PENETRASI FLUKS MAGNETIK AKIBAT PENAMBAHAN LAPISAN CuO2 PADA BAHAN SUPERKONDUKTOR BERBASIS KRISTAL HgBa2CaCu2O6+δ Timbangan Sembiring Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Abstrak: Metode muon spin relaxation telah digunakan untuk mempelajari kedalaman penetrasi fluks pada bahan superkonduktor HgBa2CaCu2O6+δ suhu kritis tinggi dalam keadaan bercampur untuk sampel kristal tunggal yang kelebihan (overdoped) dan kekurangan (underdoped) atom oksigen. Dalam suatu medan magnet luar yang tegak lurus sebesar 0,308 tesla, kedalaman penetrasi medan magnetik λ diperoleh sebesar 120 ±1.0 nm pada suhu 6,0 K yang bertambah seiring dengan pertambahan suhu di bawah suhu kritis Tc (83,3 K). Abstract: The muon spin relaxation technique has been used to study the flux penetration depth in the highcritical superconductor HgBa2CaCu2O6+δ in the mixed state for underdoped and overdoped single crystal samples. In an external transverse magnetic field of 0,308 Tesla, the magnetic field penetration depth λ was found to be 120.1 ±1.0 nm at temperature of 6.0 K which increased with increasing temperature below Tc (83.3 K). Key words: Superconductors, doping, magnetization, μ-spin rotation 1. LATAR BELAKANG Superkonduktor adalah suatu bahan (material) yang pada suhu tertentu yang sangat rendah (critical temperature) nilai hambatan listriknya (electrical resistivity) berubah secara drastis menjadi sangat kecil bahkan hampir sama dengan nol. Fenomena ini pertama sekali ditemukan oleh seorang ilmuan Belanda yaitu Kamerlingh Onnes pada tahun 1991. Pada suhu kritis ini, material superkonduktor mengalami transisi fase dari hambatan listrik normal menjadi keadaan superkonduktif. Dengan demikian, sesuai dengan Hukum Ohm maka arus yang mengalir pada suatu material superkonduktor sangat besar dan bahkan dapat mencapai tak berhingga (infinity). Material pertama yang menunjukkan sifat superkonduksi ini ditemukan pada bahan merkuri dengan suhu kritis, Tc = 4,2 K. Berkat penelitian yang gigih oleh para ilmuan dari berbagai negara maju, dewasa ini sudah ada beberapa senyawa material superkonduktor yang mempunyai Tc yang lebih tinggi hingga 135 K yang disebut bahan superkonduktor suhu tinggi (hightemperature superconductors). Penelitian dalam bidang superkonduksi ini terus dilakukan hingga saat ini yaitu untuk mendapatkan bahan dengan Tc mencapai suhu kamar, sifat magnetisasi yang baik dan senyawa pembangun yang mudah diperoleh, sehingga aplikasi bahan superkonduktor dapat dilakukan dengan kondisi normal. Salah satu kegunaan penting bahan superkonduktor adalah bahwa bahan ini dapat menghasilkan medan magnet yang sangat besar di samping dapat mengalirkan arus listrik yang cukup besar. Sebagai contoh adalah pada penggunaan magnetic resonance image (MRI) dalam teknologi kesehatan. Instrumen ini merupakan pendeteksi tak
58
merusak yang dapat mendiagnosa berbagai penyakit serta mendeteksi secara dini penyakit tumor dan lain sebagainya. Aplikasi lainnya adalah terdapat pada superconducting quantum interference device (SQUID) yaitu suatu alat yang dapat mengukur medan magnet yang sangat kecil sekalipun berdasarkan prinsip efek Josepshon, dan berbagai macam instrumen lainnya. Oleh karena pada suhu rendah bahan superkonduktor mempunyai tahanan listrik yang kecil, maka akan dapat menghasilkan arus listrik yang sangat besar dengan demikian medan magnet dapat ditimbulkan dalam jumlah yang besar. Semua peralatan yang disebut di atas membutuhkan medan magnet yang besar, tersedia setiap saat dan untuk itu diperlukan material superkonduktor. Tidak kalah pentingnya adalah pemakaian bahan superkonduktor suhu rendah (lowtemperature superconductor) berbasis lapisan keramik tembaga oksida (CuO2) yang beroperasi pada kisaran suhu 20-30K. Bahan superkonduktor tipe ini dapat menghasilkan medan magnet yang sangat besar pada suhu rendah. Struktur lapisan tembaga oksida (CuO2) ini memberikan sifat-sifat magnetik dan elektronik anisotropic yang sangat unik. Berdasarkan percobaan-percobaan sebelumnya diketahui bahwa hanya blok lapisan CuO2 secara instrinsik mempunyai sifat superkonduktif, sementara pemisahan blok CuO2 pada jarak tertentu hanya berperan sebagai insulator, lapisan penghalang maupun penyimpan muatan (charge reservoir). Struktur kristal superkonduktor HgBa2CaCu2O6+δ atau disingkat HBCCO dapat dilihat seperti Gambar 1.
Penetrasi Fluks Magnetik Akibat Penambahan Lapisan CuO2 pada Bahan Superkonduktor Berbasis Kristal HgBa2CaCu2O6+δ
adalah bahwa dengan mengetahui sifat-sifat fisis tersebut di atas maka dapat dijustifikasi apakah campuran bahan superkonduktor dengan campuran tersebut di atas layak dipertimbangkan sebagai material pembangun utama dari industri teknologi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Selanjutnya, manfaat lain yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai pemicu penelitian lanjutan dalam mencari material baru berbasis lapisan CuO2 dengan suhu kritis, Tc yang mendekati suhu kamar, sehingga memudahkan dalam aplikasinya.
Gambar 1. Struktur atom kristal supe-rkonduktor berbasis merkuri HgBa2CaCu2 O6+δ. Proses doping atom oksigen pada lapisan CuO2 merupakan kajian yang menarik karena memberikan sifat magnetik yang menjanjikan. Pada fase ini sangat penting diketahui yaitu perubahan dimensi dari vorteks ketika medan magnet terapan diperbesar yang mengakibatkan perubahan pada perubahan fluks struktur dari lapisan CuO2. Percobaan dengan metode muon spin relaxation (μSR) dan hamburan neutron memberikan informasi langsung tentang perubahan dimensi keadaan vorteks secara mikroskopik akibat perubahan medan magnetik eksternal. Pada percobaan ini bahan superkonduktor yang akan dipelajari perubahan sifat megnetiknya adalah HgBa2CaCu2O6+δ di mana jumlah atom oksigen dibuat bervariasi yang membangun ikatan lapisan CuO2. 2. TUJUAN DAN MANFAAT Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih jelas tentang perubahan sifat magnetik (magnetic penetration depth) bahan superkonduktor akibat penambahan atom oksigen pada lapisan CuO2 (proses doping). Perubahan sifat magnetik ini berkaitan langsung dengan perubahan dimensi vorteks kristal akibat medan magnet eksternal, besar medan magnet crossover dan rasio anisotropik pada luar bidang (out-of plane) dan dalam bidang (in-plane) dari kedalaman penetrasi London. Sedangkan manfaat dari penelitian ini
3. TINJAUAN PUSTAKA Superkonduktivitas terjadi karena interaksi antara elektron-elektron yang ditransmisikan (diteruskan) oleh fonon di dalam kristal superkonduktor. Menurut teori yang diusulkan oleh Barden, Copper, dan Schrieffer (BCS) bahwa elektron-elektron bergerak secara berpasangan dan berinteraksi satu sama lain melalui vibrasi kisi, mempunyai spin atas (spin up) dan spin bawah (spin down). Elektron-elektron yang dimaksud sangat mobil (dapat bergerak secara aktif) terutama antara lapisan yang satu dengan lapisan lain dari CuO2 sehingga vorteks kisi menjadi terkungkung. Jika lapisan-lapisan CuO2 tidak terjajarkan (alligned) dengan baik maka arah penetrasi medan magnet cenderung condong (tidak lurus). Jarak lapisan CuO2 satu dengan lainnya (a) berhubungan dengan kuantum fluks (Φ) dan medan magnet crossover (B*) yang secara matematis ditulis sebagai berikut:
B* =
Φ0 (γ s) 2
di mana γ adalah perbandingan antara anisotropi bidang luar (out-of plane) dan bidang dalam (inplane), s adalah jarak antara lapisan CuO2. Dari percobaan magnetisasi pada kristal tunggal Bi-2212 dinyatakan bahwa puncak kedua dari distribusi medan magnet disebabkan oleh medan crossover dimensi pada vorteks kisi kristal. Hal ini tidak terlepas dari ketidaksempurnaan kristal (imperfection). Dari persamaan di atas diketahui bahwa medan magnet crossover B* sangat bergantung kepada anisotropi γ dari sistem tersebut. Pada umumnya anisotropi pada bahan kuprat superkonduktor suhu hingga berubah secara sistematis dengan penambahan (doping) atom oksigen pada bidang CuO2. Hasil yang sama telah dipublikasi yaitu bahwa sifat anisotropik berkurang dengan bertambahnya doping atom oksigen, menurut percobaan Wu, et al., pada bahan superkonduktor suhu tinggi berbasis lantanium stronsium kuprat oksid (La2SrxCuO4) dan bismuth stronsium kalsium kuprat oksid (Bi2Sr2CaCu2O8+δ ) atau Bi-2212.
59
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005
Dalam kerangka tiori Ginzburg-Landau, penetrasi medan magnetik, λ pada suhu T=0 untuk superkonduktor yang isotropis diberikan oleh persamaan:
λ (0) =
m* 2
μ 0 e ns
∝
m* (2) ns
di mana m*=massa efektif, ns=kerapatan carrier, e=muatan elektron, μ0= permeabilitas ruang hampa. Untuk bahan superkonduktor konvensional s-wave, nilai λ umumnya dinyatakan oleh rumus empiris atau model fluida dua dengan p=4 sebagai berikut:
λ (T ) =
λ ( 0)
(3)
1/ 2 ⎡1 − T p ⎤ Tc ⎥⎦ ⎢⎣
( )
Persamaan ini berlaku untuk bahan superkonduktor tipe BCS. Persamaan (2) di atas dapat diperoleh dari bentuk Gaussian spektrum asimetri, G(t) yang dinyatakan dengan persamaan: G (t ) = exp . − σ 2 t 2 (4) di mana σ adalah laju relaksasi partikel muon yang sampai pada sampel, t adalah waktu relaksasi. Dengan demikian diperoleh hubungan antara kedalaman penetrasi medan magnetik, λ dengan laju relaksasi, σ sebagai berikut: kons tan 236,4 (nm)( μs ) −1 / 2 λ= = (5)
(
σ
)
kristal, yang mana medan magnet eksternal diterapkan sepanjang sumbu-c dan tegak lurus terhadap polarisasi awal dari spin muon. Partikel muon berhenti pada lokasi interstisial acak r dan spin partikel muon mulai mengitari medan lokal B(r) dengan frekuensi Larmor sebesar:
ω = γ μ B (r )
(6)
di mana γμ = 2π 135,5 MHz/T. Evolusi waktu dari polarisasi spin muon P(t) diukur dengan memonitor positron yang dipancarkan sepanjang arah spin ketika partikel muon meluruh. Distribusi probabilitas dari medan magnetik lokal n(B) dipisahkan dari fungsi polarisasi eksperimen P(t) dengan teknik transformasi fourier. 5. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 2. menunjukkan amplitudo riil spektrum fourier (distribusi medan magnet) untuk sampel merkuri underdoped yang diambil pada suhu 10K dan medan magnet terapan (a) 0,2 tesla dan (b) 20 mTesla. Tanda panah menunjukkan puncak frekuensi medan terapan. Dengan cara yang sama diperoleh hasil untuk sampel overdoping yang diambil pada suhu 13K dan medan magnet terapan (a) 9,6 mTesla dan (b) 5,5 mTesla.
σ
Nilai konstanta diperoleh dari perhitungan numerik antara medan magnet terapan, medan eksternal dan faktor demagnetisasi. 4. PROSEDUR EKSPERIMEN Bahan kristal tunggal superkonduktor HgBa2CaCu2O6+δ ditumbuhkan dengan metode floating zone di mana bubuk Bi2O3, SrCO3, CaCO3 dan CuO dilebur pada suhu 1050º C hingga diperoleh sampel yang homogen. Dengan demikian konsentrasi atom oksigen menjadi lebih bervariasi sehingga ikatan senyawa bidang CuO2 yang akan memberikan sifat-sifat magnetik dapat dipelajari secara lebih mendalam. Dua jenis kristal sampel dengan komposisi atom oksigen yang berbeda dipanaskan secara perlahan (proses annealing) pada suhu 765 °C dalam aliran gas oksigen berkadar 0,02 % dan gas nitrogen dan kemudian dicelupkan secara tiba-tiba (proses quenching) untuk memperoleh sampel kristal underdoping (kekurangan atom oksigen). Sementara itu, untuk memperoleh sampel kristal yang overdoping (kelebihan atom oksigen) dilakukan pendinginan secara bertahap dari suhu 550°C menjadi 350°C dan akhirnya pada suhu kamar di bawah tekanan 60 atm. Eksperimen dilakukan dengan metode relaksasi spin muon tegak lurus (transverse muon spin relaxation, μSR). Di sini muon positif dengan spin terpolarisasi “ditanam” (implanted) pada sampel
60
Gambar 2. Amplitudo riil spektrum Fourier untuk sampel merkuri underdoped yang diambil pada suhu 10 K dan medan magnet terapan (a) 0,2 Tesla dan (b) 20 mTesla. Tanda panah menunjukkan puncak frekuensi medan terapan. Dari kedua gambar tersebut terlihat bahwa bentuk spektrum pada medan magnet terapan tinggi lebih simetri dengan apa yang diperoleh pada medan terapan yang rendah. Pada kondisi ini puncak distribusi medan magnet hampir simetris. Momen
Penetrasi Fluks Magnetik Akibat Penambahan Lapisan CuO2 pada Bahan Superkonduktor Berbasis Kristal HgBa2CaCu2O6+δ
kedua secara substansi menjadi berkurang, serta posisi puncak spektrum berimpit dengan posisi medan terapan. Hal tersebut terlihat pada pengecilan lebar puncak spektrum dan pergeseran nilai distribusi medan terhadap medan terapan. Hal ini dapat dijelaskan dengan model statis hanya ketika vorteks dalam keadaan tidak teratur (disordered state) sama sekali dalam arah longitudinal melewati lapisan blok dan juga ketika lapisan tersebut masih teratur (ordered state) dalam setiap blok dari lapisan CuO2. Ketidakteraturan (disorder) dalam bidang CuO2 selalu mempunyai dampak berlawanan. Hal ini menyebabkan pertambahan lebar puncak distribusi medan magnet. Perubahan bentuk spektrum seperti dijelaskan di atas menandakan adanya medan crossover dari kisi garis fluks 3 dimensi (3D) ke struktur vorteks 2 dimensi (2D) dari vorteks pancake, di mana koheren fase yang melewati lapisan CuO2 yang berdekatan dilenyapkan sepanjang kedalaman penetrasi London (London penetration depth, λab) .
Gambar 4. Laju relaksasi sebagai fungsi suhu untuk sampel superkonduktor berbasis merkuri. Garis tebal menunjukkan model fluida dua (a) dan model Bose bermuatan (b). Distribusi medan yang disebabkan oleh struktur fluks pada kedua jenis sampel underdoping maupun overdoping menunjukkan karakteristik dari struktur fluks 3 dimensi, yaitu: a) Puncak tambahan (cut off peak) pada medan rendah disebabkan minimnya distribusi medan pada pusat ketiga vorteks terdekat. b) Puncak tertinggi berhubungan erat dengan titik pemberat (saddle point) dalam distribusi medan magnet.
Gambar 3. Amplitudo riil spektrum Fourier untuk sampel merkuri overdoped yang diambil pada suhu 13 K dan medan magnet terapan (a) 9,6 mTesla dan (b) 5,5 mTesla. Tanda panah menunjukkan puncak frekuensi medan terapan Dalam eksperimen ini juga terlihat bahwa nilai distribusi medan pada suhu 5K tidak terpengaruh dalam selang beberapa jam ketika medan eksternal dikurangi menjadi 10 miliTesla. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kedua fluks struktur (3D dan kuasi 2D) adalah bersifat statis dan indikasi adanya transisi pada B* juga statis dan bukan dinamis.
61
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005
c)
Ekor panjang pada medan yang melewati medan magnet terapan berasal dari partikel muon yang diam dalam daerah inti vorteks yang diteruskan hingga melebihi λab.
Suhu (K) 31,2 44,1 60,1 74.2
Laju relaksasi, σ (μs)-1 3,412 2,783 2,104 0,943
Penetrasi, λ(nm) 128,04 141,52 163,28 243,51
Kenaikan σ di bawah Tc adalah akibat rendahnya kedalaman penetrasi magnetik λ dengan penurunan suhu dalam keadaan superkonduktif. Nilai kedalaman penetrasi magnetik λ sebagai fungsi suhu ditunjukkan pada Tabel 1 dan Gambar 5. Garis tebal menunjukkan power law (hukum kepangkatan) dengan p=4, yang dikenal dengan model fluida dua, persamaan (3). Namun demikian, hanya titik data yang mendekati Tc yang memenuhi kurva tersebut. Titik data ternyata lebih mengikuti kurva tebal dengan nilai p=2 yaitu model yang diprediksi model Bose bermuatan di mana titik-titik data tidak jauh dari garis tebal. Suhu kritis Tc diperkirakan berdasarkan kurva model Bose ini sebesar 85,1K yang sesuai dengan suhu kritis (Tc) sampel yang dipelajari.
Gambar 5. Kedalaman penetrasi medan magnetik sebagai fungsi suhu untuk sampel superkonduktor berbasis merkuridiukur pada medan magnet terapan sebesar 0,308 Tesla (FC). Garis tebal menunjukkan formula empiris dari (a) model fluida dua dan (b) model Bose bermuatan Puncak terendah pada medan yang lebih tinggi merupakan sinyal background oleh karena partikel muon tidak berhenti di dalam sampel kristal, yang selanjutnya mengitari suatu frekuensi yang ditentukan oleh medan eksternal. Ketidaksempurnaan dalam struktur kisi dan resolusi instrumen disebabkan oleh konvolusi Gauss dengan lebar puncak sebesar 0,11 Tesla. Gambar 4 menunjukkan laju relaksasi σ sebagai fungsi suhu untuk sampel superkonduktor berbasis merkuri. Garis tebal menunjukkan model fluida dua (a) dan model Bose bermuatan (b). Laju relaksasi partikel muon terlihat naik di bawah suhu Tc dengan berkurangya suhu sampel dan menunjukkan saturasi (kejenuhan) pada suhu rendah, serta tidak berpengaruh terhadap suhu di atas suhu Tc.
Tabel. 1. Laju relaksasi, σ dan penetrasi medan magnet, λ sebagai fungsi suhu di bawah medan magnet terapan sebesar 0,308 Tesla. Suhu (K) 6,0 13,3 20,1
62
Laju relaksasi, σ (μs)-1 3,872 3,881 3,776
Penetrasi, λ(nm) 120,34 120,17 121,72
Gambar 6. Frekuensi sebagai fungsi suhu untuk sampel bahan superkonduktor berbasis merkuri. Frekuensi background (■) dan superkonduktor (●).Suhu kritis Tc =85,1 K ditandai oleh garis vertikal putus-putus. Gambar 6. menunjukkan adanya sifat atau gejala superkonduktif pada bahan superkonduktor merkuri. Dari gambar terlihat bahwa frekuensinya superkonduktor lebih rendah dari frekuensi background partikel muon dibawah suhu kritis, Tc dan perlahan naik seiring kenaikan suhu sampel. Pada suhu Tc kedua frekuensi nyaris berimpit yang berarti bahwa sifat superkonduktif bahan menjadi hilang. 6. KESIMPULAN Dari hasil pengamatan yang diuraikan di atas pada bahan kristal superkonduktor berbasis HgBa2CaCu2O6+δ, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan: a) Berdasarkan hasil eksperimen μSR pada kedua jenis sampel baik underdoping dan overdoping maka distribusi medan lokal pada keadaan bercampur (mixed state) berubah dengan kenaikan medan magnet terapan. b) Penambahan atom oksigen dalam bentuk lapisan CuO2 sebagai doping pada sistem kristal HgBa2CaCu2O6+δ mengakibatkan adanya perubahan magnetik pada kedua jenis sampel yang ditandai dengan perubahan lebar puncak amplitude riil pada kedua jenis sampel. c) Nilai laju relaksasi σ dan kedalaman penetrasi magnetik λ juga berubah terhadap perubahan lapisan CuO2 dan suhu sampel.
Penetrasi Fluks Magnetik Akibat Penambahan Lapisan CuO2 pada Bahan Superkonduktor Berbasis Kristal HgBa2CaCu2O6+δ
d) Nilai distribusi medan magnet yang begitu tinggi pada kedua jenis kristal terutama pada medan terapan yang rendah akan memberikan sesuatu yang bermanfaat pada penerapan superkonduktor pada beberapa produk teknologi canggih. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis sangat berterima kasih kepada Prof. Carey E. Stronach, Pimpinan Proyek Material Superkonduktor, Virginia State University, Petersburg, USA, Dr. M. Kishio, University of Tokyo, yang telah mempersiapkan program fitting data selama penelitian. Dr. M. Takahashi atas bantuan pemakaian alat VSM di Laboratorium Material Magnetik, Institute of Applied Physics, University of Tsukuba, Japan.
DAFTAR PUSTAKA
R. Cubitt, et al., Nature (London) 365, (1993) 407. C.
Bernhard, et al., Phys. Rev. B Communication 52, (1995), R2354.
Rapid
K. Kishio, et al., Proceeding of the 7th International Workshop on Critical Currents in Superconductors, edited by H. W. Weber (World Scientific, Singapore, 1994), p. 339. M. K. Wu, et al., Phys. Rev. Lett. 58, (1987), 908. E. Gregory, in Encyclopedia of Material Science and Engineering (edited by R. W. Cahn), Vol. 2, pp. 1080-1086 Pergamon, Elmsford, New York: 1990). G. R. Kumar and P. Chaddah, Phys. Rev. B 39, (1989) 4706. T. P. Sheahen, Introduction to High Temperature Superconductivity, Plennum Press, New York, 1994. G. Yang et al., Proceeding of the 7th International Workshop on Critical Currents in Superconductors, edited by H. W. Weber (World Scientific, Singapore, 1994), p. 339. T. Kimura, et al., Physica C 192, (1992) 247 N. Motohira et al., J. Ceram. Soc. Jpn. 97, (1989) 994. H. Mukai, Third ISS Coference (Sendai, Japan, November 1990) A. M. Wolsky, et al., Advanceds in Applied Superconductivity: Goals and Impacts: A prelemenary Evaluation,” Argonne Report to DEO (September 25, 1997). V. M. Vinokur et al., Physica C 168, (1996) 39. Sembiring. T, Master Thesis, Virginia State University, Petersburg, USA, 1996.
63