Artikel Penelitian
Pengaruh Akuapunktur Titik Paravertebra Vth VIII-X terhadap Kadar Bilirubin Total dan Albumin pada Kelinci yang Diinduksi Asetaminofen Lilik Wijayanti Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Abstrak: Hati merupakan organ yang sangat penting bagi tubuh. Kelainan hati dapat disebabkan oleh obat-obatan. Salah satu obat yang bersifat hepatotoksik adalah asetaminofen. Pada penggunaan dosis toksik akan terjadi kerusakan sel-sel hati yang akan meningkatkan kadar bilirubin total dan menurunkan kadar albumin. Di kalangan medik dikenal cara perangsangan titik akupunktur dengan penyuntikan zat-zat tertentu yang disebut akuapunktur. Titik paravertebra Vth VIII-X dapat dipakai untuk memperbaiki kelainan hati. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh akuapunktur pada titik paravertebra Vth VIII-X terhadap kadar bilirubin total dan kadar albumin pada kelinci yang diinduksi asetaminofen. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik dengan rancangan penelitian pretest posttest controlled group design. Pada penelitian ini digunakan 30 ekor kelinci yang dibagi dalam 3 kelompok perlakuan. Kelompok I (K I) merupakan kelompok kontrol, kelompok II (K II) merupakan kelompok yang diinduksi asetaminofen dan kelompok III (K III) merupakan kelompok yang diinduksi asetaminofen dan diberikan akuapunktur. Asetaminofen diberikan pada hari ke 1,9,17 dan akuapunktur diberikan setiap 2 hari (10 kali penusukan). Hasil yang didapatkan dianalisis dengan uji Anova dan post hoc test. Pada kelompok III setelah diberikan asetaminofen dan akuapunktur rata-rata kadar bilirubin total lebih rendah dari pada kelompok II yaitu 0,6930±0,1250 mg/dL dan pada kelompok II 1,0780±0,2186 mg/dL. Pada kelompok III ratarata kadar albumin lebih tinggi dari pada kelompok III yaitu 2,980±0,2754 g/dL dan pada kelompok II 2,2500±0,9934 g/dL. Akuapunktur dapat menurunkan kadar bilirubin total dan meningkatkan kadar albumin pada kelinci yang diinduksi asetaminofen. Kata kunci: Akuapunktur titik paravertebra Vth VIII-X, albumin, bilirubin total
Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011
113
Pengaruh Akuapunktur Titik Paravertebra Vth VIII-X terhadap Kadar Bilirubin Total dan Albumin
The Effect of Aquapuncture on the Paravertebra Vth VIII-X Point on the Level of Total Bilirubin and Albumin on Rabbit after Acetaminophen Induction Lilik Wijayanti Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta
Abstract: Liver is an important organ. Abnormalities of liver can be caused by drugs. One of hepatotoxic drugs is asetaminofen. The use of toxic dose of asetaminofen will result in the damage of hepatocytes, that will increase the level of total bilirubin and the decrease of albumin. Stimulation of acupuncture point by using injection of certain liquid known as aquapuncture has been introduced in medical practices. The paravertebra Vth VIII-X point can be used to treat disorder of liver. This research aimed at evaluating the effect of aquapuncture on the paravertebra Vth VIII-X point on the level of total bilirubin and albumin on rabbit after asetaminofen induction. This research is an experimental laboratory research designed with pretest-posttest controlled group design. 30 rabbits were used and divided equally into 3 groups.The first group (K I) is the controlled group. K II is a group inducted with asetaminofen and K III is a group inducted with asetaminofen and stimulated with aquapuncture. Asetaminofen was given on days 1, 9, 17 and the aquapuncture was given every 2 days (10 times). The result data will be analyzed with Anova test and post hoc test. The group K III shown that the level of total bilirubin was lower than the level of those on group K II.The level of total bilirubin is 0.6930±0.1250 mg/dL (K III) and 1.0780±0.2186 mg/dL (K II). Furthermore the albumin level of K III was higher than that of K II.The albumin level is 2.9800±0.2754 g/dL (K III) and 2.2500±0.9934 g/dL (K II). Aquapuncture can lower the level of total bilirubin and increase the albumin level on rabbit after induction with acetaminofen. Keywords: aquapuncture paravertebra Vth VIII - X point, albumin, total bilirubin
Pendahuluan Hati merupakan organ yang sangat penting bagi tubuh. Hati mempunyai empat fungsi utama yaitu sebagai pembentukan dan ekskresi empedu, fungsi metabolik, fungsi vaskular dan pertahanan tubuh. 1 Kelainan hati dapat disebabkan oleh obat-obatan. Salah satu obat yang bersifat hepatotoksik adalah asetaminofen. Asetaminofen merupakan analgetik antipiretik yang paling banyak digunakan. 2 Hepatotoksisitas dapat terjadi setelah mengkonsumsi dosis tunggal 10-15 g asetaminofen.3 Manifestasi klinik adanya kerusakan hati terjadi dalam 2-6 hari setelah mengkonsumsi dosis toksik asetaminofen. Pada keadaan ini akan diikuti peningkatan kadar bilirubin dan penurunan kadar albumin.4,5 Akupunktur merupakan suatu cara terapi perangsangan titik-titik tertentu di permukaan tubuh dengan penusukan jarum untuk menormalisasi fungsi fisiologis tubuh dalam pengobatan suatu penyakit.6 Di kalangan medik dikenal pula cara perangsangan titik akupunktur dengan penyuntikan zat tertentu yang disebut akuapunktur. Melalui kerja akupunktur dan zat tersebut fungsi organ akan diseimbangkan kembali dan proses patologis diperbaiki untuk mencapai kesembuhan.7,8 114
Titik paravertebra Vth VIII-X terletak pada garis lateral dua, setinggi batas bawah prosesus spinosus vertebra Th IX. Hati dipersarafi oleh segmen Vth V-IX.9 Sehingga impuls penjaruman pada titik ini berjalan pada serabut saraf sensoris torakal dan lumbal kemudian keluar dari medulla spinalis sebagai saraf simpatis untuk meregulasi hati. Pada kelinci titik ini terletak 15 mm lateral batas bawah prosesus spinalis Vth IX dan titik ini dipakai untuk memperbaiki kelainan hati.6Pada penelitian ini dilakukan akuapunktur pada titik paravertebra Vth VIII-X. Berdasar latar belakang masalah di atas peneliti ingin meneliti pengaruh akuapunktur titik paravertebra Vth VIII-X terhadap kadar bilirubin total dan albumin pada kelinci yang diinduksi asetaminofen. Metode Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium dengan rancangan penelitian pretest-posttest controlled group design. Penelitian dilaksanakan di Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Hewan coba dalam penelitian adalah kelinci jenis New Zealand White dan hewan coba ini didapatkan dari UD Delta Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011
Pengaruh Akuapunktur Titik Paravertebra Vth VIII-X terhadap Kadar Bilirubin Total dan Albumin Yogyakarta. Subjek penelitian diperoleh secara purposif dengan syarat jantan, berumur 3 bulan, berat badan 1 500-2 000 g, sebanyak 30 ekor. Sampel dibagi dalam 3 kelompok secara random dengan teknik randomisasi penomoran, masing-masing terdiri dari 10 ekor kelinci. Jumlah sampel ini diperhitungkan menurut rumus Federer yaitu (k-1)(n-1) >15, dengan k=jumlah kelompok perlakuan, n=jumlah hewan coba dalam setiap kelompok perlakuan. Dosis toksik asetaminofen pada manusia adalah 10-15 g. Pada penelitian ini digunakan dosis toksik 15 g. Dosis toksik asetaminofen untuk kelinci berdasarkan tabel konversi manusia dengan berat badan 70 kg dengan faktor konversi 0,07 adalah 0,07x15g=1,05 g/2 kg BB. Jika pada pemberian asetaminofen dilarutkan dengan 20 mL air maka asetaminofen yang dibutuhkan sebanyak 10,5 g. Jadi untuk mendapatkan dosis 1,05 g/2 kgBB maka 10,5 g asetaminofen dilarutkan dengan 20 mL aquadest. Tiap 2 mL larutan mengandung asetaminofen 1,05 g. Hasil perhitungan rata-rata berat badan kelinci disimpulkan sebesar 1800 g sehingga larutan asetaminofen yang diberikan sebanyak 1,8 mL. Pada penelitian ini asetaminofen diberikan pada kelompok II dan III pada hari ke 1, 9 dan 17. Pada penelitian ini akuapunktur diberikan pada titik paravertebra Th VIII-X pada kelompok III. Akuapunktur diberikan dengan spuit insulin dan larutan akuabidest sebanyak 0,2 mL, setiap 2 hari sekali dan diberikan 10 kali penyuntikan. Kadar bilirubin total dan kadar albumin diukur pada waktu sebelum perlakuan dan pada hari ke 20. Kadar bilirubin total diukur dengan metode modifikasi jendrassik (Grof) dengan fotometer panjang gelombang 546 nm. Kadar bilirubin dinyatakan dalam mg/dL. Sedangkan kadar albumin diukur dengan metode bromcressol green (BCG) dengan fotometer yang mempunyai panjang gelombang 630 nm. Kadar albumin dinyatakan dalam g/dL. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji Anova. Jika terdapat perbedaan maka dilanjutkan dengan uji post hoc dengan derajat kemaknaan α=0,05 untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata di antara dua kelompok.
Hasil Pemeriksaan Variabel Penelitian Sebelum Perlakuan Sebelum penelitian kelinci ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui apakah berat badan mempengaruhi hasil penelitian dan untuk menentukan dosis asetaminofen. Ratarata berat badan kelinci sebelum penelitian dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan perhitungan uji anova dengan taraf kepercayaan 0,05 tidak didapat perbedaan bermakna rata-rata berat badan, kadar bilirubin total, maupun kadar albumin di antara 3 kelompok sebelum dilakukan penelitian.
Tabel 1. Hasil Pengukuran Variabel Penelitian sebelum Dilakukan Perlakuan Variabel
KI (rerata+SD)
K II (rerata+SD)
K III (rerata+SD)
Nilai p pada Anova
BB (mg) Bil tot (mg/dL) Albumin (g/dL)
1770±1780
1800±2160
1785±2040
0,793
0,5680±0,1415
0,5480±0,1633
0,5330±1421
0,871
3,2620±0,5596
3,2980±0,4900
3,3250±0,4279
0,960
Keterangan: K I : kelompok tanpa perlakuan yaitu kelompok yang diberi akuades dan makanan standard selama 21 hari K II : kelompok perlakuan I yaitu kelompok yang diberi asetaminofen, aquadest dan makanan standar selama 21 hari K III : kelompok perlakuan II yaitu kelompok yang diberi asetaminofen, aquadest, makanan standard dan dilakukan akuapunktur setiap 2 hari selama 21 hari
Hasil Pemeriksaan Variabel Penelitian Setelah Dilakukan Perlakuan Pada tabel 2 terlihat adanya perbedaan bermakna kadar bilirubin pada ketiga kelompok perlakuan dengan kadar tertinggi pada K II. Terlihat pula perbedaan bermakna kadar albumin antara keriga kelompok dengan kadar terendah pada K II.
Tabel 2. Hasil Pengukuran Variabel Penelitian Setelah Dilakukan Perlakuan Variabel
KI (rerata+SD)
K II (rerata+SD)
K III (rerata+SD)
Bil tot (mg/dL)
0,5680±0,1289
1,0780±0,2186
0,6930±0,1250
Alb (g/dL)
3,2590±0,5588
2,2500±0,9934
2,9800±0,2754
Nilai p dengan anova yang dilanjutkan dengan uji post hoc K I-K II K I-K III K II-K III 0,000 (p<0,05) 0,000 (p<0,05)
0,009 (p<0,05) 0,002 (p<0,05)
0,000 (p<0,05) 0,000 (p<0,05)
Keterangan: K I : kelompok tanpa perlakuan yaitu kelompok yang diberi aquadest dan makanan standar selama 21 hari K II : kelompok perlakuan I yaiyu kelompok yang diberi asetaminofen, aquadest dan makanan standar selama 21 hari K III: kelompok perlakuan II yaitu kelompok yang diberi asetaminofen, aquadest, makanan standar dan dilakukan akuapunktur setiap 2 hari selama 21 hari
Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011
115
Pengaruh Akuapunktur Titik Paravertebra Vth VIII-X terhadap Kadar Bilirubin Total dan Albumin Diskusi Penelitian ini menggunakan asetaminofen sebagai model kerusakan sel hati, sebab penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian asetaminofen dosis toksik mampu memberikan efek kerusakan pada sel hati tikus.10 Telah diketahui bahwa salah satu indikator kerusakan sel hati adalah kenaikan kadar bilirubin total dan penurunan kadar albumin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah peningkatan kadar bilirubin total dan penurunan kadar albumin dapat diperbaiki dengan akuapunktur pada titik paravertebra Th VIII-X. Pada penelitian ini sebelum perlakuan, dilakukan penimbangan hewan coba untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang bermakna rerata berat badan di antara ketiga kelompok perlakuan dan untuk menentukan dosis asetaminofen. Dari tabel 1 didapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna berat badan kelinci di antara ketiga kelompok perlakuan. Pada penelitian ini sebelum perlakuan dilakukan pula pemeriksaan kadar bilirubin total. Didapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna rerata kadar bilirubin total. Dari hasil analisis ini hewan coba dari ketiga kelompok perlakuan dapat digunakan untuk penelitian karena dari ketiga kelompok ini tidak didapatkan penyakit atau keadaan yang mempengaruhi kadar bilirubin total yang akan mengganggu jalannya penelitian. Beberapa penyakit yang dapat mempengaruhi kadar variabel tersebut misalnya pemecahan eritrosit yang berlebihan, kerusakan sel hati dan lain-lain. Pemeriksaan kadar albumin sebelum dilakukan perlakuan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna rerata kadar albumin di antara kelompok I, kelompok II dan kelompok III. Dari hasil analisis ini tidak didapatkan keadaan atau penyakit yang dapat memengaruhi kadar albumin yang akan menganggu jalannya penelitian. Beberapa keadaan yang dapat mempengaruhi kadar albumin adalah adanya kerusakan pada ginjal, kerusakan sel hati dan malnutrisi. Pada tabel 2 terlihat bahwa rerata kadar bilirubin total pada kelompok II lebih tinggi dari pada kelompok I. Dari uji Anova yang dilanjutkan dengan post hoc test diketahui bahwa terdapat perbedaan yang bermakna rerata kadar bilirubin total dari kelompok I dan kelompok II. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian asetaminofen dosis toksik mampu memberikan efek kerusakan pada sel hati kelinci. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa pemberian asetaminofen dosis toksik mampu membuat kerusakan pada sel hati.10,11 Asetaminofen dalam plasma 25% terikat oleh protein plasma. Obat ini dimetabolisme oleh sistem mikrosom hati, 80% dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian oleh asam sulfat. Selain itu asetaminofen juga mengalami 250 bp hidroksilasi, metabolit hasil hidroksilasi ini dapat menyebabkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Asetaminofen diekresi melalui ginjal sebagian dalam bentuk utuh (3%) dan sebagian dalam bentuk terkonjugasi. 12 Asetaminofen dimetabolisme pertama kali di hati, yaitu 116
metabolit terbesar termasuk sulfat inaktif dan konjugat glukoronoid diekresi oleh ginjal. Hanya sedikit yang dimetabolisme melalui sistem enzim sitokrom P450 (isoenzim CYP2E1 dan CYP1A). Sistem enzim tersebut yang bertanggung jawab terhadap metabolit toksik dari asetaminofen yaitu N-asetilp-benzo-quinon imine atau lebih dikenal dengan NAPQI. Selain itu terdapat polimorfisme pada gen P450, polimorfisme genetik pada CYP2D6 yang memberikan kontribusi terbentuknya NAPQI. Walaupun tidak setingkat dengan isoenzim P450 yang lain, CYP2D6 ini memiliki kemampuan yang dapat menyebabkan keracunan asetaminofen karena aktivitas asetaminofen diminum dalam dosis berlebih.13 Metabolit NAPQI lebih berperan dalam terjadinya keracunan dibanding dengan asetaminofen itu sendiri. Dalam dosis terapi metabolit NAPQI tersebut akan didetoksifikasi secara cepat dari tubuh dengan berikatan secara ireversibel dengan gugus sufhidril dari glutation dan menghasilkan konjugat yang tidak beracun kemudian diekresikan lewat ginjal. Tahapan terbentuknya metabolit reaktif ini adalah terjadinya ikatan dengan P450, oksidasi kompleks obat P450, terbentuknya oksigen reaktif pada kompleks obat P450 dan terbentuknya metabolit obat yang telah teroksidasi. Metabolit tersebut kemudian didetoksifikasi oleh glutation hati menjadi metabolit sistein dan metabolit merkapturat. Pada dosis tinggi, metabolit aktif NAPQI terbentuk karena jalur konjugasi menjadi jenuh. Metabolit toksik tersebut akan berikatan kovalen dengan makromolekul seperti DNA, RNA dan protein. Jika makromolekul yang terikat dengan NAPQI merupakan molekul yang penting terhadap kelangsungan hidup jangka pendek sel, misalnya makromolekul protein atau enzim yang terlibat dalam fungsi seluler yang menentukan fosforilasi oksidatif atau pengaturan permeabilitas membran plasma maka akibat yang paling fatal adalah fungsi sel terganggu.14 Sel hati yang rusak akan melepaskan enzim proteolitik lisosomal dan oksigen reaktif. Sel hati yang rusak akan menyebabkan proses konjugasi terganggu sehingga kadar bilirubin serum juga akan meningkat. Kerusakan sel parenkim hati juga menyebabkan komponen obstruksi pada saluran empedu di hati sehingga bilirubin tidak dapat diekresikan. Dengan demikian bilirubin akan mengalami regurgitasi ke dalam vena hepatika serta saluran limfatik akibatnya bilirubin akan terlihat di dalam darah.15 Pada kelompok II setelah pemberian asetaminofen terlihat adanya penurunan kadar albumin serum (Tabel 2). Adanya kerusakan sel hati akan menyebabkan fungsi hati dalam mensintesis albumin terganggu sehingga kadar albumin dalam serum menurun. Kadar albumin dalam serum merupakan indikator paling bermanfaat untuk menilai keparahan penyakit. Pada penyakit yang berkembang cepat, penurunan kadar albumin serum mengisyaratkan gangguan fungsi yang masif dan mempunyai prognostik yang buruk. Pada akupunktur dilakukannya penusukan pada titik tertentu di permukaan tubuh akan menormalisasi fungsi fisiologik dalam pengobatan suatu penyakit. Apabila ditinjau Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011
Pengaruh Akuapunktur Titik Paravertebra Vth VIII-X terhadap Kadar Bilirubin Total dan Albumin dari sudut pandang neurosains, dasar kerja akupunktur untuk terapi adalah perangsangan suatu titik di permukaan tubuh untuk mempengaruhi suatu organ melalui sistem saraf atau penghantaran rangsang. Titik shu belakang pada manusia merupakan serangkaian titik akupunktur yang terletak pada dorsal tubuh sejajar garis lateral 2. Titik shu suatu organ terletak setinggi atau seruas terdekat dengan organ yang bersangkutan.16 Titik paravertebra Th VIII-X merupakan titik shu belakang hati, titik ini terletak pada garis lateral 2 setinggi batas bawah prosesus spinosus vertebra T9. Hati dipersarafi oleh segmen vertebra T 5-9.9 Sehingga diduga impuls penjaruman titik ini berjalan pada serabut saraf sensoris torakal dan lumbal, kemudian keluar dari medula spinalis sebagai saraf simpatis untuk meregulasi hati. Pada kelinci titik paravertebra Th VIII-X terletak 15 mm lateral batas bawah prosesus spinalis T9 dan titik ini dipakai untuk memperbaiki kelainan hati dan kandung empedu.17 Penusukan titik akupunktur akan merangsang serabut saraf di titik tersebut dan akan mempengaruhi berbagai perubahan neurotransmiter serta perubahan biofisika. Terjadi perubahan sirkulasi darah tepi ditandai dengan timbulnya areola merah di sekitar tempat penusukan dan peningkatan temperatur 1-20C di tempat tersebut serta di tempat yang dituju. Terdapat pula peningkatan bermakna dari polipeptida intestinal vasoaktif yang meregulasi mikrosirkulasi. Selain efek tersebut akupunktur bekerja terutama oleh interaksinya dengan serabut saraf nosiseptif dan propioseptif eferen dan saraf lainnya dalam tubuh yang akan memberikan efek secara lokal, spinal dan sentral. Adanya reaksi ini akan memberikan efek yang menguntungkan yaitu analgesia, antispasme, homeostasis otonom, antiinflamasi dan penyembuhan jaringan.18 Pada penusukan titik akupunktur juga akan terjadi peningkatan antioksidan di antaranya glutation.19,20 Dengan adanya glutation tidak akan terjadi hepatotoksisitas karena konjugasi glutation acetaminofen membentuk Ac-merkapturat yang non toksik.13 Sesuai mekanisme kerja pada penusukan pada titik akupunktur, akuapunktur titik paravertebra Th VIII-X dapat memperbaiki kerusakan sel hati karena induksi asetaminofen. Adanya perbaikan ini akan mengakibatkan penurunan kadar bilirubin dan peningkatan kadar albumin. Hasil ini sesuai penelitian yang pernah dilakukan yaitu akupunktur pada titik GB 34 pada tikus yang diinduksi karbon tetraklorida. Pada penelitian tersebut ternyata pada kelompok tikus yang diakupunktur pada titik GB 34 dapat menurunkan kadar alanin aminotransferase (ALP), aspartat aminotransferase (AST), alkali fosfatase (ALP) dan kadar kolesterol dibandingkan kelompok kontrol.21 Penelitian lain yang pernah dilakukan adalah efektivitas akupunktur pada titik ST 36 dan LI 3 terhadap kerusakan hati tikus yang diinduksi karbon tetraklorida.22 Kesimpulan Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa terdapat
Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011
pengaruh akuapunktur titik paravertebra Vth VIII-X terhadap perbaikan sel hati pada kelinci karena induksi asetaminofen. Hal ini dapat diketahui dari adanya penurunan rerata kadar bilirubin total dan peningkatan rerata kadar albumin pada kelompok yang dilakukan akuapunktur. Ucapan Terima Kasih Terima kasih yang tak terhingga diucapkan kepada Prof. DR. dr. AA. Subiyanto, MS, dr. Adiningsih Sri Lestari, SpAK, MKes dan dr. Kiswojo, SpAK, MKes. Daftar Pustaka 1.
2.
3. 4. 5. 6. 7.
8.
9. 10.
11. 12. 13. 14.
15. 16. 17. 18. 19.
20.
21.
Ganong WF. Hati dan Saluran Cerna. Dalam: Ganong WF, ed. Buku ajar fisiologi kedokteran. 20th ed. Jakarta: Penerbit EGC; 2002.p.482-90. Alberta G, Canada G. Drug bank: Acetaminophen.2006. (cited 2009 Jun 15). Available from: http: // redpoll.pharmacy.ualberta. ca/drugbank/cgibin/getCard.cgi?= APRD00252.txt. Goodman LS, Gilman A. The pharmacology basic of therapeutics. 5th Ed. New York: Macmilan Publishing Co; 2000.p.1884-6. Kaplan MM. Alanine aminotransferase levels: What ‘s normal? Ann Intern Med. 2002;137:49-51. Sacher RA, Person RA. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium. Edisi 11. Jakarta: Penerbit EGC; 2004.p.360-83. Koosnadi S. Akupunktur dasar. Surabaya: Surabaya Airlangga University Press; 2005.p.3-10. Shi GF, Li Q. Effect of oxymatrine on experimental hepatic fibrosis and its mechanism in vivo. World J Gastroenterol. 2005;11:268-71. Chang ML, Yeh CT, Chang PY, Chen JC. Comparison of murine cirrhosis models induced by hepatotoxin administration and common bile duct ligation. World J Gastroenterol.2005;11:4167-72. Bekkering R, Van Bussel R. Segmental acupuncture in medical acupuncture. London: Churchill Livingstone; 1998.p.105-28. Lin SC, Lin YH, Supriyatna S, Teng CW. Protective and therapeutic effect of curcuma xanthorrhiza on hepatotoxin induced lever damaged. 1995. (cited 2009 Jun 10). Available from: http/ /www.ncbi.nih.gov/entrez/query.fcgi?=pubmed&cmd=retrieve& dopt. James LP, Mayeux PR, Hinson JA. Acetaminophen–induced hepatotoxicity. Clin Pharmacol Ther. 2003;31:1499-506. Wilmana. Farmakologi dan terapi. Edisi 4. Jakarta: Penerbit Gaya Baru; 2004.p.41-4. Katsung BG. Farmakologi dasar dan klinik. Edisi 8. Jakarta: Salemba Medika; 2002.p.484-5. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. Porfirin dan Empedu Dalam: Biokimia Harper. Alih bahasa: Andri Hartono. Editor: Anna P Bani dan Tiara MN. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003.p.299. Sherlock S, Dooley J. Diseases of the liver and biliary system. 11th .Oxford: Blackwell Publishing; 2002.p.318-9. Ullet GA. How accupuncture really work? New York: Warren H Green Inc; 1992.p.63,86. Kiswojo. Pengetahuan dasar ilmu akupunktur. Jakarta: Penerbit Akupunktur Indonesia; 2006.p.84-90,242. Sherwood L. Sistem Pencernaan. Dalam: Fisiologi Manusia. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.p.565-71. Cabyoglu MT, Uner Tan, Ergene T. The mechanism of acupuncture an clinical application. Intern J Neuroscience. 2006;116: 115-25. Liu CZ, Yu JC, Zhang XZ, Fu WW, Wang T, Han JX. Acupuncture prenent cognitive deficits and oxidative stress in cerebral multiinfarction rats. Intern J Neuroscience. 2005;114:98-106. Yim YK, Lee H, Hong KE, Kim YI, Lee BR, Kim TH, et al.
117
Pengaruh Akuapunktur Titik Paravertebra Vth VIII-X terhadap Kadar Bilirubin Total dan Albumin Hepatoprotective effect of manual accupuncture at accupoint GB 34 against CCl4 induced chronic liver damage in rats. World J Gastroenterol. 2006.12(14):2245-9. 22. Liu HJ, Hsu SF, Hsieh CC, Ho TY, Hsieh CL, Tsai CC, et al. The
118
effectiveness of Tsu San Li (St – 36) an Tai Chung (Li -3) acupoint for treatment of acute iver damage rats. Am J Chin Med. 2001; 29:221-6. MS/YDB
Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011