SELF ACCEPTANCE IN ADOLESCENCE WHO HAVE PARENTS POLYGAMY Ridiafisha Anastri Undergraduate Program, Faculty of Psychology Gunadarma University http://www.gunadarma.ac.id Keywords: self-acceptance, polygamy and teenage ABSTRACT
Self-acceptance can grow well when someone is in the midst of a harmonious family. And what about self-acceptance adolescent with a polygamous family background, more especially when the condition that the father could not do justice to the wives and children especially when it is experienced by teenagers in which adolescence is a period of transition from children to adults where in this period is considered important in life. The purpose of this study is to get an overview of adolescent self-acceptance and the factors and how the process of self-acceptance in adolescents who have parents polygamy. The subject of this research is two teenagers. This study uses qualitative research approach with observation and interview methods. The results were that subjects had better selfacceptance that even though the subject could not accept their new family with the condition that polygamous father is a good self confidence, able to socialize. Able to think realistically and positively, although with the condition that polygamy father. Able to express feelings freely reject coercion, and can accept some aspects in his life. Self-acceptance that exist because of the affecting factors such as, a valuation and a good reception from the environment, able to enjoy life with activities, socializing, the care pattern with strong religious values. While the admissions process itself subject 1 and subject 2 covers the stages of the process of self-acceptance, rejection, bargaining, receive and gratitude.
Penerimaan Diri Pada Remaja Yang Memiliki Orang Tua Berpoligami
RIDIAFISHA ANASTRI Program Sarjana, Universitas Gunadarma
Abstrak Penerimaan diri bisa tumbuh dengan baik bila seseorang berada ditengahtengah keluarga yang harmonis. Lalu bagaimana dengan penerimaan diri remaja dengan latar belakang keluarga yang berpoligami, lebih khusus lagi bila dalam kondisi ayah yang tidak bisa berlaku adil dengan istri dan anak-anaknya apalagi bila itu dialami oleh anak remaja dimana masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke dewasa dimana pada periode ini dianggap penting dalam kehidupan. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran tentang penerimaan diri remaja dan faktor-faktornya serta bagaimana proses peenrimaan diri pada remaja yang memiliki orang tua berpoligami. Subjek penelitian ini adalah dua orang remaja. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode observasi dan wawancara. Hasil penelitian adalah bahwa subjek memiliki penerimaan diri yang baik meskipun subjek tidak bisa menerima keluarga baru mereka dengan kondisi ayah yang berpoligami yaitu adanya kepercayaan diri yang baik, mampu bersosialisasi. Mampu berpikir realistis dan positif meskipun dengan kondisi ayah yang poligami. Mampu mengekspresikan perasaan, leluasa menolak paksaan, dan bisa menerima beberapa aspek didalam hidupnya. Penerimaan diri itu ada karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti, adanya penilaian dan penerimaan yang baik dari lingkungan, mampu menikmati hidup dengan beraktifitas, bersosialisasi, adanya pola asuh dengan nilai keagamaan yang kuat. Sedangkan proses penerimaan diri subjek 1 dan subjek 2 meliputi tahapan proses penerimaan diri yaitu, penolakkan, tawarmenawar, menerima dan rasa syukur.
Kata kunci : penerimaan diri, poligami dan remaja
A. Latar Belakang Dewasa ini wacana mengenai poligami kembali menjadi issu sentral di setiap kondisi, waktu, dan tempat. Hingga saat ini poligami masih menjadi polemik di masyarakat, ada yang pro tapi banyak juga yang kontra. Poligami sendiri menurut Nurohmah (dalam Jurnal perempuan, 2003) adalah suatu sistem perkawinan dimana seorang laki-laki mengawini lebih dari seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan. Begitu juga dengan Mubarak (2007) mengatakan poligami sebagai perkawinan yang membolehkan seorang pria menikah beberapa wanita sebagai istrinya pada waktu yang bersamaan. Masalah terbesar dari poligami adalah masalah keadilan yang diberikan oleh pria terhadap istri dan anak-anaknya. Dalam poligami berlaku adil bukanlah suatu masalah yang mudah, adil disini, bukan hanya mencakup masalah material saja, akan tetapi mencakup pembagian waktu pria tersebut bersama istri dan anakanaknya, agar anak-anak tidak kehilangan figur ayahnya. Menurut Mulia (1999) poligami dapat menyebabkan perhatian seorang ayah terhadap anak-anaknya menjadi terbelah, dimana setelah menikah lagi, seorang suami biasanya akan memfokuskan perhatian dan kasih sayangnya pada istri baru, mengabaikan istri dan anak-anaknya. Hal ini dapat menyebabkan suasana di dalam keluarga tidak kondusif, dimana anak akan tumbuh menjadi individu dewasa yang memiliki kualitas kepribadian yang tidak baik. Johnson (1994) mengatakan bahwa biasanya yang menjadi korban dari ketidakadilan seorang ayah yang berpoligami adalah anak-anaknya. Mereka akan merasakan kurangnya kasih sayang serta kehilangan figur salah satu orang tuanya. Iklim dan suasana di dalam keluarga yang tidak kondusif, dan ketidakadilan seorang ayah yang berpoligami sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian di masa remaja. Remaja sendiri adalah periode yang lebih dari sebuah transisi, ini merupakan tahap perkembangan, sama seperti anakanak dan dewasa (Dusek, 1996). Periode ini dianggap sebagai masa-masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang, khususnya dalam pembentukan kepribadian seseorang (Riyanti, Prabowo & Puspita, 1996)). Pria yang berpoligami harus menyadari sikap-sikapnya agar bisa berlaku seadil mungkin,
sehingga perannya sebagai salah satu pilar terbentuknya keluarga dapat menciptakan iklim dan suasana rumah yang kondusif. Situasi, kondisi, dan iklim yang kondusif di dalam keluarga akan menciptakan lingkungan yang positif yang akan membuat seorang anak berkembang dan tumbuh menjadi individu dewasa yang memiliki kualitas kepribadian yang baik, sehat dan matang. Sebaliknya situasi dan kondisi keluarga yang tidak kondusif, akan berdampak negatif terhadap anak terutama remaja, mereka akan tumbuh dengan kepribadian yang tidak sehat dan matang. Kebanyakan dari anak-anak yang ayahnya berpoligami akan mencari pelarian lain, seperti narkoba, pergaulan bebas, dan sebagainya. Ini disebabkan karena mereka kurang mendapatkan perhatian dari orang tua, terutama ayahnya yang harus membagi waktu untuk istri lain, malah sama sekali ia tidak ada komunikasi lagi dengan anaknya (Mudhofar, dalam Mulia, 2004). Dampak-dampak dari poligami yang kurang kondusif tersebut akan menyebabkan beban psikologis kepada anak, mereka akan merasa bersalah, minder, tidak percaya diri, padahal perasaan bebas dari rasa bersalah, kepercayaan diri, dan sebagainya berawal dari rasa penerimaan yang tinggi. Oleh karena itu penerimaan diri sangat penting dimiliki oleh individu untuk menjadi individu yang sehat. Penerimaan diri adalah salah satu kepribadian yang sehat yang akan terpengaruh bila iklim dan suasana didalam keluarga tidak kondusif karena ketidakadilan seorang ayah yang berpoligami dalam menjalani perannya sebagai orang tua. Penerimaan diri sendiri menurut Allport (dalam Hjelle, dkk, 1992) adalah toleransi individu atas peristiwa-peristiwa yang membuatnya frustasi dan menyakitkan sejalan dengan menyadari kekuatan-kekuatan pribadinya. Allport mengkaitkan definisi ini dengan emotional security sebagai salah satu dari beberapa bagian positif dari kesehatan mental, dimana penerimaan diri merupakan bagian dari kepribadian yang matang. Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui lebih dalam tentang penerimaan diri pada remaja yang memiliki orang tua berpoligami.
B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang timbul, maka peneliti ingin meneliti : 1. Bagaimana penerimaan diri pada remaja yang memiliki orang tua yang berpoligami ? 2. Mengapa penerimaan diri yang demikian terjadi pada dirinya ? 3. Bagaimana proses penerimaan diri pada remaja yang memiliki orang tua berpoligami ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian dilakukan untuk mendapatkan pemahaman tentang penerimaan diri pada remaja yang memiliki orang tua yang berpoligami, mengetahui faktorfaktor yang menyebabkan penerimaan diri terjadi pada dirinya dan bagaimana proses penerimaan diri pada dirinya. D. Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan memiliki dua manfaat, yaitu : 1. Manfaat Teoritis Memberikan masukkan bagi perkembangan ilmu pengetahuan psikologi kepribadian dan psikologi keluarga, dan hasil penelitian diharapkan dapat mendorong peneliti-peneliti lain untuk meneliti lebih lanjut tentang penerimaan diri. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukkan bagi anak yang memiliki orang tua berpoligami, agar dapat menerima keadaan lebih realistis dan selalu mengembangkan sikap penerimaan diri, dan dapat menjadi masukkan bagi orang tua yang berpoligami agar mempersiapkan diri dan lebih memperhatikan anak-anaknya agar tidak ada kecemburuan, serta tidak merugikan keluarga dan anak-anak, dan orang tua diharapkan lebih mempertimbangkan keputusan mereka untuk berpoligami yang pada akhirnya
berdampak kepada penerimaan diri anak-anak mereka, karena mereka tidak bisa berlaku adil.
E. Landasan Teori Penerimaan diri mengandung pengertian adanya persepsi terhadap diri sendiri mengenai kelebihan dan keterbatasannya untuk digunakan secara efektif. Penerimaan diri digunakan untuk meningkatkan toleransi terhadap orang lain dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya. Individu yang memiliki penerimaan diri berarti dapat mengenali kekurangannya sendiri dan berusaha untuk memperbaiki diri (Willey, dalam Esthy dan Sugotu, 1998). Berikut ini adalah aspek-aspek peenerimaan diri (dalam jurnal psikologi, 1998) adalah sebagai berikut : a) Mempunyai keyakinan akan kemampuan dalam menghadapi kehidupan. b) Sikap dan perilakunya lebih berdasarkan nilai-nilai dan standar yang ada pada dirinya daripada didasari oleh tekanan-tekanan dari luar dirinya. c) Menganggap dirinya berharga sebagai manusia yang sederajat dengan orang lain. d) Berani memikul tanggung jawab terhadap perilaku. e) Menerima pujian dan celaan secara objektif. f)
Tidak menyalahkan dirinya akan keterbatasan yang dimiiki ataupun menghilangkan kelebihannya.
g) Tidak merasa ditolak orang lain, tidak pemalu, serta mengganggap dirinya berbeda dari orang lai.
Hurlock (1974)
mengemukakan
mempengaruhi penerimaan diri adalah : a. Adanya pemahaman tentang diri sendiri.
tentang
faktor-faktor
yang
Pemahaman diri dan penerimaan diri sejalan dengan berdampingan, maksudnya semakin orang dapat memahami dirinya, maka semakin ia dapat menerima dirinya. b. Adanya harapan yang realistik. Dengan memiliki harapan yang realistik, maka akan semakin besar kesempatan tercapainya harapan itu, dan hal ini akan menimbulkan kepuasan diri yang merupakan hal penting dalam penerimaan diri. c. Tidak adanya hambatan didalam lingkungan. Walaupun seseorang sudah memiliki harapan yang realistik, tetapi jika lingkungan disekitarnya tidak memberikan kesempatan atau bahkan menghalangi, maka harapan individu tersebut tentu akan sulit tercapai.
d. Sikap-sikap anggota masyarakat yang menyenangkan. Tidak menimbulkan prasangka, karena adanya penghargaan terhadap kemampuan sosial orang lain dan kesediaan individu mengikuti kebiasaan lingkungan.
e. Tidak adanya gangguan emosional yang berat. Akan terciptanya individu yang dapat bekerja sebaik mungkin dan merasa bahagia. f. Pengaruh keberhasilan yang dialaminya, baik secara kualitatif atau kuantitatif. Keberhasilan yang dialami individu akan dapat menimbulkan penerimaan diri dan sebaliknya jika kegagalan yang dialaminya individu akan dapat mengakibatkan adanya penolakan diri.
g. Identifikasi dan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik. Individu yang mengidentifikasikan dengan individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan dapat membangun sikap-sikap yang
positif terhadap diri sendiri dan bertingkah laku dengan baik yang dapat menimbulkan penilaian diri yang baik.
h. Adanya perspektif diri yang luas. Yaitu memperhatikan pandangan orang lain tentang diri. Perspektif yang luas ini diperoleh melalui pengalaman dan belajar.
i.
Pola asuh di masa kecil yang baik. Seorang anak yang di asuh secara demokratis akan cenderung berkembang sebagai individu yang dapat menghargai dirinya sendiri.
j. Konsep diri yang stabil. Individu yang tidak memiliki konsep diri yang stabil, akan sulit menunjukkan pada orang lain siapa ia sebenarnya, sebab ia sendiri ambivalen terhadap dirinya.
Menurut Cakfu (http//cakfu.info/?p=18,2006) ada 4 tahapan dalam proses penerimaan diri seseorang, yaitu : Ada 4 tahapan dalam proses penerimaan diri seseorang terhadap kenyataan yang tidak mengenakkan dirinya.Pertama, adalah penolakkan. Setiap individu memiliki kecenderungan untuk menolak suatu kondisi yang tidak ia inginkan. Banyak mekanisme yang dilakukan untuk menolak kenyataan yang tidak ia kehendaki. Sebagian dari mereka mengurung diri dan menghindar untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, sebagian lagi menjadi sangat sensitif dan reaktif terhadap situasi disekitarnya. Tahap kedua, yaitu tawar-menawar, yang di maksud tawar-menawar dalam tahap ini adalah sebuah mekanisme yang di lakukan individu untuk menutupi kondisi yang tidak diinginkannya tersebut. Tahap ketiga, adalah menerima, jika seseorang sudah mengalami kelelahan dalam pergulatan pada dua tahapan yaitu menolak dan tawar-menawar ia akan terpaksa menyerah untuk menerima kenyataan. Akan tetapi pada tahapan ini apabila
individu tidak sungguh kuat maka akan turun kembali pada tahapan kedua bahkan pertama. Tahap keempat atau tahap puncak, adalah syukur. Dalam tahapan ini kondisi dan situasi yang tidak mengenakkan oleh individu dimaknai sebagai anugerah kehidupan. Memang sangat sulit mencapai tahapan ini, oleh karena itu disebut tahapan puncak dari seluruh proses penerimaan diri. Rasa syukur dalam tahapan ini dimaknai sebagai penerimaan realitas diri secara total.
F. METODE PENELITIAN Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif karena penelitian kualitatif dapat memahami suatu permasalahan manusia atau permasalahan sosial serta dapat menciptakan suatu gambaran menyeluruh mengenai permasalahan tertentu dan secara kompleks dapat disajikan dengan cara melaporkan suatu pandangan terinci yang diperoleh dari para sumber informasi. Melalui penelitian kualitatif, peneliti akan mendapatkan pemahaman mengenai suatu permasalahan berdasarkan pengalaman subjek yang mengalami peristiwa tertentu dan dengan melakukan proses pelaporan yang sebenarbenarnya. Selain itu penelitian kualitatif dapat digunakan untuk memahami bagaimana para partisipan mengambil makna dari lingkungan sekitar serta bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku orang yang bersangkutan. Dengan pendekatan kualitatif ini diharapkan penelitian juga dapat lebih fleksibel sehingga tidak menutup kemungkinan adanya perkembangan baru. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara dengan pedoman wawancara dan observasi berupa catatan lapangan. G. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki dan perempuan, yang statusnya sebagai anak yang memiliki orang tua berpoligami. H. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dari subjek 1 dan 2 serta significant other 1 dan 2, maka aspek-aspek penerimaan diri pada subjek 1 dan 2 adalah sebagai berikut : Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan individu, adanya pandangan yang baik terhadap diri sendiri dan berpikir realistik terhadap penampilan. Sikap terhadap kelemahan diri dan kekuatan diri sendiri dan orang lain, mengenali kelemahannya bahwa poligami ayah mereka bukanlah kelemahan mereka, bebas dari rasa bersalah. Perasaan infeoritas sebagai gejala penolakan diri, mampu berpikir realistis dan berpikir positif dengan kenyataan ayahnya yang poligami. Mereka pada awalnya merasa malu dengan kondisi ayahnya yang poligami tetapi pada akhirnya mereka merasa percaya diri dalam lingkungan. Respon atas penolakan dan kritikan, mampu menerima kritikan, berusaha bangkit dan berusaha memperbaiki serta belajar dari kenyataan dan keadaan poligami ayahnya. Keseimbangan antara “real self” dan “ideal self”, mensyukuri kehidupan walaupun dengan kondisi ayah yang berpoligami. Penerimaan diri dan penerimaan orang lain, sama-sama bisa menyayangi orang lain selain diri sendiri. Subjek 1 dan 2 sama-sama tidak bisa menerima ibu tiri dan saudara sebapaknya sebagai bagian dari kehidupan mereka. Mereka sama-sama tidak mencemaskan apa yang dikatakan oleh orang lain dan apa penilaian lingkungan sekitar tentang keluarganya dengan kondisi ayahnya yang berpoligami. Penerimaan diri, menuruti kehendak dan menonjolkan diri, sama-sama mengekspresikan kemarahannya pada awal mengetahui ayah mereka berpoligami. Sama-sama mampu menyelesaikan masalah mereka sendiri meskipun tanpa ayah. Penerimaan diri, menuruti kehendak dan menonjolkan diri, sama-sama menikmati hidup, memiliki motivasi untuk mandiri dan leluasa menolak paksaan meskipun dengan kondisi ayah yang poligami. Aspek moral penerimaan diri, sama-sama tidak menutupi keadaan dan kenyataan bahwa ayah mereka poligami. Sama-sama mampu bersikap fleksibel setelah ayahnya berpoligami. Subjek 1 mengakui dirinya takut dan cemas suaminya akan seperti ayahnya yang berpoligami. Subjek 2 mengakui dirinya bermasalah karena poligami ayahnya. Sikap terhadap penerimaan diri, sama-sama menerima poligami ayahnya meskipun tidak bisa menerima ibu tiri dan saudara
sebapak mereka sebagai bagian dari keluarga mereka. Berbeda dengan subjek 1 yang hanya berbeda pandangan saja menilai ayahnya setelah poligami sedangkan pada subjek 2 memiliki pandangan dan perasaan yang berbeda terhadap ayahnya setelah ayahnya poligami.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri adalah sebagai berikut : Adanya harapan yang realistis, mereka sama-sama berharap agar kehidupan rumah tangga mereka kelak tidak seperti orang tuanya hancur karena ayah mereka poligami. Sama-sama merasa puas dalam hidupnya bisa menerima poligami ayahnya. Sikap-sikap anggota masyarakat yang menyenangkan, sama-sama mampu bersosialisasi, tidak menarik diri dari lingkungan karena alasan ayah mereka poligami. Sama-sama bisa mempertahankan hubungan dengan orang lain, subjek 1 mempertahankan hubungan dengan suaminya yang pada saat ayahnya berpoligami masih menjadi kekasih subjek 1, walaupun ayahnya poligami, sedangkan subjek 2 mempertahankan hubungannya dengan teman-teman sebayanya dari SMA dan menghabiskan waktu, bersantai dengan temantemannya. Sama-sama diterima dan dipandang baik oleh lingkungan meskipun status mereka sebagai anak yang memiliki ayah poligami. Tidak adanya gangguan emosional yang berat, sama-sama merasa bahagia meskipun ayahnya poligami, sama-sama menjadikan poligami ayahnya sebagai peristiwa yang menyakitkan tetapi berusaha untuk tidak mengingat-ingatnya lagi. Pengaruh keberhasilan yang dialaminya, baik secara kualitatif atau kuantitatif, subjek 1 dan 2 sama-sama pernah mengalami keberhasilan didalam hidupnya. Pola asuh yang baik, samasama diasuh dengan pola asuh agama dan nilai religi yang kuat. Punya tujuan dan tahu yang diinginkan dalam hidup, sama-sama punya tujuan dan tahu apa yang diinginkan didalam hidup.
Tahapan dalam proses penerimaan diri dalam poligami ayah :
Penolakan,
sama-sama
melakukan
mekanisme
penolakan
dengan
meluapkan kemarahannya ketika pertama kali mereka tahu ayahnya berpoligami. Tawar-menawar, sama-sama melakukan tawar menawar untuk menerima poligami ayahnya. Kalau mereka tidak menerima akan menyulitkan dan menambah sakit hati mereka, dan percuma tidak menerima poligami ayahnya karena itu sudah kenyataan hidup mereka. Menerima, sama-sama menerima poligami ayahnya dengan ikhlas, sama-sama tidak menerima ibu tiri dan saudara sebapaknya. Subjek 1 bisa menerima dengan perasaan yang masih sama terhadap ayahnya tetapi sudah berbeda pandangan terhadap ayahnya setelah ayahnya berpoligami. Sedangkan subjek 2 bisa menerima poligami ayahnya dengan perasaan dan pandangan yang berbeda terhadap ayahnya setelah ayahnya poligami. Bersyukur, sama-sama merasa puas bisa menerima poligami ayah mereka. Hasil penelitian menunjukkan adanya aspek dan faktor yang menimbulkan penerimaan diri pada remaja yang memiliki ayah yang poligami. Serta tahapan-tahapan yang sama bagaimana subjek sampai bisa menerima poligami ayahnya.
I. Saran Penelitian Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : 1. Saran Bagi Subjek Penelitian Disarankan untuk para remaja yang memiliki orang tua berpoligami, untuk tidak merasa malu dengan kondisinya dan jangan menyalahkan diri sendiri atas poligami orang tua serta tetaplah mengembangkan sikap positif terhadap diri agar tercipta penerimaan diri yang baik.
2. Saran Bagi Orang Tua Disarankan kepada orang tua yang sudah poligami agar lebih bersikap adil dengan anak-anakya, untuk orang tua yang berniat untuk melakukan
poligami agar mengurungkan niatnya karena banyak dampak negatifnya apabila tidak ada keadilan diantara keluarga-keluarganya. 3. Saran Bagi Masyarakat Untuk masyarakat disarankan agar dengan adanya penelitian ini, masyarakat jadi lebih memiliki sikap menghargai terhadap anak-anak yang memiliki ayah berpoligami dengan tidak mengucilkan mereka dan membedakan mereka dengan anak-anak dari keluarga biasa dan normal, sehingga anak-anak dengan kondisi keluarga ayah yang berpoligami tetap bisa merasa nyaman berada ditengah-tengah masyarakat dan lingkungan sekitarnya. 4. Saran Bagi Penelitian Selanjutnya Kelemahan penelitian ini terletak pada subjek yang usianya sudah memasuki usia dewasa akhir sehingga mereka diperkirakan sudah lebih matang dibanding fase remaja yang lebih awal. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk mengambil subjek dengan usia remaja awal 12 tahun sampai 15 tahun. Serta diharapkan peneiltian selanjutnya untuk meneliti bagaimana resiliensi dan forgiveness pada kasus-kasus keluarga berpoligami karena resiliensi dan forgiveness berhubungan dengan penerimaan diri. Hasil penelitian menunjukkan adanya aspek dan faktor yang menimbulkan penerimaan diri pada remaja yang memiliki ayah yang poligami. Serta tahapan-tahapan yang sama bagaimana subjek sampai bisa menerima poligami ayahnya.