Jurnal Ilmiah KORPRI Kopertis Wilayah IV
PENGALAMAN ANAK JALANAN DI KOTA CIREBON
Endah sari purbaningsih & Muadi STIKes Mahardika Cirebon ABSTRAK - Anak jalanan adalah anak (usia 5-18 tahun) sebagian besar hidupnya tinggal atau
berkeliaran dijalanan untuk mencari nafkah. Sebagai generasi penerus, kondisi anak jalanan di Indonesia sangat memprihatinkan. Selain hilangnya perlindungan dari keluarga, penelantaran dan penganiayaan yang mereka alami baik di rumah maupun di jalanan sangat beragam, bahkan sudah menjadi kebiasaan. Adapun Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan deskripsi mengenai pengalaman hidup anak jalanan di kota Cirebon. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Populasi dalam penelitian ini adalah anak jalanan di Kota Cirebon, sebanyak 6 orang. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam (in dept interview). Teknik analisa data dengan cara diseleksi dan dikelompokkan sesuai dengan kebutuhan untuk menjawab masalah penelitian, lalu data diolah sesuai dengan masalah penelitian, disajikan dengan kata-kata yang sederhana sebagai jawaban terhadap masalah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman hidup pada anak jalanan di Kota Cirebon adalah: penelantaran, penganiayaan, tidak ada teladan dari orang tua, subkultur anak jalanan, dan harga diri rendah. Saran dalam penelitian ini yaitu Puskesmas bekerjasama dengan dinas sosial dan perlindungan anak dapat melakukan program konseling baik pada anak jalanan maupun keluarganya, dan kaderisasi untuk mengidentifikasi secara dini kasus penelantaran dan penganiayaan pada anak jalanan. Bagi perawat yang menjalankan program anak jalanan dapat memberikan intervensi yang berpusat di jalanan, yaitu suatu program yang mengadakan pendekatan langsung di tempat-tempat anak jalanan berada. Kata kunci : pengalaman, anak jalanan, Kota Cirebon ABSTRACT - Street children are children (ages 5-18 years) that most of their lives living or
wandering the streets for a living. As the next generation, the condition of street children in Indonesia are alarming. Despite of losing family protection, they experienced diverse neglect and abuse at home or on the street, and even it has become a habit. The research was conducted in order to obtain a description of the life experiences of street children in the city of Cirebon. The method used in this research was qualitative with phenomenological approach. The population in this study were six street children in the city of Cirebon. Data collected by means of in-depth interviews and analyzed by means selected and grouped according to the need to answer the research problem; and then the data is processed in accordance with the research problem, presented in words as simple as the answer to the problem. The results showed that the experience of living on street children in the city of Cirebon were: neglect, abuse, no parents’ role model, the subculture of street children, and low self esteem. Suggestions from this research that the health center should coorporate with social services and child protection in implementing counseling program both for street children and their families; and the need for regeneration to identify early cases of neglect and abuse on street
268
Tekno Efisiensi Vol.1 No. 3 Desember 2016
children. Nurses who run the street children program should provide intervention centered on the street; a program applied directly in places where street children are. Keywords: experience, street children, Cirebon City LATAR BELAKANG MASALAH Fenomena saat ini adalah banyak merebaknya anak jalanan di Indonesia, dan ini merupakan sebuah persoalan sosial yang komplek dan terus meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya. Krisis moneter yang berlanjut dengan krisis ekonomi, kemudian meluas menjadi krisis multidimensi, mengakibatkan semakin banyak anak-anak usia sekolah terkena dampaknya. Berdasarkan data dari Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik Republik Indonesia Tahun 2009 jumlah anak jalanan di Indonesia tercatat sebanyak 230.000, tahun 2015 jumlah anak jalanan di Indonesia adalah sekitar 94.000 sedangkan data di kementerian sosial indonesia mencatat terdapat 34.000 anak jalanan (antara Jawa tengah, 2015). Menurut data yang diperoleh Lembaga Perlindungan Anak Jawa Barat, sedikitnya terdapat 4.951 anak-anak di Jawa Barat yang hidup sebagai anak jalanan. Sedangkan menurut laporan kinerja pemerintah kota cirebon tahun 2009-2012 tercatat jumlah anak jalanan di kota cirebon adalah sebanyak 149 orang. Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk mencari nafkah dan berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya, berusia 6-18 tahun (Irwanto, 2005). Anak jalanan merupakan sebagian dari anak-anak yang hidup dan tumbuh di negara ini dan menjadi harapan bangsa di masa yang akan datang. Sebagai generasi penerus, kondisi anak jalanan di Indonesia sangat memprihatinkan. Selain hilangnya perlindungan dari keluarga, penelantaran dan penganiayaan yang mereka alami baik di rumah maupun di jalanan sangat beragam, bahkan sudah menjadi kebiasaan atau hal yang biasa. Hampir di setiap perempatan jalan utama Kota Cirebon tampak anak-anak yang menjadi pedagang asongan, pengemis, pemulung, dan pengamen. Anak-anak jalanan tersebut memiliki kekhasan tertentu, misalnya mereka memiliki jarak dalam berinteraksi sosial dengan masyarakat sekitarnya, ada yang tidak tinggal bersama orang tua dan ada yang tidak bersekolah seperti anak-anak dan remaja umumnya. Lingkungan utama yang mereka miliki dalam berinteraksi sosial adalah teman-teman sesama anak jalanan. Penelantaran dan penganiayaan dapat anak terjadi pada anak laki-laki dan perempuan pada semua usia, pada semua kelompok etnik, dan pada semua tingkat sosioekonomi. Penelantaran dan penganiayaan berada pada tingkat yang cukup tinggi dan berhubungan dengan berbagai macam masalah ekonomi dan gejala psikiatrik. Anak-anak yang dipukul atau dibakar, diserang secara seksual berulang kali, atau tidak diberi makan, pakaian, dan tempat berlindung mungkin menderita atau berjuang hidup dengan akibatnya (Kaplan dan Sadock, 2007). Model agresi seringkali diadopsi anak-anak sebagai model pertahanan diri dalam mempertahankan hidup. Dalam situasi-situasi yang dirasakan sangat kritis bagi pertahanan hidupnya dan ditambah dengan nalar yang belum berkembang optimal, anak-anak seringkali dengan gampang bertindak agresi misalnya dengan cara memukul, berteriak, dan mendorong orang lain sehingga terjatuh dan tersingkir dalam kompetisi sementara ia akan berhasil mencapai tujuannya.
Tekno Efisiensi Vol.1 No. 3 Desember 2016
269
Di wilayah Jawa Barat, menurut data Kepolisian Daerah (Abdilah, 2012), telah terjadi sekitar 150 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Kasus-kasus itu terutama meliputi mereka yang hidup sebagai pengamen, pedagang asongan dan mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu. Hal itu menandakan, bahwa kekerasan di luar lingkungan keluarga pun tak kalah tajam mengintai anak-anak. Semenjak kasus sodomi Robot Gedek mengemuka, kasus kekerasan semacam itu seakan tak pernah berhenti, mengisi menu berita, mengorbankan banyak anak-anak yang menggantungkan hidupnya sebagai bocah lampu merah. Mengalami penyiksaan fisik dan seksual merupakan suatu hal yang sangat menyakitkan, terutama bagi seorang anak perempuan. Pengalaman penyiksaan tersebut akan menjadi trauma psikologis yang akan terus dibawa sampai masa dewasa. Bahkan dampak trauma psikologis akibat penyiksaan fisik dan seksual ini mungkin saja mendorong anak jalanan perempuan untuk melakukan aktivitas seks bebas dan melakukan prostitusi pada usia remaja (Santoso, 2006). Beberapa kasus kekerasan fisik dan seksual, penganiayaan, hingga penelantaran terhadap anak, memang terungkap. Tapi, masih banyak pula yang tidak terungkap. Seperti dikatakan Soetjiningsih (2009), kasus penganiayaan dan penelantaran anak ibarat permukaan gunung es “Hanya permukaan diatasnya saja yang terlihat, sedang dibawahnya tidak terlihat sama sekali”. beberapa dampak dari tindakan penelantaran dan penganiayaan pada anak diantaranya adalah anak kehilangan haknya menikmati masa kanak-kanaknya, menjadi korban eksploitasi serta penindasan dari manusia dewasa. Jika kehidupan mereka tumbuh dari ancaman dan kekerasan, kelak setelah dewasa kemungkinan membawa dampak psikologis berupa labilitas emosi, serta pola perilaku yang cenderung agresif, mudah terlibat dalam perkelahian, tindak kekerasan, penyalahgunaan zat, hubungan seks bebas, dan kecenderungan berperilaku antisosial. Adapun gangguan fisik pada anak dideskripsikan bila seorang anak mengalami kekerasan yang berakibat adanya trauma, maka ada beberapa sel yang mengalami kerusakan sehingga pertumbuhan organ selanjutnya abnormal, karena pada masa anak organ-organ tubuh dalam keadaan fase pertumbuhan. Tindak penelantaran dan penganiayaan yang terjadi pada anak jalanan bisa mengakibatkan si anak mengalami gangguan jiwa. World Federation for Mental Health dalam Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Maramis (2008), mengatakan “Kesehatan jiwa itu adalah suatu keadaan yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional seorang individu secara optimal dan sejauh hal ini cocok dengan perkembangan optimal individu-individu yang lain”. Dengan memahami tiap tahap perkembangan anak jalanan, tenaga kesehatan, khususnya perawat dapat mengantisipasi dan merencanakan tindakan pencegahan berdasarkan pengkajian terhadap titik rawan dan berisiko terjadinya penelantaran dan penganiayaan sepanjang siklus perkembangan anak jalanan. Prevalensi gangguan kesehatan jiwa pada anak dan remaja cenderung akan meningkat sejalan dengan permasalahan kehidupan dan kemasyarakatan yang makin kompleks, oleh karena itu memerlukan pelayanan kesehatan jiwa yang memadai sehingga memungkinkan anak dan remaja untuk mendapat kesempatan tumbuh kembang semaksimal mungkin (Hamid, 2009). Penelitian tentang pengalaman hidup anak jalanan dapat dilakukan dimana saja, akan tetapi peneliti sangat tertarik melakukan penelitian ini di Kota Cirebon. mereka tinggal ditempat yang tidak layak bagi pertumbuhan dan perkembangan anak seperti di rumah-rumah kumuh yang ada di lahan-lahan kosong atau ngontrak satu rumah dengan lebih dari 2 kepala keluarga. Ada juga anak jalanan yang tidak mempunyai tempat tinggal sehingga mereka tidur hanya beralaskan koran di emperan toko. Sebagaian besar keluarga anak jalanan, orang 270
Tekno Efisiensi Vol.1 No. 3 Desember 2016
tuanya bekerja sebagai pemulung atau buruh pasar dengan pendapatan tidak tetap, ada juga anak jalanan yang hanya tinggal dengan satu orang tua, sehingga anak-anaknya disuruh berjualan atau mengamen di pinggir jalan. hasil wawancara dengan petugas yang menangani program anak jalanan, mengatakan bahwa dari keempat program anak jalanan yang ada, tidak semua berjalan dengan lancar, khususnya program konseling untuk menjaring anak jalanan yang mengalami gangguan mental dan emosional. Hal ini terjadi karena kebanyakan anak jalanan takut dan malu untuk menceritakan semua pengalaman yang mereka alami. Wawancara dengan salah satu anak jalanan, diperoleh gambaran bahwa terdapat rasa ketidakpercayaan dari anak jalanan untuk menceritakan semua pengalamannya kepada petugas Puskesmas karena mereka menganggap petugas Puskesmas adalah kaki tangan pemerintah sehingga ada hal-hal yang tidak boleh diketahui misalnya tentang keterlibatan dalam narkoba. Pengalaman adalah segala bentuk emosi, perasaan, persepsi, tindakan, dan kejadian yang pernah dialami individu yang dirasakan sangat bermakna dan meninggalkan kesan dalam hidup individu (Crotty, 2006). Pengalaman hidup yang dirasakan oleh anak jalanan sangat memiliki arti mendalam bagi anak-anak tersebut. Betapa tidak, dari hasil wawancara dengan anak jalanan yang mengalami perilaku kekerasan, mengatakan jika rasa belas kasihan terhadap orang-orang disekelilingnya mulai berkurang sedikit demi sedikit karena setiap saat dia seringkali mendapatkan kekerasan dari orang yang lebih kuat dibandingkan dia sendiri. Luka lecet, memar di wajah dan luka bakar akibat rokok sudah biasa ia dapatkan. Ia lebih suka menyembunyikan cedera fisik dan biasanya segan melaporkannya ke pihak berwajib karena takut akan pembalasan dendam. Kecenderungan perilaku remaja ini tidak terlepas dari pengaruh lingkungan sosial dimana mereka berada (Soekanto, 2004). Bagi anak jalanan, jalanan adalah area yang sangat menjanjikan. Alasan anak untuk melakukan kegiatan di jalanan cukup beragam, yaitu membantu orang tua, konflik dengan orang tua, dan mencari pengalaman hidup (Irwanto, 2009). Salah satu anak jalanan yang diwawancarai mengatakan kalau dirinya sudah disuruh menjadi pengemis oleh Ibunya sejak usia 5 tahun, karena Ayah yang seharusnya mencari nafkah meninggalkan keluarga dan memilih tinggal dengan istri barunya. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga dia menghabiskan waktu minimal 12 jam di jalanan. Melihat fenomena yang terjadi pada anak-anak yang mengalami penelantaran dan penganiayaan baik dari keluarganya maupun dari lingkungan sekitar, memperlihatkan bahwa sangat penting bagi perawat untuk mengetahui pengalaman hidup anak jalanan yang mengalami penelantaran dan penganiayaan sehingga dapat mengetahui secara mendalam respon yang utuh dari aspek manusia meliputi bio-psiko-sosial dan dapat menentukan pelayanan keperawatan sehingga memungkinkan anak mendapatkan kesempatan tumbuh kembang semaksimal mungkin. METODOLOGI PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Metode kualitatif paling sesuai untuk menguraikan suatu pengalaman yang dipersepsikan secara terperinci dengan jumlah sampel yang kecil (Moleong, 2010). Peneliti berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual para subjek penelitian sehingga peneliti mengerti apa dan bagaimana pengertian yang dikembangkan oleh subjek penelitian di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari (Moleong, 2010).
Tekno Efisiensi Vol.1 No. 3 Desember 2016
271
Responden yang menjadi subjek penelitian ini adalah anak jalanan yang menghabiskan waktunya mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan dan tempat-tempat umum lainnya di kota Cirebon Teknik pengambilan responden yang digunakan adalah purposive sampling (sampel dengan tujuan) yaitu dengan mengambil subjek penelitian yang memenuhi kriteria. Dimana kriteria tersebut dibuat oleh peneliti sendiri (Norwood, 2010). Pada penelitian ini jumlah informan yang diambil sebanyak 6 orang sesuai dengan kecukupan informasi yang diperoleh. Menurut Lofland dan Lofland (1984) dalam Moleong, (2010), sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya data tambahan seperti dokumentasi, dan lain-lain. Kata-kata dan tindakan responden yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama. Teknik pengumpulan data yang diambil dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in dept interview) terhadap informan (Moleong, 2010) yang dibantu dengan pedoman interview berstandar dalam bentuk pertanyaan open ended question (pertanyaan terbuka). Analisa data dilakukan sesuai dengan pendekatan menurut Colaizzi dalam Crotty (2006). HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman hidup pada anak jalanan di Kota Cirebon adalah: penelantaran, penganiayaan, tidak ada teladan dari orang tua, subkultur anak jalanan, dan harga diri rendah. PEMBAHASAN 1. Penelantaran Hasil penelitian menunjukan anak jalanan mengalami penelantaran dari keluarganya, baik penelantaran secara fisik, intelektual, sosial maupun emosional. Kompleksitas kehidupan yang semakin meningkat, memungkinkan semakin banyak orang tua yang kalah bersaing dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Akibatnya kebutuhan anak yang seharusnya dipenuhi oleh orang tua, menjadi tidak terpenuhi atau semakin terabaikan. Keadaan inilah yang mengakibatkan anak harus ikut menanggung beban, hal ini dapat dilihat manakala orangtua membiarkan sampai mendukung anaknya untuk bekerja. Dengan keberadaan anak-anak di jalanan beberapa hak menjadi tidak terpenuhi, misalnya pelayanan kesehatan, kehidupan yang standar seperti makanan, air bersih dan tempat hidup, pendidikan, kesempatan untuk bermain dan waktu luang, terlindung dari eksploitasi seks, ekonomi, terhindar dari obat-obat terlarang, mendapatkan perlindungan hukum, serta bimbingan yang dibutuhkan untuk memainkan peran dalam masyarakat sesuai dengan tingkat usia dan kematangannya (Soetjiningsih, 2009). Kondisi lingkungan sosial dapat menjadi pencetus terjadinya penelantaran pada anak jalanan, diantaranya : kemiskinan, adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri, dan nilai keluarga yang individualistis (Soetjiningsih, 2009). Selain faktor itu penelantaran anak juga sebagai akibat dari ketidakmampuan keluarga melaksanakan peranan dalam beberapa fungsinya. Dalam setiap masyarakat, keluarga merupakan suatu struktur kelembagaan yang berkembang yang memiliki fungsi-fungsi untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu dalam masyarakat (Soekanto, 2004). Fungsi-fungsi keluarga tersebut terdiri dari : fungsi biologis, rekreasi, pendidikan, ekonomi, afeksi / perasaan, sosialisasi, religius dan perlindungan.
272
Tekno Efisiensi Vol.1 No. 3 Desember 2016
Remaja dalam proses tumbuh kembangnya dapat mengalami stressor yang berasal dari sikap orang tua yang dingin, acuh tak acuh terhadap anak, sikap atau kontrol yang tidak cukup dan tidak konsisten. Kadang kurang bijak dalam mengungkapkan kasih sayangnya pada anak, orang tua lebih banyak menelantarkan daripada keberadaan dan kebersamaannya dengan anak dirumah. Seorang pakar kesehatan jiwa (Batista, 1987 dalam Soelaiman, 2012) mengatakan bahwa warisan yang berharga yang dapat diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya adalah waktu beberapa menit setiap harinya. Untuk mencegah penelantaran anak, perawat harus mengidentifikasi keluarga yang berada dalam resiko tinggi dan melakukan intervensi sebelum anak menjadi korban. Jika keluarga resiko tinggi telah dikenali, program menyeluruh harus segera diberikan termasuk monitoring psikiatrik terhadap keluarga, dan anak dengan resiko tinggi. Keluarga dapat diberikan pendidikan untuk mengetahui kapan mereka menelantarkan, dan strategi alternatif untuk mengatasi masalah dapat dianjurkan. Pada umunya, program pencegahan dan intervensi pada kasus penelantaran anak harus mencoba untuk (1) mencegah perpisahan orang tua dan anak jika mungkin, (2) mencegah penitipan anak ke orang lain, (3) mendorong pencapaian status perawatan diri orang tua, dan (4) mendorong pencapaian kecukupan diri orang tua (Kaplan dan Sadock, 2007). Sebagai usaha terakhir dan untuk mencegah penelantaran lebih lanjut, anak-anak mungkin perlu dipindahkan dari keluarga yang tidak mau atau tidak mampu mengambil manfaat dari program pengobatan, misalnya ke rumah singgah. Berbagai tindakan penelantaran harus secepatnya dikenali sehingga dapat dilakukan tindakan preventif dan menyelesaikan masalah dengan segera agar tidak terjadi problem lebih lanjut yang dapat merusak tumbuh kembang anak. Manipulasi lingkungan dengan mengadakan pendekatan pada keluarga dapat dilakukan perawat dalam membantu anak jalanan menghadapi masalah krisis ini. Peningkatan pemahaman keluarga tentang pengaruh yang dapat ditimbulkan keluarga terhadap perkembangan anggotanya perlu ditingkatkan. Hasil akhirnya diharapkan adanya perubahan sikap, pola asuh dan komunikasi dalam keluarga sehingga masalah krisis pertumbuhan dan perkembangan pada anggota keluarga dapat diatasi. 2. Penganiayaan Hasil penelitian ini menggambarkan situasi dan kondisi anak jalanan yang tidak kondusif dalam melewati pertumbuhan dan perkembangannya yang penuh dengan penganiayaan berupa penganiayaan fisik dan penganiayaan emosional. Lingkungan sosial masyarakat yang cenderung serba membolehkan (permissive), acuh tak acuh tersebut ikut berkontribusi terhadap terjadinya penganiayaan pada anak jalanan yang berakibat terjadinya trauma, emosionalnya menjadi terganggu, seperti kecemasan, ketakutan, perilaku agresif dan mood yang labil, penyimpangan perilaku berupa perilaku negatif dan kriminalitas seperti penyalahgunaan narkoba dan seks bebas. Penganiayaan dan penelantaran anak terjadi pada anak laki-laki dan perempuan pada semua usia, pada semua kelompok etnik, dan pada semua tingkat sosioekonomi. Kondisi kehidupan yang penuh dengan stres, termasuk lingkungan yang sangat padat dan kemiskinan, adalah berhubungan dengan perilaku agresif dan mungkin berperan terhadap penyiksaan fisik pada anak (Kaplan dan Sadock, 2007). Penganiayaan terhadap anak, selain berhubungan dengan kemiskinan keluarganya juga berhubungan dengan sikap penolakan orang tua. Berdasarkan hasil wawancara pada semua responden, bahwa mereka berasal dari keluarga yang tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Kondisi tersebut diperburuk dengan hilangnya peran pengganti dari keluarga dekat dan masyarakat.
Tekno Efisiensi Vol.1 No. 3 Desember 2016
273
Di dalam situasi kekerasan yang dihadapi secara terus-menerus dalam perjalanan hidupnya, maka pelajaran itulah yang melekat dalam diri anak jalanan yang akan membentuk nilai-nilai baru dan membawa tindakan yang mengedepankan kekerasan sebagai jalan keluar untuk mempertahankan hidupnya. Ketika memasuki masa dewasa, besar kemungkinan mereka akan menjadi salah satu pelaku kekerasan dan eksploitasi terhadap anak-anak jalanan (Kaplan dan Sadock, 2007). Keadaan ini sama seperti yang semua responden alami selama menjadi anak jalanan, mereka sering mendapatkan penganiayaan dari yang ringan sampai berat, baik dari orang tuanya maupun orang dewasa di sekitar lingkungan anak tersebut. Dan yang memprihatinkan adalah anak meyakini kekerasan adalah cara atau alternatif yang dapat diterima dalam menyelesaikan sebuah koflik / permasalahan. Dalam penatalaksanaan anak korban penganiayaan perlu mendapat perhatian berbagai pihak; keluarga sebagai institusi terkecil, lingkungan masyarakat, ahli medis, psikolog, hukum dan juga institusi pemerintah yang terkait, dapat berperan penting dalam deteksi dini dan turut bertanggung jawab dalam tatalaksana, sehingga masalah anak jalanan tidak menjadi lingkaran setan yang semakin sulit dicari pemecahannya (Soetjiningsih, 2009). Pencegahan dan intervensi terhadap tindakan penganiayaan sebaiknya dilakukan sedini mungkin. Tindakan pencegahan ini ditujukan kepada faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya penganiayaan seperti masalah sosial, kemiskinan, disfungsi keluarga, dan sebagainya. Menurut Hamid, (2009), perawat dapat melakukan langkah-langkah : (a) Pencegahan primer, ialah usaha mengurangi kasus-kasus baru gangguan jiwa dalam masyarakat dengan mengurangi atau menghilangkan hal-hal yang dapat menimbulkannya, dengan cara konseling keluarga dan modifikasi lingkungan sosial budaya. (b) Pencegahan sekunder ditujukan kepada anak jalanan yang telah teridentifikasi sebagai anak jalanan beresiko. Bertujuan untuk: identifikasi kasus penelantaran dan penganiayaan yang terjadi dimasyarakat, penanganan sesegera dan seefektif mungkin terhadap korban dan pelaku penelantaran dan penganiayaan, sehingga mereka dapat kembali pada kesehatan jiwa yang optimal. (c) Pencegahan tertier diberikan apabila anak jalanan sudah terlibat dalam tindakan penganiayaan, upaya pencegahan tertier termasuk pendidikan, kelompok swabantu, dan pelayanan rehabilitasi. Namun begitu, kunci utama keberhasilan semua ini terletak pada individu itu sendiri. Walaupun berbagai usaha telah dilakukan tetapi individu tidak juga memperbaiki dirinya, usaha ini tidak akan pernah berhasil. Untuk itu marilah kita bersama-sama tingkatkan kesadaran dan tanggung jawab dalam diri masing-masing dalam menciptakan lingkungan yang harmonis dan sehat demi terciptanya masyarakat yang anti kekerasan. 4.1.1 Tidak ada teladan dari orang tua Dalam penelitian ini orang tua dari anak jalanan ternyata mempunyai kemampuan mengasuh anak yang sangat kurang. Orang tua lebih sering menghukum, kurang memantau anaknya dan melakukan penganiayaan pada anak-anaknya sehingga memberikan contoh yang tidak baik kepada anak-anaknya. Masalah seperti inilah yang turut berkontribusi terhadap terjadinya perilaku negatif pada anak jalanan dalam penelitian ini. Keluarga mempunyai pengaruh yang besar bagi perkembangan anak, karena keluarga merupakan lingkungan pertama yang meletakkan dasar-dasar kepribadian anak (Soetjiningsih, 2009). Dengan kondisi rumah yang tidak kondusif, ketertekanan anak sebagai akibat lingkungan keluarga yang tidak harmonis dan disfungsi keluarga dalam melaksanakan perannya, ternyata berdampak kepada larinya anak ke jalanan. Hilangnya peran orang tua sebagai pemenuh kebutuhan, pemberi perlindungan, pemberi keteladanan dan pemberi
274
Tekno Efisiensi Vol.1 No. 3 Desember 2016
ketentraman, mengakibatkan kehilangannya kesempatan bagi anak untuk merasakan kehidupan layak dan normal (Soekanto, 2004). Berdasarkan penelitian mendapatkan bahwa, perceraian ataupun konflik dalam rumah tangga dapat meningkatkan terjadinya gangguan tingkah laku pada anak yang menginjak remaja. Anak-anak akan kehilangan dukungan dan persahabatan dengan orang tuanya, tidak disiplin, dan sulit memecahkan masalah yang dihadapi (Soetjiningsih, 2009), seperti yang peneliti temukan pada responden 1, 3, dan 4. Sikap orang tua terhadap anak merupakan faktor yang sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak. Perkawinan yang tidak bahagia atau perceraian menimbulkan kebingungan pada anak. Bila orang tua hidup tidak rukun, maka sering mereka tidak konsekuen dalam hal mengatur disiplin dan sering mereka bertengkar didepan anak (Maramis, 1998). Dalam usianya yang relatif masih anak-anak yang kecil dan lemah, anak jalanan hanya bisa menerima, dan sebagai bentuk protes terhadap ancaman tersebut, mereka melarikan dirinya pada perbuatan negatif dan kriminal. Modifikasi lingkungan dengan mengadakan pendekatan pada keluarga dapat dilakukan seorang perawat dalam membantu anak jalanan menghadapi masalah ini. Peningkatan pemahaman keluarga tentang pengaruh yang dapat ditimbulkan keluarga terhadap perkembangan anggotanya perlu ditingkatkan. Salah satu pendekatan yang digunakan (Soetjiningsih, 2009), adalah melatih orang tua agar mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan anaknya, dengan memakai disiplin dan cara yang positif, tidak menggunakan hukuman fisik serta strategi memecahkan masalah (problem-solving) bagi anak jalanan. Hasil akhirnya diharapkan adanya perubahan sikap, pola asuh dan komunikasi dalam keluarga sehingga masalah perkembangan pada anak jalanan dapat diatasi. 4.1.2 Subkultur anak jalanan Dalam penelitian ini anak jalanan umumnya senang berkelompok, dalam kelompoknya mereka seakan merasakan kenyamanan dan ketenangan, karena adanya rasa senasib dan sepenanggungan. Karena latar belakang yang relatif sama tersebut, maka diantara mereka secara tidak sengaja terbentuk kelompok yang sangat kuat dengan ciri-ciri khusus. Kelompok tersebut terbentuk berdasarkan umur, pekerjaan, wilayah operasi dan lamanya tinggal di jalanan. Kelompok-kelompok tersebut kemudian mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda dengan kelompok masyarakat pada umumnya, dan berkembang menjadi kebudayaan khusus. Mereka saling mempengaruhi dan saling berbagi dalam mencari jalan keluar dari setiap problema yang mereka alami. Kemudian perilaku negatif yang sudah menjadi kekhasan dari kelompok menyebar dan diadopsi oleh anak jalanan dalam penelitian ini. Menurut Horton (1991), bahwa kelompok khusus berkembang dari kelompok sebaya, kelompok tersebut tidak memiliki pemimpin yang mengarahkannya, anggotanya tidak bersekolah dan mengalami penolakan dari orang tuanya. Selain ciri fisik dan psikis yang dimiliki anak jalanan, mereka juga memiliki ciri kultur, yaitu : uang yang diperoleh biasanya habis saat itu (kalau tersisa disimpan rapat-rapat agar tidak dirampas temannya), interaksi atau bergaul terbatas hanya dengan sesamanya, mengembangkan sikap curiga dengan orang yang baru dikenal, memiliki gaya perilaku, pikiran dan tindakan yang khusus serta pembendaharaan kata yang hampir tidak dimengerti kelompok lain yang lahir dari mekanisme hidup di jalanan, mengembangkan jaringan-jaringan diantara mereka (Depsos, 1999). Teman sebaya adalah sumber afeksi, simpati dan pengertian tempat untuk bereksperimen dan suasana yang mendukung untuk mencapai otonomi dan kemandirian dari orang tua mereka. Teman sebaya adalah tempat untuk membentuk hubungan yang mendalam dengan Tekno Efisiensi Vol.1 No. 3 Desember 2016
275
orang lain, memberi dasar untuk keintiman orang dewasa. Maka tak heran anak jalanan lebih suka menghabiskan waktu dengan teman sebayanya. Bila anak jalanan terpaksa berpisah atau diharuskan mandiri secara emosional terlalu dini, akan berakibat buruk seperti merasa terasing, rentan terhadap pengaruh negatif teman sebaya atau muncul perilaku tidak sehat lainnya seperti penyalahgunaan obat atau kegiatan sexual premature (Ertanto, 2000). Kehidupan jalanan telah membawa mereka terjerumus dalam perilaku negatif dan kriminal seperti mengkonsumsi minuman keras, obat-obat terlarang, mencuri, memeras, ngepil, judi, serta menggemari perilaku seks bebas. Menurut Sutherland (Susanto, 1993), bahwa perilaku negatif dan tindakan kriminal yang dilakukan seseorang sangat dipengaruhi oleh intensitas hubungannya dengan orang lain. Begitu juga dengan tokoh-tokoh jalanan. Dalam berhubungan sosial mereka mempelajari cara-cara hidup tokoh tersebut. Pada awalnya kebiasaan tersebut dilakukan hanya untuk menghormati teman dan keinginan untuk diterima di lingkungan teman anak jalanan tersebut, tetapi lama-kelamaan tindakan tersebut dijadikan sebagai bentuk pelarian mereka dalam menghadapi kondisi krisis yang mereka hadapi. Ketika anak-anak tersebut mengelompok, maka terbentuklah suatu subkultur yang mengembangkan nilai pola perilaku itu sendiri. Menurut Lemert dalam Susanto (2008), tindakan negatif dan kriminal pada anak jalanan juga ada hubungannya dengan stigma yang diberikan masyarakat kepadanya. Sikap sinis dari masyarakat tersebut secara perlahan telah merasuk dalam diri anak jalanan dan membentuk konsep dirinya sebagai kriminal, tetapi perbuatan tersebut biasanya mereka lakukan apabila dalam situai yang sangat krisis, seperti tidak makan berhari-hari atau pada saat mereka mendapat ancaman di luar kelompoknya atau dari orang tuanya sendiri yang suka mematok uang pendapatan perhari. Kebiasaan tersebut merupakan suatu upaya pertahanan diri mereka agar tetap bertahan hidup di jalanan. Dalam masalah ini, perawat dapat melakukan modifikasi lingkungan, agar anak jalanan tidak selalu terwarnai oleh lingkungan sosial yang kurang kondusif. Lingkungan sosial yang positif perlu diciptakan untuk membantu anak jalanan yang sedang mengalami krisis ini agar dapat keluar dari situasi krisisnya. Pendekatan individu (individual approach) dapat dilakukan perawat agar anak jalanan termotivasi untuk merubah lingkungan sosial dalam pergaulannya, atau dengan merubah secara perlahan dengan pendekatan yang menyeluruh agar paradigma kelompok yang tadi sebagai sumber perilaku negatif menjadi sumber terciptanya perilaku yang positif bagi perkembangan remaja. 4.1.3 Harga diri rendah Dalam penelitian ini empat orang dari enam responden yang menjadi subjek penelitian, mengalami perasaan rendah diri yang tergambar dari ungkapan-ungkapan mereka. Keadaan ini dapat terjadi karena kontribusi berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri mereka sehingga membawa kepada konsep diri yang cenderung negatif. Pengalaman masa kanak-kanak dapat merupakan faktor kontribusi pada gangguan atau masalah konsep diri. Anak sangat peka terhadap perlakuan dan respon orang tua. Orang tua yang kasar, membenci dan tidak menerima akan mempunyai keraguan atau ketidakpastian diri. Anak yang tidak menerima kasih sayang maka anak tersebut akan gagal mencintai dirinya dan menggapai cinta orang lain. Rendahnya penghargaan yang mereka dapatkan dalam proses tumbuh kembang mereka turut berperan membentuk konsep diri yang negatif pada sebagian besar anak jalanan. Faktor keluarga yang kurang memberi perhatian secara emosional juga turut menciptakan kondisi harga diri rendah pada anak jalanan tersebut. Keluarga cenderung membiarkan anakanak jalanan itu tumbuh dan berkembang dengan sendirinya di jalanan, mencari kasih sayang
276
Tekno Efisiensi Vol.1 No. 3 Desember 2016
dan kehangatan emosional dari lingkungan sosial yang justru mengajarkan kekerasan (Keliat, 1992). Faktor penampilan peran juga ikut memberi andil terbentuknya harga diri rendah pada anak jalanan tersebut. Peran yang tidak sesuai dengan usia dan harapan anak membentuk konsep diri yang negatif pada anak jalanan tersebut. Mereka diharuskan mengambil sebagian peran orang tua dalam mencari nafkah, padahal usia mereka masih terlalu muda dan peran seharusnya yang mereka dapat adalah peran sebagai anak dimana segala kebutuhan fisik menjadi tanggung jawab orang tua mereka. Ketika pertama kali hadir di jalan, seorang anak tidak mengenal dan dikenal oleh siapapun. Selain itu juga ada perasaan kuatir dan malu bila orang lain mengetahui siapa dirinya. Anak jalanan dalam penelitian ini mengungkapkan parasaan malu karena harus ikut mencari uang di jalanan membantu orang tuanya dengan menggunakan baju yang jelek sedangkan teman-teman sebayanya pergi ke sekolah. Seperti yang responden 1, 2, 3 dan 6 ungkapkan. Menurut Priliasari (2005), hal tersebut akan memperburuk keadaan mental anak jalanan, tapi lama kelamaan akan menjadi biasa karena tidak ada jalan lain lagi untuk mendapatkan uang di jalanan. Stuart dan Sundeen (2007) menyatakan bahwa memang faktor keluarga (orang tua), turut memberi andil dalam proses pembentukan konsep diri anak. Anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif, penuh kasih sayang dan saling menghargai akan membawa kepada konsep diri yang positif. Sebaliknya rendahnya penghargaan yang didapatkan seorang anak dalam proses perkembangannya juga membawa dampak timbulnya harga diri rendah. Kenyataannya pada anak-anak jalanan tersebut dalam kesehariannya di jalanan menghadapi masalah kehidupan, seperti tidur di sembarang tempat, makan tidak teratur, tidak mengurus diri, dan sebagainya, akibat rendahnya perhatian dari keluarga (Vincent, 1993). Disamping itu Stuart dan Sundeen (1995) juga mengatakan bahwa penampilan peran mempengaruhi konsep diri. Konflik peran yang terjadi karena ketidaksesuaian antara peran yang diinginkan dengan peran yang mesti dijalani menjadi faktor pencetus timbulnya perasaan rendah diri. Stuart dan Sundeen (1995) juga mengatakan bahwa lingkungan sosial dalam hal ini teman sebaya dan kultur sosial mempengaruhi proses terbentuknya konsep diri. Lingkungan yang penuh dengan kehangatan, kasih sayang dan penuh penghargaan membawa dampak terbentuknya konsep diri yang positif pada anak. Sebaliknya lingkungan sosial yang keras (penganiayaan dan penelantaran), kurang penghargaan membawa dampak yang tidak baik bagi perkembangan konsep diri anak, seperti yang ditemukan pada anak-anak jalanan ini. Soepartinah (2000), menyatakan bahwa faktor psikologis, yaitu adanya insiden-insiden tertentu yang menghambat berfungsinya psikis, terutama yang menyangkut intelegensia dan emosi yang akan membawa dampak pada proses pertumbuhan dan perkembangan, contoh anak jalanan yang terlantar akan kurang kasih sayang dan perawatan jasmani maupun rohani, akan menyebabkan inanitic psikis (kehampaan psikis) anak. Langkah-langkah yang dapat diambil seorang perawat dalam hal ini adalah dengan mengadakan konseling pada keluarga anak jalanan. Dalam konseling tersebut perawat dapat memberikan pemahaman dan pengertian pada keluarga tentang vitalnya peran keluarga dalam proses pertumbuhan mental seorang anak. Hasil akhirnya diharapkan agar keluarga lebih optimal dalam menjalankan fungsinya memberikan perhatian secara emosional dan fisik terhadap anak dan meningkatkan penghargaan mereka terhadap anak-anak jalanan tersebut. Disamping itu perawat juga dapat mengambil peranan melalui pendidikan, karena pendidikan dapat mempengaruhi harga diri anak tersebut sehingga dapat meningkat.
Tekno Efisiensi Vol.1 No. 3 Desember 2016
277
Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek utama adalah dicintai dan menerima penghargaan dari orang lain. Manusia cenderung bersikap negatif, walaupun ia cinta dan mengakui kemampuan orang lain namun jarang mengekspresikannya. Stuart dan Sundeen (1995), menguraikan empat cara meningkatkan harga diri anak : 1) memberi kesempatan berhasil, kemudian beri pengakuan dan pujian akan keberhasilannya, 2) menanamkan gagasan yang dapat memotivasi kreatifitas anak untuk berkembang, 3) Berikan pengakuan dan sokongan untuk aspirasi yang positif sehingga anak memandang dirinya diterima dan bermakna, 4) membantu membentuk koping. KESIMPULAN Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kehidupan anak jalanan terdapat beberapa pokok permasalahan yang ditimbulkan, diantaranya adalah adanya penelantaran, penganiayaan, tidak ada teladan dari orang tua, subkultur anak jalanan dan harga diri rendah SARAN Adanya keterlibatan dan peran serta secara aktif dari semua pihak baik dari puskesmas maupun dari perawat sebagai praktisi yang terlibat dalam penanganan masalah keperawatan dalam hal menanggulangi masalah kejiwaan yang jika tidak ditangani dapat menjadi global burden disease. Adapun beberapa saran diantaranya adalah dilakukan kegiatan konseling bagi keluarga dan anak, serta kaderisasi bagi LSM untuk dapat berperan aktif dalam mengidentifikasi secara dini kasus pada anak jalanan. DAFTAR PUSTAKA Abdillah, 2008. Agresivitas pada remaja broken home .10 Juni 2008. http://digilib.ti.itb.ac.id/go.php?id=jiptumm-gdl-s1-2003-yeriabdill-290. (14 April 2007) Crotty, M. 2006. Phenomenology and Nursing Research. Australia : Churchill Livingstone. Hamid, Achir Yani S. 2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa Pada Anak dan Remaja. Jakarta : Widya Medika. Irwanto, 2005. Psikologi umum .Jakarta : PT Prenhallindo Jill Nicholson-Crotty; Sean Nicholson-Crotty.“Social Contruction and Policy Implementation : Inmate Health as a Public Issue”.Social Science Quarterly, June 2006;85, 2. Academic Research Library. Kaplan dan Sadock, 2007. lmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta: Widya Medika Lexy, J. Moleong, 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Maramis, W. F. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.Surabaya: Airlangga University Press. Norwood, S.L. 2010. Research Strategy for Advanced Practical Nurses. New Jersey : Prentice-Hall Inc. Santoso, 2006. Psikologi Remaja. Jakarta : PT Grafindo Persada Soetjiningsih. 2009. Tumbuh Kembang Remaja Dan Permasalahannya.Jakarta:Sagung Seto Soekanto, 2004. Keterkaitan Sistem Keluarga dan Sekolah terhadap Kenakalan Pelajar . Bandung: Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Stuart G.W dan Sundeen S.J. 2007.Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5.Jakarta: EGC.
278
Tekno Efisiensi Vol.1 No. 3 Desember 2016