/day, respectively. The germination of F. oxysporum spores were also faster than that of A. kiliense, they were 4 and 21 hours after water contact, respectively. Infected trees showed that bark of the stems were turned from soft to rough, splitted, easy to peel and the colour was turned from whitish to greyish. The average width of infection court in trees inoculated with F. oxysporum spores was 68.8 mm2, followed by inoculated with mycelium+spores was 40.4 mm2, while the average width of infection court in trees inoculated with A. kiliense spore was 40.4 mm2, followed by inoculated with mycelium+spores was 28.9 mm2. Hence, the most effective fungus to infect gaharu trees was F. oxysporum compared with A. kiliense. The average width of infection court in trees treated by making hole with a drill was bigger than that of injured with a chisel, they were 81.4 and 25.7 mm 2, respectively. Neither the injured nor uninjured trees inoculated with PDA without fungus showed infection symptom. Kata kunci: pertumbuhan jamur, perkecambahan spora, Fusarium, Acremonium
Semakin menipisnya persediaan sumberdaya kayu jenis komersial maupun non komersial di hutan alam, maka pengelolaan hutan alam beralih kepada pemanfaatan hasil hutan bukan kayu selain pembangunan hutan tanaman industri menjadi pilihan yang paling baik. Sejalan upaya Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) serta dikembangkannya pencanangan social forestry dalam membina dan 74
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL 2010
75
mengoptimalkan fungsi dan manfaat hutan bagi kehidupan masyarakat dengan pola Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), dimungkinkan jenis pohon penghasil gaharu dapat memberikan kontribusi pendapatan masyarakat, pendapatan asli daerah dan devisa negara yang potensial untuk dikembangkan. Di Indonesia gaharu dikelompokkan dalam komoditas kehutanan golongan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang bernilai komersial tinggi dan banyak diburu masyarakat. Gaharu adalah produk jenis pohon tertentu yang berasal dari kayu yang mengkristal yang berguna untuk pencampur obat-obatan, kemenyan, penghasil dupa dan minyak harum yang merupakan komoditi ekspor dan mempunyai nilai ekonomi tinggi (Schuitemakar, 1998 dalam Muttaqin dkk., 2007). Di sisi lain, saat ini produksi gaharu masih bergantung pada hutan alam. Secara tradisional pemungutan gaharu oleh masyarakat kurang didukung oleh pengetahuan menyangkut ciri dan sifat fisiologis pohon yang telah bergaharu dan lebih bersifat spekulatif yaitu setiap pohon yang ditemukan langsung ditebang, lalu dicacah dari seluruh bagian pohon, baik akar, batang, maupun cabang untuk mencari bagian yang telah berbau harum, bila tidak ditemukan ditinggal. Kondisi tersebut mengakibatkan potensi pohon sesuai jenis mengalami kemunduran sumberdaya genetik (genetic resource). Upaya budidaya gaharu belum mengimbangi pohon yang ditebang dan eksploitasi hutan gaharu yang telah dilakukan sebelumnya, padahal hasil penelitian sebelumnya menunjukkan, bahwa tidak semua pohon gaharu mempunyai kemampuan memproduksi gaharu berkualitas. Pada saat ini telah terjadi pergeseran animo masyarakat yang cukup tinggi dalam usaha budidaya tanaman penghasil gaharu, di berbagai wilayah Indonesia telah dilakukan penanaman gaharu baik oleh swasta maupun pemerintah. Seiring dengan itu maka diperlukan pengembangan teknologi inokulasi. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kecepatan tumbuh jamur Fusarium oxysporum dan Acremonium kiliense yang digunakan untuk inokulasi; mengetahui persentase berkecambah spora kedua jenis jamur; mengetahui gejala pohon yang terinfeksi jamur; persentase pohon yang terinfeksi; mengetahui bahan inokulasi yang paling efektif dalam menginfeksi pohon gaharu di antara miselium+spora dan sporanya saja; mengetahui metode inokulasi yang paling efektif dalam menimbulkan sakit pada pohon gaharu serta mengetahui jenis jamur yang paling efektif dalam menginfeksi pohon gaharu. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat diterapkan oleh para pembudidaya gaharu tentang bahan inokulasi, jenis jamur dan metode inokulasi yang paling efektif dalam menginfeksi pohon gaharu, sehingga dapat lebih cepat menghasilkan gaharu dan tidak mengharapkan hasil dari hutan alam yang sudah langka. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Perlindungan Hutan Fahutan Unmul dan di areal Arboretum Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. Penelitian di laboratorium dan lapangan memakan waktu selama 6 bulan. Penelitian ini dirancang dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 macam inokulum yaitu AS (spora A. kiliense), AMS (miselium+spora A. kiliense), FS (spora F. oxysporum), FMS (miselium+spora F. oxysporum) dan K
76
Noorhamsyah (2010). Pengaruh Beberapa Metode Inokulasi
(kontrol). Metode inokulasi yang digunakan terdiri dari 3 macam yaitu dilubangi, dilukai dan tanpa dilukai. Keseluruhan kombinasi perlakuan masing-masing diulang 3 kali. Dalam penelitian ini dilakukan dua tahap kegiatan yaitu di laboratorium dan di lapangan. Di laboratorium dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan miselium jamur dan perkecambahan spora jamur. Di lapangan dilakukan pengamatan terhadap infeksi batang pohon gaharu setelah 4 bulan diinokulasi. Inokulum miselium+spora diambil bersamaan dengan media potato dextrose agar (PDA), sedangkan untuk sporanya diambil dari media PDA yang telah berspora dilarutkan dengan aquabidest. Metode dilubangi pada pohon adalah dengan cara melakukan pengeboran terhadap batang pohon gaharu sedalam 5 cm dengan menggunakan bor listrik berdiameter 13 mm. Metode dilukai adalah dengan cara mengupas kulit pohon gaharu sampai kambium dengan ukuran 13x13 mm. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Miselium Jamur Sebelum dilakukan inokulasi di lapangan, terlebih dahulu dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan miselium kedua jenis jamur untuk mengetahui perbedaan kecepatan tumbuhnya. Kecepatan tumbuh miselium kedua jenis jamur yang telah diamati di laboratorium dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kecepatan Tumbuh Miselium Jamur Fusarium oxysporum dan Acremonium kiliense Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata-rata
Pertumbuhan per hari (dalam mm) F. oxysporum A. kiliense 4,6 4,6 4,3 5,5 4,8 5,0 4,6 4,8 5,5 4,9 4,1 4,9 5,1 3,3 4,1 3,5 4,4 5,1 4,1 4,5 4,6 4,56
Pada Tabel 1 terlihat, bahwa rata-rata kecepatan tumbuh per hari antara jamur F. oxysporum dan A. kiliense di PDA adalah hampir sama atau tidak jauh berbeda. Kecepatan tumbuh miselium rata-rata jamur F. oxysporum hanya lebih cepat 0,04 mm per hari dibanding jamur A. kiliense. Brabender dkk. (1985) mengemukakan, bahwa laju pertumbuhan miselium A. kiliense adalah antara 13 mm per hari dalam cawan petri pada media glukosa kentang agar. Secara visual pertumbuhan jamur A. kiliense pada penelitian ini lebih cepat. Perbedaan ini dimungkinkan karena faktor genetik yang berbeda, yang mana faktor genetik ini dipengaruhi oleh kondisi habitat
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL 2010
77
asal dari jamur tersebut. Oleh karena itu ada jenis jamur yang ganas (virulen) dan ada juga yang tidak ganas (avirulen) walaupun jenisnya sama. A. kiliense yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari kayu gaharu yang diperoleh dari Berau, sedangkan A. kiliense yang diteliti Brabender dkk. (1985) tidak diketahui asalnya. Hal yang sama terjadi juga pada F. oxysporum. Domsch dkk. (1980) mengemukakan, bahwa pertumbuhan jamur F. oxysporum sebesar 5,68,1 mm per hari. Secara visual pertumbuhan jamur F. oxysporum pada penelitian ini lebih lambat. Dengan kecepatan tumbuh kedua jenis jamur tersebut yang tidak jauh berbeda, maka diperkirakan bila diinokulasikan ke pohon gaharu akan menimbulkan gejala infeksi pada waktu yang sama pula, sehingga nantinya panen gaharu dapat dilakukan bersama-sama. Persentase Berkecambah Spora F. oxysporum dan A. kiliense Persentase rata-rata perkecambahan spora ditampilkan pada Tabel 2 dan 3. Tabel 2. Persentase Berkecambah Spora F. oxysporum di Laboratorium No. preparat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Rata-rata
1 0 43,33 49,51 0 18,02 20,41 27,69 31,00 22,11 32,61 17,89 30,19 24,40
Waktu setelah kontak dengan air (jam) 2 3 50,00 90,00 64,17 95,00 74,75 91,26 68,69 82,61 24,32 100 26,53 72,45 48,46 55,38 57,00 65,00 63,46 66,35 58,69 100 51,58 100 64,15 100 54,32 84,84
4 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Tabel 3. Persentase Berkecambah Spora A. kiliense di Laboratorium No. preparat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Rata-rata
17 6,00 9,30 7,80 6,32 8,41 7,50 6,12 9,19 8,18 8,14 6,45 9,43 7,74
Waktu setelah kontak dengan air (jam) 18 19 20 32,00 74,00 82,00 20,93 63,95 76,74 10,64 18,44 21,98 22,11 57,89 62,10 28,04 49,53 88,78 15,83 48,33 90,00 27,55 51,02 98,98 21,84 49,43 63,22 47,27 52,73 81,82 43,02 59,30 89,53 30,10 70,97 88,17 25,47 64,15 89,62 27,07 54,98 77,75
21 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
78
Noorhamsyah (2010). Pengaruh Beberapa Metode Inokulasi
Tabel 2 dan 3 menunjukkan, bahwa kecepatan berkecambah spora F. oxysporum lebih cepat dibandingkan dengan spora A. kiliense. Spora jamur F. oxysporum ada yang sudah berkecambah hanya dalam waktu 1 jam setelah kontak dengan air dan yang paling lama setelah 4 jam kontak dengan air, sedangkan spora A. kiliense baru ada yang berkecambah paling cepat setelah 17 jam kontak dengan air. Untuk mencapai perkecambahan spora 100% pada F. oxysporum ada yang telah tercapai setelah 3 jam kontak dengan air, tetapi rata-ratanya setelah 4 jam kontak dengan air, sedangkan untuk A. kiliense sporanya berkecambah 100% baru dicapai setelah 21 jam kontak dengan air. Penyebab utama terjadinya perbedaan ini dikarenakan faktor internal kedua jenis jamur yaitu faktor genetik. Lilly dan Barnett (1951) menyatakan, bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan spora jamur adalah sesuainya suhu, kelembapan, oksigen, pH dan daya kecambahnya; persentase maksimum dari spora yang berkecambah pada waktu yang paling singkat terjadi bila semua faktor yang mempengaruhinya dalam kondisi yang optimum atau mendekati optimum. Dalam penelitian ini diketahui bahwa spora kedua jenis jamur mencapai 100% berkecambah setelah 4 jam untuk F. oxysporum dan 21 jam untuk A. kiliense. Hal ini berarti faktor-faktor yang berkenaan dengan spora kedua jenis jamur tersebut dalam keadaan optimum. Perbedaan waktu perkecambahan yang mencolok antara spora F. oxysporum dan A. kiliense disebabkan oleh faktor genetik, karena jenis yang berbeda menyebabkan sifat yang berbeda pula termasuk waktu perkecambahan. Dengan adanya perbedaan waktu mulainya perkecambahan spora antara kedua jenis jamur, yaitu spora F. oxysporum 1 jam dan A. kiliense 17 jam setelah kontak dengan air, diperkirakan bila kedua jenis spora itu diinokulasikan ke pohon gaharu, maka F. oxysporum lebih cepat menginfeksi dan berkembang di dalam kayu gubal. Gejala dan Persentase Batang yang Terinfeksi Jamur Rataan diameter pohon sampel umur 14 tahun diketahui sebesar 17,26 cm. Hal ini berarti bahwa pohon sampel telah memenuhi persyaratan untuk dilakukan inokulasi karena menurut Sumarna (2002), bahwa batas minimal suatu pohon dapat diinokulasi ditandai dengan pohon yang mulai berbunga, umur pohon tersebut sekitar 45 tahun atau diameter batang pohon sudah mencapai 810 cm. Gejala infeksi yang terlihat adalah perubahan warna asal kulit batang (keputihputihan) menjadi putih keabu-abuan. Gejala infeksi diawali dengan perubahan permukaan kulit yang lebih kasar dari sebelumnya dan mudah terkelupas, selanjutnya terjadi pecah-pecah berupa garis-garis yang halus. Menurut Sumarna (2002), bahwa pohon yang diinokulasi hingga panen memerlukan waktu sekitar 2 tahun lebih, sedangkan panen total memerlukan waktu 45 tahun. Selanjutnya dijelaskan, bahwa suatu pohon yang sudah terbentuk gaharu memiliki beberapa ciri, yaitu daun pada tajuk pohon sudah menguning bertahap, daun yang menguning rontok, ranting kehilangan daun dan mulai mengering, proses pertumbuhan terhenti, ranting dan batang mulai meranggas dan mudah patah, kulit batang lebih mudah terkelupas dan pecah. Batang, cabang dan ranting berwarna putih serta berserat coklat kehitaman dengan teras kayu merah kecoklatan bila
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL 2010
79
kulitnya dikupas dan bila dibakar kulit kupasannya akan mengeluarkan aroma harum sebagai damar atau resin gaharu. Pada penelitian ini belum memperlihatkan semua gejala seperti yang disebutkan di atas, hal ini dikarenakan waktu pengamatan hanya 4 bulan setelah inokulasi. Bila pengamatan dilakukan dalam kurun waktu 2 tahun lebih, diperkirakan kalau pohon yang diinokulasi tersebut rentan, maka akan memperlihatkan gejala yang sama dengan yang disebutkan di atas. Perbedaan diameter, tinggi total dan tinggi bebas cabang pohon sampel ternyata tidak ada hubungannya dengan luas infeksi yang ditimbulkan. Hal ini telah dibuktikan melalui analisis regresi masing-masing dengan melihat nilai r (korelasi). Hubungan antara diameter pohon dan luas infeksi mempunyai nilai r = 0,16, hubungan antara tinggi total pohon dan luas infeksi mempunyai nilai r = 0,27, sedangkan hubungan antara tinggi bebas cabang pohon dan luas infeksi mempunyai nilai r = 0,14. Menurut Santoso (1998), bahwa korelasi (r) menggambarkan keeratan hubungan antara variabel. Selanjutnya dikemukakan, bahwa angka korelasi (r) sebesar 0,6 ke atas dianggap cukup memadai untuk menggambarkan eratnya hubungan antar variabel, sedangkan angka 0,6 ke bawah dianggap variabel-variabel tidak berkorelasi dengan baik (hubungan tidak erat). Riduwan dan Sunarto (2008) mengemukakan kriteria korelasi (nilai r) yang lebih rinci yaitu: 0,81 (sangat kuat), 0,60,799 (kuat), 0,40,599 (cukup kuat), 0,20,399 (rendah), 0,000,199 (sangat rendah). Supangat (2008) mengemukakan, bahwa nilai r tersebut dapat pula diartikan sebagai tingkat kekuatan hubungan antara dua variabel atau lebih. Selanjutnya dijelaskan oleh Suryadi dan Purwanto (2009), bahwa analisis korelasi adalah suatu teknik statistik yang digunakan untuk mengukur keeratan hubungan atau korelasi antara dua variabel, yang menunjukkan seberapa dekat kombinasi titik antara variabel y dan x pada garis lurus sebagai garis dugaannya. Berdasarkan hasil penelitian ini, luas infeksi dipengaruhi oleh metode inokulasi, bahan inokulasi dan jenis jamur yang digunakan. Ketiga faktor yang mempengaruhi perbedaan luas infeksi tersebut diperlihatkan dari hasil pengukuran luas infeksi (Tabel 4). Jumlah pohon yang terinfeksi pada metode dilubangi sebanyak 7 pohon dari 10 pohon yang diinokulasi (70%), pada metode yang hanya dilukai terinfeksi sebanyak 3 pohon dari 10 pohon yang diinokulasi (30%), sedangkan pada metode tanpa dilukai tidak ada pohon yang terinfeksi (0%). Pohon yang tidak terinfeksi kondisinya masih utuh atau tidak berubah dan tidak terjadi pembusukan. Luas Infeksi Berdasarkan Perbedaan Metode Inokulasi Pada Tabel 4 terlihat, bahwa luas gejala infeksi di permukaan batang pohon yang dilubangi lebih besar daripada yang dilukai, masing-masing 81,4 mm2 dan 25,7 mm2, sedangkan pada kontrol (tanpa dilukai) tidak terjadi gejala infeksi. Setelah diuji dengan analisis keragaman, ternyata perbedaan metode inokulasi adalah yang menyebabkan perbedaan signifikan terhadap luas infeksi. Berdasarkan hasil uji BNT, metode inokulasi dengan cara dilubangi terlebih dahulu menunjukkan luas gejala infeksi yang paling besar dan berbeda signifikan dengan yang dilukai dan tanpa dilukai.
80
Noorhamsyah (2010). Pengaruh Beberapa Metode Inokulasi 2
Tabel 4. Luas Gejala Infeksi (Dalam MM ) di Permukaan Batang Setelah 4 Bulan Diinokulasi (Setiap Angka Adalah Rata-rata Dari 3 Ulangan) Nomor D Inokulum TT Rata(m) Rata pohon (cm) AS AMS FS FMS K 1 23,7 16,9 150,8 94,2 213,6 94,2 0 110,6 7 14,1 17,5 0 0 0 0 0 0 8 13,9 12,1 121,7 181,4 213,6 121,7 0 127,7 9 14,1 15,3 150,8 94,3 247,4 121,7 0 122,8 A. 12 18,8 14,5 121,7 68,3 247,4 121,7 0 111,8 Dilubangi 17 18,3 9,7 150,8 68,3 213,6 213,6 0 129,3 19 28,5 13,8 94,2 68,3 213,6 94,3 0 94,1 22 19,0 15,4 0 0 0 0 0 0 29 11,7 16,1 94,2 94,2 247,4 150,8 0 117,3 30 17,8 14,1 0 0 0 0 0 0 Rata -rata 88,4 66,9 159,7 91,8 0 81,4 2 13,3 15,0 0 0 0 0 0 0 3 16,8 18,3 120 56 155 87 0 83,6 10 16,3 15,4 0 0 0 0 0 0 16 14,7 14,1 0 0 0 0 0 0 B. 18 16,8 8,8 120 87 192 120 0 103,8 Dilukai 23 14,2 13,5 87 56 120 87 0 70 24 21,6 19,2 0 0 0 0 0 0 25 23,6 20,1 0 0 0 0 0 0 27 36.8 15,5 0 0 0 0 0 0 28 12,6 17,6 0 0 0 0 0 0 Rata-rata 32,7 19,90 46,7 29,4 0 25,7 4 12,6 13,2 0 0 0 0 0 0 5 18,1 14,8 0 0 0 0 0 0 6 20,0 15,4 0 0 0 0 0 0 11 14,7 15,2 0 0 0 0 0 0 C. 13 17,8 14,0 0 0 0 0 0 0 Tanpa 14 17,3 14,0 0 0 0 0 0 0 dilukai 15 13,6 12,3 0 0 0 0 0 0 20 10,4 9,9 0 0 0 0 0 0 21 11,6 10,0 0 0 0 0 0 0 26 15,2 18,3 0 0 0 0 0 0 Rata-rata 0 0 0 0 0 0 Rata-rata seluruh 40,4 28,9 68,8 40,4 0 35,7 D = diameter batang pohon. TT = tinggi total pohon. AS = spora A. kiliense. AMS = miselium+spora A. kiliense. FS = spora F. oxysporum. FMS = miselium+spora F. oxysporum. K = kontrol (PDA tanpa jamur) Metode inokulasi
Hasil ini berarti metode dilubangi lebih baik daripada dilukai, karena jamur dapat kontak langsung dengan kayu gubal dan dapat berkembang dengan baik. Hal ini dimungkinkan karena kayu gubal tidak membentuk jaringan sel pencegah serangan jamur, melainkan hanya bahan-bahan kimia sebagai reaksi pohon terhadap adanya serangan patogen. Menurut Anonim (2009), bahan kimia yang dikeluarkan pohon gaharu adalah resin padat yang memiliki enam komponen utama yaitu furanoid sesquiterpene (α-agarofuran, ß-agarofuran dan agarospirol), furanoid sesquiterpene, chromone, sequiterpenoida, eudesmana dan valencana, yang mana
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL 2010
81
chromone adalah bahan kimia yang memberikan aroma yang harum. Pada metode yang dilukai, luas infeksi lebih kecil daripada yang dilubangi, karena lukanya hanya sampai kambium, sehingga jamur mendapat hambatan pertumbuhan karena aktivitas kambium, terutama pembentukan kalus. Kulit batang pohon yang luka biasanya cepat tertutup kalus yang dibentuk oleh kambium, hal ini adalah reaksi pohon untuk mencegah masuknya patogen dan atau mencegah perkembangan patogen yang telah masuk ke jaringan yang masih sehat. Muttaqin dkk. (2007) telah melakukan penelitian inokulasi pada lokasi yang sama dengan metode berbeda dengan penelitian ini yang menghasilkan luas infeksi sebesar 277,5 mm2 setelah 4 bulan diinokulasi. Perbedaan luas infeksi yang dihasilkan dibandingkan dengan penelitian ini diduga karena inokulasi dilakukan hingga 3 kali. Ngatiman (2005) juga telah melakukan penelitian inokulasi pada jenis Aquilaria microcarpa yang menghasilkan luas infeksi sebesar 652,5 mm2. Inokulasi dilakukan bervariasi antara 15 kali. Perbedaan luas infeksi yang dihasilkan dibandingkan dengan penelitian ini adalah karena perbedaan jenis pohon gaharu dan banyaknya inokulasi yang dilakukan. Menurut Boyce (1961) patogen dapat masuk ke tubuh inangnya dengan 3 cara, yaitu melalui lubang alami, luka dan melalui permukaan yang utuh. Pada penelitian ini, pohon yang diinokulasi tanpa dilukai ternyata tidak menunjukkan gejala infeksi. Hal ini mengindikasikan, bahwa kedua jenis jamur tidak mampu menginfeksi permukaan kulit batang yang dapat disebabkan sel-sel kulit batang gaharu cukup tebal sehingga tidak dapat ditembus oleh miselium kedua jenis jamur. Selain itu dapat juga terjadi bahwa pada bagian kulit batang yang diinokulasi tidak terdapat lentisel atau ada tetapi dalam keadaan menutup karena terlindung dari sinar oleh pembungkus inokulum. Luas Infeksi Berdasarkan Perbedaan Inokulum Pada Tabel 4 terlihat, bahwa pada pohon yang diinokulasi dengan spora F. oxysporum terdapat gejala infeksi dengan luas rata-rata 68,8 mm2, disusul dengan miselium+spora F. oxysporum dan spora A. kiliense masing-masing seluas 40,4 mm2, miselium+spora A. kiliense seluas 28,9 mm2, sedangkan pada kontrol (PDA tanpa jamur) tidak ada gejala infeksi. Setelah diuji dengan analisis keragaman, ternyata perbedaan inokulum menyebabkan perbedaan signifikan terhadap luas infeksi. Berdasarkan hasil uji BNT, perlakuan inokulasi dengan menggunakan spora F. oxysporum menunjukkan luas gejala infeksi yang paling besar dan berbeda signifikan dengan perlakuan lain. Hal ini berarti inokulasi dengan menggunakan spora F. oxysporum lebih baik daripada miselium+spora F. oxysporum, spora A. kiliense, miselium+spora A. kiliense dan kontrol (PDA tanpa inokulum). Bila dilihat dari kecepatan berkecambah antara spora F. oxysporum dengan A. kiliense, terdapat perbedaan yang mencolok, yaitu masing-masing 1 jam dan 17 jam (Tabel 2). Dengan demikian maka infeksi oleh spora F. oxysporum lebih luas dibandingkan dengan spora A. kiliense. Bila dilihat dari pertumbuhan miseliumnya, miselium F. oxysporum sedikit lebih cepat pertumbuhannya bila dibandingkan A. kiliense (Tabel 1), begitu juga luas
82
Noorhamsyah (2010). Pengaruh Beberapa Metode Inokulasi
infeksi yang disebabkan oleh miselium+spora F. oxysporum (FMS) lebih luas daripada yang disebabkan oleh miselium+spora A. kiliense (AMS). Tetapi setelah diuji dengan uji BNT, kedua inokulum tersebut tidak menyebabkan perbedaan signifikan terhadap luas infeksi. Hal ini berarti kedua inokulum tersebut sama vitalitasnya dalam menginfeksi pohon gaharu. Luas Infeksi Berdasarkan Perbedaan Jenis Jamur Pada Tabel 4 terlihat, bahwa luas infeksi akibat jamur A. kiliense (AS+AMS) adalah 69,3 mm2, sedangkan luas infeksi akibat F. oxysporum (FS+FMS) adalah 109,2 mm2. Setelah diuji dengan analisis keragaman ternyata perbedaan jenis jamur menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap luas infeksi. Hal ini berarti F. oxysporum lebih baik daripada A. kiliense karena lebih cepat perkembangannya di dalam batang pohon. Dengan cepatnya perkembangan (luas) infeksi, maka gaharu akan lebih cepat dan lebih banyak dipanen. Bila dalam 4 bulan luas infeksi rata-rata 35,7 mm2, maka diperkirakan dalam setahun luas infeksinya mencapai 107,1 mm2. Namun belum diketahui sampai berapa tahun setelah inokulasi baru akan terbentuk gaharu dengan kualitas tinggi. Gaharu dapat dipanen setelah 12 tahun atau lebih setelah diinokulasi. Pada pohon Gyrinops versteegii, Mulyaningsih (2005) menyarankan bahwa untuk menghasilkan pohon dengan kualitas tinggi hendaknya pemanenan dilakukan minimal 2 tahun setelah inokulasi dengan F. lateritium. Hasil isolasi jamur yang diambil dari pohon yang terinfeksi menunjukkan, bahwa pohon tersebut memang terinfeksi oleh jamur yang diinokulasikan. Hal ini terbukti melalui pengamatan dengan mikroskop di laboratorium terhadap isolat yang diambil dari pohon terinfeksi yang menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan pada saat pengamatan awal di laboratorium, yaitu untuk miselium F. oxysporum berwarna putih, spora berbentuk bulan sabit sedangkan untuk miselium A. kiliense berwarna coklat tua, sporanya berbentuk lonjong (silindris). Warna isolat kedua jamur sama yaitu putih kecoklatan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kecepatan tumbuh jamur F. oxysporum pada media PDA di cawan petri lebih cepat dibandingkan dengan A. kiliense, masing-masing 4,60 mm dan 4,56 mm/hari, demikian juga perkecambahan spora F. oxysporum lebih cepat dibandingkan dengan spora A. kiliense, masing-masing 4 jam dan 21 jam setelah kontak dengan air. Gejala infeksi diawali dengan perubahan permukaan kulit batang yang lebih kasar dari sebelumnya dan mudah terkelupas, selanjutnya terjadi pecah-pecah yang halus berupa garis-garis halus. Pada akhirnya terjadi perubahan warna dari keputihputihan menjadi putih keabu-abuan. Persentase pohon yang terinfeksi pada metode dilubangi dan dilukai masingmasing sebesar 70% dan 30%, sedangkan yang tanpa dilukai tidak menunjukkan gejala infeksi (0%), sedangkan bahan inokulasi yang paling efektif dalam menginfeksi pohon gaharu adalah sporanya dibandingkan miselium+spora, pada perlakuan kontrol (PDA tanpa miselium dan spora) tidak menunjukkan gejala.
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL 2010
83
Metode inokulasi yang paling efektif dalam menimbulkan sakit adalah dilubangi dibandingkan dengan dilukai maupun tanpa dilukai, sedangkan jenis jamur yang paling efektif dalam menginfeksi pohon gaharu adalah F. oxysporum dibandingkan A. kiliense. Saran Untuk menginokulasi pohon A. malaccensis disarankan agar menggunakan spora dari jenis F. oxysporum dengan terlebih dahulu dibuat lubang bor sedalam 5 cm. Disarankan untuk penelitian lanjutan sampai menghasilkan gaharu dengan kualitas tinggi, sehingga dapat diketahui berapa lama dan jenis jamur mana yang dapat menghasilkan gaharu dengan kualitas tinggi tersebut. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Agarwood. Wikipedia, the Free Encyclopedia. http://en.wikipedia.org/wiki/Agarwood. Boyce, J.S. 1961. Forest Pathology. Third edition. McGraw-Hill Book Company Inc., New York. 572 h. Brabender, W.M.D.; J.M.D. Ketcherside; G.R.M.D. Hodges; S.M.D. Rengachary and W.G. Barnes. 1985. Acremonium kiliense Osteomyelitis of the Calvarium. Neurosurgery 16 (4): 554556. Domsch, K.H.; W. Gams and T. Anwergom. 1980. Compendium of Soil Fungi. Vol. 1. Academic Press, London. Lilly, V.G. and H.L. Barnett. 1951. Physiology of the Fungi. First Edition. McGraw-Hill Book Company Inc., New York. 464 h. Mulyaningsih, T. 2005. Optimalisasi Produksi Gubal Gaharu Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke. Secara Teknis dan Ekonomis. Laporan Riset Unggulan Terpadu Bidang Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Mataram. 89 h. Muttaqin, Z.; Noorhamsyah dan R. Yuliani. 2007. Pengamatan Keberhasilan Inokulasi pada Tanaman Gaharu Umur 12 Tahun di Arboretum Poltanesa. Poltanesa, Samarinda. 59 h. Ngatiman. 2005. Studi Awal Pembentukan Gaharu dengan Cara Inokulasi. Prosiding Seminar Nasional Mapeki VII. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan, Samarinda. 9 h. Riduwan dan Sunarto. 2008. Pengantar Statistika Untuk Penelitian Pendidikan, Sosial, Ekonomi dan Bisnis. Penerbit Alfa Beta, Bandung. 368 h. Santoso, S. 1998. Aplikasi Excel dalam Statistik Bisnis. PT Elex Media Komputindo, Jakarta. 259 h. Sumarna, Y. 2002. Budidaya Gaharu. Seri Agribisnis. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta. 78 h. Supangat, A. 2008. Statistika dalam Kajian Deskriptif, Inferensi dan Non Parametrik. Prenada Media Group, Bandung. 413 h. Suryadi dan Purwanto. 2009. Statistika untuk Ekonomi dan Keuangan Modern. Salemba Empat, Jakarta. 398 h.