PENGAJARAN BAHASA MELALUI PENDEKATAN KOMUNIKATIF
Oleh :Herman
Absraksi Pendekatan komunikatif berangkat dari anggapan bahwa bahasa adalah suatu sistem untuk mengungkapkan makna dengan fungsi utamanya adalah untuk interaksi dan komunikasi. Sedangkan tujuan pengajaran bahasa adalah pembentukan kemampuan untuk berkomunikasi (communicative competence). Salah satu unsur pendekatan komunikatif adalah apabila kegiatan belajar berupa komunikasi maka hal tersebut akan mendorong terbentuknya hasil belajar yaitu terbentuknya kompetensi komunikatif. Unsur kedua adalah bahwasanya bila kegiatan belajar mengandung penggunaan bahasa untuk melakukan tugas-tugas yang bermakna (meaningful tasks) maka hal tersebut juga akan mendorong terbentuknya hasil belajar yang berupa kompetensi komunikatif. Usur ketiga adalah bahasa yang bermakna bagi siswa (pemakai) mendukung proses belajar. Dalam pendekatan komunikatif peran siswa diharapkan bertindak aktif untuk memelihara berlangsungnya komunikasi dan dari komunikasi tersebut siswa belajar. Siswa diharapkan menggeluti wacana yang disajikan kepadanya dan lebih banyak berkomunikasi dengan sesamanya dibandingkan dengan gurunya. Peran pertama guru adalah sebagai fasilitator yang memungkinkan terjadinya proses komunikasi di antara semua peserta komunikasi (siswa) di kelas ataupun proses komunikasi antara siswa dengan teks yang disajikan kepadanya. Yang kedua adalah berperan sebagai peserta yang bebas (independent participant) dalam kelompok-kelompok belajar mengajar. Bahan ajar merupakan sebagai sarana untuk mempengaruhi mutu interaksi dan penggunaan bahasa di dalam kelas. Dengan demikian peran utama bahan ajar adalah sebagai sarana yang memungkinkan digunakannya bahasa sebagai alat komunikasi di antara siswa. Kata kunci: Pengajaran Bahasa, Komunikatif, Siswa, Guru, Bahan Ajar
1. Latar Belakang. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya pengajaran bahasa melalui pendekatan komunikatif berawal dari adanya perubahan dalam pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau bahasa asing (English as a Second Language atau English as a Foreign Language) yang terjadi di Inggris pada awal dasawarsa 1960an. Kemudian konsep-konsep dan gagasangagasan yang berkembang setelah adanya perubahan tersebut diadopsi dan diterapkan dalam pengajaran bahasa-bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia, walaupun dalam bentuk yang tidak selalu sama. Sebelum terjadinya perubahan tersebut pendekatan yang umum dipergunakan dalam pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau bahasa asing adalah apa yang disebut Situasional Language Teaching. Dalam pendekatan ini bahasa diajarkan melalui kegiatan mempraktikkan struktur (pola-pola kalimat) dalam situasi yang bermakna. Sedangkan di Amerika pada saat itu pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau asing umumnya dilakukan dengan menggunakan Audiolingual Method. Pada saat itu Audiolingual Method juga banyak dipergunakan di Indonesia, yaitu melalui seri buku yang berjudul English 900. Pengajaran bahasa dengan cara-cara ini bersifat struktural. Hal ini terlihat sorotan utamanya, yakni penguasaan tata bahasa dan kosakata. Perubahan yang mulanya terjadi di Inggris seperti tersebut di atas dipicu oleh kritik-kritik terhadap pandangan struktural yang dilancarkan oleh seorang pakar linguistik terkemuka dari Amerika, yakni Noam Chomsky. Kritik-kritik tersebut terutama dilancarkan lewat bukunya yang berjudul Syntactic Structures (1957). Dikatakannya bahwa teori struktural yang ada pada saat itu tidak mampu menjelaskan karakteristik dasar bahasa karena yang diutak-atik hanyalah struktur permukaan (surface structure), sedangkan struktur dalamnya (deep structure) sama sekali tidak disentuh. Contohnya yang sangat terkenal adalah perbandingan antara kalimat “John is eager to please” dan “John is to please”. Bila dilihat dari struktur permukaannya, kedua kalimat tersebut sama jika ditelaah dari struktur yang lebih dalam, kedua kalimat tersebut angatlah berbeda. Di samping mengkritik pandangan strukturalis Noam Chomsky juga mengkritik habis-habisan paham behaviourism dalam pengajaran bahasa yang umum dipakai saat itu. Paham behaviourism tersebut menekankan pembentukan kebiasaan melalui urutan rangsangan (stimulus), tanggapan (response) dan penguatan (reinforcement). Dikatakannya bahwa pembentukan kebiasaan tersebut hanyalah terjadi di laboratorium dan tidak cocok diterapkan dalam pengajaran bahasa pemerolehan bahasa (language acquisition) melalui proses yang sangat rumit. Pada tahun 1971 sekelompok pakar dari Eropa yang tergabung dalam apa yang disebut The Council of Europe mencoba menyelidiki kemungkinan-kemungkinan untuk mengembangkan pengajaran bahasa dengan cara baru. Salah satu hasilnya adalah sebuah dokumen yang diusulkan oleh Wilkins. Dalam dokumen tersebut Wilkins mengusulkan agar silabus pengajaran bahasa didasarkan pada kategori yang bersifat fungsional sesuai dengan makna komunikatif. Dalam dokumen tersebut beliau membedakan dua jenis kategori: Pertama kategori nasional, yakni konsep-konsep yang meliputi antara lain waktu, urutan, kuantitas, lokasi dan frekuensi. Kedua adalah fungsi komunikatif, yakni antara lain permintaan, penolakan, penawaran, keluhan, dan sebagainya.
Dokumen yang disiapkan Wilkins tersebut kemudian disempurnakannya sendiri dan diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Notional Syllabuses (1976). Buku ini serta hasil kerja anggota The council of Europe yang lain, yaitu The Threshold Level of English, ternyata di kemudian hari berdampak besar terbentuknya pendekatan komunikatif. Terdapat berbagai gagasan sehubungan dengan pendekatan komunikatif ini, dan tidak semuanya sejalan. Namun paling tidak ada kesepkatan mengenai tujuan yang hendak dicapai, yakni: a) mengembangkan kemampuan komunikatif siswa, b) mengembangkan prosedur pengajaran untuk mengembangkan keempat keterampilan berbahasa yaitu, membaca, menyimak, berbicara dan menulis yang dalam hal ini mengakui saling ketergantungan antara bahasa dan komunikasi.(Richards dan Rodgers,1986:66) Sejauh menyangkut pendekatan komunikatif tidak ada sebuah buku/artikel atau orang yang secara universal dianggap otoritatif.(Richards dan Rodgers,1986). Bagi sementara orang pendekatan komunikatif tidak lain hanyalah pemanduan pengajaran bahasa secara gramatikal dan fungsional (missal Littlewood, 1981). Sementara itu ada yang berpendapat bahwa pendekatan komunikatif adalah penggunaan prosedur dimana siswa bekerja secara berpasangan atau berkelompok dengan menggunakan sarana yang ada melakukan tugastugas pemecahan masalah (problem solving tasks). Sementara itu Yalden (1983) berpendapat enam buah model dalam rancangan pendekatan komunikatif, mulai dari model dimana latihan-latihan komunikatif dihasilkan dari suatu silabus structural hingga rancangan silabus yang dihasilkan sesuai dengan pendapat/kebutuhan siswa (leaner generated syllabus). Perlu kiranya dikemukakan bahwa interpretasi dan implementasi Pendekatan komunikatif di Negara-negara yang berbahasa Inggris sebagai bahasa ibu, seperti misalnya Amerika, Inggris dan Australia, sedikit banyak berbeda dengan interpretasi dan implementasi pendekatan komunikatif di negara-negara di mana bahasa Inggris merupakan bahasa asing, misalnya Jepang, Cina, India dan Indonesia. Di negara-negara yang disebut belakangan ada kecendrungan bahawa latihan penguasaan struktur dan kosakata memperoleh porsi yang cukup besar (Sano dkk, 1984; Prabu, 1987 dan Zhang,1990). 2. Dasar-dasar Teoritis. 2.1 Teori Bahasa. Pendekatan komunikatif berangkat dari anggapan bahwa bahasa adalah suatu sistem untuk mengungkapkan makna dengan fungsi utamanya adalah untuk interaksi dan komunikasi. Sedangkan tujuan pengajaran bahasa adalah pembentukan kemampuan untuk berkomunikasi (communicative competence). Anggapan tersebut di atas berawal dari pembedaan yang dikemukakan oleh Noam Chomsky. Menurut Chomsky perlu dibedakan antara language competency dan language performance. Language competence adalah pengetahuan yang dimiliki seseorang mengenai aturan-aturan tata bahasa dan kosa kata. Language performance adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengetahuannya tersebut di atas. Dalam tanggapannya atas pendapat Chomsky tersebut, Dell Hymes (1972:281) mengatakan bahwa seseorang dapat dianggap telah menguasai suatu bahasa bila dia telah mempunyai pengetahuan dan kemempuan menggunakan bahasa dalam parameter sebagai berikut: 1. Whether (and to what degree) something is formally possible;
2. Whether (and to what degree something is feasible in virtue of the means of implementation available; 3. Whether (and to what degree something is appropriate (adequate, happy, successfull) in relation to a context in which it is used and evaluated; 4. Whether (and to what degree something is in fact done, actually performed, and what its doing entails. Atau dengan kata lain kemampuan komunikatif tidak hanya mencakup bentuk linguistik suatu bahasa tetapi juga hukum-hukum sosialnya, yaitu pengetahuan atas kapan, bagaimana, kepada siapa bentuk-bentuk linguistik tertentu pantas dipakai. Pandangan Hymes ini mencakup hal yang lebih luas daripada pandangan Chomsky mengenai kemampuan yang terutama hanya menyangkut pengetahuan tentang tata bahasa yang sifatnya abstrak. Teori lain yang juga mempengaruhi Pendekatan komunikatif adalah yang dikemukakan oleh Mak Halliday yang mengatakan antara laing “Linguistics …is concerned… with the description of speech acts or texts, since only through the study of language in use are all the fuctions of language, and therefore all components of meaning are brought into focus” (Linguistik menggeluti deskripsi tentang tidak ujaran atau teks, karenanya semua komponen makna, dijadikan sorotan) (Halliday, 1970:145). Melalui berbagai buku dan makalah Halliday menjelaskan teorinya tentang fungsi bahasa yang melengkapi pandangan Hymes tentang kompetensi komunikatif. Antara lain Halliday (1975:11-7) menjabarkan tujuh buah fungsi bahasa dalam kaitannya dengan bagaimana anak-anak belajar bahasa ibunya. Ketujuh fungsi bahasa tersebut adalah sebagi berikut: 1. The instrumental function: using language to get things (fungsi instrumental: menggunakan bahasa untuk memperoleh sesuatu); 2. The regulatory function: using language to control the behavior of others (fungsi pengaturan: menggunakan bahasa untuk mengendalikan tingkah laku orang lain); 3. The interactional function: using language to create interaction with others (fungsi interaksional: menggunakan bahasa untuk mengekspresikan perasaan dan makna); 4. The personal function: using language to express personal feelings and meanings (fungsi personal: menggunakan bahasa untuk mengekpresikan perasaan dan makna); 5. The heuristic function: using language to learn and to discover (fungsi heuristic: menggunakan bahasa untuk belajar dan menemukan sesuatu); 6. The imaginative fuction: using language to create a world of the imagianation (fungsi imajinatif: menggunakan bahasa untuk menciptakan dunia imajiasi); 7. The representational functional: using language to communicate information. (fungsi representasional: menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan informasi). Pakar lain yang juga berpengaruh adalah Henry Widdowson. Dalam bukunya Teaching Language as Communication (1978) Widdowson mengemukakan pandangannya mengenai hubungan yang ada di antara sistem linguistik dengan nilai-nilai komunikatif yang terkandung dalam teks dan wacana. Widdowson memusatkan perhatiannya pada tindak komunikatif (communicative acts) yang mendasari kemampuan seseorang menggunakan bahasa untuk berbagai macam tujuan. Sementara itu Canale dan Swain (1980) ada empat dimensi kompetensi komunikatif, yakni: kompetensi yang menyangkut tata bahasa (grammatical competence), kompetensi
sosio-linguistik (sisio linguistic competence), kompetensi menangani wacana (discourse competence), dan kemampuan menerapkan strategi berkomunikasi (strategic competence). Yang dimaksud dengan kompetensi yang menyangkut tata bahasa adalah tingkat penguasaan seseorang atas tata bahasa dan perbendaharaan kata. Kompetensi sosio-linguistik mengacu kepada penguasaan seseorang atas kaidah-kaidah sosial budaya di mana komunikasi berlangsung, yang dalam hal ini mencakup pengetahuannya tentang hubungan antar peran (role relationship), pengetahuannya tentang informasi yang sama-sama dimiliki oeh mereka yang terlibat dalam komunikasi (shared information of the participants), dan pengetahuannya mengenai tujuan komunikatif yang hendak dicapai oleh mereka yang terlibat dalam interaksi. Yang dimaksud dengan kompetensi untuk menagani wacana (discourse competence) adalah kemampuan seseorang untuk menginterpretasikan elemen-elemen pesan yang terkandung dalam suatu wacana yang dalam hal ini adlah saling keterkaitan elemenelemen tersebut dan bagaimana makna ditampilkan dalam hubungannya dengan keseluruhan wacana atau teks. Sedangkan kompetensi menerapkan strategi berkomunikasi (strategic competence) adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menerapkan strategi berkomunikasi agar komunikasi dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh pihakpihak yang terlibat di dalamnya. Strategi yang dimaksud mencakup cara-cara mengawali, mengakhiri, mempertahankan, memperbaiki dan mengalihkan arah komunikasi. Dari pendapat para pakar tersebut dapat ditemukan beberapa ciri yang menandai pandangan mengenai bahasa menurut Pendekatan Komunikatif, yakni: 1. Bahasa dipandang sebagai suatu system untuk mengekspresikan makna 2. Fungsi utama bahasa adalah untuk berinteraksi dan berkomunikasi 3. Struktur bahasa mencerminkan penggunaan komunikatif dan fungsionalnya 4. Unit-unit utama bahasa bukan hanya berupa ciri-ciri struktural dan gramatikal, melainkan juga mencakup kategori makna komunikatif dan fungsionalnya seperti yang tampak dalam wacana (Richards dan Rodgers, 1986:71). 2.2.Teori Belajar Tidak banyak pakar yang menulis tentang teori belajar yang mendasari pendekatan Komunikatif. Namun demikian unsur-unsur teori belajar yang mendasari pendekatan komunikatif dapat diamati dari praktik pengajaran bahasa yang menggunakan pendekatan tersebut. Salah satu unsur tersebut adalah bahwasanya bila keiatan belajar berupa komunikasi maka hal tersebut akan mendorong terbentuknya hasil belajar yaitu terbentuknya kompetensi komunikatif. Unsur kedua adalah bahwasanya bila kegiatan belajar mengandung penggunaan bahasa yantuk melakukan tugas-tugas yang bermakna (meaningful tasks) maka hal tersebut juga akan mendorong terbentuknya hasil belajar yang berupa kompetensi komunikatif. Yang ketiga adalah bahwasanya bahasa yang bermakna bagi siwa mendukung proses belajar (Richards dan Rodgers, 1986:72). Oleh karena itu pemilihan kegiatan belajaar haruslah dilakukan berdasarkan pertimbangan seberapa jauh kegiatan tersebut mempu melibatkan siswa dalam penggunaan bahasa yang bermakna dan bersifat otentik, bukan sekedar praktik pengulangan struktur yang sifatnya mekanistis atau melulu berupa penghafalan pola-pola kalimat atau definisi dan rumus-rumus. 3. Peran Siswa, Guru dan Bahan Ajar
3.1 Peran Siswa Penekanan dalam pendekatan komunikatif pada proses komunikasi dan bukannya pada penguasaan bentuk-bentuk bahasa mengakibatkan terjadinya perbedaan dalam peran yang harus dijalankan siswa dibandingkan dengan peran yang harus mereka lakukan dalam pendekatan tradisional. Dalam pendekatan komunikatif siswa diharapkan bertindak aktif untuk memelihara berlangsungnya komunikasi dan dari komunikasi tersebut siswa belajar. Siswa diharapkan menggeluti wacana yang disajikan kepadanya dan lebih banyak berkomunikasi dengan sesamanya dibandingkan dengan gurunya, oleh karena itu koreksi menjadi minimum. Siswa harus menyadari bahwa kegagalan maupun keberhasilan komunikasi merupakan hasil kerjasama semua pihak yang terlibat di dalamnya. 3.2 Peran Guru Menurut Breen dan Candlin (1980) guru mempunyai dua peran utama. Yang pertama adalah sebagai fasilitator yang memungkinkan terjadinya proses komunikasi di antara semua peserta komunikasi (siswa) di kelas ataupun proses komunikasi antara siswa dengan teks yang disajikan kepadanya. Yang keduka adalah berperan sebagai peserta yang bebas (independent participant) dalam kelompok-kelompok belajar mengajar. Di samping yang disebutkan oleh Breen dan Candlin seperti di atas, guru dapat pula berperan sebagai analis kebutuhan siswa, pembimbing siswa dan pengelola proses belajar mengajar serta pengelola kelompok-kelompok belajar. 3.3 Peran Bahan Ajar. Para praktisi pendekatan komunikatif menganggap bahan ajar sebagai sarana untuk mempengaruhi mutu interaksi dan penggunaan bahasa di dalam kelas. Dengan demikian peran utama bahan ajar adalah sebagai sarana yang memungkinkan digunakannya bahasa sebagai alat komunikasi di antara siswa. Menurut Richards dan Rodgers (1986:79) terdapat tiga jenis bahan ajaran yakni yang bersifat berbasis teks (text-based), bersifat berbasis tugas (task-based)) dan realia. 4. Pendekatan Komunikatif dibandingkan Pendekatan Tradisional. Untuk memberikan gambaran yang lebih nyata tentang pendekatan komunikatif, pada bagian ini kami bandingkan pendekatan tersebut dengan pendekatan yang telah diterapkan sebelumnya, yang untuk mudahnya disebut saja dengan istilah pendekatan tradisional. Dengan diterapkannya pendekatan komunikatif terjadilah pergeseran titik perhatian, dari yang semula bersifat teacher-centered menjadi learner-centered. Dalam pendekatan tradisional pleran dan fungsi guru dalam kegiatan belajar mengajar demikian kuatnya karena seluruh kegiatan belajar mengajar sepenuhnya berpusat pada figur guru. Istilah yang umum dikenal untuk ini adalah teacher-centered atau terpusat pada guru. Dalam pendekatan yang tradisional guru menjadi sumber informasi utama. Di samping itu guru sepenuhnya mengendalikan kegiatan belajar mengajar karena dialah yang menentukan apa yang harus dilakukan siswa pada saat tertentu dan apa yang tidak boleh dilakukannya; apa yang menurut guru benar adalah benar, dan apa yang menurut guru salah adalah salah. Biasanya komunikasi juga berjalan timpang karena informasi (dan instruksi) datang lebih
banyak dari pihak guru. Sebaiknya siswa bersikap pasif, menerima saja diberikan/diajarkan guru dan melakukan apa yang diminta oleh gurunya.
apa yang
Dalam pendekatan komunikatif guru bukan lagi merupakan sumber informasi yang utama; siswa dapat memperoleh informasi dari mana saja, mereka bahkan dapat belajar dari sesama siswa. Guru dituntut mampu bertindak selaku fasilitator dan pengarah dalam kegiatan belajar mengajar. Di samping itu guru dituntut mampu membuat atau menyiapkan bahan ajar yang memungkinkan siswa mengembangkan kompetensi komunikatifnya (communicative competence). Dalam hal ini siswa dituntut lebih berperan aktif, sehingga titik pusat kegiatan belajar mengajar adalah pada kegiatan siswa. Dengan kata lain kegiatan belajar mengajarnya bersifat learner-centred (terpusat pada siswa). Bila ditinjau dari sudut bahan ajarnya pendekatan tradisional bersifat struktural sedangkan pendekatan komunikatif lebih bersifat pragmatik. Dengan kata lain pendekatan tradisional lebih mementingkan pengkajian bentuk-bentuk bahasa (language form) sedangkan pendekatan komunikatif lebih mementingkan penggunaan bahasa (language use). Dalam pendekatan tradisional siswa banyak menggeluti aturan tata bahasa dan kosakata. Sebaiknya dalam pendekatan komunikatif siswa dituntut untuk menggunakan bahasa dalam berbagai jenis kegiatan berkomunikasi, oleh katena itu segi pragmatiknya banyak diberi perhatian. Dalam pendekatan tradisional siswa lebih diarahkan untuk berlajar tentang bahasa sedangkan dalam pendekatan komunikatif siswa diarahkan untuk belajar berbahasa. Di muka disebutkan bahwa pendekatan tradisional bersifat struktrual sedangkan pendekatan komunikatif bersifat pragmatis. Untuk memberi sedikit kejelasan, akan diberikan sebuah kalimat sebagi sebuah kasus, yakni “sudah jam Sembilan”. Dalam pandangan struktural kalimat tersebut akan dianalisis dan ditangani semata-mata berdasarkan bentuknya atau berdasarkan kategori tata bahasanya; misalnya mana subyek, predikat dan bagian kalimat lain, apakah kalimat itu lengkap atau tak lengkap, apakah kalimat itu tunggal atau majemuk, apakah kalimat tersebut deklaratif, interogatif atau imperatif dan sebagainya. Konteks kalimat tersebut tidak pernah ikut dipertimbangkan. Dalam pendekatan komunikatif kalimat yang sama akan dianalisis dari segi maknanya dengan mempertimbangkan konteksnya, yaitu antara lain siapa yang mengucapkan, ditujukan kepada siapa dan dalam situasi yang bagaimana. Dengan demikian makna yang terkandung dalam kalimat itu akan tergantung bagaimana konteksnya, sehingga maknanya dapat bermacam-macam. Bayangkan saja andaikata kalimat tersebut diucapkan oleh seorang ibu dan ditujukan kepada anak gadisnya yang sedang menemui pacarnya. Kalimat tersebut dapat dianggap sebagi isyarat bahwa hari telah cukup larut malam dan sebaiknya tamu gadis tiu segera minta diri. Tentu saja utuk tujuan yang sama dapat dipergunakan kalimat lain, misalnya “sudah jam berapa sekarang?”. Bila kalimat yang terdahulu diucapkan oleh seorang guru pengawas ujian, oleh siswanya kalimat itu akan ditangkap sebagai isyarat bahwa waktu untuk mengerjakan ujian telah habis dan hasil pekerjaan mereka harus segera diserahkan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebuah kalimat (unit lingual) mempunyai berbagai macam arti tergantung konteksnya, dan maksud yang sama dapat diutarakan dengan kalimat (unit lingual) yang berlainan.
Kembali kepada kalimat “Sudah jam berapa sekarang?”. Menurut pandangan struktural kalimat ini sekurang-kurangya dapat dikategorikan sebagi kalimat tunggal dan berbentuk interogatif. Menurut pandangan structural kalimat tersebut tidak digunakan untuk menyampaikan perintah, sebab kalimat interogatif fungsinya untuk menyampaikan paertanyaan. Untuk menyampaikan perintah harus digunakan kalimat imperatif. Hal ini karena menurut pandangan struktural definisi mengenai kalimat imperatif, interogatif dan deklaratif adalah sebagai berikukt: Kalimat imperatif ialah untuk menyatakan perintah Kalimat interogatif ialah untuk menyampaikan pertanyaan Kaliamat deklaratif ialah untuk membuat pernyataan. Defenisi seperti ini dapat menggiring jalan pikiran siswa ke dalam kotak-kotak yang kaku (Kaswanti, 1990). Kekakuan seperti ini dapat menjauhkan siswa dari kenyataan bahwa ada pelbagai kemungkinan cara menyatakan perintah. Seperti yang kita ketahui, dalam contoh di atas kalimat imperatif tersebut digunakan untuk menyatakan perintah tak langsung. Di samping itu perintah dapat pula disampaikan dengan mengunakan kalimat deklaratif seperti dalam contoh terdahulu (“sudah jam Sembilan”). Sudah barang tentu terdapat perbedaan dalam kadar rasanya. Perbedaan ini dapat mewarnai hubungan antara pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi. Hal ini adalah salah satu segi yang harus dipertimbangkan dalam rangka penerapan strategi berkomunikasi. Ini menuntut kepekaan dalam berbahasa. Kepekaan berbahasa tentu saja harus dimiliki siswa dan perlu dilatihkan. Pemerolehan kepekaan merupakan salah satu tujuan diterapkannya pendekatan komunikatif (Kaswanti, 1990). Di muka telah disinggung bahwa dalam pendekatan tradisional yang bersifat struktural siswa dituntut untuk menghafal pengertian istilah dan rumusan-rumusan serta sangat kurang diberi latihan untuk menggunakan bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi. Pada hal untuk menguasai suatu bahasa seseorang tidak hanya dituntut untuk menguasai tata bahasa dan kosa katanya, dia harus pula menguasai kaidah-kaidah sosio-budayanya dan mengetahui konteks pemakaiannya. Di samping itu dia dituntut pula untuk menerapkan strategi berkomunikasi yang tepat. Pelajaran bahasa pada hakikatnya memang bukan pelajaran menghafal. Belajar berbahasa dapat dikatakan mirip belajar merangkai bunga, menyetir mobil atau berenang. Keberhasilan siswa sangat dipengaruhi kemampuannya untuk mempraktikkan apa yang dipelajarinya. Bila diibaratkan seorang yang berenang, maka dia harus berani terjun ke air, mengalami gelagapan karena hidung, telinga dan mulut kemasukan air dan sebagainya. Belajar bahasa menuntut siswa untuk melalui proses yang bersifat kreatif (Kaswanti, 1990). Melalui pendekatan komunikatif potensi kreatif yang ada dalam diri siswa dapat dikembangkan seluas-luasnya. Dengan pendekatan komunikatif siswa dituntut untuk berbuat. Di pihak lain guru dituntut untuk mampu menciptakan suasana belajar dan bahan ajar yang memungkinkan siswanya mengembangkan kompetensi komunikatifnya. Pendekatan komunikatif sangat erat hubungannya dengan pragmatik karena dalam pendekatan komunikatif bahasa diajarkan sebagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi. Oleh karena itu pendekatan komunikatif dapat pula disebut pendekatan pragmatik. Menurut Lyons (1977) yang dikutip oleh Levinson (1983), dalam berkomunikasi pemakai bahasa dituntut untuk memiliki:
1. Pengetahuan tentang peran dan status ang meliputi pembicara dan penanggap serta kedudukan relatif dari masing-masing peran tersebut; 2. Pengetahuan mengenai ruang (tempat) dan waktu pelaksanaan waktu peristiwa tutur (speech event); 3. Pengetahuan mengenai tingkatan formalitas peristiwa, yaitu resmi atau tidak resminya peristiwa tutur; 4. Pengetahuan mengenai bahasa pengantar, yaitu bahasa tulis atau lisan, dengan kasar atau dengan halus; 5. Pengetahuan mengenai ketetapan pokok permasalahan yang dibicarakan dalam kaitannya dengan pemakaian bahasa; dan 6. Pengetahuan mengenai ketepatan “bidang wewenang” (“province”) atau penentuan register bahasa. Oleh katena itu dalam pendekatan komunikatif/pragmatik siswa diharapkan dapat mengungkapkan dan memahami bahasa dengan memperhatikan faktor-faktor penentu dalam berkomunikasi. Faktor-faktor penentu tersebut adalah: 1. Siapa yang berbahasa dengan siapa. Faktor ini menuntut adanya ragam bahasa yang digunakan. Seseorang akan berbicara dengan menggunakan ragam yang berbeda pada saat dia sedang berbicara dengan atasannya di kantor dengan bila dia sedang berbicara dengan anak atau isterinya di rumah. 2. Untuk tujuan apa. Menurut tujuannya bahasa dalam pembicaraan harus dibedakan, yaitu apakah untuk memberitahukan sesuatu, melaporkan sesuatu, untuk menjamu, untuk menghibur, untuk membujuk, untuk mengajak, untuk mendesak, atau untuk meyakinkan seseorang. 3. Dalam situasi apa. Ini menyangkut waktu dan tempat berlangsungnya peristiwa tutur. Apakah sedang merayu pacar di rumah? Ataukah sedang menjawab pertanyaan dosen penguji di ruang siding? Ataukah pada saat mengobrol santai di warung? Dan sebagainya. 4. Dalam konteks apa. Hal ini menyangkut hubungan pembicara dengan lawan bicaranya, kebudayaan dan suasana pembicaraan. Apakah dia berbicara dengan sekelompok orang yang berasal dari satu etnik tertentu, misalnya Batak, Sunda, Jawa, Minang atau Papua ataukah dari campuran beberapa etnik? Apakah dia sedang berbicara di depan forum resmi, di tengah keluarga atau teman, atau pada suasana berduka cita karena melayat orang yang meninggal? 5. Dengan jalur yang mana.. Lisan atau tulisan? 6. Dengan media apa. Apakah pembicaraan dilakukan secara tatap muka, atau lewat telepon, lewat surat atau sarana lain? 7. Dalam peristiwa apa. Bercakap-cakap, ceramah, atau upacara? (Suyono, 1990:3)
Seperti tersirat dalam uraian di atas faktor-faktor penentu tersebut menentukan tingkat formalitas dalam berbahasa. Di samping itu tersirat pula bahwa siswa harus pula menguasai berbagai macam ragam bahasa sesuai dengan situasi dan sifat pembicaraan yang dilakukannya. Ini menjadi tugas guru yang tidak ringan karena guru harus membekali siswanya dengan pengetahuan tentang berbagai ragam bahasa. Hal ini masih ditambah lagi; bagi siswa di Indonesia yang bermasyarakat majemuk, keragaman latar belakang sosial budaya pastilah menambah kerumitan dalam berbahasa. 5. Penutup Sebagi penutup dalam bagian ini kami sajikan ringkasan tentang pendekatan komunikatif yang kami ambilkan dari Nunan (1989:194-5). Teori Bahasa Bahasa merupakan system untuk mengungkapkan makna; fungsi utamanya adalah untuk interaksi dan komunikasi. Teori Belajar Kegiatan-kegiatan yang melibatkan komunikasi yang nyata: melakukan tugas-tugas yang bermakna, dan menggunakan bahasa yang bermakna bagi siswa akan membuahkan hasil belajar. Tujuan Tujuan yang hendak dicapai mencerminkan kebutuhan siswa; hal ini meliputi keterampilan fungsional maupun kebahasaan. Silabus Silabus berupa beberapa atau kesemuanya yang tersebut berikut ini: struktur, fungsi, nosi, tema, tugas. Pengurutannya disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Jenis Kegiatan Siswa dilibatkan dalam kegiatan komunikasi, yang mencakup proses-proses seperti misalnya berbagai informasi, negosiasi makna dan interaksi. Peran Siswa Siswa berperan sebagi negosiator, interaktor, yang menjalankan peran sebagai pemberi sekaligus penerima. Peran Guru Bertindak selaku fasilitator dalam proses komunikasi, menyiapkan tugas dan teks bagi siswa, bertindak selaku analisis kebutuhan siswa, pembimbing/penasehat, serta bertindak selalu pengelola proses. Peran Bahan Ajar Peran utama bahan ajar adalah memungkinkan digunakannya bahasa dalam kegiatan komunikasi; bahan ajar berbasis kegiatan (task based) dan bersifat otentik. Daftar Pustaka
1. Breen, M dan CN Candlin. 1980. The essentials of a communicative curriculum in language teaching. Applied Linguistics. Vol. 1.No.2. Hal. 89-112. 2. Canale, M dan M.Swain 1980. Theoretical bases of communicative approaches to second language teaching and testing. Vol. 1. No. 1. Hal 1-47. 3. Halliday, MAK. 1970. Language structure and language fuction. Dalam J. Lyons (Ed). New Horizons in Linguistics. Hal. Hal 140-165. Harmondsworth. Penguin. 4. Halliday, MAK. 1975. Learnig How to Mean: Explorations in the Development of Language. London. Edward Arnold. 5. Hymes, D. 1972. On Communicative Competence. Dalam JB Pride dan J Holmes (Ed). Sociolonguistics. Hal 269-93. Harmond sworth. Penguin. 6. Kaswanti, B. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta . Kanisius. 7. Levinson. SC. 1983. Pragmatics. Cambridge University Press. 8. Littlewood, W. 1981. Communicative Language Teaching: An Introduction. Cambridge. Cambidge University Press. 9. Nunan, D. 1989. Deigning Tasks for the Communicative Classroom. Cambridge. Cambridge University Press. 10. Ricahards, j dan T. Rodgers.1986. Approaches and methods in Language Teaching: A Description an Analysis. Cambridge University Press. 11. Sano, M,M. Takahashi dan A. yoneyama. 1984. Commuicative Language Teaching and Local Needs. English Language Teaching Journal. Vol.38 No.3. Hal.170-177. 12. Suyono. 1990. Pragmatik : Dasar-dasar dan Pengajarannya. Malang. Yayasan Asih Asah Asuh. 13. Yalden. J.1983. The Comunicative syllabus: Evolution, Design and Implementation. Oxford. Oxford university Press. 14. Zhang, L. 1990. Interpretations of the Communicative Approach and Its Potential Relevance to EST in China. La Tobe University. Melbourne.