1
PENGANTAR Tingginya angka remaja yang terlibat dengan napza ( narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya) dewasa ini cukup mengkhawatirkan terlebih lagi pengguna zat tersebut dari kalangan terpelajar yaitu pelajar dan mahasiswa (http://ncc.jogja.go.id). Berdasarkan hasil survey sebuah LSM di Sulawesi di peroleh fakta bahwa 15 % dari 600 siswa SMU dan SMK di kota Palu mengkonsumsi beberapa jenis zat psikotropika
(bkkbn.go.id\map106lima.html).
Dampak
dari
penggunaan
zat
psikotropika cukup komplek, seperti yang di tuturkan oleh Gordon dari Yayasan Harapan Permata Hati Kita yaitu beberapa penyakit mematikan, seks bebas, kriminalitas, dan kekerasan (hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/map52narkoba.html). Selain pengaruh zat psikotropika, maraknya kebudayaan Barat lewat media membuat seks tidak lagi tabu dibicarakan tetapi dipraktekkan oleh remaja. Makin meningkatnya persentase jumlah remaja yang melakukan seks dini dapat dilihat dari data Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) bahwa mulai tahun 1990 hingga tahun 2000 terjadi peningkatan hingga 21-30%, remaja dengan usia I5-24 tahun mengaku pernah melakukan hubungan seksual. Kasus terbanyak terjadi di beberapa
kota
besar
seperti
Jakarta,
Bandung
dan
Yogyakarta
(hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/mbrtpage84.html). Tingginya angka remaja yang melakukan seks sebelum nikah berdampak pada tingginya kehamilan tidak diinginkan yang terjadi pada remaja disetiap tahunnya, data yang diperoleh dari data konseling kehamilan tidak diinginkan pada Persatuan Keluarga Berencana Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta ( PKBI DIY) bahwa sampai tahun 2005, rata-rata setiap
2
tahun terjadi 500 kasus kehamilan tidak di inginkan. Tentunya jumlah kasus ini lebih kecil dari jumlah kasus sebenarnya mengingat tidak semua remaja yang sedang mengalami kehamilan tidak diinginkan melakukan konseling dengan pihak PKBI DIY. Uddin dkk (2004) menunjukkan perkiraan bahwa dari 210 juta kehamilan di seluruh dunia setiap tahun, empat dari 10 diantaranya merupakan kehamilan tidak diinginkan. Kehamilan tidak diinginkan dapat menimbulkan banyak masalah bagi perempuan yang mengalaminya, responden penelitian yang mengalami kehamilan tidak di inginkan merasa ketakutan kehamilannya di ketahui orang lain, merasa bersalah pada orang tua meskipun orang tua dan keluarga tidak mengetahui perihal kehamilannya, selain itu responden merasa bahwa masa depan yang sudah di rencanakannya akan terhambat, seperti yang di ungkapkan Hidayati (2001) bahwa perempuan yang sedang mengalami kehamilan tidak diinginkan secara psikologis mengalami ketakutan dan ketegangan emosi serta menurut Hanifah (2004) perasaan malu dan bersalah yang berlebihan serta terganggunya perencanaan masa depan dapat dialami oleh remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan. Heider (2001) dalam teori keseimbangannya menyatakan bahwa ketika terjadi sebuah ketegangan dalam diri individu maka terjadi sebuah ketidak seimbangan keadaan dalam hidupnya. Untuk mengurangi ataupun menghilangkan ketidak seimbangan yang berasal dari ketegangan tersebut, remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan memiliki berbagai pilihan solusi sebagai jalan keluarnya, menurut Al- Ghifari (2005) beberapa solusinya adalah menikah dengan pasangannya
3
kemudian meneruskan kehamilan, tidak menikah dengan pasangannya tetapi tetap melanjutkan kehamilan bahkan sampai dengan menghentikan kehamilan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Charissa (2006) menunjukkan bahwa untuk melanjutkan
kehamilan,
seseorang
yang
mengalami
kehamilan
pra
nikah
membutuhkan dukungan dari keluarganya berupa dukungan penilaian, materi, informasi, emosional dan penghargaan. Tindakan penghentian kehamilan sebelum waktunya yang dapat mengakibatkan kematian janin dikenal dengan istilah aborsi (www.wikipedia.com). Aborsi dalam definisinya yang lain juga tetap menggambarkan suatu pembunuhan janin atau penghentian kehamilan secara paksa. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1996), aborsi didefinisikan sebagai terjadinya keguguran janin dan proses pengguguran tersebut dilakukan dengan sengaja karena tidak menginginkan bakal bayi yang di kandung tersebut. Jumlah remaja yang lebih memilih untuk menghentikan kehamilannya tidak sedikit. Organisasi kesehatan dunia (WHO) dalam Uddin dkk (2004) memperkirakan bahwa terdapat 50.000.000 kasus aborsi yang terjadi setiap tahun dan dari jumlah tersebut, 20.000.000 kasus diantaranya dilakukan dengan tidak aman. Sedangkan di Indonesia, menurut penelitian yang dilakukan oleh Utomo dkk (Uddin dkk, 2004) mengestimasi 2.000.000 perempuan Indonesia menjalani aborsi per tahun. Kehidupan seseorang yang ketika sedang mengalami kehamilan tidak diinginkan di penuhi dengan rasa takut kehamilannya di ketahui oleh orang lain serta rasa bersalah seperti yang diungkapkan oleh Hidayati (2001) bahwa perempuan yang
4
sedang mengalami kehamilan tidak diinginkan secara psikologis mengalami ketakutan dan ketegangan emosi. Keadaan ini membuat kehidupannya menjadi tidak seimbang. Dan wanita tersebut tidak dapat bertahan lama dalam keadaan tidak seimbang tersebut, ia akan mencari sebuah usaha untuk membuat keadaan kembali normal dan seimbang. Usaha untuk membuat keadaan kembali normal dan seimbang adalah dengan mengatur tekanan yang datang baik bersifat internal maupun eksternal yang bisa menguras tenaga, fikiran dan energi seseorang. Usaha tersebut dikenal dalam dunia psikologi dengan istilah coping. Kartono dkk (2003) mendefinisikan coping sebagai upaya untuk menangani suatu masalah menurut suatu cara, seringkali dengan cara menghindari, melarikan diri, atau mengurangi kesulitan dan bahaya yang timbul. Folkman dan Lazarus (Taylor, 1995) mendefinisikan coping sebagai usaha cognitive dan behavioral
untuk mengatur
tekanan yang datang baik bersifat internal maupun eksternal yang bisa menguras tenaga, fikiran dan energi seseorang. Lazarus (Taylor, 1995), menuturkan bahwa coping sebagai usaha yang di lakukan oleh seseorang dapat berubah-ubah dan tidak perlu merujuk kepada solusi dari sebuah masalah. Meskipun coping bertujuan untuk memperbaiki atau menguasai masalah tetapi coping bisa membantu individu untuk mengubah persepsinya terhadap ketidak sesuaian, menolerir atau menerima sebuah ancaman dan melepaskan diri atau menjauhi situasi tersebut. Coping yang dilakukan oleh seseorang dapat di pengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah dukungan sosial sebagaimana di jelaskan oleh Taylor (1995)
5
bahwa tipe kepribadian dan gaya coping yang biasa dilakukan serta waktu, biaya, pendidikan, dukungan sosial dan kehadiran jenis stress lainnya dapat mempengaruhi coping yang di lakukan seseorang. Booth & Amato ( Taylor, 1995) menjelaskan bahwa individu yang memiliki banyak teman dekat cenderung memiliki tingkatan stress yang rendah. Hal ini merujuk pada mudahnya individu tersebut mendapatkan dukungan sosial saat dihadapkan pada situasi sulit yang menegangkan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara mendalam coping pada responden yang melakukan aborsi. Penelitian tentang coping yang peneliti temukan adalah penelitian yang di lakukan Lestari (2005) yang mengaitkannya dengan pelatihan berpikir optimis dengan subjek mahasiswa. Penelitian lainnya adalah yang dilakukan oleh Rahayu (1997) yang mengaitkan coping dengan tingkat religiusitas dan menggunakan subjek mahasiswa. Pertanyaan penelitian ini adalah: Bagaimanakah coping yang di lakukan oleh seseorang yang melakukan aborsi? dan Apakah yang mendorong seseorang untuk melakukan aborsi?
METODE PENELITIAN A. Responden Penelitian Karakteristik utama responden penelitian ini, yaitu: mahasiswi berusia 20-25 tahun, pernah melakukan aborsi, kandungan yang di gugurkan adalah kehamilan pertama, tidak menikah dengan pasangannya.
6
B. Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ialah metode wawancara mendalam. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna subjektif yang dipahami imdividu berkenaan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan pendekatan lain ( Banister dkk dalam Poerwandari, 2005). C. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis tematik. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema atau indikator yang komplek, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu, atau hal-hal diantara atau gabungan yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena, dan secara maksimal memungkinkan interpretasi tema (Boyatzis dalam Poerwandari, 2005).
7
TEMUAN LAPANGAN Tabel. Hasil Temuan Lapangan : Kategori, sub kategori dan tema Kategori
Sub Kategori
Emotion Focused coping
Respon saat hamil
Problem Focused Coping
Keluarga Faktor pendorong pengambilan keputusan aborsi Masa depan
Tema ?Terdiam (Accepting) ?Menangis (Emotional Discharge) ?Tidak ingin mempercayai kenyataan (Denial) ?Menganggap mimpi buruk (Denial) ?Menyalahkan orang lain atas kehamilannya (Projecting) ?Makin rajin beribadah ( Turning to Religion) ?Menghubungi pacar (Seeking Social Support) ?Menyusun rencana sebagai jalan keluar(Planning) ?Mencari solusi bersama pacar (Direct Action) ?Meminum berbagai ramuan untuk menggugurkan kandungan ( Direct Action) ?Mencari dokter aborsi (Direct Action) ?Mengumpulkan dana untuk aborsi (Direct Action) ?Aborsi (Direct Action) ?Takut ketahuan keluarga ?Tidak ingin mencoreng nama baik keluarga ?Tidak ingin mengecewakan orang tua ?Tidak ingin menghancurkan harapan orang tua ?Tidak ingin kuliahnya terbengkalai ?Takut masa depan yang sudah di rencanakannya akan terhambat ?Takut masa depannya hancur
8
Ketidaksiapan responden
Takut
Perasaan responden
Bersalah
Tenang
Nilainilai spiritual
Kualitas hubungan dengan Tuhan Keyakinan terhadap Tuhan
?Tidak siap untuk hamil ?Tidak siap mengurus anak ?Takut proses aborsinya gagal ?Takut resiko pasca aborsi ?Takut ketahuan orang lain ?Takut tertangkap pihak yang berwajib ?Merasa bersalah karena telah membunuh darah dagingnya sendiri ?Merasa bersalah dan menganggap anaknya masih hidup tiap kali melihat anak kecil ?Merasa bersalah kepada orangtua ?Terlepas dari beban hamil di luar nikah ?Pacar mendampingi saat aborsi ?Masalah yang datang membuat lebih dekat pada Tuhan ?Merasa pendosa, semakin jauh dengan Tuhan ?Masalah yang datang berasal dari Tuhan ?Hanya menjalani rencana Tuhan
PEMBAHASAN Pada awalnya setiap responden melakukan emotion focused coping dalam menghadapi masalahnya. Ketika responden dihadapkan pada suatu masalah yang baru pertama kali di hadapinya dan ia sendiri, responden lebih banyak melakukan emotion focused coping seperti pada responden pertama dan kedua yang menangis (emotional discharge), responden ketiga yang menerima saja apa yang terjadi tanpa berbuat apa-apa (accepting), responden kedua dan ketiga yang menolak kenyataan (denial) lalu ketiga responden mencari dukungan sosial dari orang terdekat yang juga
9
terlibat dalam masalah yang sedang di hadapinya (seeking social support) dalam hal ini adalah pacar responden, setelah menghubungi dan menemui pacar responden masing-masing barulah coping yang dilakukannya berubah. Meskipun pada awalnya pacar responden pun menggunakan emotion focused coping yakni berusaha menolak kenyataan (denial) seperti pada pacar responden kedua dan ketiga, sedangkan ketiga responden masih melakukan emotion focused coping berupa menyalahkan orang lain atas peristiwa yang terjadi (projecting) pada responden pertama dan ketiga serta pada responden kedua lebih mendekatkan diri atau berserah diri pada Tuhannya (turning to religion). Pada
akhirnya responden dan pacarnya melakukan problem focused coping
dengan menyusun langkah-langkah penyelesaian. Responden kedua dan ketiga mulai memikirkan berbagai alternatif yang akan terjadi bila meneruskan kehamilan dan menggugurkan
kandungan,
kemudian
merencanakan
langkah
pengguguran
kandungan (planning) lalu memutuskan untuk aborsi serta berusaha untuk mencari cara aborsi baik dengan menggunakan cara alternative seperti menggunakan ramuan maupun cara medis dengan berusaha mencari dokter yang bersedia melayani aborsi (direct action) di lanjutkan dengan usaha mengumpulkan uang untuk biaya aborsi (direct action) pada responden ketiga, sedangkan responden pertama dan kedua biaya aborsi di tanggung sepenuhnya oleh pacar masing-masing. Pada responden pertama, problem focused coping yang di lakukan setelah mendapat social support dari pacarnya adalah langsung menghubungi dokter yang melayani aborsi (direct action).
10
Di sini terlihat bahwa penggunaan coping dalam menghadapi masalah atau tekanan tidak terpaku pada satu coping saja, emotion focused coping dapat di gunakan berbarengan dengan problem focused coping seperti yang di ungkapkan Holahan & Moos (Sarafino, 1990) bahwa individu jarang menggunakan satu bentuk coping saja dalam mengatasi masalah, biasanya usaha yang dilakukannya meliputi beberapa strategi (kombinasi). Dari penelitian ini di peroleh fakta bahwa peralihan dari penggunaan emotion focused coping menjadi problem focused coping di pengaruhi oleh adanya dukungan sosial dari orang terdekat serta proses berjalannya waktu. Sebagaimana menurut Taylor (1995) bahwa waktu dan dukungan social dapat mempengaruhi coping seseorang. Proses aborsi yang di jalani oleh responden untuk menggugurkan kandungannya berbeda-beda. Responden pertama menggugurkan kandungannya dengan memanggil dokter ke hotel lalu di bius total untuk proses kiret dan ketika sadar kandungannya sudah gugur dan bersih, responden tidak tahu apa yang di lakukan atas dirinya, responden hanya merasakan sakit setelah beberapa waktu pasca aborsi. Responden kedua melakukan berbagai cara guna menggugurkan kandungannya. Sebelum pacar responden mendapatkan informasi dari temannya tentang bidan yang bersedia melakukan aborsi, responden terlebih dulu mencoba memakan nanas muda yang konon dapat menggugurkan kandungan. Tetapi semua usaha yang di lakukannya gagal sampai pada akhirnya pacar responden membawanya ke seorang bidan di suatu daerah yang membuka mulut rahimnya sebagai usaha untuk menggugurkan
11
kandungan. Bidan itu pun berhasil mengeluarkan janin responden dari rahimnya. Responden ketiga terlebih dulu berkonsultasi dengan temannya yang pernah mengalami peristiwa serupa dengan tetap merahasiakan identitasnya. Responden menanyakan serta mempraktikkan semua usaha yang pernah di lakukan teman responden mulai dari meminum sari nanas di campur ragi, obat-obatan Cina dan berbagai cara lainnya namun tetap saja gagal. Akhirnya responden dan pacarnya menghubungi bidan di suatu daerah, responden dan pacarnya mengetahui bahwa bidan tersebut bersedia melakukan aborsi dari sebuah selebaran, untuk mengeluarkan janin responden, bidan tersebut membuka mulut rahim responden. Alasan yang mendominasi untuk melakukan aborsi berbeda pada setiap orangnya, pada responden pertama alasan yang paling kuat adalah tidak ingin masa depannya terhambat dan hancur hanya karena hamil dan melahirkan anak maka dari itu responden merasa belum siap bila harus hamil dan mengurus anak. Sama seperti yang di ungkapkan Hanifah (2004) bahwa perasaan terganggunya perencanaan masa depan dapat dialami oleh remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan. Responden kedua lebih memberatkan alasannya pada keluarga. Ia tidak ingin mengecewakan keluarganya dengan menghancurkan harapan kedua orang tua. Responden takut kuliahnya dan kuliah pacarnya akan terbengkalai serta masa depan yang sudah di rencanakannya akan berantakan bila ia meneruskan kehamilannya. Selain itu juga responden merasa belum siap hamil sebelum selesai kuliah. Pada responden ketiga, ketakutan mencoreng nama baik orang tua yang merupakan tokoh masyarakat di daerah asalnya lebih mendominasi. Ketakutan itu juga masih di sertai dengan ketidak
12
siapan responden untuk hamil. Fakta ini membenarkan ungkapan Hidayati (2004), menurutnya remaja yang belum menikah melakukan aborsi demi menjaga nama baik keluarga dan tekanan budaya dalam masyarakat. Dana aborsi aman yang di tangani langsung oleh para medis tidaklah sedikit. Namun mahalnya biaya tidak lagi menjadi permasalahan ketika beberapa alasan di atas di ungkap. Responden pertama menghabiskan dana Rp. 6.000.000,- pada aborsi pertamanya namun semua biayanya di tanggung oleh sang pacar. Responden kedua tidak mengetahui persis berapa jumlah yang ia dan pacarnya keluarkan untuk menggugurkan kandungan karena yang mengurus semua administrasinya adalah pacarnya dan ia tidak tahu menahu. Responden ketiga dengan pacarnya melakukan berbagai cara guna mengumpulkan dana sebanyak Rp. 2.500.000,- guna menggugurkan kandungannya, mulai dari menyisihkan sebagian uang bulanan, menggadaikan perhiasan responden sampai dengan menjual barang berharga lainnya. Perasaan responden saat memutuskan untuk aborsi sangat beragam. Hidayati (2001) mengungkapkan bahwa perempuan yang sedang mengalami kehamilan tidak diinginkan secara psikologis mengalami ketakutan dan ketegangan emosi. Responden pertama merasa takut proses aborsi yang di lakukannya akan gagal namun hubungannya dengan pacar yang selalu terjalin baik serta keberadaan pacarnya saat ia menjalani aborsi membuatnya merasa tenang. Responden kedua pun merasa takut bila kehamilannya di ketahui oleh keluarga dan orang lain. Dan saat memutuskan untuk aborsi, ketakutannya bertambah. Ia takut bila tidak hanya janinnya yang mati tetapi nyawanya juga menjadi korban, dukungan dari pacar yang selalu meyakininya
13
bahwa ia bisa melewati semua membuatnya merasa tenang. Perasaan bersalah pun menghantui responden, ia merasa bersalah karena sudah membunuh darah dagingnya sendiri serta merasa bersalah kepada orang tua karena sudah hamil sebelum nikah meskipun kedua orang tuanya tidak mengetahui perihal kehamilannya. Responden ketiga pun merasakan takut dan bersalah. Ia takut proses aborsi yang di lakukannya akan beresiko pada rahim dan keselamatan jiwanya. Hubungannya dengan pacar yang seringkali
di
warnai
keributan
sempat
membuatnya
ingin
menggugurkan
kandungannya secara tidak aman di dukun beranak namun pada akhirnya responden dan pacarnya bisa melewati proses aborsi bersama-sama dan responden merasa tenang karena pada saat melakukan aborsi di antar oleh sang pacar. Ketakutan responden ketiga tidak hanya pada resiko aborsi tetapi juga ketakutan bila proses aborsi yang di lakukannya di ketahui oleh orang lain dan pihak yang berwajib. Selain rasa takut, responden merasa sangat bersalah pada anak yang di gugurkannya, rasa bersalah yang terus di rasakannya hingga saat ini membuatnya membayangkan bahwa anaknya masih hidup bila responden melihat anak kecil. Nilai-nilai spiritual tidak akan terlepas dari kehidupan individu beragama, begitupun pada responden yang pernah melakukan aborsi. Responden pertama percaya bahwa semua yang terjadi pada dirinya adalah takdir Tuhan, ia bersyukur bila hal yang baik terjadi padanya dan bila hal buruk yang menimpa menurutnya itu merupakan jalan hidup yang tetap harus di jalaninya. Respoden kedua mampu mengambil hikmah dari peristiwa yang di alaminya. Ia lebih mendekatkan diri pada Tuhan dan memperbanyak sujud agar Allah mau mengampuni dosa-dosanya.
14
Responden ketiga yang pada awalnya menganggap kehamilannya adalah teguran dari Tuhan karena pacarannya yang melewati batas, tetap tidak berubah dan responden masih sering meninggalkan kewajiban shalat lima waktu. Penelitian ini menggambarkan model coping yang di lakukan oleh responden yang melakukan aborsi serta beberapa faktor yang mempengaruhinya berdasarkan pada data dari responden, secara ringkas digambarkan dalam bagan berikut:
15
Penelitian ini masih memiliki banyak kelemahan. Diantaranya adalah belum adanya informasi tambahan dari key person atau orang terdekat responden untuk lebih menguatkan serta mengkroscek data yang diperoleh dari responden yang diteliti, sehingga bisa lebih menambah data yang lebih lengkap dan menghasilkan analisis yang lebih akurat.
Serta terungkapnya data yang di butuhkan dalam satu kali
wawancara, menjadikan konsistensi hasil penelitian ini belum terbukti.
KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pada responden yang telah melakukan aborsi, ketika pertama kali mengetahui bahwa dirinya hamil melakukan emotion focused coping berupa emotional discharge, accepting, denial kemudian seeking social support. Setelah selang beberapa waktu dan mendapat social support dari orang terdekat, responden baru beralih ke problem focused coping dengan melakukan planning dan direct action, namun dalam proses problem focused coping berupa planning dan direct action yang di lakukan, responden masih melakukan emotion focused coping berupa projecting dan turning to religion. Emotion Focused Coping dapat di gunakan berbarengan dengan Problem Focused Coping ketika responden berhadapan dengan situasi yang menegangkan atau masalah. Proses aborsi yang di lakukan responden bermacam-macam cara, melalui kiret, meminum ramuan serta membuka mulut rahim. Tindakan aborsi yang di lakukan responden di bantu oleh para medis seperti dokter dan bidan.
Usia
16
kandungan responden saat di gugurkan pun beragam, berkisar dari delapan sampai 11 minggu. Informasi mengenai dokter dan bidan yang bersedia melayani aborsi di peroleh reponden melalui informasi dari teman dan melalui selebaran. Alasan responden untuk melakukan aborsi sangat beragam, dalam penelitian ini di peroleh fakta beberapa alasan yang mendorong responden untuk lebih memilih aborsi dari pada meneruskan kehamilan meskipun pasangannya ingin menikahinya. Beberapa alasan tersebut antara lain: belum siap hamil, ketakutan akan hancurnya masa depan yang sudah di rencanakan, tidak ingin mencoreng nama baik keluarga serta tidak ingin mengecewakan harapan orang tua. Dalam penelitian ini pun terlihat bahwa biaya aborsi yang mahal tidak menjadi sebuah halangan untuk melakukan aborsi, responden yang sudah memutuskan untuk melakukan aborsi akan melakukan berbagai cara agar bisa mengumpulkan dana untuk menutupi biaya aborsi. Pada saat memutuskan untuk aborsi sampai dengan proses aborsi selesai perasaan yang di rasakan responden sangat beragam mulai dari ketakutan aborsinya akan gagal, takut rahimnya akan bermasalah di kemudian hari, takut meninggal bersama janinnya, takut ketahuan orang lain sampai pada takut tertangkap pihak yang berwajib. Selain takut responden juga merasa bersalah pada janin yang telah di gugurkannya dan keluarga, meskipun keluarganya tidak tahu apa-apa. Namun dengan kehadiran pasangan saat melakukan aborsi, individu merasa tenang.
17
SARAN 1. Bagi Responden Bagi responden agar bisa lebih memetik hikmah dari setiap peristiwa yang di alami agar ke depannya bisa menjadi individu yang lebih baik.
2. Bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya dalam pengambilan data hendaknya terdapat tambahan data dari key person atau orang terdekat responden untuk lebih menguatkan serta mengkroscek data yang diperoleh dari responden yang diteliti. Serta di lakukannya wawancara berulang guna memperoleh konsistensi hasil penelitian.
18
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghifari. Abu. 2005. Hamil Di Luar Nikah, Trend atau Aib?. Bandung. Mujahid Press. Anonim. 2005. Belum Tentu Tepat, Bahwa Wanita, Khususnya Remaja, Yang Melakukan Aborsi Tidak Merasakan Apa-Apa Dan Langsung Boleh Pulang. hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/mbrtpage84.html Heider. 2001. Balance Theory. http://en.wikipedia.org/wiki/balance_theory
Hanifah, Laily. 2004. Gambaran Klien Aborsi dan Pandangan Terhadap Aborsi. Jakarta: Yayasan Mitra Inti. Hidayati.WB. 2004. Studi UI— UNFPA: Insiden Aborsi Dua Juta Per Tahun. www.suaramerdeka.com Kartono, Kartini. Gulo, Dali. 2003. Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya Laporan Konseling KTD PKBI DIY tahun 2002-2005
Larasati. Rully. Narkoba Barang Basi yang hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/map52narkoba.html
Kudu
Dibasmi.
Lestari,R. Lestari, Sri. 2005. Pelatihan Berpikir Optimis untuk Mengubah Perilaku Coping Pada Mahasiswa. Jurnal Psikodinamik, vol.7, no.2. Poerwandari,E.K. 2005. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi UI. Pusat Bahasa, Depertemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
Rahayu, Hartati 1997. Hubungan Tingkat Religiusitas dengan Perilaku Coping Stress. Jurnal Psikologika, nomor 4 tahun II.
19
Sarafino, E.P.,1994. Health Psychology Biopsychosocial Interaction. Second Edition. New York : John Wiley and Sons Inc.
Taylor. S. E. 1995. Health Psychology. London. Mc Graw Hill Uddin. Dkk. 2004. Pengetahuan, Sikap dan Praktik Aborsi di Indonesia. Jakarta: Mitra Inti Foundation.
20
IDENTITAS PENULIS Nama Mahasiswa
: Sofyatul Harisoh
Alamat
: Jl. Jend Sudirman No.218 Dayamurni, Tumijajar, Tulang Bawang, Lampung 34692
Nomor HP/ Telp
: 0817 079 61 84/ (0724) 351 321