Do Not Cop
Metode Penyelesaian Sengketa Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 1 Oleh Dr. Sri Walny Rahayu, S.H., M.Hum.2
APS dalam UU Arbitrase dan APS Tahun 1999 dapat dipahami arti luas dan
sempit. Dalam arti luas UU tentang Arbitrase dan APS Tahun 1999 merupakan norma hukum alternatif yang mengatur cara penyelesaian sengketa di luar litigasi termasuk lembaga arbitrase. Dalam arti sempit arbitrase bukan merupakan cakupan alternatif penyelesaian sengketa.
Perbedaan cakupan arbitrase dengan APS dapat dilihat dalam Pasal 1
angka 10 UU tentang Arbitrase dan APS Tahun 1999, makna “Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli”. Pemberlakuan UU Arbitrase dan APS Tahun 1999 menimbulkan konsekuensi secara normatif model penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui jalur di luar
1
Sumber dari sebagian kecil isi Disertasi, Sri Walny Rahayu, “Penyelesaian Sengketa Bisnis Kelautan Dikaitkan Persekutuan Hukum Adat Laut Lembaga Panglima Laôt Sebagai Upaya Pengembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Sistem Hukum Di Indonesia”, Bandung: Program Doktoral FH Universitas Padjadjaran, hl. 193-216. 2 Sri Walny Rahayu, Dosen Bagian Keperdataan, Konsentrasi Hukum Bisnis, FH Universitas Syiah Kuala. Dr. (FH Universitas Padjadjran Bandung -Hukum Bisnis), M. Hum. (FH Universitas Padjadjaran Bandung-Hukum Bisnis), S.H. (FH Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh-Hukum Dagang). Spesialisiasi Hukum Alternatif Penyelesaian Sengketa, Hukum Hak Kekayaan Intelektual dan Hukum Adat. Jabatan/Pangkat, Lektor Kepala, Pembina Utama/IV/C. Email.
[email protected] alamat Fakutas Hukum Universitas Syiah Kuala Jl. Putroe Phang No. 1 Darussalam Banda Aceh-23111. 1
Do Not Cop
pengadilan, yaitu Arbitrase atau melalui mekanisme APS di samping penyelesaian sengketa secara konvensional melalui jalur Pengadilan.3 Mekanisme penyelesaian sengketa melalui APS diatur dalam Pasal 6 ayat (1)
UU tentang Arbitrase dan APS Tahun 1999 “Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada iktikad baiknya dengan mengenyampingkan penyelesaian litigasi di Pengadilan Negeri”. Pasal 6 ayat (2) UU tentang Arbitrase dan APS Tahun 1999 menyebutkan
“Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasil dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis”. Pasal 6 ayat (1) UU tentang Arbitrase dan APS Tahun 1999, berkaitan dengan
kesepakatan memilih mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan janji yang telah disepakati merupakan undang-undang bagi para pihak (pacta sunt servanda). Kebebasan untuk memilih cara dan bentuk penyelesaian sengketa inilah yang membedakan APS dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Hasil APS dituangkan dalam bentuk tertulis diatur Pasal 6 ayat (2) UU Arbitrase dan APS Tahun 1999. Dengan demikian dasar hukum mekanisme APS adalah kehendak bebas dan teratur para pihak yang bersengketa menyelesaikan di luar pengadilan, hasilnya dimuat dalam bentuk tertulis. Priyatna Abdurrasyid mendefinisikan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) merupakan sekumpulan prosedur atau mekanisme, berfungsi memberi alternatif atau
3
Jimmy Joses Sembiring, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase), Jakarta: Visimedia, 2011, hlm. 11.
2
Do Not Cop
pilihan suatu tata cara penyelesaian sengketa melalui bentuk APS/arbitrase agar memperoleh suatu putusan akhir dan mengikat para pihak. Secara umum tidak selalu melibatkan intervensi dan bantuan pihak ke-tiga independen yang diminta membantu memudahkan penyelesaian sengketa tersebut.4 Kata “alternatif” dalam “Alternatif Penyelesaian Sengketa” selain merupakan
pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan juga menunjukan para pihak yang bersengketa bebas melakukan kesepakatan bersama memilih bentuk dan tata cara apa yang terdapat dalam alternatif penyelesaian sengketa dan akan diterapkan kepada penyelesaian sengketanya.5 Para pihak memilih penyelesaian melalui APS mengacu kepada kontraknya (jika ada) yaitu klausul kontrak yang menunjuk penggunaan pihak ke-tiga untuk membantu jika negosiasi tidak berhasil, yaitu mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli, dan di satu pihak serta arbitrase di lain pihak. Sistem pranata APS karena merupakan bentuk penyelesaian sengketa yang dipilih berdasarkan kesepakatan di luar pengadilan maka konsekuensi sifat sukarela memilih cara dan bentuk penyelesaian tersebut menghasilkan eksekusi keputusan APS tidak dapat dipaksakan oleh salah satu pihak kepada pihak Iainnya. Namun, merujuk suatu bentuk perjanjian berdasarkan facta sunt servanda maka kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak melalui metode APS selayaknya harus ditaati oleh para pihak. Bentuk-bentuk pilihan forum penyelesaian sengketa berdasarkan UU Arbitrase dan APS Tahun 1999 adalah Arbitrase (Pasal 1 angka 1) dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. (Pasal 1 angka 10).
4
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa..,Op.cit.,
hlm. 12. 5
Idem., hlm. 17. 3
Do Not Cop
1.
Lembaga Arbitrase di Indonesia
Di Indonesia lembaga arbitrase pertama kali diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering/ BRV/RV), mulai Pasal 615 – 651. Mulai berlaku sejak tahun 1848. Secara institusional sejarah arbitrase di Indonesia mulai mendapatkan momentumnya ketika terbentuk Badan Arbitrase Nasional (BANI) Tahun 1977. Di samping ketentuan arbitrase yang terdapat BRV beberapa ketentuan lain juga menyinggung mengenai arbitrase antara lain HIR, Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Mahkamah Agung dan Arbitrase menurut Hukum Adat. Prinsip arbitrase dicontohkan dengan Keuchik, dan Tuha Peut di Aceh dan “Kerapatan Adat Negeri” di Minangkabau.6 Penerapan interaksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat tidak selamanya berjalan selaras dan harmonis. Seringkali yang terjadi adalah perbedaan pemikiran, pendapat, dan keinginan antar manusia yang satu dengan yang lain. Perbedaan ini kemudian menjadi cikal bakal lahirnya sengketa atau konflik dalam masyarakat. Konflik ini pun senantiasa berkembang mengikuti perkembangan peradaban masyarakat atau suatu bangsa. Hal tersebut kemudian mendorong bagi yang mulai berpikir modern untuk membentuk suatu mekanisme penyelesaian sengketa mulai dari bentuk yang paling sederhana hingga menjadi suatu sistem yang kini disebut sebagai sistem peradilan yang senantiasa mengacu pada hukum positif dan norma-norma atau kaidah-kaidah dalam masyarakat. 6
Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 31.
4
Do Not Cop
UU tentang Arbitrase dan APS Tahun 1999 mengganti dan mencabut aturan
mengenai arbitrase dalam RV. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU Arbitrase dan APS Tahun 1999 memberi batasan mengenai Arbitrase, yaitu “Cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.” 2.
Bentuk-bentuk APS di Indonesia
Lembaga APS dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi,
atau penilaian ahli. Namun sangat disayangkan UU tentang Arbitrase dan APS Tahun 1999 tidak memberikan definisi yang konkrit tentang bentuk-bentuk APS sebagaimana lembaga arbitrase. Pencarian lebih lanjut tentang pemahaman bentuk-bentuk APS maka penulis mengutip pendapat sarjana dan kamus hukum.
Bentuk-bentuk APS
tersebut adalah sebagai berikut : a.
Konsultasi
Black's Law Dictionary mendefinisikan konsultasi (consultation) adalah, the act of asking the advice or opinion of someone (such as a lawyer); A meeting in which parties consult or confer; Int’l law, The interactive methods by which states seek to prevent or resolve dispute. 7 Rumusan yang diberikan Black's Law Dictionary tersebut dapat dipahami, pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal meminta nasihat atau pendapat kepada pihak seperti pengacara, atau pertemuan di antara para pihak untuk melakukan konsultasi, atau dalam hukum internasional merupakan suatu metode interaktif antar negara untuk mencari pencegahan dan penyelesaian sengketa. 7
Garner, Bryan A., (ed), Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, USA: Thomson Reuters, 2009,
hlm. 358.
5
Do Not Cop
Batasan makna konsultasi tersebut menunjukkan para pihak yang meminta
bantuan advis atau pendapat kepada pihak ke-tiga atau pertemuan konsultasi antar para pihak tidak ada keterikatan, atau kewajiban untuk memenuhi dan mengikuti pendapat dari bantuan pihak ketiga. Para pihak bebas menentukan keputusan penyelesaian yang akan diambil bagi sengketa yang dihadapi. Bentuk konsultasi dalam APS, sebagai suatu pranata penyelesaian alternatif di mana peran pihak ke-tiga menyelesaikan sengketa tidak dominan sama sekali, karena hanya berupa advis atau pendapat hukum. Langkah selanjutnya terhadap
penyelesaian sengketa tersebut
diputuskan sendiri oleh para pihak. Konsultasi berfungsi terutama mencegah timbulnya suatu sengketa, yang
digunakan sebagai langkah awal proses penyelesaian suatu persoalan. Kohona menyatakan Konsultasi sebagai cara penting dalam kaitannya dengan pelaksanaan dari perjanjian-perjanjian.8 Pada prinsipnya para pihak yang berkonsultasi secara reguler dan terus-menerus akan menguntungkan dan dapat membantu mengidentifikasi setiap masalah
yang
berpotensi
sengketa.
Konsultasi
diharapkan
sebagai
langkah
penangkalnya sebelum potensi sengketa tersebut berubah menjadi sengketa. b. Negosiasi Negosiasi berasal dari negotiation yang berarti “a concensual bargaining process in which the parties attempt to reach agreement on a dispute or potentially dispute
8
Palitha TB Kohona, The Regulation of Internatonal Economic, Relation through Law, The Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, 1985, hlm. 153., Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Bandung: Keni Media, cet. ke-5, 2011, hlm. 301.
6
Do Not Cop
matter. Negotiation involves complete autonomy for the parties, involved, without the intervention of third parties”.9 Negosiasi diberikan batasan makna oleh Roger Fisher dan Wiliam L. Ury yaitu:
10
“Negosiasi adalah komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat ke-dua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda. Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ke-tiga penengah yang tidak berwenang mengarnbil keputusan”. Gary Goodpaster menyatakan negosiasi adalah sebagai berikut: 11 “Negosiasi merupakan proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan beraneka ragam, dapat lembut dan bernuansa sebagaimana manusia itu sendiri. Orang bernegosiasi dalam situasi yang tidak terhitung jumlahnya di mana mereka membutuhkan atau menginginkan sesuatu yang dapat diberikan atau ditahan oleh pihak atau orang lain, bila mereka menginginkan untuk memperoleh kerjasama, bantuan atau persetujuan orang lain, atau ingin menyelesaikan atau mengurangi persengketaan atau perselisihan”. Rumusan yang telah diuraikan di atas, dipahami bahwa negosiasi merupakan
penyelesaian sengketa secara perundingan langsung. Para pihak yang bersengketa berusaha mencari dan menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang disepakati bersama. Peter Behren menyatakan negosiasi adalah cara yang paling dasar dan tua yang digunakan oleh umat manusia. Penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara yang penting, karena banyak sengketa diselesaikan setiap hari oleh negosiasi tanpa adanya publisitas dan menarik perhatian publik.12
9
Garner, Bryan A., (ed), Black’s Law Dictionary, Op.cit., hlm. 1136.
Roger Fisher (et.al), Op.cit., Gary Goodpaster, Negosiasi dan Mediasi Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi, Elips Project, Jakarta, hlm.5. 10 11
12
Peter Behren, Alternative Methods of Dispute Settlement in International Economic Relation, hlm 13., FV. Garcia Amador, the Changing law of International Claims, USA: Oceana Publications, Inc,. 1984, hlm. 518, dalam Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional..,Idem., hlm. 297-298.
7
Do Not Cop
Alasan lainnya melalui negosiasi, para pihak dapat mengawasi prosedur
penyelesaian sengketanya dan setiap penyelesaiannya berdasarkan kesepakatan atau konsensus para pihak.13 Senada dengan itu Kohona mengatakan bahwa negosiasi adalah "an efficacious means of settling disputes relating to an agreement, because they enable parties to arrive at conclusions having regard to the wishes of all the disputants’’.14 Dengan demikian negosiasi sarana efektif dalam menyelesaikan sengketa karena kesimpulan akhir yang diambil berdasarkan kesepakatan dengan memperhatikan keinginan semua pihak yang bersengketa.
c. Mediasi 1). Definisi Mediasi Mediasi adalah upaya para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketa
melalui perundingan dengan bantuan pihak lain yang netral, disebut mediator. Mediator berfungsi membantu para pihak mencapai kesepakatan. Dalam hal ini mediator hanya dapat menyampaikan saran-saran substantif tentang pokok sengketa. Ini tidak mempunyai kewenangan memutus atau memaksa suatu penyelesaian. Keputusan tentang berbagai masalah selama perundingan, sepenuhnya berada pada pihak yang diambil berdasarkan kesepakatan. Black’s Law yaitu mendefinisikan mediasi (mediation) adalah, “a method of nonbinding dispute resolution involving a neutral third party who tries to help disputing parties reach a muatually agreeable solution; Concialition, mediasi also termed case evaluation; facilitated negotiation”. 13
Peter Behrens, Op.cit., hlm. 14. dalam Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional..Idem., hlm. 299. 14 Palitha TB. Kohona, Idem., hlm. 161 dalam Huala Adolf, Loc.cit. 8
Do Not Cop
Terjemahan bebas dari definisi mediasi adalah, metode penyelesaian sengketa
yang tidak mengikat melibatkan pihak ke-tiga yang netral mencoba membantu pihak yang berselisih mencapai solusi yang disetujui bersama; Konsiliasi, mediasi juga disebut evaluasi kasus; negosiasi difasilitasi. Lebih lanjut Black”s Law menyebutkan mengenai perbedaan antara mediasi,
konsiliasi dan arbitrase sebagai berikut:
15
“The distinction between mediation and conciliation is widely debated among those interested in ADR, arbitration, and international diplomacy. Some suggest that conciliation is “a nonbinding arbitration” where as mediation is merely “assisted negotiation”. Others put it this way: conciliation involves a third party’s trying to bring together whereas mediation goes future by allowing the third party to suggest terms on which the dispute might be resolved. Still other reject these attempts at differentiation and content that there is no consensus about what the two words mean- that they are generally interchangeable. Though a distinction would be convenient, those who argue that usage indicates a broad synonymy are most accurate”. Black’s Law Dictionary menjelaskan perbedaan antara konsiliasi, mediasi
dengan arbitrase adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini: a) Pada konsiliasi/mediasi mengandung arti adanya pihak ke-tiga yang tidak memihak atau penasehat ahli yang membantu menyelesaikan sengketa para pihak baik sebagai konsiliator maupun seorang mediator. Arbitrase penyelesaian sengketa berdasarkan adanya perjanjian arbitrase para pihak, dan arbitrator dipilih oleh para pihak sendiri. b) Putusan arbitrase adalah final dan mengikat, sedangkan pada konsiliasi mediasi berdasarkan iktikad baik pihak-pihak yang bersengketa. c) Bentuk putusan arbitrase adalah "putusan" yang mempunyai kekuatan eksekutorial untuk dilaksanakan, tidak demikian dengan penyelesaian 15
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Op.cit., hlm. 1070-1071.
9
Do Not Cop
sengketa melalui konsiliasi/mediasi, tergantung kehendak/iktikad baik pihakpihak untuk melaksanakan atau tidak. Acara penyelesaian sengkela melalui arbitrase lebih formal, sesuai dengan
ketentuan acara yang telah ditentukan, sedangkan pada konsiliasi, mediasi, tidak formal dapat digunakan cara apa saja. 2) Penerapan Mediasi ke dalam Jalur Litigasi Mediasi bukanlah bagian dari bentuk penyelesaian melalui litigasi, namun di
Indonesia berdasarkan PERMA Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan PERMA Tahun 2008, mediasi merupakan bagian terintegrasi penyelesaian sengketa di pengadilan. Negara-negara maju antara lain Amerika, Jepang, Australia, Singapura memiliki lembaga Mediasi baik yang berada di luar maupun di dalam pengadilan.16 Di Indonesia pada dasarnya penggunaan konsep mediasi oleh lembaga-lembaga adat telah lama dipraktikkan untuk menyelesaikan sengketa masyarakatnya. Mediasi terintegrasi dengan proses penyelesaian sengketa di pengadilan berawal dari Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Mangkamah Agung Republik Indonesia di Yogyakarta tanggal 24-27 September 2001. Keputusan Rakernas tersebut antara lain,
penekanan
kepada
Pengadilan
Tingkat
Pertama
menerapkan
lembaga
perdamaian (lembaga dading) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 130 Herziene Indonesiche Regelement-HIR/154 Reglement Buiten Gewesten-RBg. Hasil Rakernas tersebut merupakan penjabaran lebih lanjut dari Rekomendasi Sidang Tahunan MPR
16
Mahkamah Agung RI — Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil - Naskah Akademis Mediasi, Op.cit., hlm. 46. 10
Do Not Cop
Tahun 2000, yang mengharapkan agar MA Republik Indonesia segera dapat mengatasi tunggakan perkara yang terus membengkak.17 Hasil Rakernas Yogyakarta ditindaklanjuti oleh Ketua MA Republik Indonesia
mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor: 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Pasal 130 HIR/154 RBg.). Tujuan penerbitan SE tersebut untuk mencapai pembatasan kasasi secara substantif dan prosedural, dengan memberi petunjuk kepada semua hakim (majelis) yang menyidangkan perkara perdata agar dengan sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian dengan menerapkan ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg, tidak sekadar formalitas belaka menganjurkan perdamaian dengan menyerahkannya kepada para pihak. Proses perdamaian selanjutnya dilakukan oleh hakim yang ditunjuk untuk itu, dan bertindak sebagai fasilitator atau mediator dengan tugas membantu para pihak baik waktu, tempat dan mengumpulkan data serta argumentasi para pihak dalam rangka menuju ke arah perdamaian yang diputuskan sendiri oleh para pihak. Rentang waktu untuk proses ini adalah selama 3 (tiga) bulan. Mahkamah Agung Republik Indonesia berdasarkan PERMA tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Tahun 2003 menetapkan langkah-langkah yang harus ditempuh pada periode perdamaian yang dilakukan oleh mediator, baik mediator dari kalangan hakim di Pengadilan maupun mediator di luar Pengadilan, bagi upaya mediasi di luar Pengadilan. PERMA Tahun 2003 mencabut Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Pasal 130 HIR/154RBg) dicabut dan tidak berlaku lagi. 17
I Made Widnyana, Op.cit., hlm. 46-48.
11
Do Not Cop
Selanjutnya, pengaturan mediasi dalam rangka proses pemeriksaan perkara perdata di Pengadilan Negeri menjadi lebih sistematis dan sempurna. Di samping itu, pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif untuk mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di pengadilan, karena proses mediasi jauh lebih cepat dan berbiaya murah, serta memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa memperoleh keadilan atau penyelesaian sengketa yang lebih memuaskannya. Pelaksanaan prosedur mediasi PERMA Tahun 2003 ternyata setelah dilakukan
evaluasi belum berjalan sebagaimana yang diharapkan sehingga tanggal 31 Juli 2008 Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan PERMA tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Tahun 2008 yang mencabut PERMA No. 2 Tahun 2003. Pelembagaan proses mediasi ke dalam sistem peradilan seharusnya mem-
perkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa, di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif). 3) Perbedaan Penyelesaian Sengketa Arbitrase dengan Mediasi Arbiter (hakim/orangnya) pada penyelesaian sengketa arbitrase, secara nyata diberikan wewenang oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa. Artinya: a) Arbiter memiliki kewenangan mutlak menyelesaikan sengketa menurut pendapat dan pertimbangannya yang dianggap tepat dan adil tanpa campur tangan para pihak; b) Sifat putusan final and binding. Ada pihak yang kalah dan menang; c) Arbiter dalam kerangka ADR maka keputusannya bersifat the first and the last resort dalam menyelesaikan sengketa; 12
Do Not Cop
d) Dengan alasan tersebut maka jika salah satu pihak tidak memenuhi putusan yang telah dijatuhkan lembaga arbitrase maka dapat dilaksanakan dengan paksa melalui eksekusi pengadilan. 4) Tugas Mediator Mediator dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi, diberikan kewenangan
dan peran yang sangat terbatas, artinya: a) Hakikatnya hanya bersifat menolong mencari jalan keluar; b) Tidak memiliki kewenangan menentukan penyelesaian sengketa; c) Hasil
penyelesaian
dalam
bentuk
kompromi,
sepenuhnya
menuntut
kesepakatan para pihak; d) Sifat putusan tidak final and binding. Artinya putusan mediasi tidak dapat dipaksakan pemenuhannya bahkan oleh pengadilan sekalipun. Semuanya tergantung iktikad baik pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sendiri; e) Dalam bentuk yang demikian maka metode dengan menggunakan pola mediasi hanya berkedudukan sebagai langkah awal mencari penyelesaian sengketa (the first resort). Dengan ketentuan sengketa dianggap berakhir jika hasil kompromi yang dicapai ditaati secara sukarela oleh para pihak; f)
Jika tidak tercapai kata sepakat secara sukarela maka sengketa dianggap tidak selesai. Menyikapi hal ini maka para pihak selanjutnya dapat memproses ke jalur litigasi;
g) Dengan demikian pengadilan berkedudukan sebagai tempat terakhir penyelesaian sengketa (the last resort). d. Konsiliasi 13
Do Not Cop
Konsiliasi (conciliation) dalam Black’s Law Dictionary adalah sebagai berikut:18 “A settlement of a dispute in agreeable manner; a process in which a neutral person meets the parties to a dispute and explores how the dispute might be resolved; especially, a relatively unstructured method of dispute resolution in which a third party facilitates communication between parties in an attempt to help them settle their differences.” Terjemahan bebas dari konsiliasi adalah suatu penyelesaian sengketa dengan
cara disepakati, suatu proses seseorang netral bertemu dengan pihak yang bersengketa dan membahas bagaimana perselisihan dapat diselesaikan, terutama, metode yang relatif tidak terstruktur penyelesaian sengketa di mana pihak ketiga memfasilitasi komunikasi antara pihak-pihak dalam upaya untuk membantu mereka menyelesaikan perbedaan mereka. Uraian tersebut berarti, konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak
yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa. Konsiliator tidak berhak untuk membuat keputusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan di antara mereka. Dlama praktiknya konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi, bahkan sulit membedakan di antara keduanya. Mekanisme mediasi dan konsiliasi seringkali digunakan dengan bergantian. Perbedaan di antara mediasi dan konsiliasi dapat merujuk Peter Behrens yaitu konsiliasi lebih formal dari pada mediasi.19
18 19
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Op.cit., hlm. 329. Peter Behrens, hlm. 24 dalam Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional.., Op.cit., hlm. 310.
14
Do Not Cop
Konsiliasi dapat juga diselesaikan oleh seorang individu atau suatu badan yang
disebut dengan badan atau komisi konsiliasi. Komisi konsiliasi dapat sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan-persyaratan penyelesaian yang diterima oleh pihak, namun putusannya tidak mengikat para pihak. Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari 2 (dua) tahap, yaitu
tahap tertulis dan tahap lisan.
Tahap pertama, sengketa diuraikan secara tertulis
diserahkan kepada badan konsiliasi. Badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran, tetapi dapat juga diwakili oleh kuasanya. Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau badan konsiliasi
menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulanusulan penyelesaian sengketanya. Usulan ini sifatnya tidak mengikat. Oleh karena itu, diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak.
20
Tujuan pertemuan konsiliasi membawa pihak yang berkepentingan bersama sama mencari jalan keluar menyelesaikan perselisihan. Konsiliasi mencari jalan tengah yang dapat diterima ke-dua belah pihak menyelesaikan permasalahan, agar ke-dua belah pihak dapat melewati perselisihan tersebut. Proses konsiliasi memperbolehkan ke-dua belah pihak yang berselisih membicarakan masalah di antara para pihak, sehingga memungkinkan bagi salah satu pihak mendapatkan pengertian yang lebih baik. Hal ini dapat membantu menghilangkan salah pengertian karena prasangka atau informasi yang tidak benar untuk mencapai perubahan sikap yang nyata.
21
20
Huala Adolf, Idem., hlm. 311. Mushawwir Arsyad, “Alternatif Penyelesaian Sengketa Berdasarkan UU Arbitrase dan APS Tahun 1999,” 2013.
[diakses pada 02/04/2013]. 21
15
Do Not Cop
Semua
informasi
yang
didapatkan
dalam
proses
konsiliasi
dijaga
kerahasiaannya dan tidak akan dibuat sebagai bagian dari proses peradilan. Pertemuan konsiliasi adalah pertemuan suka rela. Jika pihak yang bersangkutan mencapai perdamaian, maka perjanjian perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak merupakan kontrak mengikat secara hukum. Perdamaian dalam pertemuan konsiliasi dapat berupa permintaan maaf, perubahan kebijaksanaan, kebiasaan, memeriksa kembali prosedur kerja, memperkerjakan kembali, ganti rugi uang. e. Penilaian Ahli Penilaian Ahli adalah suatu upaya mempertemukan pihak yang berselisih
dengan cara menilai pokok sengketa yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang ahli di bidang terkait dengan pokok sengketa untuk mencapai persetujuan. Penilaian ahli berupa keterangan tertulis yang merupakan hasil telaahan ilmiah berdasarkan keahlian yang dimiliki untuk membuat terang pokok sengketa yang sedang dalam proses. Penilaian ahli ini dapat diperoleh dari seseorang atau Tim ahli yang dipilih secara ad hock. Sistem Litigasi di setiap negara dipandang sebagai jalan terbaik menyelesaikan sengketa sehingga ketika muncul sengketa, dalam pikiran mereka penyelesaiannya harus melalui pengadilan, padahal dalam proses penyelesaian pengadilan terdapat banyak tahap dan aturan yang ditempuh. Kondisi lainnya penyelesaiannya berlarut-larut dan berlanjut ke tingkat upaya hukum yang lebih tinggi. Hal ini tentu membutuhkan waktu lama dan biaya yang besar bagi setiap pencari keadilan.
16
Do Not Cop
Pelaksanaan APS di Indonesia bukan untuk mengacaukan pelaksanaan hukum
acara sebagai hukum formil dari hukum publik dan hukum privat yang berlaku.22 Hal tersebut memberikan alternatif bagi masyarakat untuk mencari keadilan, agar setiap sengketa tidak selalu diproses di pengadilan dengan waktu yang lama dan biaya mahal serta untuk tetap membantu pencapaian tujuan hukum keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
22
Lintong Olooan Siahaan, Jalannya Peradilan Perancis Lebih Cepat dari Peradilan Kita, Bogor: Ghalia Indonesia, hlm. 114.
17