PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK ULAYAT MASYARAKAT ADAT DAYAK TIDUNG DESA SESAYAP DI KECAMATAN SESAYAP HILIR KABUPATEN TANA TIDUNG ABSTRAKSI ILHAM MAULANA, Pengakuan dan Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Adat Dayak Tidung Desa Sesayap Kecamatan Sesayap Hilir Kabupaten Tana Tidung dibawah Bimbingan Bapak Prof. Sarosa Hamongpranoto, S.H., M.Hum dan Ibu Wiwik Harjanti, S.H., LL.M Hutan Adat dayak Tidung yang berada di Desa Sesayap diserobot oleh investor yang beroprasi dalam bidang perkebunan kayu akasia sehingga akan mengganggu kepentingan adat dalam penguasaan Hak Ulayat dan pemanfaatannya. Rumusan masalah yang diambil dalam penelitian ini adalah Penguasaan Hak Ulayat oleh Masyarakat Adat Dayak Tidung Desa Sesayap di Kecamatan Sesayap Hilir Kabupaten Tana Tidung dan Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Adat Dayak Tidung Desa Sesayap di Kecamatan Sesayap Hilir Kabupaten Tana Tidung ditinjau dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengetahui Penguasaan Hak Ulayat oleh Masyarakat Adat Dayak Tidung Desa Sesayap di Kecamatan Sesayap Hilir Kabupaten Tana Tidung dan untuk mengetahui bagaimana Pengakuan dan Perlindungan hokum Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Adat Dayak Tidung Desa Sesayap di Kecamatan Sesayap Hilir Kabupaten Tana Tidung. Metode Penelitian yang diambil adalah penelitian Yuridis empiris, dengan pendekatan Normatif empiris, sumber data primer dan data sekunder, Metode pengumpulan data dengan tahap observasi dan tahap wawancara, Metode Pengolahan data yang meliputi pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematis data, serta Analisis data menggunakan analisis Deskritif Kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk penguasaan hak ulayat oleh masyarakat adat Dayak Tidung di Desa Sesayap Kabupaten Tana Tidung, merupakan suatu tradisi yang turun-temurun dilakukan sejak zaman dahulu Pengelolaan dan penguasaan hak ulayat dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan kepentingan antara warga, maka ditunjuk kepala adat untuk memelihara, mengatur mengelola serta memanfaatkan tanah ulayat secara efektif dan efisien. Pengakuan dan perlindungan hak ulayat masyarakat adat Dayak Tidung di desa Sesayap Kabupaten Tana Tidung dalam Undang-Undang Pokok Agraria, bahwa Hak Ulayat ini dijadikan dasar dalam menentukan hubungan Negara dan bumi, air serta ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di dalam konsepsi hukum adat di samping ada hak masyarakat hukum adat yaitu hak ulayat, juga hak perseorangan diakui. Dari kesimpulan tersebut maka saran yang penulis berikan untuk Pemerintah adalah Pemerintah Kabupaten Tana Tidung sebaiknya segera membuat Peraturan daerah yang berkaitan dengan keberadaan Lembaga adat serta hak-hak ulayat sebagai kekuatan hukum terhadap pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat. Kata Kunci: Pengakuan, Perlindungan, HakUlayat.
PENDAHULUAN Tanah merupakan salah satu sumber bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa dalam mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan merata. Oleh sebab itu, tanah adalah untuk di usahakan atau digunakan bagi pemenuhan kebutuhan yang nyata. Sehubungan dengan
itu,
penyediaan,
peruntukan,
penguasaan,
penggunaan,
dan
pemeliharaannya perlu diatur agar terjamin kepastian hukum dalam penguasaan dan pemanfaatannya serta sekaligus terselenggara perlindungan hukum bagi seluruh rakyat indonesia, terutama golongan petani, dengan tetap memperhatikan kelestarian kemampuannya dalam mendukung kegiataan pembangunan yang berkelanjutan. Di samping itu, tanah merupakan sumber daya yang penting bagi masyarakat, baik sebagai media tumbuh tanam maupun sebagai ruang atau wadah tempat melakukan berbagai kegiatan. Tanah juga merupakan salah satu faktor produksi yang sangat vital bagi kehidupan manusia dan pembangunan suatu bangsa. Selain itu, tanah berperan penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Baik yang bersifat materil maupaun non materil. Tahun demi tahun terjadi peningkatan volume pembangunan dalam bidang-bidang pertanian, industri modern, perumahan,
dan lain-lain. Hal ini semakin komplek bila dikaitkan dengan pertambahan penduduk yang secara otomatis mengakibatkan berkurangnya persediaan tanah. Indonesia telah memiliki ketentuan khusus yang mengatur tentang pertanahan yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043) selanjutnya disingkat UUPA yang mulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960. Selain itu, politik pertanian nasional yang dituangkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang berbunyi "Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Ditujukan sebesar-besarnya, kemakmuran rakyat dalam arti keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum Hal tersebut kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa "Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD dan hal-hal yang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1. bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organ kekuasaan seluruh
rakyat".
Pelaksanaan
hak
menguasai
dari
negara
tersebut,
diselenggarakan oleh pemerintah sebagai wakil negara dengan kewenangan yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, yaitu:
Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: a. Mengatur
dan
menyelenggarakan
peruntukan,
penggunaan,
persediaan, dan Pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan peraturan-peraturan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUPA diatas dengan jelas memberikan kewenangan kepada negara untuk memberikan hak atas tanah kepada perorangan maupun badan hukum sesuai keperluannya, tanpa terkecuali pemberian hak atas penguasaan tanah pulau kecil. Dengan demikian, penguasaan termasuk pulau-pulau kecil harus dilandasi oleh hukum agar dapat terjamin penguasaannya. Indonesia merupakan negara yang kaya akan pulau-pulau yang besar dan luas di 33 provinsi di nusantara, sehingga perlu adanya inventarisasi kekayaan, terutama dalam proses pendaftaran tanah di indonesia. Hal ini dapat kita lihat dari ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA yang menyebutkan bahwa "untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah republik indonesia menurut ketentuan-ketentuan dengan Peraturan Pemerintah". Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696) selanjutnya disebut dengan PP Pendaftaraan Tanah dimana Dalam Pasal 4 dijelaskan bahwa, "untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah, untuk melaksaankan fungsi imformasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 huruf b data fisik dan data yuridis dari bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar untuk umum, serta untuk mencapai tertib administrasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, setiap bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan, dan hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun wajib didaftar" Dalam UUPA Pasal 16 ayat (1) disebut hak-hak atas tanah terdiri atas Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan, dan Hak-Hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yangsifatnya sementara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53. Selanjunya Pasal 53 UUPA berbunyi", (1) Hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1 huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan UndangUndang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat. (2) Ketentuan dalam Pasal 52 ayat 2 dan 3 berlaku terhadap peraturanperaturan yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini.
Begitu pentingnya status dan kepemilikan hak atas suatu tanah, maka dari itu pentingnya pendaftaran tanah agar tanah tersebut dapat dikatakan jelas dan sesuai dengan ketetapan pemerintah. Indonesia sebagai negara hukum telah membawa konsekuensi bahwa setiap pembangunan yang dilakukan dalam Wilayah Republik Indonesia harus didasari pada suatu ketentuan hukum, sehingga benturan kepentingan bagi pihak-pihak yang terlibat dapat dihindarkan. Walaupun telah diundangkannya UUPA beserta Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, masih saja banyak rakyat indonesia yang belum mengetahuinya atau memang tidak ada keinginan untuk mengurusnya. Artinya bisa saja tanah diperoleh dari garapan sendiri atau berasal dari peralihan hak yang statusnya belum jelas. Hal ini terjadi pada Masyarakat Adat Dayak Tidung Desa Sesayap di Kecamatan Sesayap Hilir, Kabupaten Tana Tidung. Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang secara turun-temurun diakui keberadaannya oleh Masyarakat Adat Dayak Tidung di Desa Sesayap Kecamatan Sesayap Hilir yang berdasarkan hubungan darah dimana anggotanya merasa bersatu. Berdasarkan ketentuan dalam pengakuan dan perlindungan hukum kepemilikan hak milik tersebut bisa disimpulkan bahwa kepemilikan tanah rakyat (yang dipunyai oleh WNI maupun hak ulayat yang dipunyai oleh masyarakat adat) adalah termasuk bagian dari kepemilikan harta benda yang itu merupakan hak asasi harus dilindungi, (Muhammad Bakri, 2007:207)
Pada kenyataannya masih saja terjadi benturan antara penguasaan hak atas tanah oleh Masyarakat Adat Dayak Tidung Desa Sesayap dan pemerintah dalam pemanfaatan tanah untuk kepentingan pembagunan dan peruntukan seperti swasta. seperti yang terjadi pada Masyarakat Adat Dayak Tidung Desa Sesayap hutan adat Dayak Tidung yang berada di Desa Sesayap diserobot oleh investor yang beroprasi dalam bidang perkebunan kayu akasia sehingga akan mengganggu kepentingan adat dalam penguasaan Hak Ulayat dan pemanfaatannya, dengan demikiansehingga perlu diatur agar terjamin kepastian hukum dalam penguasaan dan pemanfaatannya serta sekaligus terselenggara perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat Dayak Tidung Desa Sesayap, agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dalam permasalahan ini. Oleh sebab itu, dengan demikian berdasarkan fenomena di atas. penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Pengakuan dan Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Adat Dayak Tidung Desa Sesayap di Kecamatan Sesayap Hilir Kabupaten Tana Tidung. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Penguasaan hak ulayat oleh masyarakat adat Dayak Tidung Desa Sesayap di Kecamatan Sesayap Hilir Kabupaten Tana Tidung? 2. Bagaimana pengakuan dan perlindungan hak ulayat masyarakat adat Dayak Tidung ditinjau dari Undang-Undang Nomor 5 Taun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria?
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, pengertian yuridis empiris adalah “Hukum yang secara empiris merupakan gejala masyarakat, disatu pihak dapat dipelajari sebagai suatu variabel penyebab (independent variable) yang menimbulkan akibat-akibat pada berbagai segi kehidupan sosial” (Ronny Hanitijo Soemitro, 1990:34). “Penelitian hukum empiris istilah lain yang digunakan adalah penelitian hukum sosiologis dan dapat disebut pula dengan penelitian lapangan, karena jika penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang didasarkan atas data sekunder, maka penelitian hukum sosiologis ini bertitik tolak dari data primer. Data primer/data dasar adalah data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan. Perolehan data primer dari penelitian lapangan dapat dilakukan baik melalui pengamatan (observasi), wawancara ataupun penyebaran questioner” (Bambang Waluyo, 1991:15-16). pembahasan (Hilman Hadikusuma, 1995:62). Lokasi Penelitian Tempat atau lokasi yang penulis jadikan sebagai tempat melakukan penelitian ini adalah Desa Sesayap yang berada di Kecamatan Sesayap Hilir Kabupaten Tana Tidung. Sumber Data Penelitian Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini menurut Abdulkadir Muhammad adalah penelitian hukum empiris, data yang diperlukan adalah data primer, sedangkan data sekunderhanya diperlukan
sebagai pendukung data primer, jadi bukan hasil olahan orang lain (Abdulkadir Muhammad, 2007:170). Metode pengumpulan data sebagaimana diuraikan oleh Abdulkadir Muhammad diatas, maka Penulis menjabarkan sebagai berikut : a) Data primer adalah data utama yang diperoleh dari sumber dilapangan
secara
langsung
melalui
penelitian.
Teknik
pengumpulan data primer dilakukan dengan cara: 1. Observasia dalah pengamatan yang dilakukan secara langsung dengan mendatangi Tanah Ulayat Masyarakat Adat Dayak Tidung Desa Sesayap di Kecamatan Sesayap Hilir Kabupaten Tana Tidung 2. Wawancara yaitu mendapatkan informasi langsung dengan melakukan Tanya jawab responden yang telah ditentukan responden terdiri atas : a. Camat di Kecamatan Sesayap Hilir Kabupaten Tana Tidung; b. Kepala Desa Sesayap di Kecamatan Sesayap Hilir di Tana Tidung; c. Ketua Lembaga Adat Desa Sesayap di Kecamatan Sesayap Hilir Kabupaten Tana Tidung b) Data sekunder adalah data yang diperlukan untuk melengkapi data primer. Data sekunder diperoleh melalui : 1. Studi Kepustakaan (Bibliography Study)
Studi kepustakaan yaitu dengan menggunakan perundangundangan dan buku-buku yang terkait dengan masalah yang akan diteliti dalam skripsi ini, dan melakukanp engumpulan data melalui internet, majalah, kamus hukum, kamus bahasa, dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. 2. Studi Dokumen (Document Study) Studi dokumen adalah dengan mengkaji berbagai dokumendokumen dan arsip-arsip resmi baik dari Pemerintah yang dapat menunjang penelitian ini. Teknik Pengumpulan Data Dalam melakukan penelitian penulis mempergunakan metode untuk mengumpulkan data sebagai berikut : a. Observasi Tahap observasi atau penelitian awal di lapangan, terhadap Penguasaan Tanah Ulayat dan Pengakuan dan Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Adat Dayak Tidung Desa Sesayap di Kecamatan Sesayap Hilir Kabupaten Tana Tidung. b. Wawancara Tahap Wawancara kepada narasumber sebagai berikut : Narasumber terdiri atas: 1. Ketua Adat Desa Sesayap 2. Camat/Sekcam Sesayap
3. Kepala Desa Sesayap. Analisis Data Analisis data yang akan penulis gunakan terhadap data-data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah deskriftif kualitatif. Analisis dengan cara deskriftif kualitatif menurut Soerjono Soekanto yaitu : “Pendekatan kualitatif sebenarnya merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaituapa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata. Yang diteliti dan dipelajari adalah objek penelitian yang utuh. Maksudnya, data yang diperoleh disajikan secara deskriptif kualitatif yang benar, lengkap dan sistematis sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang beragam dan kemudian dijadikan sebagai dasar dalam menarik suatu kesimpulan” (SoerjonoSoekanto, 2005:32) Sehingga penulis menganalisa permasalahan yang ada secara kualitatif dengan fokus pada permasalahan Status Hukum Hak Atas Tanah Ulayat dan Pengakuan dan Perlindungan Hak Ulayat yang dimiliki oleh Masyarakat Adat Dayak Tidung yang berada di Desa Sesayap Kecamatan Sesayap Hilir Kabupaten Tana Tidung.
PEMBAHASAN 1. Penguasaan Hak Ulayat oleh Masyarakat Adat Dayak Tidung Desa Sesayap di Kecamatan Sesayap Hilir Kabupaten Tana Tidung. Untuk saat ini belum ada perda yang mengatur tentang hak ulayat Masyarakat Adat Tidung di Kabupaten Tana Tidung. Hal ini dikarenakan Kabupaten Tana Tidung ini merupakan Kabupaten yang baru Pemekaran dari Kabupaten Bulungan sehingga belum terbentuknya Perda Tata Ruang
Wilayah, maka batas wilayah adat hanya melalui batas alam saja meskipun demikian hal ini tidak menjadi sebuah permasalahan antara masyarakat adat desa
karena
diakui
secara
turun-temurun
yang
masih
menjadi
permasalahannya hanyalah pada peraturan hukum saja yaitu Peraturan Daerahnya. Sehingga menimbulkan sebuah masalah pada pihak luar yang mendapat ijin untuk mengelola wilayah adat yang sudah pasti melebihi batas pengelolaan sehingga masuk diwilayah adat desa lainnya. Meskipun demikian tidak membuat hilangnya hak penguasaan atas tanah oleh masyarakat adat Dayak Tidung karena secara adat mereka sudah menguasai tanah secara turun-temurun sejak zaman nenek moyang yang sampai saat ini masih terus dilakukan oleh masyarakat adat dalam menguasai dan mengelola tanah maupun hutan sebagai lahan sumber perekonomian mereka. Hak penguasaan atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat adat Dayak Tidung ini dilindungi oleh Lembaga Adat Dayak Tidung yang ada di Kabupaten Tana Tidung artinya hak penguasaan tersebut dijaga oleh Lembaga Adat sebagai pelaksana dari seluruh budaya-budaya adat serta penegak hukum adat Dayak Tidung. Lembaga Adat Tidung ini mendapatkan pengakuan melalui Keputusan Bupati Kabupaten Tana Tidung Nomor: 206/301/K-X/2009 Tentang Pengangkatan Pengurus Lembaga Adat/Pemangku Adat dan Majelis Adat Kabupaten Tana Tidung tahun 2009. Dari Keputusan Bupati ini artinya
Lembaga Adat di Kabupaten Tana Tidung ini diakui keberadaannya untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai lembaga adat. Secara historis, asal-usul konsepsi hak ulayat bersumber pada aspek kebudayaan yang memiliki landasan-landasan dalam masyarakat bersangkutan pada saat itu. Hak ulayat merupakan tanah yang berfungsi sebagai jaminan kesejahteraan bersama, sumber kebutuhan taktis dan sebagai sumber dana tuntutan adat. Sehingga dapat dipahami pengertian hak ulayat menurut konsepsi hukum adat adalah hak yang dimiliki oleh suatu masyarakat adat dalam satuan hukum adat. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Abdurahman selaku Ketua Lembaga Adat Desa Sesayap bahwa: “Tanah ulayat merupakan tanah adat yang dikuasai oleh masyarakat adat secara turun-temurun dan tetap dikelola oleh pemilik tanah tersebut dengan tanah yang terletak dilingkungan wilayahnya sebagai pendukung utama penghidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa”, (Wawancara, 15 November 2011). Penguasaan hak ulayat oleh masyarakat adat dalam hukum adat sama halnya dengan penguasaan sebagai hak milik. Karena sebelum adanya seluruh peraturan-peraturan Pemerintah maupun penetapan-penetapan lainnya oleh Negara secara tertulis, tanah telah dikuasai oleh nenek moyang sejak zaman dahulu dengan memiliki aturan-aturan untuk tetap mempertahankan kelestarian hutan maupun tanah dan kemudian sampai saat ini cara itu tetap dipakai oleh Masyarakat Adat Dayak Tidung Seperti yang di ungkapkan oleh Bapak Abdurahman Selaku Ketua Lembaga Adat Suku Dayak Tidung Desa Sesayap, bahwa :
“Bentuk penguasaan hak ulayat oleh masyarakat adat suku Dayak Tidung yaitu meneruskan tatacara penggunaan kawasan ulayat yang sejak dulu dilakukan oleh nenek moyang yakni dengan tidak memberikan ijin sembarangan terhadap orang luar yang masuk dalam kawasan hukum adat mereka guna menjaga kelestarian kawasan hutan/tanah adat”, (Wawancara, 15 November 2011). Dari keterangan tersebut di atas sudah jelas kita ketahui bahwa setiap adat mempunyai cara tersendiri untuk tetap melestarikan kawasan mereka akan tetapi karena kewenangan Pemerintah lebih besar dan diatur oleh Undang-Undang maka sering kali pula hak masyarakat adat tidak diperhatikan apakah dampak yang terjadi atas setiap kebijkan-kebijakan yang Pemerintah buat padahal apabila dibandingkan antara perlindungan yang dilakukan oleh masyarakat adat dengan Pemerintah, maka jelas kita ketahui bahwa yang dilakukan Pemerintah justru banyak merugikan rakyat misalnya perijinan atas pembukaan pertambangan di kawasan hutan adat yang dimana-mana kita lihat sisa-sisa
pengelolaan
ditinggalkan
begitu
saja
tanpa
ada
Preventif
(penanggulangan). Penguasaan hak ulayat oleh masyarakat adat Dayak Tidung seperti yang di ungkapkan oleh Bapak Abdurahman Selaku Ketua Lembaga Adat Dayak Tidung Desa Sesayap bahwa : “bentuk penguasaan hak ulayat dapat berupa membuka hutan rimba sebagai awal kepemilikan hak yang pada akhirnya menjadi hak ulayat, selanjutnya dapat berupa penanaman pohon-pohon maupun tanaman lainnya yang tumbuh dan terbentuklah sebuah hak atas arial maupun wilayah tersebut sebagi hak ulayat dan atau hak milik”, (Wawancara, 15 November 2011) Suku Dayak Tidung di Desa Sesayap pada komunitas masyarakat di tempat tersebut, lahan yang semula dimiliki secara komunal bisa berubah
statusnya menjadi milik pribadi jika sudah dibersihkan, ditanami dengan jenisjenis tanaman tertentu dan dipelihara. Sistem pemilikan ini sudah di praktekan dan diakui oleh masyarakat. Karena sudah bersifat pribadi, maka pemilikan lahan ini dapat diwariskan kepada keturunannya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapak Abdurahman Selaku Ketua Lembega Adat Dayak Tidung Desa Sesayap yang memberikan pendapat mengenai hak ulayat masyarakat Desa Sesayap, bahwa hak ulayat adalah: “Serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa”, (Wawancara, 15 November 2011). Dari pernyataan tersebut di atas mengartikan bahwa masyarakat hukum adat juga mempunyai hak dan kewajiban untuk mengelola sumber daya alamnya untuk kehidupannya sepanjang masa. Keterangan tersebut juga dijelaskan lagi oleh Bapak Abdurahman Selaku Ketua Lembga Adat suku Dayak Tidung Desa Sesayap bahwa: “Sejak dahulu masyarakat adat suku Tidung telah menjaga dan membatasi setiap aktifitas orang luar dalam kawasan hukum adat guna menjaga dan melestarikan hutan maupun tanah adat demi kelanjutan hidup masyarakat adat suku Dayak Tidung sampai saat ini hal tersebut masih diteruskan oleh masyarakat adat”, (Wawancara, 15 November 2011). Keterangan tersebut di atas menjelaskan bahwa di Desa Sesayap masih hidup sebuah adat/budaya adat yaitu suku adat Dayak Tidung. Mereka menguasai hak Ulayat mereka dengan berbagi cara demi mempertahankan
hidup, akan tetapi pada kenyataannya sebuah Perusahan yang masuk dan melakukan aktifitas di atas tanah adat mereka, tidak lagi memperhatikan hakhak masyarakat adat serta tidak memberikan keadilan sosial bagi masyarakat. Bentuk penguasan hak ulayat oleh masyarakat Dayak Tidung merupakan penguasaan yang dilakukan secara adat atau kebiasaan secara turun-temurun sama seperti yang dijelaskan oleh Kepala Adat Suku Dayak Tidung perbedaannya dengan penguasaan yang dilakukan oleh masyarakat yang bukan asli suku Dayak Tidung dapat berupa “Penyewaan lahan” dari penyewaan lahan inilah masyarakat asli Dayak Tidung meperoleh penghasilan atas hak mereka terhadap penyewaan tanah atau hutan tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bapak Abdurahman Selaku Ketua Lembaga Adat Suku Dayak Tidung Desa Sesayap bahwa: “ Tanah atau hutan yang dikuasai oleh masyarakat adat Dayak Tidung meneruskan tradisi atau cara yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Dengan melakukan aktifitas di atas hak mereka, membatasi setiap orang luar yang masuk dalam kawasan mereka serta memberikan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum adat yang berlaku dan orang luar yang bukan masyarakat adat diberikan hak untuk menyewa saja”, (Wawancara, 15 November 2011). Dari keterangan di atas menunjukan bahwa adanya pemberian hukum adat atas pelanggaran hukum adat yang berlaku di wilayah hukum adat Dayak Tidung, baik kasus-kasus yang merugikan masyarakat secara individu maupun sengketa terhadap kawasan pengusaan masyarakat yang kemudian dijelaskan oleh Bapak Abdurahman Selaku Ketua Lembaga Adat Dayak Tidung Desa Sesayap terhadap sanksi-sanksi adat, bahwa:
“ Setiap aktifitas yang mengganggu ketenangan atau kehidupan masyarakat adat dan yang termasuk pelanggaran hukum adat baik kekerasan, Pencemaran nama baik, Pelecehan seksual, sampai pada sengketa agraria atas hak ulayat yang berada diwilayah hukum adat akan dikenakan sanksi hukum adat yang berupa denda”, (Wawancara, 15 November 2011). Dari keterangan tersebut di atas menunjukan bahwa masyarakat adat Dayak Tidung begitu tegas menjaga dan melestarikan kawasan mereka demi menunjang kehidupan masyarakat hal ini dapat dilihat yang mana sampai saat ini (2012) Kabupaten Tana Tidung masih menggunakan hukum adat sebagai penyelesaian sengketa mereka. Kedudukan tanah dalam hukum adat ada dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting di dalam hukum adat, yang disebabkan sebaimana yang diungkapkan oleh Bapak Abdurahman Selaku Ketua Lembaga Adat Tidung Desa Sesayap bahwa: a. Karena Sifatnya Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga akan bersifat tetap dalam keadaanya dan terkadang menguntungkan. b. Karena faktanya Menurut faktanya sama dengan kepunyaan yang merupakan tempat tinggal persekutuan (masyarakat), memberikan kehidupan kepada persekutuan, merupakan tempat penguburan warga persekutuan, (Wawancara, 15 November 2011). Dari pernyataan di atas mengingat akan faktanya, maka antara persekutuan dengan tanah yang didudukinya itu terdapat hubungan yang erat sekali, hubungan yang mempunyai sumber serta yang bersifat relegius-magis. Hubungan yang bersifat relegius-magis ini menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk menguasai tanah yang dimaksud, memanfaatkan tanah
itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan dan atau pohon-pohon yang hidup di atas tanah tersebut serta juga berburu binatang-binatang yang hidup. Sebagaimana yang diungakapkan oleh Bapak Abdurahman Selaku Ketua Lembaga Adat Suku Dayak Tidung mengenai kepemilikan tanah dalam hukum Adat Tidung, bahwa: “Cara persekutuan memelihara, mempertahankan Hak Ulayat pada dasarnya persekutuan berusaha meletakkan batas-batas disekeliling wilayah kekuasaannya, yang pada mulanya wilayah kekuasaannya diperoleh dari membuka semak belukar atau hutan rimba menjadi kawasan terbuka dan dipergunakan untuk perkebunan dan lainnya yang akan dikelola”, (Wawancara, 15 November 2011). Dari pernyataan tersebut di atas dapat dilihat bahwa hak milik atas tanah dari seseorang warga persekutuan yang membuka dan mengerjakan tanah itu pengertiannya adalah bahwa warga yang mendiami tanah itu berhak sepenuh-penuhnya atas tanahnya tetapi dengan ketentuan wajib menghormati hak ulayat desa, kepentingan-kepentingan orang lain yang memiliki tanah, peraturan-peraturan adat (seperti kewajiban memberikan ijin ternak orang lain masuk dalam tanah pertaniannya selama tanah itu tidak dipergunakan atau dipagari). Adapun sifat komunal dari masyarakat adalah suatu corak khas dari masyarakat Indonesia khususnya Masyarakat Adat Tidung yang hidup sangat terpencil dan kehidupan sehari-harinya masih sangat tergantung pada tanah atau alam pada umumnya. Dalam masyarakat seperti ini terdapat sifat lebih mementingkan kepentingan umum dari pada kepentingan individual.
Masyarakat Desa, senantiasa memegang peranan yang menentukan yang dipertimbangkan dan putusannya tidak boleh dan tidak dapat disia-siakan.
2. Pengakuan dan Perlindungan hak Ulayat Masyarakat Adat Dayak Tidung di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Hukum adat sebagai dasar pembentukan Hukum Agraria Nasional mempunyai dua kedudukan yaitu: a. Hukum Adat sebagai Dasar Utama Penunjukan hukum adat sebagai dasar utama dalam pembentukan Hukum Agraria Nasional dapat disimpulkan dalam Konsiderans Undang-Undang Pokok Agraria di bawah perkataan “Berpendapat” huruf a, yaitu: “bahwa yang berhubungan dengan apa yang disebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya hukum agraria Nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana, dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Dari uraian di atas, hukum adat sebagai dasar pembentukan hukum Agraria Nasional memang menghadapi kesulitan-kesulitan tertentu. Untuk itu perlu dicari persamaan-persamaannya, yaitu dengan merumuskan asas-asas/ konsepsi, lembaga-lembaga hukum dan sistem hukumnya. Hal inilah yang
diambil dalam hukum adat untuk dijadikan dasar utama dalam pembentukan Hukum Agraria Nasional. Asas-asas/konsepsi, lembaga-lembaga dan sistem hukum adat tersebut dituangkan dalam pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan dalam UndangUndang Pokok Agraria sebagai hukum positif. Asas-asas/konsepsi, lembaga hukum dan sistem hukum dapat dijelaskan: 1. Asas-asas/konsepsi Hukum Adat yang diambil sebagai dasar menurut konsepsi hukum adat, hubungan manusia dengan kekayaan alam seperti tanah mempunyai sifat religius-magis, artinya kekayaan alam itu merupakan kekayaan alam yang dianugerahkan oleh Tuhan pada masyarakat hukum adat. Konsepsi ini kemudian dimuat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria. Di dalam lingkungan masyarakat hukum adat dikenal hak ulayat. Hak ulayat merupakan hak dari masyarakat hukum adat yang berisi wewenang dan kewajiban untuk menguasai, menggunakan, dan memelihara kekayaan alam yang ada dilingkungan wilayah hak ulayat tersebut. Hak ulayat ini kemudian dijadikan dasar dalam menentukan hubungan Negara dan bumi, air serta ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Konsepsi ini kemudian dimuat dalam Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria. Di dalam konsepsi hukum adat di samping ada hak masyarakat hukum adat yaitu hak ulayat, juga hak perseorangan atas diakui. Masing-masing
individu diberikan kesempatan untuk mempunyai hak atas tanah. Konsepsi ini kemudian dimuat dalam Pasal 4 jo Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria: 2. Lembaga-lembaga Hukum Adat Yang dimaksud lembaga hukum adat yang diambil sebagai dasar utama pembentukan Hukum Agraria Nasional adalah susunan macam-macam hak atas tanah. Macam-macam hak atas tanah yang ada di dalam hukum adat seperti hak milik/hak yayasan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak menikmati hasil hutan. Susunan macam-macam hak atas tanah yang demikian ini kemudian diangkat dan dijadikan dasar penyusunan hak-hak atas tanah dalam hukum agraria nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria. 3. Sistem hukum adat terutama mengenai sistematika hubungan manusia dengan tanah. Di dalam sistem hukum adat, tanah merupakan hak milik bersama masyarakat hukum adat atau dikenal dengan hak ulayat. Hak ini merupakan hak yang tertinggi kedudukannya. Hak ulayat ini mengandung dua unsur, yaitu unsur kepunyaan yang artinya semua anggota masyarakat mempunyai hak untuk menggunakan, dan unsur kewenangan, yaitu untuk mengatur, merencanakan, dan memimpin penggunaanya. Kemudian karena semua anggota masyarakat tidak mungkin melaksanakan pengurusan hak ulayat, maka tugas tersebut dilimpahkan kepada Kepala adat. Namun yang perlu ditekankan pelimpahan itu hanya mengenai unsur kewenagan saja. Atas dasar
kewenangan tersebut Kepala adat berhak memberikan hak-hak atas tanah kepada perseorangan seperti hak milik/hak yayasan, hak pakai dan sebagainya. Undang-Undang Pokok Agraria menggunakan istilah hak ulayat (wilayah) untuk menunjukan pada tanah yang merupakan wilayah lingkungan masyarakat hukum bersangkutan. UUPA yang selanjutnya disebut UndangUndang Pokok agraria mengakui keberadaan masyarakat adat dan hak ulayat. Pengakuan terhadap hak ulayat dilakukan sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan lain yang lebih tinggi. Hal tersebut di atas dibuktikan melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria Pasal 5 bahwa: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Dari pernyataan Undang-Undang di atas menjelaskan bahwa penegasan hukum adat dijadikan dasar dari hukum agraria yang baru. Demikian dengan hukum Adat Dayak Tidung yang mengatur seluruh yang berkaitan dengan adat sampai pada hak ulayatnya sesuai pengakuan yang ada dalam beberapa aturan perundangan yang menyebutkan hukum adat berlaku atas agraria oleh karena itu hukum Adat Dayak Tidung mengatur, menjaga dan melestarikan tanah ulayat dari aktifitas orang luar termasuk Perusahaan PT.
Adindo Hutani Lestari yang pada saat ini masih melaksanakan aktifitas di dalam wilayah Adat Tidung di Desa Sesayap Kabupaten Tana Tidung. Hukum Negara akan melihat bahwa dalam pelaksanaan hak ulayat tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan lain yang lebih tinggi. Kalimat terakhir juga menunjukkan bahwa keberadaan hukum adat merupakan hukum yang rendah apabila dibandingkan dengan hukum Negara. Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria tersebut menimbulkan dualisme hukum, Pada satu sisi hak ulayat diakui keberadaannya oleh hukum Negara, tetapi pada sisi lain yaitu sisi pelaksanaan hak ulayat, maka hak ulayat harus dibatasi. Selain itu pula terdapat kalimat “sepanjang keberadaannya masih ada” yang mengandung arti bahwa pemahaman dari penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria ini masyarakat hukum adat dengan hak ulayatnya akan mengalami kepunahan. Undang-Undang Pokok Agraria menggunakan istilah hak ulayat (wilayah) untuk menunjukan pada tanah yang merupakan wilayah lingkungan masyarakat hukum yang bersangkutan. UUPA mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat. Pengakuan terhadap hak ulayat dilakuan sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak bertentangan dengan kepetingan Nasional dan tidak boleh bertentangan dengan UndangUndang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi. Sedangkan hukum adat tidak memberikan nama terhadap istilah ulayat, namun hanya untuk menunjukan tanah wilayah sebagai kepunyaan.
Selanjutnya tidak hanya Undang-Undang Pokok Agraria saja yang memberi pengakuan hak ulayat masyarakat adat tetapi pengakuan keberdaan masyarakat hukum adat secara tegas tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18B ayat (2) bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara yang diatur dalam UndangUndang. Dari pernyataan yang diberikan oleh Undang-Undang
mengenai
pengakuan Negara terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat Dayak Tidung secara langsung nyata ada yakni dengan keberadaannya Masyarakat Hukum Adat Dayak Tidung di Desa Sesayap telah memenuhi syarat ketentuan yang diberikan oleh Undang-Undang serta kawasan wilayah hak ulayat hukum adat yang dijaga dan dilindungi oleh masyarakat hukum adat suku Tidung yang dimana saat ini dioperasikan oleh pihak Perusahaan yang telah sempat mengabaikan hak-hak masyarakat adatnya yang seharunya pihak yang menguasai kawasan hukum adat dengan mengelola sumber dayanya haruslah membayar uang sewa atas lahan yang telah digarap. Bahwa dari pengakuan dari hutan adat tidak lepas dari hutan Negara. Karena di dalam hutan Negara terdapat hutan adat. Demikian juga kepastian Negara dalam memberikan jaminan dalam bentuk pengakuan keberadaan dari masyarakat yang menjaga hutan adatnya termasuk hutan adat Masyarakat Adat
Dayak Tidung Desa Sesayap di Kecamatan Sesayap Hilir Kabupaten Tana Tidung. Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa Lembaga Adat Tidung Desa Sesayap di Kecamatan Sesayap Hilir Kabupaten Tana Tidung melindungi Hak Ulayat Adat dengan Hukum Adat istiadatnya. Hak ulayat masyarakat adat diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Pokok agraria, yaitu: “dengan mengingat ketentuan-ketntuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan pelaksanaan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan lain yang lebih tinggi”. Salah satu lingkup hak ulayat adalah tanah, yang disebut tanah ulayat. Tanah ulayat menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Agraria/Kepal BPN Nomor 5 Tahun 1999, adalah bidang tanah yang terdapat diatasnya hak ulayat dari masyarakat hukum adat tertentu. Hak ulayat dikelola untuk masyarakat hukum adat, yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal atau atas dasar keturunan (Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999) Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria mengandung pernyataan pengakuan mengenai eksistensi hak ulayat masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, artinya bila dalam kenyataannya tidak ada, maka hak ulayat itu tidak dihidupkan lagi,
dan tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Hak ulayat dibiarkan tetap diatur oleh masyarakat hukum adat masing-masing. Kewajiban masyarakat hukum adat terhadap tanah hak ulayat juga diharapkan tidak melahirkan konflik antar warga hukum adat, karena itu kesinambungan pengelolaan sangat diperlukan dalam pemanfaatannya. Bagi masyarakat yang akan menggunakan tanah, diharuskan akan memberitahukan kepada penguasa adat, agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pemanfaatan. Pemberitahuan ini bukan bersifat permintaan ijin, karena bertujuan untuk menjaga keselarasan antar warga masyarakat adat yang berada dalam wilayah hukum adat tersebut sehingga tidak terjadi konflik antar warga masyarakat”. Masyarakat adat Tidung benar-benar menjaga kelestarian wilayah sumber daya alamnya yang dapat kita lihat bahwa hubungan dengan masyarakat adat yang tinggal di dalam wilayah saja diatur hubungan pengelolaan pemanfaatannya agar tidak terjadi konflik apalagi orang asing atau orang luar dari wilayah hukum adat jelas dijaga dan dilindungi dari kerusakan akibat pengelolaan dan masyarakat adat berhak untuk menjaga melindungi kawasannya dari perusakan. Pemanfaatan tanah hak ulayat biasanya digunakan untuk kebun, ladang, sawah, perumahan dan sebagainya dengan hak milik. Bagi masyarakat yang menguasai tanah tetap diakui dalam prinsip hak ulayat akan tetapi sangat tergantung pada kenyataan apakah dikuasai dan dimanfaatkan secara terus menerus atau kah hanya sementara waktu.
Pengakuan penguasaan hak ulayat dengan hak milik memberikan konsekuensi bahwa hukum adat selain mempunyai prinsip penguasaan tanah secara komunal (bersama-sama), juga diakui hak-hak perorangan. Hubungan kedua hak tersebut bersifat timbal balik dimana semakin dimanfaatkannya tanah secara perorangan maka semakin kuat hubungan tanah dengan yang bersangkutan, dan sebaliknya semakin berkurang usaha dilakukan di atas tanah tersebut, maka semakin kuat hak ulayat yang ada. Sejak zaman dahulu masyarakat tentunya sudah mengenal hak milik atau hak ulayat, tanah dalam kedudukkannya sebagai hak milik terdapat dimana-mana dalam masyarakat, dan hukum merupakan suatu hal baru. Dalam masyarakat adat, hak perorangan atas tanah dipegang oleh persekutuan (komunitas-komunitas)”. Hak Ulayat adalah hak keturunan masyarakat adat terhadap kekayaan alam yang tetap terjaga. Dalam setiap suku yang memiliki kasawan ulayat menyebut hak ulayat dengan berbagai pandangan bahasa demikian dengan Suku Tidung menyebutkan hak ulayat ialah “tana penggulungan” sedangkan untuk hutan adat disebut “tana akan” artinya tanah maupun hutan yang ada sejak dulu yang dijaga, dipelihara dan dilindungi secara turun-temurun tanpa ada batasan waktunya”.
Kesimpulan Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan penulis dengan fokus Mengenai Pengakuan dan Perlindungan Hak Ulayat Desa Sesayap di Kecamatan Sesayap Hilir Kabupten Tana Tidung, maka disimpul sebagai berikut:
1. Bentuk penguasaan hak ulayat oleh masyarakat adat Dayak Tidung di Desa Sesayap Kabupaten Tana Tidung, merupakan suatu tradisi yang turun-temurun dilakukan sejak zaman dahulu, lahan milik individu terbagi lagi ke dalam beberapa bentuk berdasarkan peruntukannya, yaitu ladang, kebun, pekarangan, tanah bekas ladang yang berfungsi sebagai jaminan kesejahteraan bersama, sumber kebutuhan taktis dan sebagai sumber dana tuntutan adat. Pengelolaan dan penguasaan hak ulayat dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan kepentingan antara warga, maka ditunjuk Kepala Adat untuk memelihara, mengatur mengelola serta memanfaatkan tanah ulayat secara efektif dan efisien. Bentuk penguasaan hak ulayat oleh masyarakat adat suku Dayak Tidung yaitu meneruskan tata cara penggunaan kawasan ulayat yang sejak dulu dilakukan oleh nenek moyang yakni dengan tidak memberikan ijin sembarangan terhadap orang luar yang masuk dalam kawasan hukum adat mereka guna menjaga kelestarian kawasan hutan/tanah adat. 2. Pengakuan dan perlindungan hak ulayat masyarakat adat Dayak Tidung Desa Sesayap di Kecamatan Sesayap Hilir Kabupaten Tana Tidung dalam Undang Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, bahwa Hak ulayat ini dijadikan dasar dalam menentukan hubungan Negara dan bumi, air serta ruangangkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, di dalam konsepsi hukum adat disamping ada hak masyarakat hukum adat yaitu hak ulayat, juga hak perseorangan atas atas diakui. Masing-masing individu diberikan
kesempatan untuk mempunyai hak atas tanah. Konsepsi ini kemudian dimuat dalam Pasal 4jo Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria. Bentuk perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tana Tidung sampai saat ini belum ada bentuk pengakuan secara terulis atau Peraturan Daerah yang mengatur Hak Ulayat masyarakat adat Suku Dayak Tidung tetapi Pemerintah mengakui hak adat melalui keberadaan masyarakat adat secara lisan mengakui adanya hakhak masyarakat adat di Kabupaten Tana Tidung. Hal tersebut dikarenakan sampai saat ini Pemerintah belum membuat Peraturan daerah tentang hak ulayat karena terjadinya benturan dalam pemberian ijin Hak Penguasaan Hutan (HPH) oleh Menteri Kehutanan terhadap Perusahan yang masih melakukan aktifitas mereka di Kabupaten Tana Tidung. Meskipun demikian, Kabupaten Tana Tidung ini terdapat Surat Keputusan (SK) Bupati tentang penetapan gaji atau tunjangan pengurus Lembaga Adat melalui SK ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kabupaten Mengakui adanya Lembaga Adat yang mengatur serta mengurus hak masyarakat adat yang sudah seharusnya dijaga dan dilindungi. Dengan adanya Lembaga adat inilah sebagai Perlindungan Hak-hak masyarakat adat baik tanah maupun hutan adat dijaga dan dilindungi oleh Lembaga Adat sebagai pelaksana budaya adat serta penegak hukum adat. A. Saran Setelah ditarik kesimpulan, maka Penulis memberikan saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Berkaitan dengan Pengakuan yang diberikan oleh Negara kepada hak masyarakat adat, agar lebih menjamin hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya. karena di dalam Undang-Undang hanya memberi bentuk pengakuan saja tetapi tidak menjamin kepemilikan, sementara adat adalah suatu budaya atau kebiasaan dan aturan yang ada sejak dahulu dan sebelum ada peraturan-peraturan Pemerintah oleh karena itu harus memperhatikan hak rakyat demi kesejahteraan rakyat, selanjutnya Pemerintah Kabupaten Tana Tidung sebaiknya segera membuat Peraturan Daerah yang berkaitan dengan keberadaan Lembaga Adat serta hak-hak Ulayat sebagai kekuatan hukum terhadap pengakuan Pemerintah Daerah atas keberadaan masyarakat hukum adat. 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pengaturan Dasar PokokPokok Agraria memberikan pengakuan terhadap hak dan keberadaan masyarakat hokum adat berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang kemudian dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah yang memberikan 11 kewenangan untuk Pemerintah Daerah mengatur daerah masing-masing, maka Kabupaten Tana Tidung sebaiknya segera membuat Peraturan Daerah yang mengatur tentang Lembaga Adat dan atau tentang Hak Ulayat sehingga masyarakat adat Tidung mengetahui setiap batas kawasan maupun wilayah hukum adat atas hak ulayat mendapatkan kepastian hukum sehingga tidak terjadi sengketa antar masyarakat hukum adat maupun yang bukan masyarakat
hukum adat serta pihak-pihak yang akan melakukan aktifitas di atas tanah hak ulayat mereka.
DAFTAR PUSTAKA A. Literatur Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Aditya Citra Bakti, Bandung. Soekanto, Soerjono 2005, Pengantar Penelitian Hukum, UI-PRESS, Jakarta. Sumitro, Ronny Hanitijo, 1990, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghaliah Indonesia, Jakarta. Waluyo, Bambang, 1991, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta. B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (LN. 1960-104, TLN.2043). Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor. 5 Tahun 1999 Tentang. Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat