Pengaruh Aliran Legisme Dalam Putusan Hakim di Indonesia (The Influence of Positivism Thought in Judge’s Decision in Indonesia) Oleh Muhammad Nur1
Abstract Positivism or Legism Thought, which was expanded during Middle Age in Europe, stands on the point that there is no law but act/ordinance, only act/ordinance could be as legal source. This belief was followed by lawyers and legal makers in 19th century in Netherland. This influence the making of legislation process in Netherlands Indies which is stated on Article 15 AB. If we look at the enforcement of law in Indonesian courts, the judges are given the authority to trial the case, the judges can not refuse the case by the reason of there is no regulation about that case, but the judges must find the law.In fact, the judges in Indonesia mostly are influenced by the legism thought, because of the court doctrin and tradition in Indonesia. It is also supported by legal education system and judges’ way of thinking, which often using formal logic silogism deductively. Keywords: Legism Thought, Judge’s Decision, Indonesia.
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Aliran Positivisme/Legisme merupakan suatu aliran (mazhab) penemuan hukum yang berkembang pada abad pertengahan di Eropa. Mazhab ini berpendirian bahwa tiada hukum diluar Undang-Undang. Jadi menurut mereka hanya undangundang yang menjadi sumber hukum, selain undang-undang tidak diakui sebagai sumber hukum. Pandangan Legisme ini dikemukakan dalam zaman pikiran rasionalis, menurut Utrecht pikiran ini didasarkan pada dua hal, yaitu : a. Hukum yang ditentukan dalam undang-undang ialah hasil pekerjaan badan legislatif yang menggunakan rasio (akal), maka dari itu hanya peraturan undang-undang yang dapat menjadi hukum; 1
Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
Pengaruh Aliran Legisme Dalam Putusan Hakim di Indonesia (Muhammad Nur) b. Hukum kebiasaan tidak mungkin diterima sebagai hukum yang sungguhsungguh, karena corak kebiasaan itu berlain-lainan menurut waktu dan tempat, jadi tidak dapat disesuaikan dengan kepercayaan pada suatu hukum alam yang sifatnya tetap dan tidak berubah-ubah dimana-mana juga pada waktu apapun.2 Pandangan teori legisme ini memberikan makna bahwa kebiasaan tidak dapat diterima sebagai hukum, sehingga apabila undang-undang tidak mengatur tentang sesuatu hal, maka dengan sendirinya akan terjadi kekosongan hukum. Hal ini tentu saja akan merugikan masyarakat pencari keadilan, karena tidak semua persoalan hidup masyarakat ternyata diatur secara lengkap dalam suatu peraturan. Artinya ada hal-hal yang specifik dalam pergaulan hidup masyarakat terlupakan oleh pembuat undang-undang untuk diatur dalam sebuah undang-undang. Teori legisme dianut oleh ilmu hukum maupun pembuat undang-undang pada abad ke-19 di Negeri Belanda, pada waktu hukum privat Belanda dikodifikasi pada tahun 1838. Pengaruh ini tentu saja sangat dirasakan dalam kodifikasi hukum privat di Hindia Belanda (Indonesia) yang dilakukan pada tahun 1848, melalui azas konkordansi. Oleh karena itu ajaran legisme juga dapat dirasakan di Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal 15 AB yang menentukan bahwa : ”Selain dari pada pengecualian-pengecualian yang telah ditetapkan tentang Bumiputera dan orangorang yang dipersamakan dengan mereka, maka kebiasaan tidak menimbulkan hukum kecuali dan hanya apabila undang-undang menunjuk kepada itu”. Apabila dilihat dalam prosedur penegekan hukum di Pengadilan, kepada hakim diberikan kewenangan untuk menyelesaikan perkara yang diajukan ke pengadilan. Di mana hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukum atau hukum kurang jelas mengaturnya. Hal ini secara tegas ditentukan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu : ”Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Dengan demikian dalam suatu proses pengadilan di Indonesia, hakim dibebankan untuk menerima dan memutuskan setiap perkara yang diajukan 2
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1961, hal. 173174 47
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
kepadanya. Jadi hakim tidak boleh beralasan bahwa hukum tidak mengatur tentang perkara yang diajukan kepadanya, sehingga perkara tersebut harus ditolak. Akan tetapi adalah kewajiban untuk menggali hukum yang hidup dalam masyarakat apabila dalam undang-undang tidak ada pengaturan tentang hal tersebut. 2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapatlah dirumuskan permasalahan yaitu: ”Apakah hakim di Indonesia dipengaruhi oleh aliran Legisme dalam melahirkan putusannya?” B.
PEMBAHASAN
1.
Mazhab Legisme/Positivisme Perundang-Undangan
Proses lahirnnya mazhab positivisme ini berkaitan dengan permasalahan hukum yang timbul dalam masyarakat, dimana sebelum tahun 1800 umat manusia hanya mengenal hukum tidak tertulis, yang berupa hukum kebiasaan.3 Sebagai reaksi terhadap ketidakpastian dan ketidakseragaman hukum, maka timbullah usaha untuk penyeragaman hukum melalui jalan kodifikasi. Permasalahan yang timbul selanjutnya adalah menyangkut dengan apa yang menjadi satu-satunya sumber hukum. Sehingga lahirlah aliran penemuan hukum yang bertitik tolak pada pandangan apa yang merupakan satu-satunya sumber hukum. Dengan demikian aliran positivisme undang-undang/legisme merupakan salah satu aliran tentang ajaran sumber hukum. Usaha pengkodifikasian hukum di eropa pada abad ke-19 ditujukan untuk seragamnya hukum yaitu dengan cara menuangkan hukum secara lengkap dan sistematis dalam Kitab Undang-undang. Hukum kebiasaan sebagai sumber hukum mulai ditinggalkan, di Perancis pada akhir abad ke-18 diadakan kodifikasi dan dicontoh oleh seluruh Eropa. Timbulnya gerakan kodifikasi ini disertai dengan lahirnya aliran legisme.4 Mazhab positivisme undang-undang /legisme memandang bahwa ”satusatunya sumber hukum adalah undang-undang, yang dianggap cukup jelas dan 3 4
48
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Jokjakarta, 2007, hal. 94 I b I d., hal. 95
Pengaruh Aliran Legisme Dalam Putusan Hakim di Indonesia (Muhammad Nur) lengkap, sehingga hakim hanyalah berkewajiban menerapkan peraturan hukum pada peristiwa konkritnya, dengan bantuan metode penafsiran terutama penafsiran gramatikal”.5 Menurut John Austin, dalam Lili Rasyidi menegaskan bahwa hukum itu sebagai a command of the Lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. hukum dianggap sebagai suatu sistem yanng logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system).6 Menurut E. Utrecht aliran legisme ini dikemukakan dalam zaman pikiran rasionalistis berdasarkan dua hal, yaitu : a. Hukum yang ditentukan dalam undang-undang ialah hasil pekerjaan badan legislatif yang menggunakan rasio (akal), maka dari itu hanya peraturan undang-undang yang dapat menjadi hukum; b. Hukum kebiasaan tidak mungkin diterima sebagai hukum yang sungguhsungguh, karena corak kebiasaan itu berlain-lainan menurut waktu dan tempat, jadi tidak dapat disesuaikan dengan kepercayaan pada suatu hukum alam yang sifatnya tetap dan tidak berubah-ubah dimana-mana juga pada waktu apapun.7 Pandangan legisme bahwa undang-undang merupakan satu-satunya sumber hukum, dapat dilakukan melalui subsumptie. Untuk melaksanakan subsumptie ini diperlukan persyaratan yaitu : a. Undang-Undang harus bersifat umum (berlaku bagi setiap orang); b. Ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya harus dirumuskan secara abstrak (berlaku umum); c. Sistem peraturannya harus lengkap, sehingga tidak ada kekosongankekosongan.8 5 6
7
8
I b I d. Lili Rasjidi dan Tania Rasyidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 56 E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1961, hal. 173174 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal.95 49
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
Teori Legisme ini juga diikuti oleh Montesque, melalui trias politicanya, yang menyatakan bahwa tidak ada tempat untuk kebiasaan sebagai sumber hukum yang bebas. Jadi aliran ini berpendapat bahwa semua hukum itu berasal dari kehendak penguasa tertinggi, dalam hal ini kehendak pembentuk undang-undang. Oleh karena itu semua hukum terdapat dalam undang-undang. Berdasarkan pandangan ini, maka hanya undang-undanglah yang dapat menjadi sumber hukum, karena pengakuan kebiasaan sebagai sumber hukum berarti mengakui kekuasaan tertinggi lain di samping kekuasaan negara tertinggi (pembentuk undang-undang). Pembentuk undang-undang pada waktu itu ingin mencegah ketidak pastian dan ketidak seragaman hukum dengan mengabaikan hukum kebiasaan dan yurisprudensi. Hukum dan undang-undang itu identik. Usaha kearah kodifikasi ini hanya dapat dipahami melalui ajaran tentang pembagian kekuasaan yang mendapat pengaruh dari Montesquie dan harus dilihat dengan latar belakang pandangan negara liberal. Dalam ajaran trias politika tidak ada tempat untuk hukum kebiasaan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri. Penciptaan atau pembentukan hukum adalah monopoli pembentuk undang-undang. Rousseau dalam teorinya Kedaulatan rakyat menegaskan bahwa ”kehendak bersama dari rakyat (volente generale) adalah kekuasaan tertinggi. Undang-undang sebagai pernyataan kehendak rakyat satu-satunya sebagai sumber hukum, kebiasaan hanya dapat berlaku sebagai undang-undang secara diam-diam”.9 Berdasarkan mazhab ini, hukum adalah apa yang dibuat oleh badan legislatif, apabila suatu kaedah tidak ditentukan oleh badan legislatif ataupun yang bukan merupakan kehendak rakyat (volente generale) maka kaedah itu tidak merupakan kaedah hukum.10 Mazhab legisme ini mendasarkan pendapatnya pada ajaran filsafat positivisme baik dari Montesquei maupun Rossuea. Negara menurut aliran filsafat ini merupakan lembaga hukum terpenting, karena negara mewujudkan medan in optima forma yang didalamnya politik dijalankan. Negara melambangkan dan mengkonkretkan struktur kewibawaan yang didalamnya orang-orang menjalani kehidupan. Di dalam negara
9 10
50
Van Aveldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hal. 133 Syafruddin Kalo, Modul Kuliah Penemuan Hukum, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumtarea Utara, Medan, 2005, hal.1
Pengaruh Aliran Legisme Dalam Putusan Hakim di Indonesia (Muhammad Nur) juga aspek normatif memainkan peranan sentral, yang menampakkan diri dalam dua segi.11 Aliran filsafat ini melihat negara sebagai lembaga yang sangat penting, negara punya kedaulatan, artinya kemauan berkuasa dari kewibawaan yang mengambil keputusan. Tanpa ada kedaulatan tidak ada kewibawaan. Negara adalah sumber hukum, sejauh ia menciptakan hukum dan menjamin penegakan dan pelaksanaannya. Negara juga terikat pada hukum sejauh produksi hukum itu tidak sewenang-wenang. Sebagai lembaga sesungguhnya negara memiliki tugas in optima forma untuk mewujudkan ide hukum. Sebagai konsekwensi dari kewibaan negara tersebut maka satu-satunya sumber hukum yang diakui adalah undang-undang karena dibuat lembaga yang kedudukannya paling tinggi. Sedangkan kebiasaan tidak dibuat oleh lembaga yang mempunyai kekuasaan, sehingga kedudukannya sebagai sumber hukum tidak diterima, kecuali ditentukan oleh undang-undang sebagai sumber hukum. Menurut pandangan klasik yang dikemukakan oleh Montequieu dan Kant, hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya tidak menjalankan peranannya secara mandiri. Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong undang-undang (bauche de la loi), sehingga tidak dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang, tidak dapat menambah atau menguranginya.12 Kedudukan hakim yang tidak mandiri tersebut disebabkan undang-undang merupakan satu-satunya sumber hukum positif, oleh karena itu demi kepastian hukum, kesatuan hukum serta kebebasan warga negara yang terancam oleh kebebasan hakim, maka hakim harus di bawah undang-undang. Jadi pengadilan merupakan bentuk silogisme, yaitu bentuk berpikir logis dengan mengambil kesimpulan dari hal yang umum (premis mayor) dan hal yang khusus (premis minor). Premis mayornya adalah undang-undang (”Barang siapa mencuri dihukum”), premis minornya adalah peristiwa atau kasusnya (Suto mencuri), sedangkan putusannya merupakan kesimpulan yang logis (Karena Suto mencuri, maka harus dihukum). Karena kesimpulan logis itu tidak pernah berisi lebih dari isi premis, maka undangundang tidak akan berisi lebih dari yang terdapat dalam undang-undang dalam 11
12
Meuwissen, Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, (Terj. Arief Sidharta), Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 22 Sudikno Mertokusumo, Op. cit., hal. 40 51
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
hubungannya dengan peristiwa hukum. Demikian pula suatu putusan hakim tidak akan berisi atau meliputi lebih dari apa yang terdapat dalam undang-undang yang berhubungan dengan peristiwa konkrit. Namun kebiasaan sebagai sumber hukum juga merupakan suatu fenomena, sehingga perlu ada jalan keluar bagi berlakunya kebiasaan sebagai sumber hukum yaitu harus ditunjuk oleh undang-undang. Menurut Sudikno Mertokusumo : ”Apabila tidak ada penegasan mengenai penunjukan seperti misalnya bunyi pasal 15 AB, maka hukum kebiasaan dianggap berlaku secara diam-diam dan diciptakan fiksi bahwa hukum kebiasaan mempunyai kekuatan mengikat bukan karena kebiasaan, yaitu bahwa prilaku yang diulang mempunyai kekuatan mengikat, tetapi karena kehendak pembentuk undang-undang, baik yang tegas maupun secara diam-diam.”13 2.
Putusan Hakim dan Penemuan Hukum di Indonesia
Istilah penemuan hukum masih diperselisihkan, apakah tidak sebaiknya pelaksanaan hukum, atau penerapan hukum, pembentukan hukum atau penciptaan hukum. Pelaksanaan hukum berarti menjalankan hukum tanpa adanya sengketa atau pelanggaran. Penerapan hukum tidak lain berarti menerapkan hukum yang abstraks pada peristiwanya dan pembentukan hukum adalah merumuskan peraturan-peraturan umum yang berlaku bagi umum sedangkan penciptaan hukum memberi kesan bahwa hukumnya sama sekali tidak ada kemudian baru diciptakan.14 Penemuan hukum yaitu proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit.15 Oleh karena hakim turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan yang tidak, maka hakim itu menjalankan rechtsvinding (turut serta menemukan hukum)16. Dengan demikian maka penemuan hukum yaitu proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu. Penemuan hukum ini 13 14 15 16
52
I b I d., hal. 96 Lihat I b I d., hal. 36-37 I b I d., hal. 37 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 65
Pengaruh Aliran Legisme Dalam Putusan Hakim di Indonesia (Muhammad Nur) berkaitan dengan aspek kehidupan manusia yang sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam suatu peraturan perundangundangan dengan tuntas dan jelas. Oleh karena itu, sangat wajar apabila tidak ada peraturan perundangundangan yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan manusia, sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap dan jelas sejelas-jelasnya. Karenanya hukum tidak lengkap dan tidak jelas, maka hukum harus dicari dan diketemukan. Jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit17. Penemuan hukum (Rechtsvinding) konotasinya seolah-olah hukum itu telah ada, hakim tinggal mencarinya dalam peraturan perundang-undangan. Tetapi dalam proses penegakan hukum tidak jarang ditemukan bahwa undang-undang itu tidak pernah lengkap dan sempurna, bahkan acapkali suatu peristiwa konkrit yang terjadi sama sekali tidak ada diatur dalam undang-undang. Dalam hal ini hakim harus mencari dan membentuk hukum (Rechtsvorming)-nya sendiri. Kenyataan ini membuat orang lebih suka memakai istilah pembentukan (Rechtsvorming) dari pada penemuan hukum (Rechtsvinding). Menurut Chainur Arrasyid, tugas hakim sebagai penegak hukum dan keadilan bukan saja mengadili berdasarkan hukum-hukum yang ada, tetapi lebih mendalam lagi mencari, dan menemukan untuk kemudian menuangkan dalam keputusannya, nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.18 Penemuan hukum merupakan salah satu bentuk kebebasan yang diberikan kepada Pengadilan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa : ”Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menagakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Merdeka disini berarti bebas. Kebebasan peradilan atau hakim ialah bebas untuk mengadili dan bebas dari campur tangan dari pihak ekstra yudisiil.19
17 18 19
I b I d., hal. 38 Chainur Arrasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 84 I b I d., hal. 46 53
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
Kebebasan hakim tidak berarti bahwa hakim bebas sekehendak hatinya dalam melaksanakan peradilan, akan tetapi hakim tetap tunduk dibawah aturan undangundang. Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menentukan bahwa: ”Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Dengan demikian maka kebebasan hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan dibatasi oleh hukum itu sendiri. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugas sebagai penegak hukum dan keadilan, maka hakim dibebankan untuk menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hakim sama sekali tidak boleh menolak untuk menerima perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan bahwa hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Dalam Pasal 10 ayat (1) UU. No. 48 Tahun 2009 ditegaskan bahwa: ”Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,mengadili,dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya” Kewajiban hakim dalam menjalankan fungsinya dipertegas lagi dalam Pasal 5 ayat (1) UU. No. 48 Tahun 2009 yang menentukan: (1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pasal 8 ayat (2) menegaskan bahwa: (2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Hakim sebagai organ pengadilan dianggap sebagai memahami hukum. Pencari keadilan datang kepadanya untuk mencari keadilan. Andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk merumus berdasarkan sebagai orang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan demikian jelas bahwa hakim dalam melaksanakan fungsinya sebagai penegak hukum dan keadilan tidak boleh untuk menolak menerima perkara yang diajukan dengan asalasan hukum tidak jelas atau tidak ada hukum. Hakim wajib untuk menerima perkara dan menggali hukum terhadap perkara yang diterimanya, sehingga keadilan dapat dinikmati oleh para pencari keadilan. Menggali berarti hukumnya ada, tetapi masih harus digali, dicari dan ditemukan, bukannnya tidak ada hukum, lalu diciptakan. Menurut Van Apeldoorn, hakim harus menyesuaikan (waardern) undangundang dengan hal-hal yang konkrit yang terjadi di masyarakat dan hakim dapat menambah (aanvullen) undang-undang apabila perlu. Hakim harus menyesuaikan
54
Pengaruh Aliran Legisme Dalam Putusan Hakim di Indonesia (Muhammad Nur) undang-undang dengan hal-hal yang konkrit, karena undang-undang tidak meliputi segala kejadian yang timbul dalam masyarakat. Bukankah pembuat undang-undang hanya menetapkan suatu petunjuk hidup yang umum saja ? Pertimbangan mengenai hal-hal yang konkrit, yaitu menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konkrit diserahkan kepada hakim.20 Keputusan hakim dapat memuat suatu hukum dalam suasana ”werkelejkheid” yang menyimpang dari hukum dalam suasana ”positiviteit”. Hakim menambah undang-undang karena pembuat undang-undang senantiasa tertinggal pada kejadian-kejadian yang baru yang timbul di masyarakat. Menurut Syarifuddin Kalo: ”Kemandirian hakim dalam menemukan dan pembentukan hukum itu, serta dapat menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak atau dalam mengisi ruang yang kosong dalam undang-undang, adalah tidak bertentangan dengan pasal 22 AB, karena keputusan hakim yang demikian itu hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara saja dan tidak berlaku sebagai peraturan umum.”21 Hukum di Indonesia mengenal penemuan hukum heteronom22 sepanjang hakim terikat pada undang-undang, tetapi penemuan hukum ini juga mempunyai unsur-unsur otonom yang kuat, karena hakim sering kali harus menjelaskan atau melengkapi undang-undang menurut pandangannya sendiri. Apabila dilihat asas peradilan di Indonesia maka hakim sama sekali tidak terikat pada putusan hakim terdahulu mengenai perkara yang sejenis, tetapi akhir-akhir ini banyak hakim dalam menjatuhkan putusannya berkiblat pada pengadilan di atasnya. Menurut Sudikno Mertokusumo : ”Hal ini tidak berarti bahwa azasnya berubah menjadi ”the binding force of precedent”, seperti yang dianut oleh negara-negara Anglo Saxon, tetapi ”terikatnya” atau berkiblatnya hakim pada putusan terdahulu itu karena ”the persuasive force precedent”, yang disebabkan karena putusan yang diikuti, yang mengikatnya itu meyakinkan hakim untuk diikuti”23.
20 21 22
23
Van Apeldoorn, Op. Cit., hal. 230 Syarifuddin Kalo, Op. Cit., hal. 45 Hakim bebas, tidak terikat pada putusan hakim lain yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang sejenis. Hakim berpikir deduktif dari bunyi undang-undang (umum) menuju ke peristiwa yang khusus dan akhirnya sampai pada putusan. Dalam memeriksa dan mengadili perkara hakim mendasarkan pada faktor-faktor di luar dirinya. Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 45-46 55
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
Menurut Munir Fuadi, faktor yang menyebabkan hakim di negara Eropa Kontinental, termasuk Indonesia cenderung mengikuti putusan hakim sebelumnya yaitu : 1.
2. 3. 4. 5.
6.
Karena putusan-putusan pengadilan yang tertinggi juga sering dikumpulkan, dipublikasi dan disusun secara sistematis dan tematis, sehingga para hakim cenderung untuk mengikuti putusan-putusan tersebut. Para advokat yang membela perkara atau jaksa sering menggunakan dalildalil yang terdapat dalam kumpulan yurisprudensi tersebut. Hal tersebut, menggiring hakim untuk memutus sesuai dengan putusan yang ada dalam kumpulan yurisprudensi tersebut. Hakim sering tertarik dan simpatik dengan putusan hakim sebelumnya, atau tertarik dengan alasan dalam putusan hakim tersebut. Atau karena bertumpuknya perkara yang dihadapi oleh hakim, hakim tidak sempat berpikir atau mengembangkan pikirannya tentang kasus tersebut, sehingga jalan yang paling cepat adalah dengan menuruti dalil-dalil dalam kasus serupa yang sebelumnya telah diputuskan oleh hakim lain. Hakim mengikuti putusan hakim sebelumnya dari tingkat pengadilan yang lebih tinggi, untuk menghindari risiko pembatalan putusannya itu di tingkat banding atau kasasi nantinya.24
Fungsi hakim yang bebas untuk mencari dan merumuskan nilai hukum adat dalam masyarakat, diharapkan dapat memfungsikan hukum untuk merekayasa masyarakat dalam seluruh aspek kehidupan dengan memenuhi rasa keadilan, kegunaan dan kepastian hukum secara serasi, seimbang dan selaras. Dewasa ini di Indonesia telah berkembang paham untuk memfungsikan hukum sebagai rekayasa sosial, terutama dalam hukum privat adat menjadi hukum privat nasional. Aspek yang penting dalam kehidupan hukum adalah kepastian hukum, artinya hukum berkehendak untuk menciptakan kepastian dalam hubungan antar orang dalam masyarakat. Salah satu yang berhubungan erat dengan masalah kepastian hukum adalah darimana hukum itu berasal, sehingga mempunyai kekuatan berlaku atau berlaku secara sah. Apabila berbicara tentang sumber sahnya berlaku hukum, maka
24
56
Munir Fuadi, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007, hal. 87
Pengaruh Aliran Legisme Dalam Putusan Hakim di Indonesia (Muhammad Nur) dalam ilmu hukum dapat dilihat dari sahnya berlaku hukum secara formil dan secara materil. Sumber hukum dalam arti formil adalah dapat dilihat dari cara dan bentuk terjadinya hukum positif (ius constitutum) yang mempunyai daya laku yang mengikat para hakim dan penduduk warga masyarakat, dengan tidak mempersoalkan asal-usul dari peraturan hukum tersebut. Adapun sumber hukum formil di Indonesia meliputi : 1) Undang-Undang, baik dalam arti formil maupun dalam arti kata materil yang terdiri dari: a. Undang-Undang Dasar; b. Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah; g. Surat Keputusan dalam berbagai tingkatan. 2) Adat. 3) Kebiasaan (Customary, gewoonte). 4) Yurisprudensi. 5) Traktat. 6) Doktrin.25 Sumber hukum dalam arti kata materil dapat dilihat dari pandangan hidup dan nilai-nilai (values) yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan keyakinan serta kesadaran hukum bangsa Indonesia. Sumber hukum dalam arti materil ini belum dapat berlaku sebagai hukum positif apabila belum dituangkan dalam bentuk-bentuk tertentu, seperti undang-undang, kebiasaan atau traktat melalui proses penciptaan, pembentukan hukum (law making, rechtsvorming), dan penemuan hukum (rechtsvinding) melalui Badan Legislatif dan lembaga peradilan (hakim) serta lembaga administrasi negara lainnya. Apakah hakim kita mampu mengembangkan pendayagunaan hukum dalam masyarakat ? Ataupun menemukan hukum dan pembentukan hukum untuk mengisi kekosongan dalam hukum dan dapat menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak. Menurut Syarifuddin Kalo menegaskan bahwa: ”kemampuan para 25
Syarifuddin Kalo, Op.cit., hal. 46 57
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
hakim kita agaknya dihadapkan dengan suatu dilema, antara harapan dan kenyataan, terlebih lagi dalam Era Globalisasi ini. Kebutuhan hukum dalam masyarakat dengan cepat berkembang, sehingga para hakim diharapkan dapat menyesuaikan hukum dengan peristiwa yang konkrit dan mengambil keputusan berdasarkan hukum yang ditemukannya sendiri, dan akhirnya menjadi yurisprudensi yang tetap dan berwibawa. Dalam kenyataannya banyak faktor yang menyebabkan ketidak mampuan para hakim kita dalam menjalankan fungsinya sebagai penggali dan perumus nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.26 Ketidakmampuan para hakim Indonesia untuk bertindak mandiri dan bebas dalam proses dan fungsi pembaharuan hukum nasional, terutama disebabkan oleh doktrin dan tradisi yang dianut dalam badan-badan pengadilan di Indonesia yang telah mengkonsepkan hakim sebatas sebagai pengucap bunyi hukum yang mereka temukan dari sumber-sumber formal yang telah ditetapkan terlebih dahulu secara doktrinal. Di samping itu pendidikan kehukuman dan kehakiman di Indonesia telah terlanjut sangat menekankan cara berpikir deduktif lewat silogisme logika formal, tanpa pernah mencoba mendedah mahasiswa juga kearah berpikir induktif yang diperlukan untuk menganalisis kasus-kasus dan beranjak dari kasus-kasus untuk mengembangkan case laws. C.
PENUTUP
Pada dasarnya aliran legisme yang berkembang di Eropa pada Abad pertengahan dan dibawa ke Indonesia melalui asaz konkordansi 1848 telah ditinggalkan oleh peraturan hukum di Indonesia. Namun ternyata hakim di Indonesia masih terkontaminasi dengan aliran tersebut, akibat doktrin dan tradisi yang dianut oleh badan peradilan di Indonesia di samping pendidikan hukum dan hakim yang masih menganut cara berpikir deduktif melalui silogisme berpikir logika formal.
26
58
I b I d., hal. 47
Pengaruh Aliran Legisme Dalam Putusan Hakim di Indonesia (Muhammad Nur) DAFTAR PUSTAKA Chainur Arrasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2004 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002 Lili Rasjidi dan Tania Rasyidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002 Meuwissen, Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, (Terj. Arief Sidharta), Refika Aditama, Bandung, 2008 Munir Fuadi, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Jokjakarta, 2007 Syafruddin Kalo, Modul Kuliah Penemuan Hukum, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumtarea Utara, Medan, 2005. Utrecht, E. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1966. Van Aveldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986 Sekretariat Negara, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Tentang Kekuasaan Kehakiman
59